Ceritasilat Novel Online

Bentrok Para Pendekar 8


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 8



Bentrok Para Pendekar Karya dari Gu Long

   

   Tapi biar mampus ia tidak membiarkan Hu It-gwan melarikan diri.

   Karena tulang pundak hancur, dua tangannya lumpuh, tapi ia masih punya mulut, giginya masih mampu bekerja.

   Baru saja Hu It-gwan menerobos lewat jendela, mendadak ia rasakan tungkai kakinya kesakitan.

   Ternyata si baju hijau menggigit kakinya, mirip hewan kelaparan yang menggigit mangsanya, begitu tergigit, mati pun takkan dilepaskan.

   Kembali berkumandang lolong kesakitan yang keras, yang menjerit kesakitan kali ini adalah Hu It-gwan.

   Tubuhnya terbanting ke dalam jendela, dengan gerakan Le-hi-ta-ting (ikan lele meletik), ia masih berusaha melompat keluar melarikan diri.

   Tapi kepala si baju hijau mendadak menyeruduk bagian tengah antara dua pahanya.

   Hu It-gwan menjengking sambil memeluk perut, tubuhnya jungkir balik di lantai, air mata, liur dan hidungnya meleleh, wajahnya berkerut menahan sakit yang luar biasa.

   Kejap lain, yang hadir di kabin mencium bau tidak sedap, ternyata celananya basah.

   Tiap manusia pernah hidup.

   Tiap manusia akhirnya pasti mati.

   Tapi ada sementara orang hidup miskin merana, waktu mati tetap miskin merana, kalau benar demikian.

   itulah yang dinamakan derita yang patut dibuat sedih.

   Si baju hijau rebah telentang di lantai, napasnya memburu, selebar mukanya berlepotan darah, mulut pun menghamburkan darah, darah di tubuhnya bercampur darah musuhnya.

   Mendadak si baju hijau mcngeluarkan suara lirih lemah.

   "Losam ... Losam ...."

   Dia mcmanggil saudaranya.

   Mungkin masih ada orang yang sangsi, siapa dia sebenarnya, setelah mendengar panggilannya.

   orang sudah maklum adanya.

   Ternyata pandangan dan tudingan Sim Bik-kun tidak salah.

   Muka Hou Bu-pe tampak kuyu, katanya setelah menghela napas panjang.

   "Apakah yang telah terjadi?"

   Suara Su Jiu-san amat lirih seperti orang mengigau, terpaksa mereka berjongkok mendekatkan telinga.

   "Lotoa, aku salah,"

   Desahnya.

   "jangan kalian berbuat salah lagi, musuh besarmu bukan Siau Cap-it Long, bukan dia yang harus dibunuh, yang patut mampus adalah ....

   "

   Dengan kencang Hou Bu-pe menggenggam tangannya, Su Jiu-san menggeliat kesakitan, dari mulutnya keluar tiga huruf kata, sayang suaranya teramat lemah, tiada orang bisa mendengar.

   Siapakah orang yang pantas mampus? Siapakah orang pertama si baju hijau? "Dalam peristiwa ini ternyata mereka sudah bersekongkol."

   "Betul."

   "Hu It-gwan sudah tahu bahwa si baju hijau yang pertama sudah menyingkir dan diganti oleh Su Jiu-san, maka dia menghentak dengan Gun-gwan-it-khi-kang untuk melindunginya."

   "Benar."

   "Tapi tanpa sebab tak mungkin mendadak Su Jiu-san lenyap bukan?"

   "Maka mereka sudah mempersiapkan jenazah orang lain, supaya orang berpendapat Su Jiu-san betul sudah mati, mampus di tangan Hong Si-nio."

   Ong Bing mengepal sepasang tinjunya, geram sekali hatinya.

   "Si tua kera itu malah menyuruhku pergi mencari jenazah orang itu."

   "Karena dia menghendaki kau melabrak dan mengadu jiwa dengan aku."

   Wajah geram Ong Bing tampak merah jengah. Hong Si-nio tidak mencari perkara padanya, dengan suara lembut ia berkata.

   "Kalau aku jadi engkau, aku pun akan berpikir demikian. Rencana ini sungguh rumit dan jahat. Kurasa mimpi pun mereka tidak menyangka ada orang dapat memecahkan rahasia mereka."

   Siapakah si baju hijau yang pertama? Kenapa dia menyingkir? Setelah menyingkir kenapa diganti orang lain? Kenapa Su Jiu-san mau menggantikan dia? Sebetulnya apa maksud mereka? Bagaimana asal-usulnya? "Sekarang aku hanya ingin tahu satu hal,"

   Kata Hong Si-nio.

   "Satu hal apa?"

   "Aku hanya tahu mereka pasti orang-orang Thian Cong."

   "Thian Cong itu apa?"

   Ong Bing masih ingin bertanya, Hou Bu-pe mendadak berdiri, katanya perlahan.

   "Urusan itu kalian tidak perlu tahu."

   "Kenapa?"

   "Karena kami harus segera pergi."

   Sorot matanya memandang ke tempat jauh, bukan mcngawasi Siau Capit Long, namun ucapannya ditujukan kepada Siau Cap-it Long.

   "Mungkin kami tidak pantas datang kemari."

   Lalu tangan Ong Bing ditariknya, tanpa menoleh mereka beranjak pergi. Tak lama kemudian terdengar "Byuur, byuur"

   Dua kali, ternyata mereka tidak menunggu kapal datang menyemput mereka.

   "Sebetulnya mereka tidak perlu buru-buru pergi,"

   Kata Siau Cap-it Long.

   "Kenapa?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Yang harus pergi kan hanya mereka berdua, kapal penyeberangan tidak lama lagi pasti datang."

   Sorot matanya memandang ke arah nan jauh, selama ini tidak pernah ia mengawasi Sim Bik-kun. Lalu perkataannya ditujukan pada siapa? Mendelu hati Hong Si-nio, entah demi dia? Atau demi Sim BikKANGZUSI WEBSITE
http.//kangzusi.com

   kun? Atau untuk diri sendiri? Sebelum ia membuka suara, Sim Bik-kun sudah berkata.

   "Malam ini, mungkin tiada perahu penyeberangan lagi."

   Bola mata Hong Si-nio seketika cemerlang, tanyanya.

   "Kenapa?"

   "Karena yang harus pergi sudah pergi, buat apa perahu penyeberangan datang lagi?"

   "Tapi engkau ...."

   Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, katanya.

   "Biar kulihat apakah arak di lantai atas sudah habis, kalau kau tidak berani minum, mumpung ada kesempatan lekaslah kau minggat saja."

   Mengawasi orang naik ke loteng, Hong Si-nio tertawa riang, katanya menggeleng kepala.

   "Aku ini juga perempuan tapi isi hati perempuan, sungguh aku tidak paham."

   Siau Cap-it Long juga tertawa, tertawa getir. Hong Si-nio juga memandang jauh ke depan, tidak melirik padanya.

   "Tapi, syukurlah, aku mulai paham satu hal."

   Siau Cap-it Long diam, sedang mendengarkan. Hong Si-nio mengerling sekilas padanya, suaranya sendu.

   "Sekarang aku sadar, aku mengerti, bagaimana perasaan seorang yang difitnah orang lain."

   Siau Cap-it Long berdiam diri, akhirnya manggut-manggut.

   "Ya, memang tidak enak rasanya ...."

   Jarang orang membiarkan sisa arak dalam cawan, orang juga jarang membiarkan air mata membasahi pipi, begitulah manusia macam mereka.

   Begitu terisi penuh, cawan itu segera akan kosong.

   Bukan mereka benar-benar ingin menikmati minum arak, bagi mereka arak tak lebih hanya sebuah alat, alat yang dapat membuat manusia lupa diri.

   Padahal mereka juga sadar, maklum dalam hati ada sementara persoalan yang tidak mungkin bisa dilupakan selamanya ....

   Kalau sorot mata Hong Si-nio tampak bercahaya, pandangan Sim Bik-kun sebaliknya seperti diliputi kabut tebal.

   Secangkir demi secangkir mereka minum dan minum, mereka tidak mengajak orang lain minum juga tidak banyak bicara.

   Sepanjang pergaulan mereka belakangan ini, tidak pernah terbayang oleh Hong Si-nio bahwa Sim Bik-kun juga bisa dan mampu minum arak sebanyak itu, tidak habis mengerti kenapa dia mau minum arak secara demikian.

   Hong Si-nio maklum, pasti bukan untuk melupakan sesuatu, karena semua peristiwa itu sepanjang hidup takkan bisa dilupakan.

   Lalu untuk apa ia berbuat demikian? Apakah dari relung hati yang paling dalam ingin melimpahkan perasaannya, tapi tak berani melimpahkan di hadapan orang? Bukankah arak dapat menambah keberanian orang.

   Mendadak Hong Si-nio menurunkan cawan araknya.

   "Aku tak mau minum lagi."

   "Kenapa?"

   Tanya Sim Bik-kun mengerut alis.

   "Karena bila aku mabuk, aku tidak bisa mendengar."

   "Tidak mendengar apa?"

   "Tidak mendengar apa yang kau ucapkan."

   "Aku tidak bilang apa-apa, tidak omong apa-apa."

   "Tapi aku tahu banyak omongan yang ingin kau bicarakan, yang pasti cepat atau lambat, sekarang atau besok kau pasti bicara."

   Pantasnya ia tidak omong begitu, tapi air kata-kata banyak masuk perut, tak kuasa ia menahan diri, mulut pun mudah mengoceh sembarangan.

   Sim Bik-kun jelas masih bisa mendengar omongannya, perlahan ia turunkan cawan di meja, wajahnya seperti dilapisi halimun tipis, mendadak ia berkata.

   "Kalian tahu tidak, siapa si baju hijau yang pergi itu?"

   Kabut tebal menyelimuti permukaan danau, waktu segulung angin berhembus, segulung kabut menerobos jendela masuk ke kabin, bila menengadah melihat luar jendela, rembulan sudah tergantung jauh di ufuk langit.

   Kabut seperti membungkus sekujur tubuh mereka, perlahan Sim Bik-kun beranjak keluar, berdiri bersandar di pagar kayu, memandang jauh ke kabut di tengah danau, seolah ia lupa menjawab pertanyaan yang diajukan tadi.

   Hong Si-nio justru mengulang pertanyaan tadi.

   "Kau sudah tahu siapa si baju hijau itu?"

   Suara Sim Bik-kun perlahan.

   "Kalau kau mau sering memperhatikan gerak-geriknya, akan kau temukan beberapa segi perbedaannya dengan orang lain."

   Ucapan ini jelas bukan jawaban, tapi dengan sabar Hong Si-nio pasang kuping mendengarkan dengan seksama.

   "Tiap orang pasti punya ciri khas yang berbeda dengan orang lain, kadang hanya gerakan kecil yang tidak diperhatikan orang lain, tapi bila engkau lama bergaul dengan dia, hidup cukup lama bersama dia, sekecil apapun perbedaan itu, kau pasti akan dapat melihat cirinya itu,"

   Sampai di sini ia berhenti. Hong Si-nio tetap diam. mendengar dengan sabar.

   "Maka, umpama ia mengenakan kedok muka, kau akan tetap dapat mengenalinya,"

   Dengan suara perlahan, lebih tegas Sim Bik-kun meneruskan.

   "Begitu berada di sini, perasaanku lantas berkata bahwa aku kenal orang ini, kenal siapa si baju hijau itu. Maka aku mulai memperhatikan dirinya."

   Akhirnya tak tahan Hong Si-nio bertanya.

   "Maka begitu mereka berganti orang, kau lantas dapat membedakan?"

   Sim Bik-kun manggut-manggut, tapi kepalanya tidak berpaling.

   "Darimana kau dapat membedakan kalau orang kedua adalah Su Jiu-san adanya"

   "Sebab dalam kebiasaan hidupnya ia selalu memegang kipas, tangannya tak pernah berhenti menggerakkan kipas lipatnya itu, maka biar tangan tidak memegang kipas, tangannya tetap bergerak seperti kalau ia memegang kipas."

   Lama Hong Si-nio terbenam dalam renungannya, akhirnya bertanya.

   "Bagaimana dengan Lian Shia-pik? Ada perbedaan apa dia dengan orang lain?"

   Sekarang ia maklum bahwa si baju hijau yang pertama itu adalah Lian Shia-pik, kecuali Lian Shia-pik, perempuan mana yang pernah hidup bersama Sim Bik-kun selama itu? "Aku yakin kau tahu kalau dia akan datang memenuhi janji itu."

   "Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa Siau Cap-it Long juga berada di Cui-gwat-lo, maka dia merasa perlu datang dahulu ke sini melihat keadaan."

   "Mungkin mereka sudah tahu kalau Siau Cap-it Long sudah berada di Cui-gwat-lo, maka tempat perjanjian pertemuan itu mereka tentukan di sini."

   Untuk kali ini di hadapan orang lain ia menyebut nama Siau Cap-it Long tanpa ragu atau canggung, kini sikapnya betul-betul tenang, tapi waktu menyebut nama orang, suaranya terdengar agak aneh. Hong Si-nio menghela napas.

   "Apapun persoalannya, yang pasti dia sudah datang."

   "Ya, dia sudah datang,"

   Ujar Sim Bik-kun.

   "Kalau dia sudah datang, kenapa harus pergi?"

   "Mungkin mumpung ada kesempatan, ia harus mengatur rencana lain."

   "Kalau ia harus pergi, kenapa Su Jiu-san harus menggantikan kedudukannya?"

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Karena dia perlu seorang tetap hadir di sini untuk melihat perkembangan situasi dan kondisi di sini."

   "Bila dia datang kembali, dia bisa mengelabui mata kuping orang lain, begitu?"

   "Sembarang waktu mereka bisa ganti berganti orang."

   "Menurut pendapatmu, mungkin tidak dia kembali?"

   "Pasti datang."

   Sahut Sim Bik-kun, suaranya terdengar berubah aneh.

   "Dia pasti akan datang, maka aku harus segera pergi."

   Saat Lian Shia-pik datang, adalah waktu penentuan kalah menang, atau mati hidup antara Lian Shia-pik dengan Siau Cap-it Long.

   Dua orang itu, yang satu adalah suaminya, seorang lagi adalah orang penting dalam kehiduapannya; peduli siapa menang atau kalah di antara kedua orang ini, ia pantang hadir dan menyaksikan dari pinggir.

   Maka ia harus menyingkir.

   "Tapi kau tidak menyingkir."

   "Ya, aku tidak menyingkir."

   "Kau masih berada di sini supaya ada kesempatan melimpahkan perasaanmu ini?"

   "Masih ada omongan yang ingin kuucapkan."

   "Coba jelaskan."

   "Beberapa hari belakangan ini, tentu kau merasakan aku banyak perubahan?"

   Hong Si-nio memanggut.

   "Dapat kau menerka kenapa aku berubah?"

   "Aku tidak bisa menerka."

   "Seorang kalau sudah bertekad, sudah mengambil keputusan, dia pasti berubah."

