Pendekar Satu Jurus 18
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 18
Pendekar Satu Jurus Karya dari Gan K L
Hui Giok menghela napas panjang.
Di tengah kegelapan akhirnya terdengar juga suara tangis yang memilukan.
Entah berapa lama perempuan itu menangis, akhirnya ia melanjutkan kisahnya dengan suara gemetar "Waktu itu aku berbaring di pembaringan dengan badan kaku, kudengar Siau Pek-hian menceritakan semua kisah itu.
Ternyata setelah jatuh ke dalam jurang, ia tidak mati, setelah mengalami banyak kesulitan, akhirnya ia berhasil mempelajari serangkaian ilmu silat yang lihai dan ia kembali ke dunia ramai untuk membalas dendam.
Tapi...
tapi aku..."
Dengan pedihnya ia mengeluh "Aku tidak berbuat dosa apa2, aku pun tidak berbuat kesalahan kepadanya, tapi aku harus menanggung penderitaan dan penghinaan yang tak terkirakan beratnya ini.
Kudengar ia memberitahukan kepadaku sambil menyeringai "Dengan tulus ikhlas ia menyerahkan kau kepadaku, karena ia merasa telah bersalah padaku.
Dan hari ini, dia cuma datang untuk menengok dirimu sekejap, Kini kau adalah isteri Siau Pek-hian, bukan saja sudah setahun kau ikut aku, selamanya kau pun akan ikut aku."
Ia menghela napas putus asa, suara keluhan ibaratnya jarum yang bengkok menusuk urat syaraf, Hui Giok, membuat sekujur tubuh pemuda itu gemetar keras, sampai gigi pun gemerutukan.
Dalam kegelapan yang penuh diliputi kepedihan kisah tersebut kembali dilanjutkan "Bayangkanlah, aku...
aku telah menemani tidur bersama seorang sebagai suami isteri selama setahun, aku...
aku selalu menganggapnya sebagai suamiku."
"Betapa sakit hatiku setelah kudengar pengakuannya, rasa sakit hati yang menimbulkan dendam... dendam kepada mereka berdua, diam2 aku bersumpah. akan kupelajari ilmu silat yang lebih tinggi dan lebih hebat untuk membinasakan kedua orang bersaudara itu."
"Membaranya dendam kesumat itulah mempertahankan hidupku ini, karena kobaran api bencilah yang menghindarkan diriku dan perbuatan nekat bunuh diri di hadapan mereka.
"Sejak peristiwa itu Siau Pek-hian tidak pernah membuka jalan darahku, tiga tempat Hiat-to penting yang menghubungi aliran darah dalam tubuhku ditutuknya sehingga meski aku bisa bergerak namun tak mampu melepaskan diri dari cengkeramannya.
"Begitulah, dalam keadaan seperti ini aku... aku hidup lagi selama satu tahun, dalam setahun ini aku... aku harus menahan segala penderitaan segala hinaan dan siksaan, penderitaan yang tak bisa dibayangkan oleh siapapun."
Siau Pek-hian tiada hentinya menghina dan mempermainkan diriku, kadang kadang iapun melakukan perbuatan-perbuatan keji dalam dunia persilatan sehingga membuat nama Jian jiu suseng dianggap sebagai makhluk setengah baik setengah keji oleh umat persilatan.
"Dalam setahun itu kembali kutemukan rahasia-rahasianya di masa lalu ternyata sudah sangat lama sekali ia menguntit jejak kami, hingga tiba kesempatan baik baginya, yakni sewaktu Siau Tiong-jim pergi karena ada urusan, lalu dengan siasatnya yang keji itu ia mengangkang diriku.
"Ketika Siau Tiong jim pulang ke rumah dan menyaksikan keadaan tersebut, ia tak tega melukai hatiku, maka diam-diam iapun menyingkir ia amat menyesal terhadap adiknya, maka aku pun dikorbankan, aku... aku telah dijadikan korban untuk kebusukan mereka berdua, aku.... aku jadi lebih benci kepada mereka."
Diam-diam Hui Giok menghela napas panjang sekarang ia baru paham, ternyata di balik permohonan pertamanya itu terselip sebab musabab yang begitu ruwet dan penuh penderitaan.
Ketika menggerakkan tubuhnya, barulah dirasakan bajunya telah basah oleh air keringat pelahan ia meraba pula pipinya, nyata sejak tadi ia pun meneteskan air mata simpatik.
Sekarang, bahkan ia merasa berterima kasih atas suasana gelap yang menyelimuti sekelilingnya sebab ia tak tega untuk menyaksikan lagi raut wajah perempuan yang kenyang penderitaan ini.
Dt tengah keheningan yang mencekam, akhirnya terdengar Ay Cing meneruskan lagi ceritanya.
Kemudian pengawasan Siau Pek-hian terhadap diriku semakin mengendor, akupun berusaha dengan segala daya upaya untuk membebaskan jalan darahku yang tertutuk, kucuri kitab pusaka Hay-thian pi-kip dan kukabur dari cengkeramannya.
"Aku tak berani kabur ke pegunungan yang sunyi atau hutan yang lebat, sebab aku takut ia berhasil menemukan jejakku. terpaksa aku menyaru sebagai lelaki dan bersembunyi di antara manusia2 lain, karena itu juga aku telah bertemu dengan kau. "Kulit muka kitab pusaka Hay-thian-pi lok kurobek, kemudian kubuat pula dua
Jilid kitab tiruan yang kusimpan dalam rangsel siang dan malam dengan sekuatnya kulatih terus ilmu silatku.
Tapi akhirnya aku berhasil ditemukannya kembali, malam itu setelah kubunuh Mo Se dari Pak to jit-sat, aku tertangkap, ia mengejek diriku dengan segala kata2 kotor, dia mengira...
mengira...
ai, kukira dia akan membinasakan diriku waktu itu, siapa tahu setelah mencemoohkan diriku dan mencaci maki aku- kemudian ia berlutut dan memohon padaku, memohon agar aku tidak meninggalkan dia lagi."
"Dia... dia seperti orang gila, sebentar membelenggu tubuhku erat-erat, sebentar membebaskan pula diriku, siang dan malam ia menjaga di sisiku tanpa hentinya, sepuluh hari sepuluh malam ia bertahan terus tanpa memejamkan matanya barang sekejappun.
"Tapi akhirnya ia lelah juga, akupun segera kabur lagi. Tapi dia bagaikan iblis yang kemanapun aku pergi dia selalu berhasil menemukan diriku, ke mana pun aku sembunyi dia selalu berhasil melacaki jejakku."
Di tengah kegelapan, kembali terdengar suara helaan napas yang tak terkirakan beratnya.
Setelah menghela napas, ia melanjutkan "Akhirnya aku jadi jemu, lagi pula tiba-tiba kuketahui kendatipun kulatih ilmu silatku sepuluh atau seratus tahun lagi, tetap tak dapat mengalahkan mereka berdua."
"Suatu hari, aku bertemu dengan Kim tong-giok-li, mereka memberitahukan suatu kabar yang maha penting kepadaku, katanya jejak Jian jiu-su seng telah mereka temukan bersembunyi di suatu gua rahasia di puncak Si-sin-hong, di Hong-san itu, kutahu waktu itu bahwa Siau Tiong jim telah bersembunyi di sini sejak meninggalkan diriku.
"Suami isteri kosen itu adalah sahabat karibku mereka sangat memperhatikan diriku, tapi mereka pun tak dapat membebaskan diriku dari penderitaan."
"Setelah memperhatikan urusan ini beberapa waktu lamanya, akhirnya kuputuskan untuk datang ke Hong-san ini untuk mencari Siau Tiong Jin, maka kitab Hay thian-pi lok yang aslipun kuserahkan kepada mereka agar diberikan kepadamu."
