Pedang Langit Dan Golok Naga 64
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 64
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung
Diam diam Boe Kie memuji Tio Beng, sebab kecuali tambur itu, segala pelosok diperiksa dengan teliti.
Beberapa lama kemudian mereka berempat kembali ke toa tian.
"Dalam tipu ini, kita harus mengandalkan bantuan Song Heng tee,"
Bisik Tan Yoe Liang. "Aku?"
Menegas Song Ceng Soe dengan suara heran. "Benar,"
Jawabnya.
"Ciang poen Liong tauw Toako, kuharap kau suka membagi racun Ngo tok Swee sim san (bubuk racun yang dapat menghilangkan kesadaran manusia) kepada Song Heng tee, Song Heng tee, dengan membawa racun itu kau harus pulang ke Boe tong san dan diam2 menaruhnya di makanan Thio Cinjin dan para pendekar Boe tong. Kami akan menunggu di kaki gunung. Sesudah berhasil, kita menangkap Thio Cinjin dan semua pendekar Boe tong. Kemudian kita menggunakan penangkapan tersebut untuk menekan Thio Boe Kie, memaksa ia untuk menurut segala kemauan kita."
"Bagus! Tipu itu benar benar bagus!"
Puji Soe Hwee Liong. "Tipu ini memang sangat bagus,"
Menyambut Cie hoat. "Kita sukar untuk bisa meracuni Thio Boe Kie. Tapi Song Heng tee pasti berhasil. Sebagai anggota penting dari Boe tong pay, kau bisa turun tangan dengan mudah sekali."
Song Ceng Soe jadi bingung. Dengan paras muka pucat ia berkata.
"Tapi.. tapi aku pasti tak akan bisa meracuni ayah sendiri"
"Song heng tee tidak usah kuatir,"
Bujuk Tan Yoe Liang.
"Ngo tok Swee sim san adalah racun luar biasa dari partai kita.
Racun itu hanya dapat menghilangkan kesadaran manusia untuk sementara waktu dan sama sekali tidak membahayakan jiwa.
Kami semua sangat mengindahkan Song Tay hiap.
Kami pasti tidak akan mengganggu selembar rambut ayahmu."
Tapi Song Ceng Soe tetap menolak.
"Jika diketahui, masuknya aku ke dalam partai kita ini pasti akan ditegur oleh Thaysoehoe dan ayah,"
Katanya.
"Meracuni ayah sendiri adalah perbuatan yang aku tak akan berani lakukan."
"Saudara,"
Kata Tan Yoe Liang.
"Jalan pikiranmu tak benar. Dalam sejarah terdapat contoh contoh, bahwa ada orang orang yang rela menghukum keluarga sendiri demi kepentingan orang banyak atau negara. Apapula tujuan kita yang sekarang adalah menumpas Mo kauw. Kita menawan para pendekar Boe tong hanya untuk menaklukkan si penjahat cabul."
"Kalau aku melakukan perbuatan itu, aku pasti akan dicaci oleh berlaksa orang dalam dunia Kang ouw dan aku tak ada muka lagi untuk hidup di antara langit dan bumi,"
Kata Song Ceng Soe. "Song Heng tee, kau tak usah begitu berkuatir,"
Kata Tan Yoe Liang.
"Mengapa tadi aku minta supaya semua tiangloo delapan karung meninggalkan ruangan ini? Mengapa kita memeriksa di seluruh kelenteng? Aku begitu berhati hati sebab takut rahasia bocor. Song heng tee, sesudah menaruh racun, kau sendiri harus berlagak pingsan dan kaupun akan ditangkap. Kau akan dikumpulkan bersama sama Thay soehoemu, ayahmu dan paman pamanmu. Kecuali kita bertujuh orang, di dalam dunia tak ada orang lain yang mengetahuinya. Kami semua kagum dan berterima kasih terhadap kau yang sudah menunaikan tugas yang sangat berat. Siapa lagi yang akan mentertawakan kau?"
Ceng Soe mengerutkan alisnya. Sesudah berpikir beberapa lama, ia berkata dengan suara perlahan.
"Perintah Pangcoe dan Tan Toako sebenar benarnya tidak boleh ditolak olehku. Apa pula sebagai anggota baru dari partai kita, siauwtee seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk membuat pahala. Maupun harus masuk kedalam lautan api, siauw tee mesti melakukannya. Akan tetapi akan tetapi seorang manusia yang hidup di dunia ini berpokok kepada hauw gie (berbakti dan mempunyai rasa persahabatan). Maka itu, biar bagaimanapun jua siauw tee tidak bisa turun tangan terhadap ayah kandung sendiri."
Semenjak dahulu Kay pang sangat mengutamakan kebaktian.
Mendengar perkataan Song Ceng Soe, para tetua tidak berani mendesak lagi.
Mendadak Tan Yoe Liang tertawa dingin.
"Yang muda tidak boleh menyerang yang tua adalah salah satu larangan dalam Rimba Persilatan,"
Katanya.
"Hal itu sudah diketahui olehku dan Song Heng tee tak usah mengajari aku.
Aku hanya ingin mengajukan pertanyaan.
Pernah apakah Song Heng tee dengan Boh sengkok Cit hiap? Siapakah yang lebih tinggi tingkatannya? Boh Cit hiap atau kau sendiri?"
Song Ceng Soe tidak menjawab.
Ia menundukkan kepala dan sesudah berselang beberapa lama, barulah ia berkata.
"Baiklah! Siauw tee akan menurut perintah! Tapi kalian harus berjanji untuk tidak mengganggu selembar rambut ayahku, untuk tidak menghina ayah dengan cara apapun jua.
Apabila kalian berjanji begitu, Siauwtee lebih suka celaka daripada melakukan perbuatan yang tidak mengenal kebaktian ini."
Soe Hwee Liong dan yang lain lain jadi sangat girang. Mereka segera mengiakan tuntutan Song Ceng Soe. Boe Kie merasa sangat heran.
"Song Toa ko tadinya menolak keras, tapi mengapa begitu lekas Tan Yoe Liang menyebutkan Boh Cit siok ia lantas menyerah?"
Tanyanya di dalam hati.
"Di dalam hal ini tentu menyelip latar belakang yang luar biasa. Aku harus menanyakan Boh Cit siok sendiri."
Sementara itu Cie hoat Tiang loo dan Tan Yoe Liang lalu berunding dengan bisik bisik.
Mereka membicarakan tindakan tindakan menangkap tokoh tokoh Boe tong pay, sesudah mereka kena racun.
Saban saban Tan Yoe Liang menyatakan pikiran Soe Hwee Liong selalu berkata.
"Bagus! Bagus!"
"Sekarang musim dingin dan Ngo tok masih bersembunyi di bawah tanah,"
Kata Ciang poen Liong tauw.
"Siauwtee harus pergi ke kaki gunung Tian pek san untuk menggalinya. Di dalam dua puluh hari atau paling lama sebulan, siauwtee akan bisa membuat Ngo tok Swee sim san" (Ngo tok lima macam binatang beracun). "Kalau begitu Tan heng tee dan Song heng tee sebaiknya mengawani Ciang poen Liong tauw ke Tiang Pek san sedang kami sendiri turun ke selatan lebih dahulu,"
Kata Cie hoat Tiang loo.
"Sebulan kemudian kita berkumpul di Lao ho. Hari ini Cap Jie Gwee cee peh (bulan 12 tanggal 8). Lain tahun Cia gwee Cee peh (bulan 1 tanggal 8) kita bertemu pula."
Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula.
"Han Lim Jie yang sudah menjadi tawanan kita banyak gunanya.
Kuminta Ciang pang Liong tauw menjaga baik baik, supaya jangan sampai direbut oleh orang2 Mo kauw.
Dalam perjalanan ini kita harus sangat berhati hati supaya tindakan kita tidak diendus musuh."
Sesudah itu semua orang lantas saja meminta diri dari Pang coe.
Ciang poen Liong tauw, Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe berangkat paling dahulu dan kemudian dengan beruntun semua pengemis meninggalkan kelenteng Bie lek hoed.
Setelah semua orang berlalu, barulah Boe Kie dan Tio Beng melompat keluar dari dalam tambur.
Sambil membereskan pakaiannya, dengan sorot mata girang tercampur gusar, nona Tio mengawasi Boe Kie.
