Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 65


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 65




   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung

   
Dengan kaget, In Lie Heng menyambut tubuh nona Tio.

   Sesudah tertegun sejenak, ia menotok jalan darah si nona dan kemudian melontarkannya di tanah.

   Sementara itu, Boe Kie sudah mengeluarkan ilmu silat Seng Hwee Leng yang sangat aneh.

   Ia meninju Song Wan Kiauw, menendang Jie Lian Cioe, menyeruduk Thio Siong Kee dengan kepalanya, dan merampas pedang In Lie Heng.

   Keempat pendekar Boe Tong itu adalah ahli-ahli silat kelas satu yang berpengalaman luas.

   Tapi menghadapi ilmu silat Seng Hwee Leng, mereka repot dan hampir-hampir tak bisa membela diri.

   Dalam pertempuran di Leng Coa To.

   Boe Kie memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie masih tidak bisa melawan Sam Soe dari Persia yang baru mempelajari sebagian ilmu Seng Hwee Leng.

   Sekarang Boe Kie sudah menyelami seluruh ilmu yang tertera di enam Seng Hwee Leng dan kepandaiannya sudah banyak lebih tinggi daripada kepandaian Sam Soe.

   Ilmu Seng Hwee Leng pada hakekatnya bukan ilmu terjurus yang sangat aneh dan sukar diraba.

   Manakala ilmu tersebut digunakan oleh orang biasa, orang itu bukan tandingan perndekar Boe Tong yang terkenal sebagai ahli lweekang kelas utama.

   Tapi Boe Kie bukan orang biasa.

   Ia memiliki Kioe Yang Sin Kang, mahir dalam Kian Koen Tay Lo Ie dan paham dalam segala ilmu dari Boe Tong Pay.

   Maka itulah setiap serangannya serangan bahaya dan ditujukan kepada bagian-bagian yang kosong dari garis pembelaan keempat pendekar.

   Sesudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus, serangan Boe Kie makin hebat dan makin aneh.

   Tiba-tiba Tio Beng yang menggeletak di tanah berteriak.

   "Kalupuwa CiangKoen, sekarang baru mereka tahu kelihaian ilmu silat Mongol! Hajar mereka! Jangan sungkan-sungkan!"

   Keempat pendekar Boe Tong mendongkol bukan main. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Kian lama mereka makin terdesak. "Bela diri dengan Thay Kek Koen!"

   Seru Thio Siong Kee.

   Keempat pendekar Boe Tong lantas saja menambah cara bersilat mereka.

   Sekarang mereka membela diri secara rapat sekali dengan menggunakan ilmu gubahan Thio Sam Hong yang sangat lihai itu.

   Sekonyong-konyong Boe Kie berduduk di tanah, kedua tinjunya meninju-ninju dadanya sendiri! Selama menjagoi dalam rimba persilatan, para pendekar Boe Tong pernah mengukur tenaga dengan banyak sekali ahli-ahli silat yang tangguh dan pernah melayani entah berapa banyak pukulan yang aneh-aneh.

   Tapi baru sekarang mereka menyaksikan cara berkelahi yang aneh dari "tat coe".

   Berduduk di tanah dan memukul dadanya sendiri.

   Jangankan melihat, mendengar pun mereka belum pernah mendengar pukulan yang luar biasa.

   Sebelum Boe Kie mengeluarkan silatnya yang luar biasa itu, keempat pendekar Boe Tong sudah memasukkan pedang mereka ke dalam sarung dan membela diri dengan tangan kosong.

   Boe Kie berduduk di tanah dan memukul-mukul dada, dalam kage dan heran mereka dengan serentak menghunus pedang dan menikam.

   Hampir berbareng pedang Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, dan Thio Siong Kee menyambar ke tubuh Boe Kie.

   Pedang In Lie Heng telah dirampas dan dilemparkan oleh Boe Kie.

   Tapi di pinggangnya masih tergantung pedang Boh Seng Kok.

   Ia segera menghunusnya dan turut menikam Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Boe Kie menyapu salju dengan kakinya dan salju itu muncrat berhamburan keempat penjuru.

   Itulah salah sebuah pukulan Seng Hwee Leng yang dinamakan Hoei See Coan Siang Toei (pasir terbang menggulung rombongan pedagang) Ilmu ini dulu sering digunakan oleh si orang tua dari pegunungan untuk merobohkan rombongan pedagang yang lewat di padang pasir dengan menggunakan unta.

   "Si orang tua dari pegunungan"

   Adalah perampok besar.

   Kalau lihat iring- iringan pedagang, ia segera duduk di pasir dan menangis tersedu sambil memukul-mukul dadanya sendiri.

   Rombongan pedagang itu tentu saja lantas berhenti dan menanyakan sebab musababnya dari tangisannya itu.

   Selagi orang tak waspada, si Orang Tua dari Pegunungan tiba-tiba menyapu pasir dengan kakinya, sehingga pasir muncrat berhamburan dan masuk di mata pedagang-pedagang itu.

   Selagi korban-korbannya tidak bisa membuka mata, dia menyerang sehebat-hebatnya.

   Dengan sekali pukul, dia bisa membinasakan puluhan orang.

   Itulah asal-usul Hoei See Coan Siang Toei dan sebagai gantinya pasir, Boe Kie menggunakan salju.

   Berbareng muncratnya salju, keempat pendekar Boe Tong kelilipan dan tidak bisa membuka mata.

   Tapi sebagai jago-jago ulung gerakan mereka cepat luar biasa dan serentak mereka melompat ke belakang.

   Tapi kalau mereka cepat, Boe Kie lebih cepat lagi.

   Bagaikan kilat, memeluk kedua lutut Jie Lian Cioe dan selagi menggulingkan diri, ia sudah menotok tiga hiat besar di tubuh jjh.

   Hampir berbareng ia berjungkjir dan selagi badannya melayang turun di udara, lutut kanannya menggentus Ngo Coe Hiat dan Sin Kong Hiat di tubuh In Lie Heng yang matanya lantas saja berkunang-kunang dan roboh di tanah.

   Song Wan Kiauw tidak dapat menggunakan pedangnya lagi tapi tangan kirinya lantas saja menghantam kepala si tat Coe.

   Tapi sebelum pukulan itu mampir pada sasarannya, mendadak dadanya kesemutan dan jalan darahnya sudah kena disikut Boe Kie.

   Tak kepalang kagetnya Thio Siong Kee.

   Dalam sekejab tiga saudara seperguruannya dibikin tidak berdaya.

   Ia mengerti, bahwa biar bagaimanapun jua, dengan seorang diri ia bukan tandingan musuh yang tangguh itu.

   Tapi ia tentu tidak bisa kabur sendirian dengan meninggalkan saudara-saudaranya.

   Dengan nekat, ia segera mengirim tiga tikaman berantai.

   Ketika itu Thio Siong Kee sudah dijalanan buntu dan menghadapi bahaya besar.

   Tidakannya tetap, sikapnya tenang dan serangannya hebat, sesuai dengan kemestian.

   Melihat begitu, didalam hati Boe Kie bersorak.

   "ilmu silat Boe Tong benar-benar luar biasa. Apabila tidak memiliki silat yang aneh ini, mungkin sekali aku tak bisa melawan para pamanku,"

   Tiba-tiba ia memutar kepalanya, membuat lingkaran-lingkaran.

   Thio Siong Kee tidak memperdulikan, ia sengaja tak mau melihat lingkaran-lingkaran itu.

   Mendadak, dengan kecepatan luar biasa, ia menikam dada Boe Kie.

   Boe Kie menundukkan kepala, seolah-olah mereka mau memapaki tikaman itu dengan batok kepalanya.

   Sekonyong-konyong, pada waktu ujung pedang hampir menyentuh kulit kepala, ia membuang diri ke tanah dan menubruk ke depan.

   Hampir berbareng, empat hiat di kempungan dan betis kiri Thio Siong Kee tertotok dan tanpa ampun lagi, ia jatuh terjengkang.

   Boe Kie tahu, bahwa empat totokan itu hanya dapat melumpuhkan bagian bawah tubuh pamannya.

   Selagi ia mau menotok Tiong Kie Hiat dan Tho To Hiat di bagian punggung, tiba-tiba Thio Siong Kee mengeluarkan teriakan menyayat hati, kedua matanya terbalik, tubuhnya bergemetaran dan sesaat kemudian, napasnya habis.

   Hati Boe Kie mencelos, keempat totokannya takkan melukai sang paman.

