Pedang Langit Dan Golok Naga 32
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 32
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung
Itu kejadian yang sungguh diluar dugaan! Siapa sangka si nona menyatroni untuk menotok jalan darahnya? Tapi dilain saat, ia mendapat satu ingatan lain.
"Aha! Tin-jie tentu ingin menjajal kewaspadaan diwaktu tidur,"
Pikirnya. "Besok, waktu akan membuka jalan darahku, ia tentu mentertawai aku. Hmm, kalau aku tahu begitu, tentu melompat bangun untuk mengagetkannya."
Dilain pihak, sesudah menotok jalan darah Boe Kie, perlahan-lahan Kiu Tin membuka jendela dan melompat ke atas genteng. "Paling baik aku membuka jalan darahku dan menakut- nakuti dnegan menyamar sebagai setan,"
Pikir Boe Kie.
Seraya tertawa geli, ia segera mengerahkan Lweekang dan coba membuka jalan darah yang tertotok dengan menggunakan ilmunya Cia Soen.
Tapi totokan si nona adalah totokan It-yang-cie yang sangat hebat dan sesudah berdeging kira-kira setengah jam, barulah ia berhasil membuka jalan darahnya.
Berhasilnya Boe Kie adalah karena pertama Lweekang nona Coe masih sangat rendah dan kedua, Kiu Tin memang hanya ingin menotok perlahan sebab sungkan melukai si bocah.
Kalau totokan It-yang-cie diberikan seorang ahli berkepandaian tinggi, biarpun Boe Kie sepuluh kali lipat lebih hebat, ia tak akan dapat membuka jalan darahnya.
Begitu terbebas, cepat-cepat Boe Kie memakai pakaian luar dan melompat ke atas genting dari jendela.
Sambil berlari-lari ia menyusul ke arah jalanan yang tadi diambil oleh si nona.
Tapi apa yang ditemukan hanya gunung kosong yang sunyi senyap, dengan pohon-pohon yang kadang-kadang mengeluarkan suara kresekan karena ditiup angin.
Sesudah mengejar beberapa lama dengan rasa kecewa, ia menghentikan langkahnya.
Tapi dilain saat ia berpikir lain.
"Perlu apa aku membalas.
Sekarang Tin-jie sangat menyayangi aku, tapi kalau malam ini aku membalasnya, mungkin sekali ia akan berbalik membenci aku."
Berpikir begitu, hatinya jadi tenang kembali.
Waktu itu adalah permulaan musim semi.
Bunga di lembah itu sudah mulai mekar dan menyiarkan bebauan yang sangat harum.
Kesunyian malam dan pemandangan di sekitar gunung itu mendatangkan banyak kenangan dari masa lampau.
Karena memang tak bisa tidur, Boe Kie tidak segera kembali, perlahan-lahan ia berjalan di sepanjang pinggiran sebuah selokan.
Salju di tanjakan sudah mulai melumut dan air yang mengalir di selokan bercampur kepingan-kepingan es.
Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong di dalam hutan sebelah kiri terdengar suara tawa seorang wanita.
Boe Kie terkesiap sebab suara itu adalah suara Kiu Tin.
"Apakah Tin-jie sudah melihat aku?"
Tanyanya dalam hati. Tiba-tiba terdengar bentakan si nona.
"Piauw ko, jangan rewel kau! Apa kau minta dihajar?"
Bentakan itu disusul dengan tawa seorang lelaki yang bukan lain adalah Wie Pek.
Boe Kie terkejut, jantungnya memukul keras dan kepalanya seperti diguyur dengan air es.
Sekarang ia mengerti.
Ia mengerti, bahwa Kiu Tin menotok jalan darahnya bukan untuk bercanda, tapi untuk mencegah terbukanya rahasia pertemuan itu.
Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya.
"Ya! Aku mesti tahu diri. Aku tak lebih dan tak kurang daripada seorang bocah miskin yang tak punya tempat berteduh. Baik dalam ilmu silat, aku berada jauh di bawah Wie Siang Kong. Di samping itu mereka adalah saudara sepupu dan merupakan pasangan yang cocok, yang satu cantik yang satu tampan."
Mengingat begitu, hatinya menjadi lebih tenteram dan sambil menghela napas, ia segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak, di sebelah belakang terdengar suara langkah kaki.
Hampir berbarengan dengan bergandengan tangan, Wie Pek dan Kiu Tin muncul dari dalam hutan.
Karena sungkan bertemu dengan dia, buru-buru Boe Kie bersembunyi di belakang satu pohon besar.
Pada saat itu, langkah kaki yang mendatangi dari sebelah belakang sudah mendekati.
"Thia,"
Seru Kiu Tin, suaranya gemetar seperti orang ketakutan. Orang itu ternyata Coe Tiang Leng. Ia rupanya gusar dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia membentak.
"Bikin apa kau di sini?"
Kiu Tin mencoba menekan rasa takutnya dan dengan tawa yang dipaksakan ia menjawab. "Sudah lama kami tidak pernah bertemu dan malam ini, kebetulan Piauw ko datang, anak datang menyusul kemari untuk mengobrol."
"Kau terlalu berani mati,"
Kata sang ayah dengan suara yang mendongkol.
"Kalau Boe Kie tahu."
"Anak sudah menotok lima jalan darahnya dan sekarang ia sedang tidur nyenyak,"
Kata si nona. "Coe Pehpeh juga sudah tahu, bahwa aku menyayangi Tin-cie,"
Kata Boe Kie dalam hati.
"kuatir aku berduka. Ia tak tahu, bahwa biarpun sayang, aku tak punya maksud yang lain. Hai!...Coe Pehpeh kau sungguh baik terhadapku."
Tapi perkataan Coe Tiang Leng yang selanjutnya menerbitkan rasa heran dalam hati Boe Kie. "Meskipun begitu, kita harus berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan,"
Kata orang itu. Kiu Tin tertawa.
"Ah! Anak kecil tahu apa,"
Katanya. "Tin-moay,"
Kata Wie Pek.
"Aku mau pulang, aku kuatir suhu menunggu-nunggu aku."
Si nona kelihatannya merasa berat untuk segera berpisah. "Biar ku antar pulang,"
Katanya. "Mari kita pergi bersama-sama,"
Kata sang ayah.
"Aku ingin bicara dengan gurumu untuk pergi ke Peng hwee-to, kita harus membuat persiapan yang seksama."
Sehabis Coe Tiang Leng berkata begitu, dia segera menuju ke arah barat.
Boe Kie jadi makin heran.
Ia tahu, bahwa guru Wie Pek adalah Boe Liat, ayahnya Boe Ceng Eng.
Didengar dari perkataan Coe Tiang Leng, sepertinya Boe Liat bersama putrinya dan Wie Pek bakal turut pergi ke Peng hwee-to.
Mengapa hal itu belum pernah didengar olehnya? Ia kuatir, sebab bila soal Cia Soen diketahui terlalu banyak orang kemungkinan bocornya rahasia akan menjadi sangat besar.
Sesudah berpikir sejenak, tiba-tiba ia ingat perkataan Coe Tiang Leng yang mengatakan "kita harus berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan".
Ia curiga dan dilain saat, ia ingat pula hal lain yang lebih mencurigakan.
Ia ingat, bahwa gambar mendiang ayahnya yang digantung di rumah keluarga Coe.
Ayahnya dilukiskan sebagai seorang yang bermuka panjang, sedangkan muka ayah sebenarnya bundar telur.
Paras muka Boe Kie mirip dengan Coei San, tapi potongan muka mereka sangat berlainan.
Muka si anak persegi panjang, muka sang ayah bundar telur, dengan lancip di bagian janggutnya.
Coe Tiang Leng mengatakan bahwa gambar itu telah dilukis olehnya sendiri pada belasan tahun yang lalu.
Walaupun begitu dan andaikata orang tua itu tidak pandai melukis, tidak mungkin ia membuat kesalahan dalam melukis potongan muka tuan penolongnya.
Apa yang dilukis Coe Tiang Leng pada hakekatnya Boe Kie dalam usia dewasa.
"Aha! Ada lagi yang mengherankan,"
Kata si bocah dalam hatinya.
