Ceritasilat Novel Online

Seruling Halilintar 2

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar Bagian 2


Lebih celaka lagi lawan selalu membalas setiap serangannya dengan jurus-jurus serta pukulan maut yang tak kalah hebatnya.

Setelah pertarungan itu berlangsung lebih dari dua puluh jurus, Iblis Momok Laut Biru melihat bahwa sebagian jurus maupun pukulan sakti yang dipergunakan oleh pemuda itu seolah-olah bukan sesuatu yang asing baginya.

Apalagi saat sang pendekar berhasil meloloskan diri dari sergapan serangan sakti si kakek yang dikenal dengan nama Ombak Bergulung Menyapu Daratan.

Bahkan Raja melakukan serangan balasan dengan pukulan amukan Badai Laut Selatan yang digabungkan dengan pukulan paling dahsyat bernama pukulan Cakra Halilintar.

Merasa mengenali kedua jenis pukulan itu Iblis Momok Laut Biru segera melompat mundur.

Begitu jejakkan kaki dia segera alirkan tenaga dalam ke bagian kaki.

Dua tangan yang juga telah teraliri tenaga dalam penuh langsung dipentang, selanjutnya diputar membentuk sebuah perisai pertahanan diri yang kokoh.

Dari tangan kiri Raja yang seperti kepakan sayap Rajawali raksasa itu, menderu segulung angin luar biasa dahsyat ke bagian perut si kakek dengan disertai tebaran hawa dingin yang membuat tubuh menggigil dan gigi bergemeletukan.

Belum lagi lenyap kejut dihati Iblis Momok Laut biru atas serangan pertama ini, dari tangan kanan sang pendekar tiba-tiba berkiblat serangkum cahaya aneh berwarna merah kebiruan berbentuk pipih seperti cakra raksasa.

Setiap sisi dari cahaya itu memancarkan kilatan-kilatan cahaya lain laksana kemunculan kilat sebelum datangnya halilintar.

"Cakra Halilintar!"

Teriak Iblis Momok Laut Biru yang segera lipat tenaga dalamnya untuk menyambut satu serangan ganas lawannya.

Wuut!

Wuut!

Dua tangan yang tadinya diputar membentuk perisai pertahanan kokoh tiba-tiba saja dihantamkan ke depan

Byar!

Bluum!

"Wuarkh..."

Dua pekikan keras menggema diantara dentum suara ledakan yang terjadi.

Batu-batu hancur berpelantingan, tebing kali bersama air dalam aliran sungai muncrat membumbung tinggi diudara.

Pasir, debu dan puing-puing kayu yang hancur terbakar membubung tinggi diudara.

Asap tebal membubung.

Lalu terdengar suara orang terbatuk-batuk di tengah kegelapan asap.

Matahari menjelang siang makin meninggi.

Ketika kepulan asap lenyap tempat di mana Iblis Momok tadinya berdiri terlihat satu lubang besar menganga hitam dan dalam, Iblis Momok sendiri ketika itu terpental sejauh tiga tombak dalam keadaan tubuh setengah rebah.

Wajahnya berselemot jelaga hitam.

Pakaian biru kesayangan hangus tercabik-cabik.

Mulut meleleh darah kental, hidung patah miring ke kiri.

Ular kuning kecoklatan yang bergelung melingkar dileher terlepas dan merayapi leher dalam keadaan lunglai.

Sedangkan ular yang melingkar melilit dibagian kepala hancur hangus menjadi kepingan.

Sejarak lima tombak dari tempat dimana ledakan terjadi Sang Maha Sakti Raja Gendeng jatuh terduduk dengan kedua kaki ditekuk.

Nafasnya megap-megap seperti mau putus, wajah pucat sekujur tubuh laksana dipanggang, Tertatih-tatih dia bangkit berdiri.

Walau akhirnya bisa tegak bahunya miring ke kiri.

Bahu miring kepala ikut miring.

Tidak mau keterusan miring dan agar tidak membuatnya dijuluki pendekar teleng atau tengleng dia ulurkan dua tangan.

Tangan yang kiri memegang batok kepala sedangkan tangan yang kanan mendekap dagu.

Lalu...

Krrek!

Kreek!

Dua tangan digerakan serentak.

Kepala dan bahu kembali seperti sediakala.

Sebelum pemuda ini layangkan pandang ke depan.

Dia memperhatikan dirinya sendiri.

Walau sempat mengalami guncangan luar biasa hebat dibagian tubuh sebelah dalam namun tidak ada cidera sedikit pun di bagian tubuh sebelah luar.

Selain berkat perlindungan dewa pastilah pakaian sakti yang melekat ditubuhnya yang membuat tubuh luarnya tidak terluka.

Sebagainmana diketahui pakaian sakti yang dikenakan Raja didapat di sebuah gua aneh tidak berpenghuni.

Pakaian yang dikenal dengan nama Jubah Kencana Agung itu peninggalan seorang manusia sakti beberapa abad yang silam.

"Aku tidak apa-apa, wheeh...!"

Seru Raja sambil berjingkrak kegirangan. Kemudian sambil senyum-senyum dia memandang ke depan. Melihat Iblis Momok Laut Biru mengalami cidera dan dalam keadaan rebah dia berjingkrak lagi.

"He... kakek jahat! Ternyata, wheeh! Keadaanmu lebih menyedihkan. Kasihan sekali. Apa perlu kutolong berdiri "

Ucapan yang biasa-biasa ini bagi Iblis Momok sebagai satu penghinaan sekaligus tamparan keras yang membuat wajah birunya yang diselimuti jelaga tambah mengelam.

Setelah menghimpun tenaga dalam dan alirkan hawa sakti ke sekujur tubuh Iblis Momok segera bangkit.

Baru saja berdiri tegak, Raja menyambutnya dengan ucapan.

"Ular yang menjadi ikat kepalamu. Oalah, ular itu agaknya sudah menemui ajal. Sekarang yang tertinggal cuma ular yang bergelayut di leher! Tinggal satu. Itupun sudah loyo. Jangan-jangan ular keramat yang mendekam dibawah perutmu juga ikutan lemas. Kalau benar dugaanku rasanya itu jauh lebih bagus, karena kudengar selama ini kau kerap menculik gadis-gadis desa untuk kau jadikan pemuas kebejatanmu. Tidak cuma gadis saja yang kau culik. Bayi-bayi juga kau jadikan sasaran untuk menambah ilmu kesaktian!"

Dengus Raja, mulut dimonyong-monyong lalu menyeringai mengejek.

Tidak menyangka lawan mengetahui kebiasaannya. Iblis Momok Laut Biru diam-diam terkejut. Namun kemarahannya membara karena hidungnya patah dan satu ular kesayangannya mati.

"Pemuda gondrong jahanam! Seumur hidup aku malang melintang di dunia persilatan belum pernah kutemui manusia sepertimu. Siapa dirimu? Lekas jawab pertanyaanku!"

Hardik si kakek dengan mata mendelik

"Sabar aku akan jawab pertanyaannya." kata Raja tenang.

Setelah menggaruk kepala dia melanjutkan.

"Bukannya aku takut padamu tetapi aku takut pada itumu....
"

Raja lalu menunjuk ke pakaian bagian bawah perut Iblis Momok yang hancur. Menatap ke arah itu si kakek tercekat ketika mendapati auratnya ternyata sudah tidak terlindung pakaian lagi. Kalang kabut dengan menggunakan daun lebar dia berusaha lindungi auratnya.

Melihat ini sang pendekar tidak kuasa menahan gelak tawa.

"Dibalik celana luar tenyata kau tidak pernah memakai celana dalam ya...!! pantas saja banyak sekali gadis yang menjadi korbanmu. Anumu kecil tapi gila banget mengapa sangat banyak anak gadis orang yang menjadi korban. Ha ha ha!"

Merasa terlanjur malu, kakek ini menggeram

"Monyet gondrong jahanam dari mana kau tahu segala perbuatanku!"

"Ha ha ha. Begitulah yang selama ini kudengar tentangmu. Setan saja menaruh geram padamu jika kau meniduri istri dan anak-anaknya,"

Gurau Raja sambil tergelak-gelak.

"Keparat. Tutup mulutmu. Lebih baik kau berterus terang punya hubungan apa kau dengan perempuan renta yang bernama Nini Balang Kudu?!"

Tanya si kakek. Mendengar pertanyaan itu tawa sang pendekar lenyap. Dalam kaget tak menyangka orang mengenal siapa gurunya Raja tertegun.

"Lekas jawab!"

Hardik Iblis Momok Laut Biru tambah tidak sabar. Raja tersenyum.

"Nini Balang Kudu. Ah nenek bawel itu. Aku sering memanggilnya Emak. Panggilan itu yang membuatnya marah besar. Aku yakin diusianya yang renta dia belum pernah punya anak. Dia lebih suka tidur dengan ikan-ikan dan seekor naga di dasar laut selatan. Nenek itu kalau tidak salah adalah guruku!"

"Pemuda keparat. Bicara berbelit-belit dengan guru sendiri saja tidak ingat. Dasar gendeng!"

"Hah... itu nama akhirku. Aku adalah Raja seorang raja tapi sayang, gendeng. Jadi aku biasa dipanggil Raja Gendeng."

Ucap Raja seadanya.

"Raja Gendeng dari Istana Pulau Es? Apakah kau orangnya?!"

Sentak Iblis Momok Laut Biru kaget. Tidak kalah terkejutnya Raja pun berseru.

"Eech, bagaimana kau bisa tahu? Apakah kita masih saudara dan apakah kau adalah kakekku?"

Gurau sang pendekar dengan mulut dimonyong-monyongkan. Iblis Momok Laut Biru diam membisu. Dalam hati dia berujar,

"Gurunya aneh yang disebutnya nenek bawel itu adalah satu-satunya yang paling aku segani.Aku tidak pernah membuat urusan dengannya, Namun kalau aku bunuh pemuda yang menjadi muridnya ini, dia bisa muncul kapan saja untuk menuntut balas kematian muridnya,"

Pikir si kakek sambil usap-usap janggutnya yang biru namun telah menghitam dipenuhi jelaga.

"Mutiara Kramat, Mutiara Tujuh Setan.Sejak lama aku ingin memiliki benda itu.Haruskah aku batalkan segala keinginan demi menghindari pemuda ini? Aku belum melihat apakah pemuda ini punya kehebatan lain disamping ilmu warisan Nini Balang Kudu? Aku harus mencoba aku harus menjajal apakah dia layak disebut Sang Maha Sakti!" kata Iblis Momok penasaran.

"Orang tua. Kulihat kau sibuk mengelus jenggot. Aku tahu kau tengah berpikir, menimbang- nimbang. Hatimu diliputi keraguan, namun sesungguhnya rasa penasaranlah yang membuatmu tetap bercokol dihadapanku. Perlukah kita bertarung sampai ada yang mati, atau cukup bersalaman saja untuk mempererat tali persahabatan diantara kita?!" kata Raja sambil pencongkan mulutnya.

"Aku bukan sahabatmu! Lihat serangan!"

Teriak Iblis Momok Laut Biru dengan suara menggeledek

"Ah ternyata kau lebih memilih mencari celaka dari pada bahag?a...!"

Sang pendekar tidak sempat selesaikan ucapan karena pada saat itu dengan kekuatan penuh lawan telah melesat ke arahnya sambil kirimkan dua jotosan sekaligus.

