Seruling Samber Nyawa 19
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 19
Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung
Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat pelan pelan menggeser kakinya, pecut penghisap darah ditangannya tergetar gemetar sepasang matanya merah membara mendelik tanpa berkedip menatap kearah Giok-liong.
Sikap seringainya ini sungguh garang bengis dan buas sekali seperti sudah kesetanan, bukan saja tampangnya ini sangat menakutkan terutama senjata pecut penghisap darah yang sangat jahat berbiji itulah yang harus...
Baru pertama ini Giok liong melihat keadaan orang yang seram ini, hatinya menjadi bercekat namun ia masih tabah dan tidak takut.
Dengan gayanya tersendiri ia siap berjagajaga, serunya lantang.
"Cian-pwe bukan wanpwe takut, tapi urusan kali ini harus dibicarakan jelas lebih dulu!"
Sepatah demi sepatah Koan It-kiat ber-kata.
"Apalagi yang perlu dibicarakan."
"Bandulan yang melukai muridmu itu adalah kesalahan tangannya sendiri!"
"Ma Giok liong, kau..."Pecut sakti penghisap darah Koan It kiat membentak beringas, dengan langkah lebar ia menerjang maju terus menusuk.
"Stop!"
Tiba-tiba sebuah bayangan abu-abu meluncur turun laksana seekor elang hinggap dihadapan mereka, Dilain kejap tahu-tahu dldepan mereka sudah bertambah seorang nenek tua yang berpakaian abu abu.
Nenek itu sudah ubanan, raut mukanya sudah banyak keriputnya, tapi kelihatan segar bersemangat.
Bukan saja pancaran sinar matanya terang malah berkilat tajam dan bening, Seluruh tubuhnya dilibat pakaian dari sari panjang warna abu-abu.
Begitu mendarat ditanah tanpa menghiraukan Koan It-kiat, sebaliknya ia menghadapi Giok-liong, tanyanya .
"Kau yang bernama Ma Giok- liong !"
Giok-liong tidak tahu asal usul nenek tua ini, dengan bingung ia manggut-manggut mulutnya mengiakan.
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun ?"
Sekali lagi Giok liong mengiakan "Tidak salah ?"
"Bocah Bedebah kau !"
Nenek baju abu-abu itu mendadak mengayun tangan laksana angin cepatnya sudah terulur mencengkeram datang, berbareng sebuah kakinya juga menendang, mencengkeram dan tendangan ini dilakukan dalam waktu yang bersamaan dilancarkan secepat kilat lagi, perbawa serangan ini sungguh mengagumkan dan mengejutkan.
Dalam keadaan yang gawat ini, untung Giok liong masih sempat bergerak dengan jurus Wi cui-ban-bik (membendung air menahan gelornbang), mengiu kesiur angin keras yang menerpa datang dari angin pukulan musuh ia berputar putar secepat kitiran, enteng laksana naik awan, indah sekali ia hindarkan diri dari rangsakan musuh.
Walaupun selamat tapi gerak geriknya runyam, keruan hatinya menjadi geram teriaknya .
"Gila kau !"
Siapa tahu nenek tua itu mendengus di hidung, katanya sambil mengertak gigi penuh kebencian.
"Karena kau, aku betul betul bisa dibikin gila !"
Belum selesai kata-katanya ia sudah menubruk tiba lagi, telapak tangan dan telunjuk jari kanan sekaligus merangkak tiba dengan tepukan dan tutukan, kombinasi serangan ini dinamakan Boan-thian kay te (memenuhi langit menutup bumi) dan Tok jing to-sim (ular berbisa menjulurkan lidah), inilah serangan mematikan yang ganas dan telengas ! Giok liong harus kembangkan kelincahannya, sebat ia sudah melolos keluar senjata Potlot masnya.
"Bocah keparat, kau mengandal senjatamu itu !"
"Siiuuuut !"
Nenek tua juga menggunakan senjata lemas, yaitu selendang sutra sepanjang tujuh delapan kaki, ditarikan menjadi seperti ular hidup yang memancarkan sinar dingin terus menggulung tiba hendak menggubat Potlot mas Giokliong.
Sementara itu Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat masih menyekal Sip-hiat-wajahnya kaku dingin berdiri menjublek mengawasi pertempuran yang sengit ini.
Di lain pihak Siau pa ong sendiri sekarang tengah duduk bersila dibawah pohon mengerahkan Lwekang berusaha mengobati luka-luka dalamnya.
Sinar perak berkutet dan tak jauh menggubat cahaya kuning kuning.
Kalau si nenek lancarkan jurus-jurus ganas yang mematikan, yang diarah adalah tempat-tempat penting yang melumpuhkan, Sebaliknya Potlot mas bergerak lincah balas menyerang setiap kali ada kesempatan sedang seruling berputar rapat melindungi badan, sekaligus Giok liong mainkan dua ilmu berlainan yang dikombinasikan bersama, sungguh hebat dan menakjupkan.
Bulat sabit sudah merambat setinggi pohon.
Dibawah sinar sang bulan yang redup, cahaya kuning dari pancaran Potlot mas itu berubah laksana titik bintang dingin berlaksa banyaknya, sedang sorot cahaya perak seperti seutas rantai panjang membendung dan melingkar dengan cepat sekali, irama seruling mengalun rendah berdentam seperti bunyi genta.
Tatkala itulah tidak jauh dari gelanggang pertempuran ini, didalam semak belukar terlihat banyak bayangan orang bergerak-gerak, menyelinap dan menggeremet maju merubung ke arah arena pertempuran.
Semua mengendap-ngendap meringankan langkah dan menahan napas, sehingga sedikitpun tidak mengeluarkan suara.
"Bret!"
Tiba tiba terdengar suara sobekan kain yang keras, Disusul si nenek berseru tertahan, kiranya selendang perak senjata si nenek sini sudah robek menjadi dua tepat terbelah di tengah-tengah laksana digunting saja.
Senjata yang paling diandalkan kena dirusak oleh Potlot mas musuh, keruan bukan kepalang gusar si nenek.
Karena keteianjuran sudah terbelah menjadi dua malah kebetulan bagi si nenek, masing-masing tangan menyekal selarik selendang terus menyerbu lagi semakin nekad seperti harimau kelaparan.
Cara permainan silat serta serbuan yang membabi buta ini terang kalau ia sudah berlaku nekad untuk gugur bersama.
Melihat orang terus menyerbu dengan serangan membadai tanpa hiraukan lagi keselematan diri sendiri, seketika timbul rasa curiga Giok liong.
pikirnya.
"Apakah nenek tua ini adalah ibu Siau-pa ong! Kalau tidak..."
Karena perasangkanya ini, mendadak ia ayun seruling samber nyawa keras keras sehingga bersuit nyaring bersama itu Potlot masnya bergerak melintang menahan kedepan, jurus ini merupakan intisari dari kekuatan ilmu Jan-hun-su-sek, hanya cara serangannya ia rubah sedikit, yaitu potlot mas yang seharusnya ia tusukkan kedepan ia rubah melintang terus mendesak maju.
Dibawah tekanan ilmu tunggal yang tiada taranya di dunia persilatan ini, betapapun si nenek sudah nekad juga tak kuasa lagi menerjang masuk kedalam penjagaan jurus yang ampuh ini, malah dengan mendengus keras ia tersurut mundur tiga langkah.
Setelah sejurus mendesak mundur lawan, Giok-liong baru berkesempatan buka bicara.
"Tiada juntrungannya kita bertempur, kenapa kau tidak tahu aturan !"
Si nenek semakin beringas, semprotnya gusar.
"Tiada juntrungannya ! Penasaran anakku, kejengkelan menantuku dan cucu perempuanku harus mengandal siapa coba katakan ! Katakan ? Kau mau bicara tidak?"
Di mulutt ia mendesak orang untuk bicara, sebaliknya tangannya tidak menanti orang buka mulut, serentak ia tarikan lagi selendang di kedua tangannya, terus menubruk maju lagi untuk kedua kalinya, giginya berkerut penuh dendam seperti kesurupan setan.