"Hm..
"
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung.
"Kau masih ada muka untuk bertemu dengan aku!"
Paras muka si nona lantas saja berubah.
"Mengapa?"
Ia menegas.
"Kedosaan apa yang kuperbuat terhadap Toakoauw coe?"
"Manusia kejam!"
Bentak Boe Kie dengan muka pucat.
"Aku tak mempersalahkan kau, bila kau hanya mencuri Ie thian kiam dan To Liong to.
Aku tak mempersalahkan kau jika kau hanya meninggalkan aku di pulau terpencil itu! Tapi, kau tahu, bahwa In kouwnio sudah terluka berat.
Mengapa kau begitu kejam, begitu tega turunkan tangan jahat kepadanya? Perempuan kejam! Dalam dunia yang lebar ini, kekejamanmu sukar dicari keduanya!"
Selagi mencaci, darahnya meluap. Ia maju setindak dan kedua tangannya menggaplok. Tio Beng coba berkelit, tapi mana bisa ia menyingkir dari serangan Boe Kie yang telah kalap? Plak! plak.plak plak!"
Kedua pipinya merah bengkak kena empat gamparan. Rasa sakit malu dan gusar bercampur aduk dalam dada si nona. Akhirnya ia menangis.
"Kau kata, aku curi Ie thian Kiam dan To liong to siapa yang lihat?"
Tanyanya.
"Kau kata.. aku kejam terhadap In Kouwnio panggil dia kemari untuk diadu denganku"
Boe Kie jadi makin gusar.
"Baiklah!"
Teriaknya.
"Aku akan kirim kau ke akherat untuk diadu dengannya!"
Tangannya menyambar dan mencekik leher si nona.
Tio Beng memberontak dan memukul dada Boe Kie, tapi pemuda itu yang tubuhnya dilindungi Kioe yang Sin kang tidak menghiraukan semua pukulan.
Selang beberapa saat kemudian, dengan muka merah si nona pingsan.
Dalam sakit hatinya, Boe Kie sebenarnya sudah ingin meembinasakan nona Tio.
Tapi melihat si nona dalam keadaan pingsan, tiba tiba hatinya lemas dan ia melepaskan cekikannya, sehingga si nona lantas saja roboh dengan kepala terpukul batu lantai.
Sesudah bersilang beberapa lama, perlahan lahan Tio Beng tersadar.
Ia membuka kedua matanya dan melihat paras muka Boe Kie yang mengunjuk rasa kuatir.
Sesudah si nona tersadar, Boe Kie menahan nafas lega.
"Apa benar In Kouwnio sudah meninggal dunia?"
Tanya Tio Beng. Darah pemuda itu bergolak lagi.
"Digores pedang tujuh belas delapan belas goresan bagaimana dia bisa hidup?"
Jawabnya dengan suara gemetar. "Siapa siapa yang kata aku berbuat begitu?"
Tanya Tio Beng.
"Apa Cioe Kouwnio?"
"Cioe kouwnio tidak pernah memfitnah orang. Dia sama sekali tidak menuduh kau."
"Apa In Kouwnio sendiri yang kata begitu?"
"In Kouwnio tidak bisa bicara. Binatang di pulau itu hanya terdapat lima orang. Apa ini perbuatan Giehoe? Apa aku? Apa In Kouwnio yang membacok dirinya sendiri? Hmm..! Kutahu jalan pikiranmu. Kau turunkan tangan jahat sebab kau takut aku menikah dengan piauw moay. Sekarang aku bicara terus terang. Tak peduli dia mati atau hidup, aku tetap menganggapnya sebagai isteriku."
Tio Beng menundukkan kepalanya. Lama ia berdiri terpaku. Akhirnya ia bertanya.
"Bagaimana kau bisa kembali ke Tionggoan?"
Boe Kie tertawa dingin.
"Kami bisa kembali berkat kemuliaan hatimu,"
Katanya dengan nada mengejek.
"Kau mengirim angkatan laut untuk mencari kami. Untung juga Gie hoe tidak setolol aku. Karena kecerdasan Gie hoe, kami tak masuk ke dalam perangkapmu. Kami tahu, bahwa kau telah mempersiapkan kapal2 meriam untuk menenggelamkan kapal yang ditumpangi kami. Tapi lihatlah! Tipu busukmu tak berhasil."
Sambil mengusap usap pipinya yang bengkak, si nona menatap wajah Boe Kie.
Mendadak kedua matanya mengeluarkan sinar kasihan dan mencinta.
Ia menghela nafas panjang.
Buru2 Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan, sebab ia kuatir terjatuh di bawah pengaruh kecantikan.
Ia menjejak bumi dan berkata.
"Aku pernah bersumpah untuk membalas sakit hati piauwmoay. Aku mengakui kelemahanku dan hari inin aku tidak bisa turun tangan. Kau terlalu jahat! Di lain hari kau pasti akan jatuh ke dalam tanganku!"
Sehabis berkata begitu, ia berjalan keluar dengan tindakan lebar. Tapi baru saja ia berjalan belasan tombak, Tio Beng sudah memburu.
"Thio Boe Kie! Mau kemana kau?"
Teriak si nona. "Kau tak perlu tahu!"
"Aku mau bicara dengan Cia tayhiap dan Cioe Kouwnio. Antarkan aku kepada mereka!"
"Giehoe tak akan berlaku sungkan terhadapmu,"
Kata Boe Kie.
"Menemui Giehoe berarti mengantarkan jiwa."
"Giehoemu kejam, tapi ia tidak setolol kau. Di samping itu, apabila Giehoemu membunuh aku, bukankah dengan demikian sakit hati piauw moaymu jadi terbalas impas?"
"Tolol apa aku? Aku hanya tak ingin kau menemui Giehoe."
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Thio Boe Kie, kau memang tolol. Kau tak rela mengorbankan aku. Kau tak ingin ayah angkatmu membunuh aku. Bukankah begitu?"
Muka Boe Kie berubah merah.
"Jangan rewel!"
Bentaknya.
"Sebaiknya kau menyingkir jauh jauh dari kami. Jika tidak, aku mungkin tak dapat menguasai diriku lagi dan akan mengambil jiwamu."
Setindak demi setindak Tio Beng mendekati.
"Aku mesti ajukan beberapa pertanyaan kepada Cia Tayhiap dan Cioe Kouwnio,"
Katanya dengan suara sungguh sungguh.
"Aku tak berani bicara jelek di belakang orang. Aku akan menanyakan seterang terangnya secara berhadap hadapan."
"Pertanyaan apa yang kau akan ajukan?"
"Kau akan segera tahu. Aku sendiri berani menempuh bahaya, mengapa kau berbalik ketakutan?"
Boe Kie kelihatannya sangat bersangsi. Lewat beberapa saat, barulah dia berkata.
"Kau harus ingat, bahwa kaulah yang memaksa. Jika Gie hoe turunkan tangan jahat, tak dapat aku menolong kau."
"Kau tak usah terlalu kuatir,"
Kata si nona. Tiba tiba Boe Kie naik darahnya.
"Berkuatir?"
Ia mengulang.
"Huh.. huh!.. Menurut pantas aku harus segera mengambil jiwamu."
"Hayolah!"
Si nona menantang sambil tertawa.
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung.
Tanpa meladeni lagi, ia segera menuju ke kota dengan tindakan lebar, diikuti oleh Tio Beng dari belakang.
Waktu hampir tiba di kota, Boe Kie menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang.
"Tio Kouwnio,"
Katanya.
"aku pernah berjanji untuk melakukan tiga pekerjaan untukmu. Yang pertama mencari To liong to. Janji ini sudah dipenuhkan olehku. Masih ada dua. Jika kau menemui Giehoe, jiwamu pasti melayang. Kau pergilah! Aku ingin memenuhi janjiku itu dan sesudah terpenuhi, barulah kau pergi menemui Gie hoe."
Si nona tertawa geli.
"Thio Boe Kie,"
Katanya dengan suara bahagia.
"Kau hanya mencari cari alasan supaya Giehoemu jangan sampai membinasakan aku. Kutahu, kau tak tega mengorbankan aku."
"Kalau aku tak tega, mau apa kau?"
Kata Boe Kie dengan suara aseran. "Aku merasa sangat girang,"
Jawabnya. Boe Kie menghela napas.
