Seruling Samber Nyawa 7
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 7
Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung
"Pek Su in. membokong dari belakang kau tahu malu tidak?"
Agaknya suara bentakan pemuda baju kuning itu.
Tapi tiada banyak kesempatan bagi GioK liong untuk banyak pikir, tiba-tiba ia membungkukkan badan berbareng kedua kakinya menjejak tanah sambil mengerahkan tenaga murninya, seketika badannya melambung tinggi dua tombak.
"Siut"
Angin kencang yang mendesis itu persis melesat lewat di bawah kakinya. Giok-liong menjadi murka, bentaknya.
"Serangan bagus."
Air mukanya seketika menjadi merah membara, dimana kedua kakinya saling tendang, badannya lantas melambung lebih tinggi lagi dua tombak.
Berbareng dengan berkelebatnya sebuah bayangan diiringi suara jengekan dingin, tahu-tahu Pek Su-in sudah mengejar datang, tangan kanannya diayun berulang-ulang langsung mencengkeram kearah pinggang Giok-liong dimana terletak kantongan yang menyimpan bekalnya.
Giok-liong tertawa terbahak bahak, se-runya.
"Oho, inikah yang dinamakan tokoh kenamaan dari Pek-hun-to, hitunghitung hari ini aku yang rendah sudah berkenalan."
"Wut"
Tiba-tiba menendang kesikut kanan Pek Su-in yang terjulur maju ini.
Pek Suin terperanjat, sungguh tak duga olehnya bahwa pemuda ini kiranya berkepandaian tinggi, badan masih terapung ditengah udara tapi dapat balas melancarkan serangan kearah musuh.
Tapi dia sendiri juga bukan tokoh silat sembarangan dalam seribu kerepotannya, tangan kanannya dibalikkan terus merangsang ketumit Giok-liong di tempat jalan darah Cu-ping hiat.
Tapi baru saja"
Tangannya membalik belum sempat mengarah sasarannya, kaki kanan Giok-liong sudah ditarik balik.
"Wut"
Sekarang ganti kaki kiri yang menendang datang.
Ham-kang-it ho Pek Su in mendengus hidung keras-keras, tangan kanannya juga cepat ditarik balik, ganti tangan kiri yang disodorkan kedepan, seketika timbul gelombang angin membadai menerpa keras sekali kearah Giok-liong mengarah tulang kering di kaki kiri.
Kalau serangan ini tepat mengenai kaki kiri Giok-liong maka kakinya itu pasti akan hancur dan menjadi cacat.
Mendadak Giok-liong bersuit panjang, kedua tangannya dipentang lebar sehingga tubuhnya melejit tinggi lagi bersama itu pinggangnya sedikit ditekuk untuk jumpalitan ditengah udara.
Kedua tangannya lantas bergetar mempetakan bayangan pukulan yang memenuhi ditengah udara terus menyerang kearah Pek-Su-in.
Kejut Pek Su-in bukan alang kepalang, sambil menghardik keras ia kerahkan seluruh tenaga murninya ketelapak tangannya terus menyambut keatas.
"Blang"
Kontan terdengar ledakan dahsyat menggetarkan butni, krikil dan pasir beterbangan menari-nari dahan-dahan putus merontokan dedaunan sekeIilingnya.
Jantung Pek Su-in berdebar keras, terasa kepalanya pusing tujuh keliling segumpal hawa panas lantas menerjang naik dari pusarnya, badannya juga lantas terbanting turun cepat sekali.
Tapi sekuat tenaga ia berusaha bertahan, setelah mendehem keras-keras ia menyedot hawa panjang, kakinya menginjak tanah terus sempoyongan delapan langkah jauhnya baru bisa berdiri tegak.
Giok-liong sendiri meskipun menubruk musuh dari atas, tapi juga tidak banyak mengambil keuntungan, karena daya benturan yang keras ini, badannya terpental balik ketengah udara lebih tinggi lagi.
pandangannya menjadi berkunangkunang susah payah ia coba kendalikan tubuhnya terus meluncur turun dua tombak di sebelah sana.
Tatkala itu, Pek Su in sudah dapat mengatur pernapasannya kembali.
Begitu melihat Giok-liong meluncur turun segera ia mendesis geram.
"Hm, akan kulihat sampai dimana kemampuanmu!"
Jilid 07 Selicin belut tiba-tiba ia menubruk datang sambil menggetarkan tangan kirinya sehingga menjadi bayangan yang mengabarkan pandangan diselingi desis angin kencang terus menusuk ke arah dada Giok-liong.
Bersama itu, kelima jari tangan kanan di pentang terus mencengkeram pinggang Giok-Iiong.
Baru saja Giok-liong dapat berdiri tegak lantas merasakan angin kencang telah merangsang tiba, dalam kesibukaanya kontan ia lancarkan jurus Cin-chiu untuk membeli diri, seketika angin badai bergelombang membawa kabut putih berkelompok kelompok terus menggulung kedepan.
Tepat pada saat itu sebetulnya kelima jari Pek Su-in sudah menyentuh pinggang Giok-Iioig, sayang ia terlambat sedetik, Karena bila cengkeraman kekantong bekal di pinggang Giokliong itu terus dilaksanakan pasti jiwa sendiri bisa melayang kena jurus serangan Cin-chiu ini.
Apalagi iapun sudah kenal asal usul dari jurus serangan dahsyat Babna kagetnya, tersipu-sipu ia tarik balik tangannya dengan kaki kiri sebagai poros badannya mendadak berputar terus rebah celentang serta meluncur kesamping beberapa kaki, dimana kedua tangannya menyanggah tanah, selamatkan jiwanya dari mara bahaya, Tapi dia tidak berhenti bergerak begitu saja begitu luput dari serangan lawan badannya lantas membalik seraya mendorongkan tangan kanan menjojoh pusar Giok-liong.
Giok-liong mandah tertawa ejek, saking dongkol tanpa kepalang tanggung jurus kedua ketiga dari Sam jicui hun chiu yaitu Hoat-bwe dan Tiam-ceng beruntung dilancarkan seketika timbul gelombang badai yang dahsyat, kuntum mega putih mengembang ikut menggulung kedepan, Terpaksa Ham-kangit- ho Pek Su-in harus kerahkan seluruh tenaga serta kepandaian tunggal simpanan dari perguruannya yaitu Pek hun-jicap-pwe-sek.
Kontan terjadilah perang tanding kekerasan yang hebat sekali.
Tidak lama kemudian kedua lawan ini sudah terbungkus kedalam kabut putih saban-saban terdengar desis keras serta samberan angin menderu yang membawa kabut putih, terlihat bayangan pukulan tangan berlapis-lapis, saling tindih dan serang, sehingga batu pecah berantakan pasirpun beterbangan.
Dahan pohon serta rumput disekitar gelanggang pertempuran menjadi tumbang dan roboh berserakan.
Begitulah dalam waktu singkat sulit ditentukan siapa yang bakal menang atau asor dalam pertempuran dahsyat ini.
Maklum kedua lawan ini sama-sama kuat dan lagi kalau yang satu memang berbakat dan sudah gemblengan dalam pengalaman hidup pahit getir sebaliknya yang lain juga seorang tokoh persilatan yang banyak pengalaman dan sudah tekun berlatih sekian tahun tanpa mengenal lelah, tak heran masing-masing susah dapat mengalahkan lawannya.
Sementara itu, pemuda baju kuning itu menonton dipinggiran sambil menggendong tangan serta mengunjuk senyum-senyum manis, cermat sekali ia mengamati segala perobahan dalam gelanggang pertempuran.
Juga didalam rimba sana tengah banyak pasang mata dengan terbelalak, tanpa berkedip menonton serta menanti perobahan yang bakal terjadi di tengah gelanggang sini, Mereka sudah siap siaga untuk serentak turun tangan entah dengan cara yang bagaimana kejam serta telengas tidak perduli, yang terang mereka harus sukses atau berhasil mencapai tujuan terakhir.
