Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 6


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 6




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
"Awas!"

   Lima buah godam melesat dengan suara mendesing ke belakang punggung musuh, 71 sementara Kiau hong cepat2 menyurut mundur, berhasil rantai Siang Cin menyampuk pergi toya orang, mendadak Siang Cin meloncat balik menubruk ke depan Sek Kui, padahal ada niat Sek Kui melontarkan pukulan, tapi jarak kedua pihak sudah tidak memungkinkan lagi.

   Maka mendadak dia merendahkan tubuh, kedua telapak tangan menggentak ke atas sekuatnya, tapi dengan sedikit mengincar, sebat sekali Siang Cin layangkan telapak tangannya menggempur.

   "Plak", meski Sek Kui berusaha menjengkang ke belakang, tak urung dia kena gampar sampai ter huyung2. Sambil tertawa dingin rantai bekerja pula, Siang Cin sempat mengejek.

   "Orang she Sek, ini baru yang pertama."

   Di hadapan umum Sek Kui mengalami tamparan, sebagai Wancu pertama dari Ceng-siong-san-ceng betapa tinggi dan berwibawa kedudukannya, kini di hina mentah2, keruan tidak kepalang murkanya, sambil menyeka darah di ujung muluti kembali dia menerjang maju membabi buta.

   Melihat gelagat jelek, Ha It-can segera membentak.

   "Sek-wancu jangan semberono."

   Ditengah bentakannya kedua tangan Ceng-siong-san-ceng Cengcu inipun memberi tanda, maka di bawah pimpinan seorang laki2 pertengahan umur berdandan sastrawan dengan tahi lalat hitam besar di atas bibir kirinya, dua puluhan jago2 kosen Ceng-siong-san-ceng serentak menyerbu maju seraya ber-kaok2.

   Baru saja anak buahnya bergerak, di tengah gelak tertawanya Ha It-can telah merogoh keluar senjata kenamaannya, yaitu Siang-hoan-liong-bun-to (golok bergelang berukir naga), iapun terjun ke arena.

   Dengan sikap dingin Siang Cin mendengus menyambut kedatangan musuh utama ini, rantai menari lebih gencar, mendadak dia menubruk langsung ke arah "rajawah mega"

   Ha It cun. Ha It-can ter-gelak2, goloknya bergerak, dengan berani dia memapak ke depan sambil mengejek.

   "Anak muda, memangnya kau cari mampus!"

   Tampak Siang Cin bergerak ke kiri-kanan di bawah sambaran sinar golok yang kemilau, beruntun dia hindarkan beberapa jurus bacokan lawan, sekah dia sempat melancarkan Kui-so-hun (setan menagih sukma), rantai ditangannya berbunyi nyaring setiap mata rantainya sama gemeratak, lepas seluruhnya, sebelas biji sama melesat berpencar, di tengah keluh dan rintihan kejut orang banyak, Sek Kui, Kiauhong dan Yu Hoat bertiga masih sempat menghindar, lima orang dari tujuh penggodam yang masih ketinggalan hidup serta jago2 yang baru terjun ke tengah gelanggang sama roboh saling tindih, sembilan jiwa sekaligus melayang bersama.

   Saking murka sampai pucat muka Ha It cun, sambil ber teriak2 kalap goloknya membacok serabutan, Siang Cin menjengek, laksana anak panah tiba2 ia melambung ke udara dan berjumpalitan dua kali lalu meluncur turun jauh ke belakahg sana, sekati kaki menutul pula, bayangannya berkelebat terus menghilang tanpa bekas.

   Sambil meraba pipinya yang melepuh Sek Kui berteriak geram.

   "Kejar!"

   Laki2 berdandan sastrawan bersama Yu Hoat dan lain segera mengudak ke sana. tapi Ha It-can sendiri justeru menghentikan langkah, sorot matanya menatap Liongbun- to, katanya dengan menghela napas.

   "Tak perlu kejar, tak mungkin bisa menyusulnya."

   Kongsun Kiau-hong tertunduk sedih, katanya rawan.

   "Toako, Siaute yang menimbulkan kesulitanmu ini.....

   "

   Ha It-can menggeleng, katanya.

   "Kenapa Hiante bilang demikian, adalah pantas kalau kita saling bantu sekuat tenaga. Kalau tidak, apa artinya kita bersumpah setia sebagai saudara?"

   Diam sejenak, akhirnya Kongsun Kiau-hong berkata pula dengan muram.

   "Bagaimana juga karena urusan Siaute sehingga Ceng-siong san ceng jatuh korban begini banyak, betapapun membuat Siaute tidak tenteram .... ."

   Guram air muka Ha It-cun, katanya.

   "Jangan dipersoalkan lagi, cukup sampai di sini, kita harus berdaya membunuh keparat itu, apa gunanya saling menyesali? Yang 72 mati toh takkan bisa hidup kembali ......."

   Dari belakang tampak Sek Kui mendatangi dengan langkah lemas, sementara hadirin yang segar bugar sibuk menolong kawan2nya yang terluka dan mati, di bawah penerangan obor, keadaan masih ribut dalam suasana duka dan dendam.

   Tiba di depan kedua orang, Sek Kui berkata dengan lesu.

   "Cengcu, tujuh godam kepercayaanmu tiada satupun yang ketinggalan hidup."

   Ha It can menyeringai, katanya.

   "Biarlah, tiada peperangan yang tiada korban, seorang jendralpun akhirnya harus ajal di medan laga, beginilah insan persilatan yang berkecimpung dalam percaturan Kangouw, mati atau hidup beginilah jadinya."

   Ia mendongak memeriksa cuaca, malam masih gelap, sudah hampir kentongan keempat, saat2 paling gelap sebelum fajar menyingsing. Sek Kui menghela napas katanya.

   "So-keh-heng-te, Li Thi, Ang Kau Ma Ki, demikian pula Siang jiong Hoa Seng, It tiau pian Coh Yong, Sian Cu-hok semuanya gugur, masih ada pula tujuh delapan puluh korban lainnya ......."

   "Suruh mereka bersihkan tempat ini, penjagaan diperketat, semua harus lebih waspada, begitu ada berita harus cepat kumpul, daerah penting harus di jaga lebih keras,"

   Demikian pesan Ha It can dengan lesu.

   ********** Page 55 s/d 58 Hilang ********** mendekat ke tempat ini.

   Sekilas pasang kuping Siang Cin lantas tahu ada tiga orang yang kemari, malah semuanya adalah perempuan..

   Langkah ketiga orang berhenti di ujung sana, maka didengarnya suara merdu berkata.

   "Coba lihat, kamar ini memang harus segera di bersihkan, tua bangka itu selalu melalaikan tugas dan mencari alasan belaka, beberapa hari lagi Toa-siauya dan gurunya akan segera pulang, tempat sekotor ini mana boleh ditinggali."

   Sebuah suara lagi berkata lembut.

   "Bong-cu, beberapa hari ini hati kita kebat kebit, suana selalu tegang. Hanya aku saja yang selalu riang dan ingin membersihkan kamar, lekaslah kau bersihkan kamar ini sekedarnya saja."

   Suara merdu tadi cekikikan, katanya.

   "Ah, tidak, Loya sudah berpesan surub aku membersihkan betul2, kalau kepalang tanggung aku bisa dihukum. Sian ho, pergilah kau ambil kain dan ember, akan kusapu dulu kamar ini, lalu kamar2 yang lain ..... Seorang mengiakan terus berlari pergi. Suara lembut tadi berkata pula.

   "Nah kerjakan tugasmu, aku akan periksa kamar sebelah, sudah lama aku tidak kemari ..... ."

   Langkahnya beranjak ke sini, tak lama kemudian seorang gadis semampai tampak muncul.

   Tak heran suara gadis ini seperti sudah dikenalnya, waktu Siang Cin mengintip, yang datang ini ternyata adik Sek Kui yang mengaku bernama Sek Pin.

   Sungguh kebetulan.

