Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 3


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 3




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
Pau She-hoa menggeliat, katanya.

   "Ya, Kongcu, semua itu kan hadiahmu padaku?"

   Terpancar sinar dingin pada sorot mata Siang Cin, katanya tenang.

   "Kuharap jangan karena persoalan ini Siang-gi pang sampai mengalami keruntuhan."

   "Karena soal apa?"

   Tanya Pau Seh- hoa. Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalaman An Lip. Pau Seh-hoa berdiam sebentar, katanya kemudian.

   "Lote, kau ini memang keterlaluan, bukan saudaramu ini suka cerewet, kau memang suka bunga, mega, rumput, sanjak, lukisan dan segala keindahan, tapi semua ini serba menyebalkan bagiku. Kau mem-buang2 tenaga hanya demi persoalan sepele ini, kukira tidak setimpal, perempuan bukan melulu ...."

   Tajam tatapan Siang Cin, bola matanya yang bening memancarkan cahaya yang 29 lembut dan tulus, tapi Pao Seh hoa yang ditatapnya menjadi kikuk sendiri, serunya.

   "He, kenapa kau pandang aku begitu rupa?"

   Siang Cin tersenyum, katanya dengan suara rendah.

   "Jangan terlalu nyentrik Lo Pau, perempuan yang pernah kau cintai dua belas tahun yang lalu memang tidak bersalah, kau sendiri yang salah. Tidak pantas lantaran dia meninggalkan kau lantas kau lampiaskan rasa sirikmu kepada perempuan yang lain, kalau dunia ini tanpa perempuan, hidup ini akan terasa tawar dan tiada artinya."

   "Sudahlah Lote, jangan bicara soal itu lagi,"

   Ujar Pau Seh-hoa.

   "perempuan itu, hm, memang tidak punya liangsim, kalau dia punya perasaan tidak seharusnya dia merat, bila suatu ketika dia kutemukan, kalau tidak kubeset kulitnya hidup2 jangan panggil aku orang she Pau."

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Siapa suruh kau bermain patgulipat dengan perempuan lain di luar tahunya? Ini namanya kau tidak setia terhadap kekasihmu."

   "Tidak setia?"

   Pau Seh-hoa berteriak.

   "Busyet, itu kan cuma iseng saja. Memangnya laki2 mana yang tak pernah berbuat iseng di luaran? Memang nya soal beginian juga harus dibuat perkara, malah main minggat segala? Kalau tidak bicara soal ini aku sih tidak marah, sekali menyinggung soal perempuan itu, ingin rasanya aku mencacahnya serta membakarnya menjadi abu ....

   "

   Siang Cin geleng2 kepala dan tak bicara lagi, dia menghampiri Kun Sim-ti, Pau Sehhoa mengawasi dengan melenggong, perasaannya hampa seperti kehilangan apa2. Mendadak dia memanggil Siang Cin ingin bicara, tapi ragu2, akhirnya dia ganti haluan.

   "Lote, mayat bergelimpangan, kau belum lagi menjelaskan apa yang telah terjadi?"

   Siang Cin bersenyum, katanya.

   "Karena persoalan di Siau-mo-nia dulu itu, Sin-suya meluruk kemari. Kau masih ingat kejadian dulu itu?"

   "Mereka meluruk kemari,"

   Pau Seh-hoa bergumam sambil celingukan.

   "tapi meninggalkan sekian banyak mayat ...."

   Di balik pohon sana pelan2 Siang Cin beg jongkok menatap muka Kun Sim-ti yang dibalutnya hingga cuma sepasang matanya saja yang masih kelihatan, kedua matanya terpejam, namun bulu matanya yang panjang melengkung kelihatan elok dan indah.

   Tiba2 badan Kun Sim-ti sedikit bergeming, lekas Siang Cin, memanggil dengan suara halus "Cici..."

   Pelan2 kelopak mata itu bergerak, sorot matanya yang sayu masih membayangkan adegan seram menakutkan semalam, ia pandang Siang Cin, lama dia menatap tanpa berkedip, akhirnya ujung matanya mulai basah.

   Sekuatnya Siang Cin mengunjuk senyum, katanya lembut "Ci, kau sudah baik? Segalanya sudah lalu ...."

   Mata Kun Sim-ti terpejam sebentar lalu terpentang pula, sorot matanya mengandung rasa kuatir dan prihatin, Siang Cin mengerti, lekas dia berbisik.

   "Aku tidak apa2, hanya sedikit terluka bakar."

   Rasa lega dan terhibur jelas kelihatan dari sorot matanya, hal ini dapat di resapi oleh Siang Cin, setelah menelan liur dia berkata.

   "Kau lapar tidak? Biar kusuruh bibi Ciu .... suruh bibi Ciu membuat sarapan untukmu ...."

   Pelahan Kun Sim-ti menggeleng, butiran air matanya akhirnya menetes di atas kain perban, lekas Siang Cin bantu menyekanya dan katanya.

   "Kau amat letih, tidurlah lagi, aku selalu menunggu di sisimu. Oh, ya, Pau-toako juga datang, bentuknya masih seperti dulu, tetap berkepala pengemis."

   Tersenyum rawan pada wajah yang sayu, Kun Sim-ti pejamkan matanya, bukan lantaran dia ingin mengejar impian, tapi dia ingin menyimpan persaan hangat dalam hatinya yang hampa.

   Musim semi hampir berlalu, sinar surya mulai terasa panas menyengat kulit dengan belaian lembut Siang Cin bikin Kun Sim-ti kelelap dalam tidurnya, lalu ia keluar sambil membopongnya, di luar An Lip sudah siuman, dia tengah berbincang dengan Pau Seh hoa.

   30 Melihat Siang Cin, bergegas An Lip hendak berbangkit, tapi Pau Seh-hoa lekas mencegah, katanya.

   "Eh, kau si berewok ini kenapa begini bandel? Sekujur badan terluka masih banyak tingkah? Kongcuya datang, sikapmu yang hormat sudah cukup diresapi olehnya."

   Siang Cin pandang wajah si berewok yang pucat dan lemah itu, katanya.

   "Kalian sudah berkenalan?"

   An Lip mengangguk, sahutnya;

   "Berkat kerendahan hati Pau-cianpwe, beliau sudi memperkenalkan nama besarnya ......."

   "Persetan!"

   Omel seru Pau Seh-hoa "kalian sama sebangsa kutu buku yang suka main kalimat......"

   Siang Cin anggap tidak dengar ocehan orang, katanya.

   "Lo Pau, mari kita cari tempat lain untulk istirahat, nanti malam aku masih ada urusan."

   Pau Seh-hoa baru saja berdiri, katanya keheranan.

   "Ada urusan, memangnya badanmu ini berotot kawat dan bertulang besi? Lukamu separah itu, kau masih mau urus apa lagi?"

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Malam nanti aku akan menolong kekasih An Lip itu."

   Bersinar mata An Lip,.tapi ia menjadi kuatir, katanya.

   "Jangan ..... tak perlu tergesa2, luka Inkong (tuan penolong) sendiri tidak ringan ...."

   Berkedip mata Siang Cin, katanya.

   "Memang, kalau bisa aku memang tidak perlu terburu2, cuma kulihat Tan Sin teramat penasaran, saking dongkol dan masgulnya mungkin dia akan melampiaskannya kepada calon isterimu itu ...."

   Bergidik An Lip, mulutnya melongo dan tak mampu berbicara, ia tahu ini bisa saja terjadi, dia cukup tahu betapa watak Tan Sin, bila kekuatiran itu betul2 terjadi, maka imbalan yang telah dia pertaruhkan menjadi sia2 belaka.

   Pau Seh-hoa menjilat bibirnya, katanya.

   "Sekarang sudah lewat lohor, kita memang harus cari tempat untuk berteduh dan cari makanan untuk isi perut, kalau tetap tinggal di sini, salah2 bisa celaka."

   Siang Cin manggut2, katanya sambil menerawang sekelilingnya, lalu mendahului beranjak ke luar hutan, Pau Seh-hoa lantas berjongkok, jangan kira badannya kurus kering, tubuh An Lip segede itu, segera digendongnya, keruan An Lip merah jengah, serunya gugup.

