Bakti Pendekar Binal 4
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 4
Bakti Pendekar Binal Karya dari Khu Lung
Jawab Oh-ti-tu. "Ehm, masuk di akal juga,"
Lamkiong Liu manggut-manggut perlahan. "Jiko, betapa pun aku tak dapat melepaskan mereka biarpun hendak kau lepaskan mereka,"
Seru Siau-sian-li.
"Bukan mustahil pelapor itu secara diam-diam menyaksikan perbuatan mereka yang terkutuk ini lalu kita diberitahu."
"Ya, mungkin juga begitu,"
Kata Lamkiong Liu. "Kalau Wan-ji jelas telah mereka sembelih dan dimakan, dengan sendirinya Kiu-moay juga ... juga ...."
Mendadak nada Siau-sian-li tersendat-sendat dan tidak sanggup meneruskan lagi. Cin Kiam menatap Siau-hi-ji dan Oh-ti-tu dengan sorot mata tajam, katanya dengan suara berat.
"Meski persoalan ini masih meragukan, tapi kalau kalian tidak mampu memperlihatkan bukti bahwa kalian sesungguhnya tidak bersalah, terpaksa sekarang juga kalian harus kami bawa pulang."
"Hm, ramah juga ucapan saudara,"
Jengek Oh-ti-tu.
"Bukan soal bila kami harus ikut kalian, cuma saudara harus juga memperlihatkan bukti nyata berdasarkan apa kalian hendak membawa pulang kami ini?"
"Apakah tusuk kundai ini bukan bukti nyata? Kau masih berani menyangkal?"
Bentak Siau-sian-li. Oh-ti-tu mendelik, tapi sebelum dia bicara Siau-hi-ji telah mendahului dengan mengikik tawa.
"Bilakah kami menyangkal?"
Pedang Siau-sian-li sudah siap untuk menyerang, ia menjadi tercengang mendengar jawaban Siau-hi-ji, tanyanya.
"Jadi kau sudah mengaku?"
"Makan daging manusia kan juga bukan sesuatu yang luar biasa,"
Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Keruan Oh-ti-tu kaget seperti kena dicambuk satu kali, serunya.
"He, apa katamu?"
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia berbalik bicara pula kepada Siau-sian-li dengan tertawa.
"Kiu-moay yang kau maksudkan itu apakah seorang nona yang bermata besar dan bermuka pucat, berusia antara 18-19 tahun dan suka memakai baju hijau muda?"
"Ahh, kau ... kau telah apakan dia?"
Tanya Siau-sian-li dengan suara gemetar. "Telah kuapakan dia, memangnya perlu kukatakan pula?"
Jawah Siau-hi-ji dengan tergelak. Oh-ti-tu menjadi kelabakan, serunya.
"He, apakah kau sudah gila, ngaco-belo tak keruan?"
"Memangnya ada apa dengan soal itu, kenapa kau takut?"
Ucap Siau-hi-ji tertawa. Betapa pun sabarnya Cin Kiam dan Lamkiong Liu, tidak urung air muka pun berubah kini. Siau-sian-li juga lantas berjingkrak gusar, teriaknya.
"Coba dengarkan, dia ... dia sendiri sudah mengaku."
Berbareng itu pedang terus menusuk secepat kilat.
Koh Jin-giok juga tidak tinggal diam, matanya tampak merah, sambil menggerung sekaligus dia melancarkan tiga kali pukulan dahsyat.
Dengan sendirinya tusukan pedang dan pukulan-pukulan itu terarah ke tempat mematikan di tubuh Siau-hi-ji, pedang berkelebat secepat kilat, pukulan sedahsyat geledek, serangan dari kanan kiri ini sungguh lihai luar biasa.
Jika ini terjadi dua tahun yang lalu, maka jelas Siau-hi-ji akan mati di bawah pukulan kalau tidak binasa oleh tusukan pedang.
Tapi Siau-hi-ji sekarang bukan lagi Siau-hi-ji yang ingusan.
Begitu tangan kirinya bergerak tahu-tahu batang pedang Siau-sian-li terasa diusap perlahan, pandangannya menjadi kabur, pedang terasa di tarik oleh arus tenaga yang mahakuat, ujung pedang yang mengarah Siau-hi-ji tahu-tahu menusuk Koh Jin-giok, keruan anak muda itu terkejut dan bergeser.
"bret", lengan bajunya toh sempat tertusuk robek. Gerakan "meraih dan mendorong"
Siau-hi-ji yang sepele ini telah dapat dilakukannya dengan sangat ajaib sehingga mempunyai daya guna yang sama lihainya dengan gerakan "Ih-hoa-ciap-giok"
Yang terkenal dari Ih-hoa-kiong itu, tentu saja kedua lawannya melongo kaget. "He, apakah engkau ini anak murid Ih-hoa-kiong?"
Seru Cin Kiam. Siau-hi-ji tidak menjawab, sebaliknya ia tertawa dan sembunyi di belakang Oh-ti-tu, katanya.
"Meski aku pun makan daging rebus tadi, tapi biang keladinya bukan diriku, mengapa kalian terus mengincar aku saja?"
Koh Jin-giok dan Siau-sian-li merasa heran, sudah terang Siau-hi-ji mendapat kesempatan untuk menyerang pula, tapi hal ini tidak dilakukannya, sebaliknya malah terus sembunyi, saking gusarnya kedua orang itu pun tidak peduli, segera mereka menerjang maju lagi.
Sekali ini gerak serangan mereka tambah keji, tapi cara menyerangnya lebih hati-hati, namun yang kena diterjang lebih dulu bukan lagi Siau-hi-ji melainkan Oh-ti-tu.
Kejut dan dongkol pula Oh-ti-tu, namun dalam keadaan demikian ia pun tidak sempat memberi penjelasan lebih lanjut, sebab kalau dia mau bicara, sebelum berucap mungkin tubuhnya sudah kena dilubangi oleh pedang lawan.
Dan kalau tidak bicara, terpaksa ia harus bertempur.
Begitulah di tengah gemerdepnya sinar pedang serta menderunya angin pukulan, sekaligus Koh Jin-giok dan Siau-sian-li telah melancarkan belasan jurus serangan, selama itu pun Oh-ti-tu telah balas menyerang tiga kali.
Sudah tentu di bawah serangan gencar pukulan Koh Jin-giok dan tusukan pedang Siau-sian-li itu sama sekali Oh-ti-tu tidak sempat membuka mulut, sebaliknya Siau-hi-ji yang sembunyi di belakang malah berseloroh.
"Bagus, memang seharusnya begini, labrak saja mereka, takut apa?"
Oh-ti-tu berkaok-kaok gusar, sedapatnya dia hendak melepaskan diri dari godaan Siau-hi-ji, tapi anak muda itu laksana bayangan saja yang melekat pada tubuhnya, sukar ditinggal dan tidak mungkin berpisah.
Malahan anak muda itu berkeplok tertawa dan berseru.
"Bagus, tusukan pedang yang hebat ....
Aha, pukulan sakti keluarga Koh memang luar biasa! ....
Ai, Oh-ti-tu, tampaknya kau tak sanggup melawan mereka!"
Dalam gusarnya tadi Siau-sian-li dan Ko Jin-giok melancarkan serangan, makanya mereka kena didahului oleh Siau-hi-ji, tapi kini setelah pikiran mereka tenang kembali, gerak serangan mereka menjadi mantap, apalagi pengalaman tempur Siau-sian-li sangat luas, pedangnya menyerang dengan cepat lagi keji, sedangkan Koh Jin-giok melancarkan pukulan dahsyat dengan teratur, keduanya dapat bekerja sama dengan rapi sekali.
Oh-ti-tu juga tokoh ternama, tapi bukan termasyhur karena ilmu silatnya melainkan Ginkangnya, dengan sendirinya dia rada kewalahan menghadapi kerubutan dua jago yang lihai itu, apa lagi di belakangnya ada lagi Siau-hi-ji, tampaknya saja anak muda itu membelanya, tapi sesungguhnya mengacau baginya.
Setelah beberapa kali Oh-ti-tu menghadapi serangan maut, Siau-hi-ji sengaja menghela napas dan berkata.
"Wah celaka! Oh-ti-tu kita yang termasyhur ini tampaknya sekarang harus keok di tangan dua anak ingusan."
Padahal Siau-sian-li dan Koh Jin-giok juga tokoh terkenal di dunia Kangouw dan sama sekali bukan anak ingusan, dengan ucapan ini Siau-hi-ji sengaja hendak memancing kemarahan Oh-ti-tu.
Meski watak Oh-ti-tu memang keras, tapi juga cerdik, walaupun tahu maksud tujuan Siauhi-ji, tidak urung ia pun terpancing murka, ia meraung gusar.
"Sebenarnya apa kehendakmu, orang gila!"
"Jangan bingung dan jangan khawatir!"
Ucap Siau-hi-ji dengan suara tertahan.
"Kalau tidak sanggup melawan, memangnya kau tak dapat lari?"
"Kentut!"
Oh-ti-tu tambah murka.
"Memangnya aku si hitam ini suka mencawat ekor?"
"Oh-ti-tu termasyhur di seluruh dunia karena gerak tubuhnya yang cepat dan ajaib, sekarang kau justru menyampingkan kemahiran sendiri dan bertempur keras lawan keras, caramu ini bukankah terlalu bodoh?"
Kata Siau-hi-ji.
Oh-ti-tu masih terus mengomel, tapi dalam hati ia pun mengakui kebenaran ucapan Siauhi-ji.
Sedikit meleng lantaran bicara dengan Siau-hi-ji, hampir saja iganya tertusuk pedang musuh.
"Kalau sekarang kau dapat mengundurkan diri dengan selamat dan dapat sekaligus membawa serta diriku, bila kejadian ini tersiar di Kangouw, kuyakin pasti tiada seorang pun yang berani berolok-olok, bahkan semua akan kagum padamu,"
Kata Siau-hi-ji pula dengan tenang. Dengan mendongkol akhirnya Oh-ti-tu berkata.
"Baik!"
Baru saja "baik"
Terucapkan sekonyong-konyong Siau-hi-ji menyelinap maju ke depan, dengan gerakan "Toan-giok-hun-kim", potong kemala patah emas, kedua tangannya memukul ke kanan kiri sekaligus.
Karena tidak terduga-duga, kontan Koh Jin-giok dan Siau-sian-li dipaksa melompat mundur.
Pada saat itulah dari lengan baju Oh-ti-tu telah menyambar keluar seutas benang perak terus melayang keluar pintu dan tepat mengait di atas pohon cemara di luar sutheng bobrok itu, menyusul Oh-ti-tu lantas "terbang"
Ke luar.
Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga sudah pegang ujung baju Oh-ti-tu dan ikut terbang keluar, tubuhnya enteng seperti burung, biarpun menggandul pada gerakan Oh-ti-tu, tapi sama sekali Oh-ti-tu tidak merasakan beban apa-apa.
Seperti layang-layang saja tubuh Oh-ti-tu ditarik oleh benang itu dan melayang ke atas pohon cemara di luar, begitu kakinya menutul batang pohon, segera orangnya terbang pula ke depan sana dan hinggap di pohon kedua, menyusul benang perak lantas menyambar ke sana dan mengait pada pohon ketiga, dari sini Oh-ti-tu melompat lagi ke atas pohon keempat dan begitu seterusnya.
Waktu Cin Kiam dan lain-lain mengejar keluar, bayangan Oh-ti-tu berdua sudah berada berpuluh tombak jauhnya, sekali kelebat lantas menghilang dalam kegelapan, terdengar pesannya berkumandang dari jauh.
"Jika kalian tidak terima, besok tengah malam boleh kalian datang lagi ke sini!"
Oh-ti-tu terus melayang dan terbang tanpa berhenti, setiba di pinggir kota barulah dia berhenti di tempat gelap.
"Oh-ti-tu yang hebat, benar-benar pergi datang seperti kilat, ilmu benang perak labah-labah terbang ini benar-benar tiada bandingannya di dunia Kangouw,"
Puji Siau-hi-ji sambil berkeplok tertawa. "Hm, apa gunanya biarpun kau menjilat pantatku,"
Jengek Oh-ti-tu. "Kutahu kau pasti sangat mendongkol, maksudku hanya sekadar menghilangkan rasa dongkolmu saja,"
Jawab Siau-hi-ji. "Coba jawab, sudah jelas bukan perbuatanmu, mengapa kau sengaja melibatkan diri dalam urusan ini, bahkan aku ikut dijebloskan dan kau sengaja bersembunyi di balakangku sehingga aku yang menanggung susah?"
Demikian Oh-ti-tu menjadi gusar dan berteriak.
"Ini masih mendingan, yang menggemaskan, sudah jelas kau dapat melabrak mereka secara terang-terangan, tapi kau sengaja lari malah sehingga aku pun menanggung malu, coba jawab, apa sebabnya semua ini?"
"Sudah tentu aku mempunyai alasannya,"
Jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. Sambil menjambret dada anak muda itu Oh-ti-tu membentak.
"Kalau tidak kau jelaskan, segera kucekik mampus kau."
"Masa masih perlu penjelasan pula? Dengan sendirinya karena ingin kubikin susah padamu."
"Membikin susah padaku?"
Oh-ti-tu menegas.
"Setelah kita kabur begini, aku sendiri dapat pergi tanpa embel-embel apa pun, sebaliknya kau Oh-ti-tu punya nama terkenal, kalau tersiar kelak, katanya Oh-ti-tu dan Li Toa-jui sama-sama suka makan manusia, lalu dapatkah kau berkecimpung pula di dunia Kangouw?"
"Mengapa kau berbuat demikian dan membikin susah diriku?"
Damprat Oh-ti-tu dengan gusar. "Sebabnya aku ingin menjerumuskan engkau ke dalam lumpur, dengan demikian barulah kau mau bekerja bagiku,"
Dengan tertawa Siau-hi-ji menjelaskan pula.
"Tapi kau pun jangan marah, justru kupandang engkau ini cukup berharga, makanya aku mau membikin susah padamu. Ada sementara orang memohon dengan sangat dan bahkan hendak membayar padaku agar aku membikin susah dia, malahan kutolak."
"Setelah kau membikin susah padaku, mestinya kucekik mati kau, mana kumau bekerja lagi bagimu,"
Bentak Oh-ti-tu dengan bengis. "Jika orang lain, setelah kubikin susah dia, tentu dia akan bikin perhitungan dengan aku, tapi engkau Oh-ti-tu lain dari pada yang lain, watakmu ini cukup kukenal dengan baik."
Oh-ti-tu melototi anak muda itu sekian lamanya, mendadak ia lepaskan pegangannya dan tertawa, katanya.
"Bagus, kau bocah ini ternyata kenal betul watakku si hitam. Menghadapi persoalan yang aneh ini, biarpun sudah tahu tertipu juga takkan kulepaskan begitu saja."
"Kalau tidak begini namamu bukan Oh-ti-tu lagi,"
Ucap Siau-hi-ji. "Caramu menyeret aku masuk lumpur ini masa tiada maksud tujuan lain?"
"Sudah tentu ada,"
Jawab Siau-hi-ji.