"Tio Kouwnio,"
Katanya. "Aku memohon aku memohon.. kau jangan pergi"
Si nona menggelengkan kepalanya.
"Tidak, biar bagaimanapun jua, aku mesti menemui Cia Tayhiap,"
Katanya dengan suara tetap. Boe Kie mengerti, bahwa tak guna ia membujuk lagi. Dengan tindakan berat, ia segera menuju rumah penginapan. Setiba di depan kamar Cia Soen, ia mengetuk pintu.
"Giehoe!"
Panggilnya.
Sesudah memanggil beberapa kali, ia belum juga mendapat jawaban.
Ia menolak pintu kamar, tapi pintu itu dikunci dari dalam.
Ia merasa sangat heran karena ia tahu sang ayah angkat sangat sigap dan andaikata tertidur, tindakan kakinya di luar kamar pasti sudah menyadarkannya.
Ia pun bercuriga dan berkuatir.
Kalau orang tua itu keluar, mengapa pintu terkunci dari dalam? Ia segera mengerahkan tenaga dan mendorong pintu.
"Brak!"
Palang pintu patah dan pintu terbuka dan Cia Soen tak berada dalam kamarnya! Boe Kie menyapu seluruh kamar dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa jendela terbuka separuh.
"Gie hoe tentu keluar dari jendela,"
Pikirnya. Ia pergi ke depan kamar nona Cioe.
"Cie Jiak! Cie Jiak!"
Panggilnya. Si nona tak memberi jawaban. Ia segera membuka pintu dengan paksa dan sekali lagi ia mendapat kenyataan, bahwa Cie Jiak juga tak berada dalam kamar tapi buntelan pakaiannya masih terletak di atas pembaringan.
"Apa mereka disatroni musuh?"
Tanyanya dalam hati. Ia segera menanya seorang pelayan tapi pelayan itu tak lihat Cia Soen dan Cie Jiak dan juga tak mendengar suara keributan. Boe Kie jadi agak lega.
"Mungkin sekali mereka mendengar suara mencurigai dan mereka lalu mengejar. Ayah angkat berkepandaian sangat tinggi dan dengan dikawani oleh Cie Jiak yang sangat berhati hati mungkin takkan terjadi sesuatu yang tak enak."
Waktu memeriksa jendela dan keadaan di bawah jendela ia tak lihat petunjuk yang mencurigakan. Dengan hati yang lebih tenang ia lalu kembali ke kamarnya. "Melihat Cia tayhiap tak berada di dalam kamar, mengapa kau berbalik merasa senang?"
Tanya Tio Beng sambil tersenyum. "Omong kosong! Lagi kapan aku merasa senang?"
"Kau rasa aku tak bisa membaca paras mukamu? Waktu menolak pintu, kau memang kaget. Tapi sesudah itu, ketegangan otot2 mukamu lantas menghilang."
Boe Kie tak meladeni dan lalu duduk di pembaringan batu.
Seraya bersenyum simpul, Tio Beng duduk di kursi.
Ia melirik Boe Kie dan berkata dengan suara perlahan.
"Kutahu kutahu, bahwa di dalam hati, kau kuatir Cia tayhiap membunuh aku sehingga menghilangnya orang tua itu berbalik menyenangkan hatimu.
Kutahu kau tak tega mengorbankan aku."
"Kalau aku tak tega, mau apa kau?"
Bentak Boe Kie dengan mendongkol. Si nona tertawa.
"Aku merasa sangat girang,"
Jawabnya. "Tapi mengapa berulang kali kau coba mencelakai aku?"
Tanya Boe Kie.
"Apa di dalam hati kau membenci aku, kau rela mengorbankan aku?"
Paras Tio Beng lantas saja bersemu dadu.
"Benar,"
Katanya.
"memang benar dulu aku berusaha untuk mengambil jiwamu. Tapi sesudah pertemuan di Lek Lioe chung, apabila dalam hati aku mempunyai niatan sedikit saja untuk mencelakai kau, biarlah aku dikutuk Tuhan Yang Maha Esa, biarlah aku binasa secara mengenaskan, biarlah aku tak bisa menitis lagi dalam dunia yang fana ini."
Mendengar sumpah yang sangat berat itu, Boe Kie terkejut.
"Tapi mengapa hanya karena sebatang golok dan sebatang pedang, kau sudah begitu tega terhadapku dan meninggalkan aku di pulau kecil itu?"
Tanyanya pula. "Kalau kau tetap berpendapat begitu, aku pun tak akan bisa membantah,"
Kata si nona.
"Tunggu saja sampai Cia tayhiap dan Cioe kouwnio datang."
"Dengan lidahmu, kau hanya bisa menipu aku seorang. Kau pasti tak akan dapat mengelabui Giehoe dan Cioe kouwnio."
"Mengapa kau rela ditipu aku? Karena kau mencintai aku, bukan?"
"Kalau ya, mau apa kau?"
Bentak Boe Kie. "Aku sangat girang,"
Jawabnya sambil tertawa manis. Melihat tertawa yang menggoncangkan hati, buru buru Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan. "Hampir setengah hari aku bersembunyi di pohon itu,"
Kata Tio Beng.
"Sekarang kulapar."
Tanpa menunggu jawaban, ia memanggil pelayan, menyerahkan sepotong emas dan memerintahkan supaya disediakan semeja makanan kelas satu.
Melihat uang yang berjumlah besar itu, si pelayan berlaku hormat luar biasa dan tak lama kemudian makanan dan minuman mulai diantar masuk.
"Sebaiknya tunggu sampai Giehoe datang dan kita boleh makan bersama sama,"
Kata Boe Kie. "Begitu Cia tayhiap datang, jiwaku akan melayang,"
Kata si nona.
"Paling benar makan dulu. Lebih baik jadi setan perut kenyang daripada setan kelaparan."
Biarpun ia berkata begitu, sikapnya dan suaranya sangat tenang, sedikitpun tidak mengunjuk rasa kuatir. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula.
"Aku masih mempunyai emas. Sebentar kita boleh pesan makanan lagi."
"Tapi aku tak berani makan bersama sama kau,"
Kata Boe Kie dengan suara dingin.
"Kutakkan menaruh tahu Sip hiang joan kin san."
Paras muka Tio Beng lantas saja berubah. Ia sangat mendongkol.
"Terserah,"
Katanya.
Sehabis ia berkata begitu, ia segera makan seorang diri.
Sebab ia sendiri memang sudah lapar, Boe Kie lalu meminta beberapa potong kue phia dan memakannya dengan duduk di pembaringan batu.
Sesudah makan beberapa suap, si nona mendadak merasa sedih dan air matanya turun di kedua pipinya.
Tiba tiba ia melemparkan sumpit dan lalu mendekam di meja sambil menangis segak seguk.
Lama juga ia menangis.
Sesudah kedukaannya disalurkan, ia mengawasi keluar jendela.
"Satu jam lagi siang akan berganti dengan malam,"
Katanya seorang diri. "Kemana Han Lim Jie akan dibawa? Kalau jejaknya tak dapat dicari, dia sukar ditolong lagi."
Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun dan berkata.
"Benar. Aku harus menolong Han heng tee terlebih dahulu."
"Cis! Tak tahu malu!"
Bentak Tio Beng.
"Aku bukan bicara dengan kau."
Melihat lagak si nona Boe Kie merasa geli tercampur dongkol. Cepat cepat ia menghabiskan kuenya dan lalu berjalan keluar dengan tindakan lebar. "Aku ikut!"
Teriak Tio Beng. "Tak boleh!"
"Mengapa?"
"Kau membunuh piauw moayku. Mana bisa aku berjalan sama sama musuh?"
"Baik. Nah, kau pergilah!"
Boe Kie segera bertindak keluar, tapi baru beberapa langkah, ia merandek.
"Perlu apa kau berdiam di sini?"
Tanyanya. "Tunggu Giehoemu. Aku akan memberitahu bahwa kau pergi untuk menolong Han Lim Jie."
"Gie hoe sangat membenci kejahatan. Ia tak akan mengampuni kau."
Tio Beng menghela napas.
"Jika aku mesti mati, aku takkan mempersalahkan siapapun jua,"
Katanya.
"Aku mati sebab nasibku buruk."
Boe Kie mengawasi si nona.