Sekonyong konyong terdengar suara "Blang"
Yang keras disusul pekik nyaring yang merdu, lantas terlihat bayangan, ungu berkelebat gesit sekali.
Tahu-tahu Ci hun-giok-li meloncat keluar kalangan pertempuran bagai seekor ular yang kaget kena gebok, sementara itu Bo-pak-jan Sa Ko juga terdengar menggerung rendah, cepat-cepat iapun mundur lima kaki terus mendongak tertawa terkekeh-kekeh, serunya.
"Bagus, bagus sekali, sungguh tak nyana, hari ini Lohu seperti kapal terbalik didalam selokan ...."
Suaranya berganti terloroh-loroh menyedihkan tiba-tiba badannya melenting tinggi terus melesat masuk dalam hutan.
Wajah Cihu-giok li tampak pucat pasi, setelah melihat Bopak it-jan menghilang didalam rimba, wajah nan ayu jelita itu baru menampilkan senyum manis yang terhibur.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, badannya juga lantas bergoyang goyang seperti kehabisan tenaga, sedikit membuka mulut, darah segera kontan meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Sebat sekali tahu-tahu pemuda baju kuning berkelebat tiba disamping Ci-hu-giok-li sambil tertawa-tawa ia jinjing lengan kirinya serta tanyanya penuh prihatin.
"Nona Kiong, bagaimana keadaanmu?"
Pelan-pelan Ci-hu giok-li menggelengkan kepala, tiba-tiba ia menyipatkan tangan serta meloloskan tangan dari cekalan orang, katanya sambil tertawa ewa.
"Tak nyana kepandaian si cacat tua bangkotan itu lihay benar..."
Pemuda baju kuning tertawa, katanya.
"Cici terluka parah, perlukah kubitabaags ketawa untuk istirahat I"
Mendengar tawaran ini Ci-hu-giok-li sedikit terkejut sekilas ia melerok lalu sahutnya.
"Terima kasih akan kebaikanmu luka-lukaku ini tidak menjadi soal ... lalu dengan langkah ringan pelan-pelan ia maju kedepan sana, sepasang matanya yang indah cerah dan bening itu memandang penuh perhatian kearah pertempuran Giok-liong. Tatkala mana Giok liong sudah kerahkan sepuluh bagian tenaga Ji-lo ilmu Sam-ji cui-hun chiu juga sudah dilancarkan sampai puncaknya, dorong mendorong sampai berlapis-lapis bayangan pukulan tangan laksana gelombang samudra mengamuk terus berbondong-bondong menerjang kearah Ham-kang-it-ho Pek Su in. Semakin bertempur hati Ham-kang it -ho Pek Su-in semakin gentar dan ciut nyalinya, sekuat tenaga ia sudah lancarkan seluruh kemampuan dalam ilmu Pek-hun- ji cap-pwe-sek kenyataan toh dirinya masih terdesak dibawah angin tanpa dapat balas menyerang dari pada banyak membela diri saja. Lambat laun, kabut semakin tebal bayangan pukulan tangan semakin banyak berlapis, Lama kelamaan keringat mulai membasahi seluruh badan dan jidat Ham-kang-it-ho, terang bahwa dirinya sudah semakin terdesak dibawah angin. Sebuah telapak tangan putih yang halus tanpa suara tahutahu sudah menyelonong tiba disamping tubuhnya terus berputar kencang sekali, setiap kali kesempatan lantas menepuk datang dengan ringannya. Selain itu, sekeliling tubuhnya sadah terbungkus oleh angin badai yang menderuderu, tekanan juga terasa semakin berat, ditambah lapisan bayangan pukulan tangan yang susah ditembus, semakin terasakan jiwanya sudah terpencil dipinggir jurang kematian. Pada detik terakhir ini baru timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya. Dia menyesal bahwa dirinya sudah menjadi tamak dan loba ingin merebut benda milik orang lain, Selain itu iapun menyesal terlalu mengandalkan kemampuan kepandaian sendiri untuk menindas dan menghina seorang pemuda remaja yang baru pertama kali berkelana di dunia ramai. Tapi sayang sekali penyesalan ini mengetuk hati kecilnya pada saat-saat ia menghadapi bahaya, seumpama dia berhasil secara gampang merebut benda yang diinginkan itu, pasti takkan timbul rasa penyesalannya ini, Begitulah karena sedikit terpecah pikirannya, sehingga gerak-geriknya sedikit lambat, seketika terasakan tekanan dari luar disekeliling tubuhnya itu bertambah berat dan kuat. Bersamaan dengan itu kedengaran Giok-liong tengah mengejek.
"llmu silatmu memang lumayan, sayang mempunyai hati yang kurang lurus."
Ditengah gelombang angin badai yang menderu-deru serta ditengah bayangan lapisan pukulan tangan itu, tangan putih halus yang misterius itu tiba-tiba sudah menyelonong tiba menekan kedepan dadanya.
Saking kagetnya Pek Su in lantas memutar badan dengan jurus pertolongan yang dinamakan Pek-hun-yu-yu, kedua telapak tangannya yang besar itu mendadak didorong maju, diantara tekanan angin badai yang menerpa dari berbagai penjuru.
Giok liong tertawa dingin, mulutnya menyungging rasa menghina, jengeknya.
"Binatang berontak dalam kepungan tak perlu dikwatirkan lagi!"
Sepasang tangannya disilangkan lantas menggapai-gapai, berbareng kakinya menggeser gesit sekali badannya melesat ke samping. ejeknya.
"Hentikan pertempuran ini, nanti kuampuni jiwamu!"
Melihat Giok liong mundur Pek Su-in malah mendapat hati, dikiranya orang juga sudah kehabisan tenaga dan tiada kekuatan melancarkan ilmunya lagi, maka sambil mendengus iapun balas menjengek.
"Asal kau mau serahkan seruling samber nyawa itu, Lohu segera lepas tangan tinggal pergi."
Sembari berkata lagi-lagi jurus Pek-hun yu-yu tadi dilancarkan lagi, kedua telapak tangannya itu dengan ganas mencengkeram kearah Giok-liong.
Rasa dongkol Giok-lioni semakin membakar kemarahannya, Tadi ia merasa sedikit kasihan karena tindak tanduk lawannya ini bukan gembong penjahat yang sudah penuh dosanya, maka sedikit memberi kelonggaran, serta memberi peringatan dengan kata-katanya itu, Siapa nyana kebaikannya ini malah digunakan sebagai kesempatan untuk balas menyerang oleh lawan malah dengan tujuan jelek lagi, ditambah mulutnya berkata begitu takabur.
Karuan kemarahan Giok-liong seumpama api disiram minyak sambil menghardik keras dan menggertak gigi ia memaki.
"Memang kau ini bangsat yang setimpal dibunuh!"
Tapi sedikit kelonggaran yang diberikan sudah menjauhkan kesempatan bagus bagi musuh untuk melancarkan ilmu mautnya, Untung ia sudah kerahkan ilmu pelindung badannya tapi tak urung sepasang telapak tangan besar itu toh sudah menyengkeram tiba dengan ganasnya.
Dalam keadaan gawat ini.
Mendadak Giok-liong mendongak keatas terus kertakakan keras tangan kiri berputar setengah lingkaran ditengah udara sedang tangan kanan merogoh kearah pinggang.
Tahu-tahu selarik sinar kuning keemas-emasan memancar ketengah udara.
Kiranya Potlot emas yang telah menggetarkan dunia persilatan pada masa silam telah mengunjuk keampuhannya.
Memang kesaktian Potlot emasini tidak perlu diragukan lagi, dimana waktu kepalan tangan merangsak tiba berbareng sinar mas meluncur tiba seketika terjadilah hujan darah lalu disusul pekik serta gerengan kesakitan yang menyayatkan hati.