   "Jangan, tidak usah Cianpwe, biar aku jalan sendiri."

   Tanpa hiraukan seruan orang segera Pau Seh-hoa beranjak mengikuti langkah Siang Cin, sekeluar dari hutan, seperti lomba lari saja dia berpacu sekencang angin dengan Siang Cin, meski sama menggendong orang, tapi gerak langkah mereka ternyata tak kalah kencang daripada lari kuda.

   Siang Cin memilih jalan yang ber-liku2 yang menembus ke puncak gunung, arahnya ke timur, kabut tebal beterbangan di lereng gunung, keadaan menjadi remang2 dan sukar menentukan arah.

   Mereka berlari berjajar, Pau Seh-hoa berteriak.

   "Anak muda, memangnya mau ke mana kau? Apakah kau kuat menahan luka2mu?"

   Tanpa mengendorkan larinya Siang Cin menjawab dengan suara keras pula.

   "Dua puluhan li dari sini ada sebuah tempat yang indah, kita sementara menetap di sana saja untuk beberapa hari. Lukaku memang tidak ringan, tapi setelah dibubuhi obat mujarab milikmu, kini sudah jauh lebih baik ......."

   Pau Seh hoa ter-gelak2 bangga, dia kayuh langkahnya lebih kencang, serunya.

   "Dua puluhan li kemudian, tempat apakah itu?"

   Siang Cin menyeka keringat di mukanya, katanya dengan tertawa.

   "Tempat nan indah permai, kau pasti kerasan dan berat meninggalkan tempat itu. Kedua orang harus memanjat lereng gunung yang cukup tinggi pula, kini mereka mulai menyusuri jalan pegunungan yang naik turun dan berbatu terus menerobos ke dalam hutan lebat. Pau Seh hoa berludah kental sambil menggerutu.

   "Dirodok, setengah tahun tak melihatmu, sekali bertemu kau ajak lomba lari dan main teka teki lagi, pegunungan belukar seperti ini mana ada tempat indah segala .... ..."

   Siang Cin tersenyum, mereka langsung menuju ke hutan, keadaan di sini remang2, lebatnya daun hampir seluruhnya menutupi cahaya sinar matahari sehingga keadaan 31 di sini menjadi lebih gelap, suasana hening pula, yang terdengar hanya kresekan dedaunan yang diembus angin.

   Langkah Siang Cin mulai diperlambat di antara tumpukan reruntukan daun kering sehingga mengeluarkan suara gemerisik, dengan penuh perhatian Pau Seh-hoa mengawasinya, tanyanya.

   "Apakah kau tak merasa letih."

   Siang Cin menyeka keringat, setelah menghambur napas dia berkata.

   "Rasa sakit dilukaku seperti membetot syarafku......."

   "Istirahat saja sebentar?"

   Kata Pau Seh hoa. Siang Cin menggeleng dan menjawab dengan tertawa.

   "Tidak, istirahat setiba di tempat tujuan saja, sudah tidak jauh lagi."

   Tahu akan watak Siang Cin yang keras dan tekadnya yang besar, maka Pau Sehhoa tidak banyak kata lagi, tanpa bersuara mereka terus berlari dalam hutan.

   Tak lama kemudian, di kejauhan sana tampak pemandangan yang jauh berbeda dengan keadaan di luar hutan sana.

   Sebuah gunung dengan angker laksana sengaja diadangkan di situ, begitu angker dan kelihatan perkasa sekali, puncaknya nan tinggi mencakar langit ditelan mega, dari pinggang gunung, ada dua belas jalur air terjun yang mencurahkan airnya laksana rangkaian rantai perak.

   Di atas pinggang gunung, pemandangan sekeliling diliputi kabut tebal, kebetulan angin mengembus buyar kabut tebal hingga kelihatan sebuah tebing yang menonjol keluar di atas pinggang gunung, letaknya kebetulan berada di atas jalur2 air terjun, warnanya serba menghijau.

   Dapatlah dibayangkan betapa bahagia dan menyenangkan bila menetap di atas sana, pagi hari menyaksikan matahari terbit di ufuk timur, bila magrib melihai sang surya terbenam di balik pegunungan yang berhawa sejuk seperti ini, memangnya siapa yang tidak kerasan tinggal di sini.

   Pau Seh-hoa ber-kecek2 kagum, serunya memuji.

   "Kongcu, tempat ini memang luar biasa, indah permai, sungguh aku tak habis mengerti cara bagaimana kau bisa menemukan tempat ini."

   Menengadah memandang ke atas, sikap Siang Cin tampak lega, katanya dengan tenang.

   "Serba puitis bukan suasana di sini."

   Pau Seh hoa ter-kekeh2, katanya.

   "Memang senang hidup di tempat ini, cuma terlalu sepi ...."

   Tanpa bicara lagi Siang Cin mulai memanjat ke atas, langkahnya tetap secepat terbang, Pau Seh-hoa tetap mengintil tak ketinggalan, teriaknya.

   "Naik dari mana, Lote?"

   Siang Cin berpaling sambil memberi tanda gerakan tangan, dia membelok masuk ke sebuah lekukan seperti selokan gunung, dalam selokan yang menjurus semakin tinggi itu kiranya ada sebuab jalan kecil beralas batu putih, orang mengira ini buatan manusia yang benar memang ciptaan alam, begitu aneh jalan berliku ini melingkar naik makin tinggi ke atas, tak ubahnya seekor ular raksasa yang melingkari gunung.

   Berjalan di alas batu yang tidak rata ini ternyata sedikitpun tidak makan tenaga, maka Pau Seh-hoa berteriak heran.

   "Kongcu, apakah kau yang suruh sang malaikat membuat jalan pegunungan ini?"

   Siang Cin mengendurkan langkahnya serta mengencangkan ikat pinggang, katanya.

   "Bukan begitu, tapi sang malaikat yang tahu kalau aku akan menetap di atas sini, maka pada ribuan tahun yang lalu ketika menciptakan alam permai ini sekalian membuat jalan pegunungan ini."

   Pau Seh-hoa ter-gelak2 geli, sambil menikmati pemandangan di kedua sisi jalan, batu berserakan, dahan kering sama bergantungan, tampak pula bekas lumut mengering tanda derasnya air yang mengalir di sini, di waktu hujan jalan gunung ini memang merupakan selokan kecil yang mengalirkan air ke bawah gunung.

   Setelah berputar sekian lamanya mengitari lamping gunung, akhirnya mereka menjurus ke jalan lurus menembus ke lembah pegunungan, Siang Cin memilih jalan ke arah kanan, di mana ada sederetan pohon Siong yang berjajar menjulang tinggi ke angkasa, di sini Sang Cin menghentikan langkah, katanya sambil menoleh.

   32 "Lembah kecil tadi kunamakan lak-kui-kok (lembah kenangan), bagaimana pendapatmu tentang nama ini?"

   "Lembah Kenangan Apa maksudmu?"

   Tanya Pau Seh-hoa.

   "Hidup di sini kan tidak perlu pikirkan urusan tetek-bengek lagi. Tapi manusia kan harus hidup bermasyarakat bukan."

   Pau She-hoa manggut2, bersama Siang Cin dia menyusuri deretan pohon terus membelok ke kiri, pemandangan di sini berubah seratus delapan puluh derajat, kembang seruni mekar bak permadani membentang luas di embus angin pegunungan, bau harum semerbak laksana menyambutmu dengan senyum dikulum.

   Tiada manusia yang menanam serta merawatnya, tapi bunga serum di sini hidup subur dan mekar segar.

   Di ujung rumpun seruni sebelah sana, terdapat sebuah kolam kecil yang letaknya membelakangi tebing, sumber air mengalir dari atas tebing, kolam itu ternyata seluruhnya terbuat dari batu putih, airnya jernih, siapapun pasti ingin minum airnya yang dingin dan sejuk.

   Di samping kolam terdapat dinding yang besar melintang datar, di balik dinding tembok gunung inilah terdapat sebuah rumah mungil yang dibangun dengan kayu pohon cemara, pagar kayu mengelilingi rumah, semuanya serba merah gelap.

   Di balik tembok panjang di depan pekarangan rumah mungil itulah letak tebing dengan air terjun tadi.