Kelihatannya ia sudah kehilangan kesadarannya.
Giok-liong berpikir lagi, kiranya tepat dugaanku, ternyata Siau-pa-ong masih mempunyai keluarga.
Sinar perak berkembang rapat memenuhi udara melingkar lingkar berwujud berpuluh bundaran besar kecil yang indah, membawa kirasan angin yang kencang menderu laksana derap langkah berlaksa kuda yaag tengah berlari kencang terus menerjang datang.
Mega putih mulai berkembang, Dibawah lindungan hawa Ji lo, Giok-liong berkelebat melejit kesamping dimana Siau-paong tengah semadi, Menunjuk kearah Siau pa-ong ia berteriak kepada sinenek .
"Orang tua, lihatlah putramu ini terluka berat ..."
"
Tak di duga si nenek malah semakin murka sambil membanting kaki ia menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat, bentaknya.
"Bangsat kecil, kau masih pintar main lidah!"
Dua larik lingkaran sinar perak serentak menggulung dari kanan kiri, sebelah kiri melingkar hendak menggubat sedang se-lendang kanan menyebut menyapu muka.
Sekarang Giok-liong menghadapi dua serangan dari dua jurusan yang berlawanan, untung ia sudah kerahkan hawa Jilo pelindung badan, kalau tidak pundaknya tulang tuIangnya pasti patah atau remuk kena digubat.
Walau demikian tak urung ia rasakan pundak kirinya menjadi kesemutan, seruling samber nyawa lantas terasa semakin berat bobotnya.
Karena kena kebutan senjata lawan inilah lantas menimbulkan kemarahan Giok-liong "Nenek tua, kau terlalu mendesak orang!"
Pancaran cahaya Potlot masnya semakin terang cemerlang, demikian juga irama seruling semakin merdu dan keras lantang perbawanya semakin hebat.
Kini yang terlihat hanyalah sebuah bayangan putih terbungkus di dalam putaran cahaya kuning mas dan kilauan cahaya putih tengah berputar dan bergerak lincah seperti angin lesus.
Saking cepat ia bergerak sulit membedakan apakah itu jurus serangan potlot mas atau tusukan Seruling sambar nyawa, kiri kanan, depan belakang, timur, selatan, barat dan utara seluruhnya terbungkus dalam sinar kuning dan cahaya putih perak.
Saking marahnya Giok-liong tidak hiraukan lagi segala akibatnya karena tanpa khawatir lagi perbawa serangannya ini bertambah berlipat ganda.
Beruntun terdengarlah suara berlainan saling susul lalu terdengar pula jerit gusar yang penasaran, tahu-tahu selendang perak panjang itu kini terbang melayang ditengah udara terlepas dari cekalan tangan si nenek.
Saking keras kisaran angin yang diierbitkan oleh putaran Potlot mas, sehingga selendang perak iiu tergulung melayang tinggi ketengah udara lama sekali terus berkembang baru melayang jatuh ditanah.
Si nenek berpakaian abu abu itu kelihatan terhuyunghuyung mundur tak kuasa berdiri tegak.
Kedua lengannya lemas semampai, terang ia sudah menderita luka yang sangat parah.
Wajahnya kelihatan pucat pasi, desisnya penuh kebencian.
"Bocali keparat, ingat kejadian hari ini!"
Laksana daun melayang jatuh dengan sempoyongan ia melejit tinggi, maksudnya hendak tinggal pergi saja.
Tak duga sesaat waktu badannya masih terapung di tengah udara.
Mendadak dari semak belukar sana berbareng melesat keluar puluhan bayangan hitam, puluhan jalur angin pukulan dilancarkan ditengah udara dari kejauhan, semua serangan tertuju kearah yang sudah terluka parah itu.
Terdengarlah lolong panjang yang mengerikan dari jiwa yang meregang sebelum ajal.
Seketika Giok liong sampai kesima kaget ditempatnya.
Hujan darah terjadi ditengah udara, darah tercecer keempat penjuru.
"Bluk!"
Jazat si nenek tua terbanting keras dari tengah udara.
Ternyata para bayangan hitam itu masih tidak memberi ampun lagi, serentak mereka lancarkan pula pukulan angin jarak jauh meluruk kearah badan yang sudah menggeletak tak bergerak itu, Kareaa jiwa sudah melayang sebelum jatuh ditanah ra-di, seketika badan si nenek htncur lebur seperti bergedel susah dikenali lagi.
Dalam pada itu, Siau-pa oug sudah selesai dengan usaha pengobatan dirinya, meskipun belum sembuh seluruhnya tapi ia sudah membuka mata, melihat adegan yang seram itu seketika ia duduk terlongong-longong.
Giok-liong menjadi serba kikuk juga sangat menyesal baru saja ia bermaksud maju memberi penjalasan kepada pecut sakit penghipap darah Koan It-kiat dan muridnya, Mendadak Koan It-kiat bergelak tawa lantang.
"Hahahahaha! Hahahaha! Hehehehe!"
"Cian-pwe urusan ini....."
"Ma Giok-Iiong, kejadian kali ini tidak menguntungkan bagimu?"
"Maksud Cian-pwe ?"
"Ketahuilah Hwi-hun-san-cheng tidak akan terima dihina semena-mena!"
"Apa Hwi-hun-san cheng?"
"Apa kau tidak kenal si nenek tua itu?"
"Bukankah ia ibu muridmu?"
"
"Huh! Koan It-kiat berludah sambil menyeringai acuh tak acuh, ia mendesis dingin.
"Buyung, ketahuilah nenek tua ini adalah ibu Hwi hun-chiu Coh Jian kun majikan dari Hwi-hunsan- cheng itu. Ketenaran nama Coh Jian-kun sebagai Bulim Bing-cu selama lima puluh tahun masih tetap jaya! Bencana sudah terang harus kau pikul!"
Kata-kata ini laksana sebuah pentung yang mengemplang diatas kepalanya laksana guntur menggelegar disiang hari bolong.
Otak Giot-liong serasa seperti dipukul godam menjadi pusing dan berat, sesaat ia berdiri menjublek seperti kehilangan kesadaran tanpa bersuara.
Tubuhnya kaku seperti patung kayu berdiri tegak ditempatnya.
Pecut sakti penghisap darah Kaon lt kiat sendiri juga tidak tahu akan seluk beluk persoalan yang scbs.ulnya, taPi melihat orang melongo lantas ia mengejek.
"Kau takut ? Sudah menyesal"
Giok liong masih tetap tak bergerak dan bicara, sebab dia tengah berpikir.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin dia adalah nenek diri istri tercinta ? Kalau ini betul betul kenyataan ....Bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada Coh Ki sia ? Peristiwa yang terdahulu ia sudah berbuat salah dan dosa kepada kedua orang tua yaitu Coh Con Jian-Min dan Tam kiong sian cu Hoan Ji-hoa, sekarang ..Tuhan agaknya memang sengaja hendak mempermainkan umatnya ? Ataukah memang hidupku ini yang harus menderita? Giok-liong semakin tenggeIam dalam alam pikirannya.
Terdengar Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat kembali tawa ejek .
"Bagus! selama hidup waktu muda dulu Pang Giok dengan Potlot mas tunggalnya malang melintang namanya tenar sehingga diberi julukan Bulim-sucun. Kau sendiri Giok liong belum lama berkelana di Kangouw ini ternyata sudah mempunyai musuh sedemikian banyak tidak suka. ! Yang harus dibayangkan adalah ketenaran dan keharuman nama Pang Giok dan keempat bayangan senjata rahasia Potlot mas kecilnya itu. sepatah laksana golok sekata seperti anak panah golok dan anak ini menusuk ke sanubari Giok liong rasanya terhunjam sangat dalam terasa merddu. Tiba tiba sorot matanya berkilat terang, bahwa nafsu membunuh menjalar dimukanya, bentaknya dergan bengis . Koan It-kiat, Apa yang kau maksudkan"?"