"Soalnya kulihat Lamkiong Liu dan Cin Kiam itu sok meremehkan orang lain, dalam keadaan biasa jika aku mengundang mereka keluar, memangnya mereka mau? Tapi sekarang, biarpun tengah malam buta kusuruh mereka datang ke sini juga mereka pasti akan hadir, satu detik pun tak berani terlambat."
"Baik, kini aku sudah telanjur terjerumus, ekor mereka pun sudah kupegang, lalu cara bagaimana melangsungkan permainan sandiwara ini, coba jelaskan."
"Kau tahu tuan omong kosong itu sengaja menyembelih orang dan diam-diam kau disuruh makan dagingnya, tapi diam-diam pula dia menyampaikan laporan rahasia kepada keluarga Buyung untuk menangkapmu, cara licik demikian ini disebut apa?"
"Cara keji ini dapat dikatakan lempar batu sembunyi tangan,"
Jawab Oh-ti-tu dengan gemas. "Perbuatan keji begini, cara bagaimana harus kita layani menurut pendapatmu?"
"Bila berjumpa lagi dengan dia, mustahil kalau tidak kucekik mampus dia,"
Ucap Oh-ti-tu dengan geregetan.
"Tahukah kau bahwa manusia jahat begitu kecuali si tuan omong kosong masih banyak di dunia ini, bahkan tindak tanduk mereka sesungguhnya lebih menggemaskan daripada si tuan omong kosong itu.
Lalu cara bagaimana harus kita hadapi mereka!"
"Akan kubekuk satu per satu dan kucekik mampus mereka,"
Ucap Oh-ti-tu. "Masih untung bagi mereka jika cuma kau cekik mati saja, apalagi juga tidak gampang biarpun hendak cekik mati mereka."
"Memangnya siapa yang kau maksudkan?"
"Kang Piat-ho!"
Jawab Siau-hi-ji sekata demi sekata. Hampir saja Oh-ti-tu melonjak kaget, serunya.
"Apa katamu? Masa Kang-lam-tayhiap dapat berbuat demikian?"
"Kau tidak percaya padaku?"
Siau-hi-ji menatap tajam si labah-labah hitam. Oh-ti-tu juga menatap Siau-hi-ji, katanya pula.
"Kau ini selalu main sembunyi kepala perlihatkan ekor, tindak tandukmu juga aneh-aneh dan macam-macam, di dunia ini siapa yang mau percaya padamu?"
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menghela napas, lalu menyambung pula dengan perlahan.
"Tapi aku Oh-ti-tu justru dapat mempercayaimu."
"Plak", dengan keras Siau-hi-ji tepuk pundak Oh-ti-tu, serunya dengan tergelak.
"Haha, kau memang seorang kawan, sudah lama kutahu kau ini seorang kawan baik."
"Kupercaya padamu, soalnya kau ini meski anak busuk, tapi bukan lelaki munafik!"
Kata Oh-ti-tu dengan tertawa. "Betul, manusia yang paling menggemaskan adalah kaum munafik,"
Ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
"Dan kaum munafik di dunia ini justru sangat banyak. Satu di antaranya yang paling jahat adalah Kang Piat-ho."
"Dan cara bagaimana hendak kau hadapi dia?"
"Dengan caranya untuk digunakan terhadap dia sendiri,"
Kata Siau-hi-ji.
"Mereka suka lempar batu sembunyi tangan, aku juga akan membayarnya dengan cara yang sama, ini namanya senjata makan tuan."
"Cara bagaimana akan kau bayar dia? Coba jelaskan!"
"Apakah kau tahu siapakah gerangan nona yang berada di loteng kecil itu?"
Mendadak Oh-ti-tu melengos, katanya.
"Kan sudah kukatakan aku tidak tahu."
"Biarlah sekarang kuberitahukan padamu, dia adalah nona Kiu dari keluarga Buyung."
"Dia itu Buyung Kiu katamu?"
Oh-ti-tu menegas dengan terbelalak.
"Betul, dia itulah yang kini sedang dicari ubek-ubekan oleh Cin Kiam, Lamkiong Liu, Siau-sian-li dan Koh Jin-giok.
Apabila mereka tahu nona linglung itu disembunyikan orang, pasti mereka akan mencari dan melabrak orang itu."
Bercahaya mata Oh-ti-tu, katanya.
"Makanya, kau ingin menimpakan kejadian ini atas diri Kang Piat-ho?"
"Ya, ingin kubikin dia juga merasakan betapa enaknya dikerjai orang,"
Siau-hi-ji berkeplok tertawa.
"Tapi Kang Piat-ho sangat licin lagi cerdik, masa dia akan masuk perangkapmu?"
"Biarpun Kang Piat-ho selicin belut, asalkan kau membantu, tentu dapat kujebak dia."
"Sekarang aku sudah ikut terjerumus, seandainya tidak mau membantu juga sukar bagiku".
"Bagus, jika kau ingin mencuci bersih namamu yang sudah tercemar, maka kau harus bertindak menurut rencanaku.
Tapi kau pun jangan khawatir, setelah mengerjakan urusan ini, tentu kau akan merasa tenteram dan pasti takkan menyesal,"
Habis berkata segera Siau-hi-ji melompat bangun sambil menarik Oh-ti-tu, katanya.
"Ayolah, sudah tiba waktunya kita harus bekerja."
Dengan cepat mereka lantas melayang masuk ke kota. Sepanjang jalan Oh-ti-tu masih terus menggerundel.
"Sampai saat ini aku tetap tidak paham, si tuan omong kosong itu sengaja menyembelih orang keluarga Buyung dan bikin susah pula padaku, tapi apa manfaatnya bagi dia?"
Sekarang ia pun dapat menduga bahwa Wan-ji yang disembelih itu pasti ada hubungan erat dengan keluarga Buyung, besar kemungkinan adalah pelayan pribadi nona Buyung.
"Tuan omong kosong yang kau maksudkan itu bukanlah Li Toa-jui melainkan Pek Khay-sim,"
Kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"dia mempunyai julukan merugikan orang lain tanpa menguntungkan dirinya sendiri, tujuannya asalkan membikin orang lain tertipu dan meringis, maka dia sendiri pun merasa puas dan gembira."
"Masa di dunia ini ada orang macam begitu?"
Ucap Oh-ti-tu. "Kau bilang tidak ada, buktinya memang ada,"
Kata Siau-hi-ji.
"Dia tahu para anak menantu keluarga Buyung pasti akan mencari Buyung Kiu, maka dia sengaja menyembelih pelayan yang bernama Wan-ji itu agar para anak menantu keluarga Buyung menyangka Buyung Kiu juga telah disembelih serta menjadi isi perut orang. Umpama mereka tak dapat menemukan nona yang dicarinya itu dan merasa berduka serta kelabakan, maka Pek Khay-sim akan merasa Khay-sim (senang)."
"Tapi aku kan ...."
"Sebenarnya dia sendiri hendak menyamar sebagai Li Toa-jui yang gemar makan daging manusia itu, tapi lantaran ada orang sialan macam kau dapat ditonjolkan olehnya, dengan sendirinya sangat kebetulan baginya,"
Demikian Siau-hi-ji memotong sebelum Oh-ti-tu bicara.
"Dengan demikian dia berhasil mencelakai orang keluarga Buyung dan kau pun terkecoh, rencana kerjanya yang rapi dan bagus ini sungguh tidak malu sebagai salah seorang Cap-toa-ok-jin yang termasyhur itu."
"Aneh juga bahwa kau malah memuji dia,"
Omel Oh-ti-tu.
"Jika bukan akalnya yang rapi ini, mana bisa kubonceng tipu muslihatnya, dan bila di dunia ini tidak ada manusia seperti Pek Khay-sim, maka sandiwara ini jelas tak dapat dipentaskan."
"Di dunia ini ada manusia macam Pek Khay-sim dan ditambah lagi orang seperti kau, kalian saling menjebak dan saling mengecoh, yang konyol adalah aku si hitam ini."
"Jika tidak ada diriku malam ini kau pasti lebih konyol lagi.
Kau tertangkap tangan dengan bukti nyata sedang makan daging manusia, biarpun kau bermulut seribu juga tidak dapat menyangkalnya."
"Betapa pun juga seharusnya kau jangan mengaku ...."
"Bilakah aku mengaku? Bilakah kubilang Buyung Kiu telah kau makan? Aku kan cuma berkata, Telah kuapakan dia, memangnya perlu kukatakan pula? Memangnya kenapa dengan persoalan ini? Kenapa kau takut? ...."
Oh-ti-tu berpikir sejenak, ia menjadi tertawa geli sendiri, katanya.
"Ya, betul, memang begitulah ucapanmu ketika itu, cuma saja seperti tidak terucap apa-apa ...."
"Di situlah letak kehebatannya,"
Kata Siau-hi-ji dengan memicingkan mata.
Sembari bicara ternyata dia telah membawa Oh-ti-tu ke loteng kecil itu.
Sekitar sudah sunyi senyap, hanya sinar lampu masih kelihatan bercahaya di loteng itu.
Buyung Kiu mendekap di atas meja, mungkin terlalu lelah melamun sehingga akhirnya tertidur di situ.
"Nona ini paling menurut pada ucapanmu,"
Kata Siau-hi-ji.
"Kau suruh dia membawa belati, maka belati itu pun selalu dibawanya, kau suruh dia membunuh, segera dia akan membunuh, sekarang aku cuma minta kau suruh dia menulis secarik surat saja."
"Dalam keadaan demikian untuk apa mendadak menulis surat segala?"
Tanya Oh-ti-tu.
"Ayolah suruh dia menulis.
Jika ingin menebus nyawaku, harap bawa 80 laksa tahil perak ke tempat yang telah ditentukan mereka.
Mohon diusahakan sedapatnya, kalau tidak adik pasti akan menjadi isi perut mereka."
"80 laksa tahil perak, katamu?!"
Oh-ti-tu menegas dengan melongo.
"Ya, meski angka 80 laksa tidaklah sedikit, tapi Lamkiong Liu dan Cin Kiam pasti tidak kaget mendengar jumlah sekian mengingat kekayaan mereka yang sukar diukur, orang lain tidak sanggup mengumpulkan jumlah sekian dalam waktu sehari, mereka pasti dapat."
"Memangnya mereka kau kira mau?"
"Kenapa tidak? Di waktu biasa mungkin mereka tidak mau, tapi setelah kejadian semalam, mereka tentu mengira Wan-ji yang telah disembelih orang itu sengaja kita jadikan sebagai bukti untuk menakuti mereka, jadi tanpa sengaja kita telah mencapai sasarannya dengan tepat, tentu mereka takkan curiga lagi,"
Setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula.
"Apalagi surat ini jelas ditulis sendiri oleh Buyung Kiu, maka persoalannya sekarang adalah kau, harus kau katakan kepada mereka bahwa 80 laksa tahil perak itu semuanya harus kontan dalam bentuk perak murni, emas atau batu manikam takkan kita terima."
"Harus kukatakan begitu kepada mereka?"
Oh-ti-tu menegas.
"Ya, dengan sendirinya harus kau bicara dengan mereka dan surat ini pun harus kau sendiri yang mengantarkannya, Oh-ti-tu biasanya pergi datang tanpa meninggalkan bekas, di dunia ini rasanya tiada kurir pengirim surat yang lebih mahir daripada kau ini."
Oh-ti-tu termenung sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata.
"Baiklah ... aku hanya tidak paham, mengapa harus bentuk kontan uang perak."
"Keajaiban urusan ini akan kau ketahui bila sudah tiba saatnya nanti,"
Kata Siau-hi-ji. "Dan setelah surat ini kukirim, lalu bagaimana?"
Tanya Oh-ti-tu.
"Setelah mengirim surat, boleh kau tunggu dan menyaksikan tontonan menarik saja."
"Sampai waktunya nanti apakah betul-betul kau sendiri akan menerima 80 laksa tahil perak itu?"
"Pada waktunya nanti yang akan menerima perak itu adalah calon setan yang akan kukirim ke sana."
"Jika begitu ...
bila Cin Kiam dan Lamkiong Liu melihat yang datang itu bukan kau melainkan orang lain, bukankah mereka akan curiga juga?"
"Memangnya Cin Kiam dan Lamkiong Liu mengetahui siapa diriku ini? Yang mereka lihat semalam adalah wajahku yang kuning pucat serta gerakan Ih-hoa-ciap-giok yang kumainkan, mereka pasti mengira diriku ini samaran anak murid Ih-hoa-kiong, padahal saat ini anak murid Ih-hoa-kiong tulen justru lagi berada bersama Kang Piat-ho".
Oh-ti-tu termenung sejenak, katanya kemudian dengan gegetun.
"Ai, kiranya setiap gerak-gerikmu selalu mempunyai tujuan tertentu. Di dunia ini kalau bertambah lagi beberapa orang macam dirimu ini tentu suasana akan kacau balau."
Siau-hi-ji tertawa, katanya.
"Jangan khawatir, manusia seperti diriku ini tiada duanya lagi di dunia ini."
Pagi-pagi sekali, itu kasir Ging-ih-tong yang masih tidur nyenyak di kolong ranjangnya telah diseret bangun oleh Siau-hi-ji dan disuruh menyampaikan sepucuk surat kepada Samkohnio.
Jilid 3.
Bakti Binal Sementara itu Siau-hi-ji sudah berdandan kembali sebagai pegawai toko obat itu dan tidur di kamarnya di bagian belakang toko.
Kemudian Samkohnio pun tiba, sekali ini nona gede ini tidak berkaok-kaok lagi dari balik jendela melainkan terus menerobos masuk ke kamar dan setengah mendongkol ia mengomeli anak muda itu.
"He, selama dua hari ini kau ke mana, tahukah betapa gelisah orang mencarimu?"
Siau-hi-ji kucek-kucek matanya yang masih mengantuk, jawabnya dengan tertawa.
"Jika kau benar gelisah lantaran aku, maka kau harus membantu sesuatu padaku."
"Bilakah pernah kutolak permintaanmu?"
Omel Samkohnio dengan suara perlahan. "Tapi urusan ini sama sekali tidak boleh kau katakan kepada orang ketiga."
"Memangnya kau tidak percaya padaku?"
Ucap Samkohnio sambil menunduk. "Baiklah, ingin kutanya lebih dulu, selama dua hari ini apakah kau lihat Kang Giok-long?"
"Tidak,"
Jawab si nona gede. Siau-hi-ji memandangnya dengan terbelalak, katanya pula.
"Coba ingat-ingat lagi, adakah salah seorang yang berada di sekitar Kang Piat-ho itu mungkin adalah samaran Kang Giok-long?"
Samkohnio lantas mengingat-ingat kembali, lalu menjawab tegas.
"Tidak ada, pasti tidak ada, selama dua hari ini Kang Giok-long jelas tidak berada di sini."
Siau-hi-ji merasa lega, katanya.
"Itu dia, perasaan perempuan walau rada membingungkan, tapi terkadang juga jitu. Jika kau sudah yakin demikian halnya, rasanya Kang Giok-long memang betul tidak sedang di sini."
"Kau memanggilku ke sini hanya ingin menanyakan dia?"
Tanya Samkohnio dengan rasa hampa. "Soalnya dia ada sangkut-paut yang sangat erat dengan dirimu,"
Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Jangan ngaco, memangnya ada sangkut-paut apa antara aku dengan dia?"
Omel si nona. "Tahukah bahwa uang kiriman ayahmu itu justru dirampok olehnya?"
"Apa katamu? Masa begitu?"
Seru Samkohnio.
"Selama dua hari ini mendadak dia menghilang, pertama karena dia ingin menghindarkan diriku, kedua, kepergiannya ini justru hendak menyembunyikan harta rampokan itu pada suatu tempat yang baik, soalnya dia mengetahui, rahasia yang kuketahui jauh lebih banyak daripada sangkaannya."
Samkohnio berkedip-kedip, tanyanya kemudian.
"Sesungguhnya kau ini siapa? Mengapa dia begitu takut padamu?"
"Bicara sungguh-sungguh, sampai saat ini dia memang belum mengetahui siapa diriku ini."
Samkohnio terdiam sejenak, lalu berkata pula dengan perlahan.
"Tapi aku tak peduli kau ini siapa, aku ...."
Mendadak Siau-hi-ji menyela.
"Asalkan dugaanku tidak meleset, asalkan dia tidak berada di sini, maka rencanaku pasti akan berhasil. Untuk ini kau harus bantu mengawasi dia bagiku, begitu dia pulang hendaklah cepat kau beritahukan padaku."
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesungguhnya apa rencanamu? Mengapa rencanamu baru akan berhasil bilamana Kang Giok-long tidak berada di sini?"
Siau-hi-ji menarik tangan si nona, katanya dengan suara lembut.
"Urusan ini pasti akan kau ketahui nanti, sekarang kumohon engkau jangan bertanya."
Di dunia ini kalau ada sesuatu yang dapat membuat perempuan tutup mulut, maka itu adalah ucapan mesra sang kekasih. Benar saja, Samkohnio lantas tutup mulut dan tidak tanya lebih lanjut. Dia menunduk, lalu berucap dengan perlahan.
"Tia ... tiada ucapan lain lagi yang ingin kau katakan padaku?"
"Malam nanti, lewat tengah malam, harap engkau menunggu di luar pintu belakang taman rumahmu ....
"
Seketika mata Samkohnio memancarkan cahaya kegirangan, tukasnya dengan suara rada gemetar.
"Malam ... malam nanti ... di ... di taman ...."
"Betul, jangan lupa, hendaklah menunggu tepat pada waktunya."
"Tidak mungkin kulupakan, biarpun langit akan ambruk juga akan kutunggu di sana tepat pada waktunya."
Dengan tertawa genit ia lantas melangkah pergi dengan bayangan pertemuan mesra tengah malam yang indah nanti.
Maklumlah, janji pertemuan rahasia bagi gadis yang sedang kasmaran memang gaib dan penuh rasa bahagia, tiada urusan lain di dunia ini yang dapat menggetarkan hati mereka kecuali janji pertemuan dengan sang kekasih.
Siangnya Siau-hi-ji terus putar kayun kian kemari ke segenap pelosok kota, banyak restoran dan rumah minum yang dilaluinya, tapi ia tidak masuk ke situ, sebaliknya dia mendatangi sebuah warung bakmi yang kecil dan kotor di ujung timur kota.
Jelek-jelek warung bakmi ini pun punya nama yang indah, yakni "Su-hiang-koan"
Atau "rindu kampung halaman".
Siau-hi-ji menghabiskan semangkuk besar pangsit mi serta beberapa biji siomoy, lalu menyuruh si pemilik restoran orang Santung yang tampaknya sudah lebih dari tiga tahun tidak pernah mandi itu memberikan alat tulis dan beberapa puluh helai kertas.
Ia memulai menulis dengan huruf sebesar kepalan, semua kertas itu ditulisnya dengan huruf yang sama, rupanya ia menulis selebaran yang berbunyi.
"Sahabat yang sok senang (Khay-sim), malam nanti antara pukul sembilan seorang she Li menanti kedatanganmu di Su-hiang-koan yang terletak di sudut timur kota, mau tak mau kau harus datang". Habis menulis, dia menyewa dua-tiga orang gelandangan agar menyebarkan pelakat-pelakat itu ke segenap penjuru kota dan ditempelkan di tempat-tempat yang mencolok mata. Sudah tentu orang Santung itu terheran-heran memandangi kelakuan Siau-hi-ji yang aneh itu. Namun Siau-hi-ji tidak ambil pusing, dia mendatangi toko rombengan untuk membeli seperangkat pakaian bekas warna hitam, lalu dibelinya di toko kelontong beberapa macam alat rias. Akhirnya ia mendapatkan sebuah hotel yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, ia minta kamar yang ada cerminnya, di situlah ia telanjang bulat dan tidur sepuasnya. Waktu mendusin hari pun hampir magrib. Menghadapi cermin, seperti anak gadis saja Siau-hi-ji bersolek sekian lamanya, pakaian hitam itu dipakainya, lalu dia beraksi di depan cermin .... Hah, mana bisa orang mengenalnya lagi sebagai Kang Siau-hi melainkan mirip Li Toa-jui yang gemar daging manusia itu. Siau-hi-ji sendiri pun sangat puas akan hasil samarannya ini, dia tertawa dan bergumam.
"Haha, walaupun tidak persis seratus persen, tapi mengingat Pek Khay-sim itu sudah puluhan tahun tidak pernah berjumpa dengan Li Toa-jui, apalagi di tengah malam gelap, rasanya sudah bolehlah."
Perawakan Siau-hi-ji memang juga tidak pendek, setelah mengalami gemblengan selama dua tahun ini tubuhnya telah menjadi kekar, kalau membusungkan dada, bukan saja hampir serupa dengan Li Toa-jui bahkan potongan tubuh dan tegapnya juga hampir sama, kalau tidak di teliti dengan cermat, bahkan orang yang setiap hari bertemu dengan Li Toa-jui juga sukar membedakannya.
Pakaian yang bekas dipakainya itu digulung menjadi satu, lalu dimasukkan ke kolong selimut sehingga kalau dipandang dari luar kelihatan ada orang sedang tidur nyenyak.
Habis itu ia menulis pula dengan peralatan yang ada di situ sepucuk surat untuk Kang Piat-ho, ia menulis dengan tangan kiri sehingga kelihatan reyat-reyot, begini bunyinya.
"Kang Piat-ho, putramu dan harta pengawalan yang kalian rampok itu telah jatuh di tangan Tuanmu sekarang, jika kau ingin berunding dengan syarat tertentu, silakan datang tengah malam nanti di sutheng yang berada di luar kota". Dia tutup sampul surat itu dan di atasnya ditulis pula.
"Kepada Kang Piat-ho pribadi, orang lain dilarang membaca". Setelah simpan surat itu di dalam baju, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa.
"Kang Giok-long tidak berada di kota, besar kemungkinan sedang mengatur penyimpanan harta rampokannya, asalkan malam ini dia tidak pulang, tentu Kang Piat-ho akan masuk perangkapku, biarpun dia selicin belut, seumpama dia tidak percaya penuh juga pasti akan sangsi dan tengah malam nanti saking tak tahan dia pasti akan datang ke tempat yang kusebut itu."
Dia tertawa puas, lalu memberosot keluar melalui jendela.
Setiba di rumah makan Su-hiang-koan itu, sementara itu cuaca sudah mulai gelap.
Inilah saatnya orang makan malam, tapi Su-hiang-koan itu ternyata tiada pengunjungnya, bahkan orang Santung itu pun tidak kelihatan, hanya seorang tamu tampak sedang minum arak sendirian.
Orang ini memakai baju sutera baru, di atas kopiah yang dipakainya tersunting sebiji mutiara yang bercahaya, dandanannya mirip saudagar kaya, tapi sikapnya ala buaya darat, dia tidak duduk secara beraturan, tapi nongkrong di atas bangku sambil minum arak, sepasang matanya jelilatan seperti maling khawatir konangan.
Ketika Siau-hi-ji masuk rumah makan itu dengan langkah lebar, dengan terbahak langsung ia menegur.
"Aha, anak baik, kau ternyata datang benar? Sudah sekian tahun tidak berjumpa, kau keparat ini ternyata belum melupakan kawanmu orang she Li ini dan telah menunggu tepat pada waktunya."
Sejak kecil Siau-hi-ji berkumpul dengan Li Toa-jui, dengan sendirinya lagak-lagunya mirip benar cara menirukan tokoh Cap-toa-ok-jin yang disegani itu. Tak terduga orang itu cuma mendelik saja, jawabnya sambil menarik muka.
"Memangnya kau ini siapa? Aku tidak kenal."
"Hah, masa ingin mengelabui aku, meski kau berdandan menyerupai manusia, tapi bentukmu yang lebih mirip monyet ini tetap sukar diubah,"
Kata Siau-hi-ji dengan tertawa. Akhirnya orang itu bergelak tertawa, katanya.
"Kau keparat yang suka makan manusia tanpa buang tulang ini, setelah sekian tahun tidak berjumpa, caramu bicara dengan bapakmu masih tetap kasar begini?"
Siau-hi-ji duduk di depannya, di atas meja sudah ada dua pasang sumpit dan dua cawan, tapi masakan Ang-sio-bak hanya satu mangkuk.
Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, katanya.
"Tampaknya kau maling rudin ini semakin lama semakin bangkrut, lekas panggil si Santung itu, biar kusuguh kau makan sepuasnya."
"Dia takkan muncul lagi?"
Jawab orang itu yang bukan lain daripada Pek Khay-sim adanya. "Mengapa? Di mana dia?"
Tanya Siau-hi-ji. Dengan tertawa Pek Khay-sim menunjuk Ang-sio-bak itu dan berkata.
"Dia berada di dalam mangkuk ini."
Siau-hi-ji tidak terpengaruh oleh keterangan itu, katanya dengan terbahak.
"Hahaha, tampaknya kau pintar menjilat pantat, kau masih ingat bapakmu gemar makan apa, maka lebih dulu sudah kau sediakan. Cuma Santung tua itu sudah bertahun-tahun tidak mandi, mungkin dagingnya berbau apek."
"Jangan khawatir, sebelumnya sudah kucuci bersih dari kepala hingga kakinya, habis itu baru masuk kuali,"
Ucap Pek Khay-sim dengan nyekikik, segera dia angkat cawan menyuguh Siau-hi-ji satu cawan penuh, lalu menuanginya pula satu cawan. "Hm, kau benar-benar putra berbakti,"
Siau-hi-ji berolok-olok dengan tertawa. Terpaksa dia menyumpit sepotong Ang-sio-bak, tapi baru saja dikunyah dua kali, mendadak ditumpahkannya, lalu berkata dengan melotot.
"Huh, ini daging apa? Berani kau palsukannya sebagai daging manusia?"
Mendadak Pek Khay-sim berkeplok gembira, katanya.
"Hehe, orang she Li, kau memang hebat, mulutmu yang kotor ini sekali coba lantas tahu daging apa, memangnya tak kau pikirkan apakah aku sudi menyembelih orang hanya untuk memenuhi seleramu?"
Rupanya Pek Khay-sim sengaja menggunakan cara ini untuk menguji apakah yang hadir ini benar-benar Li Toa-jui tulen atau bukan. Sudah tentu Siau-hi-ji merasa geli, ia pun tidak membongkar persoalan ini, dengan mendelik ia berkata.
"Habis kalau anak tidak berbakti kepada bapak sendiri mau berbakti kepada siapa? Santung tua itu memang kotor, tapi dagingnya cukup gempal, memang sudah lama aku ingin menyembelihnya untuk diolah menjadi Ang-sio-bak, sekarang kau telah kemanakan dia?"
"Dia telah pulang kampung halamannya, rumah makan ini sudah kubeli. Haha, dia menerima lantakan emas yang kutuang tengahnya dengan timah, malahan dia sangat senang mengira mendapatkan pembeli yang picak dan menyangka aku yang tertipu."
"Tapi untuk apakah kau membeli rumah makan brengsek ini? Kau memang telah berhasil menipu dia, tapi bapakmu menjadi gagal makan Ang-sio-bak. Ai, sifat malingmu yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri itu tampaknya selama hidup takkan berubah."
"Sifatku tak dapat berubah, tapi sifat malingmu apakah dapat berubah? Anjing tetap makan tahi, sifat ini tidak mungkin berubah .... Eh, sudah sekian tahun kau mengkeret di sarang anjingmu, untuk apa mendadak muncul di sini?"
Dengan mata melotot Siau-hi-ji berseru.
"Ingin kutanya kau lebih dulu, kau memalsukan namaku serta mengirimkan panji berdukacita atas kematian Thi Bu-siang, lalu memalsukan namaku pula setelah menyembelih pelayan orang, sesungguhnya apa kehendakmu?"
Pek Khay-sim melengak, katanya kemudian.
"Jadi kau tahu semuanya?"
"Memangnya urusan apa yang dapat mengelabui mataku?"
Jawab Siau-hi-ji dengan tergelak.
"Ya, orang-orang itu terlalu iseng, maka aku sengaja mencarikan pekerjaan buat mereka, kumasak daging manusia dan mengundang tamu untuk memakannya, tapi diam-diam aku sendiri menyampaikan laporan rahasia kepada keluarga yang bersangkutan, dengan demikian mereka berdua pihak akan saling labrak habis-habisan dan dengan demikian pula aku menjadi senang ....
Coba katakan secara jujur, apa yang kulaksanakan itu bagus atau tidak?"
"Herannya kedua bocah she Cin dan Lamkiong itu mau percaya begitu saja kepada laporan orang yang tak dikenal, jika aku yang dapat laporan, tentu akan kubekuk kau lebih dulu untuk ditanyai dari mana kau tahu ada orang sedang makan daging manusia?"
"Untuk menyampaikan laporan itu masa aku tak dapat mengirim surat kaleng saja, buat apa aku pergi ke sana sendiri?"
"Hanya sepucuk surat kaleng saja lantas dipercaya oleh mereka?"
"Biarpun tidak percaya, mau tak mau mereka akan melihatnya ke tempat yang kusebut itu."
Mendadak Siau-hi-ji menggebrak meja dan berseru.
"Tepat, memang kalimat inilah yang ingin kudengar dari mulutmu."
Pek Khay-sim tampak heran, katanya.
"Kau sedang merancang akal setan apalagi untuk menjebak aku?"
"Kau telah memalsu nama, untuk sementara dapat kukesampingkan persoalan ini dan takkan kuhukum, asalkan saja kau menulis lagi sepucuk surat kepada bocah she Cin dan Lamkiong itu. Mereka sudah membuktikan bahwa isi suratmu yang pertama itu memang tidak dusta, maka suratmu yang kedua pasti semakin dipercaya oleh mereka."
"Lalu surat apa maksudmu?"
Tanya Pek Khay-sim.
"Dengan sendirinya surat untuk membikin susah orang, kalau bukan surat beginian masakah kau mau menulisnya?"
"Hehehe, jika surat untuk membikin celaka orang memang dapat kulakukan bagimu.
Entah siapa yang menjadi sasaran perangkapmu ini?"
"Tentang siapa sasarannya kelak pasti akan kau ketahui.
Yang penting harus kau beritahukan kepada mereka agar tengah malam nanti mereka datang ke halaman belakang rumah Toan Hap-pui, di sana mereka pasti akan melihat sesuatu yang sangat menyenangkan mereka.
