Pedang Langit Dan Golok Naga 48
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 48
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung
"In Sie heng, aku minta bantuanmu. Mari kita putar patung Tat-mo Couw soe."
"Jangan!"
Cegah In Thian Ceng. Tat-mo Couw soe adalah pendiri Siauw lim sie yang dipandang suci dan dipuja bukan saja oleh orang-orang Siauw lim-pay, tapi juga oleh semua tokoh persilatan di kolong langit. "Eng Ong jangan kuatir,"
Kata Yo Siauw.
"Siauw tee bertanggung jawab untuk segala akibatnya,"
Seraya berkata begitu ia melompat ke atas meja sembahyang dan coba memutar patung itu. Namun karena terlalu berat, patung itu tidak bergeming. "Ya Ong, bantulah,"
Kata sang ayah.
In Ya Ong segera melompat ke atas dan dengan tenaga dua orang patung itu yang beratnya dua ribu kati lebih dapat diputar.
Begitu patung diputar, paras muka semua orang berubah pucat.
Ternyata muka patung telah dipapas rata sehingga merupakan selembar papan batu dan di atasnya terdapat huruf-huruf yang berbunyi seperti berikut.
"Lebih dahulu membasmi Siauw lim.
Kemudian menumpas Boe tong.
Yang merajai Rimba Persilatan hanyalah Beng-kauw." Huruf-huruf itu ditulis dengan jari tangan yang seolah- olah memahat papan batu itu.
Tanpa merasa semua orang mengeluarkan teriakan kaget.
Itulah tipu daya yang sangat busuk, yang menimpakan semua dosa di atas pundak Beng-kauw.
Dengan bersamaan Yo Siauw dan In Ya Ong melompat turun.
"Hidung kerbau Tiat koan!"
Bentak Cioe Tian.
"Jika aku tidak mengeluarkan omong kosong, Yo Cosoe pasti tak bisa menebak kejahatan musuh."
Tiat koan Toojin tidak meladeni. Ia tak ada kegembiraan untuk bertengkar dengan saudara yang rewel itu.
"Yo Cosoe, bagaimana kau dapat memikirkan bahwa pada patung itu terdapat sesuatu yang luar biasa?"
Tanyanya. "Tadi waktu pertama kali aku masuk ke sini, aku sudah lihat bahwa patung itu memang digeser orang,"
Jawabnya. "Tapi aku belum dapat berpikir bahwa dalam penggeseran itu bersembunyi tipu daya yang sangat busuk."
"Ada hal lain yang belum dimengerti olehku,"
Kata Pheng Eng Giok.
"Tak bisa disangsikan lagi bahwa dengan huruf-huruf itu musuh ingin menumpahkan dosa di atas pundak Beng-kauw supaya kita dikeroyok oleh seluruh Rimba Persilatan. Tapi mengapa musuh itu manghadapkan muka patung ke tembok? Kalau Yo Cosoe tidak berotak cerdas, bukankah kitapun tak tahu adanya huruf-huruf itu?"
Yo Siauw manggut-manggutkan kepalanya.
"Patung itu telah diputar lagi oleh orang lain,"
Jawabnya.
"Dengan diam-diam, seseorang yang sangat tinggi kepandaiannya telah membantu kita. Kita telah menerima budi yang sangat besar."
Semua orang segera menanyakan siapa adanya orang itu. Yo Siauw menghela nafas dan berkata.
"Akupun tak tahu."
Perkataan itu tiba-tiba diputuskan oleh teriakan Boe Kie. "Celaka! Lebih dahulu membasmi Siauw lim, kemudian menumpas Boe tongBoe tong menghadapi bencana besar!"
"Kita harus segera membantu,"
Kata Wie It Siauw. "Dengan memberi bantuan, kitapun bisa menyelidiki siapa adanya anjing terkutuk itu."
Saat itu, di depan mata Boe Kie segera terbayang kecintaan Thay soehoe dan para pamannya.
Apa Song Wan Kiauw dan yang lain-lain sudah kembali ke Boe tong? Di sepanjang jalan ia tak pernah menerima berita mengenai gerak-gerik rombongan Boe tong.
Kalau rombongan itu terlambat, maka yang berada di gunung hanyalah Thay soehoe, murid-murid turunan ketiga dan Sam Soepeh Jie Thay Giam yang cacat.
Jika musuh menyerang, bagaimana mereka bisa melawannya? Mengingat begitu, ia bingung bukan main.
"Para Cianpwee dan Heng tiang!"
Katanya dengan suara nyaring.
"Boe tong adalah tempat asal dari mendiang ayahku. Sekarang Boe tong menghadapi bencana. Kalau sampai terjadi sesuatu dikemudian hari, aku sukar menginjak bumi lagi sebagai manusia terhormat. Menolong orang seperti menolong kebakaran, lebih cepat lebih baik. Sekarang aku ingin minta Wie Hok-ong mengikuti aku untuk berangkat lebih dulu. Yang lain bisa menyusul belakangan. Kuminta Yo Cosoe dan Gwa kong sudi mengepalai rombongan kita."
Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan dengan sekali berkelabat, ia sudah berada di luar kuil.
Wie It Siauw mengikuti dengan ilmu ringan badan.
Dalam sekejap mereka sudah melewati Lip-soat-teng.
Dalam ilmu ringan badan di kolong langit tak ada orang yang bisa menandingi mereka.
Setibanya di kaki gunung Siong san, siang sudah berganti malam.
Tapi mereka meneruskan perjalanan dan jalan semalaman suntuk, mereka sudah melalui beberapa ratus li.
Kecepatan lari Wie It Siauw tidak kalah dari Boe Kie, tapi dalam jangka waktu panjang, ia kalah tenaga dalam.
Biar bagaimanapun jua, lama-lama mereka merasa lelah.
"Untuk mencapai Boe tong san dengan kecepatan seperti sekarang, harus menggunakan waktu satu hari satu malam lagi,"
Kata Boe Kie di dalam hati.
"Manusia yang terdiri darah dan daging tak akan bisa lari terus menerus. Apalagi dalam menghadapi musuh kelas berat, kita harus menyimpan tenaga!"
Berpikir begitu ia segera berkata.
"Wie Hok-ong, setibanya di kota aku ingin membeli dua ekor kuda untuk dijadikan tunggangan."
Wie It Siauw memang sudah punya niat itu, tapi ia merasa malu hati untuk membuka mulut.
"Kauw coe beli kuda sangat repot,"
Katanya sambil tersenyum.
"Perlu apa kita membuang-buang waktu?"
Tak lama kemudian dari sebelah depan datang lima- enam penunggang kuda. Dengan sekali melompat Ceng-ek Hok-ong sudah mengangkat tubuh dua penunggang kuda yang lalu dilepaskan di tanah dengan perlahan.
"Kauw coe, naiklah!"
Serunya. Boe Kie ragu. Perbuatan itu tiada bedanya dengan merampok. "Kauw coe!"
Teriak Wie It Siauw.
"Demi kepentingan urusan besar, kita tidak boleh menghiraukan segala hal remeh."
Beberapa orang itu yang mengerti sedikit ilmu silat segera menyerang. Dengan tangan memegang les kuda, Wie It Siauw menendang kian kemari dan beberapa golok terpental. "Bangsat! Siapa kau!"
Bentak salah seorang.
Boe Kie mengerti bahwa jika orang-orang itu diladeni terlalu lama, Beng-kauw akan mendapat lebih banyak musuh.
Maka itu, ia segera melompat ke punggung seekor kuda dan lalu kabur bersama-sama Wie It Siauw.
Orang- orang itu mencaci tapi mereka tidak berani mengejar.
"Biarpun kita berbuat begini karena terpaksa, tapi orang- orang itupun mungkin mempunyai urusan yang sangat penting,"
Kata Boe Kie.
"Aku sungguh merasa tidak enak."
Wie It Siauw tertawa nyaring.
"Kauw coe,"
Katanya. "Janganlah kau memikirkan urusan yang tiada artinya. Kalau dulu memang benar kita pernah berbuat seenaknya saja."
Sehabis berkata begitu ia tertawa terbahak-bahak. Mendengar itu Boe Kie berpikir.
"Kalau orang menamakan Beng-kauw sebagai agama yang sesat memang beralasan juga. Tapi dalam hakekatnya apa yang benar dan apa yang salah tak gampang disimpulkan dengan begitu saja."