"Coba kau pikir sendiri, ditempat ini dalam waktu sekarang ini siapa yang harus kusebutkan ?"
"Omong kosong belaka ?"
Serempak bayangan hitam bergerak-gerak, puluhan manusia aneh-aneh seragam hitam bergerak maju merubung datang berkumpul menghadang Giok liong, berbareng mereka menjura kepada Giok-Iiong seraya berseru bersama.
"Tak perlu Siau hiap turun tangan kami tunggu sekejap petunjukmu saja!"
"Kenyataan lebih menang dari berdebat, demikian teriak Pccut sakti penghisap darah Koan It-kiat.
"Apa lagi yang dapat kau katakan ?"
Giok liong menjadi melenggong tak tahu apa yang harus diperbuatnya, dengan terlongong dan tak habis herannya ia mengawasi orang orang aneh seragam hitam itu. Kata koan It kiat pula.
"Kalau kalian hendak mengeroyok ! Marilah turun tangan"
Pecut masih berada ditangan Koan lt kiat.
"Kalau tidak malas aku melihat tampangmu sebagai murid Pang Giok yang memalukan perguruan, sudahlah aku hendak kembali tidur!"
Tanpa menanti penyahutan Giok-long, sambil tertawa dingin ia menggape kepada Siau Pang ong, ujarnya.
"Hayo pulang!"
Sekali berkelebat ia menyelinap hilang didalam hutan.
Menghilangnya bayangan Koan It kiat guru dan murid hati Giok liong semakin merasa kesepian dan hampa.
Hati seperti kosong tak punya juntrungannya lagi.
Dalam pada itu para orang aneh seragam hitam itu masih berdiri tegak disekelilingnya mereka mematung diam tanpa bersuara.
Akhirnya menimbulkan kemarahan Giok liong yang tak tertahan lagi hardiknya.
"Ka-lian dari mana?"
"Hamba sekalian dari Kau-tong ( sekte anjing ) dihutan kematian..."
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, lihat pukulanku !"
"
Boleh dikata kebencian Giok-liong sudah memuncak tak terkendali lagi, dimana setelah tangannya melancarkan pukulan baru mulutnya bersuara.
"Hayo."
"Aduh !" - "Tobat !"
Pekik dan teriakan jiwa yang rnerenggang sebelum ajal gegap gempita saling susul menggetarkan pinggir hutan belantara.
Dalam keadaan yang tidak berani balas menyerang atau menjaga diri para orang aneh seragam hitam segera lari berpencar pontang penting sambil mengeluh berksokan.
Seluruh kemurkaan dan kedongkolan hati Giok liong seluruhnya dilampiaskan di kedua kepalan tangannya, kakinya tidak berhenti bekerja mengejar kemana kakinya melangkah melihat lalu pukul satu kecandak dua bunuh memang sungguh kasihan orang orang aneh siapani hitam tidak tahu menahu soal apa yang menimbulkan kemarahan orang belum tahu duduk perkara, jiwanya sudah melarang sia sia dengan penasaran.
Hakekatnya Giok liong sendiri sebetulnya juga terlalu mengumbar nafsu dan ceroboh ? Tapi memang pukulan batin yang menimpa sanubarinya terlalu berat saking terburu nafsu ia kehilangan kontrol kesadarannya, rasa kebencian yang meluap menghantui nuraninya.
Benci, ia benci berbagai rasa kebencian Tak peduli apakah orang-orang aneh seragam hitam inilah adalah orang orang yang harus dibencinya, tanpa tanya lagi apakah mereka setimpal untuk dibencinya.
sekarang bahwa otak pikirannya sudah dirangsang oleh nafsu jahat yang ingin membunuh orang, bunuh seluruh manusia yang diketemukan.
baru rasanya dapat melenyapkan rasa benci yang mengeram dalam badannya.
Terutama karena perubahan hati nuraninya terasa olehnya semakin banyak ia membunuh, baru terhapus rasa bencinya.
Oleh karena itu, semakin besar dan berkobar nafsunya untuk membunuh, dengan kencang ia mengejar kemana saja dilihatnya bayangan orang orang seragam hitam melarikan diri.
Entah dengan tutukan, pukulan atau cengkeraman jarak jauh dengan angin pukulan dahsyat.
Giok liong sudah lancarkan seluruh cara-cara ganas untuk melaksanakan kekejaman terasa semakin telengas hatinya rada terhibur kalau tidak kejam tak dapat melampiaskan kedongkolan hatinya.
Sekali tangan kiri bergerak lantas terdengar raungan yang menyayatkan hati dimana tangan kanan mencengkeram darah lantas muncrat kemana-mana, Alas belantara menjelang diliputi kegelapan yang terdengar hanyalah gemboran Giok liong yang melampiaskan kegusaran hatinya seperti jerit dan pekik menyayatkan hati yang mendirikan bulu roma.
Dimana hembusan angin malam silir membawa bau anyir darah yang memualkan sinar bulan sabit yanp redup menyinari mayat-mayat yang bergelimpangan di semak belukar, Kira-kira cukup satu jam lamanya, Giok-liong menggeledah seluruh empat penjuru tak kelihatan lagi ada bayangan manusia baru ia sempat untuk istirahat.
Baru kemarahan juga mulai mereda dan tumpas seluruhnya dibawah cahaya sinar bulan yang remang-remang dipandangnya sepasang tangannya yang penuh berlepotan darah, tak terasa lagi dan tak tersadar olehnya ia bergelak tawa tanpa juntrungan.
Apakah gelak tawanya ini penanda kepuasan hati? Bukan ! pertanda kemenangan? Bukan ! Pendek kata dia sendiri juga tidak tahu gerangan apakah yang membuatnya tertawa? Yang terang sesudah ia bergelak tertawa terasa ringan tekanan batin dan lahiriah yang menyepak dadanya ini memang kenyataan.
Segera ia menuju ke pinggir sungai yang tidak jauh letaknya untuk mencuci kedua tangannya, Waktu kedua tangannya masuk ke daian air dingin, tanpa merasa gemetar kedinginan.
Pikirnya.
"Kenapakah aku ini? Kubunuh sedemikian banyak orang ada manfaat bagiku? Apakah setelah membunuh sekian banyak orang, rasa benciku sudah himpas seluruhnya? Terhitung sudah menuntut balas bagi ayah bunda? ataukah menumpas dan mengurangi tekanan bibit bencana yang bakal bersemi di Bulim? Apakah penebus budi untuk perguruan yang telah mendidik dan mengajar dirinya? Bukan, semua tidak! Tak berani ia memandang bayangan diri sendiri dipermukaan air sekali loncat terus berjalan pergi tanpa tujuan, dengan kencang ia berlari kearah atas belukar yang tak berujung pingkal itu.. Gunung gemunung berlapis sambung menyambung tiada ujung pangkalnya. Kabut menyelimuti seluruh alam pegunungan,dilereng di puncak di lembah atau di ngarai, saking tebal kabut menjelang malam ini, sehingga pemandangan menjadi gelap tak dapat dibedakan lagi dimana pohon berada. Namun setitik bayangan putih secepat anak panah meluncur membelah kabut yang tebal berlari kencang menembus kegelapan, meloncati jurang dan melintasi ngarai. Angin dingin menghembus kencang dipinggir telinganya. Cuaca semakin gelap mungkin sudah menjelang tengah malam, bulan sabit yang memancarkan sinarnya yang redup kadang-kadang muncul di lain saat sembunyi di balik awan, tak terasa ia sudah naik ketengah cakrawala, Bayangan putih ia agaknya juga sudah kecapekan. Akhirnya ia meluncur memasuki sebuah lembah sempit yang membelakangi lamping gunung dekat aliran sungai. Bayangan putih itu bukan lain adalah Ma Giok-liong yang tengah dirundung kesedihan dan kedongkolan yang belum terjawab. Pertempuran yang menghabiskan tenaga serta perjalanan jauh dengan berlari kencang ini akhirnya melelahkan badannya. Didepannya melintang sebuah aliran sungai kecil yang mengalir lembut, menyelusuri sungai ini ia terus menanjak naik melewati batu-batu aneh dan rumput menghijau yang lebat laksana permadani hijau. Tiba-tiba Giok-liong berseru tertahan, ternyata pinggir sungai sebelah sana di atas sebuah batu besar didirikan sebuah bangsal dari rumput yang cukup untuk tidur satu orang.
"Ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia ini, siapakah yang menetap disini?"
Di dalam bangsal kelihatan ditaburi rumput-rumput kering yang lembut, disebelah ujung kiri terletak sebuah mangkok yang terbuat dari tanah liat, didalam mangkok inilah terbaur keluar bau harum arak yang merangsang hidung di sebelah mangkok ini terletak sebuah ayam panggang yang di bungkus dengan daun teratai, sungguh sedap dan merangsang baunya.
Bahwasanya memang Giok-liong sudah sekian lama belum makan, perutnya memang sedang keroncongan, Melihat arak dan daging ayam yang harum, tanpa merasa ia menjilat lidah karena mengalirkan ilernya.
Sudah jamak bagi sifat manusia dalam keadaan kepepet apalagi tengah kelaparan lantas terlupakan akan sifat jantan keperwiraannya sebagai laki laki sejati, ini berarti saking lapar lantas timbul niat jahat untuk mencuri.
Maka tanpa banyak pikir lagi Giok liong lantas geragoti ayam panggang itu, diiringi dengan menenggak arak dalam mangkok besar itu, sungguh nikmat dan menyegarkan lebih senang dan gembira dari pada menjadi raja.
Sebuah ayam panggang dan semangkok arak boleh dikata jumlah yang rada lumayan, tapi bagi Giok-liong yang tengah kelaparan sekali lalap saja sebentar saja semua sudah dikuras ludes sama sekali, malah mulut masih berkecap-kecap kekurangan.
Seekor ayam boleh dikata masih kurang, sebaliknya arak itu terlalu banyak keliwat takaran.
Sebab selamanya Giok-liong belum pernah minum arak, sekarang secara perlunya saja ia tonggak habis habisan, keruan kepala menjadi pusing, mata juga berkunang, badan menjadi mual, rasa kantuk lantas merangsang tak terkendali lagi, akhirnya ia roboh celentang diatas runput kering dalam bangsal terus tidur kepulasan..
Entah sudah berselang berapa lama ia kepulasan dalam impiannya.
Dari luar bangsal sinar matahari sudah menyilaukan mata, ternyata sang surya sudah naik tinggi.
Sambll mengucek-ngucek mata Giok-liong bangun terduduk.
"Celaka !"
Mendadak ia meloncat berdiri, sungguh kejutnya bulan kepalang.
Empat batang Potlot mas besar kecil seruling sambar nyawa yang tersimpan dalam buntalan bajunya, serta batu giok pemberian ibunda yang tergantung di lehernya itu kini sudah hilang dan terbang tanpa sayap.
Benda-benda itu merupakan barang penting yang berhubungan erat satu sama lain dan tak boleh hilang.
Arak dan ayam panggang itu ! "Apakah ini tipu muslihat penjahat, dari mana mereka bisa tahu sebelumnya kalau aku bakal datang kemari ?"
Sambil merangkak rangkak Giok-liong membongkar seluruh pelosok bangsah rumput yang menaburi dalam bayaJ semua dilempar keluar, Tapi mana ada bayangan barang-barang pusakanya, hal ini sangat menggelisahkan hatinya.
Saking kejengkelan dan gugup ia meloncat keluar, sekali angkat kaki ""Brak"
Bangsal rumput itu ditendangnya roboh.
"Kemana aku harus mencari ?"
Dengan lesu ia menuju ke pinggir sungai lalu jongkok dengan kedua tangan ia menggayuh air ubtuk membasuh mukanya. Lalu dengan langkah malas malasan ia berjalan balik melalui jalan yang ditempuhnya datang tadi.
"Hei, kau tidak mau barangmu lagi ?"
Tiba tiba terdengar seorang berkata.
"O siapa ?""
Giok-liong terkejut garang.
Bagaimana juga tidak terpikirkan olehnya di tempat semacam ini masih ada orang kedua ? Tapi waktu ia celingukan ke sekitarnya, batu runcing saling tonjol laksana hutan, dimana-mana penuh semak belukar, tak kelihatan ada bayangan manusia.
"Siapa yang bicara ..."
"Adalah aku! Aku disini !"
"
Dari tempat datangnya suara semula terdengar pula penyahutan datar, jaraknya terpaut berapa tombak dari tempat Giok liong berdiri.
Menurut arah datangnya suara ternyata di tempat batu batu runcing laksana hutan itu.
Kini terlihat jelas dibawah sebuah batu besar yang lekuk tengahnya seperti jambul ayam duduk diatas rumput halus seorang tua renta berambut uban.
Orang tua ini berwajah biasa dan bersih tiada tanda-tanda aneh yang menyolok mata seperti manusia umumnya, dari sikap dan cara duduk serta suaranya tadi tiada kelihatan ciricirinya sebagai kaum persilatan, pakaiannya serba sederhana, bajunya terbuat dari kain kasar, dengan mengenakan mantel yang terbuat dari kulit landak.
Disamping menggeletak setumpukan kemul butut yang terbuat dari kulit anjing serta sebuah buli-buli warna kuning.
Di depan kakinya diaras tanah kelihatan sinar kuning dan cahaya putih yang cemerlang menyilaukan mata, itulah bendabenda Giok liong yang bilang, yaitu empat batang Potlor mas besar kecil, seruling samber nyawa dan sebentuk batu Giok berbentuk jantung warna merah darah, semua lengkap tergeletak disitu.
Keruan girang bukan main hati Giok-liong, seketika wajahnya mengunjuk seri tawa, dengan bergegas ia melangkah maju terus menjura daIam.
ujarnya.
"Terima kasih kepada Lotiang ini."
"Nanti dulu !"
Cegah si orang tua sambil menjulurkan tangan kedepan menolak tubuh Gick-liong yang memburu tiba hendak menjemput barang-barangnya.
Seketika Giok-liong berseru tertahan, badannya yang meluruk maju seketika seperti membentur dinding tertolak mundur.
Tapi sedikitpun ia tidak ambil perhatian akan hal ini, sambil tetap mengunjuk senyum ia berkata.
"Lo-tiang (paman) mengembalikan barang-barangku yang hilang ini, sungguh aku yang rendah berterima kasih setulus hati !"
Habis berkata ia maju lagi.
Terjadilah suatu keanehan.
Beruntun Giok-liong maju dua langkah entah bagaimana sedikitpun kakinya tak kuasa menggeser tempat, kedua kakinya tetap melengket ditempatnya semula.
Dengan mata mendelong ia awasi senjata pusaka perguruan yang menggeletak di tanah, walaupun barang barangnya itu terletak di depan matanya, tapi hanya bisa dilihat tak mampu dijamah.
Baru sekarang Giok-liong tersadar, bahwa si orang tua di hadapannya kiranya bukan orang sembarang orang.
Hal ini seharusnya tidak perlu dibuat heran, bukankah di tempat belukar yang sepi ini, jarang diinjak manusia, si orang tua ini hanya seorang tunggal saja, Kalau dia tidak mempunyai sesuatu kemampuan, bukankah berarti mengantar kematian belaka.
Karena tafsirannya ini, tat berani ia berlaku gegabah, sambil tertawa ia menjura lagi.
ujarnya.
"Harap dimaafkan akan kelancangan tadi. Keempat batang Potlot mas dan seruling itu dan batu giok iiu adalah barang-barangku yang hilang, harap paman suka mengembalikan, sungguh aku yang rendah sangat berterima kasih !"
"Aku tidak perlu terima kasihmu !"
Suara si orang tua tetap datar tanpa irama.