Melihat dua tinju menderu, Raja segera miringkan tubuh ke samping sekaligus menarik kepala kebelakang.

Dua tinju menderu, lewat setengah jengkal di depan wajah pemuda itu.

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena dua jotosannya tidak mengenai sasaran maka tiba-tiba Iblis Momok membuka tangannya yang terkepal.

Wuus!

Ketika dua tangan dibuka, menyemburlah asap hitam pekat menebar bau amis menyengat.

Curiga tebaran asap mengandung racun ganas.

Raja segera jatuhkan diri kebelakang, lalu tutup jalan napasnya.

Tetapi sayang sebagian asap sempat terhirup olehnya.

Membuat mulut sampai ke dadanya terasa dingin seperti ditusuk-tusuk. Kelabakan sambil bergulingan hindari tendangan lawan, pemuda ini langsung kerahkan hawa sakti dan lakukan satu totokan di tengah dada.

Semua gerakan pencegahan yang dilakukannya berlangsung cepat tak terlihat oleh lawan.

Iblis Momok Laut Biru yang melihat Raja bangkit dalam keadaan beriutut sambil mendelik dan dekap tenggorokannya, dia tertawa dingin.

"Kau telah menyedot asap Cumi Biru Laut Hitam. Tidak ada obat penangkal bisa membuatmu lolos dari kematian. Bahkan gurumu nenek hebat Nini Balang Kudu tak bakal sanggup menolong. Ha ha ha!"

"Kkk... kau... Iblis keji...!" seru Raja sambil menunjuk-nunjuk dan mata mendelik bersikap seolah dia memang menderita keracunan hebat.

"Ya-ya, aku iblis. Iblis yang akan menghapus nama besar anak manusia yang dijuluki Sang Maha Sakti. Ha ha ha!"

Jawab si kakek. Menyangka lawan benar-benar termakan serangan asap beracunnya.

Dengan disertai pengerahan tenaga dalam penuh ke bagian kaki. Iblis Momok melompat.

Dua tendangan sekaligus dilancarkan kakek ini.

Satu tendangan mengarah ke dada sedangkan satu tendangan mengarah ke bagian kepala. Deru angin dingin menyertai tendangan si kakek.

Raja pun maklum lawan memang berhiat membunuhnya.

Dalam keadaan berdiri dengan kaki berlutut, pemuda ini sedikitpun tidak bergeser dari tempatnya.

Dengan menggunakan jurus Senandung Sang Maha Dewa yang berintikan gerak lemah lembut warisan Ki Panaraan Jagad Biru pemuda ini angsurkan dua tangan ke depan.

Lalu dengan gerak lambat namun terarah tangan yang kiri dia angsurkan ke depan, sedangkan tangan kanan dilambai ke samping ke kanan, kiri, ke bawah dan selanjutnya dilintangkan kebagian kepala.

Dua kaki laksana batang pohon menghantam mengepruk kepala dan mendera dada sang pendekar

Wuus!

Plak!

Duuk!

"Cailyaaa...!"

Bersamaan dengan itu terjadilah benturan menggeledek.

Lalu terdengar suara jerit raungan menyayat.

Di tempatnya Raja nampak terguncang dengan wajah pucat.

Sementara di depannya, Iblis Momok Laut Biru justru jatuh terpelanting.

Dia berguling- gulingan di atas tanah sedangkan dua tangan dipergunakan untuk mendekap sekaligus mengusap telapak kaki yang dipergunakan menghantam dada Raja.

"Tidak mungkin. Harusnya kepala dan dadamu remuk, tapi mengapa seperti ada kekuatan hebat di dadamu yang menghantam kakiku!"

Teriak si kakek.

Dia bangkit namun jatuh lagi.

Sementara kaki kirinya menggembung bengkak seperti buah kelapa.

Sang pendekar yang tidak mengalami cidera segera bangkit berdiri.

Berpura-pura perduli dia melangkah mendatangi.

Setelah itu sambil bersiul dia usap-usap bajunya yang kena ditendang.

"Baju sakti kok dilawan! Baru kaki yang digunakan untuk menggebuk. Besi sekalipun bisa meleleh. Iblis Biru apakah kau tidak melihat atau merasakan pakaian yang melekat ditubuhku ini bukan pakaian biasa. Ini baju sakti oleh-oleh kemurahan dewa. Dewa saja bersikap baik padaku, kau justru hendak membuatku celaka! Ha ha ha!"

Pengakuan polos sang pendekar diam-diam membuat Iblis Momok Laut Biru menjadi kaget.

Tapi rasa sakit akibat serangannya itu yang membuatnya tidak menghiraukan perkataan Raja.

Tak sanggup menahan derita sakit yang luar biasa, si kakek pun segera berusaha menyembuhkan telapak kakinya yang remuk.

Kasut dibuka, bibir komat-kamit.

Dia menyemburkan ludahnya ke bagian yang sakit tiga kali.

Seketika kaki kembali keukuran semula sedangkan bagian yang remuk juga pulih kembali.

Raja yang memperhatikan tindakan si kakek tanpa sadar bertepuk tangan sambil keluarkan seruan memuji.

"Ilmu... hebat! Ilmu langka!"

"Hmm... aku memiliki beberapa ilmu langka namun aku tidak punya baju sakti serta pedang hebat yang pernah menjadi rebutan para tokoh- dunia persilatan itu. Salah satunya Maha Iblis Dari Timur dulu juga menjadikan pedang sebagai incarannya. Kalau bisa dapatkan pakaian dan pedang dipunggung murid Nini Balang Kudu ini, rasanya tidak mendapatkan Mutiara Setan tidak jadi apa." pikir Iblis Momok Laut Biru menghibur diri sambil diam-diam melirik ke arah pakaian dan pedang Raja

"Kakek Iblis. Mengapa diam!! Hm.. otak dibalik batok kepalamu berpikir mengatur muslihat mencari akal. Sebagai orang muda yang murah hati, aku nasehatkan sebaiknya kau segera angkat kaki dari hadapanku dan kembali ke laut." kata Raja sambil semburkan ludah yang mengandung sisa racun berwarna hitam.

"Kau menipu aku, berpura-pura keracunan padahal segar bugar tidak kekurangan sesuatu apa."

Geram si kakek penasaran.

"Asap Cumi Biru Laut Hitam bukan racun biasa. Semua tokoh diberbagai rimba persilatan mengetahui betapa keji dan ganasnya racun itu. Tapi tubuhku memang dapat menangkal semua jenis racun. Dan pakaian ini juga menyerap dan bisa menawarkan dengan cepat. Racunmu boleh saja mematikan, namun tidak berarti apa-apa buatku. Sekarang apa lagi yang kau tunggu?"

"Pendekar gendeng sialan! Aku mau minta semua benda berharga yang ada ditubuhmu."

Teriakan Iblis Momok disambut dingin oleh Raja Sambil menyeringai dia menjawab.

"Tadi kau hendak merampas nyawaku. Sekarang kau mengemis minta benda berharga. Tua bangka ngacok!"

"Keparaat...!"

Teriak si kakek. Bersamaan dengan teriakannya orang itu segera goyangkan kedua bahunya.

"Bunuh pemuda itu dengan sekali patukan, Kuning!"

Seru Iblis Momok ditujukan pada ular kuning kecoklatan yang bergelayut melingkari lehernya.

Laksana anak panah yang melesat dari busurnya, ular kuning berbisa mematikan itu melesat ke arah Raja.

Melihat serangan ular, Raja gelengkan kepala.

Tanpa menoleh dia berseru pada Jiwa penghuni hulu pedang gila.

"Wa... ular itu bagianmu! Habisi mahluk melata itu dan beri pelajaran pada kakek berambut macam ijuk itu!"

Perintah sang pendekar. Setelah ditunggu sang pedang ternyata tidak beranjak dari tempatnya.

"Jiwa... apa yang kau tunggu!"

Teriak Raja yang membuat Iblis Momok bertanya dalam hati pada siapa Raja berbicara.

"Perintah itu ditujukan padaku, paduka?!"

Tiba-tiba terdengar suara ngiang di telinganya. Suara jiwa dalam pedang

"Sial. Kau pikir pada siapa aku bicara?!" geram Raja lalu cepat jatuhkan diri hindari patukan ular yang mengincar matanya.

"Maafkan saya paduka. Paduka memanggil saya Wa. Saya mengira paduka bicara pada si Wara. Lain kali panggil saja sebutan lengkap saya."

"Sudah. Lakukan perintahku! Ular itu berbalik lagi sekarang!"

Desis sang pendekar tidak sabar.

"Perintah dilakukan, pelajaran segera di berikan!"

Jiwa dalam pedang menyahuti.

Trek!

Criing!

Pedang itu tiba-tiba melesat keluar dari rangkanya, memancarkan cahaya kuning berkilau laksana taburan emas.

Kemudian dengan kecepatan luar biasa pedang menderu, bergerak dengan sendirinya, membuat liukan diketinggian sebanyak tiga kali sekaligus membabat ular yang siap menghunjam punggung Raja.

Diserang dengan kecepatan seperti itu dalam gerakan yang sulit dibaca, ular piaraan Iblis Momok Laut Biru masih mencoba berkelit hindari tebasan.

Namun gerakan menyelamatkan diri tidak banyak menolong.

Pedang Gila membabat seperti hembusan angin.

Crass!

Pluk!

Tiga kali pedang berkelebat.

Tiga bagian tubuh sang mahluk terkutung dan jatuh bergedebukan diatas tanah.

Semua pemandangan mengerikan yang terjadi pada ularnya membuat Iblis Momok tercekat, mulut ternganga mata mendelik tak percaya.

"Gila! Bagaimana mungkin ada senjata bisa menyerang mahluk sekali perintah saja. Jelas! Senjata milik pemuda ini bukan senjata biasa,"

Desis Momok Iblis, Walau si kakek sadar dirinya memiliki ajian yang membuat setiap luka atau tubuh yang terpotong dapat dikembalikan ke bentuk semula.

Namun mengingat pendekar yang dia hadapi juga memiliki tingkatan ilmu kesaktian tidak berada dibawahnya.

Apalagi dengan pedang aneh yang dimilikinya bukan mustahil dia bisa menemui ajal ditangan lawan.

"Aku telah kehilangan dua mahluk kesayanganku. Hari ini aku menyudahi perkelahian. Tapi ingat, kelak aku akan kembali mencarimu Raja,"

Ucap Iblis Momok tidak puas.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Setelah itu tanpa bicara lagi dia segera balikkan badan. Sebelum si kakek lenyap dari pandangannya. Raja berkata.

"Aku tidak takut dengan ancamanmu. Pergilah yang jauh, cari pakaian yang bagus. Ha ha ha!"

Dengan segenap rasa penasaran Iblis Momok Laut Biru berkelebat tinggalkan tempat itu.

Seperginya si kakek Raja segera memerintahkan pedang Gila kembali ke tempatnya.

Pemuda itu lalu memandang berkeliling.

Dia heran dan tertegun ketika mendapati hanya jasad Durgandala saja yang berada di sana sementara tubuh Durganini yang tersangkut di cabang pohon hilang raib entah kemana.

"Jiwa!"

Ucap Raja tiba-tiba.

"Saya paduka Raja Gendeng."

Menyahuti jiwa penghuni pedang.

"Paduka ingin saya melakukan sesuatu."

