Warok Ponorogo 4 Pertikaian Kawula Gusti Bagian 2
Kata laki-laki berkumis tebal yang duduk di sebelah pinggir kiri ruangan Balai Kelurahan itu kelihatan cukup berwibawa penampiannya
"Yah.
Kita dengar dulu pendapat Kangmas Wulunggeni," komentar yang lain dari seorang laki-laki yang berperawakan kecil kurus mengenakan peci berwarna merah meron yang duduk di tengah ruangan itu sambil menyedot rokok kelinting kelobotnya itu.
"Baiklah kalau demikian, kami persilakan Kangmas Wulunggeni untuk memberikan pendapatnya,"
Kata Pak Lurah kemudian untuk memenuhi permintaan warga itu.
"Terima Kasih, Pak Lurah,"
Kata Warok Wulunggeni.
"Menurut hemat saya. Kalau kita dipaksa untuk menyerahkan tanah yang telah menjadi hak milik kita ini secara sewenang-wenang. Jelas, aku lebih baik mati daripada harus diinjak-injak hak-hak kita seperti itu."
"Setujuuuuu,"
Tiba-tiba terdengar teriakan hampir berbarengan dari orang-orang yang hadir dalam musyawarah itu
"Namun, sebentar. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati,"
Lanjut Warok Wulunggeni kemudian.
"Kita sebaiknya berusaha mencoba berpikir jernih, berpikir gambyang dan bersikap dewasa. Berpikir sebagai orang yang arif bijaksana .Apakah sesungguhnya yang menjadi maksud dan tujuan, serta yang melatar belakangi kejadian ini semua. Apakah yang akan diinginkan oleh penguasa kadipaten dengan cara mengambil alih tanah di daerah Sirah Keteng, tanah persawahan milik kita ini, semuanya harus jelas dulu. Menurut keterangan yang kita peroleh, karena tanah di daerah kita ini sangat subur. Panen berlimpah ruah. Kalau pertimbangannya lantaran kesuburan tanah ini, kemudian harus merampas tanah kita untuk penguasa Kadipaten, itu jelas tidak benar. Kita harus bela tanah kita ini mati-matian. Akan tetapi nampaknya di balik soal kesuburan tanah kita di sini ini, ada hal-hal lain yang disertakan. Menurut berita yang saya dengar kini di seluruh pelosok daerah kadipaten Ponorogo ini, sedang terkena musibah berat. Keadaan penduduk sedang dilanda kelaparan yang menghebat pada musim peceklik yang mengerikan pada tahun ini. Ada berita yang mengatakan bahwa banyak penduduk yang terjangkit penyakit kurang makan, dan kemudian mati kelaparan. Bahkan menurut beritanya, hampir sampai seluruh pulau Jawa ini menderita kekeringan yang menghebat sebagai akibat dari musim paceklik kali ini. Orang-orang susah mendapatkan pangan. Dan telab banyak yang mati karena kelaparan ini. Nah, masalah rakyat lapar dan kematian ini kemudian menjadi penting. Agaknya saya termasuk orang yang rela menyerahkan apa saja kalau hal itu menyangkut kepentingan kemanusiaan. Demi untuk kepentingan menolong sesama. Jadi kalau hasil panenan yang kita peroleh beberapa bulan belakangan ini, kita gunakan untuk menolong orang yang kekurangan, terkena mala petaka itu, apakah tindakan itu tidak baik. Tindakan itu tentu sangat teruji. Kalau yang demikian ini.. Itu saya rasa, saya sangat setuju. Oleh karena itu apabila rencana penguasaan daerah pertanian Sirah Keteng ini dimaksudkan demi untuk tujuan menolong rakyat di daerah kadipaten yang sedang sengsara. Saya rasa kita justeru berkewajiban untuk memberikan pengorbanan sebesarnya kepada..."
Kata Warok Walunggeni belum selesai.
Tetapi tiba-tiba terdengar ada suara seorang laki-laki berperawakan tinggi besar yang berkulit hitam pekat itu menyela pendapat Warok Wulunggeni itu.
Ia berdiri nampak geram sambil mengacungkan tangan kanannya yang kokoh itu.
"Minta bicara.
Kangmas Wulunggeni. Maafkan saya menyela pembicaraan, Kangmas. Menurut pendapat saya. Kalau kita menyumbangkan hasil panenan kita untuk menolong sesama penduduk yang sedang kekurangan pangan, bahkan ada yang sudah mati karena tidak bisa makan, maka aku rasa kita bisa menyetujui. Akan tetapi yang akan terjadi itu tidaklah demikian. Penguasa kadipaten akan mengambilalih kepemilikan dan pengelolaan tanah kita. Sekali lagi saya tegaskan mereka akan mengambil alih tanah kita, bukan kita disuruh memberikan sumbangan bahan pangan. Sama sekali bukan itu. Itulah saya rasa yang tidak bisa kita terima. Kita tidak bisa menerima keputusan Penguasa Kadipaten yang akan mengambil alih penguasaan daerah pertanian kita ini untuk beralih kepemilikannya menjadi di bawah penguasaan penguasa kadipaten. Aku terus terang tidak setuju menerapkan cara demikian itu. Ini namanya sama saja dengan praktek perampasan. Mengapa daerah kita ini saja yang diambil, sedangkan daerah lain tidak. Apakah tidak sebaiknya kita tetap sebagai pemilik, kita pertahankan sebagai yang mengelola daerah pertanian kita ini, dan apabila daerah lain, ada yang memerlukan bantuan dari daerah kita, maka kita dapat memberikan bantuannya. Cara ini yang saya kira yang terbaik. Tidak memindahkan kita seenak perutnya sendiri, lalu penguasa kadipaten yang akan menggarapnya. Akan memiliki tanah kita, Kita yang sudah bertahuntahun, turun-temurun mengolah tanah-tanah ini yang dulunya masih hutan lebat ketika dibabat para leluhur kita dahulu. Oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak setuju dengan cara demikian ini."
"Benar. Kita dukung pendapat Pak Karmo Mendem itu,"
Teriak seseorang yang disambut meriah oleh yang lainnya ikut mendukung pendapat Pak Karmo Mendem itu.
"Maaf. Bapak-bapak dan ibu-ibu. Tenang dulu,"
Terdengar kembali suara Warok Wulunggeni.
"Saya belum menyelesaikan kalimat-kalimat saya tadi."
"Yah. Yah, Mohon bapak-bapak dan ibu-ibu, harap diam sebentar Harap bersabar. Kita tenang dulu. Silakan Kangmas Wulunggeni meneruskan bicaranya."
Teriak Pak Lurah Tunggul Anom yang berusaha menenangkan suasana yang nampak mulai begitu gaduh itu
"Aku pun sependapat dengan pendapat Pak Karmo Mendem ini,"
Kata Warok Wulunggeni melanjutkan bicaranya setelah diselingi oleh orang tadi yang sebenarnya bermama Pak Karmo Winangun tetapi karena sering mabuk, maka oleh orang-orang kampung ia disebutnya sebagai Pak Karmo Mendem itu.
"Hanya masalahnya,"
Lanjut Warok Wulunggeni.
"apakah kita semua ini mempunyai pengalaman untuk menyalurkan hasil panenan kita untuk ditujukan kepada daerah-daerah mana saja yang memerlukan bantuan kita. Siapa di antara kita yang mampu menangani pekerjaan ini."
"Aku mampu, Kangmas Wulung,"
Kata seorang pemuda tegap yang duduk di belakang dengan nada penuh semangat. Kemudian disambut oleh para pemuda yang lain.
"Aku juga mampu."
"Aku juga bersedia."