Ia ingat bahwa dalam memikul beban Kauw coe yang sangat berat, ia kurang pengalaman dan pengetahuan sehingga ia sering ragu untuk mengambil keputusan.
Meskipun ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi tapi urusan-urusan penting di dalam dunia tak bisa dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat saja.
Dengan pikiran kusut, ia larikan tunggangannya.
Ia hanya berharap supaya berhadil dalam usaha menyambut Cia Soen.
Agar ia bisa menyerahkan tanggungan yang berat itu kepada ayah angkatnya.
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba berkelabat bayangan manusia dan dua orang menghadang di tengah jalan.
Boe Kie dan Wie It Siauw menahan kudanya.
Yang mencegat mereka adalah pengemis anggota Kay-pang yang bersenjata tongkat baja dan menggendong karung.
"MInggir!"
Bentak Wie It Siauw sambil mengedut dan menyabet salah seorang dengan cambuk.
Pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, sedang kawannya mengeluarkan siulan nyaring seraya mengibaskan tangan kirinya.
Tunggangan Wie It Siauw kaget dan berjingkrak.
Sesaat itu, dari gombolan pohon-pohon melompat pengemis lain, yang dilihat dari gerakannya berkepandaian cukup tinggi.
"Kauw coe, jalanlah lebih dulu!"
Seru Ceng-ek Hok-ong. "Biar aku yang melayani kawanan tikus ini."
Boe Kie dongkol bukan main.
Pencegatannya itu membuktikan bahwa Boe tong-pay benar-benar menghadapi bencana.
Dengan mengingat bahwa Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi sehingga andaikata ia tidak bisa memperoleh kemenangan sedikitnya ia masih bisa menyelamatkan diri, maka Boe Kie segera menjepit perut kuda dengan kedua lututnya dan binatang itu segera lompat menerjang.
Dua orang pengemis mencoba merintangi dengan tongkatnya.
Sambil mencondongkan badannya, Boe Kie menangkap kedua tongkat itu lalu dilemparkan.
Hampir bersamaan kedua pengemis itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan roboh di tanah karena tulang betisnya patah terpukul tongkatnya sendiri.
Boe Kie sebenarnya tidak berniat melukai orang, tetapi karena melihat empat pengemis yang baru datang dan berkepandaian tinggi, maka ia terpaksa turun tangan untuk membantu Wie It Siauw.
Meskipun Siong san dan Boe tong san terletak di dua propinsi yang berlainan, tapi lantaran yang satu berada di Ho-lam barat dan yang lain berada di Ouw-ak utara, maka jarak antara kedua gunung itu tak begitu jauh.
Sesudah melewati Ma san-kauw, daerah di sebelah selatan adalah tanah datar sehingga kuda bisa lari lebih cepat.
Kira-kira tengah hari setelah melalui Lweehiang, Boe Kie segera berhenti di satu pasar untuk membeli makanan guna menahan perut.
Selagi makan ia mendadak mendengar pekik kesakitan dari kudanya.
Ia menengok dan dengan terkejut ia melihat sebatang pisau tertancap di perut kuda dan berkelabat bayangan manusia yang coba melarikan diri.
Tak salah lagi, binatang itu ditikam orang tersebut.
Dengan beberapa lompatan Boe Kie berhasil membekuk orang itu yang ternyata juga seorang murid Kay-pang dengna baju berlepotan darah kuda.
Dengan gusar Boe Kie menotok Toa-tio-hiatnya supaya ia menderita tiga hari tiga malam lamanya.
Boe Kie menjadi bingung kudanya mati dan ia tak punya uang lagi.
Tapi waktu menggeledah tawanannya ia mendapatkan seratus tail perak lebih.
"Kau sudah membunuh kudaku biarlah aku ambil uang ini sebagai gantinya,"
Katanya.
Ia pergi ke pasar dan secara kebetulan ia bertemu kuda yang sikapnya garang.
Sesudah melemparkan seratus tail perak lebih di tanah, tanpa memperdulikan si pemilik kuda, ia melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikannya sekencang-kencangnya.
Tak lama kemudian ia tiba di Sam koan-tian, di tepi sungai Han-soei.
Sungguh untung di pinggir sungai kelihatan berlabuh sebuah perahu eretan besar.
Sambil menuntun kudanya ia turun ke perahu dan minta diseberangi.
Selagi perahu melaju di tengah sungai, di depan mata Boe Kie terbayang kejadian di masa lampau.
Ia ingat, sekembalinya dari Siauw lim sie, waktu lagi menyeberangi Han-soei bersama Thay soehoe ia bertemu Siang Gie Coe dan kemudian menolong nona Sie Coe.
Dengan pikiran melayang ia mengawasi air sungai yang berombak.
Mendadak ia tersadar dari lamunannya karena perahu bergoyang-goyang.
Dengan kaget ia menyadari bahwa perahu bocor, air menerobos masuk dari sebuah liang.
Sebagai orang yang pernah menghuni pulau Peng-hwee to, ia pandai berenang.
Tapi bila perahu tenggelam perjalanannya jadi terlambat.
Ia memutar badan dan melihat si juragan perahu sedang mau melompat ke dalam air dengan bibir tersungging senyuman mengejek.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gerakan Boe Kie cepat luar biasa.
Dengan sekali melompat, ia sudah menjambret pakaian orang itu yang lalu ditotok sehingga dia berteriak-teriak.
"Lekas kayuh!"
Bentak Boe Kie.
"Kalau kau mau gila lagi, kusodok kedua biji matamu!"
Sesudah mendengar ucapan itu, si juragan perahu tidak berani membantah dan segerah mengayuh sekuat-kuatnya.
Selagi dia mengayuh, Boe Kie merobek ujung bajunya yang lalu digunakan untuk menyumbat liang kebocoran di dasar perahu.
Sesudah tiba di seberang, sambil mencengkram dada juragan perahu itu, Boe Kie membentak.
"Siapa yang suruh kau mencelakai aku?"
Dia ketakutan dan menjawab dengan suara terputus- putus.
"Siauw jinsiauw jinKay-pang."
Tanpa menunggu selesainya jawaban, Boe Kie melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikan ke arah selatan.
Cuaca sudah mulai berubah gelap.
Sesudah berjalan kira- kira satu jam lagi, kuda itu berlutut karena terlalu lelah.
Sambil menepuk-nepuk punggung kuda itu, Boe Kie berkata.
"Kuda biarlah kau mengaso di sini. Aku perlu segera meneruskan perjalanan."
Dengan menggunakan ilmu ringan badan ia segera berlari sekencang-kencangnya.
Sesudah lewat tengah malam, selagi enak berlari-lari dengna kecepatan kilat, sayup-sayup ia mendengar suara kaki kuda yang ramai di sebelah depan.
Ia menyusul dan melewati rombongan penunggang kuda itu.
Karena gelap dan gerakannya sangat cepat, rombongan yang dilewati tidak mendusin.
Dilihat dari arahnya, rombongan itu yang terdiri dari dua puluh orang lebih pasti menuju ke Boe tong san.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara sehingga Boe Kie tidak bisa mendapat keterangan apapun jua tapi lapat- lapat ia melihat bahwa orang-orang itu berbekal senjata.
"Mereka tentu mau menyerang Boe tong san,"
Pikirnya. "Untung juga aku keburu menyusul. Dilihat begini tong-pay belum diserang."
Berselang setengah jam ia kembali bertemu dengan serombongan orang yang menuju ke Boe tong san. Kejadian itu terulang beberapa kali sehingga ia telah menyusul dan melewati tidak kurang dari lima rombongan orang. Boe Kie jadi bingung sendiri.
"Berapa rombongan yang sudah naik ke atas?"
Tanyanya di dalam hati.
"Apa mereka sudah bertempur dengan partaiku?"
Secara resmi ia sebenarnya belum menjadi murid Boe tong, tapi karena ayahnya ia selalu menganggap dirinya sebagai seorang anggota Boe tong-pay.
Dalam bingungnya, ia lari makin cepat.
Ketika tiba di tengah-tengah gunung, di sebelah depan tiba-tiba terdengar suara bentakan dan teriakan.
Dengan mengambil jalan mutar, ia bersembunyi.
Di lain saat ia lihat bayangan hitam yang sedang uber-uberan di depan, tiga menggenakan baju putih mengejar dari belakang.
"Kepala gundul! Perlu apa kau naik ke Boe tong san?"