"Sebaiknya kau menyingkir untuk sementara waktu,"
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya dengan suara membujuk. "Sesudah aku kembali, kita bisa berdamai lagi."
"Tak ada tempat untuk aku menyingkirkan diri."
"Sudahlah! Kau ikut aku menolong Han Lim Jie."
Tio Beng tertawa.
"Ingatlah, kaulah yang mengajak aku,"
Katanya.
"Bukan aku yang memohon mohon."
"Hm kau merupakan binatang iblis bagi di riku. Rupa rupanya memang sudah nasibku semenjak bertemu dengan kau, aku selalu menderita."
Tio Beng tertawa geli.
"Tunggu sebentar,"
Katanya sambil menepal pintu.
Beberapa lama kemudian, setelah pintu terbuka lagi, si nona ternyata sudah menukar pakaian, pakaian wanita yang sangat indah.
Boe Kie tak pernah menduga, bahwa di dalam buntelan yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat pakaian yang mahal harganya.
"Perempuan ini banyak akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang,"
Katanya di dalam hati. "Mengapa kau terus mengawasi aku?"
Tanya Tio Beng. "Apa pakaianku bagus?"
"Muka seperti bunga tho dan lie, hati bagaikan ular dan kalajengking,"
Jawabnya. Tio Beng tertawa terbahak bahak.
"Terima kasih banyak kepada Thio Toakauwcoe yang sudah menghadiahkan kata kata seindah itu,"
Katanya.
"Thio kauwcoe, kaupun harus menukar pakaian."
"Sedari kecil aku sudah biasa memakai pakaian compang camping,"
Kata Boe Kie dengan hati mendulu.
"Apabila kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah mengikutku." "Kau jangan menduga yang tidak tidak,"
Kata Tio Beng sambil tersenyum.
"Aku hanya ingin melihat romanmu sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Boe Kie koko, kau tunggulah di sini sebentar. Kawanan pengemis itu pasti mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu dapat mengejar mereka."
Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban, ia segera berlalu. Boe Kie duduk bengong di pembaringan batu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia heran mengapa ia seperti tauwhoe yang bisa dipermainkan oleh perempuan itu.
"Terang terang dialah yang membinasakan piauw moay tapi aku masih bisa beromong omong dan tertawa tawa dengan dia,"
Pikirnya.
"Boe Kie ah Boe Kie Lelaki apa kau? Apa kau ada muka untuk menjadi kauwcoe dari Beng kauw, untuk memimpin segenap orang gagah di kolong langit?"
Lama juga ia menunggu, tapi Tio Beng belum juga balik. Cuaca sudah mulai gelap. "Perlu apa kutunggu dia?"
Pikirnya.
Ia mau lantas berangkat, tapi ia segera membayangkan kemungkinan bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya.
Kalau mereka bertemu muka, nona Tio pasti akan binasa.
Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan menunggu terus.
Ia mendongkol bukan main, duduk salah berdiripun salah.
Akhirnya terdengar tindakan kaki dan si nona masuk dengan tangan menyangga dua bungkusan.
"Mengapa begitu lama?"
Tanya Boe Kie.
"Sudahlah! Aku tak usah menukar pakaian. Mari kita berangkat."
Si nona tertawa.
"Sesudah kau menunggu begitu lama, beberapa detik lagi untuk menyalin pakaian tak jadi soal,"
Katanya.
"Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa mengubar di waktu malam."
Ia mengeluarkan kedua bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat pakaian, sepatu dan kaos kaki.
"Di tempat kecil tak ada barang baik,"
Katanya pula.
"Setibanya di kota raja, aku akan beli baju kulit rase."
Boe Kie kaget dan lalu berkata dengan suara sungguh sungguh.
"Tio Kouwnio, apabila kau menganggap bahwa aku kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk menekuk lutut kepada kerajaan, hilangkanlah anggapan itu. Thio Boe Kie adalah anak cucu bangsa Han. Andaikata diangkat menjadi raja muda, iapun tak akan menakluk kepada bangsa Mongol."
Tio Beng menghela napas.
"Thio Kauwcoe, kau lihatlah!"
Katanya.
"Lihatlah, apa ini pakaian seorang Mongol atau pakaian orang Han?"
Seraya berkata begitu, ia lalu membuka baju dan celana yang baru dibelinya. Boe Kie manggut2kan kepalanya, sebab pakaian itu adalah pakaian Han. Sesudah itu, sambil memutar tubuh, si nona berkata pula.
"Nah kau lihatlah lagi! Apa pakaian ini pakaian puteri Mongol atau pakaian seorang puteri Han?"
Hati Boe Kie berdebar2.
Tadi ia tak berkata.
Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa nona Tio memang mengenakan pakaian wanita Han.
Ia menatap wajah si nona yang balas mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan.
Mendadak ia tersadar, ia sadar akan maksud puteri Mongol itu.
"Kau kau"
Katanya dengan suara parau. "Sebab kutahu kau mencintai aku, aku sekarang tidak memperdulikan apapun jua. Aku bersedia untuk membuat pengorbanan yang paling besar,"
Katanya dengan suara perlahan.
"Bagiku, orang Mongol atau orang Han tak jadi soal lagi. Kalau kau orang Han, aku orang Han. Kalau kau orang Mongol, akupun orang Mongol. Apa yang dipikiri olehmu adalah soal negara, soal ketentraman, soal kekuasaan, pengaruh dan nama. Tapi Boe Kie koko, bagiku yang paling penting adalah kau seorang pribadimu sendiri. Entah kau manusia baik, entah kau pengemis bagiku sama saja!"
Mendengar kata2 itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie. Untuk beberapa saat ia berdiri terpaku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata.
"Apakah kau mencelakai piauwmoay lantaran jelus? Lantaran kuatir aku akan menikah dengan dia?"
"Thio Toakauwcoe!"
Bentak Tio Beng dengan suara keras.
"Bukan aku yang mencelakai In Kouwnio. Kau percaya, baik tidak ya sudah! Hanya ini keteranganku!"
Boe Kie menghela napas.
"Tio Kouwnio,"
Katanya.
"manusia bukan kayu atau batu.
Kutahu kecintaanmu terhadapku.
Tapi apakah sampai hari ini dan di tempat ini, kau masih juga ingin mendustai aku?"
"Dahulu, kuanggap diriku pintar.
Tapi sekarang kutahu, bahwa di dalam dunia ada hal hal yang berada di luar taksiran manusia,"
Kata si nona secara menyimpang.
"Boe Kie koko, biarlah kita jangan berangkat hari ini. Kau tunggu Cia tayhiap di kamar ini dan aku sendiri akan menunggu Cioe Kouwnio di kamarnya."
"Mengapa begitu?"
Tanya Boe Kie heran. "Kau tak usah tanya,"
Jawabnya.
"Kau tidak usah kuatir akan keselamatan Han Lim Jie. Aku tanggung dia akan dapat ditolong."
Seraya berkata begitu, ia berjalan keluar dan pergi ke kamar Cie Jiak.
Boe Kie bingung.
Ia tak dapat meraba maksud nona itu.
Sambil bersandar di pembaringan batu, ia mengasah otak.
Mendadak di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan.
"Apa tak bisa jadi, ia telah mengatur siasat untuk mencelakai Cie Jiak karena ia tahu aku sudah bertunangan dengan nona Cioe?"
Pikirnya di dalam hati.
"Apa tak bisa jadi, ia menyuruh Hian beng Jie loo datang disini untuk membokong Gie hoe dan Cie Jiak?"
Mengingat Hian beng Jie loo, rasa kuatirnya menghebat.
Kedua kakek itu berkepandaian sangat tinggi.
Biarpun matanya bisa melihat, ayah angkatnya belum tentu dapat menandingi salah seorang dari mereka.
Ia melompat bangun dan berlari lari ke kamar Tio Beng.
"Tio Kouwnio, kemana perginya Hian beng Jie loo?"
Tanyanya. "Mungkin mereka menyusul ke selatan, sebab rupa rupanya mereka anggap aku masuk ke daerah Kwan lwee sesudah aku meloloskan diri,"
Jawabnya. "Apa benar?"
"Kalau tak percaya, perlu apa kau tanya?"
Boe Kie tertegun.
Ia berdiri di depan kamar tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun jua.