"Bentuk Poan koan-pit yang bisa digunakan Tia tia mirip dengan pit dan gagangnya, sangat pendek. Tapi Poan koan-pit dalam lukisan itu adalah Poan koan-pit biasa. Sebagai seorang ahli Poan koan-pit, bagaimana Coe Pehpeh bisa melukis salah?"
Mengingat itu semua, Boe Kie menjadi bingung dan ketakutan. Di dalam hati kecilnya sudah menduga-duga sebab musebab keanehan-keanehan itu. Akan tetapi, dugaan itu terlalu hebat, sehingga ia tidak bisa meneruskan taksirannya itu.
"Ah! Tak boleh aku berpikir yang gila-gila,"
Ia menghibur dirinya sendiri.
"Coe Pehpeh begitu sayang aku dan aku tak pantas menduga yang tidak-tidak. Paling baik aku pulang dan tidur. Kalau dia tahu bahwa aku menguntit dia, bisa-bisa jiwaku melayang."
Mengingat jiwa melayang, tiba-tiba ia menggigil.
Ia sendiri tak tahu, mengapa ia menjadi begitu ketakutan.
Sesudah berdiri terpaku beberapa lama tanpa terasa ia melangkah ke arah jalanan yang dilalui oleh Coe Tiang Leng bertiga.
Sekonyong-konyong di sebuah hutan yang agak jauh ia melihat sinar api yang berkelap-kelip, sebagai tanda, bahwa di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah orang.
Dengan jantung berdebar keras, ia menuju ke arah sinar api dengan langkah ringan.
Setibanya di belakang rumah itu, sesudah menentramkan hati, ia mengendap-endap menghampiri jendela dan melongok ke dalam.
Ternyata memang benar Coe Tiang Leng bertiga berada dalam ruangan itu.
Mereka duduk menghadap jendela dan sedang bicara dengan dua orang yang duduk membelakangi jendela sehingga muka mereka tak dapat dilihat oleh Boe Kie.
Tapi yang satu seorang wanita, mungkin sekali Boe Ceng Eng, sedang yang satunya lagi adalah seorang pria bertubuh tinggi besar.
Dengan penuh perhatian, sambil manggut-manggut lelaki itu tengah mendengar penuturan Coe Tiang Leng tentang bagaimana mereka harus menyamar sebagai pedagang kemudian berlayar dari pantai Shoatang.
"Aku benar tolol,"
Kata Boe Kie dalam hatinya.
"Orang itu mungkin sekali Boe Chung Coe. Sebagai seorang sahabat Coe Pehpeh, ini adalah kejadian lumrah diantara sahabat karib. Mengapa aku jadi begitu ketakutan?" "Thia, bagaimana kalau kita tidak bisa cari pulau itu dan juga tidak bisa pulang kembali?"
Tanya wanita itu yang ternyata memang Boe Ceng Eng. Sekarang Boe Kie mendapat kepastian, bahwa lelaki itu adalah Boe Liat. "Kalau takut, kau boleh tak usah ikut,"
Jawab sang ayah. "Di dalam dunia ini, tanpa berani menempuh kesukaran, manusia takkan bisa memperoleh sesuatu yang berharga."
"Ayahku sering pergi ke Tiong-goan dan ia pasti tahu racun yang baik,"
Kata pemuda itu.
"Kita bisa minta bantuan ayah."
Sesaat Boe Liat bangkit seraya menepuk pundak Kiu Tin, ia berkata.
"Tin-jie."
Tiba-tiba ia menengok dan Boe Kie melihat tegas mukanya.
Ia terkesiap, karena orang itu adalah manusia yang sudah menyamar sebagai ayah angkatnya.
Sekarang semua menjadi jelas.
Dipukulnya Coe Tiang Leng hingga muntah darah, teriaknya yang menyayat hati dan sebagainya hanyalah sandiwara belaka.
Agar sandiwara itu kelihatan sungguh-sungguh, mereka harus menggunakan Boe Liat yang memiliki kepandaian tinggi.
"Tin-jie, kau sendiri harus menjalankan perananmu baik- baik,"
Kata Boe Liat sambil tertawa.
"Selama dalam perjalanan, kau harus baik terhadap setan kecil itu. Kau harus menjaga supaya ia tidak tersadar."
"Thia, kau harus meluluskan satu permintaanku,"
Kata Kiu Tin. "Permintaan apa?"
Tanya sang ayah. "Kau menyuruhku melayani setan kecil itu dan kau tak tahu, betapa besar penderitaanku,"
Jawabnya.
"Dari sini ke Peng hwee-to masih jauh sekali. Selama itu, entah berapa besar kedongkolan yang harus ditelan olehku. Maka itu aku minta supaya sesudah kau dapat merebut To liong-to kau ijinkan aku untuk membacok mampus setan kecil itu!"
Mendengar kata-kata yang sekejam itu, mata Boe Kie gelap hampir ia roboh.
Lapat-lapat ia mendengar suara Coe Tiang Leng.
"Sebenar-benarnya kita tak pantas menjalankan tipuan ini terhadap dia.
Di samping itu dia juga bukan orang jahat.
Kurasa membinasakan Cia Soen dan merampas To liong-to, cukuplah kalau kita membutakan kedua matanya dan meninggalkan dia di pulau itu."
"Coe Toako adalah seorang yang welas asih dan perkataanmu itu membuktikan bahwa kau memang seorang ksatria,"
Puji Boe Liat. Coe Tiang Leng menghela napas.
"Kita terpaksa menjalankan tipuan ini karena tak ada lagi jalan yang lebih baik,"
Katanya.
"Boe Jie tee, sesudah berlayar, perahumu harus berada agak jauh dari perahuku. Kalau terlalu dekat, anak itu bisa curiga. Tapi kalau terlalu jauh, hubungan kita bisa terputus. Maka itu kau harus memilih anak buah dan pengemudi yang pandai."
Boe Kie merasa kepalanya pusing. Ia mengasah otak untuk memecahkan banyak pertanyaan.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku belum pernah memperkenalkan diri, tapi bagaimana mereka bisa menebak asal-usulku?"
Tanyanya dalam hati.
"Hmmungkin sekali karena aku sudah menggunakan ilmu Boe tong-pay dan Hang lion Sip pat ciang waktu melawan Wie Pek dan kedua perempuan itu.
Coe Pehpeh seorang cerdas dan berpengalaman luas.
Rupanya, begitu melihat ilmu silatku, ia sudah bisa menebak asal-usulku."
Beberapa saat kemudian, ia berkata pula dalam hatinya.
"Ia tahu, bahwa kedua orang tuaku lebih suka mati daripada membuka rahasia.
Ia menaksir bahwa jika menggunakan kekerasan, ia tak akan bisa mengorek dari mulutku.
Maka itu, ia menggunakan siasat membakar rumah sendiri dan menjalankan tipu Kouw-jiok-kee (menyakiti diri sendiri), sehingga tanpa meminta, aku sudah membuka rahasia Peng hwee-to.
Ah!...Coe Tiang Leng! Coe Tiang Leng! Tipumu sungguh beracun!"
Sementara itu, Coe Tiang dan Boe Liat sudah mulai membicarakan rencana pelayaran, Boe Kie tak berani mendengar lebih jauh dan dengan sangat hati-hati, ia lalu meninggalkan rumah itu.
Sambil memasang kuping, ia berjalan selangkah demi selangkah.
Ia tahu, bahwa kedua orang tua itu memiliki kepandaian yang sanggat tinggi, sehingga sedikit saja ia bertindak salah, mereka segera bisa mendengarnya.
Sesudah terpisah belasan tombak, barulah ia berani berjalan lebih cepat.
Dalam ketakutan ia tak memilih jalanan.
Ia terus mendaki tanjakan dan menuju ke sebuah hutan lebat.
Selama kurang lebih satu jam ia berlari- lari seperti orang kalap, tanpa berani mengaso.
Waktu fajar menyingsing, ia berada di dalam hutan dari sebuah puncak yang tertutup salju.
Dengan napas tersengal- sengal ia menhentikan langkah dan menengok untuk melihat kalau-kalau ada yang mengejar.
Tiba-tiba ia mengeluh karena di jalanan yang barusan dilewatinya, yang tertutup dengan salju, terdapat tapak- tapak kakinya sendiri.