"Lalu apa kehendak paman." "Kembalikan dulu ayam panggang serta semangkok besar arak wangiku. Kalau tidak semua barangmu ini sebagai gantinya !"
Seketika merah jengah selebar muka Giok-liong, sikapnya kikuk kemalu-maluan, katanya tergagap.
"Ternyata ....ternyata ... , arak itu ... adalah ...."
"Kau kira tidak ada pemiliknya ? seumpama tidak ada pemiliknya juga tidak boleh sembarangan gegares ! Kalau aku sih tidak apa-apa sesuai dengan kehidupanku ... lain adalah kau !"
"Petunjuk paman memang betul ! Pasti kuganti selipat ganda !"
"Aku tidak perlu dengan penggantian yang terlalu banyak !"
"Baiklah akan kuganti menurut apa adanya semula !"
"Mana keluarkan ?"
"Wah ....sekarang..., maksudku nanti setelah turun gunung !"
"Ha ! setelah turun gunung aku juga tidak perlu minta kepada kau lagi, justru ditempat ini dan sekarang juga baru terasa betapa berharganya makananku itu !"
"Tapi kemana aku harus mencari gantinya !"
"Salahmu sendiri ! siapa suruh kau ceiufak "Benar, akulah yang salah! harap paman suka maafkan kesalahanku kali ini !"
"Selama or.cnj.i&iJti ayam panggang dan arak wangiku, masih ada satu jalan dapat kau tempuh !"
"Harap paman sebutkan caranya !"
"Mengandal Lwekangmu mengambil dengan kekerasan !" "Ini ...."
"Kau tidak berani !"
"Bukan tidak berani !"
"Lalu kenapa?"
"Menang kalah menjadi serba runyam !"
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalau aku yang rendah kalah, berarti tak dapat mengambil balik barang-barangku, aku menjadi orang terkutuk terhadap perguruan dan orang tua !"
"Toh kau boleh berusaha untuk menang"
"Kalau menang kau kesalahan dan berlaku kurang adat terhadap paman!"
"Bagaimana maksudmu?"
"Sudah gegares makan minum secara gratis kini harus memukulmu lagi, bukankah serba runyam !"
"Kelihatannya watakmu cukup baik juga"
"Aku sendiri berpendapat belum terlalu nyeleweng !"
"Juga belum tentu !"
"
"Ini paman..."
"Seumpama aku tidak turun tangan?"
"Gampang, sekali raih dapat kuambil !"
"CtJDalan !"
"Hihihi paman berkelakar?"
"Coba, kan belum kau lakukan !"
"Baik !"
Giok liong melangkah maju mengulur tangannya sambil membungkuk. "Heh""
Siapa tahu bukan saja kakinya sulit digeser sesentipun, tangannya yang terjulur kedepan itu juga seperti menancap ke-dalam tumpukan kapok, lemas dan empuk, samar-samar seperti ada hawa tipis yang tidak kelihatan merintangi sehingga tangannya tak kuasa dijulurkan kedepan lebih lanjut.
Bercekat hati Giok Liong, seketika teringat akan cerita suhunya To-ji Pang Gtok tentang semacam ilmu yang dinantikan Bu-siang-sin kang, ilmu lurus dari agama Budha.
Bergegas ia mundur tujuh kaki serta serunya lantang.
"Paman, bukankah ini Bu-siang sin-kang! Kau orang tua. .."
"Jangan tanya siapa aku, dan tanya ilmu apakah ini, Yang terang kau masih ingin tidak milikmu ini kembali?"
"Sudah tentu harus kembali pulang!"
"Kalau sekarang juga kau tidak mampu mengambil aku sudah tak sabar menantikan semua kubawa pulang!"
"Baik'ah biar Wanpwe mencoba coba ? Harap pinjam seruling samber nyawa sebentar !"
Lalu dengan sikap serius ia menghimpun semangat mengerahkan hawa murni, pertama"tama Ji-lo dikerahkan melindungi badan lalu duduk bersila dihadapan si orang tua, lalu ia sambuti seruling yang diangsurkan siorang tua.
"Tula... Tuli... mulailah Giok liong meniup dengan iramanya yang merdu lincah, seketika berubah hebat air muka si orang tua, serunya dengan nada berat.
"Buyung, berapa tinggi bekal Lwekangmu?"
Giok liong meramkan mata menundukkan kepala tak hiraukan pertanyaan orang pelan-pelan ia kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya dipusatkan kearah tiupan mulutnya, dengan tekun dan seksama seluruh perhatiannya dicurahkan pada seruling samber nyawa.
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertama dimulai dengan irama lincah jenaka yang riang gembira, lalu berubah menyelarasi perubahan batinnya, dengan nada yang penuh perasaan berganti-ganti irama, dari suara rendah terus meninggi.
Dari pelan laksana air mengalir seperti angin menghembus sepoi-sepoi, laksana burung walet bernyanyi rendah, Larnbar laun semakin tak kendali meninggi gemuruh seperti hujan baju yang lebat laksana samudera bergolak.
Seumpama genta besar dalam kelenteng berkelontengan semakin memburu cepat seiring dengan derap langkah berlaksa kuda yang berlari kencang sampai akhirnya semakin cepat lagi, Sampai bumi terasa bergetar hampir merekah, gelombang samudera mendampar batu karang sehingga dunia seperti hampir kiamat.
Meskipun saat itu tepat tengah hari tapi cuaca menjadi gelap, mendung diliputi kabut tebal, dalam lembah terdengar suara pekikan setan dan gerungan malaikat, suasana semakin menjadi seram menakutkan, perasaan juga tercekam seperti isi perut hampir hancur lebur.
Berkuntum-kuntum mega putih seiring dengan irama seruling yang meninggi rendah mengepul keluar dari tujuh lubang seruling terus berkembang keatas.
Kabut putih bergulung-gulung diatas kepala Giok-liong, seperti air yang mendidih diatas tungku terus mengepul ke atas.
Sikap dan perubahan wajah si orang tua seiring dengan perubahan irama seruling Giok-lsong semakin tegang dan serius Lambat laun jidatnya mulai berkeringat, matanya mendelik besar seperti kelereng hampir meloncat keluar, rupanya sudah jauh berbeda dengan keadaan semula yang wajar.
Waktu irama seruling Giuk liong semakin melengking tinggi, mengalun menggetarkan seluruh penghuni alam semesta ini.
Air muka si orang tua juga semakin tak genah, Akhirnya dia angkat kedua lengannya kedua telapak tangan didorong lempang kedepan, walau kelihatannya lowong, tapi kedua tangannya itu seolah-olah sangat berat sekali bertahan.
Tepat pada saat itu lagu yang ditiup Giok liong sudah habis, pelan-pelan ia bangkit berdiri seraya berkata.
"Paman, aku hendak mengambil pusaka peninggalan perguruan dan benda kenangan dari ibuku !"
Lalu ia beranjak maju dua langkah.
"Hah !"
Seketika ia berdiri terlongong-longong di tempatnya, kedua matanya berkilat mendelong memandangi kedua tangan si orang tua yang dijulurkan ke depan itu.
Ternyata telapak tangan si orang tua masing-tnasing tangannya sudah kehilangan jempolnya, kiri tinggal delapan jari.
Cukup lama Giok liong mengamati hatinya samakia ciut tidak mengambil barang-barangnya malah bergegas bertekuk lutut terus menyembah berulang ulang serta katanya dengan gelisah .
"Wanpwe memang harus mati, tidak tahu adalah kau orang tua !"
Harus diketahui kedudukan Pat-ci kay-ong (raja pengemis delapan jari) dalam Bu-lim-su-cun sangat tinggi sekarang terpaksa ia harus menjulurkan kedua telapak tangannya, mengandal Bu-siang-sin-kang berusaha melawan kekuatan suara dari Jan hun-it-ki, ilmu peninggalan tokoh-tokoh silat jaman kuno.