   Apa paman itu memang sudah sakit dan penyakitnya kambuh karena ditotok? Keringat dingin membasahi bajunya dan dengan tangan gemetar ia meraba kepala pamannya.

   Siong Kee menyambar dan topeng Boe Kie terlocot! Mereka saling mengawasi dengan mata membelalak.

   Beberapa saat kemudian, Thio Siong Kee berkata dengan suara parau.

   "Thio Boe Kie kau!... kasih sayang kami terhadap kau tersia-sia.

   "

   Nada suara itu mengunjuk rasa duka dan gusar yang tiada taranya.

   Sambil menatap wajah Boe Kie, air mata pendekar Boe Tong itu mengalir turun di kedua pipinya.

   Tadi, sesudah dirobohkan, ia mengambil keputusan untuk melocotkan topeng musuh, supaya kalau mesti mati, ia mau mati setelah melihat wajah lawannya.

   Maka itu ia berlagak mati dan akhirnya berhasil menjambret topeng Boe Kie.

   Didalam pihak, Boe Kie yang berwatak polos tidak pernah menduga, bahwa ia akan diakali secara begitu.

   Pada waktu itu, penderitaan Boe Kie banyak lebih hebat daripada penderitaan jasmaniah yang paling hebat.

   Bagaikan hilang ingatan, ia hanya berkata dengna suara perlahan.

   "bukan aku. Sie Soepeh.. bukan aku yang membunuh Cit Soe Siok "

   Thio Siong Kee tertawa terbahak-bahak. "Bagus!... bagus.

   "

   Serunya.

   "Lekas kau bunuh kami semua! Toako! Lak Tee! Kau sudah lihat, bahwa manusia yang kita namakan Tat Coe bukan lain daripada anak Boe Kie yang kita cintai."

   Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang badannya tidak bisa bergerak, hanya mengawasi dengan mata melotot dan muka merah padam.

   Hebat sungguh kedudukan Boe Kie.

   Tiba-tiba serupa ingatan pendek berkelebat di otaknya.

   Lebih baik mati! Tapi, sebelum menjemput pedang dan mengorok leher, tiba-tiba Tio Beng berkata.

   "Thio Boe Kie! Dalam menghadapi penasaran, seorang laki-laki harus bisa mempertahankan diri. Di dalam dunia ini, air surut, batu kelihatan. Kau harus berusahan untuk membinasakan penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap untuk membalas sakit hatinya. Hanyalah dengan berbuat begitu, baru kau tak percuma menerima kasih sayang para pendekar Boe Tong."

   Boe Kie terkejut. Ia menyetujui pendapat Tio Beng. "Tapi apakah yang harus kita perbuat?"

   Tanyanya. Sambil menanya begitu, ia menghampiri dan mengurut punggung serta pinggang si nona untuk membuka jalan darahnya yang tertotok. "Kau tak usah terlalu bingung,"

   Bujuk Tio Beng dengan suara lemah lembut.

   "Dalam Beng Kauw terdapat banyak orang pandai, sedang akupun mempunyai banyak pembantu yang berkepandaian tinggi. Penjahat itu pasti akan bisa dibekuk."

   "Thio Boe Kie! Teriak Siong Kee.

   "kalau di dalam hatimu masih terdapat rasa kasihan, bunuhlah kami dengan segera! Aku tak kuat menyaksikan kau bercinta-cintaan dengan perempuan siluman itu."

   Paras muka pemuda itu pucat bagaikan mayat. Ia benar- benar bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya. "Tindakan kita yang pertama adalah coba menolong Han Lim Jie,"

   Kata Tio Beng.

   "Sesudah itu, kita berusaha untuk mencari ayah angkatmu. Di sepanjang jalan kita boleh menyelidiki penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap dan yang membunuh Piauw Moaymu."

   "Apa?.... Apa?."

   Tanya Boe Kie dengan suara terputus- putus. "Apakah Boh Cit Hiap dibunuh olehmu?"

   Tio Beng balas menanya dengan suara dingin.

   "Mengapa keempat pamanmu menuduh kau? Apa In Lee dibunuh olehku? Mengapa kamu menuduh aku? Apakah hanya kau seorang yang boleh penasaran terhadap orang lain dan orang lain tak boleh merasa penasaran terhadapmu?"

   Kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong.

   Sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia mengakui, bahwa di dunia yang lebar ini sering terjadi kejadian-kejadian yang kebetulan, yang tidak bisa dikira oleh manusia.

   Sekarang dia sendiri menerima tuduhann berat.

   Ia tidak berdosa, tapi ia tidak berdaya untuk membersihkan diri.

   "apakah Apakah Tio Kouw Nio seperti aku?...."

   Tanyanya di dalam hati. "Apakah keempat pamanmu bisa membuka sendiri totokanmu?"

   Tanya pula Nona Tio. Boe Kie menggelengkan kepala.

   "Tidak,"

   Jawabnya.

   "Totokanku dari ilmu Seng Hwee Leng.

   Soepeh dan Soesiok takkan bisa membukanya.

   Sesudah lewat dua belas jam, totokan itu akan terbuka sendiri." "Jalan satu-satunya bagi kita adalah menaruh keempat pamanmu di dalam gua dan kita lantas menyingkirkan diri,"

   Kata Tio Beng.

   "Sebelum berhasil mencari penjahat yang berdosa, kau tak boleh bertemu muka lagi dengan dia."

   "tapi di dalam gua itu sering keluar masuk binatang,"

   Kata Boe Kie.

   "Pada jenazah bcs terdapat tanda-tanda gigitan."

   "ah! Otakmu sudah tidak bisa bekerja lagi!"

   Kata si nona. "Kalau salah seorang dari keempat pamanmu bisa menggerakkan tangannya dan dalam tangannya terdapat sebatang pedang, apakah binatang buas akan bisa melukakan mereka?"

   Muka Boe Kie berubah merah. Ia mengangguk dan menjawab.

   "Benar, kau benar."

   Sesudah berkata begitu, ia mendukung tubuh keempat pamannya dan menaruh mereka di belakang sebuah batu besar, supaya terbebas dari serangan salju. Boe Kie tak menjawab dan hanya mengucurkan air mata. Tio Beng tak bisa menahan sabarnya lagi.

   "Kalian adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kalian begitu tolol,"

   Katanya.

   
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau benar Boe Kie membunuh Boh Cit Hiap, bukankah dengna mudah saja dia bisa membinasakan kalian semua untuk menutup mulut kalian? Kalau dia tega membunuh Boh Cit Hiap, apakah dia tak tega membunuh kalian? Jika kalian mencaci terus, aku akan gaplok muka kalian satu persatu. Aku perempuan siluman, aku bisa lakukan apa yang kukatakan. Dulu waktu kalian berada di Ban Hoat Sie, dengan memandang muka Thio Kong Coe, aku sudah memberi perlakuan istimewa pada orang-orang Boe Tong Pay. Lihatlah! Jari tangan jago-jago Siauw Lim, Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong diputuskan olehku. Terhadap pendekar-pendekar Boe Tong, aku membuat kecualian. Dibagian mana perlakuanku terhadap kalian kurang sempurna? Bilang!"

   Song Wan Kiauw berempat saling mengawasi.

   Di dalam hati mereka masih berpendapat, bahwa Boh Seng Kok dibunuh Boe Kie, tapi mereka kuatir, Tio Beng akan benar- benar menggaplok mereka.

   Seorang gagah boleh dibinasakan, tapi tak boleh dihina.

   Kalau sampai mereka digaplok si perempuan siluman, mereka benar-benar merasa terhina.

   Maka itu mereka lantas berhenti mencaci.

   Tio Beng tersenyum dan berkata.

   "Ambillah tunggangan kita untuk membawa paman-pamanmu ke gua."

   Boe Kie kelihatan bersangsi.

   "Lebih baik kudukung mereka,"

   Katanya. Si nona mengerti maksud perkataan itu. Ia tertawa dingin dan berkata.

   "Apa kau rasa, karena berkepandaian tinggi, kau seorang diri bisa membawa empat orang dengan sekaligus? Kutahu, kau kuatir begitu lekas kau pergi, aku akan membunuh paman-pamanmu. Kau belum pernah menaruh kepercayaan atas diriku. Baiklah, aku pergi mengambil kuda dan kau tunggu di sini."

   Mendengar perkataan yang jitu, sekali lagi muka Boe Kie berubah merah.