Daerah barat (See hek) adalah daerah yang hawanya sangat dingin dan biarpun waktu itu sudah masuk musim semi, salju di gunung-gunung masih belum lumer.
Semalam, dalam ketakutannya, ia tak berani jalan di tanah datar dan sudah mendaki puncak itu.
Tapi dengan berbuat begitu, ia malah sudah membuka rahasia sendiri.
Pada saat itu, dari sebelah kejauhan sekonyong-konyong terdengar geram kawanan serigala yang menakutkan.
Boe Kie berdiri di atas batu karang yang sangat curam.
Mendengar suara itu, ia mengawasi ke bawah.
Ternyata, di dasar lembah terdapat tujuh-delapan serigala yang sedang meronyang-ronyang kearahnya dan menyalak tak henti- hentinya.
Kawanan binatang itu kelihatannya kelaparan dan ingin menubruk dirinya untuk mengganjal perut.
Tapi ia berdiri di tempat aman yang terpisah jauh dari mereka.
Ia memutar kepala dan mengawasi keberapa jurusan.
Mendadak sekali ia terkesiap.
Matanya yang jeli melihat bergeraknya lima bayangan manusia di sebuah tanjakan.
Ia tahu, bahwa mereka rombongan Coe Tiang Leng yang sedang mengejar dirinya.
Dari jauh mereka kelihatannya berjalan sangat perlahan, tapi ia mengerti, bahwa dalam tempo satu jam, mereka akan tiba di tempat dimana ia sekarang berdiri.
Sesudah menentramkan hatinya, Boe Kie segera mengambil satu keputusan.
"lebih baik aku mati dimakan serigala daripada jatuh ke dalam tangan mereka,"
Katanya dalam hati.
Untuk sejenak ia berdiri bengong.
Ia ingat bahwa dengan setulus hati ia mencintai Kioe Tin sebagai seorang adik mencintai kakak sendiri.
Sungguh tak dinyana wanita yang begitu cantik mempunyai hati yang begitu kejam.
Ingat begitu, ia malu campur duka.
Cepat-cepat ia melompat dan masuk ke dalam hutan dengan berlari.
Karena hutan terdapat rumput-rumput tinggi, maka meskipun masih ada salju, tapak-tapak kakinya sukar terlihat.
Sesudah lari beberapa lama, mendadak racun dingin dalam tubuhnya mengamuk lagi.
Ia tidak kuat berjalan terus.
Rasa lelah dicampur dengan kesakitan hebat.
Apa boleh buat, ia merangkak masuk ke dalam gerombolan alang-alang dan menjumput sebutir batu tajam dari atas tanah.
Ia sudah mengambil keputusan bahwa Coe Tiang Leng mengejar sampai di situ dan cepat menemukan tempat persembunyiannya, ia akan membunuh diri dengan menghantam Tay Yang Hiatnya dengan batu itu.
Sesudah mengambil keputusan itu, hatinya jadi lebih tenteram.
Didepan matanya lantas saja terbayang kehidupan bahagia selama 2 bulan lebih dalam rumah Tiang Leng dan peringatan yang sedap itu telah mendatangkan kedukaan terlebih besar dalam hatinya.
"Pendeta Siau Lim Sie mencelakakan aku, tapi hal itu tidak usah dibuat heran."
Pikirnya.
Orang-orang Kong Tong Pay, Hwa San Pay dan Kun Lun Pay telah membalas budi dengan kejahatan, tapi itupun tak perlu dihiraukan.
Tapi Tin Cie aku mencintainya dengan sepenuh hati!...
ah! Bukankah ibu pernah memesan aku pada waktu ia mau menghembuskan napas yang penghabisan? Mengapa aku melupakan pesan itu.
Sebagaimana diketahui, sebelum mati In So So telah memesan Boe Kie supaya anak itu berhati-hati terhadap perempuan.
Menurut So So, makin cantik wanita, makin pandai menipu orang.
Dengan air mata berlinang-linang, anak itu berkata dalam hatinya.
"Waktu mengucapkan pesan itu, pisau sudah menancap di dada ibu. Dengan menahan sakit, ibu sudah memesan aku, tapi aku sendiri sedikitpun tidak memperdulikan pesan itu. Kalau aku tidak mengerti ilmu membuka jalan darah, tipu busuk Coe Tiang Leng dan kawan-kawannya sudah pasti tidak akan diketahui olehku dan aku menuntun mereka ke Peng Hwee To untuk mencelakakan Gie Hu."
Sesudah hatinya lebih tenteram, ia bisa memikir secara lebih terang.
Ia segera dapat melihat latar belakang dari tindakan-tindakan Coe Tiang Leng.
Sesudah menduga, bahwa ia adalah putera Thio Coei San, si orang she Coe lalu membinasakan kawanan anjing, sebagai tindakan pertama untuk mendapat kepercayaan.
Sesudah itu, dia berlaku manis-manis sampai akhirnya membakar gedung sendiri.
Biarpun termusnahnya rumah- rumah itu harus disayangkan, akan tetapi harta benda tersebut tidak berarti banyak jika disbanding dengan To Liong To, senjata mustika yang dapat membuat pemiliknya menjadi seorang termulia dalam rimba persilatan.
Waktu masih berada di pulau, aku sering melihat Gie Hu duduk bengong sambil memeluk golok itu,"
Kata Boe Kie dalam hati.
"Tapi selama sepuluh tahun, ia masih juga belum bisa menembus rahasia golok itu. Coe Tiang Leng adalah seorang yang pintar luar biasa dan kecerdasan otaknya lebih lihai daripada Gie Hu. Jika To Liong To sampai jatuh ke tangannya, apa yang tak dapat ditembus Gie Hu, mungkin sekali dapat dipecahkan olehnya."
Sesaat itu, suara tindakan kaki sudah terdengar tegas, sebagai tanda bahwa rombongan pengejar sudah masuk ke dalam hutan. "Bocah itu pasti bersembunyi di hutan ini,"
Bisik Boe Liat.
"Tak mungkin dia kabur ke tempat lain"
"Ssst!"
Tiang Leng memutuskan perkataannya. Sesaat kemudian ia berkata pula dengan suara keras.
"Hai! Entah apa kesalahan Tin Jie. Aku sungguh sangat kuatir. Ia masih begitu kecil dan kalau sampai terjadis sesuatu atas dirinya, biarpun badanku hancur luluh, aku masih belum bisa menebus dosa."
Suara itu dikeluarkan dengan nada parau, seperti juga benar-benar ia bersusah hati.
Akan tetapi, bagi Boe Kie perkataan- perkataan itu membangunkan bulu roma.
Dilain saat, Boe Kie mendengar suara beberapa orang memukul alang-alang dengan tongkat.
Ia rebah sambil menahan nafas dan tidak berani berkutik.
Untung juga, hutan sangat luas dan mereka tidak dapat ke tempat persembunyian si bocah.
Sesudah berusaha beberapa lama tanpa berhasil, tiba-tiba Coe Tiang Leng membentak keras-keras.
"Tin Ji, a pakah yang sudah dperbuat olehmu sehingga saudara kecil kabur ditengah malam buta?"
Kioe Tin kaget, tapi ayahnya segera memberi isyarat dengan kedipan mata. Dari tempat sembunyinya, Boe Kie melihat kedipan itu. "Aku hanya berguyon dan sudah menotok jalan darahnya,"
Jawab si nona. "Tidak dinyana, adik Boe Kie menganggap salah."
Sehabis berkata begitu, ia berteriak.
"Adik Boe Kie! Dimana kau? Lekas keluar! Tin Cie ingin menghaturkan maaf kepadamu."
Tapi tentu saja teriakan itu tidak mendapatkan jawaban. Tiba-tiba terdengar suara tangisannya.
"Thia, jangan! Jangan pukul aku"
Ratapnya. "Aku tidak sengaja tidak sengaja"
Coe Tiang Leng mencaci-caci sedang puterinya menangis keras sambil meratap, seperti juga sedang dihajar keras.
Melihat sandiwara itu Boe Kie menghela nafas panjang.
"Jika aku belum mendapat bukti dari kepalsuannya, sudah pasti aku akan melompat ke luar,"
Pikirnya.
