Ceritasilat Novel Online

Seruling Samber Nyawa 18


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 18




   Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung

   
Sementara itu dengan tukikan bagai burung garuda Siauthian- sin-ju Yap Thong-jwan meluncur turun hinggap ditanah, katanya kepada delapan pelaksana hukum itu.

   "Kalian lekas pulang bersama menunggu petunjuk selanjutnya. Tapi kalian sudah melerai setelah aku melancarkan enam puluh empat jurus Siau-thian chiu, kebaikan ini kuterima dengan ikhlas, serahkan saja orang ini kepada Hu tong (Sekte Tikus)!"

   Baru sekarang Giok-liong sadar, kenapa tadi musuhnya mau mundur setelah melabrak dirinya habis habisan, kiranya ia sudah kehabisan tenaga dan kehilangan kontrol tipu-tipu silatnya.

   Dengan wajah serius delapan pelaksana hukum menjura bersama seraya berkata sungguh.

   "Lim-cu (Majikan) ingin benar menemui orang ini" (BERSAMBUNG

   Jilid KE 17)

   Jilid 17 "Biar aku saja yang melayani ... ."

   Sela Siau thian sin-ju Yap Thong jwan sambil merogoh keluar sebuah lencana emas berbentuk delapan persegi.

   "Tang !"

   Langsung ia lemparkan lencana itu kedepan kaki delapan pelaksana hukum suaranya terdengar melengking tajam laksana sebilah pisau, gerungnya.

   "Nah, aku rela menyerahkan lencana mas pengampunan hukuman mati, Aku bersumpah harus mencuci bersih hinaan ini. Cepat kalian kembali laporkan keadaan sebenarnya kepada Lim cu !"

   HarusIah maklum Bian-gi-kim pwe (lencana mas pengampunan hukuman mati) ini merupakan sebuah pusaka yang paling sukar didapat dalam hutan kematian.

   Sebab orang yang membekal lencana macam ini boleh bebas dari suatu hukuman mati yang di jatuhkan oleh Lim-cu bagi mereka yang membekal lencana ini kedudukannya pasti sangat tinggi paling rendah juga para Tong cu saja, yang lain tak mungkin bisa dapat anugrah tertinggi ini.

   Sebaliknya meskipun menjabat sebagai Tong cu kalau belum pernah menegakkan pahala besar bagi Hutan kematian juga tidak gampang bisa memperoleh Bian-si-kim pwe itu.

   Menurut undang undang Hutan kematian meskipun kau melanggar dosa setinggi langitpun selain berintrik hendak menumbangkan kekuasaan atau hendak membunuh Lim-cu, asal mengeluarkan lencana mas ini maka segala dosa dapatlah dihindari dengan benda pusaka ini.

   Sudah tentu delapan pelaksana hukum dari Liong-tong menjadi melenggong setelah saling pandang sebentar mereka berkata serempak .

   "Tong cu kenapa harus marah begitu besar."

   Siau thian-sin-ju Yap Thong-jwan membentak dengan bengis. Walaupun kalian adalah pelaksana hukum dari Liongtong, apakah kalian tidak menghargai lencana mas dan memandang ringan aku, he ?"

   "Mana hamba beramai berani."

   Tanpa banyak bicara lagi mereka segera berkelebat pergi, lencana mas diatas tanah itu entah kapan telah hilang, sebentar saja delapan pelaksana hukum Liong-tong itu sudah lenyap.

   Sementara itu suara bunyi tikus tadi semakin riuh rendah, entah sudah berapa banyak yang telah meluruk datang.

   Tiba-tiba Siau-thian-sin ju Yap Thong-jwan merogoh keluar pula sebuah panji kecil segitiga, lalu diangkatnya tinggi-tinggi dan dikibar-kibarkan, seketika terbit angin ribut serta sinar putih perak kemilau berkelebat menyilaukan mata terpancar keempat penjuru.

   Lwekang yang tinggi serta bekal ilmu sakti yang mandraguna membuat hati Giok-liong semakin tabah dan berani, terdengar ia bergelak tertawa lantang.

   "Tadi enam puluh empat jurus Siau thian chiu aku sudai berkenalan. Masih ada ilmu apa lagi yang kau anggap jempolan sllakan boyong keluar semua, sekarang tiada orang yang mau memisah ditengah jalan."

   "Baik, akan kupertunjukkan untukmu !" "Citt"

   Seketika dari empat penjuru lantas jadi ribut saling bersahutan, Dari semak belukar diatas dahan dahan pohon serta dari bawah tanah, mendadak saling bermunculan beratus bayangan orang kecil-kecil kurus semua berbentuk lucu persis benar seperti tikus, seluruh tubuhnya dibungkus pakaian putih perak, ditangan mereka masing-masing menyekal sebuah panji kecil tiga persegi juga, setiap bergerak pasti menimbulkan kesiur angin dan sinar perak kemilau dingin.

   Setelah ratusan manusia macam tikus itu muncul semua merubung ke belakang-Siau-thian-sin-ju Yap Thong-jwan sambil terus menggerak-gerakan panji kecil itu tanpa bersuara.

   Kelihatan bibir Yap Thong-jwan menjebir, terdengarlah desis seram yang mengerikan, sambil menggoyangkan panji kecil di tangannya ia melangkah cepat bagai terbang berputar ratusan manusia kecil aneh seperti tikus itu semua membelalakkan mata bundarnya sambil menarikkan panji di tangannya di atas kepala terus membuntuti di belakang Siauthian- sin-ju Yap Thong jwan, langkah mereka teratur rapi dan cepat laksana angin.

   Begitulah semakin lama gerak badan mereka semakin cepat, langkahnya seperti pengejar angin, membentuk sebuah lingkaran besar.

   Lama kelamaan saking cepat mereka bergerak bayangan merasa susah dibedakan lagi, yang terlihat nyata hanyalah sebuah bundaran sinar perak besar seperti gelang perak yang mengepung Giok-liong dengan rapat dan berputar cepat seperti roda.

   Giok-liong tahu bahwa inilah salah satu karya yang paling diandalkan dari sekte tikus hutan kematian ini, yaitu bergabung membentuk barisan jahat untuk melumpuhkan musuh.

   Tahu dirinya terkepung dalam bahaya, sedikitpun Giokliong tidak berani lalai, seluruh tubuh dijalari oleh hawa pelindung tubuh, kedua tangannya bergerak-gerak siap bertempur.

   Sekonyong-konyong sebuah teriakan bunyi tikus yang melengking menusuk telinga mengiring luncuran sebuah bayangan orang yang mendadak melejit keluar dari kepungan sinar perak berputar itu, bergerak dengan kecepatan kilat, menyergap dengan ganas secara dlluar dugaan, begitu cepat gerak serangan ini mendatang sampai susah diikuti dengan pandangan biasa.

   Serentak dalam waktu yang bersamaan bayangan putih ditengah gelanggang juga sudah bersiaga, tanpa berkelit atau menyingkir malah memapak maju menyambut serangan lawan.

   Tapi belum lagi ia berhasil menangkis serangan dari depan ini, mendadak terdengarlah pekik yang lebih nyaring dari belakang bayangan putih mengejar datang sejalur panah perak melesat menusuk punggung.

   Menghadapi dua sasaran yang berbahaya ini sedikitpun Giok-liong tidak menjadi gugup, sedikit miringkan tubuh, tangan kiri tetap didorong kedepan, sedang tangan kanan mengebut kebelakang, serentak ia bergerak menangkis dan memunahkan dua serangan dari depan dan belakang.

   Kalau dikata lambat kenyataan cepat sekali.

   Setiap kali terdengar pekik bunyi tikus maka lantas terlihatlah menyambarnya sebuah jalur panah perak, demikian juga beruntun dua kali dari kiri kanan bersamaan melesat pula dua jalur panah perak yang mengarah dirinya.

   Bercekat hati Giok-liong, meskipun Lwekangnya tinggi dan tidak perlu merasa takut, tapi betapapun kedua tangannya ini sulit menghadipi serangan serentak dari berbagai penjuru, menghadapi yang satu dilarikan yang lain.