   Tapi memang benar ia tidak berani menyerahkan keempat pamannya ke dalam tangan si nona yang angin-anginan.

   Maka itu, ia lantas saja berkata.

   "Terima kasih banyak jika kau sudi mengambil kuda-kuda itu, kutunggu di sini."

   "Hm!....

   "

   Si nona mengeluarkan suara di hidung.

   "Kau begitu mulia, tapi orang tetap tak percaya kepadamu, kau begitu baik hati, tapi orang tetap menganggap kau seperti anjing."

   Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.

   Boe Kie tidak meladeni.

   Dengan hati masgul, ia megawasi bayangan si nona.

   Sekonyong-konyong terdengar suara larinya kuda dari selatan, dan didengar dari suaranya jumlah kuda sedikitnya ada tiga ekor.

   Tio Beng pun sudah mendengarnya, karenanya ia buru-buru kembali dan berkata.

   "Ada orang!"

   Seraya berkata begitu, ia lari ke belakang batu dan berjongkok di samping Boe Kie. Melihat separu badan Jie Lian Cioe berada di luar batu, ia segera menariknya. "Jangan sentuh badanku!"

   Bentak Jie Hiap dengan mata melotot. Si nona tertawa.

   "aku justru ingin pegang badanmu,"

   Katanya.

   "Aku mau lihat apa yang bisa diperbuat olehmu."

   "Tio Kouw Nio! Jangan kurang ajar terhadap soepehku!"

   Bentak Boe Kie. Tio Beng tertawa dan mengeluarkan lidahnya. Sesaat itu, seorang penunggang kuda kelihatan mendatangi, dengan dikejar oleh dua orang lain. Dalam jarak kira-kira tiga puluh tombak, Boe Kie yang bermata jeli sudah mengenali.

   "Song Ceng Soe Toako!"

   Bisiknya. "Tahan kudanya!"

   Kata Tio Beng. "Perlu apa?"

   Tanya Boe Kie. "Jangan banyak tanya. Apa kau lupa, pembicaraan di ruangan kelenteng Bie Lek Hoed?"

   Kata si nona.

   Boe Kie mendusin, menjemput sepotong es dan menimpuk.

   Timpukan itu kena tepat di kaki depan kuda Song Ceng Soe yang langsung saja berlutut.

   Song Ceng Soe melompat turun dan coba membangunkan tunggangannya, tapi kuda itu tidak bisa berdiri lagi sebab tulangnya patah.

   Melihat pengejarnya sudah datang, cepat Song Ceng Soe segera melarikan diri.

   Ta pi ia tidak bisa lari jauh, karena Boe Kie sudah menimpuk lagi dan potongan es mampir tepat pada jalan darah di betis kanannya.

   Hampir berbareng robohnya Song Ceng Soe, kedua pengejar itu sudah menyandak.

   Mereka adalah Tan Yoe Liang dan Ciang Poen Liong Tauw.

   "Heran sungguh!"

   Kata Boe Kie dalam hati.

   "mereka bertiga bersama-sama pergi ke Tiang Pek San untuk mencari racun. Mengapa yang seorang lari dengan dikejar oleh yang dua?"

   Sejenak kemudian ia mendapat lain ingatan.

   Ya, mungkin sekali Song Toako tersadar dan insaf bahwa ia tak boleh melakukan perbuatan terkutuk.

   Untung juga ia lari ke sini.

   Aku harus menolong.

   Begitu menyandak, Tan Yoe Liang dan Ciang Liong Tauw meloncat turun dari tunggangan mereka.

   Mereka menduga kuda Song Ceng Soe roboh sebab terlalu letih dan pemuda itu sendiri terluka berat.

   Karena dugaan itu, mereka segera menghunus senjata yang lalu dituding ke tubuh Ceng Soe.

   Tangan Boe Kie sudah mencekal kepingan es siap sedia untuk menimpuk.

   Tapi tangannya sudha disentuh Tio Beng, si nona menggeleng-gelengkan kepala, menuding kupingnya sendiri dan kemudian menuding Song Ceng Soe.

   Boe Kie mengerti bahwa ia dinasehati untuk bersabar dan menunggu pembicaraan ketiga orang itu.

   "Orang she Song!"

   Bentak Ciang Poen Liong Tauw. "Mengapa kau kabur ditengah malam buta? Apa kau mau membuka rahasia kepada ayahmu?"

   Sambil mencaci, ia membaling-balingkan golok Cie Kim Pat Kwa Lo di atas kepala Ceng Soe.

   Song Wan Kiauw sangat berkuatir akan keselematan puteranya.

   Secara kebetulan Boe Kie menengok dan ia melihat sorot mata sang paman yang penuh kekuatiran itu.

   Ketika benterok dengan mata Boe Kie, sinar matanya berubah dan memperlihatkan sinar memohon.

   Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya sebagai janji, bahwa ia akan menolong.

   "Kecintaaan ayah ibu benar-benar setinggi langit dan setebal bumi,"

   Katanya di dalam hati.

   "Toasoepeh begitu gusar terhadapku. Tapi begitu melihat jiwa Song Toako terancam bahaya, ia rela untuk meminta pertolongan kepadaku. Andaikata Toasoepeh sendiri yang terancam bahaya, ia pasti tak akan meminta pertolongan."

   Pada detik itu, tiba-tiba hatinya seperti tersayat pisau. Ia ingat, bahwa Song Ceng Soe mempunyai seorang ayah yang sangat mencintai, sedang ia sendiri seorang anak yatim piatu. Sementara itu terdengar jawaban Song Ceng Soe.

   "Aku bukan mau memberitahukan ayah."

   "Pangcoe telah memberitahukan kau untuk mengikut kami ke Tiang Pek San guna mencari obat,"

   Kata Ciang Poen Liong Tauw.

   "Mengapa kau pergi tanpa permisi?"

   "Ciang Poen Liong Tauw! Aku anak manusia mempunyai ayah dan ibu. Kalian memaksa aku untuk mencelakai ayah kandung sendiri. Mana tega aku berbuat begitu? Aku bukan mau berseteru dengan kalian. Aku hanya tak sanggup melakukan perbuatan binatang itu."

   "apakah kau mau melanggar perintah Pangcoe? Apa kau tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap seorang anggota yang menghianati partai?"

   "aku seorang berdosa besar. Aku memang sudah tak ingin hidup. Selama beberapa hari, setiap kali memejamkan mata, aku selalu melihat bayangan bcs selalu mengganggu aku. Ciang Poen Liong Tauw, bunuhlah aku! Aku akan merasa sangat berterima kasih."

   "Baiklah!"

   Bentak si pengemis sambil mengangkat goloknya. "Tahan!"

   Cegah Tan Yoe Liang.

   "Liong Tauw Toako, apabila Song Heng Tee tetap menolak, lepaskan saja dia. Tak baik kalau kita bunuh."

   "Lepaskan dia?"

   Menegas Ciang Boen Liong dengan suara heran. "Benar, dia membinasakan paman gurunya sendiri, Boh Seng Kok. Dia berdosa besar dan pasti akan dibunuh oleh orang partainya sendiri. Perlu apa kita mengotorkan senjata?"

   Itulah perkataan yang mengejutkan.

   Bagi keempat pendekar Boe Tong, kata-kata itu bagaikan halilintar yang menyambar dengan tiba-tiba.

   Waktu mengintip pertemuan Kay Pang di kelenteng Bie Lek Hoed, ketika Tan Yoe Liang menyebut-nyebut nama Boh Seng Kok.

   Boe Kie sudah menduga bahwa Song Ceng Soe telah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap pamannya itu.

   Tapi mimpipun tak pernah mimpi, bahwa Boh Seng Kok binasa dalam tangan pemuda itu.

   Antara mereka semua, hanyalah Tio Beng yang tidak terlalu kaget, sebab ia sudah menduga terjadinya kejadian itu.

   "Tan Toako,"

   Kata Song Ceng Soe dengan suara gemetar.

   "kau sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini. Asal kau tidak membuka mulut, ayah tentu tak akan tahu."

   Tan Yoe Liang tertawa tawar.

   "kau Cuma mengingat sumpahku, tapi lupa sumpah sendiri,"

   Katanya.

   "kau sudah bersumpah, bahwa mulai waktu itu kau akan menurut segala perintahku. Apa kau atau aku yang lebih dahulu melanggar sumpah?"

   "biarpun mesti mati, aku tak dapat menuruti perintahmu untuk menaruh racun di makanan Thay Soehoe dan ayah. Lebih baik kau bunuh saja aku."