   Tanpa hiraukan keadaan sekelilingnya yang kotor Sek Pui duduk di sebuah kursi berlapis kulit rase yang berdebu, bersandar sambil memejamkan mata seperti melepaskan lelah, kejap lain, daun pintu terdorong buka pelan2 dan mengeluarkan suara berkeriut.

   Semula Sek Pin memicing mata memandang ke arah pintu, yang terbuka, tapi seperti disengat lebah dia berjingkat dengan muka tegang dan mata terbeliak mengawasi wajah Siang Cin yang melempuh berhias jalur2 luka, sampai sekian lama dia berdiri melenggong.

   Dengan tersenyum Siang Cin berkata.

   "Selamat bertemu, nona Sek."

   Bergegas Sek Pin melangkah ke sana serta merapatkan pintu, dengan gopoh dia membalik dan berkata dengan suara tertahan.

   "Hai, kau, kenapa kau masih belum lari?"

   "Lari?"

   Jawab Siang Cin heran "Kenapa lari?"

   Sek Pin berkata dengan lirih.

   "Mereka sedang mencarimu ke mana2, setiap tempat setiap pelosok ada orang mencarimu, nyalimu sungguh besar, berani sembunyi di sini, awas ...

   "

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Kita kan musuh, akan hidup atau mati dibunuh mereka 73 kan tiada sangkut pautnya dengan kau, buat apa kau berkuatir malah."

   Sek Pin melengak, sekian saat dia berdiri menjublek, memang mereka adalah musuh, mati hidup lawan kenapa harus di perhatikan? Tapi apa betul tiada sangkut paut? Kenapa pula dirinya merasa kuatir? Seharusnya dia berteriak memanggil orang, tapi kenapa tidak dia lakukan? ....Ya Tuhan, sungguh memalukan ...."

   Mendadak merah mukanya, dia menunduk sambil meluruskan kedua tangan. Siang Cin mengawasinya dengan pandangan geli, katanya lirih.

   "Nona Sek, pertama2 kumohon bantuanmu, carikan makanan untukku, sudah empat hari sebutir nasipun belum kumakan."

   Sek Pin terperanjat, tanpa terasa hatinya pedih, katanya.

   "He, hampir empat hari kau tidak makan? Ya Allah, bagaimana kau kuat bertahan? Umpama kau ingin menyiksa diri juga tidak boleh ...."

   Siang Cin geleng2 kepala dengan senyum getir, katanya "aku kan bukan orang gila, masa menyiksa diri sendiri? Beginilah pelayanan engkohmu sejak aku berada di Liong-ong-lau."

   "Engkohku tidak memberi makan padamu?"

   Tanya Sek Pin dengan terbeliak.

   "Tidak mungkin!"

   "Sudahlah,"

   Ucap Siang Cin.

   "tak usah berbinceang soal ini, tolong nona carikan makanan dan minuman saja."

   Sek Pin tertawa, katanya.

   "Kau tidak takut akan kulaporkan dirimu?"

   Siang Cin jatuhkan diri di atas kursi, katanya malas.

   "Terserah, mereka tak mungkin menangkapku, peristiwa semalam tentunya juga sudah kau saksikan."

   Berubah rona muka Sek Pin, katanya merinding.

   "Kau begitu kejam, dari tempatku kudengar jeritan dan lolong kesakitan para korbanmu, sungguh menggiriskan dan mendirikan bulu roma, darah dan senjata bercecer di tanah, sampai terang tanah baru selesai dibereskan, taman di belakang perkampungan bertambah gundukan tanab, korban yang jatuh sebanyak itu, siapapun takkan percaya bahwa semua itu buah karyamu seorang .......

   "

   Dengan lesu Siang Cin mengembus napas, katanya.

   "Semula tiada keinginanku berbuat begitu, mereka yang memaksaku."

   Hening sebentar, akhirnya Sek Pin berkata.

   "Tunggulah sebentar, akan kucarikan makanan untukmu, tampaknya kau sangat letih ......"

   "Terima kasih,"

   Kata Siang Cin. Sebelum keluar Sek Pin menoleh dan berkata lirih .

   "O, ya, kamar2 di sini akan dibersihkan, sebentar mereka akan kemari, lebih baik kau mencari tempat lain, tempat yang agak tersembunyi ... ..

   "

   Siang Cin menuding ke atas, katanya.

   "Di atas loteng bagaimana?"

   Sek Pin melirik ke atas, katanya.

   "Tunggu sebentar, aku akan segera kembali."

   "-- Dengan hati2 dia lantas keluar serta merapatkan pintu pula. Siang Cin berdiri, tapi dia tidak segera naik ke atas loteng sekilas dia periksa keadaan kamar ini, tiba2 dia meloncat ke atas belandar yang lebarnya setengah kaki, cukup untuk mendekam di sana. Selama delapan, tahun berkecimpung di Kangouw boleh dikatakan Siang Cin sudah kenyang akan asam garam kehidupan insan persilatan, bahaya macam apa yang tak pernah dialaminya? Hubungan antar manusia, pergaulan antara sesamanya, meski lahirnya dia hadapi sewajarnya, tapi diam2 ia cukup waspada, ia tahu apa artinya perasaan dan simpatik ini tahu dalam keadaan bagaimana rasa simpatik itu akan berkembang, semua ini membuatnya lebih hati2 dan waspada, dia tidak ingin terjatuh pula ke tangan musuh dan meronta di ambang neraka. Baru semalam dia kenal Sek Pin, malah orang adalah adik musuhnya, bila dalam keadaan seperti ini Sek Pin tidak melapor engkohnya, kalau mau ditanya apa sebabnya, kemungkinan inilah rasa simpatik dan pemujaan pada seorang pahlawan atau mungkin pula limpahan rasa budi kasih terhadap sesamanya, atau mungkin pula karena adanya kontak perasaan antara laki2 dan perempuan yang sukar untuk dijelaskan? 74 Siang Cin menunggu dengan sabar, padahal lapar dan haus hampir membuatnya gila, selamanya tak pernah disadarinya bahwa betapa besar paedahnya makan dan minum bagi manusia. - - - -- - - - - - -- - - - - -- - - - -- - - -- - - -- - - -- Apapula yang ditunggu Siang Cin di sarang musuh? Siapakah dan tokoh macam apakah guru Kiang Ling? Siapa pula "budak"

   Yang dimaksud Ha it-cun yang perlu dilindungi itu? - Bacalah

   Jilid ke 5 -

   Jilid 05 Entah apa yang tengah dilakukan oleh Sek Pin sekarang? Memangnya dengon alasan apa pula dia akan kemari membawa makanan? Urusan yang sepele dan mudah dilakukan pada hari2 biasa, rasanya teramat sulit dilakukan sekarang.

   Kira2 setengah jam kemudian, daun pintu berkeriut terbuka, Sek Pin melangkah masuk membawa keranjang yang penuh bunga seruni, wajahnya tampak tenang, dengan hati2 dia melangkah masuk sambil menoleh sekejap ke belakang.

   Sejenak Siang Cin nenunggu, tiba2 ia melompat turun dan berdiri di depan Sek Pin sambil berseri tawa.

   Sek Pin berjingkrak kaget dan menyurut mundur, baru saja mulutnya terbuka hampir menjerit, lekas Siang Cin mendesis, katanya.

   "Kenapa lama sekali?"

   Sek Pin berkata dengan muka pucat.

   "Ah, kau sering menakutkan orang cara begini?" 75 Siang Cin mengedip, ucapnya.

   "Tidak, kukuatir ada orang menguntitmu."

   Sek-Pin mendengus dongkol, katanya setelah angsurkan keranjang.

   "Jangan kira hanya kau yang pintar..... dengan baik hati kucarikan kau makan, kau malah membikin aku kaget setengah mati."

   Siang Cin terima dengan tertawa, katanya.

   "Maafkan aku kalau begitu. Uh, mungkin makanan kau taruh di bawah."

   "Sek Pin taruh keranjang di meja yang kotor dan lama tak terpakai, dengan hati2 ia keluarkan puluhan kuntum bunga, dilembari sehelai sapu tangan sutera, di bawahnya ada empat porsi makanan, setengah potong ayam panggang dan sepoci arak, tersedia pula handuk basah untuk cuci muka. Siang Cin menelan liur dan memuji.