"Tidak. Aku cuma merasa heran. Kemana lenyapnya gadis yang tersangkut dipohon itu?"

"Oh gadis itu? Sejak tadi sebenarnya saya ingin melaporkan kejadian itu pada gusti, karena paduka sedang berkelahi dengan kakek bau itu, saya takut perhatian paduka jadi terpecah. Terus terang gadis itu dibawa pergi oleh tujuh cahaya berbentuk sosok kepala yang keluar dari mulutnya. Saya tidak tahu apakah cahaya itu adalah penghuni dari Mutiara Tujuh Setan yang berusaha menolong."

"Kemana dia dibawa? Durganini yang telah membawa Mutiara Tujuh Setan menyimpan mutiara di dalam perutnya."

"Saya juga menduga demikian gusti. Tujuh mahluk aneh itu telah membawa Durganini menuju ke utara."

"Bukit itu juga ada di utara. Kalau begitu kita ikuti!"

Kata pendekar khawatir.

"Silahkan gusti paduka. Saya kan cuma mendompleng. Dibawa kemanapun saya ikut asal jangan ke akherat saja."

Jawab sang Jiwa.

Mahluk tak berujud penghuni hulu pedang ini sebenarnya hendak memberitahu.

Seperginya Durganini ada tiga sosok mencurigakan menyusulnya.

Namun tidak ingin membuat Raja bertambah cemas dia lebih memilih diam.


*******


Berjalan dengan tertatiih-tatih laki-laki berpakaian hitam dan memakai kedok yang juga berwarna hitam itu menyusuri tepian anakan sungai.

Di satu tempat dia yang hanya terlihat bagian mata hidung dan mulut itu hentikan langkah.

Nafasnya mengengah.

Dia merasa haus luar biasa.

Melirik ke arah anakan sungai yang berada disisi sebelah kirinya dia menelan ludah.

Sesekali wajah dibalik kedok tipis meringis kesakitan.

Dilihat sekilas tubuh disebelah depan dari laki- laki berkedok itu memang dalam keadaaan utuh tidak kekurangan sesuatu apa.

Namun di bagian punggung belakang dibalik pakaian yang robek hangus menganga terdapat sebuah luka mengerikan berupa luka bakar merah kehitaman.

Luka itu tidak hanya menghanguskan sebagian kulit tapi juga tembus ke daging.

Derita luka parah yang dialaminya inilah yang membuatnya tidak dapat bergerak dengan leluasa.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan laki laki yang dikenal dengan sebutan Pembunuh Tanpa Bayangan.

Sebagaimana telah dikisahkan dalam episode sebelumnya Mutiara Tujuh Setan.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng sedang berusaha mencari tahu tentang orang yang memesan mutiara keramat pada Lohpati dan para pengikutnya Lohpati yang sebelumnya berniat membunuh dan menghabisi sang pendekar jadi batalkan niat bahkan tahluk pada Raja.

Laki-laki dari gunung Kidul yang dikehidupan masa lalunya sering ditolong oleh Nini Balang Kudu yaitu nenek aneh yang tak lain adalah guru Raja baru saja hendak memberi tahu siapa orang yang telah memesan mutiara itu padanya.

Tapi segala niat tulus Lohpati tidak terlaksana karena tiba-tiba muncul serangan gelap yang mengakibatkan tewasnya Lohpati juga beberapa pengikutnya.

Raja sempat melakukan pengejaran sekaligus menghantam pembokong gelap itu dengan pukulan sakti Badai Serat Jiwa dan pukulan Cakar Sakti Rajawali.

Tapi pembokong gelap yang menghabisi Lohpati dengan mempergunakan Jarum Nibung Hitam itu lenyap.

Raja tidak pernah tahu bahwa dua pukulan yang dilepaskannya ternyata mengenai punggung Pembunuh Tanpa Bayangan.

Namun sang pembunuh walau mengalami luka parah terus melarikan diri. Kini setelah tak kuasa menahan dahaga yang luar biasa akibat panas hebat yang ditimbulkan luka dipunggung sang pembunuh segera berjalan menuju ke bibir anakan sungai Air sungai ternyata cukup sejuk dan jernih.

Diantara bebatuan bahkan terlihat ikan-ikan berenang disana.

Laki-laki itu ulurkan dua tangan, telapak tangan dipentang, jemari dirapatkan.

Dengan menggunakan kedua tangan yang menggantikan fungsi batok Pembunuh Tanpa Bayangan segera dekatkan telapak tangan yang penuh air ke mulut

Srheegkh!

Genangan air ditangan tersedot masuk amblas kedalam tenggorokan.

Berulang kali dia menghirup air yang bening sejuk.

Rasa dahaga perlahan berangsur lenyap.

Pembunuh Tanpa Bayangan menghela nafas. Sakit dipunggungnya makin menjadi.

Sambil menggigit bibir dia layangkan pandang ke depan.

Dibagian lebih kehilir aliran anak sungai terdapat sebuah jurang.

Terdengar pula suara bergemuruh laksana curah hujan.

Dalam keadaan sakit, sementara pikiran terombang-ambing tidak menentu.

Tanpa banyak membuang waktu dia segera berjalan menuju aliran sungai.

Sampai di tepi jurang dia melihat sedikitnya ada tiga air terjun yang berasal dari tiga sungai besar yang berada disebelah timur, utara dan barat.

Dari ketinggian diatas tebing, memandang ke bawah dia tidak dapat melihat bagian dasar jurang akibat tertutup uap air terjun yang mengepul membubung melewat mulut jurang.

Dia lalu jatuhkan diri, berlutut di tengah anakan sungai tanpa hiraukan celananya yang basah hingga sebatas pinggang

"Aku telah gagal melakukan tugas! Guruku pasti marah besar. Dia tidak akan senang mendengar kegagalan." gumam laki-laki itu dengan wajah tertunduk mata menatap kosong.

"Aku tidak takut pada guru. Tapi bagaimana dengan manusia aneh yang mengaku sebagai Seruling Halilintar itu? Bukankah Mutiara Tujuh Setan dia yang memesannya? Dia bisa marah besar bahkan mungkin membunuhku jika tahu aku tidak mendapatkan barang yang dipesannya."

Pikirnya lagi, Ingat dengan keganasan Seruling Halilintar sebagaimana yang dia saksikan ketika berada di dusun bambu.

Diluar kesadarannya Pembunuh Tanpa Bayangan bergidik ngeri.

"Aku harus menyelamatkan diri dari manusia yang satu itu. Dia bukan manusia melainkan mayat hidup, Mayat iblis!"

Kata Pembunuh tanpa Bayangan dengan suara bergetar.

Dia mengusap tengkuknya yang mendadak berubah dingin.

Merasa seperti ada yang mengawasi.

Secepat kilat dia bangkit berdiri. Baru saja dia mampu berdiri tegak tiba-tiba saja terdengar suara alunan seruling.

"Siapa yang meniup seruling!"

Sentak Pembunuh Tanpa Bayangan dengan suara serak tercekat ditenggorokan. Dengan tatapan nanar bercampur rasa cemas dia layangkan pandang.

Memandang keadaan di sekitarnya namun tidak terlihat ada orang lain di tempat itu.

"Mungkinkah dia? Bila dia orangnya yang meniup seruling mengapa suaranya biasa-biasa saja tidak menggeledek seperti suara Halilintar?"

Pikir Pembunuh Tanpa Bayangan curiga.

Segala tanya dihati belum sempat terjawab ketika terdengar suara menyentak disertai berkelebatnya satu sosok bayangan

"Mutiara tidak didapat, malah luka yang didapat. Hampir mampus pula. Dan lebih pengecutnya lagi melarikan diri melepas tanggung jawab!"

Hardik suara itu lantang.

Terkejut malah nyaris terkencing-kencing Pembunuh Tanpa Bayangan seketika menoleh menatap ke satu pohon yang terdapat diseberang sungai.

Matanya mendelik besar ketika melihat diatas cabang pohon duduk bertengger seorang kakek berpakaian serba merah berwajah tirus berdagu lancip.

Dengan sepasang matanya yang cekung menjorok seakan amblas ke dalam rongganya.

"Orang tua, maafkan aku. Tugas yang kau berikan telah kulakukan, benda yang kau minta belum kudapat. Aku sendiri kena dicidrai oleh seorang pemuda aneh bernama Raja yang dijuluki Sang Maha Sakti Raja Gendeng."

Sepasang alis mata yang menjulai mengernyit. Kakek diatas pohon terdiam sambil mengingat-ingat

"Sang Maha Sakti Raja Gendeng. Nama itu akhir-akhir ini semakin sering menjadi buah bibir pembicaraan dunia persilatan. Sekali waktu aku ingin menjajaki kehebatannya. Mendengar dia punya senjata aneh berupa sebuah pedang. Pedang itu malah disebut-sebut sebagai pedang Gila."

Sambil gelengkan kepala si kakek mengusap janggutnya. Sambil menatap Pembunuh Tanpa Bayangan si kakek berucap.

"Segala halangan yang kau alami selagi melakukan tugas bukan menjadi urusanku. Yang jelas kau telah gagal mengemban amanat pesanan."

"Aku tahu orang tua. Harap beri aku kesempatan. Biar semua kubicarakan dengan guruku yang berdiam tak jauh dari tempat ini. Aku yakin guru pasti mau membantu mengambil alih tugas yang kau berikan, Lalu segalanya menjadi beres."

"Ha ha ha! Percuma saja kau dijuluki sebagai Pembunuh Tanpa Bayangan jika selalu mengandalkan gurumu. Aku tidak bisa menunggu. Segala urusanku tak dapat ditunda. Kegagalan ini bisa menjadi menjadi kendala bagiku untuk mendapatkan ilmu sakti yang bisa membuatku hidup dalam keabadian."

"Menurutmu apa yang seharusnya aku lakukan orang tua. Saat ini aku terluka parah, butuh waktu untuk menyembuhkan luka dipunggungku ini."

Ucap Pembunuh Tanpa Bayangan parau.

Si kakek dicabang pohon dongakkan kepala lalu tertawa tergelak-gelak. Puas dia mengumbar tawa dengan tegas dia berkata.

"Lukamu tidak usah disembuhkan."

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu?"

Tanya Pembunuh Tanpa Bayangan tercengang.

"Luka itu perlu dibuat lebih parah dan berdarah-darah! Ha ha ha!"

Walau sudah menduga namun Pembunuh Tanpa Bayangan tetap saja tak dapat menutupi rasa kagetnya.

Sadar orang berniat menghabisinya.

Laki-laki itu tidak tinggal diam.

Dengan segenap keberanian yang bangkit dengan sendirinya akibat direndahkan orang, tiba-tiba Pembunuh Tanpa Bayangan berteriak lantang.

"Tua bangka aneh, siapapun dirimu aku tidak takut padamu.. Jika kau tetap ingin membunuhku lebih baik kuhabisi kau sekalian!"

Pembunuh Tanpa Bayangan menutup ucapannya dengan menghantam si kakek dicabang pohon. Dua pukulan sekaligus dilepaskannya. Angin menderu disertai berkiblatnya cahaya hitam menggebu.

Mendapati dirinya d?serang dengan pukulan sakti yang sangat ganas. Bukannya bergerak hindari serangan orang tua itu sebaliknya malah ganda tertawa.

"ilmumu hebat namun belum mencapai tahap sempurna!"

Si kakek memuji sambil mencibir.