Begitu usahanya memperoleh hasil yang memuaskan Giokliong lantas merandek.
Kiranya sambil mengerahkan sepuluh bagian tenaga murninya dengan jurus Keng-sim (kejut hati) untuk menolong jiwa sendiri dari renggutan elmaut cengkeraman cakar musuh, begitu berhasil ia merandek tidak terus mengejar malah segera ia melejet mundur setombak lebih sambil menjinjing potlot masnya itu.
Dalam pada itu, Pek Su in sendiri juga melompat mundur dua tombak jauhnya, Air mukanya pucat pias, tangan kirinya mengalirkan darah deras sekali.
Meskipun ia sudah berusaha menutuk jalan darah, tapi tak urung darah segar masih terus merembes ke luar.
Mimpi juga dia tak menduga bahwa pot-lot emas Giok-liong itu masih kuat menembus penjagaan ilmu pelindung badannya malah melukai pula tangan kirinya.
Setelah menenangkan diri dan mengatur pernapasannya, dengan penuh kebencian ia tatap wajah Giok-liong, tiba-tiba ia terloroh-loroh sedih, ujarnya.
"Bagus Ma Giok- liong terhitung Lohu sudah berkenalan dengan kepandaianmu !"
Lalu ia menyapu pandang ke empat penjuru, Dilihatnya Ci-hu-giok-li dan pemuda baju kuning itu tengah memandang kearah Giok liong dengan penuh rasa simpatik Hatinya menjadi mengkeret, batinnya.
"Dilihat naga-naganya jikalau aku berkeras kepala situasi yang runyam ini pasti tidak bakal menguntungkan bagi diriku. Terpaksa aku harus memancing dia dengan janji tiga hari lagi untuk bertemu Dalam jangka waktu tiga hari ini aku harus berusaha memberi tahu dan mengundang majikan pulau awan putih dan bantuan lain ...
"
Tengah ia menimang-nimang ini. Mendadak terdengar serentetan suara tawa panjang yang dingin seram berkumandang di tengah udara, Hatinya menjadi tergetar, batinnya lagi.
"Mungkinkah dia sudah datang? Kalau begitu tak bisa aku tinggal pergi, jikalau seruling samber nyawa itu sampai terjatuh ditangan orang lain, bukankah sia-sia saja perjalanan ini."
Berpikir demikian sepasang matanya lantas memancarkan cahaya terang yang menyeramkan, katanya tertawa besar.
"sekarang Pek Su-in minta diri, kelak pasti takkan kulupakan tanda mata di tanganku ini"
Habis berkata kedua kakinya menjejak tanah badannya lantas meluncur kedalam hutan dan menghilang.
Suara seram bagai pekik kokok beluk itu masih terus berkumandang semakin keras bergema dialas pegunungan gelap ini, sehingga menambah keseraman suasana yang sunyi lengang diliputi ketegangan.
Dalam hutan disemak belukar sana tengah terpancar entah berapa banyak pasang mata tajam yang diliputi hawa membunuh tengah mengancam setiap saat.
Tadi sekuat tenaganya Giok-liong melancarkan serangannya, meskipun memperoleh kemenangan namun hawa murni dalam tubuhnya juga susut sebagian malah kena tergetar pula sehingga sedikit cidera.
Ci-hu-giok-li bersama pemuda baju kuning itu bergegas melejit maju mendekat dengan gelisah, bersama pula mereka membuka mulut bertanya.
"Kau terluka ?"
Pelan-pelan Giok-liong manggut-manggut sahutnya kalem.
"sedikit luka, tapi tidak menjadi soal."
Air muka Ci-hu-giok li yang kelihatan pucat itu seketika bersemu merah dan unjuk rasa girang, katanya lembut.
"Wah, membuat gugup orang saja !"
Pemuda baju kuning melirik sambil terkikik geli, katanya menggoda.
"Aduh, benar-benar mesra dan penuh kasih sayang!"
Kedua pipi Ci-hu-giok-li kontan bersemu merah jengah kemalu-maluan, ujarnya merengut.
"Cis, siapa suruh kau banyak mulut, kalau cerewet lagi kusobek mulutmu yang langcang."
Pemuda baju kuning meleletkan lidah, segera ia soja minta minta maaf.
"selanjutnya aku yang bodoh ini tidak berani lagi !"
Melihat sikap orang yang sedemikian prihatin akan dirinya, Giok-liong menjadi terharu, Tanpa terasa terkenanglah akan istrinya Coh Ki-sia yang tinggal dalam Hwi-hun san cheng itu, wajahnya yang gagah ganteng itu lantas tersimpul senyum manis.
Melihat Giok-liong juga tersenyum, hati Ci-hu-giok-li merasa syuur seakan arwahnya terbang keawang-awang, katanya dengan lembut .
"Nada tertawa ini rada aneh. Mungkin Ko-bok imhun tokoh ketiga dari Thian-1ai-sam-yau sudah tiba. Menurut hematku marilah segera kita tingal pergi saja."
Pemuda baju kuning tertawa penuh arti, ujarnya "Mau pergi, kukira juga tidak begitu gampang !"
Ci hu-giok-li lantas tertawa lantang, tanpa menoleh lagi ia menyambut.
"Apa kau coba merintangi ?"
Pemuda baju kuning juga tertawa-tawa, katanya "Mana aku yang bodoh ini berani, apalagi terhadap kau nona masa aku berani kurang ajar lagi ! Hanya ... apakah kalian tidak merasa bahwa sekitar kita ini rada-rada janggal dan mencurigakan ?"
Tanpa merasa Ci-hu-giok-li tertawa geli, ujarnya.
"Masa mengandal para tokoti bangsa Panca-longok itu juga berani berusaha merintangi jalan kita ?"
Pemuda baju kuning menekan suaranya. katanya.
"Menurut pendapatku yang b-jdoh, dalam rimba sana mungkin bersembunyi tokoh-tokoh lihay, sementara waktu mungkin sukar dapat meloloskan diri."
Jauh sebelum berkecimpung didalam Kang ouw Giok-liong sudah pernah mendengar akan ketenaran nama Thian lamsam- yau, sekarang mau tidak mau dirinya harus berhadapan dengan gembong iblis yang ditakuti itu, sehingga hatinya kebat-kebit tidak tentram tercetus pertanyaannya.
"Bagaimana kepandaian silat Ko-bok-im-hun itu?"
Pemuda baju kuning menjawab serius.
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dibanding Bo-pakit- jan kukira, boleh lebih tinggi dari pada dikatakan lebih rendah. Apalagi tokoh kesatu dan kedua Thian-lam-sam-yau itu kepandaian silatnya lebih tinggi lagi! jikalau mereka bertiga bergabung datang, Mungkin ...... malam ini kita bisa celaka !"
Ci-hu-giok-Ii juga manggut-manggut, katanya.
"Hal itu memang kenyataan, menurut kata ayahku, ketiga tokoh Thian-lam-sam-yau itu ilmu kepandaiannya masing-masing berlainan."
Tapi akhirnya mereka menutup pintu dan bergabung melatih semacam ilmu ganas dari aliran Lwe-keh yang dinamakan Hian-si-im-cu.
Bila mereka benar-benar masih melatih ilmunya itu, pasti tak mungkin bisa keluar dari sarangnya, Kalau kenyataan sudah keluar itu berarti bahwa ilmu gabungan itu sudah selesai dilatih bersama."
Suasana sementara menjadi sunyi senyap tenggelam dalam masing-masing pikirannya.
Gelombang tawa dingin yang menggiriskan itu masih terus bergema semakin dekat dan keras, Didengar dari gema suaranya yang semakin keras, jaraknya mungkin tinggal puluhan li saja.
Tiba-tiba pemuda baju kuning bertanya kcpada Giokliong."
Ma-siau-hiap, apakah benar kau menyimpan seruling sambar nyawa itu?"