   Dari sini terlihat jelas di samping tebing sana tumbuh subur sepucuk pohon flamboyan dengan bunganya yang lagi mekar, kembangnya yang berwarna merah kekuningan itu beterbangan ditiup angin gunung.

   berdiri di atas tebing dapat memandang puncak2 gunung di kejauhan yang berbentuk aneka ragam dan aneh2, tangan terjulur dapat menjamah mega yang mengambang tak berujung pangkal, seperti tinggal di atas langit rasanya, meski hawa di sini agak dingin, tapi kehidupan di alam permai seperti ini laksana hidup dewa di kahyangan.

   "Aku menetap di sini seorang diri,"

   Ucap Siang Cin sambil melepas pandang ke seluruh pelosok.

   "maksudku sering kemari, jadi bukan selama itu terus hidup di sini. Di sini antara langit dan bumi rasanya sambung menyambung, manusiapun hidup laksana dewata, hidup di sini dapat merenungkan banyak persoalan yang tak mungkin di selami khalayak ramai di tengah kehidupan kota, betul tidak Lo Pau."

   Pau Seh hoa ter-kekeh2, katanya.

   "Kongcuya, orang she Pau tak semahir kau menggunakan istilah muluk2. Sekarang yang penting lekas cari makanan untuk tangsal perut yang sudah keroncongan ini."

   An Lip yang digendongnya lantas berkata dengan rikuh.

   "Pau cianpwe, sekarang boleh kau turunkan Cayhe."

   Pau Seh hoa mengiakan, pelan2 ia turunkan An Lip serta bertanya.

   "Jalan pegunungan naik turun, tentu bergoncang keras, luka2mu kambuh tidak?"

   "Tidak, tidak,"

   Sahut An Lip tertawa sambil menggeleng dengan muka merah.

   "Sudah jauh lebih baik ......"

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekilas Pau Seh-boa meliriknya dengan senyum di kulum, lalu dia berpaling hendak ajak Siang Cin bicara, tapi melihat keadaan Siang Cin segera dia telan pula kata2 yang sudah hampir terlontar dari mulutnya.

   Siang Cin tampak termenung, seperti melamun tapi juga seperti tengah memusatkan perhatian, pandangannya tertuju ke dalam rumah, sorot matanya tampak ganjil.

   Diam2 Pan Seh hoa mendekati serta berbisik.

   "Kenapa Lote, ada gelagat yang tidak beres?"

   Sorot mata Siang Cin tak beralih, katanya dengan suara tertahan.

   "Dalam rumah ada orang."

   Pau Seh-hoa terperanjat, tanyanya gugup.

   "Darimana kau tahu?"

   Mundur selangkah Siang Cin berkata.

   "Lumut di undakan di depan pintu tampak ada bekas tapak kaki, pegangan pintu menjuntai turun, pagar kayu itupun kelihatan terbuka dengan paksa."

   Pau Seh-hoa mengangguk, katanya dengan suara dingin.

   "Kalau begitu gusur saja 33 keluar dan lemparkan ke bawah tebing."

   Sejenak berpikir Siang Cin berkata pula.

   "Kukira bukan cuma seorang saja."

   Dengan tertawa Pau Seh-hoa segera menuju ke muka pintu serta berteriak kedalam.

   "Kalau ada orang di dalam rumah, lekaslah menggelinding keluar. Pau loya baru datang, kebetulan dapat melemaskan tulang dan mengendurkan otot di sini."

   Pintu yang terbuat dari kayu pohon siong tetap tertutup rapat, tiada reaksi apa2. Pau Seh-hoa melangkah maju dan berteriak pula.

   "Maknya, tidak mau keluar, memangnya perlu kuseret keluar? Jangan sok jadi kura2 ..... .."

   Pelan2 dan hati2 sekali Siang Cin baringkan Kun Sim-ti di atas rumput, tapi dia tetap mengawasi ke dalam rumah.

   Pau Seh-hoa juga mengawasi ke dalam rumah dengan pandangan menyelidik, sesaat kemudian dia berpaling memberi lirikan kepada Siang Cin, ia menepuk pinggang sendiri, lalu mulutnya memberi tanda pula.

   Sedikit bimbang, akhirnya Siang Cin mengangguk.

   tangan kanan merogoh saku di balik jubah kuningnya yang sudah koyak.

   Melihat gerakan orang, Pau Seh hoa tertawa lebar, seperti merasa puas segera dia menghadap ke arah rumah dan ber-kaok2.

   "Nah ini dia, hai, orang di dalam rumah, kalau tidak lekas keluar, orang she Pau akan menyeretmu keluar ........"

   Pelan2 Part Seh-hoa menaiki undakan batu, sekonyong2 dia menerjang ke arah daun pintu, tapi sedetik sebelum badannya menjebol daun pintu, pintu yang semula tertutup rapat itu mendadak terpentang, sebatang cundrik warna kuning kemilau tahu2 menyamber keluar laksana ular memagut menusuk jidatnya.

   Pau Seh-hoa menjerit kaget, cepat ia doyong kebelakang, tapi dikala badannya mendoyong ke belakang itu, tanpa mendengar adanya kesiur angin, tak terlihat bayangannya.

   "Trang", terjadi bentrokan keras memekak telinga, cundrik baja yang menjulur keluar itu tahu2 tersampuk mental ke samping oleh sesuatu benda yang menerjang tiba tepat pada waktunya..Dalam waktu sesingkat itu pula, tampak Pau Seh-hoa selicin belut sudah menyingkir jauh, belum sempat dia menarik napas lega, ujung matanya sempat melirik ke arah Siang Cin, tampak orang tengah memegang sebatang pisau melengkung berkilau berbentuk seperti arit. Benda yang menyampuk balik cundrik itu kiranya adalah senjata melengkung tajam yang dipegang Siang Cin itu, benda itu berbentuk arit kecil yang tidak bergagang, tipisnya laksana kertas, tajamnya tidak menimbulkan cucuran darah bila tubuh, terpapas, senjata ini terbuat dari baja murni campur emas, tajam dan lihay sekali, Siang Cin memiliki dua belas batang senjata rahasia semacam itu, namanya Toa liong-kak (tanduk naga besar). Dengan senjata Toa liong-kak ini entah sudah berapa banyak jago kosen persilatan yang terbunuh oleh Siang Cin, tapi selamanya dia jarang dan tidak suka pamer di depan umum, karena sekali dia turun tangan dengan senjata ampuh ini membunuh orang segampang membabat rumput. Sambil pegang Toa liong kak yang melengkung itu. Siang Cin tenang2 mengawasi ke rumah, katanya.

   "Saudara yang ada di dalam, sudah saatnya kau keluar."

   Pau Seh-hoa seka keringat dingin. serunya gusar.

   "Maknya dirodok, kalau tuan besarmu hari ini tidak mencincang tubuhmu, anggaplah aku dilahirkan kuntilanak."

   Cundrik yang mental balik tadi menyentuh pintu sehingga kayunya tergores, pelan2 terdengar suara kresekan di dalam rumah, Siang Cin tetap bersikap tenang dan prihatin, sebaliknya Pau Seh hoa sudah keluarkan kedua keping kayunya, dengan memaki gusar ia menerjang ke depan pintu pula.

   Bayangan seseorang pelan2 muncul dari dalam rumah dan berdiri di ambang pintu, itulah seorang laki2 tua berbadan reyot dan berwajah kurus kusut, pakaiannya yang berwarna kelabu luntur itu sudah bertambal di sana sini, mukanya kuning, rambut ubanan dengan kerut keriput di kulit mukanya, langkahnya terseret, berdiripun menggelendot di pinggir pintu.

   Pau Seh hoa merandek, dia tatap laki2 tua ini, serunya.

   "Hai, orang tua, kau tadi 34 yang membokong tuan Pau ini dengan senjatamu itu?"

   Dengan pandangan sayu si orang tua menatap Pau Seh hoa, sesaat baru dia bersuara dengan serak.

   "Aku Kiang Kiau hong karena menghindari kejaran musuh, secara kebetulan menemukan tempat kalian ini, saking kepayahan tanpa pikir terpaksa kami pinjam tempat kalian untuk berteduh sementara. Untuk kelancangan mana harap tuan suka memberi maaf ...