   Dalam kejap lain jalur panah itu melesat semakin banyak dari berbagai penjuru.

   Cara luncuran dan serangan jalur perak panah ini berbagai ragam, ada yang sampai di tengah jalan lantas mundur lagi, ada pula yang menggunakan sepenuh tenaga, ada pula yang membelok kesasaran lain di tengah jalan, dan ada pula yang hanya meluncur lewat ditengah udara, semua serba aneh dan sukar diraba kemana sasaran utama, karena juga sulit dijaga sebelumnya.

   Saking banyak luncuran panah perak bergerak kelihaian seperti kupu kupu yang menari diatas kuncup bunga, sedang segulung bayangan putih yang berputar ditengah gelanggang laksana bintang kejora seperti bulan dikelilingi bintangbintang.

   Kesiur angin semakin ribut dan tajam laksana ujung golok ditabaskan sehingga kulit badan Giok-hong terasa perih seperti di iris pisau.

   Begitulah setiap kali terlihat panji bergerak dan bergetar kesiur angin tajam lantas menyambar simpang siur menerjang ke arah gulungan mega putih yang bergulung berkelompok.

   Di tengah gulungan mega putih ini terlihat pula bayangan kepalan tangan bergerak lincah seperti kupu menari sehingga alam sekitarnya menjadi gelap dan remang-remang dengan perpaduan pemandangan yang kontras ini.

   Inilah suatu pertempuran antara mati dan hidup antara nama dan gengsi, Keadaan Giok liong sendiri sudah tidak dapat membedakan lagi yang manakah Siau-thian-sin-ju Yap Thong jwan.

   Maka tujuan hendak meringkus pentolan dan penjahat untuk di tawan sebagai sandera yang dirancangnya semula menjadi gagal total.

   Seperminuman telah berlalu, Meskiputi Lwekang Giok-liong sangat kuat, kalau terus menerus memberondong dengan pukulan yang menghabiskan tenaga tentu hawa murni dalam tubuhnya pasti terkuras habis, Saat sekarang masih rada mendingan masih kuat bertahan lama kelamaan pasti keadaan tidak menguntungkan bagi dirinya.

   Lepas dari kekuatiran Giok-liong sendiri adalah serangan musuh semakin gencar malah, lingkaran bundar perak berjalan semakin capat, laksana kicir angin berputar, jalur panah perak melesat dan menerjang kencang bergantian tak mengepal putus.

   Akhirnya Giok-liong menjadi nekad dan bertekad untuk turun tangan, timbullah nafsu membunuh menghantui sanubarinya.

   Tiba-tiba sinar menyorong keluar, secarik jalur sinar terang melayang tinggi ketengah udara, lima irama seruling berkumandang mengalun tinggi di tengah angkasa.

   Laksana keluhan naga seperti auman harimau menggetarkan seluruh alam semesta ini.

   Begitulah ditengah kumandang irama musik yang merdu mengasyikkan ini, beruntun terdengarlah pekik dan jeritan yang melengking menyayatkan hati menyedot sukma.

   Seketika terjadilah hujan darah, badan manusia melayang dan terkapar malang melintang dan terpental jauh beberapa tombak, sekarang terlihat mega putih mulai kuncup menyaru dan mulai mengembang naik, kabut juga semakin tebal.

   Di luar arena bundaran dengan manusia yang berwarna putih perak itu masih terus bergerak dengan lincahnya, namun sudah tidak segesit semula.

   Bau amis semakin tebal merangsang hidung, dihembus angin lalu sehingga memualkan.

   Terjadilah penjagalan atau pembunuhan besar-besaran.

   Lambat laun mayat mulai bertumpuk meninggi, malang melintang tak teratur semakin banyak.

   Dahan-dahan pohon sekitar gelanggang menjadi merah karena darah dan banyak kaki tangan atau usus serta isi perut manusia bergantungan disamping batu-batu gunung berserakan pula mayat mayat yang sudah tak keruan rupanya, rumput nan hijau subur juga menjadi basah dan berwarna merah darah bercampur cairan putih dari otak manusia yang kepalanya pecah.

   Korban berjatuhan semakin banyak tapi irama seruling semakin merdu dan mengalun lemah mengasjuk sanubari, demikian juga sinar mas berkelebat tak mengenal ampun, dimana sinar mas ini menyamber kontan terdengar jerit pekik yang mendebarkan hati.

   Sekonyong-konyong terdengar suara cit-cit bunyi tikus yang keras sekali, suaranya sedemikian pilu mengetuk hati nurani.

   Kesiur angin yang ribut seketika sirap bundaran besar putih perak juga lantas berhenti bergerak.

   Demikian juga jalur perak panah itu lantas mulai mengendor di lain kejap juga lantas ditarik balik semua.

   Ratusan rnanusia aneh macam tikus ini tinggal tiga empat puluh orang saja, semua berdiri mematung lemas lunglai seperti jago aduan yang kalah, Panji kecil yang terpegang di tangan juga melambai turun, mereka sembunyi di belakang Siau-thian-sin ju Yap Thong jwan, semua sudah kehilangan semangat semula yaag menyala dan garang.

   Sementara itu, sinar kuning mas juga segera kuncup, demikian juga irama seruling lantas berhenti.

   Dengan melintangkan seruling di depan dadanya Giok-liong berdiri tegak sekokoh pohon cemara, Dimana ia berdiri sekitarnya sudah basah kuyup dan dikotori oleh darah dan cairan memutih yang mendirikan bulu roma.

   Menyeringai dingin Giok liong berkata sambil menuding mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya dengan potlot luasnya.

   "Yap thong-jwan (gangsir malam) inilah hasil karyamu seorang, jangan kau sesalkan aku telah berlaku ganas dan kejam ?"

   Tampang yang jelek dari Sian-thian-sin-ju Yap Thong-jwan kini semakin buruk kelihatannya.

   Panji kecil ditangannya masih dikibarkan, kedua biji matanya mulai mengembeng air mata, Tapi sikap congkaknya masih terbayang pada wajahnya, desisnya sambil mengertak gigi.

   "Yap Thong-jwan tidak becus belajar siiat, terpaksa hari ini aku harus pasrah nasib ?"

   Giok-liong menjengek hina.

   "Keparat, goblok kau. Kau seorang ini terhitung apa, yang terpenting kau tidak seharusnya mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak berdosa.". Siau-thiao sin- ju Yap Thong-jwan menyeringai bengis.

   "Hahahaha ! hehehehe !"

   Gelak tawanya seperti orang utan mengeluh panjang, membuat orang merinding dan ber-gidik.

   Tanpa pedulikan Giok liong lagi, tiba-tiba ia membalikkan tubuh menghadapi anak buahnya yang masih ketinggalan hidup itu, tiba-tiba ia bersenandung dengan suara tinggi.

   "Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi hutan kematian tak terhina, berkorban demi keangkeran!"

   Serentak empat puluh manusia aneh macam tikus itu berbareng berlutut dan menyembah, serempak mulut mereka juga ikut bersenandung .

   "Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi, hutan kematian tak terhina, berkorban demi keangkeran !"

   Habis bersenandung mendadak tiga empat puluh manusiamanusia seperti tikus itu membalikkan gagang panji kecil yang runcing itu dimana sinar perak berkelebat "Cras"

   Darah lantas menyembur deras beterbangan bagai air mancur.

   Empat puluh lebih orang-orang itu sama roboh celentang, setiap dada mereka tertancap sebuah panji kecil segi tiga, kelihatan isi perut mereka dedel duwel bergerak-gerak mengikuti aliran darah yang menyembur keluar.

   Tidak kepalang kejut Giok-liong, sekian lama ia kesima mematung di tempatnya, belum lagi ia sadar akan adegan yang dihadapinya ini, Siau-thian sin ju Yap Thong-jwan sudah membalikkan tubuh, terus berlutut di tempatnya lalu menyembah serta berseru lantang.

   "Terima kasih akan budi kebaikan Lim-cu !"

   "Bles!"

   Darah muncrat keluar badannya yang kurus kecil itu seketika roboh terkapar tak bergerak lagi.