Penuh tanda tanya dan keheranan Giok-liong mengamati orang, otaknya berputar cepat, batinnya.
"Meskipun dilihat perangainya ini pemuda baju kuning tidak seperti seorang jahat, bagaimana juga aku harus berjaga-jaga, Apalagi siapa namanya serta usul atau dari perguruan mana sedikitpun aku tidak tahu!"
Dasar pemuda baju kuning ini cukup cerdik sekilas saja ia lantas dapat menebak isi hati yang terkandung dalam benak Giok-liong, matanya yang besar berkedip-kedip serta ujarnya penuh jenaka.
"Agaknya Ma~ siau hiap agak ragu-ragu dan kurang percaya akan pribadiku! Aku yang rendah bernama Tan Hak-kiau, aku bertempat tinggal di Kau-jiang-san, dari perguruan Kau-jiang-pula! Baru belum lama ini aku berkelana di Kangouw, maka belum banyak dikenal oleh kalayak ramai."
"Dari kabar yang tersiar aku dengar katanya bahwa Janhun- ti (seruling samber nyawa) terjatuh ditangan To-ji Pang-lo cianpwe. Tapi selama rstusan tahun terakhir ini Pang-lo canpwe sudah menghilang jejaknya dari dunia persilatan. Maka begitu Ma-siau-hiap mengunjukkan diri segera menggemparkan seluruh rimba persilatan Tiada seorangpun dari kaum persilatan yang tidak mengharapkan sedikit sumber berita yang paling terpercaya tentang seruling sakti itu."
"Aku yang rendah hanya kebetulan saja kebentur dengan peristiwa ini, sebagai seorang dari aliran Ciang-pay betapapun aku tidak bisa berpeluk tangan melihat kesukaran orang lain tanpa mengulur tangan membantu, jikalau seruling samber nyawa itu benar-benar berada ditangan Ma-siau-hiap, mau tidak mau kita harus mundur teratur untuk menentukan langkah langkah selanjutnya."
"Terima kasih akan uluran tangan saudara yang sudi membantu kesukaran yang tengah kuhadapi ini. Memang seruling sakti itu telah diserahkan kepadaku oleh guruku. Tapi betapapun aku harus dapat menanggulangi sendiri kesukaran yang timbul karena seruling sakti itu. Kuharap saudara berdua tidak ikut menjadi korban oleh karena ketamakan pada durjana yang mengincar seruling pusaka itu.
"Akh Ma-siau-hiap berat kata katamu ini, rasanya malu bagi kita kaum persilatan yang mengutamakan kebijaksanaan bagi sesama umat jikalau berpeluk tangan melihat penderitaan orang lain, Kita harus berani berkorban demi keadilan dan kebenaran betapa juga aku sudah bertekad untuk membantu kau untuk menegakkan keadilan demi kesejahteraan kaum persiiatan!"
"Benar, kita kaum keluarga Ci-hu juga selamanya belum pernah menarik kembali ucapan yang pernah dikatakan, Meskipun bakal mendapat marah dari ayah aku tidak peduli lagi akan segala tetek bengek. Suka rela aku membantu kau, marilah kita galang persatuan dan kesatuan kita bertiga, air datang kita bendung musuh datang kita tandangi meskipun sampai titik darah penghabisan aku rela berkorban demi kepentingan kaum persilatan."
Sungguh haru Giok-liong tak tak terhingga sampai tenggorokkan terasa sesak sukar bicara namun belum sempat ia angkat bicara lagi gema suara panjang itu sudah meluncur tiba ditengah gelanggang membuat kuping mereka bertiga terasa hampir pecah.
Kini dalam gelanggang sudah bertambah seorang tua kurus kering bertubuh tinggi seperti genter bertangan panjang, Matanya yang berkilat itu langsung menatap kearah Giok-liong lalu tanyanya dengan suara rendah.
"Kau inikah yang bernama Giok-liong murid To-ji ?"
Sebelum Giok-liong sempat buka suara dari samping Kiong Ling-ling sudah menyelak, serunya.
"Paman Ki, sehat walafiatkah kau orang tua selama ini, untuk apakah kau datang kemari ?"
Ko bok-im hun terkekeh-kekeh, lalu ujarnya.
"Eeeeeh, sudah tahu pura-pura tanya lagi, Budak kecil dimanakah ayahmu, apakah beliau baik-baik saja selama ini."
"Berkat lindungan Tuhan, ayah masih sehat dan baik-baik saja !"
"Hm, baik sekali, Kau minggir saja ke-samping. Biar Lohu minta seruling itu dulu."
Berubah air muka Ci-hu-giok-li, katanya penuh aleman.
"Paman, Ma Giok-liong adalah engkoh angkat Wanpwe."
Tubuh Ko bok im-hun rada tergetar, sesaat baru ia berkata dingin.
"Omong kosong!"
Ci-hu-giok-li maklum bahwa orang rada keder dan segan menghadapi ayahnya, maka dengan wajar segera ia berkata.
"Ya, memang betul."
"Kapan Sin-kun mengangkat dia sebagai anak angkat ?"
"Setengah tahun yang lalu !"
Sekonyong-konyong Ko-bok im hun ter-loroh-loroh keras, suaranya bergema lantang menggiriskan sukma orang, lama dan lama kemudian baru ia menghentikan tawa seram ini.
"Paman apa yang perlu ditertawakan ?"
"Setengah bulan yang lalu baru saja Lohu bertemu dengan Sin-kun. Menurut tutur katanya hakikatnya ia tidak kenal mengenal tentang bocah she Ma ini, Hahahaha."
Sembari terbahak dingin ini mendadak timbul lima jalur angin dingin membawa warna hijau menyolok secepat kilat melesat mengarah Giok liong.
Bersama itu dia sendiri juga berkelebat cepat laksana bayangan setan tahu-tahu sudah melejit tiba dipinggir kanan Giok-liong.
Sungguh tidak terduga oleh Giok-liong bahwa gerak tubuh Ko-bok-im-hun ternyata bisa begitu cepat, untuk berkelit sudah tidak sempat lagi, dalam seribu kerepotan terpaksa ia gerakkan potlot mas ditangan kanannya, dengan jurus Siphum (menghilang sukma) jurus kedua dari ilmu Jan-hun-sisek untuk membela diri.
Seketika cahaya kuning memanjang seperti rantai emas berputar mengelilingi tubuhnya, sehingga menerbitkan angin menderu untuk melindungi badan.
Bertepatan dengan itu, terdengar juga hentikan nyaring halus, disusul bayangan ungu melayang tiba terus memberondong dengan kepalan tangannya yang hebat laksana gelombang samudra yang tengah mengamuk.
Tidak ketinggalan bayangan kuning juga berkelebat diselingi suara tawa dingin, seketika angin lesus membumbung tinggi laksana gunung.
Setelah terdengar ledakan dahsyat yang menggetarkan bumi, terlihat bayangan orang terpental keempat penjuru.
Ko-bok-im-bun berdiri tegak sambil melotot sepasang matanya yang besar beringas memancarkan cahaya terang kehijau-hijauan.
Wajah Ci-hu giok-li rada merah jengah katanya lembut penuh aleman.
"Paman, mana boleh kau gunakan kekerasan hendak merampas barang milik orang lain."
Pemuda baju kuning Tan Hak-siu ikut menyindir.
"Beginilah tokoh angkatan tua dunia persilatan yang disegani, Membuat angkatan muda bergidik dan malu saja."
Sebaliknya Giok liong mandah tersenyum ejek sambil berdiri menjinjing senjata potlotnya. Tiba-tiba suara tawa Ko bok-im-hun yang parau mendesis terlontar dari bibirnya yang menyeringai seram mendirikan buluroma, katanya.
"Hari ini Loou harus mencapai tujuan siapa yang berani merintangi pasti kubunuh!"
Belum selesai ia berkata terdengar angin berkesiur dari dalam hutan gelap sana berkelebat dua bayangan satu hitam dan yang lain kuning berkilau menyolok mata, Maka dilain saat tahu-tahu dalam gelanggang sudah bertambah dua orang berkedok.
Yang berdiri sebelah kiri berperawakan tinggi, seluruh tubuhnya terbungkus pakaian hitam, didada sebelah kiri tersulam gambar pelangi merah darah yang menyolok mata.
Lain yang berdiri sebelah kanan bertubuh perteugahan seluruh tubuhnya berkilauan terbungkus kain kuning emas hanya terlihat sepasang matanya yang hitam berkilat dari belakang kedoknya.
Begitu muncul langsung mereka menerjang dengan membawa kekuatan pukulan dahsyat laksana gugur gunung menindih kearah Giok-liong.
Ko bok-im-hun menjadi murka, teriaknya beringas.
"Berhenti!"
Sepasang matanya memancarkan cahaya liar buas kehijauan, sembari menarikan kedua tangannya, tubuhnya bergerak lincah laksana bayangan setan gentayangan terus menubruk maju, badannya terbungkus oleh kabut hijau itu yang cemerlang, Betapa cepat gerak tubuhnya ini sungguh sangat menakjubkan.
Tiba-tiba terdengar pemuda baju kuning Tan Hak-siau mendengus hina, katanya.
"Hm, Hiat-hong-hong Pang cu dan Kiam Pang cu muncul berbareng, kiranya mereka sudah ada intrik dan bersekongkol dalam satu lobang hidung."
Ci-hu giok li mengunjuk senyum manis kearahnya serta katanya.
"Bagaimana menurut maksudmu?"
Saat itulah terdengar benturan keras ditengah gelanggang. setelah angin mereda dan kabut menghilang terdengar Hiathong Pang-cu mengekeh panjang, katanya sinis.
"Ki-cian-pwe, kalau dapat dilerai lebih baik kau lepas tangan saja, sekali kesalahan tangan nama bisa runtuh, badanpun bakal hancur, hal ini tidak menguntungkan bagi kau."
Ko-bok-im-hun menyeringai tawa, jengeknya.
"Tak nyana selama puluhan tahun ini Lohu tidak muncul didunia ramai, kiranya telah bermunculan para bocah keparat yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi..."
Seiring dengan ucapannya ini kelima jari tangan kanannya berjentik bcrulang-ulang, lima jalur angin kencang terus melesat langsung menerjang Giok liong.
Belum lagi serangan tutukan jari ini mengenai sasarannya, mendadak tubuhnya juga ikut melejit tinggi melambung ketengah udara, badannya masih tetap terbungkus oleh kabut hijau, kaki dan tangan serentak bekerja, tangan mencengkram batok kepala dan sedang leher kakinya menendang perut Giok-liong.
Disebelah sana Hiat hong Pang cu terloroh-loroh aneh, berbareng kedua tangannya menepuk kearah pinggang, dilain saat kedua tangannya itu sudah mencekal dua benda warna merah darah yang berbentuk sangat aneh.
Kiranya itulah lencana Hiat-hong-ling penanda tertinggi dan Hiat-hong-pang.
Dengan membekal senjata pusaka perkumpulan ini terbitlah dua jalur sinar merah memapak maju kearah Ko bo-im-hun.
Sementara itu, Kim-i Pang cu juga tidak mau ketinggalan meloIos keluar cambuk panjang menyerupai seekor ular yang bewarna kuning mas.
Sekali gentak keudara seketika dipenuhi bayangan kuning mas beterbangan terus mematuk dan melihat kearah Giok-liong juga.
Melihat keadaan ini, seketika Ci-hu-giok-Ii berseru kejut.
"Dia ... mungkin adalah Kim-coa-long-kun adanya ?"
Pemuda baju kuning Tan Hak-siu menjawab .
"Tidak mungkin Kim coa long-kun sudah mengasingkan diri selama dua ratus tahun lebih !"
Gelombang badai terbit lagi membumbung tinggi ke tengah angkasa bayangan orang berkelebat gesit sekali, Terjadilah dua kelompok pertempuran sengit yang mendebarkan dalam gelanggang, Ko bok-im-bun melawan Hiat hong Pang-cu.
Sedang Giok-Iiong melawan Kim-i Pang-cu, terjadilah perang tanding yang jarang terjadi dalam dunia persilatan selama ini.
Sekonyong-konyong dua jalur bianglala warna kuning dan merah darah meluncur tinggi ketengah angkasa dari tengah hutan, sedemikian terang cahaya api dua jalur bianglala itu menerangi malam gelap dan sunyi ini menyolok mata.
Tak tertahan pemuda baju kuning berseru kejut.
"Celaka, Hiat-hong-pang dan Kim-i pang mengerahkan seluruh bala bantuannya . ."
Benar juga belum lenyap suaranya dari dalam hutan yang gelap itu lantas kelihatan bayangan orang berkelebatan membawa kesiur angin yang keras.
Entah berapa puluh lakilaki berbadan besar-besar mengenakan seragam hitam dan kuning mas berloncatan keluar dengan gesit dan tangkasnya meluruk kearah gelanggang pertempuran ini.
Ditangan para pendatang ini pasti membekal senjata yang berkilauan entah pedang tombak atau senjata tajam lain, sekejap saja mereka sudah mengepung rapat gelanggang pertempuran ini, seolah-olah mereka sudah mengatur suatu macam barisan.
Ci-hu-giok-li mengerutkan kening, katanya pada pemuda baju kuning.
"Mereka sudah membentuk barisan apa, kenapa aku tidak mengenalnya ?"
Dengan sikap serius pemuda baju kuning menjawab.
"Barisan apakah ini aku sendiri juga tidak tahu Naga-naganya malam ini kita harus turun tangan tidak mengenal kasihan, bunuh dulu sebanyak mungkin supaya barisan mereka kocar kacir, setelah itu kita berdaya menolong Ma-siau-hiap meloloskan diri dari kepungan ini p BcIum habis omongannya tiba-tiba terdengar suara.
"Hyuuuu," ... , wuuuu , , ..wu !"
Dari kejauhan terdengar bunyi sangkalala yang keras sekali berkumandang dimalam gelap. Tak terasa pemuda baju kuning membanting kaki seraya katanya gegetun.
"Celaka, bala bantuan orang-orang Pek-hunto telah tiba . ."
Perlu diketahui meskipun letak Pek-hun to jauh dimuara sungai Ham-kang, mereka jarang sekali beroperasi atau berkecimpung didaerah Tiong-goan, Tapi tokoh-tokoh silat dari pulau Mega putih ini tidak sedikit jumlahnya, apalagi kepandaian mereka sangat hebat dan banyak ilmu tunggal serta simpanan yang sakti, hakikatnya kekuatan mereka sangat besar tidak boleh dipandang ringan.
Maka begitu mendengar bunyi sangkala itu, seketika semua orang yang hadir dalam arena adu kepandaian itu melengak kaget.
Saat mana situasi pertempuran sudah mencapai titik puncak yang paling seru.
senjata Hiat-hong ling ditangan Hiathong pangcu sudah diputar dan dimainkan sedemikian rupa sampai seluruh badannya bertabirkan cahaya merah darah yang berhawa dingin, sedemikian hebat dan menakjubkan sampai mengaburkan pandangan.
Betapapun hebat dan lincah permainannya ini selulup timbul diantara kabut hijau yang menderu dingin, berloncatan tangkas dan menari-nari.
Tapi diatas kelihatan gerak geriknya sudah semakin terkekang dan semakin terdesak dibawah angin.
Cambuk sebenarnya berbentuk rantai ular mas ditangan Kim i Pang cu saat mana juga telah dimainkan begitu rupa laksana naga hidup, jurus serangannya sangat aneh dan lucu lagi, seluruh angkasa dilingkupi sinar kuning bayangan ular mas.
Demikian juga sepasang potlot mas ditangan Giok-liong juga telah mengunjukkan perbawa sebagai senjata pusaka yang ampuh mandraguna, lambat laun dan pasti akhirnya Giok liong sudah mendesak lawannya.
Begitu bunyi sangkala terdengar, mendadak Hiat-hong Pang-cu membenturkan sepasang senjata dikedua tangannya sendiri berbareng bersuit keras, seketika seluruh tubuhnya mengepulkan uap merah, pancaran sinar merah darah dari kedua senjatanya itu juga mendadak melebar besar terus menggulung deras sekali kearah Ko-bok im-hun.
Disebelah sana dalam waktu yang bersamaan Kim i pangcu juga mementang mulut memekik panjang dan nyaring menenbus angkasa, setiap kali tangannya menggentak cambuk ular mas di tangannya menari dan membelit-belit dengan kencangnya sampai berbunyi nyaring.
Baru saja para anak buah Kim-i-pang dan Hiat-hong-pang baru bisa berdiri tegak karena terdesak oleh samberan deru angin senjata yang tengah bertempur ditengah gelanggang mendadak melihat pertanda aba-aba serbuan serentak dari pimpinan masmg-masing.
Serempak para komandannya segera menggerakkan senjata beramai-ramai, berbareng puluhan senjata tajam meluncur menyerang musuh ditengah gelanggang itu.
Pada saat yang sama pula, Pemuda baju kuning mendongak bergelak tawa, suaranya nyaring merdu bagai pekik burung hong, sekali membalik tangan tahu-tahu ia sudah melolos keluar sebatang pedang pendek yang memancarkan sinar dingin.
Tangkas sekali badannya menubruk maju laksana burung garuda raksasa, diseling dengan bantalan sinar tajam langsung iapun menerjunkan diri ketengah gelanggang pertempuran.
Ci-hu-giok-li juga insyaf bahwa situasi sudah di ambang pintu, paling gawat, sekali berlaku lambat atau ceroboh sulit dapat mengejar harapan menang.
Terdengarlah suara pemuda baju kuning berkumandang, katanya.
"Nona Kiong, serbulah pintu hidup, biar aku yang rendah menerjang pintu belakang!"
Belum lenyap suaranya sudah disusul garang dan jerit kekalutan berulang-ulang, darah menyemprat deras membasahi rumput nan hijau subur, Ternyata Tan Hak-siau telah menari-nari kencang dan gesit sekali, badannya terbungkus oleh cahaya terang dari pedang pendeknya yang galak dan ganas sekali, sedemikian lincah ia menggerakkan senjatanya laksana bintang bertaburan ditengah angkasa.
Ci-hu-giok li Kiong Ling-ling juga tidak mau ketinggalan terdengar teriakannya nyaring.
"Awas saudara Tan aku menurut saja pada petunjukmu!"
Sekali raih gampang sekali ia merogoh keluar sepotong sapu tangan sutra halus seringan asap seenteng kabut.
Enteng saja digentakkan lantas menerbitkan kabut ungu.
Laksana bidadari menari nari lemah gemulai sebat sekali badannya melayang masuk melalui pintu hidup yang ditunjukkan tadi.
Pintu hidup ini sebetulnya dijaga oleh lima laki-laki kekar berseragam kuning mas, mereka berputar putar cepat dan rapi serta teratur, sinar golok berkelebat cepat bagaikatt bunga salju.
Namun karena barisan ini baru bergerak.
berputarnya masih agak lamban, tapi toh sudah menunjukkan perbawanya yang kompak.
Begitu Kiong Ling-ling menerjang masuk kedalam pintu hidup, kontan ia merasa empat penjuru badannya berkelebatan bayangan kuning mas yang menyilaukan pandangannya, Entah berapa banyak sinar golok berbareng meluruk kearah badannya.
Dasar berkepandaian tinggi hatinya menjadi tabah, tanpa gemetar sedikitpun ia malah tertawa riang, serunya.
"Bagus, kiranya kalian juga ingin mencabut jiwaku!"
Lemah gemulai Ci-hu-giok-Ii bergerak melambaikan seputangannya, sedikit tangan kanan bergetar segulung kabut ungu segera bergulung menerjang kearah seorang laki-laki baju kuning mas didepannya, selain itu tangan kiri juga tidak tinggal diam melambai perlahan kelihatannya memang pelan tapi serentak dengan lambaian tangannya ini ia sudah lancarkan tiga gelombang angin pukulan tangan yang berlainan tujuan dan berbeda sasarannya.
Tak terduga saat mana para peserta pembentuk barisan itu sudah dapat pernahkan diri mereka masing-masing dengan menduduki tempat tempat yang tepat dan penting, yang memberi komando cukup berpengalaman lagi.
Lima orang jadi satu kelompok saling bantu membantu dan bahu membahu, Maka jurus serangan yang rada terlambat menjadi susut bawa hasil, tidak seperti pemuda baju kuning sekali gebrak beberapa orang musuh segera terjungkal, Hati Kiong Ling-ling jadi dongkol, batinnya.
"Agaknya sudah tiba saatnya kita berantas para kurcaci jahat ini."
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seiring dengan tawa merdu yang berkumandang, gerak badannya mendadak berubah, pelajaran tunggal yang istimewa dari keluarga Ci-hu segera dilancarkan.
Maka tampaklah bayangan ungu berkelebatan selulup timbul kadang-kadang jelas dilain saat bergerak menghilang, kabut ungu juga bergulung-gulung semakin tebal melebar keempat penjuru.
Seketika kelima orang baju kuning mas yang menjaga dipintu hidup ini merasa dihadapan mata dan sekitar tubuhnya bermunculan bayangan gadis rupawan berpakaian ungu yang tengah tertawa menggiurkan, tapi setiap kali tangannya bekerja lantas terasa sampokan angin keras yang menyerang ke arah tempat tempat penting ditubuh mereka.
Demi keselamatan jiwa sendiri, kelima orang baju kuning mas yang sudah menduduki tempatnya masing-masing menjadi pontang-panting dan kacau balau, tak bisa bekerja sama lagi.
Masing-masing menggerung dan menjadi nekad memutar golok sendiri untuk melindungi badan.
Dengan demikian bentuk barisan mereka ini menjadi bubar, hal ini memang menjadi tujuan Ci hu-giok-li dengan riang ia berseru.
"Nah kan begini !"
Kelima jari tangannya mendadak menjentik berulang-ulang kearah lima sasarannya, Kontan terdengar laki-Iaki baju kuning yang berdiri paling dekat menggereng tertahan, golok ditangannya tampak dilintangkan serta gerak cepat sekali menangkis angin kencang yang menerjang tiba.
Tapi baru saja sinar goloknya bergerak, lantas terdengar suara tawa ringan yang berkumandang, segulung kabut ungu mengepul datang membawa bau harum terus menungkrup keatas kepalanya.
"Aduuuh"
Jerit yang mengerikan setengah tertahan darahpun berceceran keras sekali, Nyata separo kepala lakilaki baju kuning mas ini sudah terbelah sebagian.
Sebelum tubuh musuh ini roboh ditanah bayangan Ci hugiok li sudah melayang ke arah sasaran Iain.
Di pihak lain kiranya pemuda baju kuning lebih leluasa bekerja, karena berulang-ulang terdengar pekik dan lolong kesakitan serta robohnya para musuh yang merintangi, darah mengalir deras berceceran dimana-mana.
Pada waktu itu terdengar pula suara sangkala yang panjang tinggi melengking menembus angkasa, setelah itu lantas berhenti tak terdengarlah suara apa-apa.