   "

   Mendengar orang bicara dengan ramah, rasa marah Pau Seh hoa buyar sebagian, dua kali hidungnya mendengus, katanya.

   "O, omonganmu memang beralasan, cuma kelancanganmu tadi memang keterlaluan, untung kau berhadapan dengan orang she Pau, kalau orang lain, bukankah jiwanya sudah melayang di tanganmu?"

   Belum lagi laki2 tua itu menjawab, di belakangnya kembali muncul bayangan seorang yang ramping, eh, kiranya seorang gadis remaja yang jelita.

   Wajahnya bulat kwaci, alisnya melengkung, bola matanya yang jeli diimbangi mulutnya yang kecil seperti delima merekah itu menambah manis wajahnya.

   Usianya masih kurang dari 20, berbaju putih dengan gaun panjang yang kelihatan sedikit kotor, tapi justeru memperlihatkan kesederhanaannya.

   Sikapnya tampak kuatir, begitu muncul di belakang si orang tua, dengan suara tersendat dia berkata.

   "Cong ....Congsu, hal itu tidak bisa salahkan ayahku, aku ....aku, soalnya aku belum sempat melihat jelas ...."

   Pau Seh hoa melirik dingin ke arah gadis remaja ini, kemudian dia tertawa terkekeh, ujarnya.

   "Kiranya tadi perbuatan nona? Serangan telak, tenaga hebat, tak kira nona memiliki kepandaian dan tenaga selihay itu, .sungguh harus dipuji ... ."

   Wajah si gadis seketika menjadi jengah, ingin bicara tapi ragu dan takut2, dia menunduk pula sambil memain ujung baju. Siorang tua menarik napas panjang, katanya.

   "Terlampau lama kami ayah beranak menderita lahir batin, bak umpama burung yang takut mendengar suara busur, karena mengira musuh mengejar tiba, maka puteriku turun tangan tanpa kenal ampun, tuan ini orang bijak, harap suka maklum dan maaf .."

   Pau Seh-hoa tak enak mengoceh lagi, dia berpaling menatap Siang Cin, dilihatnya Siang Cin tertawa tawar, maka Pau Seh-hoa membalik ke arah ayah beranak itu, katanya.

   "Tempat ini amat tersembunyi, entah bagaimana kalian bisa menemukannya?"

   Gemetar bibir si orang tua, katanya serak;

   "Karena terdesak dan demi mencari hidup, hutan belantara dan gunung betapapun tingginya juga harus kami jelajahi, asalkan dapat menemukan tempat untuk berteduh dan aman, kebetulan kami sampai di sini, kami tak bermaksud jahat, untuk ini harap tuan2 maklum."

   "Saudara sedang sakit?"

   Tanya Pau Seh-hoa. Guram wajah si orang tua, katanya dengan lemah.

   "Dulu pernah aku menderita sakit rematik, beberapa hari ini buron tanpa kenal lelah dan kelaparan lagi, darah tertumpah tak tertahankan. Ai, sudah tua, tulang2 inipun sudah reyot rasanya."

   "

   Di belakang sana dengan kalem Siang Cin berkata.

   "Kalau begitu, Lo Pau, biarkan Lotiang ini tinggal di sini beberapa hari, di belakang masih ada kamar kosong, cuma kalian harus tinggal di tempat seadanya."

   Wajah Pau Seh hoa masih menampilkan rasa ragu, sebentar dia berpikir, lalu berkata.

   "Saudara ini, siapa nama besarmu?"

   Siorang tua rada melenggong, katanya.

   "Tadi sudah kusebutkan, aku Kiang Kiau hong."

   Mulut Pau Seh hoa mengulang nama orang, katanya.

   "Belum pernah kudengar nama ini, saudara tua, tolong tanya lagi, kau termasuk aliran atau perguruan mana?"

   Si orang tua bimbang sejenak, katanya kemudian.

   "Lohu adalah guru silat dari Siau- Kong-pa di Lok-te, beberapa murid pernah kuajari kepandaian, tapi tak pernah berkecimpung di kalangan Kangouw, sudah tentu tuan tidak tahu nama Lohu yang rendah ini?"

   Pau Seh-hoa berdehem dua kali, katanya.

   "Lalu, siapakah musuh besarmu itu?"

   Terunjuk serba susah di wajah Kiang Kiang-hong, bibirnya bergerak tapi tak keluar 35 sepatah kata. Pau Seh-hoa tertawa melengking, katanya.

   "Memangnya musuhmu itu seekor Naga Kuning?"

   Dengan keheranan Kiang Kiau hong menelan ludah katanya tergagap.

   "Naga Kuning? Naga Kuning yang mana? Harap saudara suka menjelaskan ...."

   Siang Cin melangkah maju beberapa tindak, Toa liong kak telah dia simpan, katanya sambil menjura pada Kiang Kiau-hong.

   "Cayhe Siang Cin, silakan Lotiang duduk di dalam."

   Haru dan terima kasih Kiang Kiau-hohg, ia menjura pada Siang Cin, katanya.

   "Engkoh muda ini sungguh bajik dan bijaksana, Lohu sungguh merasa lega dan bersyukur, bila penyakitku tidak kumat lagi, kami akan segera berangkat, se-kali2 tak berani bikin repot engkoh muda ini ...."

   "Jangan sungkan,"

   Ucap Siang Cin.

   "kamar di sebelah kanan itu boleh tetap kalian tempati. bila Lotiang perlu apa2, silakan bilang saja, sama2 orang yang hidup berkelana, bila menghadapi kesukaran adalah jamak, kalau kita saling bantu."

   Beruntun Kiang Kiau-hong menjura dua kali, anak gadisnya lalu membimbingnya masuk ke kamar. Setelah bayangan mereka lenyap, Pau Seh boa menyeka mulut serta berkata lirih.

   "Lote, tidak pantas kau terima mereka begini saja. Menurut dugaanku, kakek itu rada mencurigakan, jangan2 dia sengaja main tipu ........

   "

   Siang Cin tertawa tawar, katanya .

   "Kuharap tiada kejadian apa2, kalau tidak, mereka akan menyesal setelah kasip " - Lalu dia putar balik, dengan hati2 dia pondong Kun Sim-ti ke dalam rumah, An Lip berjalan mengikutinya. Itulah ruang tamu yang sederhana dan membawa harum kayu cendana, beberapa kursi dan bonggol pohon asli yang di ukir sedemikaan rupa sehingga tampak sangat indah, meja kayu yang ceplok2 kuning di pojok sana terdapat sebuah pedupaan yang masih mengepulkan asap dupa yang harum.

   "Lo Pau "

   Ucap Siang Cin sambil berpaling.

   "kau dan An Lip sementara istirahat dulu di sini."

   Pau Seh-hoa mengendus2 dengan hidungnya, katanya sambil duduk dengan santai.

   "Lekas pergi, aku tahu kamar tamu yang serba antik ini pasti akan menjadi tempak tinggalku."

   Siang Cin tak bicara lagi, dia lantas masuk ke kamar sebelah kiri, kamar ini ternyata juga sederhana, bau kayu cendana juga merangsang hidung, di dinding bergantung buah beberapa lukisan, sebuah dipan kayu berkasur dan beralaskan tikar anyaman, rotan, selimut bantal tersedia lengkap.

   Pelahan Siang Cin rebahkan Kun Sim-ti, sekian lama dia menatap wajah orang tanpa berkedip matanya nan indah itu masih terpejam, tenang tanpa membayangkan rasa kesakitan.

   Setelah termenung sekian saat, akhirnya Siang Cin mengemuli badan Kun Sim-ti.

   diam2 dia mengundurkan diri keluar.

   Pau Seh-hoa duduk di kursi sana, melihat dia keluar lantas berkaok.

   "O, tuan besarku, sudah kukatakan perut telah berkeruyukan, rasanya sungguh tersiksa, kau sebaliknya masih enak2 seperti tak kenal lapar saja, memangnya kau ingin membikin kita lekas menuju sorga?"