Pertemuan musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu kemudian menjadi ramai lagi. Terjadi kegaduhan. Nampaknya mulai tidak akan menemui kesepakatan. Banyak yang menginginkan untul tetap mempertahankan tanah milik mereka itu. Namun, rupanya Pak Lurah Tunggal Anom justeru cenderung untuk menerimanya. Rupanya ada keterangan lain yang masih terlupakan dan belum dicerna betul oleh pendaduk warga
"Bapak-bapak dan ibu-ibu,"
Keta pak Lurah Tunggul Anom, kemudian.
"Masih ada tambahan keterangan yang tadi terlupakan untuk saya sampaikan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu. Bahwa mengenai rencana pemindahan tanah pertanian kita dari Dukuh Sirah Keteng ini. Penguasa Kadipacen telah menyediakan ganti rugi berupa tanah yang siap garap di daerah lain. Terserah kepada kita, tanab mana yang akan kita inginkan. Besarnya adalah tiga kali dari luas tanah yang kita miliki masing-masing di daerah kita di sini ini sekarang. Jadi kalau seandainya kita setuju. Kita masing-masing tinggal menunjuk daerah mana yang akan kita tuju untuk tempat kepindahan kita. Dimana saja di daerah pelosok kadipaten ini. Di tengah kota kadipaten pun bisa asal tanah yang kita inginkan itu masih ada di tengah kota dan belum dikuasai oleh warga yang memiliki. Tanah-tanah di tengah kota masih banyak yang menjadi penguasaan penguasa kadipaten. Jadi, terserah saja kita masing masing mau kemana kita akan pindah. Semua itu katanya atas biaya dari penguasa kadipaten yang mendapatkan bantuan keuangan dari Kerajaan Majapahit di Trowulan. Tanah tanah yang kita injak sebagai pengganti tanah kita itu, akan dirapikan oleh penguasa Kadipaten, dan kita semua tinggal menggarapnya saja. Atau kita yang merapikan dan kerja kita itu akan diganjar upah sesuai kebiasasn yang berlaku di adat kita."
Mendengar tambahan keterangan dari Pak Lurah Tunggul Anom ini, musyawarah penduduk warga Dukub Sirah Keteng ini kemudian berubah suasana menjadi terang. Masing-masing penduduk yang hadir kemudian membuat perhitungan sendiri sendiri. Di antara mereka banyak yaag mulai mereka-reka, berpikir-pikir, daerah daerah mana saja yang sekiranya akan menarik untuk dijadikan kediaman dan sekaligus tempat usaha barunya. Tetapi di antara mereka kemudian menjadi terdiam, tidak ada yang berani berkomentar, terutama bagi mereka yang tadi bersikap keras kini justeru tidak berani memberikan suaranya. Tiba-tiba terdengar suara Warok Wulunggeni memecahkan suasana keheningan itu.
"Maaf, bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya hanya ingin menyambung pembicaraan saya tadi setelah mendapatkan keterangan tambahan dari Pak Lurah kita. Jadi menurut hemat saya, penawaran rencana ini merupakan langkah kebijaksanaan yang agak lumayan dari penguasa Kadipaten. Kalau tujuannya pengambil alihan tanah milik pertanian kita ini untuk menyelamatkan kehidupan rakyat Ponorogo secara bersama, tujuan ini tentu baik. Kedua, selain pengambilalihan tanah. kita ini mendapatkan pengsanan yang memadai dengan menaikkan jumlah luas pemilikan tanah sampai tiga kali lipat itu. Menurut saya, hal ini sudah cukup baik. Saya pribadi dapat menyetujui. Tetapi kalau nanti dalam praktek ternyata penguasa Kadipaten ingkar janji. Maka barulah pada kesempatan itu, kita semua wajib angkat senjata dan memberontak. Demikian kira-kira pendapat saya, Pak Lurah."
"Bagus itu,"
Komentar salah seorang ibu-ibu setengah umur yang duduk paling depan.
"Ya, saya juga setuju. Sebaiknya Pak Lurah harus hati-hati dalam membuat perjanjian soal ganti rugi ini. Jangan sampai kita diperdaya. Tanah sudah diambil, penggantinya tidak kunjung datang,"
Komentar yang lainnya
"Akur. Kita sepakat dengan cara demikian,"
Teriak beberapa orang lainnya di barisan samping kanan.
Maka, sejak hari itu, Pak Lurah Tunggul Anom telah dapat menyampaikan laporan tertulis yang disiapkan bersama Warok Wulunggeni.
Laporan tertulis mengenai hasil musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu akan disampaikan kepada Penguasa Kadipaten pada keesokan harinya di kadipaten Ponorogo.
Para Penggede Kadipaten Ponorogo merasa bersukacita ketika menerima keputusan musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu.
Mereka ternyata orang-orang yang berjiwa besar.
Bersedia dengan ikhlas menyerahkan tanah-tanah subur mereka demi kepentingan yang lebih luas.
Untuk menolong saudara mereka, rakyat Ponorogo yang kelaparan.
Disebabkan lantaran tanah-tanah pertanian penduduk banyak yang berubah tandus kekeringan.
Semakin gersang sejak dilanda musim paceklik yang berkepanjangan akhir-akhir ini.
Sikap arif penduduk warga Sirah Keteng itu dianggap telah berhasil membantu menyelesaikan suatu masalah besar, untuk menanggulangi sebagian keperluan penyediaan bahan pangan bagi rakyat Kadipaten Ponorogo.
*****
WAROK JABUNG.
SEJAK daerah Sirah Keteng dikuasai oleh Penguasa Kadipaten untuk dijadikan sebagai daerah penyangga penyediaan bahan pangan rakyat Kadipaten, Warok Wulunggeni sekeluarga kemudian menyingkir ke daerah Dukuh Jabung yang masih termasuk daerah Ponorogo selatan.
Oleh karena itu lama-kelamaan, Warok Wulunggeni dijuluki sebagai Warok Jabung.
Memang naas nasibnya bagi warok yang kalah adu tanding di gladi gelanggang yang disaksikan oleh banyak warga Kadipaten waktu itu, ia kemudian nampak hidup terlunta-lunta tidak dihargai lagi oleh masyarakat dan penguasa Kadipaten.
Seperti halnya nasib Warok Wulunggeni ini, ia tidak bisa dipakai di pemerintahan, sebab dianggap sebagai warok yang kurang bisa diandalkan lagi.
Sebaliknya nasib Warok Surodilogo, sejak kemenangannya adu tanding melawan Warok Wulunggeni beberapa tahun yang lalu itu, kini kehidupan ekonominya makin sejahtera menanjak maju.
Selain ia sekarang dapat menguasai usaha jasa pengawalan keamanan bagi para pedagang-pedagang yang akan melewati daerah Dukuh Dawuan, ia oleh penguasa kadipaten kemudian diangkat menjadi penguasa pengamanan daerah di Dawuan itu, Hal inilah yang akhirnya membuat hidupnya enak, banyak uang, banyak harta, dan memiliki kekuasaan di daerah bersangkutan.
Warok Wulunggeni ketika mendengar berita mengenai kemakmuran Warok Surodilogo sekarang di Dukuh Dawuan, hatinya memang jadi kecut dibandingkan nasibnya yang menelangsa harus pindah-pindah tempat tinggal baru, dan selalu merintis usaha baru.
Tetapi ia nampaknya tidak kehilangan semangat.
Sebagai warok sejati, kalau kalah tarung yah harus mengakui keunggulan lawannya.