"Kalau aku mengatakan, bahwa aku sudah menyuruh Hian beng Jie loo datang kesini untuk membinasakan Cia tayhiap dan Cioe Kouwniomu yang tercinta, apa kau percaya?"
Tanya si nona. Perkataan itu kena jitu di hati Boe Kie. Sekali menendang, pintu terpental. Dengan paras muka merah padam, ia berkata.
"Kau. Kau.." Melihat paras yang menakuti, si nona baru ketakutan. Ia merasa menyesal, bahwa ia sudah mengeluarkan kata-kata itu.
"Jangan marah!"
Katanya terburu-buru.
"Aku hanya guyon-guyon."
Dengan sorot mata bagaikan pisau, Boe Kie menatap wajah si nona.
"Tio Kouw Nio, bicaralah terang- terangan..
"
Katanya dengan suara menyeramkan.
"Kau tidak takut datang di sini kau tidak takut bertemu dan dipadu dengan Gie Hoe. Apakah itu berarti, bahwa kau sudah tahu mereka berdua sudah mati, sudah tak ada lagi didalam dunia ini?"
Seraya berkata begitu, ia maju beberapa tindak, sehingga dengan sekali menghantam, ia akan bisa mengambil jiwa nona Tio. Tio Beng balas mengawasi mata pemuda itu.
"Thio Boe Kie,"
Katanya dengan suara sungguh-sungguh.
"Aku bicara terus terang kepadamu. Dalam hal-hal di dunia ini, kecuali kau lihat dengan mata sendiri, kau tidak boleh lantas percaya. Lebih-lebih kau tidak boleh memikirkan yang bukan-bukan dan menarik kesimpulan sendiri. Jika kau mau membunuh aku, sekarangpun kau boleh turun tangan. Tapi kalau sebentar Gie Hoe-mu datang, bagaimana perasaanmu?"
Kegusaran Boe Kie lantas saja mereda, bahkan ia merasa malu sendiri.
"Apabila Gie Hoe tidak kurang suatu apa, aku tentu saja merasa sangat girang."
Katanya dengan suara perlahan.
"Kau tidak boleh guyon-guyon dalam soal keselamatan ayah angkatku."
Tio Beng mengangguk.
"memang, memang tak pantas aku mengeluarkan kata-kata itu."
Katanya.
"Kuharap kau suka memaafkan."
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar permintaan maaf itu, hati Boe Kie lantas saja lemas. Ia tersenyum dan berkata.
"Untuk kekasaranku, akupun memohon maaf."
Sehabis berkata begitu, ia segera balik ke kamar Cia Soen. Semalam suntuk mereka menunggu, tapi kedua orang yang ditunggu tak juga kembali. Sesudah sarapan pagi ia segera berdamai dengan Tio Beng.
"Heran sekali,"
Kata si nona sambil mengerutkan alis.
"Kecuali Kay Pang, di tempat ini tak terdapat lain orang Kang Ouw. Sebaiknya kita mengejar rombongan Soe Hwee Liong dan coba menyelidiki."
Boe Kie menyetujui usul itu.
Sesudah membayar uang sewa kamar, ia memesan pengurus rumah penginapan supaya Cia Soen dan Cie Jiak jika mereka kembali menunggu saja di penginapan itu.
Tak lama kemudian, seorang pelayan menuntun dua ekor kuda yang garang dan tinggi besar badannya.
Boe Kie merasa kagum dan memberi pujian kepada kuda Kwan Gwa yang tersohor itu.
Mereka lantas saja melompat ke punggung tunggangan itu yang segera dikabur ke jurusan selatan.
Mereka merupakan pasangan setimpal yang lelaki tampan yang perempuan cantik, dan kedua-duanya mengenakan pakaian indah.
Yang tak tahu pasti akan menduga bahwa mereka adalah suami isteri bangsawan yang sedang pesiar di daerah itu.
Hari itu mereka melalui dua ratus li lebih, malamnya mereka menginap di sebuah penginapan pada keesokan pagi.
Mereka meneruskan perjalanan kira-kira tengah hari, angin dingin mulai meniup dengan santernya sehingga awan hitam beterbangan di angkasa.
Sesudah mulai lagi, dua puluh li lebih salju mulai turun.
Selama dalam perjalanan Boe Kie jarang berbicara dengan Tio Beng.
Kini, meskipun turunnya salju jadi makin besar, ia terus membedal kuda tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Di waktu magrib, tebalnya salju sudah hampir sekali.
Biarpun gagah, kedua tunggangan itu lelah, apapula mereka harus berjalan di jalanan gunung yang licin dan tebal saljunya.
Boe Kie menahan les dan mengawasi seputarnya.
Mereka berada di gunung yang tak ada manusianya.
"Tio Kouw Nio, bagaimana baiknya?"
Boe Kie bertanya.
"kalau kita meneruskan perjalanan, kedua binatang ini mungkin roboh."
Si nona tertawa dingin.
"Kau hanya memikiri kuda, tidak memperdulikan manusia."
Jawabnya. Ditegur begitu, Boe Kie merasa menyesal tercampur malu.
"Aku sendiri mempunyai Kioe Yang Sin Kang, sehingga tidak mengenal letih,"
Pikirnya.
"Benar-benar aku tak ingat dia."
Sesudah berjalan lagi beberapa jauh, dari pinggir jalan tiba-tiba melompat keluar seekor kijang yang terus kabur ke atas.
"Tio Kouw Nio, kau tunggu di sini."
Kata Boe Kie. "Aku mau tangkap kijang itu untuk menangsal perut."
Ia melompat turun dan terus mengejar dengan mengikuti tapak-tapak di salju.
Sesudah membelok di sebuah tanjakan lapat-lapat ia lihat binatang itu lari ke arah sebuah gua.
Dengan sekali mengempos semangat, tubuh Boe Kie melesat bagaikan anak panah dan sebelum kijang itu masuk ke gua, ia sudah berhasil mencekal lehernya.
Binatang itu coba memberontak, tapi tulang lehernya lantas patah dipijut Boe Kie.
Dengan menenteng bangkai kijang, Boe Kie kembali kepada Tio Beng.
"Di sana ada sebuah gua yang cukup besar untuk dua orang."
Katanya.
"Apa kau setuju jika kita menginap di situ?"
Nona Tio mengangguk.
Tiba-tiba mukanya bersemu dadu dan ia memalingkan kepala ke lain jurusan.
Sesudah menambat kedua kuda di bawah pohon siong, Boe Kie lalu mencari cabang-cabang kayu kering dan membuat perapian di depan gua.
Gua itu yang di dalamnya gelap, ternyata sangat bersih, bebas dari kotoran binatang.
Boe Kie menguliti bangkai kijang, mencuci dagingnya dengan salju dan kemudian membakarnya di atas perapian.
Tio Beng membuka baju luarnya yang terbuat daripada kulit binatang, menggelarnya di lantai gua dan kemudian mendudukinya sambil menikmati hawa hangat dari perapian.
Tiba-tiba Boe Kie menengok dan mereka berdua saling tersenyum.
Senyuman yang menghilangkan semua rasa letih dan lelah.
"Sesudah daging masak, mereka lalu makan dengan bernapsu.
Selang beberapa lama, sambil bersender di dinding gua.
Boe Kie berkata.
"Kau tidurlah!"
Si nona tertawa manis, ia bersandar di dinding seberang dan lalu memejamkan kedua matanya.
Dengan hidung yang saban- saban mengendus wewangian yang keluar dari badan puteri Mongol itu, Boe Kie melirik dengan rasa kagum, karena di bawah sinar api, Tio Beng lebih cantik lagi, seolah-olah sekuntum bunga Hay Thong yang baru mekar.
Seraya menghela napas, iapun memejamkan mata.
Kira-kira tengah malam sayup-sayup tersadar dan segera memasang kuping.
Ia tahu, bahwa yang sedang mendatangi berjumlah empat ekor kuda.
"Di tengah malam buta dan di waktu turun salju mereka berjalan juga,"
Katanya di dalam hati. Mereka pasti sedang menghadapi urusan pentin. "Makin lama suara itu makin dekat. Untuk sejenak mereka berhenti dan kemudian berjalan lagi. Tak bisa salah lagi kuda-kuda itu menghampiri gua, Boe Kie kaget.
"Gua ini terletak di tempat yang sembunyi,"
Pikirnya.