   "Sssst", Siang Cin mencegah orang berkaok2 lagi, sekali tarik dia ajak Pau Seh-hoa keluar, dia melihat cuaca, memandang gumpalan awan di kejauhan sana. katanya kemudian.

   "Lo Pau, nanti akan kutraktir kau makan panggang bebek, kau suka makan yang tua atau yang masih muda?"

   "Panggang bebek?"

   Teriak Pau Seh-hoa menelan ludah, tapi lekas dia geleng kepala, katanya tidak percaya.

   "Panggang bebek kentut, ditempat seperti ini mana ada panggang bebek? Jangan kau menggelitik seleraku, kalau ada semangkuk nasi putih dengan sayur asin saja sudah lebih cukup bagiku sekarang."

   Belum lagi dia habis bicara, tiba2 didengarnya suara kebasan angin yang ramai disertai suara burung belibis dari kejauhan, tampak di udara di kejauhan sana tengah terbang mendatangi sekelompok belibis liar.

   Keruan Pau Seh-hoa melengak, serunya keheranan.

   "Eh, ternyata ada bebek liar, untuk apa belibis ini jauh2 terbang ke tempat ini? Wah, sungguh menarik, semuanya 36 gemuk2."

   Siang Cin membasahi bibirnya, tuturnya.

   "Kolam kecil di depan itu kunamakan Cengsim ti (kolam pembersih hati), rasa airnya harum dan agak hangat, di tengah bunga seruni yang tumbuh secara liar di pinggir kolam terdapat semacam rumput yang berbatang coklat ke-hitam2an sebesar jari kelingking, buahnya berwarna merah, kelompok bebek liar itu setiap hari pasti terbang kemari melalap buah2 merah dari tetumbuhan liar yang aneh itu serta minum air kolam itu, agaknya mereka amat suka pada ke dua macam makanan dan minuman ini."

   Sementara itu sayap gerombolan bebek liar itu telah hampir menutupi angkasa di atas rumah, tak kurang dari seratusan bebek liar yang sekaligus hinggap di puncak tebing, kelompok bebek liar itu tak pernah kacau saling berebut makanan gerak langkah mereka cukup teratur dan rapi, cuma suaranya yang berisik itu memang agak menusuk pendengaran.

   Mulut Pau Seh-boa terpentang lebar, sambil pentang lengan bajunya dia siap menubruk maju menangkap barang dua tiga ekor, tapi Siang Cin lekas menariknya, katanya pelahan.

   "Jangan buru2, biar aku saja yang bekerja." - Lalu dia melangkah ke tembok batu gunung raksasa itu, tangan terulur ke dalam sebuah lubang, dari situ dia merogoh keluar beberapa utas benang putih kemilau, entah benang terbuat dari apa, yang terang benang itu kuat dan bisa mulur, pada setiap ujung benang tergantol satu biji buah merah, Siang Cin memberi tanda kedipan mata pada Pau Seh-hoa, sekali sendal, benang lemas ditangannya itu tiba2 menjadi lempeng lurus seperti kawat baja meluncur ke depan, benang2 itu bergontai pergi datang di tengah rombongan bebek liar itu, maka lima bebek sekaligus pentang sayap mengejar buah merah itu hendak mematuknya. Siang Cin tersenyum, ketika dia tarik balik ke lima jalur benangnya itu lima ekor bebek itupun ikut hinggap di bawah tembok, sedikitpun tidak menimbulkan suara berisik. Lekas Pau Seh-hoa memburu ke sana serta memeriksa, ternyata kelima utas benang perak itu telah tembus menusuk badan bebek laksana jarum, semua itu dilakukan tanpa menimbulkan keributan pada rombongan bebek liar itu. Siang Cin ikut memunguti bebek itu serta menyimpan benang peraknya, katanya tertawa.

   "Karena selamanya aku tak pernah menangkap mereka secara kasar atau membunuhnya secara terang2an, maka mereka percaya bahwa aku bersikap baik dan bersahabat, setiap hari mereka datang kemari tanpa hiraukan diriku. Dan harus disesalkan aku justeru menggunakan daging mereka sebagai hidanganku setiap hari, kalau aku gunakan caramu tadi menangkap dan mengudak mereka, umpama dapat menangkap beberapa ekor, selanjutnya merekapun takkan berani kemari lagi."

   Sambil mengangguk Pau Seh-hoa melelet lidah, katanya.

   "Sudahlah, tak usah banyak komentar tuan muda, anggaplah kau yang benar dan pandai, sekarang lekas kita panggang saja."

   Siang Cin tertawa geli melihat kelakuan temannya yang kocak itu.

   mereka lantas bawa bebek itu ke dalam rumah, dengan giat Pau Seh hoa bantu Siang Cin menyalakan api di tungku, memasak air dan mencabuti bulu, tanpa terasa air liurnya bertetesan.

   Sambil menahan sakit An Lip juga maju membantu, cukup lama juga mereka bekerja, tahu2 bau bebek panggang yang sedap merangsang hidung.

   Menghirup napas panjang Pau Seh-hoa bersuara seperti merintih.

   "O, sedapnya, sekaligus aku bisa menghabiskan dua ekor .....

   "

   Sambil, membalik sundukan bebek panggang An Lip tertawa, katanya.

   "Selera Paucianpwe sungguh besar, kalau Cayhe mungkin setengah ekor saja tidak habis ......

   "

   Pau Seh hoa tergelak2, katanya sambil menuding An Lip.

   "Anak muda, hatimu lagi melayang jauh ke tempat bekas binimu itu, mana ada selera makan minum segala? Haha ......"

   Sementara itu Siang Cin sedang membubuhi bumbu pada bebek panggang, timbrungnya tertawa.

   "Lo Pau, memangnya mulutmu itu tidak bisa bicara hal2 yang 37 baik?"

   Pau Seh hoa mulai sibuk menyobek daging bebek panggang yang besar dan dijejal ke dalam mulut, sambil ber-kecap2 dan mengunyah tak hentinya dia memuji betapa lezat bebek panggang itu.

   Di kala dia melalap bebek panggang itulah, pintu kamar di sebelah kanan terbuka, anak perempuan jelita tadi tampak keluar dengan malu2, tanpa terasa iapun mengernyitkan hidung, memandang SiangCin, lalu berpaling ke arah bebek panggang yang sedang dilalap Pau Seh-hoa, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan apa2, tapi urung.

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan menjilat minyak di bibirnya, Pau Seh-hoa bertanya.

   "Eh, ada keperluan apa anak manis?"

   Sesaat lamanya anak perempuan itu bimbang, lalu berkata dengan malu2.

   "Ayah ....ayahku, beliau kurang enak badan, kupikir, kupikir bolehkah kumohon sedikit kuah panas, supaya sesak napas ayah lekas berkurang."

   Siang Cin meraih poci dan diangsurkan, katanya tertawa.

   "Ambillah, ini air teh yang baru diseduh."

   Dengan malu2 anak perempuan itu menerimanya, sekilas ia mengerling ke arah Siang Cin, kerlingan yang mengandung makna mendalam, kerlingan yang aneh, tiada perasaan lembut, tapi lebih cenderung pada perasaan kesal, tak nampak sikapnya yang lembut dan malu2 tadi.

   Siang Cin tak pernah lepas perhatiannya atas gerak- gerik si nona, sekilas dilihatnya orang melenggong, dikala dia menoleh dan memperhatikan, orang lantas menunduk sambil menyatakan terima kasih terus mengundurkan diri..

   Mendadak Pau Seh hoa panggil anak perempuan itu, tanyanya.

   "He, anak manis, siapa namamu?"

   Anak perempuan tampak itu melengak, dia menunduk, sahutnya lirih.

   "Aku Kiang Ling ...."

   Sambil mengunyah daging bebek, Pau She-hoa mengangguk seraya berceloteh.

   "Em, bagus, namamu memang enak didengar ...."

   Suara batuk di kamar sebelah terdengar semakin keras dan men-jadi2, lekas anak perempuan itu mengundurkan diri setelah mengangguk kepada orang banyak. Mengawasi punggung orang An Lip berkata lirih.

   "Anak perempuan ini sungguh berbakti terhadap ayahnya, lemah lembut lagi ......"