Hui Giok mengembuskan napas lega, baru sekarang dia tahu bahwa kedua
Jilid kitab Hay thian-pi-lok yang dirampas ayah dan anak she Sun itu adalah kitab palsu, iapun tahu bahwa kitab yang selalu berada dalam sakunya sekarang tidak lain adalah kitab pusaka ilmu silat yang meggetarkan seluruh tolong langit itu.
Kembali Lens-goat-siancu berkata "Selesai meninggalkan pesan, aku berangkat ke Hong san dan temukan gua rahasia ini waktu itu Siau Tiong-jim belum pulang, maka aku pun menunggu sehari di sini.
"Ketika Siau Tiong jim pulang dan melihat aku berdiri kaku di hadapannya ia berseru kaget, sampai-sampai kotak kayu yang dipegangnya terjatuh ke tanah.
"Kupegang dia, kupandang wajahnya dan kurasakan meski aku benci kepadanya, akupun mencintainya, sambil menangis aku bertanya kepadanya mengapa ia bersikap demikian kepadaku? "Siapa tahu, tiba-tiba ia bergelak tertawa, Ternyata, ternyata aku salah kenal lagi, dia... dia bukan Siau Tiong-jim melainkan Siau Pek-hian. Aku menjerit sekerasnya, aku seperti orang kalap waktu itu, untunglah Siau Tiong-jim muncul pada waktunya, sekarang mereka berdua muncul bersama di hadapanku, mereka saling bertatapan tanpa berkedip, pertikaian dan perselisihan selama puluhan tahun membuat sorot mata mereka berdua se-akan-akan memancarkan sinar berapi.
"Kemudian, mereka bersama memandang diriku, tanpa sadar aku menyurut mundur dengan ketakutan hingga punggungku menempel dinding batu yang dingin.
"Tiba-tiba Siau Pek hian berkata, Dunia ini sudah terlampau penuh, salah satu di antara kita berdua harus mengundurkan diri dan keramaian dunia?"
"Siau Tiong jim termenung sebentar, lalu ia pun berkata.
"Ya. dunia ku memang kelewat sempit untuk menampung kita berdua? "Maka kedua orang itupun bersama-sama melolos pedang, Ai takdir menentukan kehidupan manusia, terkadang juga terlampau kejam. Raut wajah mereka, tindak tanduk dan suara mereka begitu mirip, sama ibarat pinang dibelah dua, tapi mereka harus bertarung mau-matian sejak pertarungan berkobar, aku merasa bahwa perhatianku terhadap mereka berdua ternyata sama dan tidak berat sebelah.
"Aku berteriak sambil menangis aku mohon kepada mereka agar jangan berkelahi, tapi mereka seolah-olah tidak mendengar teriakanku ini, dalam lorong yang sempit inilah mereka melangsungkan pertarungan sengit selama semalam suntuk, sekujur badan mereka telah terluka dan mengucurkan darah."
Ai... ternyata Thian telah memberikan kungfu yang sama ampuhnya kepada mereka berdua."
Hui Giok menggerakkan tangannya untuk menyeka peluh yang membasahi jidatnya, seandainya, ia tidak menyaksikan sendiri, mungkin dia tak akan percaya bahwa kisah yang mengerikan dan memilukan hati itu memang suatu kenyataan.
Di luar lorong, tampaknya fajar telah menyingsing, cahaya terang memancar masuk lewat celah-celah gua dan samar-samar tubuh Ay Cing dapat dilihatnya.
Tapi ia tak berani memandang wajahnya, pemuda itu tundukkan kepala sambil mendengarkan perempuan itu melanjutkan ceritanya.
Kemudian, mereka tinggalkan sistem pertarungan dengan senjata dan memilih cara mengadu jiwa seperti ini, aku semakin kuatir bercampur cemas, meskipun ku tahu bila mereka tetap hidup bersama di dunia ini, maka tragedi mereka selamanya juga tak akan berakhir sebab ...
sebab aku aku mencintai mereka berdua, mereka berdua pun mencintai diriku."
"Kendatipun begitu, aku tetap tak tega menyaksikan kematian mereka, dengan jarum baja ini kutusuk sekujur badanku, aku berharap mereka mau menghentikan pertarungan demi menyaksikan penderitaanku. Tapi mereka tetap tak menggubris, mereka bersikap seakan-akan tidak tahu perbuatan ku ini."
Suaranya makin lama makin lemah dan makin lamal akhirnya suasana di sekeliling tempat itu tercekam pula oleh keheningan.
Hui Giok duduk kaku seperti patung, pikirannya berputar membayangkan kembali apa yang barusan di dengarnya.
Lama dan lama sekali akhirnya Ay Cing menghela napas sedih, bisiknya "Tragedi itu pun berakhir, cerita pun ikut berakhir Kedua bersaudara itu telah menyelesaikan pertikaian di antara mereka, tapi aku?"
Tiba-tiba ia tertawa ringan, suara tertawanya penuh mengandung cemoohan dan kedukaan terhadap kehidupannya membuat suara tertawanya itu kedengaran memilukan.
"Aku... aku ingin bertanya kepadamu, pantaskah aku melanjutkan kehidupanku ini?"
Bisiknya lagi Sekujur badan Hui Giok bergemetar ia tergegap.
"Kau, kau.."
"Permintaan ketiga yang hendak kuajukan kepadamu adalah bila kumati. kuburlah jenazah kami bertiga dalam satu liang!"
Tukas Ay Cing sambil menghela napas. Rasa sedih yang sudah menimbun di dada Hui Giok, sekarang tak terbendung lagi, semua perasaannya serta merta meluap keluar.
"Kau tak boleh mati"
Teriaknya dengan sedih. Ay Cing tertawa pedih "Sudah lupakah kau akan kesanggupanmu tadi? Lagi pula.. dengan kekuatanmu apakah kau dapat mencegah keinginanku?"
Hui Giok tertegun, dua titik air mata jatuh membasahi pipinya, bayangan tubuh perempuan itu terlihat kabur dan akhirnya ia berpekik.
"Tapi... tapi..."
"Tapi aku takkan mati saat ini..."
Ujar Ay Cing lagi sambil menghela napas "aku hendak menggunakan sisa kekuatanku untuk berbuat sedikit kebaikan bagimu, tiga hari... tiga hari lagi, siapapun tak dapat mengalangi diriku lagi untuk mati,"
Setelah bergumam lirih iapun berpaling dan memandang lagi kedua mayat yang saling berangkulan itu.
Ai, takdir memang memberikan nasib kelewat buruk kepadanya, membuatnya segan untuk hidup lebih lanjut.
Hui Giok juga termangu beberapa waktu lamanya, diam-diam ia berjanji di dalam hati "Tiga hari...
tiga hari lagi, bagaimanapun jua aku harus mengalangi niatnya untuk membunuh diri"
Sekalipun perbuatanku ini sama artinya dengan melanggar sumpahku sendiri. walaupun aku harus mati disambar geledek, aku tetap akan menyelamatkan jiwanya, akan kubantu dia agar menemukan makna kehidupan yang sebenarnya."
Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya tiba-tiba Ay Cing bangkit berdiri.
lalu dengan sempoyongan menghampirinya, kedua telapak tangannya yang putih mulus secepat kilat menghantam tubuh Hui Giok.
Pemuda itu merasakan telinganya mendengung keras, segulung hawa panas terasa menembus hulu hatinya.
Menyusul hawa panas itu makin menyebar mulai dari hulu hatinya menjalar sampai ke bahu ke lengan, ke seluruh urat nadi.
Akhirnya, sekujur tubuhnya seperti digarang ia tak berdaya dan tak sadarkan diri, membiarkan hawa panas itu membakar seluruh tubuhnya, badan seperti di robek-robek sukar tertahan akhirnya ia mengeluh sakit.
Rasa sakit masih terus berlangsung lama dan lama sekali.
Kemudian hawa panas itu menjadi padam.
ke-empat anggota badannya terentang dengan lemas, menyusul sesosok tubuh yang hangat dan sejuk menempel lekat-lekat di atas dadanya.