Kemudian si kakek katupkan bibirnya.

Mulut menggembung dan ketika dua pukulan memancarkan cahaya hitam redup melabrak siap menggulung tubuh kurus kering itu.

Si kakek tiba-tiba meniup

Pruaah!

Wuus!

Blar!

Dari mulut yang meniup menderu gelombang angin dahsyat memupus lenyap dua pukulan yang dilancarkan oleh Pembunuh Tanpa Bayangan.Lalu angin tiupan terus melabrak apa saja yang terdapat di depannya.

Melihat datangnya serangan balik tiupan yang dilakukan lawan menghantam ke arahnya, maka Pembunuh Tanpa Bayangan segera melompat kesamping, bergulingan di atas air selamatkan diri

Buum!

Angin dahsyat mengenai air menimbulkan suara ledakan air membubung muncrat tinggi.

Pembunuh Tanpa Bayangan yang berada tak jauh dari ledakan tergontai-gontai.

"Masih adakah seranganmu yang lebih hebat!"

Teriak si kakek sambil berdiri berkacak pinggang.

Maklum dengan kehebatan lawan, tanpa bicara lagi Pembunuh Tanpa Bayangan langsung lambungkan tubuhnya ke atas.

Saat laki-laki ini mengapung diketinggian dia meraih sesuatu dari balik pakaiannya.

Dua tangannya berkelebat dan dikibaskan ke arah pohon

Seet!

Seet!

Selusin benda hitam berbentuk runcing pipih seperti jarum yang tak lain adalah senjata rahasia Jarum Nibung Hitam yang sangat terkenal itu melesat, menghantam di dua belas titik bagian mematikan yang terdapat ditubuh si kakek Orang tua yang sudah mengetahui kehebatan senjata rahasia itu ternyata tidak mau bersikap gegabah.

Dengan cepat dia bergeser ke arah cabang pohon yang lain.

Sambil berpindah dia cabut sebuah senjata berwarna hitam.

Senjata yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu tak lain adalah sebuah seruling sakti.

Seruling lalu diputar membentuk sebuah perisai pertahanan yang kokoh.

Terdengar suara deru dan berkiblatnya cahaya hitam menggidikkan dari senjata maut itu.

Selain itu bergeseknya udara pada setiap lubang seruling menimbulkan getaran serta gaung suara menggeledek.

Selusin senjata rahasia hancur bertabur menjadi kepingan.

Pembunuh Tanpa Bayangan menjerit keras.

Sambaran cahaya hitam dan guncangan serta ledakan suara seruling membuat sekujur tubuhnya terutama dibagian dalam serasa luluh lantak tercabik-cabik.

Darah menyembur dari mulut, hidung telinga juga mata.

Setiap pori-pori ditubuhnya juga mengucurkan darah.

Gaung suara seruling membuat tempat disekelilingnya hancur porak poranda.

Sekuat apapun Pembunuh Tanpa Bayangan bertahan, akhirnya dia ambruk.

Tubuhnya melayang jungkir balik lalu jatuh ke dalam sungai.

Si kakek tertawa dingin.

Memandangi lawan yang mulai terseret arus anak sungai sampai akhirnya lenyap kedalam air terjun.

Orang tua ini lalu berkata.

"Tidak boleh ada jejak yang ditinggalkan. Gara-gara manusia tolol itu. Urusan mengejar tujuh mahluk kepala jadi tertunda."

Sambil simpan seruling dibalik punggungnya, sekali sentakan kaki dari cabang pohon yang dipijaknya maka sosok si kakek lenyap tidak meninggalkan bekas.


*****



Setelah melayang dengan kecepatan laksana kilat cahaya menyambar, tujuh cahaya dalam rupa kepala tanpa badan akhirnya sampai di sebuah pedataran luas dikelilingi reruntuhan candi kuno.

Tempat yang sebelumnya dipergunakan oleh Tiga Setan Putih atau Tiga Perwira Setan untuk melakukan tapa selama belasan tahun itu terlihat sunyi.

Tujuh kepala yang sesungguhnya penghuni Mutiara Tujuh Setan yang memboyong Durganini dengan menggunakan belitan lidah untuk beberapa jenak lamanya melesat berputar-putar diketinggian candi kuno.

Tujuh hidung pesek yang masing-masing terdapat di atas mulut yang ternganga serentak mengendus membaui.

Mata kepala putih berkedip.

Karena lidahnya terjulur sulit baginya untuk bicara.

Cahaya berbentuk kepala putih yang bertindak sebagai pimpinan memberi isyarat dengan anggukkan kepala.

Enam kepala lain yang berwarna hitam, merah, biru, kuning jingga dan ungu ikutan mengangguk sebagai isyarat mereka segera turun bersama.

Dalam keadaan bergayut menggelantung bergontai-gontal sosok Durganini dengan libatan lidah ditujuh bagian tubuhnya perlahan-lahan bergerak turun.

Ke tujuh mahluk ini sengaja memilih tempat yang aman yaitu dengan meletakkan Durganini di celah lingkaran reruntuhan candi.

Karena ada tembok disekeliling tempat dimana si gadis akan diletakkan maka orang diluar candi tidak akan bisa melihat. Tubuh diam Durganini dengan perlahan diletakkan di pedataran batu.

Tujuh lidah terjulur yang bertindak menggantikan fungsi tangan ditarik lepas.

Slep!

Lepas dari beban yang berat tujuh lidah kembali masuk kedalam rongga mulut masing- masing ke tujuh mahluk itu.

"Lidahku kelu, maunya terjulur terus seperti lidah anjing guk-guk."

Kata kepala botak hitam

"Mahluk tolol,"

Mendamprat kepala yang berwarna merah polos.

"Anjing saja ingin menjadi setan biar tidak kelihatan. Masakan kau ingin menyamai anjing."

"Aku tidak mengatakan ingin jadi anjing, aku cuma berkata lidahku maunya terjulur terus seperti lidah anjing,"

Kata si hitam.

"Sudah jangan ribut terus. Kita sesama setan jangan sampai meniru tingkah laku manusia. Kalau bisa manusialah yang harus meniru tingkah laku dan perbuatan setan."

Tukas kepala biru.

"Jangan berisik."

Berkata kepala jingga.

"Nanti gadis ini bangun."

"Memang kita mengharapkan dia terjaga. Kalau dia mati Mutiara Keramat yang menjadi tempat tinggal kita tidak mungkin lagi kita biarkan mendekam dalam tubuhnya."

Kata kepala kuning.

"Jangan cuma bicara. Gadis ini telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Mutiara Tujuh Setan. Sekarang sudah saatnya kita menolong dia dari cideranya karena serangan Iblis Momok Laut Biru." kata setan biru.

"Kalian semua tunggu apa lagi."

Berkata kepala putih.

Dalam keadaan mengambang diudara kepala putih memperhatikan setiap penjuru sudut.

Sama seperti yang dia lakukan ketika berada diketinggian, hidung peseknya kembang kempis berusaha mengendus membaui.

Melihat kepala putih bersikap acuh kepala merah tiba-tiba membuka mulut, lidah dijulur keluar masuk seperti lidah ular, baru kemudian bertanya.

"Kau sendiri apa yang kau lakukan? Jangan mentang- mentang jadi ketua kau lebih banyak diam berpangku tangan."

Ucapan itu membuat kepala putih bersungut- sungut. Dengan wajah cemberut dia berkata.

"Aku lebih tahu apa yang kalian tidak ketahui. Aku membaui Tiga Perwira Setan yang telah membantu kita keluar dari istana Kuno. Sepertinya mereka pernah tinggal disini dalam waktu yang sangat lama. Tapi mengapa mereka tidak kelihatan?! Aku juga merasakan mereka memang pernah di sini. Mungkin mereka telah pergi untuk menjemput kita,"

Timpal kepala biru

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita datang mereka pergi. Aku takut Bethala Karma tiba-tiba muncul di tempat ini,"

Ucap kepala hitam sambil memperlihatkan wajah cemas.

"Jangan mau tunduk apalagi patuh pada mahluk yang satu itu. Aku tidak mau menjadi budaknya, menuruti segala perintah dan melakukan segala kejahatan yang dilakukannya. Hik hik!"

Kata kepala ungu

"Hanya gadis itu yang sanggup membantu kita mencari jalan keselamatan."

Berkata kepala putih sambil memperhatikan tubuh diam Durganini. Setelah itu perhatiannya beralih pada enam kepala lainnya

"Aku tidak mau kehilangan waktu.
Kita semua harus membantu mengobati cidera yang dialami Durganini. Lakukan semua cara, sementara aku sendiri akan masuk lagi ke dalam tubuhnya memeriksa cidera dibagian dalam."

Ucap kepala putih.

Enam kepala sama mengangguk.

Setelah itu mereka bergerak melayang mengitari tubuh Durganini.

Pemeriksaan dengan cara menempelkan telinga kesetiap anggota tubuh yang dianggap cidera dilakukan dari bagian kepala si gadis hingga ke bagian kaki.

Sementara itu kepala putih segera pula amblaskan diri ke dalam mulut Durganini.

Setelah bergerak mundar-mandir meneliti bagian dalam tubuh yang terluka.

Enam Kepala yang lakukan pemeriksaan dibagian luar tiba-tiba mendengar mengiang.

Suara kepala putih.

"Dia menderita cidera di bagian perut. Kulihat perabotan di dalam perutnya nyaris berantakan. Aku akan melakukan perbaikan dari dalam sedangkan kalian membantu dari luar!"

Kepala putih memberi perintah.

"Kami siap!"

Jawab enam kepala di luar bersahutan.

Enam kepala bergerak cepat mengitari bagian atas perut.

Semakin lama gerakan itu tambah menghebat hingga sosok-sosok berupa kepala itu kini terlihat menjadi enam cahaya warna warni.

Tubuh Durganini tergetar.

Sesekali nampak terguncang.

Sekali lagi terdengar suara mengiang kepala putih memberi tahu.

"Sekarang!"

Des!

Satu benturan lembut terjadi diperut sebelah dalam.

Di bagian luar enam cahaya menyambar sekaligus lakukan usapan lembut dipermukaan perut tubuh Durganini.

Setelah melakukan usapan lembut enam cahaya lambungkan diri diketinggian, lalu berputar tiga kali hingga ke enam cahaya itu kembali kebentuk semula.

Dipedataran batu tubuh Durganini terlihat mengepulkan asap tipis kehitaman.

Dada yang semula diam, kini terlihat bergerak turun naik.

Bersamaan dengan terbukanya sepasang mata si gadis dari mulutnya terdengar suara erangan.

"Hugkh... sakit!"

Keluh gadis itu.

"Tidak! Segala luka dan sakit yang kau alami telah kami sembuhkan,"

Kata kepala biru yang kini mendekat menghampiri. Lima kepala lain mengikut. Enam mahluk berupa kepala sekarang berjejer mengambang di depan sang dara hingga membuat Durganini terkejut namun cepat ajukan pertanyaan

"Ka-kalian siapa?"

Tanya gadis itu heran.

Namun segala takutnya seketika lenyap ketika melihat enam kepala botak berlainan warna itu ternyata bersikap ramah dan kelihatannya mereka lucu-lucu.

Kepala yang berwarna biru bergerak maju.