   "Bagus, masakan lezat yang memenuhi seleraku, terima kasih nona Sek."

   Sek Pin mendengus, katanya sambil duduk di kursi tua di sebelah samping.

   "Lekas makan, tak usah memuji segala, apa gunanya berucap terima kasih melulu? Siapa tahu dalam benakmu sedang merancang muslihat apa pula ...."

   Dari buntalan Siang Cin keluarkan pula sepasang sumpit, dengan kalem dia mulai makan, seperti amat menarik hati Sek Pin mengawasinya dengan terlongong, katanya lirih.

   "Hai, poci itu bukan berisi arak, kuatir kerongkonganmu terlampau kering, maka kubawakan air teh saja ...."

   Sambil mengunyah daging ayam, Siang Cin berkata.

   "Syukurlah kau berpikir secermat ini, cuma kurang cangkir untuk minum."

   Melengak sebentar, akhirnya Sek Pin tertawa cekikik geli, katanya.

   "Ya, aku lupa, waktu ambil masakan ini hatiku terlampau tegang ....bolehlah kau minum langsung dari mulut poci saja"

   Sementara itu Siang Cin sedang menyobek sepotong daging bersaus, dengan sumpitnya dia jejalkan ke mulut, dia mengunyah dengan lambat, seperti sedang menikmati lezatnya. Sambi bertopang dagu Sek Pin mengawasi-nya, katanya.

   "Hai, kulihat kau dilahirkan dan dididik dari keluarga mampu, waktu makanpun begini kalem dan sopan, mirip gadis pingitan ....meski wajahmu sekarang kelihatan seram, namun tidak mirip manusia kejam yang suka mencabut nyawa orang, oleh karena itu menilai orang sekali2 lidak boleh diukur dari wajahnya ...."

   Setelah menghirup seteguk teh panas langsung dari mulut poci, Siang Cin berkata.

   "Berapa usiamu sekarang, nona Sek?"

   Merah muka Sek Pin, sahutnya malu.

   "Un..untuk apa kautanya soal ini?"

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siang Cin tertawa ulapnya.

   "Budak masih ingusan berani menilai orang lain, sungguh tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."

   "Cis, siapa budak yang masih ingusan? Tahun depan umurku selikur ...."

   Siang Cin menatapnya lekat2 dengan mulut tetap mengunyah sekerat daging ayam sambil mengangguk, lalu katanya pula dengan memicingkan mata.

   "Ehm, memang cantik,"

   Sudah tentu semakin merah selebar muka Sek Pin, dia menunduk, katanya lirih.

   "He, kenapa kau pandang orang begitu rupa...."

   Siang Cin mengangguk pula, ujarnya.

   "Perut sudah hampir gendut, matapun ingin menikmati kecantikan, inilah yang dinama-kan perut kenyang terpikat paras ayu."

   "Cis ...."

   Semprot Sek Pin, mendadak dia bertanya.

   "Hai, kau belum beritahu padaku, di mana tempat tinggalmu."

   Setelah menuang air teh ke mulutnya, baru Siang Cin menjawab.

   "Aku tinggal di Tiang-an."

   "Tiang-an?"

   Terbayang tabir kabut tipis di mata Siang Cin, katanya pula.

   "Itulah tempat yang indah permai, di sana ada bangunan kuno dari kerajaan masa silam, bangunan kota yang serba antik dan artistik. Wah, pokoknya hidup di Tiang-an tidak akan pernah merasa bosan ....

   "

   Sek Pin melenggong sekian lamanya, akhirnya dia menghela napas gegetun, 76 katanya.

   "Siang Cin, tentunya tidak sedikit buku yang pernah kau baca?"

   Sambil tertawa Siang Cin berkata.

   "Memangnya, kenapa kalau pernah banyak membaca? Bukankah seperti insan persilatan umumnya, aku tetap seorang laki2 kasar yang hidupnya bergelandangan."

   Dengan agak emosi sebetulnya Sek Pin sudah siap mengajukan suatu pertanyaan kepada Siang Cin, tapi urung, katanya kemudian.

   "Siang Cin, wajahmu matang biru penuh luka2 lagi, tidak enak dipandang mata, kenapa tidak dicuci dan dibersihkan? Kukira setelah di cuci mukamu akan jauh lebih elok."

   Menghentikan sumpit, berkata Siang Cin dengan tenang.

   "Apa paedahnya dipandang lebih elok? Watak sejati seorang kan tidak boleh dinilai dari wajahnya, seperti apa yang tadi kau katakan, manusia tidak boleh diukur dari wajahnya."

   Tertegun sambil menggigit bibit, lalu Sek Pin ubah haluan.

   "Tadi aku pura2 memetik bunga sambil mencurikan beberapa makanan ini di dapur. waktu aku kemari, kebetulan Beng-cu dipanggil oleh Cengcu supaya membantu kerja di luar, lalu aku masuk kemari memeriksa adakah tempat rusak yang perlu dipanggilkan tukang untuk diperbaiki ....."

   "

   "Siapa itu Beng-cu?"

   Tanya Siang Cin.

   "Salah seorang gundik Cengcu, isteri Ceng-cu sudah meninggal lima tahun yang lalu."

   "Siapakah yang akan tinggal di sini?"

   Tanya Siang Cin. Gelagapan sejenak, Sek Pin teringat akan ucapan engkohnya tadi pagi, maka dia meng-geleng, katanya.

   "Tidak boleh kukatakan."

   Siang Cin tertawa, ucapnya.

   "Aku tahu, orang yang diundang untuk menghadapiku, betul tidak"?"

   Kelihatan Sek Pin rada gugup dan berkata.

   "Jangan salahkan aku, aku tidak boleh mengkhianati engkohku, betapapun tak bisa kulakukan sesuatu yang merugikan dia..Siang Cin menarik sebuah kursi, katanya pelan2 sambil duduk .

   "Sudah tentu, aku kan, tidak memaksa keteranganmu."

   "Siang Cin,"

   Kata Sek Pin lebih lanjut setelah bimbang sebentar.

   "lekaslah kau pergi, jangan lama2 di sini, kehadiranmu di sini tidak akan menguntungkan dirimu, sekaligus merugikan perkampungan kami pula, kini mereka sudah mempersiapkan diri dengan sempurna, segalanya untuk menghadapi kau."

   Duduk ber-goyang2 di kusinya, Siang Cin berkata dengan tenang.

   "Engkohmu dan Kongsun Kiau-hong harus menerima ganjarannya dan pula saudara serta Ciciku terjatuh di tangan mereka, sampai sekarang jejaknya belum jelas bagiku ......"

   "Cici?"

   Sek Pin menegas dengan ragu.

   "kau punya Cici?" .

   "Sudah tentu, seperti kau mempunyai engkoh."

   "Tapi engkohku bilang, di antara perem-puan yang menjadi tawanannya hanya seorang perempuan she Kun, seorang lagi entah she apa, tapi jelas tiada yang she Siang .....

   "

   Berdebur jantung Siang Cin, katanya pelan.

   "Orang she Kun itulah Ciciku, Cici angkatku." -- Sekilas dia melirik Sek Pin serta menambahkan.

   "Tapi tiada bedanya seperti kakak kandung, selama ini dia begitu kasih sayang dan melindungiku, meladeni segala keperluanku, sejak beberapa tahun lalu kami sudah tinggal bersama."

   Tajam reaksi Sek Pin, dia sendiri tidak tahu kenapa badannya bisa bergetar, katanya pula.

   "Kalian, kalian hanya tinggal bersama seperti kakak beradik umumnya?"

   Mengusap mukanya yang bengap, berkata Siang Cin dengan tegas.

   "Asal kami saling mencintai, mengapa kami tidak bisa hidup berdampingan seperti kakak beradik kandung? Ciciku itu baik sekali, ya baik sekali .......

   "

   "Cinta?"

   Entah mengapa tegang perasaan Sek Pin.

   "Cinta macam apa itu?"

