Bakti Pendekar Binal 10
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 10
Bakti Pendekar Binal Karya dari Khu Lung
Sudah tentu tidak pernah terpikir olehnya bahwa sesungguhnya mereka adalah saudara kembar dan dengan sendirinya ada semacam ikatan batin, semacam telepati antara perasaan mereka, mimpi pun Siau-hi-ji tidak pernah menduga bahwa Hoa Bu-koat sesungguhnya adalah saudaranya.
Dengan senyum getir Bu-koat juga berkata.
"Ya, aku pun merasa heran, hati rasanya tidak tenteram dan senantiasa ingin keluar, seakan-akan ingin menemukan sesuatu kejadian yang aneh, tapi urusan apa, aku sendiri pun tidak tahu."
"Kemudian bagaimana?"
Tanya Siau-hi-ji.
"Mungkin Yan-tayhiap melihat sikapku agak aneh, beliau bertanya padaku ada masalah apa, kuberitahukan perasaanku yang tidak tenteram dan ingin berjalan-jalan keluar ....
Semula kukira Yan-tayhiap pasti tidak mengizinkan, siapa tahu dia lantas meluluskan kehendakku."
"Kau ingin keluar dan dia membiarkan kau pergi begitu saja?"
"Betul,"
Jawab Bu-koat. Siau-hi-ji menghela napas, katanya.
"Betapa pun Yan Lam-thian memang berbeda daripada Tong-siansing. Bicara terus terang, kau dapat bertemu dengan tokoh seperti dia sungguh nasibmu sedang mujur."
Bu-koat terdiam. Bilamana hatinya mengagumi seseorang, maka mulutnya tidak akan mengutarakannya, apalagi orang yang dikaguminya adalah musuh bebuyutan Ih-hoa-kiong. Dengan tertawa tiba-tiba Siau-hi-ji berkata pula.
"Tapi engkau juga tidak malu sebagai seorang Kuncu (ksatria sejati), makanya dia mau melepaskan kau pergi begitu saja. Bilamana diriku, mungkin dia takkan melepaskan aku."
"Mengapa kau suka mengaku dirimu bukan seorang Kuncu?"
Kata Bu-koat dengan tertawa. Siau-hi-ji merenung sejenak, ucapnya kemudian.
"Mungkin disebabkan sejak kecil tak pernah kulihat seorang pun yang berjiwa luhur, pada hakikatnya aku tidak tahu Kuncu itu macam apa bentuknya. Bilamana pernah kulihat satu-dua orang Kuncu, mereka ternyata sering membuat kecewa padaku ...."
Mendadak ia bergelak tertawa dan menambahkan.
"Bisa jadi lantaran di dunia ini terlalu banyak Kuncu palsu, betul tidak?"
"Jika kau dapatkan sebuah anggur kecut di antara satu onggok anggur yang menarik, apakah lantas kau anggap semua anggur itu kecut?"
Tanya Bu-koat dengan tertawa.
"Jika kau sudah makan yang kecut, apakah kau masih punya selera buat makan yang lain?"
"Biarpun aku sudah makan lima buah yang kecut juga tetap kumakan yang keenam, sebab kutahu apabila kumakan terus, akhirnya pasti akan mendapatkan anggur yang manis.
Bilamana kau tidak mencoba makan lagi, bukankah kesempatan itu akan hilang selamanya?"
"Apakah kau tahu, apabila seorang terlalu pintar, bisa jadi selama hidupnya takkan pernah merasakan pangan yang enak? ...."
Bu-koat tidak menjawab, ia tertawa. Katanya tiba-tiba.
"Ah, Yan-tayhiap sedang menungguku, apakah kau ...."
"Bila bertemu dengan beliau, katakan tidak lagi berjumpa denganku, boleh?"
Sela Siau-hi-ji. "Sebab apa? Memangnya kau tidak mau ikut menemuinya?"
Tanya Bu-koat heran. "Aku ... aku hendak pergi ke Ku-san, bilamana diketahuinya tentu beliau akan melarang kepergianku."
"Kau hendak pergi ke Ku-san?"
Tanya Bu-koat terlebih heran.
"Untuk apa?"
"Menolong orang."
"Menolong siapa?"
"Orang jahat?"
"Orang jahat? Apakah tokoh Cap-toa-ok-jin?"
"Betul, mereka ditipu orang ke Ku-san sana, apabila Gui Bu-geh betul-betul berada di sana dan benar-benar sedemikian lihainya, maka kepergian mereka itu mungkin takkan pulang kembali."
"Tapi mereka kan ...."
"Meski mereka bukan orang baik-baik, tapi aku dibesarkan oleh mereka. Bilamana aku tidak mengetahui urusan ini tentu tak menjadi soal, tapi kini aku mengetahuinya, terpaksa aku harus ikut campur. Apalagi ... apalagi aku pun hendak mencari Thi Peng-koh sekalian. Meski ilmu silatnya tidak rendah, tapi dia belum berpengalaman, pada hakikatnya tidak kenal bahayanya pergaulan orang hidup ini dan setiap saat mungkin akan terperangkap. Lantaran dia sudah pernah menyelamatkan aku satu kali, betapa pun aku juga mesti menolongnya satu kali ...."
Dia mencibir, lalu menyambung pula dengan tertawa.
"Kau tahu, tidaklah enak rasanya bilamana utangmu kepada seorang perempuan belum lagi dilunasi."
Bu-koat menatapnya lekat-lekat sekian lama, katanya kemudian dengan gegetun.
"Baru sekarang kutahu, hendak memahami orang semacam kau ini sungguh bukan pekerjaan yang mudah." *** (. ) Ini cuma sebuah kota kecil, seperti kota kecil umumnya, biarpun tiada penjahit yang modern, tiada penyewaan kereta, tiada tontonan yang menarik, tapi ada seorang koki yang serba mahir. Penduduk kota ini rupanya juga serupa manusia umumnya, lebih mengutamakan perut, habis itu baru urusan lain. Kini koki yang pandai itu sedang memperlihatkan kemahirannya, bau sedap yang teruar dari restoran kecil yang papan mereknya sudah dekil itu menimbulkan gairah makan khalayak ramai. Entah karena tertarik oleh bau sedap ini atau bukan, yang jelas Thi Peng-koh telah masuk ke kota kecil ini, bahkan ia pun merasakan perutnya sangat kelaparan. Meski di gua ia sudah makan sedikit, namun seorang yang sudah kelaparan selama dua-tiga hari rasanya tidaklah mudah memuaskan rasa laparnya hanya dengan makan sekadarnya. Tiba-tiba ia menemukan satu kenyataan, rasa lapar sesungguhnya bukan sesuatu yang mudah ditahan. Dalam keadaan demikian, biarpun dia adalah seorang putra raja, kalau perut sudah lapar, maka rasanya tiada beda dengan seorang kusir dokar di tepi jalan. Meja di rumah makan kecil itu tampak mengkilap di bawah cahaya lampu yang tidak begitu terang, belasan ekor lalat hijau tampak terbang mengerumuni piring yang penuh berisi santapan sebangsa Lo-se-bak. Dalam keadaan biasa tempat begini tidak mungkin dikunjungi Thi Peng-koh biarpun dia dijemput dengan joli. Tapi sekarang, seumpama merangkak juga dia akan merangkak masuk ke situ. Pelayan yang duduk di depan rumah makan dan sedang mengorek kuping tampak riyap-riyap oleh rasa geli-geli nikmat, melihat kedatangan Thi Peng-koh dengan ragu-ragu ia berbangkit, ia mengawasi si nona dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, meski menyambut dengan mengulum senyum, namun senyuman yang nyengir dipaksakan atau lebih tepat dikatakan menyengir. Maklum, keadaan Thi Peng-koh sekarang tidaklah mirip seorang tamu yang terhormat. Biarpun umpamanya dia tergolong nona yang paling cantik serta berbaju paling mewah di dunia ini, tapi setelah mengalami kejadian selama dua hari itu, keadaannya benar-benar sudah mirip perempuan gelandangan di tepi jalan. Muka Peng-koh kini tampak lesu, ya kotor, ya berkeringat, rambutnya morat-marit seperti sarang burung, pakaiannya robek dan dekil, tampaknya lebih mirip pelarian yang baru kabur dari penjara, atau juga mirip gundik orang yang baru minggat. Cuma sayang, seperti juga kebanyakan orang di dunia ini, hanya melihat kekotoran di tubuh orang lain, tapi tidak melihat kekotoran di badan sendiri. Di rumah makan ini hanya ada tiga orang tamu, semuanya terbelalak melihat tamu baru yang aneh ini. Thi Peng-koh sendiri tidak tahu sebab apakah orang-orang ini memandangnya dengan heran. Dengan lagak seperti seorang permaisuri dia masuk ke rumah makan ini, ia mengira orang lain akan menghormatinya seperti biasanya. Tak tahunya bahwa seorang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis bilamana dia berlagak seperti permaisuri pula, maka lagaknya pasti menimbulkan rasa curiga orang lain. Sebab setiap orang tahu hanya orang miskin saja yang sok berlagak kaya, semakin kosong semakin suka berlagak berisi. Apalagi sekarang, begitu masuk rumah makan itu, seketika pandangan Thi Peng-koh tercurah kepada Lo-se-bak yang ada di piring itu, sikapnya itu mirip orang yang selama hidup ini tak pernah makan enak, jelas sangat berbeda dengan lagaknya yang sok permaisuri itu. Akhirnya si pelayan mendekati Peng-koh dan bertanya sambil tersenyum.
"Apakah nona ingin dahar?"
"Ehm,"
Peng-koh hanya mendengus saja, soalnya dia baru saja menelan air liur, maka sukar mengucapkan sesuatu kata. Dengan acuh si pelayan berkata pula.
"Apakah nona ingin semangkuk bakmi? Mi bakso di sini cukup memuaskan, satu porsi sedikitnya ada setengah kati."
Peng-koh menarik napas panjang-panjang, katanya.
"Aku tidak suka bakmi, bawakan saja seekor ayam panggang, satu porsi Ang-sio-hi, satu porsi ham masak saus manis dan satu porsi sup jamur masak rebung .... Dan, Lo-se-bak seperti di piring itu bawakan dulu satu porsi."
Santapan yang dipesan ini baginya sebenarnya sangat jamak, boleh dikatakan sangat merendahkan derajatnya, dengan gairah makanya yang berkobar sekarang, seekor babi panggang saja mungkin bisa dihabiskannya.
Tiba-tiba ketiga tamu yang mengikuti gerak-gerik Peng-koh sejak datangnya tadi sama tertawa geli mendengar serentetan nama santapan yang dimintanya itu.
Si pelayan juga terbelalak heran sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kalau Peng-koh hanya minta satu porsi bakmi, paling-paling ditambah lagi satu porsi Lo-se-bak, maka bolehlah, seumpama dia tidak sanggup bayar, si pelayan mampu menggantinya.
Tapi yang diminta sekarang adalah sebangsa daharan yang mahal, ada ayam panggang dan ham segala, jelas ini bukan main-main.
"Bagaimana, apakah rumah makan kalian tidak sanggup menyediakan santapan pesananku?"
Omel Peng-koh dengan melotot demi melihat sikap ragu si pelayan. Dengan serba susah si pelayan menjawab.
"Santapan yang nona minta tentu saja ada, cuma rumah makan kami ini ada suatu peraturan."
"O, peraturan apa?"
Tanya Peng-koh. "Karena modal kami kecil, tidak sanggup menerima bon, maka para tamu yang berkunjung kemari biasanya harus bayar kontan lebih dahulu."
Peng-koh jadi terkesiap. Mana dia membawa uang segala, dia cuma tahu uang perak adalah benda kotor dan berat, pada hakikatnya dia tidak tahu sedemikian besar daya gunanya uang. Dengan menyengir si pelayan berkata pula.
"Makan harus bayar, masa nona tidak paham peraturan ini?"
Muka Peng-koh menjadi merah dan tidak sanggup bersuara.
Ketiga tamu di sebelah itu lantas terbahak-bahak geli.
Memang begitulah sifat kebanyakan manusia di dunia ini, kalau melihat muka anak perempuan berubah merah, rata-rata mereka akan merasa senang.
Seorang di antaranya lantas berkata dengan tertawa.
"Lebih baik nona makan bersama kami di sini saja. Meski di sini tiada ayam panggang dan ham segala, tapi congor babi masih ada sisa sebagian, rasanya masih cukup untuk teman minum arak."
Peng-koh menjadi serba salah, dalam keadaan demikian ia berharap lebih baik tidak pernah terjadi adegan ini, sebaiknya kalau dia tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah masuk ke rumah makan setan ini.
Bilamana Siau-sian-li yang menghadapi keadaan ini, tentu semua orang akan dihajar dan dihalaunya dengan cambuknya.
Jika Siau Mi-mi, mungkin tiada seorang pun di antara mereka yang dapat pergi dengan hidup.
Tapi Thi Peng-koh bukan Siau-sian-li atau Siau Mi-mi, meski sikapnya angkuh, tapi pada dasarnya dia bukan anak perempuan yang galak dan ganas.
Hakikatnya dia memang tidak tahu bagaimana caranya berbuat ganas dan bersikap galak, ia hanya merasakan duduk di rumah makan ini terasa tidak enak, kalau keluar juga memalukan, jadinya serba susah.
Dan pada saat demikianlah Kang Giok-long masuk ke rumah makan ini, waktunya sungguh sangat tepat.
Dia mendekati Peng-koh dan memberi salam dengan sangat hormat, lalu menyodorkan beberapa potong uang emas, katanya sambil tertawa.
"Paman mengetahui keberangkatan Piauci terlalu tergesa-gesa dan mungkin tidak sempat membawa sangu, maka Siaute disuruh mengantarkan sedikit uang receh ini sekadar biaya perjalanan."
Si pelayan melenggong seketika, ketiga tamu tadi juga melengak.
Yang paling heran sudah tentu Thi Peng-koh sendiri.
Dia mengenali Kang Giok-long adalah si busuk yang dicaci-maki oleh Siau-hi-ji itu, tapi tidak habis mengerti apa maksudnya.
Cuma apa pun juga kedatangan orang ini memang tepat pada waktunya, munculnya uang perak ini pun sangat pas pada saatnya, umpama ingin menolaknya juga tidak sanggup menolak lagi.
Terpaksa ia menyaksikan Kang Giok-long duduk di sebelahnya.
Buyung Kiu tampak tertawa linglung dan ikut duduk seperti boneka.
Anak perempuan yang cantik dan menyenangkan ini kini telah berubah sedemikian mengharukan.
Sebaliknya si pelayan tadi telah berubah lebih gesit, dengan munduk-munduk ia meladeni tetamunya, sebentar antar teh, lain saat membawakan santapan, hanya sekejap saja pesanan Peng-koh tadi sudah memenuhi meja.
Kang Giok-long menggunakan air teh untuk mencuci sumpit Thi Peng-koh, katanya dengan mengiring tertawa.
"Lo-se-bak ini tampaknya cukup segar, silakan Piauci (kakak misan) dahar sekadarnya."
Mendadak muncul seorang Piaute (adik misan), Peng-koh sendiri merasa bingung.
Apabila kedatangan Kang Giok-long hanya membayar rekening makan minumnya mungkin akan ditolaknya.
Tapi Kang Giok-long memang benar-benar pemuda yang sangat paham jiwa dan jalan pikiran anak perempuan.
Anak perempuan lebih suka menahan lapar daripada merasa malu.
Dan Kang Giok-long justru muncul pada saat Thi Peng-koh menghadapi jalan buntu dan serba susah, dia telah menyelamatkan muka si nona, tentu saja Thi Peng-koh sangat berterima kasih.
Selesai dahar, dengan kontan Peng-koh membayar rekeningnya, hatinya menjadi senang, tapi sisa uang kembalinya ia merasa tidak enak untuk mengambilnya pula.
Sejak tadi dia tidak bicara sepatah pun dengan Kang Giok-long, sekarang ia pun tidak dipedulikan anak muda itu, ia terus melangkah keluar.
Ia pikir kalau Siau-hi-ji benci pada orang ini, maka orang ini pasti bukan manusia baik-baik.
Bilamana seorang anak perempuan sudah menarik kesimpulan lebih dulu atas nilai seseorang maka kesan ini tidak mudah berubah.
Namun Kang Giok-long juga seorang yang suka pegang teguh atas pendirian sendiri, sekali dia sudah ambil keputusan, sukar juga menyuruhnya berganti haluan.
Thi Peng-koh berjalan keluar, Giok-long lantas mengintil di belakangnya.
Dengan mendongkol akhirnya Peng-koh bertanya.
"Kau ingin berbuat apa lagi?"
"Aku cuma ingin tanya nona hendak pergi ke mana?"
Jawab Giok-long dengan tertawa. "Kau tidak perlu urus,"
Kata Peng-koh ketus. "Kukhawatir nona kurang leluasa menempuh perjalanan sendirian, maka ingin kubantu nona,"
Ujar Giok-long. "Urusanku, kau tidak perlu pikir,"
Walaupun demikian ucapannya, namun hati Peng-koh sudah mulai goyah.
Terlihat orang berlalu-lalang cukup ramai di jalanan, tiada seorang pun yang di kenalnya, lampu berkelip-kelip di kejauhan, makin lama makin banyak, cuaca sudah mulai gelap.
Peng-koh jadi bingung, ia tidak tahu harus menuju ke mana? Tiba-tiba ia merasakan apabila seorang ingin hidup bebas merdeka di dunia ini, sesungguhnya tidak semudah apa yang pernah dibayangkannya.
Memang, seekor burung kenari yang biasa hidup di dalam kurungan, apabila suatu saat dilepaskan dan terbang bebas ke alam pegunungan, maka tidak terlalu lama burung kenari ini pasti akan mati kelaparan, soalnya dia sudah kehilangan kesanggupan hidup dengan berdikari atau mandiri.
Sudah cukup lama tidak terdengar Kang Giok-long di belakangnya, jangan-jangan anak muda ini sudah pergi.
Sungguh aneh, tiba-tiba Thi Peng-koh merasa dirinya jadi khawatir ditinggal pergi anak muda itu.
Cepat ia menoleh, tapi Kang Giok-long masih tetap ikut di belakangnya dengan cengar-cengir.
Meski dalam hati merasa lega, tapi di mulut dia sengaja menghardik.
"Untuk apa kau terus menguntit diriku?"
"Cuaca sudah gelap, masa nona tidak ingin istirahat?"
Kata Giok Long.
Peng-koh menggigit bibir, sesungguhnya ia sudah lelah, tapi harus istirahat di mana? Sungguh ia tidak tahu.
Malahan ia tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat tempat menginap yang disebut "hotel".
Dengan ramah Giok-long berkata pula dengan mengiring tawa.
"Seumpama nona tidak ingin dibuntuti Cayhe, paling tidak kan boleh kubantu mencarikan hotel bagi nona."
Sekali ini Peng-koh tidak mengucapkan lagi kata-kata menolak. Tapi setelah mendapat hotel dan berada di kamarnya, dengan hati-hati Peng-koh lantas menutup pintu sambil berteriak.
"Sekarang kau boleh pergi, makin jauh makin baik."
Rupanya sekali ini Kang Giok-long benar-benar sangat penurut, Peng-koh tidak lagi mendengar suaranya.
Setelah menunggu sejenak dan tiada terdengar sesuatu.
Peng-koh menghela napas panjang dan merebahkan diri di tempat tidur.
Pengalamannya selama beberapa hari ini sungguh terlalu banyak, teringat olehnya akan Kang Siau-hi, teringat juga pada Hoa Bu-koat, dengan sendirinya ia pun memikirkan Kang Giok-long ....
Sebab apakah Kang Siau-hi-ji memusuhinya? Padahal pribadinya kan tidak terlalu busuk.
Namun Peng-koh benar-benar teramat lelah, ia tiada tenaga buat memikirnya lebih seksama, di tempat asing ini semula ia mengira dirinya pasti sukar pulas.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi tahu-tahu ia sudah tidur.
Esok paginya, begitu bangun, segera ia merasa lapar sekali.
Persoalan lapar memang sangat menggemaskan.
Tatkala kau tidak ingin kehadirannya, dia justru muncul.
Dan orang yang tiada mempunyai sesuatu barang makanan akan terasa lebih lapar.
Orang yang selalu ada makanan malahan tidak mudah merasakan lapar.
Beberapa kali Peng-koh ingin memanggil makanan, tapi hasrat ingin makan ini sedapatnya ditahannya.
Tapi semakin dia ingin menahan lapar, sang perut justru tidak mau turut perintah, bahkan rasanya seperti mau berontak.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pelayan berseru di luar kamar.
"Kang-kongcu menyuruh hamba mengantarkan sarapan pagi bagi nona, apakah nona akan makan sekarang?"
Sudah tentu Peng-koh ingin makan sekarang juga.
Selesai makan, akhirnya Peng-koh mendapatkan bentuk dirinya yang menakutkan, dengan gemas ia ingin melemparkan cermin tembaga yang berada di atas meja, sekujur badannya tiba-tiba terasa gatal.
Namun dia tak punya baju lain untuk salin, ia pun tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan pakaian.
Pada saat serba susah inilah kembali datang si pelayan.
Sekali ini dia membawa beberapa pasang pakaian baru dan halus, satu perangkat alat rias, lengkap dengan pupur kelas tinggi, ditambah lagi sepatu dan kaus kaki.
Semua barang ini apakah dapat ditolak oleh Thi Peng-koh? Anak perempuan di dunia ini yang dapat menolak barang-barang antaran begini rasanya tidaklah banyak.
Dengan sendirinya barang-barang antaran ini berasal dari "Kang-kongcu".
Bilamana Thi Peng-koh sudah memakai baju serta perlengkapan yang lain dan selesai berdandan, pada saat itulah suara Kang Giok-long lantas muncul.
"Apakah Cayhe boleh masuk?"
Demikian tanya anak muda itu dengan sopan.
Kini, dalam perut Thi Peng-koh terisi santapan pemberian orang, yang dipakai di tubuhnya ialah perlengkapan kiriman orang.
Dalam keadaan demikian dapatkah dia menolak anak muda itu masuk ke kamarnya? Dan sampai hari sudah Iohor Kang Giok-long masih ngendon di kamar si nona, tampaknya Thi Peng-koh juga tiada pikiran hendak mengusir anak muda itu.
Sekarang ia merasakan dirinya benar-benar tidak dapat kehilangan dia.
Kalau Kang Giok-long duduk di sampingnya, Peng-koh merasa hal ini adalah layak.
Sekalipun dia tetap menahan perasaannya, sedapat mungkin tidak banyak bicara dengan anak muda itu.
Dengan sendirinya kamar ini pun berada di suatu hotel kecil, ruangan makan hotel kecil ini hanya terdapat mereka berdua.
Menurut cerita Kang Giok-long, katanya nona Buyung tidak enak badan, maka tidak dapat ikut keluar.
Padahal, yang benar ialah Kang Giok-long telah menutuk Hiat-to tidurnya.
Buyung Kiu dibungkus dengan selimut dan direbahkan di tempat tidurnya.
Meski nona itu tidak lebih hanya seorang linglung saja, tapi Kang Giok-long tetap tidak ingin terganggu olehnya.
Di hotel kecil ini dengan sendirinya tiada santapan yang lezat, tapi Kang Giok-long sengaja memesan makanan satu meja penuh, malahan minta disediakan dua poci arak.
Dengan tertawa ia berkat.
"Apabila nona tidak menolak, Cayhe juga ingin mengiringi minum barang dua cawan, mengenai nona, akan lebih baik kalau tidak minum arak."
Peng-koh tidak menanggapi, tapi ketika arak sudah diantarkan, segera ia pegang poci dan menuang satu cawan penuh, sekali tenggak lantas dihabiskannya.
Ia merasakan cairan yang pedas dan panas membara itu mengalir masuk ke perutnya, saking panasnya hingga air mata hampir merembes keluar.
Maklum, selama hidupnya baru pertama kali ini minum arak.
Diam-diam Giok-long merasa geli, tapi dia sengaja berkata.
"Apabila nona tidak pernah minum arak, lebih baik janganlah minum, kalau mabuk .... Ai"
Lagaknya seperti orang yang sangat menaruh perhatian dan berhati tulus, khawatir si nona menjadi mabuk.
Padahal dia justru berharap selekasnya Peng-koh mabuk dan tak sadarkan diri.
Sudah tentu ia tahu sifat anak perempuan, semakin mencegahnya jangan minum, dia justru minum semakin banyak.
Sebaiknya kalau kau menganjurkan dia minum, satu tetes pun dia malah tidak mau minum.
Benar juga, belum lagi habis ucapan Kang Giok-long, segera Peng-koh menuang arak dan menenggaknya habis pula.
Menyaksikan itu, Giok-long pura-pura menghela napas gegetun, tapi di dalam hati sebenarnya senang sekali.
Setelah minum tiga cawan, Peng-koh merasakan sekujur badan menjadi hangat dan enak, seolah-olah ingin "terbang".
Waktu isi cawan keempat sudah masuk perutnya, dia merasa arak adalah cairan yang paling sedap di dunia ini, tidak terasa pedas dan juga tidak terasa pahit.
Waktu isi cawan kelima sudah ditenggaknya, maka semua duka nestapa telah dilupakannya seluruhnya.
Kini Kang Giok-long tidak lagi mencegah si nona minum, bahkan dia mulai menuangkan isi cawannya.
Katanya dengan tertawa.
"Asalkan nona tidak sampai mabuk, sebenarnya Cayhe juga ingin menyuguh secawan padamu."
"Mabuk?"
Peng-koh mendelik.
"Air gula begini bisa membuat mabuk?"
"Sungguh tak tersangka kekuatan minum nona sungguh luar biasa,"
Kata Giok-long. "Marilah, Cayhe menyuguh secawan lagi pada nona."
Di dunia ini jarang ada orang yang tidak suka dipuji dan diumpak. Karena itu kembali Thi Peng-koh menghabiskan secawan pula. Mendadak ia melototi Kang Giok-long dan bertanya.
"Sesungguhnya kau ini orang baik atau orang jahat?"
Giok-long tersenyum, jawabnya.
"Apakah nona melihat Cayhe ini memper orang jahat?"
"Kau memang tidak menyerupai orang jahat, tapi ... tapi mengapa Kang Siau-hi-ji bilang kau ini bukan manusia baik?"
"Cayhe juga tahu nona adalah teman Kang Siau-hi, sebab itulah aku tidak ingin berbincang tentang kejelekannya di luar tahunya. Ai, padahal dia seharusnya tidak perlu benci diriku."
"Tapi mengapa dia benci padamu?"
"Apakah nona cukup akrab dengan dia?"
"Cukupan ... cukupan, tidak terlalu akrab."
"Kelak bila nona sudah kenal lebih mendalam kepribadiannya tentu akan paham .... Ai, sebabnya nona Buyung itu menjadi kurang waras kan juga gara-gara perbuatannya."
Thi Peng-koh melenggong sejenak, lalu ia menuang pula secawan arak dan diminum habis. "Dalam keadaan sekarang ini sebenarnya tidak pantas Cayhe menyinggung urusan yang dapat membuat kesal,"
Kata Giok-long dengan tertawa. Tiba-tiba Peng-koh juga nyekikik, katanya.
"Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Eh, adakah kau punya kisah yang menyenangkan, lekaslah bercerita, setiap ceritamu akan kuiringi dengan minum secawan arak."
Bercerita adalah bakat pembawaan Kang Giok-long, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan habis bilamana dia mau bercerita hal-hal yang menyenangkan.
Karena itulah terus-menerus ia bercerita.
Dengan sendirinya Thi Peng-koh juga minum arak secawan demi secawan, sambil tertawa sambil minum, kadang-kadang tersembur keluar, tapi segera minum pula dan tertumpah lagi sehingga tubuh Kang Giok-long juga tersembur basah oleh arak.
Sampai akhirnya Kang Giok-long sudah berhenti cerita, tapi si nona masih cekakak dan cekikik, kemudian ia tak dapat tertawa lagi, ia memberosot jatuh ke bawah kursi dan tak dapat bangun lagi.
Berkilat-kilat mata Kang Giok-long, ia coba memanggilnya.
"Apakah nona masih tahu apa yang kukatakan?"
Tapi mendengus saja Peng-koh tidak dapat.
Giok-long menariknya bangun dari kolong meja, terasa seluruh tubuh si nona sudah lemas lunglai seperti tak bertulang.
Ke mana Giok-long membawanya, ke situ pula dia menurut.
Tersembul senyum gembira pada ujung mulut Kang Giok-long, gumamnya perlahan.
"Kau sendiri yang ingin minum, jangan kau salahkan aku ...."
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang bergelak tertawa dan berkata.
"Pandai benar cara saudara ini, sungguh Cayhe kagum sekali."
Giok-long terperanjat, cepat ia menurunkan Peng-koh dan membalik tubuh.
Dilihatnya seorang jangkung dan seorang pendek telah melangkah masuk.
Sementara sudah magrib, di ruangan kecil ini belum lagi dinyalakan lampu, keadaan menjadi guram, berdiri di ruangan yang remang-remang ini kedua orang tinggi-pendek itu tampaknya rada-rada menyeramkan.
Meski dalam hati rada waswas, tapi lahirnya Giok-long tenang-tenang saja, dengan tersenyum ia menyapa.
"Apakah yang kalian maksudkan adalah diriku?"
"Ya, betul,"
Jawab si jangkung. Yang pendek terkekeh-kekeh dan berkata.
"Banyak juga tukang pikat perempuan dan ahli merayu yang pernah kulihat, tapi rasanya tiada seorang pun yang lebih pandai daripada saudara."
"Hahaha, kepandaian berkelakar kalian sungguh sangat bagus,"
Jawab Kang Giok-long dengan tergelak-gelak. Tiba-tiba si jangkung menarik muka, katanya.
"Selamanya Cayhe tidak suka berkelakar segala."
"Habis kalian ...."
Dengan terkekeh seram si pendek memotong.
"Nona ini sekarang sudah berada di tanganmu, tampaknya sebentar lagi saudara akan mengeloni si cantik, tapi apakah saudara tidak dapat membuat kami juga ikut-ikut senang sedikit."