Walaupun ia kini telah menguasai banyak ilmu kanuragan baru, dan juga memiliki ilmu macan loreng dari hasil bergurunya di Blitar selatan tempo hari, akan tetapi ia tidak hendak gegabah menggunakan ilmu-ilmunya itu secara sembarangan, termasuk menghindari pertemuan dengan musuh bebuyutnya si Warok Surodilogo yang dianggap telah merampas usahanya dahulu di daerah Dukuh Dawuan itu.
Menurut pesan gununya di Blitar selatan dahulu
"Ilmu macan loreng yang telah kamu miliki itu tidak bisa kamu gunakan untuk menantang berkelahi orang.
Ilmu itu hanya bisa kamu gunakan untuk membela diri kalau kamu diserang.
Apabila kamu langgar ketentuan garis keilmuan ini, ketika engkau telah berubah menjadi macan jadian, otakmu akan ikut berubah menjadi macan.
Tidak bisa lagi digunakan untuk berpikir, hanya naluri hewani yang tinggal dalam tubuhmu.
Oleh karena itu kamu tidak akan bisa berpikir lagi seperti manusia, kamu tidak akan bisa mengingat lagi untuk melafalkan mantra agar kamu dapat berubah kembali menjadi manusia."
"Oleh karena mengingat bahayanya ilmu ini, kamu jangan sekali-kali bertarung langsung secara bernafsu, gunakan hanya untuk pertahanan kala diserang, maka kamu akan selamat kembali berubah menjadi manusia seperti sedia kala,"
Begitu tutur gurunya yang dinasehatkan berkali-kali kepada Warok Wulunggeni.
Oleh karena itu Warok Wulunggeni tidak berani mengambil risiko untuk beradu ilmu mendatangi musuhnya kecuali ada orang yang datang kepadanya mau bikin gara-gara, baru ia berani menghadapinya, dan kemudian dapat menggunakan ilmu-ilmu kanuragannya yang sangat berbahaya bagi orang lainnya yang mau membikin ulah kepadanya itu.
Kesabaran yang memang harus diterapkan oleh Warok Wulunggeni yang kini terus-menerus memperdalam ilmu ketabiban, ilmu penyembuhan luka akibat bacokan yang mengandung warang beracun, mengobati orang terkena tenung, teluh, guna-guna, terkena tenaga dalam, dan lainlain berbagai penyakit yang diakibatkan oleh perkelahian kini mulai dikuasainya.
Setelah menempati rumah barunya yang dibangun dengan menebang kayu dari hutan, juga mendapat bantuan tenaga gotong royong dari sesama penduduk Dukuh Jabung, akhirnya rumah joglo besar itu mulai kelihatan wujudnya dan layak untuk ditempati Warok Wulunggeni sekeluarga.
Sekitar sebulan kemudian, anak perempuannya Sri Wigati bersama suaminya Drajad Panuju yang menjabat sebagai senopati di pemerintahan Kadipaten Ponorogo, baru menjenguk rumah orang tuanya yang baru itu di Dukuh Jabung.
"Bagaimana kabarmu, Nduk,"
Tanya Warok Wulunggeni ketika menerima sungkem dari putri satu-satunya yang sangat disayangi itu yang diiringi oleh suaminya yang ganteng nampak gagah perkasa itu.
"Baik-baik saja, Pak,"
Jawab Sri Wigati nampak sangat hormat kepada kedua orang tuanya itu. Warok Wulunggeni sebenarnya tidak begitu senang mendapatkan menantu yang bekerja sebagai senopati di Kadipaten .Tetapi karena nampaknya anak perempuannya itu bisa hidup rukun bahagia ya sebagai orang tua harus mau juga merelakan kepentingan dirinya.
Tut Wuri handayani saja.
Selama beberapa hari menantunya itu tinggal di rumahnya.
Warok Wulunggeni jarang mengajak ngobrol panjang lebar.
Ia hanya ngomong seperlunya saja. Mbok Rukmini, isterinya yang malahan banyak ngobrol macam-macam dengan riang gembira. Ceriteranya ada saja sampai pada hal-hal yang lucu-lucu sehingga membuat ketawa terpingkal-pingkal anak dan menantunya itu. Diam-diam Warok Wulunggeni membuatkan ramuan jamu untuk diberikan kepada anak putrinya itu yang khasiatnya untuk mencegah kehamilan.
Ia tidak menghendaki anak turunnya yang berasal dari darah orang penggede Kadipaten.
Namun mengenai khasiat jamu itu tidak diberitahukan kepada putrinya.
Pesannya agar terus diminum untuk menjaga kesehatan, supaya tetap awet muda, dan cantik.
"Nduk, ini bapak membuatkan jamu ramuan khusus untuk kamu. Tiap tiga hari sekali kamu minum. Khasiatnya selain untuk kesehatan, juga supaya kamu tetap awet muda dan cantik agar suamimu itu tetap menyayangimu."
"Matur nuwun. Terima kasih, Bapak. Saya akan mematuhi nasehat Bapak."
"Yah, jangan lupa untak terus meminumnya. Dan kalau sudah habis, kamu datang kemari lagi,, atau simbokmu yang akan antar ke rumahmu di kota"
"Matur nuwun. Terima kasih, Bapak."
Warok Ponorogo 4 Pertikaian Kawula Gusti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belajar ilmu kanuraganmu kan masih terus to, Nduk."
"Yah, Pak."
"Nah, sana terus minta tambahan ilmu dari Kakangmasmu itu, yah begitu kan Angger Drajad."
"Nuwun, Pak. Inggih,"
Jawab Drajad menantunya itu yang duduk bersebelahan dengan isterinya Sri Wigati yang malam itu nampak cantik jelita dengan memakai kebaya warna ungu, hanya tersenyum senyum ramah dihadapan kedua mertuanya
"Ilmu kehidupan ini kalau digali tidak habis-habisnya.
Kita semua berkewajiban terus-menerus tiap hari mengembangkan ilmu.
Mencari ilmu baru agar membuat langgeng jalannya hidup.
Tidak ada ruginya kita menguasai banyak ilmu.
Ilmu apa saja kita wajib mempelajarinya,"
Nasehat Warok Wulunggeni di suatu sore dihadapan putri dan menantunya itu.
Menantunya hanya bisa terus menerus memanggut-manggutkan kepalanya untuk memberi rasa hormat kepada mertuanya yang disegani itu.
Seminggu setelah putri dan menantunya itu kembali ke kota Kadipaten, Warok Wulunggeni mempunyai gagasan untuk membuka usaha meracik jamu godogan yang diambilkan dari ramuan bahan-bahan dedaunan di daerah Dukuh Jabung tersebut.
Selain itu, ia juga berusaha meneliti khasiat pengobatan dari unsur-unsur tiap binatang-binatang yang mungkin dapat dikembangkan sebagai bahan bahan yang berguna untuk penyembuhan orang sakit.
Usaha jamu godogan itu nampaknya makin digemari orang.
Lama-lama banyak orang yang lalu kemudian datang untuk berobat dan membelinya untuk digodog di rumah.
Untuk mengembangkan usahanya itu, Warok Wulunggeni akhirnya membuka warung jamu di jalan besar yang mudah terjangkau oleh calon pembelinya.
Demikian juga usaha penyembuhan orang-orang sakit itu ternyata banyak orang yang merasa cocok berobat kepada Warok Wulunggeni, baik yang terkena luka, terkena guna-guna, penyakit-penyakit menahun lainnya dengan menggunakan tenaga bathin dan ramuan dedaunan sering ia dapat diatasi oleh Warok Wulunggeni.