   Pau Seh-hoa menyeringai dan menyambung " ..... dan wajahnya ayu, dada montok dan menggiurkan."

   Siang Cin menaruh seekor bebek yang habis dipanggangnya di atas baki, lalu menyunduk pula dua ekor, dia sibuk sendiri tanpa memberi komentar apa2. Kembali Pau Seh boa merenggut paha bebek di tangan kanannya, katanya dengan mulut kecap2.

   "Kongcuya, kenapa tidak kau utarakan pendapatmu? Kau toh cukup ahli dalam menilai perempuan."

   Siang Cin tertawa tawar, katanya.

   "Aku sedang me-nimang2, apakah kiranya penilaianku cukup setimpal atau tidak terhadap manusia atau sesuatu yang ada di depan mata."

   Seperti terketuk hati Pan Seh-hoa oleh kata2 ini, sekilas dia melenggong, akhirnya dia menunduk tanpa bercuit lagi.

   Maka keadaan sesaat menjadi sunyi, semua berdiam diri, hanya suara minyak panggang bebek yang terbakar yang gemericik, lekas sekali bau sedap bebek panggang yang sudah masak merangsang hidung, kelima ekor bebek itu sudah selesar dipanggang, warnanya coklat ke-kuning2an dan berminyak, sungguh menimbulkan selera yang tak terhingga.

   An Lip dan Pau Seh-hoa mendapat jatah satu ekor, Siang Cin antarkan seekor ke kamar sebelah kanan, dengan prihatin dia mengetuk pintu, tak lama kemudian daun pintu pelan2 terbuka, anak perempuan yang bernama Kiang Ling itu menongol keluar, sikapnya kelihatan ragu dan takut2 penuh tanda tanya.

   Siang Cin tertawa ewa, katanya.

   "Bebek panggang yang seekor ini kami berikan kepada nona untuk dimakan bersama ayahmu." 38 Kiang Ling melengak, agaknya dia tidak mengira akan pemberian ini, dengan malu2 lekas dia menunduk, katanya.

   "Ini . ...mana boleh kami terima? Bikin repot Congsu saja ...."

   Siang Cin angsurkan baki ditangannya, tanpa berkedip dia berkata.

   "Sesama hidup dirantau harus saling membantu, nona tidak usah sungkan." - Habis berkata dia putar tubuh menyurut mundur, mendadak Kiang Ling memanggilnya dengan suara lirih, terpaksa Siang Cin berhenti, tanyanya.

   "nona masih ada pesan apa?"

   "O,"

   Sengaja Kiang Ling menarik panjang suaranya, dia unjuk senyum manis, katanya.

   "Siang hiapsu . ...

   "

   Siang Cin menggoyang tangan, katanya;

   "Tidak berani, Cayhe, adalah orang liar, kaum Kangouw yang hidup bergelandangan."

   Dia membalik dan kembali ke tempat duduknya.

   Sementara itu Pau Seh-hoa sudah hampir habis sikat seekor bebek.

   Tanpa terasa sang surya sudah mulai doyong ke barat, hari sudah dekat maghrib.

   - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - -- - - - - - -- Siapakah si orang tua Kiang Kiau-hong dan anak perempuannya yang bersembunyi di tempat Siang Cin ini? Cara bagaimana Siang Cin akan bantu rebut kembali pacar An Lip? - Bacalah

   Jilid ke-3 -

   Jilid 03 Pelan2 Siang Cin menggeliat melemaskan otot, setelah mengisi sekedar perutnya, Siang Cin masuk kamar berganti seperangkat pakaian ketat dengan jubah kuning di bagian luarnya. An Lip menatapnya, katanya dengan lirih.

   "Inkong, sekarang juga mau berangkat?"

   Siang Cin mengangguk, katanya. Ya, apakah markas pusat Siang-gi-pang berada di atas Ji-long-san?"

   "Betul, Ji long san kelihatan tidak angker, tapi keadaan di sana amat berbahaya, penjagaan pihak Siang-gi-pang juga sangat ketat, markas pusatnya berada di sebuah rumah yang digali di dalam sebuah batu gunung raksasa."

   Pau Seh-hoa menyemburkan sekerat tulang dari mulutnya, katanya.

   "Kongcuya, jangan kau terlampau pongah akan kemampuanmu.. jika kau betul2 ingin menolong perempuan itu, baiklah, biar aku saja yang mewakili kau."

   Sang Cin tersenyum, katanya.

   "Terima kasih, Kun-cici kutinggalkan disini. mohon kau suka merawat dan menjaganya baik2, sebelum tengah malam nanti aku pasti pulang."

   An Lip kelihatan bimbang, katanya dengan kikuk dan tidak tenteram.

   "Inkong, luka..... lukamu belum lagi sembuh, aku ..... aku merasa......"

   "Tidak jadi soal"

   Ujar Siang Cin sambil mengulap tangan.

   "luka2 seringan ini masih kuat kutahan, tolong kau bantu menjaga rumah ini."

   "Lote,"

   Seru Pau Seh hoa sambil berdiri.

   "luka2 mu itu tidak boleh dibilang ringan, 39 nanti malam kau harus menempuh bahaya, bukan mustahil harus mengadu jiwa pula, jika terjadi apa2 di luar perhitungan lalu bagaimana? Biar aku ikut bersamamu."

   Mengawasi Pau Seh-hoa. Siang Cin berkata kalem.

   "Lo Pau, sungguh aku sangat berterima kasih akan kesediaanmu, tapi kita berdua tidak boleh pergi semua meninggalkan rumah ini, satu di antara kita harus jaga rumah dan melindungi Kuncici. Kau kenal akan watakku, sesuatu persoalan yang sudah dijanjikan untuk dibereskan oleh Pendekar Naga Kuning selamanya tidak pernah dijilat kembali, pula toh aku bukan orang, yang gampang kecundang."

   Pau Seh-hoa berkata dengan mendongkol.

   "Bukan aku ingin menambah beban padamu, kalau kau dalam keadaan sehat tentu aku tak peduli akan sepak terjangmu, tapi kondisi badanmu sekarang, betapapun aku tak tega melepasmu pergi begini saja."

   Siang Cin menggeleng, katanya tegas;

   "Pendek kata, Lo Pau, kau tidak boleh ikut, Kun-cici memerlukan perlindunganmu "

   Sambil membanting kaki Pau Seh hoa berteriak gusar;

   "Baiklah, aku tidak akan pergi biar aku menunggu gubuk kura2 ini." - Dengan gregetun dia duduk pula di kursinya. Pada saat itulah daun pintu kamar sebelah kanan kembali terbuka, Kiang Ling tampak beranjak keluar membawa baki poci teh, melihat Pau Seh-hoa yang bersungut2, dilihatnya pula sikap An Lip yang serba susah, sekilas dia tatap dengan hambar, lalu dia serahkan baki dan poci itu kepada Siang Cin dan berkata.

   "Terima kasih, Siang- hiapsu."

   Dengan tak acuh Siang Cin terima baki dan poci itu dan ditaruh di atas meja. dia hanya mengangguk pada Kiang Ling, lalu menjura ke arah Pau Seh hoa, katanya.

   "Lo Pau, aku akan berangkat, nanti malam kita berkumpul lagi." -- Lalu dia putar badan dan keluar. Tapi baru dia sampai di ambang pintu, tiba2 `Pau Seh-hoa memburu ke depannya, dengan lekat dia tatap muka orang, sesaat kemudian baru berkata dengan lirih.

   "Jangan marah padaku saudaraku."

   Siang Cin tertawa lebar, jawabnya.

   "Sudah tentu."

   "Perhatikan akan luka2mu sendiri,"

   Pesan Pau Seh hoa pula. Dengan pandangan tulus Siang Cin balas tatap mata orang. Habis itu mendadak ia berkelebat keluar. An Lip melenggong memandang keluar jendela, gumamnya.

   "Thian selalu melindungimu, Inkong ....."

   Kiang Ling juga tertegun, pandangannya terarah keluar pula, suasana seketika menjadi hening, sorot matanya se-olah2 ada sesuatu yang tak terkatakan, membawa perasaan hampa, risau dan masgul.