"Apa yang kalian maksudkan, sungguh aku tidak paham,"
Ucap Giok-long dengan suara lirih. "Maksudku, jikalau saudara ingin mengeloni si cantik, maka kepada kami berdua perlu juga diberi bagian,"
Jengek si jangkung.
"Kalau tidak ...."
"Untuk berusaha mungkin kami tidak mampu, untuk menggagalkan rasanya kami cukup sanggup,"
Sambung si pendek dengan tertawa. Tiba-tiba Giok-long mendapatkan akal, dengan tersenyum ia berkata pula.
"O, jadi kalian juga ingin icip-icip, begitu?"
"Hehe, ini sih kami tidak berani,"
Kata si pendek.
"Cuma saudara kan sudah mendapatkan yang baru, kalau yang lama, yaitu nona yang berada di dalam selimut, tentunya dapat kau berikan kepada kami."
"Wah, tampaknya banyak juga yang kalian ketahui,"
Ucap Giok-long dengan tertawa. Yang jangkung menjengek.
"Bicara terus terang, sejak saudara mulai mengincar nona ini, setiap gerak-gerikmu sudah kami lihat dengan jelas."
Dengan terkekeh-kekeh si pendek menyambung.
"Caramu mengantar uang, menyediakan sarapan, membawakan pakaian dan segala perlengkapan yang diperlukan, semuanya telah kami saksikan dengan seksama. Dalam hati kami sungguh kagum luar biasa atas kepandaian saudara, maka sejak mula kami sudah tahu bahwa nona ini pasti tak dapat lolos dari telapak tangan saudara."
"Bagus, bagus,"
Giok-long bergelak tertawa.
"Sungguh tidak nyana kalian berminat besar terhadap diriku. Silakan duduk, marilah kita minum bersama barang tiga cawan."
Si jangkung menjawab.
"Arak, dapat kami minum, tapi barang pengiring arak kami sudah membawa sendiri."
Mendadak ia menarik keluar seekor tikus dari dalam lengan bajunya terus dijejalkan di dalam mulut dan mengganyangnya mentah-mentah. Melengak juga Kang Giok-long, katanya kemudian dengan tertawa.
"Ah, kiranya kalian adalah sekaum dengan kelima sahabat tadi, pantas kalian sedemikian jelas terhadap diriku."
"Bukan saja jelas terhadapmu, bahkan juga sangat jelas terhadap nona di dalam selimut itu,"
Tukas si pendek dengan tertawa. "Jadi kedatangan kalian ini ingin ."
"Selain minta saudara suka memberikan nona Buyung kepada kami, ada lagi suatu hal yang perlu kami tanyakan padamu,"
Sela si jangkung dengan ketus. "O, urusan apa?"
Tanya Giok-long. Sorot mata si jangkung menjadi buas, katanya.
"Siapa sebenarnya ketiga orang di dalam gua itu? Apa hubungannya pula dengan dirimu?"
"Nama ketiga orang itu ialah Han-wan Sam-kong, Kang Siau-hi dan Hoa Bu-koat, tadi kalian tentu sudah melihat sendiri bahwa mereka adalah musuhku."
"Beratkah permusuhan kalian?"
Tanya si jangkung. "Terserah penilaianmu, yang pasti mereka ingin membunuhku dan aku pun ingin membunuh mereka,"
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Giok-long dengan tertawa. "Ehm, bagus, bagus sekali,"
Si jangkung menyeringai. Giok-long coba memancing pula.
"Kelima sahabat tadi apakah telah ...."
"Ya, telah terbunuh oleh mereka,"
Kata si pendek. Giok-long menghela napas lega, ucapnya.
"Jika begitu, kalian dan Cayhe mempunyai musuh yang sama, sepantasnya Cayhe menyuguh kalian satu cawan."
"Baik, setelah minum boleh saudara ikut kami berangkat,"
Kata si jangkung. Si pendek lantas menyambung.
"Mengenai nona ini, boleh saudara berbuat sesukamu dalam perjalanan .... Haha, kami pasti akan menyiapkan tempat yang baik bagimu di dalam kereta yang longgar."
Kang Giok-long melenggong, tanyanya.
"Memangnya kalian hendak mengajak aku ke mana?"
Si jangkung menjawab dengan perlahan.
"Jika saudara sudah bermusuhan dengan ketiga orang itu, bilamana mereka mengetahui jejakmu, bukankah mereka akan segera menyusul ke tempat sembunyimu?"
"Bi ... bisa jadi,"
Sahut Giok-long. "Makanya kami ingin mengajakmu ikut kami pulang untuk memancing kedatangan ketiga orang itu,"
Kata si jangkung dengan tertawa. Si pendek menyambung pula.
"Meski cara ini kurang baik dan membikin susah padamu, tapi selain ini kami benar-benar tidak punya upaya lain, sedangkan kami tidak boleh pulang dengan tangan hampa, maka terpaksa ...."
"Ya, maksud kalian kini sudah kupahami seluruhnya,"
Tiba-tiba Giok-long tertawa "Bila tujuan kalian cuma menggunakan diriku sebagai umpan untuk memancing kedatangan ketiga orang itu, hasilnya kan juga menguntungkan diriku, masa aku tidak mau?"
Si pendek bergelak tertawa, katanya.
"Saudara benar-benar seorang bijaksana dan dapat memahami maksud baik orang, biarlah Cayhe juga menyuguhmu satu cawan."
"Habis minum segera kita berangkat saja,"
Ucap Giok-long sambil angkat cawannya.
Kedua orang itu pun angkat cawan masing-masing dan sekali tenggak habislah isinya.
Tapi baru saja mereka mendongak, belum lagi arak masuk kerongkongan, sekonyong-konyong cawan di tangan Kang Giok-long menyambar ke depan, menyambit ke tenggorokan si jangkung.
Kontan orang itu mengerang, arak tersembur dari hidungnya, tubuh pun roboh terjengkang.
Baru saja yang pendek terkejut dan belum sempat berbuat apa-apa, arak juga masih berada di kerongkongan, betapa pun dia harus menelan dulu arak yang berada di tempat kepalang tanggung itu.
Tapi pada saat itu juga secepat kilat kedua tangan Kang Giok-long telah menghantam.
Meski gerak serangannya tidak selihai Siau-hi-ji, tapi sudah cukup ganas.
Terdengar suara "blak-bluk dua kali, si pendek juga lantas roboh terkapar.
Giok-long tepuk-tepuk tangannya sambil menjengek.
"Hm, cuma kalian berdua saja ingin membawaku pergi? Masih selisih jauh kemampuan kalian."
Kedua orang itu roboh telentang di lantai tanpa bergerak, tapi jiwa mereka belum melayang, Kang Giok-long hanya menutuk Hiat-to mereka.
Sebelum tahu jelas asal-usul kedua orang ini tidak mungkin Kang Giok-long membunuh mereka, dalam hal ini Kang Giok-long memang berbeda daripada Toh Sat.
Ingin membunuh orang, tentu Kang Giok-long memilih tempat dan waktu yang tepat.
Sementara itu Thi Peng-koh telah memberosot pula dari kursinya, di tempat yang remang-remang ini wajahnya kelihatan kemerah-merahan dan sangat menggiurkan.
Kang Giok-long memandang kedua orang yang menggeletak di lantai itu, lalu memandang pula Thi Peng-koh.
Dengan sendirinya ia dapat membedakan urusan mana yang lebih penting, ia pun sangat paham urusan apa yang harus dikerjakan lebih dulu dan urusan apa pula yang dapat ditunda.
Menghadapi suatu kesempatan baik selamanya tidak pernah disia-siakan olehnya.
Dia cukup paham bilamana kesempatan tersia-sia, maka kesempatan itu takkan kembali untuk selamanya.
Dengan suara keras ia lantas memanggil pelayan.
Sudah tentu sebelumnya pelayan sudah dipesan apabila tidak dipanggil dilarang masuk, dengan sendirinya pesan ini disertai uang sogokan Pesan yang tanpa disertai uang tip takkan mendatangkan daya guna sebaik ini.
Kini dia memberi pesan pula agar pelayan membawa kedua temannya yang "mabuk"
Ini ke kamar di sebelah, agar dibaringkan bersama si nona yang sedang "sakit"
Itu.
Walaupun kedua orang ini tiada sesuatu tanda mabuk, tapi kebanyakan pelayan adalah orang cerdik, mereka tahu bilamana mata mereka harus dipejamkan dan bilamana harus dipentang.
Malam sudah gelap, hotel kecil itu tenggelam di tengah kekelaman dan ketenangan.
Cahaya lampu yang guram di hotel kecil ini tak dapat menahan kegelapan yang pekat itu.
Apalagi kebanyakan kamar di hotel ini tidak menyalakan lampu, atau kalau perlu diperinci selain ruangan "kantor", pada hakikatnya keenam kamar yang dimiliki hotel ini sama sekali tiada menyalakan lampu.
Sudah tentu keempat kamar yang tiada penghuninya itu tidak perlu penerangan.
Lalu bagaimana dengan kedua kamar yang ada tamunya? Kamar yang sebelah timur, sudah sehari semalam si nona yang sakit itu tak pernah keluar, kini ditambah lagi dua lelaki yang "mabuk".
Pelayan yang cerdik itu dengan sendirinya tidak ingin mereka menghamburkan minyak yang tidak perlu.
Padahal, pelayan ini juga si pemilik hotel.
Kalau hotel selalu kekurangan tamu, dengan sendirinya ia perlu berhemat dalam segala hal.
Sedangkan kamar yang di sebelah barat itu, mengapa juga tidak menyalakan lampu? "Pelayan"
Telah meninggalkan kantornya yang berlampu dan berdiri di sudut halaman yang gelap.
Dengan sendirinya bukan maksudnya ingin mengintip rahasia orang lain, tapi bilamana dari kamar ini terdengar sesuatu suara yang menarik, dengan sendirinya dia tidak perlu mendekap telinganya, dia memang tidak ingin menjadi seorang "Kuncu".
Benar juga, dari kamar itu memang terdengar sesuatu suara yang menarik.
Semula adalah suara keluhan, lalu suara keluhan itu semakin keras.
Bila kemudian suara keluhan itu berubah menjadi suara napas yang terengah-engah, maka tanpa terasa tangan si "pelayan"
Telah penuh berkeringat.
Kadang-kadang dia suka menyesali dirinya sendiri mengapa harus membuka hotel, perusahaan ini tidak banyak menguntungkan, malahan selalu menimbulkan semacam rasa penyesalan berdosa.
Biasanya dia cuma dapat menyaksikan berlangsungnya perbuatan berdosa itu tanpa berdaya sedikit pun, ini bukan saja membuatnya menyesal, tapi juga membuat dia merasa dirinya adalah seorang pengecut.
Kini, bilamana terdengar suara yang khas ini, perasaan yang menekan itu bertambah keras.
Ai, betapa moleknya anak perempuan itu, sebaliknya lelaki itu ....
Sekonyong-konyong didengarnya jeritan melengking, ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, dengan hati kebat-kebit cepat ia lari kembali ke dunianya sendiri.
Tindakannya ini mirip seperti seekor kura-kura bilamana mengalami sesuatu kejadian, maka cepat kepalanya mengerut ke dalam batoknya, asalkan ia sendiri tidak melihat, maka aman tenteramlah rasanya.
Sementara itu Thi Peng-koh sudah siuman dari mabuknya.
Dia merasa sekujur badan kesakitan, ruas tulang seakan-akan retak, kepala juga sakit.
Lalu tiba-tiba ia merasa ada seseorang berbaring di sebelahnya, waktu ia berpaling, dilihatnya Kang Giok-long yang masih terengah-engah itu.
Dia menjerit kaget sejadi-jadinya.
Dia mendorong sekuatnya sehingga Kang Giok-long terperosok ke bawah tempat tidur.
Anak muda itu mendekam di lantai, dia tidak merangkak bangun, sebaliknya malah menangis sedih.
Sungguh luar biasa, yang menangis seharusnya orang lain, tapi dia malah mendahului.
Peng-koh membungkus tubuhnya dengan selimut, teriaknya dengan parau.
"Kau ... kau sungguh keji, tapi ... kau malah menangis ...."
"Aku tahu telah berbuat salah padamu, kumohon engkau sudi memaafkan aku ...."
Demikian Giok-long meratap. Sekujur badan Peng-koh gemetar saking geregetan, teriaknya.
"Kubenci ... ingin ku ...."
"Jika kau benci padaku, boleh bunuhlah diriku, tadi aku benar-benar tidak mampu mengendalikan diriku, sebab aku pun mabuk, kita memang tidak pantas minum sebanyak itu,"
Sampai di sini mendadak ia menubruk ke atas tempat tidur pula dan berseru dengan menangis.
"Kumohon kau bunuh saja diriku, bila kau bunuh aku, bisa jadi hatiku akan lebih tenteram."
Sebenarnya saking geregetan Thi Peng-koh memang ingin membunuh anak muda itu, tapi sekarang ...
sekarang tangannya ternyata lemas tak bertenaga sedikit pun.
Semula dia sangat berduka dan penuh rasa benci, sangat murka.
Tapi Kang Giok-long telah mendahului menangis, begitu sedih tangisnya sehingga membuat Peng-koh kehilangan pegangan.
Sungguh tak tersangka olehnya Kang Giok-long bisa menangis.
Apakah dia benar-benar menyesal, jangan-jangan ia memang terdorong oleh hasrat yang berkobar dan seketika itu tak dapat mengekang diri, jangan-jangan dia bukan orang busuk? Hati perempuan pada umumnya memang mudah lunak, lebih-lebih dalam keadaan ...
keadaan "nasi sudah jadi bubur", apa yang sudah kehilangan jangan harap akan diperolehnya kembali untuk selamanya.
Miliknya kini telah menjadi miliknya pula, kini anak muda itu kan sudah berubah menjadi orang yang mempunyai hubungan paling erat dengan dia? Dari celah-celah jarinya Giok-long coba mengintip perubahan sikap si nona, tapi ia sengaja menangis semakin sedih, ia tahu air mata lelaki terkadang jauh lebih efektif daripada tangisan perempuan.
Menangis, ini memang senjata utama perempuan, tapi sekali-kali bukan monopoli kaum perempuan.
Bilamana kaum lelaki mau menggunakan senjata ini, kadang-kadang malah jauh lebih berdaya guna daripada perempuan.
Akhirnya Peng-koh mendekap di tempat tidur dan menangis tergerung-gerung.
Selain menangis memang tiada jalan lain baginya.
Sorot mata Kang Giok-long memancarkan rasa senang, tapi dia masih tetap menangis, ratapnya pula.
"Kutahu telah berbuat salah, tapi aku ... aku sejak pertama kali melihatmu, pada saat itu juga aku lantas tahu selama hidupku ini tak boleh kehilangan kau, hidup bagimu, mati pun bagimu."
Perlahan ia menggeser lebih dekat si nona, lalu berkata pula.
"Meski salah perbuatanku, tapi hatiku benar-benar tulus, asalkan kau percaya padaku, tentu akan kubuktikan ketulusan ini, selama hidupku ini takkan membuat kecewa padamu."
Dia telah menyentuh tubuh Peng-koh pula dan si nona tidak menghindar. Kalau seorang perempuan tidak menghindar, apa itu artinya? Sudah tentu Kang Giok-long sangat paham urusan beginian. Mendadak ia memeluk erat-erat si nona dan berseru.
"Hanya ada dua kemungkinan, maafkan aku atau boleh bunuhlah diriku. Tapi biarpun aku kau bunuh, kau tak dapat menyuruh aku jangan menyukaimu, biarpun mati tetap kusuka padamu ...."
Peng-koh tetap tidak bergerak sama sekali.
Kalau anak perempuan dipeluk oleh lelaki dan tidak melawan atau meronta, maka tiada suatu persoalan lagi yang tak dapat dimaafkan.
Giok-long tahu usahanya berhasil.
Dia mendekap di tepi telinga Thi Peng-koh, dibisikkannya kata-kata yang halus dan paling manis di dunia ini, ia tahu inilah yang dibutuhkan si nona sekarang.
Perempuan yang mampu melawan bujukan manis dan rayuan madu kaum lelaki sampai detik ini mungkin belum lahir.
Benarlah suara tangis Thi Peng-koh mulai lirih, memangnya dia sebatang kara, memangnya ia merasa bingung dan tiada punya sandaran apa-apa, kini tiba-tiba ia merasa tidak lagi terpencil sendirian.
Kang Giok-long tertawa senang, katanya dengan lembut.
"Sekarang dapat kau maafkan daku?"
"Ehm,"
Terdengar suara si nona yang kepalanya terbenam di bawah bantal. "Kau tidak benci lagi padaku?"
Tanya Giok-long pula sambil menyanggah telinga si nona di bawah bantal. Dengan tabahkan hati mendadak Thi Peng-koh menongolkan kepalanya dan berkata sambil menggigit bibir.
"Asalkan apa yang kau katakan adalah sungguh-sungguh dan setulusnya, asalkan engkau tidak melupakan ucapanmu sekarang ini, maka aku pun ...."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan ngeri berkumandang dari kamar sebelah, jeritan ngeri itu sangat singkat, tapi cukup membuat orang merinding.
Dalam keadaan demikian Kang Giok-long benar-benar mahagesit, dengan kecepatan yang maksimal dapat dicapai oleh seseorang dia meringkasi segala sesuatu, lalu secepat anak panah dia melesat keluar, tindakannya ini seakan-akan sudah lupa sama sekali terhadap Thi Peng-koh.
Pada saat menghadapi bahaya, jangankan cuma Thi Peng-koh, biarpun bapaknya juga takkan dipikirkan lagi, yang dipikirkan hanya dia sendiri.
Sedangkan dari suara jeritan ngeri itu dia telah mengendus adanya bau mara bahaya.
Suara jeritan ngeri itu benar-benar dapat membuat orang banyak merasa mual dan tumpah-tumpah, jika bukan orang yang mahaganas dan sangat membahayakan, tidak mungkin membuat orang menjerit begitu ngeri.
Begitu melompat keluar, Kang Giok-long tidak menerobos ke kamar sebelah yang menyuarakan jeritan tadi, tapi lebih dulu ia dobrak daun jendela kamar itu hingga terpentang.
Lalu ia menyalakan sebuah lampu terus dilemparkan ke dalam kamar.
Lampu minyak itu jatuh berantakan di lantai, api lantas berkobar.
Di bawah cahaya api yang berkedip-kedip, kamar yang sempit dan lembap itu tampaknya jadi lebih suram.
Dilihatnya Buyung Kiu masih tetap berbaring terbungkus selimut, ia menghela napas lega.
Tapi segera diketahuinya pula bahwa kedua orang, yaitu si jangkung dan si pendek, sudah lenyap semua, mereka telah berubah menjadi dua genangan air darah.
Pemandangan ini membuat Kang Giok-long mengkirik, tapi hatinya lantas tenteram pula.
Kalau kedatangan orang yang mahaganas dan berbahaya itu hanya bermaksud membunuh kedua orang ini, kenapa dia harus tidak setuju? Kenapa dia harus khawatir dan takut? Dan pada saat itu juga, di tengah berkelipnya cahaya api seorang telah muncul.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekilas pandang orang ini tampak gagah, jubahnya yang berwarna putih mulus itu bersulam bunga merah, kebanyakan wanita pasti akan tergila-gila pada kegagahannya.
Tapi bila dipandang lagi lebih cermat, maka kebanyakan perempuan pasti akan kaget dan jatuh semaput.
Mukanya, itulah yang luar biasa, di bawah sinar api mukanya itu seakan-akan tembus cahaya, begitu putih bening sehingga kelihatan tulangnya yang berwarna kehijau-hijauan.
Matanya, sepasang matanya juga tidak menyerupai mata manusia, tapi lebih mirip mata binatang buas yang kelaparan.
Jubahnya yang putih mulus itu sebenarnya juga bukan bersulam bunga merah segala, bunga merah itu adalah percikan darah segar yang baru saja menempel di jubahnya.
Kang Giok-long bukanlah pemuda yang hijau dan mudah digertak, tapi demi nampak orang ini, jantungnya serasa hendak berhenti berdenyut.
Dengan dingin orang itu pun sedang menatap Kang Giok-long, dengan sekata demi sekata, ia tanya.
"Kaukah yang menutuk Hiat-to kedua orang tadi?"
Sedapatnya Kang Giok-long memperlihatkan senyuman wajar, jawabnya.
"Betul, memang Cayhe lagi bingung entah bagaimana harus memperlakukan mereka, kini saudara sudah membereskan mereka, sungguh Cayhe merasa sangat berterima kasih."
Diam-diam ia telah merasakan pendatang ini jauh lebih berbahaya daripada apa yang diperkirakan, maka cepat-cepat ia menyuarakan persahabatan. Namun orang itu telah melototnya dengan dingin, katanya pula.
"Apakah kau tahu siapa diriku?"
"Itulah yang ingin kuketahui,"
Jawab Giok-long. Tiba-tiba orang itu tertawa sehingga tertampak barisan giginya yang putih gilap, katanya dengan perlahan.
"Aku adalah majikan mereka. Mereka adalah kaum budakku."
"Tapi ... tapi engkau yang membunuh mereka dan bukan aku,"
Ujar Giok-long dengan kebat-kebit. "Kau sudah menghinakan mereka, terpaksa aku membunuh mereka agar tidak lagi membikin malu,"
Ucap orang itu. "Alasanmu membunuh orang apa biasanya memang sederhana begini?"
Tanya Giok-long dengan menyengir. "Terkadang malahan lebih sederhana lagi,"
Ujar orang itu. "Kadang-kadang aku pun membunuh orang, tapi aku harus mempunyai suatu alasan yang tepat, misalnya ...."
Pada saat itulah api yang menyala di lantai tiba-tiba padam, keadaan menjadi gelap gulita.
Tapi mata orang ini tampak berkelip-kelip dalam kegelapan.
Terdengar dia menjengek.
"Misalkan apa?"
"Misalnya, bilamana kutahu seorang hendak membunuhku, biasanya akan kubunuh dia lebih dulu,"
Mata Kang Giok-long juga berkedip-kedip dan setiap detik siap turun tangan.
Meski dia yakin orang ini pasti bukan lawan empuk, tapi ia pun percaya pada kemampuan sendiri yang pasti juga tidak empuk.
Sebabnya dia belum mau turun tangan adalah karena dia merasa berada di posisi yang menguntungkan, dia tidak ingin sia-siakan posisi yang menguntungkan ini, dia hendak menunggu orang itu menerjang keluar lebih dulu.
Tak terduga orang itu mendadak tertawa.
Suara tertawanya itu mirip seekor tikus yang sedang menggerogoti peti kayu, membuat orang merinding.
"Memangnya kau kira sekarang juga akan kubunuh kau?"
Kata orang itu dengan tergelak-gelak. "Kau kan sudah mempunyai cukup alasan untuk membunuhku!"
Ujar Giok-long. "Bilamana kuingin membunuh orang, tentu aku takkan banyak bicara dengan dia,"
Ujar orang itu. "O, jadi maksudmu tak berniat membunuhku? Mengapa?"
Tanya Giok-long heran. Mendadak orang itu berhenti tertawa dan berkata.
"Kau harus membawaku pergi mencari tiga orang."
"Ya, tahulah aku. Sebelum mereka kau bunuh tentunya engkau sudah tanya jelas semua kejadiannya."
"Jika di dalam tujuh hari kau dapat membawaku menemukan Han-wan Sam-kong, Kang Siau-hi dan Hoa Bu-koat, maka kau takkan mati dengan segera, bahkan hidupmu masih bisa diperpanjang cukup lama."
"Mereka kan juga musuhku?"
Ucap Giok-long sambil berpikir.
"Jika kau mampu membunuh mereka, dengan sendirinya aku suka membawamu pergi mencari mereka. Cuma sayang, untuk membunuh mereka bukan pekerjaan yang gampang Sebaliknya terbunuh oleh mereka kukira akan lebih mudah. Nah, bila engkau tidak berhasil membunuh mereka, bukankah aku pun ikut susah?"
"Hehehehe?"
Orang itu terkekeh-kekeh.
"Kau ini orang yang tidak mau rugi, justru aku suka pada orang semacam kau ini."
"Orang yang tidak mau dirugikan biasanya tidak perlu disukai orang,"
Kata Giok-long. "Lalu dengan cara bagaimana baru kau percaya aku mampu membunuh mereka? Coba katakan!"
Bentak orang itu dengan bengis. "Ini perlu kau perlihatkan dengan cara apa kau dapat menarik kepercayaanku,"
Jawab Giok-long. "Hm, untuk membuatmu percaya kukira bisa lebih dari seribu cara,"
Jengek orang itu. "Jika kau ingin belajar kenal ilmu sakti perguruan Bu-geh, biarlah lebih dulu kuperlihatkan sesuatu padamu ...."
Mendadak tangannya seperti bergerak, segera semacam lelatu hijau menyambar ke depan dan nempel di dinding, lelatu api itu tidak keras, ketika nempel di dinding juga lantas padam, hakikatnya tidak berkobar.
Begitu lelatu api itu padam, segera pula orang itu melayang keluar halaman.
Padahal jelas kelihatan dia tidak melayang keluar melalui jendela.
Lalu dari manakah dia menerobos keluar? Tentu saja Giok-long kaget, waktu dia mengamat-amati barulah diketahui di dinding sana telah bertambah sebuah lubang besar.
Kiranya orang ini melayang keluar melalui lubang itu.
Padahal lelatu hijau tadi hanya seperti percikan api saja, tanpa suara dan tanpa berisik, tahu-tahu dinding yang tebal itu telah terbakar sebuah lubang besar.
Baru sekarang Kang Giok-long melongo terkejut, Ginkang orang memang cukup lihai dan tidak sampai mengejutkan dia, tapi api yang tidak berkobar itu dapat menghancurkan dinding, ini benar-benar belum pernah dilihatnya.
Sementara itu orang tadi sudah berada di sebelahnya, dengan sorot mata tajam ia tatap Kang Giok-long dan bertanya.
"Apakah kau ingin belajar kenal ilmu sakti lainnya?"
"Aku ... aku ...."
Giok-long menjadi ragu-ragu. "Hehehe!"
Orang itu terkekek-kekek.
"Ilmu sakti perguruan Bu-geh ...."
"Ilmu sakti perguruan Bu-geh bagiku tampaknya tiada sesuatu yang istimewa!"
Demikian tiba-tiba seorang menukas dengan bergelak tertawa.
Di tengah gelak tertawanya itu sesosok bayangan orang tahu-tahu melayang tiba.
Selama hidup Kang Giok-long tak pernah mendengar suara tertawa yang menggetar sukma seperti ini, melulu suara tertawa yang hebat ini sudah cukup membuat kuncup nyali musuh.
Menyusul lantas dilihatnya perawakan pendatang ini, meski perawakan orang ini tidak terhitung tinggi besar, tapi tampaknya sekukuh gunung dan sekuat baja.
Anak murid perguruan Bu-geh itu juga menyurut mundur oleh perbawa orang, bentaknya segera dengan bengis.
"Siapa itu berani bersikap kasar terhadap anak murid Bu-geh?"
"Aku Yan Lam-thian adanya!"
Nama ini seperti cahaya bintang kemukus yang dapat menerangi jagat raya ini. "Kau murid Bu-geh? Di mana dia sekarang?"
Terdengar Yan Lam-thian membentak pula. Meski nyali orang itu sudah kuncup, tapi dia masih tergelak-gelak dan menjawab.
"Kau tidak perlu mencari guruku, keempat murid utama perguruan Bu-geh sudah lama ingin mencari Yan Lam-thian untuk mengukur tenaga, tak terduga aku Gui Pek-ih (Gui si baju putih) ternyata lebih beruntung daripada ketiga saudaraku ...."
"Kau ini kutu macam apa, berani kurang ajar terhadap Yan Lam-thian?"
Mendadak Kang Giok-long membentak gusar sebelum habis ucapan orang.
Di tengah bentakannya segera ia pun menubruk maju, dan melancarkan tiga kali pukulan secepat kilat.
Pukulan tiga kali ini ternyata ilmu pukulan Bu-tong-pay tulen.
Maklumlah, dia dan Siau-hi-ji mempelajari bersama ilmu silat yang tercantum di kitab pusaka yang mereka temukan di istana bawah tanah itu, ilmu silat itu mencakup semua intisari silat berbagai perguruan dan aliran, dengan kecerdasannya tentulah sangat mudah pula untuk belajar ilmu pukulan dari perguruan lain.
Sedangkan ilmu pukulan Bu-tong-pay pada masa itu justru sangat digemari, yang belajar sangat banyak walaupun yang mahir terlalu sedikit.
Diam-diam Kang Giok-long juga telah mencuri belajar ilmu pukulan Bu-tong-pay, sudah tentu dengan maksud tujuan yang tidak baik.
"Hm, kau juga berani bergebrak dengan aku?"
Jengek Gui Pek-ih.
Ia menyangka cukup dengan dua-tiga kali gebrak saja pasti dapat menjatuhkan lawannya.
Tak terduga meskipun Kang Giok-long ini seorang pengecut, tapi bukan orang bodoh.
Ia telah salah menilai kepandaian Kang Giok-long.
Karena itulah dia telah kena didahului oleh Kang Giok-long, sekaligus diberondong dengan beberapa kali serangan maut sehingga membuatnya rada kerepotan.
Giok-long tahu Yan Lam-thian pasti takkan membiarkan dia dikalahkan, kalau Yan Lam-thian jelas berada di pihaknya, lalu apa pula yang ditakutinya? Karena hatinya tabah, semangatnya lantas berkobar, serangannya tambah gencar.
Dalam keadaan demikian, sekalipun kepandaian Gui Pek-ih cukup tinggi dan keji juga tidak dapat mengapa-apakan Kang Giok-long.
Yan Lam-thian hanya menonton saja dengan penuh perhatian, lambat-laun terunjuk senyuman pada wajahnya, berulang-ulang ia mengangguk dan berkata.
"Ya, bagus, jurus ini biarpun dimainkan sendiri oleh si tua Ci-si juga tak lebih hebat daripada ini."
Nyata Yan Lam-thian menyangka Kang Giok-long adalah anak murid Bu-tong-pay, murid Ci-si Totiang, ketua Bu Tong-pay.
Tiba-tiba dilihatnya Gui Pek-ih mulai berputar-putar dengan cepat, sekonyong-konyong beberapa jalur api hijau terpencar keluar, kurang jelas terpancar dari mana.
Di bawah cahaya api itu air muka Kang Giok-long juga berubah hebat.
Untunglah Yan Lam-thian membentak disertai serangkum angin pukulan yang dahsyat, tubuh Kang Giok-long didorong ke samping, angin pukulan itu masih terus menerjang ke tengah kobaran api hijau sehingga Gui Pek-ih tergetar mundur sempoyongan.
Menyusul suara bentakan Yan Lam-thian lantas berubah menjadi siulan panjang, bayangan tubuh laksana burung raksasa telah melayang maju dan berputar di atas.
Gui Pek-ih mendongak ke atas, nyalinya serasa pecah.
Ia mau menghindar, namun sudah terlambat.
Terpaksa ia sambut tubrukan lawan dengan kedua tangannya, segera terdengar suara "krak-krek", empat tangan saling bentur, kedua tangan Gui Pek-ih kontan patah tulang pergelangannya.
Menyusul darah segar lantas tersembur dari mulutnya dan roboh terjengkang.
Yan Lam-thian jambret leher baju Gui Pek-ih, bentaknya dengan bengis.
"Coba katakan, di mana Gui Bu-geh?"
Gui Pek-ih membuka matanya, dipandangnya Yan Lam-thian sejenak, lalu menjawab dengan menyeringai.
"Hm, apakah kau berani mencarinya? Dia berada di Ku-san."
"Sekarang juga kau harus membawaku ke sana!"
Bentak Yan Lam-thian dengan gusar. "Silakan mengantar kematianmu ke sana, aku takkan mengiringimu,"
Seru Gui Pek-ih dengan tertawa. Mendadak ia menggereget dan berteriak dengan parau.
"Anak murid Bu-geh, boleh dibunuh tidak boleh dihina ...."
Menyusul dari mulutnya lantas merembes keluar cairan hijau yang berbau busuk, lalu tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Yan Lam-thian melepaskan tubuh yang sudah tak bernyawa itu, katanya dengan gegetun.
"Tak tersangka anak murid Gui Bu-geh terdapat orang gila sebanyak ini ...."
Mendadak ia berpaling ke arah Kang Giok-long, tanyanya dengan tertawa.
"Apakah kau anak murid Bu-tong?"
Baru sekarang Giok-long sempat menenangkan diri, cepat ia memberi hormat dan menjawab.
"Anak murid Bu-tong, Kang Giok-long menyampaikan sembah hormat kepada Yan-locianpwe."
"Sudahlah,"
Kata Yan Lam-thian dengan tertawa.
"Jika dari golongan Cing-pay (aliran baik) banyak terdapat anak murid pilihan seperti dirimu, biarpun golongan Gui Bu-geh lebih banyak menerima murid gila juga tak perlu kukhawatirkan lagi."
Dengan sikap penuh hormat Giok-long berkata pula.
"Jika Locianpwe tidak kebetulan datang, tentu jiwa Tecu sudah melayang sejak tadi."
"Kebetulan", kata-kata ini diucapkannya dengan penuh arti. Bayangkan, bilamana Yan Lam-thian datang lebih dini sedikit dan sempat mendengar beberapa patah ucapannya, saat ini mungkin dia sudah menggeletak sejajar dengan Gui Pek-ih. "Ya, sungguh sangat kebetulan,"
Ucap Yan Lam-thian.
"Bilamana aku tidak berjanji akan bertemu dengan seorang kawan kecil di sini, tentu juga aku takkan datang ke sini."
Dia tepuk-tepuk pundak Kang Giok-long, dengan tertawa ia menambahkan pula.
"Kau dan kawan kecilku itu sama-sama jago muda yang berbakat dan sukar dicari di dunia Kangouw, bolehlah kau berdiam di sini untuk menunggunya bersamaku. Jika kalian bertemu, bukan mustahil kalian akan menjadi sahabat baik dalam waktu singkat."
"Pesan Locianpwe sudah tentu kuturut saja, apalagi orang yang bisa mendapatkan pujian Locianpwe pastilah pemuda gagah pilihan, Wanpwe jadi ingin pula berkenalan."
"Dia bernama Hoa Bu-koat, bila akhir-akhir ini kau sering berkelana di dunia Kangouw tentu pernah mendengar namanya ini."
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giok-long tenang-tenang saja, jawabnya dengan tersenyum.
"Wanpwe belum lama turun gunung sehingga masih asing terhadap urusan dunia Kangouw."
Sejak tadi dia memperhatikan keadaan di dalam kamar, tapi selama itu tiada terlihat sesuatu gerak-gerik Thi Peng-koh, hal ini membuatnya merasa lega. Segera ia berkata pula.
"Tadi waktu Tecu sampai di sini, Gui Pek-ih sedang berbuat tidak senonoh terhadap nona Buyung, kini nona ini masih berbaring di dalam, apakah Cianpwe mau melihatnya?"
"Nona Buyung?"
Yan Lam-thian menegas.
"Apakah anggota keluarga Buyung Yong?"
Sambil bicara ia terus melayang masuk ke dalam kamar.
Sudah tentu Buyung Kiu masih meringkuk di dalam kemul.
Di dalam kamar gelap gulita, Yan Lam-thian hanya memandang sekejap saja, lalu berkata.
"Anak ini telah tertutuk Hiat-to bisunya, meski Hiat-to ini tidak begitu penting, tapi lantaran tutukannya terlalu berat dan sedikitnya juga sudah berlangsung hampir setengah hari."
"Masa sudah setengah hari lamanya dia tertutuk?"
Kang Giok-long pura-pura kaget.
"Wah, jika begitu, tentu kesehatan nona ini akan banyak terganggu."
"Betul,"
Kata Yan Lam-thian.
"Kalau sekarang kubuka Hiat-tonya yang tertutuk, mungkin diperlukan tiga bulan baru kesehatannya dapat pulih."
"Wah, lantas bagaimana baiknya?"
"Sebab itu, sebelum kubuka Hiat-tonya, paling baik kalau kubantu melancarkan darahnya dengan tenaga dalamku,"
Dengan tertawa Yan Lam-thian menuding si nona dan melanjutkan.
"Untung juga dia, selain ketemu kau juga ketemu aku pula. Bilamana tiada kau, bisa jadi dia harus menderita sedikit."
"Sesungguhnya Wanpwe tidak paham apa maksud Locianpwe,"
Tanya Giok-long "Begini soalnya, mana kala aku sedang mengerahkan tenaga dalam untuk menolong dia, tentunya pantang diganggu orang, bilamana terganggu, selain dia akan celaka, aku sendiri pun bisa cedera.
Tapi bila kau mau berjaga di samping, tentu aku tidak perlu khawatir lagi."
Giok-long menjawab dengan mengiring tawa.
"Cianpwe tidak perlu khawatir, biarpun Tecu tidak becus, urusan kecil begini rasanya masih sanggup kulakukan."
"Bilamana aku khawatir, masa aku mau menyerempet bahaya ini?"
Ujar Yan Lam-thian tertawa.
"Kalau murid si tua Ci-si tak dapat kupercayai, lalu kepada siapa lagi harus kupercayai?"
Begitulah ia lantas duduk bersila di atas ranjang, kedua tangannya menahan punggung Buyung Kiu.
Meski dalam kamar gelap gulita, tapi dapat dibayangkan pula betapa prihatinnya pendekar besar ini.
Kang Giok-long berdiri di belakangnya, tanpa terasa tersembul senyuman licik pada ujung mulutnya.
Dan mengapa sebegitu jauh tidak tampak sesuatu gerak-gerik Thi Peng-koh? Rupanya sejak tadi nona itu sudah pergi, sukar untuk dibayangkan ketika perginya itu betapa rasa derita pertentangan batinnya.
Bujuk rayu Kang Giok-long yang manis itu meski telah meredakan kekalapannya, tapi telah membuatnya merasa lebih malu dan terhina pula.
Setelah sadar kembali, dia merasa seakan-akan dirinya telah menjual dirinya sendiri.
Dia benci pada dirinya sendiri, mengapa tadi tidak membunuh anak muda bergajul itu? Ia menyesal mengapa dirinya tidak tega turun tangan membunuhnya? Ia tahu kalau tadi tidak turun tangan, maka untuk seterusnya juga tak mungkin dilakukannya pula.
Ia benci pada dirinya sendiri, mengapa mestika yang paling berharga selama hidupnya ini begitu mudah dirampas orang? Lebih celaka lagi dirinya seakan-akan telah menyukai bandit yang jahat ini.
Ia pun takut, takut dipandang rendah Kang Giok-long.
Karena itulah dia ya benci, ya takut, ya suka, hatinya seperti sudah tersayat-sayat menjadi beribu-ribu keping.
Lantaran pergolakan perasaannya yang kusut dan bertentangan itu, sekaligus ia terus menerjang keluar.
Sudah tentu ke arah yang tidak dilihat oleh Kang Giok-long.
Ia terombang-ambing dalam kegelapan, ia merasa dunia ini sedemikian asing dan menakutkan, tiba-tiba ia menyesal pula mengapa meninggalkan anak muda itu? Akan tetapi sekarang ia merasa malu untuk kembali ke sana.
Hotel kecil itu memang terletak di ujung kota kecil itu, maka sekeluarnya dia lantas terbenam dalam kegelapan yang sukar membedakan arah.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan ke mana harus pergi.
Ia merasa pepohonan yang tak bernyawa itu pun punya teman dan punya sandaran, tapi bagaimana dengan dia? Ia benar-benar sebatang kara.
Mendadak ia menjatuhkan diri di bawah pohon, lengan bajunya sudah basah oleh air mata.
Entah berselang berapa lama lagi, mungkin air matanya sudah kering, ia hanya membentang matanya lebar-lebar, memandang jauh ke sana dengan rasa hampa.
Tiba-tiba dalam kegelapan itu tamak muncul dua sosok bayangan orang.
Bayangan kedua orang ini hampir sama besar dan sama tingginya, sungguh mirip barang dari satu cetakan.
Kedua bayangan itu berhenti di kejauhan, dengan sendirinya Thi Peng-koh tidak dapat melihat jelas wajah dan perawakan mereka, tapi di tengah malam sunyi demikian, biarpun bisikan yang paling lirih juga dapat terdengar dengan jelas.
Didengarnya seorang di antaranya sedang berkata.
"Kang Siau-hi, apakah kau benar-benar tidak mau menemuinya?"
"Kang Siau-hi", nama ini berkumandang ke telinga si nona dan hampir saja membuatnya melonjak bangun, dan berlari-lari ke sana serta menjatuhkan diri ke dalam rangkulannya. Akan tetapi ia tahu dirinya sekarang tidak memenuhi syarat lagi untuk menjatuhkan diri ke dalam pelukan orang. Ia hanya menggigit bibirnya kencang-kencang dan menahan perasaan sebisanya. Benar juga, angin yang meniup sayup-sayup itu telah membawa suara Kang Siau-hi. Terdengar anak muda itu sedang menjawab dengan tertawa.
"Kau telah salah omong, bukanlah aku tidak mau menemui beliau, yang benar aku tidak ingin menemuinya sekarang."
"Dari mana kau tahu bahwa dia akan merintangi kepergianmu? Bisa jadi ...."
"Ya, bisa jadi beliau akan mengizinkan kepergianku ke Ku-san, tapi aku tidak mau menerima risiko ini. Bilamana suatu urusan sudah kuputuskan begini, maka betapa pun harus kulaksanakan."
"Tapi kau kan sudah menemani aku sampai di sini ...."
Pembicara ini jelas Hoa Bu-koat adanya. Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya.
"Ya, sebenarnya aku harus menemanimu."
Bu-koat mendongak memandang langit dan termenung-menung sekian lama, katanya kemudian dengan perlahan.
"Kembali satu hari telah lalu, sang waktu sungguh lewat dengan sangat cepat, tiga bulan dengan cepat akan lalu pula. Sampai kini hanya bersisa ...."
"Tinggal tujuh puluh enam hari saja,"
Sambung Siau-hi-ji. "Ya, antara kita hanya dapat bersahabat selama tujuh puluh enam hari lagi,"
Kata Bu-koat. Siau-hi-ji termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum.
"Ada setengah orang yang meski bersahabat selama hidup, tapi selama itu pula selalu bertentangan dan perang dingin, persahabatan kita meski tidak panjang waktunya, tapi kan jauh lebih baik daripada mereka."
"Tapi setelah tujuh puluh enam hari lagi ...."
Siau-hi-ji seperti tidak ingin melanjutkan persoalan yang menyedihkan ini, mendadak ia memotong ucapan Hoa Bu-koat.
"Yan-tayhiap akan menunggumu di mana?"
"Di hotel, di kota kecil sana, di situ cuma ada sebuah hotel, pasti akan kudapatkan dia,"
Jawab Bu-koat.
Mendengar ini, jantung Thi Peng-koh kembali berdebar lagi.
Saat ini Kang Giok-long masih berada di hotel itu, sedangkan Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji segera akan menuju ke sana.
Meski si nona sangat membenci Kang Giok-long, tapi demi mengetahui anak muda itu akan terancam bahaya, seketika ia melupakan segalanya dan secara aneh menaruh perhatian terhadap keselamatan anak muda itu.
Walaupun terkadang dia geregetan dan ingin bisa membunuh Kang Giok-long, tapi bilamana ada orang lain hendak membunuh anak muda itu, tiba-tiba ia menjadi khawatir dan berduka baginya.
Inilah hati anak perempuan.
Dalam hati anak perempuan umumnya selalu timbul semacam pertentangan batin yang sukar dipahami orang lain.
Ya suka ya benci.
Padahal dia benar-benar menyukainya atau membencinya, mungkin dia sendiri pun tidak dapat membedakannya dengan jelas.
Terdengar Siau-hi-ji lagi berkata dengan perlahan.
"Sebenarnya kuharap engkau suka menemani aku ke Ku-san, tapi bila engkau sudah ada janji dengan orang lain, tentunya kau tidak boleh ingkar janji."
"Ya, apalagi janji bertemu dengan Yan-tayhiap,"
Tukas Bu-koat. "Jika demikan, silakan berangkatlah."
"Dan kau?"
Tanya Bu-koat. "Aku pun hendak pergi menyelesaikan urusanku."
Bu-koat termenung-menung sejenak, katanya.
"Setelah berpisah sekarang, entah kita akan ...."
Mendadak ia tidak meneruskan. Siau-hi-ji meremas keras-keras bahu Bu-koat sambil membuang muka ke arah lain, ucapnya dengan suara rendah.
"Betapa pun juga, ada waktunya berkumpul dan ada waktunya kita akan berjumpa pula ...."
Sambil berucap demikian segera ia pun melangkah pergi.
Jilid 7. Bakti Binal Bu-koat melenggong sejenak, tiba-tiba ia memburu ke sana dan berseru.
"Waktu masih cukup luang, biarlah aku pun mengantarmu sebentar."
Thi Peng-koh mengikuti bayangan kedua orang itu hingga menghilang di kejauhan, tubuhnya rada gemetar, dengan mengertak gigi mendadak ia melompat bangun terus berlari kembali ke arah hotel kecil itu.
Sebuah kamar di hotel itu kini sudah menyalakan lampu.
Waktu Peng-koh tiba di situ, dilihatnya jendela kamar itu terbuka lebar, di luar dan di dalam tergeletak tiga sosok mayat, seorang lelaki kekar yang tak dikenalnya sedang mengurut punggung seorang nona di atas ranjang.
Dan Kang Giok-long berdiri di belakang lelaki itu.
Sorot mata Kang Giok-long tampak gemerdep aneh, ujung mulutnya menampilkan senyum kejam, dia sedang menatap punggung lelaki itu, dan perlahan-lahan mengangkat tangannya.
Begitu sampai di depan jendela, belum lagi tahu apa yang terjadi sesungguhnya, demi nampak tindakan Kang Giok-long itu, tanpa pikir ia terus berseru.
"Kang Giok-long, kau ...."
Mendengar suaranya, dengan cepat Yan Lam-thian menoleh, air mukanya berubah seketika, nyata dia telah merasakan gelagat jelek.
Namun sudah terlambat, tangan Kang Giok-long dengan keras telah menghantam punggungnya.
Yan Lam-thian meraung keras-keras, darah segar lantas tersembur keluar menyirami sekujur badan Buyung Kiu yang ramping itu.
Bilamana dia tidak lagi mengerahkan Lwekang untuk menolong orang, mana dapat Kang Giok-long melukainya ....
Tapi Kang Giok-long sendiri juga tergentak kaget oleh suara raungan keras itu, ia terhuyung-huyung mundur mepet dinding.
Terlihat wajah beringas Yan Lam-thian, matanya melotot, bentaknya parau.
"Kaum tikus, sudah kutolong jiwamu, tapi malah berani memperdayai diriku?"
Seluruh ruas tulangnya seakan-akan berbunyi berkeriutan, perbawanya sedikit pun tidak berkurang daripada biasanya. Saking ketakutan hingga kaki Kang Giok-long terasa lemas.
"bluk", ia jatuh duduk di pojok dinding, tenaga untuk merangkak bangun saja rasanya tidak ada. Dengan tangan menggapai Yan Lam-thian mendekati Kang Giok-long setindak demi setindak, bentaknya.
"Sesungguhnya siapa kau? Mengapa kau memperdayai aku? Bicara lekas!"
Mana berani Kang Giok-long memandangnya, diam-diam ia melirik ke arah Thi Peng-koh yang berada di luar jendela, sorot matanya tidak segarang seperti tadi, tapi kini penuh rasa mohon belas kasihan.
Di samping terkejut Peng-koh juga gusar melihat perbuatan licik dan keji Kang Giok-long itu, tapi demi melihat sorot matanya yang memelas itu hati si nona menjadi lemas lagi.
Entah mengapa, di luar sadarnya ia terus melompat masuk dan melontarkan suatu pukulan keras.
Tapi lantas terdengar raungan mengguntur, robohlah Yan Lam-thian akhirnya.
Dengan girang Kang Giok-long melompat bangun, bentaknya dengan tertawa terhadap Yan Lam-thian.
"Haha, apakah kau ingin tahu siapa aku ini? Baik, kukatakan padamu, aku adalah putra kesayangan Kang-lam-tayhiap, Kang Giok-long adanya. Anak murid Bu-tong-pay apa segala, bagiku tidak laku sepeser pun."
Yan Lam-thian terkejut dan melenggong, akhirnya memejamkan matanya dengan perlahan, mendadak ia bergelak tertawa pula dan berseru.
"Bagus, bagus! Selama hidupku malang melintang di seluruh jagat ini, tak tersangka sekarang aku harus mati di tangan kaum tikus celurut macam kau ini."
Kang Giok-long menyeringai, katanya.
"Karena ucapanmu tidak sopan, sebelum ajalmu harus kutambahi sedikit hukuman bagimu."
Setelah melancarkan pukulan tadi, Thi Peng-koh lalu berdiri melenggong sambil memandangi tangan sendiri. Sekarang mendadak ia gunakan tangannya itu untuk menarik Kang Giok-long sambil bertanya.
"Siapa orang ini? Meng ... mengapa hendak kau bunuh dia?"
Sambil menuding mayat yang tergeletak di lantai, Giok-long berkata.
"Jika orang ini tidak kelewat jahat, masa aku tega membunuhnya?"
Peng-koh menghela napas gegetun, ucapnya.
"Biarpun begitu, sekarang ia sudah hampir meninggal, mengapa engkau memukulnya pula?"
Kini ia pun tahu ucapan pemuda bergajul itu tidak dapat dipercaya, tapi mau tak mau ia harus percaya padanya.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maklum ia telah menyerahkan kesuciannya pada anak muda itu.
Seorang anak perempuan bilamana telah menyerahkan kehormatannya pada seorang lelaki, maka itu sama dengan menyerahkan segalanya.
Memangnya apa yang dapat diperbuatnya pula? Dengan tertawa Giok-long mencolek pipi si nona, katanya.
"Baiklah, kau suruh dia minta ampun padaku dan segera kuampuni dia ...."
Peng-koh mengipatkan tangan anak muda itu, katanya.
"Sebentar lagi Hoa Bu-koat akan datang!"
Seketika lenyap senyuman yang menghiasi wajah Kang Giok-long, tanyanya cepat.
"Kau lihat dia?"
"Ya,"
Jawab Peng-koh sambil menggigit bibir.
"Ada pula Kang Siau-hi."
Giok-long tidak bicara lagi, ia tarik Peng-koh terus melangkah pergi.
Baru saja keluar pintu, tiba-tiba ia putar balik, dipanggulnya Buyung Kiu yang meringkuk di tempat tidur itu.
Maklum, setiap barang yang menguntungkan dia selamanya takkan ditinggalkannya begitu saja.
Dengan mudah saja mereka sudah keluar kota kecil itu, dengan sendirinya lantaran Thi Peng-koh mengetahui dari arah mana lagi mereka akan datang dan ke arah mana lagi mereka harus menghindarinya.
Setelah merasa aman, tiba-tiba Giok-long tanya Peng-koh.
"Kau bilang bertemu dengan Hoa Bu-koat, memangnya kau kenal dia?"
"Ehm,"
Peng-koh bersuara singkat. Giok-long memandangnya dengan rasa heran dan sangsi, tanyanya pula.
"Cara bagaimana kau kenal dia?"
Peng-koh memandang jauh ke sana, ia diam agak lama, akhirnya menjawab dengan sekata demi sekata.
"Sebab aku pun anak murid Ih-hoa-kiong ." *** (. ) Di jurusan lain Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang berjalan dengan perlahan. Malam sunyi dan gelap. Sekonyong-konyong, dari kejauhan berkumandang suara gerungan yang keras. Meski karena jauhnya tibanya suara gerungan itu kedengaran sudah sangat lirih, tapi seramnya, pedih dan penasaran yang terkandung dalam suara itu masih cukup membuat beku pembuluh darah dan membuat merinding siapa pun yang mendengarnya. Serentak Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat berhenti melangkah. Keduanya tertegun sejenak, tanpa bicara apa pun mendadak keduanya lari ke arah datangnya suara itu. Kota kecil itu terbenam dalam keheningan malam seperti tiada terjadi sesuatu. Hanya di depan pintu hotel kecil itu ada seorang sedang tumpah-tumpah sambil memegangi daun pintu. Itulah "pelayan"
Merangkap pemilik hotel, ia mendengar dan melihat semua kejadian di hotelnya, serentetan pembunuhan telah berlangsung dengan kejam, tapi dia tak berdaya, hanya tumpah-tumpah belaka, rasanya ingin menumpahkan semua penderitaan dan rasa malunya.
Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tetap tidak bicara, keduanya cuma saling memberi tanda, berbareng terus menerjang ke dalam hotel dan menemukan kamar yang ada penerangannya itu.
Maka dapatlah mereka menemukan Yan Lam-thian yang menggeletak di tengah genangan darah.
Yan Lam-thian telah ambruk.
Ini seperti gunung mendadak longsor di depan mereka, laksana bumi tiba-tiba merekah di depan mereka.
Seketika mereka terkesima seperti patung.
Tapi Yan Lam-thian masih dapat bergerak, ia meronta-ronta dan membuka mata, mukanya yang sudah mulai kaku itu menampilkan secercah senyuman getir, katanya dengan lemah.
"Ka ...
kalian sudah ...
sudah datang, ba ...
bagus ...
bagus sekali ."
Akhirnya Hoa Bu-koat menubruk maju, ia berjongkok dan berseru dengan suara parau.
"Wanpwe datang terlambat."
"Tidak, kau ... kau tidak terlambat,"
Ucap Yan Lam-thian dengan tersenyum pedih. "Sebelum ajalku dapat kulihat kalian, mati pun aku tidak menyesal."
Segera Siau-hi-ji mengangkat tubuh pendekar besar itu dari pelimbahan darah sambil berteriak.
"Tidak, engkau takkan mati, tiada seorang pun yang dapat membunuh engkau."
"Keadaan lukaku cukup kuketahui sendiri,"
Ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum. Mendadak Hoa Bu-koat juga berteriak.
"Siapa yang turun tangan sekeji ini padamu? Siapa?"
"Kang Giok-long!"
Jawab Yan Lam-thian. Bu-koat menarik napas panjang-panjang, ucapnya dengan sekata demi sekat.
"Kuberjanji padamu, aku pasti akan membunuh dia untuk membalas sakit hatimu."
Kembali Yan Lam-thian bergelak tertawa, ia berpaling ke arah Siau-hi-ji. Selama ini anak muda itu pun memandangnya dengan tajam, mendadak ia berteriak.
"Tidak perlu dia membunuh Kang Giok-long. Kang Giok-long adalah bagianku, tak peduli siapa pun juga Locianpwe ini, pasti akan kubalas sakit hati Locianpwe."
Kembali Hoa Bu-koat melengak, serunya.
"Tak peduli siapa pun juga Locianpwe ini? Maksudmu ... Locianpwe ini bukan Yan-tayhiap?"
Siau-hi-ji diam saja, tapi "Yan Lam-thian"
Lantas bergelak tertawa, meski tertawa yang menderita, dahi sudah penuh butiran keringat, tapi dia masih terus tertawa. Katanya kemudian sambil menatap Siau-hi-ji.
"Kukira dapat mengelabui siapa pun juga, tak tahunya akhirnya toh tak dapat mengelabuimu."
Bu-koat berteriak pula.
"Jadi Locianpwe memang bukan Yan Lam-thian, Yan-tayhiap?"
"Yan Lam-thian hanya salah seorang sahabat karibku ...."
Cepat Bu-koat bertanya pula.
"Lantas Cianpwe sendiri ....?"
"Aku she Loh,"
Jawab Yan Lam-thian. "Loh Tiong-wan? Jangan-jangan Cianpwe inilah "Lam-thian-tayhiap"
Loh Tiong-wan tukas Siau-hi-ji. "Jadi kau pun tahu namaku?"
Ucap Loh Tiong-wan dengan tersenyum. "Sejak umur lima Tecu sudah mendengar nama Locianpwe,"
Jawab Siau-hi-ji dengan gegetun.
"Si tangan berdarah Toh Sat, meski dia hampir mati di tangan Locianpwe, tapi selamanya dia sangat kagum padamu."
"Tapi ... tapi mengapa Loh-tayhiap memalsukan nama Yan-tayhiap?"
Tanya Bu-koat. "Sebab ... sebab Yan ...."
Lantaran tertawa keras tadi, napasnya jadi semakin memburu, tenaganya sudah lemah, untuk bicara saja kini tampaknya sangat payah. "Urusan ini sudah dapat kuterka sebagian, biarlah aku yang bicara bagi Loh-tayhiap saja,"
Kata Siau-hi-ji.
"Bilamana uraianku betul, boleh Loh-tayhiap mengangguk, dan bila keliru nanti Cianpwe sendiri bercerita lagi."
Sorot mata Loh Tiong-wan menampilkan rasa memuji dan setuju, dengan tersenyum getir ia mengangguk. Setelah merenung sejenak, lalu Siau-hi-ji berkata.
"Sesudah Yan-tayhiap lolos dari Ok-jin-kok, meski pikirannya sudah mulai jernih, tapi ilmu silatnya seketika tak dapat pulih seluruhnya, betul tidak?"
Loh Tiong-wan mengiakan sambil mengangguk. "Setelah meninggalkan Ok-jin-kok, beliau lantas dapat menemukan Loh-tayhiap, begitu bukan?"
"Betul,"
Jawab Loh Tiong-wan.
"Sepanjang jalan, menurut pengamatannya, Yan-tayhiap merasa bakal terjadi kekacauan besar di dunia Kangouw, cuma sayang beliau sendiri tidak sanggup mencegahnya, maka beliau lantas minta Loh-tayhiap suka memberi bantuan.
Demikian bukan?"
Loh Tiong-wan mengiakan pula. "Beliau juga khawatir ilmu silatnya tiada mendapat keturunan, sebab itulah begitu bertemu dengan Loh-tayhiap segera beliau menghadiahkan kunci ilmu silatnya padamu."
Tapi belum habis uraian Siau-hi-ji ini, Loh Tiong-wan telah menggoyang-goyang kepala dan berkata.
"Salah!"
Siau-hi-ji berpikir sejenak, ucapnya kemudian.
"Mungkinkah Loh-tayhiap mengetahui kekuatan Yan-tayhiap tak dapat pulih dalam waktu singkat, sebab itulah Loh-tayhiap menghendaki beliau mengajarkan kunci ilmu silatnya ...."
Loh Tiong-wan menghela napas, ucapnya dengan megap-megap.
"Soalnya pada belasan tahun yang lalu aku pernah kecundang di tangan Gui Bu-geh. Sesudah itu baru kusadari kepandaianku masih jauh daripada cukup, sebab itu pula aku lantas mengasingkan diri ...."
Sampai di sini wajahnya menampilkan rasa menderita pula. Siau-hi-ji lantas menyambungnya.
"Sebab itulah ketika Yan-tayhiap minta Locianpwe muncul kembali, Cianpwe khawatir ilmu silat sendiri tidak cukup kuat, maka engkau telah mohon Yan-tayhiap mengajarkan kunci ilmu silatnya padamu, demikian bukan?"
Loh Tiong-wan tersenyum dan mengangguk. "Dan lantaran inilah, pula Loh-tayhiap tidak bertindak untuk keuntungan sendiri, maka kemunculanmu di dunia Kangouw sekali ini Loh-tayhiap sengaja menggunakan namanya Yan-tayhiap,"
Siau-hi-ji merandek sejenak, kemudian menyambung lagi dengan tertawa.
"Dengan kedudukan Loh-tayhiap dengan sendirinya tidak suka menggunakan ilmu silat Yan Lam-thian untuk menambah keharuman nama Lam-thian-tayhiap.
Entah betul tidak tebakan Tecu ini?"
"Selain itu masih ada pula satu hal,"
Ucap Loh Tiong-wan dengan tersenyum. Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Jangan-jangan Yan-tayhiap telah memperhitungkan kawanan Ok-jin penghuni Ok-jin-kok itu akan berbondong-bondong keluar setelah beliau meninggalkan Ok-jin-kok, beliau khawatir kawanan Ok-jin itu akan mengacau Kangouw pula dengan macam-macam kejahatan mereka, beliau tahu hanya nama Yan Lam-thian saja yang masih dapat mempengaruhi mereka, sebab itulah Loh-locianpwe telah diminta menggunakan nama beliau untuk sementara."
"Kau benar-benar anak pintar,"
Ujar Loh Tiong-wan dengan gegetun.
"Tapi ... tapi aku yakin setelah belajar ilmu silat Yan Lam-thian, bahkan telah kumohon Ban Jun-liu merias mukaku sedemikian rupa sehingga gaya dan suara Yan Lam-thian telah banyak kutiru dengan baik, sungguh aku tidak paham mengapa tetap tak dapat mengelabui kau."
Mungkin soal inilah yang paling membingungkan dia, sebelum jelas mendapatkan jawabannya mungkin mati pun dia tetap penasaran, sebab itulah dengan sekuatnya dia mengajukan pertanyaan ini walaupun keadaannya sudah sangat payah.
Dengan gegetun Siau-hi-ji menjawab.
"Waktu Cianpwe melihat diriku, sepantasnya engkau membicarakan Ban Jun-liu, tapi Cianpwe seakan-akan lupa sama sekali akan paman Ban, sebab itulah tatkala mana aku sudah mulai curiga."
"Dan ke ... kemudian?"
Tanya Loh Tiong-wan.
"Kupikir pula, setelah mengalami siksa derita selama belasan tahun, baik jasmani maupun rohani, Yan-tayhiap sudah banyak mengalami perubahan, tapi sikap Loh-cianpwe ternyata tetap serupa Yan-tayhiap pada belasan tahun yang lampau sebagaimana menurut cerita orang, ini jelas tidak wajar dan pada hakikatnya tidak mungkin.
Sebab kutahu dari dekat siksa derita selama belasan tahun yang dialami Yan-tayhiap, rasanya tidak mungkin seorang sanggup bertahan seperti sedia kala setelah mengalami penderitaan sehebat itu."
"Betul,"
Kata Loh Tiong-wan dengan pedih.
"Yan Lam-thian memang ... memang sudah banyak berubah."
Suaranya sangat lemah sehingga hampir-hampir tak terdengar oleh Siau-hi-ji.
Masih ada sesuatu yang belum terpapar dan ini kunci daripada segala persoalannya.
Umpama dia benar-benar Yan Lam-thian adanya, mustahil dia tidak kenal Kang Piat-ho sekarang sebenarnya adalah Kang Khim di masa lalu.
Tapi dia sudah berjanji pada Kang Piat-ho terpaksa dia harus menyimpan rahasia ini.
Ksatria besar begini, bilamana dia sudah berjanji sesuatu, maka sampai mati pun dia tetap akan pegang janji.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya pula.
"Sekarang kumohon sukalah Cianpwe memberitahukan padaku di manakah Yan-tayhiap, paman Yan?"
Loh Tiong-wan tidak menjawab, kembali dia memejamkan matanya, bahkan memejamkan mata untuk selamanya.
Kini Lam-thian-tayhiap Loh Tiong-wan telah istirahat selamanya di liang lahatnya.
Di kota kecil sunyi begini, upacara penguburan tentu saja berlangsung dengan sangat sederhana, tapi juga sangat khidmat.
Sementara itu senja sudah tiba pula.
Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang berdiri tegak dengan perasaan berat di depan makam Loh Tiong-wan, mengheningkan cipta dan berdoa bagi arwah pendekar besar itu.
Cuaca remang-remang, suasana senja sunyi senyap, musim rontok terasa sudah hampir lalu.
Sampai tabir malam sudah menyelimuti bumi dan sinar bintang-bintang berkelip di langit barulah mereka meninggalkan tempat ini.
Bu-koat menengadah dan mendesis, ucapnya dengan gegetun.
"Kawanan durjana merajalela, dunia Kangouw belum lagi aman, meninggalnya Loh-tayhiap teramat dini .... Bahkan di mana beradanya Yan-tayhiap tidak sempat dia katakan lantas mengembuskan napasnya yang penghabisan, sungguh membuat yang hidup ini merasa serba susah."
"Kuyakin Loh-tayhiap tahu di mana beradanya Yan-tayhiap,"
Ujar Siau-hi-ji dengan gegetun.
"Sebelumnya beliau tidak mengatakan hal ini, mungkin beliau memang tidak mau memberitahukan pada kita."
"Tidak mau memberitahukan pada kita, sebab apa?"
Tanya Bu-koat. "Sebabnya sukar kukatakan,"
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir.
"Bisa jadi dia tidak ingin Yan-tayhiap diganggu orang lain, mungkin pula Yan-tayhiap sudah ... sudah meninggal, maka dia tidak mau membuatku berduka."
"Mudah-mudahan seumur hidupku ini dapat bertemu dengan Yan-tayhiap, kalau tidak ..."
Ucap Bu-koat dengan murung. Mendadak Siau-hi-ji membusungkan dada, serunya.
"Sudah tentu kau akan bertemu dengan dia, sudah pasti dia takkan meninggal. Sebelum beliau menyaksikan aku terkenal di dunia ini mana dia mau mati begitu saja."
Bu-koat menatapnya dengan tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa.
"Ya, betul, bilamana Yan-tayhiap tidak mau meninggal, siapa pun tak dapat membuatnya meninggal, bahkan Giam-lo-ong (raja akhirat) juga tidak terkecuali. Dan pada suatu hari pastilah dapat kulihat dia."
"Bagus, tepat sekali ucapanmu, nada perkataanmu sekarang hakikatnya serupa dengan aku,"
Seru Siau-hi-ji sambil tertawa.
"Selang tujuh puluh lima hari lagi, seumpama aku jadi mati, tentunya kau dapat hidup terus bagiku."
Perasaan Bu-koat kembali tertekan, ia termangu agak lama, tiba-tiba ia tanya.
"Dan sekarang juga kau hendak pergi ke Ku-san?"
"Marilah kita pergi bersama, kujamin pasti akan menyaksikan permainan yang menarik dan tegang,"
Kata Siau-hi-ji. Bu-koat menunduk, jawabnya dengan perlahan.
"Tapi aku tak dapat menemanimu pergi ke sana."
"Tidak dapat? Sebab apa?"
Tanya Siau-hi-ji. "Tiba-tiba kuingat suatu urusan yang harus kukerjakan, sesuatu urusan ... urusan penting."
Siau-hi-ji tercengang sejenak, serunya kemudian.
"Tapi waktu berkumpul kita hanya tinggal tujuh puluh lima hari lagi, masa engkau tidak sudi menemani aku?"
Bu-koat memandang jauh ke remang sinar bintang di langit, jawabnya dengan perlahan.
"Bilamana urusan ini berhasil kuselesaikan dengan baik, maka persahabatan kita pasti takkan terbatas cuma tujuh puluh lima hari saja."
Siau-hi-ji menatapnya dengan tajam, serunya pula.
"Apakah engkau pulang ke Ih-hoa-kiong?"
"Kenapa kau paksa jawabanku?"
Ucap Bu-koat dengan tersenyum getir.
"Jangan-jangan engkau ingin memohon Ih-hoa-kiongcu agar mereka jangan membunuh diriku?"
"Aku cuma ingin pulang untuk bertanya kepada mereka apa sebabnya mereka menyuruh aku membunuhmu."
"Kau kira mereka akan memberitahukan padamu?"
"Sedikitnya, aku harus minta penjelasan mereka."
"Kutahu, kau pun serupa diriku, kalau sudah bertekad berbuat sesuatu, maka tiada seorang pun yang dapat mengalang-alangimu.
Tapi ingin tetap kukatakan padamu bahwa ada sementara orang yang hidupnya ditakdirkan akan berakhir dengan tragis, banyak terjadi hal begini di antara lelaki dan perempuan, di antara persahabatan juga demikian,"
Ia tersenyum pahit, lalu menyambung.
"Ada sementara lelaki dan perempuan, walaupun sudah jelas saling mencintai dengan sangat mendalam, tapi akhirnya justru tidak keruan jadinya, dan inilah kehidupan manusia. Mengenai nasib kita, tampaknya kita memang sudah ditakdirkan tak dapat bersabahat, seumpama kelak kau dibolehkan tak jadi membunuh diriku tapi bukan mustahil aku yang akan membunuhmu malah."
Bu-koat termangu-mangu agak lama, ia tersenyum hambar, katanya.
"Kang Siau-hi, memangnya kau sudah bertekuk lutut menyerah kepada nasib?"
Siau-hi-ji terkejut, serunya sambil tertawa.
"Baiklah, silakan berangkatlah, betapa pun juga kita toh pasti akan bertemu lagi dan ini pun sudah cukup menggembirakan bilamana terkenang." *** (. ) Musim rontok, pepohonan layu dan bunga berguguran Tapi di tempat ini justru bunga sedang mekar dengan suburnya, ada bunga seruni, peoni, mawar, anggrek, sedap-malam dan macam-macam lagi. Bunga yang seharusnya tidak mekar pada suatu tempat, tidak layak mekar sekaligus pada waktu yang sama, kini justru mekar di sini. Tempat ini terletak di pegunungan yang terpencil, di puncak yang curam sepantasnya diliputi kabut yang tebal dan lembap dengan angin yang semilir dingin, tapi di sini cahaya mentari justru benderang laksana kemilau emas, suhu di sini menjadi terasa hangat seperti di musim semi. Tempat ini pada hakikatnya telah meniadakan segala macam hukum alam, di sinilah suatu dunia lain. Siapa pun kalau berada di sini pasti akan dimabukkan oleh lautan bunga yang semerbak itu dan melupakan segala macam duka derita alam sana, lebih-lebih akan melupakan bahaya, melupakan segalanya. Tapi di sini pula adalah tempat yang paling misterius, tempat yang paling berbahaya di dunia. Inilah Ih-hoa-kiong!! Istana Aneka Bunga. Inilah tempat yang dipuja, dikagumi dan juga ditakuti oleh kebanyakan orang Kangouw. Di tengah lautan bunga itu ada sebuah istana yang mentereng, di bawah cahaya mentari yang benderang itu kemegahan istana ini semakin indah laksana dibangun dengan kemala putih dan emas murni, mencorong menyilaukan pandangan mata. Di semak-semak bunga sana tampak empat gadis sedang menyiram air, menyapu daun rontok dan memotong tangkai-tangkai pohon, selain itu tiada bayangan orang lagi dan tiada sesuatu suara apa pun. Gadis-gadis itu adalah anak dara cantik yang jarang ditemukan, tapi pada wajah mereka yang molek itu tampak mengandung perasaan lesu, dingin, hampa. Gadis yang sedang menyiram itu sebenarnya sudah kehabisan air, tapi ia tidak menyadari hal ini, dia termangu-mangu memandangi awan di langit. Yang sedang memotong ranting bunga itu juga berdiri mematung dengan memegang gunting, terkesima entah apa yang sedang dipikirkan. Yang menyapu juga berdiri tertegun memegangi sapunya sambil memandang daun rontok di sekitar kakinya seperti orang linglung tanpa menghiraukan sinar matahari yang panas. Dunia yang hidup dan semarak ini setiba di sini rasanya telah berubah seluruhnya, berubah menjadi sunyi dan hambar. Walaupun hari di musim rontok lebih singkat daripada musim lainnya, tapi di sini hari terasa seperti sangat panjang. Pemandangan indah di tempat yang laksana surga ini ternyata sedemikian hampa dan sunyi menakutkan. Akan tetapi, meski tubuh gadis-gadis cilik itu tak bergerak, namun hati mereka sedang bergolak dan memberontak laksana api di dalam sekam yang membakar secara diam-diam. Mereka masih muda belia, masa tiada gairah dan semangat remaja? Memangnya di tempat yang indah permai ini gairah remaja juga telah berubah sama sekali? Di tempat ini gairah apa pun memang tak dapat hidup, mereka sedang termenung, hati mereka sudah terbang jauh ke sana, ke samping sang pangeran menurut khayalan mereka. Terkadang mereka benar-benar ingin meninggalkan tempat ini tanpa menghiraukan segala akibatnya. Akan tetapi pada saat demikian itu justru ada seorang gadis sedang merangkak ke situ tanpa menghiraukan apa pun. Pakaian gadis itu mestinya putih mulus, tapi kini telah kotor dan berlepotan darah, wajahnya yang cantik itu kini tampak kurus dan pucat. Siapa pun pasti dapat melihatnya bahwa si gadis pasti telah banyak berkorban dan menahan siksa derita untuk datang ke tempat yang misterius ini. Setiba di sini, sekujur badannya terasa sudah lunglai, bibir kering dan pecah, perut terasa kecut, untuk berdiri saja tidak kuat, terpaksa ia merangkak dan merangkak, dengan merangkak pun ia ingin mencapai puncak itu. Tangannya yang halus dan indah itu kini juga berlumuran darah, hampir saja ia jatuh pingsan, tapi bau harum bunga telah membangkitkan semangatnya. Gadis yang memegang sapu tadi mendadak berseru.
"He, ada orang datang!"
Sorot matanya yang dingin itu tiba-tiba memancarkan cahaya yang hangat.
Mata ketiga gadis yang lain juga memancarkan cahaya, cahaya yang terpencar dari mata mereka ini dapat dilukiskan seperti pancaran sinar mata seekor kucing yang mengantuk di samping tungku dan mendadak melihat tikus.
Kalau nafsu dan hasrat seorang terlalu lama dikekang, untuk melampiaskan hanya ada dua jalan, memperlakukan orang lain secara sadis dan membuat orang lain menderita adalah salah satu jalan tersebut.
Nona yang merangkak dari bawah gunung itu bukan lain daripada Thi Sim-lan! Sudah tentu ia tahu misteriusnya Ih-hoa-kiong dan bahayanya, tapi ia tidak pedulikan semua itu.
Apa pun juga ia harus datang ke sini, tujuannya hanya satu, yaitu ingin tanya kepada Ih-hoa-kiongcu.
"Mengapa Hoa Bu-koat diharuskan membunuh Kang Siau-hi-ji?"
Kini suasana semarak dengan bunga mekar semerbak itu sudah dilihatnya, tanpa terasa ia menghela napas lega, segala penderitaan sudah dilaluinya.
Ia tidak menyadari bahwa penderitaan yang sesungguhnya belum lagi memulai.
Dilihatnya dari semak-semak bunga sana melayang keluar empat gadis cilik, wajah mereka cantik molek, gaya mereka begitu indah, tertawa mereka begitu riang dan menggiurkan.
Thi Sim-lan meronta-ronta berusaha merangkak bangun, sedapatnya ia tertawa dan berkata.
"Namaku Thi Sim-lan, mohon para Cici suka .... Belum habis ucapnya, belum lagi tegak ia merangkak bangun, tahu-tahu salah seorang gadis cilik itu telah melompat maju, sekali tendang Thi Sim-lan didepak hingga jatuh terguling. Kejut dan gusar tidak Thi Sim-lan, serunya dengan suara parau.
"Masa nona tidak tidak mengizinkan orang bicara?"
Gadis cilik itu memandangnya dengan tertawa tanpa menjawabnya, tapi malah berkata.
"Kami tidak peduli apa yang hendak kau katakan, yang jelas kami harus berterima kasih padamu."
"Berterima kasih padaku?"
Thi Sim-lan mengulang ucapan ini dengan melenggong. "Ya, tahukah kau bahwa selama di sini kami tak pernah bergembira, waktu bergembira satu-satunya ialah bilamana ada orang menerobos masuk ke sini,"
Kata gadis cilik tadi. "Tapi ... tapi kedatanganku hanya ingin menemui Kiongcu untuk bicara satu kalimat saja,"
Seru Sim-lan. "Apakah kau tahu cara bagaimana Kiongcu telah memberi pesan pada kami?"
Tanya gadis tadi dengan tertawa.
Sim-lan menggeleng kepala.
"Pesan Kiongcu pada kami, barang siapa berani menerobos ke Ih-hoa-kiong sini, tak peduli siapa dia kami diperbolehkan membunuhnya, bahkan terserah kepada kami cara bagaimana akan membunuhnya."
Sekujur badan Thi Sim-lan serasa merinding.
Sudah tentu ia paham apa artinya ucapan "diperbolehkan membunuhnya dengan cara bagaimana pun".
Ia juga perempuan, dengan sendirinya juga lebih paham bila seorang perempuan hendak memperlakukan sesuatu pada sesama perempuan, caranya bisa jauh lebih keji dan mengerikan daripada cara lelaki memperlakukan perempuan.
Sementara itu keempat gadis cilik tadi telah merubung maju dan makin maju sehingga Thi Sim-lan terkepung di tengah.
Dengan sorot mata yang liar mereka mengincar tubuh Thi Sim-lan, napas mereka mulai memburu, ujung hidung mereka pun mulai merembeskan butiran keringat.
Sim-lan gemetar, teriaknya parau.
"Seumpama kalian harus membunuhku, berilah kesempatan padaku untuk menemui Kiongcu."
Si gadis tadi tertawa nyekikik, katanya.
"Selama hidupmu ini jangan harap akan dapat menemui beliau."
Wajah si gadis makin mendekat, Thi Sim-lan sudah dapat melihat biji mata orang yang berkembang besar laksana mata kucing di waktu malam, hidungnya tampak berkembang-kempis, sambil menjilat-jilat bibir terkadang juga menyeringai, sehingga kelihatan barisan giginya yang putih.
Mendadak gadis itu mengulurkan tangannya untuk menarik baju Thi Sim-lan.
Dengan mati-matian Thi Sim-lan meronta dan membela diri, seumpama menghadapi seorang pemuda bangor di tengah malam rasanya juga tidak setakut seperti sekarang ini.
Beberapa gadis ini seakan-akan sudah berubah menjadi serigala betina yang sedang berahi, mereka seolah-olah lupa bahwa Thi Sim-lan juga anak perempuan seperti mereka sendiri.
Yang mereka inginkan hanya pelampiasan ...
tanpa peduli siapa sasarannya.
Empat pasang tangan mereka yang halus itu seakan-akan sudah berubah menjadi delapan buah cakar yang tajam.
Sekujur badan Thi Sim-lan terasa digerayangi, terutama bagian dada, pinggul, bahkan bawah perut.
Dengan segenap tenaganya Thi Sim-lan berusaha mempertahankan diri, tapi sukar untuk melawan, terasa cakar yang tajam telah menggores kulit badannya, hanya terasa darah sedang mengalir keluar dari tubuhnya.
Ia pun dapat merasakan suara tertawa mereka yang semakin menggila.
Ini benar-benar pemandangan yang gila, busuk dan memalukan, pemandangan yang sukar dibayangkan.
Bilamana nafsu seseorang terkekang terlalu lama, sungguh bisa meledak menjadi sesuatu yang lebih menakutkan daripada apa pun.
Lambat-laun Thi Sim-lan kehabisan tenaga dan tidak sanggup melawan lagi.
Perlahan ia tidak merasakan apa-apa pula.
Dalam keadaan putus asa dan antara sadar tak sadar, samar-samar seperti didengarnya seorang membentak.
"Lepaskan dia ... lepaskan dia! ...."
Habis itu ia benar-benar tidak ingat sesuatu lagi, ia mengira dirinya takkan siuman untuk selamanya.
Tapi akhirnya dia toh siuman.
Setelah sadar, ia merasa dirinya berbaring di suatu ranjang yang lunak dan berbau harum, cahaya mentari sudah tidak kelihatan, tapi sinar lampu seakan-akan lebih cemerlang dari pada sinar matahari.
Benderang sinar lampu membuatnya silau dan sukar membentangkan matanya, ia pejamkan mata pula, waktu dia membuka lagi matanya, segera dilihatnya Hoa Bu-koat.
Anak muda itu pun sedang memandangnya dengan lembut, di bawah cahaya yang benderang ini tampaknya dia lebih menyerupai seorang pangeran dalam dongeng, begitu gagah, begitu cakap dan begitu agung.
Thi Sim-lan berkeluh perlahan, ucapnya.
"Hoa Bu-koat, benarkah engkau Hoa Bu-koat."
Dengan lembut Bu-koat tertawa, jawabnya dengan suara halus.
"Betul, memang akulah, jangan takut, aku berada di sampingmu."
Thi Sim-lan memejamkan pula matanya, ucapnya dengan lirih dan gegetun.
"Hoa Bu-koat, bilamana aku menghadapi bahaya, mengapa engkau selalu muncul menolong diriku!"
Dalam hati Bu-koat juga merasa gegetun, tapi di mulut dia berkata dengan tertawa.
"Jangan lupa, inilah Ih-hoa-kiong, di sinilah rumahku. Kau mengalami cedera di sini, sungguh aku sangat menyesal!"
Mendadak Thi Sim-lan meronta ingin bangun serunya dengan parau.
"Kumohon dengan sangat bawalah diriku menemui Kiongcu? Tanpa menghiraukan bahaya apa pun juga kudatang ke sini hanya ingin menemui beliau."
"Kepulanganku ini juga ingin menemui beliau,"
Ujar Bu-koat dengan tersenyum pahit.
"Cuma sayang, beliau sudah lama keluar."
Thi Sim-lan menjatuhkan diri pula di ranjang serunya.
"Mereka keluar semuanya?"
"Ya, kedua Kiongcu sama keluar istana, hal ini memang jarang terjadi,"
Kata Bu-koat. "O, mengapa nasibku selalu begitu buruk,"
Keluh Sim-lan dengan sedih.
"Aku ... aku ...."
Ia tidak sanggup melanjutkan pula karena tenggorokannya serasa tersumbat, ia menutupi kepalanya dengan selimut dan tersedu-sedan. Bu-koat melenggong sejenak, katanya kemudian.
"Kukira ... kutahu maksud kedatanganmu justru untuk urusan yang sama kupulang untuk menanyai beliau, tak tersangka kedua beliau sudah cukup lama meninggalkan istana."
Thi Sim-lan menangis terguguk-guguk di dalam selimut, tiba-tiba ia bertanya pula.
"Selama ini, apakah engkau pernah melihat dia?"
Tanpa menyebut namanya, orang lain juga tahu siapa si "dia"
Yang dimaksudnya. Dengan suara lembut Bu-koat menjawab dengan tertawa.
"Dia sangat baik sekarang, kau tidak perlu khawatir baginya."
Walaupun sedapatnya dia berlagak acuh, tapi di antara tertawanya terkandung juga rasa getir. Akhirnya Thi Sim-lan menongolkan kepalanya dari dalam selimut, tanyanya pula dengan bimbang.
"Apakah kau tahu, sekarang dia berada di mana?"
Sebisanya Bu-koat tertawa riang, jawabnya lembut.
"Kutahu, asalkan kau sehat kembali segera dapat kubawamu pergi mencarinya."
Si nona menatapnya dengan tajam, tanpa terasa air matanya bercucuran, ucapnya dengan gemetar.
"Mengapa ... mengapa engkau senantiasa begini baik padaku, engkau ... engkau ...."
Cepat Bu-koat mengalihkan pokok pembicaraan, katanya.
"Sungguh aku sangat menyesal kejadian tadi, cuma mereka ... mereka sesungguhnya juga anak-anak perempuan yang harus dikasihani, lantaran kesepian, makanya mereka berubah menjadi begini. Kuharap engkau dapat memaafkan mereka."
Thi Sim-lan menutupi mukanya dengan tangan, jawabnya sambil mengangguk.
"Ya, kutahu, bilamana seorang anak perempuan berubah seperti mereka, di balik ini pasti ada sebab musababnya yang pahit getir, hidup mereka mungkin sekali jauh lebih malang daripadaku."
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itulah tiba-tiba di luar berkumandang semacam suara yang aneh, suara itu tidak tajam dan juga tidak seram, tapi membuat orang merinding tanpa terasa.
Suara itu kalau didengarkan dengan cermat rasanya mirip suara gergaji, jika didengarkan lebih lanjut rasanya juga mirip suara pergesekan logam yang membuat orang ngilu dan risi.
Menyusul lantas terdengar jerit kaget para anak perempuan.
Kejut dan heran Thi Sim-lan, tanyanya.
"Suara apakah itu? Mengapa begitu aneh?"
Air muka Hoa Bu-koat juga berubah, jawabnya cepat.
"Biar kuperiksa keluar."
Dia tahu, meskipun anak murid Ih-hoa-kiong hampir seluruhnya adalah anak gadis, tapi sama sekali tiada seorang pun yang mudah ketakutan.
Jika ada sesuatu yang dapat membuat mereka menjerit kaget, maka persoalannya pasti tidak sederhana.
Thi Sim-lan melihat pakaian sendiri sudah berganti dengan cukup rapi, cepat ia pun melompat turun dari tempat tidur dan berseru.
"Aku pun ikut keluar."
"Tapi lukamu belum ...."
"Berada di sampingmu, apa yang perlu kutakuti?"
Belum habis ucapannya muka si nona lantas merah.
Diam-diam Bu-koat gegetun pula di dalam hati, tapi sementara itu suara yang berisik aneh tadi makin ramai sehingga membuatnya tidak sempat memikirkan urusan lain.
Cepat kedua orang memburu keluar, tertampak para gadis sama sembunyi di serambi depan, semuanya pucat ketakutan, bahkan ada yang gemetar.
Waktu mereka memandang ke sana, terlihat di tengah lautan bunga sana banyak sekali makhluk hidup yang sedang berloncatan.
"He, tikus!"
Seru Sim-lan.
"Dari mana datangnya tikus sebanyak ini?"
Betul, gerombolan makhluk hidup itu memang betul tikus.
Beratus-ratus bahkan beribu-ribu ekor tikus wirok sebesar kucing sedang berlari kian kemari di tengah kebun bunga, sebagian besar sedang menggerogoti tangkai pohon dan ada pula yang sedang makan daun bunga yang bernilai tinggi itu.
Meski anak murid Ih-hoa-kiong rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun sayang, mereka hampir semuanya adalah wanita.
Harimau mungkin tak membuat mereka takut, tapi tikus, apalagi tikus sebanyak ini, tentu saja mengerikan mereka, sampai-sampai kaki pun terasa lemas.
Cepat Bu-koat melompat ke sana sambil membentak.
"Apakah yang datang adalah anak murid Gui Bu-geh?!"
Suasana sunyi senyap dan tiada bayangan seorang pun.
Yang ada cuma beribu-beribu ekor tikus yang sedang berpesta-pora di kebun bunga itu, kebun bunga yang indah itu dalam sekejap saja telah rusak porak-poranda.
Kejut dan gusar pula Hoa Bu-koat, tapi menghadapi kawanan tikus sebanyak ini, betapa ia pun tidak berdaya.
Di Ih-hoa-kiong, sudah tentu ia tak dapat membakar kawanan tikus itu dengan api dan juga tak dapat membenamnya dengan air, bila diusir, hakikatnya kawanan tikus itu tidak takut manusia.
Jika dibunuh satu per satu, tikus sebanyak ini akan habis terbunuh sampai kapan? Apalagi makhluk yang berbulu dengan mata yang melotot itu berlarian kian kemari, siapa yang tidak ngeri? Sungguh tak terpikir olehnya bahwa Ih-hoa-kiong yang disegani oleh siapa pun juga ternyata tak berdaya menghadapi kawanan tikus yang kotor dan menjijikkan itu.
Sementara itu kebun bunga telah morat-marit, keadaannya tak lagi berwujud kebun bunga yang indah.
Pada saat itulah dari tempat gelap barulah berkumandang suara tertawa keras.
Seorang dengan suara tajam melengking berseru.
"Manusia di seluruh dunia ini kebanyakan memandang rendah tikus, sekarang mereka seharusnya tahu bahwa makhluk yang paling menakutkan di dunia ini adalah tikus."
Seorang lagi menyambung dengan tertawa.
"Cuma sayang Ih-hoa-kiongcu tidak berada di rumah, kalau tidak, menyaksikan bunga kesayangan mereka telah menjadi isi perut tikus kita, bisa jadi mereka akan ganas dan tumpah darah."
Perasaan Bu-koat sekarang malah tenang saja, ia tidak gugup dan cemas lagi dan juga tidak marah seakan-akan seekor tikus pun tidak dilihatnya. Dengan tersenyum simpul ia berseru.
"Jika anak murid Bu-geh sudah datang, mengapa tidak tampil untuk bertemu?"
Terdengar orang pertama tadi bergelak tertawa dan berkata kepada kawannya.
"Sabar juga bocah ini, apakah kau tahu siapa dia?"
Kawannya menjawab.
"Konon penghuni Ih-hoa-kiong adalah kaum betina seluruhnya, mengapa bisa muncul seekor jantan?"
Bu-koat tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan hambar.
"Cayhe Hoa Bu-koat, anak murid Ih-hoa-kiong tulen!"
"Hoa Bu-koat!"
Ulang orang itu.
"Nama ini seperti pernah kudengar."
"Jika begitu marilah kita keluar menemuinya,"
Ajak kawannya.
Belum habis ucapannya, dari tempat gelap di sudut sana mendadak kelihatan bintik-bintik hijau kemilau menyusul dua sosok bayangan orang lantas muncul.
Kedua orang ini sama-sama tinggi dan kurus kering laksana sebatang bambu.
Yang satu memakai baju hijau dan yang lain berjubah kuning.
Wajah mereka sama-sama gilap kehijau-hijauan seperti memakai topeng.
Usia kedua orang ini belum tua, bentuk mereka juga tidak terlalu jelek, tapi entah mengapa, setiap orang yang melihatnya tentu akan merinding dan mual.
Kawanan tikus tadi agaknya juga sudah melihat bintik-bintik hijau kemilau itu, semuanya lantas berkerumun ke sana, berlapis-lapis dan berjubel-jubel mengelilingi kaki kedua orang itu.
Dengan sorot matanya yang kehijau-hijauan si baju hijau memandang Hoa Bu-koat beberapa kejap, lalu berkata dengan terkekeh-kekeh.
"Kau tahu kami ini anak murid perguruan Bu-geh, agaknya luas juga pengalamanmu. Kami jadi merasa sayang bilamana usia semuda kau ini sekarang harus mati."
first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 12:25:34
oleh Saiful Bahri Situbondo
Pedang Angin Berbisik -- Han Meng Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan -- Chin Yung