   "Song Heng Tee, seorang gagah harus bisa bertindak dengan mengimbangi keadaan. Kami bukan menyuruh kau membinasakan ayah sendiri. Kami hanya ingin kau menaruh sedikit racun Bong Han Yo (obat yang melupakan), supaya mereka tertidur untuk sementara waktu. Bukankah kau sudah mengiakan waktu kita berada di kelenteng Bie Lek Hoed?"

   "Aku hanya mengiakan untuk menaruh Bong Han Yo. Tapi yang ditangkap Ciang Poen Liong Tauw adalah binatang-binatang yang sangat beracun ular, kelabang, dan sebagainya. Itu semua racun untuk membinasakan manusia. Itu semua bukan Bong Han Yo."

   Tan Yoe Liang mengawasi korbannya dan perlahan- lahan memasukkan pedangnya ke dalam sarung.

   "Cioe Kouw Nio dari Go Bie Pay sangat cantik bagaikan bidadari,"

   Katanya.

   "didalam dunia sangat sukar dicari tandingannya. Aku merasa heran mengapa kau rela menyerahkan gadis itu ke dalam tangannya si bocah Boe Kie. Song Heng Tee, hari itu kau mengintip kamar tidur para wanita murid-murid Go Bie Pay dan perbuatanmu diketahui oeh Cit Soesiokmu lalu mengejar sehingga terjadi pertempuran di bukit batu. Pertempuran itu berakhir dengan peristiwa pembunuhan oleh seorang keponakan terhadap pamannya sendiri. Mengapa kau sudah melakukan pembunuhan itu? Bukankah karena ingin mendapatkan Cioe Kouw Nio yang cantik manis? Apa sekarang kau bisa mundur lagi? Tidak! Pasti tidak!"

   Dengan menggunakan seantero tenaganya, Song Ceng Soe bangun berdiri.

   "Tan Yoe Liang, lidahmu sungguh jahat!"

   Teriaknya.

   "Kau menekan aku secara keterlaluan.

   Malam itu, di dalam pertempuran melawan bcs, aku sudah kalah.

   Aku berdosa besar.

   Kalau aku binasa, segala apa akan menjadi besar.

   Siapa suruh kau membantu aku? Aku kena ditipu olehmu, sehingga sekarang namaku hancur dan tidak akan bisa ditolong lagi."

   "Bagus, bagus!"

   Kata Tan Yoe Liang dengan suara mengejek.

   "Apa boleh aku bertanya? Boh Seng Kok mati sebab punggungnya terpukul dengan pukulan Cia Thian Tiat Ciang (Pukulan tangan besai yang menggetarkan langit) Siapa yang memukulnya? Apa Kau? Malam itu, aku bukan saja menolong jiwamu, tapi juga menolong namamu. Apa itu salah? Song Heng Tee, didalam persahabatan, yang lain tak usah disebut-sebut lagi, tapi hal kau membunuh paman sendiri pasti tak akan diuar-uar olehku. Sekarang kita boleh berpisahan dan dilain hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka pula."

   Mendengar perkataan manusia itu yang seolah-olah bersedia untuk menyudahi segala persoalan sampai di situ, Song Ceng Soe sangat bersangsi.

   "Tan. Tan Toako, apa yang mau diperbuat olehmu terhadapku?"

   Tanyanya. Tan Yoe Liang tertawa.

   "Aku selalu berbuat baik terhapamu, tapi kau tetap tak percaya aku,"

   Katanya.

   "Apa yang aku mau berbuat terhadapmu? Tidak! Aku tak ingin berbuat apapun jua terhadapmu. Aku hanya ingin memperlihatkan serupa barang kepadamu. Kau lihatlah! Apa ini?"

   Boe Kie dan Tio Beng sangat ingin melihat barang itu. Tapi mereka tidak berani mengeluarkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara kaget dari Song Ceng Soe.

   "Ah!.... cincin besi Go Bie Pay!... milik Cioe Kouw Nio. Darimana kau dapatkan itu?" Boe Kie terkejut, tapi dilain saat ia menduga, bahwa cincin itu bukan cincin tulen. Tan Yoe Liang tertawa.

   "Lihatlah dahulu,"

   Katanya. "Lihat dulu, apa tulen apa palsu."

   Beberapa saat kemudian Song Ceng Soe berkata.

   "Waktu berada di See Hek, aku pernah meminta pelajaran silat dari Biat Coat Soethay. Aku lihat cincin ini di jarinya. Rasanya, barang ini bukan barang palsu."

   Tiba-tiba terdengar suara "trang!"

   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Inilah buktinya,"

   Kata Tan Yoe Liang.

   "Kalau palsu, bacokanku pasti akan memutuskannya. Lihatlah! Di dalam cincin terdapat empat huruf Lioe Ie Siang Lie (dihadiahkan kepada anak Siang) Cincin ini dahulu milik Kwee Siang Lie Hiap, pendiri Go Bie Pay, dan terbuat daripada besia Hiantiat. "Tan Toako.

   "

   Kata Song Ceng Soe dengan suara parau.

   "darimana. Darimana kau mendapatkannya!... Dimana Cioe Kouw Nio sekarang?"

   Tan Yoe Liang tersenyum.

   "Ciang Poen Liong Tauw, mari kita berangkat,"

   Katanya tanpa memperdulikan pertanyaan Song Ceng Soe.

   "Mulai dari dulu, tapi sekarang Kay Pang tidak memerlukan manusia seperti dia lagi."

   Suara tindakan kaki lantas terdengar kedua orang itu berjalan ke jurusan utara. Sekonyong-konyong Song Ceng Soe memanggil.

   "Tan Toako! Apa dia mati atau masih hidup?"

   Tan Yoe Liang kembali.

   "Benar,"

   Katanya.

   "Cioe Kouw Nio berada dalam tangan kami. Dia sungguh cantik, aku sendiri belum beristeri. Aku ingin memohon kepada Pangcoe untuk menikah dengannya. Kurasa Pangcoe akan meluluskan." Song Ceng Soe mengeluarkan seruan tertahan. "Benar, pada hakekatnya seorang koencoe tak akan merampas milik orang lain,"

   Kata pula Tan Yoe Liang. "Tan Yoe Liang pasti tidak akan merusak persahabatan karena paras cantik. Tapi sekarang kau sudah menjadi penghianat partai. Diantara kita sudah tidak ada ikatan apapun jua dan aku bisa berbuat sesuka hati, bukankah begitu?"

   Song Ceng Soe tidak menyahut.

   Dua macam pikiran rupa-rupanya sedang berkelahi di dalam hatinya.

   Boe Kie melirik Song Wan Kiauw.

   Dengan rasa kasian, ia lihat pamannya mengucurkan air mata.

   Sebagai seorang gagah kalau bukan berlalu duka, paman itu tentu tidak akan menangis.

   Beberapa saat kemudian barulah Song Ceng Soe berkata.

   "Tan Toako, Liong tauw Toako, tadi pikiranku kusut.

   Aku bersalah dan kuharap kalian suka memaafkan."

   Tan Yoe Liang tertawa terbahak-bahak.

   "Nah begini baru benar,"

   Katanya.

   "Dengan menepuk dada aku memberi jaminan, bahwa soal kau menaruh Bong Han Yo di minuman para pendekar Boe Tong, bukan saja jiwa ayahmu tak akan kurang suatu apa, tapi Cioe Cie Jiak pun akan segera menjadi isterimu. Sesudah Thio Sam Hong dan para pendekar Boe Tong berada di dalam tangan kita. Thio Boe Kie pasti akan menurut segala perintah kita. Sesudah Kay Pang menguasai Beng Kauw, mengusir Tat coe dan merebut pulang tahta kerajaan, kau dan aku akan menjadi menteri-menteri sendiri negara. Bukan saja isteri kita dan anak-anak kita, tapi ayahnyapun akan menikmati segala kebesaran."

   Song Ceng Soe tertawa getir.

   "Thia-thia bukan manusia yang kemaruk harta,"

   Katanya.

   "Aku hanya mengharap ayah jangan membunuh aku. Kalau harapan itu bisa terkabul, aku sudah merasa puas."

   Tan Yoe Liang tertawa.

   "Kecuali ayahmu dewa, ia pasti tak akan tahu latar belakang kejadian itu,"

   Katanya.

   "Song Heng Tee, apa kakimu terluka? Kita berdua bisa menunggang kudaku. Setibanya di kota kita bisa membeli lain kuda."

   "Sebab terburu-buru, betisku terpukul kepingan es,"

   Jawabnya.

   "Sungguh sial kepingan es itu kena tepat pada Coe Peng Hiat. Didalam dunia memang sering terjadi kejadian yang kebetulan."

   Dari pengakuan Song Ceng Soe dapatlah dilihat kelihaian Boe Kie dalam ilmu melepaskan senjata rahasia.

   Pemuda itu sama sekali tak pernah menduga, bahwa dirinya dibokong orang.

   Ia hanya merasa terpukul kepingan es yang secara kebetulan kena pada jalan darahnya.

   Hal ini pada hakekatnya tidak luar biasa.

   Lengan kita secara tidak sengaja juga sering membentur meja kursi dan kadang- kadang begitu terbentur, kita merasa kesemutan, karena benturan itu kebetulan kena pada "Hiat".

   "Bukan sial, tapi mujur,"

   Kata Tan Yoe Liang sambil tertawa.

   "Song Heng tee bernasib baik dan sudah ditakdirkan bakal mempunyai isteri yang sangat cantik. Kalau betismu tidak terpukul es dan kami tidak bisa menyusul, maka kau tak akan tersadar dari kekeliruan. Dengan demikian, bukan saja namamu hancur, tapi usaha kitapun akan menjadi gagal. Selain begitu, Cioe Cie Jiak yang ayu akan menjadi isteri Tan Yoe Liang. Bukankah kejadian itu seperti burung hong berjodoh dengan burung gagak seolah-olah sekuntum bunga tertancap di atas tai kerbau?"

   Ia berbicara secara guyon-guyon, tapi setiap perkataannya hebat bukan main dan menekan Song Ceng Soe, sehingga pemuda itu tidak bisa berkutik lagi. Song Ceng Soe menghela napas dan berkata dengan suara perlahan.

   "Tan Toako, bukan aku tidak percaya."

   "Kau mau bertemu dengan Cioe Kouwnio?"

   Memutus Tan Yoe Liang.

   "Boleh! Mudah sekali. Sekarang Pangcoe dan para tiangloo berada di Louw liong dan Cioe Kouwnio pun berada di situ. Mari kita pergi ke Louw liong. Sesudah urusan Boe tong beres, kakakmu akan segera mengadakan pesta pernikahan untuk mewujudkan idam-idamanmu. Dan seumur hidup, kita akan berterima kasih kepada Tan Yoe Liang Toako ha..ha..ha."

   "Baiklah, mari kita pergi ke Louw liong,"

   Kata pula Song Ceng Soe.

   "Tap Toako, bagaimana bagaimana Cioe Kouwnio bisa berada dalam tangan kita?"

   "Itulah berkat jasa Liong tauw Toako,"

   Jawabnya sambil tertawa.

   "Hari itu, ketika Ciang pang dan Ciang poen Lio tauw makan minum di sebuah Cioe-lauw, mereka lihat tiga orang yang tidak dikenal. Sesudah diselidiki, salah seorang adalah Cioe Kouwnio. Ciang poen Liong tauw Toako segera mengirim orang untuk mengundangnya. Legakan hatimu. Cioe Kouwnio sehat walfiat, tak kurang satu apa."

   Boe Kie mengeluh. Sekarang baru ia tahu bahwa hari itu mereka sebenarnya dikenali.

   "Jika Giehoe tidak buta, ia bisa lihat bahwa rahasia sudah terbuka,"

   Pikirnya.

   "Hai aku dan Cie Jiak masih terus mimpi"

   Tapi bagaimana dengan keselamatan Giehoe?"

   Dia bingung sebab Tan Yoe Liang tak pernah menyebut-nyebut ayah angkatnya.

   Sementara itu si orang she Tan sudah berkata pula.

   "Song Heng tee, sesudah kau menikah dengan Cioe Kouwnio, Go Bie dan Boe tong pay harus menurut perintah Kay pang.

   Siauw lim pay sudah berada dalam tanganku.

   Ditambah dengan Kay Pang dan Beng Kauw, tenaga kita bukan main besarnya.

   Kita pasti bisa mengalahkan orang Mongol dan merebut negeri.

   Huhhuh negara akan segera menukar majikan."

   Tan Yoe Liang berbicara dengan hati berbunga bunga.

   Ia memperlihatkan lagak seolah olah Kay pang sudah merebut seluruh negeri dan ia sendiri akan segera naik ke tahta kerajaan.

   Ciang poen Liaong tauw dan Song Ceng Soe juga turut ketawa, tapi tertawa mereka tertawa getir.

   "Mari kita berangkat,"

   Ajak Tan Yoe Liang.

   "Song Heng tee Bok Cit hiap binasa di dekat ini. Kau telah memasukkan jenazahnya ke dalam gua yang rasanya tak jauh dari sini. Bukankah begitu? Tadi, kudamu tiba tiba roboh. Apakah roh Bok Cit hiap menunjukkan keangkerannya? Ha.. ha.. ha!.... ha.. ha.. ha!..."

   Kata kata itu membangunkan bulu roma Song Ceng Soe yang lantas saja berjalan dengan terpincang pincang. Sesudah ketiga orang itu berlalu, Boe Kie lalu membuka jalan darah keempat pamannya sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya dan berkata.

   "Soepeh, Soesiok, tadi titjie berada dalam keadaan terjepit dan tidak bisa membersihkan diri, sehingga karena terpaksa, titjie telah melakukan perbuatan berdosa terhadap Soepeh dan Soesiok. Titjie bersedia untuk menerima segala hukuman."

   Song Wan Kiauw menghela napas panjang, air matanya mengucur dan ia menengadah tanpa mengeluarkan sepatah kata. Jie Lian Cioe segera membangunkan keponakannya dan berkata dengan suara menyesal.

   "Perhubungan kita bagaikan perhubungan tulang dan daging. Hal itu tak usah disebut sebut lagi. Aku sungguh tidak duga, bahwa Ceng Soe Ceng Soe Hai!... kalau bukan mendengar dengan kuping sendiri, siapa yang bisa percaya?" Tiba tiba "srt!"

   Song Wan Kiauw menghunus pedang. "Binatang!"

   Katanya dengan suara gemetar.

   "Sam wie Soe tee, anak Boe Kie, mari kita kejar. Biar kubunuh binatang itu dengan tangan sendiri."

   Seraya berkata begitu, badannya berkelebat dan ia mengubar puteranya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. "Toako, balik!"

   Teriak Thio Siong Kee.

   "Kita harus berdama dulu."

   Tapi Song Tayhiap tidak meladeni. Boe Kie segera mengudak. Dengan cepat ia melewati sang paman dan lalu menghalang di depannya.

   "Tio Soe peh,"

   Katanya sambil membungkuk.

   "Siesoepeh ingin bicara. Sebab ditipu, Song Toako telah membuat kekeliruan. Di hari kemudian, ia pasti akan mendusin. Jika Toasoepeh mau menghukum, tak perlu tergesa2."

   "Cit tee!... Cit-tee!"

   Kata Song Wan Kiauw dengan suara di tenggorokan.

   "Kakakmu benar2 berdosa besar"

   Sekonyong-konyong ia mengangkat pedangnya dan coba menggorok leher.

   Boe Kie terkesiap dan secepat kilat tangannya menyambar.

   Sungguh mujur dia keburu merampas senjata itu dengan menggunakan ilmu Kian koen Tay lo ie.

   Tapi biarpun tak sampai membinasakan, ujung pedang menggores juga leher Song Tay hiap.

   Ketika itu Jie Lian bertiga sudah menyusul.

   "Toako,"

   Kata Thio Siong Kee dengan suara membujuk.

   "Ceng Soe telah melakukan perbuatan sangat terkutuk itu dan semua orang Boe tong pasti takkan dapat mengampuninya. Tapi, membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil, sedang urusan yang besar adalah keselamatan rakyat. Tak boleh, karena memperhatikan yang kecil, kita menyia nyiakan yang besar."

   "Membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil?"

   Menegas Song Wan Kiauw dengan mata melotot.

   "Huh!... sungguh sial aku mempunyai anak penghianat itu!...."

   Didengar dari omongan Tan Yoe Liang, Kay pang ingin meminjam tangan Ceng Soe untuk mencelakai guru kita,"

   Kata pula Thio Siong Kee dengan sabar.