   Lama Siang Cin menatapnya, akhirnya dia bertanya.

   "Untuk apa kau tanyakan hal ini?"

   Tersentak Sek Pin dari lamunannya, terasa pipinya panas, katanya tergagap .

   "Oh, aku ....... aku hanya tanya secara iseng. Kupikir, ehm, kupikir, Cicimu tentu amat 77 baik terhadapmu ......"

   "Ya, terlampau baik,"

   Ujar Siang Cin "Bagaimana luka2nya? Apakah engkohmu pernah ceritakan padamu? Apakah sahabat karibku Pau Seh-hoa disiksa olehnya?"

   Sek Pin mengawasinya dengan ragu, katanya.

   "Entah, aku tidak tahu."

   Menggeliat Siang Cin dan tidak bersuara lagi. Tiba2 Sek Pin bersuara pula.

   "Siang Cin, dengan cara apa kau ingin menghadapi engkohku?"

   Mengawasi wajah molek itu, berkata Siang Cin.

   "Akan kurenggut jiwanya."

   Bergetar badan Sek Pin, terasa hawa dingin merembes dari belakang lehernya, dengan kaget dia tatap Siang Cin, katanya getir.

   "Kau ..... belum cukupkah korban yang telah kau bunuh?"

   "Inilah dendam, tiada orang yang bisa mengalirkan darah si Naga Kuning dengan percuma, dia harus membayar utang dengan darahnya sendiri, begitu pula dengan engkohmu, nona Sek."

   "Semalam sudah berapa banyak darah orang perkampungan ini telah kau alirkan ...."

   "Tapi bukan darah engkohmu ...."

   Merah mata Sek pin, bergegas dia berdiri sambil memalingkan muka, ia membereskan mangkuk piring ke dalam keranjang serta menumpuki pula dengan bunga, lalu katanya.

   "Siang Cin, jangan terlalu yakin akan kekuatanmu seorang, aku harap kau lekas pergi karena aku tidak tega melihat kau gugur di sini. Kau takkan mampu melukai engkohku, Ceng-siong san-ceng bukan sembarang tempat, jika kau berkukuh pada pendapatmu, nasibmu tentu akan mengenaskan ....."

   Siang Cin berdiri, wajahnya yang masih melepuh mengunjuk senyuman tawar, katanya sedikit membungkuk badan.

   "Terima kasih atas rangsummu ini nona Sek, kalau ada kesempatan Siang Cin pasti membalas budi kebaikanmu"

   Sek Pin membanting kaki, tak tertahan air matanya menetes, katanya terisak.

   "Siapa minta balas budimu? Aku tak ingin melihatmu lagi."

   Bergegas dia melangkah pergi, pintu itu dia sentakkan dengan keras, pertanda bahwa hatinya amat mendongkol.

   Suasana kembali sunyi, kini sudah lewat lohor, tak lama lagi tabir malampun akan tiba apakah malam ini dia harus mulai beraksi pula? Duduk bersandar di kursinya Siang Cin pejamkan mata dan memeras otak, dia maklum lukanya harus cepat diobati, kalau tidak bukan saja sukar disembuhkan, dikuatirkan pula akan menimbulkan penyakit sampingan.

   Diam2 iapun bersyukur bahwa racun di tubuhnya hanya obat pembius yang bekerja sementara saja, kalau tidak, bagaimana akibatnya tak berani dibayangkannya.

   Sang waktu berlalu tanpa terasa, sang surya semakin doyong ke barat, Siang Cin tengah merancang aksi yang akan dilakukannya malam nanti, pertama yaitu cara bagaimana berdaya menolong Kun Sim-ti dan Pau Soh-hoa yang berada dalam kurungan musuh.

   Tenang2 dia memandang langit2 loteng, ia pikir langkah pertama harus mencari seorang penghuni Ceng siong-san-ceng yang punya kedudukan lumayan yang tahu di mana letak kurungan rahasia yang menyekap teman2nya, lalu mengorek keterangannya, meski harus memakai cara keji apapun.

   Malampun tiba, malam gelap dengan angin menghembus kencang, musim gugur sudah hampir berlalu, daun kering rontok di embus angin, semakin malam hawa terasa makin dingin.

   Sementara itu Siang Cin sudah berada di atas wuwungan loteng, dari sini dapat dilihatnya penjagaan di segala pelosok Ceng siong-san-ceng sangat keras, rombongan ronda yang berseragam hitam mondar-mandir, di mana2 terlihat kemilau senjata tajam, sering pula dilihatnya berkelebat bayangan orang yang bergerak gesit dan cepat pergi datang, terdengarlah pula suara sahut menyahut di sana sini, keadaan tegang seperti- menghadapi musuh besar..Setelah memeriksa keadaan, Siang Cin mengencangkan pakaiannya yang koyak, seringan burung dia melejit ke pucuk pohon, sedikit menutul kaki di puncak pohon, 78 segera ia hinggap di atas sebuah gardu taman yang mungil.

   Baru saja dan mendekam disitu dan bayangan orang berlari datang dan berhenti di bawah gardu, mereka memeriksa dengan celingukan, pada saat itulah delapan laki2 kekar berseragam hitam ketat sama berlompatan keluar dari belakang pohon, seorang yang bersenjata Kui-thau-to menegur sambil melintangkan goloknya.

   Setelah menyahut segera orang itu mendengus.

   "Apakah Ci Kui keparat, bikin tegang orang saja?"

   Laki2 yang bernama Ci Kui itu seorang burik, bopeng, lekas unjuk tawa. katanya.

   "Apakah Ciu-losu dari perumahan tengah?"

   Setelah mendengus, orang yang dipanggil Ciu-losu berkata.

   "Tadi seperti kulihat ada bayangan orang di sini, hanya sekejap lantas lenyap, apa kalian melihatnya?"

   Ci Kiu menggeleng, katanya.

   "Tak mungkin, kami selalu jaga di sini, tikuspun tidak kami lihat, memangnya manusia bisa lewat di sini? Mungkin pandangan Ciu-losu yang kabur ...."

   Dengan penasaran Ciu-losu berka.

   "Mata orang she Ciu ini tidak pernah kabur, pasti ada mata2 musuh yang menyelinap kemari, kalian berjaga disini, memang kalian ini gentong nasi semua."

   Waktu dimaki Ci Kiu hanya menyengir dan mengiakan, Orang she Ciu bertolak pinggang katanya angkuh.

   "Kalian harus lebih wespada, bukan mustahil keparat she Siang itu malam ini akan bikin onar, keparat itu bukan anggur yang enak, kalau sampai lengah, mangkuk nasi kita bisa berantakan."

   Lalu orang she Ciu melangkah pergi. Setelah bayangan lenyap di balik tembok sana, Ci Kiu berludah sambil mengejek.

   "Keparat, kalau kebentur setan tanggung jiwamu melayang lebih dulu. Kunyuk, waktu terjadi pertempuran semalam kau cucunya kura2 hanya sembunyi dalam pelukan gendakmu . ..."

   Seorang laki2 disampingnya segera membujuk.

   "Sudahlah Kiu-ko, salah kita sendiri kenapa membekal kepandaian rendah, buat apa kau marah2 pada orang macam dia .....

   "

   Ci Kiu berludah lagi dengan penasaran, katanaya.

   "Nenek moyangnya, bagi yang tidak tahu kan menyangka kunyuk she Ciu itu jagoan lihay yang diagulkan oleh Wancu, yang benar dia itu cucunya kura2, antek yang cuma iri sesuap nasi ... ."

   Siang Cin yang sembunyi di atap gardu diam2 menahan geli, setelah orang2 di bawah pergi, kembali dia kembangkan ketangkasannya, sekali lompat delapan tombak jauhnya, beruntun juga kaki menutul dan kembali dia meluncur jauh ke depan kembali terdapat dua bangunan berloteng yang kelihatan mungil, di atas loteng sinar lampu masih menyorot keluar.