Sesudah menderita timbul suatu perasaan nyaman dan segar yang sukar dilukiskan, tiba-tiba pikirannya jadi kalut, segala pikiran jahat, kobaran berahi yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam benaknya, kini timbul serentak.
Dengan susah payah ia berusaha mengendalikan diri, menguasai diri dari pengaruh pikiran jahat itu, kemudian, hawa panas membara lagi.
Kembali terasa penderitaan yang berlangsung lama bagaikan beribu tahun lamanya.
Ia merintih, ia berguling, iiba-tiba ketenangan muncul bagaikan kelebatan kilat, dengan lemas dan lelah ia terkapar di tanah, Selang sejenak, tiba-tiba ia merasa lapar dan dahaga, rasa lapar dan dahaga yang tak tertahankan bahkan ia rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk rnendapatkan setegukan air minum dan sedikit makanan.
Kosong, hampa...
ia merasa dirinya seperti kabur terembus angin, seluruh tenaga dan darah dagingnya bagaikan telah luluh merembes keluar bersama cucuran keringatnya.
Penderitaan, rasa nyaman, pikiran jahat, nafsu berani, kehampaan bagaikan datang silih berganti dalam kekaburan yang menyelimuti benaknya, ia hanya teringat akan satu hal "Tiga hari...
tiga hari..."
Tapi ia sudah lupa apa arti "tiga hari"
Itu, ia se-akan2 sudah mengalami siksaan selama seratus atau seribu tahun lamanya. Mendadak semuanya telah berakhir. Napasnya tersengal-sengal, lama dan lama sekali, tiba2 ia teringat akan tiga hari", ia teringat akan arti kata "tiga hari"
Itu, sambil berteriak keras ia melompat bangun.
Cahaya yang menerangi lorong gua itu tetap redup, se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu peristiwa apapun, tapi di manakah Leng goat-siancu Ay Cing.
Dengan terkesiap ia berteriak Ay...
Ay hujin, Ay Cing kau..."
Yang terdengar hanya gema suara sendiri yang mendengung dalam gua, tak terdengar suara jawaban.
Ia berdiri kaku dengan perasaan kalut, ia sama sekali tak tahu apakah yang telah dialaminya? Suasana sepi, sama sekali tiada jawaban.
Tapi akhirnya, terdengar suara yang lemah dan lirih muncul dan bawah tanah Anak Giok!"
Pemuda itu terkesiap, buru2 ia berjongkok di bawah remang cahaya dilihatnya Ay Cmg terkapar di tanah dengan lemah, sorot matanya yang semula terang kini telah pudar, rambutnya yang hitam mengkilat sekarang berubah jadi pulih kelabu.
Dengan gugup, kaget dan kalut pikiran Hui Giok membimbingnya bangun, sementara pikirannya berputar dengan bingung.
"Masa, masa aku tak sadarkan diri selama bertahun-tahun? Ken... kenapa ia jadi setua mi? Ap... apa yang telah terjadi?"
Ay Cing yang lemah dan tak bertenaga bersandar dipangkuannya, tiba-tiba terdengar suara tawanya, entah tertawa atau helaan napas, ia berkata lirih.
"Tiga hari telah lewat"
"Tiga hari? Baru tiga hari? Ken... kenapa kau jadi tua?"
Hui Giok terkesiap Ay Cing merintih.
"Setelah menguburkan kami bertiga, kau boleh pergi meninggalkan tempat ini."
"Mengubur dirimu....kenapa aku harus mengubur dirimu?"
Hui Giok berteriak keras.
"kau... kau masih hidup, kau harus hidup terus hidup selamanya."
Teriakannya sangat nyaring, tapi Ay Cing tampaknya tidak mendengar ucapannya, dia bergumam pula "Segenap kekuatan dan darahku telah kuberikan padamu, kau.... kau harus baikbaik jadi orang, aku membantumu aku sangat gembira."
Kata-kata yang belum terselesaikan itu tiba-tiba terputus.
"Kau... kau..."
Teriak Hui Giok dengan air mata bercucuran, tapi akhirnya ia tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi, dipeluknya tubuh perempuan itu dan menangislah dia keras2 ia tahu bahwa dia telah meninggal dunia.
Dan kata katanya menjelang kematian, ia tahu perempuan itu telah memberikan segenap tenaga dalamnya kepadanya dengan cara yang luar biasa, dan perempuan itu karena kehabisan tenaga akhirnya mengembuskan napasnya yang terakhir.
Hui Giok merasa tubuh yang berbaring dalam pelukannya sekarang demikian enteng, demikian ringan seakan-akan sebuah benda yang kosong.
Namun beban dan tanggung jawab di atas bahunya sekarang terasa sedemikian beratnya.
Budi kebaikan yang tak terperikan, rasa terima kasih yang tiada taranya, kepedihan yang tak terkatakan, penderitaan yang tak terhingga, semua terasa menghimpit dadanya, menekan jantungnya hingga se-akan2 berhenti berdetak.
Tapi kekuatan apa pun tak mampu menahan kepergian nyawa seorang, siapa pun lak dapat membatalkan kematian...
"
Suatu tragedi pun berakhirlah.
Suara langkah kaki yang bergema dalam lorong gua itu setapak demi setapak menuju keluar, suara itu monoton, memilukan, persis seperti perasaan Hui Giok ketika itu.
Pelahan ia menjajarkan ketiga sosok mayat itu, ia bersumpah akan mengadakan upacara penguburan yang khidmat agar mereka dapat beristirahat dengan penuh kedamaian.
Kini ia berdiri di ujung lorong, tanpa sadar ia berpaling pula dengan perasaan berat, ia memandang untuk terakhir kalinya ke arah gua yang gelap dan seram itu.
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar terang menembus masuk dari atas, ia pun bergumam.
"O, sekarang adalah siang hari!"
Tiga hari tiga malam sudah ia tak makan dan tak minum, tapi pemuda itu tidak merasa lapar, dahaga atau letih.
Ia tak tahu kesedihankah yang menghilangkan nafsu makannya, atau kekuatan yang tercipta oleh penemuannya yang aneh.
Ia memejamkan mata dan melompat ke atas dengan sekuat tenaga, ia merasa tubuhnya enteng ibarat burung seriti dengan mudah ia melayang ke luar.
Puncak bukit masih dilapisi kabut yang tebal, Leng-kok-siang-bok tampak duduk bersila di atas batu, ketika Hui Giok melompat keluar dan memandang ke arah mereka, tampaklah tubuh kedua orang bersaudara itu kaku seperti mayat, rambut mereka basah oleh embun, semua ini membuatnya terperanjat.
"Jangan jangan mereka juga.. ."
"Tapi baru saja ingatan itu terlintas, Leng-kok siang-bok telah membuka matanya kedua orang itu saling pandang sekejap, kemudian Leng Ko-bok bertanya.
"Sudah selesaikah urusanmu?"
Hui Giok menghela napas dan mengangguk "Kalau begitu, marilah kita berangkat."
Ajak Leng Han tiok Kedua orang itu segera mengebas bajunya dan bangkit berdiri, mereka terus turun gunung, mereka seakan-akan anggap Hui Giok hanya berada tiga empat jam saja di bawah, tidak heran juga tidak bertanya.
Hui Giok melenggong, cepat ia menyusulnya serunya dengan tergagap "Apakah kita tak jadi turun lewat sebelah sana?"
"Setelah tiga hari tiga malam dan tidak makan minum, mana kita ada tenaga lagi untuk naik turun gunung"
Sahut Leng Han-tiok tanpa berpaling.
Hui Giok menghela napas, ia tahu meskipun di luar kedua orang ini tidak menunjukkan perhatian, pada hakikatnya mereka amat menaruh perhatian terhadapnya.
Dari ucapan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa selama tiga hari tiga malam kedua orang itu berjaga terus di sana tanpa meninggalkan tempat itu barang selangkah pun.