   Pau Seh-hoa menghela napas, dengan tawar dia lirik kearah Kiang Ling lalu berkata tak acuh.

   "Penyakit bapakmu sudah baikan tidak? Bocah ayu?"

   Merah muka Kian Ling, sahutnya malu2.

   "Sudah agak mendingan, cuma ayah memang sukar dilayani."

   Pau Seh-hoa berdehem sambil duduk, katanya.

   "Di daerah Loh, terutama Siau-angpa tempat tinggalmu itu, ada sebuah jembatan gantung dari rantai, apakah sampai sekarang masih terpasang membentang di atas sungai Gun-cui-ho?"

   Kiang Ling tertegun sebentar, tapi segera dia tertawa, katanya.

   "Ya, jembatan itu masih ada, cuma sudah jauh lebih rusak dari dulu, rantainya sudah karatan."

   Dinging saja Pau Seh-hoa menatap Kiang Ling, sorot matanya mengandung perasaan sinis, katanya pula.

   "Apakah ribuan sirip batu diseberang sungai itu juga tetap utuh?"

   Kiang Ling menjulurkan lidahnya yang kecil membasahi bibir, katanya pelan2.

   "Ada apa Congcu, kenapa mendadak engkau menanyakan semua ini?"

   Pau Seh-hoa tertawa, sikapnya tampak tenang, katanya kalem.

   "Bapakmu bilang kalian datang dari Siau-ang-pa. Em, orang she Pau ini dulu pernah melancong ke tempat itu, maka sambil lalu kutanya secara iseng, mungkin kau jarang perhatikan hal itu di Siau-ang-pa?" . 40 Berkedip Kiang Ling. kembali dia mengunjuk sikap malu2 seorang gadis remaja, katanya.

   "Bukannya tidak memper-hatikan, cuma pertanyaan Congsu terlalu janggal, aku dibesarkan di Siau-ang-pa, mana mungkin tidak tahu akan hal2 itu?"

   Pau Seh-hoa tertawa pula, katanya.

   "Bocah ayu, pergilah istirahat, kalau perlu apa2 boleh panggil kami saja, tidak usah sungkan."

   Sekilas mata Kiang Ling mengerling ke arah poci teh di atas meja sana, tanpa bersuara pelan2 dia kembali ke kamarnya, tinggal An Lip yang masih duduk melongo kebingungan, kelihatan curiga tapi tidak mengerti.

   Setelah Kiang Ling menutup pintu kamarnya lekas An Lip bersuara.

   "Pau-cianpwe, barusan ....."

   Lekas Pau Seh-hoa memberi tanda kedipan mata, katanya sambil ter gelak2.

   "Barusan sengaja kugoda genduk ayu itu, wajahnya cantik, perawakannya padat menggiurkan bukan?"

   An Lip segera tutup mulut, nalurinya merasakan adanya sesuatu yang tidak beres dalam tanya jawab tadi, cuma dia tidak berani utarakan, dilihatnya Pau Seh-boa menuding ke arah pintu kamar kanan dan memberi tanda kedipan mata, maksudnya supaya dia bantu mengawasi.

   Suasana kembali menjadi tenang sunyi, dengan perasaan sedikit tegang, tanpa berkedip An Lip memperhatikan pintu kamar kanan, sementara Pau Seh-hoa duduk memejamkan mata, tidur2 ayam, tapi jelas kelihatan bulu matanya masih ber-gerak2.

   "Apakah bakal terjadi sesuatu peristiwa besar? Paling tidak saat ini masih sulit untuk merabanya, tapi suasana yang hening terasa mencekam. Pe-lahan2 di dalam rumah mulai guram, haripun sudah petang, maklumlah musim rontok, malam hari biasa datang lebih cepat, terasa sekali perbedaan ini di atas gunung yang tinggi ini. Tanpa bersuara, pintu kamar kanan mulai bergerak, pelan2 kepala Kiang Ling menongol ke luar pintu, di tangannya tampak memegang baki tempat bebek panggang tadi, masih ada sisa setengah ekor malah. Segera An Lip menelan air liur, dengan suara serak dia berkata.

   "O, nona, ada apa?"

   Kiang Ling terjingkat, katanya sambil mendekap dada.

   "O, kukira Congau berdua sudah tidur, di luar begini sunyi ....apakah aku yang membangunkah kalian ..An Lip berdiri, katanya.

   "Tidak apa, serahkan saja baki itu padaku."

   Kiang Ling mengerling ke arah Pau Seh-hoa, katanya lirih.

   "Apakah Congsu itu sudah pulas?"

   Sambil menerima baki An Lip menjawab dengan suara tertahan.

   "Ya, sehari ini Paucian pwe bekerja berat, terlalu letih, baru saja tidur ...."

   Mengawasi kain balutan di badan An Lip, Kiang Ling bertanya.

   "Congsu sendiri terluka?"

   An Lip menyengir, katanya.

   "Ah, hanya luka2 ringap saja, tidak apa2"

   Bola matanya menjelajah keadaan ruang tamu ini, agaknya Kiang Ling, sengaja mencari kesempatan untuk berdiam lebih lama di sini, dasar An Lip orangnya lugu, tidak bicara kalau tidak diajak omong, maka keduanya tetap berdiri diam tanpa bersuara, suasana menjadi serba kikuk.

   Tiba2 Pau Seh-hoa menggeliat, matanyapun terbuka, katanya.

   "Ada apa bocah ayu?"

   Dengan sikap was2 Kiang Ling bersenyum kearah Pau Seh-hoa.

   "Tidak apa2, aku mengembalikan baki."

   Baru saja Pau Seh-hoa mau buka suara, mendadak dilihatnya tubuh Kiang Ling sempoyongan ke depan, lekas Pau Seh-hoa ulur tangan hendak memapahnya, tapi mendadak dia tarik kembali tangannya, sementara kedua tangan Kiang Ling terpentang ke depan seperti hendak menangkap sesuatu untuk menahan diri, syukurlah hanya beberapa langkah dia sudah dapat menguasai diri.

   Perasaan curiga Pau Seh -hoa terlebur dalam tawanya yang lebar dengan mengunjuk giginya yang kuning, katanya.

   "Kenapa kau bocah, ayu?" 41 Tangan Kiang Ling menyeka keringat di jidatnya, sabutnya lemah.

   "Kepalaku mendadak pusing ..mungkin beberapa .hari ini terlalu kerja berat, kurang, tidur lagi ....pandanganku terasa berkunang2."

   Seperti tertawa tidak tertawa Pau Seh-hoa mencibir, katanya.

   "Kalau begitu lekaslah tidur, jangan kian kemari, kalau bapak-anak sama2 ambruk kan berabe."

   Seperti memperoleh firasat apa2 dari perkataan Pau Seh-hoa, muka Kiang ling tampak tegang sebentar lalu mengeridor pula dengan langkah lemas pelan? dia mengundurkan diri, agaknya badannya memang kurang sehat.

   Mendadak Pau Seh-hoa mengendus2 seperti anjing pelacak, keningnya berkerut, lalu geleng2 kepa)a.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
pandangannya penuh tanda tanya merijelajah sekelilingnya, akhirnya mulutpun menggumam.

   "Memangnya ada apa sih, kelihatannya tidak beres, hatiku terasa tidak tenteram.......

   "

   Ji-long-san, kira2 lima puluhan li jauhnya dari tempat tinggal Siang Cin, luka2 Siang Cin sudah dibalut rapi dan takkan mengganggu gerak-geriknya yang cekatan bagai terbang.

   Dua gugusan gunung yang berbentuk aneh dengan batu2 runcing berbagai bentuk tampak di depan mata, di tengah kedua gugus gunung itu membujur satu jalur gundukan tanah yang tidak begitu tinggi se olah2 sebatang pikulan yang memikul kedua gugus gunung.

   Siang Cin mengatur pernapasan sambil duduk di atas batu, lukanya kembali terasa sakit, sebetulnya dia tahu dengan kondisinya sekarang, dia perlu istirahat dan tak boleh menguras tenaga, tapi iapun tahu kalau tidak lekas bertindak mungkin urusan bisa terlambat, dia sadar membantu orang harus cepat hingga beres.