Untuk memberikan pelayanan kepada para pengantar orang sakit, sambil menunggu orang sakit yang sedang ditangani Warok Wulunggeni di dalam rumah bilik sebagai tempat praktek pengobatannya, Mbok Rukmini membuka warung minuman dawet dan makanan kecil berupa ketela, rempeyek singkong rebus, agar para pengantar yang kehausan dan kelaparan dapat dengan mudah membeli di warungnya itu sambil menunggu orang yang sedang diobati di dalam.
Dukuh Jabung lama-lama menjadi ramai dikunjungi orang.
Banyak orang yang sakit diantar ke tempat pengobatan Warok Wulunggeni yang tidak pernah memungut bayaran secara khusus.
Kalau ada yang memberi yah diterima, tetapi kalau tidak memberi juga tidak apa apa, dianggapnya sebagai sekadar menolong sesama.
Mereka yang tidak punya uang.
membayar dengan membawakan makanan, bahan pangan, ternak, kayu, atau apa saja, dan banyak juga yang secara cuma cuma lantaran tidak kuat bayar dengan apa pun.
Semua orang yang sakit, baik yang bayar maupun gratisan, mendapatkan perlakuan yang sama dari Warok Wulunggeni.
Begitu makin banyaknya orang yang berkunjung untuk berobat yang rata-rata membawa pengantar, mereka berasal dari latar belakang macam-macam, mempunyai pekerjaan macam macam, pada umumnya adalah para pedagang, maka lamalama antar para pengantar itu terjadi transaksi tukar menukar barang atau jual beli barang di tempat menunggu itu.
Dalam waktu singkat halaman luas rumah Warok Wulunggeni pun menjadi berkembang seperti layaknya sebuah pasar. Begitu ramainya "pasar kaget"
Itu tiap harinya.
Bahkan sampai malam hari pun masih kelihatan ramai.
Mereka, para pengantar itu, harus menunggu orang yang sakit.
lagi diobati, atau masih daiam perawatan, maka siang-malam pun mereka yang saling jual-beli itu seperti menyerupai suasana pasar. Kalau siang seperti pasar siang, dan kalau malam seperti pasar malam.
Kemudian muncul gagasan-gagasan dari para penduduk setempat sehingga melahirkan banyak usaha-usaha baru, ada jasa penginapan yang ditawarkan oleh para penduduk setempat kepada para pengantar yang kemalaman ingin bermalam di situ. rumah-rumah mereka disulap menjadi tempat penginapan yang mendatangkan keuntungan bagi para penduduk di Dukuh Jabung itu.
Demikian juga makin semarak berkembang usaha warung-warung makanan, sampai usaha hiburan tanggapan gamelan yang mau memesan tembang lagu membayar kepada kelompok penabuh gamelan keliling itu.
Suasana ramai siang malam itu, akhirnya memancing perhatian pihak penguasa Kadipaten untuk menertibkan.
Para pedagang diminta membayar upeti dari hasil keuntungannya, para penyewaan rumah yang mendapatkan penghasilan dari usaha membuka penginapan itu juga tidak terlepas dari tarikan pembayaran upeti, demikian juga usaha pengobatan dan penjualan jamu godog yang dikelola langsung oleh Warok Wulunggeni itu juga harus bayar upeti.
Terakhir sekali malahan Warok Wulunggeni mendapat peringatan keras dari penguasa kadipaten bahwa kegiatan pengobatan tradisionalnya itu dianggap sebagai usaha bisnis dan kemudian dinyatakan sebagai usaha liar yang perlu ditertibkan lantaran tidak dibekali oleh kelengkapan surat ijin usaha dari penguasa Kadipaten.
Beberapa kali Warok Wulunggeni dipanggil ke Kadipaten untuk mempertanggungjawabkan kegiatan membuka usaha praktek pengobatan itu, akan tetapi ia sekali pun tidak pernah mau datang memenuhi panggilan penguasa kadipaten itu.
"Pengobatan ini bukan usaha bisnis. Kegiatan pengobatan ini bertujuan untuk menolong orang yang sedang kesusahan. Memberikan bantuan kepada sesama warga yang membutuhkan pengobatan karena menderita sakit. Aku hanya menolong, tidak untuk mencari keuntungan. Kalau kebetulan dari mereka itu ada yang berhasil aku sembuhkan dan berterima kasih kepadaku dengan memberikan macammacam itu, apa tega aku tolak pemberiannya itu, wong itu semua dilakukan hanya sekedar sebagai sarana untuk menyambung persaudaraan antar sesama,"
Kata Warok Wulunggeni suatu hari kepada para petugas perijinan penguasa kadipaten yang datang ke rumah praktek Warok Wulunggeni di Dukuh Jabung itu.
"Kami hanya menjalankan perintah atasan, Pak. Jadi kalau Bapak masih ingin terus berpraktek pengobatan di sini, Bapak harus mengurus ijin tertulis yang dikeluarkan oleh penguasa Kadipaten. Bapak harus datang sendiri ke sana menerangkan usaha prakteknya ini, baru kemungkinan akan diberikan ijin praktek. Kalau sekarang Bapak tidak mempunyai ijin, kami diberi kewenangan untuk menutup usaha Bapak ini,"
Kata petugas masalah perijinan dari penguasa Kadipaten itu mengancam Warok Wulunggeni akan menutup tempat pengobatan ini.
"Kalau kalian mau tutup, silahkan. Apanya yang mau ditutup. Wong saya tidak ada usaha apa-apa, hanya tinggal begini, dan kalau ada orang sakit datang dari jauh-jauh kemari mau minta tolong apa tega aku biarkan begitu saja dengan alasan aku tidak ada ijin untuk menangani orang sakit. Kalau mau ditutup, boleh saja, aku tidak bertanggungjawab kepada mereka yang jauh-jauh datang kemani untuk mencari kesembuhan penyakitnya, apa tidak kasihan mereka kita biarkan tetap sakit."
"Memang kasihan, Pak. Tetapi ini menyangkut uger-uger. undang-undang dari penguasa kadipaten yang harus dipatuhi. Usaha pengobatan bapak ini dianggap sebagai usaha yang mendatangkan keuntungan bagi Bapak."
"Sebenarnya anggapan itu salah, Kalau usaha yang memang mendatangkan untung bagi keluarga saya, memang ada, tetapi yang menyangkut usaha jualan dawet Mbok Rukmini, isteri saya itu. Memang itu selain untuk menolong orang yang butuh makan-minum juga untuk membantu asap dapur keluarga saya,"
Kata Warok Wulunggeni menghadapi para petugas dari penguasa Kadipaten itu dengan berusaha bijaksana.
"Jadi, Bapak, tetap tidak mau mengurus ijin praktek pengobatan ini ke Kadipaten".
"Yah. Saya tidak mau. Saya tidak mau dikatakan bahwa orang mau menolong mengobati orang sakit yang lagi kesusahan ini dianggap sebagai usaha bisnis. Itu saja pendirian saya. Kalau memang harus perlu ijin, yaitu ijin jualan dawet itu saja. Besuk isteri saya biar mengurus ijin usahanya ke Kadipaten. Khusus mengurus ijin membuka usaha dawet. Tetapi apa pantas, jualan dawet kecil kecilan begini saja perlu mendapat ijin terlebih dulu dari penguasa kadipaten. Coba tolong pikirkan."
Sejak mulai hari itu oleh para petugas dari Kadipaten, Warok Wulunggeni dilarang untuk membuka praktek pengobatan. Dan Warok Wulunggeni pun mematuhinya untuk menutup tempat praktek pengobatannya itu.
"Pakne. Apa kita tidak sebaiknya minta tolong kepada Angger Drajad, menantu kita. Ia kan pangkatnya sudah senopati. Apakah ia tidak bisa membantu mengusahakan ijin praktek pengobatanmu itu di Kadipaten di kantornya dia juga."