Harus kau tegaskan supaya datang tengah malam tepat, tidak boleh lebih dini dan tidak boleh lebih lambat".
"Tapi kalau tuanmu tidak mau menulis, lalu bagaimana?"
Ucap Pek Khay-sim. "Kutahu kau pasti mau menulis,"
Bujuk Siau-hi-ji.
"Mustahil kau dapat tidur nyenyak jika ada kesempatan mencelakai orang tapi tidak kau lakukan. Apalagi, jika kau tidak mau menulis surat ini tetap aku ada cara lain yang dapat memaksa kau."
Sampai di sini mendadak ia keluarkan surat yang telah disiapkan untuk Kang Piat-ho itu, berbareng ia padamkan lampu di atas meja. Seketika air muka Pek Khay-sim berubah dan berseru.
"He, apa yang kau lakukan?"
Siau-hi-ji mendesis.
"Ssst, jangan bersuara, ada orang datang hendak menangkap kita, lekas bersiap-siap untuk lari."
Belum lenyap suaranya, benar saja di luar jendela sudah ada sinar golok berkelebat. Lalu seorang telah membentak.
"Orang she Li dan orang she Pek, kejahatan kalian sudah kelewat takaran, hari ini kalian jangan harap akan bisa kabur lagi. Ayolah keluar untuk terima kematian!"
Dalam kegelapan tertampak bayangan orang berseliweran di luar, agaknya rumah makan ini sudah terkepung rapat. Segera terdengar suara orang membentak.
"Li Toa-jui, kabarnya kau bermaksud memperbaiki kelakuanmu dan kembali ke jalan yang baik. Jika benar-benar ada niat demikian, lekaslah kau menyerahkan diri saja, akan kujamin jiwamu dengan kehormatan pribadiku."
Untuk sejenak Pek Khay-sim melenggong, gumamnya kemudian.
"Aneh, dari mana orang-orang ini mendapat tahu bahwa kita berada di sini?"
"Orang ini bermulut manis, tentu Kang Piat-ho adanya,"
Kata Siau-hi-ji. "Ya, memang dia,"
Kata Pek Khay-sim. "Marilah kita menerjang keluar melalui arah ini,"
Ajak Siau-hi-ji. "Apa katamu? Menerjang keluar dengan arah yang dijaga orang yang berkepandaian paling kuat? Memangnya kau sudah gila?"
"Jangan khawatir, aku ada akal,"
Ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum. Sementara itu orang di luar itu sedang membentak pula.
"Jika kalian tidak memberi jawaban, segera kami menerjang masuk."
Padahal orang-orang sama jeri terhadap Cap-toa-ok-jin yang termasyhur itu, seketika tiada seorang pun yang berani menerjang ke dalam rumah yang gelap gulita ini. Mendadak Siau-hi-ji berbangkit sambil membentak.
"Ini dia Li Toa-jui, tunggulah kalian."
Berbareng ia angkat sebuah bangku terus dilemparkan keluar jendela sebelah barat. Nama "Li Toa-jui"
Agaknya cukup menakutkan, begitu bangku melayang keluar, serentak di sebelah sana terjadi kegaduhan, beberapa senjata sekaligus menyerang dan semuanya mengenai bangku itu.
Waktu Siau-hi-ji melompat keluar jendela kontan ia pun disambut oleh bacokan dua batang golok.
Tapi sekali meraung, kaki kiri Siau-hi-ji melayang, salah satu golok itu segera tertendang mencelat.
Menyusul mana Siau-hi-ji lantas melompat lewat di atas kepala orang kedua, sebelah kakinya menginjak ke bawah dan tepat mengenai orang itu, seketika orang itu patah lehernya.
Gerakan kaki menendang dan mendepak Siau-hi-ji ini sebenarnya bukan ilmu silat yang tinggi, tapi setelah diubah sedikit olehnya, seketika-dua jagoan kena dikalahkan.
Maklumlah, kitab pusaka ilmu silat yang ditemukannya di bawah tanah bersama Kang Giok-long tempo hari itu berisi intisari berbagai aliran silat di dunia ini, setelah dia pelajari dan menyelami dengan baik selama dua tahun ini, setiap jurus gerakan yang sederhana bila dimainkannya sudah dapat diubah menjadi tipu serangan yang ajaib tanpa dikenal orang lain akan asal-usul ilmu silatnya ini.
Begitulah maka terdengar seorang menjerit kaget.
"Awas, orang she Li ini benar-benar lihai "
Belum habis ucapannya.
"plak", menyusul lantas terdengar seorang bergelak tertawa, mungkin yang bicara itu telah kena digampar sekali oleh Pek Khay-sim. Setelah merobohkan dua orang, menyusul dengan sekali jotos Siau-hi-ji membuat seorang mencelat lagi. Pada saat itulah sekonyong-konyong sinar pedang gemerlap, seorang telah mengadang di depannya. "Li Toa-jui, meski lihai kepandaianmu, tapi jangan harap bisa lolos hari ini!"
Demikian jengek orang itu, berbareng pedangnya telah menusuk beberapa kali, semuanya serangan mematikan.
Tanpa memandang juga Siau-hi-ji tahu pengadang ini adalah Kang Piat-ho, berturut-turut ia pun mengegos beberapa kali tanpa balas menyerang, tapi dengan suara tertahan ia berkata.
"Apakah kau ingin tahu di mana beradanya putramu beserta harta rampokannya itu?"
Pedang Kang Piat-ho menjadi agak kendur dan bertanya.
"Apa katamu?"
Siau-hi-ji mencobloskan surat yang sudah disiapkan itu ke ujung pedang Kang Piat-ho sambil berkata.
"Boleh kau membacanya dulu."
Kang Piat-ho menjadi serba repot dan ragu apakah mesti menarik kembali pedangnya untuk membaca surat itu atau tetap ditusukkan.
Pada detik itulah Siau-hi-ji telah menyelinap lewat di sampingnya.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali berteriak aneh, cepat sekali Pek Khay-sim juga melayang ke sana.
Ketika beberapa orang mengejar tiba, namun bayangan Siau-hi-ji dan Pek Khay-sim sudah menghilang.
Setelah kabur ke dalam hutan yang gelap barulah mereka berhenti.
Sambil memandang Siau-hi-ji, Pek Khay-sim mendengus.
"Hm, cara bagaimana mereka mendapat tahu kita berada di sana?"
Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya tertawa.
"Ya, dengan sendirinya ada orang menyampaikan laporan gelap."
"Yang memberikan laporan gelap bukan mustahil kau sendiri,"
Jengek Pek Khay-sim.
"Jika aku, mengapa aku membantumu melarikan diri pula?"
"Tapi kalau bukan kau, siapa lagi yang tahu."
"Mereka bukan orang buta, memangnya mereka tidak membaca selebaran yang berhuruf besar itu?"
"Masa orang itu paham akan isi tulisan itu?"
"Dengan sendirinya ada yang paham,"
Kata Siau-hi-ji dengan tertawa. Air muka Pek Khay-sim berubah, tanyanya cepat.
"Siapa? Mungkinkah ada di antara sahabat-sahabat lama kita juga datang ke sini?"
Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu menjawab.
"Biarlah kukatakan terus terang kepadamu, ada dua orang, seorang bernama Lo Kiu dan seorang lagi bernama Lo Sam, mereka berusaha mencari setori pada kita, tampaknya mereka sangat jelas terhadap seluk-beluk urusan kita."
"Bagaimana bentuk kedua orang itu?"
Tanya Pek Khay-sim sambil mengernyitkan dahi.
"Gemuk dan tinggi, keduanya serupa seperti pinang dibelah dua, mereka adalah saudara kembar."
"Yang kukenal adalah kembar dua kurus jangkung, tapi tidak kenal kembar dua yang gemuk."
"Kau tidak kenal mereka, tapi mereka cukup kenal kau."
Pek Khay-sim menjadi gusar, dampratnya "Jika sudah kuketahui mereka paham isi surat selebaran itu dan sudah tahu pula mereka akan menyampaikan laporan gelap, mengapa kau justru sengaja bertindak begini?"
Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab.
"Justru aku mengharapkan mereka menyampaikan laporan gelap, justru pula kuminta mereka mengirim orang untuk membekuk kita, dengan demikianlah baru aku dapat menyampaikan surat penting itu langsung kepada Kang Piat-ho. Bilamana kusampaikan surat itu dengan cara lain mungkin takkan mendapat perhatiannya, tapi kini Li Toa-jui sendiri yang menyerahkan surat kepadanya, tentu bobotnya akan lain". "Dan dari mana kau tahu Kang Piat-ho pasti akan ikut datang?"
"Dia menganggap dirinya sebagai Tayhiap, kalau tersiar berita bahwa Cap-toa-ok-jin berada di kota ini, memangnya dia dapat tinggal diam? Nah, pasti juga dia takkan membiarkan kita pergi."
Sejenak Pek Khay-sim termangu, akhirnya ia menghela napas, katanya.
"Setiap persoalan telah kau hitung dengan jitu, mungkin Li Toa-jui tulen juga tidak melebihi dirimu."
Sekali ini Siau-hi-ji yang melengak, ia terkekeh kekeh, katanya.
"Li Toa-jui tulen apa, memangnya bapakmu ini palsu?"
Mendadak Pek Khay-sim terbahak-bahak, katanya.
"Kau dapat menirukan lagak-lagu Li Toa-jui dengan demikian miripnya, pada hakikatnya aku pun rada kagum padamu. Sungguh aku merasa sayang bila menyaksikan kau mati di depanku. Tapi, ya apa boleh buat, mau tak mau kau harus mati."
"Harus mati?"
Siau-hi-ji menegas heran. "Ya, arak yang telah kau minum itu telah kuberi Toan jong-san (puyer perantas usus),"
Ucap Pek Khay-sim dengan tertawa aneh.
"Sebenarnya kau dapat hidup lebih lama sedikit, tapi lantaran geger-geger tadi, mungkin sebentar lagi jiwamu akan melayang."
Dengan gusar Siau-hi-ji berteriak.
"Bangsat keparat, biar kumampuskan kau lebih dulu!"
Segera dia bangun dan bermaksud menerjang lawan, tapi baru saja tubuhnya terapung.
"bluk", mendadak dia terkulai dengan wajah pucat, ia pegang perutnya sendiri sambil merintih.
"Wah, celaka ... perutku ... aku ... aku tidak sanggup lagi "
Pek Khay-sim terkekeh-kekeh gembira, katanya.
"Sekarang baru kau tahu Cap-toa-ok-jin tidak mudah dilayani bukan?"
"Tapi ... tapi dari mana kau tahu aku ini Li Toa-jui palsu? Aku tidak percaya kau dapat membedakannya,"
Seru Siau-hi-ji dengan suara serak. "Baik, biar kuberitahukan padamu agar kau tidak mati penasaran."
"Ya, kumohon sudilah kau jelaskan, lekas, kalau tidak takkan kudengar lagi,"
Rintih Siauhi-ji. "Hehe, caramu menirukan gerak-gerik dan lagak-lagu Li Toa-jui memang persis sekali, tentunya kau kenal dia bukan?"
"Ya ... ya, ya,"
Gemetar sekujur badan Siau-hi-ji. "Pernahkah kau dengar dia membicarakan diriku?"
Tanya Pek Khay-sim. "Ti ... tidak pernah,"
Siau-hi-ji melengak heran. "Soalnya dia sangat benci padaku, sedemikian bencinya padaku hingga namaku saja dia tidak sudi menyebutnya, maka tidak mungkin dia menganggap aku sebagai sahabat dan mengajak pula makan minum bersamaku,"
Pek Khay-sim terbahak-bahak, lalu menyambung pula.
"Kau sangka kalau Cap-toa-ok-jin sama-sama Ok-jin (orang jahat), mereka pasti juga kawan baik satu sama lainnya. Kau tidak tahu bahwa di antara Cap-toa-ok-jin juga ada yang bermusuhan dan saling membenci. Perhitunganmu memang jitu, tapi tetap ada satu yang meleset, dan kesalahan ini pun cukup fatal untuk membikin jiwamu melayang."
Dengan merintih Siau-hi-ji berkata.
"Jadi ... jadi kau sudah tahu aku bukan Li Toa-jui tulen, tapi mengapa ...."
"Bapakmu ini sengaja berlagak bodoh, maksudku hanya ingin tahu apa tujuanmu yang sesungguhnya"
Ucap Pek Khay-sim dengan tertawa, selain itu aku pun ingin mempermalukan kau, kini bapakmu merasa cukup menggodamu dan bolehlah kau tunggu ajalmu saja."
"Meski sekarang kumati di tanganmu, tapi kau pun ada ses ... sesuatu ...."
Mendadak Siauhi-ji kejang dan jatuh telentang, sekuatnya ia ingin bicara lagi, namun cuma bibirnya saja yang bergerak dan tak terdengar suaranya. "Ada sesuatu apa mengenai bapakmu, coba katakan?"
Pek Khay-sim menegas. Siau-hi-ji tampak berkeringat dan berteriak-teriak.
"Kau ... kau ...."
Tapi suaranya ternyata sangat lemah meski dia berusaha menggembor sekerasnya. Karena ingin tahu apa yang diucapkan Siau-hi-ji, Pek Khay-sim mendekatinya, tanyanya sambil setengah berjongkok.
"Bicaralah yang keras, bapak tidak mendengar."
Mendadak Siau-hi-ji meraung keras-keras.
"Kubilang kau ini orang goblok!"
Berbareng dengan suara raungannya itu secepat kilat ia pun menutuk beberapa Hiat-to di tubuh Pek Khay-sim.
Baru saja Pek Khay-sim berjingkat kaget karena raungan mendadak itu, tahu-tahu ia pun roboh terkapar.
"Biarpun Cap-toa-ok-jin terkenal licin dan licik, tapi kebentur padaku juga pasti akan terperangkap,"
Seru Siau-hi-ji sambil melompat bangun.
"Sekarang kau baru tahu bahwa bapakmu ini bukanlah orang yang mudah dilayani."
Sambil menggeletak di tanah Pek Khay-sim hanya mampu memandangi anak muda itu dengan terbelalak, sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini masih ada orang terlebih licin daripada Cap-toa-ok-jin. Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula.
"Meski bapakmu ini tidak tahu persis apakah arakmu itu beracun atau tidak, tapi menghadapi Cap-toa-ok-jin kalian betapa pun aku harus tetap waspada. Kau kira aku telah minum arakmu, haha, padahal bapakmu cuma mengumur arak itu di dalam mulut, lalu kutumpahkan bersama daging manusia palsu itu."
"Meng ... mengapa tak kulihat tindakanmu itu?"
"Haha, kepandaian menipu orang begitu sejak bapakmu ini berumur lima sudah berhasil mempelajarinya. Jangankan cuma secawan arak terkumur di dalam mulut, sekalipun satu biji telur ayam kusembunyikan di dalam mulut juga takkan kau lihat."
Baru sekarang Pek Khay-sim benar-benar merasa ngeri dan ketakutan menghadapi Siauhi-ji, tanyanya dengan suara gemetar.
"Kau ... kau sesungguhnya siapa?"
"Hehe, baru sekarang kau kenal takut ya?"
Jengek Siau-hi-ji.
"Orang macam bapakmu harus ditakuti oleh siapa pun. Jika kau ingin tahu siapa bapakmu ini, maka lebih dulu kau harus bekerja baik-baik bagi bapakmu ini, habis itu mungkin bapak akan memberitahukan padamu."
Bahwa orang yang lebih lihai dan menakutkan daripada setan ini ternyata tiada bermaksud membunuhnya melainkan cuma menyuruhnya bekerja sesuatu baginya, keruan hal ini membuat Pek Khay-sim kegirangan, cepat ia berseru.
"Baik, baik, segera anak akan menuliskan surat itu."
"Hahaha, sekarang dari bapak kau mau berubah menjadi anak .... Hahaha, kau ini memang anak baik. Tapi kalau bapak membebaskan anak seperti kau ini begini saja tetap terasa khawatir,"
Sembari bicara diam-diam sebelah tangan Siau-hi-ji menggosok-gosok kuduk sendiri sehingga dakinya dapat menjadi satu gelincir kecil, mendadak ia pencet dagu Pek Khay-sim dan gelintiran daki itu terus dijejalkan ke mulutnya.
Seketika Pek Khay-sim merasa satu biji barang yang asin-asin serta berbau sesuatu yang sukar dilukiskan itu meluncur ke dalam kerongkongannya, keruan ia terkejut, serunya khawatir.
"Apa ... apa ini?"
"Kau kan punya Toan-joan-san (puyer perantas usus), maka aku pun punya Jui-beng-wan (pil pemburu nyawa) yang khas,"
Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Apa? Jui-beng-wan? Meng ...
mengapa tidak pernah kudengar."
"Sudah tentu kau tidak pernah dengar nama obat demikian ini, sebab racun ini memang hasil buatanku sendiri belum lama berselang dan tiada obat penawarnya di dunia ini, hanya dalam waktu tujuh jam seluruh tubuhmu akan hitam membengkak, lewat satu jam lagi tubuhmu akan membusuk dan jiwamu segera melayang, yang tertinggal hanya air hitam yang berbau busuk."
Siau-hi-ji membual semaunya, namun kedengarannya seperti sungguh-sungguh dan betul-betul akan terjadi. Keruan Pek Khay-sim tambah kelabakan, serunya dengan khawatir.
"Bu ... bukankah engkau hendak menyuruh aku bekerja sesuatu?"
"Ya, sudah tentu aku sendiri mempunyai obat penawarnya,"
Kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Selamanya kita tiada permusuhan apa pun, kumohon engkau ...."
Siau-hi-ji sengaja mendelik dan membentak.
"Jika dalam waktu tujuh jam ini kau dapat menyelesaikan pekerjaan yang kutugaskan padamu secara memuaskan, lalu boleh kau datang dan tunggu aku di sini, tentu akan kutolong jiwamu."
Habis berkata ia terus membuka Hiat-to yang ditutuknya. Namun Pek Khay-sim masih terkulai lemas di tanah seakan-akan tenaga untuk berdiri saja sudah lenyap, katanya.
"Kuharap jang ... janganlah engkau melupakan diriku akan menunggu di sini."
"Waktu sudah mendesak, ayolah lekas berangkat agar tidak terlambat,"
Dengus Siau-hi-ji. Tanpa disuruh lagi segera Pek Khay-sim melompat bangun, seperti kuda liar yang pantatnya mendadak dibacok orang, bagai kesetanan dia terus berlari pergi. Setelah orang pergi jauh, Siau-hi-ji tertawa geli sendiri, gumamnya.
"Hihi, Cap-toa-ok-jin yang sangat ditakuti orang itu ternyata juga mudah dikibuli."
Menjelang tengah malam, Siau-hi-ji sudah berada di loteng kecil itu.
Lo Sam dan Lo Kiu tidak berada di situ, hanya Buyung Kiu saja yang duduk di lantai dan sedang main boneka sambil menyanyikan lagu nina bobok.
Dengan tertawa kecil Siau-hi-ji juga ikut bernyanyi kecil.
Tapi Buyung Kiu lantas berhenti menyanyi, ia pandang Siau-hi-ji dengan bingung, sejenak kemudian barulah ia bertanya.
"Kau siapa? Aku tidak kenal padamu."
"Masa sudah lupa?"
Ucap Siau-hi-ji dengan suara halus.
"Bukankah aku kemarin mengajarkanmu cara mengusir momok yang mengeram di dalam hatimu itu."
"Oya, kiranya kau. Bentukmu tampaknya agak berubah?"
Kata nona itu. Siau-hi-ji sengaja mendesis.
"Ssst, jangan keras-keras, aku khawatir momok jahat itu akan mencari diriku, makanya aku menyamar jadi begini agar tidak dikenalinya, hendaklah kau jangan katakan kepada siapa-siapa?"
Berulang-ulang Buyung Kiu mengangguk, katanya.
"Ya, aku tahu, aku paham, momok itu sangat menakutkan, sedapatnya jangan sampai dia menemukan kau."
"Kutahu kau pasti paham, kau memang anak perempuan pintar."
"Apa benar aku anak perempuan pintar?"
Wajah yang sayu itu menampilkan senyuman sekilas laksana mendung yang mendadak ditembus cahaya matahari dan bunga yang indah mendadak mekar dalam sekejap ini.
Siau-hi-ji memandangnya dengan terkesima, timbul perasaan aneh dalam hatinya, tapi segera ia menyadari tidak boleh memandangnya lebih lama, cepat ia menarik tangannya dan berkata.
"Sekarang akan kubawa kau ke suatu tempat, segera kau akan berjumpa dengan orang yang jauh lebih sakti daripada diriku dan dapat membantumu mengusir momok dalam tubuhmu."
Entah mengapa, Buyung Kiu itu ternyata penurut kepada Siau-hi-ji, segera ia berdiri, tapi baru saja dua-tiga tindak, tiba-tiba ia bertanya sambil berkedip-kedip.
"Dan bag ... bagaimana dengan engkau?"
"Mungkin selanjutnya kau takkan melihat aku lagi,"
Kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Jika selanjutnya takkan melihatmu lagi, maka aku pun tak mau pergi,"
Demikian Buyung Kiu lantas urung melangkah lebih lanjut.
Siau-hi-ji tercengang, sukar dikatakan bagaimana perasaannya, cepat ia berseru.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bilamana momok yang mengeram dalam tubuhmu sudah terusir, kau sendiri pun tidak mau lagi menemui aku, tatkala mana tentu pula banyak orang lain akan mendampingimu setiap hari."
"Jika begitu biarkan saja momok ini tetap mengeram di dalam hatiku saja,"
Kata Buyung Kiu setelah berpikir sejenak. Hati Siau-hi-ji menjadi rada pilu, katanya kemudian dengan tertawa.
"Anak bodoh, memangnya kau ingin terus begini selamanya?"
Buyung Kiu menatapnya dengan tak berkedip sambil menggigit bibir, lalu berkata.
"Sebenarnya keadaan begini juga tiada jeleknya, apalagi asalkan setiap hari kau datang menemani aku, lama-lama juga dapat mengusir momok itu, betul tidak?"
Siau-hi-ji kucek-kucek hidungnya, tiba-tiba ia menarik muka dan berkata.
"Kau tidak mau menurut perkataanku, mana aku mau menemanimu lagi."
Buyung Kiu menunduk, ucapnya dengan rawan.
"Kau mengharuskan aku pergi, segera juga aku akan pergi, namun engkau ...."
Siau-hi-ji menghela napas, katanya.
"Asalkan kau selalu ingat pembicaraan kita hari ini, selanjutnya aku akan tetap menyambangi dikau ...."
Segera ia mengenakan mantel bagi si nona itu, waktu mereka sampai di pintu belakang taman keluarga Toan, ternyata Samkohnio sudah menunggu di situ.
Malam ini cukup dingin, tapi Samkohnio hanya mengenakan baju sutera tipis warna jambon seakan-akan tidak merasakan hawa yang dingin itu.
Demi lelaki yang dicintainya, demi kecantikan, anak gadis terkadang memang berani berkorban, misalnya mengikat kencang tali pinggang dan berpuasa tiga hari tiga malam, apalagi cuma kedinginan, semua ini bukan apa-apa.
Mata Samkohnio bercahaya, hatinya berdebar keras, meski tubuhnya rada menggigil, tapi mukanya terasa panas.
Maklumlah, untuk pertama kali inilah dalam hidupnya dia mengadakan pertemuan rahasia dengan lelaki.
Bagaimana perasaan anak gadis yang mengadakan pertemuan gelap pertama kali dengan sang kekasih, perasaan ini hanya diketahui oleh mereka sendiri.
Dari jauh dia melihat kedatangan Siau-hi-ji, dengan kegirangan segera ia menyongsong ke sana, tapi setelah berhadapan baru diketahui di belakang Siau-hi-ji mengikut pula seorang.
Seketika hati Samkohnio terpukul, dengan menggigit bibir dia menegur.
"Kau ... kau tidak datang sendirian saja?!"
Entah memang tidak paham ucapan si nona atau sengaja berlagak pilon, dengan perlahan Siau-hi-ji menjawab.
"Memangnya aku kan tidak menyatakan hendak datang sendirian?"
Baru sekarang Samkohnio melihat jelas wajah Siau-hi-ji, serunya terkejut.
"He, sia ... siapakah kau?"
"Aneh, baru saja kau dapat mengenali diriku, mengapa sekarang pangling lagi?"
Memang Samkohnio dapat mengenali suara Siau-hi-ji, tapi masih tetap sangsi, ucapnya ragu-ragu.
"Tadi aku cuma merasakan ... merasakan kedatanganmu, tapi mukamu ...."
Dengan suara tertahan Siau-hi-ji menukas.
"Ada sesuatu urusan rahasia harus kukerjakan dan terpaksa aku harus menyamar begini, hendaklah jangan kau katakan kepada siapa pun juga, urusan ini hanya kau sendiri yang tahu."
Meski dia sendiri tidak menguraikan apa urusan ini, tapi dia kenal watak anak gadis ini, apalagi cuma dia sendiri yang mengetahui rahasia lelaki yang dicintainya, maka persoalan lain tentu takkan diusut lebih lanjut.
Benar juga, Samkohnio menjadi gembira pula, betapa pun dia merasa Siau-hi-ji masih tetap baik padanya, kalau tidak masakah cuma dia sendiri yang diberitahukan rahasianya.
Maka dengan suara tertahan ia pun balas mendesis.
"Ya, jangan khawatir, pasti takkan kukatakan pada orang lain."
Siau-hi-ji berkerut kening, katanya pula.
"Tapi untuk urusan ini aku masih perlu bantuan orang."
"Dapatkah aku membantumu?"
Tanya Samkohnio cepat. "Sebenarnya aku ingin mencari orang lain saja, tapi ... tapi kalau engkau suka membantu sudah tentu akan kuterima dengan senang hati,"
Kata Siau-hi-ji. Samkohnio bertambah gembira, ucapnya.
"Memang sudah kukatakan sejak dulu-dulu, tak peduli apa permintaanmu tentu kusanggupi."
Bahwa pemuda yang dicintainya tidak mencari bantuan pada orang lain tapi justru mencari bantuan padanya, ini menandakan anak muda itu memang menaruh perhatian kepadanya, keruan Samkohnio kegirangan setengah mati.
Dari air muka si nona, Siau-hi-ji yakin urusan pasti tak menjadi soal lagi, segera ia berkata.
"Sesungguhnya urusan ini pun tiada sesuatu kesukaran, asalkan kau bawa orang ini ke rumahmu, tengah malam nanti baru kau taruh dia di suatu tempat."
"Ah, terlalu mudah, pasti dapat kulaksanakan dengan baik,"
Ucap si nona gede.
"Tapi kau harus ingat dua hal.
Pertama, jangan sekali-kali dia terlihat oleh siapa pun juga.
Kedua, harus kau sembunyikan dia tepat pada tengah malam nanti, tidak boleh lebih dari dini hari dan juga tidak boleh terlambat."
"Baik, jangan khawatir, pasti akan kukerjakan dengan betul,"
Jawab Samkohnio dengan tertawa.
Dan baru sekarang dia sempat memperhatikan Buyung Kiu.
Seluruh badan Buyung Kiu terbungkus oleh mantel hitam sampai kepalanya juga tertutup rapat, dengan sendirinya Samkohnio tidak tahu bagaimana bentuknya, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia tanya.
"Siapakah orang ini?"
"Dia sangat erat hubungannya dengan urusan yang hendak aku kerjakan ini, selanjutnya kau tentu akan tahu,"
Jawab Siau-hi-ji secara samar-samar. Ia mendorong Buyung Kiu ke depan Samkohnio, lalu berkata pula.
"Nah, lekas kalian pergi sekarang!"
Buyung Kiu menoleh dan seperti ingin bicara sesuatu, tapi Siau-hi-ji telah mendahului pergi. Samkohnio merasa sangsi melihat sikap mereka itu, tapi akhirnya ia cuma menghela napas dan berkata.
"He, ikutlah padaku." *** (. ) Sebelum tiba waktunya Siau-hi-ji sudah berada di sutheng yang dijanjikan itu, ia memeriksa sekelilingnya, orang-orang yang diundangnya ternyata belum ada yang hadir. Ia mengatur sekadar di sekitarnya, lalu mencari suatu tempat baik untuk bersembunyi, dari sini ia dapat melihat setiap orang yang berada di dalam sutheng, tapi orang lain pasti tidak melihatnya. Habis itu ia merenung kembali persoalan ini dari awal hingga akhir. Setelah menerima surat yang ditulis Buyung Kiu itu pasti Cin Kiam dan Lamkiong Liu akan datang. Sesudah membaca suratnya itu, Kang Piat-ho juga pasti akan hadir. Rombongan Cin Kiam itu tentunya akan membawa 80 laksa tahil perak kontan dan rombongan Kang Piat-ho justru datang hendak mencari harta karun. Bila kedua kelompok ini kepergok di sini mustahil takkan terjadi ramai-ramai. Meski mereka tidak memakai kedok, tapi di tengah malam gelap pasti tidak jelas terlihat oleh pihak lawan, dalam keadaan sama-sama cemas dan gelisah, sekali tidak cocok bicara mustahil kedua pihak tidak saling labrak, bila Samkohnio telah membawa si Buyung Kiu ke tempat tinggal Kang Piat-ho dan setelah orang-orang keluarga Buyung Kiu menerima laporan gelap Pek Khay-sim, lalu Buyung Kiu dapat ditemukan di sana, mustahil keluarga Buyung takkan mencari perkara kepada Kang Piat-ho? Sungguhpun Kang Piat-ho cukup lihai, tapi keluarga Buyung juga bukan pihak yang boleh diremehkan. Jadi rencana Siau-hi-ji tidak cuma sekali tepuk dua lalat saja, tapi beberapa lalat akan kena ditepuknya sekaligus. Pertama, dengan cara Kang Piat-ho sendiri dia dapat membalasnya agar orang she Kang itu pun merasakan bagaimana pahitnya difitnah orang. Kedua, Lamkiong Liu, Siau-sian-li dan kawan-kawannya semalam telah menuduhnya secara semena-mena, maka ia pun ingin membikin mereka tahu rasa. Sudah diperhitungkan setelah mereka menerima laporan gelap Pek Khay-sim, tentu mereka akan membagi diri dengan dua kelompok, yang satu memeriksa ke taman keluarga Toan, kelompok lain datang ke sutheng ini. Yang datang ini bisa jadi cuma Cin Kiam, Siau-sian-li dan Koh Jin-giok bertiga, sekalipun ketiga orang ini mampu mengatasi Kang Piat-ho, tapi sedikitnya mereka pun akan merasakan kelihaian orang she Kang itu. Ketiga, akhirnya ia telah mengirim kembali Buyung Kiu kepada keluarga sendiri, kelak andaikan pikirannya tetap tidak waras, tapi berada di tengah keluarga sendiri tentunya tidak perlu khawatir lagi akan dianiaya orang. Untuk ini Siau-hi-ji merasa telah berbuat sesuatu pahala yang melegakan hati. Keempat, setelah Kang Piat-ho terjebak sekali ini, seumpama tidak mampus, sedikitnya akan dapat menghajar adat padanya dan mengurangi kemunafikannya, Pek Khay-sim dan lain-lainnya mungkin juga tidak berani mencari gara-gara lagi. Dengan demikian dunia Kangouw untuk sementara bisa jadi aman tenteram. Kelima, harta karun keluarga Toan yang dirampok itu bisa juga ditemukan dan kembali kepada pemiliknya, betapa pun Toan Hap-pui dan Samkohnio selama ini cukup baik padanya dan dengan demikian berarti dia telah membalas budi kebaikan mereka. Keenam, kematian Thi Bu-siang yang penasaran itu juga dapat terbalas dan nama baiknya dapat dipulihkan kembali. Begitulah rencana Siau-hi-ji ini ternyata sekali pukul tujuh sasaran, walaupun praktiknya harus menghadapi banyak kesukaran dan keruwetan, tapi rasanya cukup berharga dengan jerih payahnya. Meski rencananya ini akan banyak membikin orang celaka, tapi juga banyak membikin orang menerima manfaatnya. Apa yang diperbuat Siau-hi-ji memang ada yang baik dan ada yang busuk, tapi kalau ditimbang tetap lebih banyak yang baik daripada yang busuk, apalagi biarpun busuk juga busuknya tidak rendah dan kotor, busuknya busuk menarik. Apa pula orang yang dibikin susah olehnya justru adalah manusia busuk yang berpuluh kali lebih busuk daripada dia. Begitulah Siau-hi-ji merenungkan kembali rencana yang diaturnya itu, semakin dipikir terasa sempurna rencananya ini, ia yakin biarpun Kang Piat-ho yang pintar dan licin itu juga takkan mampu merancang tipu muslihat sebagus ini. Kang Piat-ho, Cin Kiam, Lamkiong Liu, Pek Khay-sim, Lo Kiu, Lo Sam .... Setiap orang yang bersangkutan dengan rencana ini biarpun semua tergolong tokoh mahalihai, tapi semuanya telah kena diperalat dan diadu domba tanpa sadar, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mampu membongkar tipu muslihatnya yang bagus ini. Semakin dipikir semakin senang hati Siau-hi-ji, tanpa terasa ia tertawa dan bergumam.
"Nah, siapa berani bilang aku ini bukan orang pintar nomor satu di dunia ini? Siapa bilang aku bukan jenius?" *** (. ) "He, ikutlah padaku!"
Demikian Samkohnio sedang mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras.
Tapi Buyung Kiu masih termangu-mangu memandangi bayangan Siau-hi-ji yang telah menghilang itu.
Samkohnio berkerut kening, ia memutar ke depan Buyung Kiu, sedikitnya ia satu kepala lebih tinggi, dengan sendirinya ia dapat mengaling-alingi pandangan nona Buyung itu.
"Ke ...
kenapa kau menutupi pandanganku?"
Tanya Buyung Kiu. "Dia sudah pergi, apa yang hendak kau lihat?"
Jengek Samkohnio. Buyung Kiu memiringkan kepalanya dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan rada rawan.
"Ya, betul ia sudah pergi .... Tapi tahukah bahwa selanjutnya dia akan datang pula menjenguk aku."
"Dia bohong padamu,"
Teriak Samkohnio dengan dongkol.
"Setelah dia ke sini, selanjutnya dia takkan gubris dirimu lagi."
"Tidak, dia takkan bohong padaku, kutahu,"
Ucap Buyung Kiu dengan tertawa, dengan penuh keyakinan dia angkat kepalanya sehingga cahaya bulan menyinari wajahnya yang bening penuh rasa bahagia di kemudian hari.
Meski Samkohnio juga perempuan, tanpa terasa ia pun kesima menyaksikan sikap Buyung Kiu itu, katanya dengan suara rada gemetar.
"Dari ... dari mana kau tahu dia pasti tidak bohong padamu?"
"Sebabnya dia mengirim diriku ke sini hanya bermaksud mengusir momok yang mengeram di dalam hatiku, habis itu dia tentu akan datang mencariku."
"Ada momok di dalam hatimu?"
"Ya, lantaran momok yang menggoda hatiku ini, makanya aku tidak ingat kejadian masa lampau."
Sambil memandangi wajah yang linglung tapi cantik itu Samkohnio berkata perlahan.
"Kau tidak ingat segalanya?"
"Ehm,"
Buyung Kiu mengangguk.
"Tapi kalau bukan lantaran pikiranmu kurang waras, tentunya dia takkan membawamu ke sini begitu?"
"Kutahu dia juga tidak tega berpisah denganku."
"Jadi setelah ...
setelah kau sembuh nanti, dia akan ...
akan datang lagi menjemputmu?"
Tanya Samkohnio. Suara bernada cemburu itu rada gemetar, cemburu yang keras cukup mendorong seorang perempuan berbuat apa pun juga. Akan tetapi Buyung Kiu tidak tahu sama sekali, dengan tersenyum dia menjawab.
"Ya, dia pasti akan mencariku lagi nanti."
"Apa ... apalagi yang dia katakan padamu?"
Mata Buyung Kiu yang sayu itu tiba-tiba bercahaya, jawabnya dengan tertawa.
"Dia mengatakan juga bahwa aku ini perempuan pintar, asalkan aku menurut perkataannya, maka setiap hari dia akan mendampingiku. Dengan sendirinya aku akan menurut padanya, aku memang harus menurut perkataannya, betul tidak?"
"Tid ... tidak, tidak!"
Mendadak Samkohnio menjerit dengan parau. Buyung Kiu jadi melengak, ucapnya dengan setengah bergumam.
"Kenapa tidak?"
Teriak Samkohnio seperti harimau meraung.
"Sebab sama sekali kau tidak pintar, sedikit pun tidak cantik, kau cuma seorang gila yang bermuka buruk, tidak mungkin dia menyukaimu."
Setelah melengong sejenak, akhirnya air mata Buyung Kiu berlinang-linang, katanya kemudian dengan terputus-putus.
"Tidak, kau ... kau bohong, kau dusta!"
Sorot mata Samkohnio yang sesungguhnya bijak itu tiba-tiba memancarkan sinar jahat, teriaknya.
"Coba pikir, orang baik seperti dia mana bisa menyukai orang gila macam kau?"
Akhirnya Buyung Kiu tidak tahan dan menangis keras-keras, teriaknya sambil mendekap mukanya.
"Bukan, aku bukan orang gila ... aku bukan orang gila ...."
"Kalau bukan orang gila, coba jawab, tahukah siapa dirimu?"
"Aku ... aku ...."
Sedapatnya Buyung Kiu mengingat-ingat, tapi tetap tidak ingat siapa dirinya, dia merasa kepalanya mendadak sakit seakan-akan pecah, ia pukul kepalanya sendiri dengan keras sambil menjerit.
"O, kumohon jangan ... janganlah katanya siapa diriku, aku tidak ... tidak tahu ...."
"Seorang kalau tidak tahu siapa diri sendiri, lalu apa kau bukan orang gila?"
Jengek Samkohnio. Sekonyong-konyong Buyung Kiu berteriak dengan histeris.
"Aku orang gila ... dia tidak suka padaku ... dia tidak suka padaku ...."
Di tengah teriaknya itu dia terus berlari pergi sambil menangis. Samkohnio tidak mencegah, dia pandang bayangan nona linglung itu menghilang di kejauhan, habis itu dia menghela napas lega, gumamnya.
"Pergilah, pergilah sejauh-jauhnya agar selamanya dia takkan menemukan dirimu...."
Tanpa terasa tersembul senyuman kemenangannya yang kejam.
Nona besar yang biasanya berhati baik itu sekarang ternyata tega berbuat sekejam itu, soalnya dia anggap demi untuk mendapatkan lelaki yang dicintainya, apa pun yang diperbuatnya adalah wajar, adil, tidak mungkin orang menyalahkan tindakannya itu.
Nyata, betapa pun sempurna dan rapi rencana yang telah diatur dan telah mulai dilaksanakan Siau-hi-ji itu, akhirnya dia toh melupakan sesuatu.
Dia lupa bahwa di dunia ini mutlak tiada perempuan yang tidak cemburu.
Dia lupa bahwa hati perempuan kebanyakan mudah berubah, dia lupa bahwa janji perempuan baru dapat bertahan apabila janji itu masih menguntungkan perempuan itu.
Kalau perempuan dapat mempertahankan janji sendiri tanpa syarat, rasanya inilah baru keajaiban benar-benar.
Seorang lelaki kalau kebetulan melupakan pasal ini, maka biarpun apa yang diperbuatnya tentu takkan berhasil, kecuali dia memang lagi mujur.
*** (.
) Sementara Siau-hi-ji sedang menunggu dengan tenang di tempat yang gelap, tapi selama itu belum terlihat seorang pun, di luar kota yang sepi dengan sendirinya tidak terdengar tanda-tanda waktu, maka ia pun tidak tahu saat itu sudah tiba waktunya atau belum.
Namun Siau-hi-ji masih bisa bersabar, sebab dia yakin orang-orang itu mau tidak mau pasti datang, cuma caranya menunggu tanpa mengetahui waktu memang membuatnya kesal.
Akhirnya terdengarlah ada suara di kejauhan.
Siau-hi-ji terbangkit, pikirnya.
"Yang datang lebih dulu ini entah siapa? Meski kedua kelompok ini sama-sama gelisahnya, tapi Kang Piat-ho mungkin lebih mampu menahan perasaannya, jadi sepantasnya yang datang lebih dulu adalah Cin Kiam."
Terdengar di antara suara itu bercampur pula dengan suara kereta serta ringkik keledai. "Yang datang ini ternyata betul rombongan Cin Kiam, malahan mempergunakan kereta untuk mengangkut 80 laksa tahil perak itu,"
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian Siau-hi-ji membatin.
Tapi setelah direnungkan lagi, tiba-tiba ia merasakan gelagat tidak beres.
Cin Kiam dan Lamkiong Liu itu adalah putra keluarga bangsawan dan hartawan, kalau menggunakan kereta pengangkut tentunya pakai kereta kuda, tidak mungkin kereta keledai yang tidak dapat lari cepat itu.
Supaya maklum, biarpun Siau-hi-ji ini anak dugal, mbeling, tapi menghadapi suatu persoalan dia dapat berlaku hati-hati, cermat, sedikit keganjilan saja tidak dapat mengelabui dia.
Dengan sendirinya semua ini adalah berkat pengaruh lingkungan.
Sejak dia dibesarkan di Ok-jin-kok, setiap hari dia bergaul dengan kawanan penjahat yang tidak ada taranya dan paling terkenal di dunia ini, tentu saja menghadapi sesuatu dia harus lebih hati-hati, sebabnya beberapa kali dia lolos dari kematian sesungguhnya juga bukan lantaran nasib mujur melulu.
Maklumlah, orang yang selalu berhati-hati pasti juga akan hidup lebih awet daripada orang lain.
Dalam pada itu kereta sudah dalam jarak pandangnya.
Yang datang ternyata bukan kelompok Cin Kiam dan Lamkiong Liu, tapi juga bukan kelompok Kang Piat-ho, akan tetapi yang muncul itu adalah beberapa orang perempuan udik yang berambut semrawut dan berbaju seperti umumnya kalau orang berkabung.
Yang termuat di atas kereta itu pun bukan harta benda melainkan peti mati.
Siau-hi-ji melengak, sungguh sukar dimengerti bahwa mendadak bisa muncul pihak yang tak bersangkutan ini, untuk apakah tengah malam buta kawanan perempuan desa ini datang ke sini dengan membawa peti mati? Terlihat beberapa perempuan itu langsung masuk ke Sutheng, semua lantas berlutut di lantai dan menangis sedih.
Salah seorang yang berada paling kiri sana sembari menyembah sambil sesambatan.
"O, Kongkong (bapak mertua) yang berada di alam baka, bilamana arwahmu maklum, sudilah engkau memberi keadilan padaku. Aku telah menjanda puluhan tahun bagi keluargamu, dengan susah payah akhirnya putra yatim kubesarkan dengan harapan dia akan berbakti padaku agar hidupku selanjutnya tidak sengsara lagi, siapa tahu putra yatim satu-satunya ini telah dicelakai orang, coba, hidupku selanjutnya lantas bagaimana?"
Perempuan ini tampaknya berusia setengah abad, meski memakai baju berkabung, tapi kelihatan prihatin dan terhormat, hal ini terbukti di sebelahnya seorang perempuan lain sedang mengurut-urut punggungnya sambil membujuk.
"Ih-naynay (nyonya muda, sebutan untuk istri muda) janganlah engkau menyusahkan diri sendiri, kalau engkau terlalu berduka dan juga meninggal, maka harta warisanmu seluruhnya akan jatuh ke tangan orang lain, buat apa engkau menyusahkan diri sendiri dan malah membikin senang orang lain."
Dengan menangisnya perempuan di sebelah sini, agaknya perempuan di sebelah sana juga tidak mau kalah, segera ia pun menangis sedih dan berseru.
"O, Kongkong dan Popo yang telah meninggal, apabila arwah kalian mengetahui maka kalian harus membantu menantumu ini untuk merobek mulut perempuan hina itu. Meski anak itu bukan aku yang melahirkan, tapi apa pun juga darah daging keluarga kita dan kalau mau dianggap anak keluarga kita kan juga terhitung anakku pula. Sedang perempuan hina itu datangnya tidak terang, bicaranya tidak jelas, terhitung keluarga apa? Dia memfitnah aku, tujuannya tidak lain hanya ingin mengangkangi harta warisan saja."
Perempuan sebelah kanan ini lebih tua, mukanya juga lebih jelek, badan kurus, kulit keriput, tapi suaranya ternyata lebih nyaring daripada yang lain. Segera seorang perempuan yang berusia lebih muda di sampingnya ikut menangis dan membujuk.
"Toa-nay-nay (nyonya besar, sebutan istri pertama), janganlah engkau menyiksa badan sendiri, kita semua bermata, betapa pun takkan tinggal diam membiarkan perempuan jahat itu mengangkangi harta warisan."
Setelah mengikuti tangisan mereka, diam-diam Siau-hi-ji dapat memahami duduknya perkara.
Tampaknya kedua perempuan yang sahut menyahut itu masing-masing adalah istri kawin dan istri muda, suami mereka sudah lama mati, hanya mempunyai seorang putra yang dilahirkan istri muda.
Dalam masyarakat kuno yang mementingkan keturunan anak laki-laki, karena istri tua tidak mempunyai anak, istri muda jadi ikut bahagia lantaran dapat melahirkan anak laki-laki bagi keluarganya, bisa jadi kekuasaannya jadi lebih besar daripada istri tua.
Tapi ketika anak itu mendadak mati, rasa mendongkol istri tua segera meledak dan bermaksud mengusir istri muda.
Karena itulah lantas istri muda menuduh anaknya dibunuh oleh istri tua dan berbalik hendak memaksa istri tua pergi dari rumah mereka.
Masing-masing pihak menganggap benar sendiri, maka tengah malam buta mereka telah datang ke Sutheng atau rumah abu leluhur mereka ini.
Bahwa mereka akan saling labrak di Sutheng ini adalah urusan mereka, celakanya mereka justru datang pada tengah malam buta ini.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa kejadian ini bisa sedemikian kebetulan.
Diam-diam dia merasa mendongkol tapi juga geli sendiri, sungguh ia ingin menghalau pergi kawanan perempuan itu.
Namun jelek-jelek Sutheng itu adalah rumah abu keluarga mereka sendiri, apalagi Siauhi-ji juga khawatir bila saja dia unjuk diri sekarang, kalau mendadak Kang Piat-ho dan lain-lain juga muncul, kan bisa runyam? Selagi Siau-hi-ji mengumpat di dalam hati, sekonyong-konyong dilihatnya beberapa sosok bayangan hitam melayang tiba, semua berpakaian hitam ketat, bahkan juga berkedok hitam.
"Itu dia Kang Piat-ho!"
Berdebar jantung Siau-hi-ji.
Beberapa perempuan itu masih menangis terus, dan bertengkar sendiri, sama sekali mereka tidak tahu bahwa di dalam Sutheng itu bertambah beberapa orang.
Beberapa orang berbaju hitam itu pun berdiri saja di situ tanpa bersuara.
Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu masih saling mencaci, sekarang mereka tidak lagi bertengkar, tapi saling menuding dan memaki secara langsung.
"Kau perempuan hina dina,"
Demikian istri tua itu mendamprat sambil tunjuk hidung sang istri muda.
"Berkat potonganmu yang mirip siluman kau memikat suamiku sehingga mati, sekarang anakmu juga sudah mati, itu namanya kualat, kenapa kau malah memfitnah dan menyalahkan aku?"
Sudah tentu istri muda itu tidak mau kalah, kontan ia pun balas memaki.
"Kau ini siluman tua yang suka minum cuka, lebih baik kau bercermin dulu dengan air kencingmu, tapi kau lebih suka cemburu dan bersaing dengan orang lain. Suamiku justru mati gemas lantaran tingkah polahmu."
"Memangnya siapa suamimu? Huh, tidak tahu malu, suami orang diaku-akui,"
Damprat istri tua dengan gusar. "Kau sendiri tidak tahu malu,"
Balas istri muda.
"sudah ditiduri sekian tahun, jangankan anak, kentut saja tidak keluar. Jika tidak ada aku, huh, yang meneruskan keturunannya saja tidak ada."
Nyata istri muda ini lebih tajam lidahnya, cara berolok-olok juga lebih kena, keruan istri tua menjadi gemetar saking murkanya, sekonyong-konyong ia menubruk maju.
"plak", kontan ia tampar muka istri muda. Sudah tentu sang istri muda tidak terima, segera ia memaki.
"Bagus, kau berani memukul orang, biar kuadu jiwa denganmu!"
Berbareng ia pun balas menjambak rambut sang istri tua, keduanya lantas bergumul.
Beberapa perempuan yang berusia lebih muda di sebelah mereka cepat hendak melerai, tapi akhirnya mereka pun kena digampar sana-sini, yang memisah itu jadinya ikut berkelahi dengan lebih sengit.
Begitulah beberapa perempuan itu lantas saling jambak dan saling betot, beberapa orang bergumul menjadi satu dan akhirnya terguling-guling di lantai, makin berguling makin mendekat ke arah beberapa orang berbaju hitam itu, mereka seperti sudah kalap, jelas di dekat mereka berdiri orang-orang berbaju hitam, tapi seakan tidak melihatnya.
Beberapa orang berbaju hitam itu pun aneh, mereka menyaksikan perkelahian kawanan perempuan itu dengan acuh, dianggapnya seperti tontonan murahan saja.
Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar serentetan suara mendesing, berpuluh sinar hitam mendadak menyambar keluar dari onggokan kawanan perempuan yang sedang bergumul itu.
Senjata rahasia sebanyak itu menyambar dengan cepat lagi keji, seketika beberapa orang berbaju hitam itu terkurung di bawah ancaman dan tampaknya tiada satu pun bisa menghindarkan diri.
Sejak tadi Siau-hi-ji memang sudah merasakan gelagat tidak beres.
Meski rambut kawanan perempuan itu semrawut tak teratur, kulit muka mereka pun kasar dan keriput, tapi tangan mereka kelihatan putih halus, jari jemari pun lentik terpelihara.
Setelah menemukan titik yang mencurigakan ini, seketika mata Siau-hi-ji terbeliak, pikirnya.
"Para nona keluarga Buyung memang lihai, tampaknya Kang Piat-ho pasti akan terjebak sekali ini."
Dan baru saja berpikir, pada saat itulah senjata rahasia tadi lantas dihamburkan.
Di luar dugaan, ternyata orang-orang berbaju hitam itu pun sudah memperhitungkan akan kemungkinan ini.
Begitu senjata rahasia musuh menyambar tiba, serentak mereka pun mengapung ke atas.
"creng", pedang dan golok segera mereka lolos, dari atas segera mereka menerjang kawanan perempuan itu. Kawanan perempuan ternyata tiada satu pun yang lemah, serentak mereka menjatuhkan diri ke lantai dan menggelinding ke samping sehingga serangan musuh terelakkan, waktu mereka melompat bangun, tangan masing-masing ternyata sudah bertambah sejenis senjata. Si baju hitam yang menjadi kepala mendengus.
"Hm, perempuan konyol, berani main gila di depanku, memangnya kalian sangka kami mudah dijebak? padahal kami sebelumnya sudah menyelidiki Sutheng ini sudah tidak ada ahli warisnya, keturunannya sudah putus dan mati ludes. Siapa kalian dan untuk apa kalian datang ke sini? Kalau tidak mengaku terus terang, hm, jangan harap kalian dapat pergi dengan hidup."
Diam-diam Siau-hi-ji mengakui kelicinan Kang Piat-ho, terhadap sesuatu persoalan, sebelum bertindak tentu diselidikinya dengan teliti. Maka terdengar Toa-nay-nay tadi menjengek.
"Hm, untuk apa kami datang ke sini, masakah tidak tahu?"
Jawaban ini sebenarnya wajar dan sederhana, tapi bagi si baju hitam yang banyak tipu akalnya dan suka berpikir mendalam, ucapan yang sederhana itu baginya menjadi sangat ruwet dan luas artinya, apalagi persoalan ini menyangkut suatu partai harta benda yang bernilai besar serta nyawa Kang Giok-long.
Kedatangannya sendiri dengan menyerempet bahaya justru mengenai kedua persoalan penting itu.
Kalau dia datang untuk itu, mana boleh dia menyatakan "tahu", ini sama saja dia mengakui bahwa harta kiriman itu memang dirampas olehnya.
Bilamana lawan sengaja memasang jeratan untuk memancing pengakuannya, maka ini berarti dia telah terjebak pula.
Melihat lawan ragu-ragu tak berani menjawab, mau tak mau para perempuan menjadi curiga, si Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay saling memberi tanda, lalu Ih-nay-nay membuka suara.
"Siapa kau sesungguhnya? Memangnya kedatanganmu ini bukan karena surat itu?"
Si baju hitam tidak sangsi lagi kini, jengeknya.
"Kalau bukan soal itu masakah aku bisa datang ke sini?"
"Jika begitu, jadi pasti kau menghendaki harta itu?"
Tanya Ih-nay-nay. Si baju hitam tambah mantap, jawabnya dengan bengis.
"Bukan saja harta itu, bahkan juga orangnya."
Air muka Toa-nay-nay rada berubah, tukasnya dengan gusar.
"Selain harta juga kau tetap menghendaki orangnya."
"Ya, dua-duanya, satu pun tidak boleh kurang!"
"Berdasarkan apa kau berani bersikap semena-mena begini?"
Damprat Ih-nay-nay gusar. "Berdasar pedangku ini?"
Jengek si baju hitam. Kini kedua pihak sama-sama yakin pihak lain adalah sasaran yang hendak dihadapinya, mereka tidak tahu bahwa salah paham mereka semakin dalam, bagi si baju hitam "harta rampasan"
Dan Kang Giok-long memang sama pentingnya dan tidak boleh berkurang satu pun, sebaliknya kawanan perempuan itu mengira pihak lawan selain menghendaki uang tebusan juga tetap hendak menahan Buyung Kiu.
Begitulah percakapan kedua pihak itu semakin menyenangkan Siau-hi-ji, dia berharap agar mereka akan lekas saling labrak, makin sengit makin baik.
Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu saling mengedip pula, lalu Ih-nay-nay itu berteriak.
"Bicara terus terang, harta dan orang jangan kau harapkan, pada hakikatnya kami tidak membawa harta apa pun, tentang orang ... jika kau menghendaki orangnya, maka kami menghendaki jiwamu!"
"Kan sudah kukatakan, harta dan orang tidak boleh kurang satu di antaranya, sekarang serahkan dulu hartanya!"
Jengek si baju hitam itu, diam-diam ia pun memberi tanda kepada kawan-kawan di belakangnya.
Serentak empat orang baju hitam melompat ke sana, kontan keledai penarik kereta itu dibacok terguling.
Dua orang di antaranya lantas mengangkat peti mati di atas kereta terus dituang ke bawah, maka terdengar suara gemerencing nyaring, tak terhitung banyaknya potongan perak tertuang dari peti mati itu.
Meski di tengah malam gelap perak-perak itu pun kemilauan menyilaukan mata, beberapa orang berbaju hitam itu sampai melengak kesima, maklumlah selama hidup mereka mana pernah melihat harta sebanyak itu.
"Sudah kukatakan sejak tadi, jangan, kalian coba-coba main gila padaku, memangnya aku mudah ditipu?"
Seru si baju hitam yang menjadi pemimpin itu dengan bergelak tertawa.
Setelah menyaksikan perak-perak ini, nafsu membunuhnya semakin berkobar.
Pikir saja, di dunia ini mana ada orang sengaja menyembunyikan harta benda sebanyak itu di dalam peti mati tanpa sebab dan dibawa ke tempat ini.
Jelas inilah sebagian daripada harta yang pernah dirampasnya itu.
Dalam pada itu ia telah memberi tanda pula, beberapa orang berbaju hitam segera hendak menerjang kawanan perempuan itu, pada saat itu juga terdengar serentetan suara mendesing, dari dalam peti mendadak menyambar keluar berpuluh jalur sinar ke arah orang berbaju hitam.
Kontan beberapa orang itu menjerit dan roboh terkapar.
Hanya si baju hitam yang menjadi pemimpinnya itu berdiri agak jauh, reaksinya juga cepat, sinar pedang segera berputar sehingga senjata rahasia yang menyambar ke arahnya itu disampuk jatuh.
Mau tak mau ia pun terkejut dan gusar pula melihat anak buahnya telah menjadi korban seluruhnya.
"Perempuan keji,"
Dampratnya gusar.
"Kau berani ...."
"Hm, terhadap orang keji macam kau ini dengan sendirinya harus juga menggunakan cara keji begini!"
Jengek si Toa-nay-nay tadi. Bersama kawan-kawannya segera mengepung maju. "Blang", mendadak dasar peti mati bergetar mencelat, seorang telah melompat keluar pula dan berdiri di belakang si baju hitam, bentaknya dengan suara bengis.
"Apa lagi yang hendak kau katakan?"
Meski terkepung di tengah, namun si baju hitam sedikit pun tidak gentar, sebaliknya ia malah menjengek.
"Hm, rapi juga tindak tanduk kalian, agaknya aku teramat menilai rendah kemampuan kalian. Tapi masih agak terlalu pagi kalau sekarang kalian sudah merasa senang."
Orang yang melompat keluar dari peti mati itu berpakaian ketat, bertubuh ramping, mukanya masih terselubung sehelai sutera tipis, tapi sekali pandang Siau-hi-ji lantas mengenalnya sebagai Siau-sian-li.
Mungkin watak Siau-sian-li terkenal berangasan, juga tidak pintar pura-pura menangis, maka kawan-kawannya menyuruh dia bersembunyi di dalam peti mati agar tindakan mereka tidak diketahui musuh.
Sudah sekian lamanya dia tersekap di dalam peti mati dengan rasa mendongkol yang tak terlampiaskan, kini sudah berhadapan dengan musuh, kontan pedang menusuk ke punggung si baju hitam sambil membentak.
"Tidak perlu membacot, serahkan nyawamu."
Si baju hitam tidak menoleh, pedangnya menangkis ke belakang dan ditarik ke atas, hampir saja pedang Siau-sian-li terlepas dari cekalan.
Setelah tangannya tergetar linu pegal barulah Siau-sian-li tahu si baju hitam ternyata bukan lawan lemah, ia terkejut dan gusar, bentaknya.
"Keparat, sudah dekat ajalmu masih berani berlagak."
Sekali putar pedangnya, si baju hitam mundur ke pojok dinding, lalu menjengek.
"Hm, yang dekat ajal itu siapa? Bolehlah kalian lihat saja nanti!"
Tanpa terasa semua orang mengikuti arah sinar mata si baju hitam, tertampak di sekeliling Sutheng itu sudah bertambah sekawanan orang berbaju hitam, semuanya memegang busur dan anak panah siap dibidikkan, bahkan di antara lubang dinding dan celah-celah pintu juga kelihatan ujung anak panah yang gemerlapan.
Keruan kawanan perempuan terkejut, meski ilmu silat mereka tergolong kelas tinggi, tapi menghadapi barisan pemanah demikian, biarpun tokoh dunia persilatan paling terkemuka juga rada-rada gentar.
Segera si baju hitam menjengek.
"Di sekitar Sutheng ini sudah siap ratusan pasang busur yang kuat, bilamana kuhitung sampai tiga dan kalian tidak meletakkan senjata serta menyerahkan diri, maka bagaimana akibatnya dapat kalian bayangkan sendiri."
Barisan pemanah sebanyak itu, jika mereka terbagi dalam dua-tiga regu dan memanah secara sambung menyambung, maka betapa pun sukar untuk ditahan biarpun jago kelas wahid sekalipun.
Dengan sendirinya kawanan perempuan itu pun tahu akan hal ini, andaikan ada satu-dua orang dapat meloloskan diri, tapi selebihnya pasti akan terkubur di rumah abu ini.
Maka mereka lantas berkumpul menjadi satu untuk berunding, dari sikap Siau-sian-li dan Ih-nay-nay, tampaknya mereka berpendirian akan melabrak musuh apa pun risikonya, tapi si Toa-nay-nay tampak mencegah mereka.
Si baju hitam mengikuti kasak-kusuk kawanan perempuan itu, tiba-tiba ia mulai menghitung.
"Satu ."
"Bagaimana kalau kami memberikan harta dan orangnya?"
Tiba-tiba seru si Toa-nay-nay. Si baju hitam menjawab dengan ketus.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih dulu orangnya di ...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar jeritan ramai, beberapa orang baju hitam yang berada di luar Sutheng itu mendadak roboh terjungkal, barisan pemanah yang mengepung dengan ketat seketika kacau balau. Cepat si Ih-nay-nay berteriak.
"Sam-moay, Cing-moay, ayolah turun tangan, tunggu apa lagi!"
Di tengah teriakan itu, sinar pedangnya berkelebat terus menusuk ke arah si baju hitam.
Rupanya Siau-hi-ji tidak tinggal diam, setelah sekian lamanya kedua belah pihak belum lagi saling labrak seperti ada yang diharapkannya, apalagi dilihatnya ada kecenderungan kedua pihak akan berunding, maka ia harus cepat bertindak, kalau tidak pasti muslihatnya akan terbongkar.
Berpikir demikian, segera beberapa biji kerikil yang sudah dipersiapkan dihamburkannya.
Betapa kuat tenaga Siau-hi-ji sekarang, biarpun sepotong batu kecil juga sukar ditahan oleh orang-orang itu, serentak belasan orang telah tersambit batu kerikil hingga kepala pecah dan darah bercucuran serta bergelimpangan di tanah, tapi tiada seorang pun yang tahu dari mana datangnya senjata rahasia itu.
Sementara itu pedang Ih-nay-nay tadi dalam sekejap saja sudah melancarkan belasan kali serangan, meski orang perempuan, tapi ilmu pedangnya ternyata sangat ganas dan tidak kalah tangkasnya daripada jago pedang yang pernah malang melintang di dunia Kangouw.
Diam-diam si baju hitam tadi terkejut oleh serangan pedang lawan yang hebat dan tanpa kenal ampun ini, bahkan tampaknya tidak gentar untuk gugur bersama.
Apalagi si Toa-naynay masih menunggu di samping dengan pedang terhunus, agaknya tiada maksud mengerubutnya.
Padahal perempuan melawan lelaki betapa pun juga kalah tenaga, jika pihak perempuan main keroyok juga takkan dicemoohkan orang Kangouw.
Tapi Toa-nay-nay tetap menjaga harga diri dan tidak sudi main kerubut, perempuan yang berwibawa sedemikian sungguh jarang ada di dunia Kangouw.
Makin dilihat makin heran si baju hitam, makin dipikir juga makin terkejut.
Yang lebih membuatnya terkesiap adalah kedua perempuan lain yang berdandan sebagai pelayan, cara mereka menyambitkan senjata rahasia ternyata sangat jitu, asalkan tangannya bergerak, seketika satu-dua orang di luar sana menjerit dan roboh.
Siau-hi-ji juga sudah menerjang keluar sejak tadi, ratusan laki-laki berseragam hitam itu kini sudah tersisa empat sampai lima puluh orang saja, untuk menjaga diri saja repot, jangankan hendak melepaskan panah.
Sungguh senang Siau-hi-ji menyaksikan pertarungan seru ini, sudah beberapa kali dikibuli Kang Piat-ho, baru sekarang rasa dendamnya itu sedikit terlampias.
Setelah belasan gebrak lagi, pedang si Ih-nay-nay bertambah cepat dan keji, setiap serangannya tidak pernah meninggalkan tempat mematikan di tubuh si baju hitam, malahan ujung pedangnya selalu mengincar tenggorokan lawan.
Melihat keadaan ini, orang lain tentu menganggap Ih-nay-nay itu sudah berada di atas angin.
Tiada yang tahu bahwa si baju hitam justru sangat licin, sambil bertahan dia justru sedang memeras otak memikirkan sebab musabab kejadian ini.
Setelah paham duduk perkaranya, mendadak ia bergelak tertawa, dengan lurus pedangnya terus menabas.
Seketika Ih-nay-nay itu merasakan pedang lawan yang tampaknya mengambang itu membawa daya tekanan yang mahaberat, belum tiba pedangnya suatu arus kekuatan sudah membanjir tiba lebih dulu, untuk menghindar ternyata tidak keburu lagi, terpaksa ia angkat pedang menangkisnya.
Meski ilmu pedangnya cukup ganas, tapi tenaga dalamnya selisih jauh kalau dibandingkan si baju hitam, apalagi tebasan si baju hitam itu menggunakan sepenuh tenaga.
Agaknya tadi Ih-nay-nay rada meremehkan ilmu silat si baju hitam, kini setelah merasakan gelagat jelek, namun sudah terlambat, biarpun menyadari keadaan rada gawat, terpaksa ia harus mengadu tenaga sebisanya.
Toa-nay-nay itu pun dapat melihat gelagat jelek, dengan khawatir cepat ia berseru.
"Awas, jangan mengadu tenaga dengan dia!"
Meski dia tidak sudi main keroyok, tapi kini keadaan sangat mendesak, tanpa pikir lagi ia terus menubruk maju, dibarengi bentakan pedangnya terus memapak ke depan.
"Creng", terdengar suara nyaring disertai percikan lelatu api.
Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay berdua melawan satu dan ternyata tenaga mereka tetap kalah kuat, setengah badan mereka sama merasa kaku kesemutan, pedang mereka pun hampir terlepas dari pegangan.
Diam-diam Siau-hi-ji menggerutu.
"Kawanan budak ini sungguh konyol, tidak menggunakan kepandaian andalan sendiri, sebaliknya malah mengadu tenaga dengan lawan, kan mencari penyakit namanya?"
Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu segera melompat ke samping hingga mepet dinding, tapi mereka tidak menjadi gugup, diam-diam sebelah tangan mereka sudah menyiapkan senjata rahasia.
Ginkang dan Am-gi keluarga Buyung sangat terkenal di dunia persilatan, bilamana si baju hitam kemaruk akan kemenangan dan memburu maju, bisa jadi ia akan celaka sendiri oleh serangan Am-gi lawan.
Di luar dugaan ia hanya berhenti di tempatnya, serunya dengan tertawa lantang.
"Hari ini aku tidak minta apa-apa kepada kalian, baik harta maupun orang, sekarang juga kumohon diri!"
Sembari bicara ia terus melangkah mundur.
Tindakan ini sungguh di luar dugaan Siau-hi-ji, Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay pun terheran-heran, jelas pihak lawan sudah unggul, mengapa tidak menggempur lebih lanjut, sebaliknya malah mengundurkan diri.
"Tadi kau mendesak orang mati-matian, sekarang malah mau pergi begini saja, sebab apa sebenarnya?"
Tanya Ih-nay-nay. "Tadi aku tidak tahu kalian ini siapa, jika kupergi begitu saja tentu kelak tidak mudah mencari kalian, dengan sendirinya tadi aku tak mau pergi secara begini,"
Jawab si baju hitam dengan tertawa. "Dan sekarang?"
Tanya pula si Ih-nay-nay. "Sekarang keadaan sudah berubah,"
Jawab si baju hitam.
"Para nona keluarga Buyung punya nama dan alamat jelas, biarpun sekarang kugagal mendapatkan barangku, memangnya kelak aku tak dapat berkunjung ke kediaman kalian?"
"Maksud kau telah mengetahui asal-usul kami?"
Tanya Ih-nay-nay dengan melengak. "Jikohnio (nona kedua) keluarga Buyung memang terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat, kalau hal ini tak dapat kukenali sama saja aku ini orang buta,"
Ucap si baju hitam. Mendadak Ih-nay-nay itu menarik rambutnya dan mengeletek kedoknya, tertampaklah wajah putih nan bersih dengan mata yang melotot gusar, jengeknya.
"Biarpun kau kenal aku, tapi aku tidak kenal kau, memangnya kau kira dapat pergi begitu saja?"
"Dia takkan dapat pergi lagi!"
Sambung seorang tiba-tiba, Siau-sian-li sudah mengadang di belakang si baju hitam. Si baju hitam terkekeh-kekeh dan berkata.
"Kalau aku tak dapat pergi, buat apa aku bicara seperti tadi?"
"Hm, ingin kulihat bagaimana caramu pergi dari sini?!"
Bentak Buyung Siang, si nona kedua keluarga Buyung, yang menyamar Ih-nay-nay tadi.
Watak nona kedua keluarga Buyung ini memang berangasan, apalagi tadi dia telah kecundang, tapi ia tidak menjadi gentar, segera ia menubruk maju pula.
Tapi Toa-nay-nay telah menahan serangannya.
Tentu saja Buyung Siang menjadi gusar, omelnya.
"Sam-moay, memangnya kau hendak melepaskan dia dan tidak ingin mencari Kiu-moay lagi?"
"Kalau dia tak dapat pergi, biarlah kita bereskan dia secara perlahan-lahan saja,"
Ucap nona ketiga keluarga Buyung alias Buyung San.
Di antara kesembilan taci beradik keluarga Buyung, nona ketiga ini terkenal cerdik pandai, biarpun watak si nona kedua biasanya kaku dan keras, tapi terhadap ucapan sang adik ketiga ini biasanya dia suka menurut.
Tapi sekarang ia rada mendongkol dan mengomel.
"Kenapa mesti perlahan-lahan, memangnya apa yang kau tunggu?"
"Kukira di balik persoalan ini ada sesuatu kejanggalan,"
Ujar Buyung San. "Kejanggalan bagaimana?"
Tanya Buyung Siang. "Bahwa orang ini telah berjanji menemui kita di sini, seyogianya dia sudah tahu siapa kita ini, tapi baru sekarang dia mengetahui asal-usul kita, bukankah ini rada mengherankan?"
Melengak juga Buyung Siang, tapi ia tetap tak sependapat, katanya.
"Kenapa mesti heran, bukan mustahil dia sengaja berlagak pilon."
"Benar, bekuk saja dia dahulu dan urusan belakang,"
Sambung Siau-sian-li. Sejak tadi si baju hitam mengikuti percakapan kakak beradik Buyung itu dengan penuh perhatian, kini mendadak ia berseru.
"Nanti dulu, mungkin sekali dalam persoalan ini kita sama-sama terjebak oleh tipu adu domba pihak lain ...."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan, sebuah hiolo (tempat dupa) menggelinding jatuh dari atas belandar dengan menyeret sehelai kain putih. Di atas kain itu tertulis.
"Kang Piat-ho, kejahatanmu sudah melebihi takaran, kini biarpun kau hendak menyangkal juga tidak bisa lagi". Tulisan di atas kain itu cukup besar sehingga di waktu malam juga kelihatan dengan jelas. Tentu saja semua orang terkejut.
"Jadi kau ... kau ini Kang Piat-ho?"
Seru Buyung Siang.
Sinar mata si baju hitam menampilkan rasa terkejut dan gelisah, dia menyadari sekali ini benar-benar telah masuk perangkap orang, tapi siapa sesungguhnya biang keladi yang mengatur tipu muslihat ini sama sekali tidak diketahuinya.
Kalau ada seorang lawan yang diam-diam selalu mengincar setiap gerak-geriknya, maka sekalipun dia dapat meloloskan diri nanti, selanjutnya ia pun tak dapat makan dan tidur dengan tenteram.
Dasar dia memang dapat berpikir banyak dan mendalam, kalau orang lain hanya dapat memikirkan suatu hal, tapi sekaligus dia dapat berpikir sepuluh soal, terkadang hal ini malah membikin susah dia, sebab kalau dia sedang merenungkan sesuatu lalu lupa memberi jawaban.
Segera Buyung Siang menjengek pula.
"Hm, Kang-lam-tayhiap yang termasyhur ternyata bisa melakukan perbuatan begini."
Belum lagi si baju hitam menanggapi, kembali terdengar suara gemeruduk, sebuah tutup hiolo menggelinding jatuh pula dari atas dan menyeret juga sehelai kain putih dengan tulisan.
"Kang Piat-ho, orang yang kau sembunyikan itu sudah diketemukan."
Kain putih bertulisan itu dengan sendirinya telah disiapkan oleh Siau-hi-ji sebelumnya, ujung kain putih itu dipakunya di atas belandar, lalu ujung yang lain diikat pada hiolo dan digandeng pula dengan seutas benang panjang dan halus memutar ke tempat sembunyinya, asalkan benang ditarik, segera hiolo itu menggelinding jatuh ke bawah dan kain putih itu pun dengan sendirinya ikut terbentang ke bawah.
Dia telah mengikuti percakapan Buyung San dengan si baju hitam tadi, makin lama terasa makin kurang enak dan bisa jadi tipu muslihatnya akan terbongkar, maka cepat ia menarik benang untuk memperlihatkan tulisan yang telah disiapkan lebih dulu itu.
Harapannya hanya untuk mengulur waktu saja sampai datangnya Cin Kiam dan lain-lain.
Menurut perhitungannya, saat ini Cin Kiam dan kawan-kawannya pasti sudah dapat menemukan Buyung Kiu, maka biarpun Kang Piat-ho mempunyai seratus buah mulut juga tidak sanggup membantah karena bukti sudah terpegang.
Rencana Siau-hi-ji sesungguhnya sangat rapi dan tidak mungkin meleset, sungguh mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa karena rasa cemburunya Samkohnio, maka rencana yang telah diaturnya ini menjadi berantakan dan gagal total.
Setelah membaca tulisan pada kedua helai kain putih itu, maka Buyung San yang semula ragu-ragu kini pun tidak sangsi lagi, apalagi Siau-sian-li dan Buyung Siang, mereka bertambah geregetan dan ingin sekali membinasakan Kang Piat-ho.
Tapi orang berbaju hitam itu sebegitu jauh belum mengaku dirinya ialah Kang Piat-ho, sebaliknya juga tidak menyangkal, dia hanya bungkam saja dengan mata melotot memperhatikan senjata lawan.
Jika orang lain, menghadapi persoalan demikian tentu sudah lantas berteriak menyangkal dan berusaha menjelaskan duduknya persoalan.
Tapi orang berbaju hitam itu benar-benar lain daripada yang lain, ia tahu dirinya kini telah masuk perangkap lawan, biarpun memberi penjelasan juga takkan dipercaya.
Bila dia mengerjai orang juga selalu diatur dengan rapi sehingga orang lain tidak mampu membela diri, makanya menghadapi urusan begini ia sendiri pun lebih paham daripada orang lain.
Keadaan ini memang benar-benar sangat ruwet dan pelik, di seluruh dunia ini, kecuali Siau-hi-ji saja mungkin tiada seorang pun yang tahu jelas persoalannya dan dengan sendirinya juga tidak tahu cara bagaimana menghadapinya.
"Nah, Sam-moay, apa abamu sekarang?"
Tanya Buyung Siang kepada Buyung San dengan melotot. Buyung San angkat bahu, jawabnya.
"Baiklah, bekuk saja dia lebih dulu!"
Tanpa menunggu perintah lagi, kontan pedang Siau-sian-li lantas mendahului menusuk si baju hitam, Buyung Siang juga tidak tinggal diam, segera ia pun melancarkan serangan yang ganas.
first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 12:25:34
oleh Saiful Bahri Situbondo
Tiga Maha Besar -- Khu Lung Kelelawar Tanpa Sayap -- Huang Ying Pedang Angin Berbisik -- Han Meng