   Tanpa mengeluarkan suara Siang Cin melekatkan tubuhnya di jendela tingkat kedua, dengan hati2 dia membasahi kertas penutup jendela dengan ujung lidahnya, dari lubang kecil ini dia mengintip ke dalam, itulah sebuah ruang yang dipajang cukup mewah, seorang laki2 berusia empat puluhan, dengan muka sebelah kanan berwarna kelabu tengah mondar mandir sambil menggendong tangan.

   Diam2 Siang Cin menilai bobot laki2 ini, dia tidak berani bertindak semberono, sebab kalau orang ini tidak tahu di mana Pau Seh-hoa dan lain2 dikurung, kemungkinan akan membuat geger sehingga rencana semula bisa gagal total.

   Sesaat kemudian, Iaki2 itu mengambil secangkir teh panas serta menghirupnya seteguk, lalu dia memanggil.

   "An Hok."

   Seorang kacung mengiakan dan lari mendekati pintu, serunya.

   "Suhu ...."

   Laki2 itu berkata.

   "Ingat, sebelum kentongan ketiga sampai fajar menyingsing adalah waktuku bertugas bersama Bok suhu."

   An Hok mengiakan dan mengundurkan diri.

   Seperti iseng orang itu menggeliat sekali lalu menutup pintu dan langkah balik ke dalam.

   Pelan2 Siang Cin mencongkel kertas jendela, sekali menyelinap dan berkelebat, sekali dia sudah meloncat ke atas belandar.

   Mendadak terasa angin berkesiur, laki2 itu berpaling, tapi tiada sesuatu yang dilihatnya, sekilas dia tertegun, lalu mendekati jendela dan memeriksa ala kadarnya, dia menggeleng sambil menggerundel.

   "Ah, 79 terlalu takut akan bayangan sendiri, kalau keadaan seperti ini terus berlangsung, rasanya bisa gila ... ."

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seringan asap Siang Cin melayang turun ke belakang orang, katanya kalem.

   "Sudah tentu, perasaan was2 memang menekan batin."

   Bergetar sekujur badan orang itu, tanpa menoleh tangannya menepuk ke belakang, Tapi Siang Cin keburu bergerak maju, empat jurus pukulan di lancarkan sekaligus.

   Hakikatnya orang itu tidak sempit melawan atau berkelit dikala dia menyurut kelabakan itulah Siang Cin berhasil membantingnya jatuh ke lantai.

   Belum lagi sempat melompat bangun, tahu2 sebelah kaki Siang Cin sudah menginjak batok kepala orang itu.

   "Jangan sembarang bergerak sahabat, kalau aku mau merenggut nyawamu, apakah kau bisa hidup?"

   Muka orang itu menjadi merah padam, keringat sebesar kacang membasahi mukanya, ia berkata dengan serak.

   "Kau Sang Cin, apa keinginanmu?"

   Siang Cin tarik kakinya, katanya.

   "Bangunlah, berdiri!"

   Orang itu melompat bangun dengan terhuyung, katanya dengan gusar.

   "Orang she Siang, kalau berani sebutkan caranya, kalau mau bicara, lekaslah terus terang, aku Ki Toa-bok kalau takut bukanlah laki2 sejati."

   Sang Cin mendengus, katanya.

   "Sahabat, dengarkan baik2 dan jangan coba main2, dalam waktu sedetik Siang Cin mampu mencabut nyawamu. Sekarang beritahu padaku, teman2ku itu dikurung di mana?"

   Berubah air muka Ki Toa bok, katanya geram.

   "Aku tidak tahu."

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Seorang laki2 harus bisa melihat gelagat, saudara Ki, jangan kau minta disiksa baru mau bicara."

   Ki Toa-bok nenyeringai, katanya.

   "Hampir dua puluhan tahun Ki Toa bok berkecimpung di Kangouw, orang she Siang jangan kau main gertak padaku, mau sembelih atau mau gantung boleh silakan, tapi jangan harap memperoleh keterangan apapun dari mulutku."

   Siang Cin menarik murka, katanya pelan.

   "Kau boleh menjerit, tapi kalau aku memberi kesempatan membuka mulut, anggaplah sia2 Naga Kuning dilahirkan."

   Ki Toa bok menyurut mundur, keringat gembrobyos, katanya dengan napas memburu.

   "Orang she Ki bukan pengecut .... ...."

   "Hm,"

   Siang Cin menggeram.

   "berkata tidak?"

   Ki Toa bok menggeleng, katanya.

   "Aku tidak tahu."

   Mendadak Siang Cin tertawa dan berkata.

   "Sahabat akan kucukil mata kananmu."

   Belum sempat Ki Toa-bok menjawab, tahu2 bayangan berkelebat, tangan Siang Cin telah mencolok, tahu2 jarinya telah menempel di kelopak mata kanannya.

   "Kau terlalu bodoh sahabat, ingat gunakan cara yang paling singkat untuk mengejar waktu, sementara gerak kepalamu juga terlalu lamban,"

   Ejek Siang Cin. Gemetar badan Ki Toa bok, muka kelabunya bersemu hijau, mulutnya megap2 tak mampu bicara. Siang Cin melangkah mundur, katanya tenang2.

   "Jangan kau paksa aku melukaimu. Nah, beritahu padaku, di mana teman2ku dikurung?"

   Ki Toa-bok berdiri menjublek bagai patung tanpa bicara, pecah nyalinya menyaksikan gerakan orang secepat dan selihay itu. Dengan tanganya Siang Cin mengusap muka, katanya.

   "Ki Toa-bok, nanti kau boleh bilang aku memaksamu. Jangan bodoh, hal yang sepele itu jangan kau pertaruhkan untuk jiwa ragamu, ini termasuk Cengcu kalian Ha It-cun."

   Namun Ki Toa-bok memang kepala batu, sepatah katapun tetap tak mau bicara, betapapun dia tidak mau menjadi pengkhianat Ceng-siong-san-ceng.

   Melihat sikap orang, Siang Cin tahu urusan bisa runyam, bukan maksudnya ingin mencelakai orang ini, tapi kalau menggunakan kekerasan, coba bagaimana dapat menundukkan kekerasan hatinya? Sambil menggeleng Siang Cin menegas.

   "Kau betul2 tak mau menerangkan?"

   Ki Toa-bok tetap tutup mulut, se-olah2 gunung runtuh di depan mata juga takkan menggoyahkan tekadnya. 80 "Baiklah, aku mau pergi saja,"

   Pelahan Siang Cin membalik tubuh, sekilas melirik ia dapat menangkap perubahan air muka Ki Toa-bok yang merasa lega serta bangga, maka baru saia tubuhnya bergerak secepat kilat dia turun tangan, hakikatnya Ki Toabok tak sempat berkelit, kontan dia roboh terkapar.

   Siang Cin menutuk Hiat-to pembisu dan pelemas badannya, sekali raih dia jinjing tubuh orang serta didudukkan di atas kursi, lalu Siang Cin berjongkok dibalik kursi, dengan suara dibikin kasar dia berteriak.

   "A Hok, A Hok ...."

   Setelah memanggil beberapa kali, didengarnya langkah berlari di luar, suara orang tadi berkumandang di luar pintu.

   "Suhu, A Hok ada di sini!"

   Dengan setengah menahan suara Siang Cin berkata.

   "Panggil Bok-suhu kemari."

   Agaknya A Hok yang di luar melengak, katanya lirih.

   "Bukankah Bok-suhu akan ronda bersama Suhu pada kentongan ketiga nanti? Kenapa ...."

   "Lekas pergi,"

   Desak Siang Cin menirukan suara Ki Toa-bok. Lekas A Hok mengiakan dan berlalu cepat2, Ki Toa-bok yang duduk lemas di kursi hanya mendelik gusar. Siang Cin menepuk pundaknya, katanya.

   "Kutiru suaramu, meski tidak begitu mirip, tapi nadanya sudah hampir sama, dalam keadaan seperti ini A Hok tentu tidak memperhatikan, meniru suara orang harus ingat akan satu hal yaitu bicara harus pendek dan samar2, bicaranya tidak boleh terlalu banyak, terlalu banyak bicara pasti ketahuan."