Mewakili teman-temannya dia membuka mulut

"Kami adalah Enam setan penghuni Mutiara Keramat.Jumlah kami sebenarnya ada tujuh, cuma teman kami yang satunya lagi berada di dalam perutmu memperbaiki sekaligus menyembuhkan luka tubuhmu dari bagian dalam"

"Kalian bertujuh?!"

Desis Durganini. Enam kepala serentak mengangguk. Heran namun penuh takjub dia berujar,

"Kalian penghuni Mutiara Keramat. Karena penghuninya ada tujuh, itu yang membuat mutiara keramat disebut sebagai Mutiara Tujuh Setan?"

"Apa yang kau katakan benar, gadis baik. Kami merasa telah berhutang budi besar terhadapmu." kata kepala hitam.

"Oh tidak. Aku hanya melakukan tugas, aku menjalankan amanat yang diberikan kakek Raga Sontang. Kakek itu sahabat saudaraku Durgandala..."

Begitu nama Durgandala dia sebut si gadis tiba-tiba ingat dengan pemuda itu. Dia mencari-cari namun sekarang baru disadarinya saat ini dia tidak berada disekitar sungai melainkan di sebuah tempat yang tidak dikenalnya.

"Dimana saudaraku Durgandala. Saat ini aku ada dimana?"

Tanya Durganini kebingungan.

Mata sang dara jelalatan, memperhatikan keadaan disekelilingnya tapi dia hanya melihat reruntuhan batu bekas Candi kuno.

"Tenang!"

Kata kepala putih yang berada di dalam tubuh Durganini, membuat gadis ini kaget lalu mendekap meremas perutnya.

"Waduh sakit. Jangan diremas! Aku bisa tergencet!"

"Heh, ada yang bicara dari dalam perutku? Siapa?"

Tanya Durganini lebih kaget lagi.

Enam kepala menyeringai mengurai senyum.

"Yang baru bicara adalah sahabat kami, kepala putih, gadis baik. Dialah yang telah menyembuhkan luka diperutmu dari sebelah dalam. Izinkan dia keluar. Kepala putih adalah pimpinan kami!"

"Aku tidak mengerti, aku bingung. Silahkan. Lakukan apa saja yang kalian kehendaki!"

Kata Durganini pasrah. Baru saja sang dara selesai bicara tiba-tiba saja dia merasakan ada sesuatu yang hangat sejuk bergerak naik melewati tenggorokan.

Bersamaan dengan itu pula dirongga mulutnya ada yang mendesak.

Durganini tercekat dengan mulut ternganga.

Wuss!

Satu kepala berwarna putih melesat keluar dari mulut si gadis.

Anehnya walau tadinya dia berada di dalam perut, namun kepala putih gundul itu tidak kehilangan sesuatu apa.

Kepala yang licin tanpa rambut juga wajahnya tidak basah.

"Tujuh setan penghuni mutiara!?"

Gumam Durganini tegang.

"Ya. Kamilah tujuh mahluk penghuni mutiara keramat."

Terang kepala putih disertai anggukkan kepala oleh enam kepala lainnya.

Tanpa membuang waktu kepala putih lanjutkan ucapan.

"Durganini sang penyampal amanat.Menjawab pertanyaanmu yang belum dijawab oleh enam sahabat kami.Terus terang saat ini kau berada di halaman candi kuno."

Sepasang mata Durganini terbelalak lebar.

Dia yang sudah tidak merasakan sakit apapun dibagian perut akibat hantaman Iblis Momok Laut Biru segera saja ingat dengan tiga Setan Putih yang harus ditemuinya ditempat tersebut

"Kakek Raga Sontang meminta kami menyerahkan Mutiara Tujuh Setan yang kusimpan dalam tubuhku pada Tiga Perwira Setan atau Tiga Setan Putih yang menetap di tempat ini. Aku telah sampai ke tujuan. Berarti tugasku mengantar kalian boleh dibilang hampir selesai."

Tujuh kepala saling pandang.

Serentak mereka gelengkan kepala.

"Ketika kami datang Tiga Setan Putih sudah tidak ada lagi di tempat ini, gadis baik."

Kata kepala biru

"Mereka entah pergi kemana?"

Menimpali kepala ungu.

"Mungkin saja mereka menyusulmu."

Ucap kepala merah

"Jadi pekerjaan ini sia-sia. Dan kalian masih harus menjadi tanggung jawabku?"

Gumam Durganini terlihat kecewa.

"Bukan kami. Yang menjadi tanggung ja wabmu adalah Mutiara Keramat. Tapi boleh dikata kami juga karena kami memang penghuni mutiara itu," ujar kepala hitam.

"Aku tidak perduli walau harus memikul amanat sampai satu purnama ke depan.Tapi aku harus melakukannya berdua.Dimana saudaraku?
Durgandala," tanya gadis itu sambil menatap kepala yang berjejer mengambang tak jauh di depannya.

"Durganini, saudara... saudaramu itu tewas saat bertarung dengan Iblis Momok Laut Biru. Maafkan kami tidak sempat menolong!" kata tujuh kepala bersamaan.

"Apa?!"

Durganini memekik kaget, sepasang mata mendelik besar, mulut ternganga dan dia tidak mampu berkata-kata.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Semua yang kau katakan memang benar.Semua ini sudah takdir. Engkau harus tabah," kata kepala putih.

"Saudaraku Durgandala tewas dan aku masih hidup? Lalu apa artinya bagiku?" berkata gadis itu disela isak tangis.

Melihat Durganini menangis.

Tujuh pasang mata saling pandang

"Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat perempuan tidak bersedih," kata kepala putih

"Biasanya kepala merah yang pintar membujuk. Bukankah dia setan yang suka menggoda wanita? Dia paling bisa menyenangkan perasaan wanita," ucap setan kuning sambil cibirkan mulut julurkan lidah.

Belum sempat kepala merah menjawab. Tiba- tiba saja Durganini hentikan tangisnya. Setelah mengusap air mata yang mengalir disela bulu-bulu yang tumbuh dipipi gadis ini berkata,

"Kalian benar.Mungkin semua ini sudah takdir kehendak para dewa. Sekarang hanya tinggal aku. Apapun yang terjadi aku harus menyerahkan Mutiara Keramat pada Tiga Setan Putih. Dan kalian tujuh makluk penghuni Mutiara Tujuh Setan. Kuharap kalian.segera kembali ke dalam mutiara. Jangan gentayangan seperti ini selayaknya bocah-bocah nakal yang sulit diatur."

"Aneh. Kita yang usianya sudah ribuan tahun disamakan dengan bocah." gumam setan hijau.

"Ikuti saja apa maunya." sentak kepala merah.

Walau mendengar ucapan dua kepala itu namun Durganini memilih diam. Dalam diam tiba-tiba dia mendengar ada suara gerakan berupa desir angin dari luar lingkaran batu, reruntuhan candi.

Suaranya tidak datang dari satu arah melainkan dari dua arah sekaligus. Bahkan sayup-sayup dikejauhan gadis ini juga masih mendengar langkah kaki mendekati.

"Celaka! Siapapun yang datang kesini past telah mengetahui keberadaanku di tempat ini." pikir sang dara.

Dia melirik ke depan. Dilihatnya tubuh kepala beraneka warna kini telah bergabung membentuk satu kelompok, lalu berputar cepat tak ubahnya titiran. Semakin lama putaran semakin bertambah cepat.

Seiring dengan terdengarnya suara deru halus, tujuh kepala lenyap berubah menjadi tujuh cahaya indah menakjubkan. Durganin terkesima sekaligus, merasa kagum. Selagi dia terpesona dengan segala keindahan yang terpentang di depannya si gadis mendengar ucapan dari balik tujuh warna cahaya itu.

"Gadis baik. Kami akan kembali ke dalam Mutiara Keramat. Mulai saat ini apapun yang terjadi padamu kita akan menghadapinya bersama-sama!"

Sadar yang bicara tidak lain adalah tujuh mahluk penghuni mutiara maka gadis itu pun anggukkan kepala.

Wuus!

Plaash!

Gabungan tujuh cahaya mengamblaskan diri masuk ke dalam tubuh Durganini, membuat si gadis terguncang keras namun dia tidak merasakan sakit apa-apa. Bagian tubuh tempat dimana tujuh cahaya menghunjamkan diri terasa dingin sejuk.

Dan anehnya lagi Durganini sekarang merasakan tubuhnya menjadi enteng, penglihatan tambah terang dan segala kesedihan yang sempat dia rasakan akibat kehilangan saudaranya mendadak lenyap.

Bangkit berdiri dengan tubuh seringan kapas, Durganini mencoba menyelinap dari lingkaran batu reruntuhan candi. Namun selagi mengitari lingkaran dibagian dalam mencari celah yang dapat dilewatinya, tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa merobek kesunyian.

Walau telah merasakan tanda-tanda kehadiran orang lain di tempat itu. Tak urung sang dara dibuat tercekat mendengar suara gelak tawa yang membuat tanah disekitarnya bergetar keras laksana diguncang gempa.

Durganini katubkan mulut. Diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian tangan, bersikap waspada dari segala kemungkinan. Belum sempat menduga siapa adanya gerangan yang datang di luar dihalaman luas yang sunyi terdengar ada suara orang berkata,

"Si jahanam tolol telah kubuat mampus, karena hidup pun rasanya percuma saja karena dia tak becus dalam melaksanakan tugas. Tapi gara-gara menyelesaikan urusan dengan kecoak busuk itu, urusanku untuk mendapatkan mutiara Tujuh setan jadi tertunda."

Didalam ruang lingkaran candi yang runtuh, Durganini diam merunduk. Dalam hati dia berkata,

"Siapapun orang itu pasti sudah mengetahui akulah yang membawa mutiara tujuh setan, Mudah-mudahan para dewa melindungi dan tujuh setan penghuni Mutiara ikut membantu." pikir gadis itu.

Baru saja si gadis berpikir demikian, dari luar lingkaran batu kembali terdengar ucapan.

"Aku tidak bisa ditipu. Tujuh mahluk aneh berupa kepala jelas kulihat menuju ke arah sini. Mereka memboyong gadis berbulu monyet itu dengan lidahnya."

"Menggotong dengan lidah? Benarkah tujuh mahluk penghuni mutiara keramat membawaku dengan lidah. Aku tidak tahu, tapi orang diluar tahu. Celaka?!" desis Durganini tambah cemas.

Kemudian lagi-lagi si gadis mendengar ucapan.

"Aku tidak melihat dia disekitar sini. Halaman kosong. Tapi kemungkinan dia disembunyikan di suatu tempat. Ada banyak sekali bagian-bagian candi yang cukup baik dijadikan tempat bersembunyi.Untuk menemukan orang yang membawa Mutiara Tujuh Setan, jalan yang paling baik adalah menghancurkan sisa-sisa candi hingga sama rata dengan tanah!"

Di dalam lingkaran batu bundar berbentuk sumur Durganini semakin meningkatkan kewaspadaannya.

Sementara itu diluar sosok yang bicara yang tak lain adalah seorang kakek berpakaian serba merah bertubuh kurus kering berjanggut dan berambut putih diam-diam angkat kedua tangannya.

Tangan dijunjung diatas kepala, tenaga sakti disalurkan ke bagian tangan dan dua kaki. Dua pasang mata dipentang, menatap lurus ke arah reruntuhan candi berbentuk lingkaran tempat dimana Durganini mendekam.

Dalam waktu sekejap kedua tangan itu telah berubah hitam menggidikkan. Dari setiap jemari tangan mengepulkan asap hitam disertai tebaran bau kemenyan.