   "Di samping itu, Kay pang berusaha untuk menekan atau mempengaruhi berbagai partai Rimba Persilatan guna merampas negeri. Bagi kita, Soecoen (guru yang mulia) merupakan urusan besar. Keselamatan Rima Persilatan dan rakyat di kolong langit juga merupakan urusan besar. Ceng Soe yang durhaka pasti akan mendapat pembalasan. Kewajiban kita yang sekarang ini adalah berdamai untuk menolong urusan besar."

   Song Wan Kiauw membungkam. Ia tak dapat membantah perkataan adiknya. Akhirnya ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan berkata dengan suara perlahan.

   "Pikiranku kusut, otakku tak bisa memikir lagi. Biarlah Sietee yang memikirkan tindakan kita."

   Sesudah kegusaran kakaknya agak mereda, In Lee Heng lalu mengeluarkan obat dan membalut luka Song Wan Kiauw. "Menurut pendapatku,"

   Kata pula Thio Siong Kee,"

   Karena Kay pang ingin mencelakai Soecoen dan guru kita tidak tahu menahu, maka tindakan yang harus segera diambil adalah pulang ke Boe Tong secepat mungkin.

   Meskipun Tan Yoe Liang mengatakan bahwa ia ingin meminjam tangan Ceng Soe, manusia jahat itu mungkin akan turun tangan terlebih siang.

   Yang terpenting bagi kita ialah melindungi soecoan.

   Soecoan sudah berusia tinggi, kalau kejadian dahulu sampai terulang, kalau sampai ada musuh lagi yang sampai membokong dengan menyamar sebagai pendeta Siauw lim, kita tak akan bisa menebus kedosaan kita." Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Tio Beng dengan mata mendelik.

   Ia rupa rupanya masih mendongkol karena si nona pernah berusaha untuk membinasakan Thio Sam Hong.

   Song Wan Kiauw mengeluarkan keringat dingin.

   "Benar! Benar!"

   Katanya dengan gemetar.

   "Sebab ingin membunuh anak jahanam itu, aku sampai melupakan keselamatan Soecoan. Hai!... otakku sudah miring!"

   Ia seorang yang tak sabaran.

   "Hayo! Lekas! Kita harus berangkat sekarang juga,"

   Desaknya berulang-ulang. "Boe Kie,"

   Kata Thio Siong Kee sambil berpaling kepada keponakannya.

   
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"tugas menolong Cie Kauwnio harus ditunaikan olehmu sendiri. Sesudah berhasil, datanglah di Boe tong san."

   Boe Kie membungkuk dan berkata.

   "Baiklah Soepeh."

   "Tio Kauwnio berwatak kejam,"

   Bisik Thio Siong Kee. "Kau harus berhati hati. Ceng Soe merupakan sebuah contoh seorang laki laki tak boleh dibikin lupa oleh paras cantik."

   Dengan muka merah Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya.

   Sesudah selesai berdamai, keempat pendekar Boe tong Boe Kie lalu menguburkan jenazah Boh Seng Kok di belakang sebuah batu besar.

   Mereka menangis sedih sekali dan sehabis memeras air mata, Seng Wan Kiauw berempat segera berangkat.

   Sesudah mereka berlalu, Tio Beng mendekati Boe Kie dan berkata.

   "Sie soepehmu menasihati supaya kau berhati hati terhadapku dan jangan sampai kena dibikin lupa oleh paras cantik. Dia mengatakan bahwa Song Ceng Soe adalah sebuah contoh. Benarkah begitu?" "Bagaimana kau tahu?"

   Tanya Boe Kie dengan suara jengah.

   "Apakah kau mempunyai kuping Soen hong nie?"

   Tio Beng mengeluarkan suara di hidung.

   "Sekarang aku bicara terus terang,"

   Katanya dengan bangga.

   "Aku berani memastikan bahwa sesudah memikir dan memikir lagi, Song Tay hiap dan yang lain lain akan berbalik mempersalahkan Cioe Cie Jiak yang dianggap sebagai gara gara yang mengakibatkan runtuhnya seorang jago muda dari Boe tong pay. Huh huh!... jalan pikiran orang lelaki tak pernah terlolos dari terkaanku."

   "Song Toasoepeh dan lain lain paman adalah koencoe (manusia utama), kata Boe Kie.

   "Mereka semuanya sudah mengetahui aturan dan tidak mungkin mempersalahkan orang secara serampangan."

   Si nona tertawa dingin.

   "Huh!... makin koencoe mungkin makin gila!"

   Katanya. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi sambil tertawa.

   "Lekas tolong Cioe kauw untukmu! Kau celaka besar kalau dia sampai jatuh ke dalam tangan Song Ceng Soe."

   Muka Boe Kie berubah merah.

   "Mengapa celaka besar?"

   Tanyanya sambil tertawa kecil.

   Dengan mengikuti tapak kaki kuda Boe Kie dan Tio Beng berhasil menemukan tunggangan mereka yang lantas saja dikaburkan ke Kwan Lee.

   Boe Kie membedal kuda dan dengan pikiran kusut.

   Ia memikiri ayah angkatnya dan memikiri juga Cioe Cie Jiak.

   Mengingat bahwa Kay pang ingin menggunakan ayah angkatnya untuk menekan Beng Kauw, maka andaikata orang tua itu benar benar jatuh ke dalam tangan Partai Pengemis, jiwanya belum tentu terancam.

   Tapi biarpun begitu, sang Giehoe tentu tidak bisa terlolos dari segala hinaan.

   Ia lebih berkuatir akan keselamatan Cie Jiak.

   Si nona putih bersih.

   Dalam menghadapi Tan Yoe Liang yang jahat dan Song Ceng Soe yang tidak mengenal malu, jika didesak sampai di pojok, si nona pasti akan binasa.

   Mengingat begitu, ia ingin sekali mempunyai sayap supaya tiba di Lauw liong terlebih cepat.

   Malam itu ia menginap di sebuah penginapan kecil.

   Walaupun tunggangan mereka kuda-kuda jempolan, tapi sebab dibedal terus menerus, kedua binatang itu sudah lelah sekali.

   Setiba di rumah penginapan mereka tak mau makan rumput lagi.

   Sambil merebahkan diri di pembaringan batu makin lama Boe Kie makin bingung.

   Indap indap ia pergi ke depan jendela kamar Tio Beng.

   Nona itu sedang pulas nyenyak.

   Sesudah berpikir beberapa saat Boe Kie pergi ke meja pengurus penginapan, mengambil perabot tulis menyobek selembar kertas dan lalu menulis sepucuk surat.

   Ia mengatakan bahwa karena keadaan mendesak, ia mengambil keputusan untuk melangsungkan perjalanan di tengah malam.

   Sesudah menaruh surat itu di atas meja, ia membuka jendela, melompat keluar dan lari kabur ke jurusan selatan dengan menggunakan ilmu ringan badan yang paling tinggi.

   Demikian, setiap malam ia meneruskan perjalanan dengan menggunakan ilmu ringan badan, sedang di waktu siang ia menggunakan keledai atau kuda.

   Dalam beberapa hari saja ia sudah tiba di Lauw liong.

   Meskipun terus menggunakan tenaga dan beberapa hari tak pernah tidur sebab memiliki lweekang yang sangat kuat ia tidak terlalu payah.

   Menurut perhitungan, dengan mengubar tanpa mengaso, siang siang ia sudah bisa melampaui rombongan Tan Yoe Liang.

   Tapi ia tak pernah bertemu dengan mereka.

   Mungkin sekali selagi ia berjalan di waktu malam, mereka sedang mengaso di penginapan.

   Lauw liong adalah sebuah kota penting di propinsi Ho pak.

   Pada jaman kerajaan Tong, kota itu dijaga oleh seorang pembesar Cit tauwsoe selama kerajaan Cong dan Goan lauw liong mengalamai beberapa kali peperangan, sehingga kotanya hancur dan sampai sekarang belum pulih seperti sedia kala.

   Tapi biarpun begitu kota tersebut banyak penduduknya dan berbeda dengan kota kota di Kwan gwa yang sangat sepi.

   Setibanya di kota itu, Boe Kie berkeliling di jalan jalan raya, di jalanan kecil, di lorong lorong, di rumah rumah penginapan dan rumah rumah makan.

   Heran sungguh ia tak pernah bertemu dengan seorang pengemis.

   Tan Yoe Liang tentu tidak berdusta waktu ia mengatakan bahwa para pemimpin pengemis berkumpul di Louw liong.