Dalam keadaan biasa, Pat-ci-kay ong takkan gampang rela memperlihatkan kedudukan serta asal usulnya, maka sedikit sekali orang yang pernah melihat akan kedelapan jarinya itu, Giok-liong adalah murid To-ji Pang Giok, ialah satu dari tokoh Bu-lim-su-cun itu, mana mungkin gurunya tidak pernah memperkenalkan ciri-ciri tokoh-tokoh sakti pada jaman itu.
Maka begitu Giok-liong melihat kedua telapak tangannya yang tinggal delapan jari segera unjuk hormat kebesaran.
Jan-hun-it-ki ( irama menyiksa sukma ) adalah ilmu tunggal yang karya gemblengan tokoh-tokoh kosen jaman kuno dulu, meliputi seluruh intisari kekuatan terpendam dalam alam semesta ini.
Sekali irama ini ditiup, kalau belum satu jam lamanya, Lwekangnya masih terus terpusat menjadi satu memperlihatkan perbawanya, satu jam kemudian baru menipis dan buyar.
Oleh karena itu meskipun Giok-Iiong sudah kenal akan Patci- kay-ong dan serulingnya sudah tidak ditiup lagi, tapi Pat cikay- ong inikttitn akan kekuatan sakti dari irama seruling yang hebat itu, duduknya tetap bergaya seperti tadi mengerahkan seluruh kekuatan Bi-siang-sinkang untuk bertahan, sedikitpun ia tidak berani memecah perhatian untuk bicara.
Akhirnya satu jam telah berlalu, pelan-pelan Pat ci-kay-ong baru menarik kedua tangannya terus menghapus keringat di jidatnya, setelah menghela napas panjang ia berkata.
"irama lagu ini seharusnya hanya ada di sorga, kapan manusia di dunia baka ini bisa menikmatinya, Hidup pengemis tua selama seratus tahun ini kiranya sia-sia, kini terbuka mataku!"
Selama ini Giok-Iiong tetap berlutut di-tanah, katanya lirih.
"Supek, harap ..."
"Bangun !"
"ujar Pat-ci-kay-o.ii tidak sabaran Giot-liong mengiakan terus bergegas bangun.
"Tak heran kau malang melintang di Kangouw, belum lama kau kelana sudah menggegerkan Bulim. Memang kenyataan hijau jauh lebih menang dari biru, Jan-hun-itki itu gurumu sendiri belum mampu menyelami sampai sebegitu jauh, tak kira kau sendiri sudah mencapai tujuh tingkat kesempurnaan !"
"Cian pwe terlalu memuji !"
"Duduklah !"
Ujar Pat-ci kay-ong menunjuk sebuah batu disampingnya. Giok-liong tahu watak pengemis tua yang keras, tanpa sungkan-sungkan ia terus duduk bersila.
"Giok liong,"
Demikian sambung pengemis tua.
"setengah bulan yang lalu, aku pernah bertemu dengan gurumu di perbatasan Kiang-han !"
Tersipu-sipu Giok-iiong berdiri lalu menjura dan bertanya dengan hormat .
"Apakah beliau baik-baik saja?"
"Dia tidak baik !"
Seumpama petir menyambar Giok-liong berjingkrak bangun dari tempat duduknya, teriaknya gugup.
"Bagaimana keadaan beliau ?"
"Hampir mati saking karena jengkel sepak terjang mu!"
Sahut si pengemis tua dengan nada berat.
"Ini ... Wanpwe memang pantas dihukum mati, tapi tak tahu kenapa ...
"
"Kau memasuki Lembah kematian menempuh bahaya kematian apakah tojuanmu?"
"Menuntut balas bagi ayah bunda, dan menceri tahu riwayat hidupku !"
"Selama berkelana ini, apakah sudah kau ketemukan sumbernya ?"
"Giok-liong menggeleng kepala dengan sedih. Adalah kebalikannya Pat ci-kay-ong malah manggutmanggut, katanya.
"ItuIah, coba pikirkan selama kau kelana ini bukan saja tidak mengurus tujuan yang sebesarnya malah kemana-mana kau mengunjuk kejahatan, gagah-gagahan menyebar maut membunuh sekian banyak jiwa, Berani kau menjunjung tinggi julukan Kim pit-jan hun menimbulkan keonaran dan kegaduhan di Bulim, dimana kau berada berada disitu timbul kericuhan!"
Sebentar ia berhenti, lalu sambungnya lagi.
"Bukan begitu saja perbuatanmu dikalangan kangouw kau khusus bergaul dengan kaum hawa bergulat tiada habisnya serta romantis. Yang terakhir ini tingkah lakumu semakin menjadi-jadi, mencari gara gara kepada sembilan aliran besar, dengan darah kau cuci bersih seluruh penghuni Go- bi-san dan Butong- pay, sebetulnya apakah tujuanmu. Hari ini tiada halangannya kau tuturkan kepadaku duduk perkara sebenarnya. Begitulah secara panjang lebar dan ringkas ia beberkan pengalaman Giok-liong selama di kangouw, nadanya sungguhsungguh penuh keseriusan. Selama mendengarkan Giok-liong mandah bungkam seribu basa sambil tunduk kepala, hati terasa seperti dibakar, juga seperti diiris-iris sampai seluruh badan geinetar, lama dan lama sekali baru ia dapat mengendalikan perasaannya, katanya.
"Masa Suhu dia orang tua fidak memahami dan menyelami pengalaman ku!"
"Memang segala sepak terjang dan perbuatanku susah dipahami, dengan cara bagaimana dia harus menyelami perbuatanmu?"
"Cianpwe harap tanya dikatakan sekarang Suhu berada?"
"Dia mewakili kau pergi kepuncak Bu-tay-san untuk memenuhi janji dengan pihak Yu-liong-kiam khek, Apalagi sembilan partai besar sudah tergabung dalam satu barisan hendak mencari perhitungan kepadamu, coba bila kau berdiri di pihak Suhumu, harus tidak menjadi marah."
Semakin pedih rasa hati Giok-liong, sam bil menjura dalam lantas ia membungkuk menjemput Potlot mas dan batu giok tanda kenangaa itu, katanya lantang.
"Supek. anak memang tidak berbakti, baiklah kita berpisah disini saja!"
Pat-ci-kay ong mengerutkan alis, katanya keras.
"Hendak kemana kau?"
"Aku harus menuju ke ngarai Im-hong (Angin Dingin) di puncak Bu-tay-san mencari Suhu!"
"Cara bagaimana kau harus menyelesaikan persoalan itu dihadapan mereka?"
"Aku harus lapor peristiwa sebenarnya kepada Suhu, terserah bagaimana dia orang tua hendas menjatuhkan hukumannya. seumpama aku harus hancur lebur juga rela."
"Begitupun baik, Tapi sebelumnya perlu ditegaskan dulu, sebetulnya bukan suhumu tidak mau menyelamli sepak terjangmu, Betapa-pun kabar angin atau omongan orang perlu pertimbangan, kabar angin dan desas desus di kalangan kangouw sebetulnya cukup merepotkan!"
"Wanpwe paham, terima kasih akan petunjuk Supek!"
"Hyaaaat!"
Tibn-tiba dari kejauhan sana terdengar jeritan keras bengis yang berkumandang menggeiarkr.n alam pegunungan menembus awan. Tanpa merasa Giok liang berdua berjing krak kaget, sesaat mereka saling pandang.
"Ciiataat !"
Gerangan lebih dahsyat terdengar mengerikan malah jarak nya terdengar semakin dekat. Tiba-tiba Pat-ci-kay-ong meloncat bangun, katanya lirih.
"Lwekang orang ini cukup hebat."
Giok-liong mendengarkan dengan cermat sahutnya berbisik.
"kalau terkaan Wanpwe tidak salah kedua kali teriakan ini bukan keluar dari mulut seorang !"
"Oh ..."
Merah jengah muka Pat ci-kay ong, sikapnya menjadi kikuk, betul-betul ia tidak menduga akan hal ini, sebab itu hatinya berpikir.