"Muncullah segala yang bersembunyi" teriak si kakek yang belum lama berselang baru saja menghabisi Pembunuh Tanpa Bayangan.

Belum lagi teriakannya lenyap.

Dua tangan yang berubah hitam menggidikkan segera dia hantamkan ke depan.

Wuus!

Dua larik cahaya hitam berkiblat, menderu dengan kecepatan luar biasa siap menghantam ke arah sasaran yang dituju.

Namun selagi dua larikan cahaya yang berbentuk alur panjang itu bergerak setengah jalan.

Tiba-tiba saja terdengar suara kuda meringkik disertai berkelebatnya dua sosok tubuh yang datang dari samping sebelah kiri dan kanan si kakek.

"Datang dengan membawa kekacauan seharusnya orang sepertimu dipendam lama dalam liang kubur."

Ada suara yang menggerutu.

Dua cahaya merah menggidikkan berkiblat dari dua arah bertawanan, memotong gerakan dua cahaya hitam yang dilepaskan oleh si kakek berpakaian merah. Hawa panas luar biasa menebar diudara, bergulung-gulung bersama sambaran cahaya merah yang datang menerjang.

Benturan dahsyat tak dapat dihindari. Dua ledakan berdentum mengguncang tempat itu.

Tanah bergetar, batu-batu bertebaran memenuhi udara. Si kakek terhuyung, dari mulut semburkan rutuk serapah.

Disebelah kiri sosok gadis berpakaian putih jatuh terguling, Disebelah kanan si gadis sosok kakek berpakaian berupa selempang kuning yang tiada lain adalah Lisang Geni guru gadis yang bernama Nilam Suri terhuyung namun segera dapat mengimbangi diri.

Lingkaran batu reruntuhan candi sebagian runtuh. Namun Durganini yang mendekam dibalik lingkaran belum terlihat.

Durganini merasa ada orang datang membantu, diam-diam hatinya merasa lega. Dari tempat persembunyiannya dia berusaha mencari tahu siapa gerangan yang datang ulurkan bantuan.

Sementara ditempat masing-masing dalam jarak yang tidak berjauhan kakek berpakaian merah, Lisang Geni maupun Nilam Suri saling melempar pandang.

Si kakek yang merasa ada orang yang mencoba mencampuri urusannya tanpa menunggu lebih lama langsung membentak.

"Siapa kalian? Apakah aku mengenal orang-orang sepertimu?"

"Mungkin kau tidak mengenali wajahku, orangtua. Tapi aku sangat mengenali wajahmu." menyahuti Lisang Geni.

Nilam Suri yang telah merasakan betapa hebatnya tingkat tenaga dalam yang dimiliki oleh kakek berpakaian merah tak tahan memendam segenap rasa ingin tahu.

Segera saja dia ajukan pertanyaan pada Lisang Geni,

"Guru... memangnya siapa kakek bermuka mayat itu?"

Tanpa ragu Lisang Geni menjawab,

"Dialah manusia yang bernama Ki Agung Saba Biru..."

Mendengar disebutnya nama itu kagetlah Nilam Suri dibuatnya. Dengan mata terbelalak seolah tidak percaya tiba-tiba saja gadis ini berucap.

"Ki Ageng Saba Biru? Bukankah turut kabar yang kita dengar guru Tanggul Api juga guru Tunggul Angin telah berpulang menemui ajal sekitar satu purnama yang lewat. Tanggul Api yang juga biasa disebut seruling Halilintar mengabarkan kematian gurunya pada para sahabat dekat termasuk kita.Bagaimana mungkin orang yang dikabarkan telah mati kini bisa gentayangan di tempat ini?"

Lisang Geni geleng-gelengkan kepala sebagai tanda rasa tidak mengerti.

"Itulah yang aku tidak mengerti. Orang mati dapat bangkit dari kematiannya lalu gentayangan mencari sebuah benda yang bukan miliknya. Jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Kematian itu hanya muslihat namun Tanggul Api tidak pernah mengetahui tentang hal ini!"

"Ha ha ha! Tanggul Api hanya murid yang bodoh. Dia tidak tahu apa pun rencana dibalik kematianku. Dia tak pernah tahu dengan segala rencana tua bangka ini." kata si kakek yang tidak lain Ki Agung Saba Biru adanya.

"Mengapa kau menginginkan Mutiara Tujuh Setan, orang tua? Apa benda yang kau cari itu atas pesanan seseorang? Siapa yang memesannya? Sungguh aku tahu orang tua sepertimu tak lagi membutuhkan Mutiara Tujuh Setan. Bukankah demikian?" tanya Lisang Geni sambil menatap tajam pada orang tua berwajah angker di depannya.

"Dia berserikat, bersekutu dengan iblis."

sentak Nilam Suri sinis.

Bukannya menjawab. Kakek berwajah tirus berdagu lancip ini sebaliknya malah tertawa tergelak-gelak.

"Dugaanku ternyata benar. Kita berdua harus melindungi gadis pengemban amanat dari perbuatan jahat!" kata si gadis lagi membuat Ki Agung Saba Biru hentikan tawa, palingkan kepala dan menatap dengan mata mendelik ke arah dara itu.

"Gadis cantik, mulutmu pandai bicara, otakmu cerdik juga. Tapi apakah kau dan gurumu ingat siapa aku? kalian berdua aku sendiri. Tapi kujamin nyawa kalian segera lepas dari badan jika aku menghendakinya."

"Tua bangka bermulut lancang! Siapa takut padamu!" teriak Nilam Suri.

Bersamaan dengan ucapannya itu dia mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Sambil melompat ke arah si kakek dengan kecepatan laksana kilat menyambar dia babatkan pedang ke leher lawan yang disusul dengan satu tusukan ke bagian dada.

Kilauan cahaya putih menyertai berkelebatnya senjata ditangan Nilam Suri.

Menyerang dengan menggunakan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung. Serangan itu sebenarnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Tapi yang dihadapi oleh Nilam Suri adalah tokoh sakti yang memiliki ilmu tinggi serta pengalaman yang luas.

Mendapati pedang menderu mengancam keselamatannya, si kakek malah ganda tertawa.

Kemudian hanya dengan menggeser salah satu kaki dan miringkan tubuhnya, dua serangan itu hanya lewat sejengkal di depan wajahnya.

Selag? Nilam Suri tersentak kaget dan berusaha kibaskan pedangnya kesamping, si kakek tiba-tiba balas menyerang sambil hantamkan tinjunya kearah Nilam Suri.

Melihat ini Nilam Suri melompat ke belakang hindari serangan, namun gerakannya yang sangat cepat ternyata masih kalah cepat dengan lawannya.

Dess!

Tinju Ki Agung Saba Biru bersarang telak dibahu gadis itu, membuatnya jatuh terpelanting sambil meringis kesakitan.

Melihat muridnya terjatuh hanya dalam satu gebrakan saja, Lisang Geni segera maklum dengan kesaktian yang dimiliki lawan. Dia segera menyerang. Tidak tanggung- tanggung, begitu kakinya membal dan tubuhnya melambung dia langsung kirimkan dua pukulan yang disusul dengan sapuan ke arah kaki lawan.

Dua serangan menderu melabrak tubuh Ki Agung Saba Biru sementara dibagian bawah kedua kakinya juga menjadi incaran tendangan lawan.

Mendapat serangan mendadak begitu rupa membuat Ki Agung sempat terkejut, namun sambil melompat ke atas hindari terjangan kaki dia gerakan tangan kiri sambuti dua jotosan lawan.

Duuk!

Duuk!

Benturan keras terjadi membuat keduanya sama terdorong mundur.

Namun tanpa menghiraukan rasa sakit yang dialaminya Lisang Geni memutar badan. Kaki yang tadinya gagal mengenai sasaran kembali berkelebat, sementara tangan kiri dengan jurus Memupus Kabut Pekat dikibaskan ke wajah lawan.

Ki Agung Saba Biru yang tadinya tersenyum sinis ketika bentrok dengan tinju lawan terkesiap. Tamparan dan tendangan susulan yang dilakukan lawan ternyata dua kali lebih cepat dari serangan sebelumnya.

Tidak ingin celaka terkena salah satu serangan itu, dia berusaha melompat kebelakang selamatkan diri.

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun diluar sepengetahuan Ki Agung Nilam Suri yang sempat terpental ternyata telah bangkit. Dengan kemarahan meluap gadis ini juga ikut menyerang Ki Agung dengan menggunakan pedangnya.

Wuus!

Des!

Terkejut tak menyangka mendapat dua serangan dari dua arah sekaligus maka perhatian Ki Agung sampat terpecah. Tidaklah mengherankan dia hanya sempat hindar? pukulan Lisang Geni namun dia tidak kuasa menyelamatkan kedua kakinya dari tendangan si kakek. Orang tua ini jatuh terjengkang.

Selagi tubuhnya terguling-guling Nilam Suri mencercanya dengan tusukan dan bacokan pedang. Tidak kepalang tanggung gadis ini bertindak, dia barengi pula dengan tendangan menggeledek ke bagian kepala dan rusuk lawannya.

Angin menderu menyertai tendangan itu. Ki Agung Saba Biru menggerung keras. Satu gerakan cepat dilakukannnya hingga membuat tubuh si kakek melambung diudara.

Tapi secepat apapun dia selamatkan diri, tak urung ujung pedang Nilam Suri masih sempat merobek pakaian merah sehingga menggores bagian pinggangnya.

Darah mengucur.

Sumpah serapah dan caci maki berhamburan dari mulut orang tua itu.

Dengan kemarahan meluap, selagi tubuhnya mengambang dia dorong dua tangannya sekaligus ke dua arah.

Cahaya biru kehitaman berkiblat, deru angin panas bergulung-gulung menyertai berkiblatnya cahaya itu.

Satu menghantam ke arah Lisang Geni sedangkan satunya lagi melabrak ke arah Nilam Suri.

Dapati dirinya diserang sedemikian rupa Nilam Suri segera pergunakan pedang ditangan untuk melindungi diri. Dengan tangan kiri dia mencoba menangkis serangan itu dengan pukulan sakti Gemuruh Awan Merapi.

Sementara Lisang Geni tidak mau bertindak ayal. Melihat Ki Agung Saba Biru menghantamnya dengan serangan mematikan, dia segera dorongkan tangannya ke atas sambut pukulan lawan dengan pukulan sakti Luapan Air Bah Melanda Gunung.

Suara gemuruh laksana luapan air sungai yang menjebol bendungan terdengar memekilkan telinga.

Suara itu makin bertambah angker menggidikkan akibat suara menderu yang berasal dari pukulan Ki Agung.

Hawa panas menyambar Ki Agung dari sisi sebelah kiri tempat dimana Nilam Suri berada.

Sementara hawa dingin luar biasa melabrak Ki Agung dari sebelah kanannya.

Sadar mendapat perlawanan hebat, sementara tubuh mulai terguncang akibat dorongan yang datang dari dua arah sekaligus, Ki Agung Saba Biru lipat gandakan tenaga dalam ke bagian tangan.

Ketika dua tangan kembali dihentakkan, terdengar....

Buum!

Buum!

Dua ledakan berdentum mengguncang tempat itu. Api, debu dan pasir berhamburan memenuhi udara.

Si kakek angker terpelanting tinggi. Sesampainya dipuncak ketinggian tubuhnya meluncur kebawah.