   Saking gusar gemetar sekujur badan Ki Toa-bok, Siang Cin tersenyun, kursinya diputar ke arah jendela, katanya pelan2.

   "Tak usah marah, laki2 keras kepala, kututuk hiat-tomu, orang lain mungkin tidak tahu, tapi Bok-suhu itu pasti tahu dari air muka dan sikapmu, nanti akan kutipu dia, memang aku juga tahu harapan mencapai tujuan hanya setengah saja."

   Menunggu lagi beberapa kejap, tangga loteng di luar mulai berderap langkah orang, langkah kakinya cepat tapi mantap. Pintu diketuk pelahan, suara nyaring seorang berkata di luar.

   "Ki toako, Cayhe sudah datang, Toako ada pesan apa?"

   Pelahan Siang Cin membisiki Ki Toa-bok.

   "Suara orang ini nyaring keras, dia pasti masih muda belia, dia memanggil kau Toako, kalau usiamu sekitar empat puluhan, maka usianya pasti cuma tiga puluhan, anak muda biasanya suka bicara terus terang dan tentu jauh lebih gampang ditipu ......"

   Saking gusar dengus Ki Toa-bok bertambah cepat, sekujur badan bergetar, tapi dia tidak mampu berbuat apa2, Siang Cin tertawa, dengan suara lemah, seperti kehabisan tenaga dia berseru.

   "Aku lagi kurang enak badan, Bok-lote, untuk tugas nanti boleh kau lakukan sendirian saja."

   Agaknya orang she Bok di luar melengak kaget, katanya.

   "Ki toako, ada beberapa tempat aku kurang apal, apalagi untuk meronda sampai ke Lokoh-ce tanpa kau aku takkan diperbolehkan melewati pos penjagaan, ini ....ini ...... Siang Cin batuk2 dua kali, serunya.

   "Lo- kohce (sumur perawan tua) ...."

   "Itulah tempat untuk mengurung teman2 orang she Siang,"

   Kata orang di luar gugup.

   "meski penjagaan diperketat dan orang she Siang juga belum tentu tahu akan tempat itu, tapi bila sampai kita tak meronda ke sana dan terjadi sesuatu, tak berani aku memikul tanggung jawabnya ...."

   Siang Cin pura2 merintih lirih, katanya.

   "Ha, tapi aku benar2 kurang enak badan ...."

   Tiba2 orang di luar itu berkata.

   "Ki toako, maukah kupanggilkan tabib Kho di depan sana untuk memeriksa penyakitmu? Sekalian kulaporkan kepada Sek-wancu dan mohon beliau menambah tenaga lain untuk menggantikan kau?"

   Siang Cin berpikir sejenak, setelah batuk2 dia menjawab.

   "Baiklah! Huk, huk! Malam ini terpaksa aku menderita ...."

   Setelah diam sebentar, orang di luar kedengaran heran, katanya.

   "Kitoako ... .suaramu seperti agak berubah? Kenapa ...."

   Siang Cin tertawa serak, sahutnya megap2.

   "0, tenggorokanku gatal....badan 81 terasa lemas....."

   Suara orang di luar kedengaran2 ragu, katanya.

   "Ki-toako, perlukah aku masuk meladenimu?"

   Dengan suara dibikin parau Slang Cin menjawab.

   "Tak usahlah."

   "Baiklah Ki-toako. Cayhe akan kembali nanti sebelum kentongan ketiga,"

   Lalu cepat ia menuruni tangga dan tak terdengar lagi. Siang Cin berdiri, dengan tersenyum dia awasi Ki Toa bok yang merah padam, katanya.

   "Adakalanya manusia perlu menggunakan akal, tapi dalam mengatur akalnya itu juga bergantung pada nasib, keduanya saling berkaitan, tadi nasibku lagi baik, aku telah mencapai setengah dari pekerjaanku."

   Terbeliak mata Ki Toa-bok, mukanya merah bagai kepiting direbus, keringat sebesar kacang bertetesan, napas memburu, keadaannya sungguh harus dikasihani. Siang Cin tepuk jidat Ki Toa-bok dan berkata "Kau seperti sakit betul2 Baiklah kau tidur saja"

   Besok pagi tenagamu pasti sekuat harimau, sekarang maafkan kalau aku menutuk Hek-tiam-hiatmu."

   Dengan ringan Siang Cin menutuk Hiat-to yang di-sebut, Ki T'oa bok lantas merasa kelopak matanya semakin berat dan pelan2 terpejam, dia tidak ingin tidur, tapi rasa kantuk tak tertahankan lagi.

   Siang Cin menghela napas lega, dia bersyukur bahwa akalnya berhasil, padahal Ki Toa-bok ini bergelar Ci-bin hwi-ja (guru terbang muka kelabu), ilmu silatnya tinggi dan keji pula, sebagai pengawas umum Ceng siong-san-ceng, kepandaiannya cukup hebat, tapi sekali gebrak dia justeru kecundang oleh Siang Cin.

   Mengawasi Ki Toa bok yang tidur nyenyak.

   Siang Cin membetulkan jubah orang, lalu sekali berkelebat dia menyelinap keluar dan lenyap.

   Kini dia sudah tahu tempat mengurung Pau Seh-hoa dinamakan Lo keh ce, tapi dapat dibayangkan betapa keras penjagaan di "sumur perawan tua"

   Itu, lebih penting lagi dia harus bisa menentukan arah mana letaknya? Demikianlah dia mendekam di belakang sepucuk pohon serta memeras otak, terpaksa dia berkeputusan untuk menyerempet bahaya sekali lagi.

   Dengan langkah lebar dia maju ke depan, baru beberapa langkah, dua laki2 kekar melompat keluar mengadangnya dengan bentakan kereng.

   "Ceng-siong ....... ."

   Siang Cin menjawab tenang.

   "Ban-kiu." --Kata rahasia ini ditirunya dari pos penjagaan tadi. Kedua orang itu menarik senjata dan minggir. tanyanya.

   "Suhu manakah yang kemari?"

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Inilah Ui-liong Siang-suhu"

   Bagai petir menyambar kepala, kedua laki2 itu tersentak keget, seketika mereka berdiri kaku mematung, Sekali berkelebat bayangan Siang Cin sudah tiba di depan mereka, dengan suara lembut dia berbisik.

   "Sahabat baik, malam sudah larut dan dingin, lebih baik kalian tidur saja."

   Begitu Hiat-to tertutuk kedua orang lantas jatuh lemas, Siang Cin jinjing tubuh mereka melompat ke atas pohon.

   Tak lama kemudian dia sudah lompat turun, kini dia berganti seperangkat pakaian seragam hitam, ikat kepala warna hitam pula, dengan menjinjing Kui-thau-to lagaknya mirip penjaga tadi.

   Dia pura2 gugup dan gelisah, sambil berjalan meronda dia celingukan, dengan hati2 ia terus maju mencari tempat tujuannya - "sumur perawan tua"

   Tiba di taman bunga, mendadak empat laki2 mencegatnya dan menegur.

   "Hai, kau bocah ini dari pekarangan mana? Mondar-mondrr seorang diri, memangnya kau tidak takut jiwamu direnggut setan?"

   Meendengar orang menyangka dirinya kawan sendiri, Siang Cin menjawab sambil menghela napas.

   "Ai, atas perintah Ki-suhu, aku disuruh memeriksa kemari, jalan sendirian di malam gelap sungguh kebat-kebit dan merinding bulu romaku."

   Empat laki2 itu sama mentertawakan, kata salah seorang.

   "Jangan sok pintar, apa yang dapat kau lihat dan periksa, bila kebentur bocah she Siang itu, belum lagi saling gebrak mungkin kau sudah terkencing2 ketakutan .. ... ...." 82 Siang Cin pura2 takut, katanya menyengir.

   "Memang, tapi Ki-suhu malah rnenyuruhku pergi ke Lo-keh-ce segala ......"

   Kembali keempat laki2 itu berseloroh, kata salah seorang yang lain.