   "Hidup abadi semangat hutan kematian!"

   Terdengar gemboran yang nyaring dingin.

   Tahu-tahu diantara mayatmayat bergelimpangan itu kini sudah bertambah satu orang.

   Orang ini bermuka panjang warna abu-abu bersemu hitam, sepasang matanya memancarkan sorot tajam berkilat Kedua ku-pingnya caplang dengan jenggot kambing pendek yang awut-awutan seperti sikat.

   Tangan kiri cacat sampai disikutnya, sedang tangan kanan membekal sepasang bandulan baja yang kuning berkilau, diputar-putar berbunyi nyaring.

   Dengan tajam ia awasi Giok-Hong, mimiknya seperti tertawa tidak tertawa sikapnya sinis mengejek.

   Giok-liong menggeser kedudukan mengambil posisi yang menguntungkan, serunya lantang .

   "Apalah tuan ini juga anggota dan Hutan kematian?"

   Tapi orang itu mengadukan kedua butir bandulannya, lalu sahutnya rendah.

   "Kalau aku anggota dari Hutan kematian, mungkin , ..hihihi, hahaha..."

   Entah apa maksud tertawa sinisnya ini, yang terang suaranya menusuk telinga tak enak didengar terasa seluruh badan seperti gatal gatal dan menjadi tidak betah.

   "Apa maksudmu Tuan?"

   "Kau belum paham ?"

   Giok-liong mendengus.

   "Mari kau ikut aku !"

   Lenyap suaranya badan orang itu lantas melompat jauh, betapa cepat gerak tubuhnya ini, selama ini belum pernah pernah Guk-liong menyaksikan Ginkang sehebat itu begitu sebat sekali seperti bayangan setan tahu-tahu bayangan orang sudah lima tombak jauhnya, Naga-naganya Lwekangnya sudah sempurna dalam latihannya.

   Tidak kuasa Giok-liong sampai bersuara heran, kuwatir kena jebak dan tertipu lagi, ia berlaku tenang tenang saja tetap berdiri ditempatnya sambil tersenyum tanpa bersuara.

   "Wut, bayangan orang itu kembali meluncur datang, jengeknya .

   "Kau tidak berani?"

   "Kenapa tidak berani ?"

   "Kenapa kau tidak mati ikut ?"

   "Kenapa aku harus ikut kau ? "Hahaha ! Hahahaha ...

   "

   Gelak tawa menggila kumandang sekian lamanya, seperti arus sungai besar yang tak putus, tidak tinggi tapi menggetarkan sukma dan menusuk telinga, tidak rendah tapi berat menekan perasaan.

   "Tertawa gila apa kau ?" "Kim-pit-jan-hun, kiranya hanya nama kosong belaka !"

   "Apa kau menghina ?"

   "Kalau seorang laki-laki sejati, menghadapi hutan golok, dan minyak mendidih seumpama harus menerjang kedalam sarang harimau dan rawa naga juga tidak perlu gentar !"

   "O, jadi maksudmu aku Ma Giok.liong seorang penakut ?" .

   "Kalau bukan takut, kenapa diam saja ?"

   "Terlalu, tuan berangkat!"

   "Bagus! Ayoh"

   Sekarang bayansan putih yang meluncur lebih dulu, sekali berkelebat lantas lewat menghilang, Tapi bayangan hitam agaknya tidak mau ketinggalan melompat memburu dengan kencang melampaui bayangan putih, ditengah udara ia berkata lirih .

   "Biarlah aku membuka jalan !"

   Giok-liong mengiakan sambil mengerahkan sembilan tingkat Lwekangnya hawa murni ditarik dalam seketika tubuhnya meluncur cepat laksana bintang jatuh mengejar rembulan menerjang awan, laksana luncuran anak panah yang menembus udara.

   Tak kira, tiba-tiba terasa dipinggir kupingnya berkesiur angin kencang, ternyata bayangan hitam itu sudah melesat melampaui belum sempat matanya berkedip bayangan itu sudah melayang jauh kedepan lima tombak.

   Timbul sipat kekanak-kanakan Giok-liong rasa ingin menang sendiri melingkupi sanubarinya.

   Diam-diam ia kerahkan sepenuh tenaga murninya, Leng-hun-toh segera dikembangkan, begitu Lwekang dalam tubuhnya bekerja sampai titik tertinggi tubuhnya melesat semakin cepat.

   Akan tetapi besar keinginannya hendak menyusul bayangan hitam di depan dan melewatinya, tak urung usahanya sia-sia belaka tak kurang tak lebih jarak mereka tetap sekian jauh saja, jangan kata hendak mengejar lewat untuk berlari berendeng bersama saja agaknya sulit sekali.

   
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Arah yang mereka tuju adalah sebuah puncak yang menjulang tinggi, keadaan jalan yang mereka lalui semakin belukar dan meninggi serta gelap menyeramkan.

   Namun titik hitam dan putih bagai kunang kunang meluncur cepat, begitu cepat sampai sulit diikuti pandangan mata biasa, Begitulah mereka berlari-lari kencang seperti mengejar setan.

   Satu jam kemudian, jarak yang mereka tempuh tidak kurang sejauh puluhan li, Jauh di depan sana terbentang sebuah hutan belantara yang gelap pekat, rontok dedaunan begitu tebal hampir satu kaki tingginya, mengeluarkan hawa busuk yang lembab menutuk hidung.

   Mendadak kelihatan bayangan hitam itu menggunakan gaya Ham-ya-to lio ( burung gagak hinggap dalam hutan ), cepat sekali tubuhnya meluncur turun hinggap diatai tanah diluar hutan ia berpaling muka sambil menggape, tanpa bersuara tubuhnya lantas menyelinap masuk kedalam hutan dan menghilang.

   Seluruh tenaga sudah dikerahkan namun tak mampu mengejar orang, Giok-liong sudah uring uringan dan dongkol, melihat orang menggape tangan, maka tanpa ayal lagi segera ia mengejar mengikuti jejaknya.

   Udara dalam hutan belukar ini terasa rada hangat, daun melayang berjatuhan, sekelilingnya sunyi senyap, sedetik saja bayangan hitam itu sudah menghilang jejaknya.

   Sekarang bayangan hitam itu, tanpa banyak peduli yang lain begitu mengempos semangat ia terus menubruk maju lebih dalam Iagi, beruntun ia berloncatan beberapa kali, mendadak pandangan matanya menjadi terang, pemandangan yang dihadapi sekarang berubah sama sekali, membuat orang seakan-akan tenggelam dalam impian kayal belaka.

   Pohon Yangliu meliuk melambai dihembus angis, Pohon dan rumput hidup subur menghijau, rada jauh di sebelah depan terlihat beberapa bangunan gubuk bambu dari anyaman alang-alang.

   Disekeliling bangunan gubuk itu, tumbuh berbagai kembang yang tengah mekar semarak, indah warnanya harum baunya.

   Didepan pintu tak jauh dari sederetan pohon Yangliu mengalir sebuah sungai dengan airnya yang jernih.

   Dalam sungai ada beberapa ekor angsa tengah berenang dengan suka ria.

   Di pinggir sungai sebelah kiri menonjol keluar meninggi sebuah tonggak batu yang halus mulut menjolor keatas air setombak lebih.

   Diatas tonggak batu mulus inilah duduk seorang laki-laki berpakaian seperti petani, sebelah tangannya memegang sebuah joran panjang, sedang tangan yang lain memegang se

   Jilid buku tengah membaca dengan asyiknya.

   Waktu itu Giok liong masih berada dipinggir hutan rindang, terpaut lima enam tombak dari deretan pohon Yangliu.

   Melihat pemandangan seperti didunia lain, seketika timbul hayalan seperti didalam impian belaka.

   Rasa dongkol dan uring uringan tadi kini tersapu bersih dari benaknya.

   Melihat kebebasan dan sentosa kehidupan petani yang asyik masyuk membaca buku itu, timbul rasa ketarik dan memuji akan kebesaran hidup dalam alam yang tenang ini.

   Dikebutnya lengan baju membersihkan kotoran yang melebar diatas badannya lalu pelan-pelan ia melangkah maju.