"Kalau bukan dituntun kijang, aku tak akan bisa mencarinya. Mengapa dan cara bagaimana orang-orang itu bisa datang kemari?"
Tiba-tiba ia mendusin dan berkata pula di dalam hati.
"Benar! Mereka tentu lihat tapak kaki kami."
Ketika itu Tio Beng pun sudah tersadar.
"Mereka mungkin musuh,"
Katanya.
"Biarpun kita tak takut, sebaiknya kita menyingkir." "Mereka datang dari selatan,"
Kata Boe Kie. "Heran sekali,"
Kata si nona sambil meraup salju yang lalu digunakan untuk menutup api. Sementara itu suara kaki kuda sudah berhenti dan sebagai gantinya terdengar tindakan empat orang. Dalam sekejab mereka mendekati gua.
"gerakan mereka sangat cepat,"
Bisik Boe Kie.
"Mereka berkepandaian sangat tinggi,"
Ia bingung sebab orang-orang itu sudah hampir tiba di depan gua.
Tiba-tiba Tio Beng mencekal tangannya dan menariknya masuk ke dalam.
Makin ke dalam gua itu jadi makin sempit dan baru saja masuk setombak lebih, mereka bertemu dengan sebuah tikungan.
Sekonyong-konyong terdengar suara seorang.
"Ah! Di sini ada gua."
Boe Kie kaget tercampur girang sebab ia segera mengenali, bahwa orang yang berbicara adalah paman gurunya yang keempat. Thio Siong Kee. "Tanda-tanda yang tinggalkan Cit Tee menuju ke tempat ini,"
Kata seorang lain.
"Mungkin sekali Cit Tee pernah masuk ke gua ini,"
Itulah suara Boe Tong Liok Hiap, In Lie Heng. Baru saja Boe Kie mau memanggil, mulutnya sudah ditekap Tio Beng.
"Kita berada berduaan dan kalau dilihat mereka, kita akan merasa tidak enak,"
Bisik si nona.
Boe Kie menyetujui peringatan itu.
Meskipun ia putih bersih, tapi jika ia dan Tio Beng ditemukan berduaan dalam sebuah gua, para paman itu tentu sukar percaya kebersihannya.
Apapula, sebagai koencoe dari kerajaan goan, nona Tio pernah memperanjakan para pendekar Boe Tong di Ban Hoat Sie, sehingga kalau mereka bertemu muka, pertemuan itu merupakan pertemuan antara musuh dan musuh.
Ia segera mengambil keputusan, bahwa begitu lekas para pamannya berlalu, akan segera ia berpisahan dengan Tio Beng, supaya ia tak usah mengalami hal-hal yang tidak enak.
"Ih!"
Demikian terdengar seruan Jie Lian Cioe.
"Di sini ada cabang-cabang siong yang terbakar. Hmmm.. kulit darah dan sisa daging kijang."
"Hatiku sangat tak enak."
Kata orang keempat. "Kuharap saja Cit Tee tak kurang suatu apa."
Orang itu bukan lain daripada Song Wan Kiauw.
Jantung Boe Kie memukul keras.
Empat paman gurunya turun gunung bersama-sama untuk mencari Boh Seng Kok.
Dari pembicaraan mereka, dapat ditarik kesimpulan, bahwa paman guru yang paling kecil itu telah bertemu dengan musuh yang kuat.
Ia turut merasa kuatir.
"Toa Soeko tak usah begitu kuatir,"
Kata Thio Siong Kee sambil tertawa.
"Karena sangat mencintai Cit Tee, Toa Soeko masih menganggap dia sebagai anak kecil Boh Seng Kok dahulu. Andaikata ia bertemu dengan musuh tangguh, kurasa Cit Tee masih bisa menghadapinya."
Aku bukan kuatir Cit Tee,"
Kata In Lie Heng.
"Yang kupikiri si bocah Boe Kie yang sekarang tak ketahuan ke mana perginya. Dia sekarang menjadi kc dari Beng Kauw. Pohon yang tinggi mengandung angin. Dalam kedudukannya itu tentu ada banyak musuh yang ingin mencelakainya. Walaupun ilmu silatnya tinggi, pikirnya terlalu sederhana dan ia tak tahu hebatnya gelombang Kang Ouw. Kuatir ia kena ditipu orang jahat."
Boe Kie merasa sangat terharu. Budi kebaikan para pamannya besar bagaikan gunung dan ia tak tahu bagaimana harus membalasnya. Mendadak Tio Beng berbisik.
"aku orang jahat dan sekarang kau sudah ditipu orang jahat. Apa kau tahu?"
"Dalam usaha mencari Boe Kie dengan mengambil jalan utara, Cit Tee nampaknya telah mendapat endusan,"
Kata Song Wan Kiauw.
"tapi apa artinya itu delapan perkataan yang ditinggalkannya di rumah penginapan Wie Kek di Tian Cin?"
"Ya..
"
Kata Thio Siong Kee.
"Cit Tee mengatakan, dalam rumah tangga ada perubahan, kita harus membersihkannya. Siapa yang dimaksudkan dengan kata- kata itu? Apakah dalam Boe Tong Pay terdapat manusia keji? Apa Boe Kie.
"
Ia tak meneruskan perkataannya. Tapi nada suaranya mengunjuk rasa kuatir. "Kurasa anak Boe Kie tak nanti melakukan sesuatu yang merusak nama rumah perguruan kita."
Kata In Lie Heng. "Tapi si perempuan siluman Tio Beng terlampau lihai,"
Kata pula Thio Siong Kee.
"Kau jangan lupa, anak Boe Kie masih muda, seorang muda gampang sekali dipengaruhi dengan kecantikan. Apakah apakah ia bertindak seperti ayahnya yang akhirnya binasa secara mengenaskan?....
"
Keadaan berubah sunyi.
Yang terdengar hanyalah hela napas.
Beberapa saat kemudian terdengar suara beradunya batu api yang membakar cabang-cabang pohon.
Salah seorang pendekar Boe Tong membuat obor yang sinarnya lantas saja menerangi bagian dalam gua.
Biarpun berada di tikungan, sayup-sayup Boe Kie bisa melihat paras muka Tio Beng yang mengunjuk rasa duka tercampur gusar.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tahu, bahwa perkataan Thio Siong Kee telah membangkitkan rasa jengkelnya si nona.
Ia sendri merasa bingung dan berkata di dalam hati.
"Perkataan Thio Sie Siok memang beralasan. Ibu belum pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Tapi toh, dia menyeret ayah sampai binasa, Tio Kouw Nio telah membunuh pmy, menghina Thay Soehoe dan para paman, ia tak bisa dibandingkan dengan ibu."
Memikir begitu, ia makin bingung. Kalau mereka menemukan aku bersama Tio Kouw Nio di gua ini, biarpun aku mencuci dengan semua air sungai Hoang Ho, tak dapat aku membersihkan diri."
Tiba-tiba terdengar suara Song Wan Kiauw yang bergemetar.
"Sie-tee, di dalam hatiku terdapat sebuah pertanyaan yang tak bisa keluar dari mulutku. Kalau aku mengatakan terang-terangan aku merasa tak adil terhadap ngo-tee yang sudah meninggal dunia."
"apakah Toako kuatir Boe Kie turunkan tangan jahat terhadap Cit Tee?"
Tanya Thio Siong Kee dengan suara perlaha. Song Wan Kiauw tak menyahut. Meskipun tak melihat, Boe Kie merasa bahwa paman itu telah manggutkan kepala. "Anak Boe Kie berwatak mulia dan jujur."
Kata Thio Siong Kee.
"Menurut pantas, ia takkan melakukan perbuatan keji itu, tapi Cit Tee sangat berangasan dan ceroboh. Kalau ia mendesak Boe Kie sampai di jalan buntu ditambah dengan siasat si perempuan siluman Tio Beng memang. Memang Hai!... Hati manusia tak dapat dijajaki. Semenjak dulu orang gagah sukar melawan paras cantik. Aku hanya berdoa agar dalam menghadapi detik- detik penting, Boe Kie bisa mempertahankan diri."
"Toako, Sieko! Kalian jangan omong yang tidak-tidak!"
Kata In Lie Heng.
"Belum tentu Cit Tee mengalami kebencanaan."