   "Lo-koh-ce kan terletak di pekarangan belakang di bawah Keh-im-san, tempat yang seram itu memang menggiriskan, siang hari bolong orangpun akan merinding lewat di sana, apa lagi pada malam gulita dan dalam suasana tegang begini, memang sialmu sendiri, kenapa kau memperoleh tugas berat ini ......"

   Memperoleh keterangan letak Lo-koh-ce, Siang Cin tidak ayal lagi, ia menjura terus melangkah pergi, sambil berjalan mulutnya menggerutu.

   "Makan sesuap nasi orang harus turut perintahnya. Ya, apa boleh buat? Biar sekarang juga aku kesana...

   "

   Dengan ketajaman mata dan telinga Siang Cin terus maju kedepan, sedapat mungkin dia menghindari pos penjagaan, dia mengembangkan ketangkasannya, dengan cepat ia menyusur ke depan.

   Setelah melampaui pagar tembok yang dikapur putih serta melewati dua lapangan berumput yang luas, iapun tiba di pekarangan belakang, dari jauh terlihat bayangan pagar tembok yang mengelilingi sebuah bangunan.

   Dia memeriksa keadaan sekeliling, di ujung kiri belakang pekarangan sana dilihatnya segundukan bayangan gelap, itulah sebuah gunung2an, gunung2an buatan ini cukup luas, kelihatannya sunyi dan angker, mungkin di sinilah letak Keh-im-san yang dicarinya itu? Dia bergerak di bawah bayang2 berbagai benda yang ada di sekitarnya terus maju tanpa menemui rintangan, lekas sekali dia sudah tiba di tempat tujuan, bentuk dari keseluruhan Keh-im-san yang dibangun dengan pecahan batu2 yang ditata rapi dan bagus dibuat mirip dongeng neraka, ada pintu kematian, jembatan gantung, panggung kenangan, empang teratai, jalan yang menyesatkan dan puluhan macam gedung2 sidang para setan, setiap gedung atau istana dari neraka yang pernah dijadikan dongeng dalam masyarakat, semuanya ada di sini, malah disusun sedemikian rapi sehingga terbentuklah gunung2an yang menggiriskan ini, walau di sini tidak dipasang ukir2an malaikat dan setan, tapi bangunan istana bawah tanah yang mirip neraka itu terasa seram dan menakutkan.

   Sekilas Siang Cin melenggong mengamati keadaan yang seram ini, sorot matanya menjelajah sekelilingnya.

   dengan enteng segera dia melayang ke arah empang teratai, di tengah empang teratai ini ada sebuah empang kecil berisi air kotor warna hitam yang tenang, tak bergelombang, scperti permukaan kaca beku, di bagian tengahnya terdapat teratai yang diukir dari batu hitam, bentuknya mirip setan yang mati tenggelam dan kepala menongol keluar.

   Berbagai bentuk batu2 hitam raksasa lain dan aneh2 mengelilingi empang teratai, tampak sebuah jalanan kecil yang berlandas batu2 krikil menjurus ka dalam dihimpit dua batu raksasa hitam, batu2 hitam itu tingginya ada delapan tombak, jika tidak mampu melompat ke atas, maka orang harus jalan melalui jalanan kecil itu.

   Sudah tentu Siang Cin tidak sebodoh itu, setelah menarik napas dia melejit enteng tanpa mengeluarkan suara, dia hinggap di atas batu.

   Di depan ternyata diadang oleh sebuah dinding batu yang miring, entah bagaimana keadaan di balik dinding batu ini, baru saja Siang Cin hendak bertindak lebih lanjut, air empang teratai di bawahnya tiba2 bersuara gemericik, tak ubahnya air yang mendidih.

   Melihat uap yang keluar dari pemukaaan air, Siang Cin lantas paham, itu bukan uap biasa, tapi penguapan air hitam kotor itu sehingga mengandung hawa beracun yang jahat.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia tahu dirinya tak boleh terlalu lama lama berada di sini, bila hawa beracun itu sampai membumbung ke udara, siapapun takkan luput dari bencana keracunan.

   Cepat Siang Cin melambungkan tubuhnya, di udara dia menukik miring serta jumpalitan sekali lagi, badannya kembali melejit dua tombak ke atas, dengan enteng dia tancapkan kakinya di atas dinding batu yang mengadang di depan itu.

   Kini di depan kiranya adalah "jembatan kenangan abadi", air gemencik mengalir di bawah jembatan, diseberang jembatan berjajar puluhan ruang sidang mirip istana 83 dalam dongeng neraka, cuma di sini tidak kelihatan ada setan2 cilik yang berjaga.

   Bimbang sejenak akhirnya Siang Cin meluncur turun bagai anak panah, sedikit menutul kaki di atas jembatan ia terus meluncur pula ke depan, tapi, di kala kakinya menutul jembatan, timbul reaksi yang hebat, dua pagar yang ada di dua sisi jempatan tiba2 menjeplak dan menyabet ke tengah.

   "Trang", timbul"

   Percikan api, ternyata di sisi pagar jembatan terpasang barisan golok baja yang tajam luar biasa, untung gerakan Siang Cin cukup sebat, setelah dia melayang pergi baru barisan golok itu mengatup.

   Sebelum tiba di seberang Siang Cin membelok arah menyelinap ke tempat gelap, dia mengusap telapak sepatunya di atas batu untuh menghilangkan cairan hitam ketika kakinya menutul permukaan jembatan tadi.

   Bayangan delapan orang melompat keluar dari "istana neraka"

   Itu dan berlari ke arah jembatan, mereka celingukan ke sana sini, suara seorang serak mengomel.

   "Keparat, pagar jembatan sudah kembali ke asalnya, barusan jelas ada orang lewat jembatan, kenapa bayangan setan saja tidak kelihatan, memangnya dia bisa terbang,"

   Suara serak yang lain ikut bicara.

   "Belum tentu manusia? Bisa juga kucing atau tikus, jembatan rahasia ini memang tajam daya kerjanya, barang apapun sedikit menyentuhnya pasti menimbulkan reaksi, bukankah tempo hari seekor kucing mati terkacip oleh golok2 baja itu?"

   Setelah menggerutu akhirnya merekapun mengundurkan diri, keadaan kembali menjadi sunyi dengan suasana yang seram.

   Dari balik sebuah batu besar Siang Cin melesat keluar, beruntun dua kali lompatan, iapun menyelinap masuk ruangan ke mana beberapa orang tadi mengundurkan diri, keadaan di sini gelap dan seram.

   Kecuali sebuah panggung panjang di sini tiada perabot lainnya.

   serba kosong, sejenak Siang Cin berdiri bingung, dinding batu warna hitam, lantainya juga gelap, sampai panggung itupun hitam, kecuali dari arah masuk tadi tiada kelihatan pintu atau lubang keluar lainnya, tapi jelas beberapa orang tadi masuk kemari, lalu ke mana saja mereka menghilang? Dinding terasa dingin lembab dan berlumut, tiba2 timbul akal Siang Cin, dengan tangan dia meraba dinding pelan dan penuh perhatian, sejengkal demi sejengkal dia periksa dengan teliti, tak lama kemudian, betul juga ditemukan suatu tempat terasa kering daripada dinding disekitarnya yang lembab, kiranya di sini letak rahasianya.

   Sorot matanya seketika bercahaya, pelan2 dia tolak ke dalam, lalu dijorong pula kedua kalinya, tapi tidak bergeming dan tidak menimbulkan reaksi, dia me-raba2 pula sekeliling dinding yang kering ini, akhirnya ditemukan sebuah tombol yang menonjol di bawah kaki dinding, tanpa pikir segera dia tekan tombol itu.

   Bagian dinding sepanjang tiga kaki dan lebar tiga kaki tiba2 menjeplak, hanya sekejap saja terus putar kembali ke tempatuya, setelah itu baru pelan2 terbuka lagi.

   Siang Cin tertawa, kalau dia ter-buru2 menerobos masuk secara sembrono, tentu tertabrak dinding yang membalik tadi, umpama tidak mampus pasti juga akan terluka.

   Bagian dalam adalah sebuah lorong panjang, disebelah kanan ujung lorong ada kamar batu dan cahaya lampu, terdengar ramai suara orang di dalam..