   "Kau sudah mengambil keputusan?"

   Sim Bik-kun mengangguk.

   "Keputusan apa?"

   "Aku bertekad akan memberitahu kepadamu satu hal,"

   Kata Sim Bik-kun. Hong Si-nio mendengarkan, tiba-tiba relung hatinya diliputi perasaan takut dan ngeri yang tak berani ia bayangkan. Mendadak ia rasakan persoalan yang akan disampaikan Sim Bik-kun adalah kejadian yang amat menakutkan.

   "Kuberitahu padamu. Hanya engkaulah teman hidup Siau Cap-it Long yang paling baik, paling cocok, dan hanya kau seorang yang betul-betul memahami dirinya, mempercayainya, kalau dia membiarkanmu pergi, maka dia orang dogol, dia sudah pikun,"

   Selesai bicara mendadak tubuhnya melompat terbang dan "byuurrr"

   Terjun ke dalam danau. Hong Si-nio melompat menerkam, namun sudah terlambat. Hong Si-nio membanting kaki. serunya sambil berpaling.

   "Lekas ambil lentera, lekas bawa lentera kemari."

   Ucapannya ia tujukan kepada Pin-pin.

   Pin-pin duduk melamun di buritan, tanpa bergeming seperti tak mendengar teriakannya.

   Wajahnya yang pucat menampilkan mimik yang sukar ditebak.

   Sejak tadi ia sudah duduk mematung di tempat itu, namun tiada orang memperhatikan dirinya.

   Hong Si-nio kembali membanting kaki, tahu-tahu ia pun terjun ke dalam air.

   Air danau dingin, perasaan Hong Si-nio lebih dingin, ia tidak melihat Siau Cap-it Long, juga tidak menemukan Sim Bik-kun.

   Ia ingin berteriak minta tolong, tapi begitu mulut terbuka, air danau yang dingin seperti ujung pedang tertelan dalam tenggorokan.

   Baru sekarang ia sadar dirinya tidak pandai berenang, dalam air dirinya pasti takkan bisa menolong orang, justru orang lain yang akan menolong dirinya, waktu ia sadar akan kesalahan ini, badannya terus melorot turun tenggelam ke dasar danau.

   Sepertinya kematian sudah dekat, amat dekat, anehnya dalam sekejap ini ia tidak merasa ngeri, tidak merasa takut menghadapi kematian.

   Sering kali orang bilang, pada detik-detik menjelang ajal, seorang kadang memikirkan banyak kejadian yang aneh-aneh.

   XXVII.

   SEMI BERAKHIR MIMPI PUN BUYAR Tapi hanya satu hal terpikir dalam benaknya, apakah Siau Cap-it Long dapat menolong Sim Bik-kun? Sekuatnya ia meronta ingin melompat keluar mencari mereka.

   Ia tak mampu melompat, sekujur badannya seperti dibetot oleh jari-jari tangan yang tidak kelihatan, di saat ia pasrah, di saat ia rasakan badannya makin dingin dan terjerumus ke tempat yang makin gelap.

   Mendadak dari tengah kegelapan itu ia lihat sepasang bola mata yang memancarkan cahaya, sepasang mata itu seperti berkembang menjadi puluhan pasang, puluhan pasang mata Siau Cap-it Long.

   Sudah pasti Hong Si-nio tidak ingin mati.

   Pada detik-detik yang menentukan mati hidupnya itu, ia tidak pernah berdoa untuk diri sendiri.

   Dia hanya berdoa semoga sang maha pencipta melindungi Siau Cap-it Long, menemukan dan melindungi Sim Bik-kun.

   Sebab ia tahu, bila Sim Bik-kun mati, betapa duka lara Siau Cap-it Long akan makin keras, makin merasa dan jauh.

   Biar diri sendiri harus mati, berkorban demi Siau Cap-it Long, ia tidak rela sang pujaan dibebani derita yang berkepanjangan.

   Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long, sampai kapan baru kau akan menyelami, mengerti betapa perasaan Hong Si-nio padamu? Apa kau akan menunggu hingga akhir hayatnya? * * * * * Hari sudah terang tanah.

   Betapapun panjang sang malam, akhirnya cuaca akan kembali terang.

   Mentari muncul dari peraduannya, cahayanya yang gemerlapan membayang di permukaan danau.

   Kini sorot mata Siau Cap-it Long sudah tidak memancarkan cahaya, kalau sekarang kau melihat matanya, pasti tidak percaya bahwa lelaki ini adalah Siau Cap-it Long.

   Hanya seorang yang hatinya sudah beku, sudah hampa tanpa perasaan, sudah mati, maka ia akan berubah seperti itu.

   Bola matanya seperti mata ikan yang sudah kaku, bola mata ikan yang sudah beku, rona matanya jauh lebih menakutkan dibanding air mukanya.

   Pertama yang Hong Si-nio lihat adalah sepasang mata itu.

   Ternyata Hong Si-nio tidak mati, waktu siuman badannya terasa hangat dan kering, tapi perasaannya, hatinya lebih dingin dibanding air danau yang paling dingin.

   Sebab ia sudah melihat sepasang mata Siau Cap-it Long, ia tidak melihat Sim Bik-kun.

   Sisa arak semalam masih berada di meja, di loteng kapal itu tiada orang ketiga, mungkinkah Pin-pin juga minggat diam-diam? Kursi berserakan, kabin kereta yang mewah dengan perabot serba mahal kini kacau balau, cahaya matahari yang menyorot masuk terasa guram, suasana terasa kosong dan hampa.

   Bagaimana dengan Sim Bik-kun? Apakah ia tidak menemukan dia? Apakah dia hilang ditelan air danau yang dingin itu? Hong Si-nio tidak berani bertanya.

   Melihat sorot mata yang dirundung putus asa, ia tidak berani bertanya, tak perlu bertanya.

   Aku masih hidup, Sim Bik-kun justru sudah mati.

   Dia berhasil menolongku, Sim Bik-kun justru hilang untuk selamanya.

   Hong Si-nio tidak bergerak, tidak bersuara, hatinya hancur, hancur lebur.

   Ia menderita bukan lantaran kematian Sim Bik-kun, tapi demi Siau Cap-it Long.

   Sebab secara mendalam ia ikut merasakan betapa derita batinnya, betapa pilu hatinya, kecuali dirinya, yakin tiada orang kedua yang dapat meresapi derita itu, tiada orang dapat membayangkan betapa mengenaskan penderitaannya.

   Siau Cap-it Long duduk dekat pintu luar ruang kabin, pandangannya mendelong mengawasi permukaan danau.

   Alunan lembut air danau masih kelihatan begitu lembut, elok dan mempesona.

   Bagaimana dengan Sim Bik-kun? Danau seindah dan sejernih itu, kenapa melakukan perbuatan yang begitu kejam, tega dan tidak kenal kasihan? Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak buka suara.

   Pakaiannya yang tadi basah kuyup mulai kering ditiup angin musim rontok yang menghembus, air matanya pun sudah kering.

   Perlahan Hong Si-nio berdiri, perlahan maju mendekati lalu duduk di sampingnya.

   Siau Cap-it Long tidak berpaling, tidak memandangnya.

   Hong Si-nio mengisi secawan arak lalu diangsurkan kepadanya.

   Siau Capit Long tidak menolak, tapi tidak mengulur tangan menerima cawan arak itu.

   Melihat pandangan matanya yang kosong, melihat rona mukanya yang membeku dingin, hampir Hong Si-nio tidak tahan ingin memeluknya kencang, menghiburnya dengan cara apa saja yang bisa ia lakukan.

   Ia tidak melakukan apa-apa.

   Sebab ia tahu, dalam kondisi sekarang, bujukan dan rayuan macam apapun, bagi Siau Cap-it Long tidak lebih mirip ujung jarum yang menusuk hulu hatinya, semacam sindiran yang akan lebih membuatnya sedih dan lara.

   Tiada persoalan macam apapun di dunia ini yang bisa menghiburnya, peduli persoalan apapun kemungkinan besar justru bisa menusuk perasaan dan melukai hatinya.

   Entah berapa lama mereka saling bungkam.

   Jidat Siau Cap-it Long sudah basah oleh keringat.

   Hong Si-nio menggigit bibir, sekuatnya ia menahan air mata, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadari mentari sudah doyong ke arah barat.

   Waktu yang paling berharga dalam sehari telah berlalu tanpa terasa.

   Sekarang hembusan angin mulai terasa dingin, cahaya senja juga mulai guram.

   Mereka terus duduk begitu, diam tanpa suara, tanpa terasa sudah duduk berjam-jam lamanya.

   Hong Si-nio sudah merasakan badannya mulai penat, pantatnya mulai kesemutan, namun ia tidak berani bergerak.

   Bibirnya terasa kering, padahal cawan arak berada di tangannya, tapi tiada niat untuk meminumnya.

   Hembusan angin musim rontok mulai terasa dingin.

   Mendadak Siau Cap-it Long berkata.

   "Bisa tidak kau berbicara?"

   Suaranya rendah lirih, tapi Hong Si-nio berjingkat kaget.

   Tak menyangka orang mau bicara, ia juga tidak mengerti harus bicara apa.

   Dalam keadaan dan kondisi sekarang, apa yang bisa ia bicarakan? Pandangan kosong Siau Cap-it Long tetap terarah ke tempat nan jauh.

   "Terserah mau bilang apa, yang penting kau bicara .... bicara dan bicara terus tanpa henti."

   Cukup lama mereka berdiam diri, kesunyian ini sungguh bisa membuat orang gila.

   Bagaimana dengan Sim Bik-kun? Mestinya Hong Si-nio ingin mengajukan pertanyaan ini, tapi ia tidak berani mengemukakan.

   Cawan diangkat ke mulut, secawan arak ia tenggak habis, lalu pelan-pelan ia turunkan cawan arak itu.

   Siau Cap-it Long berkata.

   "Mestinya banyak persoalan ingin kau bicarakan, kenapa kau tidak bicara?"

   "Aku ...."

   Hong Si-nio ragu-ragu, suaranya perlahan.

   "aku pikir...."

   "Pikir apa?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Aku ingin mencari Pin-pin."

   "Tidak perlu kau mencarinya."

   "Tidak perlu?"

   Seru Hong Si-nio.

   "Karena dia juga sudah pergi. Waktu aku kembali, dia sudah pergi."

   Wajahnya tidak menujukkan perubahan, tapi bola matanya tampak berkedip-kedip.

   Walau sudah mengerahkan setaker tenaga untuk mengendalikan diri, tapi ia sendiri tak mampu mengendalikan banyak perubahan yang terjadi di tubuhnya.

   Ternyata Pin-pin juga sudah pergi.

   Betapapun Siau-yau-hou adakah saudara kandungnya.

   Bahwa kenyataan membuktikan dia belum mati, entah kapan dia pasti akan kembali.

   Kalau dia pasti akan datang, maka dia pasti harus pergi? Kalau Sim Bik-kun sudah pergi, kenapa dia tidak boleh pergi? Hong Si-nio menggenggam kencang tangannya, kuku jarinya tembus melukai kulit daging sendiri.

   Mendadak ia amat membenci Sim Bik-kun.

   Kini sudah akan tiba detik-detik menentukan mati hidup Siau Cap-it Long, dalam waktu sekejap itu, jiwa dan kebesaran nama baiknya, akan mengalami ujian berat yang menakutkan, kalau tidak hidup pasti mati.

   Kini saatnya dia perlu dihibur dan diberi semangat, dia malah tinggal pergi.

   "Kau tak mengira Pin-pin bisa pergi?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Aku ...."

   "Apapun yang kau pikir,"

   Tukas Siau Cap-it Long.

   "kau salah menduga."

   "Tapi...."

   "Karena kau tidak memahaminya,"

   Kata Siau Cap-it Long.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"maka kau takkan mengira kenapa dia pergi."

   Tadi ia menganjurkan Hong Si-nio bicara, tapi berulang kali ia memutus omongan Hong Si-nio.

   Bahwa dia ingin Hong Si-nio terus bicara, mungkin karena ia sendiri juga ingin bicara.

   Maka Hong Si-nio bungkam, mendengar orang bicara.

   Siau Cap-it Long memang meneruskan bicara.

   "Lama dan lama sekali, ia pernah memberitahu padaku, suatu hari bila dia ingin mati, ia akan pergi secara diam-diam, kemana pergi tidak memberitahu kepadaku, aku juga tidak boleh tahu."

   Kelopak matanya tampak kedutan.

   "Sebab dia tidak ingin aku melihatnya mati, dia rela mati secara diam-diam, mati sendiri tiada orang di sampingnya, dia tidak ingin aku bersedih karena kematiannya."

   "Mestinya bisa kupikir akan hal itu. Aku tahu dia wanita berwatak keras yang ingin menang sendiri, aku juga tahu cirinya itu."

   "Tapi kau tadi pasti salah duga, untuk betul-betul memahami seorang memang tidak mudah."

   Hong Si-nio segera bertanya.

   "Apakah penyakitnya kambuh kembali?"

   "Justru karena penyakitnya makin memburuk, jelas tak mungkin ikut aku gelandangan, maka kami kembali dan menetap di sini."

   "Maka kau sengaja mengundang orang-orang gagah di daerah ini berkumpul di sini, maksudmu supaya ia melihat apakah di antara mereka ada anak buah Thian Cong?"

   Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, cukup lama baru berkata pula.

   "Aku berharap begitu mendengar beritaku di sini, segera kalian memburu ke sini, tapi tak nyana ...."

   Tak nyana kedatangannya justru merupakan kesalahan besar yang tak mungkin dihapus untuk selamanya. Hong Si-nio mengalihkan perhatian.

   "Apa benar kau beranggapan si buta itu adalah Siau-yau-hou?"

   "Mungkin sekali adalah dia."

   "Apakah dia pula orang yang memelihara anjing? Apakah orang yang berjanji pertemuan dengan Lian Shiapik betul adalah dia?"

   "Kuharap betul dia."

   "Kenapa?"

   "Sebab urusan yang harus dibuat perhitungan, cepat atau lambat kan harus diselesaikan, kalau bisa dibereskan sekaligus kan lebih baik, bukan?"

   Apa benar perhitungan ini bisa sekali beres? Antara budi dan dendam yang ruwet, mungkinkah bisa diselesaikan dalam sekali perhitungan? Mungkin hanya bisa dibereskan dengan satu cara.

   Kalau seorang sudah mati, maka dia sudah tidak berhutang apapun terhadap orang, orang lain juga takkan bisa menagih hutang padanya.

   Hong Si-nio mengawasinya, mendadak ia sadar tubuhnya sudah basah oleh keringat, karena mendadak hatinya diresapi rasa takut seperti yang dirasakan Siau Cap-it Long.

   Mendadak Siau Cap-it Long berkata.

   "Malam ini belum tanggal lima belas, kita masih bisa mabuk-mabukan lagi."

   "Kau ingin mabuk?"

   "Kau mau menemaniku bukan."

   Hong Si-nio berdiri.

   "Biar kucari arak."

   Di bawah loteng masih ada arak, tapi sudah tiada manusia.

   Semua yang hadir tadi kini sudah pergi semua.

   bukan hanya tamu-tamu undangan yang pergi, semua kelasi, tukang masak, pokoknya semua petugas di kapal ini sudah pergi.

   Kapal itu masih berada di tengah danau.

   Hanya mereka berdua yang masih tinggal di kapal itu, tempat ini kini menjadi dunia milik mereka berdua.

   Dapat bersanding dua-duaan dengan Siau Cap-it Long adalah cita-cita Hong Si-nio selama hidup, kejadian yang amat menggembirakan hatinya.

   Tapi saat itu ia merasakan dalam relung hatinya dirambati rasa ketakutan yang timbul dari ujung kakinya.

   Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut, dengan memompa semangat ia menjinjing sebuah guci arak.

   Peduli apapun yang akan terjadi, sekarang mereka kumpul bersama.

   Umpama harus mati, baik atau buruk mereka akan mati bersama.

   Maka dengan langkah lebar ia jinjing guci arak dan melangkah naik ke loteng.

   Sehari lagi telah berlalu, kini sudah tiba tengah malam.

   Guci arak berada di meja, Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio duduk berhadapan, mereka tidak menyinggung Sim Bik-kun, namun dalam sanubari mereka tetap mcngenangnya, bayangannya tetap terekam dalam relung hatinya.

   Tiba-tiba Siau Cap-it Long berkata.

   "Aku kenal kau mungkin sudah belasan tahun."

   "Tepatnya enam belas tahun."

   Mulutnya terasa kering, relung hatinya amat getir, enam belas tahun, berapa kali enam belas tahun umur manusia? "Sepanjang tahun ini, walau jarang kita bertemu, tapi aku tahu kau lebih memahamiku dibanding orang lain."

   Tanpa bersuara Hong Si-nio manggut-manggut.

   "Maka aku mohon kau memaafkan aku."

   "Memaafkanmu?"

   "Sepanjang hidupku kesalahan yang pernah kulakukan sungguh teramat banyak, pantasnya tidak patut aku minta maaf kepada orang."

   "Orang hidup, sebagai manusia biasa, siapa tidak pernah melakukan kesalahan?"

   "Siapa pun yang pernah melakukan kesalahan, dia harus menebus dengan imbalan."

   Hong Si-nio menggenggam jari-jari tangan sendiri.

   "Imbalan apa yang ingin kau berikan? Mati?"

   Siau Cap-it Long menunduk diam, lama kemudian baru bersuara.

   "Hidup ini apa nikmatnya? Kenapa kematian dibuat takut."

   Hong Si-nio menyela.

   "Maka kau ingin mati, maka kau ingin aku memaafkan engkau. Sebab kau sendiri tahu, kalau engkau mati, berarti berhutang budi kcpadaku."

   Siau Cap-it Long juga menggenggam jari-jarinya dengan kencang, suaranya datar.

   "Kalau aku tidak mati, apakah aku tidak menyia-nyiakan dia?"

   Sebelum Hong Si-nio berkomentar ia menyambung.

   "Kalau di dunia ini tiada manusia macam diriku, mungkin dia bisa hidup senang, hidup tenteram dengan keluarganya, tapi sekarang...."

   Mendadak Hong Si-nio berdiri, katanya.

   "Di bawah masih ada arak, akan kuambil satu guci lagi, aku masih ingin minum."

   Bukan dia ingin mabuk, tapi tidak senang mendengar ucapannya, betapapun ia seorang perempuan.

   Lampu-lampu di bawah loteng sudah padam seluruhnya, tangga loteng itu sempit dan gelap, dengan langkah gontai ia turuni anak tangga, terasa perasaannya seperti mengambang, sekujur badannya seperti kosong.

   Cahaya rembulan menyorot masuk lewat jendela, cahaya nan lembut temaram, waktu kakinya menginjak lantai dasar ia mengangkat kepala, mendadak ia rasakan ada seorang duduk mematung di kegelapan.

   "Siapa di situ?"

   Orang di kegelapan itu tidak bersuara, tidak bergerak.

   Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena kini ia sudah melihat jelas seorang yang mengenakan baju hijau dengan warna dan kain yang kumal, sebuah tutup muka yang lurus persegi menutup mukanya.

   Si baju hijau yang misterius itu datang lagi, yang datang kali ini jelas bukan Su Jiu-san.

   "Siapa kau sebenarnya?"

   Tanya Hong Si-nio. Si baju hijau tetap tidak bergerak, tidak bersuara, di tengah kegelapan, keberadaannya mirip setan dedemit yang datang hendak menagih nyawa orang. Hong Si-nio menarik napas panjang, katanya dingin.

   "Peduli kau orang atau setan, berani datang kemari, apa salahnya aku melihat wajahmu, kalau tidak, umpama benar kau ini setan, jangan harap bisa lari dari sini."

   Sorot matanya tampak memancarkan sinar, keadaannya sudah mulai sinting.

   Kalau Hong Si-nio sudah mabuk, apa yang ingin dia lakukan, semua orang di dunia ini jangan harap ada orang yang bisa merintanginya.

   Mendadak ia menerjang masuk sambil meraih tutup di muka orang.

   Orang itu tetap tidak bergerak, cahaya rembulan kebetulan menyorot ke mukanya.

   Hong Si-nio tertegun menjublek sesaat lamanya, akhirnya berseru.

   "Lian Shia-pik, ternyata benar engkau."

   Wajah Lian Shia-pik memutih, bola matanya merah diwarnai darah, sepertinya dia juga pernah mengucurkan air mata. Dingin suara Hong Si-nio.

   "Bu-kau Kongcu yang biasa mengagulkan diri, sejak kapan kau malu bertemu dengan orang?"

   Sorot mata Lian Shia-pik dingin menatapnya tajam, wajahnya membeku seperti mengenakan kedok muka saja.

   Tampang yang tidak memperlihatkan perubahan, ada kalanya paling memilukan.

   Bukankah Lian Shia-pik dengan Sim Bik-kun adalah pasangan yang menjadi pujaan orang banyak? Kalau Siau Cap-it Long tidak hidup di dunia ini, bukankah pasangan muda ini bisa hidup rukun dan bahagia? Membayangkan pengalaman hidup sepasang muda-mudi ini, Hong Si-nio menjadi tidak tega, akhirnya ia menghela napas.

   "Kalau ingin minum arak, boleh kau ikut aku naik ke loteng, masih teringat tidak, dahulu kita pernah minum bersama bukan? Kita bertiga."

   Sudah tentu Lian Shia-pik masih ingat, kejadian waktu itu jelas takkan mudah dilupakan begitu saja.

   Mengawasi Hong Si-nio, tak tertahan ia juga menghela napas, di saat ia menghela napas itulah, mendadak Hong Si-nio melihat sebuah tangan terulur keluar.

   Sebuah tangan yang putih, tangan yang halus mulus dengan jari-jari lentik lagi runcing.

   Begitu melihat tangan ini, perasaan Hong Si-nio seperti tenggelam ke dasar danau.

   Ia kenal tangan ini.

   Di saat ia terkesima itulah tangan mulus itu mendadak bergerak secepat kilat memegang lengannya.

   Didengarnya seorang berkata di belakangnya.

   "Masihkah kau ingat dahulu kita juga pernah minum bersama, hanya kita berdua saja."

   Senyum tawanya terdengar lembut dan halus, tapi Hong Si-nio tidak bersuara, jarijari tangannya menggenggam kencang.

   Hoa Ji-giok! Tak usah berpaling Hong Si-nio mengenali suara orang itu, ia tahu bahwa yang memegang lengannya adalah Hoa Ji-giok.

   Hong Si-nio menjadi ngeri dan merinding bulu kuduknya, ia rela dibelit ular atau digigit hewan beracun, tapi tidak rela dan merasa jijik disentuh orang ini.

   Jari jemari tangan Hoa Ji-giok yang lain justru memeluk pinggangnya, katanya tetap tersenyum.

   "Masih ingat tidak, arak yang kita minum di ruang pengantin malam pertama itu."

   Hong Si-nio membungkam, ia ingin berteriak, ingin tumpah, sekali tendang ia ingin membunuh orang ini, sayang dia hanya bisa berdiri mematung, diam tanpa kuasa.

   Meski badan dingin menggigil, beruntung ia melihat Siau Cap-it Long.

   Siau Cap-it Long berdiri di anak tangga, air mukanya lebih putih dibanding wajah Lian Shia-pik, suaranya dingin mengancam.

   "Lepaskan dia!"

   Hoa Ji-giok mengedipkan mata, sengaja bertanya.

   "Dia ini apamu, berdasar apa kau minta aku melepasnya?"

   "Lepaskan dia,"

   Kembali Siau Cap-it Long mengancam.

   "Kau tahu aku ini apanya? Tahukah kau, dia dan aku pernah sembahyang kepada langit dan bumi, masuk pelaminan?"

   Jari Siau Cap-it Long menggenggam kencang gagang golok.

   Golok jagal rusa, tangan Siau Cap-it Long siapa tidak mengenalnya, siapa pun tokoh silat kosen bila melihat tangan itu menggenggam golok, siapa pun takkan mampu tertawa.

   Hoa Ji-giok justru tertawa riang.

   "Aku kenal golokmu itu, golok peranti membunuh orang."

   Siau Cap-it Long tidak menyangkal. Kata Hoa Ji-giok dengan tertawa.

   "Sayangnya, bila golokmu terlolos keluar, yang terbunuh mampus pertama bukan aku, tapi malah dia."

   Jari-jari Siau Cap-it Long yang menggenggam gagang golok memutih, namun sulit ia mencabut goloknya. Ia tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan main-main.

   "Malah berani kujamin,"

   Ujar Hoa Ji-giok lebih jauh.

   "orang kedua yang bakal mampus juga bukan aku, tapi engkau."

   "O?"

   Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.

   "Oleh karena itu, umpama dengan jiwamu ditukar dengan jiwanya, aku tetap tidak setuju, sebab ajalmu sudah pasti tak mungkin dihindarkan lagi."

   Memicing bola mata Siau Cap-it Long, ia rasakan dari kegelapan sebelah sana muncul lagi dua orang, tangan mereka membekal tiga batang senjata yang mengeluarkan sinar kemilau.

   Sebatang golok ganco yang diikat rantai dan sepasang Long-ge-pang yang terbuat dari perak murni.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dua jenis senjata yang berbeda, yang satu jenis lembut yang lain keras, jarang ada tokoh Bulim zaman ini yang menggunakan senjata jenis ini.

   Kalau ada orang mampu memakai jenis senjata ini, tak perlu diragukan, mereka pasti jago kosen.

   Diam-diam perasaan Siau Cap-it Long mulai tegang.

   Ia insaf dalam kondisi seperti ini memang sukar dan tak berdaya menolong Hong Si-nio.

   Mendadak Hong Si-nio berteriak.

   "Tidak perlu kau berkorban bersamaku, kalau aku harus mati hari ini, kenapa tidak lekas kau pergi saja?"

   Siau Cap-it Long mengawasinya, sorot matanya menampilkan mimik aneh, entah marah? Rindu? Atau sedih? Hoa Ji-giok tertawa riang.

   "Kenapa kau menyuruhnya pergi?"

   "Kenapa?"

   Hoa Ji-giok berkata.

   "Sebab kau sendiri tahu, di dunia ini hanya ada Siau Cap-it Long yang mati terpenggal kepalanya, tidak pernah terjadi Siau Cap-it Long yang melarikan diri."

   Gemeratak gigi Hong Si-nio.

   "Kalau begitu lekas kau bunuh aku saja."

   "Kau tidak ingin melihat dia mampus?"

   "Aku tidak ingin melihat dia mampus di tangan manusia rendah dan picik macam tampangmu ini."

   "Kalau aku atur supaya kau menyaksikan kematiannya, bagaimana?"

   Ucap Hoa Ji-giok sambil mengulap tangan. Maka sinar gemerdep golok ganco dan Long-ge-pang mulai bergerak. Golok Siau Cap-it Long masih berada di rangkanya.

   "Kau belum boleh mati,"

   Ujar Hoa Ji-giok.

   "sebab selama kau masih hidup, dia takkan berani mencabut goloknya."

   Lalu dengan tersenyum lebar ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long.

   "Sebab bila golokmu terlolos, maka kau akan menyaksikan kematiannya, kutanggung dia akan mampus lebih mengenaskan."

   Betapa cepat Siau Cap-it Long melolos golok, rasanya belum ada orang kedua yang mampu menandinginya, tapi dalam kondisi sekarang, ia rasakan goloknya itu seperti beban berat yang tak mampu digerakkan lagi.

   Sejak tadi Lian Shia-pik mengawasinya dingin, sekarang tiba-tiba berkata.

   "Tanggalkan golokmu, akan kusuruh dia melepasnya."

   Tanpa tanya tanpa ragu, perlahan tapi pasti Siau Cap-it Long menanggalkan goloknya.

   Golok jagal rusa, golok yang diperolehnya dengan mempertaruhkan jiwa raga, sekarang seenaknya saja ia buang golok itu ke lantai.

   Bila dapat menolong jiwa Hong Si-nio, kepala sendiri boleh terpenggal, apa arti sebatang golok? Mendadak Hoa Ji-giok bergelak tawa, serunya "Sekarang sudah pasti dia mampus, kau juga pasti mampus."

   Golok jagal rusa adalah golok peranti membunuh orang, kecepatannya ibarat golok itu membabat rumput layaknya.

   Tangan Siau Cap-it Long adalah tangan kilat yang menggerakkan golok secepat halilintar.

   Yakin tiada ketajaman golok macam apapun di dunia ini yang dapat menandingi ketajaman golok jagal rusa.

   Yakin tiada tangan siapa pun di dunia ini yang dapat memainkan ilmu golok menakutkan seperti yang dimainkan Siau Cap-it Long.

   Kini ia tidak mungkin mencabut golok, tidak berani melolos senjata, tapi sejauh golok masih berada di tangannya, tiada orang berani bertingkah di hadapannya.

   Sekarang ia buang begitu saja golok yang mujizat itu.

   Mengawasi golok yang tergeletak di lantai, air mata Hong Si-nio bercucuran.

   Sampai sekarang baru ia paham benar, demi dirinya, ternyata Siau Cap-it Long rela mengorbankan segalagalanya.

   BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H.

   Bagian 17 Dengan berlinang air mata ia mengawasi Siau Cap-it Long, hatinya manis dan kecut, senang juga berduka, akhirnya tak tahan menangis tergerung-gerung, serunya di tengah sedu sedannya.

   "Kau ini pikun, goblok. Kenapa selalu demi kepentingan orang lain, kau melakukan perbuatan sebodoh ini?"

   Tawar namun tegas suara Siau Cap-it Long.

   "Aku tidak pikun, tapi kau adalah Hong Si-nio."

   Hanya sembilan patah kata, diucapkan secara enteng dan jelas, tapi siapa tahu, betapa hangat perasaan yang terkandung dalam sembilan patah kata itu.

   Hancur luluh perasaan Hong Si-nio.

   Perlahan Lian Shia-pik berdiri, lalu maju beberapa langkah mengambil golok itu, secepat kilat mendadak mencabut golok.

   Gaya dan gerakannya mencabut golok ternyata juga cepat luar biasa.

   Sinar golok berkelebat, tahu-tahu sudah kembali ke sarungnya, tapi poci arak yang terbuat dari tembaga tahu-tahu sudah terbelah menjadi dua.

   Arak dalam poci meleleh keluar mirip darah.

   Lian Shia-pik mengelus rangka golok, sorot matanya memancar terang, gumamnya.

   "Golok bagus, sungguh golok kilat."

   Bola mata Hoa Ji-giok juga memancar terang, katanya "Kalau bukan golok kilat, mana mampu memenggal leher Siau Cap-it Long."

   Lian Shia-pik menghela napas panjang.

   "Siapa duga, golok ini akhirnya jatuh di tanganku."

   "Sejak awal sudah kuperhitungkan,"

   Ujar Hoa Ji-giok tertawa.

   "cepat atau lambat golok itu akhirnya menjadi milikmu."

   Mendadak Lian Shia-pik berkata dengan tatapan tajam.

   "Lepaskan dia."

   Mimik tawa Hoa Ji-giok seketika berubah beku, serunya.

   "Kau ... betul kau minta aku melepasnya?"

   Dingin suara Lian Shia-pik.

   "Memangnya kau anggap aku ini orang yang tidak dapat dipercaya?"

   "Tapi kau...."

   "Apa yang pernah kukatakan tak pernah kujilat lagi,"

   Kata Lian Shia-pik tegas.

   "tadi aku bilang, bila dia menanggalkan golok, akan kubebaskan Hong Si-nio."

   Benderang lagi bola mata Hoa Ji-giok, tanyanya.

   "Tapi kau tidak bilang, setelah membebaskan dia, lalu membiarkan dia pergi."

   "Ya, memang tidak."

   "Kau juga tidak bilang akan membunuhnya dengan golok itu."

   "Juga tidak."

   Hoa Ji-giok tertawa lagi, tawa lebar sambil melepas tangan.

   "Biar kulepas dulu baru kau membunuhnya, baik ...."

   Gelak tawanya mendadak putus.

   Karena pada saat itulah sinar golok kembali berkelebat, sebuah lengan orang mendadak tertabas putus, lengan yang berlepotan darah.

   Gelak tawa itu berubah menjadi lolong kesakitan.

   Bukan lengan Hong Si-nio yang tertabas buntung, tapi lengan Hoa Ji-giok.

   Dingin suara Lian Shia-pik.

   "Tidak kubilang tidak akan membunuhmu bukan?"

   Hoa Ji-giok beringas, pekiknya.

   "Bila membunuhku, kau akan menye ...."

   Belum habis ia bicara, sinar golok kembali berkelebat, tubuh Hoa Ji-giok langsung roboh terkapar.

   Sampai mati ia tidak pernah menyangka Lian Shia-pik bakal membunuhnya, siapa pun yang menyaksikan peristiwa ini juga pasti tidak akan menyangka.

   Cahaya rembulan tidak berubah, suasana malam tetap lengang.

   Angin yang berhembus mengandung bau amis.

   Perut Hong Si-nio seperti dikocok-kocok, rasa mual hampir membuatnya tumpah.

   Manusia macam apapun, peduli dia cantik, agung atau berkedudukan tinggi, kalau mampus dipenggal golok, keadaannya tentu amat mengerikan.

   Selama ini Hong Si-nio tidak pernah melihat orang mati, tapi sekarang tak tahan untuk tidak melihatnya.

   Sebab sampai detik ini, ia masih belum percaya, bahwa Hoa Ji-giok benar sudah mampus.

   Mengawasi mayat yang meringkuk di tengah genangan darah, hampir ia tidak percaya bahwa Hoa Ji-giok yang licik, licin mirip ular sanca beracun itu benar-benar sudah menjadi mayat.

   Ternyata darahnya juga merah.

   Waktu golok menyambar lehernya, kepalanya terpenggal, jiwanya pun melayang, matinya sungguh teramat cepat.

   Hong Si-nio menarik napas panjang, mendadak ia sadar sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin.

   XXVIII.

   BERTINDAK JANGAN KEPALANG TANGGUNG Cahaya rembulan menyinari golok di tangan Lian Shia-pik, sinarnya yang kemilau mirip bayangan cahaya rembulan di permukaan air danau, golok itu putih bersih, tiada noda darah.

   Wajah Lian Shia-pik pucat, perlahan ia mengelus mata golok, akhirnya menarik napas panjang, katanya.

   "Senjata tajam yang tiada bandingan di dunia, nama besar golok ini tidak perlu diragukan."

   Siau Cap-it Long menatapnya tajam, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, namun mulutnya tetap bungkam, orang lain jelas takkan ada yang mau bersuara, dalam keheningan, dalam kabin hanya terdengar deru napas orang yang berat.

   Long-ge-pang diturunkan, golok sabit itupun seperti menjadi guram.

   Dua orang ini diam-diam sudah siap minggat.

   Mendadak Lian Shia-pik melambaikan tangan.

   "Saudara Ho Ping, coba kemari, aku ingin bicara."

   Golok sabit bimbang sejenak, akhirnya maju mendekat, dengan tawa dipaksakan bertanya.

   "Kongcu ada pesan apa?"

   "Aku hanya ingin tanya satu hal."

   "Tanya soal apa?"

   Tanya Ho Ping.

   "Tahukah kau kenapa aku membunuh Hoa Ji-giok?"

   Ho Ping menggeleng kepala, ia tidak bodoh orang yang tahu terlalu banyak, hidupnya selalu takkan panjang', tentu dia paham akan pengertian ini.

   "Betul kau tidak tahu?"

   Lian Shia-pik menegas.

   "Betul tidak tahu,"

   Sahut Ho Ping. Lian Shia-pik menghela napas.

   "Urusan sepele tidak tahu, apa arti hidupmu ini?"

   Berubah air muka Ho Ping, badannya langsung berjumpalitan ke belakang, di tengah udara, golok sabitnya mengiris turun ke bawah, ilmu golok sabitnya ini sebetulnya ajaran murni dari laut timur, jurusnya aneh, licik dan cepat sekali, termasuk ilmu golok kelas satu di kalangan Kangouw, gerak goloknya yang kemilau itu jelas memebendung serangan yang bakal datang menyergap dirinya.

   Sayang aksinya tak mampu membendung serangan golok jagal rusa.

   "Ting", hanya sekali berdenting. golok sabit jatuh ke lantai, bila sinar golok berkelebat lagi, darah pun berhamburan di angkasa. Badan Ho Ping yang tinggi besar itu mendadak terbanting jatuh tepat di antara genangan darahnya sendiri. Sekali menggerakkan golok, Lian Shia-pik tidak memperhatikan korbannya, berpaling ke sana ia berkata.

   "Saudara The Kong, ada persoalan yang juga ingin minta penjelasanmu."

   Jelas The Kong tidak berani mendekat, Lian Shia-pik malah yang maju beberapa langkah, The Kong menyurut mundur dua langkah, namun punggungnya sudah mepet dinding, tiada jalan mundur, mendadak ia berkata lantang.

   "Selama ini aku tidak pernah ada hubungan dengan orang she Hoa, umpama kau membacoknya sepuluh kali, aku tidak akan memberi komentar."

   "Aku hanya ingin tanya,"

   Ujar Lian Shia-pik.

   "tahukah kau kenapa aku membunuhnya?"

   The Kong mengangguk, ia bukan orang bodoh, jelas takkan mau mengatakan 'tidak tahu'.

   "Tahukah kau apa alasanku?"

   "Maksud awal kedatangan kita ke sini adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long, tapi mendadak kau merubah tujuan semula."

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jelaskan lebih lanjut."

   Merah berganti hijau muka The Kong, akhirnya memberanikan diri melanjutkan.

   "Merubah haluan di medan perang, merupakan larangan besar bagi Thian Cong. Kau takut dia membocorkan rahasia, apa boleh buat, maka kau membungkam mulutnya."

   Lian Shia-pik menghela napas.

   "Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar."

   Lian Shia-pik menghela napas lalu melanjutkan.

   "Urusan rumit ini juga kau ketahui, bagaimana mungkin aku membiarkan kau hidup?"

   Berubah air muka The Kong, sambil menggerung keras Long-ge-pang di tangan kiri menyapu dengan jurus Hing-sau-jian-kun (menyapu bersih ribuan tentara), sementara Long-ge-pang atau pentung gigi serigala di tangan kanan mengepruk dengan tipu Thay-san-ap-ting (gunung Thay menindih kepala).

   Diselingi deru angin kencang keduanya menyerang, sepasang pentung besinya ini beratnya ada tiga puluh tujuh kati, jurusnya kencang tenaganya besar perbawanya keras sekali, sayang gerakannya masih terlambat, jelasnya kalah cepat, sinar golok yang tajam luar biasa mendahului membacok badannya secepat kilat.

   Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar, betapa besar kekuatannya? Golok itu tetap bersih, tiada noktah darah.

   Lian Shia-pik mengelus mata golok, sorot matanya menampilkan pujian dan sayang, mulutnya menggumam.

   "Belul-betul golok tiada bandingan di dunia, senjata ampuh yang tidak bernama kosong."

   Mendadak Hong Si-nio berkata.

   "Berpisah sekian tahun, permainanmu ternyata tidak pernah lambat."

   "Golok inipun tidak pernah tumpul,"

   Ujar Lian Shia-pik.

   "Aku hanya tahu ilmu pedangmu cukup tinggi, tak kunyana kau pun pandai main golok."

   "Golok atau pedang, sama-sama senjata untuk membunuh orang, aku mahir membunuh orang."

   "Orang yang pandai menggunakan pedang, bila mendapatkan golok sebagus itu, mungkin tidak mengembalikan kepada pemiliknya?"

   "Jelas tidak,"

   Ujar Lian Shia-pik tetap mengelus mata golok, mendadak tangannya mengayun, golok di tangannya meluncur terbang, bagai bianglala golok itu meluncur terbang ke arah Siau Cap-it Long, tapi yang meluncur di bagian depan justru gagang golok bukan mata golok.

   "Aku jelas takkan menyerahkan golok ini kepada orang lain, aku hanya mau menyerahkan kepadanya."

   Bersinar mata Hong Si-nio.

   "Kenapa?"

   "Karena dia adalah Siau Cap-it Long."

   "Ya, hanya Siau Cap-it Long pantas menggunakan golok itu."

   Ujung mulut Lian Shia-pik mengkeret sekilas.

   "Peduli dia ini orang baik atau orang jahat, di kolong langit, memangnya hanya dia seorang yang setimpal menggunakan golok ini."

   "Kalau senjatanya bukan golok, tapi pedang?"

   Tanya Hong Si-nio. Ujung mulut Lian Shia-pik kembali mengunjuk senyum misterius, suaranya lebih kalem.

   "Kalau golok ini berubah pedang, maka pedang itu pasti adalah pedangku."

   Meski dingin dan perlahan perkataannya, namun bernada bangga, penuh keyakinan.

   Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia tahu dirinya bakal menjadi ahli pedang, jago pedang yang tiada bandingan di kolong langit.

   Mengawasi orang, Hong Si-nio menghela napas.

   "Ternyata pribadimu tidak berubah."

   Dengan ringan Siau Cap-it Long menyambut goloknya, lalu mengelus mata goloknya, katanya.

   "Ada sementara orang mirip golok ini, golok ini selamanya takkan jadi tumpul, orang seperti itu mana bisa berubah."

   Lalu ia berpaling mengawasi Lian Shia-pik.

   "Kuingat kau dahulu juga sering minum arak."

   "Kau tidak salah ingat."

   "Sekarang?"

   Lian Shia-pik juga mengangkat kepala mengawasinya, mereka saling tatap, lama sekali, akhirnya berkata perlahan.

   "Kau pernah bilang, ada sementara orang selamanya takkan pernah berubah, orang yang sering minum arak, kebanyakan manusia jenis itu."

   "Bukankah kau manusia jenis itu?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   Lian Shia-pik memanggut.

   Seguci arak berada di atas meja, mereka bertiga duduk berhadapan mengitari meja.

   Sekarang bertambah satu orang di antara mereka, bagi perasaan Hong Si-nio, hubungan dirinya dengan Siau Cap-it Long justru bertambah akrab, jaraknya makin dekat.

   Kini mereka sama merasakan, dari badan orang ini seperti tumbuh tekanan aneh yang tak bisa dijelaskan dan tidak terlihat, tekanan berat mirip tajam pedang.

   Waktu menghadapi Ang Ing dan Lok Liu dahulu, mereka juga merasakan adanya tekanan dari badan mereka.

   Demikian pula dari badan Lian Shia-pik yang mengeluarkan tekanan, yakin lebih besar, lebih berat dibanding waktu itu.

   Tanpa sadar tapi pasti Hong Si-nio mendekat di samping Siau Cap-it Long, sampai sekarang baru ia merasakan pribadi Lian Shia-pik ternyata jauh lebih aneh, khas dan susah diterka tindak-tanduknya.

   Tak tahan akhirnya ia bertanya.

   "Apa benar tujuanmu hendak membunuh kami?"

   "Rencana ini sebetulnya cukup rapi, sudah lama kuatur rencana ini."

   "Tapi mendadak kau berubah haluan?"

   "Pribadiku takkan pernah berubah, tapi rencana bisa saja sewaktu-waktu berubah."

   "Karena persoalan apa rencanamu kali ini berubah."

   "Sebab aku mendengar percakapan kalian tadi di sini."

   "Kau dengar seluruh percakapan kami?"

   "Aku mendengar jelas sekali, maka aku mengerti orang macam apa dia sebenarnya."

   "Benar kau memahaminya?"

   "Paling tidak aku sudah mengerti, dia bukan orang yang dingin tak kenal budi seperti yang dikatakan orang, walau dia menghancurkan keluarga kami, tapi dalam sanubarinya yang paling dalam, mungkin jauh lebih sengsara dari kami."

   "Sayangnya derita dan sengsara hatinya takkan pernah dipahami orang lain, tiada orang bersimpati kepadanya."

   Lama Lian Shia-pik menepekur, akhirnya berkata perlahan.

   "Riang atau gembira banyak macamnya, derita yang benar-benar derita semua sama, kalau orang pernah meresapi derita yang benarbenar derita, maka ia akan mengenal penderitaan orang lain."

   "Hanya orang yang benar-benar merasakan siksa derita, baru akan memahami derita orang lain."

   "Aku mengerti, sudah lama aku mengerti ...."

   Sorot matanya memandang jauh ke depan, tabir malam tampak remang, bola matanya seperti dilapisi halimun.

   Apakah cahaya rembulan mengaburkan pandangannya? Atau karena air mata yang berlinang? Mengawasi sepasang bola mata orang, mendadak Hong Si-nio merasakan derita yang mengendap dalam sanubarinya mirip derita yang dirasakan Siau Cap-it Long, sama dalam sama keras.

   Lian Shia-pik berkata lagi.

   "Karena aku mengerti betapa menakutkan rasa derita itu, maka aku tidak ingin melihat orang lain ikut menderita karena persoalan yang sama."

   "Benarkah?"

   Tanya Hong Si-nio. Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya kelihatan betapa sedih dan pilu hatinya. Dengan suara lirih akhirnya ia berkata pula.

   "Yang harus pergi, cepat atau lambat memang harus pergi. Sekarang dia sudah pergi, pergi ke lempat dimana ia ingin pergi, membawa seluruh budi dan dendam. Kalau demikian maksudnya, kenapa kita tidak melupakan dendam yang bersemayam dalam sanubari kita?"

   Hong Si-nio menghela napas, katanya sendu.

   "Betul, dia pergi membawa seluruh dendamnya, baru sekarang aku mengerti maksudnya, selama ini aku salah paham kepadanya."

   Kepalanya menunduk, ia tidak berani memandang kepada Siau Cap-it Long, tidak tega memandangnya, karena air mata sudah bercucuran membasahi pipi.

   "Yang harus pergi sudah pergi, urusan ini juga tiba saatnya berakhir, kenapa aku harus menciptakan kesalahan yang baru?"

   "Maka, kau bisa merubah haluan?"

   Lian Shia-pik tertawa-tawa.

   "Apalagi akhirnya aku sadar, tiap orang kapan saja bisa melakukan kesalahan, seorang kalau menderita karena sadar akan perbuatannya yang salah, bukankah dia harus mengeluarkan imbalan?"

   Hong Si-nio mengawasinya, seperti belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang di hadapannya ini. Mungkin baru sekarang ia betul-betul melihat jelas orang di depannya ini. Mendadak ia bertanya.

   "Pernahkah kau berbuat salah?"

   "Aku adalah orang biasa,"

   Sahut Lian Shia-pik.

   "Kau sadar mestinya kau tidak menjadi anggota Thian Cong?"

   "Dalam hal ini aku tidak salah."

   "Tidak salah?"

   "Aku masuk Thian Cong hanya dengan satu tujuan."

   "Tujuan apa?"

   "Membongkar rencana jahat mereka, menghancur-leburkan organisasi mereka,"

   Kata Lian Shia-pik dengan tangan tergenggam kencang.

   "sengaja aku berpura-pura patah semangat, luluh-lantak, bukan untuk menipu kalian, sekarang kuyakin kau sudah mengerti apa tujuanku?"

   "Sedikitpun aku tidak mengerti,"

   Sahut Hong Si-nio geleng kepala. Lian Shia-pik menenggak secawan arak, mendadak bertanya.

   "Kau mengerti orang macam apa sebenarnya Lian Shia-pik?"

   Hong Si-nio juga mengangkat cawannya, setelah minum secawan baru menjawab.

   "Seorang yang tabah, cerdik, tapi juga terlalu membanggakan diri sendiri."

   "Orang semacam itu mendadak masuk jadi anggota Thian Cong, lalu apa yang kau pikir?"

   "Aku akan berpikir, dia pasti punya maksud tertentu."

   "Maka kalau engkau sebagai Congcu dari Thian Cong, umpama membiarkan dia masuk ke Thian Cong, segala kegiatannya pasti selalu diperhatikan, tindak-tandukmu pasti diawasi."

   "Ya, benar."

   "Tapi bila seorang yang sudah luluh, patah arang, apalagi setan arak, jelas berbeda bobotnya."

   "Tapi masih ada yang belum aku mengerti, kenapa kau cari permusuhan dengan Thian Cong? Kenapa harus merendahkan derajat dan susah payah lagi?"

   Sorot mata Lian Shia-pik memandang lurus jauh ke depan, lama menepekur, akhirnya berkata lirih.

   "Sejak kakek moyangku Hun Jun-kong dengan sepasang tangannya membangun Bu-kau-san-ceng sampai sekarang sudah tiga ratusan tahun lamanya, selama tiga ratusan tahun, anak cucu Bu-kau-san-ceng, kapan dan dimana pun dia selalu disanjung, dihormati orang."

   Diam-diam Hong Si-nio mengisi cawannya yang sudah kosong, lalu menunggu orang bercerita lebih lanjut.

   "Kakek dari kakek moyangku Thian-hong-kong demi membela keadilan bagi kaum Bulim di Kanglam, seorang diri ia meluruk ke Thian-san, menantang Thian-san-jit-kiam yang pada waktu itu disegani dan ditakuti orang, mereka bertarung tiga hari tiga malam, dua puluh sembilan luka di tubuhnya tidak membuatnya binasa, akhirnya ia paksa Thian-san-jit-kiam ikut dia turun gunung ke Kanglam, mohon maaf dan mengaku dosa."

   Sampai di sini ia angkat cawan araknya, mukanya yang pucat mulai bersemu merah, lalu melanjutkan.

   "Lima puluh tahun yang lalu, kawanan Mo-kau membuat onar di Kanglam, bersekongkol dengan tujuh puluh dua aliran hitam perairan, mendirikan serikat, mengagulkan diri sebagai organisasi yang paling kuasa di Kanglam. Kakek moyangku seorang diri meluruk ke markas besar mereka, delapan puluh kali pertempuran besar kecil dialaminya, tak pernah sebabak pun dikalahkan, syukur kaum persilatan di Kanglam akhirnya tidak tertindas atau diperas mereka. Masih banyak anggota keluarga mereka yang membuat kongpo, menghormati dan mengagungkan kebesarannya."

   Hong Si-nio segera menghabiskan satu cawan arak sebagai rasa hormatnya.

   Mendengar kisah kepahlawanan para Cianpwe persilatan masa lalu, sikapnya berubah mirip anak-anak yang tekun dan gairah mendengar cerita lama.

   Lian Shia-pik sendiri kelihatan amat terharu tapi berkobar semangatnya, suaranya lebih keras.

   "Aku adalah anak cucu marga Lian, aku pantang nama baik, kebesaran dan wibawa Bu-kau-san-ceng runtuh dan hancur di tanganku, tidak akan kubiarkan intrik dan rencana busuk Thian Cong terlaksana."

   Hong Si-nio mengangkat cawannya lagi, menenggak habis.

   "Berdasar omonganmu ini, aku pantas menghormatimu tiga cawan."

   Lian Shia-pik benar-benar menghabiskan tiga cawan, mendadak menarik napas panjang.

   "Sayangnya sampai sekarang aku belum tahu siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"

   Hong Si-nio melenggong.

   "Kau belum tahu?"

   Lian Shia-pik geleng kepala.

   "Jadi di hadapanmu dia belum pernah memperlihatkan wajah aslinya?"

   "Tidak pernah."

   "Jadi dia belum mempercayaimu?"

   "Dia belum pernah mempercayai siapa pun. Kalau ada yang pernah melihat muka aslinya, mungkin anjing yang dia pelihara itu."

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hong Si-nio tertawa, tertawa getir, pada saat itulah mendadak dari kejauhan ia dengar tiga kali lolong anjing. Berubah air muka Lian Shia-pik, tawanya dingin.

   "Sudah kuduga dia pasti datang."

   "Dia memang memelihara anjing, tapi yang memelihara anjing belum tentu dia."

   "Yang ini pasti dia."

   "Bukankah kalian janji bertemu di malam bulan purnama?"

   "Malam ini sudah bulan purnama."

   Hong Si-nio menengadah, rembulan bundar tepat bercokol di cakrawala.

   Di tengah hambusan angin, berkumandang lagi dua kali lolong anjing, suaranya lebih keras, jelas jaraknya makin dekat, seperti sudah berada di luar jendela.

   Hong Si-nio ikut tegang, dengan suara lirih ia bertanya.

   "Dia tahu kau berada di sini?"

   "Tapi dia tidak tahu kalau aku sudah berubah pendirian."

   "Sekarang dia tentu mengira Siau Cap-it Long sudah mampus di tanganmu."

   "Maka dia pasti datang untuk menyaksikan."

   "Menyaksikan apa?"

   "Menyaksikan batok kepala Siau Cap-it Long."

   "Maksudmu dia getol melihat kepala Siau Cap-it Long terpenggal dari badannya?"

   "Dia sendiri pernah bilang, sepanjang Siau Cap-it Long masih hidup, hidupnya akan selalu dirundung ketakutan, susah makan tak bisa tidur."

   Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya pula.

   "Berapa lama kalian merencanakan muslihat ini?"

   "Kira-kira setengah bulan,"

   "Setengah bulan yang lalu, bagaimana kalian tahu Siau Cap-it Long bakal berada di Cui-gwat-lo?"

   "Di samping siapa saja, pasti ada yang sudi membocorkan rahasia, tak perlu heran kalau jejaknya mudah diketahui orang."

   "Menurut pendapatmu, siapa pembocor rahasia itu?"

   "Tidak tahu."

   "Setengah bulan yang lalu,"

   Hong Si-nio coba menganalisa.

   "Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau hari ini ia bakal berada di Cui-gwat-lo."

   "Pasti ada seorang tahu, kalau tidak, mana mungkin kita tentukan tempat pertemuan di sini?"

   Hong Si-nio tidak bicara lagi, mendadak ia teringat sesuatu yang amat menakutkan.

   Perjalanan Siau Cap-it Long ke Se-ouw bukankah diatur oleh Pin-pin? Mungkinkah Pin-pin yang membocorkan perjalanan mereka kali ini? Sebelum dia berencana datang ke Se-ouw, bukankah hanya Pin-pin saja yang tahu akan kedatangannya? Sebab ia maklum kalau dirinya mau pergi kemana saja, Siau Cap-it Long pasti takkan pernah menentangnya.

   Hong Si-nio merasakan kaki tangannya menjadi dingin, tak tahan diam-diam ia mencuri pandang ke arah Siau Cap-it Long.

   Siau Cap-it Long duduk mematung, wajahnya kaku, seakan-akan tidak mendengar percakapan mereka.

   Mendadak Lian Shia-pik berkata pula.

   "Betapa ketat, keras dan tinggi disiplin organisasi Thian Cong, tiada bandingannya di kolong langit. Akan tetapi tak mungkin dicegah di antara anggota Thian Cong pasti ada yang berkhianat."

   Segera Hong Si-nio bertanya.

   "Kau tahu siapa saja para pengkhianat itu?"

   "Semuanya sudah menjadi mayat."

   "Sudah menjadi mayat?"

   Tanya Hong Si-nio melenggong.

   "Menurut apa yang kutahu, para pengkhianat itu sekarang sudah mampus semua."

   "Siapa yang membunuh mereka?"

   "Siau Cap-it Long."

   Bahwa Siau Cap-it Long memberantas para pengkhianat Thian Cong, bukankah merupakan peristiwa yang menggelikan? Hong Si-nio justru merasa ngeri, makin dipikir makin menakutkan, untung keadaan tidak memberi kesempatan untuknya berpikir lebih jauh.

   Dari arah danau berkumandang salak anjing dua kali, sebuah perahu tampak meluncur datang di bawah pancaran cahaya rembulan.

   Di perahu itu ada seekor anjing tiga sosok manusia, seorang nelayan tua mengenakan caping menggerakkan kayuh di tangannya, seorang anak kecil bcrpakaian hijau berdiri di haluan, tangannya menjinjing sebuah lampion kertas putih, di bawah lampion itu tampak duduk seorang berpakaian hitam, raut wajahnya tampak mengkilap ditimpa cahaya lampion, demikian pula sepasang tangannya juga memancarkan sinar gemerdep, tangannya memeluk seekor anjing kecil.

   Congcu atau ketua Thian Cong akhirnya muncul.

   Kenapa mukanya kelihatan mengkilap? Muka mengenakan kedok, tangan dibungkus sarung tangan, entah terbuat dari apa, begitu ditimpa cahaya kelihatan gemerdep.

   "Apakah dia senang duduk di bawah cahaya lampu?"

   "Benar."

   Lian Shia-pik merendahkan suara.

   "Makanya cukup dua kali kau awasi mukanya, pandanganmu bisa kabur."

   Hong Si-nio tidak berani bertanya lagi, jantungnya berdegup dua kali lebih kcncang.

   Hatinya harap-harap cemas supaya orang ini lekas naik ke atas kapal, ia bersumpah akan menyingkap kedok orang dan membuktikan siapa dia sebenarnya? Siapa nyana dalam jarak tcrtentu, perahu itu mendadak berhenti, anjing kecil dalam pelukan orang baju hitam mendadak melompat dan lari ke haluan lalu menyalak ke arah rembulan.

   Maka datang sambutan suara lolong anjing yang ramai dari tengah danau, lalu muncul lagi tiga perahu yang meluncur datang dari kejauhan.

   Tiap perahu ada satu anjing tiga sosok manusia.

   XXIX.

   PERJANJIAN SAAT TERANG BULAN Perahu-perahu itu berayun mengikuti gelombang lembut di tengah danau, semua berhenti di kejauhan, bentuk dan warna bulu keempat anjing itu sama, demikian pula pakaian keempat orang itu mirip satu dengan yang lain.

   Di bawah cahaya lampion kertas putih, muka keempat orang itu sama-sama gemerdep, kelihatannya betapa seram dan mengerikan.

   Hong Si-nio tertegun di tempatnya.

   Waktu berpaling ke arah Lian Shia-pik, mimik orang mirip dirinya, kelihatan heran, takjub dan kaget.

   Anjing kecil yang berlari ke haluan itu sudah melompat kembali ke dalam pelukan orang baju hitam.

   Anak kecil baju hijau yang menenteng lampion mendadak tarik suara dengan nada tinggi.

   "Lian-kongcu ada dimana, silakan keluar untuk bicara."

   Empat bocah buka mulut dan berteriak bersama, tutup mulut berbareng, nadanya sama iramanya juga mirip, sepatah kata pun tidak meleset. Suara Hong Si-nio teramat lirih.

   "Kau mau keluar tidak?"

   Lian Shia-pik geleng kepala.

   "Kenapa?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Begitu keluar jiwaku pasti melayang,"

   Sahut Lian Shia-pik. Hong Si-nio tidak mengerti.

   "Satu dari keempat orang baju hitam itu adalah Congcu asli."

   "Kau sendiri tidak mampu membedakan mana tulen siapa palsu?"

   Lian Shia-pik menggeleng kepala.

   "Maka aku tidak boleh ke sana, bahwasanya aku tidak tahu harus naik ke perahu yang mana."

   "Maksudmu jika naik ke perahu yang salah, kau bakal mati?"

   "Janji pertemuan ini Hoa Ji-giok yang mengatur, dia yang menentukan, di antara mereka pasti sepakat menggunakan kode pertemuan yang sebelumnya sudah saling disetujui."

   "Hoa Ji-giok tidak menjelaskan kepadamu?"

   "Tidak."

   Hong Si-nio menghela napas, katanya.

   "Makanya sebelum ajal dia bilang, kalau kau membunuhnya, kau pasti menyesal."

   Tiba-tiba satu di antara empat perahu itu bergerak meluncur ke arah Cui-gwat-lo. Bangkit semangat Hong Si-nio, katanya.

   "Begitu banyak urusan di dunia, kalau berkukuh tak mau ke sana, terpaksa dia yang datang kemari."

   Lian Shia-pik bertanya.

   "Kau tahu yang datang palsu atau tulen?"

   "Persetan dia palsu atau tulen, apa salahnya kita tunggu dia di bawah lampu."

   Sampan itu meluncur perlahan, akhirnya berhenti di bawah pagar Cui-gwat-lo.

   Baru saja si baju hitam berdiri, anjing cilik dalam pelukannya kembali menyalak tiga kali lalu berlari masuk kabin.

   Suasana dalam kabin sunyi gelap, begitu menerobos masuk, anjing cilik itu langsung mendekati mayat Hoa Ji-giok.

   Suara salaknya mendadak berubah mirip ringkik sedih yang memelas hati.

   Waktu masih hidup Hoa Ji-giok tidak pernah memberi rasa senang kepada sesamanya, maka setelah mati, hanya seekor anjing yang merasa sedih baginya.

   Mendadak Hong Si-nio merasa ingin tumpah.

   Sekuatnya ia tahan, sementara langkah di luar kabin makin dekat, derap langkahnya mirip daun musim semi yang berguguran di tanah.

   Mendadak dari luar pintu muncul seraut wajah yang mengeluarkan cahaya.

   Baru saja Hong Si-nio hendak maju ke sana, dua bayangan orang tahu-tahu sudah menerobos lewat di sampingnya.

   Selama ini belum pernah ia saksikan gerak orang yang begitu cepat, baru sekarang ia sadar, ternyata gerak-gerik Lian Shiapik tidak kalah cepat dibanding Siau Cap-it Long.

   Orang baju hitam yang baru saja melangkah masuk kabin kelihatan amat kaget, baru ada berniat mundur, tulang iganya mendadak kesakitan kena jotosan tinju orang, begitu keras dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa hingga air kecut tumpah dari perutnya.

   Mulutnya yang terpentang baru saja ingin berteriak, sebuah jotosan tinju yang lain sudah menghajar mukanya lagi.

   Kontan kunang-kunang bertaburan di depan matanya, badannya terjengkang miring ke belakang, akhirnya roboh di lantai, roboh di depan kaki Hong Si-nio.

   Baru saja Hong Si-nio menghembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, orang ini tahu-tahu roboh di depannya.

   Langkah orang ini ringan, jelas Ginkangnya tidak lemah, gerak-gerik dan reaksinya cepat serta cekatan, terhitung tokoh kosen kelas satu di Bulim.

   Apalagi dalam melaksanakan aksinya kali ini, mereka yakin pasti berhasil, boleh dikata kedua orang ini sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya.

   Dalam kegelapan, sekilas kedua orang ini saling pandang, sorot matanya menampilkan reaksi yang aneh, entah saling memberi peringatan atau sayang menyayangi.

   Lian Shia-pik menghela napas, katanya.

   "Orang ini jelas bukan Thian Sun."

   "Dia bukan?"

   Siau Cap-it Long balas bertanya.

   "Aku pernah melihat dia turun tangan menghukum orang, menilai kemampuan ilmu silatnya, umpama kau dan aku bergabung menyerang dia, dalam tiga puluh jurus yakin takkan bisa mengalahkan dia."

   Siau Cap-it Long bungkam. Tak terpikir olehnya tokoh mana di dunia ini yang mampu mengalahkan mereka berdua dalam tiga puluh jurus. Hong Si-nio berjongkok lalu meraba-raba badan orang yang menggeletak di lantai, mendadak ia berteriak kaget.

   "Orang ini sudah mati."

   "Mana mungkin mati?"

   Kata Lian Shia-pik.

   "Tenaga seranganku tidak berat."

   "Aku juga ingin mengompes keterangan dari mulutnya,"

   Ujar Siau Cap-it Long.

   "Kelihatannya, dia ... dia mati ketakutan,"

   Belum habis Hong Si-nio bicara, mulutnya menguak hampir tumpah.

   Entah sejak kapan dalam kabin besar itu tercium bau busuk yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata, bau busuk justru teruar dari badan orang yang sudah jadi mayat ini.

   Anjing kecil itu melompat ke atas mayat sambil menyalak berulang-ulang.

   Dari luar kabin mendadak berkumandang dua jeritan yang menyayat hati, menyusul "byuurrr, byuurr"

   Dua kali.

   Waktu Hong Si-nio memburu ke depan sana, tukang perahu dan anak kecil di haluan itu sudah tidak kelihatan, riak air di pinggir sampan kelihatan masih bergelombang, lampion kertas putih tampak mengambang di permukaan air.

   Di antara riak gelombang mendadak timbul riak air warna merah darah.

   Sementara tiga perahu yang lain di kejauhan sudah memutar haluan tengah meluncur ke tengah danau.

   Hong Sinio membanting kaki, katanya.

   "Tentu mereka melihat gelagat yang tidak menguntungkan, bocah tidak berdosa itupun mereka bunuh."

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siau Cap-it Long menghela napas.

   "Bila mereka lolos kali ini, untuk mencari jejak mereka selanjutnya tentu tidak gampang."

   "Maka kita harus mengejar,"

   Ujar Lian Shia-pik.

   "Mengejar bagaimana?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Perahu yang berada di tengah itu lajunya agak lambat, duduklah di perahu di bawah ini serta membuntutinya."

   "Betul, biar aku mengejar perahu di sebelah kiri,"

   Ujar Lian Shia-pik.

   "Bila dapat mencari tahu jejak mereka, kita harus segera pulang, jangan sembarang bergerak, apalagi beraksi secara sembrono,"

   Kata Siau Cap-it Long kepada Hong Si-nio.

   "Kau ... kau akan menungguku di sini?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Bagaimanapun hasilnya,"

   Kata Siau Cap-it Long lebih jauh.

   "besok menjelang tengah hari, aku pasti kembali ke tempat ini."

   Hong Si-nio mengangkat kepala mengawasinya, seperti ingin bicara apa, mendadak ia membalik badan lalu melompat turun ke perahu yang terikat di bawah pagar, diraihnya galah bambu panjang lalu menutul pinggir kapal besar, setetres air mata mendadak jatuh di tangannya.

   Dilihat dari kejauhan, tiga sampan di depan itu seperti hampir lenyap di telan tabir malam yang berkabut.

   * * * * * Permukaan air remang-remang.

   Malam sudah larut, entah masih berapa lama datangnya fajar.

   Gelombang air danau mengalun lembut, tabir malam juga terasa halus dan tenang, kecuali suara pengayuh menyentuh air di kejauhan, jagat raya seperti sunyi senyap tak ada suara apapun.

   Perahu di depan sudah tidak kelihatan, perahu di kiri kanan itupun sudah meluncur jauh, perahu yang di tengah tinggal titik bayangan yang mulai samar.

   Sekuat tenaga Hong Si-nio mengayuh, perahunya melaju dengan kecepatan tinggi, air mata terus bercucuran di pipinya.

   Selama ini belum pernah ia mengucurkan air mata sebanyak ini, hati sendiri merasa heran dan tak mengerti, kenapa hari ini ia mengucurkan air mata.

   Ia merasa dirinya seperti amat terpencil, sebatangkara, tak terkatakan betapa rasa takut dalam sanubarinya.

   Dunia ini seolah-olah menjadi kosong.

   Seakan tinggal dirinya seorang yang masih berada di mayapada.

   Walau ia paham Siau Cap-it Long pasti akan menunggu dirinya di Cui-gwat-lo.

   Janji yang pernah diucapkan Siau Cap-it Long tidak pernah membuat orang kecewa.

   Entah kenapa hatinya masih dirundung rasa takut, seolah-olah perpisahan ini akan berlangsung lama, takkan bisa berjumpa lagi selamanya.

   Kenapa hatinya dirasuk pikiran semacam itu? Hong Si-nio tidak tahu dan tak mampu menjelaskan.

   Kembali ia teringat kepada Sim Bik-kun, teringat omongan Sim Bik-kun yang diucapkan sebelum berpisah.

   ".... hanya engkau yang setimpal menjadi pendamping Siau Cap-it Long, dan hanya engkau yang benarbenar dapat memahaminya ...."

   Setaker tenaga Hong Si-nio meluncurkan perahunya, dengan menghabiskan tenaga ia berusaha tidak menggunakan otak memikirkan urusan tetek-bengek, namun bayangan itu terus merasuk hatinya.

   Dalam kondisi seperti ini, dia mengharap sukma Sim Bi-kun muncul di hadapannya, membantu dia menentukan arah.

   Hembusan angin kencang membuatnya sadar, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadar perahu di depan yang ia kejar sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.

   Di tengah kegelapan, hembusan angin membawa suara galah menyentuh air, ada niat mengejar ke sana, mendadak ia rasakan air di bawah perahunya berpusar, pusaran air makin kencang seperti mengandung kekuatan yang menyedot perahunya meluncur yang diarahkan ke tujuan lain.

   Perahu yang ia tumpangi ternyata meluncur tanpa mampu ia kendalikan lagi.

   Hong Si-nio bukan jenis perempuan yang mudah ketakutan dan menjerit-jerit melihat tikus.

   Kini hampir saja ia menjerit keras, sayangnya umpama dia berteriak pun tidak akan ada orang mendengar.

   Pusaran air terasa makin keras, makin kencang, sepertinya ada sebuah tangan tidak kelihatan yang menarik perahunya.

   Terpaksa ia berdiri mendelong mengawasi ke depan, membiarkan perahunya ditarik orang entah kemana.

   Malam makin kelam, hitam pekat.

   Entah kenapa tangannya mendadak menjadi lemas.

   Sekonyong-konyong perahunya menabrak sebuah tonggak yang muncul di permukaan air.

   Di depan tampak sebuah bangunan kecil berloteng, loteng itu muncul di permukaan air pinggir danau disanggah beberapa tonggak besar.

   Di atas loteng terdapat tiga jendela yang mengarah ke tiga arah mata angin, di dalam jendela tampak cahaya lampu yang guram.

   Ada lampu tentu ada orang.

   Siapa yang berada di loteng itu? Kekuatan misterius yang luar biasa itu, kenapa membawa perahu Hong Si-nio ke tempat ini? Tanpa pikir galah panjang di tangan Hong Si-nio menutul di haluan perahunya, meminjam pantulan air, akhirnya perahunya merapat di tepian.

   Besar hasrat Hong Si-nio meninggalkan perahu itu, maka tanpa pikir akibat dan apapun yang bakal terjadi, umpama di loteng kecil itu menunggu setan iblis, sudah tidak peduli lagi.

   Yang penting, kalau kedua kakinya bisa berpijak di tanah, hatinya baru akan merasa lega dan aman.

   Rasa air dingin dituang ke dalam hidung sudah pernah dirasakan, mendadak ia sadari mati dengan cara apapun, lebih mending daripada mampus tenggelam di air.

   Di belakang loteng kecil itu terdapat sebuah balkon sempit, pagar bambu di pinggir balkon ada beberapa pot bunga seruni yang lagi mekar.

   Cahaya lampu menyorot lewat jendela, padahal ketiga jendela itu semuanya tertutup rapat.

   Hong Si-nio melompati pagar bambu itu dan turun di balkon, setelah berdiri baru ia menarik napas lega.

   Perahunya masih berputar di permukaan air, mendadak suara air beriak keras, kepala seorang muncul di permukaan, siapa lagi kalau bukan orang tergagah di Thay-ouw, yaitu Cui-pau Ciang Hing.

   Ternyata bocah ini sehaluan dengan mereka.

   Setelah menggigit bibir, Hong Si-nio tertawa, katanya.

   "Ku kira setan air sedang cari mangsa, tak nyana engkau adanya."

   Ciang Hing tertawa lebar, dua tangannya menahan pinggir perahu, badannya langsung melompat ke atas lalu berdiri di buritan, ia mendongak sambil tertawa, katanya.

   "Wah, tak kuduga, Hong Si-nio yang punya nama besar ternyata masih ingat dan kenal orang sepertiku."

   "Kau tahu kalau aku ini Hong Si-nio yang terkenal itu?"

   "Sudah tentu aku tahu."

   Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya.

   "Tempat inikah rumahmu?"

   "Di sini Se-ouw, bukan Thay-ouw, hanya sementara kucari tempat ini untuk berteduh,"

   Sahut Ciang Hing.

   "O, jadi tempat ini tempat tinggalmu sementara."

   "Boleh, anggap saja demikian."

   "Kau membawaku ke tempat tinggal sementaramu ini, apa ada minat menjadikan aku bini sementara?"

   Ciang Hing tampak melenggong, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara. Sungguh tidak nyana, Hong Si-nio bisa mengajukan pertanyaan itu. Dengan mengerling tajam Hong Si-nio bertanya.

   "Coba jelaskan, benar tidak?"

   Ciang Hing membersihkan air di mukanya, akhirnya menjawab.

   "Bukan begitu maksudku."

   Hong Si-nio tertawa lagi, tawa manis yang menggiurkan.

   "Peduli apa maksudmu, yang pasti tempat ini rumah tinggalmu, sebagai tuan rumah kenapa tidak kau sambut tamumu masuk ke rumah?"

   "Baik, segera aku naik ke atas,"

   Ujar Ciang Hing.

   Ia tarik ujung tali lalu diikat di tonggak sebelahnya, mirip cecak saja ia merambat naik ke atas.

   Hong Si-nio berdiri di belakang pagar menunggunya, wajahnya yang jelita dihiasi senyum lebar yang tak kalah mekar dibanding bunga seruni di pinggirnya.

   Berhadapan dengan wanita jelita secantik ini, senyum nan menawan hati, kalau hatinya tidak terpincut atau terangsang, jelas dia bukan lelaki tulen, laki-laki jantan.

   Ciang Hing jelas adalah lelaki tulen.

   Kalau tidak memandang ke atas, tak tahan untuk tidak melihat ke atas.

   Hong Si-nio tertawa renyah.

   "Tak kuduga, bukan saja kau pandai berenang, Pia-hou-kangmu juga amat tinggi."

   Ciang Hing seperti dibikin pusing, dengan mendongak ia tertawa, katanya.

   "Aku hanya ...."

   Belum habis ia bicara, mendadak sebuah benda hitam menghantam dari atas, tepat di wajahnya.

   Kali ini Ciang Hing benar-benar semaput.

   Batok kepala siapa pun, pasti tak lebih keras dibanding pot bunga, apalagi Hong Si-nio mengantam dengan seluruh tenaganya.

   "Prak", benturan cukup keras, badan Ciang Hing tampak terjengkang, lalu "Byuurrr", pot bunga itu ikut tercebur di air. Hong Si-nio menepuk-nepuk tangan, suaranya dingin.

   "Di air aku terhitung bebek yang tak pandai berenang, tapi di atas tanah, kapan saja aku mampu membuatmu menjadi itik yang mampus di air."

   Lampu masih menyala di atas loteng, namun tiada suara.

   Kalau tempat ini sudah disewa Ciang Hing, kini Ciang Hing sudah tenggelam dalam air, loteng ini jelas tidak berpenghuni.

   Kalau tiada orang lain dalam rumah ini, mungkin sekali di loteng ia dapat menemukan rahasia yang menyangkut rahasia Thian Cong.

   Kalau Ciang Hing bukan anggota Thian Cong, buat apa ia menuntun perahu Hong Si-nio ke tempat ini, pengejaran Hong Si-nio atas ketiga perahu itu jadi batal.

   Itulah keputusan Hong Si-nio dalam waktu sekilas dengan tebakannya yang jitu, Hong Si-nio amat puas akan keputusannya.

   Pintu loteng ternyata sempit, dari luar pintu tidak terkunci.

   Baru saja Hong Si-nio hendak mendorong pintu, daun pintu tiba-tiba terbuka, seorang berdiri di ambang pintu, mengawasinya, bola matanya yang indah kelihatan sedih, capai, rambutnya yang mayang hitam semampai di pundak, sikapnya nan anggun mirip sekali dewi air yang tampak semampai di keremangan malam.

   "Sim Bik-kun!"

   Pekik Hong Si-nio.

   Mimpi pun tak pernah menyangka, di tempat ini ia bertemu dengan Sim Bik-kun.

   Sim Bik-kun adalah manusia biasa, bukan dewi dari kahyangan, bukan roh gentayangan.

   Dia belum mati, sebagai manusia berdarah daging yang masih hidup dan punya perasaan.

   "Kau ...!"

   Pekik Hong Si-nio kaget.

   "bagaimana kau bisa berada di sini?"

   Sim Bik-kun tidak menjawab pertanyaannya, ia membalik badan melangkah ke dalam.

   Di ruang itu ada ranjang, ada meja ada kursi, di atas meja ada lampu.

   Dia memilih pojok dimana cahaya lampu paling guram, lalu menarik kursi duduk di sana, sepertinya ia tidak ingin Hong Si-nio melihat matanya yang benjol merah karena menangis.

   Hong Si-nio juga melangkah masuk, dengan tajam mengawasinya, seperti ingin melihat jelas dan tegas apakah benar dia adanya? Atau roh gentayangan yang masih penasaran.

   Dengan tawa dipaksakan, akhirnya Sim Bik-kun berkata.

   "Aku belum mati."

   Hong Si-nio juga tertawa nyengir.

   "Sudah kulihat jelas."

   "Bukankah kau merasa heran?"

   "Aku ... aku teramat senang."

   Hatinya memang amat senang, sesuai harapan dan doanya selama ini semoga muncul keajaiban menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun.

   Semoga Siau Cap-it Long dan Sim bik-kun diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu.

   Keajaiban itu sekarang benar-benar muncul.

   Bagaimana bisa muncul? Sim Bik-kun berkata perlahan.

   "Sebetulnya aku sendiri tidak menduga, masih ada orang yang menolongku."

   "Siapa menolongmu?"

   "Ciang Hing."

   Tentu Ciang Hing adanya, kemampuannya dalam air, seperti kemampuan Siau Cap-it Long di daratan, malah ada orang pernah bilang, kapan saja ia mampu mencari sebatang jarum di dasar laut.

   Mencari orang jelas lebih mudah dibanding mencari jarum.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tak heran kemana-mana kami tak berhasil menemukan dirimu, ternyata diseret pergi oleh setan air itu.

   Itulah isi hati Hong Si-nio yang tidak sempat ia utarakan.

   Sebab Sim Bik-kun berkata lebih jauh.

   "Aku tahu kau pasti pernah melihatnya, kemarin malam dia juga berada di Cui-gwat-lo."

   Hong Si-nio menyeringai getir.

   "Aku pernah melihatnya. Waktu si baju hijau pertama itu hilang, dia berteriak paling keras."

   Sim Bik-kun berkata.

   "Dia memang orang yang simpatik, waktu masih hidup ayahku almarhum mengenalnya, malah pernah sekali menolong jiwanya, maka sepanjang hidupnya sekarang ia selalu mencari kesempatan untuk membalas budi."

   "Apa betul dia menolongmu untuk balas budi?"

   Tanya Hong Si-nio. Sim Bik-kun memanggut.

   "dia merasa curiga akan peristiwa yang terjadi di Cui-gwat-lo hari itu, maka setelah orang banyak berlalu, dia masih ingin menyelidiki permasalahannya secara diam-diam."

   "Dia kembali tepat pada saat kau menceburkan diri ke air?"

   "Tidak, dia sudah agak lama bersembunyi di air, belakangan baru aku tahu, dalam sehari, ia sering berendam di air untuk beberapa jam lamanya, menurutnya dia merasa dalam air jauh lebih segar daripada berada di daratan."

   Jelas dia lebih senang berendam dalam air, sebab sekali ia berada di daratan, kapan saja kemungkinan jiwanya melayang seperti bebek mampus.

   Jelas Hong Si-nio tidak mengutarakan jalan pikirannya ini, sebab ia merasakan kesan Sim Bik-kun terhadap lelaki ini tidak jelek.

   Namun demikian ia toh bertanya.

   "Setelah dia menolong dirimu, kenapa tidak mengantarmu pulang?"

   Sim Bik-kun tertawa, tawa getir lagi kecut.

   "Pulang? Pulang kemana? Cui-gwat-lo kan bukan rumahku."

   "Tapi kau ... maksudmu kau tidak ingin bertemu dengan kami lagi?"

   Tertunduk kepala Sim Bik-kun, agak lama baru bersuara.

   "Aku tahu kalian pasti menguatirkan diriku, sebab ...."

   Diam-diam ia mengusap air mata.

   "Sebab kalau di dunia ini kurang satu orang sepertiku ini, hidup kalian mungkin jauh lebih senang."

   Hong Si-nio juga menundukkan kepala, tak tahu bagaimana perasaan hatinya. Ia tidak ingin berdebat dengan Sim Bik-kkun, yang pasti saat ini bukan saatnya untuk beradu mulut dengannya. Kata Sim Bik-kun lebih jauh.

   "Tapi Ciang Hing kuatir kalian merasa sedih, maka diam-diam ia pergi mengawasi kalian, cukup lama dia pergi."

   Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu mengulang perkataannya tadi.

   "Ia memang seorang yang amat simpatik."

   Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam malah. Baru sekarang ia sadar dalam hal ini ia keliru menyalahkan Ciang Hing.

   "Secara layap-layap tadi aku seperti tertidur sejenak, seperti kudengar sesuatu suara di luar."

   "O, ya?"

   Hong Si-nio bersuara dalam mulut.

   "Suara apakah itu?"

   Tanya Sim Bik-kun. Ternyata wajah Hong Si-nio menjadi merah, saat ia kesulitan omong, seorang dari luar berkata dengan tertawa.

   "Itu suara seekor bebek yang ditembak jatuh ke dalam air."

   Biasanya muka Hong Si-nio jarang merah, tapi kali ini merah mukanya tidak kalah dibanding warna kepiting yang sudah direbus.

   Sebab dengan badan basah kuyup dilihatnya Ciang Hing melangkah masuk, badannya tidak kurang suatu apa, malah bertambah satu.

   Satu benjolan besar yang merah di kepalanya.

   Sim Bik-kun mengerut kening, tanyanya.

   "Kenapa jidatmu benjol sebesar itu?"

   Ciang Hing tertawa getir.

   "Tidak apa-apa, hanya karena ingin dibuat perbandingan."

   "Perbandingan apa?"

   Tanya Sim Bik-kun.

   "Perbandingan antara batok kepalaku dengan pot bunga di luar itu, entah mana lebih keras."

   Mengawasi benjolan besar di kepala orang, lalu menoleh ke arah Hong Si-nio dan melihat mimik mukanya yang lucu, sorot matanya seketika menampilkan rasa geli. Memang sudah cukup lama ia tidak pernah tersenyum lagi. Mendadak Hong Si-nio berkata.

   "Coba kau terka, yang keras pot bunga atau kepalanya lebih keras?"

   "Jelas pot bunga lebih keras,"

   Sahut Sim Bik-kun.

   "Kalau pot bunga lebih keras, kenapa pot bunganya kurang satu sudut sebaliknya kepalanya bertambah satu sudut? Akhirnya Sim Bik-kun tersenyum lebar. Hong Si-nio memang ingin memancingnya tertawa, melihat orang tertawa lebar, hati Hong Si-nio merasa senang lagi lega. Ciang Hing menghela napas, katanya.

   "Sekarang baru aku sadar akan satu hal."

   "Hal apa?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Baru sekarang aku mengerti, kenapa banyak orang di Kang-ouw menganggap kau ini siluman perempuan."

   "Aku sebaliknya merasa ada satu hal yang tidak kumengerti."

   "Satu hal apa?"

   Hong Si-nio menarik muka.

   "Kenapa kau merintangi aku mengejar perahu itu?"

   "Karena aku tidak ingin kau mampus di air."

   "Maksudmu aku harus berterima kasih kepadamu malah?"

   "Kau tahu cara kematian tukang perahu dan anak kecil itu?"

   "Kau tahu?"

   "Senjata rahasia ini kuperoleh dari badan mereka,"

   Kata Ciang HIng.

   Senjata rahasia yang ia maksud adalah paku segitiga, sedikit lebih panjang dari paku umumnya, lebih lencir, warnanya juga lebih legam, sepintas pandang memang tidak menarik perhatian.

   Begitu melihat orang mengeluarkan paku itu dari saku bajunya, Hong Si-nio lantas berteriak kaget.

   "Samling- toh-kut-ting?"

   "Aku yakin kau kenal paku ini,"

   Ujar Ciang Hing.

   "Umpama aku belum pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat babi berjalan,"

   Jengek Hong Sinio keki.

   BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H.

   Bagian 18 Insan persilatan jarang yang tidak mengenal paku luar biasa ini.

   Konon senjata rahasia di seluruh kolong langit ada seratus tujuh puluhan jenis, yang paling menakutkan hanya tujuh macam.

   Sam-Iing-toh-kut-ting atau paku segitiga penembus tulang adalah salah satu dari tujuh senjata rahasia yang paling ditakuti itu.

   Senjata rahasia jenis ini umumnya digerakkan oleh pegas dengan daya sambit teramat keras, umpama berada di bawah air juga dapat mencapai jarak tiga sampai lima tombak, di dalam air yang paling ditakuti adalah senjata rahasia jenis ini.

   "Kapan aku pernah berada di bawah air, aku bukan setan air, juga bukan ikan yang hidup dalam air,"

   Omel Hong Si-nio.

   "Di permukaan air, senjata ini bisa mencapai jarak delapan tombak, jarak sejauh ini sasaran masih bisa ditembak mampus."

   "Maksudmu orang yang membawa senjata rahasia ini berada di perahu yang kukejar itu?"

   Tanya Hong Si-nio. Ciang Hing menganggukkan kepala. Hong Si-nio tertawa dingin.

   "Jadi kau sangka aku gentar menghadapi senjatanya itu? Kalau sambitan paku ini tak mampu aku hindari, memangnya aku masih terhitung siluman perempuan?"

   Lahirnya ia bersikap keras kepala, padahal batinnya diam-diam berterima kasih.

   Yang pasti Hong Si-nio tidak yakin dapat meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia ganas itu.

   Sementara itu, Sim Bik-kun berdiri di sana sambil menundukkan kepala mengawasi jari-jari kaki sendiri, entah persoalan apa yang masih mengganjal dalam hatinya.

   Senyum tawanya tadi tersapu oleh datangnya kabut tebal.

   Hong Si-nio mendekatinya, menepuk pundaknya.

   "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, dia ada dimana?"

   Kepala Sim Bik-kun menunduk lebih rendah.

   "Tempat ini tidak jelek, tapi tak mungkin kau diam di sini sepanjang hidupmu, kapan saja kau boleh pergi, apa kau lupa siapa yang pernah bilang demikian?"

   Terangkat kepala Sim Bik-kun, memandang Ciang Hing sekilas lalu menunduk lagi, perasaan hati perempuan tak enak diucapkan di hadapan lelaki. Syukur Ciang Hing bukan lelaki dogol yang tidak kenal perasaan orang, dengan tertawa ia bertanya.

   "Kalian merasa lapar belum?"

   "Lapar sekali,"

   Sahut Hong Si-nio segera.

   "Biar kucari makanan untuk kalian sambil ganti pakaian, pulang pergi kira-kira setengah jam cukuplah."

   "Kau boleh pergi mencari makanan, pergi ganti pakian tidak perlu buru-buru."

   Ciang Hing tertawa lebar, pergi sambil mengelus kepalanya, tak lupa ia menutup daun pintu. Baru sekarang Sim Bik-kun mengangkat kepalanya, suaranya lirih.

   "Dia ... dia dimana? Kenapa tidak bersamamu?"

   Hong Si-nio menarik napas panjang, baru saja hendak buka mulut.

   "Blang", daun pintu yang baru saja dirapatkan mendadak diterjang terbuka, seorang terbang masuk.

   "Brak", jatuh di atas meja, meja itu hancur berkeping, badan orang itu menggelinding jatuh di lantai, bola matanya melotot lurus, siapa lagi kalau bukan Ciang Hing yang baru saja beranjak keluar. Belum ada setengah jam, malah baru beberapa menit, tapi dia sudah kembali secepat itu. Waktu keluar gerak-geriknya segar bugar, kenapa mendadak kembali dengan jungkir balik menumbuk meja malah? Memangnya badannya terbang dilempar orang? Cui-pau (macan air) Ciang Hing bukan seonggok karung, bukan barang yang mudah diangkat, dijinjing lalu dilempar sesuka hati orang. Sigap sekali Hong Si-nio maju dua langkah menghadang di depan Sim Bik-kun, padahal kalau diukur betulan kepandaian silatnya tidak unggul banyak dibanding kemampuan Sim Bik-kun, tapi setiap kali berada bersama Sim bik-kun, ia selalu menganggap dirinya lebih kuat, lebih perkasa, ada kewajiban dirinya melindungi orang. Mata Ciang Hing melotot lurut mengawasinya, rona mukanya menambilkan mimik yang susah dilukiskan, dari ujung mulutnya tiba-tiba merembes keluar dua jalur darah segar. Darah segar tapi bukan warna merah, warna hitam, warna hitam juga bermacam-macam, ada hitam yang kelihatan cantik, tapi ada hitam yang menakutkan. Darah yang meleleh dari ujung mulut Ciang Hing adalah darah hitam yang menakutkan. Tak urung Hong Si-nio berjingkat ngeri.

   "Kenapa engkau?"

   Mulut Ciang Hing terkancing, giginya gemerutuk, darah terus membanjir makin deras dari mulutnya. Belum pernah Hong Si-nio saksikan darah segar hitam yang keluar dari mulut orang segelap itu warnanya. Mendadak Sim Bik-kun berkata pula.

   "Dapat kau membuka mulut?"

   Ciang Hing meronta, sekuatnya dia menggeleng kepala.

   "Kenapa mulutnya saja tidak bisa dibuka?"

   Teriak Hong Si-nio gugup. Ciang Hing seperti ingin bicara tapi tak bisa bicara, mendadak ia menggerung keras, sebuah benda menyembur keluar dari mulutnya.

   "Ting", jatuh di lantai, jelas adalah sebatang paku segitiga penembus tulang. Tenggelam perasaan Hong Si-nio, perlahan ia mengangkat kepala, di keremangan malam di luar sana ia lihat bayangan seorang di tengah tabir gelap dengan mukanya yang mengkilap ditimpa cahaya rembulan. Begitu keluar pintu Ciang Hing lantas kepergok orang ini, baru saja mulut terpentang hendak bersuara, paku segitiga itu sudah menyambar masuk ke mulutnya dan tepat mengenai lidahnya. Hong Si-nio mengepal tinju, terasa mulutnya kering lagi getir, derita yang dirasakan Ciang Hing seperti dirasakan pula olehnya. Orang baju hitam di luar itu mendadak bersuara.

   "Kau ingin menolong jiwanya tidak?"

   Hong Si-nio manggut-manggut.

   "Baik, potong dulu lidahnya, kalau terlambat tak tertolong lagi."

   Tak urung Hong Si-nio bergidik dibuatnya, ia tahu untuk menolong jiwa Ciang Hing memang harus memotong dulu lidahnya supaya racun tidak merembes ke jantung.

   Mendadak Sim Bik-kun mengertak gigi, dari pinggir sepatu Ciang Hing ia mencabut sebilah belati, dimana tangannya bergerak ia cekik leher di bawah dagunya, sehingga Ciang Hing membuka mulut lebar.

   Dimana sinar belati berkelebat, lidahnya yang sudah membengkak hitam besar terpotong jatuh ke lantai.

   "Klotak", ujung lidah itu sudah mengeras kaku, Ciang Hing mengerang sekali lalu semaput. Hong Si-nio mengawasinya dengan terbelalak, serunya.

   "Kau... kau tega turun tangan?"

   "Terpaksa harus turun tangan, aku tak bisa melihat dia mati."

   Hong Si-nio termenung, mendadak ia sadar membandingkan antara mereka berdua, siapa lemah di antara mereka berdua, kini ia mulai sadar, ternyata Sim Bik-kun bukan wanita lemah.

   Ada sementara orang, secara lahir kelihatan lemah lembut, tapi pada detik-detik genting, kadang bisa melakukan perbuatan yang tak pernah terduga oleh siapa pun.

   Berada di luar, orang baju hitam mengawasi mereka, dengan dingin berkata.

   "Sekarang kalian boleh ikut aku pergi."

   "Ikut engkau? Siapa sih engkau?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Aku yakin engkau tahu siapa diriku."

   "Memangnya kau ini Thian Sun? Benar-benar Thian Sun?"

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bu-siang-thian-sun, sin-gwa-hoa-sin, cin-ce-si-ke, ke-ce-si-cin,"

   Si baju hitam berdendang. Yang artinya Thian Sun tak berwujud, badan di luar bentuk badan, yang tulen itulah palsu, yang palsu juga adalah tulen. Berputar bola mata Hong Si-nio, katanya.

   "Tahukah engkau siapa diriku?"

   "Hong Si-nio bukan?"

   Ujar si baju hitam.

   "Jadi kau tahu siapa diriku, pernah melihat roman mukaku, apa salahnya kau beri kesempatan aku melihat wajahmu?"

   "Cepat atau lambat, entah kapan kau akan bisa melihat mukaku."

   "Sekarang biar kulihat dulu mukamu, nanti kuikut kau pergi."

   "Kalau tidak?"

   "Permintaanku tidak terkabul, kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu?"

   "Jadi kau tidak mau ikut aku?"

   "Kau ingin aku ikut, aku justru ingin duduk santai di sini, memangnya apa yang bisa kau lakukan?"

   Sembari bicara ia tarik sebuah kursi lalu duduk dengan santai, seperti anak kecil yang aleman terhadap orang tuanya.

   Dengan caranya ini banyak ia menghadapi lelaki, tiap kali praktek tak pernah gagal sekalipun.

   Jarang lelaki yang cemberut muka menghadapi cewek ayu yang aleman di hadapannya.

   Si baju hitam justru terkecuali, dengan dingin ia menyeringai.

   "Kau ingin tahu aku bisa berbuat apa terhadapmu, begitu?"

   Hong Si-nio mengeluarkan suara di tenggorokan.

   "Baik, coba lihat,"

   Jengek si baju hitam, sambil menyeringai ia melangkah masuk, mukanya yang mengkilap kelihatan menakutkan, ternyata sepasang tangannya juga amat menakutkan.

   Siapa pun yang mengawasi mukanya pasti bergidik seram, sorot matamu menjadi guram, kalau mengawasinya saja tidak begitu jelas, bagaimana mungkin kau bisa bergebrak dengannya? Tak tahan Hong Si-nio berjingkrak murka, teriaknya.

   "Berani kau kurang ajar terhadapku?"

   "Bukan hanya kurang ajar, malah sangat kurang ajar,"

   Jengek si baju hitam dingin.

   "Di antara empat Thian Sun yang tulen atau palsu tadi, bukankah satu di antaranya pernah naik ke Cui-gwatlo?"

   "Hm,"

   Si baju hitam mendengus hidung.

   "Kau tahu bagaimana nasibnya sekarang?"

   "Mampus maksudmu?"

   "Kau tahu bagaimana dia mampus?"

   Si baju hitam menggeleng kepala.

   "Karena mimpi pun ia tidak menduga, sejurus saja tak mampu melawan, begitu kami bergerak, jiwanya lantas melayang,"

   Tutur katanya lincah, membuat orang yang mendengar percaya. Hong Si-nio memang ahli main sandiwara, apalagi aleman di hadapan lelaki. Sayang ia belum melihat apakah si baju hitam sudah terbujuk oleh rayuannya, maka ia bertanya lagi.

   "Bagaimana kepandaianmu dibanding dia?"

   "Ya, setanding,"

   Sahut si baju hitam.

   "Tempat ini bukan Cui-gwat-lo, tapi kalau berani maju setindak lagi, biar kulumat jiwamu di tanganku."

   "Apa benar?"

   Jengek si baju hitam.

   "Jelas benar,"

   Seru Hong Si-nio.

   "Satu langkah aku maju ke depan, jiwaku pasti melayang?"

   "Tidak akan salah."

   Si baju hitam segera melangkah maju satu tindak.

   Perut Hong Si-nio seperti mengkeret, ia insaf dalam kondisi seperti ini dirinya terpaksa harus turun tangan, sekilas ia berpaling ke arah Sim Bik-kun, Sim Bik-kun juga tengah mengawasinya, mereka berdua serempak turun tangan bersama, mereka menubruk ke arah si baju hitam, maklum dua cewek ini bukan perempuan lemah yang gentar diterpa angin.

   Secara nyata ilmu silat mereka mestinya terhitung kelas satu di kalangan Kangouw, kalau si baju hitam yang satu ini setingkat dengan si baju hitam yang mampus di Cui-gwat-lo itu, padahal secara nyata si baju hitam itu tak mampu menghadapi rangsekan bersama serangan Siau Cap-it Long dengan Lian Shia-pik, berarti kesempatan menang dua cewek ini jelas boleh diperhitungkan.

   Hong Si-nio berharap hanya dalam setengah jurus saja dirinya dapat merebut kesempatan, sepuluh jurus kemudian berhasil merobohkan lawan yang satu ini.

   Begitu menerkam ke depan, sepasang telapak tangannya merangsek dengan serangan gencar, telapak tangannya menari bagai kupu-kupu mengitari bunga, jurus awal menggunakan serangan pancingan menunggu reaksi lawan menemukan lubang kelemahannya lalu menyergap.

   Jurus permainan kungfu Hong Si-nio memang ajaran murni dari aliran Koan-im cabang Lam-hay, jurusnya beraneka perubahannya ruwet, gayanya indah mempesona.

   Jurus Hoa-hu-ping-hun, Ou-tiap-siang-hwi atau hujan bunga dan air berhamburan, kupu-kupu terbang berpasangan, merupakan ilmu pukulan murni dari kepandaiannya yang tulen, kelihatannya kosong padahal berisi, serangannya berisi tapi kadang hanya gertakan belaka, isi kosong, kosong isi tidak menentu dan susah diraba juntrungannya.

   Siapa tahu, baru saja jurus permainan dilancarkan, mendadak ia rasakan di depan matanya seperti terjadi hujan air dan bunga berhamburan, pergelangan tangannya tahu-tahu tercengkeram oleh jari-jari yang dingin, keras bagai besi, jari yang lain dengan tepat menutuk Giok-sim-hoat di belakang lehernya.

   Hong Si-nio tidak langsung roboh semaput, sekilas itu otaknya terbayang akan Siau Cap-it Long.

   Sekarang baru ia insaf betapa jauh jarak kepandaian silatnya dibanding Siau Cap-it Long.

   "Siau Cap-it Long, dimana engkau,"

   Demikian pekik Hong Si-nio sekuatnya, sayang suaranya tidak keluar dari tenggorokan.

   Lekas sekali hujan air dan bunga di depan matanya lenyap tak berbekas, pandangannya kini terasa gelap, gelap yang tak berujung pangkal.

   * * * * * Di pantai utara Se-ouw terdapat sebuah Po-ciok-san, di antara lamping gunung Po-ciok-san dibangun sebuah pagoda yang dinamakan Po-siok-tha, di bawah Po-siok-tha, di pinggir kanan terdapat sebuah Layhong- thing.

   Saat itu Siau Cap-it Long berada di sana.

   XXX.

   SARANG NAGA GUA HARIMAU Sebuah perahu panjang meluncur di permukaan air, ditelan tabir malam, meluncur menyusuri tepian bagian utara.

   melewati Se-ling-kio terus meluncur ke kiri berlabuh di bawah Po-ciok-san.

   Perjalanan ini tidak dekat, perahu itu dikayuh dengan kecepatan cukup tinggi, tapi sepanjang jalan Siau Capit Long masih dapat mengejarnya dengan ketat hingga tiba di tempat ini.

   Sebuah tandu kecil yang dipikul dua orang sejak tadi sudah menunggu kedatangannya.

   Begitu meninggalkan perahu, melompat ke daratan, si baju hitam naik ke tandu, bocah pembawa lampion terus membuntutinya di belakang tandu, sementara itu tukang perahu menggerakkan galah panjangnya di air, perahu itu segera meluncur jauh ke tengah danau.

   Pemikul tandu adalah lelaki berperawakan tegar berpakaian hitam ketat dengan tali pinggang merah, mengenakan sepatu laras tinggi warna hitam pula, kepalanya mengenakan caping rumput lebar, baju di depan dadanya dibiarkan terbuka, menunjukkan kulit dadanya yang keras mengkilap karena keringat.

   Jalan pegunungan jelas sukar ditapak, tapi langkah mereka begitu enteng, cekatan seperti beranjak di tanah datar layaknya.

   Tandu itu pasti tidak ringan, tapi di pundak kedua orang ini seperti memikul keranjang kosong.

   Mengamati gerak-gerik kedua orang ini, Siau Cap-it Long menyadari kekuatan kaki kedua orang ini pasti tidak asor dibanding kepandaian jago Kangouw kelas satu zaman itu.

   Thian Cong merupakan sarang naga gua harimau, tidak sedikit jago-jago kelas wahid yang berkumpul di sini.

   Menyusuri jalanan kecil yang berlika-liku terus naik ke atas, kedua pemikul tandu terus beranjak ke atas menuju ke Po-siok-tha yang ditimpa penerangan cahaya rembulan.

   Siau Cap-it Long belum tidur, belum makan, hampir satu setengah jam ia mengayuh perahunya membuntuti musuh sampai di sini, semestinya juga merasa lelah.

   Umpama badannya dibangun dari besi juga akan merasa penat, perlu istirahat.

   Siau Cap-it Long tidak.

   Dalam darahnya seperti mengalir kekuatan yang mendukung segala aktivitasnya tanpa batas, kalau ia tidak rela roboh, tiada seorang pun dapat merobohkan dirinya.

   Di bawah penerangan cahaya rembulan, Po-siok-tha kelihatan begitu indah mempesona, di depan pagoda berdiri satu paseban, dalam paseban seperti ada bayangan orang, siapa dia tidak terlihat jelas, karena cahaya rembulan teraling oleh bayangan pagoda, dilihat dari kejauhan, bayangan orang dalam paseban jadi lamat-lamat, seperti ada juga seperti tiada.

   Sepanjang jalan kedua pemikul tandu berlenggang tak kenal lelah, menyusuri jalan berbatu yang ditimpa sinar bulan tanpa mengeluarkan suara.

   Malam semakin larut.

   Siau Cap-it Long terus mengikuti ke depan, bocah yang menenteng lampion, meski cahayanya redup, tapi cukup menuntunnya untuk menentukan arah.

   Apakah di puncak Po-ciok-san ini Thian Cong juga mendirikan cabang rahasianya? Kalau kedua pemikul tandu melangkah enteng bagai terbang, sementara bocah penenteng lampion terus membuntuti tanpa ketinggalan.

   Alam sekelilingnya sunyi senyap, pada saat itulah, sinar api dalam lampion putih yang dibawa si bocah tibatiba padam.

   Pemikul tandu akhirnya menghentikan langkah, dilihatnya si bocah tetap mengangkat tinggi lampion putih yang apinya sudah padam, berdiri diam tak bergerak.

   Si baju hitam berkata.

   "Coba periksa, apakah lilinnya habis?"

   Suaranya runcing mirip suara perempuan. Terdengar si baju hitam berkata pula.

   "Lekas ambilkan lilin dan sulut lagi."

   Dua kali si baju hitam berbicara, tapi bocah penenteng lampion diam saja tanpa memberi reaksi, tetap berdiri di tempatnya. Pemikul di belakang tiba-tiba menimbrung.

   "Memangnya bocah ini bisa tidur sambil berdiri? Biar kuperiksa."

   Serempak kedua orang menurunkan tandu, pemikul di belakang lebih dekat, maka ia maju ke depan si bocah penenteng lampion, tangannya diulur menepuk pundak orang sembari berkata.

   "Kau...."

   Baru sepatah kata, suaranya mendadak putus, seperti mulutnya mendadak disumbat suatu benda.

   Penenteng lampion mematung di sana, pemikul tandu juga mematung di sana Pemikul di depan geleng-geleng, segera ia datang menghampiri, begitu berada di depan mereka berdua, mendadak badannya menjadi kaku dengan mata terbeliak dan badan kaku mirip orang yang mendadak kena sihir.

   Tiga orang itu seperti terpengaruh sihir yang aneh luar biasa berubah menjadi manusia kayu, tingkah dan gaya mereka sungguh membuat orang yang melihatnya ngeri dan seram.

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:44:42

Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Maling Romantis -- Khu Lung

Cari Blog Ini