   Markas pusat Siang-gi-pang sudah berada di depan mata, lebih baik kalau tidak terjadi pertumpahan darah.

   Berpikir demikian serta merta hidungnya mengendus bau anyirnya darah, napas serasa sesak dan mual.

   Laksana seekor kucing di tempat gelap dia bergerak tanpa mengeluarkan suara.

   Sebuah jalan beralas batu hijau ber-liku2 menuju ke atas gunung, kecuali orang tolol, kerapun akan tahu bahwa jalan beralas batu hijau ini tidak boleh sembarang dilalui.

   Tenang2 Siang Cin, periksa keadaan sekitarnya, dengan hati2 dan penuh perhitungan ia terus menggeremet ke atas gunung, lekas sekali dia sudah selamat melewati enam pos penjagaan.

   Dengan hati2 dia melompati seutas tali benang sutera, pada tali ini terikat beberapa kelintingan tembaga, ujung tali terikat pada setumpukan batu besar yang akan menggelundung jatuh dan menindih orang2 yang coba menyelundup ke atas, lebih hebat lagi di atas terpasang pula karung2 kapur yang akan ditembakkan melalui pegas batang pohon yang diatur sedemikian rupa.

   Di sebelah depan yang tinggi, pagar pasanggerahan yang terbikin dari barisan batang2 pohon telah kelihatan.

   Enam belas laki2 kekar berseragam abu2 berjaga di depan pintu gerbang, ada tiang yang terpasang sebuah panji yang berwarna kelabu tersulam huruf 'GI"

   Yang besar, panji besar itu ber-kibar2 tertiup angin, di atas pagar sana kelihatan bayangan orang mondar-mandir, sinar golok kemilau di tengah kegelapan, penjagaan di sini ternyata sangat keras dan ketat.

   Siang Cin terus menggremet maju ke sana, akhirnya tiba di bawah pagar kayu yang cukup gelap dan tidak tersinari oleh lampu yang terkerek tinggi di payon dengan mendekam Siang Cin pegang kaki pagar, sedikit kerahkan tenaga pelahan2 pagar kayu sebesar paha itu yang terikat dengan kawat telah berhasil dibongkarnya, tali kawat itu dengan mudah dipuntirnya putus pula tanpa mengeluarkan suara, cuma pagar kayu yang terbongkar dan berlubang itu sedikit miring.

   Selicin belut Siang Cin menerobos ke dalam dilihatnya puluhan bangunan rumah besar kecil, ada yang berloteng tapi semuanya terbangun dari papan kayu pilihan yang kukuh dengan pondasi batu, di kejauhan sana ada gundukan bukit kecil, di atas tanah bukit inilah bertengger sebuah bangunan gedung yang mentereng dan angker, gedung ini berkapur putih bersih.

   Siang Cin terus menyelinap ke depan tanpa di ketahui, akhirnya dari depan 42 dilihatnya seorang laki2 kekar sedang mendatang dengan langkah gopoh, lekas Siang Cin sembunyi di tempat gelap, dikala laki2 itu lewat di sampingnya, secepat kilat dia tutuk Hiat to pinggang orang.

   Tanpa mengeluarkan suara, laki2 itu diseret Siang Cin ke pojok tembok, sorot mata orang kelihatan kaget, ketakutan tercampur heran pula.

   Pelahan Siang Cin menepuk punggungnya, lalu berkata dengan suara lirih kereng.

   "Kalau kau masih ingin hidup, jangan berteriak, kalau tidak, besok pagi kau tak bisa melihat matahari lagi"

   Laki2 itu membuka mulut tapi tiada suara yang keluar, akhirnya dia manggut2. Siang Cin berkata dingin.

   "Calon isteri An Lip di mana?"

   "Calon isteri... isteri siapa?"

   Tanya laki2 itu dengan bingung.

   "An Lip,"

   Ulang Siang Cin.

   "An Lip yang berewok itu."

   "O, ya,"

   Ajar laki2 itu.

   "dia ..... memberontak ..... gendaknya itu kini disekap di penjara bawah tanah ..... letaknya di rumah batu tak jauh di sana itu."

   Siang Cin memandang ke tempat yang ditunjuk, memang di sana ada sebuah rumah batu, kelihatannya seram dan menyendiri di sebuah tanah lapang yang kosong. Setelah menelan air liur, laki2 itu berkata pula.

   "Kentongan kedua malam ini, gendak An Lip itu akan menjalani hukuman, mungkin akan dibakar hidup2."

   Dengan heran Siang Cin tatap laki2 ini, dia tidak tanya soal ini, mengapa dia malah bercerita? Agaknya laki2 itu maklum akan sorot mata Siang Cin yang mengandung pertanyaan, maka dia menambahkan.

   "Terus terang Hohan, perkara An Lip telah menjadi rahasia umum bagi seluruh anggota Sianggi-pang kami, siapa benar siapa salah, dalam hati masing2 sama tahu, apalagi sejak kecil aku sangat intim dengan An Lip, aku tahu bahwa Hohan ke mari hendak menolong calon isteri An Lip, perempuan itu memang bukan orang bejat."

   "Kalau demikian, aku tidak akan menyakiti kau,"

   Ucap Siang Cin tertawa.

   "Cuma untuk sementara biarlah engkau ngendon saja di sini." --- Lalu dia tutuk Hiat-to orang, tanpa bersuara laki2 itu jatuh pingsan. Dengan beberapa kali lompatan Siang Cin melayang ke samping kiri rumah batu itu, karena rumah batu ini dibangun di tengah lapangan, maka tiada tempat untuk sembunyi, empat laki2 memeluk golok tampak berdiri tegak di depan rumah, sementara puluhan orang lagi yang juga bersenjata lengkap mondar-mandir di halaman, maka bukan soal mudah untuk mendekati rumah batu, apalagi lagi lapangan kosong itu ada puluhan tombak. Baru saja Siang Cin hendak berdiri, tiba2 kepalanya terasa pusing, pandangan menjadi gelap, cepat dia geleng2 kepala serta memijat jidat, mengapa dalam keadaan segenting ini dia pusing kepala? Memangnya terlalu letih dan terlalu banyak keluar darah karena luka2nya pagi tadi? Sejenak dia berdiam serta menenangkan perasaan, akhirnya dia melangkah keluar dari tempat gelap, dengan langkah berlenggang dia menuju ke rumah batu itu, baru saja beberapa langkah, dua kali suara tepukan tangan sudah berkumandang dari depan disusul suara orang menghardik.

   "Siapa?"

   Segera Siang Cin balas bertepuk tiga kali seraya, menyahut dengan suara tertahan.

   "Aku!"

   Agaknya pihak sana melenggong, sementara itu Siang Cin telah berkelebat maju, katanya.

   "Kalian tentu lelah, saudara2, segera Pangcu akan tiba."

   Bayangan seorang tampak memapak ke arahnya, katanya penuh rasa curiga.

   "Saudara dari mana? Kenapa jawaban sandimu tadi tidak cocok?"

   Dalam pada itu Siang Cin lantas melangkah maju semakin dekat, dengan tenang dia menjawab.

   "Baru saja sandi dirubah, kenapa tidak cocok? Pangcu suruh kutanya apakah peralatan hukuman sudah disiapkan?"

   Masih dalam jarak dua tombak, orang itu masih curiga, katanya.

   "Berganti sandi? Kenapa aku tidak diberitahu?"

   Siang Cin terkekeh pelahan, tahu2 dia sudah berada di samping orang, tak kelihatan cara bagaimana dia turun tangan, tahu2 laki2 itu sudah roboh menggeletak, bagai angin puyuh dia bergerak, dua laki2 yang berada di kanan-kirinyapun sekaligus 43 dibikin tak berkutik, hakikatnya mereka tidak melihat jelas siapa pendatang yang turun tangan ini! Baru saja keempat laki2 yang jaga di depan rumah merasakan gelagat jelek, belum sempat mereka bersuara, tahu2 bayangan orang berkelebat, seperti orang mabuk saja mereka sama jatuh saling tindih.

   

Kisah Si Rase Terbang -- Chin Yung Rahasia Si Badju Perak -- G. K. H Duel Di Butong -- Khu Lung

Cari Blog Ini