   Siang Cin tarik balok batu itu ke tempat asal nya, seringan kucing dia rnenggeremet maju ke depan kamar batu, daun pintu tebal terbuat dari kayu setengah terbuka, bau arak merangsang hidung, hawa dalam kamar terasa panas, kiranya orang2 di dalam tengah berlomba minum arak sehingga lupa daratan.

   Kamar batu ini ada dua tombak persegi luasnya dan belasan orang, delapan diantaranya tengah mengelilingi sebuah meja dengan beberapa macam hidangan yang belum termakan habis, ada empat poci arak, wajah ke delapan orang ini tampak merah kelam karena terlampau banyak minum, seorang laki2 kepala besar sedang duduk dipojok sana, disampingnya ada sebuah kotak kayu.

   Waktu Siang Cin melangkah masuk, seorang yang duduk menghadap pintu berkepala botak lantas melihatnya, sekilas dia tertegun, seperti dipagut ular dia berjingkrak sambil berteriak.

   "Celaka, lekaa ....." 84 Di samping duduk seorang berewok yaug segera mendelik kepadanya, bentaknya.

   "Kenapa kau? Keparat, memangnya kau melihat setan?"

   Belum habis si berewok bicara, tiga orang yang lain juga sudah melihat Siang Cin, sikap mereka sama berubah, be-ramai2 seperti berlomba cepat mereka mencabut senjata serta melompat ke samping dan mengawasi Siang Cin dengan pandangan takut dan penuh tanda tanya, mereka tidak habis mengerti, cara bagaimana Siang Cin bisa masuk kemari? Siang Cin gosok2 tangan, katanya.

   "Saudara2, malam dingin berkabut tebal, minum arak mencari hangat di sini memang menyenangkan."

   Si brewok menelan ludah, dia berseru.

   "Sahabat, kau takkan bisa keluac dari sini ..... ."

   Melihat sekitarnya, Siang Cin berkata dengan tertawa.

   "Ini bukan soal, yang penting apakah kalian mampu menangkapku. Sekarang taruh senjata kalian dan teruskan minum arak, setelah kutanya jelas sesuatu hal, segera aku akan berlalu, takkan mengganggu kalian."

   Dikala Siang Cin bicara, diam2 si kepala besar ulur tangan ke dalam kotak kayu, disitu ada sebuah genta kecil yang tergatung di dalam lubang dinding.

   Tapi batu tangan si kepala besar bergerak, teasa angin menyambar, tahu2 tangan kanan yang menjulur itu sudah terbacok putus jatuh ke lantai, darah seketika berhamburan, kiranya yang membacok putus lengan si kepala besar adalah Kuithau- to yang berada di tangan Siang Cin.

   Si kepala besar terbanting ber guling2 di lantai sambil menjerit.

   Jeritan yang menggiriskan menggugah bangun si orang kurus kering bagai lutung yang sejak tadi tidur nyenyak di atas dipan, begitu membuka mata belum lagi sadar apa yang terjadi, langsung ia keluarkan pedang terus membacok ke arah Siang Cin.

   Kasihan, belum lagi dia sempat beraksi, sekali golok Siang Cin menabas miring, kontan kepalanya mencelat..Kecuali jerit kesakitan si kepala besar, suasana mencekam semua orang, wajah mereka tampak pucat penuh rasa takut dan ngeri.

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Jangan kuatir, bila kalian mau bekerja sama denganku, orang she Siang pasti tidak akan mencelakai kalian, sekarang ingin kutanya, untuk menghindari salah satu di antara kalian dituduh sebagai pengkhianat, maka setiap pertanyaanku harus dijawab.bersama, siapa yang ragu2 dan menjawab tidak semestinya, kedua kawan kalian itu menjadi contoh yang baik buat kalian."

   Sembilan orang yang berdiri mengelilingi meja itu saling pandang, mereka berdiri kaku seperti linglung, tangan pegang senjata tapi tiada satupun yang berani bergerak, mereka maklum bila tidak ingin mati, mereka harus terima syarat yang diajukan.

   Siang Cin kucek2 hidung, lalu katanya pelahan.

   "Di mana letak Lo koh-ce?"

   Sekilas orang2 itu saling pandang pula, seperti berlomba saja mereka lantas berebut bicara.

   "Di belakang lorong di luar kamar batu itulah . .... ."

   Siang Cin manggut, katanya tertawa.

   "Bagus, kalian mau bekerja sama, adakah benda apa2 yang menutupi Lo-koh-ce?"

   Jawaban orang2 ini sekarang lebih cepat lagi, jawaban yang satu menambah terang jawaban yang lain.

   "Itulah sebuah meja persegi, Lo koh-ce berada di bawah meja persegi ......"

   "Meja batu persegi, beratnya ribuan kati ........

   "Mejanya amat berat, di dalam sumur ada undakan batu yang menjurus ke bawah ...."

   "Dasar sumur merupakan sebuah lorong panjang, ada tiga rintangan binatang buas ...."

   "Tiga rintangan binatang buas masing2 terdiri dari harimau bertanduk, gajah bersayap dan ular merah ...."

   "Paling akhir adalah kamar kurungan, teman2 Siang-toaya tersekap di sana ...."

   "Di luar sel dijaga oleh dua raksasa segoblok babi tapi sebuas serigala ...."

   Jawaban seperti berlomba cepat itu sungguh menggelikan. 85 Setelah jawaban mereka cukup lengkap, Siang Cin berkata dengan tertawa.

   "Bagus sekali, kalian memang baik hati, hanya Enghiong seperti kalian ini yang bisa melihat gelagat dan tahu diri, orang she Siang sangat berterima kasih akan keterangan ini, soal ini, tanggung tidak akan kusiarkan, kalian tidak usah kuatir."

   Orang2 itu diam2 merasa lega, rasa tegang merekapun mengendur, kembali mereka saling pandang dengan menyengir. Kemudian Siang Cin berkata pula.

   "Cayhe akan tutuk Hiat-to pelemas kalian, satu jam kemudian akan pulih kembali, kalian boleh lapor orang she Siang menerobos masuk ke Lo-koh-ce, kepala besar itu tak menjadi soal, walau dia tidak mampus, tentunya kalian juga bisa menbayangkan betapa kesakitan bila lengan kutung."

   Dengan rasa tidak tenteram orang2 itu berpaling ke arah si kepala besar yang menggeletak tak bergerak lagi.

   mereka merasa lega, tiba2 terasa pinggang terasa kesemutan, bayangan orang tidak kelihatan bergerak, tapi hampir pada waktu yang sama mereka lantas roboh terkulai.

   "Maaf, kalian boleh tunggu satu jam lagi."

   Ucap Siang Cin.

   Di tengah kumandang suaranya ia lantas meluncur keluar.

   Setiba di pojok, dengan kuat kedua telapak tangan menghantam ke depan dinding di ujung lorong itu seketika pecah berhamburan, kiranya dinding itu hanya tumpukan batu yang disusun sedemikian rupa untuk mengaburkan pandangan orang.

   Di bagian dalam adalah sebuah kamar batu kecil yang sumpek, tiada angin mengembus kemari, kesana tiada benda apapun kecuali sebuah meja batu yang berada di tengah ruangan, Siang Cin tidak membuang waktu, segera dia mendorong meja itu, meja batu mulai bergeser dengan suaranya yang gemuruh dan akhirnya jatuh ke tanah.

   Di bawah meja ternyata berlubang, itulah mulut sumur bersegi delapan, keadaan di bawah gelap gulita.

   Tanpa ragu Siang Cin lompat ke bawah, sumur ini sedalam tiga tombak, di bawah ternyata memang ada undakan batu, dinding di kedua samping lembab berlumut, tapi ada puluhan obor yang berjajar di dinding.

   di bawah penerangan obor yang kehijaun itu tampak beberapa tombak di sebelah depan, di dalam sebuah kerangkeng yang mengadang, berkumandang raungan binatang buas.

   

Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Bara Maharani -- Khu Lung

Cari Blog Ini