   Mungkin sekali pengemis pengemis itu sedang pergi menemui pangcu mereka.

   "Kalau aku bisa mencari tempat pertemuan mereka, aku akan bisa menyelidiki benar tidaknya Giehoe dan Cie Jiak ditawan Kay Pang,"

   Kata Boe Kie di dalam hati.

   Tapi sesudah menjelajah di seluruh dan di sekitar kota, ia masih belum mendapatkan sesuatu yang memberi petunjuk baik.

   Waktu magrib Boe Kie mulai bingung.

   Tanpa merasa ia ingat kefaedahan Tio Beng.

   "Kalau dia berada bersama aku, aku tentu tidak akan menghadapi jalanan buntu ini,"

   Pikirnya.

   Dengan masgul ia lalu mencari sebuah rumah penginapan yang layak.

   Sesudah makan minum ia tidur sebentaran.

   Kira-kira tengah malam, ia melompat ke genteng untuk menyelidiki lagi.

   Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi ke seputarnya, keadaan sunyi senyap dan angin dingin meniup dengan perlahan.

   Sedikitpun tak terlihat tanda, bahwa di kota itu tengah berlangsung pertempuran antara orang2 Kangouw.

   Ia jadi uring-uringan.

   Sekonyong-konyong dari loteng tinggi dari sebuah gedung besar terlihat sinar api.

   "Kalau bukan milik pembesar tinggi, gedung itu tentu milik seorang hartawan,"

   Pikirnya.

   "Tak mungkin pemilik gedung mempunyai sangkut paut dengan Partai pengemis". Belum habis jalan pikirannya, mendadak sesosok bayangan manusia melompat keluar dari sebuah jendela loteng. Gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, ia tak kelihatan bayang bayangannya lagi. Kalau bukan Boe Kie yang mempunyai mata istimewa, melihatpun orang tak akan bisa melihatnya. "Apa orang jahat bekerja di gedung itu?"

   Tanyanya di dalam hati.

   "Orang itu ahli silat kelas utama."

   Karena tak mempunyai tujuan tertentu, ia lantas mengambil keputusan untuk coba melihat lihat.

   Setibanya di samping gedung, dengan sekali menjejakan tanah, tubuh Boe Kie melesat ke atas dan melompati tembok yang mengurung gedung.

   Sekonyong konyong jantungnya memukul lebih.

   "Tan tiang loo sangat rewel,"

   Demikian terdengar suara seorang.

   "Terang terang ia sudah mengatakan, bahwa kita akan berkumpul pula, di Lao ho kouw pada Chia hwee Cepeh. Sekarang ia mendadak menyuruh kita menunggu di sini. Dia bukan Pangcu, tapi lagaknya seperti Pangcu saja."

   Bukan main girangnya Boe Kie. Ia mengenali bahwa suara itu suara seorang anggota Kay Pang. Suara itu datang dari taman bunga. Begitu mendekat, ia dengar suara Soe hwee ling yang berkata.

   "Tan tiang loo sangat berakal budi. Ia berhasil membekuk Kim mo Say ong Cia Soen, yang dicari oleh segenap rimba persilatan selama dua puluh tahun lebih tanpa berhasil. Hasil yang gemilang itu jangankan di dalam partai kita sekalipun seluruh Rimba Persilatan, tak ada orang yang bisa meneladaninya"

   Boe Kie kaget bercampur girang.

   Sekarang ia tahu, ayah angkatnya berada dalam tangan orang-orang Kay Pang.

   Sesudah mengetahui itu, menolong sang Giehoe tak begitu sukar lagi pikirnya.

   Di dalam partai pengemis tidak terdapat tokoh tokoh yang benar benar berilmu tinggi.

   Ia segera mendekati jendela dan mengintip dari celah- celah.

   Ternyata pertempuran itu berlangsung di sebuah pendopo di taman bunga.

   Ia lihat Soe hwee liong duduk di tengah tengah.

   Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang pang, Liong tauw dan tiga tiangloo delapan karung duduk di sebelah bawah.

   Selain mereka terlihat pula seorang setengah tua yang berbadan gemuk dan mengenakan pakaian indah.

   Dilihat dari pakaiannya, dia seorang hartawan, tapi pada punggungnya terdapat enam lembar karung.

   Boe Kie manggut manggutkan kepalanya.

   "Benar,"

   Katanya di dalam hati.

   "hartawan itu seorang murid Kay Pang. Para pengemis berkumpul di rumah orang kaya raya tak akan dapat diduga oleh siapapun jua, sungguh pintar!"

   Sementara itu Soe hwee liong berkata pula.

   "Permintaan Tan tiangloo supaya kita menunggu di Louw liong tentu mempunyai sebab musabab yang beralasan. Kita mempunyai tujuan besar dan kita harus berhati hati."

   "Pangcu,"

   Kata Ciang pang Liong tauw.

   "Tujuan orang gagah dalam mencari Cia Soen adalah untuk memperoleh To ling to yang dikenal sebagai Boe lim Cie coen (yang termulia dalam Rimba Persilatan). Tapi To liong to tidak terdapat di badan Cia Soen. Biar dibujuk dan diancam, dia tetap tidak mau beritahukan dimana adanya golok mustika itu. Dengan demikian, kita hanya mendapat seorang buta yang harus diberi makan dan minum. Apa gunanya? Menurut pendapat teecu, sebaiknya kita siksa padanya. Teecu melihat, apa dia tetap menutup mulut."

   Soe Hwee Liong meng-goyang2-kan tangan.

   "Tidak benar,"

   Katanya.

   "Tindakan keras bisa merusak urusan besar. Kita harus tunggu Tan Tiangloo. Sesudah dia tiba, kita boleh berdamai lagi."

   Paras muka Ciang pang Liong tauw mengunjuk rasa mendongkol.

   Ia rupa rupanya merasa jengkel karena sang pemimpin terlalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.

   Soe Hwee Liong merogo saku dan mengeluarkan sepucuk surat yang lalu diangsurkan kepada Ciang pang Liong tauw.

   "Pang Heng tee,"

   Katanya.

   "kuminta kau segera berangkat ke Ho cioe dan menyerahkan surat ini kepada Han San Tong. Beritahukan dia, bahwa puteranya berada dalam tangan kita dengan tak kurang suatu apa. Asal dia suka menakluk kepada partai kita, aku akan memperlakukannya secara layak."

   "Apakah pekerjaan menyampaikan surat harus dilakukan oleh teecu?"

   Katanya Ciang pang Liong tauw. Paras muka Soe Hwee Liong lantas saja berubah.

   "Pang Heng tee,"

   Katanya.

   "selama setengah tahun ini Han San Tong dan kawan kawannya telah mencapai hasil hasil besar di daerah Ho cioe. Kudengar, di bawah perintah terdapat orang orang gagah kelas, seperti Coe Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen dan lain lain. Maksud suratku ini ialah supaya Han San Tong menakluk kepada kita. Kalau dia bersedia untuk menakluk, Pang Heng tee harus menyelidiki apa menakluknya itu sungguh sungguh atau berpura pura. Di samping itu, Pang Heng tee pun harus mencari tahu kekuatan dari barisan Beng kauw. Tugas Pang Heng tee bukan semata mata menyampaikan surat. Tugasmu adalah berat." Ciang pang Liong tiauw tidak berani membantah lagi. "Baiklah,"

   Katanya.

   Sesudah memberi hormat kepada pemimpinnya, ia segera meninggalkan ruangan pertemuan.

   Sesudah itu dengan gembira mereka saling mengutarakan pikiran mengenai kemakmuran dan kejayaan Kay Pang yang sesudah menaklukan Beng kauw, Siauw lim, Boe tong dan Go bie pay.

   Angan angan Soe Hwee Liong ternyata tidak semuluk Tan Yoe Liang.

   Dia sudah merasa puas jika Kay Pang bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan.

   Dia tidak bercita cita untuk merebut negara dan menjadi kaisar.

   Boe Kie merasa sebal untuk mendengari lebih jauh dan berkata dalam hatinya.

   "Didengar dari pembicaraan mereka, Gie hoe dan Cie Jiak terkurung di gedung ini. Sebaiknya aku berusaha untuk melepaskan mereka dan kemudian barulah menghajar pengemis pengemis yang tak mengenal malu itu."

   Sekali menjejak bumi, tubuhnya melesat ke atas dan hinggap di dalam pohon.

   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia mengawasi ke sekitarnya, mencari cari tempat yang dijaga keras.