Agaknya Ko-bok-im-hun sudah tidak sabaran lagi, mendadak mulutnya mencebir bersuit keras sekali, badan yang bergerak selincah kera selicin belut itu mendadak berhenti berdiri dengan tegak bagai terpaku diatas tanah, sepasang matanya memancarkan cahaya buas yang berwarna hijau, seluruh tulang badannya berkeretekan, uap hijau murni mengepul dari seluruh badannya.
Sungguh kejut Hiat-hong Pang cu bukan main, sedikit menutulkan kakinya di atas tanah tubuhnya terus melambung tinggi tiga tombak di tengah udara ia menyedot hawa murni, berbareng Hiat-hong-ling di kedua tangannya dibenturkan, seketika terdengar samber angin keras yang membawa suara gemuruh laksana geledek.
Dari ketinggian ini langsung meluncur turun menubruk dengan kekuatan yang dahsyat bagai gugur gunung.
Betapapun dengan itu, mendadak seluruh tubuh Ko bok-imhun mengepulkan hawa merah marong yang menyolok terus menyelubungi seluruh badannya, malah hawa kabut ini semakin meninggi sehingga seluruh badannya tertelan tak kelihatan lagi.
Diam-diam Hiat-hong Pang-cu berteriak dalam hati.
"Celaka, inilah Hian sim-im-ou!"
Seluruh tenaga murninya dikerahkan badan yang meluncur turun itu mendadak jumpalitan terus meluncur minggir kesamping kiri. Tapi meskipun ia bergerak selincah burung walet, tak urung sudah terlambat setindak.
"Blang", benturan bagai guntur berbunyi ini menggetarkan seluruh gelanggang, angin badai melambung keempat penjuru menggulung seluruh benda yang berada disekitarnya, Terdengar Hiat-hong Pang-cu menguak keras seperti babi hendak disembelih, Kontan badannya mencelat jumpalitan jauh sekali, dari mulutnya segera menyembur darah segar sampai membasahi seluruh kedok dimukanya. Ditengah kabut yang masih mengepul terlihat bayangan merah yang kaku bagai mayat hidup laksana anak panah melesat menubruk kearah Giok-liong. Tatkala itu, Giok-liong sudah lancarkan seluruh ilmu Janhun si sek sampai puncaknya, Sinar kuning mas seperti rantai kuning menggubat seluruh tubuhnya, ditengah angin yang menderu kencang, dengan susah payah ia tengah mendesak Kim-i Pang cu sampai dua tombak, baru saja ia hendak menerjang lagi dengan serangan terakhir sekonyong-konyong dari atas kepalanya terasa segulung hawa dingin telah menungkrup datang. Bertepatan dengan itu, dari dalam rimba sana beruntun muncul beberapa bayangan orang laki laki yang bermuka cakap bertubuh kekar, gerak-geriknya juga cukup gesit dan tangkas sekali, para pendatang ini sama mengenakan seragam jubah biru. Ditengah gelak tawa yang berkumandang nyaring, dua bayangan biru tua yang menyolok muncul lagi dari balik pohon besar membawa cahaya biru yang terang terus menubruk maju memapak kearah Kobok-im hun. Sedang dua bayangan biru lainnya laksana angin lesus menerpa kearah Giok-liong. Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, segera Kim-i Pang-cu mendongak mengeluarkan pekik panjang sebagai aba-aba, serentak dari dalam hutan menerjang keluar lagi puluhan orang seragam hitam dan kuning mas. Maka terjadilah pertempuran gaduh yang gegap gempita, suasana menjadi kacau balau. Ci hu-giok-li dan pemuda baju kuning saat mana sudah terkepung ditengah tengah gelanggang pertempuran. Badan mereka bergerak dengan tangkas dan sebat sekali, setiap kali tangan dan kakinya bergerak, pasti ada beberapa orang yang jatuh roboh sambil menjerit ngeri. Diatas tanah yang datar di lamping gunung yang tidak begitu besar ini, sekarang sudah berkumpul ratusan gembonggembong silat yang berkepandaian tinggi pertempuran yang demikian hebat ini tidak lain hanya bertujuan merampas seruling samber nyawa, jadi hakekatnya sasaran utama bagi mereka sebenarnya hanya satu yaitu Giok-liong. Mana mungkin mereka berdua kuat menahan dan membendung arus serangan musuh yang bertubi-tubi tak kenal putus, sementara itu, Kim-i Pang-cu sekarang sedang berdiri dipinggir gelanggang sambil menenteng cambuk ular masnya, dengan tekun dan cermat matanya tak berkedip mengamati setiap gerak gerik Giok-liong. Begitu tiba didalam gelanggang kedua bayangan biru tadi lantas melancarkan serangan yang berantai tanpa mengenal kasihan lagi, dua jalur sinar biru yang mencorong terang laksana biang lala, kontan membelit dan menyabet kearah pinggang Giok-liong. Tadi dalam menghadapi Kim-i Pang-cu meskipun sudah mengeluarkan setaker tenaganya, untung masih belum mendapat cidera apa-apa, tapi hakikatnya tenaga murninya sudah banyak susut atau tercurah keluar, Kini dilihatnya dua bayangan biru tengah menerjang tiba, timbullah hawa amarahnya, air mukanya yang rada pucat itu seketika menjadi merah padam terbakar oleh kemarahannya, sepasang matanya juga lantas memancarkan sorot kebuasan yang berkilat-kilat. Tenaga Ji-lo mulai dikerahkan berputar cepat diseluruh tubuhnya, potlot mas ditangan kanan rada ditekan sedikit kebawah, lalu bentaknya sinis.
"Yang tidak ingin hidup coba maju kemari!"
Sekarang ia sudah melihat tegas satu diantara kedua bayangan biru adalah Ham-kang-lt ho Pek Su-in adanya.
Luka luka ditangan kirinya itu kini sudah dibalut rapi, agaknya sedikit luka ditangan kiri itu tidak mengurangi atau mengganggu kesehatan dan gerak geriknya.
Salah seorang lain kiranya adalah seorang kakek tua berambut uban, bermuka tepos bertubuh kurus ceking, Tapi gerak gerik si orang tua ini nyata lebih gesit dan lihay, Hamkang- it.ho langsung meluncur datang, belum tiba suara gelak tawanya sudih terdengar suaranya.
"Ma Giok liong, seorang kesatria harus dapat melihat gelagat, Menyerah saja dan seishkan seruling samber nyawa itu, seluruh kaum Pek hun-to tidak akan menyia-nyiakan kebaikanmu ini."
Giok-liong menjadi murka, hardiknya keras.
"Kalau kau mampu marilah ambil sendiri."
Sedikit potlot masnya bergerak, seiring dengan hawa Ji-lo yang melindungi tubuh terus terayun kedepan berubah menjadi seutas bayangan mas menerjang kedepan, Maka terdengarlah suara "trang, trang ..."
Berulang-ulang dari benturan senjata yang nyaring, tiga bayangan orang sedikit terpental mundur sebelum mereka dapat berdiri tegak, ditengah udara masih kelihatan percikan api.
Mendadak si orang tua renta itu memperdengarkan gelak tawa menggeledek, jengeknya.
"Bocah takabur, biarlah tuan besarmu menjajal sampai dimana tinggi kepandaianmu"
Badannya bergerak goyang gontai, sinar dingin seketika berkelebatan, berbareng ia merangsak maju lagi bersama Ham-kang-it-ho.
Sementara itu, di gelanggang lain, baru saja Ko-bok-im-hun melancarkan ilmunya yang baru berhasil dilatih sempurna yaitu Hian-si im-ou, memukul mundur Hiat-hong Pang-cu tengah ia bersiap hendak menubruk kearah Giok-Iiong, Tahutahu dua jalur sinar biru yang berkilauan telah melesat tiba mengancam jiwanya.
Tanpa ayal ia menggerung keras, berbareng kedua tangannya terayun, sekonyong-konyong badannya melejit tinggi ketengah udara membawa kabut merah gelap terus memapak maju.
Begitu kedua belah pihak saling bentur lantas bayangan tiga orang kelihatan mundur gentayangan, tapi gesit sekali mereka sudah menyerang maju lagi bertempur seru sambil membentak-bentak.
Di lain pihak, Ci-hu-giok-li dan pemuda baju kuning juga tengah menari nari dengan lincah dan tangkas sekali membabat dan membacok serta menikam semua orang yang menghalangi didepan tanpa memandang bulu entah mereka dari seragam hitam atau kuning mas serta baju biru tua, yang terang bila berani merintangi pasti dibabat habis-habisan, sedemikian lincah mereka bergerak laksana sepasang kupukupu bermain ditengah rumput bunga, setiap kali senjata dan kaki bergerak saat itu terdengar teriak kesakitan, laksana membabat rumput alang-alang saja gampangnya para musuh satu persatu roboh bergelimpangan.
Sekarang Hiat-hong Pang-cu dan Kim-i Pang-cu malah tidak hiraukan lagi pada Giok-liong.
Tubuh mereka bergerak gesit dan sclicin belut selulup timbul diantara kelompok orang orang seragam biru dari kaum Pek hun-to, Mereka lancarkan tangan ganas yang tidak bertara, beruntun terjangan jerit dan pekik menyayatkan hati menjelang jiwa melayang menghadap Giam lo-ong, terjadilah penjagalan manusia secara sadis.
Mayat manusia sudah bertumpuk laksana bukit darah bergenang menjadi aliran sungai yang masih ketinggalan hidup semakin berkurang, dimana-mana terdengar keluh kesakitan serta bentakan nyaring menambah semangat pertempuran saling susul bersahutan.
Dengan dilantai ilmu Hian-si-im-ou perbawa dan kekuatan Ko-bok-in-hun menjadi lebih besar dan semakin garang.
Betapapun tinggi kepandaian kedua orang berpakaian seragam biru mengeroyoknya itu lambat laun semakin payah dan terkepung oleh bayangan pukulannya, terang mereka lebih banyak membela diri dari pada balas menyerang.
Dalam pada itu, beruntun menghadapi musuh tangguh, tenaga murni Giok-liong sudah tercurah banyak sekaii, tenaganya semakin lembek, keruan akhirnya ia terdesak dibawah angin.
Terdengar Ham-kang-it-ho mengejek dingin.
"Ikan sudah masuk jaring masih berusaha lolos, Ma Giok-liong, kulihat kau ini memang goblok keliwat batas."
Habis katakatanya senjata ditangannya di lancarkan semakin kencang dengan serangan berantai.
Gerak-gerik si orang tua renta kawannya itu juga cukup lihay, tubuhnya bergerak secara aneh, ilmu goloknya juga sudah sempurna betul, serentetan serangan berantai yang dilancarkan secara bernafsu membuat Giok liong terus mundur lagi.
Namun demikian, dalam keadaan yang gawat begitu, Giokliong masih berlaku tenang.
gerak geriknya masih teratur rapi, sahutnya dingin.
"Cengcoreng, hendak menerkam tonggeret, tak tahunya burung gereja berada dibelakangnya. Menurut hemadku justru kalianlah manusia berotak tumpul yang paling goblok melebihi babi?kiranya maki itu ini membawa hasil, sekilas lantas Pek-Su-in berpaling muka menyelidiki kesekitar gelanggang pertempuran. Dilihatnya anak buah dari Pek hunto tengah mulai dibabat roboh habis-habisan, yang masih ketinggalan hidup juga tengah lari pontang panting menyelamatkan diri. Temyata Kim-i-pang cu dan Hiat-hong pang-cu tengah pimpin seluruh anak buahnya yang sedang memberantas seluruh anak buah Pek-hun to ditambah cara turun tangan Cihu- giok-li dan pemuda baju kuning yang secepat kilat bergerak selincah kupu-kupu menari, tanpa pandang bulu lagi, siapa saja yang dekat pasti diserang dan diroboh-kan dengan serangan ganas yang mematikan. Bukan kepalang kejut hati Pek Su-in melihat keadaan yang mengenaskan ini, orang Hiat hong-pang dan Kim-i-pang telah bergabung melancarkan serangan babat habis terhadap Pekhun- to sedang empat tokoh paling kuat dan lihay dari Pekhun- to tengah menghadapi Ko-bok-im-hun dan Giok-liong yang sukar dikalahkan kalau keadaan begini terus berjalan, pasti akibatnya susah dibayangkan lagi. Sesaat tengah mereka sedikit merandek inilah, mendadak Giok-liong menghardik keras, Ji-lo sudah terkerahkan sampai tingkat ke sepuluh, sinar kuning menjadi bianglala berputar deras terus menggulung kedepan menerpa dahsyat kearah musuh, Hanya sekejap saja situasi pertempuran lantas berubah seratus delapan puluh derajat. Kini berbalik Giok-liong mengambil inisiatif pertempuran Ham-kang it-ho berdua berbalik mulai terdesak dibawah angin, Pertempuran dalam gelanggang sudah mulai mereda, tinggal beberapa kelompok orang saja yang masih berkutet. Kim i-pang-cu dan Hiat-hong Pang-cu sudah perintahkan anak buahnya menghentikan pertempuran dan merubung maju mengelilingi gelanggang pertempuran. Sekonyong-konyong terdengar jeritan mengerikan, salah seorang dari dua orang berpakaian biru tua itu terpental jungkir balik sambil menyemburkan darah segar, badannya terbanting keras lima tombak jauhnya, sedikit bergerak dan berkelejetan lantas diam untuk selamanya. Sesaat setelah merobohkan salah seorang musuh tangguh ini, Ko-bok im-hun terkekeh-kekeh terus melejit tinggi ketengah udara dan langsung meluncur kearah Giok-liong laksana seekor burung garuda yang menerkam mangsanya. Kebetulan saat itu Giok-liong tengah mengadu pukulan dengan Ham-kang it-ho.
"Blang"
Sewaktu badannya terpental sempoyongan mundur inilah ia menyedot hawa murni bersiap hendak menerjang maju lagi, tapi mendadak terasa angin dingin kencang sudah menindih tiba diatas kepalanya, tahu dia bahwa dirinya terancam bahaya, maka sambil menggerung rendah potlot mas ditangan kanannya bergerak laksana bianglala menungging keatas terus menyambut maju.
Kontan terdengar keluh kesakitan yaitu keras disusul hujan darahpun terjadi.
Darah mengucur deras dari paha kiri Ko bok-im-hun! Namun demikian iapun berhasil menutuk jalan darah Pak ki-hiat dipunggung Giok-liong seketika Giok-Iiong rasakan punggungnya linu kesemutan lantas ia jatuh pingsan, hilang kesadarannya.
Dilain pihak Ci hu giok li juga sudah melihat malapetaka yang menimpa Giok liong itu sambil menjerit kwatir badannya secepat angin melesat tiba hendak menolong, namun tubuhnya sudah terlambat, sebab jaraknya terlalu jauh.
Sambil bersuit melengking tadi sebelum kakinya menyentuh tanah, Ko-bok-im hun sudah berhasil mencengkeram kuduk Giok-liong terus dibawa lari kedalam rimba.
Seketika terdengar suara bentakan berantai ramai, baru saja semua hadirin berniat bergerak mengejar....Sementara itu, pemuda baju kuning saat mana juga sudah melihat bahwa Giok-liong sudah terjatuh dibawah cengkeraman musuh, dalam gugupnya ia membentak nyaring terus meluncur mengejar dengan kencang.
Sekonyong-konyong samar-samar terlihat sebuah bayangan merah melambung dari dalam hutan bergerak cepat dan seenteng setan gentayangan serentak semua hadirin menghentikan langkah berbareng berteriak kaget puIa? "Hiating- bun...
Hiat-ing bun! ..."
Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pedang Angin Berbisik -- Han Meng Kuda Binal Kasmaran -- Gu Long