Jalan pegunungan itu curam dan berbahaya tapi bagi pandangan Hui Giok telah berubah jadi datar dan gampang, karena pikirannya kacau ia sama sekali tidak merasakan perubahan atas dirinya, ia cuma mengikut terus di belakang Leng-kok siang-bok.
Leng kok-siang-bok sendiri saling pandang sekejap, mereka merasa kaget dan heran, setelah berjalan beberapa saat lamanya tak tahan lagi kedua orang itu mereka putar badan dan memperhatikan gerakan tubuh Hui Giok dengan terheran-heran Leng Han-tiok memandang sekejap ke muka tiba-tiba ia melancarkan suatu pukulan keras ke arah Hui Giok.
Terkejut Hui Giok, cepat ia melayang mundur tiga depa ke belakang.
"Nah, memang betul!."
Kata Leng Ko bok dengan pandangan berkilat.
"Ada apa?"
Seru Hui Giok bingung.
"Bukankah Leng goat-siancu Ay Cing telah mati?"
Tanya L-eng Han tiok dengan dingin. Dengan sedih Hui Giok menundukkan kepala dan menghela napas panjang.
"Ya, Jian jiu suseng dan Leng-goat siancu telah berpulang ke alam baka!"
Wajah Leng kok siang-bok sama terlintas rasa keheranan.
Selagi Hui Giok masih tidak mengerti, Leng Han tiok menghela napas katanya "Konon dalam dunia persilatan terdapat sejenis ilmu maha sakti aliran Buddha yang dapat melancarkan urat-urat penting di tubuh seorang cukup dalam waktu tiga hari saja, tak nyana kau bisa mengalami kejadian tersebut, tapi...
tahukah kau bahwa Leng-goat-siancu mati lantaran kau?"
Sekuatnya Hui Giok menahan perasaannya, dengan terus terang iapun mengisahkan pengalamannya.
Mendengar penuturan tersebut, air muka Leng-kok-siang-bok rada berubah akhirnya mereka menghela napas panjang.
Sejak dulu sampai sekarang, baru pertama kali ini kedua bersaudara ini menghela napas di hadapan orang ketiga, entah karena ikut berbahagia bagi keberuntungan Hui Giok atau ikut berduka cita bagi nasib Leng-goat-siancu yang malang.
- oo0oo - /p Tiga sosok bayangan secepat kilat melayang turun Hong-san, langkah Hui Giok sekarang ternyata mampu sejajar dengan kedua tokoh silat yang termashur di dunia ini.
Tentu saja hal ini pertama disebabkan oleh keadaan Leng-si-hengte yang di rundung lapar dahaga dan letih.
Kedua berkat pemberian tenaga Ay Cing sebelum meninggal dunia.
Di dunia ini sering kali terjadi hal2 yang di luar dugaan, terutama dalam dunia persilatan kejadian-kejadian yang sukar dibayangkan seperti ini jauh lebih sering terjadi.
Jangankan orang lain, Hui Giok sendiri pun hampir tidak percaya bahwa penemuannya itu sungguh-sungguh terjadi, seandainya perasaannya ketika itu tidak diliputi kedukaan yang dalam, ia bisa meloncat kian kemari karena gembiranya.
Keadaan anak muda itu ibaratnya orang buta yang tiba-tiba bisa melihat kembali, ibarat orang miskin yang mendadak menjadi kaya raya, atau seperti orang yang sangat dahaga, tiba2 memperoleh air jeruk yang segar.
Ya, pemuda itu telah maju melangkah dalam perjalanan hidupnya yang penuh liku-liku ini.
Kemajuan ini segera mengubah pula pandangan hidupnya, hanya dalam tiga hari yang teramat singkat ini ternyata ia berhasil mencapai tingkatan yang mungkin sukar dicapai oleh orang awam sepanjang hidupnya.
Tapi aku berjanji kepadamu, penderitaan yang kau alami sekarang akan mendapat balas jasa yang sepuluh kali lipat lebih besar.
Perkataan yang lembut dan penuh kedukaan itu se-olah2 mendengung kembali di sisi telinganya, seakan-akan seorang pengembara yang tiba-tiba terkenang kembali pada kampung halamannya.
Leng-kok-siang bok berusaha menutupi rasa gembira yang bergolak dalam hati, tapi rasa gembira itu tetap terpancar keluar dan sinar mata mereka, Bergembira bagi kesuksesan orang lain, betapa luhur dan kebesaran jiwa mereka ini.
Leng Hian-tiok memandang sekejap wajah anak muda itu, ia tahu pemuda yang berhati mulia ini sedang dirundung kesedihan.
ia tak membiarkan kesedihan terlampau menguasai perasaannya, sebab ia sendiripun pernah diliputi oleh kesedihan.
Sesudah berpikir sebentar, pelahan ia berkata.
"Hui Giok coba terka apakah kawanan orang yang menjemukan itu masih menanti di bawah gunung?"
"Sudah empat hari kita di atas gunung, mungkin mereka sudah angkat kaki !"
Sahut Hui Giok tak acuh Tiba2 Leng Han tiok tertawa "Aku malah berharap agar mereka jangan pergi dulu sebab bila ditemani makhluk2 menjemukan itu maka dalam perjalanan kita selanjutnya tak akan kesepian lagi."
Hati Hui G'ok tergerak kata "kesepian"
Ternyata bisa diucapkan oleh Leng-kok siang-bok yang dingin dan kaku hal ini, betul suatu peristiwa yang luar biasa, ia menengadah memandang senyuman yang menghiasi wajah mereka, seketika itu juga rasa dingin hatinya berubah jadi lebih hangat.
"Ah. ternyata Leng kok siang bok telah berubah!"
Pikirnya.
Maka senyuman manis pun tersungging di ujung bibirnya hingga mereka tiba di kaki gunung.
Dari kejauhan berkumandang suara hiruk-pikuk, suasana yang amat gaduh ini sangat mengherankan ketiga orang itu.
Mereka melompat ke atas batu gunung, dari situ mereka melongok ke bawah, tertampaklah manusia berkumpul di kaki bukit sana, suasana jauh lebih ramai daripada ketika mereka naik ke atas empat hari yang lalu, bau arak dan harum daging berembus ke mana2 mengiringi gelak tertawa dan suara pembicaraan yang ramai.
Mereka bertiga saling pandang sekejap, tiba-perut terasa begitu lapar hingga sukar ditahan serentak mereka lari terus ke bawah.
Tapi setibanya di kaki bukit, Leng kok siang bok memperlambat gerakan tubuhnya senyuman yang semula menghiasi wajahnya kini sudah lenyap tak berbekas, sebagai gantinya terlihatlah seraut wajah yang dingin, kaku dan menyeramkan.
Melihat semua itu, Hui Giok menghela napas dan berpikir.
"Ai, entah mengapa, sikap kedua orang ini terhadap orang di dunia selalu dingin !"
Cahaya matahari gilang gemilang menyinari bumi raya yang permai ini, sambil membusungkan dada Hui Giok turun ke bawah dengan langkah lebar. Baru saja bayangannya muncul, meledaklah suara pekik gembira yang gegap gempita dan sekeliling kaki bukit.
"Hui-taysianseng!"
Pekik nyaring yang menggelegar itu muncul dari mulut beratus orang persilatan hampir bersamaan waktunya.
Hui Giok melenggong, ia tak menyangka nama besarnya dalam dunia persilatan telah memiliki kekuatan sebesar itu.
Lautan manusia yang duduk berkelompok itu mulai gaduh, tapi ada dua orang di antaranya yang tetap berduduk tak bergerak, yang satu bertubuh tinggi besar dan berpakaian serba merah dia Si Jengger Ayam Pau Siau-thiaa yang kasar itu, sedang di depannya berduduk seorang laki laki kurus kering bermata cekung, dia adalah musuh kebuyutannya, Sio-lu-tui-hong Ga pio.
Pekik kegembiraan masih menggema Hui Giok berjalan di antara kerumunan manusia dengan rada gugup.
Koan-ji suseng dari Hui-leng-po, Yu Peng dari Long-bong-san-ceng menyambut kedatangannya, dengan cara yang berbeda tapi bertujuan sama, kedua orang itu berusaha mengorek keterangan dengan sangat hati-hati "Apakah menang atau kalah sudah ketahuan?"
"Belum"
Sahut Hui Giok sambil tersenyum, walaupun hatinya sedang berduka, ia tak ingin orang lain ikut memikul rasa duka dan penderitaannya, kedukaan selamanya hanya cocok menjadi santapan bagi diri pribadi.
"Aku mengira kalian sudah pergi semua."
Katanya kemudian sambil tersenyum.
"sungguh tak nyana kalian begitu sabar menanti kabarku di sini "
Semangat Koan-jiya berkobar, seakan-akan merasa suatu kebanggaan baginya karena dapat berbicara dengan Hui-taysianseng.
Ia tak tahu bahwa Hui Giok mencintai setiap umat manusia, ia berharap bisa berkenalan dengan mereka dalam tingkatan yang sama, cuma dalam kehidupannya di masa lalu orang lain tak sudi bergaul dengan dia, meski ia sangat mengharapkan demikian.
Go Peng berpaling dan memandang sekejap si Jengger Ayam Pau Siau-thian, lalu katanya dengan tergegap.
"Sebenarnya hamba sekalian sudah mau pergi, tapi... tapi oleh karena Cia piauthau mengatakan bahwa kalian bertiga akan turun gunung lewat jalan semula, maka hamba sekalianpun menunggu sampai sekarang !"
Mendengar sebutan "hamba"
Yang begitu menurunkan derajat sendiri, diam-diam Hui Giok menghela napas. Ai, kenapa begitu banyak manusia aneh di dunia ini?"
Pikirnya.
"kalau bukan mereka yang ingin menginjak kepala orang lain, merekalah yang rela kepala sendiri diinjak orang, Apakah mereka tak pernah berpikir bahwa manusia di dunia ini hidup dalam tingkatan yang sama?"
Mengikuti arah yang dituding, mendekati Sm-lu tui-hong Cia Pin dari tersenyum.
Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu tiba-tiba Pau Siau thian acungkan tangannya sambil berteriak "Ambilkan arak, ambilkan arak..
akan kuminum beberapa cawan sampai puas, lalu akan pergi menghadap Giam lo-ong nanti"
Hui Giok mengerutkan dahi mendengar perkataan itu, pikirnya.
"Tolol betul orang ini, masa dia ingin mampus?"
Dihampirinya Pau Siau-thian, lalu sapanya sambil tersenyum.
"Sobat, masalah apakah yang tak terselesaikan olehmu, sehingga kau..."
"Masalah apa yang tak terselesaikan olehku?"
Tukas Pau Siau thian dengan mata melotot aku hidup dengan gembira, aku hanya kalah bertaruh dengan orang she Cia itu, maka mau-tak-mau harus mati Hehehe... tentunya menarik sekali bisa berkenalan dengan Giam lo-ong nanti."
Meskipun kata2 itu diucapkan dengan suara lantang, padahal dia takut menghadapi kematian sehingga suara tertawanya terdengar kurang wajar "Lagi-lagi pertaruhan."
Seru Hui Giok, kalian bertaruh apa lagi?"
"Orang she Cia ini bilang kalian pasti akan turun gunung lewat jalan semula, sudah dua hari kutunggu kedatangan kalian, tapi bayangan pun tak nampak. maka dalam perdebatan kemudian kamipun putuskan untuk bertaruh, ia bilang dalam lima hari kalian pasti akan muncul lagi di sini, aku tanya apa yang hendak ia pertaruhkan, dia bilang taruhan batok kepala! Baik, taruhan batok kepala juga boleh- Hehehehe ..paling-paling batok kepala hilang, apanya yang luar biasa? Hehehe, , ambilkan arak ambilkan arak!"
Kasar memang suaranya, tapi jujur dan gagah perkasa, diam-diam Hui Giok berpikir.
"Boleh juga orang ini!" - Timbul rasa sayangnya terhadap kegagahan orang itu. Sementara itu Koan jiya telah menghampiri mereka sambil berkata dengan tersenyum.
"Seandainya mereka berdua tidak bertaruh, mungkin orang gagah yang hadir di sini sudah bubar semua! Ai Cia piautau memang betul-betul lihai dan pandai meramal kejadian yang akan datang, pada mulanya aku sendiri pun tidak percaya."
Sambil tersenyum Hui Giok lantas berpaling ke arah si keledai hitam pengejar angin"
Cia Pin. Ia lihat meski potongan badan orang itu kurus kering, tapi sinar matanya berkilat karena dia sudah bangkit sambil tertawa, Hui Giok lantas memberi hormat yang dibalas olehnya dengan membungkuk badan.
"Engkau tentulah Cia piautau yang dimaksudkan bukan?"
Sapa Hui Giok kemudian.
"aku bernama Hui Giok dahulu dibesarkan dalam Hui liong-piaukiok, sayang sekali belum pernah berjumpa dengan Cia-piautau di masa lalu."
"Siaute selalu berada di kantor cabang wilayah Kanglam, sudah tentu Kongcu tak pernah melihat diriku,"
Jawab Cia pin dengan hormat. Kebanyakan jago persilatan tidak mengetahui hubungan antara Hui-taysianseng dengan pihak Hui-liong-piaukiok, tentu saja pembicaraan itu menimbulkan keheranan mereka. Berkatalah Hui Giok dengan lantang.
"selama ini aku selalu menyebut Tham-lopiautau sebagai paman, itu berarti engkau adalah kaum Cianpwe bagiku!"
Hui-taysianseng ternyata bersikap rendah hati terhadap orang lain, sekali lagi kawanan jago yang hadir dibikin keheranan. Lebih-lebih Cia Pin, ia cuma bisa menjawab "tidak heran"
Berulang kali.
Hui Giok menghela napas, katanya lebih jauh "Aku tahu bahwa aku tidak berhak mencampuri urusanmu, tapi aku selalu beranggapan bahwa nyawa manusia itu bukan urusan kecil, karena itu akupun berharap agar anda sudi mengingat diriku serta menyudahi pertaruhan itu, anggaplah belum pernah terjadi, untuk itu aku akan sangat berterima kasih"
Kembali kawanan jago dibikin gaduh ada yang berbisik-bisik, ada pula yang memuji, sungguh tak tersangka Hui-taysianseng bisa memohon dengan rendah hati demi urusan orang lain.
Keh-koan Pau Siau-thian terbelalak dengan mulut melongo, ia menyesal dan malu, menyesal karena barusan telah menjawab dengan kata-kata yang kasar.
Sin-lu-tui hong Cia Pin juga terharu oleh permohonan itu, Lama ia merenung, akhirnya sambil terbahak-bahak dihampirinya si Jengger Ayam Pau Siau-thian, tanyanya sambil tertawa "
Apakah kau sungguh-sungguh ingin mati?"
"Tentu saja!"
Jawab si Jengger Ayam sambil berdehem. "Hahaha... jika kau benar-benar ingin mati maka kau adalah seorang dungu,"
Seru Sin-iu-tui hong sambil terbahak-bahak, tahukah kau meski aku bertaruh denganmu padahal aku sendiripun tidak yakin akan menang, aku sudah bersiap-siap jika kalah segera aku akan kabur, tok kau tak bakal menyusul diriku ..Hahaha, betapa gembira hatiku ketika kulihat kemunculan Hui-kongcu tadi, hampir saja aku melompat lompat kegirangan..."
Dengan termangu-mangu Keh-koan Pau Siau thian menatapnya, tiba-tiba iapun berseru.