Karena yakin bahwa Boe Kie bersembunyi dalam hutan itu, mereka bersandiwara terus, yang satu memaki dengan kata-kata hebat, yang lain mengeluarkan teriakan-teriakan menyayat hati.
Dengan kedua tangan, Boe Kie menutup kupingnya, tapi suara sesambat si nona masih tetap terdengar.
Sebisa mungkin ia coba mengeraskan hati, tapi akhirnya ia tak dapat bertahan lagi.
Sesudah mengambil keputusan nekat, tiba-tiba ia melompat keluar dan berteriak.
"Tak usah kamu melangsungkan permainan gila itu! Apa kamu kira aku tak tahu segala tipu busukmu?"
Melihat munculnya Boe Kie, Coe Tiang Leng beramai jadi girang.
"Aha! Ini dia!"
Seru mereka.
Dilain pihak sesudah mencaci, Boe Kie segera berlari bagaikan kalap.
Coe Tiang Liat lantas saja mengejar.
Sebelum melompat keluar, si bocah sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia yang kejam ini.
Seperti seekor kijang, ia kabur ke arah tebing dengan melompat ke jurang yang dalam.
Tapi Coe Tiang Leng memiliki ilmu ringan badan yang banyak lebih tinggi daripadanya.
Maka itu, baru saja ia tiba di atas tebing, si orang she Coe sudah menyandaknya lalu menjambret belakang bajunya.
Pada detik itu, kaki kanannya sudah menginjak tempat kosong dan separuh badannya sudah berada di atas jurang.
Begitu Coe Tiang Leng menjambret punggungnya, kaki kirinya melompat dan badannya menubruk ke depan.
Coe Tiang Leng tak pernah menduga bahwa bocah itu sedemikian nekat.
Karena Boe Kie melompat dengan sepenuh tenaga, ia turut terbetot.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi.
Jika pada saat itu ia melepaskan cekalannya, dengan mudah ia akan dapat menolong diri.
Akan tetapi ia mengerti, bahwa melepaskan anak itu berarti sama dengan melepaskan To Liong To.
Selama kurang lebih dua bulan dengan susah payah ia sudah menjalankan tipunya, bahkan ia sampai mengorbankan gedung dan harta bendanya.
Apakah ia harus melepaskan golok mustika yang sudah berada di depan mata? Seluruh tubuh Boe Kie sekarang berada di atas jurang, di tengah udara!....
"Celaka!"
Coe Tiang Leng mengeluh dengan hati mencelos.
Tangan kirinya menyambar ke belakang dengan harapan bisa mencekal tangan Boe Liat yang turut mengejar tapi pada detik itu tangan Boe Liat masih terpisah kira-kira satu kaki.
Ternyata tenaga penarik To Liong To lebih dahsyat daripada ancaman bencana.
Coe Tiang Leng tetap mencekal baju si bocah itu dan.
Mereka berdua tergelincir ke dalam jurang yang di dalamnya berlaksa tombak! Sayup-sayup terdengar teriakan Kioe Tin dan Boe Liat.
Sesaat kemudian segala apa tidak terdengar lagi, kecuali menderunya angin.
Coe Tiang Leng mengerti bahwa kalau jatuh di dasar, badan akan hancur lebur.
Ia adalah seorang yang sudah kenyang mengalami topan dan gelombang.
Maka dalam menghadapi kebinasaan ia tak jadi bingung.
Badan mereka melayang ke bawah dengan cepatnya Jarak antara kedua dinding jurang tidak begitu lebar dan selagi melayang jatuh beberapa kali, Coe Tiang Leng melihat pohon-pohon yang tumbuh di dinding dan cabang- cabang melonjor ke luar.
Beberapa kali ia menjambret tapi selalu gaga.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paling belakang, jambretannya kena, tapi sebab tenaga jatuhnya mereka terlampau hebat maka, dengan mengeluarkan suara "krekek,"
Cabang siong itu yang sebesar lengan patah dari pohonnya.
Walaupun begitu, kejadian ini merupakan pertolongan.
Biarpun cabang itu patah, jatuhnya mereka jadi tertahan dan Coe Tiang Leng tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Dengan meminjam tenaga, ia mengangkat kedua kakinya dengan gerakan Ouw Liong Jiauw Cu (Naga Hitam Melibat Tiang), ia memeluk dahan dengan kedua betisnya.
Dilain saat ia sudah mengangkat tubuh Boe Kie dan mendudukkannya di atas sebuah cabang, tapi tangannya tetap mencekal baju si bocah, sebab ia kuatir anak itu akan melompat lagi.
Melihat ia bakal mati dan tetap tak bisa terlolos dari tangan si orang she Coe.
Boe Kie berduka bukan main dan berkata dengan suara membenci.
"Coe PehPeh, biar bagaimana hebat kau menyiksa aku, jangan harap aku akan menuntun kau ke tampat persembunyian Gie Hu." Ketika itu Coe Tiang Leng sendiri sudah duduk di atas satu cabang. Ia mendongak ke atas. Mereka ternyata sudah jatuh terlalu dalam. Apa yang dilihatnya hanyalah langit. Sedang Boe Liat dan yang lain sudah tak kelihatan bayangannya. Walaupun bernyali besar, ia menggigil dan dahinya mengeluarkan keringat dingin. Sesudah menentramkan hatinya, ia tertawa dan berkata.
"Saudara kecil, apa katamu? Aku tidak mengerti, janganlah kau memikir yang tidak-tidak."
"Segala tipu busukmu sudah kuketahui."
Jawabnya mendongkol.
"Sekarang segala tipumu sudah tidak berguna lagi. Andaikata kau memaksa aku untuk mengantar kau ke Peng Hwee To, aku bisa menunjuk jalan dengan sembarangan supaya kita sama-sama mampus dimakan lautan. Apa kau kira aku takut berbuat begitu?"
Coe Tiang Leng mengerti, bahwa ancaman itu bukan omong kosong.
Ia tahu, bahwa terhadap Boe Kie yang nekat, ia tidak bisa menggunakan kekerasan.
Orang satu-satunya yang bisa menaklukkan si bocah adalah puterinya sendiri.
Mamikir begitu, ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan berteriak.
"Kami selamat! Jangan khawatir!"
Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah. "Kami selamat!... Kami selamat!... Jangan khawatir!..."
Tiba-tiba Coe Tiang Leng ingat sesuatu.
"Celaka!"
Ia mengeluh.
"Aku tidak boleh berteriak begini di gunung salju."
Hampir berbareng, gumpalan-gumpalan salju putih meluruk turun dari dinding jurang.
Untung juga salju tidak begitu tebal.
Sehingga tidak membahayakan.
Tapi Coe Tiang Leng tidak berani berteriak lagi.
Ia menghela nafas dan sambil mengawasi keempat penjuru, ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.
Ke bawah, jurang itu belum kelihatan dasarnya dan andaikata mereka bisa turun sampai ke dasar jurang, disitu belum tentu ada jalan keluar.
Untuk memanjat ke atas dari dinding yang satu, sukar dapat dilakukan, karena dinding batu itu bukan saja sangat curam tapi juga ditutup salju licin.
Maka itu, jalan satu-satunya adalah coba memanjat ke atas dari tebing-tebing yang lain, yang tidak begitu terjal.
Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara membujuk.
"Saudara kecil, jangan kau mencurigai aku secara membuta tuli, Biar bagaimanapun jua, aku tidak akan memaksa kau untuk mencari Cia Sun. Kalau aku menggunakan kekerasan, biarlah aku mati terpanah laksaan anak panah dan mati tanpa mempunyai kuburan."
Sumpah yang begitu berat itu bukan sumpah kosong.
Ia tahu, bahwa ia memang tidak bisa memaksa anak yang kepala batu itu.
Kemungkinan satu-satunya hanyalah membujuk atau menipu supaya si bocah mau membantunya dengan suka rela.
Dilain pihak, mendengar sumpah itu, hati Boe Kie jadi lebih lega.
"Sekarang kita harus berusaha untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tebing."
Kata Coe Tiang Leng pula. "Tapi kau tidak boleh melompat ke bawah lagi. Kau mengerti?"
"Kalau tidak memaksa aku, akupun tak perlu mencari mati."
Jawabnya.