   Petani pertengahan umur itu seolah olah tidak melihat atau mendengar akan kehadirannya.

   Sampai Giok-liong sudah melewati gubuk bambu dan sampai dipirsggir sungai berdiri di belakangnya, dia masih tetap duduk tenang membaca bukunya tanpa bergerak.

   Sejenak kemudian joran yang terulur masuk kedalam air kelihatan bergerak dan ketarik masuk kedalam air, terang bahwa kailnya sudah berhasil dimakan ikan.

   Akan tetapi saking asyik, si petani membaca buku sedikitpun ia tidak merasakan akan hal ini.

   "Ikannya sudah kepancing!"

   Tak terasa mendadak Giokliong berseru.

   Tanpa melirik atau bergerak petani itu tetap tenggelam dalam bacaannya, mungkin seumpama geledek berbunyi di pinggir telinga-nya.

   Air dalam sungai bergejolak, joran panjang ini ikut bergerak timbul tenggelam, terang sang ikan tengah meronta dalam air.

   "Ikannya sudah kepancing, kenapa ....."

   Tak tertahan lagi Giok-liong berseru pula.

   Baru sekarang petani pertengahan umur itu angkat kepalanya, sekilas ia melirik kearah Giok-liong, tapi cepat cepat matanya tertuju kepada bukunya lagi, joran yang dipegangnya itu sedikit digentakkan keatas.

   Seekor ikan gabus besar kontan meletik keluar air, ikan itu cukup besar dan berwarna merah mas berkilat terus meronta ronta diatas joran.

   Sekarang petani pertengahan umur meletakkan buku di belakang duduknya, sepasang matanya menatap takjup kearah ikan yang meronta roma itu seolah-olah tengah menikmati suatu hasil karya yang sangat berharga dengan tekun dan sesama ia mengawasi terus.

   Sekian lama ikan gabus itu meronta-ronta mendadak sekali loncat "Plung"

   Ia terlepas dari kail panjang itu terus kecemplung pula kedalam air, ekornya lantas bergoyang dan berenang dalam air dengan senangnya, dilain kejap lantas selulup untuk menghilang.

   "Hahahahaha!"

   Petani pertengahan umur bergelak lantang, suara tawanya tajam berat bagai tajam golok mengiris kulit, ujarnya keras.

   "Kupancing kaulalu kulepas kembali untuk bebas, Kelak tergantung kepada keberuntunganmu sendiri! "habis berkata seenaknya saja ia tancapkan joran ditaagannya itu diatas batu tonggak yang keras itu. Haruslah diketahui batu tonggak besar dimana ia duduk adalah batu-batu pualam pilihan yang kerasnya melebihi besi baja, joran kecil baja bila orang biasa mana mampu menancapkannya kedalan batu itu, dapatlah diperkirakan betapa tinggi lwekang orang ini pantas bukan sembarang tokoh kosen. Tapi saat mana Giok-liong telah tenggelam menerawang kata-kata petani pertengahan umur barusan sedikitpun ia tidak perhatikan joran yang tertancap diatas batu itu. Pelan pelan petani pertengahan umur itu bangkit berdiri, baru sekarang ia mengamati amati Giok-iiong sekian lama acuh tak acuh ia berkata.

   "Bukankah saudara adalah Kim-pitjan- hun Ma Giok-liong yang menggetarkan dunia persilatan itu?"

   Giok liong tersentak dari lamunannya hatinya berpikir.

   "Petani pengasingan ini dari mana dapat mengetahui kejadian di Kangouw mungkinkah ia seorang tokoh lihay yang mengasingkan diri disini."

   Karena pikirannya timbul kewaspadaan dalam benaknya, mulut juga lantas menyahut.

   "Aku yang rendah memang Ma Giok liong adanya, Harap tanya tempat ini ... ."

   Sorot mata petani pertengahan umur sentak berubah dingin, demikian juga air mu kanya nendadak memancarkan sinar yang aneh seperti cahaya benda benda pusaka yang kemilau, Tajam sinar matanya menjadikan Giok-liong tidak berani beradu pandang, Rada lama kemudian baru tercetus perkataannya.

   "Apa kau tidak takut?"

   "Aku yang rendah tidak tahu tempat apakah ini?"

   "Kalau begitu kau adalah ikan yang terpancing masuk ke sini !"

   Hahaha !"

   Gelak tawanya ini entah mengandung maksud apa yang terang nada gelak tawa ini cukup menusuk telinga Giok-liong sehingga badan terasa risi.

   Tanpa menghentikan gelak tawanya dengan langkah kekar petani pertengahan umur beranjak turun ke pinggir sungai, lalu ujarnya.

   "Mari ikut aku!"

   Kalau dilihat langkahnya beda dengan langkah manusia umumnya, tapi sedikitpun tidak meninggalkan jejak diatas tanah, Tapi dalam sekejap saja ia sudah berjalan jauh melewati deretan pohon yang liu itu tujuh tombak lebih.

   Angin yang kencang menderu, tiba tiba petani itu membentak bertanya .

   "Apakah kau pernah lihat permainan ini?"

   Sesaat Giok-hong mengingat-ingat, lalu geleng kepala sambil tertawa pahit, katanya.

   "Aku yang rendah belum pernah lihat."

   "Belum pernah lihat?"

   Giok-liong mengiakan.

   "Apakah tidak pernah dengar ?" "Juga belum !"

   "Coba keluarkan Seruling samber nyawamu."

   "Untuk apa ?"

   "Akan kubuat kau berkenalan dengan senjataku ini"

   "Tar!"

   Tanpa menanti penyahutan Giok-liong, ia sudah teriakan pecutnya itu menjadi bayangan rapat yang melibat dirinya sehingga timbuI kesiur angin dingin tajam yang merangsang.

   Belum lagi kelihatan kaki petani pertengahan umur bergerak, bayangan pecut itu sudah mengurung dan mengekang seluruh tubuh Giok-liong di tengah lingkaran pecut.

   Baru sekarang Giok-liong tersentak sadar, cepat-cepat ia kembangkan Ginkangnya mengejar kedepan.

   Dikejap lain petani pertengahan umur itu sudah memasuki salah sebuah gubug bambu itu, lalu melompat keluar pula berdiri diatas rerumputan yang subur menghijau, Kini tangannya sudah menyekal sebatang pecut panjang warna hitam yang mengkilap.

   Pecut panjang ini seperti terbuat dari kulit tapi bukan kulit, seperti besi juga bukan besi, tapi juga tidak seperti menjalin, seluruh panjang pecut ini kira kira ada sembilan kaki dalam warna hitamnya itu lapat-lapat terpancar cahaya merah darah.

   "Tar!"

   Begitu petani pertengahan umur menghentakkan pergelangannya pecut panjang itu melccut tinggi ketengah udara ber-bunyi nyaring.

   Begitu keras dan lincah sekali seperti seekor ular hidup, berputar lincah tiga kali ditengah udara, lalu laksana ular sanca yang galak seiring dengan kesiur itu.

   Dari delapan penjuru angin terasa adanya deru angin laksana hujan badai dengan kekuatan dahsyat seperti guntur menggelegar.

   Giok-liong menjadi keheranan seraya garuk garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya .

   "Untuk apakah kau ini?"

   "Untuk apa ?"

   Petani pertengahan umur mendengus, lalu katanya lagi.

   "Hm, sudah kukatakan tadi, untuk menjajal kepandaianmu !"

   "Aku yang rendah baru pertama kali bertemu . .

   "

   "Baik, kuberitahu supaya kau jelas ! Pecut panjang di tanganku ini adalah senjata terampuh dan paling berbisa dari sembilan senjata sakti beracun itu. Yaitu Sip-hian pian (pecut penyedot darah) yang sudah menggetarkan Bulim selama ratusan tahun, tahu ?"

   "Pecut pengisap darah ?"

   Bergidik tubuh Giok-liong, matanya seketika tertuju kearah pecut hitam tanpa berkedip.