Kata Mbok Rukmini suatu malam.
"Coba saja kamu temui menantumu yang senopati itu. Apakah ia akan bisa menggunakan wibawanya sebagai senopati untuk menolong mertuanya yang lagi sekarat ini."
"Yah, besuk pagi-pagi aku mau berangkat ke kota biar diantar Si Tarjo, kusir dokar kita itu."
"Yah. Coba saja usahakan. Aku sudah tidak mau lihat Kadipaten. Kamu saja yang tidak punya persoalan dengan orang orang Kadipaten."
Pagi-pagi sekali Mbok Rukmini sudah sampai di rumah menantunya Senopati Drajad Panuju yang masih berada di dalam lingkungan keraton kadipaten di tengah kota Ponorogo.
"Bagaimana Nak Drajad, apa bisa mengusahakan ijin praktek pengobatan Bapak ini, di kantormu,"
Tanya Mbok Rukmini kepada menantunya Senopati Drajad Panuju itu.
"Drajad ini hanya seorang senopati, Buk. Tugas Drajad berperang, menjaga keamanan. Soal ijin pengobatan itu sudab ada yang mengurusnya yaitu penggede kesehatan masyarakat. Jadi apa bisa Drajad ikut-ikutan memberikan pendapatnya. Drajad belum yakin. Akan tetapi Drajad akan usahakan sebisanya untuk menemui pejabat pejabat yang berwenang."
"Tetapi kan sama-sama orang dari pemerintahan Kadipaten. Barangkali suara Angger Drajad lebih bisa didengar daripada Bapakmu sendiri yang harus datang kemari."
"Yah. Akan Drajad usahakan, Buk."
Malamnya Mbok Rukmini bermalam di rumah menantunya itu karena sampai larut malam Senopati Drajad Panuju menantunya itu belum pulang.
"Bagaimana ya Nduk, usaha suamimu apakah bisa berhasil atau tidak yah."
Tanyanya kepada anak perempuannya Sri Wigati itu
"Ya, berdoa saja, Buk,"
Jawab anak perempuannya itu sambil membawakan secangkir wedang kopi dan secobek gorengan jadah ketan hitam.
"Buk, wedangnya di minum."
"Ya."
"Ibu, kok kelihatan gelisah terus sejak tadi. Ada apa Buk," tanya Sri Wigati putrinya itu.
"Biasanya suamimu tiap hari pulangnya apa malam begini"
"Yaaaa, tidak tentu. Tetapi yang biasa tiap sore ia sudah ada di rumah. Mungkin kali ini ia sedang mengusahakan ijin Bapak itu, Buk."
Tengah malam pintu depan rumah ada yang mengetok, ternyata Senopati Drajad Panuju yang datang baru pulang kerja
"Bagaimana Nak Drajad. Apakah berhasil,"
Langsung Mbok Rukmini minta beritanya mengenai usaha mengurus ijin praktek pengobatan suaminya itu.
"Drajad sudah usahakan sebisanya untuk menemui pejabat-pejabat yang berwenang soal perijinan usaha pengobatan itu .Hasilnya, menurut keterangan mereka, hal ini menjadi wewenang langsung Patih Brojosento."
Dengan rasa sedih akhirnya paginya, Mbok Rukmini pulang ke kampungnya di Jabung.
"Bagaimana Mbokne hasilnya kepergianmu ke kota Kadipaten,"
Tanya Warok Wulunggeni setelah mereka berdua duduk di serambi depan rumahnya itu.
"Sudah ketemu Drajad, dan dia sudah usahakan sampai larut malam untuk menemui pejabat-pejabat yang berwenang. Hasilnya semua tidak bisa memberikan keputusan, sebab katanya ini wewenang langsung Patih Brojosento"
"Ha... ha ha."
Warok Wulunggeni tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ceritera isterinya soal gagalnya mendapatkan ijin usaha pengobatan itu.
"Lho, kenapa kamu tertawa senang begitu. Bukannya tambah sedih, malahan kelihatan gembira begitu. Ada apa."
"Bagaimana tidak ketawa, soal kesehatan masyarakat begini saja harus ijin Patih. Lalu orang-orang macam Drajad yang berpangkat Senopati saja tidak digubris apalagi kita ini yang tidak punya pangkat apa-apa mau dianggap apa. Apakah ceritera begini ini tidak bikin ketawa saya, Mbokne, mbokne."
"Drajad, menantu kita itu pangkatnya senopati. Tugasnya berperang, menjaga keamanan, begitu kata dia tadi. Jadi tidak mempunyai wewenang untuk mengurusi soal perijinan pengobatan begini ini"
"Ha.. .ha...ha. biar jaga keamanan, tugas perang, apa tidak ada pertimbangan sama sekali dia itu kan orang dalam Kadipaten, Pejabat tinggi. Pangkatnya saja senopati. Masak sama sekali tidak ada wibawanya. Itulah menantumu, Mbokne. Pangkatnya saja senopati, tetapi kekuasaanya tetap saja di tangan Ki Patih dan langsung ke Kanjeng Adipati."
"Lalu, bagaimana usaha kita yang lain, Pakne."
"Tenang saja, Mbokne.
Aku akan jalan dengan caraku sendiri.
Sudahlah sekarang Mbokne tidur yang enak, tidak usah dipikirkan soal ijin-ijin ini.
Aku yang akan mrantasi segalanya.
Kamu tidak usah memikirkan.
Itu semua urusanku.
Sudah tenanglah tidak usah dibuat susah."
Sejak peristiwa kegagalan Mbok Rukmini mengusahakan surat ijin lewat menantunya yang berpangkat senopati itu gagal, Warok Wulunggeni memasang papan pengumuman besar di depan pintu rumahnya yang bertuliskan.
"Bagi yang ingin berobat.
Harus membawa surat ijin dahulu dari penguasa Kadipaten.
Kalau tidak membawa surat ijin tidak bisa dilayani.
Karena akan mendapatkan tegoran keras dari penguasa Kadipaten.
Silahkan datang terlebih dahulu ke kantor Kadipaten untuk mendapatkan surat ijin tertulis."
Warok Ponorogo 4 Pertikaian Kawula Gusti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adanya pengumuman Warok Wulunggeni itu telah membuat penguasa Kadipaten kalang-kabut.
Hampir tiap hari orang orang yang sedang menderita sakit diantar oleh para pengantar yang jumlahnya kadang banyak itu mendatangi kantor Kadipaten untuk meminta ijin berobat ke rumah Warok Wulunggeni.
Hari itu juga, Kadipaten Ponorogo jadi ribut ketika mendengar adanya laporan mengenai makin membanjirnya orang-orang sakit yang dibawa datang ke kantor Kadipaten.
"Wah..wah .bagaimana ini maunya si Wulunggeni ini. Kantor Kadipaten bisa jadi rumah sakit ini. Ada saja pokalnya si Wulunggeni ini. Coba laporkan masalah ini kepada Paman Patih Brojosento untuk diteruskan kepada Kanjeng Adipati,"
Kata Warok Sawung Guntur ketika mendengar laporan dari anak buahnya mengenai makin ramainya orang yang datang ke kantor Kadipaten pada tiap harinya. Makin banyak orang sakit yang berduyun-duyun dibawa ngantre ke kantor Kadipaten hanya mau minta surat ijin untuk berobat ke rumah Warok Wulunggeni.
Akhirnya penguasa Kadipaten mengirim petugasnya kembali untuk menemui Warok Wulungggeni, mengenai keputusan larangan berpraktek pengobatan tanpa dilengkapi surat-surat perijinan itu, dibatalkan.