Sekeras apapun Ki Agung berusaha agar dapat jatuh dengan kedua kaki terlebih dulu menyentuh tanah, namun tetap saja dia terjatuh dalam keadaan duduk terhempas.

Si kakek menggerung sambil menggeliat kesakitan dia usapi pantatnya

*****

Tujuh tombak di depan Ki Agung Saba Biru, Nilam Suri jatuh terkapar sama rata dengan tanah.

Pedang ditangan terlepas dari genggaman. Sebagian pakaian putihnya nampak hangus berlubang dibeberapa tempat hingga memperlihatkan kulitnya yang putih mulus.

Ki Agung menyeringai melihat kemolekan tubuh sang dara. Sadar dirinya sempat jadi perhatian, sambil menyumpah dia tutupi lubang menganga di bawah dada. Sementara ketika kakek itu layangkan pandang ke samping kirinya dia melihat Lisang Geni sudah duduk bersila sambil rangkapkan dua tangan di depan dada, pertanda orang tua ini juga mengalami guncangan dibagian tubuh sebelah dalam.

"Murid dan guru. Kedua orang ini memiliki tingkatan ilmu serta tenaga dalam yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Aku harus menggunakan Seruling Halilintar untuk menghabisi mereka secepatnya!" batin Ki Agung Saba Biru.

Sambil menyeringai sinis, Ki Agung bangkit berdiri. Selanjutnya dengan suara angker dia berkata,

"Kalian berdua termasuk lawan yang tangguh bagiku. Tapi hidup kalian tidak akan berlangsung lama!"

"Tua bangka keparat! Aku tidak takut mati!" jawab Nilam Suri yang segera berdiri tegak sambil silangkan pedang di depan dada.

"Kami akan menghalangi segala niatmu. Mutiara Tujuh Setan harus dikembalikan ke tangan orang yang berhak!" dengus Lisang Geni pula.

Dari balik pinggangnya orang ini mengambil sebilah senjata aneh berupa payung berwarna hitam.

Melihat senjata memancarkan cahaya hitam angker, Ki Agung Saba Biru pun segera maklum senjata ditangan Lisang Geni bukan senjata sembarangan.

"Bagus! Kalau masih ada lagi, keluarkanlah semua senjata yang kalian miliki!" seru si kakek.

Sejauh itu dia masih belum mengeluarkan senjata mematikan berupa seruling yang tersembunyi dibalik punggungnya,

"Kakek berselempang dan sahabat dara ber pakaian putih. Kalian mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Mutiara Tujuh Setan, maka aku sebagai pembawa amanat menyatakan bergabung dengan kalian berdua!" terdengar seruan dari balik reruntuhan batu candi,

Ki Agung menyeringai dan arahkan pandang ke tempat dimana suara berasal.

Lisang Geni terkejut. Nilam Suri terbelalak dengan mulut ternganga ketika melihat dari balik lingkaran batu muncul seorang gadis bertubuh pendek, wajah dan sekujur tubuh penuh ditumbuhi bulu-bulu lebat seperti bulu monyet.

Gadis itu mengenakan pakaian hijau dan dia bukan lain adalah Durganini.

"Kau... memang kaulah orangnya yang dipercaya membawa Mutiara Tujuh Setan dari puncak Papandayan untuk diserahkan kepada Tiga Setan Putih yang seharusnya ada di sini." kata Ki Agung Saba Biru diiringi senyum kemenangan.

"Tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Kau tahu dan dua orang sahabat itu juga tahu," jawab Durganini sambil melirik pada Nilam Suri dan Lisang Geni silih berganti.

"Celaka! Gadis berbulu ini agaknya tidak tahu betapa jahatnya kakek satu ini." batin Lisang Geni cemas.

Bila sebelumnya kakek ini rela mati.

Kemunculan Durganini justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri di lubuk hatinya.

"Bagus!" kata Ki Agung Saba Biru.

"Orang yang dipercaya membawa benda mustika telah muncul sendiri, Sekarang serahkan Mutiara Tujuh Setan kepadaku!"

"Kau tidak akan pernah mendapatkan!" sahut Durganini dengan suara berdengus.

"Kalau begitu mampuslah!" teriak Ki Agung.

Bersama dengan teriakannya itu secepat kilat dia melesat ke arah Durganini. Dua tangan yang terpentang meluncur dan menyambar kepala gadis itu dengan gerakan mencengkeram.
Melihat tindakan yang dilakukan lawan, Lisang Geni dan Nilam Suri tiba-tiba saja memotong laju gerak si kakek dengan serangan pedang dan serangan ujung payung.

Melihat serangan dua senjata itu, Ki Agung menggerung marah.

Sambil menarik balik serangan dia mencabut senjata dipunggungnya. Ketika Ki Agung kibaskan senjata ditangan. Suara menderu mengerikan disertai kiblatan cahaya hitam bergaung diudara. Seiring dengan itu dari setiap lubang yang bergesekan dengan udara menggebu hawa dingin disertai dentuman-dentuman menggeledek tak ubahnya serangkaian halilintar menyambar bumi.

"Ngung!"

Trak!

Ting!

Ting!

Payung sakti ditangan Lisang Geni hancur menjadi kepingan dilabrak suara gaung yang berasal dari tangan Ki Agung.

Tidak hanya itu akibat yang ditimbulkan oleh seruling maut itu, pedang ditangan Nilam Suri juga patah menjadi tiga bagian terkena getaran suara menggeledek yang berasal dari seruling.

Kejut dihati murid dan guru bukan kepalang.

Sekuat tenaga keduanya mencoba bertahan. Dalam kesempatan itu Durganini yang melihat kedua penolongnya terhuyung segera datang membantu.

Tapi selagi sang dara merangsak maju sambil menghantam seruling ditangan si kakek, tiba-tiba saja Ki Agung meniup senjata itu.

Suara menggeledek yang ditimbulkan oleh seruling ditangan Ki Agung tidak hanya membuat orang-orang disekitarnya terguncang dengan sekujur serasa luluh lantak.

Namun juga membuyarkan perhatian Lisang Geni, Nilam Suri juga Durganini.

Dan yang lebih mengerikan lagi ledakan-ledakan menggelegar yang ditimbulkan oleh seruling membuat kawasan disekitar candi kuno porak poranda.

Keganasan yang ditimbulkan oleh seruling Halilintar membuat Lisang Geni menyadari, Jangankan muridnya dia sendiri juga tak mungkin sanggup bertahan.

Karena itu dia berteriak ditujukan pada Nilam Suri juga Durganini

"Kalian berdua lekas tinggalkan tempat ini. Aku akan menahannya!" seru Lisang Geni.

Nilam Suri tidak kuasa menjawab. Langkah gadis itu terhuyung, tubuh limbung sempoyongan.

Dari mulut, hidung dan sekujur tubuhnya meneteskan darah.

Kejadian mengerikan yang dialami Nilam Suri juga gurunya memang tidak sampai terjadi pada Durganini. Gadis itu hanya terguncang. Telinga tidak terasa sakit, tubuh dibagian dalam justru terasa sejuk. Semua ini berkat campur tangan kekuatan Mutiara Tujuh Setan yang ikut membantu melindungi Durganini dari pengaruh serangan Seruling Halilintar.

"Tak ada yang dapat menahanku! Kalian semua harus mampus. Ha ha ha!"

Ki Agung Saba Biru tiba-tiba keluarkan seruan Sambil berucap demikian tiupan seruling semakin menjadi-jadi.
Setiap suara yang keluar dari ujung seruling membuat udara seperti dicabik-cabik. Nilam Suri tak kuasa bertahan. Tubuhnya ambruk bermandikan darah.

Kejadian yang sama juga menyusul pada Lisang Geni. Si kakek itu akhirnya roboh tak berkutik.

Melihat Durganini sanggup bertahan dari serangan seruling mautnya, diam-diam Ki Agung Saba Biru menjadi heran.

Dia tidak habis mengerti bagaimana gadis itu bisa bertahan, Tapi si kakek tidak sempat berpikir lebih lama.

Melihat Durganini diam terpaku menyaksikan orang-orang yang siap membelanya, roboh. Kesempatan itu dipergunakan si kakek menyambar ke arah sang dara.

"Kau ikut aku." teriak Ki Agung.

Durganini tersentak. Menatap ke depan dia melihat lima jemari tangan kanan telah terjulur siap menyambar kepalanya. Dalam jarak sedekat itu apalagi serangan si kakek berlangsung dengan kecepatan laksana kilat, tidak ada kesempatan baginya untuk melawan.

Tak ada pilihan lain, selagi dari balik perut sang dara ada hawa panas aneh yang hendak mencuat keluar, Durganini cepat jatuhkan diri lalu bergulingan menjauh

"Kau tidak dapat lari dariku!" geram Ki Agung Saba Biru

"Kakek muka mayat, kau juga tak mungkin terlepas dari tanganku! Ha ha ha!"

Satu suara menggeledek disertai tawa tergelak-gelak meng-gema di udara.

Ki Agung Saba Biru terkejut bukan main.

Namun belum sempat dia menatap ke arah suara yang datang, tahu-tahu satu tamparan keras mendarat telak diwajahnya disertai dua tendangan yang menghantam dada dan perutnya

"Wuargkh...!"

Si kakek yang tidak sempat menghindar menjerit tertahan. Dia jatuh terpelanting. Tapi tanpa menghiraukan wajahnya yang merah kelam akibat tamparan serta nafasnya yang sempat menyesak juga perutnya yang terasa mulas, dia bangkit berdiri dengan kemarahan yang menggeledek.

Memandang ke depan ke arah Durganini ada seorang pemuda gondrong berdiri tegak membelakangi gadis itu.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Siapa kau jahanam!"

Hardik Ki Agung Saba Biru.

"Kau sendiri siapa? Setan kuburan?" sambut pemuda gondrong berpakaian kelabu yang bukan lain adalah Raja adanya.

Ki Agung tambah kesal.

Tanpa sadar dia mengusap pipinya yang kena ditampar. Dalam hati dia berkata,

"Pemuda ini lagaknya seperti orang gendeng. Cengengesan, senyum-senyum seperti mengejek. Tapi harus kuakui dia memiliki tendangan yang sangat hebat."

Penasaran Ki Agung melangkah maju. Lang- kahnya terhenti tiga tindak didepan Raja.

"Apakah aku mengenalmu?!"

Ki Agung ajukan pertanyaan.

Sang pendekar menyeringal, lalu menjawab.

"Sesama setan masakan tidak saling kenal. Tentu saja kita saling mengenal walau cuma dalam mimpi burukmu. Ya... aku adalah minmpi terburukmu, kakek muka setan!"

Dihina sedemikian rupa Ki Agung Saba Biru marahnya bukan kepalang.

Terlebih ketika menyadari pemuda itu telah menggagalkan niatnya.

"Kisanak! Siapapun dirimu aku berterima kasih kau telah telah sudi datang membantu."

Tidak jauh dibelakang Durganini tiba-tiba berucap.

"Bantuan tidak seberapa, kuharap jangan berterima kasih," sahut pemuda itu.

Dia menatap gadis itu sekejap lalu kedipkan matanya.

"Sebaiknya kau menepi. Beri kesempatan padaku untuk bergurau dengan kakek hantu ini!" ujar Raja.

Si gadis senyum-senyum, namun teringat pada Nilam Suri dan Lisang Geni diapun bergegas mendatangi mereka dan segera memeriksa keadaannya.