Coe Tiang Leng mengangguk dan mengeluarkan pisau yang lalu digunakan untuk mengeset kulit pohon.
Dengan kulit pohon itu, ia membuat tambang yang kedua ujungnya lalu diikatkan ke pinggang sendiri dan ke pinggang Boe Kie.
Sesudah itu, perlahan-lahan dan hati-hati mereka memanjat ke atas, ke arah sinar matahari.
Usaha mereka itu diliputi dengan tanda tanya.
Bagaimana kesudahannya? Apakah mereka akan menemui keselamatan atau kecelakaan? Entahlah, apa yabg dapat diperbuat hanyalah maju selama masih bisa maju.
Tebing itu sendiri sukar dipanjat.
Ditambah dengan salju yang sudah membeku menjadi es, licinnya luar biasa, sehingga setiap tindakan diliputi dengan bahaya besar.
Dua kali Boe Kie terpeleset dan ia tentu sudah tergelincir ke bawah, kalau tidak ditolong Coe Tiang Leng.
Sebaliknya daripada berterima kasih, ia jadi mendongkok dan mengejek dalam hatinya.
"Tua bangka! Kalau kau tidak mengiler pada To Liong To, tak nanti kau baik hati."
Sesudah memanjat setengah hari, mereka bukan saja lelah, tapi capai.
Tapi sikut, lutut, dan kaki merekapun berlumuran darah, akibat goresan es yang tajam.
Perlahan- lahan curamnya tanjakan berkurang.
Mereka tidak perlu merangkak lagi.
Setindak demi setindak, mereka maju dengan nafas tersengal-sengal.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di atas tanjakan yang berdiri bagaikan sebuah sekosol besar.
Tiba-tiba Coe Tiang Leng mengeluh! Dengan mata membelalak dan mulut ternganga, ia mengawasi ke depan, ke lautan awan.
Ternyata, mereka berdiri di atas tanah datar yang seperti panggung dan tiga penjuru panggung itu berbatasan dengan kekosongan.
Luasnya tanah datar itu ratusan ombak persegi, tapi ke atas tak ada jalan, ke bawahpun begitu juga.
Mereka terjebak di kotak buntu.
Apa yang lebih celaka lagi, di tanah datar itu hanya terdapat salju, salju yang putih bagaikan kapas tanpa pepohonan.
Tanpa makhluk hidup yang dapat digunakan untuk menangsal perut.
Tapi Boe Kie sendiri berbalik girang.
Ia tertawa dan berkata.
"Coe PehPeh, kau sudah mengeluarkan banyak tenaga, tapi hasilnya kita tiba di tempat ini. Kalau sekarang orang memberikan To Liong To kepadamu, apakah golok itu dapat menolong Kau?"
"Jangan rewel!"
Bentak Coe Tiang Leng dengan gusar. Ia segera menjumput salju yang lalu ditelannya untuk menghilangkan rasa haus dan kemudian bersila untuk mengaso.
"Biarpun letih, sekarang tenagaku masih cukup,"
Pikirnya.
"Kalau menunggu sampai besok, mungkin aku tak bisa keluar lagi dari kurungan ini."
Berpikir begitu, ia lantas saja bangkit dan berkat.
"Tidak guna kita berdiam lama- lama di sini. Kita harus kembali ke jalanan tadi dan coba mencari jalan keluar lain. "Tapi aku sendiri merasa senang untuk berdiam terus di sini."
Kata si bocah sambil menyeringai. "Kau gila,"
Bentak Coe Tiang Leng.
"Di sini tak ada makanan apapun jua. Apa kau mau mati kelaparan?"
Si bocah tertawa geli.
"Bukankah bagus sekali jika kita tak makan makanan manusia?"
Katanya. "Dengan begitu, kita bisa mensucikan diri dan mungkin sekali bisa menjadi dewa yang suci!"
Bukan main gusarnya Coe Tiang Leng, tapi sebisa mungkin ia menahan nafsu amarahnya, sebab ia khawatir anak kepala batu itu akan jatuh ke bawah. "Baiklah,"
Katanya.
"Kau mengaso di sini dan aku akan coba mencari jalan keluar. Tapi ingat! Kau tak boleh mendekati tebing. Sekali jatuh, kau mampus."
"Tak perlu kau memikirkan soal mati hidupku,"
Kata Boe Kie sraya tertawa.
"Hm!... sampai sekarang kau masih mimpi, bahwa aku sudi mengantar kau ke pulau Peng Hwee To. Terang-terangan aku menasihati kau, jangan kau mimpi terlalu muluk."
Coe Tiang Leng merasa dadanya seolah-olah mau meledak, tapi ia tak mau menjawab ejekan itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera turun ke bawah lagi dan setibanya di pohon siong yang tadi, ia lalu merambat ke dinding jurang di seberang.
Dinding itu lebih curam dan lebih berbahaya, tapi tanpa Boe Kie, ia malah bisa memanjat lebih cepat.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ia mencapai di puncak dan ia mengeluh karena puncak itu merupakan puncak yang buntu.
Sekali lagi ia berdiri di atas tebing yang berbatasan denan kekosongan.
Lama ia berdiri di situ sambil menghela nafas berulang-ulang dan kemudan dengan putus harapan ia balik ke tanah datar yang seperti panggung dimana Boe Kie sedang menunggu.
Begitu melihat paras mukanya, tanpa bertanya Boe Kie tahu, bahwa orang tua itu gagal dalam usahanya.
"Sesudah kena Hian Beng Sin Ciang, aku sendiri akan segera mati,"
Katanya dalam hati.
"Mati di sini atau di tempat lain tak banyak bedanya. Tapi Coe PehPeh sebenarnya seorang kaya raya yang hidup beruntung. Hanya karena ia temaba akan To Liong To, sekarang ia harus menemani aku mati di sini. Sungguh kasihan."
Semula ia sangat membenci orang tua itu yang telah menjalankan tipu busuk terhadap dirinya.
Dalam menghadapi kebinasaan, ia malah sudah mengejeknya dengan perkataan-perkataan menusuk.
Tapi sekarang, sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar jurang itu tidak terdapat jalan keluar dan setelah melihat kedukaan Coe Tiang Leng, ia berbalik merasa kasihan.
"Coe PehPeh,"
Katanya dengan suara halus.
"Kau sudah berusia lanjut dan kau sudah mencicipi kebahagiaan hidup. Andaikata kau mati sekarang, kau tidak pantas merasa menyesal. Sudahlah, tak guna kau menyesal."
Mendengar bujukan itu, dengan sorot mata berapi orang tua itu melirik si bocah.
Ia berlaku sangat manis terhadap Boe Kie hanya karena mempunyai harapan, bahwa anak itu akan mengantarkannya ke pulau Peng Hwee To.
Tapi sekarang, sesudah ternyata bahwa ia tidak akan bisa meloloskan diri lagi dan yang menjadi gara-gara adalah si bocah sendiri, darahnya lantas saja meluap.
Dengan sorot mata bersinar pembunuhan, ia menatap wajah Boe Kie dengan sikap seperti binatang buas.
Melihat begitu, si bocah jadi ketakutan.
Sambil berteriak, ia bangkit dan terus kabur.
"Biantang! Mau lari kemana kau?"
Bentak Coe Tiang Leng sambil menubruk.
Ia bertekat untuk membekuk Boe Kie dan sesudah menyiksanya sepuas hati, barulah mau membinasakannya.
Tanpa menghiraukan bahaya Boe Kie menyerosot ke bawah.
Tiba-tiba ia melihat lubang besar yang gelap, seperti gua atau terowongan.
Tanpa memikir panjang, ia segera masuk ke dalam lubang itu.
"Breeet!"
Kaki celananya kena dijambret Coe Tiang Leng dan robek sebagian.
Dengan cekat ia terus berlari.
Saban Coe Tiang Leng mendekati, ia berbalik dan menghantam dengan pukulan Sin-Leng, ilmu silat si bocah itu masih kacek terlalu jauh.
Tapi Sin Liong Pa Bwee bukan pukulan biasa, sehingga walaupun berkepandaian tinggi, Coe Tiang Leng tidak berani terlalu mendesak secara ceroboh.
Sambil membungkuk, ia terus mengejar dengan hati-hati.
Dengan tindakan limbung dan tersandung berulang- ulang, Boe Kie terus kabur di terowongan yang gelap itu.
Tiba-tiba kepalanya membentur dinding batu, sehingga matanya berkunang-kunang.
Ia mengerti, bahwa sesudah tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dirinya, orang tua itu, yang sudah kalap, bisa melakukan perbuatan sangat kejam.
Ia bukan takut disiksa mati, tapi ia tidak mau mati disiksa.
Maka itu ia terus lari.
Untung juga terowongan tersebut makin jauh makin sempit, sehingga sesudah merangkak puluhan tombak, lubang itu hanya sebesar tubuhnya yang kecil dan Coe Tiang Leng tidak bisa masuk sampai di situ.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah merangkak lagi beberapa tombak, sekonyong- konyong Boe Kie melihat sinar terang, ia girang bukan main dan sambil menempos semangat, ia maju dengan sekuat tenaga.
Coe Tiang Leng bingung bercampur gusar.
"Saudara kecil, sudahlah! Aku tak akan mencelakakan kau,"
Serunya.
Tapi si bocah tentu saja tidak menghiraukannya.
Dalam gusarnya, Coe Tiang Leng mengerahkan Lweekang dan menghantam dinding dengan kedua tangannya.
Tapi batu itu keras luar biasa sehingga bukan saja kedua tangannya sakit, tapi nafsunya pun agak menyesak.
Ia mencabut pisau dan coba mencakil batu, tapi baru beberapa goresan, pisau itu patah.
Bagaikan kalap, ia mengerahkan tenaga dalam ke kedua pundaknya dan lalu memasukkan tubuhnya ke dalam lubang.
Tapi inipun tidak menolong, bahkan dadanya sakit bukan main.
Dengan nafas tersengal-sengal, ia coba menggeser mundur tubuhnya.Diluar dugaan, badannya terjepit keras.
Maju tak dapat, mundurpun tak bisa.
Semangat Coe Tiang Leng terbang.
Dengan mengerahkan seantero tenaganya, ia menggeser tubuh dan kali ini berhasil.
Tapi dadanya sakit bukan main dan ternyata salah sebuah tulang rusuknya patah.
Sementara itu, Boe Kie terus merangkak maju.
Makin jauh, sinar di depan kedua matanya silau karena tertumbuk sinar matahari.
Ia meramkan kedua matanya dan menenteramkan jantungnya yang memukul keras.
Perlahan- lahan ia membuka lagi kedua matanya dan ia melihat sebuah lembah yang indah luar biasa, dengan pohon-pohon bunga yang beraneka warna.
Boe Kie bersorak karena girangnya.
Dengan cepat ia merangkak keluar dari terowongan itu.
Lubang terowonga terpisah kira-kira setombak dari bumi dan dengan sekali melompat, kakinya sudah hinggap di atas rumput yang empuk.
Hampir berbareng, hidungnya mengendus harumnya bunga-bunga, matanya melihat buah-buah masak yang tergantung di pohon-pohon, sedang kupingnya mendengar kicaunya sejumlah burung.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa di ujung terowongan itu terdapat dunia yang bagaikan surga.
Tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia berlari-lari untuk menyelidiki keadaan lembah itu.
Sesudah melalui dua li lebih, ia berhadapan dengan puncak gunung yang menghadang di tengah jalan.
Ternyata lembah itu dikitari dengan lereng-lereng gunung yang sangat curam dan rupanya tempat seindah itu belum pernah diinjak manusia lain.
Dengan hati berdebar-debar, Boe Kie memandang ke seputarnya.
Ternyata lereng-lereng yang curam itu tak mungkin dipanjat manusia.
Sekali lagi ia berada dalam kurungan.
Tapi si bocah tidak menghiraukan itu semua.
Ia merasa beruntung kalau ia bisa mati di tempat yang seindah itu.
Ia mengawasi tujuh-delapan kambing hutan yang tidak takut manusia sedang makan rumput dengan sikap tenang.
Diatas pohon-pohon terdapat sejumlah kera kecil yang bermain dengan penuh kegembiraan.
Ia mendapat kenyataan, bahwa di tempat itu tidka terdapat binatang buas.
Mungkin sekali binatang-binatang seperti harimau yang badannya berat tidak bisa melewati puncak-puncak yang terjal.
"Langit menaruh belas kasihan atas diriku,"
Kata Boe Kie dalam hati.
"Langit sudah menyediakan tempat yang seperti surga ini untuk dijadikan kuburanku,"
Perlahan- lahan ia kembali ke mulut terowongan. "Saudara kecil saudara kecil"
Demikian terdengar seruan Coe Tiang Leng.
"Keluar! Keluarlah! Kau bisa mati di dalam lubang."
Boe Kie tertawa terbahak-bahak.
"Coe PehPeh, kau salah!"
Teriaknya.
"Tempat ini seperti surga indahnya."
Ia lalu memanjat pohon dan memetik beberapa buah yang tidak dikenal.
Ia mencium-cium buah itu yang harum baunya, kemudian menggigitnya.
Aduh, luar biasa! Garingnya melebihi buah Tho, wanginya melebihi buah apel, sedang manisnya lebih menang dari bauh Leci.
Sambil melontarkan salah sebuah ke dalam lubang, Ia berteriak.
"Coe PehPeh, sambut! Makanan enak datang!"
Karena terbentur-bentur batu, waktu tiba di depan Coe Tiang Leng, buah itu sudah bonyok. Ia menjemputnya dan lalu memasukkannya ke dalam mulut. Benar-benar enak! Tapi ia lebih menderita, buah itu malah membangunkan nafsu makannya.
"Saudara kecil, tolong berikan beberapa biji lagi,"
Ia memohon. Si bocah tertawa besar.
"Kau harus menerima nasib,"
Ejeknya.
"Tapi manusia yang sejahatmu memang pantas mati kelaparan. Kalau kau mau makan lebih banyak, ambillah sendiri."
"Badanku terlalu besar, tak bisa masuk,"
Kata Coe Tiang Leng. "Belah badannya menjadi dua potong!"
Ejek pula si bocah. Coe Tiang Leng menghela nafas. Ia tak nyana bahwa bukan saja rencana hancur, tapi ia sendiri mesti mati di tempat itu. Ia tak mau memohon lagi dan dengan darah yang meluap-luap, ia mencaci.
"Binatang! Meskipun dalam gua itu terdapat buah, tapi apa buah-buahan itu bisa mencukupi keperluan untuk seumur hidupmu? Aku mati di sini, tapi kau juga akan mampus dalam beberapa hari. Hm!... Aku mati kaupun mampus."
Boe Kie tak menghiraukannya.
Sesudah makan belasan buah, perutnya kenyang dan ia lalu merebahkan diri di atas rumput untuk mengaso.
Selang beberapa lama, tiba-tiba si bocah melihat keluarnya asap dari lubang terowongan.
Ia mengerti, bahwa itulah perbuatan Coe Tiang Leng yang coba mencelakakannya dengan membakar ranting-ranting pohon siong.
Ia ketawa geli dan berlagak batuk-batuk.
"Saudara kecil!"
Teriak Coe Tiang Leng.
"Keluarlah! Aku bersumpah tak akan mengganggu kau."
Si bocah pura-pura teriak keras, seperti orang mau pingsan.
Sesudah itu, ia pergi ke tempat lain tanpa memperdulikan lagi si orang she Coe.
Dengan hati riang, ia berjalan ke jurusan barat.
Sesudah melalui dua li lebih, ia melihat sebuah air tumpah yang turun ke bawah dari dinding batu ke sebuah kolam.
Air itu adalah salju yang melumer dan di bawah sorotan matahari kelihatannya indah sekali seolah-olah seekor naga giok.
Dengan rasa kagum, ia mengawasi kolam itu, yang biarpun terus menerima air dari atas, tidak menjadi luber.
Ia tahu, bahwa di bawah kolam itu terdapat selokan yang mengalirkan air ke tempat lain.
Sesudah menikmati pemandangan itu beberapa lama, ia menunduk dan melihat kaki tangannya yang kotor lantaran kena Lumpur di terowongan.
Ia segera pergi ke pinggir kolam, membukakan sepatu dan kaos kaki dan lalu memasukkan kedua kakinya ke dalam air.