"Tapi sendiri melihat pedang Cit Tee, aku tak enak tidur,"
Kata Song Wan Kiauw. "Memang benar,"
Menyambung Jie Lian Cioe.
"Orang- orang rimba persilatan sekali-sekali tak boleh lalai terhadap senjatanya. Kita tak boleh menaruh senjata secara sembarangan saja. Apapula pedang itu hadiah Soehoe. Kata orang pedang ada, orangnya hidup, pedang hilang, orangnya.
"
Mendadak ia berhenti bicara dan perkataan "mati"
Yang sudah hampir keluar, ditelan lagi olehnya.
Mendadak kecurigaan keempat paman guru itu terhadap dirinya, Boe Kie jadi makin bingung dan berduka.
Sekonyong-konyong dari dalam gua keluar semacam bau wangi yang tercampur dengan bau anaknya binatang, seperti jua gua itu pernah atau memang sedang dialami binatang.
Karena kuatir wewangian itu diendusi para pamannya, sembil menahan napas dan mencekal sebelah tangan Tio Beng, Boe Kie masuk lebih jauh ke dalam gua.
Supaya tak tersandung batu-batu yang menonjol, sambil berjalan Boe Kie meraba-raba lantai gua dengan tangan kirinya.
Sesudah beberapa tindak dan baru saja membelok di sebuah tikungan lain, tangannya mendadak menyentuh sebuah benda lembek seperti tubuh manusia.
Boe Kie terkesiap.
"tak perduli orang ini sahabat atau musuh sedikitpun dia tak bersuara para paman tentu akan mendengarnya,"
Katanya dalam hati. Bagaikan kilat ia menotok lima "hiat"
Di dada orang itu dan kemudian mencekal tangannya dan hatinya mencelos, sebab tangan itu seperti es tangan orang mati! Dengan bantuan sinar remang-remang yang menembus dari luar ia mengawasi muka orang itu.
Tiba-tiba ia menggigil.
Lapat-lapat ia seperti melihat muka Boh Seng Kok! Tanpa menghiraukan bahaya lagi, ia mendukung jenazah itu dan maju beberapa tindak ke tempat yang lebih terang.
Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa jenazah itu adalah jenazah Boh Seng Kok, yang mukanya pucaat dan matanya belum tertutup.
Gusar dan duka bergolak-golak di dada pemuda itu, untuk sejenak ia berdiri terpaku.
Beberapa tindakan Boe Kie itu sudah didengar oleh keempat pendekar Boe Tong.
"Siapa?"
Bentak Jie Lian Cioe. Dengan serentak mereka menghunus pedang. Boe Kie mengeluh.
"Jika ditemukan, aku pasti tidak bisa mengelakkan tuduhan membunuh paman,"
Pikirnya.
Pada detik itu di dalam otaknya berkelebat-kelebat berbagai ingatan.
Dadanya menyesak dengan kedukaan yang sangat hebat karena ia ingat budi kecintaan Boh Seng Kok terhadap dirinya.
Dalam menghadapi bahaya, Tio Beng bisa berpikir cepat.
Mendadak ia melompat dan menerjang sambil memutar pedang, bagaikan kilat ia mengirim empat serangan dengan pukulan-pukulan Go Bie Kiam Hoat yang terhebat.
Baru saja keempat pendekar Boe Tong menangkis, ia sudah menerobos keluar dan sembil mengelakkan tikaman Thio Siong Kee, ia melompat ke punggung kuda dan menendang perut tunggangan itu dengan kakinya sehingga lantas saja kabur sekeras-kerasnya.
Tiba-tiba ia merasa punggungnya sakit dan matanya berkunang-kungan.
Sambil mendekam dan memeluk leher kuda ia mempertahankan diri dan kabur terus.
Ternyata ia sudah kena pukulan Jie Lian Cioe dan meskipun kenanya tidak telak, ia terluka berat.
Sementara itu sambil berteriak-teriak, keempat pendekar Boe Tong sudah mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
"Makin jauh aku lari, makin gampang dia meloloskan diri,"
Kata Tio Beng di dalam hati. "Untung juga semua orang mengejar aku."
Ketika si nona menerjang ke luar, Boe Kie mencelos hatinya.
Dilain saat barulah ia mengerti, bahwa Tio Beng telah menggunakan tipuan muslihat untuk memancing harimau meninggalkan gunung untuk menolong dirinya.
Buru-buru dengan mendukung jenazah Boh Seng Kok, ia lari keluar dan terus kabur ke jurusan barat sebab para pamannya mengejar ke arah timur.
Sesudah melalui kurang lebih dua li, ia berhenti dan menaruh jenazah itu di belakang sebuah batu besar.
Sesudah itu, ia kembali ke jalanan tadi dan memanjat sebuah pohon.
Lama ia bersembunyi di situ sambil mengucurkan air mata.
"Ah! Sungguh malang nasib Boe Tong Pay!"
Pikirnya.
"siapakah yang telah membinasakan Cit Soesiok?"
Berselang kira-kira setengah jam, ia mendengar suara kaki kuda yang mendatangi utara dari tenggara.
Tak lama kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat penunggangnya.
Song Wan Kiauw dan Jie Lian Cioe menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee menunggang yang lain.
"Sesudah kena pukulanku, perempuan siluman itu jatuh ke jurang,"
Demikian terdengar suara Jie Lian Cioe. "Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi."
"Hari ini barulah kita bisa mencaci hinaan di Ban Hoat Sie,"
Kata Thio Siong Kee.
"Tapi perlu apa di bersembunyi di gua itu? Aku benar-benar merasa heran."
"Tapi Sieko, apakah kau tidak bisa menebak-nebak?"
Tanya In Lie Heng. "Tak bisa,"
Jawabnya.
"Bagi kita, binasanya perempuan siluman itu tidak begitu penting. Kita baru bisa bergirang kalau kita bisa menemukan Cit Tee."
Makin lama mereka makin jauh dan akhirnya Boe Kie tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.
Sesudah menunggu beberapa lama lagi, Boe Kie turun dari pohon.
Dengan mengikuti tapak-tapak kaki di atas salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur.
Ia sangat berkuatir akan keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya.
"Biarpun jahat, kali ini dia menolong jiwaku.
Kalau karena aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh.
"
Memikir begitu, ia lari makin keras dan sesudah melalui kira-kira lima li, ia bertemu dengan sebuah tebing.
Tapak-tapak di sekitarnya kelihatan kalang kabut, sedangkan di sisi tebing terdapat tanda-tanda dari gugurnya tanah dan batu.
Boe Kie mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke bawah bersama-sama kudanya.
"Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!"
Teriaknya.
Ia tak dapat jawaban.
Ia melongok ke jurang.
Ditengah malam ia tak bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan tidak punya tempat untuk menaruh kaki.
Tapi Boe Kie sudah nekat.
Seraya menarik napas dalam- dalam ia turunkan kedua kakinya dan lalu merosot ke bawah sambil bersandar di dinding jurang.
Perbuatan itu tentu sangat berbahaya, tapi ia tak memikir panjang- panjang lagi.
Seraya merosot, ia mengerahkan lweekang dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya di es yang keras.
Ia berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia merosot lagi.
Kejadian ini terulang lima enam kali.
Akhirnya ia tiba di dasar jurang.
Mendadak ia melompat karena kakinya menyentuh sesuatu yang lembek.
Dengan meraba-raba ia mendapat tahu bahwa kakinya telah menginjak paha kuda dan Tio Beng sendiri masih mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang itu.
Cepat-cepat ia menyelidiki pernapasan si nona.
Ia merasa agak lega sebab walaupun pingsan, gadis itu masih bernapas.
Untung sungguh si nona terus memeluk leher kuda, sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah binatang yang mati seketika itu juga.
Boe Kie lalu memegang nadi Tio Beng.
Ia girang sebab ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun terluka berat jiwa si nona tidak akan terancam.
Ia segera mendukungnya, menempelkan kedua telapak tangannya dengan telapak tangan Tio Beng dan kemudian mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka itu.
Boe Kie bukan saja memilik lweekang yang sangat kuat.
Tapi juga mahir dalam ilmu ketabiban.
Maka itu sesudah dibantu kira-kira setengah jam dengan lweekang Boe Tong Pay yang murni, perlahan-lahan Tio Beng tersadar.