   Segera juga ia lihat, bahwa di bawah loteng terdapat belasan pengemis yang meronda dengan senjata terhunus.

   Ia melompat turun, mendekati loteng itu, menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar.

   Selagi dua peronda memutar badan, secepat kilat ia lari ke kaki tembok di bawah loteng dan lalu memanjat ke atas dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang kong (cecak merambat di tembok).

   Ia segera memasang kuping dan mata ke loteng yang terang benderang itu.

   Namun akhirnya dengan rasa penasaran ia lalu mengintip dari celah celah jendela.

   Sepanjang lilin besar yang ditaruh di meja sudah terbakar habis, separuh, tapi di dalam kamar itu tidak terdapat bayang bayangan manusia.

   Loteng itu mempunyai tiga kamar.

   Sesudah menyelidiki kamar sebelah timur, ia mengintip di jendela kamar sebelah barat.

   Lilin yang berada di kamar itu juga kelihatan nyala sangat terang dan di atas meja terlihat banyak makanan dengan tujuh delapan mangkok nasi dan sumpitnya.

   Tapi cawan cawan arak belum diminum dan makanan itu baru saja dimakan.

   Herannya, di kamar itupun tidak terdapat manusia.

   Kamar yang di tengah gelap gulita.

   Boe Kie mendorong pintu, tapi terkunci dari dalam.

   "Giehoe!"

   Panggilnya dengan suara perlahan. Ia tidak mendapat jawaban.

   "Kalau Giehoe tidak dikurung di sini, mengapa loteng ini dijaga begitu keras?"

   Pikirnya.

   "Apakah ia menggunakan tipu berisi berisi kosong, kosong kosong berisi?" (berisi is kosong, kosong berisi apa yang dilihat berisi, sebenarnya kosong, dilihat kosong sebenarnya berisi). Tiba tiba hidungnya mengendus bau darah yang keluar dari kamar itu. Ia terkejut. Dengan mengeluarkan sedikit tenaga tapal pintu patah. Sambil mendorong pintu, ia melompat ke dalam dan menyambut kedua potongan tapal pintu itu supaya tidak jatuh dan mengeluarkan suara. Baru ia menindakkan kakinya menginjak sesuatu yang lembek seperti tubuh manusia. Ia membungkuk dan meraba raba. Aha! Mayat manusia yang mati belum berapa lama. Ia merasa agak lega karena mayat itu berkepala kecil. Dengan jari tangannya ia menotok papan kamar barat yang lantas berlubang dan dari lubang itu masuk sinar terang. Sekarang ia bisa lihat, bahwa kamar itu penuh mayat pengemis yang kelihatannya binasa karena mendapat luka hebat di badan. Ia membuka baju satu di antaranya dan melihat tapak tinju di dada, tapak dari pukulan Cit siang koen.

   "Ah! Inilah pukulan Giehoe,"

   Pikirnya dengan rasa girang. Di sudut tembok terdapat sebuah gambar obor tanda Beng kauw yang diukir dengan serupa benda tajam. Tapi bagaimana Giehoe bisa dibekuk mereka?"

   Tanya Boe Kie di dalam hati.

   "Mungkin mereka menggunakan bong han yo, tambang atau jala. Tapi pintu di tapal dari dalam. "Bagaimana Giehoe bisa keluar? Heran!"

   Sambil memikir begitu, ia tiba tiba melihat darah di lain pintu dan di daun pintu bagian luar terdapat telapak telapak tangan.

   Sekarang ia mengerti.

   Ayah angkatnya tidak sengaja membunuh seorang dan sesudah keluar dari kamar, ia menyuruh orang itu menapal pintu, akan kemudian mengirim pukulan Cit siang koen pada daun pintu.

   Biarpun teraling selembar papan, pukulan tersebut masih kuat untuk membinasakan pengemis itu yang memuntahkan darah dan darahnya menyembur ke pintu.

   "Ya, tadi kulihat melompatnya bayangan manusia dari atas loteng,"

   Pikirnya.

   "Bayangan itu tentulah Giehoe tapi tidak mungkin. Orang itu bertubuh kurus kecil, sedangkan Giehoe tinggi besar. Siapa dia?"

   Ia keluar dari kamar dan melongok ke bawah. Para pengemis masih meronda. Mereka tak tahu apa yang terjadi di atas.

   "Pengemis2 baru saja mati dan Giehoe tentu belum pergi jauh,"

   Pikirnya.

   "Perlu apa kau menebak nebak?"

   Sebaiknya aku menyusul dan menanyakannya. Aku dan Giehoe bisa kembali ke sini untuk menghajar pengemis2 bau itu."

   Bayangan yang tadi melompat turun dari tembok sebelah barat daya.

   Setelah mengambil keputusan, Boe Kie segera melompat ke satu pohon dan dari pohon itu, dia melompat pula ke atas tembok barat daya.

   Ia membungkuk untuk menyelidiki.

   Dengan rasa heran dia mendapat kenyataan, bahwa di situ terpeta tapak tapak kaki kecil, yaitu tapak wanita.

   "Siapa wanita itu?"

   Tanyanya di dalam hati.

   "Biat coat Soethay telah meninggal dunia. Cie san Liong ong pergi ke lain negeri, Pan Siok Ham dari Koen loen pay belum tentu mempunyai ilmu ringan badan yang sedemikian tinggi. Cie Jiak dan Tio Beng tak mungkin. Yang lain lebih tak mungkin."

   Tapi ia tak memikir panjang2 lagi dan segera menguber ke jurusan barat daya.

   Sesudah berlari lari beberapa lie dengan mengikuti jalan raya, ia tiba di persimpangan jalan.

   Sesuai dengan kebiasaan Kang ouw, mereka lantas mencari tanda tanda di gombolan rumput tinggi.

   Benar saja, di sebuah batu besar ia menemukan gambar obor yang mengunjuk ke sebuah jalan kecil, jurusan barat daya.

   Ia girang karena jejak ayah angkatnya sudah dapat diikuti.

   Gambar itu yang sangat indah tidak mungkin dilukis oleh sembarang orang.

   Hanyalah orang orang seperti Cia Soen yang boen boe coan bay yang dapat melukisnya.

   Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu mengejar dengan mengambil jalanan kecil itu.

   Ketika tiba di See boek, fajar sudah menyingsing.

   Sesudah menangsal perut dengan bak pauw dan kue phia, ia meneruskan perjalanan ke arah barat.

   Di Pangcoe tin di kaki tembok ia menemukan sebuah gambar obor yang mengunjuk ke sebuah si thung (tempat pemujaan abu leluhur).

   Ia girang dan merasa pasti bahwa ayah angkatnya bersembunyi di tempat itu.

   Ia menghampiri dan memilih empat huruf "Goei sie Su thung" (tempat pemujaan abu leluhur orang she Goei) di papan merek.

   Begitu masuk ia mendengar suara ramai ramai dari sejumlah orang yang sedang berjudi.

   Melihat Boe Kie yang berpakaian indah, kepala judi segera menghampiri dan berkata sambil tertawa.

   "Kong coe ya, hayolah!"

   Ia berpaling pada para penjudi dan berkata pula.

   "Berikan tempat kepada Kong coe ya!"

   Alis Boe Kie berkerut dan matanya menyapu ke seluruh ruangan. Para penjudi itu bukan orang orang Kang ouw. Maka itu tanpa meladeni ajakan orang, ia segera berteriak. "Giehoe! Giehoe!"

   Tapi ia tak mendapat jawaban. Salah seorang penjudi yang iseng mulut tertawa dan berkata.

   "Mau apa kau nak. Giehoe mu berada di sini."

   Para penjudi lantas saja tertawa terbahak bahak. Sambil menahan sabar Boe Kie menanya si kepala judi. "Apa kau lihat seorang toa ya yang berambut kuning bertubuh tinggi besar dan buta matanya?"

   "Omong kosong,"

   Jawabnya dengan suara tawar.

   "Di kolong langit mana ada si buta yang bisa berjudi?"

   Kecuali kalau dia sudah bosan hidup."

   Darah Boe Kie meluap.

   Ia melompat dan mencekal si kepala judi dan penjudi yang tadi mengejeknya dan melontarkannya ke genteng.

   Walaupun tidak terluka mereka ketakutan setengah mati dan berteriak teriak minta tolong.

   

Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan -- Chin Yung Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Perguruan Sejati -- Khu Lung

Cari Blog Ini