"Gelombang dibelakang selalu dorong yang didepan, tunas muda tumbuh diantara kaum remaja. pemuda ini memang berbakat, bukan saja Lwekangnya sudah sangat menonjol kecerdikan otak dan reaksinya cukup hebat, jauh melebihi tokoh-tokoh tua dari dunia persilatan. Tak heran begitu cepat ia mengangkat nama menggetarkan dunia persilatan Lebih tak perlu diherankan kalau golongan putih dan hitam semua takut dan benci terhadapnya !"
Tengah Pat-ci-kay ong terbenam dalam lamunannya, tibatiba Giok liong berbisik di pinggir telinganya.
"Supek, lihatlah !"
Jauh diluar hutan belantara sana, sebuah titik kecil, warna abu-abu gelap tengah berlari kencang laksana meteor jatuh, sedang di belakangnya mengejar dengan ketat sebuah bayangan merah marong yang besar, jarak ke dua bayangan orang itu kira-kira puluhan tombak, satu didepan yang lain dibelakang mereka mengembangkan Ginkang yang teramat lihay belum pernah terlihat di Kangouw, inilah Ginkang tingkat tinggi yang dikembangkan laksana bintang terbang mengejar rembulan, tujuan bayangan itu adalah tempat mereka berdua berada.
Sekejap mata saja jarak ratusan tombak telah diperpendek menjadi seratusan tombak kurang.
Kini kedua bayangan itu semakin dekat dan jelas kelihatan.
"Hah! Bo pak-it-jan!" "Oh Bo pak-it jan Sa Ko"
Hampir bersamaan Pa-ci kay-ong dan Giok liong berseru berbareng. Mata Giok-liong berkedip-kedip, katanya.
"siapakah orang aneh berpakaian serba merah."
"Celaka! Le hwe-heng cia, Bagaimana iblis ini bisa. ."
Belum habis ia berkata terdengar Le-hwe heng-cia membentak keras ditengah udara suaranya kasar dan keras seperti bunyi, kokok beluk.
"Sa Ko jangan harap kau dapat lari meloloskan diri! Tidak lekas kau berhenti!"
Serangan tangannya membarengi ancamannya, Waktu telapak tangannya terayun tiba tiba ditengah udara meledaklah suara gemuruh lantas terlihat menyemburnya lidah berapi yang membawa bau bakar yang keras laksana sekuntum awan merah didorong oleh angin baju yang keras langsung menerjang kearah Bo pak- it jan Sa Ko.
Kebetulan saat itu angin menghembus kencang sehingga semburan berapi tadi semakin berkobar lebih besar, sungguh mengejutkan.
Bo pak it jan Sa Ko mendengar di belakangnya seniman baja api sangat santar sampai menderu, Cepat-cepat ia goyangkan pundak meliukkan pinggang dan menjejakkan kaki tunggalnya sementara tangan tunggalnya juga dikebutkan kebelakang, badannya lantas meluncur turun miring kesebelah samping.
Tapi perbawa pukulan Le hwe heng cia ini betul betul sangat ganas, Bagaimana cepat gerak tubuh Bo pak it jan, badannya limbung terhuyung kedepan tak kuasa berdiri tegak, Saat mana meskipun jauh berada di dua tiga puluh tombak jauhnya, tak urung badannya tergetar keras tak terkendali lagi.
"Blung !"
Air lantas muncrat tinggi ternyata tepat sekali tubuhnya terpental masuk kedalam aliran sungai, sehingga seluruh tubuhnya basah kuyup, untung kecemplung kedalam air kalau tidak paling ringan kepalanya pasti keluar kecap atau benjut.
Bo-pak-it-jan sudah sekian tahun lamanya malang melintang di gurun pasir utara, merupakan seorang tokoh kosen yang tiada tandingannya didaerahnya.
Termasuk kalangan persilatan di Tionggoan dan perbatasan pedalaman selatan termasuk juga sebagai gembong silat yang sangat disegani.
Kepandaian dan Lwekangnya tidak lebih rendah dari Bu-lim sucun.
Tapi apa yang sekarang disaksikan, bukan saja tidak berani balas menyerang sampai menangkis saja tidak mampu, malah untuk menghindar tnati-matian saja juga harus menderita begitu rupa.
Maka dapat dibayangkan betapa mengejutkan kepandaian Le-hwe-lieng-cia ini ! Baru saja kepala Bo pak it jan menongol keluar dari permukaan air, pukulan Le hwe-heng cia sudah menerjang tiba lagi.
Giok-liong yang berdiri jauh tiga tombak juga merasakan udara mendadak menjadi panas membakar kulit seperti di panggang diatas tungku, aliran hangat menyampok muka sehingga napas sesak.
"Byaaaak !"
Kembang air, pecahan batu, rumput dan dahan dahan pohon beterbangan tak karuan paran seperti tengah terjadi gempa bumi. Badan Bo pak it-jan melayan tinggi sejauh lima tombak terus terbang melintang meluncur kedepan.
"Blang !"
Tepat ia terjatuh disamping Pat ci-kay-ong dan Giok-liong.
Kedua matanya kelihatan mendelong lurus kedepan, seluruh mukanya merah membara seperti babi panggang, seluruh baju yang dipakainya hangus terbakar, sejenak Patct kay-ong jongkok, memeriksa lalu berkata kepada Giok-liong.
"Waspadalah, Le hwe-heng-cia iblis ini tiada tandingannya di jagat ini."
"Terlihat bayangan merah berkelebat tahu-tahu Le-hwe heng cia sudah meluncar datang.
"Ha Hehenehe!"
Begitu melihat kehadiran Pat-ci kay-ong ia bergelak tawa sebelum sempat membuka suara bicara, Gema suaranya seperti auman harimau seperti lolong serigala menggetarkan alam pegunungan sampai kumandang sekian lama, binatang dan burung lari dan beterbangan karena terkejut.
Lenyap gema tawanya lantas terdengarlah suaranya yang keras sember seperti gembreng pecah .
"Ada In-lwe-su cun diam sebagai pelindung tak heran dia berlari sipat kuping kearah sini ! Tidak salah ! Tidak salah !"
Sikap sombongnya ini seolah-olah tidak memandang sebelah mata Pat-ci-kay-ong. Giok-liong menjadi aseran, raut mukanya yang putih berubah merah padam, serunya.
"Kenapa kau begitu ...
"
Belum kata sombong keluar dari mulutnya, keburu Pat-ci-kayong memberi kedipan mata mencegah kata katanya, malah ia sendiri segera berteriak.
"Le-hwe heng-cia ! Salah dugaanmu ! Belum pernah aku mengadakan janji pertemuan ditempat ini !"
Tak duga Le hwe heng-cia membalik mata, serunya dengan beringas .
"Aku tidak peduli ! Kalian bongkot-bongkot silat dari Tiong-goan berani membunuh muridku, maka aku harus membuat perhitungan dengan kalangan persilatan Tiong-goan kalian !" "Siapa yang telah membunuh muridmu?"
Tanya Pat ci kayong tawar.
"Aku tidak tahu !"
Sentak Le-hwe-heng-cia dengan murka.
"Dimana muridmu dibunuh orang !"
"Di Hiat hong-pang !"
Tergerak hati Giok-liong, segera ia turut bicara .
"Apakah pelindung Hiat-hong-pang yang menggunakan ilmu Le hwetok- yam itu ?"
Tergetar badan Le hwe-heng-cia, raut mukanya menjadi serius tiga langkah ia mendesak maju kedepan Giok liong dengan sorot pandangan tajam ia menyahut tak sabaran "Benar ! Kau tahu "
Sementara itu, Bo pak it jan Sa Ko yang terluka tidak ringan itu sudah merangkak bangun, duduk sambil menuding Giokliong mulutnya berkata gagap terputus-putus.
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, . itulah ... dia ! Dia .., . inilah !"
Sepasang mata Le-hwe-heng-cia yang merah membara berkedip kedip, terlebih dulu ia berkakakan baru katanya.