"Baik... baik... Kalau kau mengakui tanpa sungkan-sungkan aku pun tanpa sungkan mencabut niatku untuk mati, agar kau takkan memaki orang dungu lagi. Meskipun kata-katanya masih bernada keras, tapi sinar matanya memancarkan rasa terima kasih. Orang yang paling dibencinya ternyata telah mengucapkan kata-kata yang bukan saja telah menyelamatkan jiwanya. menyelamatkan pula nama baiknya, terutama yang terakhir tadi, benarbenar membuat jago gagah dan kalangan Lok-lim ini merasa amat berterima kasih. Diam-diam Hui Giok menghela napas panjang, sekarang ia lebih yakin lagi bahwa dunia ini sebetulnya penuh mengandung kehangatan dan kemanusiaan, dalam hati ia pun berharap agar pertaruhan Sin-jiu Cian Hui dapat dibatalkan seperti apa yang baru saja terjadi. Tapi dia lupa akan sesuatu, lupa bahwa kedudukan maupun martabat yang berbeda seringkali menimbulkan pula suasana yang berbeda. Pertaruhan yang luar biasa itu tetap berlangsung, barisan yang anehpun tetap berderet di sepanjang jalan. Karena barisan yang aneh, tempat2 yang mereka lalui, biarpun sebuah dusun yang sepi akan berubah menjadi kota yang ramai, pedagang2 kecil yang bergabung dalam barisan itu kian lama kian bertambah banyak sehingga terciptalah suatu rombongan pedagang yang melayani segala kebutuhan dari bahan pokok sampai pada benda yang kecil. Dalam sejarah dunia persilatan belum pernah tercatat adanya barisan aneh seperti ini. Dalam barisan aneh ini terkumpul pertentangan antara manusia dengan manusia.... cinta, dendam, budi, iri, benci, ambisi, keserakahan .. serta pelbagai persaingan lain. Tapi di balik persaingan tersebut terdapat pula banyak kegembiraan. Banyak musuh2 besar yang selama ini sukar di temukan telah berjumpa di situ, bahkan ada pula yang semula tak kenal lantas menjadi sahabat karib, ya, pokoknya seribu satu macam kemungkinan telah terjadi di situ. Gelak tertawa Keh koan Pau Siau thian masih menggema seperti sediakala, tapi sikapnya terhadap Sin lu-tui hong Cia Pin dari musuh kini telah berubah menjadi bersahabat. Ia mulai mengerti, di balik perawakan tubuh yang kurus kecil itu bisa jadi tersimpan hati yang jujur persis seperti perasaannya, ia pun mulai mengerti alangkah bodohnya bila menilai seorang berdasarkan lahiriah saja. Hui Giok sendiri semakin jarang bercakap-cakap. Ini bukan dikarenakan ia tak suka bergaul dengan kebanyakan orang, melainkan ia betul-betul tak punya waktu untuk ber-cakap2. Tiap hari, Leng kok siang-bok tentu rnengajarkan pengetahuan baru yang berbeda kepadanya. Pelajaran yang betul2 membuat orang jadi pusing, pelajaran yang sulit dipahami oleh siapa pun termasuk pelajaran bermain khim (kecapi) bermain catur membuat syair, membaca buku, melukis, ilmu pertabiban ilmu perbintangan ilmu meramal termasuk ilmu melepaskan Am gi, Ginkang Kiam sui Ciang hoat, pokoknya meliputi hampir seluruh pengetahuan manusia. Kesemua itu masih belum termasuk pula kitab pusaka Hay thian polok yang harus dipelajari pula setiap ada waktu senggang, bayangkan saja bagaimana mungkin dia ada waktu untuk bercakap dengan orang lain. Bantuan tenaga dalam yang diberikan Leng goat-siancu ibaratnya sebuah anak kunci yang secara tiba-tiba membukakan gudang ilmu baginya. Kini ia baru sadar bahwa pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu silat pada hakikatnya begitu luas, begitu dalam sehingga sukar dijajaki. Lantas, kapankah dia ada waktu untuk mengobrol ************************ Hal 67-78 hilang ************************ Memang, yang belajar jelas amat payah dan berat, tapi yang mengajar juga tidak berarti seenaknya saja, Leng-kok-siang-bok mulai heran oleh kemampuan Hui Giok mengisap semua pengetahuan yang meraka berikan, merekapun mulai merasa bahwa pengetahuan yang mereka miliki juga terbatas. Maka mereka sendiripun mulai belajar lagi mereka membeli pelbagai macam buku pengetahuan serta berusaha mempelajari kepandaian lain. Di antara sekian banyak jago persilatan yang bergabung dalam barisan panjang itu terdapat banyak sekali jago-jago silat yang berilmu tinggi, seringkali di tengah malam buta mereka didatangi oleh Leng kok-siang-hok, selagi mereka kaget dan ketakutan oleh kehadiran kedua manusia aneh itu dengan kata halus Leng kok siang-bok lantas memberitahu kepada mereka agar mereka bersedia membuka rahasia ilmu pengetahuannya, kemudian dengan bengis memperingatkan pula kepada mereka agar kejadian ini jangan sampai dibocorkan kepada pihak ketiga. Maka keesokan harinya, Leng kok siang bok pun mengajarkan ilmu yang mereka "begal"
Itu kepada Hui Giok, seringkali sebelum mereka berdua...
"Benarkah sudah hampir tiba waktunya?"
"Coba terka, Hui taysianseng bakal menang atau kalah?"
Agak jauh dari situ, sebuah tanah perbukitan yang agak tinggi terdapat pula seonggokan api ungun.
Leng kok-siang-bok berdua duduk di tepi api unggun, sambil memandang bayangan manusia yang memenuhi kaki bukit nun jauh di sana suara pembicaraan mereka, gelak tertawa mereka sayup-sayup terdengar terbawa angin.
Leng Han tiok yang termangu itu tiba-tiba berkata sambil tersenyum ,"Benar-benar tak nyana pada usia menjelang tua kita tidak merasakan kesepian." "Ya, hidup manusia tak sampai seratus tahun bisa menjumpai peristiwa besar semacam ini rasanya tidak sia-sia hidup kita di dunia ini"
Sambung Leng Ko-bok sambil tertawa. Leng Han-tiok menenggak secawan arak lalu berkata lagi.
"Dalam dunia persilatan tentu banyak orang yang merasa heran, mereka tak habis mengerti mengapa kita berdua bersaudara tidak pulang ke rumah, juga tidak berniat melepaskan diri dari kuntitan ekor panjang ini,"
Ia tersenyum dan melanjutkan "Hahaha, orang persilatan tentu tak menyangka bahwa kita berbuat demikian karena senang sekali menyaksikan keramaian tersebut"
Kedua manusia aneh itu saling pandang sekejap sambil tertawa, pelahan sinar mata mereka beralih ke arah Hui Giok yang sedang duduk bersila di depannya.
Di tengah kegelapan pemuda itu tampak duduk dengan wajah serius, sikapnya begitu tenang, boleh dibilang sama sekali tak terpengaruh oleh suara gaduh di bawah sana, ia pun tidak merasa kedinginan karena embusan angin malam yang kencang, sebaliknya malah ada selapis hawa panas yang mengepul dari ubun-ubunnya dan buyar tertiup angin.
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jilid ke- 15 Menyaksikan keadaan tersebut Leng Ko-bok berkata.
"Dalam dunia persilatan sering tersiar berita yang mengatakan bahwa ada sementara orang berbakat dapat mencapai kemajuan ilmu silatnya sehari bagaikan menempuh seribu li, mula-mula aku tak percaya, Tapi sekarang, ai, setelah menyaksikan kesempatan yang didapat anak muda ini, bukankah hal ini yang dinamakan sehari bagaikan menempuh seribu li?"
Leng Han-Tiok tersenyum.
"Jangan keburu senang dulu, ingin kulihat kepandaian apa yang akan kau ajarkan kepadanya sebentar lagi?"
"Terus terang, aku rela mengaku kalah dalam pertaruhan ini daripada menang,"
Kata Leng Kobok sambil tersenyum.