Mendadak seraya berteriak "Aduh,"
Ia melompat bangun. Mengapa? Karena air itu dingin luar biasa. Begitu menyentuh air, kakinya sakit, dan lebih sakit daripada disiram air mendidih. Ketika diperiksa, kedua kakinya ternyata sudah merah bengkak. Ia mengawasi sambil meleletkan lidah.
"Heran! Sungguh mengherankan!"
Katanya di dalam hati.
Diwaktu kecil selama beberapa tauhun di pulau Peng Hwee To dan sudah biasa dengan hawa dingin tapi belum pernah bertemu dengan air yang sedingin itu.
Yang lebih luar biasa adalah, walaupun dingin, air itu tetap tidak membeku.
Ia mengerti, bahwa di dalam air itu mengandung sesuatu yang aneh.
Ia mundur beberapa tindak dan mengawasinya sambil mengasah otak.
Sekonyong-konyong terdengar suara "Krok-krok!"
Dan dari dalam kolam melompat keluar tiga kodok warna merah.
Kodok itu kodok raksasa, badannya kira-kira empat kali lipat lebih besar dari kodok biasa.
Begitu berada di daratan, dari badan mereka mengepul uap putih, seperti uap yang keluar dari es.
Melihat keanehan binatang itu.
Sifat kekanak-kanakan Boe Kie lantas saja timbul.
Ia ingin menangkap salah seekor untuk dibuat main.
Perlahan-lahan ia mendekati, menubruk, dan menekap yang satu dengan tangannya, tiba- tiba ia terkejut.
Begitu telapak tangannya menyentuh kulit yang licin, ia merasa semacam hawa hangat menembus kulit dan terus naik ke lengannya.
Diluar dugaan, binatang itu galak dan bertenaga besar.
Dia memberontak dan begitu melepaskan diri dari cekalan, dia menggigit lengan kanan Boe Kie sekeras-kerasnya.
Si bocah terkesiap.
Cepat-cepat ia menyekal badan kodok itu dengan tangan kirinya dan membetotnya.
Tapi tak dinyana, binatang itu mempunyai gigi yang sangat tajam, sehingga kalau dibetot terus, bagian daging lengannya akan turut copot.
Sesaat itu, kedua kodok yang lain menyambar bagaikan kilat dan menggigit kedua kaku Boe Kie.
Seumur hidup, ia belum pernah bertemu dengan kodok yang seganas itu.
Dalam kagetnya, ia mengerahkan Lweekang dan menepuk kodok yang menggigit lengannya.
Perut binatang itu pecah dan tangannya belepotan darah yang berhawa panas.
Ia membungkuk dan lalu membinasakan kedua kodok yang menggigit kakinya.
Perlahan-lahan ia membuka mulut binatang itu dan melemparkannya di tanah.
Tapi kaki dan lengannya sudah lukan dan memperlihatkan tapak-tapak gigi.
Dengan hati mendongkol, ia mengawasi ketiga kodok itu.
"Binatang!"
Cacinya. Semua makhluk anjing menggigit aku dan sekarang kamu. Kebetulan perutku lapar, biarlah aku gegares dagingmu. Aku mau lihat, apa sesudah berdiam di dalam perutku, kamu masih bisa menghina aku."
Sehabis mengomel, ia segera mencari cabang-cabang kayu kering dan lalu menyalakan api.
Ketiga kodok itu lalu dikeset kulitnya dan dipanggang di atas perapian.
Tak lama kemudian hidungnya mendengus daging yang sangat wangi.
Tanpa memperdulikan segala apa, ia segera memasukkan sepotong betis kodok ke dalam mulutnya.
Ia tersenyum sambil menarik nafas panjang-panjang.
Daging itu ternyata sangat lezat, lebih lezat daripada daging apapun juga.
Dalam sekejab, ketiga kodok itu sudah ketinggalan tulangnya saja.
Berselang kira-kira samakanan nasi, semacam hawa panas mendadak naik ke atas dari dalam perut si bocah.
Ia merasa nyaman bukan main, seolah-olah badannya di dalam kolam air hangat.
Ia tak tahu, bahwa kodok itu adalah semacam binatang aneh di dalam dunia.
Dia hidup ditempat yang sangat dingin, tapi sifatnya adalah panas.
Tanpa sifat yang aneh itu, tak mungkin ia hidup didalam kolam dingin.
Kalau dagingnya dimakan orang biasa, orang itu akan segera mati dengan mengeluarkan darah dari hidung, mulut dan kupingnya.
Tapi Boe Kie bukan orang biasa karena didalam tubuhnya mengeram racun dingin dari Hian Beng Sin Ciang.
Racun dingin itu kebentrok dengan racun panas dari sang kodok dan racun panas buyar, racun dinginpun ikut mereda.
Tapi Boe kie sendiri tak tahu terjadinya kejadian yang sangat kebetulan itu.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia merasa sekujur tubuhnya lelah dan letih, rasa mengantuk menguasai dirinya.
Tapi ia tidak berani tidur disitu sebab kuatir diserang kodok lain.
Maka itu sambil menguatkan badan dan hati ia meninggalkan tempat itu.
Baru berjalan kira-kira satu li, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan lalu rebah pulas diatas tanah.
Ketika ia sadar, rembulan sudah berada ditengah tengah angkasa.
Ia merasa bahwa didalam perutnya terdapat semacam bola hangat yang bergerak-gerak dan menggelinding kian kemari.
Ia mengerti, bahwa daging kodok itu mempunyai zat-zat luar biasa untuk menambah tenaga.
Ia merasa semangatnya bertambah dan tenaga dalamnya jadi lebih besar.
Ia segera duduk bersila dan mengerahkan Lweekang, dengan niatan mendorong hawa hangat itu ke dalam pembuluh pembuluh darahnya.
Tapi sesudah berusaha beberapa kali, ia tidak berhasil bahkan kepalanya puyeng dan ulu hatinya enek.
Ia menghela nafas dan berkata dalam hatinya.