   Pecut pengisap darah adalah salah satu dari sembilan senjata beracun paling ganas di dunia ini, Pecut ini dianyam dari urat-urat binatang sebanyak tujuh macam.

   Pada tiga ratus tahun yang lalu oleh Pek-tok-thoan-hun Kiong Ang telah direndam selama tiga belas tahun dalam obat beracun yang dinamakan Pek-hong jian-lok lalu bagian luarnya dibalut dengan Pek-chio-jiao (getah ratusan rumput) sehingga menjadi semakin keras dan ulet melebihi baja murni.

   Meskipun ditabas dengan pedang atau golok pusaka yang tajam sekali, sedikitpun takkan dapat membuatnya cidera.

   Kehebatan pecut ini bukan hanya sampai disitu saja, karena direndam dalam air beracun dengan sendiri pecut ini menjadi sangat ganas dan berbisa, manusia siapa saja sekali kena terpecut meskipun kulitnya tidak terluka, darah dalam tubuhnya juga bisa terhisap oleh racun dari pecut berbisa itu.

   Apalagi kalau berturut tiga kali kena terpecut seluruh darah dalam tubuh orang itu pasti terhisap habis.

   Maka dapatlah dibayangkan kalau orang kena dipecut tiga kali dan darah dalam tubuhnya terkuras habis, apakah orang itu masih bisa tetap hidup ? Memang dari sembilan senjata ganas berbisa, justru pecut penghisap darah inilah yang paling ditakuti, seluruh tokoh-tokoh Bulim begitu mendengar nama pecut yang ditakuti ini, tiada yang tidak akan ketakutan seperti tersentak kaget mendengar guntur di tengah hari bolong.

   Demikianlah Giok-liong setelah mengetahui asal usul pecut yang ganas itu, diam-diam ia lantas mengerahkan Ji-lo pelindung badan tapi lahirnya ia masih berlaku tenang, katanya sambil tertawa dibuat buat.

   "Kalau begitu jadi Cianpwe adalah Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat Koan-lo cianpwe yang sejajar dengan Suhu pada ratusan tahun yang lalu itu."

   "O, siapa gurumu ?"

   "Gurultu berbudi orang suka menyebutnya To-ji ...

   "

   "Kau murid Pang Giok ?"

   "Memng Wanpwe ..."

   Tar ! Tar, tar ... mendadak Sip-hiat-ling pian Koan It-kiat menyurut mundur tiga langkah sambil menggetarkan pecut ditangannya, sehiniga berbunyi nyaring di tengah udara, Wajahnya menjadi dingin membeku, desisnya .

   "Tepat benar dugaanku, Kim-pit kedua huruf itu sudah menimbulkan kecurigaanku !"

   Giok liong semakin bingung dan tak habis herannya tak tahu apa maksud tujuannya, katanya ragu.

   "Jadt maksud Cianpwe adalah ...

   "

   "Mari sambut beberapa jurus !"

   "Wanpwe tidak berani kurang ajar !" "Hahahaha, sudahlah jangan rada sungkan keluarkan Potlot mas dan seruling samber nyawa, perlihatkan tanda dan kewibawaan SiulJUin !"

   "vlaka dan wibawa ?"

   "Bisanya tidak pula mengelabui kau ! Dulu aku pernah bergebrak dengan gurumu, kita membatasi sebanyak lima ratus jurus, masing-masing mengambil sumpah berat, Tak berjotang aku kena dikalahkan setengah jurus. sesuai untuk menepati sumpahku aku mengasingkan diri digubug reyot ini selama deIapan puluh tahun. Tahun yang lalu masa sumpahku itu sudah berakhir, kini aku bertekad bulat kalau tidak bisa mengambil pulang kekalahan dulu itu, selamanya takkan muncul di kalangan Kangouw, Tapi kemana-mana sudah mencari jejak Pang Giok, Kau adalah murid tunggalnya, inilah baik sekali !"

   Giok liong tertawa ewa. katanya .

   "O, jadi begitu. Biarlah nanti jikalau aku bertemu dengan Suhu akan ku sampai pesan Locian-pwe ini !"

   "Tidak perlu hubungan guru dan murid laksana ayah dan anak, Hutang ayah, anaknya yang harus bayar. sekarang aku sudah menemukan kau. Pang Giok mau datang tidak sudah tidak penting lagi."

   "Mana Wanpwe berani unjuk kejelekan dihadapan Cian pwe !"

   "Jangan terlalu banyak membuang buang tempo ! Marilah mulai"

   Sikap Sip hiat-ling-pian Koan It-kiat tenang-tenang saja namun kata-katanya yang mendesak ini tDalah pecut di tangannya.

   juga sudah mulai bergerak mengancam.

   Giok-liong menjadi ragu ragu untuk turun tangan, sebab terhadap Sip hiat-pian (pecut penghisap darah) ini sedikit pun ia tidak paham dengan sendirinya lantas timbul rasa gentar dan khawatir menghantui sanubarinya.

   Sebaliknya kalau tidak mau bergebrak sikap Koan It-kiat sangat mendesak betapa juga ia tidak malu kalau dipandang takut mati, apalagi perguruan dibina dan dipandang rendah.

   Akhirnya meskipun dalam keadaan serba sulit ia tertawa getir dan berkata.

   "Koan locian-pwe, apakah benar tidak bisa menanti guruku . ."

   Mendadak sebuan bayangan orang melesat keluar dari gubuk sebelah kiri sana.

   Dilain kejap lalu laki laki bermuka hitam yang memancing Giok-Iiong datang tadi sudah berdiri tegak ditengah lapangan rumput ini.

   Katanya penuh rasa hormat kepada pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat.

   "Biarlah tecu bergebrak beberapa jurus dulu, bagaimana pendapat Suhu?"

   Sebentar berpikir, lantas pecut sakti penghisap darah Koan It kiat berkata ragu.

   "Kau ... ."

   "Kalau Tecu tidak kuat melawan dia, nanti suhu turun tangan juga belum terlambat !"

   "Bocah tak berguna, cara bicaramu saja sudah dibawah angin. Baik ? Hati-hatilah"

   Kata Koan It kiat sambil melemparkan pecut di-tangannya.

   Pecut panjang itu laksana seekor naga terbang lempang memanjang melesat kemuka muridnya.

   Terbangun semangat laki laki muka hitam, sebab sekali ia melompat maju sambil meraih dengan tangkas sekali ia menangkap pecut panjang itu.

   Ditengah udara ia kembangkan gaya Siang thian-thi (memanjang tangga langit) gerak tubuh yang indah sekali badannya lantas melambung tinggi beberapa tombak.

   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ditengah udara ia tarikan pecut panjang itu sehingga menerbitkan angin kencang menderu laksana angin lesus ditengah hujan badai dipadang pasir, lalu menukik turun seperti elang menyamber mangsanya.

   Ringan sekali ia hinggap diatas tanah, setombak lebih berhadapan dengan Giok liong, lengan kirinya yang putus sebatas sikut itu menuding kearah Giok-liong, ujarnya.

   "Mari, kau tidak berani bergebrak dengan guruku, hadapilah aku Siau pi-ong dan sambutlah seratus jurus,"

   Melihat pertunjukkan Ginkang orang yang hebat pertanda Lwekangnya yang sempurna, diam diam Giok liong memuji dalam hati, Tapi lahirnya ia tetap tenang acuh tak acuh ujarnya.

   "Tuan memancing aku kemari, jadi inikah tujuannya?"

   Siau pa ong menjulurkan pecut penghisap darah, teriaknya.

   "Kalau begini hayolah turun tangan, buat apa banyak ngobrol!"

   Lalu ia mendesak maju dua iangkah, pecutnya diayun siap menyerang Giok-liong insyaf tak mungkin ia menolak dan menampil tantangan orang lagi, khawatir pihak lawan menyerang dan mengambil inisiatif pertempuran dengan serangan gencar, maka segera dirogohnya keluar Potlot mas dan Seruling sambar nyawa.

   "Karena terdesak terpaksalah aku mengiringi, harap berilah pelajaran beberapa jurus ilmu kalian yang hebat tiada taranya!"

   "Nah, begitu baru menyenangkan!"