Artinya Warok Wulunggeni sekarang boleh berpraktek lagi tanpa perlu mengurus ijin, dan orang-orang yang sakit tidak perlu datang lagi ke kantor Kadipaten untuk meminta surat ijin tersebut.
Ada ketentuan tambahan yang ditetapkan pihak penguasa Kadipaten kepada Warok Wulunggeni, kalau seandainya saja ada penduduk yang celaka karena salah pengobatan yang dilakukan Warok Wulunggeni, ia harus mempertanggungjawabkan kekeliruan itu di kemudian hari.
Warok Wulunggeni menyanggupi ketentuan yang digariskan dalam undang-undang pengobatan yang dikeluarkan oleh penguasa Kadipaten itu.
Selanjutnya, tidak lama kemudian, Dukuh Jabung menjadi ramai kembali dikunjungi oleh banyak orang yang mau berobat.
Para penjual dawet pun makin ramai berjajar di pinggir-pinggir jalan yang banyak dikerumuni orang yang mau membeli, dan kehidupan penduduk Dukuh Jabung pun nampak kesejahteraannya makin meningkat.
******
ILMU SEMAR.
MALAM itu, Warok Wulunggeni yang sedang ditemani Mbok Rukmini isteri setianya, duduk-duduk di kursi dipan bambu di serambi depan rumahnya, sedang asyik menikmati kopi nas gitel (panas, legit, kentel), mencicipi jadah putih bakar yang masih hangat, sinambi menghisap rokok kelobot Tingwe, mengelinting dewe dari daun jagung kering dan tembakau apek yang dilapisi klembak dan kemenyan siong, asapnya terus mengepul mengeluarkan bau sesajen yang menyengat turut tusuk.
Dalam keadaan demikian itu, tampak terasa bahagia pasangan suami-isteri, Warok Wulunggeni dan Mbok Rukmini yang sudah menginjak usia setengah baya ini
"Pak, Pakne,"
Suara Mbok Rukmini memecahkan kesunyian.
"Ya, apa," jawab suaminya sambil menyedot rokok kelobotnya itu dalam-dalam terasa nikmat.
"Belakangan ini aku sedang mikir-mikir. Apa kira-kira salahmu selama ini terhadap Kanjeng Gusti Adipati .Kenapa sepertinya setiap langkahmu selalu mendapat halangan dari penguasa Kadipaten. Tiap kali kamu membuat usaha baru selalu saja berhadapan dengan penguasa Kadipaten. Sejak di Dukuh Dawuan dahulu, kamu justeru yang dipersalahkan. Kamu dituduh bersekongkol dengan para begal Dawuan. Malahan si Surodilogo yang jelas dia yang jelas merebut usaha yang kamu rintis, justeru dia yang mendapatkan kedudukan enak sekarang. Usaha jasa yang pernah kamu rintis dulu, sekarang ia yang enak-enak mendapatkan hasilnya. Kemudian kita pindah ke Dukuh Sirah Keteng, kamu masih juga disingkang-singkang. Bahkan diusir dari sana, walaupun istilahnya diberi pesangon. Lalu kamu membuka usaha di sini. Masih juga di kejar-kejar lagi, katanya tidak ada ijin, dan segala rupa alasan. Jadi menurutku, kamu ini dimusuhi karena salah apa. Sepertinya kamu tidak punya salah apa-apa sama penguasa Kadipaten. Tetapi kenapa kelihatannya penguasa Kadipaten itu selalu menjegal usahamu terus-menerus begitu, Pakne,"
Kata Mbok Rukmini dengan mimik muka yang serius.
"Pengin tahu salahku,"
Sahut Warok Wulunggeni dengan senyum senyum dikulum, acuh tak acuh seperti tidak ada beban mental apa pun.
"Ya. Coba apa."
"Aku bersalah karena aku selalu memulai sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah dipikirkan oleh para perencana Kadipaten. Seharusnya kalau aku mau melakukan usaha baru harus dimusyawarahkan terlebib dahulu kepada pihak penguasa Kadipaten, katanya supaya tertib. Tidak liar seperti aku. Oleh karena itu aku bisa dianggap kurang tata krama. Kurang unggah-ungguh. Tidak tahu adat kesopanan. Bahkan bisa dianggap sebagai ancaman yang mengganggu tatanan hidup masyarakat. Nah itu banyak sekali salahku yang menyangkut tetek bengek yang dapat menurunkan kewibawaan penguasa kadipaten karena alu dianggap 'sak kepenalae dewe'. Jelas, Mbokne,"
Kata Warok Wulunggeni tak acuh sambil mengangkat cangkir kopinya terus meminumnya sedikit demi sedikit nampak terasa nikmat
"Jadi kamu memang juga merasa bersalah tho, Pakne,"
Kata Mbok Rukmini
"Mungkin."
"Lho, yang benar yang mana. Mengaku salah atau mengaku benar."
"Menurutku, aku benar. Tetapi menurut penguasa Kadipaten, aku yang salah. Jadi harus ngomong apa."
"Tapi, Pakne. Aku belum yakin benar. Apa semua hal yang menyangkut keputusan penguasa kadipaten terhadap dirimu itu, apakah semuanya itu atas kehendak Kanjeng Gusti Adipati, atau ada orang lain yang merekadaya. Jangan-jangan ini hanya ulah beberapa penggede saja yang tidak senang sama kamu. Lalu mereka memberikan usulan macam-macam kepada Kanjeng Gusti Adipati yang akhirnya menugikan kamu. Apa benar pendapatku ini, Pakne,"
Kata Mbok Rukmini.
"Mungkin juga ada benarnya dugaanmu itu, Mbokne. Aku mempunyai firasat, orang yang paling cilaka dalam persoalanku dengan penguasa kadipaten itu, perkiraanku, ini semua pokalnya si Durno Tembem itu"
"Lho. Si Durno Tembem itu siapa ?."
"Itu Ihooooo, Durno Tonggreng."
"Empu Tonggreng, kok kamu bilang Durno."
"Lha iya tho. Dia itu yang aku rasa banyak mempengaruhi pemikiran tiap kali para penggede mengadakan musyawarah di kadipaten. Aku pernah tanya kepada menantumu si Drajad Panuju itu. Katanya orang yang paling banyak bicara pada tiap kali ada pertemuan para penggede di kadipaten, yah si Durno Tonggreng itu. Jadi termasuk menyangkut nasib diriku ini tidak jauh-jauh juga si Durno Tonggreng itu yang punya pokal. Punya pikiran jahat terhadap rakyat. Bukan saja termasuk terhadapku, tetapi terhadap semua orang yang tidak ia sukai selalu ia terapkan ilmu jahatnya itu. Ia memang gurunya para Adipati, para satria, punya kesaktian, punya kewibawaan, punya pengaruh terhadap Adipati, kedudukannya menjadi orang penting sebagai penasehat spiritual penguasa Kadipaten. Akan tetapi ia sering punya rencana jahat yang tidak sesuai dengan akal sehat, dan kehendak rakyat banyak. Itu tadi ya si Durno Tonggreng itu, Mbokne."
"Kalau melihat kemampuan Kanjeng Gusti Adipati, aku rasa beliau ini adalah orang yang sangat bijaksana. Dan tidak mungkin penguasa kerajaan Majapahit gegabah mengangkat seorang pejabat tingginya dengan cara ngawur saja. Mesti dipilih dari orang-orang yang terbaiknya. Termasuk pengangkatan kedudukan Kanjeng Gusti Adipati ini tentu dipilihkan dari orang yang terbaik di kalangan penggede kerajaan Majapahit,"
Kata Mbok Rukmini masih dengan muka serius.