"Tak mungkin aku bernasib begitu baik. Kalau hawa hangat itu bisa menembus masuk berbagaipembuluh darah, bukankah itu berarti bahwa racun Hian Beng sin ciang sudah dapat dipunahkan". Baik juga, sebab ia tidak terlalu berharap hidup, ia tidak merasa kecewa. Pada keesokan tengah hari, ia merasa perutnya lapar. Ia lalu mengambil sebatang ranting pohon yang kemudian digunakan untuk mengaduk air di kolam dingin. Beberapa saat kemudian, ranting itu sudah digigit tiga empat kodok. Perlahan-lahan ia mengangkatnya keatas dan lalu membinasakan binatang-binatang itu dengan menggunakan batu. Sekali lagi ia membuat perapian dan membakar daging kodok yang lalu digunakan untuk menangsal perut. Karena merasa bahwa ia akan bisa hidup beberapa lama lagi, maka ia lalu membuat semacam dapur dan menaruh cabang cabang kering di dalamnya, supaya ia tidak saban- saban harus membuat api. Sebagai seorang yang pernah hidup di pulau Peng Hwee To, Boe Kie sudah bisa menolong diri sendiri. Maka itu, hidup sebatang kara ditempat tersebut tidak menjadi susah baginya. Ia mengambil tanah liat dan membuat paso tanah, kemudian menganyam rumput untuk membuat tkar. Ia bekerja sampai kira-kira magrib dan tiba-tiba ia ingat Coe Tiang Leng yang sekarang mestinya sudah kelaparan setengah mati. Maka itu, ia memetik satu buah dan melemparkannya ke dalam lobang terowongan. Ia tidak memberi daging kodok panggang sebab kuatir Coe Tiang Leng bertambah tenaga dan bisa menggempur dinding terowongan. Kekuatiran si bocah ternyata sudah menyelamatkan jiwa orang she Coe. Kalau Boe Kie memberikan kodok itu, ia sudah pasti sudah melayang jiwanya. Beberapa hari sudah lewat tanpa terjadi sesuatu yang luar biasa. Hari itu, selagi Boe Kie membuat sebuah dapur tanah, tiba-tiba ia mendengar pekik seekor kera yang menggenaskan hati. Cepat-cepat ia memburu kearah suara itu. Ternyata seekor kera kecil sedang melompat-lompat sambil memekik-mekik dengan tiga ekor kodok merah mengigit punggungnya, sedang dua ekor yang lain sudah melompat keluar dari dalam air. Si kera bergulingan di tanah dan membanting-banting dirinya, tapi kodok-kodok itu terus menggigit erat-erat dan menghisap darah yang menjadi makanannya. Boe Kie melompat dan mencekal lengan kiri kera itu yang lalu dibawa ke tempat lain yang jauh dari kolam dingin itu. Sesudah berada ditempat yang lebih aman, batulah ia membinasakan ketiga kodok itu. Jiwa kera itu tertolong,tapi tulang lengan kanannya patah. "Aku sangat kesepian, ada baiknya jika bisa mendapat kawan seekor kera", katanya didalam hati. Memikir begitu, ia segera mengambil dua potong ranting pohon dan sesudah menyambung tulang yang patah, ia segera menjepitnya dengan kedua ranting itu. Kemudian ia memetik beberapa macam daun obat yang lalu ditumbuk dan ditorehkan pada tulang yang patah itu. Biarpun ia tidak mendapat daun- daun obat yang mujarab, tapi berkat kepandaiannya dalam ilmu menyambung tulang, maka dalam tempo kira-kira seminggu, tulang itu sudah menyambung pula. Kera kecil itu mengenal budi. Pada keesokan harinya, ia membawa banyak bebuahan dan memberikannya pada Boe Kie. Belum cukup sepuluh hari, lengan yang patah itu sudah sembuh seanteronya. Kejadian itu telah mengubah cara hidup Boe Kie. Sesudah disembuhkan, si kera rupanya memberitahukan kepada kawan kawannya dan tak lama kemudian, Boe Kie sudah menjadi tabib dari kawanan binatang di lembah tersebut. macam binatang datang minta pertolongannya tapi yang paling banyak adalah sebangsa kera. Si bocah melakukan tugas baru itu dengan segala senang hati. Sesudah mendapat pengalaman pahit getir, ia mendapat kenyataan bahwa diantara binatang ada yang lebih mengenal budi daripada manusia. Satu bulan telah berlalu. Setiap hari ia makan daging kodok dan ia merasa sangat girang bahwa serangan- serangan racun dingin yang datang pada waktu-waktu tertentu, makin lama jadi semakin enteng. Pada suatu pagi, ia tersadar karena mukanya diraba oleh tangan berbulu. Dengan kaget ia melompat bangun. Ternyata, tangan itu tangan seekor kera putih besar yang mendukung seekor kera kecil dan tengah berlutut disampingnya. Kera kecil itu adalah kera yang tulangnya pernah disambung olehnya. Kera kecil berbunyi "cit-cit cat- cat"
Sambil menunjuk-nunjuk perut kera putih itu yang mengeluarkan bau tak sedap. Ia mengawasi dan ternyata, bahwa di perut kera itu terdapat borok yang bernanah. Ia tertawa dan manggut2kan kepala.
"Baik, baik!"
Katanya.
"Aku akan menolong". Si kera putih mengangsurkan tangan kirinya yang mencekal buah tho dan dengan hormat memberikannya kepada Boe Kie. Buah itu besar luar biasa. Kira-kira sebesar tinju. Boe Kie merasa kagum, karena belum pernah ia melihat buah tho sebesar itu.
"Ibu pernah bercerita bahwa di gunung Koen Loen terdapat dewa See Ong Bo yang sering mengadakan pesta buah tho dengan mengundang para dewa dan dewi,"
Pikirnya.
"Cerita tentang See Ong Bo mungkin cerita bohong, tapi bahwa Koen Loen san memiliki Siantho (buah tho dewa) adalah suatu kenyataan."
Seraya tersenyum ia menerima hadiah itu.
"Aku biasanya tidak menerima bayaran.
"
Katanya.
"Biarpun kau tidak membawa siantho, aku pasti akan menolong."
Sehabis berkata begitu,ia mengangsurkan tangannya dan menyentuh borok itu.
Tiba-tiba ia terkejut.
Mangapa? Borok itu sendiri yang berbentuk bundar, hanya bergaris kira-kira setengah cun.
Apa yang hebat ialah daging di sekitarnya keras bagaikan batu dan bagian yang keras puluhan kali lipat lebih besar daripada boroknya sendiri.
Dari kitab-kitab ketabiban, Boe Kie belum pernah membaca borok yang seperti itu.
Ia merasa, bahwa jika bagian yang keras menjadi busuk dan bernanah, binatang itu tak akan dapat disembuhkan lagi.
Tapi waktu memegang nadi si kera, ia menjadi lebih heran lagi, karena denyutan nadi tidak menunjukan adanya bahaya.
Ia segera menyingkap bulu yang panjang di perut binatang itu untuk diperiksa lebih teliti.
Begitu melihat ia terkesinap, sebab bagian yang keras itu berbentuk empat persegi dan dipinggirannya terlihat bekas jaitan benang.
Tak dapat disangkal lagi bahwa jahitan itu adalah perbuatan manusia.
Walaupun pintar, binatang kera tak bisa menjahit.
Sesudah memeriksa, Boe Kie mengerti, bahwa borok itu disebabkan oleh benda keras itu.
Benda itu menonjol keluar dan menggencet pembuluh darah.
Sehingga darah tak bisa mengalir leluasa, otot-otot menjadi rusak dan mengakibatkan borok yang tidak bisa sembuh.
Maka itu, untuk menyembuhkannya, ia harus mengeluarkan benda itu dari perut si kera.
Soal membedah tidak jadi soal, sebab berkat ajaran Ouw Ceng Goe, ia sudah mahir dalam ilmu itu.
Yang menjadi soal ialah tak punya pisau dan obat obatan.
Sesudah mengasah otak beberapa lama, ia mencari sepotong batu tipis dan lalu menggosoknya sampai tajam.
Sesudah itu, dengan menggunakan pisau tersebut, perlahan ia memotong perut si kera, di bagian bekas jahitan.
Kera itu yang sudah berusia sangat tua, ternyata mengerti maksud pembedahan itu.
Meski merasakan kesakitan hebat, ia tidak bergerak sedikitpun jua dan menahan sakit sambil mengeluarkan rintihan tak lama kemudian, Boe Kie sudah memotong bagian atas dan bawah bekas jahitan itu.
Dengan hati hati ia lalu membuka kulit perut yang sudah dipotong dan.loh! Di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak.
Dengan rasa heran yang sangat besar, ia mencabut dan menaruh bungkusan itu ke tanah dan buru buru menutup lagi kulit yang terbuka untuk dijahit.
Baru sekarang ia ingat bahwa ia tak punya jarum dan benang.
Tapi si bocah tidak kekurangan akal.
Ia segera mengambil gigi kodok merah yang tajam dan membuat lubang-lubang di pinggiran kulit.
Sesudah itu dengan menggunakan serat kulit kayu ia membuat benang dan dengan demikian, biarpun tidak sempurna ia berhasil menjahit perut si kera, yang rubuh pingsan karena mengeluarkan terlalu banyak darah.
Selesai membedah, Boe Kie segera mencuci bungkusan kain minyak yang berlepotan darah dan membukanya.
Ternyata didalam bungkusan terdapat empat
Jilid kitap yang sangat tipis.
Karena terbungkus rapat, maka biarpun sudah beberapa lama di dalam perut kera, kitap-kitap itu masih utuh.
Diatas kertas terdapat huruf2 yang tidak dikenal Boe Kie.
Ia lalu membalik-balik lembaran dan ternyata, bahwa diantara barisan2 huruf yang tidak dikenal terdapat juga huruf2 Tionghoa.
Dengan hati berdebar2, Boe Kie lalu membacanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa isi kitab adalah pelajaran untuk melatih pernafasan dan tenaga dalam.
Tiba2 jantungnya melonjak.
Ia membaca tiga baris huruf yang sudah dikenalnya.
Ia segera ingat bahwa huruf-huruf itu terdapat dalam pelajaran Siauw-lim Kioe yang kang, yang pernah dipelajarinya dalam kuil Siauw Liem Sie.
Telapak Emas Beracun -- Gu Long Legenda Bunga Persik -- Gu Long Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long