   Tanpa ayal lagi Siau-pa ong segera menyambar pecut penghisap darah, dengan jurus To-pian-toan cui (pecut memutus air), pecutnya menyapu datang dengan deru angin keras dan bunyi yang menusuk telinga.

   Giok-liong tak berani ayal, dengan langkah Leng-hun-toh ia melejit jauh setombak, berkelit dari sambaran pecut lawan, Ji lo sudah terpusatkan mulailah ia mainkan Jan hun su sek.

   Trililili...

   seruling samber nyawa memancarkan cahaya putih laksana layung seperti seutas rantai panjang, demikian juga Potlot mas mulai mengembangkan pancaran sinar kuning yang cemerlang seperti sinar matahari menjelang senja.

   Dalam pada itu, Pecut sakti menghisap darah Koan It-kiat tengah termenung, pikirnya.

   "Dibawah panglima kuat tiada tentara lemah. Bocah yang dididik Pang Giok ini memang bukan kepalang hebat, entahlah bagaimana dengan latihan Lwekangnya?"

   Gulungan hawa hitam yang ditimbulkan oleh bayangan pecut bersemi itu berputar cepat bergulung-gulung seperti roda angin.

   Sinar kuning mas dan larik cahaya putih layung itu terbungkus dalam bayangan pecut hitam bergerak begitu lincah seperti ikan berenang dalam air, pancaran berpaduan sinar kuning dan putih semakin terang menyilaukan mata.

   Kalau Siau-pa-ong membentak-bentak dengan suaranya yang keras.

   Sebalik-nya Giok liong tak hentinya memperdengarkan tawa dingin.

   Di lapangan rumput yang tak lebih seluas puluhan tombak itu terjadi pertempuran sengit yang sangat mempesonakan pandangan mata.

   Dari mula pertempuran ini sudah sangat menegangkan.

   sedemikian serunya sehingga menyesakkan pernapasan, saban-saban berkutet di sebelah timur mendadak bergulunggulung kearah barat, semakin lama gerak gerik mereka semakin cepat.

   Lambat laun saking cepat gerak pertempuran ini susah dibedakan lagi siapakah Giok-liong dan yang mana orang buntung bermuka hitam itu.

   Yang jelas kelihatan hanya gulungan kabut ungu yang menyelubungi pancaran sinar kuning dan layung pulih yang memanjang menggubat, seperti ular naga selincah kera menari, berkelebat berkelap kelip.

   Mana dapat membedakan jurus atau serangan tipu apa lagi yang tengah mereka lancarkan.

   Sekonyong-konyong Pecut sakti penghisap darah Koan Itkiat yang berdiri menonton di depan gabuk itu menggerung kaget.

   "Celaka !"

   "Siuut!"

   "Aduh "

   Bayangan orang lantas berpencar. Terdengar Giok liong berseru tertekan.

   "Terima kasih kau sudi mengalah !"

   Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat bersuit panjang dan nyaring, tiba-tiba tubuhnya melejit tinggi tujuh tombak, dimana cakar tangannya diulurkan terus meraih pecut penghisap darah yang terpental terbang dan sudah meluncur turun.

   Lalu dengan gaya Le-hi-te ting (ikaa gabus meletik) dengan ringan dan indah sekali kakinya mendarat di pinggir sungai, air mukanya membesi kaku.

   Sementara itu, kelihatan Siau-pa-ong tersurut mundur beberapa langkah terus menggelendot diatas dahan pohon, pancaran sinar matanya menjadi guram, tangan kanannya sudah kosong melompong, sedang sikut tangan kiri yang buntung itu menekan dada kulit mukanya yang hitam itu menjadi pucat menahan sakit.

   Giok-liong mengacungkan tinggi Potlot masnya, sedang seruling samber nyawa melintang di depan dada, dengan tenang dan waspada ia berdiri tegak sekokoh gunung di atas lapangan rumput, sikapnya garang dan perwira.

   Sesaat keadaan menjadi sunyi dan serba kikuk, sementara waktu mereka bertiga menjadi berdiri melongo tanpa bersuara dengan muka merengut dan pandangan mendelik ! Sebentar kemudian terlihat Pecut sakti penghisap darah Koan It kiat tertawa getir, dan sedih.

   "Hahaha, hehehehe ! Hihihihi !"

   Potlot mas dan seruling samber nyawa disekap ditangan kiri, segera Giok-liong menjura penuh rasa prihatin menjura kepada Koan lt-kiat, katanya.

   "Cian-pwe, harap maaf akan kelancangan Wanpwe tadi!"

   Sekarang Siau pa-ong sudah pulih tenaga dan pernapasannya, segera ia menubruk maju berlutut dibawah kaki Sip hiat ling pian Koan lt-kiat, dengan sesenggukan dan menangis sedih ia memohon tersenggak.

   "Harap Suhu suka memberi hukuman !"

   Pandangan mata Sip hiat ling pian Koan It kiat ke tempat yang jauh, suaranya tertekan agaknya hatinya tangat mendelu, ujarnya.

   "Bangunlah ! DuIu gurumu juga dikalahkan oleh perpaduan jurus Toan bing dan Jan hun ini, memang kedua jurus lihay ini merupakan intisari kesaktian dari ilmu Jan hun su sek itu, dua jurus berkombinasi dalam pelaksanaan kerja sama menjadi empat jalan tipu yang serasi sekali, sungguh tak duga... ai !"

   Ia menghela napas panjang dengan sedih lalu pelan pelan menyingkir.

   Melihat orang tiada niat hendak mempersukar dan menahan dirinya lagi, Giok liong harus cepat berpikir dan bertindak! "Saat yang baik ini kalau aku tidak lekas pergi tunggu kapan lagi!"

   Lekas-Iekes ia melangkah maju sambil menyimpan potlot mas dan seruling samber nyawa, dengan angkat tangan ia menjura dalam katanya.

   "Cian-pwe, sekarang juga Wanpwe minta diri !"

   Sejenak Koan It kiat mengawasi Giok-1i-ong lalu katanya sambil mengulap tangan.

   "Pergilah!"

   "Teriua kasih, Koan Lo-cian-pwe!"

   Giok liong mengiakan, Berbareng dengan habis kata katanya kakinya lantas menjejak tanah, dengan mengembangkan Leng-hun-toh dua kail loncatan saja ra sudah keluar dari lapangan berumput itu.

   "Tunggu sebentar !".

   "Bukankah Cian-pwe ..."

   "Kalau bertemu dengan gurumu, beritahu kepadanya. Katakan bahwa Koan It-kiat tidak membencinya dan tidak menyalahkan dia. Tapi hatiku juga belum tunduk setulus hati. Kalau ada kesempatan bertemu, seperti cara semula dulu, bagaimana juga haras ditentukan lagi siapa lebih unggul siapa asor."

   "Wanpwe paham, pesan Cian-pwe ini tentu kusampaikan !"

   "Baik, pergilah !"

   "Permisi !"

   Laksana terbang lekas-lekas Giok-liong meninggalkan gubuk bambu pengasingan Koan It-kiat itu.

   Dari jalan datang semula, ia menyelusuri hutan gelap belantara tadi secepat terbang ia sudah sampai di ambang hutan.

   Dan baru saja kakinya menginjak tanah di pinggir hutan, tiba-tiba terdengar kesiur angin lambaian baju dibelakangnya, disusul terdengar bentakan keras.

   "Bocah keparat tunggu sebentar !"

   Kiranya Siau-pa ong telah mengejar datang, baru lenyap suaranya tahu-tahu ia sudah menghadang didepan Giok-liong.

   sepasang matanya mendelik gusar berapi api seperti pancaran bara api dalam tungku.

   Sikap garangnya ini sungguh jauh berbeda dibanding waktu ia berlutut didepan kaki suhunya Sip-hiat - ling pian Koan It - kiat tadi.

   Tahu Giok-liong bahwa kedatangan orang ini pasti hendak mencari gara-gara, maka dengan senyum dibuat buat ia berkata.

   "Apakah maksud kedatangan saudara ?"

   "Huh, apa kau hendak tinggal pergi saja."

   Semprot Sia paong dengan berang.

   "Lantas kau hendak apa lagi ?"

   "Berilah keadilan akan kekalahanku sejurus tadi !"

   "Keadilan ! Ha ! Ha !"

   "Apa yang kau tertawakan ?"

   "Bertanding ilmu silat bukan mustahil kelepasan tangan.- Apalagi gurumu Koant-lo cian-pwe sendiri sudah mengijinkan aku pergi. Apakah saudara tidak hiraukan nama baik perguruan kalian ?"

   "Tutup mulut!"

   Sia -pa ong- membaling-balingkan bandulan baja di tangannya, saking keras berputar sehingga sering kebentur sampai mengeluarkan suara berdenting. Melihat sikap garang orang, Giok liong menjadi geli dalam heran, pikirannya.

   "Tadi karena kupandang muta gurumu, kalau tidak apa sih kepandaianmu, tidak lebih kau hanya dapat menahan sepuluh jurus seranganku saja, Kalau aku tidak merasa kasihan dan menyerang dengan telak dalam kesempatan yang ada tadi, mungkin jiwamu sudah melayang."

   Karena pikirannya ini air mukanya lantas mengunjuk senyum mengejek dan hina. Sudah tentu Siau-pa- ong maklum akan senyum ejeknya ini. Hati yang sudah berang itu semakin berkobar seperti api di-siram minyak, hardiknya berjingkrak.

   "Melulu kau andalkan seruling samber nyawa, Kalau tidak masa kau bisa menangkan tuan mudamu ini !"

   Sudah tentu Giok-Liong merasa dongkol dipandang sepele, namun sikapnya tetap tawar, ujarnya .

   "Apakah begitu saja penilaian terhadap kepandaianku ?"

   "Sudah urusan belakang, yang terang mari kita bertanding dengan kepalan, apa kau berani ?"

   Giok-liong menjadi aseran ditantang terang terangan, sebisa mungkin ia menahan gejolak amarahnya, dengusnya dingin.

   "Kurasa boleh juga, tapi..."

   "Baik, lihat serangan !"

   Sering dengan serunya, sikut buntung Siau pa ong tiba tiba bergerak menyodok dengan serangan pancingan sedangkan tangan kanan yang menggenggam bandulan baja tiba tiba menjojoh dengan ganasnya, jarak mereka begitu dekat, serangan ini melancarkan secara tiba tiba lagi dengan sasaran yang telak.

   Giok liong belum bersiap sehingga kerepotan menghindar hampir saja ia kena di jotos dengan telak, sedikit pundaknya bergerak ringan sekali ia melompat tujuh kaki jauhnya, disini hampir saja dia menumbuk sebatang pchon, cepat cepat ia miringkan tubuh dan menggeser kaki lagi sampai lima kaki, Keadaan ini benar benar serba runyam sehingga ia mencakmencak kerepotan.

   Siauw-pa-ong menggembor keras, mendapat angin ia tidak sia siakan kesempatan baik baik ini, tangan kiri buntungnya menyelonong maju, ditengah jalan dirubah dari tutukan menjadi kemplangan dari atas menyambar kebawah, saking bernafsu ia menyerang tenaganya sangat besar sehingga angin menderu.

   Belum lagi Giok liong sempat berdiri tegak, Kesiur angin kencang sudah melandai datang.

   "Sombong benar!"

   Seiring dengan bentakannya ini, bayangan putih lantas berkelebat, pergelangan tangan dibalikkan terus mencengkeram kearah tangan musuh.

   Serentak kedua belah pihak menjerit bersama terus terdorong mundur sungguh di luar perisangkaan Giok-Iiong bahwa samberan tenaga tangan buntung siau pa-ong ini sedemikian besar sebaliknya Sia-pa-ong sendiri juga takjup melihat kegesitan Giok-liong yang melayani serangannya dengan bagus sekali tanpa gugup.

   Jurus-jurus kepalan aneh terus ditawarkan serangan menyerang dengan gerak cepat dan sepenuh tenaga, ditambah gerak tubuh mereka yang lincah dan tangkas, terjadilah pertempuran tanpa senjata yang hebat diluar hutan belantara itu.

   Meskipun tangan kiri buntung, namun tangan Siau-pa-ong itu tidak kehilangan kemampuannya, Malah dengan tangan buntungnya ia selalu melancarkan serangan mematikan yang sulit diraba sebelumnya.

   Agaknya ia sangat tekun dalam pelajaran silat khusus dengan ilmu tunggal yang menguntungkan dengan tangan buntungnya itu.

   Kalau mau sejak tadi Giok liong sudah mampu merobohkan lawannya, apa boleh buat, karena tidak tega dan yang terpenting karena memandang muka gurunya sehingga pertempuran ini semakin berlarut.

   Sepeminuman teh kemudian mereka sudah bergebrak sebanyak ratusan jurus.

   Matahari sudah mulai doyong kebarat sebentar lagi akan kembali ke peraduannya, sinar surya yang mencorong kuning keemasan cemerlang menerangi jagat raya ini.

   Adalah di depan hutan belantara itu di-bawah sorotan sinar ini matahari terlihatlah bayangan hitam dan putih tengah berkutet dengan sengitnya.

   Pohon-pohon dan rumput sekitar gelanggang menjadi roboh beterbangan tersapu oleh angin pukulan yang menyambar keras.

   Tak lama kemudian kabut malam sudah mendatang, cuaca sudah mulai gelap, Giok-liong menjadi gelisah, bentaknya keras .

   "Saudara, kalau kita berkutet begini saja, kapan pertandingan ini bakal berakhir?"

   Siau-pa-ong menyemprot dengan megap-megap.

   "Kecuali kau merasakan dulu tonjokan sikutku atau setengah kepalanku."

   "Hihihihi!"

   Giok-liong mengejek.

   "kurasa tidak begitu gampang !"

   "Keparat, inilah buktinya rasakan !"

   "Belum tentu!"

   "Aduh !"

   "Terpaksa kau harus mengalah lagi! wah .., , hari !"

   Sedetik itulah secepat kilat terjadi suatu hal yang tak terduga sebelumnya.

   setitik sinar perak laksana luncuran anak panah yang terlepas dari busurnya tahu-tahu menerjang kearah Giok-liong.

   sebetulnya Giok-liomg sudah melangkah maju hendak memapah bangun Siau pa-ong yang terjungkir ditanah terpaksa ia menghentikan langkahnya terus mencengkeram kearah titik perak itu.

   Jeritan Giok liong itu adalah rasa kejut nya karena terasakan olehnya luncuran sinar perak itu adalah sedemikian kuat dan dahsyat nya, sehingga seluruh lengannya menjadi linu kebal, baru saja ia hendak memeriksa .

   "Siut"

   Setitik sinar tierak lagi lagi meluncur datang pula, kali ini lebih cepat lebih keras. Giok-liong tak keburu berkelit terpaksa titik sinar perak yang tergenggam ditangannya tadi disambitkan memapak kearah titik sinar perak yang meluncur datang.

   "Tring!"

   "api berpercik ditengah udara, dua titik sinar perak kontan terpental balik kearah datangnya semula. Tahu-tahu Giok-liong rasakan pundaknya kesakitan sekali. Seiring dengan jerit kesakitan ia melayang kesamping setombak lebih. Dalam pada itu Siau pa-ong yang dirobohkan Giok-liong tadi tengah merangkak bangun juga menggembor dengan keras.

   "Oh, Tuhan !"

   Badan lantas menggelundung jauh, darah segera membasahi rumput disekitarnya "Ma Giok-liong cara turun tanganmu memang harus dipuji sayang kau terlalu ganas."

   Lenyap suaranya tanu-tanu Sip-hiat-ling pian Koan It kiat sudah diambang hutan sana dengan muka dingin membeku matanya mengawasi siau pa - ong yang menggeletak ditanah, air mukanya berubah berulang-ulang.

   Tersipu-sipu Giok-liong melangkah maju serta menjura, katanya .

   "Cian-pwe. , . kau..."

   "Jangan banyak omong !"

   
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bentak Kaoa-it-kiat memutus kata-kata Giok-Iiong, matanya dipicingkan, ujarnya.

   "Bocah ini berani meninggalkan gubukku tanpa ijin mengejar kau untuk menuntut balas, jangan kata baru cacat sebuah matanya, andaikata keduanya buta juga cukup setimpal Hukuman ini sesuai dengan perbuatannya, aku tidak salahkah kau !"

   Giok-liong menjadi lega, ibanya sambil tertawa getir .

   "sebaliknya Wanpwe juga kena dibandul oleh senjata bajanya itu, tak duga tanpa-sengaja . , ."

   "Aku tidak peduli kau sengaja atau tidak, siapa suruh dia mengejar kau kemari!"

   "Kalau begitu baiklah Wanpwe minta diri saja !"

   "Nanti sebentar!"

   "Cian-pwe masih ada petunjuk apa lagi?"

   "Bagaimana juga diambang pintu gubuk pengasinganku, dalam hutan terlarang daerahku ini, muridku telah dilukai orang luar, kalau berita ini sampai tersiar dikalangan Kangouw, selama hidup ini aku pasti malu bertemu dengan orang, lalu bagaimana baiknya ?"

   "Cian-pwe..."

   "Apalagi kalau kau tinggal pergi begitu saja, kemana pula tampangku ini harus ku letakkan ?"

   "Apa yang Cian-pwe hendak lakukan ?"

   "Tinggalkan sesuatu apa milikmu disini, baru mukaku ini dapat menjadi terang, supaya aku orang tua she Koan tidak ditertawakan para sahabat Kangouw sebagai orang tua pikun tak tahu malu, murid sendiri di hajar orang luar didepan pintu sendiri. Begitulah penyelesaiannya !"

   Maksud Ciaa-pwe aku harus meninggalkan sesuatu ...

   "

   Sambil berkata Giok-liong meraba-raba badannya "terutama seruling samber nyawa yang digembol dalam buntalannya.

   Karena ia kuatir situa bangka ini bermaksud jahat dan muncul sifat serakahnya.

   Diluar dugaannya.

   Pecut sakti penghisap darah Koan It kiat acuh tak acuh berkata.

   "Kaki tangan atau salah satu panca indramu terserah kau senang tinggalkan yang mana. Aku orang tua mana bisa memaksa kau!"

   "Kaki tangan atau Panca indera?"

   "Yah!"

   "Kiranya Cian.pwe suka main kelakar ! Hehehe!"

   Main kelakar ?"

   Tiba tiba raut muka Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat merengut seram, bisiknya sambil membujuk Siauw-pa ong.

   "Paling tidak harus barang yang lebih berharga dari sebuah matanya itu. Kalau tidak jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini."

   "Hahahahaha."

   Saking gusar Giok-liong malah berlagak tertawa.

   "Apa yang kau tertawakan ?"

   "Putusan hukuman Cian-pwee ini rasanya rada berat sedikit, seharusnya Wanpwe harus malah menerima, sayang aku ada maksud tapi tiada tenaga untuk melaksanakan terpaksa aku menolak putusan ini. Baiknya kita bertemu lain kesempatan saja, selamat bertemu."

   Lutut sedikit ditekuk kakinya terus menjejak tanah, selarik bayangan putih lantas melambung tinggi keangkasa.

   "Kau hendak merat!"

   "Wut"

   Angin kencang menerpi datang, tahu-tahu bayangan hitam menyilaukan mata.

   Ujung pecut penghisap darah membawa desiran angin kencang berbunyi nyaring ditengah udara, bayangan pecut berkelebat didepan matanya laksana ular sakti.

   Terpaksa Giok liong terus mengeluarkan Potlot mas dan seruling sumber nyawa lagi.

   "Buyung sebelum melihat peti mati agaknya kau belum mau mengerti ? Apa kau tidak mengetahui peraturan disini?"

   "Peraturan apa?". "Lohu minta kau meninggal kati tanda mata, kau harus segera melaksanakan Entah itu sejalur rambutmu paling tidak juga harus ditinggalkan sekarang setelah Lohu turun tangan sendiri kau takkan bebas memilih cara sendiri, Apa yang harus kau tinggalkan jadi akulah yang menentukan!"

   "Kalau kau sendiri juga tak mampu menahan sesuatu dari aku?"

   ""Bocah sombong, kau lebih takabur dari Pang Giok! Lihatlah aku akan meninggalkan sepasang kaki anjingmu itu!"

   Pecut sakti penghisap darah lantas bergerak dengan jurus Heng-san jiang-kuh (menyapu bersih berlaksa tentara) mengarah sasaran yang tetap terus menyapu kebawah, Memang Lwekang tingkatan gembong silat yang tua bukan olah olah hebdanya.

   Baru saja pecut sakti itu bergerak lantas membawa kesiur angin keras yang menyesakkan napas jauh lebih hebat dan ganas waktu digunakan oleh Siau pang-ong tadi, berapa lipat ganda lebih dahsyat.

   Menghadapi musuh berat sedikitpun Giok liong tidak berani ayal, jurus jurus Potlot masnya dikembangkan seruling saktinya juga mulai bergaya.

   Hawa Ji-lo sudah terkerahkan melindungi seluruh jalan besar ditubuhnya, terutama sendi sendi tulang dan urat-urat nadi besar dikunci rapat, supaya tidak berbahaya kalau kena disamber pecut sakti penghlsap darah itu.

   Waktu itu Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat sudah merubah sikapnya semula yang acuh tak acuh dan pendiam tadi, Adalah pecut sepanjang jalan sembilan kaki ditangannya itu ditarik sebegitu rupa menjadi beribu berlaksa carik sinar hitam yang bergulung-gulung bergerak melecut-legut bagaikan ratusan ekor ular berbisa yang hendak mematuk dirinya.

   Sekitar lima tombak dalam gelanggang pertempuran yang kelihatan hanyalah gulungan pecut yang membawa putaran tenaga yang hebat dingin merangsang ketulang.

   Giok-Iiong insyaf mati hidupnya hanya terpaut dalam kilasan gerak senjata musuh saja, Inilah musuh paling tangguh dan lihay selama ia berkelana di Kangouw, apalagi pecut itu juga merupakan senjata terampuh dan beracun lagi.

   Dengan adanya kedua penilaian tertinggi ini yang tergabung menjadi satu, betapa juga Giok-liong harus menambah kewaspadaan ! Maka begitu turun tangan Jan-hunsu- sek lantas dilancarkan.

   Potlot masnya diputar sedemikian kencang sehingga merupakan lingkaran sinar kuning yang tak mungkin dapat ditembus oleh hujan, kalau Potlot mas guna melindungi diri adalah seruling sambar nyawa mulai mengalun iramanya yang merdu beruntun suaranya melengking tinggi menggetarkan hati menyedot sukma.

   Pertempuran antar dua tokoh kosen kali ini lebih dahsyat seru dan tegang, Tanpa terasa setengah jam sudah berlalu, saking cepat mereka bergerak tahu-tahu sudan mencapai tiga ratusan jurus.

   Sekonyong-konyong "Tar!"

   "pecut sakti penghisap darah Koan it-kiat menambah tenaganya, dimana pecutnya diayun dia mendesak Giok-liong mundur selangkah, Giok-liong menjadi bingung dan tak tahu apa maksud tindakan lawan ini, disangkanya orang ada omongan yang hendak dikatakan maka sebat sekali ia melejit mundur dan bersiap dengan waspada. (Bersambung

   Jilid ke 18)

   Jilid 18 Dilihatnya air muka Koan It-kiat berubah hebat, mukanya yang semula rada putih kehitaman itu menjadi warna kuning, lalu semu merah hijau dan abu-abu.

   Pecut panjang lemas ditangannya itu kini melempang menjurus kedepan dengan kaku seperti tombak panjang sembilan kaki, ini belum aneh, yang lebih ajaib lagi warna pecut, yang tadi hitam legam kini sudah berubah menjadi merah gelap memancarkan kilauan dingin.

   

Golok Kumala Hijau -- Gu Long Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long Amanat Marga -- Khu Lung

Cari Blog Ini