"Cacat tua ! Kau ngapusi aku !"
Sambil menyeka darah yang mengalir di ujung mulutnya, Bo pak- it- jan Sa Ko berkata sangat payah.
"Aku tidak menipumu, yang memukul mati muridmu dia itulah, Kim pit jan hun Ma Giok liong ini ! Pat-ci-kay ong berubah keras air mukanya dengan tajam ia pandang Giok-liong. Le hwe-heng cia menjadi ragu-ragu setengah percaya ia pandang Giok-liong lalu beralih pandang kepada Sa Ko yang duduk di-tanah, lalu ujarnya dengan suara serak.
"Dia? Mengandal bocah ingusan ... ." "Hahahaha ! Hahahaha!"
Giok liong tertawa lebar.
"Le-hwe heng-cia, jangan terlalu yang membunuh pelindung Hiat hong pang memang aku inilah adanya, apa yang dapat kauperbuat atas diriku ? Apa tindakanmu selanjutnya?"
"Buyung, benar kau ini yang berbuat?"
"Kenapa kau tidak percaya?"
"Aku harus menuntut balas bagi muridku !"
"Di saat ini hanya ada murid menuntut balas bagi gurunya belum pernah kudengar sang guru menuntut balas bagi muridnya ! Hahahaha ! Hehehehe !"
"Keparat, kurang ajar"
Le hwe heng-cia melejit ke atas dari kejauhan diudara dia menjulurkan tangannya mencengkeram seperti galian te i Li i mencakar pundak Giok-Iiong.
Belum lagi orangnya tiba, hawa panas sudah menerpa tiba membawa kesiur angin yang deras.
Ringan sekali mendadak bayangan putih berkelebat hilang Sambil berseru heran bayangan merah segera terbang mengejar dengan kencang.
"Berhenti !"
Latihan Ginkang Pat ci-kay-ong boleh dikata sudah mencapai puncak kesempurnaannya, ringan sekali ia melayang maju mencegat diantara mereka, lalu sambungnya.
"Bicaralah dulu supaya jelas !"
"Kau juga ingin ikut campur Rija pengemis !"
Sentak Le hwe-heng-cla dengan beringas. Pat ci-kay-ong bersabar sahutnya tertawa tawar "Maksudku urusan ini dibicarakan dulu biar jelas duduk perkaranya."
"Bukankah bocah ini sudah mengaku sendiri !"
Giok-liong insyaf bahwa Le-hwe-heng-cia merupakan gembong silat yang lihay dari kepandaiannya, bagaimana juga perhitungan dendam ini harus diselesaikan, oleh karena itu tanpa banyak bicara lagi segera dirogohnya keluar Potlot mas di tangannya.
serunya.
"Supek! Biar kucoba manusia liar ini punya kepandaian siiat macam apa?"
Pat-ci kay-ong mendelik, tanyanya.
"Benarkah muridnya, . ."
"Bikin aku mati gusar!"
Bayangan merah terbang melayang beberapa tombak melewati Pat-ci kay ong terus menubruk kearah Giok liong.
Pat ci kay ong tidak keburu mencegah mereka sudah berkutet dan bertempur seru sekali, sinar kuning berkembang dan diputar empat laksana kitiran melawan sepasang kepalan warna merah marong.
Begitu cepat cara serang menyerang ini sekejap saja puluhan jurus telah berlalu, selama ini kedua belah pihak tampak sama kuat.
Le hwe heng cia berkaok-kaok, suaranya laksana geledek mengguntur yang marah marah, Scba iknya Giok liong putar Potlot masnya secepat mengejar angin, seluruh badan diselubungi kabut putih, dimana Ji lo sudah dikerahkan melindungi badan, seketika terbangun semangatnya Jan hun su sek berulang kali dilancarkan dengan ketat sekali, tiada tampak sedikitpun lobang kelemahannya, Malah setiap jurus permainannya sering balas menyerang dengan gencar dan ganas tak mengenal ampun.
Terdengar kesiur angin dari lambaian baju orang, diluar gelanggang sana dari berbagai penjuru saling bermunculan bayangan orang yang tak terhitung jumlahnya, kiranya mereka juga kaum persilatan yang cukup tinggi kepandaiannya, terbukti dari Ginkang mereka yang cukup lihay, semua berdiri menonton diatas batu diatas pohon, menahan napas tak sembarangan bergerak.
Para pendatang ini semua mengenakan seragam hitam didepan dada tersulam pelangi merah darah, Terang mereka adalah anak buah Hiat hong pang.
Saat itu Bo pak it jan Sa Ko sudah merangkak bangun dengan susah payah terus mendekat disamping Pat ci kay ong.
katanya dengan lirih seperti nyamuk.
"Kay-ong ! Coba lihat ! Terang Hiat-hong pang yang mengundang iblis laknat itu datang kemari!"
Perhatian Pat ci-kay-ong tertuju pada keselamatan Giokliong, acuh tak aoiti ia menyahut .
,.Peduli Hiat-hong pang apa segala, iblis tua ini membikin onar di Tiong-goan merupakan bencana bagi kalangan persilatan.
Inilah takdir, semua harus mengalami kesukaran !"
Belum habis kata katanya, dalam gelanggang pertempuran terdengar Iedakan dahsyat bayangan manusia jaga lantas berpisah masing masing berdiri pada dua jurusan Le-hweheng cia melompat sejauh lima tombak, sepasang mata apinya merah membara terus berkedip-kedip, sikut tangan kirinya kelihatan mengucurkan darah segar, mulutnya tak hentinya berkaok-kaok.
"Aduh, aduh! Bocah keparat ! Bocah keparat !kiranya .., , tac heiiehe !"
Dilain pihak Giok- liong sendiri juga berkelebat menyingkir sejauh setombak lebih, Potlot mas di tangan kanan dilintangkan di depan dada, air mukanya berubah tegang, terlihat lengan baju tangan kirinya sobek separo dicakar Le hwe heng cia dan jatuh di atas tanah.
Puluhan anak buah Hiat-hong pang serempak berteriakteriak gegap gempita sambil bertepuk tangan, suaranya keras berkumandang bergema dalam lembah pegunungan
Jilid 19 Sikut kiri Le-hwe heng-cia kena tergores oleh Potlot mas Giok-liong, keruan hatinya bertambah marah seperti terbakar.
Terlihat ia geleng-gelengkan kepalanya yang besar sehingga rambutnya menjadi riap-riapan, mukanya menyeringai seperti wajah setan, menepuk kedua tangannya ia menggembor keras.
"Bocah keparat, kau harus mati !"
Tepat disaat ia mengayun telapak tangannya, cahaya merah dari bara yang panas sekali samar-samar seperti dua tonggak api menyembur keluar dari telapak tangannya. Terdengar Pat-ci-kay-ong berteriak.
"Giok liong, hati-hati, inilah Le-hwe-ceng-ciang."
Siang-siang Giok-liong sudah kerahkan seluruh latihan Lwekangnya Ji-lo juga dikerahkan sampai puncaknya, tanpa disadari tangan kirinya sudah merogoh keluar seruling samber nyawa.
Dengan kedua senjata ampuh dan sakti berada ditangan Giok-liong seperti harimau tumbuh sayap, dengan gencar ia lancarkan seluruh kepandaiannya.
Lambat laun kedua belah pihak sudah kerahkan kemampuan masing-masing, seluruh kekuatan telah disalurkan untuk mengadu kekerasan.
Pada saat itulah, mendadak gelak tawa lantang yang kumandang ditengah udara meluncur semakin dekat dari kejauhan sana.
Belum sempat mata berkedip, dalam gelanggang sudah bertambah dengan empat laki-laki tua berambut putih perak.
Rambut keempat orang tua ini samasama berkilau, sikapnya gagah bertubuh tinggi besar dan kekar.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli -- Jin Yong Pedang Ular Emas -- Yin Yong Gelang Perasa -- Gu Long