Teriak salah seorang yang mengejar. "Usahamu untuk menyampaikan berita tidak ada gunanya,"
Sambung yang lain. Hampir bersamaan terdengar suara "srrrsrrrsrrr"
Dan beberapa senjata rahasia menyambar kea rah orang yang dauber. Di dengar dari suaranya, orang yang melepaskan senjata rahasia bukan sembarang orang. "Kalau begitu dia sahabat,"
Pikir Boe Kie.
"Aku harus mencegat ketiga pengejar itu."
Ia melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon.
Di lain saat, orang yang dikejar sudah lewat di depannya.
Orang itu gundul kepalanya, benar seorang hwee-shio.
Ia memegang golok yang warnanya kehitam-hitaman dan larinya terpincang-pincang, rupanya ia sudah terluka.
Tiga pengejarnya mengikuti dengan cepat.
Mereka bersenjata tombak bercagak dan Boe Kie mengenali bahwa mereka itu orang-orang Kay tapi memakai baju putih yang biasa dipakai oleh anggota Beng-kauw.
Darah boe Kie bergolak.
"Ayah sering menceritakan bahwa dahulu di bawah pimpinan Kioe cie Sin kay Ang Cit Kong, Kay-pang adalah sebuah partai yang dihormati dan disegani dalam Rimba Persilatan,"
Katanya dalam hati. "Siapa nyana sekarang partai itu sudah berubah tidak keruan."
Sementara itu, si pendeta lari terus dengan langkah limbung.
"Kepala gundul, berhenti kau!"
Teriak seorang pengejar.
"Siauw lim-pay-mu sudah musnah semuanya. Apa yang bisa diperbuat olehmu seorang diri? Paling baik kau takluk. Beng-kauw bersedia untuk mengampuni."
Boe Kie jadi makin gusar. Karena merasa tidak bisa lari lebih jauh, pendeta itu berhenti memutar badan dan membentak seraya melintangkan goloknya.
"Manusia siluman! Aku mau lihat sampai kapan kamu masih bisa berbuat sewenang-wenang. Sekarang aku mau mengadu jiwa dengan kamu."
Ketika anggota Kay-pang itu segera mengurung si pendeta dan menyerang secara hebat.
Tapi pendeta itu ternyata berkepandaian cukup tinggi dan melawan dengan gagah.
Sesudah bertempur beberapa lama, sambil membentak keras pendeta itu membacok bagaikan kilat dan golok mampir tepat di lengan kiri seorang lawannya.
Selagi musuh-musuhnya kaget, ia membabat lagi dan sekali ini berhasil melukai pundak seorang musuh lainnya.
Sesudah dua kawannya luka, yang ketiga buru-buru angkat kaki.
Tanpa mengaso lagi pendeta itu lalu mendaki gunung secepatnya.
"Permusuhan antara Beng-kauw dan Siauw lim serta Boe tong masih belum selesai dan dengan adanya siasat busuk ini permusuhan akan menghebat,"
Pikir Boe Kie.
"Kalau aku tunjukkan muka, urusan mungkin akan lebih sulit. Paling baik aku menguntit dan bertindak dengan mengimbangi keadaan."
Berpikir begitu, dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia mengikuti di belakang pendeta itu. Waktu hampir mencapai puncak, tiba-tiba terdengar di belakang.
"Sahabat dari mana yang datang berkunjung?"
Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnya empat orang, dua imam, dua orang biasa dari belakang batu-batu gunung. Mereka adalah murid-murid turunan ketiga dan keempat dari Boe tong-pay. Sambil merangkap kedua tangannya, pendeta itu menjawab.
"Kong-siang pendeta Siauw lim, mohon berjumpa dengan Thio Cin-jin dari Boe tong-pay utnuk suatu urusan yang sangat penting."
Mendengar nama "Kong-siang", Boe Kie agak terkejut.
"Kedudukan pendeta itu ternyata setingkat dengan ketiga Seng ceng (pendeta suci) dari Siauw lim sie Hong thio Kong-boen, Kong-tie dan Kong-seng.
Tidak heran kalau ilmu silat begitu tinggi.
Dia benar seorang ksatria,"
Pikir Boe Kie.
"Tanpa memperdulikan bahaya dan lelah, dia datang ke Boe tong untuk menyampaikan berita."
"Tay soe tentu capai, masuklah untuk minum secangkir teh,"
Kata salah seorang murid Boe tong.
Selagi berjalan, Kong-siang menyerahkan goloknya kepada salah seorang too-jin sebagai tanda menghormati bahwa ia tidak berani masuk ke dalam kuil dengan membawa senjata.
Boe Kie pernah berdiam di Boe tong san.
Dengan rasa terharu ia melewati pohon rohon dan batu-batu yang dikenalnya.
Keenam murid Boe tong itu lalu mengajak tamunya masuk ke dalam Sam ceng tian dan Boe Kie segera bersembunyi di luar jendela untuk mengamat-amati.
"Too-tiang, lekaslah memberi laporan kepada Thio Cin- jin,"
Kata Kong-siang.
"Urusan ini sangat penting dan tidak boleh ditunda-tunda."
"Taysoe datang pada waktu yang tidak tepat,"
Kata si imam dengan suara menyesal.
"Tahun yang lalu Soe coe menutup diri dan sampati sekarang sudah setahun lebih. Kami sendiripun sudah lama tidak pernah bertemu muka dengan orang tua itu."
Alis Kong-siang berkerut.
"Kalau begitu, biarlah aku menemui saja Song Thay-hiap,"
Katanya. Too-jin itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Toa soe-peh belum pulang,"
Jawabnya.
"Sebagaimana Taysoe tahu bahwa Toa soe-peh, Soe hoe dan para Soe siok bersama partai Taysoe sendiri telah pergi menyerang Beng-kauw. Sampai sekarang mereka belum pulang." Boe Kie kaget. Ia sekarang tahu bahwa rombongan Boe tong-pay pun belum kembali dan terdapat kemungkinan besar para pamannya mendapat bencana atau sedikitnya mendapat halangan di tengah jalan. Kong-siang menghela nafas.
"Dilihat begini Boe tong- pay bakal sama nasibnya dengan Siauw lim-pay dan hari ini sukar meloloskan diri dari mara bahaya,"
Katanya dengan suara duka. Si imam yang tidak mengerti maksud pertanyaan itu segera berkata.
"Segala urusan partai kami untuk sementara diurus oleh Tong hian soe Soe-heng. Aku bisa melaporkan padanya."
"Murid siapa Tong hian Too-tiang?"
Tanya Kong-siang. Paras muka pendeta itu berubah terang.
"Biarpun Jie Sam- hiap cacat, ia seorang pandai,"
Katanya.
"Biarlah aku bicara dengan Jie Sam-hiap saja."
"Baiklah, aku akan menyampaikan keinginan Taysoe,"
Kata too-jin itu sambil masuk ke dalam.
Dengan roman tidak sabaran, Kong-siang jalan mondar- mandir dalam ruangan itu.
Kadang-kadang ia berhenti dan memasang kuping, kalau-kalau musuh sudah tiba.
Tak lama kemudian too-jin yang tadi keluar dengan tergesa-gesa.
"Jie Samsoe siok mengundang Taysoe,"
Katanya seraya membungkuk.
"Samsoe siok memohon maaf bahwa ia tidak bisa keluar untuk menyambut Taysoe."
Sikap too-jin itu sekarang lebih banyak manis daripada tadi. Mungkin sekali, sesudah mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah seorang pendeta Siauw lim dari tingkatan "Kong"
Jie Thay Giam sudah memesan supaya dia berlaku hormat terhadap tamu itu.
Boe Kie sebenarnya sangat ingin mengintip dari jendela kamar pamannya, tapi ia segera membatalkan niatnya itu.
"Sesudah kaki tangannya lumpuh, kuping dan mata Sam soepeh lebih hebat daripada manusia biasa,"
Pikirnya. "Kalau kau mendengar di luar jendela, ia pasti akan mengetahui."
Berpikir begitu, ia lalu berdiri di tempat yang berjarak beberapa tombak dari kamar Jie Thay Giam. Kira-kira sepeminuman teh dengan tersipu-sipu si imam keluar dari kamar.
"Ceng-hong! Beng-goat!"
Teriaknya. "Kemari!"
Dua too-tong (imam kecil) menghampiri dengna berlari- lari.
"Ada apa Soesiok?"
Tanyanya. "Sediakan kursi tandu, Sam soesiok mau keluar,"
Jawabnya.
Kedua too-tong itu mengiyakan dan segera berlalu untuk mengambil kursi tandu.
Tie-kek Too-jin (imam penyambut tamu) yang menyambut Kong-siang adalah murid baru dari Jie Lian Cioe.
Boe Kie tidak mengenalnya, karena pada waktu ia berada di Boe tong san imam itu belum menjadi murid.
Tapi ia mengenal Ceng-hong dan Beng-goat.
Ia pun tahu bahwa saban kali Jie Thay Giam mau keluar, paman itu selalu digotong dengan kursi tandu oleh mereka.
Melihat too-tong itu masuk ke kamar kursi tandu, ia lantas mengikuti dari belakang.
Tiba-tiba ia menegur.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ceng-hong, Beng-goat, apa kalian masih mengenaliku?"
Mereka terkejut dan mengawasi. Mereka merasa bahwa mereka sudah pernah bertemu dengan orang yang menegur itu tapi mereka lupa siapa orang itu. Boe Kie tertawa dan berkata.
"Aku Boe Kie, Siauw soesiok-mu! Apa kau lupa?" (Siauw soesiok artinya Paman kecil) Mereka segera mengenali. Mereka girang tak kepalang. "Aha! Siauw soesiok pulang!"
Seru yang satu.
"Apa kau sudah sembuh?"
Usia mereka bertiga kira-kira sepantaran.
Dulu waktu Boe Kie di Boe tong san, mereka bersahabat dan sering bermain bersama-sama, main petak umpet, adu lari, adu jangkrik, tangkap kodok dan sebagainya.
Pertemuan yang tidak diduga-duga tentu saja menggirangkan.
"Ceng-hong aku ingin menyamar sebagai kau dan ingin menggantikan tugasmu menggotong.
Apa Sam soepeh kenali aku atau tidak."
Ceng-hong ragu,"Aku bisa dimarahi,"
Katanya. "Tak mungkin!"
Kata Boe Kie.
"Melihatku pulang dengan sehat, Sam soepeh tentu kegirangan. Mana ia ada waktu untuk mengusir kau?"
Kedua too-tong itu tahu bahwa semua pemimpin Boe tong-pay dari Couw soe sampai pada Boe tong Cit-hiap sangat mencintai paman kecil itu.
Sekarang mendadak Siauw soesiok itu pulang dalam keadaan sembuh.
Kejadian ini tentu saja kejadian yang sangat menggirangkan.
Maka itu mereka berpikir.
"Apa halangannya kalau si paman kecil mau berguyon sedikit untuk menggirangkan hati Jie Thay Giam yang sedang sakit?"
"Baiklah Siauw soesiok, kami menurut saja,"
Kata Beng- goat.
Sambil tertawa ha ha hi hi Ceng-hong segera membuka pakaian imamnya, sepatu dan kaus kakinya yang lalu diserahkan kepada Boe Kie.
Sementara itu Beng-goat membuat kundai imam di kepala sang paman.
Dalam sekejap seorang kong-coe yang tampan sudah berubah menjadi seorang too-tong.
"Siauw soesiok, tak bisa kau menyamar sebagai Ceng- hong sebab mukamu sangat berlainan,"
Kata Beng-goat. "Begini saja, kau mengaku sebagai seorang murid baru dan menggantikan Ceng-hong yang keseleo kakinya. Tapi kau harus mempunyai nama. Nama apa yang baik?"
Sesudah berpikir sejenak Boe Kie berkata sambil tertawa.
"Ceng-hong meniup daun-daun jatuh.
Biarlah aku menggunakan nama Sauw-cap." (Ceng-hong Angin, Sauw- yan Menyapu daun) Kedua too-tong itu tertawa nyaring.
Ceng-hong menepuk-nepuk tangan dan berseru.
"Bagus!...Sungguh bagus nama itu!"
Selagi mereka bersenda gurau, tiba-tiba terdengar teriakan si too-jin penyambut tamu.
"Hei, lagi apa kamu? Mengapa belum juga keluar?"
Boe Kie dan Beng-goat buru-buru memikul kursi tandu dan pergi ke kamar Jie Thay Giam.
Dengan hati-hati mereka mengangkat Jie Sam-hiap dan merebahkannya di kursi.
Pendekar Boe tong itu kelihatannya diliputi kedukaan dan ia tidak memperhatikan kedua too-tong tersebut.
"Pergi ke belakang gunung, ke tempat Couw soeya,"
Katanya.
Mereka segera memikul kursi tandu itu dan berangkat.
Beng-goat berjalan di depan dan Boe Kie di belakang sehingga Jie Thay Giam hanya melihat punggung Beng- goat.
Kong-siang sendiri berjalan di samping tandu.
Karena diminta oleh sang paman, too-jin penyambut tamu itu tidak ikut.
Thio Sam Hong menutup diri dalam sebuah gubuk kecil, di hutan bambu di belakang gunung.
Tempat itu sunyi senyap kecuali suara burung dan binatang-binatang kecil tidak terdengar suara apapun juga.
Setibanya di depan gubuk Beng-goat dan Boe Kie menghentikan langkah.
Baru saja Jie Thay Giam mau memanggil, dari dalam gubuk mendadak terdengar sang guru.
"Seng ceng Siauw lim-pay yang mana yang datang berkunjung? Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat menyambut dari tempat jauh."
Hampir bersamaan pintu bambu terbuka dan Thio Sam Hong berjalan keluar. Kong-siang kaget.
"Bagaimana ia tahu bahwa yang datang adalah pendeta dari Siauw lim sie?"
Tanyanya di dalam hati.
"Ah! Mungkin ia sudah diberitahukan oleh too- jin penyambut tamu itu."
Tapi Jie Thay Giam tahu bahwa berkat ilmunya yang sangat tinggi, dengan hanya mendengar suara langkah kaki Kong-siang, sang guru sudah bisa menebak partai dari orang yang sedang mendatangi itu, bahkan bisa menebak juga tinggi rendahnya kepandaian itu.
Tapi kali ini tebakan Thio Sam meleset sedikit.
Ia menduga yang datang adalah salah seorang dari ketiga pendeta suci Siauw lim sie.
Dilain pihak Lweekang Boe Kie lebih tinggi banyak dari Kong-siang.
Oleh karena itu dia bisa menyembunyikan gerak-geriknya dari pendengaran Thio Sam Hong, sebab pada hakekatnya seseorang yang Lweekangnya sudah mencapai tingkat tertinggi bisa berbuat sedemikian rupa sehingga yang "berisi"
Menjadi "kong", yang "ada"
Menjadi "tidak ada".
Dengan jantung memukul keras, Boe Kie mengawasi paras muka Thay soehoenya.
Muka itu tetap bersinar merah tapi dengan rambut dan jenggotnya yang putih semua, paras itu kelihatan lebih tua daripada delapan sembilan tahun berselang.
Ia girang ber campur terharu dan tanpa terasa air matanya mengalir keluar.
Cepat-cepat ia melengos.
Kong-siang merangkap kedua tangannya.
"Kong-siang pendeta Siauw lim sie, menghadap Boe tong Cianpwee Thio Cin-jin,"
Katanya. Guru besar itu membalas hormat.
"Aku tak berani menerima pujian yang sedemikian tinggi,"
Katanya. "Taysoe tak usah menggunakan banyak peradatan. Masuklah."
Mereka berlima segera melangkah masuk.
Dalam ruangan gubuk hanya terdapat sebuah meja dan di atas meja sebuah poci teh dan sebuah cangkir.
Di lantai tergelar selembar tikar dan di dinding tergantung sebatang pedang kayu.
Hanya itulah, tak ada apa-apa lagi.
"Thio Cin-jin,"
Kata Kong-siang dengan suara berduka.
"Siauw lim-pay telah mengalami bencana hebat yang belum pernah dialami selama ribuan tahun.
Mo-kauw telah menyerang dengan mendadak.
Semua anggota Siauw lim- pay yang berada di dalam kuil dari Hong thio Kong boe Soe-heng sampai pada pendeta yang tingkatannya paling rendah, kecuali aku sendiri tidak ada yang lolos.
Mereka binasa atau ditawan musuh.
Hanya Siauw ceng sendiri yang luput dan siang malam Siauw ceng kabur ke sini.
Serombongan Mo-kauw yang berjumlah besar sedang menuju ke Boe tong san.
Mati hidupnya Rimba Persilatan Tiong goan sekarang berada dalam tangan Thio Cin-jin seorang."
Sehabis berkata begiut ia menangis sedih sekali.
Biarpun Thio Sam Hong berilmu tinggi dan berusia seabad lebih, mendengar laporan itu ia terkesiap.
Untuk sejenak ia mengawasi Kong-siang dengan mulut ternganga.
Sesudah ia menentramkan hatinya lalu ia berkat.
"Dalam Siauw lim sie banyak orang yang pandai. Bagaimana kalian sampai mendapat kesukaran begitu besar?" "Sebagaimana Thio Cin-jin tahu, Kong-tie dan Kong- seng, Jie-wie Soe-heng dan para murid Siauw lim sie bersama-sama lima partai besar telah pergi ke daerah barat untuk menumpas Mo-kauw,"
Kata Kong-siang. "Entah bagaimana mereka dikalahkan, mereka tertawan."
Boe Kie terkejut.
"Siapa musuh itu?"
Tanyanya dalam hati. Sesudah berdiam sejenak, Kong-siang meneruskan penuturannya.
"Pada saat kami mendapat laporan bahwa rombongan yang menyerang Mo-kauw telah pulang. Hong thio Kong-boen Soe-heng sangat girang dan lalu keluar menyambut dan membawa murid Siauw lim sie. Kong-tie dan Kong-seng Soe-heng dan yang lainnya lantas saja masuk ke dalam kuil dan selain mereka juga terdapat kurang lebih seratus tawanan. Waktu itu berada di dalam perkarangan kuil, Kong-boen Soe-heng lalu menanyakan perihal berhasilnya keenam partai dalam usaha membasmi Mo-kauw. Kong-tie Soe-heng memberikan jawaban yang tidak terang. Mendadak Kong-seng Soe-heng berteriak, Soe-heng, awas! Kami semua telah jatuh ke tangan musuh. Semua tawanan adalah musuh!.... Sebelum Hong thio bisa berbuat apa-apa semua tawanan sudah menghunus pedang dan menyerang. Lantaran gugup dan tak membawa senjata, kami segera terdesak. Semua pintu sudah ditutup musuh. Suatu pertempuran yang sangat hebat, kami terbasmi, Kong-seng Soe-heng sendiri binasa."
Ia tak bisa meneruskan perkataannya lalu menangis sesegukan. Thio Sam Hong sangat berduka.
"Sungguh jahat!"
Katanya sambil menghela nafas berulang-ulang.
Sementara itu Kong-siang mengambil buntalan yang digendong di punggungnya.
Ia lalu membuka buntalan itu yang di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak, semua orang terkesiap karena di dalamnya terdapat satu kepala manusia, kepala Kong-seng Taysoe salah seorang dari Siauw lim Seng ceng! Dengan bersamaan Thio Sam Hong, Jie Giam dan Boe Kie mengeluarkan teriakan kaget.
"Dengan mati-matian aku berhasil merebut jenazah Kong-seng Soe-heng,"
Kata Kong-siang dengan air mata bercucuran.
"Thio Cin-jin, bagaimana caranya kita harus membalas sakit hati yang besar ini?"
Seraya berkata begitu ia berlutut di hadapan Thio Sam Hong.
Guru besar itu membungkuk untuk membalas hormat.
Rasa duka dan gusar mengaduk dalam dada Boe Kie.
Ia ingat bahwa dalam pertempuran di Kong beng-teng Kong- seng Taysoe telah memperlihatkan ksatriaannya dan sifat- sifatnya yang agung sehingga ia boleh tak usah malu menjadi seorang guru besar dari Siauw lim-pay itu.
Siapa nyana ksatria telah binasa dalam tangannya manusia- manusia terkutuk? Melihat Kong-siang masih mendekam di lantai sambil menangis, Thio Sam Hong mengangsurkan kedua tangannya dan mengangkatnya seraya berkata.
"Kong-siang Soe-heng, Siauw lim dan Boe tong pada hakekatnya adalah sekeluarga. Sakit hati ini tidak bisa tidak dibalas."
Bersamaan dengan perkataan "dibalas"
Mendadak saja Kong-siang mengangkat kedua telapak tangannya dan menghantam ke punggung Thio Sam Hong! Itulah kejadian yang takkan diduga oleh siapapun juga, Thio Sam Hogn seorang guru besar yang berpengalaman sangat luas.
Tapi iapun tak pernah mimpi bahwa seorang pendeta beribadat dari Siauw lim sie yang mempunyai sakit hati hebat dan dari tempat jauh untuk menyampaikan kabar penting bisa memukul dirinya.
Dalam sedetik, pada saat Kong-siang baru menyentuh punggungnya, ia bahkan menduga bahwa karena terlalu berduka pendeta itu jadi was-was dan menganggap ia sebagai seorang musuh.
Tapi di detik lain ia terkesiap.
Pukulan itu adalah Kam kong Pan jiak ciang dari Siauw lim-pay dan Kong-siang telah menghantam dengan seluruh tenaganya.
Muka pendeta itu pucat bagaikan kertas tapi pada bibirnya tersungging senyuman mengejek.
Melihat kejadian ini kagetnya Jie Thay Giam, Boe Kie dan Beng-goat bagaikan disambar halilintar.
Mereka terpaksa dan mengawasi dengan mulut ternganga.
Karena cacat, Thay Giam tak dapat membantu gurunya.
Untuk beberapa detik, Boe Kie yang belum berpengalaman masih belum mendusin bahwa dengan pukulan itu si pendeta mencoba mengambil jiwa Thay soehoe-nya.
Sebelum mereka bergerak, Thio Sam Hong sudah angkat tangan kirinya dan menepuk batok kepala Kong-siang.
Berbarengan dengan suara "plak"
Tepuknya yang kelihatan enteng itu sudah menghancurkan kepala si pendeta yang segera roboh tanpa bersuara lagi.
Dengan latihan hampir seabad, Lweekang guru besar itu sukar diukur bagaimana tingginya.
Meskipun Kong-siang serang dengan ilmu kelas satu, ia masih tak mampu melawan tepukan yang enteng itu.
Sesudah hilang kagetnya, Jie Thay Giam teriak.
"Soehoe! Kau."
Ia tak meneruskan perkataannya sebab sang guru sudah pejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih, satu tanda bahwa guru besar itu sudah mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya.
Beberapa saat kemudian, mendadak Sam Hong membuka mulutnya dan memuntahkan darah.
Boe Kie kaget bukan kepalang.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia sekarang tahu bahwa Thay soehoe menderita luka berat.
Kalau darah itu berwarna ungu hitam maka dengan mempunyai Lweekang yang tinggi kesehatan guru besar itu aka segera pulih.
Tapi darah yang barusan dimuntahkan adalah darah segar.
Ini merupakan petunjuk bahwa isi perut Sam Hong sudah terluka hebat.
Sesaat itu beberapa ingatan keluar masuk dalam otaknya.
Apa yang harus diperbuatnya? Apa sebaiknya ia segera memperkenalkan diri dan menolong Thay soehoenya? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, di luar pintu mendadak terdengar suara langkah kaki.
Langkah itu cepat sekali datangnya tapi segera berhenti di luar pintu.
Orang itu yang rupanya sedang kebingungan tak berani membuka suara.
"Siapa? Apa Cong-hian? Ada apa?"
Tanya Thay Giam. "Benar,"
Jawab too-jin penyambut tamu itu.
"Melaporkan kepada Sam soesiok bahwa sejumlah besar musuh sudah berkumpul di luar kuil.
Mereka mengenakan seragam Mo-kauw.
Mereka mau bertemu dengan Couw soe Ya ya dan mereka mengeluarkan perkataan-perkataan kotor, mereka bilang mau injak Boe tong-pay sampai jadi tanah rata."
"Diam!"
Bentak Thay Giam. Ia kuatir gurunya jadi lebih sakit karena laporan itu. Perlahan-lahan Thio Sam Hong membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan.
"Kim kong Pan jiak ciang benar-benar hebat. Untuk sembuh aku harus beristirahat tiga bulan lamanya."
"Kalau begitu Thay soehoe menderita luka lebih berat dari dugaanku,"
Kata Boe Kie di dalam hati. "Dalam serangannya ini, Beng-kauw pasti sudah membuat persiapan sempurna,"
Kata Sam Hong pula.
"Hai! Bagaimana dengan Wan Kiauw Lian Cioe dan yang lain- lain? Thay Giam, apa yang harus kita perbuat?"
Si murid tak menyahut.
Ia mengerti bahwa kecuali sang guru dan ia sendiri, murid-murid Boe tong lainnya, murid- murid turunan ketiga dan keempat tak akan mampu menahan musuh dan mereka hanya akan membuang jiwa dengan sia-sia.
Maka itu, jalan satu-satunya adalah mengorbankan jiwa sendiri supaya sang guru bisa menyingkirkan diri untuk mengobati lukanya, untuk membalas sakit hati di kemudian hari.
Berpikir begitu, ia segera berkata dengan suara nyaring.
"Cong-hian, beritahukan orang-orang itu bahwa aku akan segera keluar untuk menemui mereka. Minta mereka tunggu di Sam cong tian."
"Baiklah,"
Kata Cong-hian yang lalu berjalan pergi.
Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam sudah menjadi guru dan murid selama puluhan tahun dan mereka sudah saling mengenal isi hati masing-masing.
Mendengar perkatahan Thay Giam, Sam Hong segera mengerti maksud si murid.
Ia tersenyum-senyum dan berkata.
"Thay Giam, hidup atau mati, dihormati dan dihina, adalah soal-soal remeh. Tapi pelajaran istimewa dari Boe Tong Pay tidak boleh karena itu menjadi putus di tengah jalan. Dalam menutup diri selama delapan belas bulan, aku telah mendapatkan intisari dari ilmu silat dan telah mengubah Thay Kek Koen serta Thay Kek Kiam. Kedua ilmu ini sekarang aku hendak turunkan kepadamu."
Thay Giam tertegun. Sebagai seorang bercacat, mana bisa ia belajar silat? Disamping itu musuh sudah masuk ke dalam kuil! Mana ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu silat? "Suhu "
Katanya dengan tergugu. Thio Sam Hongtertawa tawar.
"Sedari didirikan, Boe Tong Pay kita telah melakukan banyak perbuatan baik, sehingga menurut pantas partai kita tidak akan musnah dengan begitu saja,"
Katanya.
"Thay Kek Koen dan Thay Kek Kiam yang digubah olehku berlainan dengan ilmu silat yang pernah dikenal semenjak dahulu. Dasar daripada ilmu ini ialah.
"yang tenang menindih yang bergerak, yang bergerak belakangan menguasai yang duluan. Thay Giam, gurumu sudah berusia lebih dari seratus tahun. Andaikata hari ini dia tidak bertemu dengan musuh berapa tahun lagi dia bisa hidup? Aku merasa girang, bahwa pada saat-saat terakhir dari penghidupanku aku masih bisa mengubah ilmu silat ini. Wan Kiauw, Lian Cioe, Siong Kee, Lie Heng dan Seng Kok tidak berada di sini. Kecuali Ceng Soe, diantara murid-murid turunan ketiga dan keempat tidak terdapat orang yang berpangkat baik. Tapi Ceng Soe pun tak berada di sini. Maka itu, Thay Giam, kau adalah orang satu- satunya yang bisa menerima warisan ini. Dihormatinya atau dihinanya Boe Tong Pay, disatu waktu tertentu tidaklah menjadi soal. Soal yang penting adalah semoga Thay kek Koen dapat diwariskan kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan. Kalau harapanku ini bisa terwujud, maka Boe Tong Pay pasti akan bisa hidup abadi selama ribuan tahun,"
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan semangat gelora seolah-olah melupakan rombongan musuh yang sudah menumbuh di luar.
Dengan mata mengembang air, Thay Giam manggut- manggutkan kepalanya.
Ia mengerti maksud sang guru.
Ia mengerti, bahwa sang guru memerintahkan supaya ia menelan segala hinaan, agar ia dapat mewariskan ilmu silat Boe Tong Pay kepada dunia.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong berdiri.
Kedua tangannya diturunkan belakang tangannya menghadap ke luar, jari-jarinya ditekuk sedikit dan kedua kakinya dipentang.
Sesudah itu, dengan perlahan ia mengankat kedua lengannya.
Di depan dada, lengan kiri ditekuk, telapak tangan menghadapi muka, sehingga merupakan Im Ciang.
Hampir berbareng, telapak tangan kanannya dibalik menjadi Yan Ciang.
"Inilah permulaan Thay Kek Koen."
Katanya.
Sesudah itu, sejurus demi sejurus, ia mulai bersilat sambil menyebutkan nama-nama setiap pukulan Lang Ciak Pwee, Tan Pian, Tee Chioe Siang Sit, Pek Ho Liang Cie, Siowsit Youw Pwee, Cioe Hwie Pee, Cin Po Pan Lan Toei, Jie Hong Sit Pit, Po Houw Kwie Shoa, Cap Jie Chioe.
Dengan sepenuh perhatian Boe Kie mengawas saban pukulan.
Semula ia menduga Thay Suhu sengaja perlambat gerakannya, supaya Jie Thay Giam bisa melihat dengan tegas.
Pada jurus ketujuh yaitu, Cioe Hwee Pie Pee, dengan Yang Ciang pada tangan kiri dan Im Ciang pada tangan kanan dan dengan mengawasi tangan kirinya Thio Sam Hongmendorong telapak tangannya dengan perlahan.
Dorongan itu kelihatannya berat seperti gunung, tapi juga enteng bagaikan bulu burung.
Tiba-tiba Boe Kie mendusin.
"Ah! Inilah yang dinamakan perlahan mengalahkan yang cepat, yang tenang menguasai yang bergerak!"
Katanya di dalam hati.
"Aku taknyana dalam dunia terdapat ilmu silat yang begitu lihaI."
Ia memang sudah memiliki ilmu silat tinggi.
Begitu dapat menangkap intisari Thay Kek Koen, perhatiannnya jadi lebih besar.
Thio Sam Hongbersilat terus dengan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan yang merupakan lingkaran dan setiap jurus mengandung perubahan Im Yang dari Thay Kek Sit.
Ilmu silat itu digubah dari kitab Ya Keng dari tiongkok purba dan berbeda dengan ilmu silat Tat Mo CouwSoe.
Biarpun belum tentu menang, ilmu itu sedikitnya tidak usah kalah dari pelajaran Tat Mo.
Kira-kira semakanan nasi Thio Sam Hongselesai dan lalu berdiri tegak.
Sesudah itu ia memberi pelajaran tentang pukulan-pukulan yang tadi diperlihatkannya.
Jie Thay Giam mendengar tanpa membuka mulut.
Ia tahu, bahwa waktu sudah mendesak dan ia tak keburu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi.
Banyak yang tidak dimengerti olehnya dan hanya diingat saja dalam otaknya.
Andaikata sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atas diri sang guru, ia bisa mengajar Kouw Koat (toori) itu kepada orang lain, supaya di hari kemudian seseorang yang cerdas dan berbakat bisa memecahkan artinya yang dalam.
Dilain pihak, Boe Kie berhasil menyelami hampir seluruh pelajaran itu.
Kouw Kaot dan cara-cara latihan Kian Koen Tay Lo Ie berbeda dengan thay Kek Koen, tapi pada hakekatnya, dasar kedua ilmu silat itu adalah sama.
Kedua-duanya berdasarkan "meminjam tenaga untuk memukul tenaga."
Maka itulah, setiap jurus dan penjelasan Thio Sam Hongdapat ditangkap olehnya. Melihat paras bimbang pada muka muridnya. Thio Sam Hongbertanya.
"Thay Giam, berapa bagian yang dapat dimengerti olehmu?"
"Murid berotak tumpul, hanya mengerti tiga empat bagian,"
Jawabnya.
"Tapi murid sudah menghafal semua jurus dan Koaw Koat yang diberikan Suhu."
"Aku banyak menyusahkan kau,"
Kata pula sang Guru.
"Kalau Wan Kiauw berada di sini, ia pasti dia, bisa menangkap lima bagian dari pelajaran ini.
Hai! Diantara murid-muridku, Ngo Soetee-mu yang berotak paling cerdas, hanya sayang, siang-siang ia sudah meninggal dunia.
Jika ia masih hidup, dibawah pimpinanku dalam lima tahun ia tentu sudah bisa mewarisi seantero pelajaran ini." Mendengar mendiang ayahnya disebut-sebut, jantung Boe Kie memukul keras.
Sesudah berdiam sejenak, Thio Sam Hongberkata pula.
"Nah sekarang perhatikan ini.
Tenaga pukulan kelihatannya enteng, tapi tidak enteng, agaknya sudah dikerahkan, tapi belum dikerahkan, seolah-olah putus, tapi sebenarnya belum putus..
"
Ia berhenti karena dari Sam Ceng Tian tiba-tiba terdengar teriakan.
"kalau Thio Sam Hongbersembunyi terus, lebih dahulu kita binasakan murid-murid dan cucu- cucu muridnya!"
"Boe!"
Menyambung seorang lain.
"Bakar saja kuil ini!"
"Mampus dibakar terlalu enak untuk dia,"
Kata orang ketiga sambil tertawa, nyaring.
"Kita harus tangkap dia, belenggu kaki tangannya, arak dia ke pusat berbagai partai, supaya semua orang bisa lihat macamnya gunung Thay San dan Bintang Pak Tauw dari dunia persilatan."
Jarak antara gubuk di belakang gunung itu dan Sam Ceng Tiang kira-kira satu li, tapi suara mereka terdengar tegas sekali, sehingga dapat dilihat, bahwa musuh sengaja memperlihatkan Lweekang mereka dan memang juga, tenaga dalam itu harus diakui kelihatannya.
Mendengar cacian itu, tak kepalang gusarnya Jie Thay Giam, sehingga kedua matanya seolah-olah mengeluarkan api.
"Thay Giam,"
Kata sang guru.
"apa kau sudah lupa pesanku? Jika kau tidak bisa menelan hinaan, cara bagaiman akau bisa memikul tanggung jawab yang sangat berat itu?"
"Benar,"
Kata si murid sambil menundukkan kepala. "Kau bercacat dan musuh tentu tak akan turunkan tangan jahat atas dirimu."
Kata pula Thio Sam Hong. "Sekali lagi aku meminta supaya kau menahan napsu amarah. Manakala kau tidak bisa menyebar pelajaranku kepada turunan yang belakangan, maka aku menjadi seorang yang berdosa dari partai kita."
Thay Giam mengeluarkan keringat dingin.
Ia mengerti maksud gurunya.
Demi kepentingan Boe Tong Pay, ia diperintah menelan segala hinaan.
Sesudah berkata begitu Thio Sam Hongmengeluarkan sepasang Loo Han besi dari sakunya dan menyerahkannya kepada si murid.
Menurut katanya Kong Siang, Siauw Lim Pay sudah termusnah, katanya.
Entah benar, entah dusta, kita tak tahu.
Tapi bahwa seorang tokoh Siauw Lim Pay seperti dia menaklukkan kepada musuh dan kemudian membokong aku, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Siauw Lim Pay benar sudah mendapat bencana.
Pada kira- kira seratus tahun yang lalu, Kwee Siang Lie Hiap telah menghadiahkan sepasang Loo Han ini kepadaku.
Dihari kemudian serahkan kepadaku ahli waris Siauw Lim Pay.
Aku berharap bahwa dengan bantuan sepasang Loo Han ini, sebagian ilmu silat Siauw Lim Sie akan dapat mempertahankan!"
Sesudah memberi keterangan, sambil mengipaskan tangan jubah, ia bertindak keluar pintu.
"Mari kita ikut, kata Thay Giam, Boe Kie dan Beng Goat lantas saja memikul kursi tandu dan mengikuti di belakang guru besar itu.
Setibanya di Sam Ceng Tian, mereka mendapat kenyataan, bahwa di ruangan itu sudah penuh dengan manusia yang berjumlah kurang lebih tiga ratus orang, Thio Sam Honghanya mengangguk dan tidak mengeluarkan sepatah kata.
Inilah guruku, Thio Cin Jin,"
Kata Jie Thay Giam dengan suara nyaring. Perlu apa kalian naik ke Boe Tong San?"
Semua mata ditujukan kepada Thio Sam Hong, tokoh tertua dalam rimba persilatan yang namanya menggetarkan seluruh dunia.
Guru besar itu mengenakan jubah hitam warna abu, rambut dan jenggotnya putih laksana perak, sedang badannya tinggi besar.
Sedang semua orang mengawasi Thio Sam Hong, Boe Kie menyapu seluruh ruangan dengan matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa separuh dari orang-orang itu memakai seragam Beng Kauw dan berapa belas orang, yang rupa-rupanya juga jadi pemimpin, mengenakan pakaian biasa.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar teriakan "Kauw Coe tiba "
Ruangan Sam Ceng Tian lantas saja berubah sunyi.
Belasan pemimpin itu dengan tergesa-gesa keluar menyambut, diikuti oleh yang lain dan dalam sekejab beberapa ratus orang sudah keluar dari Sam Ceng Tian.
Tak lama kemudian, orang-orang itu kembali tapi mereka tidak lantas masuk dan berhenti di luar pintu.
Boe Kie melongok keluar dan tiba-tiba saja ia terkesiap, karena ia lihat delapan orang memikul sebuah joki indah yang dikawal oleh enam tujuh orang dan delapan tukang pikul itu bukan lain dari Sin Cian Pat Hiong.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat-cepat ia mengusap debu lantai dengan kedua tangannya.
Melihat begitu, Beng Goat geli bercampur takut, ia menduga bahwa perbuatan Boe Kie terdorong oleh perasaan takut.
Dalam bingungnya, iapun segera memoles debu pada mukanya sehingga di lain saat kedua Too Tong itu sudah berobah menjadi badut wayang.
Joli diturunkan tirai disingkap dan dari dalam joli, keluar seorang Kong Coe tampan yang menikam jubah panjang warna putih dengan sulaman obor kemerah-merahan pada tangan bajunya.
Ia itu bukan lain daripada Tio Beng.
Dengan diiring oleh belasan pemimpin rombongan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, si nona bertindak masuk.
Seorang pria yang bertubuh jangkung itu maju lebih dulu dan kemudian berkata sambil membungkuk.
"Melaporkan pada Kauw Coe, yang itu Thio Sam Hong, yang itu yang bercacat, Jie Thay Giam, murid ketiga dari Boe Tong Pay.
Tio Beng manggut-manggutkan kepala.
Ia maju beberapa tindak menutup kipasnya dan lalu menyoja seraya membungkuk.
"Boan Seng Thio Boe Kie pemimpin Beng Kauw!"
Katanya.
"Boan Seng bersyukur, bahwa hari ini bisa bertemu dengan Gunung Thay san dari rimba persilatan."
Boe Kie kaget dan gusar.
Di dalam hati, ia mencaci wanita itu yang sudah menyamar sebagai dirinya dan menipu Thay Suhu.
Mendengar nama Thio Boe Kie, Thio Sam Hongheran.
"Mengapa namanya bersamaan dengan nama anak Thio Boe Kie? Tanyanya di dalam hati.
Ia membalas hormat dan menjawab.
"Sebab tak tahu Kauw Coe dari tempat jauh. Untuk kelainan itu kuharap Kauw coe suka memaafkan."
"Bagus, bagus!"
Kata si nona.
Dengan diikuti oleh seorang Too Tong bagian depan Tie Kek Toojin menyuguhkan the.
Tio Beng duduk di kursi seorang diri.
Orang-orang bawahannya berdiri jauh-jauh dengan sikap hormat.
Sebagai seorang yang sudah memiliki usia seabad lebih dan memiliki ilmu yang sangat tinggi, Thio Sam Hongmempunyai ketenangan luar biasa dan tak menghiraukan lagi segala apa yang bersifat keduniawian.
Akan tetapi, ikatan antara guru dan murid adalah sedemikian erat, sehingga dalam ketenangannya, guru besar itu masih memikirkan keselamatan murid-muridnya.
"Dengan tidak mengimbangi tenaganya yang sangat kecil, beberapa murid Lao Too telah pergi ke tempat Thio Kauw Coe untuk meminta pelajaran,"
Katanya. "Sampai kini mereka belum pulang. Apakah Thio Kauw Coe sudi memberi sedikit keterangan?"
Tio Beng tertawa.
"Song Tay Hiap, Jie Tay Hiap, Thio Sie Hiap, dan Boh Cit Hiap sudah berada dalam tangan Beng Kauw."
"Mereka mendapat luka enteng karena totokan dan sama sekali tidak membahayakan jiwa mereka."
"Luka totokan mungkin berarti luka kena racun,"
Kata Thio Sam Hong. Tio Beng tersenyum.
"Thio Cin Jin kelihatannya sangat mengagulkan kepandaian Boe Tong Pay,"
Katanya.
"Kalau Thio Cin Jin menduga kena racun, biarlah kita anggap mereka kena racun."
Thio Sam Hongmengenal kepandaian murid-muridnya.
Mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu pada zaman itu.
Andaikata benar, karena berjumlah kecil mereka tak dapat melawan musuh yang jumlahnya besar.
Biar bagaimanapun jua mesti ada beberapa orang yang bisa meloloskan diri untuk menyampaikan berita.
Jika tidak menggunakan racun, musuh tak mungkin bisa merobohkan atau menangkap mereka semua.
Mendengar jitunya tebakan guru besar itu, Tio Beng pun tak mau membantah.
"Dimana adanya muridku yang she In?"
Tanya pula Thio Sam Hong. Si nona menghela napas.
"In Liok Hiap telah dibokong oleh orang-orang Siauw Lim Pay dan keadaannya bersamaan dengan Jie Sam Hiap,"
Jawabnya.
"Tulang kaki tangannya dihancurkan dengan Kim Kong Cie sehingga biarpun tidak binasa, ia sudah menjadi seorang bercacat yang tidak dapat bergerak pula."
Paras muka Thio Sam Hongjadi lebih pucat.
Ia tahu, Tio Beng tidak berdusta.
Tiba-tiba ia memuntahkan darah.
Orang-orang itu yang berdiri di belakang si nona kelihatan bergirang sebab muntah darah itu sebagai bukti bahwa Kong Siang sudah berhasil dalam bokongannya.
Lawan paling berat sudah terluka berat dan mereka boleh tak usah takut lagi.
"Dengan setulus hati aku ingin memberi nasehat, hanya aku tak tahu apakah Thio Cin Jin suka mendengarnya,"
Kata Tio Beng.
"Kauw Coe boleh bicara."
"Selebur bumi di kolong langit ini adalah milik kaisar, keangkeran kaisar Mongol kami meliputi empat lautan.
Jika Thio Cin Jin suka menakluk kepada kaisar Hong Siang tentu akan memberi anugerah dan Boe Tong Pay akan menikmati zaman gilang gemilang.
Disamping itu Song Tay Hiap dan yang lain-lainpun bisa segera pulang dengan selamat."
Thio Sam Hongmendongak dan mengawasi genteng.
Sesudah itu, perlahan-lahan ia berkata dengan suara dingin.
Walaupun Beng Kauw banyak melakukan perbuatan yang tidak patut, semenjak dahulu agama itu menentang penjajah Goan.
Lagi kapan Beng Kauw menakluk kepada kerajaan? Lao Too belum pernah mendengar kejadian itu."
"Meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang adalah perbuatan seorang gagah sejati,"
Kata Tio Beng.
"Siauw Boen dan Kong Tie Seng Ceng sampai pada pendeta yang berkedudukan paling rendah sudah menunjuk kesetiaannya kepada kerajaan.
Tindakan kami adalah demi kepentingan negara dan mengikuti tindakan segenap orang gagah di seluruh rimba persilatan.
Apa hal itu mengharapkan Thio Cin Jin.
Kedua mata Thio Sam Hongberkeredepan bagaikan kilat dan sorot matanya yang setajam pisau mengawasi muka si nona.
"Orang Goan kejam dan banyak mencelakai rakyat,"
Katanya dengan suara gemetar.
"Diwaktu ini, segenap orang gagah di kolong langit bangkit serentak untuk mengusir penjajah dan merampas pulang sungai dan gunung kita. Di dalam hati setiap anak cucu Oey Tee terdapat tekad untuk mengusir Tat Coe. Tindakan inilah yang bisa dinamakan sebagai tindakan demi kepentingan negara. Biarpun hanya seorang pertapaan, . mengenal juga peribudi luhur. Kong Boen dan Kong Tie adalah pendeta-pendeta suci. Manabisa mereka ditundukkan dengan kekerasan? Nona, mengapa kau bicara begitu sembarangan?"
Mendadak seorang pria tinggi besar yang berdiri di belakang Tio Beng melompat ke luar dan membentak.
"Bangsat tua, jangan kau menggoyang lidah seenaknya saja! Boe Tong Pay sedang menghadapi kemusnahan.
Kau sendiri tidak takut mati, tapi apakah ratusan imam yang berada di kuil inI juga tak takut mati?"
Ia bicara dengan suara yang disertai Lweekang dan sikapnya garang sekali. Mendengar cacian itu, Thio Sam Hongberkata dengan suara tawar.
"Semenjak dahulu, manusia mana yang tak pernah mati, aku menggunakan kesetian untuk mencatat kitab sejarah."
Kata-kata itu adalah sajak gubahan Boe Thian Siang yang sangat dikagumi Thio Sam Hong.
Selama hidup sering kali ia rasa menyesal, bahwa waktu Boe Thian Siang menghadapi kebinasaan, ia tidak bisa menolong sebab ilmu silatnya belum cukup tinggi.
Sekarang dalam menghadapi kematiannya sendiri tanpa merasa ia menyebutkan sajak itu.
Sesudah berdiam sejenak, ia menambahkan.
"Sebenarnya Boe Sin Siang pun terlalu kukuh. Aku hanya ingin bersetia terhadap nusa dan bangsa. Aku tak perduli apa yang akan ditulis dalam kitab sejarah,"
Ia lirik Jie Thay Giam dan berkata di dalam hati.
"aku hanya mengharap agar Thay Kek Koen bisa diwariskan kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan. Tapi hai! Jika aku mengharap begitu, bukankah akupun memikirkan soal sesudah aku meninggal dunia? Bukankah sikapku jadi bersamaan dengan sikap Boe Sin Siang? Hai, perduli apa bisa diwariskan atau tidak! Perduli apa mati hidupnya mati Boe Tong Pay!"
Tiba-tiba Tio Beng mengibaskan tangan kirinya dan pria tinggi besar itu lantas saja mundur sambil membungkuk. Si nona tersenyum dan berkata.
"Thio Cin Jin ternyata seorang kukuh, biarlah untuk sementara kita tidak bicara lagi. Mari! Semua ikut aku!"
Seraya berkata begitu, ia berbangkit.
Hampir berbareng empat orang yang tadi berdiri di belakang Tio Beng, melompat dan mengurung Thio Sam Hong.
Keempat orang itu ialah si pria tinggi besar, seorang yang mengenakan dandanan pakaian pengemis, seorang hwesio kurus dan seorang wanita setengah tua.
Dilihat gerak-geriknya mereka semua ahli silat kelas utama.
Boe Kie kaget.
"Darimana Tio KouwNio mendapat orang yang begitu lihai?"
Tanyanya di dalam hati.
Keadaan sudah mendesak! Kalau Thio Sam Hongtidak mengikut, keempat orang itu pasti akan menggunakan kekerasan.
"Jumlah musuh sangat besar dan mereka semua kawanan manusia tidak mengenal malu, tidak dapat dibandingkan dengan enam partai yang mengurung Kong Beng Teng, pikir Boe Kie.
"Biarpun aku dapat merobohkan beberapa orang, yang lain pasti dan akan mengerubuti. Sangat sukar untuk aku melindungi Thay Suhu dan Sam Supeh. Tapi keadaan sudah jadi begini, Sudahlah! Jalan satu-satunya ialah mengadu jiwa. Tapi baru saja ia mau menerjang, di luar pintu mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul dengan berkelabatnya masuknya satu bayangan hijau. Gerakan orang itu cepat luar biasa, laksana angin, bagaikan kilat. Begitu berkelebat masuk, ia sudah berada di belakang si pria tinggi besar juga cukup lihai. Tanpa memutar badan, ia menangkis dengan sepenuh tenaga. Tapi orang itu sudah keburu menarik pukulan-pukulannya dan dengan berbereng tangan kirinya menepuk pundak wanita setengah tua. Wanita itu berkelit seraya menendang, tapi ia menendang angin, karena orang itu sudah melompat ke samping dan menghantam si pendeta. Dalam sekejab ia sudah mengirim empat pukulan kepada empat jago itu. Biar semua pukulan gagal, kecepatan gerakan itu sungguh menakjubkan. Keempat jago itu mengerti, bahwa mereka sedang menghadapi lawan berat. Dengan serentak mereka melompat mundur untuk melakukan serangan teratur. Tanpa menghiraukan gerakan musuhnya, orang yang mengenakan pakaian hijau itu sudah menghampiri Thio Sam Hongdan sambil membungkuk, ia berkata "boanpwee Wie It Siauw, orang sebawahan Thio Kauw Coe dari Beng Kauw memberi hormat kepada Thio Cin Jin!"
Beruang Salju -- Sin Liong Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Rahasia Mo-kau Kaucu -- Khu Lung