"sebenarnya, bila kita kalah, hal ini merupakan peristiwa yang patut digembirakan, cuma...!"
Ia menghela napas panjang, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu menyambung.
"Dalam suasana dan keadaan seperti ini, mungkin sulit bagi kita untuk berjumpa lagi, maka kuharap bisa mengulur waktu sedapat mungkin. Kedua orang ini kembali saling pandang dengan tertawa, memandang bayangan manusia di bawah bukit, diam-diam mereka menikmati suasana yang serba aneh ini, sementara beberapa buah bintang bercahaya terang muncul di angkasa. Hanya bintang itulah yang mengetahui rahasia hati kedua bersaudara ini. Angin berembus sepoi-sepoi, tiba2 bayangan manusia di bawah sana terjadi kekalutan, orang2 yang semula duduk serentak pada melompat bangun.
"Apa yang terjadi?"
Seru Leng Ko bok dengan heran. Seruan kaget berkumandang di bawah bukit Leng-kok-siang-bok segera pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba airmuka mereka berubah. Rupanya teriakan kaget yang menggema di bawah bukit itu berbunyi.
"Liong-heng pat-ciang datang!"
"Tham-congpiauthau datang!"
Di tengah gemerdepnya cahaya api, dua sosok bayangan dengan kecepatan tinggi melayang ke atas bukit, mereka adalah Sin-lu-tui-hong Cia Pin dan Pat kwa-ciang Liu Hui.
Kurang lebih lima tombak di depan Leng-kok siang-bok mereka berhenti seraya menjura, lalu berseru dengan lantang.
"Hui-taysianseng, Tham-congpiauthau dari Hui-liong-piaukiok datang menjumpai dirimu?"
Kedua orang itu hanya menyinggung nama "Hui-taysianseng", sama sekali tidak menyebut Leng-kok-siang-bok.
Kedua Leng bersaudara itu saling pandang sekejap, entah bergembira atau sedih.
Dalam waktu setahun yang amat singkat, nama Hui-taysianseng telah mengungguli kebesaran nama Leng-kok siang bok, hal ini sama sekali tak tersangka oleh siapapun jua.
Ya, pada hakikatnya siapa yang dapat menyangka perubahan yang akan terjadi dalam dunia persilatan? Sementara itu, selesai berteriak tadi Pat kwa-ciang Liu Hui dan Sin-lu-tui-hong Cia Pin segera menyingkir ke samping dan berdiri dengan sikap sangat menghormat.
Leng-kok siang-bok tetap duduk tak bergerak di tempat semula, diam-diam mereka melirik ke samping, dilihatnya Hui Giok juga masih duduk bersila tanpa menggubris teriakan itu.
Jelas anak muda itu sedang memusatkan segenap pikiran, dalam keadaan demikian, sekalipun gunung Thaysan ambruk di depan matanya juga tak akan membikin kaget padanya.
Dalam pada itu, kawanan jago yang berada di bawah bukit telah menyingkir ke samping dan memberi sebuah jalan lewat yang cukup lebar.
Di bawah cahaya obor yang menerangi sekeliling tempat itu, Liong-heng pat-ciang Tham Beng yang bermantel benang emas selangkah demi selangkah melewati kerumunan lautan manusia dengan langkah berat.
Walaupun sepanjang jalan ia selalu bersenyum ramah, walaupun dia mengangguk kepala berulang kali memberi salam kepada kawanan jago yang berjajar di sisi jalan, akan tetapi sinar matanya memancarkan sinar wibawa yang tebal, yang membuat siapapun jua tak berani memandang remeh tokoh yang menggetarkan dunia persilatan ini.
Tiga orang laki2 berbaju ringkas warna hitam mengikat di belakangnya, mereka semua bersenjata lengkap.
Seorang di antaranya berperawakan jangkung dengan tulang pelipis menonjol, sinar matanya tajam, pada pinggangnya bergantung sebilah pedang berbentuk aneh.
Kawanan jago yang berada di sekitar tempat itu mengenalnya sebagai Piautau utama dan Hui liong-piaukiok yang merupakan seorang tokoh kuat dalam dunia persilatan.
Dia bernama Tianghong kiam (si pedang bianglala) Pian Sau-yan.
Orang kedua meski berperawakan kecil dan pendek, namun gerak-geriknya amat gesit, dia bermata besar, bercambang lebat dan membawa golok Kiu-hoan-kui-tau-to (golok besar berkepala setan) tanpa sarung, hingga ketika berjalan golok itu saling berdentingan karena gelang baja pada batang goloknya menimbulkan suara nyaring.
Orang itu amat tersohor dalam dunia persilatan dia adalah ahli golok yang disegani di utara maupun selatan sungai besar Dengan Sip-hun toh-mia-to (ilmu golok perenggut nyawa) ia malang melintang tanpa tandingan, orang menyebutnya sebagai Sip-hun-to Lo Gi.
Yang paling menarik perhatian adalah orang ketiga, seorang pemuda kekar yang berwajah hitam seperti pantat kuali, orang ini mengikut di belakang Liong-heng pat ciang.
Pemuda ini bukan saja bertubuh kekar dan gagah, wajahnya juga mengerikan dia bermulut lebar, pipi kempot, mata elang dan hidung betet, ditambah lagi warna kulitnya yang gelap, dia seakan2 memang bermuka kaku dan dingin menyeramkan.
Pada pinggangnya terselip sebuah sarung panjang terbuat dari kulit ikan hiu warna hijau yang berbentuk aneh.
Meskipun banyak jago pengalaman yang hadir, namun tak seorangpun tahu senjata macam apakah yang tersimpan di balik sarung itu, lebih-lebih lagi tak seorangpun yang bisa menebak asal-usulnya.
Para jago mulai ber-bisik2 lagi.
"Siapakah orang ini? Mungkinkah dia seorang Piausu baru Hui-liong-piaukiok?"
Ke empat orang itu sama sekali tidak rnenghentikan langkah mereka, langsung menuju ke atas bukit di mana Hui Giok dan Leng-kok siang bok berada.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memandang sekejap sekeliling tempat itu, ketika melihat Leng kok-siang-bok tetap duduk tak bergerak di tempat semula, alisnya bekernyit, ia berpaling dan memandang pula ke arah Hui Giok yang masih dua bersemedi.
Wajahnya yang kelihatan tenang dan kalem itu membuat tokoh Hui-liong-piaukiok ini melengak.
"Hahaha, Hui hiantit, baikkah engkau?- sapanya sambil terbahak-bahak. Gelak tertawanya itu keras dan nyaring menggema angkasa, menggetar telinga semua jago yang berada di bawah bukit dan empat penjuru sekeliling bukitpun dipenuhi oleh gema suara itu. Bagaimana dengan Hm Giok, ia tetap duduk tenang seperti semula, sedikitpun tak bergerak. Mencoronglah sinar mata pemuda hitam di belakang Liong heng pat ciang ia menyeringai sehingga tertampak baris gigi yang putih sekali berkelebat tahu2 ia menubruk ke arah Hui Giok. Air muka Leng Han tiok berubah kejam, bahunya bergerak, iapun melambung ke atas untuk mengadang kedatangan orang. Siapa tahu gerakan pemuda itu benar-benar cepat luar biasa, sebelum orang tahu apa yang terjadi tahu-tahu ia sudah berkelebat lewat di sisi Leng Han-tiok. Tak terkirakan rasa kaget Leng Han-tiok, secepat kilat ia memutar tubuh dan siap siaga. Setelah pemuda itu menyambar ke depan Hui Giok, telapak tangannya diayun ke depan menghantam batok kepala anak muda itu. Leng kok-siang bok membentak nyaring, ke duanya menerjang ke belakang pemuda tadi.
"Pa-cu jangan sembrono!"
Bentak Liong-heng-pat ciang dengan dahi berkerut.
Pemuda kekar itu sudah hampir melancarkan serangannya, tapi demi mendengar bentakan tersebut cepat ia menarik kembali tangannya.
Dalam pada itu, Leng kok-siang-bok telah menyusul tiba, merasakan adanya ancaman pemuda itu melompat lima depa ke muka, lalu dengan pandangan yang liar bagaikan binatang buas diawasinya kedua orang aneh itu.
Tiba-tiba Liong-heng~pat-ciang memberi tanda, Tiang hong kiam Pian Sau-yan, Si-hun-to Lo Gi, Pat kwa-ciang Liu Hm dan Sin iu-tui-hongCia Pm seketika menyebar ke empat penjuru dalam posisi mengurung.
Tham Beng langsung menghampiri Hui Giok, Leng-kok siang-bok juga berjaga di samping anak muda itu dan siap melancarkan serangan setiap saat.
"Hui-hiantit!"
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menegur setelah berdehem.
"apakah kau..."
Tapi sebelum selesai bicara, tiba-tiba ia lihat air muka Hui Giok berubah jadi merah membara.
Tham Beng terperanjat ia tahu tenaga dalam Hui Giok sekarang telah mencapai puncak kesempurnaan yang luar biasa hebatnya, mencapai tingkatan tertinggi dalam hal tenaga dalam.
Heran dan kaget jago tua itu, ia tak habis mengerti sejak kapankah tenaga dalam anak muda itu mencapai tingkatan setinggi ini, pelahan dia mengangkat tangannya dan siap melepaskan pukulan dahsyat ke batok kepala Hui Giok"
Perlu diketahui bahwa keadaan Hui Giok waktu itu amat kritis, jangankan pukulan yang dahsyat pukulan yang enteng saja cukup menggagalkan latihan anak muda itu, bahkan aliran darah dalam tubuhnya akan terbalik dan akan menyebabkan ke matian baginya.
Leng kok siang-bok dengan tajam mengawasi gerak-gerik telapak tangan orang, asal serangan tersebut dilancarkan serentak mereka pun akan melancarkan serangan sepenuh tenaga.
Peda saat yang kritis itulah, tiba-tiba Hui Giok membuka matanya, setajam sembilu pancaran sinar matanya, hal ini membuat Liong-heng pat-ciang jadi keder dan membatalkan niat jahatnya.
"Bagus bagus."
Serunya kemudian sambil mengelus jenggotnya "Hahaha! Kionghi untuk kesuksesanmu, tak nyana dalam setahun yang singkat ilmu silat Hiantit telah mendapat kemajuan yang demikian pesatnya.
Hui Giok tersenyum dan berbangkit lalu mengerling penuh rasa terima kasih kepada Leng koksiang- bok agaknya ia tahu bahwa kedua orang tersebut telah melindungi jiwanya.
Kemudian sambil memberi hormat kepada Liong-heng pat-ciang ia menyapa.
"Baik2kah paman Tham selama ini?"
Tiba-tiba Leng Ban-tiok tertawa dingin, sindirnya.
"Hehehe, mungkin tak ada orang yang mengira seorang pemuda yang dikatakan goblok ternyata sanggup mempelajari ilmu silat maha sakti dalam waktu singkat... Hehehe...
" - Sambil tertawa dingin tiada hentinya, dia tak sudi melirik lagi ke arah Tham Beng. Setebal-tebalnya muka Liong-heng-pat-ciang, merah juga mukanya demi mendengar sindiran tersebut. Hui Giok merasa tak tenteram melihat kejengahan orang, dasarnya memang berhati mulia sekalipun hatinya curiga setiap kali terkenang kembali pengalamannya ketika belajar silat di Huiliong piaukiok serta caci-maki Tham Beng yang menuduhnya "goblok"
Dan "tidak berbakat"
Namun selama ini ia selalu menganggap kejadian itu wajar, mungkin paman Tham memang tak ingin menyaksikan dia belajar silat dan mengikuti jejak mendiang ayahnya sehingga mungkin hidupnya akan berakhir dengan malang.
Oleh sebab itulah sejauh ini sama sekali tidak timbul rasa benci atau dendamnya terhadap Tham Beng, pelahan sinar matanya menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, namun suasana tetap hening, jelas kehadiran tokoh silat yang bernama besar itu telah menggetarkan perasaan mereka.
Diam-diam Hui Giok menghela napas, ia pikir "Ai, bagaimanapun juga paman Tham adalah seorang tokoh persilatan yang luar biasa setiap gerak-geriknya maupun kata-katanya penuh berwibawa hingga membuat orang tunduk serta tak berani membantahnya."
Padahal mimpipun ia tak menyangka bahwa rasa hormat kawanan jago itu terhadapnya tidaklah kurang daripada rasa hormat mereka kepada liong heng-pat-ciang Tham Beng.
"Paman Tham,"
Katanya kemudian dengan hormat setelah termenung sebentar, ada urusan penting apakah jauh-jauh engkau datang kemari?"
Liong-heng-pat-ciang tersenyum.
"Belakangan ini kudengar berita yang tersiar dalam dunia peralatan yang mengatakan bahwa kau telah berhasil belajar ilmu sakti, aku jadi kuatir bercampur gembira, maka aku lantas datang kemari untuk menengok dirimu."
Hui Giok sangat terharu mendengar kata-kata tersebut, jawabnya dengan tergegap.
"Siautit merasa berutang budi kepada paman Tham atas kesudianmu memelihara keponakan sampai dewasa, entah kapan budi kebaikan ini baru dapat kubalas"
Beberapa patah kata itu betul2 diucapkan dari hati sanubarinya, sama sekali tidak ada rasa pura-pura.
suaranya menjadi tersendat hampir saja air matanya meleleh keluar, sambil mengelus jenggotnya Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menunjukkan sikap se-akan2 sangat terharu mendengar kata-kata itu, sekulum senyuman ramah segera tersungging di ujung bibirnya.
"Ayahmu sudah lama meninggal dunia, sebagai sobat karibnya adalah wajar kalau aku berusaha sedapat mungkin merawat keturunannya, Ai sayang aku terlampau sibuk oleh pekerjaanku sehingga terhadap kalian menjadi kurang perhatian."
Setelah menghela napas panjang, tiba-tiba wajahnya kelihatan sangat menyesal Hui Giok semakin terharu, matanya ber-kaca2 tenggorokan seperti tersumbat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Senyuman yang semula menghiasi bibir Tham Beng mendadak lenyap tak berbekas.
sebagai gantinya terlintaslah hawa nafsu membunuh yang dingin dan seram.
"Paman Tham, apakah kedatanganmu kemari masih ada urusan lain?"
Seru Hui Giok.
"Ya, benar!"
Sahut Liong heng pat ciang setelah memandang sekejap bayangan punggung Leng kok-siang-bok. Mendadak ia memberi tanda.
"cring"
Pedang Bianglala Pian Sau yan dan si Golok perenggut nyawa Lo Gi yang berdiri di samping segera melolos senjata masing-masing. Para jago terkejut, demikian pula dengan Hui Giok, cepat serunya dengan tergegap "Paman Tham apakah..."
"Kedatanganku ke sini selain untuk menjenguk dirimu, akupun hendak menuntut keadilan dan kebenaran bagi umat persilatan akan kubalaskan dendam bagi kawan-kawan persilatan yang telah mati terbunuh,"
Tukas Tharn Beng dengan suara berat. Air muka Hui Giok berobah hebat.
"Tapi selama menjadi manusia, siautit tak pernah mencelakai jiwa orang secara..."
"Bukan kau yang kumaksudkan?"
Kembali Liong-heng-pat-ciang menukas. Tiba2 ia putar badan menghadap ke arah para jago, sesudah menjura lalu berkata dengan lantang "Kukira hadirin sekalian tentu kenal dengan Mo-Seng, orang nomor tiga dari Pak-to jitsat?"
Legenda Kelelawar -- Khu Lung Tiga Maha Besar -- Khu Lung Kait Perpisahan -- Gu Long