Sesudah itu, Boe Kie lalu memasukkan Kioe Yang Cin Khie ke dalam tubuh si nona.
Setengah jam kemudian fajar menyingsing.
Tiba-tiba.
"Uah!"
Tio Beng muntah dara, ia tersadar seluruhnya.
"Apa mereka sudah pergi? Apa mereka bertemu dengan kau?"
Bisiknya. Mendengar pertanyaan yang penuh kasih sayang itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie.
"Mereka tidak menemukan aku,"
Jawabnya.
"ah! . Karena kau, kau sangat menderita.
"
Selagi bicara ia tetap mengirim Cin Khi ke dalam tubuh si nona. Dengan bibir tersungging senyuman Tio Beng memejamkan matanya. Kaki tangannya lemas, tapi dada dan perutnya hangat dan ia merasa nyaman sekali. Sesudah "hawa tulen"
Itu berputar beberapa kali di dalam tubuhnya, ia memutar kepalanya dan berkata sambil tersenyum.
"Kau mengasolah. Aku sudah banyak mendingan."
Mendadak rasa terima kasih yang sangat besar bergelombang dalam hati Boe Kie. Ia memeluk erat-erat dan menempelkan pipinya pada pipi si nona.
"Kau sudah menolong nama baik-ku dan pertolongan itu sepuluh kali lipat lebih berharga daripada pertolongan jiwa,"
Bisiknya. Tio Beng tertawa geli.
"Aku perempuan jahat, bagiku nama baik tak menjadi soal. Yang penting adalah jiwa."
Pada saat itulah, di atas jurang tiba-tiba terdengar bentakan.
"Perempuan siluman! Benar saja kau belum mampus! Cara bagaimana kau mencelakai Boh Cit Hiap! Lekas mengaku!"
"Jangan perlihatkan mukamu! bisik nona Tio. "Perempuan bangsat! Teriak Thio Siong Kee.
"Jika kau tidak menjawab, kami akan menghantam dengan batu besar!"
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tio Beng mengawasi ke atas. Benar saja, Song Wan Kiauw berempat kelihatan berdiri di pinggir tebing dengan masing-masing memegang sebuah batu besar. Jika mereka menimpuk, jiwanya dan jiwa Boe Kie akan segera melayang.
"Robek baju kulit ini untuk menutupi mukamu,"
Bisiknya.
"Sesudah itu barulah kita kabur."
Boe Kie segera melakukan nasehat si nona.
Sesudah memakai topeng, ia menekan topi kulitnya ke bawah sampai lewat dahi.
Mengapa empat pendekar Boe Tong itu balik kembali! Karena mereka mempunyai pengalaman luas.
Sesudah Tio Beng jatuh ke jurang, mereka sengaja menyingkir jauh-jauh.
Tapi mereka tahu, bahwa sebagai seorang puteri dari kerajaan Goan, si nona pasti tidak berjalan sendirian.
Ia pasti mempunyai orang-orang yang melindunginya secara diam-diam.
Demikianlah, sesudah berjalan beberapa li, mereka kembali dan sesudah menambat tunggangan mereka di dahan pohon, mereka membuat obor dan memeriksa gua bekas tempat bersembunyinya Tio Beng.
Di dalam gua mereka menemukan bangkai dua ekor rase yang badannya rusak karena gigitan binatang, entah binatang apa.
Bau wangi dari rase itu masih belum menghilang.
Sesudah menyelidiki, mereka keluar dan terus mengikuti tapak kaki Boe Kie.
Akhrinya menemukan jenazah Boh Seng Kok yang kaki tangannya tergigit binatang.
Kegusaran dan kedukaan mereka sukar dilukiskan.
In Lie Heng menangis tersedu-sedu dan akhirnya roboh pingsan.
"Meskipun berkepandaian tinggi, dengan seorang diri perempuan siluman itu pasti tak akan bisa membinasakan Cit Tee,"
Kata Jie Lian Cioe sambil menyusut air mata.
"Lak tee, jangan terlalu berduka.
Kita sekarang harus mencari semua musuh dan membinasakan mereka untuk membalas sakit hatinya Cit Tee."
"Sebaiknya kita bersembunyi di sekitar gua ini dan menunggu sampai fajar,"
Kata Thio Siong Kee.
"Menurut dugaanku, kaki tangan si perempuan siluman pasti akan datang ke sini untuk mencarinya. Diantara tujuh pendekar Boe Tong, Siong Kee-lah yang paling berakal budi. Mendengar usul itu, Song Wan Kiauw bertiga lantas berhenti menangis dan dengan berpencaran lalu menyembunyikan diri di belakang batu-batu dekat mulut gua. Tapi sampai fajar menyingsing, tiada manusia yang datang ke situ. Dengan mendongkol keempat jago Boe Tong itu lalu pergi ke tebing untuk mengamat-amati. Tiba-tiba mereka terkejut sebab sayup-sayup mereka mendengar suara manusia di bawah jurang. Waktu melongok ke bawah, mereka melihat seorang pria yang mengenakan pakaian indah sedang memangku Tio Beng. Buru-buru mereka mengambil batu besar dan mengancam. Mereka tidak lantas menimpuk sebab ingin menyelidiki sebab musabab kebinasaan Boh Seng Kok. Jurang itu menyerupai sebuah sumur yang berdinding batu. Hanya sudut barat terdapat sebuah jalanan keluar yang sangat sempit.
"Anjing Goan!"
Bentak Thio Siong Kee.
"Naik dari jalan itu! Kalau berayal, kami akan menghabiskan jiwa kamu dengan batu-batu ini."
Karena pakaiannya indah, Thio Siong Kee menganggap Boe Kie sebagai seorang Mongol.
Boe Kie sendiri bingung bukan main.
Di dasar tidak terdapat tempat bersembunyi yang bagaimanapun jua.
Kalau para pamannya menimpuk, meskipun ia sendiri bisa menyelamatkan diri, Tio Beng pasti akan binasa.
Lantaran tidak melihat lain jalan lagi, maka dengan apa boleh buat, sambil mendukung Tio Beng, perlahan-lahan ia memanjat ke atas.
Ia sengaja tidak memperlihatkan keindahannya.
Saban-saban ia berlagak terpeleset dan napasnya tersengal- sengal seperti orang kecapaian.
Sesudah jatuh bangun beberapa kali barulah kakinya menginjak tanah datar.
Menurut perhitungannya, begitu lekas keluar dari mulut jurang, ia ingin segera melarikan diri dengan menggendong Tio Beng.
Dengan menggunakan ilmu ringan badannya yang tinggi, ia masih ungkulan meloloskan diri dari kejaran.
Tapi Thio Siong Kee pintar luar biasa.
Siang-siang ia sudah melihat bahwa orang Mongol itu berpura-pura dan ia sudah memberi isyarat supaya ketiga saudara seperguruannya berwaspada.
Maka itu, begitu lekas Boe Kie menginjak bumi ia sudah dikurung dengan empat pedang yang ujungnya terpisah kira-kira sekaki dari tubuhnya.
"Bangsat Tat Coe!"
Caci Song Wan Kiauw dengan suara gemetar.
"Apa dengan memakai topeng, kau rasa akan bisa melarikan diri? Siapa yang membunuh Boh Cit Hiap? Lekas mengaku! Kalau kau berdusta, aku akan cincang badanmu!"
Song Wan Kiauw sebenarnya berwatak sabar dan welas asih.
Hanya karena melihat kebinasaan Boh Seng Kok yang begitu mengenaskan, maka itu, ia mengeluarkan cacian yang menyeramkan.
Selama puluhan tahun, baru sekarang ia memperlihatkan kegusaran yang sedemikian hebat.
Tio Beng menghela napas.
"Kalupawa Ciangkoen," katanya.
"Tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri, sekarang kau boleh mengaku terus terang!"
Sesudah ia berbisik di kuping Boe Kie.
"gunakan ilmu silat Seng Hwee Leng."
Tak usah dikatakan lagi, kalau bisa Boe Kie tentu tak ingin bertempur melawan paman-pamannya.
Tapi sekarang sudah terdesak di jalan buntu.
Sambil menggigit gigi, ia melemparkan tubuh Tio Beng ke arah In Lie Heng dan seraya berjungkir balik tangannya menyambar lengan Thio Siong Kee.
Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung