Ceritasilat Novel Online

Bentrok Para Pendekar 2


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 2



Bentrok Para Pendekar Karya dari Gu Long

   

   "Ah, jujur saja?"

   Hong Si-nio tak mau bicara lagi. Ia tahu kalau perempuan membual, hanya dapat membohongi lelaki. Di depan perempuan seperti Hoa Ji-giok, penjelasan apapun takkan berguna. Hoa Ji-giok menghela napas.

   "Satu hal terbukti, begitu tahu Siau Cap-it Long ingin bertemu, kau lantas berada di sini."

   "Bukankah kau kemari juga lantaran dia?"

   "Bukit berbatu ini daerah gersang, sepi lagi belukar. Memang di sini markas pusat kawanan berandal di Kwan-tiong, sarang para penyamun. Saat ini di tempat ini berdatangan tokoh-tokoh kosen dari berbagai golongan."

   "Makhluk aneh yang duduk di atas topi itu, apakah dia termasuk tokoh besar?"

   "Siapa pun dia kalau tega mengutungi dua kaki dan satu tangan sendiri, dia boleh terhitung tokoh yang luar biasa."

   Mau tidak mau Hong Si-nio harus mengakui, Jin-siang-jin betul lelaki tulen, lelaki tulen yang tegas pasti adalah orang kuat.

   "Demikian juga Le Jing-hong, datang ke sini karena ingin memenggal kepala Siau Cap-it Long."

   "Le Jing-hong dan Siau Cap-it Long juga bermusuhan?"

   "Le Jing-hong adalah bapak Le Kong. Bukankah Le Kong mampus di tangan Siau Cap-it Long?"

   "Pantas Le Kong tidak pernah mau menjelaskan asal-usulnya, ternyata bapaknya penyamun tunggal."

   "Sang bapak jelas jauh lebih kuat dan lihai dari anaknya."

   "Ya, paling tidak Le Jing-hong bukan laki-laki palsu."

   "Kedatangan Kim-pou-sat ke tempat ini jelas tidak bermaksud baik."

   "Kecuali mereka, masih banyak yang bermaksud jahat. Hanya aku yang berbeda dengan mereka."

   "Memangnya kau ini orang baik?"

   "Memang aku orang baik."

   "Untuk apa orang baik sepertimu ke tempat ini?"

   "Orang baik tentu akan berbuat baik."

   "Berbuat baik apa?"

   Tidak langsung menjawab, Hoa Ji-giok balas bertanya.

   "Kau sendiri untuk apa datang ke sini."

   "Kau sudah tahu kalau Siau Cap-it Long yang mengundangku kemari."

   "Dia sendiri yang mengundangmu?"

   "Bukan."

   Sejak berpisah dahulu, hingga sekarang dia belum pernah bertemu dengan Siau Cap-it Long.

   "Jadi kau hanya mendengar omongan orang lain, di Kangouw dia menyiarkan berita supaya kau ke tempat ini untuk bertemu dengannya."

   "Karena dia juga tak bisa mencariku, Selama dua tahun ini kami kehilangan kontak sama sekali."

   "Kalau demikian, bagaimana kau tahu berita itu bisa dipercaya?"

   Hong Si-nio menghela napas geleng-geleng kepala, dia memang tidak tahu. Kedatangannya kali ini hanya mengadu nasib.

   "Bukan mustahil berita itu sengaja disiarkan orang lain, memancingmu ke tempat ini lalu menjebakmu untuk memancing kedatangan Siau Cap-it Long."

   "Sekarang setelah kupikir-pikir, memang betul seperti ditipu orang."

   "Siapa pun bisa tertipu, maka yang tertipu bukan hanya engkau."

   "Kecuali aku, siapa lagi yang tertipu?"

   "Sim Bik-kun."

   "Mungkinkah dia juga kemari?"

   "Dia pasti datang."

   "Jadi selama ini dia tidak bersama Siau Cap-it Long?"

   "Tidak. Selama dua tahun, seperti juga engkau, terus mencari jejak Siau Cap-it Long."

   Hong Si-nio mengerut alis.

   "Bukankah hanya karena melirik Sim Bik-kun dua kali, maka mata Cia Thian-ciok menjadi buta?"

   "Yang dilirik Cia Thian-ciok bukan Sim Bik-kun."

   "Bukan dia?"

   "Wanita cantik di dunia ini bukan hanya Sim Bik-kun seorang. Perempuan cantik yang mendampingi Siau Cap-it Long bukan hanya Sim Bik-kun saja."

   Hong Si-nio menggigit bibir.

   "Bajingan itu kenapa selalu mendapat rezeki."

   "Maka kubilang akan datang saatnya dia tertimpa musibah."

   "Kurasa sepanjang hidupnya, dia akan selalu tertimpa sial."

   "Kali ini Sim Bik-kun malah lebih sial dibanding dia."

   "Lho?"

   "Untuk memancing ikan besar, menjadikan Sim Bik-kun sebagai umpan, hasilnya mungkin lebih manjur."

   "Umpan pancing memang lebih sial dibanding ikannya sendiri."

   "Betul sekali, saat ikan belum terpancing, umpan kan sudah terkait di kail."

   "Apalagi bukan hanya satu kail, dia malah terkait dua kail."

   "Dua kail."

   "Benar dua kail besar."

   "Kail besar untuk memancing ikan besar."

   "Demikianlah Sim Bik-kun sudah terkail kencang oleh mereka, dia sendiri malah tidak tahu."

   Mata Hong Si-nio melirik.

   "Sepertinya kau amat memperhatikan dia?"

   "Aku kan orang baik."

   "Kadang orang baik juga bermaksud jahat."

   "Agaknya kau cemburu."

   "Aku hanya sedikit heran."

   "Yang benar bukan hanya Sim Bik-kun yang kukuatirkan, juga prihatin terhadap Siau Cap-it Long."

   "0,ya?"

   "Maka aku harap kau mau membantuku, menurunkan Sim Bik-kun dari kail itu. Kalau kail tanpa umpan, ikan pasti takkan terpancing."

   "Kenapa aku harus membantumu? Siapa tahu kau inilah kailnya?"

   "Kau harus percaya padaku."

   "Apa dasarnya?"

   "Aku kan suamimu. Perempuan kalau suami sendiri tidak dipercaya, siapa lagi yang dia percaya?"

   "Untung kau perempuan. Jika tidak, aku bisa mati kau pincut."

   Hoa Ji-giok tertawa lebar.

   "Biar sekarang aku memincutmu sampai mati."

   Jari-jarinya mulai bergerak lagi, bergerak di tempat-tempat vital yang membuat sekujur tulang Hong Si-nio menjadi lunglai, saking tak tahan ia berteriak.

   "Kalau tidak segera kau singkirkan jari-jari tanganmu, aku ... akan ... aku akan.."

   "Kau akan apa?"

   Goda Hoa Ji-giok. Dengan kencang Hong Si-nio menggigit bibir.

   "Akan kuberikan topi hijau untuk kau pakai." * * * * * Hoa Ji-giok mengenakan pakaian baru mirip pakaian kebesaran para pejabat istana, kelihatan tampangnya lebih cerah, bercahaya mirip burung Hong yang mengembangkan sayap dan bulu-bulunya yang enak dipandang. Berdiri di depan kaca tembaga berlenggang-lenggok mirip peragawan yang lagi beraksi di depan penonton, sorot mata dan mimiknya menunjukkan bahwa dia amat puas dengan keadaannya sekarang.

   "Tak heran banyak orang bilang perempuan paling senang berkaca, apalagi saat perempuan mengenakan pakaian model terbaru."

   Hoa Ji-giok juga tertawa.

   "Betul, memang itulah ciriku, perut boleh lapar, pakaian baru tidak boleh tidak dipakai."

   Lalu ia menjelaskan lebih jauh.

   "Sebab kebanyakan orang melihat bajumu dulu, baru mengawasi siapa pemakainya."

   "Waktu orang mengawasi pakaianmu, sering kali lupa membedakan kau ini sebetulnya lelaki atau perempuan."

   "Sedikitpun tidak salah. Walau banyak orang merasa aku ini lebih mirip perempuan, pasti tiada orang mengira, kalau aku ini perempuan tulen."

   "Lalu kenapa kau sering dan lebih suka berdandan pria?"

   "Karena aku suka perempuan, bukankah perempuan justru menyukai pria."

   "Biasa kalau tidur, apa kau juga berdandan seperti itu?"

   "Kalau tidur aku lebih suka telanjang, tapi saat ini aku belum ingin tidur."

   "Bukankah sekarang saatnya orang tidur?"

   "Bukan."

   "Apalagi yang akan kau lakukan?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Aku akan bertamu,"

   Sahut Hoa Ji-giok.

   "Tengah malam buta rata, masih ada yang menjamu orang?"

   "Di tempat seperti ini, siang hari adalah waktu orang tidur."

   "O, jadi penduduk daerah ini semua kucing malam?"

   "Soalnya kalau siang mereka pantang bertemu orang."

   Berputar biji mata Hong Si-nio.

   "Kurasa kau perlu seorang pendamping."

   "Pengantin baru selangkah pun tak boleh berpisah. Apalagi orang yang punya kerja, kali ini juga adalah sahabat lamamu."

   "Sahabat lamaku? Kim-pou-sat?"

   "Bukan."

   "Lalu siapa?"

   "Daerah ini termasuk kekuasaan tiga belas markas Kwan-tiong, yang jadi tuan rumah tentu yang berkuasa di sini."

   "Kwi-to Hoa Ping?"

   "Betul sekali."

   "Bukankah dua tangannya sudah buntung?"

   "Tanpa tangan orang masih masih bisa mengundang tamu dan mengadakan pesta bukan?"

   "Masih ada selera dia menjamu para undangan?"

   "Apapun alasannya, kartu undangan sudah disebar luas atas namanya"

   "Kurasa hanya namanya saja yang dicantumkan dalam undangan, semua rencana ini tentu dikendalikan seseorang dari belakang layar."

   "Kau ini memang setan cerdik."

   "Siapa orang di belakang layar itu?"

   "Ya aku ini."

   "Sudah kuduga, kalau bukan engkau yang mengadakan pesta, memangnya siapa setimpal mengundangmu."

   "Perempuan kalau ingin disukai lelaki, ia harus pura-pura pintar."

   "Selain engkau, masih ada tamu lain?"

   "Orang-orang di daerah ini, kurasa semua dia undang."

   "Jin-siang-jin, Le Jing-hong, Kim-pou-sat apakah juga diundang?"

   "Mereka pasti hadir."

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa?"

   "Sebab yang datang malam ini ada undangan khusus."

   "Siapa?"

   "Sim Bik-kun."

   Hong Si-nio melongo, akhirnya menghembuskan napas dari mulut.

   "Perjamuan malam ini kelihatannya bakal ramai."

   Senyum Hoa Ji-giok penuh arti.

   "Ya, pasti ramai...." * * * * * Kwi-kik-tong, aula-besar tempat perjamuan terang benderang. Kwi-to, si golok cepat, Hoa Ping sudah nongkrong di kursi kebesaran berlapis kulit harimau, mantel merah menutupi badannya, tapi muka lebar itu kelihatan pucat pias. Seperti patung ia duduk di singgasana tanpa gerak, tanpa sikap tanpa perasaan, orang mondar-mandir di depannya seperti tidak terlihat olehnya. Sungguh tidak mirip tuan rumah, sementara tamu yang sudah hadir juga tidak kelihatan gembira. Selain Kim-pou-sat, air muka hadirin yang lain kelihatan jelek, Jin-siang jin tetap bercokol di kepala si raksasa, Le Jing-hong tetap memegang gendewa emas seperti siaga siap turun tangan bila perlu. Tiada orang buka mulut, tanpa sapa tiada pembicaraan. Kehadiran mereka memang bukan untuk tuan rumah, dalam hal ini mereka tidak perlu pura-pura. Namanya ruang pesta, mestinya riuh rendah, kenyataan sepi senyap. Menyusul Hoa Ji-giok muncul bersama Hong Si-nio, ibarat di tengah-tengah ayam mendadak muncul dua ekor burung merak. Dalam perjamuan macam apa saja, Hong Si-nio pasti selalu diagulkan sebagai tamu agung. Demikian pula malam ini, sekujur badannya seperti memancarkan cahaya, siapa pun takkan mengira perempuan yang satu ini sudah berusia tiga puluh lima tahun, malah baru saja mati sekali. Begitu Hong Si-nio muncul, mata hadirin semua terbelalak, alis mata berkerut. Melihat seorang yang baru saja mati tiba-tiba muncul dalam keadaan segar bugar, berdandan begitu ayu rupawan, sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Hong Si-nio mengerling tajam kepada tiap hadirin, senyum lebar mengawali pembukaan katanya.

   "Baru setengah hari tidak bertemu kalian sudah tak mengenalku lagi?"

   Mendadak Kim-pou-sat terbatuk-batuk, seperti mendadak diserang demam.

   "Kau sakit ya?"

   Tanya Hong Si-nio. Tawa Kim-Pou-sat dipaksakan.

   "Jika aku sakit pasti sakit rindu. Setiap kali bertemu kau, pasti terjangkit penyakit yang sama."

   "Untuk selanjutnya jangan lagi sakit rindu, awas Iho, lakiku bisa cemburu."

   "Lakimu?"

   Kim-pou-sat melongo.

   "Lakiku ya suamiku, masa tidak tahu?"

   "Jadi kau ... sudah menikah?"

   Tanya Kim-pou-sat.

   "Wanita mana saja, cepat atau lambat kan harus menikah."

   "Menikah dengan siapa?"

   Tanya Kim-pou-sat.

   "Dengan aku,"

   Seru Hoa Ji-giok. Kim-pou-sat tertegun, semua hadirin juga melenggong. Hong Si-nio berpaling ke arah Jin-siang-jin.

   "Persoalanku dengan kau kini sudah seri."

   "Urusan apa seri?"

   Tanya Jin-siang-jin.

   "Tadi aku sudah mati satu kali."

   Jin-siang-jin sudah mendekap mulut seperti mau batuk, batuk dan batuk.

   "Mati dan kawin, antara kedua peristiwa itu memang pengalaman yang rumit dan jarang dialami manusia, dalam satu hari aku malah mengalami keduanya. Coba kalian bilang, aneh tidak pengalamanku ini?"

   Hong Si-nio berjalan di depan Hoa Ping, dengan senyum manis ia menyapa.

   "Sudah dua tahun kita tidak bertemu."

   "Dua tahun,"

   Sahut Hoa Ping manggut.

   "tepat dua tahun."

   "Hitung-hitung kau dan aku seperti sudah akrab belasan tahun, sahabat lama bukan."

   Dingin suara Hoa Ping.

   "Aku bukan sahabatmu. Aku tidak punya sahabat."

   "Kau sudah tidak punya tangan, tetap boleh punya sahabat, tanpa tangan orang masih bisa bertahan hidup, orang yang tidak punya teman, hidupnya akan susah."

   Berkerut kulit daging di wajah Hoa Ping, mendadak ia berdiri terus menerjang keluar tanpa menoleh lagi.

   Hong Si-nio menghela napas gegetun, ia berpaling mencari si pincang, tadi dilihatnya orang ini duduk di belakang Jin-siang-jin, sejauh ini Hong Si-nio ingin sekali tahu siapa gerangan dia, tapi bayangannya sudah tidak kelihatan.

   "Kenapa dia selalu menghindar, kenapa tidak berani berhadapan dengan aku?"

   Demikian batinnya.

   Hong Si-nio tidak ingin memikirkan hal itu.

   Baru saja ia duduk bersama Hoa Ji-giok, Sim Bik-kun kelihatan muncul.

   Pertama kali melihat Sim Bik-kun, Si-nio sudah merasa selama hidupnya Sim Bik-kun adalah wanita yang paling lembut, paling cantik lagi angkuh.

   Sampai detik ini ia masih punya parasaan yang sama.

   Tapi Sim Bik-kun sudah agak berubah, berubah diam, kelihatan risau juga agak kurus.

   Anehnya perubahan itu justru membuatnya kelihatan lebih cantik, cantik yang bisa membikin orang mabuk kepayang.

   Kerlingan matanya tetap bening lagi lembut, ibarat air mengalir di musim semi beriak ditiup angin, rambutnya hitam mengkilap, pinggang yang ramping terlihat gemulai, seperti untaian dahan pohon yang menari di musim semi.

   Sim Bik-kun bukan tipe wanita yang menimbulkan gairah bagi lelaki yang mengawasinya.

   Karena pria macam apa saja begitu melihat dia, sengaja atau tidak, tanpa sadar akan melupakan segalanya.

   Saat ini ia sedang berjalan masuk pelan-pelan.

   Tidak dibuat-buat, gerak-geriknya tetap memperlihatkan keagungan dan suci.

   Pakaian yang melekat di badannya bukan dari bahan mahal, potongannya juga umum saja, tanpa pupur tiada hiasan melekat di wajahnya, bagi wanita secantik dia, barang-barang itu justru berlebihan.

   Betapapun mahal perhiasan yang dipakai, takkan mengurangi cahaya kepribadiannya.

   Betapapun anggun ia berdandan, takkan menambah sedikit jua.

   kecantikannya.

   Perempuan yang serba sempurna seperti dia kenapa nasibnya begitu nelangsa? Mendadak seluruh orang yang hadir dalam ruang besar itu napasnya seperti serentak berhenti.

   Inilah Sim Bik-kun, wanita tercantik di seluruh Bulim.

   Akhirnya orang banyak melihat dan kini berhadapan langsung dengan Sim Bik-kun.

   Berita tentang hubungannya dengan Siau Cap-it Long, kisah yang mengharukan tapi indah itu, entah mereka pernah mendengarnya berapa kali? Kini sang primadona sudah berdiri di hadapan mereka.

   Niatnya ingin mengawasi dan mengawasi, tapi tidak berani.

   Bukan karena takut dianggap kurang ajar, tapi lantaran dua pasang mata di belakang Sim Bik-kun.

   Sim Bik-kun bukan datang sendiri, dua orang mengintil di belakangnya.

   Dua orang lelaki tinggi kurus, mirip dua batang bambu saja.

   Jubah panjang yang membungkus tubuh lencir itu ternyata terbuat dari bahan halus lagi mahal, satu merah yang lain hijau pupus, merah mirip apel, hijau seperti daun pisang.

   Sikap dan tindak-tanduk mereka kelihatan amat lelah, rambut dan jenggot sudah memutih semua, tapi begitu mereka memasuki ruang besar, semua yang hadir langsung merasakan adanya hawa membunuh dan desakan arus yang menyesakkan napas.

   Tokoh kosen Bulim memandang jiwa bagai barang taruhan, maka dari tubuh mereka pasti memiliki hawa yang mengundang ancaman bagi lawan.

   Siapa pun insan persilatan bisa merasakan bahwa kedua orang tua ini, entah sudah berapa banyak orang yang pernah mereka bunuh.

   Begitu dua orang ini masuk.

   Muka Le Jing-hong berubah lebih dulu.

   Mereka termasuk tokoh seangkatan, Le Jing-hong tentu tahu asal-usul kedua orang tua ini.

   Hong Si-nio juga tahu, tak tahan ia menghela napas.

   "Itulah kailnya."

   "Ya, dua kail,"

   Ujar Hoa Ji-giok.

   "Aku pernah melihat mereka."

   "Di Hoan-ou-san-ceng kediaman Siau-yau-hou?"

   Hong Si-nio memanggut. Hari dimana Siau Cap-it Liong menentukan waktu dan tempat duel. Dua orang tua ini bersua di tengah perjalanan.

   "Tentu sekarang kau sudah tahu,"

   Kata Hoa Ji-giok.

   "omonganku tidak salah bukan?"

   Hong Si-nio memanggut lagi. Ia tak tahu apa hubungan orang ini dengan Siau-you-hou, ia hanya pernah melihat mereka di tempat kediaman Siu-yau-hou. Kalau mereka orang dari perguruan Siau-yau-hou, jelas tidak menaruh simpati terhadap Siau Cap-it Long.

   "Cobalah kau berusaha supaya Sim Bik-kun tahu."

   "Sukar kutemukan caranya."

   "Di belakang kita ada sebuah pintu, sudah kau lihat?"

   Hong Si-nio melihat sebuah pintu, kecil lagi sempit.

   "Keluar dari pintu itu kau akan melihat sebuah rumah kayu yang kecil."

   Hong Si-nio mendengar penuh perhatian.

   "Tempat itu khusus untuk keperluan kaum hawa, kalau kau dapat membawa Sim-Bik-kun ke sana, kau akan bebas bicara dengannya."

   Laki-laki yang hadir di ruang ini selalu jaga gengsi, yakin tidak akan ikut ke sana mencuri dengar pembicaraan mereka.

   "Baik, akan ku usahakan."

   Mereka berbisik-bisik, maklum pengantin baru kalau asyik-masyuk kan lumrah.

   Tapi dua orang lelaki beruban itu menatap dengan tajam tidak berkedip.

   Hong Si-nio tahu mereka pasti tak mungkin mendengar bisik-bisiknya, namun wibawa pandangan itu yang mengejutkan.

   Syukurlah ia lihat Sim Bik-kun tengah menoleh ke sini dengan senyum manis lembut.

   Sim-Bik-kun juga kenal 'Pengantin yang mengejutkan' itu sedang tertawa sambil memberi tanda isyarat.

   Kakek baju merah mendadak berkata.

   "Sungguh tak nyana, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Cui-hun-tui-gwat Cui-siang-biau, kalian juga ada di sini."

   Kakek baju hijau menambahkan.

   "Dia pasti tidak menduga di sini bertemu kita."

   Membesi muka Le Jing-hong, suaranya ketus.

   "Kalian belum mampus, sungguh tak terduga."

   "Ya, sebentar lagi kau pasti mampus,"

   Jengek kakek baju merah.

   "Kalau bukan kami menaruh belas kasihan, tiga puluh tahun lalu kau sudah jadi bangkai,"

   Demikian jengek kakek baju hijau.

   "Betul, sejak lama mestinya aku sudah mampus, memangnya aku biasa malang melintang seorang diri, seorang pembantu juga tidak punya."

   "Waktu aku melabrakmu dulu, dia tidak ikut turun tangan?"

   Bentak kakek baju merah.

   "Kapan saja,"

   Jengek kakek baju hijau.

   "seorang diri aku akan membuatmu takluk."

   "Ya, kalau aku punya pembantu, tidak akan kusuruh dia ikut mengeroyok satu lawan, cukup berdiri di pinggir memberi dukungan saja."

   "Bagus sekali,"

   Seru kakek baju merah.

   "Patut dipuji,"

   Kata kakek baju hijau.

   "Kau dulu yang maju atau biar aku yang menyikatnya?"

   Tanya kakek baju merah.

   "Kali ini biar giliranmu saja,"

   Ujar kakek baju hijau. Le Jing-hong bergelak tawa.

   "Bagus, bagus sekali, hutang piutang tiga puluh tahun lalu memang sudah saatnya diperhituhgkan."

   Tiga orang ini sudah sama-sama tua bangkotan, tapi watak keras mereka tetap tidak berubah, berangasan lagi suka berkelahi.

   Permusuhan tak berarti tiga puluh tahun lalu sampai sekarang belum juga dilupakan.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Le Jing-hong sudah berjingkrak berdiri, kakek baju hijau juga sudah membalikkan badan.

   Sim Bik-kun yang sejak tadi berdiam diri mendadak menghela napas, katanya perlahan.

   "Kalau para Cianpwe ingin membunuh orang di sini, kuanjurkan bunuh dulu tuan rumahnya."

   Suaranya masih halus merdu, namun ucapannya cukup tajam. Hidup mondar-mandir di luar selama dua tahun belakangan ini sepertinya banyak yang ia serap, pengalaman pun tambah banyak. Kakek baju hijau menatap Le Jing-hong, jengeknya dingin.

   "Baiklah, kita tunda dulu persoalan kita."

   Le Jing-hong balas menjengek, perlahan ia duduk kembali di tempatnya. Hong Si-nio tertawa lega. Ia menghampiri Sim Bik-kun, menarik tangannya sambil tersertyum lebar.

   "Tak kunyana kau pun datang, tentu kau tak menduga aku juga ada di sini bukan?"

   Dengan tawa manis Sim Bik-kun mengangguk.

   "Untung antara kau dan aku tiada perhitungan ruwet yang perlu diselesaikan di sini,"

   Ujar Hong Si-nio.

   "Kau masih tidak berubah,"

   Kata Sim Bik-kun.

   "Kau justru agak berubah."

   Bertambah rona jengah Sim Bik-kun, perlahan ia menunduk tanpa bersuara.

   "Aku tetap adalah pengantin yang mengejutkan orang sampai mati. Tiap kali aku bertemu dengan kau, selalu aku sedang jadi pengantin."

   Pandangan Sim Bik-kun penuh selidik dan heran, tapi ia tidak bertanya kenapa hari ini mendadak bisa jadi pengantin lagi.

   Maklum sebagai gadis kelahiran keluarga bangsawan yang ketat adat istiadatnya, sejak kecil Sim Bik-kun sudah diagulkan sebagai gadis suci yang selalu dapat menjaga diri, tak pernah ia bertanya atau mencampuri urusan pribadi orang lain.

   Berkedip-kedip mata Hong Si-nio, sesaat ia mengawasi muka orang, lalu berkata.

   "Kau tentu telah menempuh perjalanan jauh dan baru sampai di sini."

   "Ya,"

   Sahut Sim Bik-kun pendek.

   "Jadi kau sudah...."

   Mendadak ia berbisik di telinga Sim Bik-kun. Merah jengah selebar muka Sim Bik-kun, dengan malu-malu ia mengangguk. Hong Si-nio malah tertawa lebar.

   "Hal ini tidak perlu dibuat malu, hayo, kuantar kau."

   Lalu ia pegang tangan Sim Bik-kun serta ditariknya ke sana, lewat pintu sempit.

   Dua kakek itu saling pandang sekejap, rona muka mereka dilembari rasa lega, mereka maklum untuk keperluan apa Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun keluar lewat pintu kecil lagi sempit itu, Malah dalam hati mereka menganggap Hong Si-nio adalah perempuan baik hati, perempuan luar biasa, tidak peduli tata krama.

   Sebagai pengantin yang harus melayani tamu di ruang perjamuan, dia rela mengantar tamu pergi ke belakang.

   Kecuali Hong Si-nio yakin tak ada perempuan lain yang mau melakukan.

   Di luar pintu sempit itu ternyata ada sebuah rumah papan kecil.

   Di luar rumah papan ada sebuah tangga kecil, dengan menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun menaiki tangga, masuk lewat pintu kecil yang juga sempit, pas untuk lewat satu orang dengan badan miring.

   Rumah ini kecil, tapi serba bersih.

   Setelah menutup pintu serta dipalang dari dalam, Hong Si-nio baru menarik napas lega, kini ia sadar tempat ini memang bagus untuk sesama perempuan berbincang tentang urusan pribadi, lelaki bernyali besar juga takkan berani datang ke sini mencuri dengar pembicaraan mereka.

   "Sekarang kita boleh ngobrol tentang apa saja di sini, jangan kuatir didengar orang lain."

   "Kau ... kau mau bicara dengan aku?"

   Tanya Sim Bik-kun.

   "Ada urusan pribadi yang ingin kubicarakan denganmu, tapi kalau kau sudah tidak tahan, aku boleh menunggu ...."

   Di ujung rumah ada sebuah kayu kotak, bagian atas ditutup kain bersulam dengan pelipir garis emas. Sim Bik-kun tampak makin jengah, kepalanya menunduk lebih rendah, matanya terlongong mengawasi kotak kayu dengan tutup kain yang indah itu.

   "Hayo lekas,"

   Hong Si-nio mendesak.

   "tempat ini takkan bau, tapi lama-lama bisa sumpek."

   Dengan memberanikan diri, Sim Bik-kun masih ragu.

   "Tapi kau ... kau ...."

   Hong Si-nio tertawa, akhirnya ia mengerti.

   "Maksudmu aku harus keluar?"

   Dengan jengah Sim Bik-kun mengangguk.

   "Aku kan perempuan, tidak usah malu apalagi takut? Bagaimana kalau aku berpaling muka saja?"

   "Ti ... tidak,"

   Sim Bik-kun tetap malu. Mimpi pun tak pernah terpikir olehnya, harus buang hajat sekamar dengan orang lain. Mengawasi muka orang, hampir saja Hong Si-nio tertawa geli, syukur masih bisa ditahan, ia berkata perlahan.

   "Baiklah, biar aku keluar saja, tapi cepat ya, masih ada yang ingin kubicarakan."

   Sembari bicara dia mengangkat palang pintu lalu mendorong daun pintu.

   Seketika ia tertegun, daun pintu ternyata tidak bergeming, tidak bisa dibuka.

   Memangnya digembok orang dari luar, maunya mengurung mereka bersama.

   Awalnya Hong Si-nio menganggap dirinya dipermainkan tangan jahil, namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, ia rasakan rumah kecil ini bergoyang lalu bergerak, makin lama bergerak maju lebih cepat.

   Rumah kecil ini ternyata bisa berjalan.

   Daun pintu tetap tak bisa dibuka, didorong ditarik juga percuma.

   Telapak tangan Hong Si-nio mulai berkeringat, ia sadar kejadian ini bukan main-main.

   Kecuali pintu sempit itu, rumah ini tiada jendela, tempat buang hajat jelas tiada jendela, apalagi tempat ini khusus untuk wanita.

   Dengan mengertak gigi Hong Si-nio menerjang pintu, biasanya kalau pintu terbuat dari papan dengan mudah bisa ditendangnya jebol.

   Tak nyana ditendang, dipukul dan ditumbuk, badan sendiri malah terpental mundur.

   Muka Sim Bik-kun mulai memucat.

   "Apa yang terjadi?"

   Hong Si-nio menarik napas dalam.

   "Kelihatannya aku ditipu."

   "Ditipu siapa?"

   "Yang pasti ditipu perempuan. Laki-laki yang mampu menipu aku saat ini mungkin belum lahir."

   "Siapa perempuan itu?"

   Desak Sim Bik-kun.

   "Hoa Ji-giok."

   "Siapa pula Hoa Ji-giok?"

   "Dialah suamiku."

   Sim Bik-kun melotot. Ia jarang mengunjuk rasa kaget di depan orang lain, kini ia mengawasi Hong Si-nio dengan mata terbelalak, seperti mengawasi seorang yang tiba-tiba menjadi gila.

   "Aku ditipu suamiku, suamiku adalah juga perempuan ..."

   Sampai di sini ia menarik napas lagi.

   "Kulihat kau menyangka aku sudah gila."

   Sim Bik-kun tidak menyangkal.

   "Dia menyuruhku memancingmu masuk ke rumah kecil ini, aku harus kasih tahu bahwa dua kakek itu bukan orang baik."

   "Mereka bukan orang baik?"

   "Sebab engkau dimanfaatkan sebagai umpan untuk memancing ikan besar, yaitu Siau Cap-it Long."

   Dengan gemas ia melanjutkan.

   "Sekarang baru aku tahu, aku adalah ikan kakap yang lebih goblok dibanding babi, begitu mudah aku terpancing olehnya."

   "Dua orang Cianpwe itu pasti bukan orang jahat,"

   Sim Bi-kun meyakinkan.

   "selama dua tahun ini, kalau bukan mereka melindungi aku, aku ... aku tidak akan bertahan hidup sampai sekarang."

   "Tapi terhadap Siau Cap-it Long, mereka ...."

   "Terhadap Siau Cap-it Long mereka juga tidak bermusuhan. Waktu di Hoan-ou-san-ceng, secara diam-diam mereka membantunya, sebab mereka juga pernah dirugikan oleh Siau-yau-hou."

   Ia berusaha mengendalikan diri, waktu mengucap nama Siau Cap-it Long tadi, mimik matanya menampilkan rasa sedih yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

   Bayangan masa lalu nan indah, manis mesra tapi juga pahit getir, jelas tak terlupakan.

   Dua tahun sudah ia tidak pernah tidak merindukan dirinya? Hati ini hampir hancur tersayat-sayat.

   Entah darah atau keringatnya, keperkasaan dan kemesraannya, terbayang betapa bening sepasang bola matanya.

   "Siau Cap-it Long, dimanakah dikau?"

   Waktu ia memejam mata, air mata meleleh dipipi. Dengan terlongong Hong Si-nio mengawasinya, ia maklum apa yang sedang dipikir orang, sebab hatinya juga sedang merindukan orang yang sama.

   "Jadi selama ini kau juga tidak pernah melihat atau mendengar beritanya?"

   Ia ingin bertanya, namun tidak sampai hati membuat Sim Bik-kun sedih.

   "Walau hari itu aku ikut dia pergi, namun tak pernah menemukan dia lagi."

   Sim Bik-kun juga tidak melontarkan isi hatinya ini, sebab lidahnya kelu, tenggorokan juga terasa gatal. Rumah itu terus bergerak, pindah tempat dengan cepat. Hong Si-nio malah tertawa.

   "Biasanya tempat ini dipakai orang untuk buang hajat, kita malah bercucuran air mata, coba katakan lucu tidak?"

   Suaranya cukup keras, seperti selama hidup ini tidak pernah melihat kejadian yang lucu sekali.

   Tapi siapa dapat merasakan di antara alun tawanya itu tersembunyi perasaan getir, duka lara.

   Seorang di kala benar-benar berduka, mestinya berusaha mengunjuk tawa, namun berapa banyak orang di dunia ini yang bisa tertawa dalam kedukaan.

   Tak tahan Sim Bik-kun mengawasinya nanar.

   Kini sikapnya sudah berubah, ia maklum orang yang dia awasi ini adalah wanita tersayang, perempuan yang harus dihormati.

   Hong Si-nio juga sedang menatapnya.

   "Kejadian ini sungguh menggelikan, kenapa tidak tertawa saja?"

   "Aku ... aku ingin tertawa, tapi tidak bisa tertawa."

   Hong Si-nio mengulur tangan mengelus rambut Sim Bik-kun, suaranya halus lembut.

   "Tak usah sedih, aku yakin lekas sekali kita akan bertemu dengan dia."

   "Apa benar?"

   Sim Bik-kun kurang percaya.

   "Hoa Ji-giok memanfaatkan kau dan aku untuk mengancam Siau Cap-it Long. Maka dia akan membuat Siau Cap-it Long tahu kau dan aku jatuh di tangannya."

   "Menurutmu dia akan datang mencari kita?"

   "Dia pasti datang."

   "Tapi Hoa Ji-giok itu ...."

   "Jangan kau menguatirkan dia, memangnya apa yang bisa dia lakukan terhadap kita? ... Apapun yang akan terjadi, dia tidak akan lupa bahwa dirinya juga seorang perempuan."

   Wajahnya tampak tersenyum simpul, padahal perasaannya makin tenggelam.

   Sebab ia cukup paham kalau perempuan lawan perempuan, kadang jauh lebih berbahaya, jauh lebih menakutkan dibanding perbuatan lelaki.

   Sungguh sukar terpikir olehnya, Hoa Ji-giok akan menggunakan cara ini untuk menghadapi dirinya dan Sim Bik-kun, tak berani ia membayangkan.

   Pada saat itulah, rumah yang berjalan ini mendadak berhenti.

   Rumah ini tidak bergeming lagi.

   Di luar tetap sunyi tanpa ada suara.

   Hawa dalam rumah makin pengap, lampu yang semula digantung di dinding juga mendadak padam.

   Keadaan berubah gelap gulita, berhadapan muka pun tak dapat melihat wajah orang.

   Terasa oleh Hong Si-nio seperti dirinya mendadak terjeblos ke dalam sebuah kuburan, saking pengapnya, bernapas pun mulai terasa berat.

   Kini ia malah mengharap rumah itu bergerak lagi.

   Sayang sekali di saat tidak bergerak, rumah ini malah berjalan, saat diharapkan berjalan justru bercokol di tempat tak mau bergerak.

   Saking jengkelnya, Hong Si-nio tertawa sendiri, saat orang lain ingin menangis tapi tak bisa menangis, dirinya malah bisa tertawa tergelak.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekarang aku sudah tak bisa melihatmu, kau sudah bisa berlega hati bukan?"

   Sim Bik-kun diam tidak bersuara. Saat Hong Si-nio menarik napas, mendadak didengarnya seorang cekikikan geli.

   "Inilah yang dinamakan raja tidak gugup, menteri malah mampus gelisah. Dia saja begitu sabar, kenapa kau gugup malah?"

   Suaranya berkumandang di sebelah atas, saat suaranya berkumandang ke dalam rumah, hawa segar terasa menyampuk muka. Bagian atas rumah pelan-pelan terbuka sebuah lubang jendela, di luar jendela mengintip ke dalam sepasang mata jeli bening.

   "Sim-sim,"

   Seru Hong Si-nio. Sim-sim cekikikan. Gemas Hong Si-nio, rasanya ingin menjewer kuping atau mencolok kedua biji matanya.

   "Angin di atas sini amat besar, di bawah situ tentu amat hangat,"

   Sim-sim berkata dengan nada menggoda.

   "Apa kau tidak ingin turun menghangatkan badanmu?"

   Pancing Hong Si-nio.

   "Sayang aku tidak bisa turun,"

   Sahut Sim-sim.

   "Apa kau tidak bisa membuka pintu?"

   "Kunci ada di tangan Kongcu, kecuali dirinya siapa pun tak bisa membuka pintu!"

   "Dimana dia?"

   "Dia belum pulang,"

   "Kok, belum pulang?"

   "Karena menemani orang-orang itu mencari kalian. Tidak mungkin dia memberi tahu mereka bahwa dia yang menyuruh engkau masuk ke rumah ini."

   "Sebetulnya apa maunya dia?"

   "Dia suruh aku mengantar kalian pulang dulu."

   "Pulang? Pulang ke rumah siapa?"

   "Tentu rumah kita,"

   Sahut Sim-sim cekikikan geli.

   "Rumah kita?"

   "Rumah Kongcu bukankah juga adalah rumah Hujin?"

   "Cara bagaimana kita pulang?"

   "Ya, naik kereta."

   "Kau tak membuka pintu, cara bagaimana bisa naik kereta?"

   "Lho, kita sekarang sudah di atas kereta."

   "Jadi rumah ini sudah diangkat ke atas kereta?"

   "Kereta besar yang ditarik delapan ekor kuda, cepat lagi kilat, dalam waktu tiga hari, kita akan tiba di rumah."

   "Harus tiga hari naik kereta?"

   "Paling tiga hari."

   Mendadak Sim Bi-kun mengeluh lirih, tubuhnya mendadak melorot jatuh.

   Kalau orang sudah kebelet, mana mungkin ditahan tiga hari, tapi apapun kalau dirinya harus buang air besar kecil bersama orang lain dalam satu ruang, berarti ingin menyiksa atau membunuhnya.

   Saking tak tahan Hong Si-nio berteriak.

   "Jadi kau akan mengurung kami berdua tiga hari lamanya?"

   "Kurungan ini memang sempit tapi tidak jelek, kalau lapar akan kubuatkan makanan dan kuantar masuk, kalau dahaga juga kuantar minuman, di kereta ini kecuali air juga ada arak."

   Bercahaya mata Hong Si-nio, serunya "Ada berapa banyak araknya?"

   "Berapa yang kau minta?"

   "Arak macam apa saja?"

   "Arak apa yang kau minta?"

   "Baik, berikan dua puluh kati Hoa-tiau."

   Mabuk menghilangkan resah.

   Ada kalanya mabuk malah lebih baik daripada sadar tapi runyam.

   Dua puluh kati Hoa-tiau dimuat dalam enam bumbung bambu, diturunkan dari jendela kecil di bagian atas, diturunkan pula delapan jenis masakan.

   Bentrok Para Pendekar 04 Karya Gu Long - Gan K.H.

   Bagian 4 Bumbung bambu cukup besar, berisi tiga kati arak wangi.

   Hong Si-nio mengangsurkan satu bumbung ke Sim Bik-kun.

   "Mabuk menghilangkan resah, kalau tidak mabuk, entah bagaimana gejolak perasanmu selama tiga hari mendatang."

   Sejenak bimbang, akhirnya Sim Bi-kun menerima bumbung arak itu.

   "Habis satu bumbung arak ini, kau sudah mabuk belum."

   "Ya, belum tahu,"

   Sahut Sim Bik-kun.

   "Kiranya kau juga biasa minum arak, sungguh tak kusangka."

   "Sejak kecil nenek sering menyuruh aku menemaninya minum arak."

   "Pernah mabuk?"

   Sim Bik-kun memanggut.

   "Aku yakin kau pernah mabuk, kalau sering bergaul dengan setan arak, tidak mabuk baru aneh."

   Sim Bik-kun menunduk, hatinya seperti ditusuk jarum.

   Dia pernah mabuk dua kali, karena kasmaran terhadap Siau Cap-it Long.

   Lapat-lapat ia seperti mendengar dendang lagu yang penuh nada kepedihan, seperti mendengar denting suara cawan dipukul sumpit mengiringi dendang lagu itu.

   "Siau Cap-it Long, di kala kau tak berada di sampingku, siapa di dunia ini yang dapat memahami derita dan kesepianmu?"

   Mendadak Sim Bik-kun mengangkat bumbung, tiga kati arak sekaligus ditenggaknya habis.

   Perempuan yang semula diagulkan sebagai gadis suci, mestinya tidak minum arak dengan cara demikian, tapi sekarang ...

   peduli amat, peduli gadis suci? Sepanjang hidupnya kini bukankah dirinya dibuat sengsara dan menderita gara-gara 'gadis suci', karena sebagai gadis suci yang harus menjadi contoh, sampai ia tidak berani mencintai atau membenci, dalam dua hal perasaan yang bertolak belakang inilah dirinya menjadi korban penasaran, kepada siapa ia harus membela diri? Mengawasi Hong Si-nio, mendadak ia tertawa cekikikan.

   "Eh, kau bukan gadis suci."

   "Aku bukan, selama hidup aku tak sudi jadi gadis suci."

   "Makanya hidupmu lebih riang dibanding aku."

   "Hidupku memang jauh lebih riang dibanding kebanyakan orang."

   Mulut bicara pikiran justru bertanya pada diri sendiri.

   "Benarkah hidupku lebih riang dari orang lain?"

   Ia tenggak habis arak satu bumbung. Seorang bisa tidak hidup riang gembira, bukan ditentukan oleh apakah ia adalah 'gadis suci'.

   "Seorang kalau bisa hidup riang, pandangan terbuka, pasti hidupnya lebih ringan."

   "Jika kau adalah aku,"

   Demikian kata Sim Bik-kun.

   "pikiranmu bisa terbuka?"

   "Aku ...."

   Hong Si-nio tak mampu menjawab. Sim Bik-kun cekikikan geli, tawa yang rawan, tawa kecut, tawa pahit, lebih kecut daripada air mata. Tapi dia masih terus tertawa dan tertawa. Tiba-tiba Hong Si-nio bertanya.

   "Kalau kali ini kau bisa bertemu Siau Cap-it Long, bisa tidak kau tinggalkan seluruhnya dan menikah dengan dia?"

   Dalam keadaan biasa yakin Hong Si-nio tak berani bertanya, tapi sekarang, entah hasrat apa yang mendorong ia mengajukan pertanyaan itu. Sim Bik-kun masih tertawa, tawa cekikikan.

   "Tentu aku akan menikah dengannya, kenapa aku tidak bisa menikah dengan dia? Dia mencintai aku, aku juga mencintai dia, kenapa kami tidak boleh hidup berdampingan sepanjang hidup?"

   Mendadak tawanya berubah menjadi isak tangis yang memilukan, akhirnya sulit dibedakan ia menangis atau tertawa.

   Kalau kali ini bertemu Siau Cap-it Long, apa benar dia bakal menikah dengannya? Kalau tidak bakal menikah, buat apa mencarinya? Kalau sudah bertemu memangnya kenapa? Bukankah bakal menambah derita? Sim Bik-kun menarik napas panjang, sepanjang hidup manusia sering kali terjadi apa boleh buat, tapi kalau kau ingin terus memikirkan persoalan itu, gundah gulana akan selalu menjadi beban kehidupanmu.

   Daripada bertemu lebih baik tidak bertemu, memangnya mau apa setelah bertemu? Bagaimana kalau tidak bertemu? "Hihi, kau mabuk,"

   Hong Si-nio menertawainya.

   "Ya, aku mabuk,"

   Lirih suara Sim Bik-kun.

   Betul mabuk, malah cepat mabuk.

   Seorang kalau ingin mabuk, begitu minum arak, tidak perlu banyak, lekas ia akan mabuk, sebab kalau tidak mabuk, tak mungkin berpura-pura mabuk.

   Lucunya, seorang kalau selalu ingin mabuk setelah banyak minum, ia sendiri sukar membedakan apakah dirinya betul mabuk apa pura-pura mabuk.

   Hong Si-nio menggeliat, lalu duduk di lantai.

   "Aku tidak mencintai Nyo Khay-thay. Sebab dia terlalu jujur, pikirannya lapang tidak punya inisiatip."

   "Aku tahu."

   "Hoa Ji-giok justru tidak jujur, akalnya banyak dan licik."

   "Kalau dia lelaki tulen, mau kau menikah dengan dia?"

   "Tidak akan."

   Kini seperti mendadak sadar, kalau benar dia mencintai seorang lelaki, umpama lelaki lain jauh lebih unggul, ia berjanji akan sepenuh hati mencintai pujaan hatinya itu.

   Cinta memang sesuatu yang aneh, tidak bisa dipaksa juga tidak bisa pura-pura.

   Mendadak Sim Bik-kun bertanya.

   "Bukankah engkau juga ingin menikah dengan Siau Cap-it Long?"

   "Kau keliru,"

   Sahut Hong Si-nio.

   "umpama seluruh lelaki di dunia ini mampus seluruhnya, aku tidak akan kawin dengan dia."

   "Ah, kenapa?"

   "Sebab yang dia cintai engkau bukan aku."

   Mimiknya seperti tertawa, tapi tawa pilu.

   "Maka kau terhitung tandinganku, lawan yang harus kubunuh."

   Sim Bik-kun tertawa berderai.

   Mereka cekakak-cekikik sambil terus minum, akhirnya mereka sendiri tidak tahu apa saja yang telah mereka lakukan, isi hati apa saja yang telah dilimpahkan.

   Samar-samar mereka seperti melihai Siau Cap-it Long menampakkan diri, kejap lain berubah menjadi Lian Shia-pik, terakhir malah berubah jadi Nyo Khay-thay.

   Dari ribuan Siau Cap-it Long berganti ribuan Lian Shia-pik, lalu berubah jadi Nyo Khay-thay.

   Paling akhir berubah lagi menjadi Hoa Ji-giok.

   Dengan tersenyum lebar Hoa Ji-giok berdiri di hadapan mereka, tawa nan manis lembut lagi mempesona.

   Hong Si-nio meronta ingin berdiri, tapi kepala pusing dan sakit sekali, mulut juga kering getir.

   "Hari ini kalian betul-betul mabuk,"

   Kata Hoa Ji-giok kalem.

   "sudah tiga hari tiga malam."

   Hong Si-nio sungguh tidak tahu bagaimana keadaan mereka berdua selama tiga hari tiga malam ini. Tapi tidak tahu lebih baik daripada tahu? "Untung kalian sudah berada di rumah dengan selamat,"

   Kata Hoa Ji-giok. Tak tahan Hong Si-nio bertanya.

   "Rumah siapa?"

   "Tentu rumah kita?"

   Senyumnya makin manis.

   "jangan lupa di hadapan orang banyak kau sudah menyatakan bahwa kau adalah biniku, menyangkal juga percuma."

   "Aku hanya ingin bertanya, kenapa kau suruh aku menipu Sim Bik-kun dan menculiknya kemari?"

   "Sebab dua tua bangkotan itu sukar dilayani. Dengan cara itu baru bisa kuundang dia kemari."

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa yang akan kau lakukan padanya?"

   "Coba kau terka."

   "Kau juga ingin mengambilnya jadi istrimu."

   "Kau sendiri perempuan, buat apa punya bini banyak?"

   "Aku perempuan?"

   Hoa Ji-giok tertawa dengan mata terbelalak.

   "siapa bilang aku perempuan?"

   Hong Si-nio berjingkat.

   "Memangnya bukan?"

   "Jelas bukan, kalau ada orang bilang aku ini perempuan, pasti orang gila?"

   Memang hampir gila Hong Si-nio dibuatnya, tak tahan ia berteriak.

   "Memangnya kau ini laki atau perempuan?"

   Dengan senyum di kulum mendadak Hoa Ji-giok membuka baju.

   "Kau bisa membedakan bukan."

   Hoa Ji-giok adalah laki-laki tulen, anak kecil juga pasti bilang dia adalah laki-laki. Hati Hong Si-nio seperti dibenamkan dalam lumpur.

   "Tempo hari pada detik-detik yang menentukan itu aku surut dan mundur teratur, tujuanku adalah supaya kau percaya bahwa aku adalah perempuan. Kalau kau beranggapan aku bukan perempuan, dalam kondisi seperti itu, pasti kesempatan tidak kau abaikan."

   Gemeratak gigi Hong Si-nio.

   "Kau bukan perempuan, juga bukan manusia."

   Tawa Hoa Ji-giok makin riang.

   "Karena kau percaya aku ini wanita, maka kau mau membantu aku membawa Sim Bik-kun ke tempatku ini."

   Sim Bik-kun tidak memberi reaksi, kondisinya memang sudah kaku.

   "Tapi kali ini pasti takkan kubuang percuma kesempatanku."

   "Aku sudah menyerah menjadi binimu, apalagi yang akan kau lakukan padaku?"

   "Usiamu memang sedikit tua, tapi ada bagian-bagian tertentu punyamu masih lebih menyenangkan dibanding nona cilik."

   Mata-nya menjelajah tempat-tempat tertentu di badan Hong Si-nio, sorot matanya seperti menikmati tubuh Hong Si-nio yang sudah telanjang. Hoa Ji-giok tertawa lebar.

   "Kini aku sudah punya bini secantik bunga seputih batu giok, ditambah lagi nona cantik nomor satu di Bulim jadi gundikku, sungguh besar rezekiku."

   Sorot matanya beralih ke tubuh Sim Bikkun. Mimik Sim Bik-kun kaku dingin, tanpa perubahan.

   "Huh, jangan harap."

   "Jangan harap maksudmu?"

   "Berani kau menyentuh tubuhku, biar aku mati di depanmu."

   "Di hadapanku kau tidak mungkin mati."

   "Kalau begitu biar kau saja yang mampus."

   Begitu ucapannya berakhir, dibarengi ulapan tangan, segenggam jarum emas melesat terbang.

   Jarum emas keluarga Sim pernah menggetarkan kaum persilatan, diakui sebagai salah satu dari delapan senjata rahasia paling lihai di Bulim.

   Bukan saja gaya serangan jarum ini berbeda, gerakan serangan dan hasilnya berakibat fatal bagi sang korban, begitu menyusup dalam tubuh, langsung mengalir mengikuti peredaran darah.

   Hanya setengah jam, jarum menusuk jantung, malaikat atau dewa juga takkan bisa menolong.

   Sayang sebagai gadis suci, cara turun tangan Sim Bik-kun tidak boleh keji, kepandaian menyambit jarum warisan keluarga paling hanya terhitung 'lempar' saja, tidak ganas juga kurang cepat.

   Menyerang dengan senjata rahasia kalau tidak tega, apalagi lambat, betapapun hebat rahasia senjata itu, di tanganmu menjadi barang mainan belaka.

   Sambil tertawa lebar, Hoa Ji-giok hanya membalik badan seenaknya, taburan jarum yang lebat itu lenyap seketika, jelas dia juga adalah tokoh lihai dalam permainan senjata rahasia, dibanding kemampuan Sim Bikkun tadi bedanya jauh sekali.

   Hong Si-nio menggereget gemas.

   "Dia bukan manusia, kita takkan mampu menghadapinya."

   "Aku menyukaimu, bukan lantaran kau pintar, tapi juga karena tahu diri, sebab tidak banyak perempuan tahu diri yang bisa kumiliki."

   "Apa benar kau menyukai aku?"

   "Tentu betul."

   "Kenapa masih mencari perempuan lain lagi? Kau tidak kuatir aku cemburu?"

   "Perempuan cemburuan aku tidak suka."

   "Umpama sekarang kau tidak menyukai aku juga sudah terlambat."

   "Lho?"

   "Baru saja menikah, kau sudah serong dengan perempuan lain, kelak apa tidak lebih ganas?"

   "Maksudmu aku harus membebaskan dia?"

   Hong Si-nio memanggut.

   "Asal kau tidak menyentuh perempuan lain, aku rela menjadi binimu, atau ...."

   "Atau bagaimana?"

   "Atau ... akan kuberikan hajaran setimpal, kau takut?"

   "Tidak takut."

   "Tidak takut aku melabrakmu?"

   "Aku sudah biasa dilabrak orang, dilabrak bini sendiri kan malah mesra."

   Bicara sampai di sini, air mukanya mendadak berubah amat aneh, seperti murka juga amat menderita. Mengawasi perubahan aneh itu, Hong Si-nio jadi tidak tega.

   "Siapa orang terakhir yang melabrakmu?"

   Hoa Ji-giok menggenggam jari-jarinya.

   "Siapa lagi, Siau Cap-it Long."

   V. DIMANA SIAU CAP-IT LONG? Siau Cap-it Long, lagi-lagi Siau Cap-it Long. Semua persoalan buruk di dunia, sepertinya diborong olehnya. Hoa Ji-giok mendesis penuh dendam.

   "Karena dia merebut pujaanku, maka aku juga merebut pujaannya."

   "Dia merebut pujaanmu? Siapa?"

   "Dia merebut Pin-pinku."

   "Siapa Pin-pin itu?"

   "Pin-pin adalah adik misanku, juga adalah calon istriku."

   Kelihatan betapa gusar hatinya.

   "Mentang-mentang ilmu silatnya lebih tinggi dibanding aku, Siau Cap-it Long merebut dan membawa adik misanku, orang lain melirik saja juga dilarang olehnya."

   "O, jadi karena melirik padanya, dua biji mata Cia Thian-ciok dibikin buta, begitu?"

   Hoa Ji-giok mengangguk, suaranya dingin.

   "Kalau kalian menganggap dia baik, kalian bisa menyesal. Terhadap Pin-pin dia benar-benar baik, demi Pin-pin perbuatan apa saja bisa dia lakukan, Pin-pin menyuruh dia mencolok buta mata orang, tidak pernah ia membangkang."

   "Aku tidak percaya,"

   Teriak Hong Si-nio.

   "Sepatah kata pun aku tidak percaya."

   "Tidak percaya? Atau tidak berani percaya?"

   "Mampus pun aku tidak percaya,"

   Seru Hong Si-nio. Hoa Ji-giok menghela napas.

   "Sepertinya kau ini tergiia-gila terus padanya."

   "Dahulu aku juga pernah memfitnah, tapi sekarang aku sudah tahu, Siau Cap-it Long pasti dan yakin bukan orang macam itu, pasti takkan melakukan perbuatan seperti itu."

   "Dahulu mungkin dia bukan orang macam itu, tiap orang bisa berubah kapan saja."

   "Apapun yang kau katakan, apapun alasannya, aku tetap tidak percaya."

   Berkilat bola mata Hoa Ji-giok.

   "Kalau aku bisa membuktikan, bagaimana?"

   Sim Bik-kun mengertak gigi.

   "Kalau ada bukti dan nyata, apa pun kehendakmu terserah."

   "Kalau aku bisa membuktikan, kau mau menikah denganku?"

   Desak Hoa Ji-giok.

   "Sudah kubilang, apapun kehendakmu, terserah."

   "Janjimu bisa ditepati tidak?"

   "Aku memang wanita, namun tidak pernah bohong tidak pernah ingkar janji."

   "Bagus, aku percaya padamu."

   Kata Hoa Ji-giok sambil bertepuk tangan.

   "Cara bagaimana kau akan memberi bukti kepadanya,"

   Desak Hong Si-nio.

   "Akan kubawa dia pergi melihat Siau Cap-it Long dan Pin-pin."

   "Melihat dimana?"

   "Tay-hing-lau."

   "Tay-hing-lau dimana?"

   "Tempat untuk menghamburkan uang."

   "Siau Cap-it Long ada di sana?"

   "Beberapa hari ini aku yakin dia ada di sekitar Koh-soh, kalau sudah berada di sekitar sana, pasti pergi ke Tay-hing-lau."

   "Masa begitu?"

   "Sebab sekarang dia seorang kaya. Kalau tidak mengajak cewek pujaannya ke Tay-hing-lau mencari hiburan, sia-sia dia berada di wilayah Soh-ciu ini."

   "Maksudmu kau juga akan membawa kami ke tempat itu?"

   "Tapi kalian harus berjanji satu hal kepadaku."

   "Coba jelaskan."

   "Mata kalian boleh melotot mengawasi, tapi mulut tidak boleh bicara. Harus tutup mulut."

   "Kenapa?"

   "Sebab sekali kalian membuka mulut, segala pemandangan akan lenyap."

   "Baik, aku terima syaratmu."

   "Kau bisa terus tutup mulut tanpa bersuara?"

   "Kau anggap aku ini wanita macam apa? Wanita cerewet?"

   Hong Si-nio menjengek. Hoa Ji-giok tertawa geli.

   "Kau bukan perempuan cerewet, tapi aku tidak percaya saat itu kau bisa menepati janji."

   Hong Si-nio berjingkrak berdiri.

   "Kalau bini sendiri tidak dipercaya, siapa yang kau percaya?"

   Hoa Ji-giok menyeringai.

   "Seorang lelaki kalau terlalu percaya bini, maka dia lelaki goblok. Nyo Khay-thay adalah bukti lelaki goblok itu. Kalau dia cerdik, mana bisa kau minggat dari kamar pengantinnya?"

   Hong Si-nio menghela napas.

   "Dia bukan orang goblok, dialah laki-laki sejati."

   "Tapi aku bukan laki-laki goblok juga bukan laki-laki sejati."

   "Jadi kau sudah memutuskan untuk tidak percaya padaku?"

   Hoa Ji-giok berpaling ke arah Sim Bik-kun.

   "Aku malah mempercayai dia, aku tahu dialah perempuan jujur tidak suka bertingkah."

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Maksudmu aku tidak jujur lagi suka bertingkah?"

   "Dalam rumah ini orang jujur kurasa hanya dia seorang."

   "Lalu apa keputusanmu, mau menjahit bibirku?"

   "Menjahit bibirmu juga tak berguna, siapa tahu kau bakal bandel."

   "Kau... apa langkahmu?"

   "Akan kupikir caranya,"

   Ujar Hoa Ji-giok dengan tersenyum penuh arti.

   Kalau ingin perempuan seperti Hong Si-nio duduk diam, tidak banyak tingkah, memang harus diatasi dengan suatu cara yang luar biasa.

   Dan sekarang Hong Si-nio sudah duduk diam, tidak banyak tingkah, sebab dia tidak bisa bergerak.

   Hiat-to di sekujur badannya pada titik kontrol gerak-gerik kaki tangan sudah ditutuk, dikendalikan.

   Mukanya ditutup kain merah, bentuk sanggul kepalanya juga diubah, malah mulutnya dijejal buah apel.

   Cara ini bukan yang paling pintar, tapi paling berhasil.

   Muka Sim Bik-kun juga ditutupi kain hitam.

   Koh-soh terhitung kota yang masih mengukuhi adat lama, gadis atau nona-nona muda yang beraktivitas di luar rumah, semua pasti menutup muka dengan sari hitam atau jenis lain yang dirasa pantas.

   Maka kehadiran mereka yang luar biasa itupun tidak menarik perhatian khalayak sekitarnya.

   Dandanan mereka cukup perlente, pakaian dari bahan mahal, hiasan menghias sanggul kepala.

   Sebab tempat ini memang sering dikunjungi para cukong yang berkantong tebal.

   Awalnya tempat ini dinamakan Bok-tan-lau, namun sudah menjadi kebiasaan di sini, tiada Bok-tan, cari Tayhing pasti banyak.

   Maka Bok-tan-lau berubah menjadi Tay-hing-lau.

   Kini saatnya magrib.

   Magrib umumnya adalah waktu yang tepat untuk menghamburkan uang, waktu yang paling pas untuk mengadu nasib dengan uang.

   Mau menghamburkan uang di sinilah tempatnya, minum secangkir teh, kau harus merogoh kocek delapan tahil perak.

   Benda atau barang apa saja yang dijual di sini, harganya sepuluh kali lebih mahal, celakanya tiada sesuatu yang istimewa di tempat ini.

   Bunga Bok-tan sudah layu, di antara pot-pot bunga di luar loteng tertata rapi beberapa pot kembang seruni.

   Bunga seruni sedang mekar semarak, warna-warni berbeda pula, tiap kuntum kembang yang enak dipandang.

   Belasan meja di atas loteng, hampir penuh.

   Tiap lelaki yang keluyuran di sini tentu bermuka riang, cerah, pakaian juga serba mewah dan mahal, ratarata naik kuda, ada juga yang naik kereta, menyoreng pedang di pinggang, sarung pedang dihiasi mutiara dan jamrud, beberapa di antaranya datang dengan menggoyang kipas bergambar, lukisan kipas digambar oleh tangan ahli, pelukis terkenal.

   Para wanita yang berbaur di sini semua berdandan ayu, ke tempat ini bukan untuk makan, tapi untuk pamer kecantikan dan perhiasan.

   Hong Si-nio bersama Sim Bik-kun duduk di pojok dekat jendela.

   Hoa-ji-giok berpakaian hijau dengan topi kecil menutup kepala, dengan laku sopan berdiri di belakang mereka, menyamar jadi pelayan yang melayani sang nyonya dan gadisnya yang lagi pesiar.

   Wanita yang datang ke tempat ini tidak wajib ditemani suami, gendak atau lelaki siapa saja.

   Di Kangouw tidak sedikit orang kaya dari jenis wanita, di antaranya malah ada yang ingin memancing ikan.

   Lelaki yang ada di Tay-hing-lau, semua adalah ikan kakap, ikan besar.

   Ikan yang paling besar sekarang sedang duduk di depan mereka.

   Umur lelaki ini sekitar empat-lima puluhan, memelihara jenggot kambing, mukanya bundar, kulitnya putih, putih susu, sepasang tangannya terawat amat baik, lebih baik dibanding jari-jari tangan gadis pingitan, jari tengah kanan kiri mengenakan cincin bermata kucing sebesar kelengkeng.

   Perempuan yang mendampingi jelas adalah perempuan cantik, cantik menggiurkan, usianya paling enam belas, sepasang bola matanya indah, jelalatan mirip mata anak kecil yang rakus melihat banyak hidangan, mulutnya mungil bersungut, sebelum tertawa sering hidungnya bersungut-sungut, begitu aleman lagi genit.

   Memang perempuan jenis inilah yang paling disukai lelaki setengah umur itu.

   Semua lelaki yang ada di sekitar situ pasti melirik diam-diam, melirik sepasang anting yang menghias kupingnya, anting jade hijau pupus berbentuk amat indah.

   Di wilayah Koh-soh sukar didapat anting yang sama.

   Di belakang mereka selain gadis cilik pelayan dan kacung muda, dua lelaki menyoreng pedang berpakaian hitam bersiaga.

   Kemana pun Liu-soh-ciu pergi pasti diikuti dua pengawal.

   Empat pengawal Liu-soh-ciu jelas bukan tokoh silat kelas kambing.

   Lelaki yang menyoreng pedang di sebelah kanan bernama Ko Kang dijuluki Tui-hong-kiam.

   Tidak sedikit tokoh silat di Kangouw dijuluki Tui-hong-kiam.

   Orang yang punya julukan, kepandaiannya tentu bukan mainmain.

   Tapi tiap kali memandang dua orang yang duduk di meja seberang sana, sikap mereka kelihatan hormat.

   Ilmu silat Ko Kang lihai dan cepat, terhitung tokoh Kangouw kawakan, ia kenal kedua orang itu.

   'Pek-tiong-siang-hiap', murid terkenal dari perguruan ternama, beberapa peristiwa besar pernah mereka lakukan, mendapat acungan jempol dan pujian dari kaum persilatan.

   Terutama Ji-hiap Auyang Bun-tiong, dia memperoleh warisan keluarga yang telah lama putus turunan, senjatanya adalah Cu-bo-le-hun-thoh.

   Seperti diketahui, keluarga Auyang turun temurun adalah keluarga persilatan yang kaya raya, salah satu dari tiga keluarga persilatan yang disegani kaum persilatan.

   Kedua saudara kakak beradik itu jelas juga adalah termasuk kaum Tay-hing.

   Bagaimana dengan Siau Cap-it Long? Siau Cap-it Long tidak terlihat bayangannya.

   Sudah dua hari mereka nenunggu di sini, tiada berita juga bayangan Siau Cap-it Long muncul.

   "Bila dia berada di sekitar Koh-soh, pasti datang."

   "Bagaimana tahu kalau dia berada di sekitar Koh-soh?"

   Hong Si-nio sudah malas menduga-duga, apalagi menunggu lebih lama, sungguh tak tahan lagi.

   Tapi pada waktu itulah tiba-tiba Siau Cap-it Long menampakkan diri.

   Begitulah kalau menunggu orang, makin ditunggu makin gelisah, makin lama setelah tidak betah dan ingin pergi, tahu-tahu orangnya datang.

   Sebuah kereta serba baru warna hitam gelap ditarik delapan ekor kuda tahu-tahu berhenti di luar pintu.

   Hong Si-nio yang sudah malang melintang di Kangouw, belum pernah melihat kereta segede semegah dan angker seperti kereta hitam ini.

   Siau Cap-it Long datang naik kereta itu, malah bukan sendirian.

   Selain dua anak laki-Iaki, empat genduk cilik dan kusir kereta yang semua berdandan rapi, ditemani pula seorang gadis rupawan yang berpakaian serba putih, rambutnya tampak hitam mengkilap.

   "Dia inilah Pin-pin."

   Dipandang dari loteng, wajah Pin-pin tidak terlihat jelas, yang terlihat hanya gelung rambutnya yang indah serta taburan mutiara yang besar sebagai hiasan sanggulnya.

   Siau Cap-it Long melangkah dulu di depan, dengan sebelah tangannya sang nona memeluk lengan Siau Cap-it Long dan beranjak perlahan.

   Mereka sudah turun dari kereta, melangkah ke pintu, dilihat dari atas wajahnya tidak terlihat jelas.

   Betulkah dia itu Siau Cap-it Long? Hong Si-nio dan Sim Bik-kun seperti berlomba membelalakkan bola mata, terasa detak jantung tiga kali lipat lebih kencang, dengus napas yang ditahan seperti akan putus saja.

   Betapa besar keinginan mereka melihat Siau Cap-it Long, sekarang mereka malah berharap laki-Iaki itu bukan Siau Cap-it Long.

   Derap kaki sudah berkumandang menaiki tangga loteng, jantung terasa berdegup lebih keras.

   Mendadak mereka menahan napas, kini mereka sudah melihat sepasang matanya, benderang seperti cahaya bintang kejora yang memancar terang di malam musim rontok.

   Ternyata orang itu betul adalah Siau Cap-it Long.

   Siau Cap-it Long sudah datang.

   Dalam hidup Siau Cap-it Long tidak mengutamakan pakaian, ada kalanya kaos saja tidak dipakai.

   Tapi baju yang dipakai hari ini, seluruhnya dari bahan paling mahal, buatan tailor terkenal dengan mode terbaru, cocok pas dengan potongan badan, bajunya serba hitam, sehitam biji matanya yang bersinar terang.

   Baju sutra yang lembut mengencang di tubuh, dengan perawakan tubuh yang gagah, tinggi tegap, pundaknya tidak begitu lebar, kaki juga tidak lencir panjang, di pinggang melilit sabuk kulit warna hitam pula, menyoreng miring sebatang golok.

   Golok pendek yang bentuknya ganjil lagi aneh, sarung pedang mengkilap seperti terbuat dari emas, di tengahnya dihiasi tiga butir mutiara hitam, mutiara yang jarang dimiliki manusia umumnya.

   Betapa tidak menyolok pandang orang-orang yang melihatnya.

   Kecuali sebilah golok, tubuhnya tiada mengenakan perhiasan apa-apa, namun makin dipandang, orang merasa keagungan sikapnya yang menonjol.

   Ternyata Siau Cap-it Long sekarang pandai memilih baju.

   Sebetulnya Siau Cap-it Long adalah seorang laki- Iaki yang tidak suka berdandan, apalagi berhias, pernah beberapa hari ia tidak mandi, tidak mencukur jenggot dan kumis, tapi hari ini mukanya kelihatan kelimis, kuku jari juga digunting rapi, rambut juga disisir rapi, baju dan celananya halus rapi.

   Hong Si-nio mengawasi dengan rasa kejut, kalau mulutnya tidak disumbat, dan Hiatonya tidak ditutuk, pasti tak tahan sudah berteriak keras, sungguh sukar dipercaya bahwa lelaki ini adalah orang yang dikenalnya sejak lama yaitu Siau Cap-it Long, kenapa kelihatannya lebih tua.

   Kecuali golok di pinggang, Pin-pin merupakan hiasan tambahan yang menyolok juga, cewek ini masih sangat muda, sayang kulit badannya memutih pucat.

   Sorot matanya mirip pandangan bocah jenaka yang masih murni dan polos, terbayang juga rona memelas.

   Gadis belia di samping Liu-soh-ciu boleh terhitung nona cantik yang jarang ada bandingan, kalau dibanding dengan Pin-pin, bedanya amat menyolok.

   Terasa oleh Hong Si-nio jenis kecantikan nona belia ini rada mirip kecantikan Sim Bik-kun, kalau Sim Bikkun lebih matang, nona ini lebih muda, lebih lemah.

   Tidak setenang, lemah lembut seperti Sim Bik-kun.

   Begitu nona belia berada dalam rumah, hadirin merasa nona muda ini amat angkuh dan congkak, kecuali Siau Cap-it Long, tiada manusia lain yang pantas dilirik, apalagi dipandang olehnya, umpama ada orang mampus di hadapannya, ia juga enggan melihatnya.

   "Inilah Pin-pin."

   Perasaan Sim Bik-kun seperti makin tenggelam "Demi Pin-pin, dia rela melakukan apa saja keinginannya, kalau Pin-pin ingin dia mengorek bola mata sendiri, tanpa sangsi akan ia lakukan."

   Kaki tangan dingin, badan Sim Bik-kun juga basah oleh keringat dingin. Kini ia harus mengakui, Pin-pin adalah wanita yang membuat laki-laki mana pun rela berkorban baginya.

   "Pin-pin setimpal jadi pasangan Siau Cap-it Long, dia masih muda belia, belum pernah menikah, pasangan yang tidak akan membuat Siau Cap-it Long kesal, risau dan salah."

   Sim Bik-kun merasa sekujur badan dingin, tapi tidak kedinginan, mendadak ia sadar, mestinya ia tidak berada di tempat ini.

   Siau Cap-it Long tidak boleh melihat dan tahu ia berada disini, ia tidak ingin membawa petaka, membuatnya ragu, membuatnya serba salah.

   "Tanpa aku, mungkin hidupnya akan lebih bahagia,"

   Demikian batinnya, dengan kencang ia menggigit bibir, tanpa terasa air mata membasahi pipi.

   Siau Cap-it Long tahu orang banyak sedang mengawasi dirinya, mengawasi pakaiannya, goloknya dan cewek yang menggelendot di badannya.

   Dia tidak peduli, biasanya ia segan diawasi orang, sekarang ia telah berubah, kelihatan ia puas malah, Siau Cap-it Long sudah berubah menjadi laki-laki yang suka pamer kekayaan seperti Liu-soh-ciu.

   Dengan memeluk lengan Siau Cap-it Long, dengan badan ia menggelendot di tubuh orang, sedikitpun Pinpin tidak merasa ragu, malu atau sebaliknya memperlihatkan kemesraan.

   Senyum manis khusus untuk Siau Cap-it Long saja, senyum mekar dan bangga.

   Sebab seluruh perhatian hadirin di Bok-tan-lau kini sudah menjadi miliknya.

   Mereka naik ke atas loteng, di belakang mengikut serombongan orang, mirip raja yang menggandeng permaisuri memasuki istana.

   Pemilik rumah makan membuka jalan, sikapnya munduk-munduk dan tutur katanya menjilat.

   "Di sana ada meja di pinggir jendela, tuan-tuan silakan duduk, segera kami suruh menyuguhkan teh panas."

   Siau Cap-it Long mengangguk, hakikatnya ia tidak memperhatikan omongan orang, juga tak peduli semua orang yang hadir di loteng.

   Seolah-olah ia hadir di dunia lain, dunia yang tidak perlu memperhatikan kepentingan orang lain.

   Waktu lewat depan meja Liu-soh-ciu, mendadak Pin-pin berhenti, matanya mengawasi anting batu jade.

   Gadis yang mengenakan anting itu tersenyum, syukur ia masih memiliki benda yang harus dibanggakan di depan nona lain.

   Masih memeluk lengan Siau Cap-it Long, mendadak Pin-pin berkata.

   "Menurutmu, bagaimana sepasang anting ini?"

   Pandangan Siau Cap-it Long tetap ke depan, kepala juga tidak menoleh, tapi ia mengangguk.

   "Kelihatannya bagus juga."

   "Aku suka warnanya,"

   Kata Pin-pin.

   "Kau suka?"

   Siau Cap-it Long menegas.

   "Sangat suka, entah Cici ini sudi mengalah padaku tidak?"

   "Pasti boleh,"

   Ujar Siau Cap-it Long kalem. Muka Liu-soh-ciu berubah.

   "Aku tahu dia tidak rela,"

   Sanggahnya. Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang sama, sikapnya masih bermalas-malasan, nadanya menyindir.

   "Kau tahu kemauannya?"

   "Sudah tentu tahu, sebab sepasang anting ini milikku."

   "Kan sudah kau berikan padanya."

   "Dia juga sudah jadi milikku."

   "Omonganmu tidak kuatir membuatnya sedih?"

   Liu-soh-ciu menarik muka, suaranya dingin.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sudah kubilang, dirinya juga milikku."

   Nona itu menundukkan kepala, sorot matanya mulai mengunjuk rasa kuatir dan takut. Baru sekarang Siau Cap-it Long mengawasinya sekilas, tawanya tawar.

   "Kau istrinya?"

   Nona itu menggeleng.

   "Putrinya?"

   Nona itu menggeleng pula.

   "Lalu kenapa dia bilang kau miliknya?"

   Liu-soh-ciu berjingkrak, suaranya keras.

   "Sebab aku sudah membelinya."

   "Berapa duit kau membelinya?"

   "Kau tidak perlu tahu!"

   "Kalau aku ingin tahu?"

   Liu-soh-ciu menggebrak meja, dampratnya gusar.

   "Kau ini barang apa? Berani kurang ajar di depanku."

   "Aku bukan barang, aku manusia."

   Saking gusarnya, Liu-soh-ciu membesi kaku.

   "Ko Kang,"

   Serunya keras. Tangan Ko Kang menggenggam gagang pedang, hanya sedikit bergerak, mendadak menghadang di depan Siau Cap-it Long.

   "Aku sebal melihat orang ini, suruh dia pergi!"

   Dingin sorot mata Ko Kang.

   "Dia bilang sebal melihatmu, kau sudah dengar?"

   "Mendengar dengan jelas,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Tidak lekas kau menyingkir?"

   "Aku suka di sini."

   Ko Kang menyeringai.

   "Jadi kau senang rebah di sini?"

   "Kau ingin membuatku rebah di sini?"

   "Betul."

   Mendadak pedang tercabut, sinar gemerdep menusuk dada Siau Cap-it Long.

   Sinar pedang bagai kilat, kecepatan Tui-hong-kiam memang hebat.

   Yang hadir sudah ada yang menjerit, tusukan itu jelas akan amblas di dada Siau Cap-it Long.

   Yang diserang tetap diam saja, hanya mengulur sebelah tangan menjentik di ujung pedang orang.

   "Ting", pedang itu mendadak patah sepanjang delapan senti.

   "Tring", suara potongan pedang jatuh di lantai. Berubah air muka Ko Kang, teriaknya.

   "Kau ... kau siapa?"

   "Aku she Siau,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Siau... Siau apa?"

   "Siau Cap-it Long."

   Nama besar itu bagai sebuah palu godam menghantam kepala Ko Kang. Dengan mata terbelalak ia mengawasi orang di depannya, dari kepala turun mengawasi golok di pinggang orang.

   "Kaukah Siau Cap-it Long?"

   "Ya, tulen bukan palsu."

   Selebar muka Ko Kang basah oleh keringat, mendadak ia membalik.

   "Dia bilang dia suka tinggal di sini."

   Muka Liu-soh-ciu juga pucat pias.

   "Aku sudah mendengar."

   "Dialah Siau Cap-it Long."

   "Aku tahu,"

   Sahut Liu-soh-ciu. Tentu ia pernah mendengar nama kebesaran Siau Cap-it Long. Ko Kang berkata.

   "Siau Cap-it Long berkata kalau dia ingin tetap di sini, maka tiada seorang pun berani menyuruhnya pergi."

   Tangan Liu-soh-ciu saling genggam, wajahnya membesi.

   "Kalau dia tidak mau pergi, kau saja yang pergi!"

   Bilang pergi ya pergi, tanpa menoleh ia hengkang dari tempat itu.

   Umpama nilai harga yang dijanjikan Liusoh- ciu cukup tinggi, jelas takkan lebih berharga dibanding kepala sendiri.

   Apalagi disuruh pergi oleh Siau Cap-it Long, rasanya juga tidak terlalu memalukan.

   Mengawasi orang turun dari tangga, Liu-soh-ciu menghela napas, tawanya dipaksakan.

   "Sungguh aku tidak tahu tuan adalah Siau Cap-it Long."

   "Sekarang kau sudah tahu?"

   Tawar suara Siau Cap-it Long.

   "Kau benar menyukai sepasang anting ini?"

   "Apa yang dia sukai, serahkan kepadanya!"

   "Jadi segala sesuatu yang dia sukai, kau berikan padanya?"

   Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, mengulang ucapan orang dengan nada tegas.

   "Semua benda yang disukai, aku serahkan kepadanya."

   Liu-soh-ciu mengertak gigi.

   "Baiklah, akan kuberikan kepadamu, selanjutnya kita bisa jadi sahabat."

   "Aku tidak mau terima gratis, juga tak mau bersahabat."

   Berubah air muka Liu-soh-ciu.

   "Apa maumu?"

   "Sepasang anting ini kau beli dengan uang?"

   "Ya, dengan harga mahal."

   "Berapa kau beli?"

   "Delapan ribu tahil."

   "Aku beli enam belas ribu tahil,"

   Kata Siau Cap-it Long, hanya sekedar mengulap tangan, seorang kacungnya yang cerdik pandai segera maju menyodorkan cek.

   "Inilah cek Goan-ki dari bank keluarga Nyo yang terkenal, tunai dan kapan saja boleh diambil."

   Melotot mata Liu-soh-ciu, mendadak ia berpaling sambil berseru.

   "Serahkan padanya!"

   Merah mata gadis belia itu, perlahan ia mencopot anting dari kupingnya, lalu ditaruh di atas meja.

   "Sekarang anting ini milikmu,"

   Kata Liu-soh-ciu.

   "kalau tiada urusan boleh silakan ambil."

   Mendadak Siau Cap-it Long tertawa.

   "Masih ada urusan lain."

   Berubah pucat muka Liu-soh-ciu.

   "Urusan apa?"

   "Tadi kubilang, aku suka tempat ini."

   "Kau ... aku harus menyingkir dari tempat ini?"

   "Betul."

   "Aku ... kalau tidak menyingkir?"

   "Harus menyingkir,"

   Tawar suara Siau Cap-it Long, tapi nadanya mulai mengancam. Liu-soh-ciu menyingkir pergi, berhadapan dengan Siau Cap-it Long, bagaimana ia tidak mengalah? Setelah duduk Siau Cap-it Long mengambil sepasang anting itu.

   "Warna sepasang anting ini memang bagus."

   Pin-pin tertawa.

   "Tapi sekarang aku sudah bosan."

   Siau Cap-it Long melenggong.

   "Maksudmu kau tidak suka?"

   "Barang ini membikin kau repot, aku tak mau menerimanya."

   Sikap Siau Cap-it Long berubah manis, tawanya juga lembut dan gembira.

   "Setelah kau merasa bosan, aku pun ikut bosan."

   Sembari bicara mendadak ia mengayun tangan, anting seharga enam belas ribu tahil ia buang keluar jendela.

   Pin-pin bersorak lirih sambil bertepuk tangan, tawanya riang.

   Hong Si-nio justru hampir meledak dadanya saking jengkel, sungguh tak pernah terbayang olehnya sekarang Siau Cap-it Long sudah berubah sewenang-wenang, menindas yang lebih rendah.

   Syukur ia tidak mampu bergerak, dalam keadaan biasa mungkin ia sudah memburu ke sana menampar mukanya.

   Saking gemasnya ingin ia menuding hidungnya serta mencaci, memangnya sudah lupa kala hidupnya terlunta-lunta, makan semangkok mi bakso saja harus bon dulu dan lima minggu baru mampu membayar.

   Akan ditudingnya pula apa dia sudah melupakan Sim Bik-kun, melupakan para wanita sahabatnya yang pernah rela berkorban bagi dirinya.

   Sayang ia tidak mampu bersuara, terpaksa menyaksikan saja dengan pandangan melotot.

   Dahulu Siau Cap-it Long selalu diomeli, kenapa tidak mau mandi? Tidak mencukur kumis dan jenggot? Kenapa suka memakai kaos kaki berlubang dan sepatu butut yang sudah pecah alasnya? Kondisi Siau Cap-it Long sekarang jauh berubah, seperti telur rebus yang sudah dikuliti, kelihatan halus dan mengkilap.

   Tapi perasaan yang terbenam dalam relung hatinya mengatakan bahwa Siau Cap-it Long yang dahulu tampak lebih gagah dibanding keadaannya sekarang.

   Sim Bik-kun duduk tanpa bergeming, bagaimana perasaan hatinya? Hong Si-nio tidak berani memikirkannya, melirik pun tidak tega.

   Kalau dirinya menjadi Sim Bik-kun, mungkin sekarang sudah mampus karena sesak napas.

   Awalnya Siau Cap-it Long seorang pemuda yang kenal kasih tebal budi, kenapa berubah sedemikian drastis? Liu-soh-ciu sudah pergi, Pek-tiong-siang-hiap yang sudah duduk dan mulai minum arak mendadak menghentikan minumnya, setelah saling pandang, tanpa bersuara mereka berdiri.

   Sekilas Pin-pin melirik ke arah mereka, lalu berseru.

   "Apa kalian mau pergi?"

   Kembali Auyang bersaudara beradu pandang, yang muda mengangguk dan menjawab.

   "Nona berbicara dengan kami?"

   "Ya,"

   Sahut Pin-pin.

   "Kami tidak kenal nona, entah ada petunjuk apa?"

   Tanya Auyang Bun-tiong.

   "Kalian tidak kenal aku, aku kenal kalian malah."

   "O, ...."

   "Kau bernama Auyang Bun-tiong, kakakmu bernama Auyang Bun-pek, dua saudara bukan barang baik."

   Berubah air muka Auyang Bun-tiong. Sikap Auyang Bun-pek jadi beringas.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami bersaudara dalam hal apa berbuat salah kepada nona?"

   "Memangnya kalian tidak tahu?"

   "Aku tidak tahu,"

   Sahut Bun-tiong. Mendadak Pin-pin berpaling ke arah Siau Cap-it Long.

   "Kau kenal mereka?"

   "Tidak kenal,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Tapi mereka terus melotot kepadaku."

   "Oya?"

   "Aku tidak suka orang menatapku begitu."

   "Kau tidak suka?"

   "Malah menjijikkan."

   Siau Cap-it Long menarik napas panjang, sedikit menoleh matanya melirik.

   "Kalian dengar apa yang dia katakan?"

   Membesi selebar muka kedua saudara Auyang, sekuat mungkin mengendalikan diri.

   "Apa katanya?"

   "Dia bilang benci mata kalian berdua."

   "Mata ini tumbuh di kepalaku, peduli orang lain suka atau tidak."

   "Orang lain membenci mata kalian, apa gunanya sepasang mata kalian?"

   "Apa maksudmu?"

   "Maksudku sudah jelas, kau belum paham?"

   "Maksudmu kami harus mengorek keluar mata ini."

   "Memang begitu maksudku."

   "Kalau begitu silakan ambil sendiri!"

   "Tadi kau bilang mata milikmu sendiri, kenapa harus aku yang mengambil?"

   Auyang Bun-tiong tertawa keras.

   "Orang ini menyuruh kita mengorek biji mata sendiri."

   "Mengorek mata sendiri lebih enteng daripada dipenggal kepalanya bukan?"

   Suasana Bok-tan-lau mendadak sunyi senyap, jantung hadirin berdegup kencang, semua berkeringat dingin.

   Bahwa orang hanya sekilas memandangnya, lalu menyuruh mengorek biji mata sendiri.

   Masih ada perbuatan sekejam ini di dunia? Orang ini malah Siau Cap-it Long.

   Hong Si-nio hampir tidak percaya kalau kejadian ini nyata, tapi kejadian ini memang nyata.

   Dahulu bertaruh jiwa pun ia berani menentang omongan orang, kini kenyataan seperti betul; sesuai yang dibicarakan orang.

   Hong Si-nio memejamkan mata, ia tidak mau melihat dan tak tega melihat, air mata meleleh membasahi pipi.

   Sebetulnya Auyang-hengte sudah menyandang buntalannya, kini mereka letakkan di atas meja.

   Entah apa isi buntalan itu, kelihatan cukup berat.

   Mengawasi mereka lalu mengawasi buntalan di atas meja, Siau Cap-it Long tertawa.

   "Thi-ping-yan-yen-kuai dan Cu-bo-le-hun-thoh?"

   "Betul,"

   Sahut Auyang Bun-tiong.

   "Sejak kematian Kim-lojit si bangsat dari Cap-ji-lian-hoan-ou, sudah puluhan tahun tiada insan persilatan di Kangouw yang menggunakan senjata Cu-bo-le-hun-thoh lagi."

   "Tidak salah,"

   Auyang Bun-tiong menjawab.

   "Konon senjata jenis ini banyak menyembunyikan tipu-tipu aneh luar biasa, jauh berbeda dengan senjata lemas jenis lain."

   "Betul."

   "Sebab jenis senjata ini tidak panjang, tidak pendek, tidak lemas juga tidak keras, untuk latihan saja perlu waktu lima belas tahun, setelah itu baru boleh dikata mahir memainkan senjata ini."

   "Betul."

   "Maka kaum persilatan yang mau memakai senjata jenis ini bisa dihitung dengan jari. Bila dia mahir menggunakan senjata ini boleh terhitung jago kosen."

   Auyang Bun-tiong menyeringai.

   "Pengetahuanmu ternyata tidak cetek."

   "Thi-ping-yan-yen-kuai panjang pendek, termasuk senjata yang sukar dipelajari, di tengah permainan senjata ini masih bisa diselingi hamburan senjata rahasia. Konon Thay-ou-sam-kiat yang terkenal itu dulu juga mampus oleh sepasang senjata ini."

   "Memangnya hanya Thay-ou-sam-kiat saja lawan yang mati di bawah Thi-ping-yan-yen-kuai,"

   Jengek Auyang Bun-tiong.

   "Kalian lahir dari keluarga ternama, senjata yang digunakan juga jarang serta ahli, aku yakin kepandaian kalian berdua tentu terhitung kelas wahid."

   "Rasanya cukup berbobot."

   "Baik sekali,"

   Kata Siau Cap-it Long, perlahan ia bangkit serta menghampiri mereka, senyum tetap menghias wajahnya.

   "Sekarang silakan kalian turun tangan bersama, bila kalian bisa melawan tiga jurus seranganku, aku akan ...."

   "Kau mau apa?"

   Desak Auyang Bun-tiong.

   "Aku akan mengorek bola mataku sendiri untuk kalian."

   "Bagus,"

   Auyang Bun-tiong bergelak tertawa.

   "gagah betul Siau Cap-it Long."

   Siau Cap-it Long menegaskan.

   "Baik buruk nama Siau Cap-it Long, apa yang diucapkan, belum pernah menjilat ludah sendiri."

   "Kalau hanya tiga jurus kami bersaudara tidak mampu melayanimu, selanjutnya kami malu bertemu orang. Apa susahnya membikin buta mata sendiri, beres bukan?"

   "Kalau demikian, apa pula yang kalian tunggu?"

   Tantang Siau Cap-it Long.

   "Betul kami hanya melayani tiga jurus seranganmu?"

   "Betul, tiga jurus...."

   Selama ini belum pernah ada orang yang mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap hanya dalam tiga jurus.

   Yang pasti Auyang-hengte jago yang tidak mudah dilayani.

   Kini Hong Si-nio yakin bahwa Siau Cap-it Long betul-betul sudah berubah, lebih pantas kalau dikata mirip si gila yang takabur.

   Hadirin di loteng semburat ke pinggir.

   Bukan didorong ke pinggir, tapi didesak semacam hawa membunuh yang tak terlihat, tiada orang rela menjadi korban sambaran senjata nyasar, namun keinginan menonton pertempuran hebat membatalkan niat mereka untuk berlari turun ke bawah.

   Apa betul Siau Cap-it Long mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap yang menggetarkan dunia persilatan? Siapa saja asal tidak buta, pasti ingin menyaksikan pertempuran hebat ini.

   Auyang-hengte pelan-pelan membalikkan badan, membuka buntalan mereka.

   Tiap gerak tangan mereka pelan dan penuh perhitungan, jelas menggunakan waktu yang pendek ini untuk berusaha menenangkan pikiran, meneguhkan hati, mempertimbangkan jurus dan tipu apa untuk melayani serangan musuh, kini mereka sadar lahir batin, sudah memperoleh ketenangan.

   Duel tokoh kosen yang diutamakan hanya ketenangan, sekali gugup dan teledor, kematian akibatnya.

   Memang tidak malu dua bersaudara ini memperoleh julukan jago kosen yang sudah ratusan kali bertempur tak pernah kalah.

   Angin berhembus lewat jendela, semilir angin berubah dingin.

   "Tring, ting, ting", di tengah gemerincing bunyi besi beradu, Auyang Bun-tiong menggentak tangan, bunyi nyaring beradunya dua senjata cukup menciutkan nyali orang.

   "Membunuh orang dengan senjata jenis ini kelihatannya jauh lebih mudah."

   "Memang tidak sukar."

   "Kalau hari ini kalian mampu melawan tiga jurus seranganku, bukan hanya menggetarkan dunia, dua keuntungan sekaligus diraih, rasanya tidak akan ada kesukaran."

   Auyang Bun-tiong hanya menyeringai dingin. Siau Cap-it Long berkata pula.

   "Cuma tiada persoalan semudah dan segampang itu di dunia ini. Bahwa aku berani menantang engkau, jelas aku yakin mampu mengatasimu."

   "Kalau dengan obrolanmu kau bermaksud mengganggu ketenangan kami, apa tidak salah?"

   "Aku hanya ingin memperingatkan satu hal padamu,"

   Enteng suara Siau Cap-it Long.

   "Satu hal apa?"

   "Kuharap kalian tidak lupa golok apa yang kupakai."

   "Keh-lo-to?"

   Terangkat alis dua bersaudara ini.

   "Betul, Keh-lo-to."

   Mengawasi golok di pinggang orang, sikap angkuh dua bersaudara ini tampak menurun tiga bagian.

   "Kuyakin kalian tahu golokku ini amat tajam, besi bisa diiris seperti tahu. Biarpun Thi-ping-yan-yen-kuai enam puluh tiga kati beratnya, sekali tabas pasti putus."

   Otot hijau tampak menonjol pada kedua lengan Auyang Bun-pek yang menggenggam senjata panjang pendek itu, ujung matanya juga kelihatan kedutan.

   Hati yang mulai tenang kembali bergolak, perasaan berubah gundah.

   Seperti tidak memperhatikan perubahan sikap mereka, Siau Cap-it Long berkata lebih lanjut.

   "Maka kuanjurkan supaya tidak menangkis golokku dengan senjata kalian."

   Jari-jarinya sudah menggenggam gagang golok, apakah goloknya sudah akan dicabut? Mendadak Auyang-hengte menggeser kedudukan, tubuh mereka bergerak melintang, hanya dalam sekilas gerak mereka sambil mengucap dua patah kalimat.

   "Hanya bertahan tanpa menyerang. Bergerak mundur untuk maju."

   Lahir batin dua bersaudara ini terjalin rapat, gerak mereka juga serasi dan berpadu.

   Melawan musuh bersama jelas bukan hanya sekali saja.

   Asal dapat menghindar tiga jurus, berarti sudah menang.

   Biar golokmu tajam luar biasa, bila tidak menangkis golokmu, memangnya tiga jurus saja tidak mampu menghindar atau menyingkir? Begitu mengembangkan gerak tubuh, mereka bersiaga dalam jarak tujuh langkah di sekeliling Siau Cap-it Long.

   Kalau tangan diulur panjang golok paling enam kaki, kalau ingin merobohkan mereka, Siau Cap-it Long harus bergerak menyerang.

   Begitu golok bergerak berarti sudah satu jurus serangan dilancarkan.

   Mengawasi aksi dua bersaudara ini, Siau Cap-it Long tertawa.

   Auyang-hengte tidak melihat senyum di wajahnya, mata mereka hanya memperhatikan tangan yang memegang golok.

   Perlahan-lahan Siau Cap-it Long menghunus goloknya, gerakannya amat lamban, goloknya memancarkan kemilau hijau, tiada gemerlap cahaya yang menyilaukan.

   Tapi begitu golok itu terlolos, seolah-olah memancarkan hawa membunuh yang tidak terlihat, tapi terasa mendesak pernapasan.

   Auyang-hengte saling tukar pandang, mereka terus berputar mengelilingi gelanggang.

   Pelan-pelan Siau Cap-it Long mulai mengayun golok, lambat-lambat....

   Pandangan Auyang-hengte ikut beralih mengikuti gerak golok, dengan sendirinya gerak langkah mereka ikut menjadi lambat.

   Golok sudah gerak, satu gerakan berarti satu jurus, jadi masih ada sisa dua jurus.

   Seperti sedang menikmati keindahan golok sendiri, Siau Cap-it Long berkata lirih.

   "Inilah jurus pertama."

   Gerak jurus demikian jelas dan pasti takkan bisa melukai lawan.

   Padahal hanya tiga jurus, berarti satu jurus disia-siakan.

   Apa betul orang ini sudah gila? Sekonyong-konyong cahaya golok yang kemilau hijau itu melambung ke atas, bagai kilat menyambar ke arah Auyang Bun-pek.

   Serangan golok ini hebat bagai geledek, perbawanya seperti tak tertahankan, jelas berbeda dengan jurus pertama tadi.

   Air muka Auyang Bun-pek seperti mengkeret disinari cahaya golok.

   Tongkat besi di tangan memang berat, namun ia tidak berani menangkis, terpaksa ia berkelit.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Auyang Bun-tiong kuatir sang kakak terancam jiwanya, melihat pertahanan bagian belakang Siau Cap-it Long terbuka, sepasang senjata panjang pendek langsung menggebuk ke punggung lawan.

   Di luar tahunya gerak golok Siau Cap-it Long hanya gertak sambal belaka, ia sudah memperhitungkan bakal mengundang serangan dari belakang, mendadak pinggang menggeliat, dengan sigap tangan kiri bergerak menangkap Cu-bo-le-hun-thoh, lalu ditarik serta didorong ke depan.

   Betapa kuat tenaga betotan dan dorongan itu, sungguh amat mengejutkan.

   Terasa oleh Auyang Bun-tiong telapak tangannya pecah.

   Pergelangan tangan juga terkilir, Cu-bo-le-hunthoh terlepas, tubuhnya ikut menyeruduk ke depan menumbuk sikut Siau Cap-it Long.

   Seperti dipalu godam rasanya, mendadak pandangan menjadi gelap, darah segar menyembur dari mulutnya.

   Tidak berhenti sampai di situ, senjata rampasan di tangan Siau Cap-it Long, dengan menggunakan tenaga serudukan lawan, ia lempar ke belakang.

   Kebetulan gerak langkah Auyang Bun-pek persis ke arah sini, yang diperhatikan hanya menghindari golok di tangan kanan lawan, mimpi pun tak menduga tangan lawan sudah memegang senjata rampasan.

   "Tring", dimana kilat menyambar disusul hamburan darah segar menyemprot ke mukanya. Menyusul Cu-bo-ie-hun-thoh juga menghantam dada. Bentrok Para Pendekar 05 Karya Gu Long - Gan K.H. Bagian 5 Tadi pandangan matanya sudah teraling oleh hamburan darah segar, jadi tidak melihat datangnya senjata berat adiknya yang menyerang dada, tapi telinganya sempat mendengar tulang dadanya yang patah. Yang menutup pandangan mata adalah darah sang adik, yang menghajar dadanya juga adalah gaman adiknya pula. Hanya tiga jurus, Siau Gap-it Long hanya menyerang tiga jurus. Semua penonton membuka mata lebar-lebar, menahan napas, dengan rasa terkejut mengawasi Auyanghengte roboh di tanah. Waktu mereka berpaling lagi, Siau Cap-it Long sudah duduk kembali di tempatnya, golok juga sudah kembali ke sarungnya. Dengan rasa bangga dan angkuh Pin-pin mengawasinya dengan bola matanya nan indah.

   "Kulihat hanya satu jurus kau merobohkan mereka."

   "Tiga jurus aku kalahkan mereka."

   "Jurus pertama juga masuk hitungan?"

   "Harus dihitung, tiap jurus harus dihitung."

   Dengan tertawa ia menjelaskan.

   "Jurus pertama untuk menarik perhatian, supaya seluruh perhatian ditujukan kepada golokku ini, dengan sendirinya gerakan mereka ikut mengendor."

   "Lalu jurus kedua?"

   "Jurus kedua untuk memaksa mereka bergerak menyatu, dengan dipaksa demikian, mereka tidak pernah membayangkan dan takkan menduga sodokan tangan kiriku."

   "Jurus ketiga itulah serangan telak yang fatal akibatnya."

   "Mereka masih hidup karena aku tidak ingin merenggut jiwa mereka."

   "Jadi tiga jurus semua berguna, ucapanmu tadi pun patut diperhatikan."

   "Tapi omongan orang tak mungkin merobohkan orang, juga bukan jurus yang bisa melukai lawan."

   "Maka kau hanya menggunakan tiga jurus?"

   Siau Cap-it Long memanggut.

   "Ya, hanya tiga jurus."

   "Sekarang mereka sudah kalah."

   Sementara itu Auyang-hengte sedang merangkak berdiri dengan susah payah. Noda darah di muka Bun-pek belum kering, sementara muka Bun-tiong pucat pasi. Mendadak Pin-pin berpaling mengawasi mereka.

   "Kalau kalian bersaudara tak mampu melawan tiga jurusnya, selanjutnya malu bertemu orang, biarlah kami korek saja biji mata itu, kalah ya kalah secara jantan,"

   Jengek Pin-pin.

   "Masih ingat siapa yang bilang?"

   Auyang Bun-pek mengertak gigi manggut-manggut.

   "Sekarang kalian mengaku kalah?"

   Desak Pin-pin. Auyang Bun-pek tidak bisa menyangkal.

   "Mengaku kalah, apa pula yang kalian tunggu?"

   Tiba-tiba Auyang Bun-pek menengadah sambil tertawa sedih, suaranya beringas.

   "Anggaplah kami bersaudara belajar silat tidak tamat, tapi kami bukan orang yang sudi menjilat ludah sendiri."

   "Bagus, aku percaya kalian bukan orang yang tidak bisa dipercaya."

   Sambil mengertak gigi, Auyang Bun-pek mengulur dua jari tangannya, bagai cakar elang saja mendadak mengorek biji mata sendiri, tapi lelaki mana pun kalau harus membikin buta mata sendiri, tangan akan menjadi lemas.

   Dari samping Auyang Bun-tiong berkata lantang.

   "Begini saja, kau mengorek mataku, aku mengorek matamu!"

   Dua saudara kakak beradik ini siap saling membutakan mata mereka, yang tidak tega sudah berpaling muka, di ujung loteng sana seorang malah membungkuk badan muntah-muntah.

   Tanpa bergeming Siau Cap-it Long tetap duduk di kursinya, sikapnya tidak berubah.

   Mendadak seorang berteriak keras.

   "Kalau kau ingin mereka mengorek matanya, harus kau korek dulu mataku!"

   VI.

   CINTA ADALAH PERSEMBAHAN Suaranya gemetar, nadanya sedih dan gusar, didengar telinga masih terasa merdu bagai hembusan angin sepoi musim semi.

   Berubah air muka Siau Cap-it Long, detak jantung hampir berhenti, darah sekujur badan juga seperti membeku.

   Ia mengenal suara itu, sampai mati takkan dilupakan suara itu.

   Sim Bik-kun! Itulah suara Sim Bikkun.

   Sim Bik-kun yang tak mungkin terlupakan oleh Siau Cap-it Long, umpama mati seribu kali, selaksa kali sekalipun takkan pernah dilupakan.

   Dia tidak melihat Sim Bik-kun, tadi di pojok sana seorang perempuan bercadar hitam tampak gemetar sekujur tubuhnya.

   Apakah dia Sim Bik-kun, wanita pujaan yang ia rindukan, mimpi juga selalu bertemu, selama hidup takkan dilupakan.

   Darah sekujur badan yang hampir membeku mandadak bergolak, jantungnya seperti hampir melonjak keluar.

   Tapi ia tidak menghampiri, dia takut kecewa, putus harapan, sudah sering kali putus harapan.

   Bola mata Pin-pin yang jeli juga sedang mengawasi perempuan bercadar hitam di sana, katanya dengan nada dingin.

   "Jadi kau tidak ingin mengorek bola mata mereka? Pernah apa engkau dengan mereka?"

   "Bukan sanak bukan kadang,"

   Kata Sim Bik-kun.

   "tapi aku rela mati, peristiwa ini akan kutentang."

   "Kalau tiada hubungan apa-apa, kenapa kau harus pakai cadar, malu dilihat orang?"

   "Sudah tentu aku punya alasan sendiri."

   Siau Cap-it Long tetap duduk tak bergeming.

   Mungkin dia sudah melupakan semuanya.

   Hancur luluh hati Sim Bik-kun, raga ini seperti hancur lebur, berkeping-keping.

   Tapi ia masih berusaha mengendalikan diri, memang dia adalah wanita kelahiran keluarga yang selalu menegakkan aturan dan tata krama.

   "Kau tidak ingin menjelaskan alasanmu padaku?"

   "Tidak!"

   Sahut Sim Bik-kun. Pin-pin tertawa lebar.

   "Aku justru ingin melihatmu!"

   Perlahan ia berdiri kemudian menghampiri dan berkata dengan senyum manis.

   "Kuduga kau juga seorang wanita cantik, sebab suaramu begitu merdu."

   Senyum tawa Pin-pin memang begitu manis menggiurkan, begitu cantik rupawan, terhitung nona cantik yang tiada bandingan di seluruh negeri.

   Memang setimpal menjadi pasangan Siau Cap-it Long.

   Tapi kenapa hati dan pikirannya begitu jahat dan kejam? Kenapa Siau Cap-it Long justru mau mendengar dan patuh padanya? Gadis ini menghampiri, kenapa Siau Cap-it Long tetap duduk di tempat? Memangnya kecuali gadis yang satu ini, tiada wanita lain lagi dalam hatinya? Perasaan Sim Bik-kun seperti ditusuk-tusuk jarum, hatinya hancur berkeping, seperti tertusuk-tusuk jarum.

   Pin-pin sudah berada di depannya, tawanya begitu manis, suaranya juga lembut.

   "Boleh kau singkap cadarmu supaya aku bisa melihat wajahmu?"

   "Ternyata dia tidak mengenal suaraku lagi, kenapa kubiarkan dia melihat aku?"

   Demikian batin Sim Bik-kun.

   "Kalau di hatinya sudah tiada diriku, buat apa kita bertemu lagi?"

   "Masa kulihat sekilas saja tidak boleh?"

   Tanya Pin-pin sedikit memaksa.

   "Tidak boleh!"

   Pendek tegas jawaban Sim Bik-kun.

   "Kenapa?"

   "Tidak ya tidak,"

   Hampir Sim Bik-kun tak kuasa mengendalikan diri. Pin-pin menghela napas.

   "Kau tidak mau menanggalkan cadarmu sendiri, biar kubantu kau menyingkapnya."

   Benar-benar ia mengulur tangan. Tangan yang indah, seindah batu pualam. Sim Bik-kun mengawasi tangan itu terulur ke mukanya, hampir tak tahan hendak turun tangan.

   "Jangan, jangan aku bertindak kasar,"

   Demikian batinnya.

   "jangan aku melukai perempuan pujaan hatinya. Selama ini dia sudah banyak berkorban bagiku, besar kasih sayangnya selama ini, kenapa aku harus membuatnya sedih?"

   Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam tangan, terasa kuku jari sudah menusuk kulit daging. Tangan Pin-pin sudah menyentuh cadar di mukanya, mendadak ia urungkan niatnya.

   "Sebetulnya tak perlu aku melihat wajahmu, dapat aku bayangkan bagaimana tampangmu."

   "Kau tahu?"

   "Entah berapa kali seorang bercerita padaku tentang bentuk rupamu."

   "Siapa yang bilang padamu?"

   "Tentu kau tahu siapa yang kumaksud."

   "Kau ... kau juga tahu siapa aku?"

   "Siapa lagi kalau bukan Sim Bik-kun, wanita tercantik dalam kalangan persilatan."

   Seperti teriris hati Sim Bik-kun. Kenapa dia membicarakan diriku dengan cewek ini? Memangnya mau pamer, supaya orang tahu, dulu ada seorang wanita yang begitu mencintainya? Genggaman tangan Sim Bik-kun makin kencang, tak tahan ia bertanya.

   "Darimana kau tahu siapa diriku?"

   "Kalau kau bukan Sim Bik-kun, mana mungkin dia berubah seperti itu."

   Sambil bicara tangannya menuding ke belakang, menuding Siau Cap-it Long. Perlahan Siau Cap-it Long mendatangi, dengan tajam ia mengawasi cadar muka Sim Bik-kun. Tatapannya lurus seperti orang pikun. Mendadak Sim Bik-kun berkata keras.

   "Kau salah, aku bukan Sim Bik-kun."

   "Kau bukan?"

   "Siapa kenal Sim Bik-kun? Perempuan dogol, perempuan bodoh itu?"

   Berkedip mata Pin-pin, dengan tertawa lebar ia berkata.

   "Apa perlu aku menyingkap cadar mukamu?"

   Kembali ia mengulur tangan hendak menyingkap cadar Sim Bik-kun.

   Kini semua hadirin benar-benar mengharap dia betul-betul menyingkap cadar itu, siapa tidak ingin melihat betapa cantik perempuan nomor satu di Bu-lim.

   Tak disangka Pin-pin kembali mengurungkan niatnya, ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long.

   "Kurasa lebih baik kau saja yang menanggalkan cadarnya, yakin kau ingin sekali melihatnya?"

   Dengan kaku Siau Cap-it Long mengangguk, tentu ia ingin melihatnya, mimpi pun ia selalu berharap dapat melihat, apalagi bertemu. Tangan pun diulur.

   "Singkirkan tanganmu!"

   Mendadak Sim Bik-kun berteriak. Siau Cap-it Long tergagap linglung.

   "Kau ... kau ...."

   "Berani menyentuhku, biar aku mati di hadapanmu."

   "Kau ...."

   Siau Cap-it Long lebih kaget.

   "kau tidak mengenalku lagi?"

   Makin hancur hati Sim Bik-kun.

   Aku tidak mengenalmu? Demi kau, aku meninggalkan segalanya, mengorbankan nama baik, kekayaan, keluarga dan semua yang kumiliki.

   Demi kau, aku menderita dan sengsara, entah berapa kali dicemooh, dinista, dipermalukan.

   Sekarang kau tega mengatakan aku tidak mengenalmu? Dengan keras ia menggigit bibir, terasa anyir darah merembes ke tenggorokan, dengan mengerahkan seluruh tenaga ia berteriak.

   "Aku tidak mengenalmu, bahwasanya aku tak pernah mengenalmu."

   Siau Cap-it Long mundur sempoyongan, seperti mendadak dadanya ditendang orang. Benarkah Sim Bik-kun berubah? Hoa Ji-giok berdiri diam menonton, mendadak Sim Bik-kun memeluk lengannya.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayo kita pergi!"

   Jadi pria ini yang membuatnya berubah? Pria ini masih muda, cakap ganteng malah, penurut lagi, sejak tadi ia berdiri mematung di belakang.

   Tak heran dua tahun sudah aku mencarinya dan tidak pernah ketemu, ternyata ia sudah tidak mau bertemu denganku.

   Hati Siau Cap-it Long juga luluh.

   Mereka sama-sama diracun kesan jahat, curiga dan cemburu.

   Jari-jari Siau Cap-it Long mengepal kencang, mata melotot mengawasi Hoa Ji-giok.

   Tanpa melirik sekali pun Sim Bik-kun bertanya pada Hoa Ji-giok.

   "Kenapa tidak segera kita pergi?"

   Perlahan Hoa Ji-giok menganggukkan kepala, dari belakang maju dua orang memapah Hong Si-nio.

   Air mata Hong Si-nio terus mengalir, dengan mata berkaca-kaca ia mengawasi Siau Cap-it Long.

   Ia harap Siau Cap-it Long bisa mengenali dirinya, bisa menjelaskan kepadanya bahwa semua kejadian itu hanya salah paham, salah pengertian.

   Tapi melirik pun Siau Cap-it Long tidak memperhatikan dirinya, sebab mimpi pun tak pernah ia duga, perempuan yang digotong-gotong ini adalah Hong Si-nio, teman lama yang kini tertutuk bungkam tak mampu berbuat apa-apa.

   Siau Cap-it Long hanya terlongong mengawasi luar jendela, seperti tidak melihat sinar bintang, juga tidak melihat cahaya lilin, hanya kegelapan terbentang di depan matanya.

   Kalau bisa, ingin rasanya Hong Si-nio meratap, menangis tergerung-gerung, air mata membasahi hampir seluruh cadar penutup mukanya.

   Pin-pin justru sempat memperhatikan cadar yang basah oleh air mata itu, serunya "Kau juga menangis? Kenapa kau menangis?"

   Demi Siau Cap-it Long, memangnya aku tidak sengsara? Tidak menderita? Pengorbananku mungkin adalah yang terbesar.

   Gadis cilik ini malah bilang aku menangis bagi orang lain.

   Ingin Hong Si-nio berontak dan berteriak histeris, sayang hanya kelopak matanya saja yang bisa bergerak, sekujur badan kaku lemas tak bisa bergerak.

   Dua orang yang memapah dirinya mempercepat langkah.

   Pin-pin hendak maju merintangi, sekilas dia ragu, lalu membiarkan mereka berlalu.

   Hong Si-nio maklum akan kondisi Siau Cap-it Long saat itu, ia tidak ingin memperpanjang urusan.

   Maka tanpa daya Hong Si-nio dibawa pergi lewat di depan Siau Cap-it Long.

   Perlahan rombongan ini turun dari loteng, naik kereta.

   Kereta bergerak cepat sekali, meninggalkan kepulan debu di belakang.

   Mendadak Siau Cap-it Long berseru.

   "Bawakan arak dua puluh kati, arak yang paling bagus!"

   Pasti arak yang paling bagus. Arak paling bagus umumnya malah tidak bisa membuat orang mudah mabuk? Pin-pin mengawasinya, katanya lembut.

   "Mungkin orang itu bukan Sim Bik-kun."

   Setelah menenggak beberapa cawan arak, Siau Cap-it Long tergelak-gelak.

   "Tak usah kau membujukku, aku tidak sedih."

   "Betulkah?"

   "Aku hanya ingin minum sepuas-puasnya, sudah lama aku tidak mabuk."

   "Tapi Auyang-hengte diam-diam sudah ngacir."

   "Aku tahu."

   "Mungkin mereka akan balik kembali."

   "Kau kuatir mereka datang membawa bantuan?"

   "Aku sih tidak takut, Siau Cap-it Long yang mabuk, cukup mampu mengatasi Auyang-hengte dan kamratkamratnya."

   "Omongan bagus, harus dihukum tiga cawan."

   Tiga cawan besar arak ditenggaknya habis. Pin-pin ikut mencicipi seteguk, katanya kemudian.

   "Aku sedang heran, siapakah perempuan lain yang ditutup cadar mukanya itu? Kenapa cadarnya basah oleh air mata?"

   "Apa kau melihat dia menangis?"

   "Dari cadar penutup mukanya yang basah, membuktikan kalau dia menangis."

   "Mungkin dia sakit, seorang kalau diserang demam bisa saja menangis, apalagi seorang perempuan."

   "Tapi aku tahu dia tidak sakit."

   "Jalan saja tidak bisa, kau masih bilang dia tidak sakit?"

   "Benar tidak bisa jalan, tapi bukan lantaran sakit."

   "Orang yang sakit keras, kaki tangan bisa lumpuh, jadi tak bisa jalan, tapi tulang-tulang orang itu bisa ditekuk, sekujur badan justru kelihatan kaku."

   "Ternyata kau lebih teliti dari aku."

   "Jangan lupa, aku ini kan gadis jenius,"

   Ujar Pin-pin dengan tawa mekar. Waktu memandang rona mata Siau Cap-it Long, seperti membayangkan rasa kuatir dan kasihan. Syukur Pin-pin tak memperhatikan sikapnya, katanya lebih jauh.

   "Maka kuyakin dia tidak sakit."

   "Maksudmu dia ditutuk jalan darahnya?"

   "Mungkin sekali."

   "Menurutmu karena apa dia melelehkan air mata?"

   "Mungkin karena persoalan kalian, karena Sim Bik-kun."

   "Siapa sudi melelehkan air mata lantaran urusan kami? Untuk bersyukur saja mending bagiku, umpama aku mati di jalan, takkan ada orang melelehkan air mata bagiku."

   "Paling tidak aku ...."

   Sebetulnya Pin-pin mau bilang "aku akan menangis".

   Entah karena apa ia beralih ke persoalan lain, bola mata nan indah menampilkan makna kesedihan.

   Memang hatinya rawan karena merasakan nasibnya yang jelek? "Tapi dia meneteskan air mata, maka aku berkesimpulan, bukan saja dia kenal kalian, juga prihatin akan nasib Sim Bik-kun."

   "Mungkin karena persoalan lain."

   "Tadi di sini tiada persoalan lain yang bisa menimbulkan rasa sedih hingga orang mencucurkan air mata."

   "Dari kesimpulanmu itu, kau berpendapat bahwa dia adalah teman Sim Bik-kun?"

   "Pasti begitu."

   Bola mata Siau Cap-it Long berbinar.

   "Kalau dia ditutuk jalan darahnya, bukan mustahil Sim Bik-kun juga diancam orang itu."

   "Maka sikapnya berubah drastis terhadapmu."

   Memerah selebar muka Siau Cap-it Long, mulutnya menggumam.

   "Mungkin bukan maksudnya menampilkan sikap sekasar itu kepadaku, kenapa tadi tidak kupikir hal ini?"

   "Karena dalam hatimu ada seekor ular jahat?"

   "Ular jahat?"

   "Curiga dan cemburu adalah ular jahat itu,"

   Ujar Pin-pin sendu.

   "dari sini dapat disimpulkan, engkau masih belum bisa melupakan dia, kalau tidak, kenapa kau mencurigainya, kenapa kau cemburu terhadap lelaki tadi?"

   Siau Cap-it Long diam saja, tidak bisa menyangkal.

   "Bahwa kau tidak bisa melupakan dia, kenapa tidak kau cari dia saja? Jika sekarang kau menyusulnya, mungkin masih bisa tersusul!"

   Siau Cap-it Long sudah berjingkrak berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali, tawanya kecut.

   "Bagaimana aku harus mencarinya?"

   Dalam kondisi seperti sekarang, ia tak punya akal lagi.

   "Mereka tadi naik kereta."

   "Kereta yang bagaimana?"

   "Kereta hitam yang masih baru, kuda penarik kereta juga berbulu hitam legam, pemilik kereta pasti seorang yang punya kedudukan, kaya dan berpengaruh. Kereta seperti itu yakin tidak sukar mencarinya."

   Siau Cap-it Long segera berdiri.

   "Tapi kusarankan bertanya dulu pada Siau-song kusir kereta kita!"

   "Kenapa?"

   "Sesama kusir kereta pasti gampang bergaul, waktu menunggu sang majikan di luar, mereka tentu banyak mengobrol, mungkin yang diketahui Siau-song bisa lebih banyak dan komplit."

   Gadis ini memang teliti lagi pintar. Gadis secerdik ini, pantas kalau orang merasa bangga baginya. Tapi tiap kali mengawasi nona jelita ini, kenapa sikap Siau Cap-it Long kelihatan seperti amat sayang dan sedih? * * * * * Siau-song bercerita.

   "Kusir kereta itu orang aneh, waktu kuajak mengobrol, dia selalu bersungut, disapa diam saja diajak bicara tak menjawab, seperti hutang tiga ratus tahil perak pada bapaknya."

   Itulah penjelasan Siau-song tentang kusir kereta yang dinaiki Hoa Ji-giok. Apa yang dijelaskan tak lebih banyak dari yang diketahui Pin-pin. Siau Cap-it Long terlihat rada kecewa, mendadak Siau-song menambahkan.

   "Selama tiga hari ini, pagi-pagi mereka sudah datang ke sini, malam baru pulang, seperti menunggu seseorang."

   "Beruntun tiga hari mereka datang?"

   "Ya, pelayan restoran menceritakan padaku."

   "Kondisi mereka sudah menarik perhatian orang, beruntun datang tiga hari. Pemilik retoran mungkin tahu asal-usul mereka."

   VII. TRAGEDI BOK-TAN-LAU Pemilik Bok-tan-lau she Lu. Lu-ciangkui bertutur.

   "Dua nona bercadar hitam itu memang tiga hari beruntun telah datang, minta hidangan semeja penuh, tapi tiada yang mau makan, setelah restoran kami nyatakan mau tutup mereka baru pulang."

   "Uang yang mereka bayarkan cukup banyak, maka semua pelayanku senang melayani mereka."

   "Yang bayar rekening siapa?"

   Tanya Pin-pin.

   "Lelaki muda yang ikut datang itu,"

   Sahut Lu-ciangkui.

   "Kau tahu selama tiga malam ini mereka bermalam dimana?"

   "Konon mereka menyewa villa di hotel Lian-hun, malah sudah bayar tunai untuk sepuluh malam"

   "Keteranganmu dapat dipercaya?"

   "Pasti dapat dipercaya, pemilik hotel Lian-hun adalah kakak isteriku."

   Pemilik hotel Lian-hun she Gu. Gu-ciangkui bertutur.

   "Dua nona yang mengenakan cadar itu memang aneh, siang hari terus berada di kamar, makan minum harus diantar ke kamar. Begitu magrib sudah siap-siap berangkat ke Bok-tan-lau. Tiga hari berada di sini, orang-orang yang berada di sini tiada seorang pun pernah mendengar mereka bicara."

   "Mereka menempati kamar yang mana?"

   "Di pojok timur sana, villa itu khusus untuk tamu-tamu kelas tinggi, seluruh komplek villa itu disewa semuanya."

   "Malam ini mereka sudah pulang?"

   "Baru saja tiba,"

   Ujar Gu-ciangkui sambil menggeleng kepala.

   "seharian mereka berada di Bok-tan-lau, restauran besar, tentu makan minum serba kenyang. Begitu tiba di kamar kembali pesan satu meja penuh hidangan dan arak."

   "Hidangan semeja yang dipesan itu mungkin diperuntukkan bagi kita,"

   Ujar Pin-pin tertawa riang.

   "Mereka tahu kalian akan datang?"

   "Tidak tahu."

   Gu-ciangkui mengawasinya dengan pandangan kaget, seperti mendadak merasa tamu-tamu yang datang dan menginap di hotelnya adalah orang-orang aneh misterius.

   Dalam kamar terang benderang, meja bundar dilembari taplak meja serba merah darah, dipenuhi hidangan dan botol arak.

   Pemuda ganteng yang tadi di belakang seperti kacung itu, kini sudah berganti pakaian, baju ramping serba baru dan mahal, duduk memandang meja penuh hidangan itu, ia sedang menuang arak, beruntun mengisi tiga cawan, tiba-tiba menoleh ke jendela dan berkata sambil tertawa.

   "Kalian sudah datang, kenapa tidak silakan masuk untuk minum dan makan bersama?"

   Siau Cap-it Long memang berada di luar jendela.

   "Ada yang mentraktir minum arak, tidak pernah aku menolaknya."

   Jendela tidak dipalang, tiga kursi masih kosong.

   "Silakan duduk!"

   Sambut Hoa Ji-giok membungkuk badan. Dengan tajam Siau Cap-it Long mengawasi muka orang.

   "Nona Sim datang ikut kau, apa kau tidak pernah mengundangnya untuk makan bersama?"

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tidak mempersiapkan kursi untuk mereka, sebab mereka kini sudah tiada di sini."

   Berubah muka Siau Cap-it Long. Biasanya tidak semudah itu air mukanya berubah, tapi mukanya kini tampak menakutkan.

   "Apa mereka sudah pergi?"

   "Ya, baru saja berangkat."

   "Kau biarkan mereka pergi?"

   Hoa Ji-giok tertawa ewa.

   "Cayhe bukan berandal, bukan polisi, mereka mau pergi, mana bisa aku menahan mereka."

   Siau Cap-it Long menyeringai dingin. Hoa Ji-giok berkata.

   "Agaknya Siau-tayhiap tidak percaya?"

   "Agaknya kau memang bukan berandal, tapi menilai orang bukan dari mukanya, kukira kau paham akan hal ini?"

   "Berdasar apa Cayhe harus berbohong pada Siau-tayhiap?"

   "Karena kau tidak senang aku bertemu mereka."

   "Kalau aku tidak senang Siau-tayhiap bertemu mereka, kenapa aku kembali ke hotel ini lagi? Buat apa kupesan hidangan sebanyak ini untuk menyambut kehadiran Siau-tayhiap?"

   Mulut Siau Cap-it Long terkunci.

   "Sengaja Cayhe menunggu di sini, maksudku akan kujelaskan salah paham tadi."

   "Apa ada salah paham?"

   "Belakang ini nona Sim selalu dikawal oleh Ing dan Liu ber-dua cianpwe."

   Terangkat kepala Siau Cap-it Long.

   "Ang-ing-lok-liu?"

   Hoa Ji-giok memanggut.

   "Kalau Siau-tayhiap tidak percaya, kapan saja silakan tanya mereka, kedua Cianpwe itu pasti tidak berbohong!"

   "Lalu kenapa bisa ikut engkau ke tempat ini?"

   Tanya Siau Cap-it Long. Hoa Ji-giok bimbang, seperti serba salah untuk menjelaskan.

   "Kau tidak mau menjelaskan?"

   Desak Siau Cap-it Long.

   "Bukan Cayhe tidak mau menjelaskan, hanya saja ...."

   "Hanya saja apa?"

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:44:42

Duri Bunga Ju -- Gu Long Lembah Nirmala -- Khu Lung Neraka Hitam -- Khu Lung

Cari Blog Ini