Durganini merasa menyesal ketika tahu baik Nilam Suri maupun gurunya ternyata telah menemui ajal.

"Orang-orang yang selalu berusaha membantuku banyak yang menemui ajal. Jangan-jangan pemuda itu juga.."

Dengan perasaan sedih dia menatap ke arah sang pendekar.

Sementara itu Ki Agung Saba Biru nampaknya sudah tidak lagi dapat bersabar hati,

"Kau yang memulai dan kau juga yang harus menanggung akibatnya!" teriak kakek itu.

"Akibat apa? Serulingmu memang hebat, tapi perlu apa takut karena aku juga punya suling walau sulingku tidak berbunyi. Ha ha ha!" sahut Raja membuat lawannya tambah geram

Wuut!

Ucapan Raja disambut si kakek dengan jotosan mengarah ke mulut. Melihat mulutnya hendak dijotos, sang pendekar segera palingkan wajah, kaki digeser kesamping.

Dengan jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung dia dorong tangan kanan ke depan sambuti jotosan lawan.

Duuk!

Benturan keras membuat tubuh keduanya tergetar. Raja sendiri segera kibaskan tangannya yang nyeri akibat benturan.

"Tenaga dalamnya sangat tinggi. Dalam usia yang masih sangat muda dia telah memiliki tenaga dalam sehebat itu."

Batin Ki Agung Saba Biru yang sempat merasakan betapa dari kepalan tangan hingga kepangkal lengan terasa kesemutan.

"Apalagi yang kau tunggu? Kau mengaku kalah? Kalau demikian lekas berlutut didepanku.Semoga rajamu ini memberi pengampunan!" teriak Raja.

"Jahanam tengik! Mampuslah..."

Wuut!

Ki Agung Saba Biru akhiri ucapan dengan disertai satu lompatan ke depan. Melihat lawan menyerang dengan kecepatan sulit diikuti kasat mata, pemuda ini segera melompat mundur, Namun selagi sang pendekar belum siap dengan kuda-kudanya, pukulan tangan kosong yang dilakukan si kakek secara beruntun datang dari seluruh penjuru arah.

Melihat lawan mengandalkan serangan yang berlangsung cepat, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang didukung oleh jurus-jurus yang menjadi andalannya pemuda ini berkelebat menghindar. Sesekali dia membalas pukulan dan menahan tendangan dengan jurus Tarian Sang Rajawali dan Tangan Dewa Menggusur Gunung.

Semua serangan si kakek hanya mengenai tempat kosong.

Melihat ini si kakek lalu melambungkan tubuhnya. Dan dibarengi dengan gerak berjumpalitan tangan kiri orang tua itu menderu siap mengepruk kepala Raja.

"Aih, remuk kepalaku!" seru Raja, namun dia segera selamatkan kepala dengan miringkan tubuh.

Serangan lewat disamping bahu. Kesempatan ini dipergunakan sang pendekar dengan mendorong sikunya ke dada lawan.

Duuk!

"Hegkh...."

Ki Agung mendelik ketika rusuknya kena dihantam siku lawan.

Nafasnya menjadi sesak. Itulah yang membuatnya melompat mundur.

Raja tidak memberi hati. Dia segera merangsak maju. Tapi gerakan menyerang pemuda itu tiba-tiba jadi tertahan. Malah sejurus kemudian tubuhnya terseret, terdorong kembali ketempat semula begitu Ki Agung pergunakan Seruling Halilintar untuk menyerangnya.

Suara gaung mengerikan serasa membuat kepala pecah, telinga remuk dan tubuh dibagian dalam hancur menjadi kepingan sekali lagi melanda tempat itu.

Raja katubkan mulut. Lindungi telinga dengan mengerahkan tenaga dalam penuh. Tapi guncangan-guncangan yang ditimbulkan seruling yang kini mulai ditiup oleh si kakek membuat sang pendekar jatuh bangun.

Disaat diri terombang-ambing oleh pengaruh getaran suara seruling yang ditiup oleh si kakek, sang pendekar segera menutup indra pendengaran dengan tenaga sakti.

Daun Tangkai Petir yang dia susupkan ke liang telinga begitu sampai ditempat itu juga bergetar, maka dia segera kerahkan segenap daya dan kekuatan untuk bertahan.

Tapi semakin pemuda ini berusaha bertahan, tubuhnya semakin mengalami guncangan luar biasa.

Otot-otot dan pembuluh darahnya bersembulan seperti mau meletus.

Sedangkan pakaian sakti yang menempel ditubuhnya tampak mengepulkan asap kelabu.

Tanpa disadari oleh lawan seperangkat pakaian kelabu itu membuat satu tabir pelindung yang menjadikan sang pendekar mampu bertahan.

"Harusnya tubuh keparat gondrong itu tercerai berai. Kekuatan apa yang melindungi tubuhnya," batin si kakek sambil terus meniup serulingnya sekaligus lipat gandakan tenaga dalam dengan tiupannya.

"Celaka! Aku tak mungkin hanya bertahan! Kakek itu harus dihentikan. Kalau tidak aku bisa bahaya!" pikir Raja.

Dalam keadaan bertahan dengan kaki yang dihunjamkan ke tanah, pemuda itu sempatkan diri melirik ke arah Durganini.

Diam-diam dia merasa heran melihat Durganini ternyata mampu bertahan dari gaung suara seruling.
Si gadis tertunduk, namun sedikitnya ada tujuh cahaya tipis aneh menyelimuti sekujur tubuh sang dara.

"Sahabatku Jiwa dalam pedang Gila. Lekas keluar! Habisi si kakek yang meniup seruling itu!"

kata sang pendekar ditujukan pada Jiwa yang berdiam dalam hulu pedang Gila yang tergantung dipunggungnya.

"Gusti paduka. Sudah menjadi takdir. Kita memang sebaiknya menyelesaikan segala sesuatu bersama-sama."

Sreek!

Seketika cahaya kuning menyilaukan memancar diudara seiring dengan berkelebatnya pedang.

Pedang menderu, bergerak dengan sendirinya tanpa kendali pemiliknya.

Pedang berwarna keemasan tercabut dari dalam rangkanya, lalu melesat ke arah si kakek laksana anak panah yang terlepas dari busurnya.

Melihat ini Ki Agung Saba Biru terkejut.

"Senjata jahanam! Bagaimana mungkin bisa melesat tanpa ada yang mengendalikan?!"

Desis Ki Agung terkejut.

Tak ingin celaka ditembus pedang maka dilipatgandakan tenaga sakti dalam tiupan serulingnya.

Tiupan yang makin menghebat membuat keadaan disekitarnya serasa dilanda kiamat.

Ditempatnya terduduk Durganini tambah terguncang. Tubuh jungkir balik seperti ada yang menendang.

Raja sendiri menggeram hebat.

Kaki depan ditekuk, tangan dikepal. Dalam posisi satu kaki berlutut, dia kerahkan tenaga dalam penuh kedua belah tangannya. Dua tangan yang terkepal kemudian berubah menjadi biru terang.

Perlahan dua tinju diangkat tinggi siap dihantamkan ke tanah melepas pukulan sakti Seribu Jejak Kematian.

Selagi sang pendekar berusaha keras mengatasi kekacauan yang ditimbulkan oleh tiupan seruling, pedang Gila yang melesat ke arah Ki Agung Saba Biru tiba-tiba bergetar terpengaruh getaran hebat yang ditimbulkan seruling yang ditiup si kakek.
"Seruling itu mengacaukan perasaan dan menghambat gerakan pedang Gila."

Batin jiwa yang mengendalikan pedang.

"Heaa..."

Sang Jiwa keluarkan suara teriakan yang tak pernah didengar oleh lawan.

Pengerahan tenaga sakti tambahan yang dilakukan Jiwa pengendali pedang membuat pedang Gila bergetar keras. Tapi tak lama kemudian seiring dengan gerakan Raja yang menghantam tanah dengan dua tinjunya maka membuat pedang Gila dapat melesat kembali.

Si kakek terkejut ketika merasakan ada hawa panas menyengat melabrak kedua kakinya. Dan dia tambah kaget ketika melihat pedang Gila menderu ganas siap menembus jantungnya.

Orang tua ini segera pergunakan seruling yang tadinya ditiup untuk menangkis.

Cahaya hitam berkiblat disertai suara berdengung tak berkeputusan.

Trang!

Seruling sakti dan pedang Gila berbenturan keras, menimbulkan suara berdentring dan percikan api.

Ki Agung terhuyung...
Namun dia tidak dapat mengimbangi diri karena dua kaki yang menjejak tanah tiba-tiba lumpuh sulit digerakkan.

Diudara pedang yang bergetar akibat benturan berputar, lalu berbalik menyerang si kakek.

Tidak ada kesempatan untuk selamatkan diri,ki Agung kembali kibaskan seruling kearah punggung.

Gerakan menangkis yang dilakukan sekenanya ini membuat sang pedang dengan mudah dapat menghindarinya.Berhasil menghindar pedang menukik tajam dari atas menembus bahu.

Crass!
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tanpa ampun ujung pedang amblas ke dalam bahu hingga ke dada.

Ki Agung Saba menjerit setinggi langit.Sebelum tubuhnya ambruk dan seruling ditangan terlepas dari genggaman,pedang gila melesat meninggalkan tubuh lawan.

Setelah berputar tiga kali diketinggian pedang itu kembali masuk kedalam rangkanya.

Raja bangkit berdiri setelah mengucapkan terima kasih pada jiwa yang telah membantunya.

Dengan perasaan letih pemuda ini menghampiri tubuh diam lawannya.

Setelah itu dia menatap ke arah seruling maut yang tergeletak tidak jauh disamping si kakek.

Seruling Halilintar dipungutnya,lalu dia selipkan dibalik pinggang sebelah kiri.

"Senjata sakti, hebat tapi berbahaya bila berada ditangan orang seperti dia."

Batin sang pendekar.Sambil menghela nafas pemuda ini balikan badan.Maksudnya hendak menghampiri Durganini dan menanyakan keadaannya.

Namun gadis itu ternyata telah berdiri dihadapannya.

Dibalik bulu- bulu halus Raja melihat wajah sang dara yang pucat dan menyisakan ketakutan.

"Bagaimana keadaanmu?" bertanya sang pendekar.

"A..aku baik-baik saja.Kau pendekar hebat. Jika kau tidak datang menolong aku tak tahu apa jadinya."

Ucap Durganini sambil menatap kagum pada Raja.

"Ha ha ha. Kau lewat memuji," sahut Raja sambil tertawa.

"Kita harus segera menemui Tiga Setan Putih. Bila Mutiara Tujuh Setan memang ada padamu kita harus menyerahkan pada mereka."

Raja memberi tahu.

"Mutiara itu memang ada padaku. Aku senang kau menemani, tapi kemana harus mencari Tiga Setan Putih. Bukankah sebelumnya mereka tinggal ditempat ini?" tanya sang Dara heran,

"Aku tahu tempatnya. Tiga setan gundul itu tidak kemana-mana. Ha ha ha," jawab sang pendekar disertai gelak tawa

Durganini manggut-manggut.

Dia ikutan tertawa walau tidak tahu apa yang ditertawakan Raja

Tamat.

Selanjutnya!

Dendam Orang Orang Sinting


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,24 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******




Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir

Cari Blog Ini