Ceritasilat Novel Online

Bakti Pendekar Binal 6


Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 6




   Bakti Pendekar Binal Karya dari Khu Lung

   
Terpaksa mereka pura-pura tidak tahu, tapi dalam hati mereka menyadari tidak boleh bicara lebih lama lagi dengan Kang Piat-ho, kalau kekuatan kedua pihak selisih tidak banyak, ada lebih baik mundur teratur saja.

   Sebaliknya Hoa Bu-koat tetap tersenyum simpul, teriakan tadi entah didengarnya atau tidak, bila tak perlu bicara dia memang tidak suka buka suara.

   Tiba-tiba Siau-sian-li berseru.

   "Bicara kian kemari sekian lama tetap sukar menentukan salah dan benar, kukira lebih baik turun tangan saja, biarlah aku belajar kenal dulu dengan kepandaian Hoa-kongcu."

   Bu-koat memandang Siau-sian-li dari atas ke bawah, lalu menjawab dengan tersenyum.

   "Kau pikir aku dapat bergebrak denganmu?"

   "Mengapa tidak?"

   Teriak Siau-sian-li dengan mendelik.

   "Meski dahulu kita pernah bersahabat, tapi sekarang adalah musuh."

   Hoa Bu-koat hanya tersenyum tanpa menjawab. Segera Buyung San berseru dan tertawa.

   "Rasanya Hoa-kongcu pasti tidak sudi bergebrak dengan kaum wanita."

   "Bila kurang hati-hati hingga Cayhe membikin kusut dandanan para nyonya, ini saja berdosa, apalagi bergebrak dengan kalian?"

   Ucap Hoa Bu-koat dengan tertawa. "Habis kalau menurut pendapat Kongcu, cara bagaimana urusan ini akan diselesaikan?"

   Tanya Buyung San. "Menurut pikiranku,"

   Jawab Bu-koat setelah diam sejenak.

   "pada hakikatnya urusan ini tidak perlu diselesaikan mengingat pribadi Kang-heng, baik namanya maupun kesanggupannya sudah cukup diketahui orang Kangouw, maka nyonya ...."

   "Tidak, urusan ini harus diselesaikan,"

   Teriak Buyung Siang.

   "Jika Hoa-kongcu tidak punya jalan keluarnya, aku malah punya suatu cara yang baik."

   "Mohon penjelasan,"

   Ucap Hoa Bu-koat. "Begini, kami akan mengemukakan tiga soal, apabila Kongcu dapat melaksanakannya maka selanjutnya kami takkan mencari setori lagi kepada Kang Piat-ho,"

   Tutur Buyung Siang. "Tapi kalau Kongcu tidak sanggup melakukan tiga soal ini, maka hendaklah Kongcu jangan lagi ikut campur urusan kami dengan Kang Piat-ho."

   Sampai di sini barulah Siau-hi-ji memahami duduknya perkara, rupanya Lamkiong dan Cin Kiam sengaja tidak ikut hadir dan kakak beradik Buyung serta Siau-sian-li sengaja berdandan begitu anggun, tujuan mereka sengaja hendak memojokkan Hoa Bu-koat agar tidak dapat bertarung benar-benar dengan mereka, dengan demikian barulah mereka ada alasan untuk mengemukakan tiga soal itu untuk mempersulit Hoa Bu-koat.

   Jika Hoa Bu-koat terpancing, maka pertarungan ini baginya berarti sudah kalah.

   Namun Hoa Bu-koat juga bukan orang dungu, setelah berpikir sejenak, kemudian ia menjawab dengan tertawa.

   "Tapi ketiga soal yang akan nyonya sebut nanti bila pada hakikatnya tak dapat dilaksanakan, lalu bagaimana?"

   "Masakah kami mempersulit dengan soal yang tidak mungkin dilaksanakan olehmu?"

   Kata Buyung San dengan tertawa. Mendadak Siau-sian-li menyambung.

   "Setelah ketiga soal itu dijelaskan dan ternyata tak dapat kau laksanakan, maka kami akan melakukannya sebagai bukti, dengan demikian tentu adil bukan?"

   "Tapi kalau nyonya menyuruh kami menyulam, jelas Cayhe tidak sanggup,"

   Kata Bu-koat tertawa. "Ketiga soal ini dengan sendiri dapat dilakukan oleh siapa pun juga, baik lelaki maupun perempuan, tidak lain kami cuma ingin menguji kemahiran ilmu silat serta kecerdasan Kongcu saja,"

   Ujar Buyung San.

   "Dan kalau Hoa-kongcu tidak dapat melakukan ketiga soal itu dan sebaliknya bila kami dapat melaksanakannya, maka terbuktilah ilmu silat dan kecerdasan Kongcu memang lebih rendah daripada kami, dengan demikian Kongcu tentu tidak akan ikut campur lagi dengan urusan kami, begitu bukan?"

   Sambung Buyung Siang. "Jika betul begitu, maka selanjutnya Cayhe akan mengundurkan diri dari dunia Kangouw dan takkan ikut campur urusan apa pun,"

   Jawab Hoa Bu-koat.

   Siau-hi-ji sudah menduga ketiga soal yang akan dikemukakan kakak beradik Buyung itu pasti sangat aneh dan sulit dilaksanakan, maka diam-diam ia menertawakan Hoa Bu-koat.

   "Wahai Hoa Bu-koat, bilamana kau terima usul mereka, maka terjebaklah kau.

   Soal yang telah mereka rencanakan dengan matang, bahkan aku pun mungkin sulit melakukannya, apalagi kau!"

   Di sebelah lain para pengunjung juga lagi bisik-bisik membicarakan persoalan ini, kata seorang.

   "Dalam hal Pi-bu (bertanding silat) sejak dulu hingga kini hanya dikenal dua cara, yaitu Bun-pi atau Bu-pi (bertanding cara halus atau bertanding cara kasar). Apa yang diusulkannya sekarang termasuk bertanding cara halus, hanya kakak beradik Buyung itu menggunakan nama baru saja."

   Lalu seorang lagi menanggapi.

   "Apabila nona Buyung itu menyuruh Hoa-kongcu berjumpalitan beberapa kali, lalu menyuruhnya pula merangkak beberapa lingkaran seperti anjing, apakah mungkin Hoa Bu-koat mau melakukannya mengingat harga dirinya, dan dengan demikian bukankah berarti dia akan kalah?"

   Tapi segera ada yang mendebatnya.

   "Ah, bila begitu, caranya kan seperti bajingan tengik. Padahal keluarga Buyung sangat termasyhur dan terhormat, rasanya mereka takkan berbuat demikian."

   Maklumlah biarpun ucapan Hoa Bu-koat tadi seperti menyepelekan urusannya, tapi janji akan mengundurkan diri dari dunia Kangouw cukup berbobot, sebab namanya sekarang laksana sang surya yang gilang gemilang di tengah cakrawala dan kehidupannya di dunia Kangouw selanjutnya pasti banyak ragam dan gayanya, tapi kalau nanti dia kalah, maka berarti tamatlah riwayatnya.

   Sebab itulah, meski Hoa Bu-koat cukup percaya pada dirinya sendiri, tapi bagi para penonton terasa tegang dan berkhawatir baginya.

   Dalam pada itu kakak beradik Buyung sedang bisik-bisik berunding sendiri.

   Lalu Buyung Siang membuka suara dengan tertawa.

   "Nah, kita mulai dengan soal pertama, yakni Kongcu berdiri dengan gaya Kim-keh-tok-lip (ayam emas berdiri dengan kaki satu), lalu orang disuruh mendorong, apabila engkau tidak roboh terdorong, maka anggap Kongcu telah menang."

   "Tapi beberapa orang yang diharuskan mendorong?"

   Tanya Bu-koat tertawa. "Beberapa orang boleh sesukanya, umpamanya dua ratus orang begitu?"

   Tanya Buyung Siang. Setelah merenung sejenak, akhirnya Hoa Bu-koat menjawab dengan tersenyum.

   "Baiklah kuterima."

   Ucapan ini kembali menggemparkan para pengunjung.

   Betapa besarnya tenaga gabungan dua ratus orang, sekalipun tenaga dua ratus lelaki biasa saja sukar ditahan oleh seorang Hoa Bu-koat, apalagi dia harus berdiri dengan kaki satu dalam gaya Kim-keh-tok-lip segala.

   Bila ada orang mengira dengan tenaga satu kaki dapat menahan daya dorongan dua ratus orang, maka otak orang itu pasti kurang waras.

   Padahal Hoa Bu-koat jelas kelihatan bukan orang sinting, mengapa dia justru menerima syarat aneh itu dengan begitu saja.

   Begitulah semua orang merasa kejut dan heran pula, diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli melihat sikap orang-orang itu, hampir saja dia berteriak.

   "Huh, cuma soal begini saja kenapa meski diherankan? Asalkan sedikit saja memeras otak, maka setiap orang pun dapat melakukannya. Asalkan kau berdiri dengan punggung bersandar pada dinding tebing, jangankan dua ratus orang, biarpun didorong dua ribu orang juga takkan terdorong roboh."

   Ia tidak tahu bila soal ini sudah dipecahkan, jadinya memang begitu mudah dan sangat sederhana, tapi dalam keadaan genting begini, otak siapa yang sempat berpikir jelimet sejauh itu? Ini sama mudahnya dengan telur ayam harus didirikan tegak di atas meja, asalkan telur diketuk salah satu ujungnya dan berdiri tegaklah telur itu, tapi sebelum rahasia ini dibeberkan, mungkin tiada satu orang pun di antara sejuta orang mampu melakukannya.

   Siau-hi-ji mengira Hoa Bu-koat juga sudah mempunyai pikiran yang sama dengan dia, di luar dugaan Hoa Bu-koat ternyata tidak berjalan menuju tebing sana, tapi di tanah lapang itu juga dia lantas berdiri dengan kaki satu, lalu berkata dengan tersenyum.

   "Bila Cayhe berhitung sampai tiga, maka bolehlah nyonya menyuruh orang mulai mendorongku."

   Buyung Siang dan Buyung San saling mengedip, sorot mata menampilkan rasa girang, serentak mereka menyatakan baik.

   Tatkala mana di lembah gunung ini hadir beberapa ratus orang, semuanya termasuk Siauhi-ji menganggap Hoa Bu-koat pasti akan kalah.

   Malahan ada sementara orang yang telah menghela napas menyesal.

   Habis apa mau dikatakan, Hoa Bu-koat berdiri dengan kaki satu tanpa sandaran apa pun, tidak perlu dua ratus orang, cukup dua orang saja sudah dapat menolaknya roboh.

   Bicara tentang ilmu silat memang dua ratus orang juga bukan tandingan Hoa Bu-koat, tapi cara dia mengadu tenaga luar begitu sama sekali tak dapat melawan dengan akal, bila didorong dengan tenaga seribu kati, maka kau juga harus melawannya dengan tenaga yang sama kuatnya.

   Kalau tidak, maka berarti kau pasti akan roboh.

   Dalam hati Siau-hi-ji sungguh merasa heran, orang macam Hoa Bu-koat mengapa tidak memahami urusan yang sederhana ini? Terdengar Hoa Bu-koat mulai menghitung.

   "Satu ... dua ... tiga ...."

   Dan begitu kata tiga terucapkan, sebelah kakinya yang berdiri di tanah itu mendadak ambles setengah dim ke bawah, tanah berbatu yang keras itu di bawah kakinya telah berubah menjadi lunak laksana lumpur.

   Keruan Buyung San dan lain-lain terkejut, cepat ia memberi tanda.

   "Itu dia Hoa-kongcu sudah siap, tunggu apalagi kalian?"

   Serentak kedelapan belas penggotong tandu yang kekar itu berlari maju, agaknya mereka sudah terlatih dengan baik, di tengah berlari itu tangan orang kedua segera memegang pundak orang pertama, orang ketiga juga lantas pegang pundak orang kedua dan begitu seterusnya, langkah kedelapan belas orang itu semakin cepat dan mendadak menerjang Hoa Bu-koat terus mendorongnya.

   Tenaga dorongan ini tidak cuma himpunan tenaga kedelapan belas orang melulu, bahkan ditambah lagi tenaga terjangan mereka dari tempat jauh, maka betapa dahsyatnya dapatlah dibayangkan.

   Seorang jago silat sejati yang mahir tentu tidak gentar pada tenaga kekerasan begini, akan tetapi kini Hoa Bu-koat justru menyambut tenaga tolakan dahsyat itu dengan keras lawan keras.

   Jangankan dia cuma berdiri dengan satu kaki, sekalipun berdiri dengan dua kaki juga tak mampu menahan dorongan hebat itu.

   Maka semua orang yakin Hoa Bu-koat pasti kalah.

   Di luar dugaan, sekali kedelapan belas orang itu mendorong, Hoa Bu-koat tidak roboh, tergentak mundur pun tidak, malahan tubuhnya seperti ambles beberapa dim lagi ke bawah tanah.

   Semakin keras tenaga dorongan kedelapan belas orang itu, semakin cepat pula tubuh Hoa Bu-koat ambles ke bawah, kedelapan belas lelaki itu tampak sudah berkeringat dan telah mengerahkan segenap tenaga mereka.

   Akhirnya kaki Hoa Bu-koat itu sudah terpendam sebatas dengkul, biarpun kakinya terbuat dari besi rasanya juga tidak mudah hendak ditancapkan ke dalam tanah berbatu itu, namun wajahnya tetap tersenyum simpul seakan-akan tidak mengeluarkan tenaga sama sekali dan seperti orang yang berdiri di atas pasir belaka.

   Para pengunjung seperti menonton permainan sulap saja, semuanya melongo dan mengira pandangan sendiri yang kabur.

   Tidak terkecuali Siau-hi-ji, ia pun melenggong menyaksikan itu.

   Cara yang digunakan Hoa Bu-koat ini meski jauh lebih bodoh daripada cara yang dipikirnya, malahan jauh lebih sulit, tapi cara ini juga jauh lebih mengejutkan dan membuat orang kagum.

   Bilamana Hoa Bu-koat berbuat seperti jalan pikiran Siau-hi-ji, yakni dengan berdiri bersandar dinding tebing, sekalipun kakak beradik Buyung itu tiada alasan untuk mencelanya, namun para penonton yang berkerumun itu pasti akan berkurang.

   Pertandingan yang khidmat dan menarik ini tentu juga akan berubah seperti permainan anak kecil yang dicemoohkan.

   Siau-hi-ji berpikir pula, tapi ia menjadi bingung apakah cara yang dipergunakan Hoa Bu-koat terlebih cerdik atau jalan pikirannya sendiri itu yang lebih pintar? Dilihatnya kaki Hoa Bu-koat yang semakin ambles ke bawah itu mulai lambat, jelas karena tenaga dorongan kedelapan belas lelaki itu pun semakin lemah.

   Sampai akhirnya kaki Hoa Bu-koat tidak ambles ke bawah lagi, mendadak kedelapan belas lelaki itu terkapar, semuanya lemas kehabisan tenaga dan tidak sanggup bangun kembali.

   Nyata Hoa Bu-koat telah menggunakan ilmu "Ih-hoa-ciap-giok", untuk mengalihkan arah tenaga dorongan mereka, mestinya menuju ke depan, tapi oleh Hoa Bu-koat telah dialihkan ke bawah, sebab itulah kelihatannya mereka sedang mendorong Hoa Bu-koat, tapi sesungguhnya tiada ubahnya mereka lagi menolak permukaan bumi.

   Dengan tenaga kedelapan belas lelaki itu untuk menolak bumi, maka sama halnya seperti campung hinggap di pilar, tentu saja mereka kehabisan tenaga dan roboh dengan loyo.

   Sudah tentu para penonton tidak tahu letak kehebatan ilmu Hoa Bu-koat itu, yang pasti mereka tambah kagum terhadap kelihaian anak muda itu, maka terdengarlah sorak memuji mereka.

   Sedangkan kakak beradik Buyung juga melenggong.

   "Apakah nyonya perlu menyuruh orang lain mendorong pula?"

   Demikian Hoa Bu-koat bertanya dengan tersenyum..

   "Kepandaian Hoa-kongcu sungguh sukar dibayangkan, kami merasa sangat kagum,"

   Jawab Buyung San dengan tersenyum. Siau-sian-li merasa penasaran, teriaknya.

   "Ini baru permulaan, biarpun dapat kau laksanakan dengan baik, boleh coba lagi yang kedua."

   Hoa Bu-koat tersenyum sambil mengangkat sebelah kakinya, kebetulan angin meniup sehingga sebagian kaki celananya bertebaran terbang seperti kupu-kupu.

   Sorak-sorai penonton masih terus berlangsung, waktu suara sorakan berhenti, terdengar di dalam kereta sana masih bergema suara orang berkeplok tangan.

   Seketika hati Siau-hi-ji seperti diremas-remas.

   Meski dia tak dapat tidak harus mengakui kehebatan ilmu silat Hoa Bu-koat dan memang pantas mendapatkan tepuk tangan si "dia", tapi bila teringat pada hal ini saja mau tak mau ia bertambah keki.

   Dalam pada itu terdengar Hoa Bu-koat sedang menanggapi ucapan Siau-sian-li tadi.

   "Apakah soal yang kedua itu, mohon petunjuk nyonya?"

   Dengan tersenyum Buyung San menjawab.

   "Di dalam kota Ankhing ada sebuah toko kue yang khusus menjual kudapan, toko itu pakai merek Siau-soh-siu, entah Kongcu tahu tidak?"

   "Ya, beberapa kali Kang-heng pernah mengajak Cayhe jajan ke sana,"

   Jawab Bu-koat.

   "Nah, Siau-soh-siu itu memang terkenal menjual kudapan yang enak-enak, antara lain yang paling kugemari adalah Pat-po-pui (nasi berkat), Jian-ceng-ko (kue bolu susun seribu, sejenis roti tar), setahuku panganan ini boleh dikatakan sangat lezat dan tiada bandingannya."

   Dalam keadaan demikian dia masih dapat bicara tentang makanan enak segala, karena tidak tahu apa maksudnya, para penonton menjadi terheran-heran. Tapi Hoa Bu-koat lantas menjawab.

   "Meski aku kurang berminat terhadap penganan manis-manis begitu, tapi ada seorang sahabatku memang juga sangat memuji kedua macam makanan yang disebut nyonya tadi."

   Sudah tentu Siau-hi-ji paham siapa "sahabat"

   Yang dimaksud Hoa Bu-koat itu, bila membayangkan betapa kasih mesra ketika Thi Sim-lan makan nasi berkat bersama Hoa Bu-koat, sungguh akan meledak dada Siau-hi-ji dan hampir saja ia terjungkal ke bawah pohon saking gemasnya.

   Terdengar Buyung San lagi berkata dengan tertawa gembira.

   "Bagiku kedua macam makanan itu bukan saja harus dipuji, bahkan selalu terkenang-kenang dan sukar dilupakan. Nah, untuk itulah apakah Kongcu sudi pergi ke Ankhing agar rasa pingin makanku dapatlah terpenuhi."

   Makin bicara makin aneh, malahan sekarang Hoa Bu-koat disuruh membelikan kudapan segala.

   Apakah mungkin inilah soal kedua yang harus dilaksanakan oleh Hoa Bu-koat.

   Memangnya nyonya muda ini sedang idam dan mendadak pingin makan makanan kecil khas tadi.

   Hal ini rasanya terlalu tidak pantas, tapi juga terlalu mudah apabila harus dilakukan.

   Dengan sendirinya Hoa Bu-koat juga merasa heran.

   Tapi terhadap setiap permohonan perempuan selamanya dia tidak suka menolak, maka setelah melengak sekejap, akhirnya ia menjawab dengan tertawa.

   "Bila Cayhe dapat bekerja sedikit bagi Nyonya, sungguh suatu kehormatan bagiku."

   "Tapi kedua macam makanan itu harus dimakan selagi masih hangat-hangat, kalau tidak rasanya tidak enak,"

   Kata Buyung San pula. Setelah berpikir sejenak, lalu Hoa Bu-koat menjawab.

   "Setelah kubeli dan bawa ke sini, mungkin masih hangat-hangat."

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Namun kepergian Kongcu ini kaki tidak boleh menempel tanah, entah hal ini dapat dilakukan Kongcu atau tidak?"

   Buyung San menambahkan dengan tersenyum yang lebih manis.

   Setelah mendengar ucapan ini barulah para pengunjung tahu di sinilah letak soal sulit yang dikemukakan pihak Buyung.

   Bahwa kedua kaki tidak boleh menempel tanah, lalu cara bagaimana orang dapat pergi pulang ke Ankhing untuk membelikan makanan? Padahal jarak Ankhing tidaklah dekat walaupun juga tidak jauh, sekalipun Ginkang Hoa Bu-koat mahatinggi juga dia tidak dapat terbang seperti burung.

   Akan tetapi tanpa pikir segera Hoa Bu-koat menyanggupi pula.

   Tentu saja semua orang melengak heran, soal yang tidak mungkin dilakukan ini apakah betul dia sanggup melaksanakannya? Namun Siau-hi-ji jadi geli dan ingin tertawa, katanya dalam hati.

   "Soal yang dikemukakan para nona Buyung ini semakin ngawur tidak keruan, bahwasanya kedua kaki tidak boleh menempel tanah, memangnya dia tidak dapat pergi dengan menumpang kereta atau naik kuda?"

   Soal ini juga tipu muslihat yang licik, kalau Hoa Bu-koat tidak sanggup melakukannya dan Buyung San menjelaskan cara bagaimana pelaksanaannya, maka berarti kalahlah Hoa Bu-koat.

   Dilihatnya Hoa Bu-koat telah menanggalkan sepatunya sehingga kelihatan kaus kakinya yang putih bersih.

   "Apakah kaki Cayhe menempel tanah atau tidak dapat dibuktikan dengan kaus kakiku ini,"

   Katanya kemudian dengan tertawa.

   Belum lenyap suaranya segera ia melayang ke depan dengan enteng.

   Nyata dia tidak numpang kereta dan juga tidak naik kuda, tapi dia melayang ke atas sebatang pohon besar, di situ ia memotes dua potong ranting kayu, begitu ranting kayu itu menutul tanah, secepat terbang ia melayang sejauh tiga-empat tombak ke sana, waktu ranting kayu yang lain menutul tanah pula, tahu-tahu bayangan orang sudah berada belasan tombak jauhnya, terdengar suaranya berkumandang dari jauh.

   "Silakan Nyonya menunggu sebentar, segera Cayhe akan kembali ke sini."

   Hoa Bu-koat telah perlihatkan Ginkangnya yang sempurna, andaikan orang lain juga dapat menggunakan cara yang sama, tapi mustahil dapat pulang-pergi dalam waktu singkat dalam jarak puluhan li jauhnya.

   Semua orang menjadi gempar juga dan ramai membicarakan cara "terbang"

   Hoa Bu-koat itu, mereka sangsi apakah anak muda itu dapat bertahan dengan cara begitu dalam jarak sedemikian jauhnya.

   Kakak beradik Buyung juga merasa tegang sehingga senyuman yang senantiasa menghias wajah mereka kini pun lenyap.

   Sang waktu berlalu dengan cepat, selagi semua orang masih asyik membicarakan kepandaian Hoa Bu-koat, tertampak berkelebatnya bayangan orang di kejauhan, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah muncul, pada mulutnya terlihat menggigit sesuatu benda.

   Sesudah dekat, begitu kedua ranting kayunya menutul tanah, seketika tubuhnya menegak terbalik, kakinya menghadap ke atas, sepasang kaus kakinya ternyata masih putih bersih tanpa berdebu setitik pun.

   Serentak semua orang memuji.

   "Sungguh hebat. Hoa-kongcu benar-benar kaki tanpa menyentuh tanah dan telah pergi-pulang ke Ankhing satu kali."

   Di tengah sorak-sorai orang banyak, Hoa Bu-koat berjumpalitan lagi, kedua kakinya dengan tepat menyusup masuk sepatu yang ditinggalkannya tadi, ranting kayu dibuangnya lalu bungkusan yang digigitnya tadi disodorkan ke hadapan Buyung San, katanya dengan tertawa.

   "Syukur Cayhe tidak sampai mengecewakan kehendak nyonya, silakan dahar mumpung masih hangat."

   Tersembul senyuman ewa di bibir Buyung San, ia mengucapkan terima kasih dan menerima bungkusan itu.

   Setelah bungkusan itu dibuka, isinya memang betul nasi berkat dan kue bolu yang masih mengepul, terpaksa ia comot sepotong kue itu dan dimakan.

   Meski bolu itu sangat legit dan harum, tapi di mulut Buyung San terasa rada-rada getir.

   Ya, Hoa Bu-koat telah menggunakan cara bodoh pula, tapi Siau-hi-ji tidak dapat lagi mencemoohkan dia bodoh, malahan diam-diam ia pun merasa kagum.

   Dengan cara "bodoh"

   Yang pertama Hoa Bu-koat telah memperlihatkan tenaga dalam yang mengejutkan, kini dia menggunakan "cara bodoh"

   Yang kedua untuk membuktikan Ginkangnya yang tiada bandingannya.

   Kalau saja dia tidak menggunakan cara bodoh begini, bisa jadi kini para penonton telah menimpuknya dengan kulit jeruk atau telur busuk disertai caci-maki.

   Diam-diam Siau-hi-ji tersenyum kecut, pikirnya.

   "Agaknya seseorang terkadang lebih baik menjadi orang bodoh saja, kakak beradik Buyung ini justu terlalu pintar sehingga akhirnya mereka sendiri yang kecundang."

   Meski dia bicara tentang kakak beradik Buyung, padahal ia sendiri pun demikian, kalau saja terkadang dia bisa berubah bodoh sedikit tentu hidupnya akan berlangsung lebih gembira.

   Dalam pada itu Buyung San sudah menghabiskan sepotong kue bolu, pada hakikatnya tak terbayang olehnya bahwa bolu yang legit dan lezat itu bisa berubah begini rasanya.

   Hoa Bu-koat hanya saja, setelah Buyung San menghabiskan sepotong kue itu barulah dengan tertawa.

   "Dan apalagi soal ketiga itu?"

   Siau-sian-li tidak sabar pula, teriaknya.

   "Ada sebuah pintu tertutup rapat, sekujur badanmu dilarang menyentuh daun pintu dan juga tidak boleh ditumbuk dengan suatu alat atau benda, nah, dapatkah kau masuk ke rumah itu?"

   Ini benar-benar suatu soal yang mahasulit pula, para penonton tidak perlu khawatir lagi bagi Hoa Bu-koat, mereka tahu betapa sulitnya sesuatu persoalan pasti dapat dilaksanakan anak muda itu. Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli pula, pikirnya.

   "Soal ketiga ini lebih-lebih ngawur lagi, dia dilarang menyentuh daun pintu, memangnya dia tidak dapat masuk ke rumah melalui jendela?"

   Tapi kini ia pun tahu Hoa Bu-koat pasti takkan menggunakan cara demikian. Dilihatnya Hoa Bu-koat berpikir sejenak, katanya kemudian.

   "Di sini tiada rumah, entah kereta ini ."

   "Kereta juga boleh,"

   Kata Buyung Siang.

   "Asal saja kau tidak menyentuh pintu kereta dan dapat masuk ke situ, maka anggaplah kau menang."

   "Apakah betul demikan?"

   Tanya Bu-koat sambil berpaling ke arah Buyung San. Setelah berpikir, dengan tertawa Buyung San menjawab.

   "Ya, kereta dan rumah juga sama saja."

   "Bilamana Cayhe sudah melaksanakan soal ini, apakah nyonya akan punya soal lain lagi?"

   Tanya Bu-koat dengan tersenyum. Buyung Siang saling pandang sekejap dengan Buyung San, akhirnya yang tersebut belakangan ini berkata.

   "Apabila Kongcu dapat melaksanakan soal ketiga ini, segera juga kami akan angkat kaki dari sini."

   Hakikatnya dia tidak tahu lagi cara bagaimana harus mempersulit Hoa Bu-koat, untuk bertempur jelas-jelas juga bukan tandingannya, lalu mau apa lagi jika tidak angkat kaki? "Jika demikian, silakan nyonya perhatikan ...."

   Sembari berkata Bu-koat lantas melangkah ke arah keretanya. Diam-diam Siau-hi-ji ragu-ragu, pikirnya.

   "Apakah dia mahir pukulan jarak jauh sehingga pintu kereta akan pecah tergetar oleh tenaga pukulannya? Ini kan terhitung juga tangannya tidak menyentuh pintu kereta?"

   Di luar dugaan, setelah berada di depan keretanya, mendadak Bu-koat berkata.

   "Silakan buka pintu, nona Thi!"

   Terdengar suara tertawa nyaring merdu menjawab di dalam kereta.

   "Baiklah!"

   Semula para penonton tercengang heran, tapi kemudian meledaklah tertawa mereka, sampai-sampai Siau-hi-ji hampir ikut tertawa, tapi demi mendengar suara merdu itu, betapa pun ia tidak sanggup tertawa.

   Kedua kakak beradik Buyung juga melenggong demi menyaksikan Hoa Bu-koat melangkah masuk ke keretanya dengan begitu saja.

   Terdengar Hoa Bu-koat berkata di dalam kereta.

   "Sesuai syarat yang ditentukan Nyonya, sekarang Cayhe sudah masuk ke dalam kereta tanpa menyentuh pintu, apakah nyonya setuju bila aku dianggap menang."

   Kakak beradik Buyung sama melongo dan tak dapat menjawab, sedangkan para penonton tertawa terpingkal-pingkal.

   Cara yang digunakan Hoa Bu-koat ini ternyata jauh lebih pintar dari pada jalan pikiran kakak beradik Buyung dan Siau-hi-ji, bahkan sukar untuk dibayangkan, tentu saja para penonton bersorak dan menyatakan kemenangan itu pantas diperoleh Hoa Bu-koat.

   Wajah kakak beradik Buyung tampak pucat, kembali.

   Buyung Siang saling pandang dengan Buyung San.

   Betapa pun Buyung San hendak tersenyum juga terasa sukar lagi.

   Mendadak ia menggentakkan kaki, lalu membalik ke sana dan naik ke tandunya, segera Buyung San juga menyusul.

   Siau-sian-li melotot sekejap ke arah Kang Piat-ho, ucapnya dengan benci.

   "Jangan keburu gembira dulu, kau takkan hidup tenteram seterusnya."

   Kang Piat-ho hanya tersenyum tanpa menjawab.

   Kedelapan belas lelaki tadi lantas menggotong ketiga joli besar serta tiga joli kecil terus dilarikan keluar lembah.

   "Kecerdikan dan ilmu silat Hoa-heng sungguh tiada bandingannya di dunia ini, sungguh Siaute sangat kagum,"

   Ujar Kang Piat-ho dengan tertawa.

   Serentak para pengunjung bersorak memuji pula, Hoa Bu-koat membalas hormat dari dalam kereta, lalu kereta dihela pergi di bawah sorak-sorai orang ramai.

   Menyaksikan kepergian kereta itu, teringat pada Thi Sim-lan yang berada di dalam kereta, Siau-hi-ji jadi kesima, hatinya serasa dipuntir-puntir.

   Selang sejenak, mendadak ia berteriak sendiri.

   "Bilakah kupernah bersikap begini baik padanya? Mengapa aku harus menderita lantaran dia? Huh, persetan!"

   Pada waktu Thi Sim-lan berada di sisinya sedikit pun Siau-hi-ji tidak merasakan sesuatu, tapi ketika nona itu berada di sisi orang lain, mendadak ia merasakan Thi Sim-lan jauh lebih penting daripada apa pun juga.

   Ia sendiri tidak paham mengapa Thi Sim-lan bisa berubah sedemikian penting baginya, sebelum ini mimpi pun tak pernah terpikir olehnya bahwa dia akan merana lantaran si nona.

   Ia merasa dirinya benar-benar tolol, pada hakikatnya sudah gila.

   Tapi tak diketahuinya bahwa orang gila dan orang tolol seperti dia ini masih banyak di dunia ini.

   Manusia memang aneh, jika ada sesuatu yang tidak dapat diperolehnya akan dirasakannya baik, tapi bila sesuatu itu sudah diperolehnya justru tidak tahu cara menyayangi dan menghargainya.

   Bilamana kehilangan, ia menjadi menyesal pula.

   Mungkin sebab itulah manusia selalu lebih banyak menderita daripada bahagia.

   Begitulah sampai sekian lamanya Siau-hi-ji termangu-mangu ketika mendadak dilihatnya di tengah-tengah orang banyak itu lewat dua orang tinggi besar dan gemuk, barulah dia ingat janjinya kepada To Kiau-kiau.

   Cepat ia lompat turun dari pohon dan menyusup ke sana, perlahan ia tepuk pundak "Lo Kiu"

   Alias Auyang Ting, dengan cepat Auyang Ting menoleh, air mukanya tampak berubah.

   Nyata orang gemuk ini senantiasa berjaga jaga terhadap seseorang.

   Itulah kalau orang berdosa, seperti maling yang khawatir tertangkap, betapa pun hidupnya tidak pernah aman dan tenteram.

   Dengan tertawa Siau-hi-ji menegurnya.

   "Kenapa kau selalu tegang begini, tapi kau tetap gemuk saja dan tidak pernah kurus, sungguh aneh."

   Setelah mengenali Siau-hi-ji barulah Auyang Ting menampilkan senyuman, jawabnya.

   "Paling sulit mendapatkan kasih sayang si cantik, dan lantaran tidak pernah mendapatkan perhatian si cantik, terpaksa Cayhe mengalihkan perhatian dalam hal makanan, karena makan terus-menerus, dengan sendirinya badanku semakin gemuk."

   "Rupanya kalian sudah tahu bahwa nona itu telah kubawa pergi?"

   Kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Selain saudara, memangnya dia mau pergi dengan siapa?"

   Ujar Auyang Ting. "Cuma tak pernah kuduga bahwa saudara ternyata juga menaruh minat terhadap pelayan dungu itu sehingga membawanya serta,"

   Dengan tertawa Auyang Tong menambahkan.

   Kedua Auyang bersaudara ini bernama Ting dan Tong lantaran dalam segala hal mereka selalu main Swipoa sehingga berbunyi "ting-tong-ting-tong", makanya mereka memakai nama yang berbunyi lantang begitu.

   Tapi sekali ini Swipoa mereka telah salah hitung, tidak terpikir oleh mereka bahwa si pelayan dungu itu sesungguhnya adalah samaran To Kiau-kiau, mereka mengira hilangnya pelayan itu pun digondol lari oleh Siau-hi-ji.

   Dengan sendirinya Siau-hi-ji tidak mau menjelaskan duduk perkaranya, dengan tertawa ia menjawab.

   "Lebih baik ada dari pada tidak ada, dua tentunya juga lebih baik daripada cuma satu, betul tidak?"

   "Betul, betul,"

   Seru Auyang Ting sambil berkeplok tertawa.

   "Ucapan saudara ini sungguh tepat dan cengli, setiap orang perlu ingat baik-baik jalan pikiranmu ini."

   Bahwasanya Auyang Ting berjuluk "Mengadu jiwa juga ingin untung", tentu saja ucapan Siau-hi-ji sangat cocok dengan seleranya.

   Begitulah sambil bersenda-gurau mereka terus keluar lembah dan mendekati tempat parkir kereta kuda To Kiau-kiau.

   Mendadak Siau-hi-ji berhenti dan berkata.

   "Silakan kalian melanjutkan perjalanan, sampai berjumpa pula malam nanti."

   "Eh, jangan-jangan saudara hendak menemui si cantik lagi?"

   Dengan tertawa Auyang Ting berseloroh. Siau-hi-ji tersenyum misterius sambil menjawab.

   "Mungkin begitu ...."

   Dan seperti tidak sengaja dia melirik sekejap ke arah kereta, lalu menambahkan.

   "Kenapa kalian tidak meneruskan perjalanan."

   Auyang Ting tertawa, jawabnya "Kami iseng dan menganggur, maka ingin mengobrol dengan saudara."

   Siau-hi-ji pura-pura gelisah, katanya.

   "Ah, aku masih harus pergi ke tempat lain, kalian ...."

   "Haha, kukira saudara hendak pergi ke situ,"

   Seru Auyang Tong. Pada saat itu juga Auyang Ting sudah lari ke arah kereta dan pintu kereta terus ditariknya, serunya sambil tertawa.

   "Ini dia, dugaanku ternyata tidak meleset, si cantik memang betul berada di sini."

   Dengan tertawa Auyang Tong lantas menambahkan.

   "Kata peribahasa, Diberi buah Tho, balaslah dengan buah Le, paling tidak saudara kan sudah merasakan Tho manis pemberian kami, kalau sekarang engkau balas memberikan Le yang kecut kepada kami kan juga pantas."

   Bahwa kedua Auyang bersaudara ini yang satu berjuluk "Mengadu jiwa juga ingin cari untung"

   Dan yang lain "Mati-matian juga tidak mau rugi", sesuai julukan mereka, dengan sendirinya mereka merasa dirugikan ketika si cantik yang mereka temukan dengan susah payah itu dibawa lari orang, maka sedapatnya mereka ingin menarik kembali sedikit keuntungan, kalau tidak rasanya mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak.

   Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena itulah tanpa permisi lagi kedua Auyang bersaudara lantas menerobos ke dalam kereta.

   Malahan Auyang Ting sempat berkata kepada Siau-hi-ji.

   "Ayolah, silakan saudara pun naik ke sini."

   "Ya, biarpun engkau mengusir juga kami takkan pergi,"

   Kata Auyang Tong dengan tertawa. Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli, pikirnya.

   "Kalian yang mati pun tidak mau rugi, tampaknya sebentar lagi pasti akan rugi habis-habisan."

   Tapi dengan lagak dongkol dan serba susah ia pun naik ke atas kereta, katanya dengan menyesal.

   "Tahu begini, tentu sejak tadi kuhindari kalian. Ya, apa mau dikatakan lagi, salahku sendiri menegur kalian, jadinya .... Ai, aku jadi keblinger sendiri."

   Begitulah kereta kuda itu lantas dilarikan ke depan dengan cepat. Semakin riang tertawa kedua orang gemuk itu, mereka duduk dengan "santai"

   Di atas sok yang empuk, mereka tidak tahu bahwa orang yang duduk berhadapan itu adalah elmaut yang hendak merenggut jiwa mereka.

   To Kiau-kiau sengaja duduk dengan menunduk seperti perempuan yang malu-malu kucing, padahal sebenarnya tidak ingin wajah aslinya dikenali kedua saudara kembar gendut itu.

   Dengan tertawa Auyang Ting lantas berucap.

   "Wah, sehari tidak bertemu, tampaknya nona menjadi semakin cantik."

   Auyang Tong lantas menambahkan.

   "Seperti tanaman yang disiram air, dengan sendirinya kuntum bunga menjadi mekar dan tambah cantik, masakah teori begini saja kau tidak paham?!"

   Biasanya kedua orang ini selalu berjaga jaga kalau disergap orang lain, tapi kini mereka duduk di dalam kereta, di belakang mereka adalah dinding kereta, tentunya mereka tidak perlu khawatir.

   Walaupun Siau-hi-ji sudah tahu maksud tujuan To Kiau-kiau memancing kedua Auyang bersaudara ke dalam keretanya ini adalah untuk membikin perhitungan dengan mereka, cuma ia tidak tahu cara bagaimana sang "bibi"

   Akan mengerjai mereka.

   Untuk bisa membekuk mereka harus sekali turun tangan dapat mengatasi mereka, kalau tidak mereka akan lolos, sedangkan kalau To Kiau-kiau hendak membekuk kedua orang itu sekaligus rasanya bukan pekerjaan yang mudah.

   Dilihatnya To Kiau-kiau masih duduk dengan malu-malu kucing, tampaknya ia tidak terburu-buru turun tangan dan juga tiada maksud ingin minta bantuan Siau-hi-ji, sikapnya itu lebih mirip dia sudah mengatur sesuatu perangkap yang pasti akan berhasil dengan baik.

   Siau-hi-ji merasa apa yang akan ditontonnya sekarang jauh lebih menarik daripada tadi, sungguh ia ingin menyaksikan dengan cara bagaimana To Kiau-kiau akan turun tangan dan cara bagaimana pula kedua Auyang bersaudara akan melawannya.

   Kini kereta itu dihela lebih cepat dan sudah jauh meninggalkan khalayak ramai, akhirnya membelok ke tempat sepi.

   "He, sarang simpananmu mengapa begini jauh?"

   Tanya Auyang Ting tiba-tiba. "Jika kau ingin makan buah Le, maka kau harus sabar sedikit,"

   Jawab Siau-hi-ji tertawa. "Betul, betul!"

   Seru Auyang Tong dengan tertawa "Cuma ...."

   Mendadak To Kiau-kiau angkat kepalanya dan berkata dengan genit.

   "Cuma buah Le ini rasanya terlalu kecut, kukira kalian tidak doyan."

   Serentak kedua Auyang Ting bersaudara melengak, samar-samar mereka sudah merasakan gelagat jelek. Dengan terkekeh Auyang Ting menanggapi.

   "He, sejak kapan nona berubah menjadi pintar bicara?"

   "O, sudah lama, kira-kira sejak dua puluh tahun yang lalu,"

   Sahut To Kiau-kiau. Air muka kedua Auyang bersaudara berubah seketika, segera mereka bermaksud melompat keluar kereta. Diam-diam Siau-hi-ji membatin.

   "Ai, mengapa bibi To berlaku ceroboh begini, dengan ucapannya ini, kan sama saja seperti menyikap rumput mengejutkan ular?"

   Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara "bek", dari bawah jok kereta yang longgar dan empuk itu mendadak terjulur keluar empat buah tangan.

   Mimpi pun kedua Auyang bersaudara tidak mengira akan terjadi begini, kejadian yang tiba-tiba sukar dihadapi, apalagi perubahan ini datangnya dari bawah pantat mereka.

   Seketika kedua orang merasa ketiak mereka kesemutan, tahu-tahu lengan mereka sudah dicengkeram oleh keempat tangan itu, begitu kuat cengkeraman itu laksana belenggu sehingga sakitnya merasuk tulang, maka tak dapat berkutiklah mereka.

   Sungguh kejut Auyang Ting tidak kepalang, bahkan ia menjadi ketakutan setengah mati, teriaknya dengan gemetar.

   "He, sau ... saudara mengapa ... mengapa begini ...."

   Siau-hi-ji sendiri berkesiap dan geli pula, jawabnya dengan tertawa.

   "Ini bukan urusanku, jangan kalian tanya padaku."

   Auyang Ting menoleh ke arah To Kiau-kiau, tanyanya.

   "Apakah ini ke ... kehendak nona!"

   "Habis siapa jika bukan aku?"

   Jawab Kiau-kiau dengan tertawa. Bila ditanya orang, selamanya dia tidak menjawab "ya"

   Atau "tidak", tapi selalu balas bertanya, ini memang ciri pengenalnya. Tentu saja air muka Auyang bersaudara menjadi pucat demi mendengar nada ucapan itu. "Se ... sesungguhnya engkau ini siapa?"

   Tanya Auyang Tong. "Tadi kau tidak kenal padaku, betul, tapi kalau sekarang masih juga tidak kenal aku, ini namanya pura-pura bodoh,"

   Ucap Kiau-kiau dengan tertawa. "Mana ... mana kami kenal nona?"

   Ujar Auyang Ting. "Tidak kenal aku, mengapa menjadi ketakutan?"

   Tanya Kiau-kiau. "Takut?"

   Auyang Ting berlagak heran.

   "Memangnya takut siapa ...."

   Dengan terkekeh-kekeh Auyang Tong lantas menambahkan.

   "Sudah tentu kami tahu nona cuma berkelekar saja dengan kami."

   "Ai, Auyang Ting dan Auyang Tong, apa gunanya biarpun kalian berlagak pilon?"

   Ucap To Kiau-kiau. "Auyang Ting itu siapa?"

   Tanya Auyang Ting. "Oya, kabarnya Auyang Ting itu kurus seperti cacing, haha ... haha ...."

   Auyang Tong menukas. Begitulah dia hendak tertawa pula, tapi kulit mukanya serasa kaku. Dengan dingin To Kiau-kiau menatap mereka tanpa bicara. Setelah terkekeh beberapa kali pula, mendadak Auyang Tong menatap saudaranya dan berseru.

   "He, bukankah kau ini Auyang Ting?"

   "Sudah tentu aku Auyang Ting dan dengan sendirinya kau ini Auyang Tong,"

   Jawab Auyang Ting.

   "Haha, lucu, sungguh lucu,"

   Sambung Auyang Tong. "Haha, kiranya kita ini adalah si Ting dan Tong Auyang bersaudara ...."

   "Eh, To-toaci, apakah engkau juga merasa lucu? Si kurus ternyata bisa berubah menjadi si gendut,"

   Tanya Auyang Ting. "Kukira kalian terlalu banyak minum anggur kolesom,"

   Ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. "Betul, betul, rasanya kami memang terlalu banyak minum anggur kolesom, haha !"

   Sahut Auyang Ting. Mendadak To Kiau-kiau mendelik, katanya dengan ketus.

   "Sekarang sudah waktunya kalian menumpahkan anggur kolesom yang kalian minum itu, bukan?"

   "Ini ... haha ... haha ...."

   "Itu ... hehe ... hehe ...."

   Begitulah kedua orang terus "haha"

   Dan "hehe"

   Serta ini dan itu, tapi tidak mengucap apa-apa. Diam-diam Siau-hi-ji tahu pasti di dalam hati kedua orang ini sedang merancang akal busuk. Pada saat itu juga tiba-tiba di bawah jok ada orang berkata dengan tertawa.

   "Wah, selama dua puluh tahun ini kedua Auyang bersaudara ini selain membesarkan tubuh mereka menjadi putih gemuk, agaknya mereka pun berhasil belajar caramu berhaha-hihi, kukira akan lebih tepat jika kau menerima mereka sebagai murid sekalian."

   Dari suaranya segera Siau-hi-ji dapat mengenalnya sebagai suara Pek Khay-sim. Segera seorang menanggapi dengan tertawa ngakak.

   "Haha, jika benar kuterima mereka sebagai murid, wah, bisa jadi celanaku juga akan ditipu mereka dan nasibku bisa telanjang bulat. Haha ... hehe ...."

   Dari suara "haha"

   Yang lantang dan keras ini, jelas ialah si Budha tertawa Ha-ha-ji alias si "tertawa sambil menikam".

   Semula si Ting masih memeras otak mencari jalan buat meloloskan diri, tapi demi mendengar yang bicara di bawah jok itu ternyata kedua teman lama mereka maka putuslah harapan mereka untuk kabur.

   Kedua orang saling pandang sekejap dan segera hendak bangkit.

   "Sungguh tak tersangka kami menduduki kedua kakak di bawah pantat, benar-benar berdosa besar,"

   Ucap Auyang Ting sambil menyengir. "Ah, tidak apa,"

   Kata Pek Khay-sim di bawah jok.

   "To-toaci telah mengatur segalanya dengan baik, di bawah sini rasanya lebih menyenangkan daripada tidur di ranjang rumah sendiri, bahkan di sini tersedia pula arak dan daging segala ...."

   "Tapi bila teringat pantat kalian justru berada di atas, sungguh aku menjadi muak dan tidak doyan makan, haha!"

   Sambung Ha-ha-ji. "Bila kalian tidak lepas tangan, tentu kami tidak mampu berdiri,"

   Kata Auyang Tong.

   "Dan bila kami tidak berdiri, terpaksa kalian juga harus berjongkok terus di situ .... Eh, bagaimana baiknya, To-toaci?"

   "Kenapa bingung?"

   Jawab To Kiau-kiau tertawa.

   "Tumpahkan saja kolesom yang kalian makan dan segera mereka akan lepas tangan."

   "Kalau tidak biarlah kami sembelih kalian saja,"

   Sambung Pek Khay-sim. "Haha, boleh juga gagasan ini!"

   Seru Ha-ha ji dengan tertawa. Auyang Ting menghela napas, katanya.

   "Barang titipan To-toaci itu sebenarnya sudah lama akan kami antarkan ke Ok-jin-kok, cuma mendadak ."

   "Hilang, begitu bukan?"

   Jengek To Kiau-kiau. "Dugaan To-toaci memang tidak keliru,"

   Ucap Auyang Ting dengan wajah seperti mau menangis.

   "Tahun berikutnya setelah kalian masuk Ok-jin-kok, barang titipan itu dirampas orang seluruhnya, karena khawatir dimarahi To-toaci, terpaksa ... terpaksa ...."

   "Terpaksa kami sembunyi,"

   Sambung Auyang Tong dengan menyesal. Namun To Kiau-kiau sama sekali tidak terpengaruh oleh penuturan yang memelas itu, bahkan berkedip mata pun tidak, katanya dengan tenang.

   "Alasan ini memang masuk akal, tapi siapakah yang rebut barang itu?"

   "Loh Tiong-tat,"

   Jawab Auyang Ting dengan gegetun. "Yaitu orang yang berjuluk Lam-thian-tayhiap, ialah yang hampir mengutungi kedua tangan Toh-lotoa ketika baru saja Toh-lotoa muncul di Kangouw dulu,"

   Sambung Auyang Tong. Mendadak To Kiau-kiau terkikih-kikih genit, katanya.

   "Ha-heng, menurut pendapatmu kebohongan mereka ini bagus atau tidak?"

   "Haha, boleh juga,"

   Ujar Ha-ha-ji.

   "Sudah jelas mereka tahu kita tidak mungkin pergi bertanya kepada Loh Tiong-tat."

   "Ini namanya mati tanpa saksi,"

   Tukas Pek Khay-sim dengan tertawa. "Tapi ... tapi apa yang kukatakan itu semuanya benar,"

   Seru Auyang Ting. "Ya, bila bohong sepatah kata saja, biarlah kami dikutuk oleh langit dan bumi, biar mati tidak enak, pada jelmaan hidup berikutnya akan menitis menjadi babi gemuk dan dijadikan Ang-sio-bak untuk dahar Ha-heng,"

   Sambung Auyang Tong.

   Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli melihat cara bersumpah Auyang Tong yang gesit itu, jelas mereka anggap sumpah sebagai pidato dan sehari entah bersumpah berapa kali, kalau tidak masakah dapat bersumpah selancar itu.

   Dilihatnya Kiau-kiau sedang menengadah tanpa menggubris ocehan kedua Auyang bersaudara, Ha-ha-ji dan Pek Khay-sim juga tidak bicara lagi di bawah jok, malahan terdengar suara keriat-keriut, agaknya mereka lagi asyik makan minum.

   Auyang Ting dan Auyang Tong masih terus omong, tapi meski mulut mereka serasa kering dan butir keringat sebesar kedelai memenuhi dahi mereka tetap To Kiau-kiau tidak menggubris dan anggap tidak mendengar.

   Makin menonton makin tertarik Siau-hi-ji, mestinya dia hendak tinggal pergi, tapi sekarang ia urungkan niatnya.

   Pada saat itulah mendadak kereta berhenti, menyusul di luar jendela kereta lantas muncul seraut wajah yang putih pucat, begitu pucat sehingga hampir-hampir tembus cahaya.

   Melihat muka itu, seketika kedua Auyang bersaudara seperti kena dicambuk sekali, sekujur badan mereka serasa kejang.

   Dengan suara terputus-putus Auyang Ting berkata.

   "Kiranya ...

   kiranya Toh-lotoa juga datang!"

   Kalau tadi mereka masih mengoceh macam-macam, sekarang setelah melihat Toh Sat, seketika seperti tikus melihat kucing, bicara saja tidak terang, malahan Auyang Tong tidak sanggup bersuara lagi.

   Melihat wajah dingin si tangan berdarah Toh Sat, entah mengapa timbul semacam rasa akrab di dalam hati Siau-hi-ji, segera ia menyapa.

   "He, paman Toh, baik-baikkah engkau?"

   "Baik?"

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Toh Sat singkat. Dia hanya memandang Siau-hi-ji sekejap, sorot matanya yang dingin seakan-akan rada cair, tapi ketika ia menatap pula ke arah kedua Auyang bersaudara, hawa dingin tatapannya seketika bertambah tajam.

   "Cret", mendadak sebuah kaitan baja menancap di jendela kereta. Kaitan baja ini adalah "tangan"

   Toh Sat. Dia tarik pintu kereta tanpa bicara, tangan yang lain terus menggampar beruntun belasan kali di muka Auyang Tong, habis itu barulah berkata dengan ketus.

   "Hm, kau masih kenal padaku tidak?"

   Kontan muka Auyang Tong merah bengkak seperti hati babi yang baru dirogoh keluar dari perut babi, tapi menjengek sedikit saja tidak berani, sebaliknya ia menjawab dengan menyengir.

   "Mana ... mana Siaute tidak ... tidak kenal lagi pada Toh-lotoa?"

   "Hm, bagus juga kau!"

   Jengek Toh Sat. Mendadak telapak tangannya memotong Hiat-to di dengkul Auyang Tong, menyusul dengan cara yang sama ia pun kerjai Auyang Ting, lalu ia membalik tubuh dan membentak dengan suaran begis.

   "Turun!"

   "Tapi ... tapi kaki Siaute tidak dapat bergerak lagi, cara bagaimana bisa turun?"

   Ratap Auyang Tong. "Kaki tidak bisa bergerak, merangkak turun dengan tangan!"

   Jengek Toh Sat. Kedua Auyang saling pandang sekejap, benar juga, akhirnya mereka merangkak turun dengan munduk-munduk. "Hihi, apa pun juga Toh-lotoa memang lebih hebat,"

   Ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. "Sampai-sampai kedua saudara Ting-tong kita juga takut padanya seperti tikus melihat kucing."

   "Ya, manusia yang semakin licin dan semakin buas, semakin mahir juga cara Toh-lotoa mengerjainya,"

   Tukas Ha-ha-ji sambil menerobos keluar dari bawah jok kereta.

   Kereta kuda itu ternyata berhenti di depan sebuah rumah yang sepi dan tak berpenghuni, kusir kereta tadi tidak kelihatan lagi.

   Ha-ha-ji lantas memegangi tangan Siau-hi-ji, tanyanya dengan tertawa.

   "Hah, selama beberapa tahun berpisah, entah berapa banyak anak perempuan yang terpikat olehmu?"

   "Kurang lebih cuma 300,"

   Jawab Siau-hi-ji sambil main mata. Ha-ha-ji menggablok pundak anak muda itu, serunya sambil terbahak-bahak.

   "Hahahaha! Belum cukup jumlah sekian, kau harus lebih giat lagi."

   "Tapi kalau kumain pikat terus, bisa jadi aku akan pendek umur,"

   Kata Siau-hi-ji. Mendadak ia menjulurkan sebelah kakinya sehingga Pek Khay-sim yang datang dari belakang itu kena dijegalnya hingga jatuh tersungkur. Cepat Pek Khay-sim merangkak bangun, sama sekali ia tidak marah, bahkan berkata dengan tertawa.

   "Hah, agaknya kau tidak mau rugi dan tetap ingat padaku."

   "Bukan aku yang menjegalmu barusan ini, tapi Kang Piat-ho,"

   Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sudahlah, kukerjai kau satu kali, kau pun pernah mengerjai aku satu kali, ditambah lagi sengkelitan barusan, maka bolehlah kita anggap seri saja?!"

   Kata Pek Khay-sim. "Hm, memangnya begitu enak? Masih ada lagi rentenya, tunggu saja nanti,"

   Jawab Siau-hi-ji tertawa. Pek Khay-sim garuk-garuk kepala, ucapnya dengan menyengir.

   "Begini saja payah bagiku, bila ada lagi, jiwaku bisa melayang?!"

   "Haha, kau sendiri yang cari penyakit, orang lain tidak kau kerjai, tapi malah mengerjai dia, akhirnya baru kau tahu rasa,"

   Ha-ha-ji bergelak tertawa.

   Beramai-ramai mereka lantas masuk ke rumah itu, tertampak ruangan tengah yang bobrok itu ada api unggun dan ada sebuah kuali di atas api, entah apa isinya.

   Selain itu ada pula beberapa mangkuk rusak yang tertaruh serabutan di lantai, seperti berisi rempah-rempah bila orang masak sayur.

   Seorang berjongkok di tepi api unggun, ternyata ialah si kusir tadi.

   Hawa sepanas ini, dia berjongkok lagi di dekat api unggun, tapi dahinya tidak tampak bekeringat sedikit pun.

   Masuknya orang banyak seakan-akan tidak diambil pusing olehnya.

   Dengan tertawa To Kiau-kiau lantas berkata.

   "Siau-hi-ji, lekas menemui paman Li, selama beberapa tahun ini dia senantiasa mengenangkan dirimu, cuma yang dirindukan dia mungkin adalah dagingmu yang empuk untuk dimakannya."

   Siau-hi-ji tertawa dan berkata.

   "Tampaknya paman Li sedang marah!"

   "Tapi dia bukan marah padamu,"

   Ucap Ha-ha-ji.

   "Soalnya To-toaci menyuruh dia menjadi kusir, sebaliknya membiarkan Pek Khay-sim enak-enak tidur di dalam kereta, saking dongkolnya hampir saja perutnya meledak. Hahaha!"

   Siau-hi-ji lantas mendekati Li Toa-jui dan menyapa.

   "Li-toasiok, janganlah engkau marah benar-benar, kalau marah, dagingnya akan berubah menjadi kecut."

   Li Toa-jui bergelak tawa, tangan Siau-hi-ji dipegangnya dan berkata.

   "Sungguh tak tersangka kau setan cilik ini masih ingat pada kalimat ini."

   "Kata-kata mutiara begini mana boleh kulupakan?"

   Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

   Sementara kedua Auyang bersaudara telah merangkak masuk sambil merintih, tubuh mereka sudah berlepotan debu sehingga persis dua ekor babi gemuk yang habis mandi di kolam lumpur.

   "Hahaha, selama dua puluh tahun ini untuk pertama kalinya kita berkumpul sebanyak ini,"

   Seru Ha-ha-ji dengan tertawa "Sungguh suatu pertemuan yang jarang terjadi, maka kita harus merayakannya dengan baik."

   "Tapi kalau orang-orang Kangouw mengetahui gerombolan kita ini berkumpul lagi di sini, entah bagaimana mereka akan berpikir?"

   Ujar To Kiau-kiau. "Haha, bisa jadi nyali mereka akan pecah semuanya,"

   Tukas Ha-ha-ji. "Wah, ingat, nyali (empedu) sekali-kali tidak boleh sampai pecah, kalau pecah dagingnya akan jadi pahit,"

   Ujar Li Toa-jui dengan sungguh-sungguh.

   Dasar pemakan daging manusia, setiap bicara tidak pernah melupakan hobinya.

   Biji mata Siau-hi-ji tampak mengerling kian kemari memandangi tokoh-tokoh Ok-jin-kok ini, terbayang kembali masa kanak-kanaknya dahulu, bagaimana perasaan sekarang sukarlah untuk dijelaskan.

   Meski orang-orang ini tergolong Ok-jin atau orang jahat, tapi menurut pandangannya setiap orang ini sedikit banyak juga ada segi yang baik dan menyenangkan, sungguh jauh lebih baik dan menyenangkan daripada Kang Piat-ho yang munafik itu.

   Kini, di antara Cap-toa-ok-jin atau sepuluh top penjahat ternyata ada tujuh orang berkumpul di sini, rasanya jarang ada kejadian lain yang lebih asyik dan menarik daripada adegan ini.

   Sungguh Siau-hi-ji merasa sangat gembira, tapi bila melihat setiap tokoh ini serupa malaikat elmaut, setelah muncul kembali di dunia Kangouw, entah betapa banyak orang yang akan menjadi korban.

   Berpikir demikian, diam-diam ia jadi khawatir juga.

   Selama beberapa tahun ini jalan pikirannya sudah berubah dibandingkan waktu dia baru meninggalkan Ok-jin-kok, ia merasa kalau orang baik diganggu orang jahat sungguh tidak adil.

   Betapa pun ia tidak dapat menyaksikan kejadian demikian, ia harus mencari akal untuk mencegahnya.

   Terdengar To Kiau-kiau lagi berkata.

   "Kini kita hanya menunggu Im-lokiu saja, entah ada kejadian apa sehingga sampai saat ini belum muncul?"

   "Tindak tanduk orang ini memang suka main sembunyi-sembunyi,"

   Ujar Li Toa-jui.

   "Bisa jadi dia sudah datang, tapi sengaja sembunyi di sekitar sini dan menonton belaka."

   Auyang Ting merangkak di lantai dan menimbrung.

   "Dapat berkumpul kembali dengan para saudara, sungguh Siaute merasa sangat gembira."

   Cepat Auyang Tong menambahkan.

   "Ya, kita harus merayakannya dengan pesta besar."

   "Tapi milik kita sudah habis digelapkan oleh kalian, dari mana ada uang untuk bikin pesta segala?"

   Kata To Kiau-kiau. "Asalkan To-toaci melepaskan kami, pasti kami akan mencari orang she Loh itu, biarpun mati juga akan kami rampas kembali barang-barang itu,"

   Kata Auyang Ting. Belum habis ucapannya, mendadak kaitan baja Toh Sat telah menancap di pundaknya terus di angkat ke atas, keruan Auyang Ting menjerit seperti babi hendak disembelih, teriaknya.

   "Ampun! Toh-lotoa! Siaute bicara jujur, engkau mengampuni kami."

   "Di mana barang-barang itu? Katakan?"

   Jengek Toh Sat.

   "Be ...

   benar-benar telah dirampas Loh Tiong-tat ...."

   "Plok", belum lanjut ucapannya, kontan mulutnya ditonjok oleh kepalan Toh Sat sehingga darah tersembur dari mulutnya, bahkan berikut beberapa biji giginya.

   To Kiau-kiau menjepit sepotong arang dengan capitan besi dan perlahan-lahan ditaruh di kuduk Auyang Tong, lalu katanya dengan tertawa genit.

   "Aku tidak setega Toh-lotoa dan tidak sampai hati memukul kau, tapi kalau kau tetap tidak mengaku, di sini masih banyak arang yang membara."

   Tentu saja Auyang Tong menggelepar di lantai kereta keselomot arang panas itu, dia berguling-guling ke dekat kaki Li Toa-jui dan berseru dengan suara serak.

   "Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, Li-toako, sukalah mengingat per ... persaudaraan kita di masa lalu, tolonglah engkau mintakan ampun bagiku."

   "O, apakah To-toaci telah menyakitkan kau?"

   Ucap Li Toa-jui menyesal. "Ya, sakit ... sakit sekali,"

   Ratap Auyang Tong. "Mana yang sakit?"

   Tanya Li Toa-jui. "Sekujur badan sakit semua,"

   Jawab Auyang Tong.

   "lebih ... lebih-lebih bagian kuduk sini ...."

   "O, apakah daging ini?"

   Tanya Li Toa-jui sambil meraba kuduknya. "Iy ... iya, di situ!"

   Keluh Auyang Tong. "Baiklah, akan kupotong dagingmu ini, habis itu tentu tidak sakit lagi,"

   Kata Li Toa-jui. "He, Li-toako Li ...."

   Teriak Auyang Tong ketakutan. Tapi Li Toa-jui lantas mengeluarkan sebilah belati dari celah-celah sepatunya.

   "sret", kontan ia iris daging di kuduk Auyang Tong, lalu daging itu dipanggangnya di atas api unggun sambil bergumam.

   "Meski daging panggang tidak selezat daging Ang-sio, tapi kalau diberi sedikit merica dan garam rasanya boleh juga."

   Sembari bicara ia pun mencomot bumbu masak yang disebut itu dari kaleng-kaleng yang tersedia di samping dan ditaburnya di atas daging, lalu dipanggang lagi sejenak, kemudian daging itu benar-benar dimakannya dengan lahap.

   Suara mencicit waktu daging itu dipanggang sudah cukup membuat Siau-hi-ji merinding, apa lagi didengar suara mengunyah Li Toa-jui laksana orang makan bistik, sungguh hampir saja ia tumpah.

   Bahkan Pek Khay-sim, To Kiau-kiau dan lain-lain juga melengos ke arah lain, tak berani melihat cara Li Toa-jui makan daging manusia itu.

   "Uwaaak,"

   Mendadak Auyang tong menumpahkan seluruh isi perutnya yang baru saja dimakannya semalam.

   Bahkan daging sendiri jelas disaksikannya lagi dimakan orang dengan lezatnya, betapa pun perasaannya sungguh sukar dilukiskan.

   Sambil mengunyah Li Toa-jui sembari bergumam.

   "Selama ini tampaknya kungfumu tidak pernah kendur, buktinya dagingmu ini cukup keras dan gurih, jauh lebih enak daripada daging orang gemuk umumnya."

   Wajah Auyang Tong berlepotan debu campur darah, mulutnya melelehkan air kecut yang ditumpahkannya, mukanya sungguh memelas, sambil merangkak di lantai, akhirnya ia menangis tergerung-gerung.

   Seorang besar begitu menangis sambil merangkak di lantai, bentuknya sungguh mengharukan bagi yang melihatnya.

   Tapi Li Toa-jui sama sekali tidak ambil pusing, mendadak ia mendekati Auyang Ting, katanya dengan tertawa.

   "Apakah badanmu juga kesakitan?"

   "O, ti ... tidak, sedikit ... sedikit pun tidak sakit,"

   Jawab Auyang Ting dengan gemetar. "Kasihan, kau telah diajar Toh-lotoa sedemikian rupa, masa tidak kesakitan?"

   Tanya Li Toa-jui sambil meraba-raba pipi orang. Mendadak Auyang Ting menjerit ketakutan "Sung ... sungguh tidak sakit ...."

   Tapi mendadak Li Toa-jui menjotosnya satu kali. "Sekarang sakit tidak?"

   Tanya Li Toa-jui dengan tertawa. Mulut Auyang Ting jadi penuh darah dan tidak sanggup bersuara pula. "Kini tentu sangat kesakitan bukan? Biarlah kusembuhkan kau,"

   Kata Li Toa-jui dengan tertawa.

   "Sreet", tiba-tiba ia iris juga sepotong daging dari pipi Auyang Ting, lalu dipanggang pula dan dimakan sambil mengomel.

   "He, aneh, dagingnya tampaknya memang seperti Ti-koa (hati babi), tapi mengapa tiada sedikit pun rasa Ti-koa? Ah, agaknya daging yang bengkak terpukul rasanya menjadi tidak enak. Eh, Siau-hi-ji, hal ini perlu kau ketahui juga."

   Biarpun sudah tahu kedua Auyang bersaudara itu jauh lebih busuk dari pada orang lain, tapi melihat keadaan mereka yang mengenaskan, mau tak mau Siau-hi-ji merasa tidak tega. Selagi ia bermaksud menolong sekadarnya, tiba-tiba Auyang Ting berteriak.

   "Baiklah, akan kukatakan, barang itu masih tersimpan dengan baik, pada hakikatnya Loh Tiong-tat tidak pernah menjamahnya, tadi aku sengaja berdusta, harap kalian mengampuni diriku."

   Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya.

   "Jelas kalian tahu akhirnya toh harus mengaku, kenapa tidak sejak tadi kalian katakan saja, tapi kalian lebih suka tersiksa dulu?"

   "Memangnya mereka adalah manusia hina, kalau tidak dipaksa dan disiksa tak mau mengaku,"

   Jengek To Kiau-kiau. "Jika barangnya masih ada, di mana?"

   Bentak Toh Sat. "Bila ... bila kukatakan, apakah kalian tetap hendak membunuh kami?"

   Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Auyang Ting dengan gemetar. "Haha, kita kan seperti saudara sendiri, masa kami ingin membunuh kalian?"

   Jawab Ha-ha ji. "Kata-kata ini harus diucapkan Toh-lotoa barulah kami mau percaya,"

   Pinta Auyang Tong., Biarpun terkenal kejam dan keji, namun Toh Sat terkenal suka pegang janji, tidak pernah dusta. Hal ini diketahui setiap orang Kangouw. Maka terdengar Toh Sat menjengek.

   "Hm, bila kau katakan dengan baik, tentu kami takkan mencelakai jiwa kalian."

   Auyang Ting menghela napas lega, ucapnya.

   "Barang itu kami sembunyikan di suatu gua yang terletak di puncak Ku-san (bukit kura-kura) ...."

   "Untuk itu Siaute bersedia membuatkan sebuah peta,"

   Sambung Auyang Tong. "Jika sejak tadi kalian menurut begini, tentu aku pun tidak perlu makan daging kalian yang busuk,"

   Kata Li Toa-jui dengan gegetun. Setelah peta selesai dibuat, semua orang sama bergirang, empat pasang tangan terjulur hendak menerima peta itu, tapi serentetan suara "plak-plok"

   Lantas terdengar, yang ini menampar tangan sana dan yang sana memukul tangan yang ini, segera keempat pasang tangan itu tersurut mundur.

   Hanya empat pasang tangan saja yang terjulur sebab tangan Toh Sat selain digunakan untuk membunuh orang tidak mau sembarangan dijulurkan.

   Akhirnya Li Toa-jui berteriak.

   "Peta ini biarlah dipegang Toh-lotoa saja, selain dia tiada orang lain yang dapat kupercayai."

   "Benar, kecuali Toh-lotoa aku pun tidak percaya!"

   Sambung seorang tiba-tiba dengan suaranya yang mengambang dari jauh dan tahu-tahu di luar jendela sudah bertambah sesosok bayangan orang.

   "Haha, Im-lokiu memang cerdik, setelah kita berusaha susah payah setengah hari barulah dia muncul untuk ikut ambil bagian,"

   Seru Ha-ha-ji. "Hm, kalian bersusah payah, memangnya aku tidak?"

   Jengek Im Kiu-yu, si setengah setan setengah manusia. "Kau susah payah apa? Memangnya kau tergoda oleh setan dan tak dapat melepaskan diri?"

   Kata To Kiau-kiau dengan tertawa. "Aku memang ketemu setan,"

   Jawab Im Kiu-yu sekata demi sekata. "Setan apa? Setan kepala besar atau setan gantung?"

   Tanya Ha-ha-ji.

   Sinar mata Im Kiu-yu mengerling ke arah Siau-hi-ji, mendadak ia tertawa seram, katanya.

   "Eh, Siau-hi-ji, coba terka, setan apa?"

   "Setan yang dapat membuatmu ketakutan kukira tidak banyak, tapi manusia yang kau takuti kurasa memang ada satu ...."

   Ucap Siau-hi-ji. Mendadak To Kiau-kiau melonjak dan berteriak.

   "He, jangan-jangan kau kepergok Yan Lam-thian?!"

   Im Kiu-yu menyeringai seram, jawabnya.

   "Jika aku kepergok, memangnya aku dapat datang ke sini? Aku memang melihat dia menunggang kuda gagah perkasa, tampaknya jauh lebih bersemangat daripada dahulu."

   Girang dan kejut Siau-hi-ji mendengar keterangan ini. Air muka To Kiau-kiau, Ha-ha-ji, Pek Khay-sim dan Li Toa-jui juga berubah semua. "Sekarang ... sekarang dia menuju ke mana?"

   Teriak To Kiau-kiau sambil memburu maju. "Dari mana kutahu dia hendak pergi ke mana?"

   Jawab Im Kiu-yu.

   "Bisa jadi sedang menuju ke sini."

   Kata-kata- ini membuat tokoh-tokoh Cap-toa-ok-jin yang termasyhur di seluruh dunia ini menjadi tidak tenteram. Li Toa-jui yang pertama berdiri, ucapnya.

   "Di sini memang bukan tempat tinggal yang baik, marilah kita pergi saja."

   "Sudah tentu kita harus pergi, kukagum kepada siapa yang tidak mau pergi,"

   Kata Ha-ha-ji. "Harap ... harap kalian membawa serta kami,"

   Mohon Auyang Ting dengan suara gemetar. "Kami ... kami juga tidak ingin melihat Yan Lam-thian."

   "Yan Lam-thian, hanya setan yang ingin menemui dia,"

   Tukas Pek Khay-sim. Nama "Yan Lam-thian"

   Seakan-akan membawa daya pengaruh yang maha besar sehingga tokoh-tokoh yang biasanya tidak kenal apa artinya takut ini juga ngeri mendengar namanya. Diam-diam Siau-hi-ji bergirang dan terkejut serta kagum pula, pikirnya.

   "Seorang kalau dapat hidup seperti Yan Lam-thian barulah ada artinya . Biasanya aku menganggap diriku ini luar biasa, lain daripada yang lain, tapi kalau dibandingkan beliau diriku ini menjadi bukan apa-apa lagi."

   Akan tetapi Yan Lam-thian kan juga manusia, apa yang dapat diperbuat Yan Lam-thian mengapa tak dapat dilakukan Siau-hi-ji? Dalam hal apakah Siau-hi-ji tidak dapat menyamai orang? Seketika pikiran Siau-hi-ji jadi bergolak dan berontak, tiba-tiba ia merasa putus asa dan patah semangat, tapi mendadak pula darah bergelora dan timbul semangat ksatrianya ....

   Mendadak didengarnya jeritan Auyang Ting disertai mengucurnya darah segar, sebelah lengannya dan sebuah pahanya telah ditebas mentah-mentah oleh To Kiau-kiau.

   Dengan suara serak Auyang Tong berteriak.

   "Toh-lotoa, engkau sudah ... sudah berjanji takkan takkan ."

   "Toh-lotoa hanya berjanji takkan mencabut nyawa kalian, tapi kan tidak pernah berjanji lain-lainnya?"

   Kata Kiau-kiau dengan tertawa, sambil bicara kembali sebelah lengan dan sebuah kaki Auyang Tong ditabasnya pula, habis itu satu kaleng penuh gula pasir terus dituang ke tubuh mereka.

   Kedua Auyang bersaudara itu tahu sebentar lagi berjuta-juta semut pasti akan terpancing tiba oleh gula pasir itu, tatkala mana mereka akan beratus kali lebih tersiksa daripada sekarang ini.

   Segera Auyang Tong berteriak.

   "Lebih baik kau bu ... bunuh saja kami!"

   Tapi To Kiau-kiau menjawab dengan tertawa "Toh-lotoa sudah berjanji takkan mencabut nyawa kalian, mana boleh kubunuh kalian."

   "Keji benar kau, ke ... kejam amat kau!"

   Teriak Auyang Ting dengan menggereget. To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya.

   "Begini caramu bicara, tapi bila aku yang jatuh di tangan kalian, bukan mustahil kalian akan berlaku sepuluh kali lebih kejam daripadaku."

   Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa menoleh pula.

   Teriakan ngeri kedua Auyang bersaudara itu seakan-seakan tidak didengar oleh siapa pun juga.

   Sementara itu sang surya sudah hampir terbenam, Siau-hi-ji berdiri di bawah cahaya senja menyaksikan kepergian rombongan To Kiau-kiau, sebelum berpisah para tokoh Cap-toa-ok-jin itu sama berbicara dengan anak muda itu, tapi apa yang dikatakan mereka tidak diperhatikan sungguh-sungguh oleh Siau-hi-ji, yang diketahui adalah mereka hendak pergi ke Ku-san, Siau-hi-ji tidak di suruh ikut, Siau-hi-ji sendiri juga tidak ingin ikut.

   Ia cuma ingat pesan mereka.

   "Awas terhadap Yan Lam-thian, usahakan menumbangkan pengaruh Kang Piat-ho. Terasa kurang leluasa jika kau ikut pergi bersama kami, biarlah kelak kami akan datang mencari kau."

   Siau-hi-ji tidak menaruh perhatian pada pesan mereka itu, soalnya hatinya sedang bimbang, entah sejak kapan pikirannya mendadak penuh diisi oleh nama "Yan Lam-thian".

   "Yan Lam-thian, mengapa aku tidak dapat belajar seperti Yan Lam-thian? tapi malah belajar seperti To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan sebangsanya? Tatkala kubenci pada seseorang, mengapa aku tak dapat meniru Yan Lam-thian, carilah orang itu dan bertempur secara terang-terangan dengan dia, tapi malah meniru caranya To Kiau-kiau dan lain-lain, hanya mengganggu secara diam-diam?!"

   Hidup seorang lelaki sejati, seharusnya kalau benci ya benci, suka ya suka, apa yang ingin dilakukan segera lakukan saja, siapa pun tak dapat merintanginya.

   Sayup-sayup masih terdengar jeritan ngeri Auyang bersaudara yang terbawa angin lalu.

   Mendadak Siau-hi-ji memutar balik menuju ke rumah bobrok yang sepi itu.

   Kedua orang gemuk itu masih menggeletak di tengah genangan darah, beribu-ribu dan berjuta-juta semut tampak merubung tiba dari segenap penjuru, penderitaan kedua orang itu sungguh sukar untuk dilukiskan.

   Ketika melihat Siau-hi-ji, dengan suara terputus-putus mereka berteriak.

   "To ... tolong, sudilah engkau mem ... membantuku, bacoklah kami masing-masing satu kali, mati pun kami ... merasa berterima kasih padamu!"

   Siau-hi-ji menghela napas, tiba-tiba ia angkat kedua orang itu keluar, ia mendapatkan sebuah sumur, di situlah ia cuci badan mereka dari kerumunan semut.

   Sungguh mimpi pun kedua Auyang bersaudara tidak pernah menyangka anak muda itu akan menolong mereka, mereka pandang Siau-hi-ji dengan melenggong, penuh rasa kejut, bingung dan juga terima kasih.

   "Kalian tentu heran mengapa mendadak aku berubah welas asih bukan?"

   Gumam Siau-hi-ji. "Meski kutahu kalian ini bukan manusia baik-baik, tapi melihat cara kalian mati tersiksa begini sungguh hatiku tidak tega."

   Auyang Ting menatapnya dengan tajam, katanya kemudian.

   "Jika engkau suka menyelamatkan kami, tentu ... tentu kami akan membalas budi kebaikanmu ini secara setimpal."

   "Asalkan kalian dapat hidup, tentu akan kutolong tanpa mengharapkan balas jasa apa pun,"

   Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Auyang Ting memandangnya dengan sorot mata heran seolah-olah tidak pernah kenal anak muda ini. Mendadak ia berkata.

   "Harta karun itu sebenarnya tidak tersimpan di Ku-san."

   Ucapan yang tiba-tiba ini membuat Siau-hi-ji tercengang, ia menegas.

   "Tidak tersimpan di Ku-san katamu?"

   Wajah Auyang Ting yang tadinya membuat setiap orang merasa kasihan bila melihatnya itu kini mendadak menggereget.

   "Ya, ketika kukatakan hal ini tadi tentu tiada seorang pun yang menyangka keteranganku adalah palsu. Nah, justru kuharap mereka akan berpikir demikian, kalau tidak masakah kawanan setan iblis itu dapat tertipu olehku?"

   "Paling-paling mereka cuma kembali dengan tangan hampa saja, bukan sesuatu tipuan yang luar biasa?"

   Ujar Siau-hi-ji. Walaupun Auyang Tong tadi berkelejetan di lantai saking kesakitan, tapi sekarang dia masih dapat bergelak tawa dan berkata.

   "Hahaha, tipu kami masa cuma membuat mereka pulang-pergi dengan tangan hampa belaka?"

   "Hm, sekali ini biarpun mereka dapat pulang dengan hidup, sedikitnya setengah nyawa mereka pun akan kecantol di Ku-san,"

   Tukas Auyang Ting dengan menyeringai. "Sebab apa?"

   Siau-hi-ji mengernyit kening. Auyang Tong terkekeh-kekeh, katanya.

   "Sebab tempat yang kami katakan itu sebenarnya tiada tersimpan harta karun segala, yang ada cuma seorang iblis jahat, sudah lama sekali iblis itu tidak tampil di muka umum, mimpi pun mereka takkan menyangka iblis itu justru sembunyi di Ku-san sana."

   "Mereka cuma tahu betapa menakutkannya Yan Lam-thian, tapi tidak tahu iblis itu sesungguhnya berpuluh kali lebih menakutkan daripada Yan Lam-thian,"

   Demikian tutur Auyang Ting.

   "Cap-toa-ok-jin kalau dibandingkan iblis itu boleh diibaratkan anak kecil berbanding orang tua."

   "Mengapa aku tidak tahu di dunia masih ada manusia begitu?"

   Tanya Siau-hi-ji. "Hal-hal yang tidak kau ketahui masih cukup banyak,"

   Ujar Auyang Tong. "Umpama kami harus mati, tapi mereka pun tak bisa tenang,"

   Kata Auyang Ting.

   "Bila ketemu iblis itu, penderitaan mereka mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada kami."

   "Kalau kalian sudah akan mati, untuk apa mesti membikin susah orang lain?"

   Siau-hi-ji menggeleng seraya tersenyum. "Soalnya kutahu mereka toh takkan melepaskan kami, biarlah menderita dan bertambah tersiksa juga akan kami seret mereka ke dalam lumpur, aku Auyang Ting biarpun mengadu jiwa juga ingin mendapatkan untung,"

   Kata Auyang Ting dengan tertawa. "Ya, jiwa kami berdua mendapatkan imbalan lima jiwa mereka, jual beli ini cukup menguntungkan, aku Auyang Tong memang mati pun tidak mau rugi,"

   Tukas Auyang Tong dengan terbahak.

   Dalam keadaan menderita dan kesakitan, tapi suara tertawa kedua orang ini entah betapa gembiranya, tidak saja melupakan semua siksaan, bahkan mati dan hidup juga terlupakan seluruhnya.

   Siau-hi-ji merinding sendiri melihat cara mereka bergelimpangan menahan sakit di samping tertawa gembira pula, ia menggeleng kepala dan tersenyum getir, katanya.

   "Manusia macam kalian ini sungguh jarang ada, pada hakikatnya kalian ini bukan lantaran akan mati maka ingin membikin susah orang lain, tapi lebih suka mati demi membikin susah orang lain."

   Dilihatnya kedua bersaudara yang lebih suka membikin susah orang ini mulai lemah suara tertawanya, Auyang Ting menggelinding ke samping Auyang Tong dan bertanya.

   "Lotoa, apakah kita benar-benar hendak beritahu bocah ini tempat penyimpanan harta karun itu?"

   "Pembawaan bocah ini bukanlah orang baik-baik, setelah mendapat harta karun kita itu pasti tidak sedikit orang yang akan dicelakainya. Biar kita sudah mati, tapi harta yang kita tinggalkan masih dapat dimanfaatkan oleh bocah ini, bukanlah ini pun suatu hasil karya kita yang gemilang?"

   Ujar Auyang Ting. "Betul, betul,"

   Seru Auyang Tong tertawa.

   "Betapa pun Lotoa memang ... memang lebih pintar daripadaku ...."

   Dia tertawa terus dengan tubuh mengejang, suara bicaranya juga terputus-putus. "Kata orang, manusia yang akan mati ucapnya tentu juga bajik, tapi ajal kalian sudah dekat, nyatanya tetap tidak mau mengucapkan beberapa patah kata yang baik,"

   Kata Siauhi-ji dengan gegetun. "Hidup jadi orang ... jahat, setelah mati juga ... juga akan menjadi setan jahat ...."

   Kata Auyang Tong dengan menyeringai. "Biarpun kuberitahu, tempat penyimpanan harta karun yang sesungguhnya ialah berada di ... di kota Hankau, di gang Pat-po pada rumah nomor tiga di ujung sebelah kanan yang berpintu warna kuning,"

   Tutur Auyang Tong. Dengan terkekeh-kekeh Auyang Ting menyambung.

   "Mereka sama mengira tempat penyembunyian harta karun itu pasti di suatu gua sepi dan jarang didatangi manusia, tapi tak tersangka bahwa kami justru menyimpan harta itu di suatu tempat yang ramai, di tengah kota yang penuh penduduk sehingga mimpi pun tak terduga oleh mereka."

   Suara mereka makin lama makin lemah sehingga hampir tak jelas lagi, luka mereka pun mulai mengering dan tidak mengalirkan darah pula. Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa dan berkata.

   "Baiklah, sekarang boleh kalian menjadi setan jahat saja, cuma jangan lupa, jadi setan jahat harus masuk neraka, di sana pun kalian akan disiksa, mungkin terlebih menderita daripada sekarang."

   Suara kedua Auyang bersaudara serentak berhenti, seketika terbayang oleh mereka adegan di neraka yang menyeramkan itu, ada bukit bergolok dan wajan minyak mendidih yang sedang menantikan kedatangan mereka.

   Sekonyong-konyong tubuh Auyang Tong meringkal jadi satu, teriaknya dengan histeris.

   "Tidak, aku bukan orang jahat ...

   aku pun tidak ingin menjadi setan jahat ...

   aku tidak ...

   tidak mau masuk neraka."

   Baru saja Auyang Ting masih bergelak tertawa, kini air mata sudah bercucuran, ratapnya.

   "Ampun, kumohon pertolonganmu, ampunilah kami."

   "Aku pun ingin mengampuni kalian, cuma sayang aku bukan Giam-lo-ong (raja akhirat),"

   Ucap Siau-hi-ji. "Tolong bantulah kami, gunakanlah harta karun kami itu untuk melakukan sesuatu yang mulia bagi kami,"

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Auyang Tong. "Betul, sudah terlalu banyak perbuatan busuk yang kami lakukan, sudilah engkau berbuat sesuatu sekadar menebus dosa kami,"

   Sambung Auyang Ting.

   "Sungguh aneh, ada sementara orang mengira dengan uangnya yang busuk akan dapat digunakan menebus dosanya, jalan pikiran ini bukankah teramat naif? Sebab kalau benar demikian adanya, bukankah surga akan menjadi milik orang yang beruang dan si miskin harus masuk neraka seluruhnya?"

   Mendadak kedua Auyang bersaudara meratap.

   "Tolonglah, sudikah engkau membantu kami!"

   "Kalian sudah takut,"

   Tanya Siau-hi-ji. Sekujur badan mereka sama gemetar dan tidak sanggup bersuara pula, mereka hanya mengangguk saja sekuatnya. Siau-hi-ji menggeleng-geleng, katanya.

   "Bilamana seluruh orang jahat di dunia ini menyaksikan keadaan kalian sekarang ini, mungkin selanjutnya akan banyak berkurang manusia yang berani berbuat jahat."

   Setelah menghela napas gegetun, lalu ia menyambung.

   "Tapi apa pun juga pasti akan kucoba, biarpun kalian menyesal sesudah terlambat, namun toh lebih baik daripada sama sekali tidak mau menyesal. Nah, kalian boleh mangkat dengan hati lega."

   Dalam hidup ini setiap orang kebanyakan mempunyai satu hari yang khusus pantas untuk dikenangkan.

   Siau-hi-ji juga mempunyai hari kenang-kenangan demikian.

   Selama seharian ini mendadak Siau-hi-ji menemukan banyak persoalan yang sebelum ini tidak pernah dipikirkan dengan mendalam walaupun juga tidak asing lagi baginya.

   Sehari ini pun berharga untuk dikenang sekalipun bagi Siau-hi-ji yang banyak ragam dan gayanya itu, dalam sehari ini ia telah mengalami rasa duka dan kecewa yang takkan terjadi di kemudian hari, jika sebelum ini dia masih tergolong anak-anak, maka sehari ini telah membuatnya dewasa.

   Apa pun juga akhirnya hari ini telah lalu pula, kini Siau-hi-ji telah mencuci bersih mukanya, ia membeli seperangkat pakaian warna biru langit, setelah berdandan dan bercermin, ia merasa cukup puas akan diri sendiri.

   Walaupun sudah sehari semalam tidak tidur, tapi selama ini semangat tak pernah sebaik sekarang, hanya perutnya saja yang berkeruyukan minta diisi.

   Maka ia mencari sebuah rumah makan yang terkenal enak dan dahar sekenyangnya.

   Rumah makan yang besar ini ada berpuluh buah meja, semuanya sudah penuh tamu, kebanyakan adalah tokoh-tokoh dunia persilatan, rupanya orang-orang Kangouw yang datang kemari itu belum banyak yang meninggalkan Ankhing.

   Orang-orang Kangouw ini paling gemar makan, suka makan enak, berani bayar, cara mereka membuang uang sama seperti uang didapatkan dari mencuri atau merampok.

   Dan juragan restoran mana pun paling suka pada tetamu yang demikian ini.

   Dengan perasaan menikmati tontonan, Siau-hi-ji menyaksikan cara orang-orang Kangouw itu makan dan minum, ia merasa orang-orang yang kelihatan kasar-kasar itu juga ada segi-segi yang menyenangkan.

   Didengarnya seorang di meja sebelah sana sedang berkata dengan tertawa.

   "Wah, malam nanti tentunya Au-heng juga akan hadir di Cong-goan-lau itu."

   Orang yang dipanggil "Au-heng" (saudara Au) itu bergelak tawa dan menjawab.

   "Ya, syukur Kang-tayhiap menghargai diriku dan juga mengirim sehelai undangan padaku, dengan sendirinya malam nanti Cayhe akan hadir di restoran ini untuk meramaikan suasana."

   Orang she Au ini sengaja bicara dengan suara keras, benar saja sorot mata dari berbagai arah seketika tertumpah kepadanya dengan rasa kagum dan juga iri.

   Menyusul ada beberapa orang lain juga mengeluarkan kartu undangan masing-masing untuk pamer, orang yang tidak dapat memperlihatkan kartu undangan menjadi merah mukanya dan juga ada yang pucat.

   Bahwasanya Kang-lam-tayhiap menjamu tamu dan mereka tidak diundang, tentu saja mereka merasa malu.

   Geli dan dongkol juga Siau-hi-ji menyaksikan semua itu.

   Bahwa Kang Piat-ho masih punya muka untuk pesta pora dan tamu yang diundang justru merasa bangga, ini benar-benar membuat dada Siau-hi-ji hampir meledak.

   Tiba-tiba seorang yang duduk dekat jendela sana berkata dengan heran.

   "He, katanya malam ini Kang-tayhiap menjamu tamu untuk merayakan kemenangan Hoa-kongcu, tapi sekarang mengapa Hoa-kongcu akan pergi? Memangnya dia tidak mau beri muka kepada Kang-tayhiap?"

   "Hoa-kongcu dan Kang-tayhiap adalah sahabat sehidup semati, Hoa-kongcu tidak segan berkorban bagi Kang-tayhiap sekalipun harus menghadapi bahaya, masa beliau malah tidak mau memberi muka kepada Kang-tayhiap?"

   Demikian seorang lagi menanggapi. "Ah, hari ini cuaca cerah dan hawa sejuk, Hoa-kongcu hanya membawa pacarnya melancong keluar kota, masa beliau benar-benar akan pergi begitu saja?"

   Ujar orang ketiga.

   Siau-hi-ji juga duduk dekat jendela, tanpa terasa ia pun melongok keluar.

   Dilihatnya sebuah kereta kuda sedang datang dari timur sana, tirai jendela tersingkap, samar-samar kelihatan bayangan si cantik berambut panjang gombyok.

   Tertampak pula Hoa Bu-koat dengan gagahnya naik kuda dengan pelana mengkilat mengiring di samping kereta dan kadang-kadang bersenda gurau dengan penumpang di dalam kereta.

   Siau-hi-ji jadi terkesima menyaksikan itu.

   Sementara itu tetamu restoran itu sudah sama merubung di depan jendela, maka terdengar pula suara kagum dan takjub di sana-sini, bahkan ada lagi yang menyapa.

   "Selamat, Hoa-kongcu!"

   Hoa Bu-koat mendongak dan membalas dengan senyuman tawar.

   Setiap orang si atas loteng restoran itu khawatir dirinya tidak terlihat tokoh muda itu, maka semuanya berusaha menjulurkan kepalanya masing-masing.

   Tapi Siau-hi-ji justru sebaliknya, kepalanya mengkeret ke dalam malah, khawatir dilihat oleh Hoa Bu-koat.

   Setelah kereta Hoa Bu-koat itu lewat ke sana dan semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing, tapi Siau-hi-ji masih temangu-mangu di tempatnya, tiba-tiba ia bergumam.

   "Caraku main sembunyi-sembunyi begini menghindari dia entah harus berlangsung sampai kapan? Memangnya selamanya aku harus menghindari dia?"

   Berpikir sampai di sini, mendadak ia berbangkit terus lari ke bawah.

   Apabila Siau-hi-ji sudah berpikir harus mengerjakan sesuatu, maka bagaimana akibatnya sama sekali tak terpikir lagi olehnya.

   Rupanya ini memang sifat keturunan ayah-ibunya.

   Maklumlah, bilamana Kang Hong dan Hoa Goat-loh (ayah dan ibu Siau-hi-ji) tidak mempunyai sifat begitu, tentunya dahulu mereka takkan melarikan diri dari Ih-hoa-kiong tanpa memikirkan segala akibatnya! Orang she Kang kalau sudah ingin mengerjakan sesuatu, mati pun pasti akan dilaksanakannya, bila dia sudah mencintai seseorang, mati pun dia tetap mencintainya.

   Kang Hong itu tampaknya halus dan lemah, tapi wataknya lebih keras daripada baja.

   Dalam hal ini Siau-hi-ji ternyata serupa dengan sang ayah.

   Begitulah dia terus memburu ke arah kereta Hoa Bu-koat.

   Hakikatnya Siau-hi-ji tidak peduli bahwa dirinya sedang menjadi sasaran pandangan orang yang berlalu-lalang dengan terheran-heran karena melihat dia berlari-lari sepanjang jalan.

   Maka hanya sebentar saja dia sudah dapat menyusul kereta kuda Hoa Bu-koat tadi.

   Tatkala mana kereta itu sudah hampir ke luar kota, terdengar Hoa Bu-koat lagi berkata dengan tertawa.

   "Sudah beberapa hari engkau merasa masygul, maka perlu kita melancong keluar kota untuk menghirup hawa segar ...."

   Pada saat itulah tiba-tiba seorang berteriak dari belakang.

   "Berhenti dulu, Hoa Bu-koat!"

   Tentu saja Hoa Bu-koat mengernyit kening dan menahan kudanya, baru saja kepala Thi Sim-lan sedikit menongol keluar, dengan cepat Siau-hi-ji sudah melayang tiba.

   Munculnya Siau-hi-ji secara mendadak sudah tentu membuat Thi Sim-lan melongo terkejut, bahkan Hoa Bu-koat juga melengak dan hampir-hampir tidak percaya pada mata sendiri.

   Sedapatnya Siau-hi-ji menahan perasaannya dan sama sekali tidak memandang sekejap pun ke arah Thi Sim-lan, ia cuma menatap Hoa Bu-koat tanpa berkedip, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata.

   "Hahaha, tentunya kau tidak menyangka aku akan mencarimu bukan?"

   "Ya, memang tak tersangka,"

   Jawab Bu-koat. Ia seperti mau tertawa, tapi entah mengapa, ternyata tidak dapat tertawa. "Kau kira kedatanganku ini untuk mengantarkan kematian bukan?"

   Tanya pula Siau-hi-ji. "Betul,"

   Jawab Bu-koat sambil menghela napas. "Kau memang orang jujur dan suka terus terang, tapi semua ini lantaran kau menganggap dirimu jagoan dan tidak gentar terhadap siapa pun juga, makanya kau tidak perlu pura-pura, begitu bukan?"

   Tampak sinar mata Hoa Bu-koat berkelebat, tapi dia tetap menjawab dengan hambar.

   "Ya, betul!"

   Menghadapi orang demikian, betapa pun Siau-hi-ji tidak sanggup tertawa lagi, teriaknya pula.

   "Jika kau bertekad akan membunuhku, mengapa kau tidak mencari diriku, tapi malah menunggu aku mencarimu?"

   "Aku sendiri sebenarnya tidak ingin membunuhmu,"

   Jawab Hoa Bu-koat dengan tenang.

   "sebab itulah aku tidak terburu-buru mencarimu. Tapi sekarang setelah kulihat dirimu, mau tak mau aku harus membunuhmu."

   Pada saat ini juga Thi Sim-lan baru tersadar dari kagetnya tadi, mendadak ia membuka pintu kereta dan menerobos keluar serta mengadang di depan Siau-hi-ji sambil berseru.

   "Sekali ini dia sendiri yang datang mencarimu, adalah tidak layak bila engkau membunuhnya."

   Sekonyong-konyong Siau-hi-ji mendorong dengan kuat sehingga Thi Sim-lan tertolak ke sana dan hampir menumbuk pada pintu kereta.

   Air muka Hoa Bu-koat tampak berubah, tapi ia tetap bisa menahan diri dan tidak mau membuka suara.

   Sambil menatap Siau-hi-ji, Thi Sim-lan berseru dengan suara gemetar.

   "Meng ... mengapa engkau bersikap demikian padaku?"

   Tapi sama sekali Siau-hi-ji tidak memandang nona itu, ia melototi Hoa Bu-koat dan mendengus.

   "Hm, kabarnya nona Thi ini adalah bakal istrimu, mengapa dia sengaja ikut campur urusanku? Padahal sama sekali aku tidak kenal siapa dia?"

   Thi Sim-lan menggigit bibir dengan kuat, meski bibirnya sampai berdarah, meski air mata sudah meleleh, tapi dia tetap berdiri di situ.

   Bagaimanapun Siau-hi-ji berbuat kasar terhadapnya, asal dia melihat anak muda itu, mau tak mau ia ingin mendekatinya, biarpun Siau-hi-ji menghalaunya dengan cambuk juga sukar mengusirnya.

   Pedih hati Hoa Bu-koat, sedapatnya ia tidak memandang Thi Sim-lan, katanya dengan hambar kepada Siau-hi-ji.

   "Apakah sekali ini kau tidak perlu bantuan orang lain lagi?"

   Siau-hi-ji menengadah dan bergelak tertawa, jawabnya.

   "Jika kuperlu bantuan orang mengapa kudatang mencarimu?"

   Mendadak ia berhenti tertawa dan berteriak.

   "Kau sendiri juga tahu, orang macam diriku ini tidaklah mungkin datang untuk mengantar kematian belaka, lantas untuk apakah kudatang kemari? Soal ini tentu membuatmu heran bukan?"

   "Ya, aku memang heran,"

   Ucap Bu-koat.

   "Bahwa kau bertekad ingin membunuhku, tapi selalu gagal, sampai-sampai aku pun merasa cemas bagimu.

   Apalagi yang kau pikir hanya ingin membunuhku saja, mungkin kau tidak tahu bahwa aku pun ingin membinasakan kau."

   "Kau takkan mampu membunuhku,"

   Kata Bu-koat.

   "Kau anggap aku tidak mampu membunuhmu, tapi aku pun yakin kau tidak dapat membunuhku, jika keadaan begitu terus berlarut-larut, setelah dua ratus tahun lagi entah akhirnya kau yang benar atau aku yang tepat.

   Bahwa hatiku gelisah, mungkin kau terlebih gelisah daripadaku.

   Sebab itulah sekarang kudatang ke sini, tujuanku adalah untuk mengadakan pemberesan denganmu."

   "Kau ingin membereskannya dengan cara bagaimana?"

   Tanya Bu-koat dengan tersenyum.

   "Asalkan kau menentukan suatu tempat, tiga bulan kemudian kupasti menemui kau di sana untuk mengadakan pertarungan menentukan, sebelum salah satu pihak kalah atau mati, siapa pun tidak boleh lari."

   "Tentunya kau tahu tidak mungkin aku lari,"

   Ucap Bu-koat dengan tersenyum tawar. "Jadi kau setuju?"

   Tanya Siau-hi-ji. "Ya, setuju,"

   Jawab Bu-koat. Siau-hi-ji menghela napas lega, katanya pula.

   "Tapi sebelum janji waktu tiga bulan tiba, biarpun bertemu dengan aku juga kau harus pura-pura tidak tahu, lebih-lebih tidak boleh menyatroni aku lebih dulu."

   Bu-koat termenung tanpa menjawab. Dengan suara keras Siau-hi-ji lantas menyambung.

   "Jika aku tidak datang mencari kau, selama tiga bulan ini jelas kau pun tak dapat menemukan diriku. Jadi syarat yang kukemukakan ini tidak merugikanmu, mengapa kau tidak berani menerimanya?"

   "Di balik syaratmu ini kupikir pasti ada tipu muslihat lain,"

   Kata Hoa Bu-koat perlahan. "Jadi kau tidak ... tidak setuju?"

   Siau-hi-ji menegas dengan melotot. Mendadak Hoa Bu-koat memutar kudanya dan berkata.

   "Baik, tiga bulan kemudian aku akan berada di Bu-han, di sana kau pasti dapat menjumpaiku."

   "Bagus, sedemikian kupercaya padaku, aku pasti takkan mengecewakanmu"

   Seru Siau-hi-ji, habis berkata segera ia pun membalik tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar.

   Thi Sim-lan berharap anak muda itu akan menoleh dan memandangnya sekejap, tapi Siauhi-ji tetap tidak berpaling sama sekali, sampai bayangan anak muda itu sudah lenyap di kejauhan, Thi Sim-lan masih berdiri termangu-mangu di situ.

   Dengan tenang Hoa Bu-koat menunggu di atas kudanya tanpa mengusiknya.

   Di samping mereka orang berlalu lalang, setiap orang sama memandang mereka dengan heran karena penunggang kuda dan penumpang kereta berhenti di situ.

   Sudah tentu tiada yang tahu bahwa meski mereka berhenti di situ, namun hati mereka telah melayang jauh ke sana.

   Entah berselang berapa lama lagi, kemudian perlahan-lahan Thi Sim-lan naik ke atas keretanya, pintu kereta ditariknya, dilihatnya Bu-koat masih tetap bertengger di atas kudanya, bagaimana perasaannya sungguh sukar dilukiskan.

   Si kusir kereta tidak tahu kedua muda-mudi itu sedang bertengkar urusan apa, setelah menunggu sekian lama dan akhirnya si nona masuk lagi ke dalam kereta, segera ia bersuit dan menghela keretanya keluar kota.

   Maksud tujuan Hoa Bu-koat mengajak Thi Sim-lan pesiar keluar kota adalah untuk menghibur si nona, tapi kini setelah keluar kota perasaan kedua orang menjadi kusut dan sukar dipecahkan.

   Berulang-ulang Thi Sim-lan menggulung tirai kereta, lalu diturunkan lagi, meski pemandangan alam di luar kota seindah lukisan, namun tiada minatnya lagi buat menikmatinya.

   Sais kereta itu merasa serba susah oleh suasana dingin itu, ia bertanya mengiring senyum.

   "Nona dan Kongcu hendak ke mana?"

   Hoa Bu-koat tidak bersuara, sekenanya ia angkat cambuk menuding ke depan.

   Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di depan sana tampak semak-semak bunga beraneka warna sedang mekar semerbak, sebuah sungai kecil mengalir di samping pepohonan berbunga, air sungai tampak berkilauan di bawah cahaya sang surya menjelang musim rontok.

   Di kejauhan sana ada seorang lelaki rudin sedang berjemur sambil berbaring di tepi sungai, kicau burung dengan harum bunga, rumput hijau menyelimuti bumi laksana permadani.

   Bu-koat lompat turun dari kudanya dan berdiri termangu-mangu di bawah pohon yang berbunga, angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya yang cakap itu, pakaiannya yang serba putih melambai perlahan tertiup angin, mengapa dia tidak melanjutkan perjalanan? Perlahan-lahan Thi Sim-lan membuka pintu kereta dan turun, ia berjalan di atas tanah berumput halus dan memandangi bayangan punggung Hoa Bu-koat, ia pun termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia berucap.

   "Sudah jelas tahu di balik usulnya itu pasti ada tipu muslihatnya, tapi mengapa engkau menerimanya?"

   Hoa Bu-koat seperti menghela napas, tapi tidak menoleh dan juga tidak mau menjawab. "Apakah karena aku?"

   Tanya Sim-lan dengan lirih.

   Hoa Bu-koat menggeleng, seperti mau bicara sesuatu tapi urung.

   Thi Sim-lan melangkah lewat samping Hoa Bu-koat, ia petik setangkai bunga dari ranting pohon yang melambai rendah, bunga yang tak diketahui apa namanya itu diremasnya hingga hancur, mendadak ia berpaling menghadapi anak muda itu dan berkata.

   "Mengapa engkau tidak bicara?"

   "Bungkam bukankah terkadang lebih baik daripada bicara?"

   Akhirnya Bu-koat berucap dengan tersenyum hambar. Thi Sim-lan menunduk, katanya.

   "Tapi kutahu dalam hatimu banyak yang hendak kau katakan, bila kau katakan rasanya hatiku akan lega malah."

   "Apa yang hendak kukatakan bukankah sudah kau ketahui seluruhnya?"

   Kata Bu-koat. Sekonyong-konyong Thi Sim-lan memutar tubuh ke samping, katanya.

   "Selama dua tahun ini engkau senantiasa menjaga diriku, jika tiada engkau tentu sejak dulu aku telah mati, selama hidupku tiada orang sebaik ini terhadap diriku seperti engkau."

   Bu-koat memandangi rambut di belakang leher si nona yang bergerak-gerak terusap angin itu tanpa menjawab. Si nona menghela napas perlahan, lalu berkata pula.

   "Selama hidupku ini juga tiada orang sebusuk padaku seperti dia itu, tapi ... tapi entah mengapa, bila melihat dia pikiranku menjadi kusut dan tak berdaya."

   Bu-koat memejamkan mata, katanya.

   "Kata-kata ini sebenarnya tidak perlu kau katakan padaku."

   Bahu Thi Sim-lan rada gemetar, ucapnya.

   "Aku pun tidak tahu apakah kata-kata ini pantas kukatakan atau tidak, tapi bila tidak kukatakan terus terang, hatiku terasa susah dan merasa berdosa padamu."

   "Mana dapat aku menyalahkan engkau? Mana pula engkau berdosa padaku?"

   Ucap Bu-koat dengan suara halus. "Mengapa ... mengapa engkau tidak marah padaku? Mengapa engkau tetap begini baik padaku? Kau ... kau ...."

   Mendadak Thi Sim-lan mendekap batang pohon dan menangis terisak-isak.

   Akhirnya Hoa Bu-koat mementang matanya dan mendekati si nona, seperti ingin membelai rambutnya, tapi tangan baru terjulur segera ditarik kembali, ia menengadah melihat cuaca, setelah menghela napas perlahan, lalu berkata.

   "Hari sudah petang, marilah kita pulang saja."

   Di kejauhan sana si lelaki rudin tadi tampak menggeliat kemalas-malasan, tiba-tiba ia menggerundel.

   "Masih muda belia, hanya sedikit soal kecil lantas susah dan merasa tersiksa, bila kalian sudah dewasa, tentu akan tahu di dunia ini masih banyak urusan lain yang jauh lebih menderita."

   Sebenarnya Hoa Bu-koat tidak menaruh perhatian padanya, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa percakapannya dengan suara lirih di sini dapat didengar orang itu dari jarak sejauh itu.

   Malahan Thi Sim-lan juga melengak, ia berhenti menangis dan berpaling ke sana.

   Tampak lelaki rudin itu menguap dan mendadak melompat bangun.

   Mendingan kalau dia tetap berbaring di situ, begitu dia berdiri, seketika Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan terkejut.

   Sungguh tak tersangka orang yang berbaring seperti kelaparan itu setelah berbangkit ternyata begini gagah dan tangkas, biji matanya memancarkan sinar tajam, kedipannya seakan-akan kilat berkelebat.

   Jelas kelihatan mukanya yang halus, alis tebal dan wajah kotor mengkilap kehijau-hijauan, sekilas pandang sukar juga untuk diketahui berapa usianya.

   Sejak tampil di Kangouw, ksatria mana pun di dunia ini hampir tiada yang terpandang oleh Hoa Bu-koat, tapi entah mengapa, lelaki rudin yang kemalas-malasan ini seakan-akan memiliki daya tarik yang sukar dilukiskan, meski perawakannya tidak terlalu tinggi besar, tapi siapa pun yang berhadapan dengan dia tentu akan merasa dirinya sendiri teramat kecil.

   Sinar matanya yang gemerdep juga membuat orang tak berani menatapnya.

   Ketika melihat Hoa Bu-koat, agaknya lelaki itu pun terkesiap, ia bergumam perlahan.

   "Jangan-jangan dia inilah? Kalau tidak masa begini mirip? Urusan orang lain boleh kubiarkan, tapi dia ...

   mana boleh kutinggal diam dan tidak membantu melaksanakan keinginannya."

   Bu-koat dan Sim-lan tidak mendengar apa yang digumamkannya, dalam pada itu lelaki itu pun melangkah ke sini dengan lamban, jalannya juga kemalas-malasan dan sangat lambat.

   Tapi aneh, hanya kelihatan dia melangkah beberapa tindak saja tahu-tahu ia sudah berada di depan Hoa Bu-koat.

   Baru sekarang Bu-koat dapat melihatnya dengan jelas.

   Ternyata pakaian yang dipakainya semula berwarna hitam tapi sudah luntur sehingga lebih tepat dikatakan berwarna kelabu.

   Kaki memakai kasut rumput buntut, tangannya besar-besar dengan otot yang tampak merongkol, sedemikian panjang tangannya, sehingga hampir melampaui dengkul.

   Pinggang terikat seutas tali rumput, tapi pada tali pinggang itu terselip sebatang pedang yang sudah karatan.

   Lelaki itu pun mengawasi Hoa Bu-koat dengan teliti, dari kepala ke kaki, lalu dari bawah ke atas, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya.

   "Apakah hatimu sangat menyukai nona ini?"

   Sudah tentu Hoa Bu-koat tidak pernah menyangka akan ditanya demikian, ia jadi melengak dan tergegap.

   "Aku ... aku ...."

   "Kalau suka ya bilang suka, tidak suka katakan tidak suka, seorang lelaki sejati kenapa kata-kata demikian saja tidak berani diucapkan?"

   Bentak lelaki itu dengan berkerut kening. Sejak kecil hingga sebesar ini belum pernah ada orang bicara sekasar ini kepada Hoa Bu-koat, maka ia jadi melengak pula dan tidak menjawab. Dahi orang itu terkerut lebih kencang, katanya.

   "Hm, kau bilang diam lebih baik daripada bicara segala, semuanya itu kentut belaka. Coba jawab, bilamana kau tidak bicara, dari mana orang akan tahu kau menyukai dia?"

   Mau tak mau muka Hoa Bu-koat menjadi merah dan lebih-lebih tidak sanggup bersuara.

   Bila orang lain bicara demikian padanya tentu akan dianggapnya sebagai kurang sopan, tapi entah mengapa, kata-kata yang diucapkan lelaki ini baginya terasa membawa semangat jantan dan menyentuh kalbunya.

   Muka Thi Sim-lan juga merah mendengar kata-kata lelaki itu, tiba-tiba ia menimbrung.

   "Ada sementara kata-kata yang tidak perlu diucapkannya, tapi kutahu isi hatinya."

   Orang itu terbahak-bahak sambil menatap Thi Sim-lan dengan sorot matanya yang tajam, katanya.

   "Bagus, bagus sekali, tak tersangka kau lebih terus terang daripada dia, anak perempuan macam begini, jangankan dia, bahkan aku pun rada-rada suka."

   Jika orang lain berkata demikian di hadapannya, bukan mustahil akan dipersen beberapa kali gamparan kontan oleh Thi Sim-lan. Tapi kini si nona hanya menunduk saja, sedikit pun tidak marah. Dengan tertawa lelaki itu berkata pula.

   "Jika demikian, jadi kau memang tahu dia menyukaimu?"

   "Ya, kutahu,"

   Jawab Sim-lan dengan tabahkan hati. "Dan kau sendiri menyukai dia atau tidak?"

   "Aku bukan ...."

   Sim-lan merandek dan memandang Hoa Bu-koat sekejap, lalu menunduk dan melanjutkan.

   "... bukannya aku tidak suka, cuma ...."

   Tanpa menunggu habis ucapan si nona, kembali orang itu bergelak tertawa dan berkata.

   "Jika bukannya tidak suka, itu artinya suka.

   Dan kalau kalian sama-sama suka maka biarlah aku yang Coem-lang (perantara) dan sekarang juga kalian boleh menikah di sini."

   Sudah tentu ucapan ini membuat Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan terkejut. "He, apakah tuan ini berkelakar?"

   Seru Hoa Bu-koat dengan muka merah. Tapi orang itu jadi mendelik, teriaknya.

   "Masa urusan begini boleh dibuat berkelakar? Lihatlah tempat seindah ini, burung berkicau merdu dan bunga mekar semerbak, angin meniup sejuk dan cuaca cerah, jika kalian kawin sekarang juga di sini bukankah jauh lebih baik daripada di tempat lain?"

   Makin omong makin gembira orang itu, kembali ia terbahak-bahak, lalu menyambung pula.

   "Cahaya lilin mana bisa menandingi gemilangnya sinar sang surya, permadani apa pun di dunia ini masa dapat melebihi rumput halus menghijau begini, kalian boleh segera menyembah kepada langit dan bumi di bawah cahaya matahari dan di atas tanah berumput ini, sungguh merupakan peristiwa bahagia bagi orang hidup, bahkan aku pun ikut merasa sangat gembira."

   Bu-koat hanya mendengarkan ocehan orang itu, ia sendiri menjadi bimbang dan entah harus girang atau mesti marah.

   Thi Sim-lan juga berdiri melenggong dan serba kikuk.

   Meski dia hendak menolak, tapi merasa tidak tega melukai hati Hoa Bu-koat.

   Melihat sikap si nona, tiba-tiba Bu-koat berkata.

   "Walaupun Tuan bermaksud baik, namun sayang kami tidak dapat menurut."

   Mendadak orang itu berhenti tertawa, katanya dengan melotot.

   "Kau tidak mau menurut?"

   "Ya,"

   Jawab Bu-koat sambil menarik napas panjang. Orang itu menjadi marah, dampratnya.

   "Jika kau suka padanya, mengapa kau tidak mau menikahi dia?"

   "Soalnya ... Cayhe ...."

   "Aha, tahulah aku,"

   Mendadak orang itu bergelak tertawa pula.

   "Yang benar bukan tidak mau, soalnya kau khawatir dia yang tidak mau. Tapi dia kan tidak berkata apa-apa, mengapa kau khawatir?"

   Hoa Bu-koat berpikir sejenak, katanya kemudian dengan perlahan.

   "Ada juga kata-kata yang tidak perlu kuutarakan."

   Orang itu menghela napas, katanya.

   "Sudah jelas kau sangat suka padanya, tapi demi dia, kau lebih suka keraskan hatimu dan tidak mau menurut usulku. Lelaki yang berperasaan begini sungguh tiada malu sebagai putranya ayahmu."

   Bu-koat tidak paham apa arti ucapannya ini, sedangkan orang itu lantas melototi Thi Sim-lan dan berkata pula.

   "Lelaki seperti dia tidak kau nikahi memangnya kau pilih lelaki mana?"

   Sim-lan menunduk, jawabnya.

   "Aku ... bukan ... cuma ...."

   "Kalian masih muda belia, mengapa cara kerja kalian sekonyol ini dan membuat kumarah saja,"

   Bentak orang itu dengan gusar.

   "Pokoknya kau harus menurut, aku tak peduli bagaimana pikiran kalian, yang pasti lekas kalian berlutut dan menikah di hadapanku, jika ada yang berani tidak mau segera kubunuh kalian berdua agar kelak kalian tidak perlu hidup tersiksa."

   Walaupun tahu sikap kasar orang itu timbul dari maksud baiknya, tapi Hoa Bu-koat menjadi gusar juga, jengeknya.

   "Hm, sudah banyak orang aneh yang kujumpai, tapi belum pernah ada yang memaksa orang menikah cara begini."

   "Kau berkata demikian, mungkin kau kira aku tidak mampu membunuhmu bukan?"

   Tanya orang itu.

   Baru saja habis ucapannya, sekonyong-konyong ia lolos pedang di pinggang terus membabat ke batang pohon di sebelahnya.

   Pedangnya kelihatan karatan dan lebih mirip besi rongsokan, jangankan buat menabas pohon, buat memotong sayur saja rasanya kurang tajam.

   Siapa tahu, begitu pedangnya menyambar lewat.

   "cret", tahu-tahu batang pohon sepelukan manusia itu putus menjadi dua dan roboh bergemuruh. Meski sudah tahu ilmu silat orang ini pasti sangat tinggi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat bahwa kekuatan pedang orang itu bisa sedahsyat ini. "Nah, kalian sudah lihat,"

   Jengek orang itu sambil melirik hina.

   "Pedang ini meski berkarat, tapi untuk membunuh dua bocah yang tidak menurut kata kiranya tidaklah sukar. Nah, sekarang kalian mau menurut tidak?"

   Thi Sim-lan menjadi khawatir kalau-kalau Hoa Bu-koat mengucapkan kata yang menyinggung perasaan orang pula, maklumlah ilmu silat orang aneh ini sukar diukur, betapa pun Hoa Bu-koat pasti juga bukan tandingannya.

   Pada dasarnya hati Thi Sim-lan memang bajik dan mulia, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji dilukai Hoa Bu-koat, tapi ia pun tidak suka melihat orang lain melukai Hoa Bu-koat.

   Maka sebelum Bu-koat buka suara, cepat ia mendahului berkata.

   "Baiklah, aku menurut."

   Orang aneh itu terbahak-bahak, katanya.

   "Hahaha, memang seharusnya demikian. Kalian yang satu cakap dan yang lain ayu, memang satu pasangan yang setimpal. Biarpun sekarang kalian habis bertengkar, tapi setelah kawin tentu kalian akan saling cinta-mencintai, tatkala mana kalian pasti akan berterima kasih padaku."

   "Tapi aku tidak mau,"

   Tiba-tiba Bu-koat berucap. "Aneh, dia sendiri sudah menurut, kenapa kau malah tidak mau?"

   Tanya orang itu heran.

   Bu-koat tahu kemauan Thi Sim-lan tidak sukarela, karena itu semakin merasuk cintanya terhadap Thi Sim-lan, dia tidak mau memaksa kehendak si nona.

   Tapi selamanya dia tidak suka mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan, makin berpikir di dalam hati, makin dingin pula lahirnya, padahal di dalam darahnya tersembunyi cinta yang membara, tapi setitik pun tak diperlihatkannya.

   Maklumlah, soalnya dia adalah keturunan orang yang berperasaan paling hangat di dunia ini, tapi dibesarkan di samping manusia yang berperasaan paling dingin di dunia ini.

   Begitulah Hoa Bu-koat lantas menjawab pula dengan dingin.

   "Kalau aku tidak mau ya tetap tidak mau, jika engkau ingin membunuhku boleh silakan turun tangan saja."

   "Apakah ... apakah kau tidak suka padaku?"

   Tiba-tiba Thi Sim-lan berseru.

   Hoa Bu-koat tidak mau memandang lagi pada si nona biarpun sekejap saja.

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tampaknya dia tiada persamaan sedikit pun dengan Siau-hi-ji, tapi kalau sudah gondok, nyatanya kedua anak muda itu serupa benar.

   Dengan melotot orang itu bertanya pula.

   "Jadi kau lebih suka menderita selama hidup dan tetap tidak mau menurut."

   "Ya, pasti tidak,"

   Jawab Hoa Bu-koat tegas. "Baik!"

   Bentak orang itu.

   "Daripada hidupmu kelak merana, lebih baik sekarang juga kubunuh kau."

   Begitu pedang berkelebat, kontan dia tusuk dada Hoa Bu-koat.

   Dengan sendirinya serangannya tidak menggunakan seluruh tenaganya, tapi betapa cepat dan kuatnya, rasanya tiada seorang pun di dunia persilatan ini sanggup memadainya.

   Thi Sim-lan berdiri jauh di sebelah sana, tapi merasakan napas sesak oleh getaran hawa pedang yang kuat itu, apalagi Hoa Bu-koat yang harus menghadapi serangannya.

   Terdengarlah suara "cret"

   Sekali, meski Bu-koat sempat mengelakkan serangan itu, namun kopiah yang mengikat rambutnya itu telah putus tergetar oleh hawa pedang, seketika rambutnya terurai serabutan.

   Betapa hebat daya tusukan pedang itu, sungguh tak terperikan.

   Keruan Thi Sim-lan menjerit kaget.

   "He, berhenti dulu, Cianpwe. Sebabnya dia tidak mau menurut adalah demi diriku karena dalam batin sesungguhnya aku memang tidak mau. Jika Cianpwe hendak membunuh, harap aku saja yang kau bunuh!"

   Dalam kaget dan khawatirnya tanpa terasa Thi Sim-lan telah membeberkan isi hatinya yang sesungguhnya.

   Seketika hati Hoa Bu-koat terasa sakit, sekonyong-konyong ia melancarkan tiga kali serangan, tanpa pikir akibatnya dia terus menerjang ke tengah sinar pedang lawan.

   Tak terduga orang itu berbalik menarik kembali pedangnya, katanya dengan tertawa.

   "Orang she Kang memang rata-rata berwatak seperti kerbau, cuma kau terlebih bodoh daripada ayahmu.

   Coba pikir, bilamana dia tidak mau menurut dan memang tidak suka padamu, masa dia sudi mati bagimu?"

   Hoa Bu-koat melengak dan menegas.

   "Siapa yang she Kang?"

   "Kau tidak she Kang?"

   Orang itu pun melenggong. Thi Sim-lan juga tercengang, katanya.

   "Dengan sendirinya dia tidak she Kang, dia bernama Hoa Bu-koat."

   Orang itu garuk-garuk kepala dengan penuh rasa heran, gumamnya.

   "Jadi kau tidak she Kang? Ini benar-benar sangat aneh, pada hakikatnya dari kepala sampai kaki kau mirip benar seorang she Kang, sungguh kau dan dia seperti pinang dibelah menjadi dua."

   Hoa Bu-koat jadi lupa menyerang lagi, ia merasa orang aneh ini barangkali berpenyakit syaraf. Tiba-tiba orang itu menghela napas, katanya sambil menyengir.

   "Karena kau tidak she Kang, maka kalian mau menikah atau tidak bukan urusanku lagi, bila kalian mau pergi juga bolehlah silakan."

   Habis berkata ia benar-benar tidak ikut campur apa-apa lagi terus membalik ke sana sambil menggerutu. Bu-koat saling pandang dengan Thi Sim-lan, mereka menjadi bingung. Terdengar orang aneh itu sedang mengomel sendirian.

   "Anak muda itu ternyata bukan Kang Siau-hi, sungguh aneh bin heran ...."

   Kejut dan girang Thi Sim-lan, tanpa terasa ia berseru.

   "He, apakah Cianpwe mengira dia ini Kang Siau-hi, maka engkau memaksa kami menikah?"

   Orang itu menjawab dengan acuh tak acuh.

   "Walaupun aku tidak tega melihat kalian tersiksa karena urusan cinta, tapi kalau bukan lantaran kusangka dia ini Siau-hi-ji, sesungguhnya aku pun tidak mau ikut campur urusan orang lain."

   Thi Sim-lan jadi tertawa geli, sebenarnya ia ingin berkata.

   "Tahukah bahwa justru lantaran Kang Siau-hi, makanya aku tidak mau menikah dengan dia."

   Tapi dia pandang Hoa Bu-koat sekejap, dan kata-kata itu tidak jadi diucapkannya.

   Hoa Bu-koat berdiri mematung dan entah bagaimana perasaannya.

   Tiba-tiba orang tadi menoleh, ia pandang Thi Sim-lan, lalu pandang Hoa Bu-koat pula, mendadak ia tertawa dan berkata.

   "Haha, tahulah aku, ya tahulah aku sekarang. Kiranya orang paling busuk yang kusebut itu ialah Kang Siau-hi. Sebenarnya kalian berdua bisa jadi suami istri, tapi lantaran Kang Siau-hi, urusan jadinya begini."

   Thi Sim-lan menghela napas perlahan dan menunduk. Orang itu ketuk-ketuk kepala sendiri dengan perlahan, ucapnya dengan tertawa.

   "Sebenarnya maksudku hanya ingin membantu, siapa tahu berbalik membikin urusan ini tambah runyam ...."

   Maklumlah, selama hidupnya cuma tekun meyakinkan ilmu pedang, ditambah lagi sepanjang tahun terus-menerus berkecimpung kian kemari di dunia Kangouw, selamanya tak pernah memahami bagaimana rasanya cinta kasih antar muda-mudi.

   Dia pernah malang melintang di dunia ini, betapa hebat dan tinggi ilmu silat apa pun bila berada di depannya akan berubah menjadi sangat sederhana, sekali pandang saja segera ia sanggup memecahkannya.

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 12:25:34
oleh Saiful Bahri Situbondo


Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan -- Chin Yung

Cari Blog Ini