"Jadi pasti saja ada orang lain yang mengutak-atik di keraton Kadipaten itu yang mengambil keuntungan bagi dirinya dan merugikan nama baik Kanjeng Adipati tho, Mbokne. Mungkin benar juga si Durno Tonggreng itu yang banyak bikin ulah. Tetapi selain si Durno itu, aku juga curiga sama si Sawung Guntur. Kalau si Sawung itu tidak menyetujui pertimbangannya si Dumo. Pasti para punggawa lain juga tidak akan menjalankan tugas. Sebab pengaruh si Sawung di keraton Kadipaten itu juga sangat besar. Ia oleh Kanjeng Adipati dapat dianggap sebagai mewakili suara para warok di daerah Kadipaten ini. Oleh karena itu, kalau si Sawung punya sirik terhadap aku, maka mudah saja ia ikut-ikut mencelakakan aku atas bujukan si Dumo Tonggreng itu."
"Jadi, kalau demikian terus. Apa kita ini akan bisa hidup tenteram, Pakne. Selama si Empu Tonggreng itu masih menjadi penasehat Kanjeng Gusti Adipati di sana. Selalu saja kita ini diusik terus oleh dia dengan mengatasnamakan sebagai penguasa kadipaten. kerjanya bikin perkara. Bukan aku yang dosa. Dosanya biar dia tanggung sendiri. Jadi, soal tenteram atau tidak tenteram itu kan adanya dibathin kita "
"Biar masing-masing tho, Mbokne. Bukan penguasa Kadipaten yang ngatur urusan kebahagian kita. Mungkin mereka kelihatannya selalu berkuasa. Selalu dapat mengusik kita. Tetapi mereka malahan tidak pernah bisa tidur. Hatinya tidak tenteram, kan enakan kita yang selalu diusik tetapi hidup tenteram. karena hati kita pasrah. Sumeleh saja. Begitu kan Mbokne.
"Lho, maksudku, kalau diusik-usik begini terus. Kapan kita bisa tenteram. Bikin ini. tidak boleh. Bikin yang lain lagi, juga selalu dipersalahkan. Harus ada ijin. Terkena daerah penyanggah pangan, dan macam-macam acara yang merugikan kita terussssss,"
Kata Mbok Rukmini nampak bersungut-sungut menunjukan emosinya.
"Jangan khawatir, Mbokne. Kita terapkan ilmu Semar saja. Kamu tahu tho, itu nama Semar tokoh punakawan dalam pewayangan yang selalu mengabdi kepada pandawa. Senjatanya apa. Coba. Kamu tahu tidak?."
"Tidak tahu."
"Senjata semar itu, Kentut."
"Kentut. Jadi apa maksudmu, Pakne."
"Ya, kita kentuti saja itu orang-orang yang sok berkuasa."
"Mana bisa kentutmu nyampai ke sana, wong sampai halaman depan rumah saja sudah kabur kebawa angin lesus enggak ada sisanya."
"Ini perumpamaan tho, Mbokne. Pribahasa. 'Paribasan. Semar itu orang sakti mandraguna, memihak kepada kebenaran. Tetapi kalau ia marah apa senjatanya, ya itu tadi, kentut. Kentut semar itu berbahaya. Begitu keluar, seluruh penghuni jagat raya ini akan dibikin pusing tujuh keliling. Tidak ada orang yang tahan sama bau busuk kentutnya semar yang menyengat itu. Semua tatanan kehidupan berantakan begitu kentut semar itu terbang kemana-mana. Itu diibaratkan sebagai kekuatan yang kelihatannya sepele tetapi sungguh luar biasa memberikan pengaruhnya. Sekarang siapa bisa melarang orang kentut. Kalau ada yang kentut dan tidak tahu siapa yang kentut itu. Orang yang bersangkutan tidak mengaku. Bagaimana akan membuktikan. Tetapi pengaruh kentut itu sudah meracuni udara lingkungan. Ini seperti orang menyebar isu macam macam yang tidak jelas sumbernya tetapi isue itu dipercaya orang dan menimbulkan kegaduhan. Siapa yang bisa mengusut. Nah, ini seperti perumpamaan kentut Semar tadi."
"Lalu, apa bisa kamu mau meniru ilmu Semar. Bisa kentut sampai dibawa angin kabur kemana-mana begitu."
"Lho, ini perumpamaan tadi. Paribasan tadi, Mbokne. Kentut Semar di situ dimaksudkan sebagai perlambang timbulnya huru-hara. Bisa mendatangkan keckacawan tatanan hidup. Jadi aku akan bikin kekacawan hidup seperti kentutnya Semar itu. Aku tidak perlu terjun langsung bikin gara-gara, akan tetapi cukup berdiri di belakang tiap kali terjadi peristiwa yang menggoyahkan kewibawaan penguasa kadipaten. Jelasnya saja, Mobokne, aku ini yang akan mengotak-atik laku orang. Saat kekacawan itu tiba, maka kekuasaan Kadipaten akan goyah. Nah pada saat yang demikian ini peranan yang menjalankan kekuasaan itu kemudian akan pindah berada di tanganku. Kamu tahu tidak, apa itu punakawan. Terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong itu. Semuanya itu mempunyai makna simbolis. Perlambang. Semar itu melambangkan Karsa. Gareng itu melambangkan Cipta. Petruk itu melambangkan Rasa. Bagong itu melambangkan Karya. Keempatnya ini merupakan satuan tindak dari diri manusia sejati. Karsa itu menunjukkan cita-cita, keinginan untuk mencapai kepada sesuatu. Cipta itu merupakan wahana buah pikir, ilmu-ilmu, keluasan pengetahuan. Rasa itu memberikan keindahan, kehadiran jiwa seninya. Hidup ini harus memiliki seninya. Karya itu merupakan perwujudan tindakan, gerakan, untuk mencapai cita-cita dalam perlambang Semar itu tadi. Nah, ini semua ingin aku kembangkan dalam diri pribadiku. Aku mempunyai cita-cita, aku harus menguasai ilmu-ilmu, aku harus mempunyai rasa seni, dan aku harus mampu melakukan tindakan. Cita-citaku, aku ingin daerah Ponorogo ini kembali menjadi kerajaan yang berdiri sendiri secara mandiri. Tidak lagi diperintah oleh kerajaan lain seperti keadaan sekarang ini yang diperintah oleh pemerintahan kerajaan Majapahit. Harus dibubarkan keberadaan Kadipaten Ponorogo ini diubah menjadi kerajaan kembali. Maka untuk mencapai cita-citaku itu, aku harus berilmu. Kepergianku ke Blitar itu tidak lain juga untuk mencari si "Gareng"
Atau Cipta itu.
Selain itu sebelumnya aku juga sudah berteman baik dengan para ahli bule keturunan Cina, dan aku terus belajar macam-macam ilmu sampai soal ketabiban, pertanian dengan Raden Mas Poerboyo di Trenggalek, dan segala rupa itu, semuanya adalah tidak lain untuk mengembangkan daya kemampuan Cipta itu.
Kemudian aku harus mengembangkan rasa seni, mampu mengolah rasa, mengotak-atik laku orang termasuk seni itu tadi.
Kemudian yang terakhir, pada saatnya nanti, aku akan melakukan tindakan yaitu membangun kembali kerajaan Wengker di tengah-tengah kemakmuran rakyat Ponorogo ini.
Piye, Mbokne, opo ora elok tenan tho, Mbokne.
Nah, sekarang bagaimana menurut pendapatmu mengenai ini semua yang aku jelaskan tadi."
"Apa itu, tidak mimpi, Pakne."
"Lho, jelas tidak. Sama sekali tidak ada mimpi-mimpian. Itu ilmu kentut Semar yang akan memberi makna yang mendalam dalam upaya perebutan pengaruh dalam masyarakat kadipaten ini. Orang macam Tanggorwereng itu, perumpamaannya bisa aku jadikan kentutku."
"Ach, kamu ini ngomong yang benar, Pakne. Orang gagah seperti Kangmas Tanggorwereng begitu dibilang kentut. saru."
"Bukan begitu maksudku. Itu tadi namanya perumpamaan tadi, Mbokne. Jangan disalah tafsirkan. Jangan terlalu dianggap beneran. Apalagi jangan sampai terdengar orangnya. Tanggorwereng dibilang kentutku bisa marah dia nanti"
"Lha, iya, kamu sekarang pakai tangan Kangmas Tanggorwereng. Lalu, menantumu sendiri saja menjadi orang pemerintahan Kadipaten yang tugasnya menguber orang orang seperti Kangmas Tanggorwereng itu. Apakah tidak mutar saja jadinya nanti."
"Soal Drajad Penuju itu urusan dia sendiri. Walaupun ia itu suami anak kita Sri Wigati. Kalau terpaksanya si Drajad mengalami cilaka ditangan Tanggorwereng. Itu sudah nasibnya. Jalan hidupnya sendiri-sendiri. Nanti mengenai Sri Wigati, kita bisa atur lagi. Soal gampang itu, Mbokne."
"Jangan ngomong gampang-gampang begitu. Sri Wigati nanti yang akan kehilangan suami. Anak kita sendiri yang akan menderita. Kita sebagai orang tua, apa tidak akan ikut sedih melihat anak sendiri menderita ditinggal suami. Pikirkan jauhjauh itu, Pakne. Jangan keburu nafsu saja. Menggunakan kentut Semar lagi."
"Lho. Ini sudah aku pikirkan panjang-lebar. Sudah dipikirkan masak-masak. Aku renungkan siang dan malam. Dalam benakku ini sudah terpenuhi oleh rencana besar ini, Mbokne. Kamu tinggal mendoakan dan mendukung upayaku ini. Soal anak kita si genduk Sri Wigati itu nanti, sedihnya akan sebentar. Biarkan saja. Kalau anak kita Sri Wigati kehilangan suami. Tidak akan apa-apa. Nanti aku yang atur. Sudah pasti beres."
"Beres. Beres bagaimana. Lho. Kamu ini orang tua, kok ngomong ngawur saja. Anak ditinggal pergi suami kok tidak apa-apa. Anak mau sengsara, tidak apa-apa. Bagaimana kamu ini, Pakne."
"Maksudku, kalau sewaktu-waktu terjadi nasib yang kurang baik menimpa Drajad si menanta kita itu, Sri Wigati tidak perlu susah susah wOng suaminya memang pekerjaaanya perang. Jadi sudah menjadi risikonya soal mati-hidup itu sebagai senopati perang. Mulai sekarang hatinya sudah harus dipersiapkan. Harus ditata untuk berjaga-jaga apabila sewaktu waktu memang nasib hidup akan berubah. Jadi, soal Drajad karena sudah terlanjur jadi menantu kita yah sudah, aku tidak ributkan karena aku juga ikut salah tidak segera pulang waktu itu. Tetapi soal nanti ada apa-apa umpamanya yang menimpa dir si Drajad. Jangan dipikirkan. Soal nanti kita selesaikan nanti. Jangan khawatirkan soal putri kita, Sri Wigati. Aku yang akan membereskan supaya jadi baiknya saja, Mbokne,"
Kata Warok Wulunggeni berusaha menenangkan isterinya yang mulai mengkhawatirkan tekad suaminya yang akan merencanakan pengacawan besar-besaran dimana-mana dengan menggunakan tangan Warok Tanggorwereng yang memang sudah terkenal sebagai orang yang ganas kalau sudah 'tandang gawe"
Itu.
"Pakne, kalau kamu akan menggunakan ilmu kentut temuanmu itu. Apa kata orang nanti kalau sampai ketahuan orang lain. Ternyata dibalik semua kekacawan itu ada kamu. Kamu yang sudah terlanjur menyandang gelar warok, apa masih ada lagi penduduk yang mau menghormati kamu. Apakah akan masih ada orang yang mau mengakui kamu sebagai warok sebagai gelar kehormatan di masyarakat kita ini"
"Lho, kenapa ?."
"Warok, kok kerjanya bikin keributan. Warok cap apa itu. Apalagi tidak berani berhadapan muka, beraninya main di belakang orang. Tidak menunjukkan kejantanannya di depan umum. Beraninya main belakang. Tidak berani terus terang. Tetapi malahan ngumpet dan orang lain yang dijadikan tameng"
"Lho. Lho, lho, jangan salah tafsir dulu, Mbokne. Siapa yang ngumpet. Siapa yang tidak berani. Apa, Aku ini, yang kamu anggap ngumpet."
"Iyah."
"Jelas keliru penilaianmu itu, Mbokne. Ini soal cara memenangkan peperangan, Mbokne. 'Perang tanpo bolo, menang tanpo ngasorake. Sekarang ini keadaannya serba tidak jelas. Siapa musuh, siapa kawan tidak ketahuan. Kalau aku tiba-tiba tanpa sebab-musabab, menantang Kanjeng Adipati berperang. atau para lelabuhannya yang menjaga kedudukan kewibawaannya Kanjeng Gusti Adipati, tiba-tiba aku ajak bertarung, apa itu namanya jantan. Itu namanya baru ngawur. Aku baru akan menghadapi kalau memang lawan itu datang dihadapanku. Tetapi sekarang ini keadaannya lain. Kita bermusuhan dengan cara kucing-kucingan, yah kita lawan dengan cara kucingkucingan juga. Kalau ada orang yang datang menantang aku dihadapanku, siapa saja tidak perduli itu Kanjeng Adipati sendiri, aku tidak mundur. Tetapi orangnya tidak muncul. Tidak pernah menantang dimuka hidungku yang datang hanya berbentuk cara-cara, bagaimana menjatuhkan martabatku, kesejahteraanku, lha mau dilawan bagaimana, Oleh karena itu, aku pun juga harus menghadapi dengan cara-caraku sendiri. Begitu Iho, Mbokne. Supaya kamu juga mengerti, apa yang menjadi dasar pertimbanganku dengan perumpamaannya mengembangkan ilmu kentut semar tadi Iho.. .ha...ha." kata Warok Wulunggeni dengan diakhiri ketawanya yang bernada canda ria itu.
Mbok Rakmini hanya senyum-senyum saja melihat akal bulus yang keluar dari benak suaminya itu. Walaupun sebenarnya tidak menyetujui sepenuhnya rencana yang akan dilakukan oleh Warok Wulunggeni, suaminya itu. Akan tetapi lantaran kecintaannya yang mendalam kepada suaminya itu, ia pun kemudian hanya bisa diam saja apa pun yang mau diperbuat suamiya itu.
Malam pun bertambah kelam, udara dingin malam daerah Dukuh Jabung mulai menyengat kulit. Nampak kedua pasangan suami-isteri itu telah masuk rumahnya, dan pintu tengahnya sudah nampak terkunci rapat. Mereka berdua itu nampaknya baru bisa tidur pulas kalau semua uneg-uneg itu telah dikeluarkan bersama.
BERSAMBUNG
*****
Iblis Dunia Persilatan Karya Aone Briliance Of Moon Kisah Klan Otori Kubah Karya Ahmad Thohari
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama