Ceritasilat Novel Online

Dendam Iblis Seribu Wajah 16


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 16



Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung

   

   Tetapi setelah diperhatikan sekian lama, dia tetap tidak dapat menduga jenis senjata rahasia apa yang ada di tangannya itu.

   Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya langsung mengerut.

   "Senjata rahasia ini benar-benar jarang terlihat di dunia Kangouw. Siau-heng juga sudah cukup lama berkelana di dunia persilatan, berbagai jenis senjata rahasia yang aneh sudah pernah kutemui, tetapi aku tetap tidak tahu apa nama senjata rahasia ini dan dari mana asalnya. Benar-benar membingungkan. Orang itu sanggup menimpukkan senjata rahasia di atas kuda yang sedang berlari, baik gerakan maupun keseimbangan tubuhnya dapat dikatakan bukan hal yang sanggup dilakukan sembarang orang. Kalau dia memang berniat melukai orang, sejak semula adik Liong pasti, sudah terkapar di atas tanah. Kalau menurut pendapat Siau-heng, meskipun tampang orang itu kasar dan bicaranya ketus, tetapi tidak mengandung niat mencari musuh dengan membunuh orang. Kawan atau lawan, sementara ini kita masih belum dapat memastikan. Mungkin dia menimpuk senjata rahasia ke bagian luar pakaian adik Liong hanya sebagai peringatan saja."

   Ban Jin Bu menundukkan kepalanya merenung sejenak. Kemudian terdengar dia menukas.

   "Apapun maksudnya, lebih baik kita meneruskan perjalanan sampai dusun di depan, setelah itu baru kita rundingkan kembali. Sekarang kedua orang itu pasti sudah jauh, kita berdiam di sini juga tidak ada gunanya. Siapa tahu kita akan bertemu lagi dengan mereka di dusun sebelah depan sana."

   Selesai berkata, Ban Jin Bu melihat mimik wajah beberapa orang itu berlainan.

   Goan Yu Liong seperti sedang marah, Yang Jen Ping masih merasa terkejut, Ceng Lam Hong malah seperti orang yang kebingungan.

   Sejak awai hingga akhir dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

   Hanya kakinya yang terus melang kah ke depan.

   Ban Jin Bu tahu bahwa perasaan mereka sedang bergejolak, berbagai pikiran berkecamuk menjadi satu.

   Dia sendiri jadi enggan berbicara.

   Dengan perasaan hati yang tertekan, mereka melanjutkan perjalanan.

   Selama itu tidak ada seorangpun yang membuka suara.

   Lambat laun mereka mulai memasuki daerah pegunungan.

   Ban Jin Bu mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

   Tampak awan bergulung-gulung, di ujung langit hanya tinggal segurat cahaya berwarna keemasan.

   Di dalam hati mereka semua seakan terdapat ganjalan yang berat.

   Sejak tadi mereka tidak ingat untuk mencari tempat bermalam.

   Tampaknya malam ini mereka terpaksa melanjutkan perjalanan di tengah pegunungan.

   Beberapa orang ini merupakan ahli-ahli silat yang mempunyai kepandaian cukup tinggi.

   Mereka tidak takut adanya binatang buas atau ular melata, tetapi daerah pegunungan gelap dan sunyi.

   Belum lagi hawanya yang dingin menyengat, tentu saja hati mereka merasa kurang puas terpaksa melakukan perjalanan ataupun menginap di tengah pegunungan sepanjang malam.

   Untung saja malam ini tidak begitu gelap.

   Rembulan bersinar terang, cahayanya memancarkan warna putih berkilauan, sehingga pemandangan masih dapat terlihat.

   Suasana seperti ini membawa keunikan tersendiri, sayangnya di hati beberapa orang itu sedang ada masalah, sehingga tidak ada minat sama sekali menikmati keindahan alam.

   Jalan di pegunungan semakin ditempuh semakin memencil.

   Pemandangan di sekitar pun semakin indah mengagumkan.

   Di bawah cahaya rembulan tampak lekukan-lekukan yang seakan tiada batasnya.

   Di kejauhan terlihat segumpal uap seperti kabut putih yang membuat pandangan jadi samar-samar.

   Tiba-tiba tampak bayangan seseorang berkelebat.

   Sam Po Hwesio mendadak muncul dari lekukan celah gunung dan menghadang di tengah jalan.

   Hwesio cilik itu tertawa terbahak-bahak seakan ada sesuatu yang menggembirakannya.

   "Kalian mungkin sudah merasa agak lapar setelah berjalan sekian jauh bukan? Di dalam dusun tadi, si pengemis cilik dan Hwesio cilik diundang makan oleh kalian. Sedangkan di daerah sini merupakan pegunungan yang terpencil dan sepi, meskipun punya uang juga tidak ada gunanya. Sekarang gantian si Hwesio cilik dan si tukang minta-minta yang jadi bos mengundang kalian."

   Sembari berkata, tangannya menunjuk ke arah di mana gumpalan uap putih tadi terlihat.

   Rupanya yang terlihat dari kejauhan itu bukan kabut atau uap putih, tetapi asap yang timbul dari tungku api.

   Terdengar Sam Po Hwesio melanjutkan lagi kata-katanya "Si tukang minta-minta itu benar-benar punya keahlian tersendiri.

   Dia telah membuatkan hidangan yang istimewa buat kita semua.

   Kalau kalian merasa lapar, maka jangan tunda waktu lagi.

   Hayo ikut aku!"

   Tubuhnya langsung melesat dan berlari menuju lembah yang jaraknya lebih seratusan depa.

   Di dalam lembah itu terdapat bunga-bunga liar yang tumbuh dengan subur.

   Saat itu semuanya sedang bermekaran.

   Angin malam membawa serangkum bau harum.

   Di samping sebatang pohon siong yang besar sekali, tampak ada seonggok api unggun.

   Si pengemis cilik Cu Cia sedang membakar potongan daging.

   Paduan antara harum bunga ada hawa daging bakar terendus di hidung seiring hembusan angin, membuat perut beberapa orang yang sudah lapar itu semakin menggelitik dan hampir menetes air liurnya.

   Si pengemis cilik mendongakkan kepalanya dan melihat kedatangan beberapa orang tersebut.

   Dia langsung berteriak.

   "Cepat ke mari, si pengemis cilik dengan susah payah berlari sejauh dua tiga li akhirnya baru mendapatkan kijang kecil ini."

   Ketika sudah mendekat, beberapa orang itu baru melihat di sampingnya terdapat setumpukan kulit kijang, sedangkan daging kijang itu sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian dan sebagian besarnya sudah dibakar matang.

   Saat ini siapapun tidak ada yang sungkan lagi, masing-masing segera meraih sepotong daging kijang bakar itu.

   Tampaknya Goan Yu Liong masih kesal karena peristiwa tadi.

   Wajahnya masih cemberut terus.

   Melihat rekan-rekannya menikmati hidangan sambil membakar sisa daging kijang, dia malah menyingkir ke sudut.

   Tangannya menggenggam sepotong daging bakar dan duduk menyendiri di bawah sebatang pohon siong.

   Tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara yang bening dan nyaring "Nona! Nona!"

   Suara panggilan itu tidak berhenti-berhen-ti.

   Nyaring dan tajam, rasanya seperti suara seorang gadis.

   Mendengar suara yang muncul secara tidak terduga-duga ini, Goan Yu Liong terkejut setengah mati.

   Dia segera mendongakkan kepalanya melihat ke atas pohon.

   Tinggi pohon itu kira-kira tujuh delapan depa.

   Persis seperti sebuah payung besar yang disoroti cahaya rembulan.

   Meskipun malam ini rembulan cukup terang, tetapi saking lebatnya dedaunan pohon itu, keadaan di dalamnya tidak dapat terlihat jelas.

   Setelah didengarkan dengan seksama.

   Suara tadi memang muncul dari dalam gerombolan dedaunan yang lebat tersebut.

   BAGIAN XXXIX Goan Yu Liong adalah putra kesayangan Pendekar pedang tingkat empat Goan Siang Fei yang dikalahkan oleh Tan Ki.

   Pendidikannya cukup tinggi.

   Sejak kecil ia sudah belajar ilmu silat sehingga pandangan matanya sangat tajam.

   Tetapi setelah mendongakkan wajahnya sekian lama mencari-cari, dia tetap tidak melihat adanya bayangan orang di atas pohon, tanpa dapat ditahan lagi hatinya tergetar, lagipula dia melihat di bagian batang pohon itu tidak terdapat ranting sama sekali, sedangkan sumber suara tadi terpancar dari bagiannya yang paling tinggi.

   Hatinya berpikir bahwa ilmu ginkang orang ini sudah mencapai taraf yang begitu tingginya sehingga ngeri dibayangkan dengan akal sehat.

   Karena di bagian batang pohon tidak terdapat ranting sebagai injakan kaki.

   Orang itu ilmu ginkangnya sudah cukup tinggi saja, paling-paling hanya sanggup mencapai jarak tiga depaan sekali loncat.

   Sedangkan tinggi pohon ini justru lebih dua kali lipat.

   Berpikir sampai di sini, hatinya tergerak, cepat-cepat dia membungkukkan tubuhnya dan memungut sebuah batu kecil.

   Setelah itu dia mendongakkan wajahnya dan mengeluarkan suara bentakan.

   "Siapa? Kalau tidak keluar juga, jangan salahkan Cayhe bertindak kurang sopan!"

   Terdengar sahutan suara yang bening dan nyaring itu.

   "Nona nona aku bernama Liok Giok"

   Mendengar kata-kata itu, Goan Yu Liong jadi tertegun.

   Diam-diam dia berpikir di dalam hati.

   Kata-kata ini sepertinya bukan diucapkan oleh manusia.

   Kalau benar orang, aku toh tidak menanyakan siapa namanya, mengapa tidak hujan tidak angin dia malah memberitahukan kepadaku? Lagipula mengapa dia menyebut aku nona? Pikirannya masih bergerak, tanpa sadar mulutnya berteriak lagi.

   "Liok Giok!"

   Baru saja suaranya berkumandang, tiba-tiba dari gerombolan pohon siong yang paling tinggi terbang keluar seekor burung kecil berwarna hijau.

   Dia melesat ke atas sejauh sepuluh depaan, kemudian menukik turun ke arah Goan Yu Liong.

   Goan Yu Liong mengulurkan tangannya, burung kecil itu langsung hinggap di atas pangkal lengannya.

   Begitu diperhatikan, wajah Goan Yu Liong langsung berseri-seri.

   Senangnya bukan kepalang, hampir saja dia menggerakkan kakinya menari-nari.

   Rupanya yang memanggil-manggil dari atas pohon dan sekarang hinggap di lengan anak muda itu ladalah seekor burung kakaktua berwarna hi-jau yang sangat cantik.

   Ukurannya lebih besar sedikit dari burung kakaktua biasanya.

   Bulunya lebat dan menimbulkan cahaya yang berkilauan.

   Goan Yu Liong gembira sekali.

   Dibuangnya daging bakar yang ada di tangannya dan dipeluknya burung itu di depan dada.

   Siapa nyana burung itu memberontak dan mendonggakkan kepalanya menatap Goan Yu Liong sejenak.

   Tiba-tiba burung itu berteriak.

   "Kau bukan nona, Liok Giok tidak suka!"

   Mendengar kata-katanya, Goan Yu Liong jadi termangu-mangu.

   Untuk sesaat dia merasa bingung.

   Tanpa sadar dia mengulurkan tangannya meraba wajahnya sendiri.

   Rupanya pipi anak muda ini memang halus sekali dan putih bersih.

   Lagipula rambutnya panjang terurai dan belum diikat dengan selendang.

   Kalau dilihat sepintas memang seperti anak gadis yang cantik.

   Kali ini Goan Yu Liong jadi tertawa geli sehingga hampir saja air matanya keluar.

   "Sayang, aku memang bukan anak perempuan. Tetapi aku juga bisa menyayangimu, bahkan melebihi mereka."

   Di tengah pegunungan kesunyian semakin terasa, suara sedikit saja akan berkumandang ke mana-mana, otomatis suara tawanya yang keras tadi mengejutkan rekan-rekannya yang lain. Ban Jin Bu cepat-cepat berlari menghampirinya.

   "Adik Liong, hal apa yang membuat kau demikian gembira?"

   Mula-mula Goan Yu Liong mengencangkan dekapannya.

   Dengan demikian burung kakaktua itu tidak dapat sembarangan bergerak.

   Dia takut kedatangan Ban Jin Bu akan mengejutkannya, karena kalau sudah terbang tentu tidak mudah lagi menangkapnya.

   Setelah itu dia mengembangkan senyuman yang lebar.

   "Coba kau lihat, aku berhasil menangkap seekor burung kakaktua yang pandai bicara."

   Ban Jin Bu segera memusatkan perhatiannya.

   Dia melihat sepasang tangan Goan Yu Liong yang halus bagai tangan wanita itu menggenggam seekor burung kakaktua yang bulunya berwarna hijau berkilauan.

   Tampaknya anak muda itu seperti takut kehilangan burung tersebut sehingga dia memeluknya erat-erat.

   Ban Jin Bu merasa bahwa burung itu benar-benar menyenangkan.

   Setelah memperhatikan beberapa saat, tanpa dapat ditahan lagi dia mengulurkan tangannya untuk meraba burung dalam dekapan Goan Yu Liong itu.

   Goan Yu Liong cepat-cepat mundur satu langkah, dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

   "Kau jangan sentuh dia. Aku baru saja berhasil menangkapnya, sekarang ini masih belum jinak."

   Ban Jin Bu menatap dengan mata tak berkedip.

   "Burung ini benar-benar manis sekali. Sejak kecil sampai sekarang aku baru melihat ada burung secantik ini."

   Tiba-tiba tampak si pengemis cilik berjalan menghampiri ke arah mereka. Melihat burung dalam dekapan Goan Yu Liong, dia ikut terpana. Tampangnya seakan bingung. Setelah lewat sesaat, dia baru menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.

   "Burung ini tidak menunjukkan perasaan terkejut melihat orang asing. Pasti bukan burung liar tetapi peliharaan seseorang"

   Belum lagi ucapannya selesai, dari kejauhan berkumandang suara siulan yang panjang.

   Suara siulan itu begitu nyaring dan lantang sehingga menimbulkan gaungan yang tidak terputus-putus.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suara siulan itu bagai semacam isyarat bagi si burung kakaktua.

   Tiba-tiba dia memberontak dan berusaha mengepakkan sayapnya seakan ingin terbang ke udara.

   Untung saja sejak semula Goan Yu Liong sudah berjaga-jaga, sepasang tangannya dengan cepat mengail genggam kaki burung itu erat-erat.

   Burung kakaktua itu tidak bisa kabur, mungkin saking paniknya sepasang sayapnya terus dikepak-kepakkan dengan keras, terdengar pula suara teriakannya.

   "Nona cepat ke mari! Nona! Mei Hun! Ciu Hiang! Pai Ping! Pai Ping!"

   Secara berturut-turut dia memanggil nama beberapa orang gadis, mendengar dia juga menyebut nama Mei Hun, hati Yang Jen Ping jadi tergerak.

   Belum sempat dia mengatakan apa-apa, suara siulan tadi sudah terdengar lagi.

   Kali ini malah lebih keras dari sebelumnya.

   Bahkan lambat laun suara siulan itu berubah menjadi suara teriakan, sayup-sayup terdengar panggilan "Liok Giok!"

   Yang Jen Ping merasa ada sesuatu yang tidak beres.

   Cepat-cepat dia mencelat ke atas dan bersembunyi dalam gerombolan dedaunan pada sebatang pohon siong yang ada di samping.

   Beberapa orang yang lainnya juga merasa terkejut oleh suara siulan dan panggilan itu.

   Satu per satu menunjukkan kebimbangan hatinya.

   Wajah mereka tampak serius serta mulai berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.

   Terdengar suara itu semakin lama semakin mendekat.

   Nadanya juga semakin nyaring serta tajam menusuk.

   Liok Giok yang berada di dalam pelukan Goan Yu Liong juga memberontak semakin hebat.

   Sayapnya dikepak-kepakkan dengan keras.

   Saking paniknya, Goan Yu Liong mendekapkan sepasang tangannya erat-erat di depan dada.

   Dipegangnya sepasang kaki Liok Giok kencang-kencang.

   Orang-orang yang lainnya juga seperti terpengaruh oleh suara siulan serta panggilan itu, mereka mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan berusaha melihat jejak lawan.

   Suara siulan tadi terus terdengar sampai kurang lebih sepeminum teh lamanya.

   Setelah berhenti, keheningan kembali mencekam, seluruh lembah tersebut bagai diselimuti kesunyian yang membuat perasaan mereka menjadi tegang.

   Mereka merasa bahwa orang yang menimbulkan suara itu sudah berada dekat sekali.

   Hati mereka seakan tertekan dan ma-tapun melirik ke sana ke mari, tetapi tidak ada suatupun yang terlihat.

   Hanya bayangan pohon yang bergerak-gerak tertiup angin sehingga menimbulkan hawa menyeramkan dan rerumputan juga bergoyang-goyang bagai gerombolan setan yang menari-nari.

   Tiba-tiba dari bagian kanan puncak gunung berkumandang suara tawa yang panjang.

   Disusul dengan dua sosok bayangan yang berkelebat bagai bintang jatuh.

   Dalam sekejap mata, keduanya sudah melayang turun dari puncak bukit yang tingginya kira-kira sepuluh depaan.

   Kedua orang ini tidak asing sama sekali bagi rombongan Ceng Lam Hong.

   Mereka justru si laki-laki tinggi besar yang bercambang kasar dan pelajar yang tampan yang pernah bertemu dengan mereka di kedai arak tadi sore.

   Saat ini si pelajar tersebut sudah mengganti pakaiannya dengan stelan ketat berwarna hi tam.

   Di pundaknya tergantung sebuah perisai berbentuk sayap burung yang besar.

   Sedangkan di bagian pinggangnya tersembul beberapa batang pisau.

   Wajahnya menunjukkan kegusaran hatinya.

   Sedangkan si laki-laki bercambang itu masih mengenakan pakaian yang sama, kepalanya masih diikat dengan sehelai selendang putih.

   Hanya bagian pundaknya yang sudah bertambah sebatang senjata berupa golok.

   Matanya mendelik marah dan wajahnya kaku dan dingin.

   Belum lagi rombongan Ceng Lam Hong sempat mengucapkan kata, si pelajar berwajah putih sudah menuding ke arah Goan Yu Liong dan bertanya dengan nada dingin.

   "Tampaknya nyali bocah ini tidak kepalang besarnya sehingga berani mendekapi Liok Giok tanpa niat melepaskannya. Apakah kau tidak tahu peliharaan siapa Liok Giok ini?"

   Sikap dan nada ucapannya angkuh dan dingin.

   Perkataannya lebih mirip sindiran yang tajam menusuk.

   Biar bagaimana pun Goan Yu Liong juga anak murid keluarga yang cukup punya nama di dunia Kangouw, otomatis dia juga berjiwa besar dan berhati mulia.

   Tadinya dia berpikir ingin menanyakan sampai jelas apakah burung kakaktua itu adalah milik mereka.

   Apabila benar, dia memang bermaksud mengembalikannya.

   Tetapi karena nada-nada yang diucapkan pelajar itu begitu tidak enak didengar, tanpa terasa hawa amarahnya jadi meluap.

   Apalagi mengingat senjata rahasia yang dilemparkan kepadanya sore tadi, kemarahannya semakin menjadi-jadi.

   Persis seperti api yang disiram minyak.

   Matanya mendelik ke arah pelajar itu lebar-lebar.

   "Ucapanmu kok aneh sekali.

   Burung yang mempunyai sayap, di pegunungan mana atau lembah manapun banyak sekali.

   Kalau memang milik kalian, seharusnya tidak boleh dibiarkan berkeliaran di luar.

   Sedangkan luas daerah ini sampai ribuan li, jumlah burungnya saja mungkin mencapai laksaan.

   Apakah semuanya termasuk peliharaan kalian?"

   Si laki-laki bercambang lebat langsung tertawa terbahak-bahak.

   "Bocah busuk, berani benar mengucapkan kata-kata yang besar. Kalau tidak memberimu sedikit pelajaran, mungkin kau tidak tahu seberapa tingginya langit dan seberapa dalamnya bumi. Hanya mengandalkan kalian beberapa orang ini, apabila ingin menahan Liok Giok, benar-benar tidak mengukur kekuatan sendiri! Goan Yu Liong mengangkat sepasang bahunya dan tidak mau kalah gertak.

   "Teman, burung kakaktua termasuk unggas liar, mengapa kau berkeras mengatakan bahwa burung ini milik kalian? Tadi sore kau menjual lagak dengan mempermainkan aku, urusan itu masih belum diperhitungkan. Sekarang kalian tampaknya ingin mencari garagara lagi. Apakah karena menganggap bahwa kami ini orang-orang yang gampang dihina? Kalau melihat sepasang alismu yang berkerut-kerut dan matamu yang sejak tadi mendelik terus, apakah memang sudah ingin berkelahi?" .Si laki-laki bercambang kasar itu memang sudah marah sekali, mendengar kata-kata Goan Yu Liong yang seakan menantang, mana mungkin dia bisa menahan kesabarannya lagi? Tangannya terangkat ke atas dan dihunusnya golok yang tergantung di pundak. Terdengar suara dentingan yang nyaring dan tampak sinar berkilauan dari golok yang tergenggam di tangannya. Tampaknya ilmu orang ini cukup tinggi juga. Ketika menghunus goloknya, sarung golok itu sendiri tidak bergerak sedikitpun. Dengan jurus Elang Perkasa Mengembangkan Sayapnya, tampak goloknya menimbulkan cahaya yang berkilauan. Serangannya meluncur ke depan dengan gerakan menyapu. Goan Yu Liong menggeser kakinya sedikit kemudian memutar, tubuhnya bergerak menghindarkan diri. Pergelangan tangannya menekuk dan dengan jurus Sabuk Kumala Mengikat Pinggang, dia menyerang ke arah pinggang laki-laki kasar itu. Tiba-tiba terdengar laki-laki kekar itu tertawa terbahak-bahak. Kakinya maju ke depan mengejar, gerakan tubuhnya bagai hembusan angin. Belum lagi jurus yang dikerahkan Goan Yu Liong selesai dijalankan, tahu-tahu orang itu sudah memutar ke bagian belakang tubuhnya. Telapak tangannya mengirimkan sebuah pukulan ke arah punggung, sedangkan goloknya mengincar bagian belakang paha. Satu jurus dua serangan dikerahkan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Kali ini gerakannya cepat bukan kepalang. Begitu cepatnya sampai Ban Jin Bu tidak sempat memberikan pertolongan, si pengemis cilik begitu paniknya sehingga mengeluarkan suara bentakan dan menerjang ke depan. Sam Po Hwesio melepaskan tasbih di lehernya serta ikut melesat ke udara. Tujuan kedua orang itu ingin menolong rekannya, tetapi karena itu pula, mereka jadi melancarkan serangan ke arah laki-laki kasar tersebut. Di depan mata tampak beberapa macam senjata berkelebat ke sana ke mari. Gerakan mereka sama cepat juga sama kejinya. Apabila ada yang terkena, kalau tidak sampai mati, pasti terluka parah. Goan Yu Liong sulit terlepas dari kesulitan, sedangkan laki-laki tinggi besar itu juga tidak mudah terlepas dari marabahaya. Justru di saat genting yang menentukan mati hidup kedua orang itu, bahaya setiap saat mengintai, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang bening dan nyaring dari angkasa. Sesosok bayangan kecil dan langsung bagai gulungan angin menerobos masuk ke dalam kelebatan senjata. Dalam sesaat beberapa orang itu merasa pandangannya menjadi samar. Golok, tasbih, pedang yang ada di tangan langsung terlepas jatuh ke atas tanah. Serangkum angin yang kencang menerpa sehingga beberapa orang itu terhempas sejauh tiga empat depa. Begitu pandangan mata dipusatkan, baik si pengemis cilik, Goan Yu Liong maupun Sam Po Hwesio langsung termangu-mangu. Mata mereka membelalak dan mulut terbuka lebar. Untuk beberapa saat tidak ada sepatah katapun tercetus dari mulut mereka. Ini merupakan peristiwa yang sulit diterima akal sehat. Dalam sekali gerak saja, senjata mereka terlepas dari tangan, bahkan mereka terdorong oleh hempasan angin yang kencang. Ternyata orang yang muncul ini bukan seorang tokoh tua yang bertampang angker atau rambutnya sudah putih beruban, tetapi seorang gadis muda yang rambutnya dikepang dua. Wajahnya cantik sekali. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau muda dan usianya pasti tidak lebih dari lima atau enam belas tahunan. Sepasang matanya indah berkilauan dipadu dengan hidung yang mangir serta bibir yang mungil. Saat ini sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam dan dia sedang memusatkan perhatiannya kepada si laki-laki kasar kemudian pandangan matanya dialihkan kepada rombongan si pengemis cilik serta rombongannya. Kemudian dia berkata dengan suaranya yang masih kekanak-kanakan.

   "Kalian ini sebetulnya ada apa sih, kok tiba-tiba jadi berkelahi?"

   Belum sempat Ban Jin Bu mengatakan apa-apa, laki-laki kasar itu sudah menjawab "Mereka menangkap kakaktua Pek Sian Cu, Liok Giok.

   Aku dan Ong Heng berdebat dengan mereka, tetapi mereka berkeras tidak mau mengembalikan.

   Akhirnya timbullah perkelahian diantara kami."

   Gadis cilik itu menganggukkan kepalanya berkali-kali, kemudian sinar matanya beralih kepada si pelajar. Si pelajar berwajah putih itu tampaknya agak gugup.

   "Kejadiannya kurang lebih memang begitu."

   Katanya cepat-cepat.

   Sikapnya menunjukkan rasa sungkan dan takut.

   Si gadis cilik itu tertawa dingin.

   Dia mengangkat tangannya menggapai, burung kakaktua yang ada dalam dekapan Goan Yu Liong segera mengepakkan sayap dan terbang memutarinya dua kali, mulutnya mengeluarkan suara panggilan "Mei Hun! Mei Hun!"

   Setelah itu dia menggetarkan sayapnya dengan keras dan melesat ke udara lalu terbang Secepat kilat.

   Gadis cilik yang dipanggil Mei Hun itu menunggu sampai Liok Giok hilang dari pandangan, setelah itu dia menolehkan kepalanya ke arah pelajar itu kembali serta berkata.

   "Kalian pergilah di sini biar aku yang urus!"

   Laki-laki bertubuh tinggi besar dan beradat seperti harimau gila ini cepat-cepat mengiakan setelah mendengar perkataan si gadis cilik tersebut.

   Tampaknya dia tidak berani membantah sama sekali.

   Dia segera membungkukkan tubuhnya memungut kembali goloknya yang jatuh di atas tanah kemudian mengundurkan diri ke puncak bukit bersamasama rekannya yang berdandanan pelajar.

   Mei Hun kembali menolehkan kepalanya dan berkata kepada Goan Yu Liong.

   "Mungkin kalian berhasil menangkap Liok Giok tanpa sengaja. Melihat burung itu sangat cantik dan pandai berbicara jadi kalian sayang melepaskannya kembali. Tetapi perlu kalian ketahui bahwa Liok Giok adalah peliharaan kesayangan majikanku, siapapun tidak boleh menyentuhnya apalagi menyakitinya. Hari ini nasib kalian masih terhitung beruntung karena aku yang memergoki kejadian ini. Seandainya Cing Ying atau Pai Ping yang mengetahui, biar kalian beberapa orang ini bergabung menjadi satu juga sulit melepaskan diri dari sepasang cakarnya. Sekarang aku tidak berani mengambil keputusan bagaimana harus memberi hukuman kepada kalian. Aku harus menunggu petunjuk dari majikanku. Liok Giok pasti akan menceritakan apa yang telah terjadi kepada majikanku itu, kalau kalian memang merasa bersalah, tentu tidak keberatan menunggu di sini beberapa saat, aku akan menanyakan dulu bagaimana keputusan majikanku. Tetapi kalau kalian merasa tidak mas, kalian boleh turun tangan serentak. Asal calian dapat menahan sepuluh kali seranganmu, maka aku yang akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Kalian boleh segera tinggalkan tempat ini dengan tenang."

   Selesai berkata, dia berdiri berkacak pinggang.

   Sepasang matanya yang indah menyorotkan sinar bagai kilat yang seakan mendesak mereka untuk segera memberikan jawaban.

   Kalau ditilik dari usianya, apalagi seorang gadis yang lemah gemulai dan cantik, pada saat biasanya siapa yang bisa menahan geli mendengar nada ucapannya yang sesumbar itu.

   Tetapi ketika baru datang, dia sudah sanggup menggetarkan beberapa orang itu sehingga senjata masing-masing terlepas dari tangan dan mereka terdesak oleh angin serangannya sampai terdesak mundur tujuh delapan langkah.

   Padahal begitu banyaknya mata yang melihat kejadian itu, tetapi tidak seorangpun yang dapat melihat jelas gerakan tubuhnya.

   Kenyataan ini membuat mereka terpaksa percaya bahwa kata-katanya bukan sekedar bualan saja.

   Usia Ceng Lam Hong lebih tua dari yang lainnya.

   Tetapi untuk sesaat dia juga tidak tahu bagaimana harus memberikan jawaban.

   Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, terasa angin berdesir, Yang Jen Ping melesat keluar dari tempat persembunyiannya di atas pohon siong.

   Dia segera merangkapkan sepasang kepalan tangannya menjura ke arah si gadis cilik.

   "Ilmu silat Nona sungguh membuat kami kagum, boleh dibilang seperti cerita khayalan saja. Majikan Nona pasti seorang Cianpwe yang hebatnya bukan main. Kalau kami mempunyai kesempatan untuk bertemu, tentu merupakan rejeki kami yang besar sekali. Silaukan Nona temui majikanmu dan tanyakan apa pendapatnya, kami akan menunggu kabar dan petunjuk dari Nona."

   Kata-kata ini diucapkan dengan sopan dan ramah, juga mengandung rasa hormat. Wajah Mei Hun yang mendengarnya langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia mengibaskan kepang rambutnya ke belakang sambil tersenyum manis.

   "Apakah majikanku ingin bertemu dengan kalian atau tidak, aku belum berani memastikan. Tentu saja harus dilihat dari keberuntungan kalian. Tetapi aku rasa apa yang dilakukan oleh Saudara ini tadi bukan suatu kesengajaan, mungkin Beliau tidak akan menuntut lebih jauh. Majikanku jarang bertemu muka dengan orang asing, apalagi kaum laki-laki"

   Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba terdengar suara pekikan panjang yang memekakan telinga, mirip dengan gesekan benda logam yang keras.

   Beberapa orang itu segera mendongakkan kepalanya melihat ke atas, pandangan mereka menangkap bayangan samar-samar di bawah kelap-kelipnya bintang-bintang yang bertaburan di langit.

   Setelah beberapa saat baru terlihat jelas bahwa suara itu timbul dari seekor burung elang yang bulunya berwarna hijau.

   Begitu besarnya elang itu sehingga dari kepala sampai ekor panjangnya tidak kurang dari sembilan kali.

   Sepasang sayapnya direntangkan lebarlebar.

   Paling tidak lebarnya mencapai satu setengah meter.

   Sungguh sulit menemui elang sebesar itu.

   Ketika jaraknya dengan tanah masih sekitar tiga de-paan, dia tidak melayang lebih rendah lagi tetapi tetap mengepakkan sayapnya terbang berputaran di udara.

   Di atas panggungnya yang berkilauan dengan warna-warni yang indah duduk seorang gadis bergaun putih.

   Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang terurai di pundak.

   Tangannya menyandang sebuah keranjang.

   Liok Giok justru duduk di dalam keranjang itu.

   Entah rumput apa yang terdapat di dalam keranjang itu karena tercium bau harum seiring dengan hembusan angin yang berlalu.

   Jarak antara rombongan Ceng Lam Hong dengan burung raksasa itu cukup jauh, apalagi wajah gadis itu tertutup sehelai cadar putih sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana raut wajah gadis itu sebenarnya.

   Di atas sayap sebelah kiri burung elang tersebut berdiri seorang gadis yang pakaiannya mini dengan sepasang pundak terbuka.

   Tampaknya usia gadis ini tidak jauh berbeda dengan Mei Hun.

   Tampaknya Mei Hun benar-benar terkejut melihat kemunculan si gadis berpakaian putih.

   Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu.

   Tetapi sekejap kemudian dia sudah pulih kembali, dia segera merangkapkan sepasang telapak tangannya seperti orang yang menyembah.

   "Budak baru saja akan kembali ke rumah, agar Cujin (majikan) jangan sampai menempuh perjalanan di tengah pegunungan yang sunyi, sungguh tidak mengira"

   Terdengar suara merdu si gadis berpakaian putih itu.

   "Liok Giok sudah menceritakan semuanya kepadaku. Kalau mereka memang tidak sengaja, kita juga tidak usah memperpanjang urusan ini. Biarkan saja mereka pergi."

   Baru saja gadis berpakaian putih itu selesai berkata, si gadis berpakaian mini yang berdiri di sayap sebelah kiri burung elang itu segera berteriak.

   "Mei Hun Cici, cepat naik ke mari, Cujin ingin mengejar waktu melihat matahari terbit di gunung Thai San."

   Mei Hun menolehkan kepalanya melihat ke arah Yang Jen Ping. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang manis.

   "Kalian boleh pergi sekarang."

   Kemudian tampak dia melangkahkan kakinya dengan ringan, tidak terlihat bagaimana dia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia sudah mencelat ke atas dengan gaya yang indah.

   Di tengah udara dia bersalto satu kali kemudian hinggap di atas sayap elang raksasa sebelah kanan.

   Sekali lagi terdengar suara pekikan yang panjang, sayapnya dikepakkan perlahan-lahan kemudian bagai sebatang anak panah yang melesat, tubuhnya terbang ke udara.

   Dalam sekejap mata bayangannya sudah berubah menjadi titik hitam yang lambat laun menghilang dari pandangan.

   Arah yang diambil ketiga gadis itu sebelah barat.

   Kejadian yang mereka alami seperti mimpi juga bagai khayalan.

   Untuk sesaat rombongan si pengemis cilik sampai terkesima sehingga tidak ada yang sanggup mencetuskan sepatah katapun.

   Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Hek Lohan Sam Po Hwesio menarik nafas panjang.

   Dia menepuk-nepuk kepalanya yang gundul sembari menghitung-hitung biji tasbihnya.

   Mulutnya bergerak seperti bergumam seorang diri.

   "Kejadian yang benar-benar aneh. Aneh sekali. Si Hwesio cilik kali ini benar-benar bertemu dengan dewa."

   Si pengemis cilik Cu Cia tertawa lebar.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pertemuan ajaib seakan hanya terjadi dalam mimpi saja. Si pengemis cilik matanya benar-benar terbuka sekarang. Seandainya di Pek Hun Ceng nanti sampai kehilangan selembar jiwa, rasanya juga tidak penasaran lagi!"

   Sam Po Hwesio sampai tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya.

   "Ceng Pek-bo, undangan makan si Hwesio cilik dan si tukang minta-minta ini kali hebat sekali, bukan? Sudah mendapat suguhan hidangan yang istimewa, dapat melihat rombongan bidadari yang menunggang elang lagi. Gunung Thai San jaraknya demikian jauh, letapi mereka mengatakan akan mengejar waktu untuk melihat matahari terbit, bayangkan saja. Jodoh pertemuan ini hanya terjadi secara kebetulan dan tidak bisa dipinta. Lebih baik kita bergegas meneruskan perjalanan, buat apa berdiri di sini termangu-mangu menghabiskan waktu?"

   Selesai berkata, sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak.

   Tanpa menunggu jawaban dari yang lainnya, tubuhnya bergerak mendahului rekan-rekannya berlari ke atas lembah tersebut.

   Beberapa orang lainnya segera mengikuti dari belakang.

   Dengan bantuan cahaya rembulan mereka menempuh perjalanan.

   Tengah hari esoknya mereka sudah keluar pari daerah pegunungan.

   Sepanjang perjalanan mereka terus membicarakan kejadian aneh sang mereka alami hari sebelumnya.

   Memang hal itu seperti impian semata, seperti khayalan tetapi kenyataan.

   Mengingat kembali kemunculan gadis yang menunggang elang raksasa itu dan ilmu silat budaknya Mei Hun yang begitu menakjubkan, kalau mereka tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu mereka tidak perca,ya kalau di dunia ini ida orang yang baik hidup maupun ilmu silatnya bagai para dewata di khayangan.

   Setelah melakukan perjalanan selama dua hari berturut-turut, mereka sampai di istana Ki Ling.

   Gedung ini merupakan istana kuno wilayah San Tung.

   Keadaannya sudah hancur dan hanya temboknya saja yang dijadikan batas masuk ke dalam kota, namun sampai saat ini masih merupakan penghubung antar kota yang sangat ramai.

   Baik pengusaha maupun pelancong banyak yang berlalu lalang di kota ini.

   Keenam orang itu masuk ke dalam kota, tepat waktu menjelang tengah malam.

   Yang Jen Ping berjalan di depan, setelah melewati sebuah jalan yang besar, sampailah di pusat kota yang ramai.

   Meskipun malam sudah cukup larut, masih banyak orang yang hilir mudik maupun berbelanja di toko-toko.

   Tampaknya kehidupan di kota ini hampir tidak pernah berhenti.

   Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tampak di sebelah kiri ada sebuah gedung tinggi dengan lentera yang tergantung di sekelilingnya, dengan demikian keadaan jadi terang benderang.

   Di bagian atapnya tergantung tiga huruf berwarna emas yang menyolok sekali, Suang Eng Lau (Gedung sepasang pahlawan) Yang Jen Ping merasa nama yang dipilih si pemilik rumah makan ini agak aneh.

   Belum sempat dia mengatakan apa-apa, si pengemis cilik dan Sam Po Hwesio sudah melesat masuk bagai hembusan angin.

   Terpaksa dia juga ikut melangkahkan kakinya ke dalam.

   Pelayan rumah makan sekaligus penginapan ini melihat kemunculan si pengemis cilik dan Sam Po Hwesio yang pakaiannya compang-camping dan tidak karuan, tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya berkerut.

   Tetapi ketika dia melihat Ceng Lam Hong, Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong yang tampangnya gagah serta bersikap anggun ikut masuk ke dalam rumah makan tersebut, rasa ragu-ragu-nya lenyap seketika.

   Tampaknya tamu-tamu ini termasuk orang kaya yang seleranya aneh-aneh.

   Mereka langsung diajak ke ruangan dalam yang tenang dan sunyi.

   Ruangan dalam ini dekat dengan taman bunga, tempatnya luas dan aneh.

   Ada tiga buah kamar yang dibangun dalam satu deretan.

   Pelayan itu mengantarkan mereka sampai ruangan tamu yang luas dan segera memamerkan senyumannya yang paling ramah.

   "Tuan-tuan sekalian, apakah kalian ingin memesan hidangan atau arak? Meskipun penginapan kami ini tidak dapat dibandingkan dengan istana kaisar, tetapi keadaannya tenang sehingga Tuan-tuan tamu dapat beristirahat tanpa merasa terganggu."

   Ceng Lam Hong tersenyum simpul mendengar ucapannya.

   "Sekarang kau pesankan dulu berbagai hidangan yang istimewa dari rumah makan kalian ini dan jangan lupa araknya yang paling bagus. Seluruh ruangan ini akan kami borong, jangan sampai dioperkan kepada orang lain."

   Pelayan itu kembali tertawa lebar.

   "Apa yang Hujin pesan tentu tidak berani kami langgar, tetapi ada sedikit perkataan yang harus hamba sampaikan terlebih dahulu."

   Cu Cia melihat gaya bicaranya yang plintat-plintut, hampir saja dia kehabisan rasa sabarnya. Sepasang matanya mendelik lebar-lebar dan bertanya dengan garang.

   "Mengapa kau tidak berkata terus terang saja? Biar Hwesio makan delapan macam daging-dagingan atau si tukang minta-minta ini minum habis arak persediaan yang ada, kami juga bukan jenis manusia yang suka makan secara cuma-cuma. Meskipun aku demikian miskin sampai baju utuh saja tidak terbeli, tetapi rekan-rekanku ini semua biangnya harta, tahu? Apakah kau takut kami tidak kuat membayar lalu kabur sehingga belum apa-apa kau sudah minta uang jaminan dulu?"

   Si pelayan itu tidak marah mendengar kata-katanya yang ketus. Dia malah menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

   "Hamba mana berani mempunyai pikiran seperti itu? Sekali lihat saja, hamba sudah tahu bahwa Tuan-tuan ini pasti hartawanhartawan yang kaya raya. Kalau tidak, aku juga tidak akan mengajak kalian ke ruangan yang istimewa ini."

   Mendengar ucapannya yang pandai berkilah ini, Yang Jen Ping juga ikut-ikutan tersenyum.

   "Ada apa kau katakan saja terus terang, kalau rasanya tinggal di sini ada masalah, kami tidak keberatan pindah ke penginapan yang lain."

   Katanya. Si pelayan cepat-cepat membungkukkan tumbuhnya menghormat dengan gaya gugup.

   "Tuan tamu, kau jangan salah paham. Maksud hamba, di dalam taman bunga tinggal beberapa orang tamu, mereka pernah berpesan. Tidak perduli siapapun, tidak ada yang boleh menindakkan kakinya selangkah ke dalam taman bunga. Ruangan tempat tinggal kalian ini dekat dengan taman bunga. Siapa tahu setelah minum arak timbul pikiran untuk berjalan-jalan mencari angin di taman bunga, bukankah akhirnya malah timbul perselisihan? Usaha kami ini menjaga supaya langganan jangan bosan berkunjung, tentu saja tidak ingin ada kesulitan apapun. Oleh karena itu, hamba terpaksa memberitahukan lebih dahulu kepada Tuan-tuan tamu, sebaiknya jangan masuk ke dalam taman bunga."

   Sepasang alis si pengemis cilik langsung terjungkit ke atas mendengar keterangannya.

   "Si pengemis cilik ini sudah berkelana dari daerah utara sampai ke selatan. Hampir semua penginapan sudah pernah aku singgahi. Tetapi selamanya belum pernah mendengar adanya peraturan seperti ini? Apakah tamu yang menginap di taman bunga itu adalah Kaisar zaman ini?"

   "Siapa yang tinggal di sana, hamba benar-benar tidak jelas. Setelah tamu muda yang tinggal di taman bunga itu keluar, hari kedua datang lagi seorang laki-laki tinggi besar bercambang lebat. Orangnya hanya berdua, tetapi setiap pesan makanan selalu lima porsi lengkap dengan hidangannya, selain itu setiap hari harus juga disediakan sepuluh kati daging mentah. Kadang-kadang semuanya disapu bersih, kadang-kadang tidak disentuh sama sekali."

   Perasan Ceng Lam Hong peka sekali, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu.

   "Setiap kali kau mengantar makanan ke sana, apakah kau tidak bisa mengintip siapa sebenarnya yang tinggal di sana?"

   "Pengadilan ada hukumnya, jalananpun ada peraturannya. Kami yang membuka usaha seperti ini hanya mengandalkan apa yang dipesankan oleh tamu-tamu. Kedua tamu itu memberi perintah kepada hamba agar setiap kali mengantar makanan, taruh saja di tengah-tengah taman di mana tersedia bangku panjang untuk duduk menikmati hawa segar. Tentu saja kami tidak berani berkeras hendak mengantarnya ke dalam kamar. Dia berpesan agar para tamu yang lain tidak boleh menginjak taman bunga, otomatis hamba juga menyampaikannya kepada para tamu sekalian, jangan sampai menginjakkan kaki selangkah-pun ke dalam taman bunga. Kalau melihat dari dandanan kalian, tentunya termasuk tokoh-tokoh dunia Kangouw juga. Seandainya kalian tetap ingin masuk ke dalam taman bunga, sudah pasti hamba tidak berani melarang. Persoalan aneh di dunia Kangouw terlalu banyak, hamba hanya bisa berkata sampai sekian saja."

   Selesai berkata, dia membungkukkan tubuhnya menghormat dalam-dalam sekali lagi kemudian baru mengundurkan diri.

   Si pengemis cilik memperdengarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.

   Perlahanlahan dia berjalan menuju jendela kemudian membuka lebar-lebar bagian yang menghadap taman bunga, dia melongokkan kepalanya.

   Di bawah cahaya rembulan yang terang, pemandangan di sekitar dapat terlihat dengan jelas.

   Di sekelilingnya terdapat tembok pembatas, hanya bagian tengahnya yang merupakan pintu masuk.

   Di pusat taman itu terdapat sebuah gunung buatan, di kiri kanannya terdapat dua buah tempat peristirahatan berbentuk ramah tetapi tanpa tembok atau pagar yang mengelilinginya.

   Samar-samar terlihat beberapa buah ruangan kamar di dua sudut yang berhadapan.

   Serahgkum angin malam menghembus bau bunga yang harum dan segar.

   Di dalam taman suasana hening sekali, tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan.

   Setelah memperhatikan beberapa saat, si pengemis cilik menggaruk-garukkan kepalanya lalu membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke tempat duduknya semula.

   Dia mendongakkan kepalanya dan merenung sekian lama.

   Tiba-tiba tampak dia menggebrak meja dan bicara seorang diri.

   j.

   "Pasti mereka! Tidak salah lagi, pasti mereka!"

   Mendengar gumaman si pengemis cilik, tampaknya Ceng Lam Hong, Yang Jen Ping juga ikut tersadar, mulut mereka mengeluarkan suara desahan serentak.

   Hal ini membuat Ban Jin Bu, Goan Yu Liong dan Sam Po Hwesio segera menatap diri Cu Cia lekat-lekat, kemudian serentak mereka menoleh kembali kepada Ceng Lam Hong dan Yang Jen Ping dengan pandangan bertanya.

   Sam Po Hwesio menuding ke arah si pengemis cilik sambil menggerutu.

   "Buat apa si tukang minta-minta ini berlagak yang bukan-bukan? Aku justru tidak percaya kalau kau lebih cerdas dari pada aku si Hwesio ini. Kalau kau masih sok bangga, jangan salahkan kalau aku akan membuka mulut mengomel!"

   Si pengemis cilik tertawa lebar.

   "Hwesio sembahyang Buddha membaca kitab suci setiap hari, mana boleh buka mulut selalu memaki orang? Orang sepertimu ini, sejak dulu-dulu sudah tidak pantas menggunduli rambut dan menjadi murid Buddha."

   "Dalam kitab suci ada disebutkan. Ada tiada sama saja. aku justru tidak percaya, kalau tidak makan daging anjing atau minum arak, pasti bisa naik ke surga menjadi dewa. Kau tidak usah berlagak bodoh memutar omongans ke sana ke mari. Siapa sebetulnya yang kau maksudkan? Kalau ka\i masih membiarkan aku dalam kendi arak, mungkin aku benarbenar bisa terbang ke langit menjadi dewa!"

   Si pengemis cilik tampaknya memang sengaja ingin menggodanya. Kembali dia tertawa lebar menanggapi ucapan rekannya.

   "Lebih baik kau makan dan minum dulu. Nanti aku pasti akan memberitahukan kepadamu. Kalau kau sampai mati, si pengemis cilik juga tidak bergairah hidup seorang diri di dunia ini. Kita berdua sahabat sejati ini hidup mati bersama. Kalau kau memang tidak takut, malam ini kita sama-sama pergi menyelidiki rahasianya. Apabila tebakan si pengemis cilik ini tidak salah, mungkin kita malah bisa bergandengan tangan naik ke atas surga."

   Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong tahu benar kalau si pengemis cilik ini orangnya pemberani dan berjiwa besar, hatinya juga mulai sekali.

   Walaupun tampangnya tersenyum simpul, tetapi kata-katanya serius.

   Mereka segera tahu bahwa hatinya sedang memikirkan sesuatu.

   Dia mengatakan ada kemungkinan naik ke surga bersama-sama, berarti urusan ini cukup berbahaya.

   Apa lagi setelah melihat wajah Ceng Lam Hong dan Yang Jen Ping yang juga berubah kelam serta menatap cawan arak dengan mata menerawang.

   Sikap yang diam mencekam ini menimbulkan suasana yang bukan main tegangnya.

   Goan Yu Liong yang usianya paling muda menjadi panik, matanya menatap kepada si pengemis cilik dengan sinar mengandung permohonan.

   "Koko pengemis, siapa yang kau katakan tinggal dalam taman itu, bolehkah kau memberitahukannya kepada aku? Kalau memang mereka tidak ada hubungannya dengan kita, buat apa kau menempuh bahaya sedemikian besar?"

   "Di depan mata sekarang ini golongan sesat bermunculan di mana-mana. Mungkinkah tamu yang tinggal di dalam taman merupakan tokoh-tokoh dari Si Yu atau Lam Hay?"

   Ban Jin Bu ikut bertanya.

   Kedua orang itu secara berturut-turut m engajukan pertanyaan.

   Si pengemis cilik terus meneguk araknya sambil tersenyum namun tidak memberikan jawaban.

   Kadang-kadang dia didesak sedemikian rupa sehingga akhirnya dia menjawab dengan nada enggan.

   "Kalian sabarlah sebentar, sebelum kentungan kedua nanti aku akan mengajak kalian ke sana."

   Saat ini sudah menjelang tengah malam, tetapi di dalam ruangan terdapat dua batang lilin besar seperti lengan manusia dan menerbitkan sinar terang.

   Keadaan memang tidak gelap, tetapi udaranya justru terasa pengap sampai bernafaspun terasa sesak.

   Tiba-tiba terdengar si pengemis cilik tertawa dingin satu kali.

   "Sahabat di luar berdiri terus tentu bisa kedinginan, kalau memang berminat, mengapa tidak masuk saja ke dalam dan ikut ngobrol bersama? Mengendap-endap di luar jendela orang dan mencuri dengar pembicaraan orang lain, benar-benar perbuatan yang tidak sopan serta melanggar peraturan Bulim!"

   Baru saja ucapannya selesai, rekannya yang lain segera menolehkan wajahnya menghadap jendela.

   Ternyata memang seperti ada bayangan yang berkelebat di sana.

   Ban Jin Bu terkejut setengah mati, dia mendorong meja dan bangkit berdiri.

   Baru saja dia ingin menerjang keluar untuk menangkap orang itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang dingin menyusup ke dalam telinga.

   Dalam waktu yang bersamaan, si pengemis cilik mengulurkan tangan menahan dirinya.

   Bibirnya tersenyum lebar.

   "Percuma kau keluar, orangnya sudah lari!"

   Mendengar kata-katanya, Goan Yu Liong kesal sekali.

   Dengan menahan rasa mendongkol dalam hatinya, dia terpaksa duduk kembali.

   Sam Po Hwesio mengangkat cawannya terus menerus dan secara berturut-turut dia telah menghabiskan arak sebanyak dua belas kati.

   Tiba-tiba wajahnya menjadi serius, dia meletakkan cawannya di atas meja dan bertanya kepada Cu Cia.

   "Hei, tukang minta-minta! Apakah orang-orang yang kau katakan tinggal di dalam taman itu justru tiga bidadari yang menunggang elang raksasa dua malam yang lalu?"

   Si pengemis cilik menganggukkan kepalanya.

   "Tidak salah, masih ada lagi si laki-laki kasar dan pelajar berwajah putih. Apabila semuanya digabungkan, jumlahnya tepat lima orang. Satupun tidak kurang dari jumlah hidangan yang mereka pesan. Sedangkan empat puluh kati daging mentah, tentu saja makanan si elang raksasa itu. Si pengemis cilik sendiri tahu bahwa penyelidikan kita nanti memang sangat berbahaya. Si laki-laki kasar dan rekannya yang pelajar itu sudah cukup repot dihadapi. Sedangkan kedua gadis cilik yang berkepang itu, apabila mereka ingin meringkus kami, tentu mudah sekali seperti membalikkan telapak tangan sendiri. Dan gadis berpakaian putih yang duduk di punggung elang raksasa itu adalah majikan mereka, tentu saja ilmu silatnya lebih mengerikan lagi. Kalau bukan dewa pasti siluman pedang. Kepergian kita kali ini mungkin benar-benar tidak sulit apabila ingin langsung naik ke atas surga."

   Mendengar keterangannya, beberapa orang yang lain juga ikut tersadar.

   Di dalam hati mereka masing-masing seakan terselip sesuatu perasaan yang tidak mereka mengerti.

   Entah rasa takut, tegang atau penasaran.

   Rasanya ingin sekali melihat apakah mereka benar-benar tamu yang dimaksudkan, namun rasanya tidak berani.

   Tetapi seluruh anggota badan seperti dihinggapi penyakit gatal-gatal.

   Duduk salah berdiripun salah.

   Rasanya lama sekali waktu berlalu, akhirnya di luar jendela terdengar suara kentungan sebanyak tiga kali.

   Si pengemis cilik menekuk pinggangnya yang terasa pegal, setelah itu dia mendorong meja dan bangkit berdiri.

   "Baiklah, kita sudah boleh pergi sekarang."

   Biar bagaimana usia Ceng Lam Hong lebih tua dari yang lainnya. Dalam segala hal pertimbangannya lebih matang. Mendengar ucapannya, sepasang alisnya yang indah langsung mengerut.

   "Tengah malam begini mengendap-endap ke ruangan orang lain menyelidiki kehidupan pribadi orang, bukan hal yang dilakukan oleh kita dari golongan lurus. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian kembali saja ke kamar untuk beristirahat. Jangan suka ikut campur urusan orang lain atau mencari kesulitan bagi diri sendiri."

   Sam Po Hwesio merekahkan secercah tawa yang lebar.

   Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba sepasang alisnya terjungkit ke atas dan indera pendengarannya dipertajam.

   Rupanya dari tengah ruangan terdengar suara langkah kaki yang lirih mendatangi.

   Tanpa terasa dia mengeluarkan suara batuk kecil kemudian membungkam kembali.

   Rekannya yang lain tahu bahwa suara batuknya tadi merupakan isyarat agar mereka jangan bersuara.

   Kemudian dari luar halaman terdengar suara yang nyaring dan lantang.

   "Pendekar pedang tingkat Lima dari Tiong-goan, Tan Ki sengaja datang untuk mengakui kesalahan!"

   Tengah malam suasana sunyi sekali, suara itu menjadi semakin jelas terdengar.

   Keenam orang yang ada di dalam ruangan besar sama-sama terperanjat mendengar suara itu.

   Mereka benar-benar merasa sangat terkejut.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hitung-hitung si pengemis cilik yang lebih cekatan dan cepat tanggap.

   Dia segera bergerak membuka jendela lalu mengintip keluar.

   Begitu pandangannya dipusatkan, dia melihat seseorang berdiri di bawah cahaya mentari yang dingin, siapa lagi kalau bukan Tan Ki? Ceng Lam Hong sampai merasa terkejut sekaligus gembira melihatnya.

   Yang membuatnya terkejut adalah kesalahan yang tadi diakui oleh Tan Ki.

   Dia tidak mengerti putra kesayangannya berbuat kesalahan apa, sehingga tengah malam datang ke tempat orang mengaku dosa.

   Yang membuatnya gembira justru dapat bertemu dengan putranya meskipun telah menempuh perjalanan sejauh ini.

   Baru saja dia melangkah maju dengan maksud memanggilnya, tiba-tiba terdengar suara Cu Cia yang berat.

   "Pek-bo jangan bersuara dulu. Biar kita dengar dulu apa maksud ucapan Ki-heng tadi. Kalau sampai tampak keadaan membahayakan, kita baru memanggil juga belum terlambat!"

   Ceng Lam Hong merenung sejenak, dia merasa apa yang dikatakan si pengemis cilik masuk akal juga.

   Oleh karena itu, dia segera membatalkan niatnya dan memperhatikan gerak-gerik Tan Ki secara diam-diam.

   Sementara itu dia juga sudah mengerahkan tenaga dalamnya, asalkan ada sesuatu yang kira-kira membahayakan diri putra kesayangannya, dia akan segera menerjang keluar untuk memberikan bantuan.

   Tampak pintu ruangan seberang di dalam taman terbuka, keluar dua orang laki-laki dan berdiri di depan Tan Ki.

   BAGIAN XL Si pengemis cilik segera memusatkan perhatiannya.

   Ternyata tebakannya memang tidak salah.

   Kedua orang itu tidak lain dari laki-laki kasar yang menimpuk Goan Yu Liong dengan senjata rahasia serta si pelajar berwajah putih.

   Meskipun dalam hati anak muda ini memang bimbang terhadap ketiga gadis yang seperti bidadari dari khayangan, kadang-kadang terasa seperti kawan tetapi kadangkadang juga seperti lawan.

   Tetapi melihat Tan Ki yang muncul secara tidak terduga-duga, bahkan mengucapkan kata-kata bahwa kedatangannya untuk mengakui kesalahan, tanpa dapat ditahan lagi dia merasa terkesiap dan heran.

   Untuk sesaat dia malah jadi termangumangu.

   Tampak kedua laki-laki itu berjalan keluar lalu berhenti di depan Tan Ki.

   Perasaan si pengemis cilik semakin cemas dan panik.

   Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mengeluarkan suara bentakan, tubuhnya menerjang ke depan melesat keluar lewat jendela.

   Melihat tindakannya, yang lainnya segera mengikuti.

   Di bawah cahaya rembulan terlihat bayangan tubuh berkelebat, suara angin berdesir, boleh dibilang dalam waktu yang bersamaan, di samping Tan Ki telah berdiri lima enam orang.

   Sikap masing-masing serius sekali, mereka seakan ingin melindungi Tan Ki dari kiri kanan.

   Tampaknya Tan Ki sendiri merasa heran dan terkejut atas kemunculan ibu serta si pengemis cilik.

   Tetapi sesaat kemudian tampangnya sudah pulih kembali.

   Hanya tampak sepasang alisnya yang bertaut dengan erat dan wajahnya kusut seperti orang yang habis bekerja keras.

   Mungkin juga dalam beberapa hari ini dia tidak dapat tidur dengan nyenyak.

   Sepasang matanya merah membengkak.

   Melihat kemunculan beberapa orang itu, seolah-olah banyak sekali kata-kata yang ingin diutarakannya, tetapi setelah bibirnya bergerak-gerak dua kali, tiba-tiba dia tertawa sumbang.

   Mulutnya malah membungkam namun sikapnya tampak kurang wajar.

   Ceng Lam Hong tertawa sendu.

   "Aku kira kau bertekad untuk membalas dendam sehingga mengikuti permintaan Oey Kang bertemu di Pek Hun Ceng, siapa nyana kita justru bisa bertemu di tempat ini"

   Berkata sampai bagian yang sedih, tanpa dapat ditahan lagi dua bulir air mata jatuh membasahi pipinya. Tan Ki memaksakan dirinya tersenyum. Matanya mengalih kepada Cu Cia.

   "Yang ini mungkin murid utama Cian Locianpwe yang mendapat julukan si penge mis cilik Cu-heng?"

   Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.

   "Bagus sekali, bagus sekali. Karena pertandingan di atas panggung, hati si pengemis cilik jadi kagum bukan main terhadap dirimu, bahkan beberapa sahabat ini ikut-ikutan rela menjadi pendukung yang paling setia."

   Saat itu juga dia memperkenalkan Yang Jen Ping, Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong bertiga kepada Tan Ki. Tan Ki langsung menjura ke kiri kanan kemudian dia baru berkata.

   "Kesalahan tangan ketika pertandingan, benar-benar bukan suatu kesengajaan. Di sini Siaute menyatakan menyesal dan mohon maaf."

   Selesai berkata, dia segera membungkukkan tubuhnya rendah-rendah. Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Baru saja dia ingin menanyakan maksud kedatangan Tan Ki, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari si pelajar berwajah putih.

   "Apakah kau anak muda yang memukul Liok Giok sehingga terbuka?"

   "Tidak salah. Memang Cayhelah orangnya. Harap Saudara berdua masuk ke dalam dan laporkan kepada majikan kalian bahwa Pendekar tingkat lima dari Tionggoan, Tan Ki mohon dapat bertemu."

   Pelajar yang tampan itu mendonggakkan wajahnya menatap warna langit.

   "Saat ini baru memasuki kentungan pertama, majikan kami sedang berlatih ilmu.

   Mungkin memerlukan waktu kurang lebih satu kentungan lagi, baru selesai.

   Kau boleh pergi dulu ke tempat lain dan kembali lagi pada kentungan ketiga nanti."

   Mendengar kata-katanya, sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas, tampaknya dia mulai merasa kesal. Oleh karena itu dia segera menyahut dengan suara lantang.

   "Yang suruh aku datang kalian, sekarang yang mencari alasan menunda-nunda waktu kalian juga. Apakah kalian kira aku ini manusia yang mudah dipermainkan? Disuruh pergi langsung pergi, disuruh datang cepat-cepat datang? Melihat tingkah laku kalian lyang menyebalkan ini, entah apa sebenarnya yang terkandung dalam hati kalian?"

   Wajah si laki-laki bercambang perlahan-lahan mulai berubah.

   "Buat apa kau berteriak keras-keras, apakah kau sengaja ingin mengganggu majikan kami yang sedang melatih ilmu? Kalau kau tidak senang, boleh keluarkan senjatamu dan kita berdua berkelahi sebanyak tiga ratus jurus dan lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!"

   Ceng Lam Hong melihat hawa kemarahan mulai berkobar di antara keduanya. Mungkin setiap saat bisa meledak menjadi pertikaian besar, cepat-cepat dia menarik tangan Tan Ki dan tersenyum lembut.

   "Anak Ki, jangan berkeras sehingga timbul masalah dengan orang. Lebih baik kita ikuti saja kata-katanya. Sekarang kita kembali dulu ke ruangan yang kita sewa, nanti kentungan ketiga baru kita kembali lagi."

   Tan Ki memandang si laki-laki kasar dengan tatapan marah.

   Dia seakan tidak dapat menahan kegeraman di dalam hatinya, tetapi dalam hatinya ada sesuatu yang dipertimbangkan sehingga akhirnya dia cuma menarik nafas panjang.

   Setelah menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras, dia mengikuti Ceng Lam Hong dari belakang menuju ke ruangan yang disewa oleh rombongan rekan-rekannya.

   Telinganya menangkap suara tertawa dingin yang terpancar dari belakang punggungnya.

   Saking kesalnya dia sampai menggertakkan gigi erat-erat dan hampir saja air matanya mengalir keluar.

   Beberapa saat kemudian, mereka sudah duduk di dalam ruangan tamu.

   Usia Goan Yu Liong paling muda dan dalam segala hal selalu tergesa-gesa.

   Cepat-cepat dia menyatakan kehendak hati mereka yang ingin mengangkat persaudaraan dengan Tan Ki.

   Siapa nyana anak muda itu menggelengkan kepalanya sambil tertawa getir.

   "Setelah kentungan ketiga nanti, selembar nyawaku ini entah masih dapat dipertahankan atau tidak, masih belum jelas. Perasaan adik Liong yang tulus, Siaute hanya dapat memendamnya dalam-dalam di hati."

   Si pengemis cilik melihat tampang Tan Ki muram sekali, tetapi bukan seperti sengaja dibuat-buat, diam-diam hatinya jadi terkesiap.

   Tetapi di luar dia masih berlagak santai seakan tidak ada apa-apa.

   "Kata-kata Ki-heng ini benar-benar membuat si pengemis cilik jadi tidak mengerti.

   Keadaan Ki-heng sekarang kan baik-baik saja, mengapa mengucapkan kata-kata yang bukan-bukan seperti tadi?"

   Mata Tan Ki perlahan-lahan mengedar ke beberapa orang di dalam ruangan tersebut.

   Dia melihat wajah mereka menunjukkan rasa ingin tahu serta penasaran apa sebetulnya yang terkandung dalam ucapannya barusan.

   Tanpa dapat ditahan lagi dia menarik nafas panjang dan menuturkan apa yang dialaminya.

   *** ( )*** Rupanya si pengemis sakti Cian Cong sebagai panitia penyelenggara Bulim Tayhwe memang paling sulit disuruh duduk berdiam diri.

   Sejak pagi dia sudah duduk di belakang meja dan tidak pernah bergerak sedikitpun.

   Hal ini membuat seluruh tubuhnya menjadi tidak enak seperti orang yang dipenjara saja.

   Melihat Tan Ki secara berturut-turut berhasil menjalankan enam kali pertandingan dengan angka lima menang satu kali seri sehingga akhirnya mendapat gelar Pendekar pedang tingkat lima, hatinya merasa terhibur juga.

   Siapa tahu ketika menjelang malam, pertandingan akan dimulai lagi, bayangan anak muda itu malah tidak kelihatan.

   Tanpa dapat ditahan lagi, baik Cian Cong maupun Yibun Siu San jadi kelabakan setengah mati.

   Begitu paniknya kedua orangtua itu sampai keringat dingin bercucuran.

   Akhirnya Cian Cong terpaksa meninggalkan panggung pertandingan untuk mencari Tan Ki.

   Setelah ubek-ubekan kurang lebih dua kentungan lamanya, akhirnya Cian Cong menemukan tulisan atau pesan yang ditinggalkan oleh Cu Cia.

   Kali ini, Cian Cong benar-benar memaki-maki muridnya sendiri sebagai manusia paling goblok di dunia ini.

   Biarpun tokoh tua ini terkenal panjang akalnya, namun saat itu dia juga kebingungan.

   Sepasang alisnya sampai mengerut terus menerus.

   Hatinya menyimpan kasih sayang yang besar terhadap Tan Ki.

   Dia berharap anak muda itu akan menjadi seekor naga sakti di dunia Kangouw dan merebut kedudukan Bulim Bengcu.

   Oleh karena itu, diam-diam dia berpesan kepada Cu Cia dan Sam Po Hwesio agar mengintil di belakang Tan Ki dan memperhatikan gerak-geriknya.

   Di satu pihak untuk mengawasi, di lain pihak juga untuk melindungi.

   Tetapi justru pada hari pertama diadakan pertandingan silat, kedua orang itu malah kehilangan sasarannya.

   Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke Pek Hun Ceng seorang diri.

   Tokoh tua ini memiliki ilmu silat yang tinggi serta bernyali besar.

   Selama malang melintang di dunia Kangouw selama tujuh puluhan tahun, belum pernah dia mendapat tandingannya.

   Meskipun dia sadar bahwa Oey Kang disebut sebagai Raja iblis nomor satu di dunia serta memiliki berbagai macam kepandaian, termasuk ilnri racun.

   Juga ilmu Mo Hun Cap Pek-cao atau Delapan Jurus Meraba Awan, yang membuat namanya terkenal di dunia persilatan.

   Dengan mengandalkan sepasang telapak tangannya serta tenaga dalamnya yang sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan, dia juga tidak memandang sebelah mata terhadap lawannya itu.

   Cepat-cepat dia meninggalkan sebaris tulisan untuk Yibun Siu San kemudian berangkat menuju Pek Hun Ceng.

   Ilmu ginkang si pengemis sakti ini tak perlu ditanyakan lagi sampai di mana ketinggiannya.

   Mendaki gunung, melintasi bukit bagai tanah datar saja.

   Gerak tubuhnya laksana seekor burung besar yang terbang pesat.

   Pada hari kedua dia sudah sampai di Pek To San.

   Dia sudah pernah datang ke Pek Hun Ceng satu kali.

   Jalanan di sekitar tempat ini telah dikenalnya dengan baik.

   Dengan mengambil arah memutar lewat hutan kecil, dia menerobos masuk ke dalam perkampungan tersebut.

   Begitu pandangan matanya beredar, dia melihat cahaya pedang berkilauan dari arah padang rumput kecil di sebelah kiri.

   Ada dua orang yang sedang bertarung sengit di sana.

   Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata kedua orang itu bukan Oey Kang dan Tan Ki.

   Malah si perempuan yang rela mengorbankan diri bagi Tan Ki, yakni Liang Fu Yong dan seorang laki-laki berpakaian putih yang tampangnya seperti mayat hidup dan kurusnya seperti tengkorak kering.

   Liu Mei Ling justru berdiri di tepian dan memandang jalannya pertarungan sambil berdiri dengan pedang siap di tangan.

   Si pengemis sakti Cian Gong pernah dengar bahwa pada malam pengantinnya, Tan Ki pernah bertarung melawan empat orang Hu-hoat dari perkumpulan Pek Kut Kau asal Si Yu.

   Melihat jalannya pertarungan ini, dia menjadi terperanjat.

   Diam-diam dia berpikir di dalam hati.

   Tokoh-tokoh sesat dari Si Yu mengapa bisa tiba-tiba muncul di tempat ini? Selagi pikirannya masih tergerak, tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan, tangannya terangkat ke atas dan timbullah serangkum angin kencang dan dengan keras dia memisahkan kedua orang yang sedang bertarung dengan sengit itu.

   Tampak keringat sudah membasahi seluruh tubuh Liang Fu Yong.

   Rupanya pertarungan ini sudah menguras tenaganya habis-habisan.

   Sedangkan si mayat hidup berpakaian putih segera mencelat ke belakang.

   Sepasang matanya yang menyeramkan menatap Cian Cong lekat-lekat, mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun.

   Entah apa yang terkandung dalam hatinya.

   Cian Cong tersenyum lembut.

   "Kalian dua bocah perempuan ini, baik-baik di Tok Liong Hong kok tiba-tiba bisa muncul di perkampungan setan ini?"

   Liu Mei Ling mengedip-ngedipkan matanya yang besar. Bibirnya tersenyum simpul.

   "Abang Ki juga datang ke mari, tentu saja kami segera menyusul." . Mendengar ucapannya yang tidak berujung pangkal, si pengemis sakti Cian Cong jadi kebingungan. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya jadi berkerut-kerut. Melihat keadaan ini, Liang Fu Yong segera tampil ke depan menjelaskan "Tadinya kami ingin mencari Tan Ki merundingkan suatu hal, tanpa sengaja menemukan pesan yang ditinggalkan murid Locianpwe"

   Sepasang mata Cian Cong langsung mendelik, dia berkata dengan nada dingin.

   "Lalu kalian takut Tan Ki akan menemui kesulitan sehingga cepat-cepat menyusul ke mari bukan?"

   Orangtua ini selamanya paling suka bergaul dengan orang muda, candanya selalu terdengar dan hampir tidak pernah benar-benar marah.

   Tetapi nada ucapannya kali ini begitu datar dan dingin sehingga terasa seperti menyalahkan kedua gadis itu.

   Hati Liang Fu Yong dan Mei Ling jadi ciut mendengarnya.

   Tiba-tiba terdengar Cian Cong menarik nafas panjang dan wajahnya pulih kembali seperti biasa.

   "Aih, sebetulnya dalam hal ini kalian juga tidak dapat disalahkan.

   Yang satu mencemaskan suaminya, yang satu lagi mengkhawatirkan kekasih hatinya.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sekarang kalian sudah datang ke perkampungan setan ini, si pengemis tua terpaksa berusaha sekuat kemampuan untuk mengajak kalian keluar dari tempat ini!"

   Kata-katanya mengandung makna yang dalam.

   Hati Mei Ling yang polos masih tidak merasakan apa-apa.

   Liang Fu Yong yang mendengarnya justru menjadi merah padam wajahnya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

   Melihat sikapnya yang tersipu-sipu seperti gadis belasan tahun, si pengemis sakti Cian Cong seperti teringat akan sesuatu hal.

   Dia mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak.

   "Si hidung kerbau Tian Bu Cu tempo hari menyuruh kau menyampaikan sepucuk surat, si pengemis sakti sudah membacanya. Melihat sikapmu akhir-akhir ini yang terus berusaha mengubah diri, biar masa lampau kau terkenal jahat dan dikatakan segala macam yang buruk, si pengemis sakti tetap akan membantumu sekuat tenaga. Tetapi jangan sampai telinga tua ini mendengar lagi kisah yang tidak menyenangkan tentang dirimu. Perlu kau ketahui bahwa si pengemis tua paling menentang segala macam kejahatan. Sepasang telapak besi ini tidak pernah membiarkan seorang penjahatpun yang berhasil meloloskan diri"

   Belum lagi ucapannya selesai, terdengar suara Krok! Yang panjang dan mengerikan seperti raungan setan.

   Manusia berpakaian putih itu tiba-tiba menghentakkan sepasang kakinya dan mencelat ke udara sejauh dua depa, sepasang tangannya tegak lurus ke depan dan dengan membawa serangkum angin"

   Yang dingin dia menerjang ke arah pengemis sakti Cian Cong. Sepasang alis Cian Cong langsung terjungkit ke atas. Mulutnya memperdengarkan suara tertawa yang dingin.

   "Lagakmu bisa benar, sepasang tangan pakai direntangkan ke depan dan jalanpun meloncat-loncat seperti mayat beneran. Tapi sayang si pengemis tua selamanya tidak percaya setan atau hantu gentayangan!"

   Sembari berbicara, lengannya bergerak dan sebuah pukulan yang mengandung kekuatan dahsyat langsung dihantamkan ke depan.

   Manusia berpakaian putih itu melihat serangan Cian Cong demikian hebat dan mengandung tenaga dalam yang tidak terkirakan, dirinya sadar bahwa tenaganya sendiri tidak akan sanggup menyambut serangan tersebut, tiba-tiba dia mengeluarkan suara pekikan yang aneh, di atas udara tubuhnya berjungkir balik kemudian menghindar ke samping.

   Dengan gerakan yang ringan, dia sudah berdiri kembali di tempatnya semula.

   Namun tindakannya itu hanya sekejap mata, mendadak tubuhnya mencelat lagi ke udara dan kembali menerjang ke arah Cian Cong.

   Si pengemis sakti Cian Cong tertawa terbahak-bahak.

   Tangannya terulur dan segulung angin kencang langsung menerpa ke depan.

   Si manusia berpakaian putih langsung terdesak mundur ke belakang.

   Manusia aneh berpakaian putih itu merupakan orang yang wataknya keras kepala.

   Melihat terjangannya dua kali tidak membawa hasil, dia menjadi marah sekali.

   Mulutnya terus-terusan mengeluarkan suara pekikan yang mendirikan bulu roma dan terjangannya juga semakin kalap.

   Dengan demikian, serangan yang dilancarkan oleh si pengemis sakti Cian Cong semakin lama juga semakin gencar.

   Kedua belah pihak terus menerjang dan menyerang.

   Sampai kurang lebih sepeminum teh, mendadak terdengar suara siulan yang panjang, nadanya lebih mirip lolongan srigala di malam hari.

   Begitu menusuk telinga dan tidak enak didengar.

   Diam-diam hati si pengemis sakti Cian Cong jadi tergetar.

   Mendadak dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan melancarkan dua buah serangan yang hebat ke arah tubuh manusia berpakaian putih yang sedang menerjang datang ke arahnya.

   Serangannya kali ini, secara berturut-turut dilancarkan sebanyak dua kali.

   Jarak waktunya hanya terpaut sekian detik.

   Sebelumnya si pengemis sakti sudah menghimpun hawa murninya kemudian menyalurkan tenaga dalam ke bagian sepasang lengan.

   Begitu dilancarkan, serangannya bagai ombak yang bergulung-gulung kemudian berkumpul menjadi satu lalu melanda dahsyat ke depan.

   Dalam keadaan panik, tampaknya si manusia berpakaian putih tidak menyangka pihak lawan sudah mengerahkan tenaga dalam dan secara mendadak melancarkan dua buah serangan berturut-turut.

   Ilmu lwekang yang mengandung daya kekerasan ini, apabila diserang oleh pihak lawan, bagaimanapun harus bisa dihindarkan.

   Kalau tidak, bisa muntah darah dan mati seketika.

   Si manusia berpakaian putih juga bukan tokoh yang tidak tahu bahaya.

   Dengan rasa terkejut, dia menggerakkan sepasang lengannya untuk menjaga keseimbangan tubuh sambil menarik nafas dalam-dalam.

   Dengan berusaha segenap kemampuan dia menarik kembali tubuhnya yang sedang meluncur ke depan dan bergerak mundur sejauh dua depaan.

   Cian Cong tertawa dingin, Hawa murninya dikerahkan dan tenaga dalamnya ditambah, serangannya yang sudah hebat bukan main sekarang malah jadi berlipat ganda.

   Tubuh si manusia berpakaian putih sedang melayang di udara, meskipun cara menghindarkan dirinya sudah termasuk cepat tetapi serangan Cian Cong lebih cepat lagi mengejar gerakan tubuhnya.

   Tahu-tahu dia merasa bagian punggungnya terhantam oleh tenaga yang kuat, tubuhnya langsung bergetar.

   Setelah berjungkir balik di udara sebanyak dua kali berturut-turut, hawa murninya tidak dapat dihimpun lagi.

   Otomatis tubuhnya melorot turun kemudian menghempas keras di atas tanah dengan menimbulkan suara berdebum yang memekakkan telinga.

   Boleh dibilang tepat pada saat si manusia berpakaian putih terhempas di atas tanah dalam keadaan terluka parah, terdengar suara angin berdesir serta kibaran pakaian.

   Di atas padang rumput itu telah bertambah empat orang lainnya.

   Yang pertama-tama adalah seorang laki-laki berjubah hitam longgar, matanya sipit mulutnya tebal serta lebar.

   Tinggi badannya kurang lebih lima kaki.

   Sehingga kelihatan gemuk dan pendek dan tidak enak dilihat.

   Di belakangnya mengikuti dua manusia berpakaian hitam dan seorang manusia berpakaian putih yang kemungkinan rekan dari manusia berpakaian putih yang tergeletak dalam keadaan terluka parah.

   Tetapi kalau dilihat dari sikap mereka, tampaknya si manusia berjubah longgar itulah yang menjadi pimpinan rombongan itu.

   Si pengemis sakti Cian Cong melihat gerakan tubuh si manusia berjubah hitam seperti terbang.

   Sikapnya pun angkuh serta congkak.

   Diam-diam hatinya menjadi tercekat.

   Cepatcepat dia menarik nafas panjang dan segera mengerahkan tenaga dalamnya.

   Dari luar penampilannya tetap biasa-biasa saja malah menunjukkan tertawa yang santai.

   "Apakah yang datang ini Kaucu dari Pek Kut Kau yang menguasai wilayah Si Yu?"

   Manusia berjubah hitam langsung mende-ngus dingin satu kali.

   "Kalau ditilik dari tampangmu, tampaknya kau ini si kepala pengemis Cian Cortg?"

   Begitu bertemu, keduanya sudah tidak ada, yang mau mengalah.

   Ucapan mereka seperti saling berdebat.

   Melihat keadaan ini, hati Liang Fu Yong dan Mei Ling langsung merasa tidak tenang.

   Dua pasang mata yang indah sebentar-sebentar melihat ke arah Kaucu Pek Kut Kau dan sejenak kemudian beralih lagi kepada si pengemis sakti Cian Cong.

   Suasana sedemikian mencekam sehingga menimbulkan rasa tegang yang membuat sulit bernafas.

   Terdengar si pengemis sakti Cian Cong tertawa terbahak-bahak.

   "Semangka buntet tidak pergi ke tempat lain malah mengunjungi perkampungan setan ini, apakah ingin menggaet si iblis tua agar mau bekerja sama dengan pihak kalian?"

   Kaucu Pek Kut Kau menyahut dengan nada dingin.

   "Perkiraanmu hebat sekali, sedikitpun tidak salah!"

   Cian Cong tertawa dingin. Mimik wajahnya langsung berubah menjadi serius.

   "Kalian golongan sesat dari Si Yu ini menganggap diri sendiri memiliki beberapa jurus ilmu yang lumayan langsung ingin naik ke atas langit. Segala kejahatan bersedia dilakukan, tidak perduli akibat tindakan kalian ini berapa banyak orang yang akan menjadi korban. Tidak perduli terjadi pertumpahan darah di mana-mana. Malah menggabungkan diri dengan pihak Lam Hay yang kebusukannya tidak kalah dengan kalian. Segala bencana yang akan terjadi semuanya berkat keserakahan hati kalian sendiri"

   Kaucu Pek Kut Kau tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melanjutkan lebih jauh, dia segera menukas ucapan orangtua itu.

   "Bukan roda nasib di bumi saja yang berputar, tetapi roda takdir dari atas langit juga sama saja. Wilayah Tionggoan demikian luas, memang merupakan daerah yang paling cocok bagi kami pihak Kaucu Pek Kut Kau maupun Lam Hay untuk mengembangkan sayapnya. Setiap manusia mencari kemajuan, bagaimanapun caranya. Di dalam menunjukkan kekuasaan, tidak heran kalau ada yang harus berkorban. Kau kira dengan mengandalkan beberapa orang jago dari Tionggoan yang kau kumpulkan akan berhasil menghalangi niat kami dan pihak Lam Hay. Jangan bermimpi! Siapa yang tidak tahu bahwa di dalam daerah Tionggoan sendiri setiap saat timbul pertikaian untuk mencari nama dan saling berusaha untuk menguasai. Kau juga sudah tua, tidak perlu melelahkan diri sendiri dengan urusan tetek bengek seperti ini. Bisa-bisa akibatnya malah kehilangan selembar n.yawa!"

   Mendengar kata-katanya, Cian Cong kesal sekali sehingga rambutnya yang putih berjingkrakan ke atas. Matanya mendelik lebar-lebar.

   "Semangka buntet tidak perlu menjual omongan di sini. Hari ini di dalam perkampungan setan kita boleh bertarung sepuas hati. Lihat siapa diantara kita yang lebih unggul. Kalau bukan si pengemis sakti yang terkubur di dalam perkampungan ini maka kaulah yang akan mati terkapar dengan seluruh tubuh bermandikan darah!"

   Selesai berkata, dia mengeluarkan pedang bambu dari selipan ikat pinggangnya.

   Tetapi dia tidak langsung melancarkan serangan.

   Malah menyurut mundur setengah langkah.

   Sikapnya keren sekali, karena dia sendiri sudah melihat bahwa gerakan kaki Kaucu Pek Kut Kau itu demikian ringan.

   Di kedua keningnya terlihat sedikit urat bertonjolan.

   Hal ini membuktikan bahwa tenaga dalam orang itu sudah nencapai taraf yang tinggi sekali.

   Oleh karena itu, dia tidak berani memandang ringan lawannya sama sekali.

   Dengan sikap serius, dia berdiri menggenggam pedang bambunya dan mengeluarkan gaya tokoh kelas tinggi yang siap menghadapi tantangan lawan.

   Hati Kaucu Pek Kut Kau juga tergetar melihat sikap Cian Cong, wajahnya langsung berubah kelam, sikap angkuhnya agak berkurang namun dia tetap berdiri dengan sepasang tangan kosong.

   Untuk sekian lamanya kedua orang itu berdiri berhadap-hadapan.

   Pek Kut Kaucu mulai kehabisan rasa sabarnya, kakinya maju satu langkah ke bagian pusat.

   Dengan jurus Menerobos Awan Memetik Rembulan, dia melancarkan sebuah serangan yang diiringi gelombang angin yang kencang.

   Sepasang kaki Cian Cong langsung menutul di atas tanah, tubuhnya mencelat ke udara.

   Kaucu Pek Kut Kau tidak memberi kesempatan baginya untuk membalas serangan.

   Jurus kesatu belum selesai dijalankan, dia sudah melancarkan jurus kedua.

   Angin yang timbul dari totokan jari tangannya meluncur ke arah pundak si pengemis sakti Cian Cong.

   Terdengar Cian Cong mengeluarkan suara tawa terbahak-bahak.

   Telapak tangan kirinya melancarkan sebuah pukulan dan pedang bambu di tangan kanannya digetarkan.

   Tam-pak bunga-bunga berjatuhan dalam bentuk bayangan dari gerakan pedang bambunya.

   Dengan gencar meluncur ke arah dada Kaucu Pek Kut Kau tersebut.

   Melihat serangan pukulannya yang dahsyat, Kaucu Pek Kut Kau itu tidak berani memandang ringan.

   Bayangan yang timbul dari gerakan pedang bambunya demikian hebat.

   Meskipun kedua serangan itu dilancarkan, pada saat yang berlainan, tetapi begitu cepatnya sehingga seperti terjadi dalam waktu yang bersamaan.

   Hatinya langsung tergetar melihat kenyataan itu.

   Diam-diam dia berpikir.

   Tidak heran si pengemis tua ini sombongnya setengah mati, ternyata dia benar-benar memiliki ilmu yang hebat.

   Baik tenaga dalam maupun kecepatan gerakannya, kalau bukan orang sudah berlatih keras selama puluhan tahun.

   Tentu tidak mungkin melancarkan dua buah serangan dalam waktu yang hampir bersamaan. Tadinya Kaucu Pek Kut Kau lah yang melakukan serangan.

   Menghadapi serangan serta kibasan pedangnya yang begitu dahsyat, mau tidak mau dia menyelamatkan dirinya terlebih dahulu.

   Lengan kanannya ditarik secara mendadak dan dengan kekerasan dia menyimpan kembali serangan yang telah dilancarkannya.

   Pergelangan tangannya memutar.

   Dengan jurus Burung Kecil Mengais Pasir, kembali dia menangkis serangan pedang Cian Cong.

   Sementara itu, tenaga dalam yang terhimpun dalam telapak kirinya meluncur keluar menyerang si pengemis sakti dengan gencar.

   Sulit sekali melukiskan bagaimana yang terjadi sebenarnya dalam pertarungan kedua orang itu.

   Selain gerakannya yang terlalu cepat, setiap jurusnya mengandung perubahan yang tidak terkirakan hebatnya.

   Tiba-tiba terdengar suara benturan tenaga dalam yang keras.

   Blam! Dua rangkum kekuatan yang dahsyat mengakibatkan pasir dan batu-batu kerikil beterbangan di udara.

   Cian Cong mendapat kesempatan lebih dulu memukul lawan, dengan demikian dia masih dapat mempertahankan diri dan menang segaris.

   Tubuhnya hanya terhuyung-huyung beberapa saat, sedangkan Kaucu Pek Kut Kau itu tidak berhasil meraih peluang sehingga tubuhnya terdesak dan tergetar mundur sejauh tiga langkah.

   Mendapat kesempatan menjaga keseimbangan tubuhnya terlebih dahulu, dia langsung melancarkan serangan kembali.

   Pedang bambunya berkelebat dengan gencar sehingga menimbulkan angin yang menderu-deru.

   Dalam waktu yang singkat dia telah menyerang sebanyak empat belas jurus secara berturut-turut.

   Apabila dua tokoh kelas tinggi bertarung, tidak boleh terjadi kesalahan sedikit juga.

   Secara gencar Cian Cong melakukan penyerangan, semuanya mengandung jurus-jurus yang keji.

   Dia seakan tidak memberi kesempatan bagi Kaucu Pek Kut Kau untuk membalas menyerang.

   Saat ini manusia berjubah longgar itu hanya mendapat kesempatan menangkis dan lambat laun keadaannya bisa tidak menguntungkan dirinya sendiri.

   Tampak bayangan pedang bambu bergulung-gulung bagai badai juga cepat bagai kilat.

   Sasarannya selalu bagian yang mematikan.

   Begitu terdesaknya Kaucu Pek Kut Kau sampai terpaksa berputaran ke sana ke mari.

   Semakin lama semakin sulit dia menghadapi si pengemis sakti yang benar-benar sakti ini.

   Tetapi biar bagaimana, manusia berjubah longgar ini adalah ketua sebuah perkumpulan yang mempunyai wilayah kekuasaannya sendiri.

   Walaupun mula-mula dia agak terdesak, tetapi berkat ilmunya yang tinggi dan pengalaman bertempurnya yang sudah banyak, lambat laun dia dapat menguasai diri dan mengikuti keadaan.

   Setelah dua puluh jurus lebih berlalu, kondisinya sudah kembali seperti semula dan mulai dapat mengimbangi serangan yang dilakukan si pengemis sakti.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gerakan Cian Cong semakin lama semakin cepat, serangannya semaian lama juga semakin keji.

   Kelebatan tubuhnya bagai seekor naga perkasa yang mengibaskan ekor di langit.

   Tetapi gaya si Kaucu Pek Kut Kau juga tidak kalah indahnya.

   Perubahan jurusjurusnya selalu mengejutkan dan tidak terduga-duga.

   Cian Cong melihat dia dapat menahan bahkan membalas serangannya dengan kecepatan yang hebat.

   Ternyata orang ini benar-benar salah satu tokoh tertangguh yang pernah dihadapinya seumur hidup.

   Oleh karena itu, dia segera mengeluarkan suara siulan panjang.

   Tubuhnya berkelebat dan gerakannya pun berubah.

   Dia telah mengerahkan ilmu Delapan jurus Pedang Pengejar Sukma yang membuat namanya menjulang tinggi di dunia persilatan.

   Jangan dilihat kalau ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, tetapi justru Cian Cong menciptakannya dengan memeras otak selama sembilan tahun.

   Setiap kekurangannya diperbaiki perlahan-lahan sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang sempurna.

   Di dalamnya terkandung perubahan-perubahan yang dahsyat.

   Anehnya justru delapan jurus ilmu pedang itu seperti berantai sehingga dapat dimainkan terus tanpa berhenti.

   Dari jurus pertama sampai jurus kedelapan, lalu kembali lagi ke jurus pertama tanpa disadari oleh lawannya.

   Cian Cong telah berkecimpung di dunia persilatan selama berpuluh-puluh tahun.

   Dia jarang mengerahkan Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma, tetapi keadaan sekarang tidak dapat disamakan.

   Musuh tangguh sudah di depan mata.

   Sedangkan sampai saat ini Oey Kang masih belum kelihatan, mati hidup Tan Ki masih menjadi tanda tanya baginya.

   Oleh karena itu, sejak semula dia sudah bertekad untuk melakukan pertarungan dengan cara kilat.

   Setelah suara siulannya sirap, Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma pun segera dikerahkan.

   Pedang bambunya menimbulkan angin dahsyat bagai topan yang melanda.

   Tampak persis seperti badai di tengah lautan yang menghempas-hempas tinggi.

   Pedangnya seperti berubah menjadi ribuan batang yang menusuk ke depan.

   Kaucu Pek Kut Kau melihat gerakan tubuh si pengemis sakti ini tiba-tiba berubah.

   Pedang bambunya menimbulkan bayangan berkotak-kotak yang tidak terhitung jumlahnya.

   Diam-diam hatinya menjadi tergetar.

   Dia sendiri termasuk tokoh paling hebat di wilayah Si Yu, ilmu yang dipelajarinya khusus menggunakah kecepatan mengincar yang lambat.

   Begitu gerakan tubuh Cian Cong berubah, tiba-tiba saja di hadapan matanya bagai muncul berpuluh-puluh Cian Cong yang lain dan juga pedangnya seperti berubah jadi tidak terhitung banyaknya.

   Baru saja dia merasa keadaan kurang menguntungkan dirinya, tahutahu orangnya sudah terkurung oleh bayangan pedang tersebut.

   Dua manusia berpakaian hitam dan seorang lagi manusia berpakaian putih melihat keadaan Kaucu mereka terjerumus dalam bahaya, kalau dibiarkan pasti akan celaka.

   Mereka tidak memperdulikan lagi peraturan dunia Bulim.

   Setelah mengeluarkan suara pekikan yang aneh, ketiga orang itu langsung menerjang ke depan.

   Masing-masing meluncurkan sebuah serangan yang sama dahsyatnya, sehingga timbul angin yang bergulung-gulung.

   Manusia berpakaian putih itu pernah kehilangan sebelah lengannya di tangan Tan Ki.

   Tetapi gabungan ketiga orang itu benar-benar tidak dapat dianggap enteng.

   Cian Cong merasa ada serangkum angin kencang yang menerpa dari samping tubuhnya.

   Dia segera tahu bahwa dirinya dibokong oleh anak buah Kaucu Pek Kut Kau tersebut.

   Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya lalu mencelat mundur sekitar satu depa.

   Lengan kanannya bergerak dan dikirimkannya sebuah pukulan ke samping.

   Blam! Terdengar suara benturan yang keras.

   Hawa panas beterbangan menyelimuti bumi dan pasir pun berhamburan ke mana-mana.

   Reaksi si pengemis sakti Cian Cong cepat sekali, tetapi dia merasa tubuhnya bagai diterpa oleh serangkum angin yang dingin.

   Diam-diam hatinya menjadi tercekat.

   Untung saja tenaga dalamnya tinggi sekali, dan hanya sapuan angin yang melanda bagian depan tubuhnya.

   Cepat-cepat dia mengatur pernafasannya dan segera dia merasa pulih kembali.

   Tetapi untuk sesaat sempat juga dia tertegun.

   Meskipun wilayah Si Yu terkenal dengan golongan sesatnya, tetapi ilmu silat yang mereka kuasai benar-benar tidak dapat dipandang ringan.

   Begitu pikirannya tergerak, mulutnya langsung mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak.

   "Bagus sekali! Dasar sesat selamanya memang sesat. Kalian ingin main keroyok? Silahkan turun tangan semuanya, si pengemis tua paling benci orang yang suka main bokong dari belakang!"

   Pedang bambunya digetarkan, tampak beribu-ribu bayangan memenuhi seluruh tubuhnya.

   Dengan kesal dia meluncurkan sebuah serangan yang dahsyat ke depan! Kaucu Pek Kut Kau menggeser langkahnya ke kiri, tubuhnya memutar setengah lingkaran, sambil menghindarkan diri dari serangan Cian Cong, mulutnya membentak.

   "Menggelinding mundur semuanya! Siapa yang suruh kalian ikut campur.

   Cian Locianpwe merupakan tokoh sakti di daerah Tiong-goan, hampir belum pernah dia menemukan tandingan.

   Dengan mengandalkan beberapa jurus kasar yang aku ajarkan kepada kalian, lalu kalian kira bisa memberikan bantuan yang berarti? Apakah kalian benar-benar ingin menjatuhkan pamorku sebagai ketua sebuah partai?"

   Suara Kaucu Pek Kut Kau itu tajam menusuk. Ketiga orang yang mendengarnya sampai merasa ngilu ulu hati mereka, tetapi tidak ada seorangpun yang berani membantah. Serentak mereka mengundurkan diri ke tempat semula. Cian Cong tertawa terbahak-bahak.

   "Saudara memang tidak malu sebagai seorang ketua sebuah partai besar. Berani bersikap terus terang dan sportif. Hari ini si pengemis sakti melupakan nyawa sendiri menemani seorang kuncu bertarung mati-matian."

   Tangannya kembali bergerak dan menimbulkan serangkum angin yang dahsyat.

   Kaucu Pek Kut Kau juga menghimpun hawa murni dalam tubuhnya.

   Secara berturutturut dia melancarkan dua buah pukulan yang mengandung hawa dingin.

   Dalam sesaat keduanya sudah mengerahkan hawa murni masing-masing.

   Terdengar suara angin yang menderu-deru.

   Begitu hebatnya pertempuran itu sehingga dedaunan di atas pohon bergetaran dan sebagian besar rontok jatuh di atas tanah.

   Kaucu Pek Kut Kau langsung merasa aliran darahnya mengedar dengan cepat, matanya seperti berkunang-kunang.

   Sedangkan si pengemis sakti Cian Cong juga sampai tergetar mundur sejauh empat lima langkah.

   Watak si pengemis sakti Cian Cong selamanya terkenal tidak mau mengalah.

   Mana sudi dia mengunjukkan kelemahan dirinya.

   Setelah keseimbangannya pulih kembali, tubuhnya langsung mencelat ke udara.

   Tangan kiri mengirimkan serangan dengan gencar, tangan kanannya yang menggenggam pedang bambu mengibas ke sana ke mari bagai orang kalap.

   Angin yang timbul dari kelebatan pedangnya panas dan tajam menusuk.

   Kaucu Pek Kut Kau mendengus satu kali, sepasang tangannya direntangkan ke depan dan dengan keras dia menyambut serangan lawan.

   Kali ini masih juga keras lawan keras.

   Tubuh Kaucu Pek Kut Kau tergetar oleh dorongan tenaga Cian Cong yang hebat sehingga melayang sejauh satu depa lebih.

   Di udara tubuhnya berjungkir balik dua kali dan kemudian terhempas jatuh di atas tanah.

   Sedangkan Cian Cong juga termakan pukulan Kaucu Pek Kut Kau tersebut sehingga tergetar mundur sejauh tujuh delapan langkah, akhirnya dia jatuh terduduk diatas tanah.

   Kedua orang itu bertarung dengan cara keras lawan keras.

   Setelah dua jurus berlalu, wajah mereka sama-sama berubah hebat.

   Keringat bercucuran membuat tubuh mereka basah kuyup.

   Padahal mereka sama-sama menyadari kalau bertarung dengan cara ini terus menerus, pasti ada satu yang mati dan lainnya terluka parah.

   Siapapun tidak ada yang keluar sebagai pemenang.

   Baik Liu Mei Ling maupun Liang Fu Yong dan anak buah Kaucu Pek Kut Kau itu sampai termangu-mangu sekian lama menyaksikan pertarungan hebat yang sedang berlangsung.

   Untuk beberapa saat tidak ada seorangpun yang sanggup membuka suara.

   Saat ini tampak Cian Cong menumpu sepasang tangannya di atas tanah dan tubuhnya kembali mencelat ke udara.

   Mulutnya malah mengeluarkan suara tertawa yang terbahakbahak.

   "Kaucu Pek Kut Kau hari ini kalau bukan kau yang mati, maka aku yang mampus. Kalau kau memang hebat, terima lagi satu pukulan si pengemis tua ini!"

   Justru suara tertawanya masih berkumandang, tangannya sudah meluncur keluar mengirim sebuah pukulan lagi.

   Setelah bertarung sekian lama dengan si pengemis sakti Cian Cong, diam-diam nyali Kaucu Pek Kut Kau itu menjadi agak ciut.

   Pukulannya yang selama ini membuat dirinya menjadi tokoh paling terkemuka di wilayah Si Yu ternyata tidak sanggup melukai si pengemis tua itu.

   Hatinya sudah enggan mengadu kekerasan lagi, seandainya Cian Cong tidak terlalu mendesak, dia juga enggan mengerahkan tenaga dalamnya menyambut pukulan itu.

   Serangan yang dilancarkan si pengemis sakti Cian Cong kali ini mengandung seluruh tenaga dalam yang ada pada dirinya.

   Akibatnya hawa amarah dalam dada Kaucu Pek Kut Kau itu jadi meluap juga.

   Setelah mengeluarkan suara pekikan seperti setan di neraka, dia juga mengulurkan tangannya dan menyambut pukulan itu dengan segenap kekuatan.

   Liang Fu Yong, Liu Seng serta ketiga anak buah Kaucu Pek Kut Kau itu sama-sama dapat melihat keadaan yang genting itu.

   Serentak mereka mengeluarkan teriakan.

   "Tidak boleh!"

   Ucapan tercetus, orangnyapun bergerak.

   Lima sosok bayangan secepat kilat menerjang ke depan, tetapi tetap saja gerakan mereka agak lambat sedikit.

   Sekali lagi terdengar suara ledakan yang memekakan telinga, kedua tenaga dalam kembali sudah berbenturan di udara.

   Dalam gebrakan kali ini, keduanya mengerahkan hawa murni serta segenap tenaga dalam yang ada.

   Kaucu Pek Kut Kau mendengus berat satu kali.

   Matanya berkunangkunang dan telinganya berdengung.

   Isi perutnya seakan hampir termuntah keluar saking hebatnya kena getaran pukulan si pengemis sakti Cian Cong.

   Tubuhnya terhuyung-huyung dan memaksakan dirinya jangan sampai terjatuh di atas tanah.

   Matanya segera dialihkan.

   Dia melihat Cian Cong memejamkan sepasang matanya, wajahnya pucat seperti selembar kertas dan keringat sebesar-besar kacang kedelai terus menetes di keningnya.

   Pada saat itu, para anak buah Kaucu Pek Kut Kau itu sudah terlebih dahulu sampai di hadapan majikannya.

   Salah seorang di antaranya memperdengarkan suara tertawa dingin, tahu-tahu tangannya terulur dan tubuhnya menerjang ke arah si pengemis sakti Cian Cong.

   Untuk sesaat orangtua itu sampai lupa bahwa keadaannya sudah hampir seperti lampu yang kehabisan minyak.

   Tenaga dalamnya hampir terkuras habis dan hawa murninya buyar terlalu banyak.

   Tubuhnya terluka di bagian dalam.

   Melihat orang itu melancarkan sebuah serangan, dia merasa dirinya masih sanggup menyambut pukulan itu.

   Tetapi sayangnya sudah agak terlambat.

   Untung saja kesadarannya masih ada, pikirannya masih belum kacau.

   Setelah melancarkan sebuah pukulan, tubuhnya terdorong oleh tenaga pukulan lawan.

   Dia masih sempat menyurutkan sedikit tenaga yang dilancarkan dalam telapak tangannya.

   Tetapi meskipun demikian, terhantam pukulan yang datangnya secara tidak terdugaduga ini, tubuh si pengemis sakti sampai terpental sejauh dua depaan.

   Tiba-tiba dia merasa kepalanya pening.

   Mulutnya membuka dan memuntahkan segumpal darah segar kemudian baru terhempas jatuh di atas tanah.

   Si manusia berpakaian putih melihat ada kesempatan emas di depan mata, mana mungkin dia melepaskan begitu saja.

   Tubuhnya meluncur dari atas.

   Dengan jurus Mencari Jarum di Dalam Lautan, lima jarinya membentuk cengkeraman dan meluncur ke arah dada si pengemis sakti Cian Cong! Dia memang sudah berniat melenyapkan tokoh sakti ini.

   Gerakan serangannya bagai kilat.

   Cian Cong yang melihat serangan dahsyat sudah di depan mata sempat panik sesaat, kemudian dia memejamkan matanya serta kembali memuntahkan segumpal darah segar.

   Namun muntahan darahnya kali ini lain dengan yang sebelumnya.

   Kali ini merupakan muncratan yang bagai senjata rahasia besar kecil meluncur ke arah wajah si manusia berpakaian putih tersebut.

   Si manusia berpakaian putih tampaknya tidak menyadari bahwa Cian Cong yang dalam keadaan terluka parah dapat memuntahkan darah yang digunakan sebagai senjata untuk menghadapi dirinya.

   Hal ini benar-benar di luar dugaannya, apalagi jarak di antara mereka begitu dekat.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mana mungkin dia masih sempat menghindar? Cepat-cepat dia memejamkan sepasang matanya dan menjaga agar bagian yang paling penting itu jangan sampai terluka akibat semburan darah tersebut.

   Jangan dikira segumpal darah itu gumpalan darah yang biasa-biasa saja.

   Memang tidak dapat disamakan dengan senjata rahasia lainnya yang tajam bukan main, tetapi semburan itu dilakukan oleh Cian Cong dengan sisa tenaga dalamnya yang masih ada, kecepatannya bagai kilat.

   Selembar wajah si manusia berpakaian putih itu sampai terpecah-pecah kulitnya akibat semburan darah tersebut.

   Hampir dalam waktu yang bersamaan, terdengarlah suara jeritan yang histeris serta menyeramkan dari mulut si manusia berpakaian putih.

   Darahnya sendiri berbaur dengan darah yang disemburkan oleh Cian Cong sehingga terus menetes dan membasahi seluruh pakaiannya.

   Dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit, Cian Cong mengeluarkan suara bentakan dan kembali menghantamkan sebuah pukulan ke depan.

   Wajah si manusia berpakaian putih terluka cukup parah, belum lagi rasa terkejutnya hilang.

   Kembali Cian Cong menggunakan salah satu jurus terkeji dari ilmu Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma untuk melakukan serangan.

   Tiba-tiba dia merasa matanya berkunang-kunang, dadanya sekali lagi terhantam pukulan orangtua itu.

   Di daerah perkampungan yang sunyi itu kembali berkumandang suara jeritan yang menyayat hati.

   Suara itu mirip lolongan serigala, kumandangnya bergema terus di sepanjang lembah dan menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.

   Seiring dengan suara jeritan yang menyeramkan itu, tangan si manusia berpakaian putih mengibas.

   Sepuluh batang jarum beracun segera melesat keluar bagai kilat.

   Cian Cong sudah mulai merasa payah, urat nadinya bagai tergetar sehingga seluruh tubuhnya terasa lemah.

   Mana bisa lagi dia menghindarkan diri dari serangan yang tidak terduga-duga itu, tetapi dia masih sempat mengangkat sepasang lengan bajunya menutupi bagian mata dan wajah.

   Dari sepuluh batang jarum beracun itu, lima batang langsung mengenai tubuhnya dengan telak.

   Tiga di pundak kanan, dua lagi di pundak kiri.

   Di daerah yang terluka itu langsung terasa kebal.

   Sebagai orangtua yang sudah banyak pengalaman dan makan asam garam, dia segera tahu bahwa jarum itu mengandung racun yang cukup keji.

   Diam-diam hatinya jadi tercekat.

   Wajahnya berubah hebat.

   Tetapi dalam waktu yang singkat, rasa terkejutnya sudah hilang dan tampangnya pun pulih kembali.

   Dia malah mendongakkan wajahnya sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Satu nyawa diganti dengan satu nyawa. Si pengemis tua sama sekali tidak rugi. Matipun tidak perlu di khawatirkan!"

   Belum lagi ucapannya selesai, manusia berjubah hitam yang pendek gemuk itu sudah memperdengarkan suara tawanya yang dingin.

   "Kau ingin mati begitu saja? Tidak begitu mudah. Aku akan membuat kau merasakan hukuman terberat yang ada dalam perguruan kami sehingga tulang belulang dalam tubuhmu hancur lebur tetapi nafasmu masih belum berhenti!"

   Tadinya dia bersama-sama rekannya yang lain sedang memapah tubuh Kaucu Pek Kut Kau.

   Tetapi ketika berbicara, dia segera menyerahkan majikannya kepada rekannya, sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke udara lalu langsung menerjang ke arah si pengemis sakti Cian Cong.

   Apa yang dituturkan di atas merupakan kejadian yang berlangsung dalam sekejap mata saja.

   Pada saat ini, tubuh Liang Fu Yong dan Liu Mei Ling ikut melesat keluar.

   Liang Fu Yong tidak banyak bicara lagi, pedangnya langsung bergerak dengan jurus Sambil Tersenyum Menunjuk ke arah Selatan.

   Tampak cahaya pelangi berpijar dari pedangnya, gerakan secepat kilat meluncur ke arah tubuh manusia berpakaian hitam yang sedang menerjang datang.

   Manusia berpakaian hitam itu mengeluarkan suara dengusan dingin satu kali.

   Tubuhnya bergerak memutar kurang lebih lima cun.

   Pedang yang membawa hawa dingin melintas di depan dadanya.

   Jaraknya dekat sekali, tetapi orang itu sama sekali tidak menghentikan gerakannya.

   Dia tetap menerjang ke arah Cian Cong.

   Liu Mei Ling melihat gerakan tubuh lawan gesit dan aneh, namun dengan mudah ia berhasil menghindarkan diri dari serangan Liang Cici.

   Diam-diam hatinya tergetar.

   Setelah membentak nyaring, pergelangan tangannya menggetarkan tenaga.

   Dengan jurus Menghindari Gunung Jatuh ke Laut, dia melancarkan sebuah serangan ke depan.

   Sejak kecil dia memang sudah belajar ilmu silat.

   Meskipun tampaknya serangan itu hanya sebuah jurus yang sederhana, tetapi dalam keadaan panik karena ingin menolong orang maka kehebatannya tidak dapat dianggap enteng.

   Angin yang timbul dari kelebatan pedangnya menimbulkan suara suitan panjang.

   Manusia berpakaian hitam itu mendengus satu kali.

   Dia menghimpun hawa murninya dan sepasang lengannya langsung menyapu ke depan.

   Serangkum tenaga yang dahsyat berbenturan dengan badan pedang, begitu keras getarannya sehingga lengan Mei Ling terasa kesemutan.

   Hampir saja pedang pusakanya terlepas dari genggaman dan melayang di udara, otomatis serangan yang dilancarkannya melemah.

   Di saat yang sama lawan mengangkat tangannya dan meneruskan serangan ke dada Cian Cong.

   Cepatnya bagai sambaran kilat di musim hujan.

   Setelah tiga kali berturut-turut mengadu tenaga dalam dengan Kaucu Pek Kut Kau, Cian Cong sekali lagi dihantam oleh seorang manusia berpakaian hitam lainnya.

   Isi perutnya sudah tergetar dan memuntahkan darah segar.

   Hanya mengandalkan kekuatan tenaga dalam yang telah dilatihnya lebih dari tujuh puluh tahun, dia masih sanggup mempertahankan diri.

   Dengan sisa tenaga terakhir dia berhasil membunuh manusia berpakaian putih.

   Hawa murni dalam tubuh Cian Cong benar-benar terkuras habis.

   Meskipun orang lain tidak turun tangan, tokoh sakti yang namanya sudah menggetarkan seluruh rimba hijau dan sungai telaga ini juga tidak mungkin bisa hidup lebih dari dua puluh empat kentungan lagi.

   Apalagi ketika dia melancarkan serangan kepada manusia berpakaian putih, sepasang pundaknya juga terkena sambilan jarum beracun sebanyak lima batang.

   Bila saat ini ia dihantam lagi oleh manusia berpakaian hitam, sudah pasti Cian Cong tidak dapat lagi menghindarkan diri apalagi menangkis.

   Oleh karena itu, dia segera menarik nafas panjang dan menutup matanya rapat-rapat menunggu datangnya malaikat elmaut.

   Tiba-tiba sesosok bayangan membawa desiran angin yang kencang melayang turun dari udara.

   Belum lagi serangan si manusia berpakaian hitam mengenai tubuh Cian Cong, orang itu sudah sampai lebih dahulu.

   Dia menghadang di depan Cian Cong, lengan pakaian sebelah kanannya yang longgar langsung mengibas ke depan, serangkum angin yang kencang segera menghempas keluar.

   Manusia aneh berpakaian hitam itu mengulurkan tangannya menyambut.

   Siapa yang lebih kuat langsung terlihat saat itu juga.

   Orang yang baru melayang turun itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya sedikit-pun.

   Sementara itu si manusia berpakaian hitam segera merasa kedua telinganya berde-y ngung, seluruh tubuhnya terpental bahkan melayang di udara.

   Setelah berputar dua kali, baru ia terhempas jatuh di atas tanah.

   Orang yang baru muncul itu rupanya seorang tojin.

   Dalam satu gebrakan saja dia sudah berhasil mementalkan seorang tokoh tingkat tinggi dari wilayah Si Yu.

   Bahkan sekaligus menyelamatkan selembar nyawa si pengemis sakti Cian Cong.

   Liang Fu Yong dan Liu Mei Ling tidak banyak bicara, mereka segera maju ke depan untuk memapah tubuh si pengemis sakti itu.

   Manusia berpakaian hitam itu menenangkan perasaannya sesaat.

   Setelah itu baru dia mendongakkan kepalanya melihat.

   Tampak orang itu sudah tua sekali, rambutnya sudah berwarna putih, jenggotnya yang panjang berwarna keperakan.

   Wajahnya bersih dan enak dilihat.

   Penampilannya anggun serta berwibawa, sorot matanya tajam namun lembut.

   Hal ini membuat orang yang melihatnya menaruh rasa hormat yang tinggi.

   Tanpa dapat ditahan lagi si manusia berpakaian hitam jadi terma-ngu-mangu sekian lama.

   Beberapa waktu kemudian baru dia membentak dengan nada marah "Tenaga dalam totiang ini hebat sekali! Hal ini membuktikan bahwa totiang pasti bukan tokoh sembarangan.

   Mohon tanya di mana kuil totiang dan apa nama gelarannya, mungkin suatu saat aku yang rendah bisa menyempatkan diri berkunjung untuk meminta pelajaran barang beberapa jurus lagi!"

   Tosu itu tersenyum lembut.

   "Seumur hidup pinto hanya tahu menenangkan diri memperdalam ilmu agama, memahami sabda Buddha yang mengandung arti dalam.

   Selamanya tidak pernah bertikai dengan siapapun.

   Tetapi kalau kau tetap ingin mengunjungi Pinto, tentu saja kesempatan seperti itu pasti ada.

   Meskipun dunia ini luas tetapi semuanya tetap merupakan tetangga, mana mungkin tidak bisa bertemu.

   Di puncak Yang Sim An, pinto setiap saat setiap waktu dengan senang hati menerima kedatangan Si-cu."

   Ketika orangtua ini sedang berbicara, Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong sudah menjatuhkan diri mereka berlutut di hadapannya.

   "Tecu, Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong menanyakan kesehatan Locianpwe!"

   Tosu itu mengibaskan lengan bajunya, serangkum tenaga yang dahsyat langsung menahan diri kedua gadis itu sehingga mereka tidak dapat menekuk lututnya lebih dalam. Orangtua itu mengembangkan seulas senyuman yang lembut dan bibirnya berkata.

   "Di sini bukan tempat yang sesuai untuk bercakap-cakap, kalian juga tidak usah banyak peradatan."

   Mei Ling dan Liang Fu Yong tahu kalau Locianpwe yang hatinya bijaksana dan mulia ini tidak suka segala macam peradatan, terpaksa mereka menurut dan berdiri.

   Mereka tetap memapah tubuh si pengemis sakti Cian Cong dari kiri dan kanan.

   Tosu tua memperhatikan wajah si pengemis sakti Cian Cong dengan sinar matanya yang tajam bagai kilat.

   Matanya lalu beralih kepada Kaucu Pek Kut Kau yang sedang memejamkan matanya mengatur pernafasan.

   Perlahan-lahan dia menganggukkan kepalanya.

   "Orang ini sudah terluka parah, Pinto sebagai orang yang beragama selalu mementingkan kedamaian hati dan jiwa yang bersih. Harap saudara melihat muka Pinto dan melepaskan selembar nyawanya, tentunya saudara tidak keberatan, bukan?"

   Manusia aneh berpakaian hitam itu mengerlingkan matanya satu kali kemudian menundukkan kepala merenung beberapa saat.

   "Apa yang totiang katakan seharusnya aku turuti, tetapi si pengemis tua she Cian ini sudah melukai majikanku. Sebelumnya dia juga sudah membunuh dua orang rekanku. Totiang lihat sendiri, yang mati ada yang terlukapun ada. Meskipun Boanpwe bersedia melepaskan selembar nyawanya, tetapi bagaimana Boanpwe harus bertanggung jawab kepada majikan serta kedua kawanku itu? Untuk hal ini Boanpwe terpaksa minta maaf kepada totiang. Cayhe sendiri menyadari bahwa ilmu silat yang Cayhe miliki masih terlalu rendah, otomatis bukan tandingan Locianpwe yang sakti, tetapi di dalam wilayah Si Yu kami terdapat banyak pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan pemberani"

   BAGIAN XLI Tosu tua ini mempunyai watak yang lembut.

   Hatinya juga sangat pengertian terhadap siapa saja.

   Dia maklum manusia berpakaian hitam ini hanya pura-pura gagah padahal dalam hatinya sudah timbul rasa ngeri.

   Tetapi dia juga tidak ingin menjatuhkan harga dirinya di depan orang banyak.

   Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang bijaksana.

   "Kalau dihitung dari jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak, memang tidak seharusnya pinto mengajukan permintaan ini.

   Tetapi di balik urusan ini terselip persoalan budi dan dendam yang masih ada kaitannya dengan diri pinto sendiri, oleh karena itu pinto terpaksa ikut campur.

   Kalau kau memang merasa kurang puas, silahkan datang ke Yang Sim An di Bu Tong San dan mencari pinto, Tian Bu Cu untuk membuat perhitungan."

   Seraya bicara, tosu tua itu memalingkan wajahnya dan berpesan kepada Liang Fu Yong dan Mei Ling.

   "Kalian bawa dulu Cian Locianpwe, sebentar lagi aku akan menyusul!"

   Kedua gadis itu segera mengiakan.

   Mereka langsung mengangkat tokoh tua tersebut, setelah itu mereka membalikkan tubuh dan berlari pergi.

   Terdengar suara angin berdesir, bayangan tubuh mereka berkelebat bagai kilat.

   Dalam sekejap mata saja sudah menghilang dari pandangan.

   Tian Bu Cu menunggu sampai kedua gadis itu sudah pergi agak jauh baru dia menjura pada Kaucu Pek Kut Kau sambil mengembangkan seulas senyuman.

   "Pohon berbuah ada masanya, sama sekali tidak dapat dipaksakan. Sicu merupakan seorang kepala pemimpin yang mempunyai wilayah sendiri, selamanya tidak pernah mencari ikatan benci atau dendam di daerah Tiong-goan. Lalu, mengapa harus melumurkan darah mengotori tangan, yang akhirnya hanya menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri? Kata-kata pinto hanya sekian saja, makna yang terkandung di dalamnya, hanya Sicu sendiri yang harus mencari pengertiannya."

   


Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini