Ceritasilat Novel Online

Dendam Iblis Seribu Wajah 17


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 17



Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung

   

   Mendengar ucapannya, Kaucu Pek Kut Kau itu mengerlingkan matanya beberapa kali kemudian tiba-tiba membelalak, seakan ingin membalas sindiran Tian Bu Cu.

   Akhirnya dia hanya mendengus keras-keras dan kembali memejamkan matanya.

   Meskipun Tian Bu Cu berniat mengembalikan Kaucu Pek Kut Kau itu dari jalan yang sesat, namun melihat orang tidak memberikan reaksi apa-apa atas ucapannya, akhirnya dia hanya bisa menarik nafas panjang kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

   *** ( )*** Sementara itu, Liang Fu Yong dan Mei Ling memapah tubuh si pengemis sakti Cian Cong yang nafasnya tinggal satu-satu.

   Mereka berlari dengan kencang, mendaki bukit bagai berjalan di tanah datar saja.

   Dalam waktu singkat mereka sudah memasuki lembah pegunungan.

   Di kedua sisi tampak puncak gunung menjulang tinggi, mungkin mencapai ribuan depa.

   Mereka menembus celah-celah yang sempit lalu mengitari beberapa belokan terjal.

   Tiba-tiba pemandangan jadi berubah.

   Di depan mata sekarang terlihat sebidang tanah luas dengan rerumputan yang subur tumbuh di atasnya.

   Kecuali jalan setapak yang mereka lalui pertama-tama, seluruh area di sana merupakan daerah perbukitan yang indah.

   Liang Fu Yong dan Mei Ling saling lirik sekilas, mereka lalu merebahkan si pengemis sakti Cian Cong di tanah rerumputan.

   Saat ini hari sudah mulai gelap, sedangkan tempat seperti itu hawanya lebih dingin dari dataran rendah.

   Liang Fu Yong khawatir orangtua itu akan kedinginan sehingga menambah parah luka yang dideritanya.

   Lantas saja dia cepatcepat mencari ranting pohon dan batang bambu yang sudah agak kering lalu menyalahkan api unggun untuk memperoleh sedikit kehangatan.

   Liu Mei Ling malah duduk di atas sebuah batu hijau yang besar dan menatap si pengemis sakti Cian Cong dengan tampang kebingungan.

   Tiba-tiba orangtua itu membuka matanya perlahan-lahan.

   Tampak sinar matanya sudah mulai redup tanpa cahaya yang berkilauan seperti biasanya.

   Melihat kedua gadis cantik duduk di sampingnya, dia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tempat apa ini, mengapa kalian membawa si pengemis tua ke mari? Isi perutku sudah tergetar hebat sehingga terluka parah, belum lagi ditambah lima batang jarum yang beracun. Biar bagaimana aku pasti sulit melewati malam ini. Meskipun ada obat mujarab yang dapat mengembalikan selembar nyawa si pengemis tua ini, kalian juga tidak perlu bercapai diri lagi."

   Melihat orangtua itu masih dapat berbicara, hati Liang Fu Yong jadi agak gembira. Wajahnya, yang tadinya bermuram durja sekarang jadi mulai berseri. Dia segera menuangkan semangkok air dan menyodorkannya ke hadapan orangtua itu.

   "Meskipun luka yang Locianpwe derita cukup parah, tetapi dengan kedatangan Tian Bu Cu Locianpwe, maka pasti dapat disembuhkan. Minumlah dulu air ini, dia orangtua sebentar lagi akan menyusul ke mari."

   Cian Cong mengerlingkan matanya ke sana ke mari, tampangnya seperti orang yang bimbang.

   "Si hidung kerbau itu paling susah disuruh meninggalkan Bu Tong San, mengapa tibatiba bisa datang ke mari?"

   Rupanya luka Cian Cong tadi terlalu parah.

   Ketika dia memejamkan matanya menanti ke-matian di tangan manusia berpakaian hitam, tahu-tahu dia tidak dapat mempertahankan diri lagi sehingga jatuh tidak sadarkan diri.

   Oleh karena itu, dia sama sekali tidak tahu bahwa Tian Bu Cu yang telah menolong dirinya dari maut.

   Sepasang mata Liang Fu Yong mulai mengembangkan air.

   Dia langsung menceritakan kembali bagaimana Tian Bu Cu mementalkan si manusia berpakaian hitam sampai akhirnya mereka disuruh membawa Cian Cong pergi meninggalkan tempat si iblis Oey Kang.

   Dari seorang perempuan yang binal, Liang Fu Yong berubah menjadi perempuan yang baik budi dan suka menolong orang lain.

   Biarpun dirinya memang sudah bertekad untuk merubah jalan hidupnya, tetapi dia juga banyak menerima wejangan dari mulut si pengemis sakti Cian Cong.

   Sambil berbicara, air matanya terus mengalir, bahkan semakin lama semakin deras.

   Cian Cong tertawa sumbang melihatnya.

   "Kau bocah perempuan ini memang keterlaluan, buat apa menangis? Hidup ada tempatnya, menangispun harus ada alasannya. Semua yang ada di dunia ini telah ditakdirkan garisnya oleh Thian yang kuasa. Seumur hidup si pengemis tua ini berkeliaran di dunia Kangouw, orang yang terbunuh oleh sepasang tangan ini juga sudah tidak terkira banyaknya. Kalau usia sudah di atas tujuh puluh tahun, buat apa lagi menyesalkan datangnya kematian"

   Berkata sampai di sini, tiba-tiba ucapannya terhenti.

   Liang Fu Yong dan Mei Ling segera mendongakkan wajahnya.

   Mereka melihat mata si pengemis sakti Cian Cong sudah terpejam rapat, kali ini rasa terkejut dalam hati mereka tak perlu ditanyakan lagi.

   Serentak mereka memanggil dengan suara lirih "Locianpwe!"

   Kedua orang itu memanggil beberapa kali berturut-turut, Sin-kai (si pengemis sakti) Cian Cong sudah tidak mempunyai tenaga untuk menjawab.

   Dia hanya menggerakan matanya sedikit kemudian terpejam lagi rapat-rapat.

   Begitu paniknya kedua gadis itu sehingga air mata mereka bercucuran dengan deras.

   Justru ketika sedang kelabakan setengah mati dan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tiba-tiba telinga mereka menangkap suara langkah kaki mendatangi.

   Dari jalan setapak yang mereka lalui tadi, tampak si tokoh sakti dari Bu Tong Pai, Tian Bu Cu dan seorang pemuda yang tampan namun berwajah murung serta kusut, yakni Tan Ki, sedang menuju ke tempat mereka berada.

   Sudah pasti Tan Ki telah mendapat kabar tentang Cian Cong yang terluka parah dari mulut Tian Bu Cu.

   Di hadapan si pengemis sakti Cian Cong yang sedang terluka parah, Liang Fu Yong dan Mei Ling tidak berani menunjukkan perasaan rindunya kepada Tan Ki.

   Hal ini pasti bisa menimbulkan kesalahpahaman bagi Tian Bu Cu yang melihatnya.

   Mereka hanya mengerling sekilas ke arah pemuda itu lalu menundukkan kepalanya kembali.

   Tian Bu Cu segera maju ke depan melihat keadaan Cian Cong.

   Dia mengulurkan tangannya meraba dada kemudian nadi orangtua itu.

   Sepasang alisnya langsung berkerut.

   Dari dalam lengan jubahnya yang longgar, dia segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah lalu memerintahkan Tan Ki menyuapkannya ke mulut Cian Cong.

   Setelah itu baru dia memeriksa luka luarnya dengan hati-hati.

   Pada saat itu, racun yang terdapat pada lima lubang luka di kedua pundak si pengemis sakti sudah mulai bereaksi.

   Setiap lukanya sudah berubah menjadi bundaran seperti logam berwarna ungu.

   Tian Bu Cu langsung menghimpun hawa murninya lalu menempelkan telapak tangannya di luka tersebut untuk menyedot keluar kelima batang jarum beracun tersebut.

   Dia lalu menaburkan obat seperti bubuk di atas luka-luka itu.

   Akhirnya dia menyuruh Tan Ki mengambil air dan menjerangkan air panas.

   Tan Ki segera melaksanakan apa yang diperintahkan.

   Sesaat kemudian tampak anak muda itu sudah menghadapi api unggun sambil memasak air panas.

   "Kalau menurut penglihatan Locianpwe, apakah luka yang Cian Locianpwe derita ada harapan besar untuk sembuh kembali seperti sediakala?"

   Tian Bu Cu menggelengkan kepalanya.

   "Isi perutnya sudah tergetar hebat, ilmu silatnya hampir musnah. Lagipula dia menggunakan sisa hawa murninya yang terakhir untuk melakukan penyerangan. Hal ini membuat hawa murninya yang memang hanya tinggal sedikit itu jadi membuyar. Apakah nyawanya masih bisa diselamatkan, masih merupakan suatu pertanyaan. Meskipun dia bisa hidup kembali, tetapi tenaga dalamnya sudah pasti lenyap. Untuk seumur hidup, jangan harap dapat berlatih ilmu silat lagi."

   Tampang Tan Ki semakin sedih dan kuyu.

   "Benarkah tidak ada harapan sama sekali? Cian Locianpwe justru datang ke Pek To San karena ingin mencari Ki-ji. Kalau dikatakan, justru Ki-ji yang mencelakainya sehingga terluka sedemikan parah. Kalau dia tidak bisa disembuhkan lagi, Ki-ji pasti akan menyesal seumur hidup. Locianpwe, carilah akal untuk menolongnya agar pulih kembali."

   Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, tanpa dapat ditahan lagi, air mata Tan Ki berderai dengan deras, wajahnya menunjukkan rasa-panik yang tidak terkirakan. Tian Bu Cu menarik nafas panjang.

   "Kau ini memang paling-paling. Kalau masih bisa ditolong, masa aku hanya duduk saja diam-diam?"

   Dia berhenti sejenak, kemudian sepasang tangannya dikibaskan.

   "Kalian bertiga jalan-jalan dulu ke belakang bukit sana. Biar aku menenangkan pikiran mencari jalan keluar"

   Tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, orangtua itu langsung menjatuhkan dirinya di samping Cian Cong dan duduk bersila dengan mata terpejam.

   Mendengar ucapannya, mula-mula Tan Ki agak tertegun.

   Kemudian dia mengiakan dan mengajak gadis itu berjalan menuju belakang bukit.

   Pemandangan malam di daerah perbukitan mempunyai keindahan tersendiri.

   Apalagi saat ini, hari belum seluruhnya gelap.

   Di ujung langit masih tersisa segaris cahaya keemasan.

   Begitu mempesonakan laksana selembar lukisan karya seniman-seniman terkenal.

   Angin sejuk bertiup dari arah depan, pikiranpun menjadi nyaman seketika.

   Tan Ki merasa kelelahannya selama beberapa hari berturut-turut karena mengalami berbagai kejadian hebat menjadi lenyap seketika.

   Dia memalingkan wajahnya menatap Mei Ling kemudian beralih lagi memandang Liang Fu Yong.

   Yang satu berwajah cantik dan halus seperti anak-anak, bertubuh padat tapi tidak gemuk.

   Sedangkan yang satunya lagi agak kurus namun menampilkan kesan kecantikan seorang wanita yang sudah matang.

   Kedua-duanya semakin dilihat semakin menawan.

   Tanpa terasa dia mengulurkan sepasang tangannya dan menggandeng kedua gadis itu di kiri kanan.

   Bibirnya mengembangkan seulas senyum kebahagiaan.

   "Dapat memperoleh cinta kasih serta perhatian cici berdua, siaute rasanya ketiban rembulan dan bagai hidup dalam surga tingkat sembilan"

   Liang Fu Yong mencibirkan bibirnya.

   "Lihat tebalnya mukamu itu, kata-kata seperti itu sanggup dicetuskan. Dendam kematian ayah belum terbalas, beban berat masih belum terlepas dari pundak. Semua orang sudah dibikin sibuk sedemikian rupa, ceroboh sedikit saja malah ada bahaya yang menyangkut selembar nyawa. Dalam keadaan sekarang, Cian Locianpwe justru memikirkan keselamatan dirimu sehingga tidak memperdulikan dirinya yang menjabat sebagai panitia penyelenggara Bulim Tayhwe, menyusulmu ke Pek To San. Saat ini ia malah terluka begini parah, tetapi kau masih mempunyai kegembiraan hati memikirkan"

   Mata Tan Ki membelalak lebar-lebar. Melihat mata Liang Fu Yong yang sudah mengembangkan air mata, dia langsung terlonjak kaget.

   "Cici, kenapa kau menangis? Aku hanya teringat cinta kasih dan perhatian yang kau berikan padaku beberapa waktu yang lalu dan tanpa sengaja mencetuskan perasaan hati. Aku sama sekali tidak berniat membuat Cici menjadi sedih sedemikian rupa."

   Air mata Liang Fu Yong malah mengalir semakin deras mendengar perkataannya.

   "Kalau kau masih bisa mengingat kenangan yang lalu, seharusnya kau tahu siapa diriku ini"

   Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

   "Saat dulu sudah lewat, sekarang lain lagi. Masing-masing mempunyai situasi yang berbeda. Kau tidak boleh membanding-bandingkannya lagi. Apakah kau tahu apa isi surat yang diberikan oleh Tian Bu Cu Locianpwe agar kau sampaikan kepada Cian Locianpwe?"

   Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.

   "Aku masih ingat dengan jelas. Tian Bu Cu Locianpwe menyuruh aku menyampaikannya pada Cian Locianpwe. Benda milik orang lain, mana boleh sembarang kita membuka dan membaca isinya. Tentang apa yang tertulis di dalamnya, sudah barang tentu aku tidak dapat menduga."

   Tawa Tan Ki semakin lebar.

   "Biar aku memberitahukannya kepadamu. Di dalam surat itu tertulis jelas bahwa Cian Locianpwe harus memperhatikan gerak-gerikmu. Apabila kau benar-benar dapat berubah menjadi orang baik-baik dan tidak mengulangi lagi perbuatanmu yang dulu, maka orangtua itu berniat menerima engkau sebagai muridnya."

   Mendengar kata-kata Tan Ki, tubuh Liang Fu Yong langsung bergetar sedikit. Hatinya merasa terkejut sekaligus gembira.

   "Apakah semua yang kau katakan ini benar?"

   Beberapa kata yang singkat tercetus dari mulutnya, namun memerlukan waktu yang cukup lama karena dia menanyakan dengan sepatah-sepatah.

   Hal ini membuktikan bahwa perasaan gadis ini demikian terharunya sehingga hampir tidak sanggup mengucapkan kata-kata dengan sempurna.

   Sekali lagi Tan Ki tersenyum lembut.

   "Selamanya Siaute paling tidak suka berdusta. Penjelasan terperincinya bagaimana, kelak kau akan tahu sendiri dan bagaimana kau bisa bertemu dengan Locianpwe ini?"

   Mula-mulanya aku bersama Liang Cici melihat pesan yang ditinggalkan oleh si pengemis cilik Cu Cia.

   Saking paniknya kami sampai menangis kebingungan.

   Kau ini memang paling egois, melakukan hal apapun selalu tidak pernah berpikir panjang dulu, juga tidak perduli bagaimana perasaan orang mengetahui kau tiba-tiba mengikuti Oey Kang ke Pek To San."

   Kata Mei Ling sambil pura-pura mendelik kepadanya. Tan Ki tertawa getir.

   "Sejak aku tahu siapa musuh besarku yang sebenarnya, hawa amarah di dalam dada ini hampir meledak. Rasanya aku tidak dapat mengendalikan perasaanku lagi. Ingin sekali aku menghantam mati Oey Kang dalam satu gebrakan, sehingga aku dapat membalaskan dendam bagi kematian ayahku yang tragis. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kalau iblis itu sudah mempunyai rencana yang jahat. Dia sengaja memanas-manasi hatiku, agar aku terperangkap dalam siasat yang dijalankannya. Dia tahu ibuku pasti mencemaskan keadaanku dan tanpa berpikir panjang lagi akan menyusul aku ke Pek To San."

   Perlahanlahan dia menarik nafas panjang baru kemudian melanjutkan kembali.

   "Saat itu, aku hanya mengikuti hawa emosi yang ada di hati. Tanpa memperdulikan hal lainnya, kuikuti Oey Kang yang mengajakku bertarung di Pek To San. Sebelum aku sempat masuk ke pintu gerbang perkampungan tersebut, Tian Bu Cu Locianpwe tiba-tiba muncul di sana dan memerintahkan agar aku berhenti sebentar. Kemudian orangtua itu memberitahukan kepadaku tentang rencana jahat Oey Kang. Dengan demikian aku baru tersadar. Aih, seseorang apabila sudah mengalami sesuatu, pengetahuannya serta pengalamannya baru bisa bertambah. Siaute tidak menyangka karena urusan ini malah membuat Cici berdua jadi berduka, lain kali aku tidak akan sembrono lagi."

   Liu Mei Ling mendengar nada bicaranya begitu polos dan kekanak-kanakan, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi tertawa geli.

   "Sekarang kau baru mengucapakan kata-kata seperti itu, bukankah sudah agak terlambat. Karena urusanmu, Ibu cepat-cepat menyusul. Kemungkinan besar mereka sudah sampai di Pek To San sekarang."

   Mendengar kata-katanya, Tan Ki tiba-tiba teringat akan sesuatu hal.

   "Tadi kalian bilang bahwa kalian bisa menyusul ke tempat ini karena menemukan pesan yang ditulis oleh Cu Hengte. Kalau begitu seharusnya Ibu dan Cu Hengte sekalian lebih dahulu sampai di Pek To San daripada kalian. Mengapa sekarang berbalik mereka yang tertinggal di belakang, sedangkan kalian sudah sepanjang hari sampai di sini, memangnya kalian bisa terbang?"

   Tanyanya penasaran.

   "Apa yang kau duga sedikitpun tidak salah. Ketika aku dan Liang Cici baru meninggalkan Tok Liong-hong, kami berdua menemui suatu kejadian yang ajaib. Ada seorang gadis cilik berusia kurang lebih enam belasan tahun. Dia menunggang seekor elang raksasa yang warna bulunya indah sekali. Dialah yang mengantar kami ke Pek To San"

   Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba dari atas kepala terdengar suara panggilan yang merdu.

   "Nona! Nona!"

   Tan Ki dan Mei Ling mendongakkan kepalanya dalam waktu yang bersamaan.

   Tampak seekor burung kakaktua yang bulunya berwarna hijau berkilauan sedang bertengger di atas sebatang pohon yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka berada.

   Tan Ki melihat burung itu sangat lucu dan pandai pula berbicara bahasa manusia.

   Saat itu juga jiwa kekanak-kanakannya timbul kembali.

   Dia mengeluarkan sebuah bola besi berbentuk kecil dari dalam sakunya.

   "Mei Ling, burung itu sungguh indah, biar aku timpuk dia supaya jatuh ke bawah dan akan kuhadiahkan sebagai mainan untukmu."

   Wajah Mei Ling langsung berubah mendengar ucapannya.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tan Koko, jangan!"

   Baru mengucapkan sepatah kata, namun sudah terlambat.

   Senjata rahasia di tangan Tan Ki sudah disambitkan keluar, melesat bagai bintang yang meluncur dan bercahaya terang serta dengan cepat terbang ke atas.

   Burung kakaktua itu masih belum tahu kalau ada seseorang yang membokong dirinya.

   Apalagi Tan Ki menimpuknya dengan tenaga dalam yang sudah dikerahkan ke pergelangan tangan.

   Ketika burung kakaktua itu menyadari adanya bahaya, ia segera mengepakkan sayapnya terbang ke atas, tetapi senjata rahasia yang meluncur cepat itu sudah mencapai sasarannya.

   Dengan tepat menghantam sayap kirinya.

   Tampak kilauan berwarna hijau bergerak, beberapa helai bulunya langsung rontok dan berjatuhan ke bawah.

   Hembusan angin membuat bulu-bulu itu melayang-layang, indah sekali.

   Begitu sayapnya terkena senjata rahasia Tan Ki, tubuh burung kakaktua itu agak limbung kemudian jatuh ke bawah kurang lebih lima depa, tetapi dalam sekejap mata dia mengepakkan sayapnya kembali dan langsung terbang pergi.

   Tan Ki berlari ke depan kemudian memunguti beberapa helai bulu yang terjatuh di atas tanah, dia melihat ada bekas darah pada bulu-bulu itu.

   Dia jadi menarik nafas panjang berkali-kali.

   "Sayang sekali, tidak disangka burung sekecil itu memiliki tenaga demikian kuat. Dalam keadaan terluka dia masih sanggup mengepakkan sayapnya untuk melarikan diri. Aku justru tidak berani menimpuk bagian tubuh yang membahayakan"

   Di saat berkata tanpa sengaja dia mendongakkan wajahnya, tiba-tiba dia melihat Mei Ling berdiri memandanginya dengan termangu-mangu.

   Wajahnya murung sekali dan matanya tidak berkedip menatap ke arah bulu-bulu di tangannya.

   Melihat sikap istri yang baru dinikahinya itu, Tan Ki merasa heran sekali.

   "Mei Ling, kenapa kau?"

   Perlahan-lahan Mei Ling menarik nafas satu, kali. Sepasang alisnya mengerut.

   "Kau sudah mendatangkan bencana besar!"

   Tan Ki jadi tertegun.

   "Apa? Masa menimpuk seekor burung dengan senjata rahasia saja bisa mendatangkan bencana besar?"

   Liang Fu Yong mengulurkan tangannya menyambut beberapa helai bulu dari tangan Tan Ki.

   Lambat laun mimik wajahnya menjadi kelam luar biasa.

   Tan Ki semakin heran melihat sikap kedua gadis itu.

   Baru saja dia ingin bertanya, tiba-tiba Liang Fu Yong sudah mendongakkan wajahnya dan mengajukan pertanyaan kepada Mei Ling.

   "Apakah adik Ling sudah melihat dengan jelas bahwa burung tadi sama dengan burung yang kita lihat itu?"

   Mei Ling menganggukkan kepalanya dengan tegas.

   "Malam itu ketika bertemu dengan si gadis berpakaian putih yang misterius, Siaumoay sudah menanam kesan yang dalam. Burung kakaktua bernama Liok Giok yang bertengger di atas bahunya lebih-lebih tidak pernah Siaumoay lupakan. Sayangnya Tan Koko bergerak terlalu cepat sehingga Siaumoay tidak keburu lagi mencegahnya."

   Sekali lagi dia menarik nafas panjang-panjang. Melihat mimik wajah Liang Fu Yong yang menyiratkan kepanikan dan saat ini sedang memejamkan matanya merenung, Mei Ling melanjutkan lagi kata-katanya.

   "Siaumoay dengar dari budaknya yang bernama Mei Hun bahwa majikannya ingin pergi ke Thai San melihat matahari terbit. Mengapa orangnya sudah pergi, burungnya malah tetap tertinggal di sini?"

   Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.

   "Manusia-manusia yang aneh seperti kaum dewata ini, selalu melakukan tindakan yang tidak terduga oleh pikiran kita. Apalagi gadis berpakaian putih yang wajahnya tertutup cadar itu. Dirinya benar-benar mirip dengan dewi-dewi yang sering kita lihat dalam lukisan-lukisan. Penampilannya begitu anggun dan suci. Mungkin Tian Bu Cu Locianpwe yang disebut manusia setengah dewa juga tidak dapat menandinginya. Sekarang urusan sudah terlanjur. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, yang dapat kita lakukan hanya melihat perkembangannya saja. Tetapi sebelumnya lebih baik kita ceritakan urusan ini kepada Tian Bu Cu Locianpwe, mungkin kita bisa merundingkan sesuatu sebagai jalan keluar yang baik. Orangtua itu berpengetahuan luas, hampir seluruh wilayah di Tionggoan ini sudah dijelajahinya. Siapa tahu majikan pemilik burung kakaktua itu pernah berjodoh dengannya sehingga saling mengenal atau setidaknya Tian Bu Cu Locianpwe pernah mendengar tokoh yang satu ini."

   Tan Ki mendengar kedua gadis itu berbicara, setiap ucapan mereka seakan mengandung makna yang dalam.

   Lagipula wajah mereka begitu murung sehingga sekali lihat saja dapat diketahui bahwa mereka benar-benar mencemaskan suatu masalah yang serius.

   Tanpa dapat ditahan lagi matanya membelalak lebar-lebar.

   Dia menatap Mei Ling beberapa saat kemudian tatapan matanya beralih kepada Liang Fu Yong.

   Wajahnya menampilkan kesan seperti orang yang kebingungan.

   Liang Fu Yong memandang Tan Ki sambil tersenyum simpul.

   "Adik Ki, burung yang tadi kau timpuk dengan senjata rahasia bernama Liok Giok. Burung itu merupakan peliharaan seorang manusia yang sangat misterius. Malam itu ketika kami mencari jejakmu, kami berlari sejauh empat puluh li dan sampai di sebuah lembah yang terpencil. Kebetulan kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian putih dan pelayannya yang sedang duduk beristirahat. Karena kebaikkannya, kami diantarkan ke Pek Hun-ceng dengan menunggang seekor elang raksasa. Perjalanan sejauh ribuan li dapat ditempuh oleh binatang itu dalam waktu yang singkat. Bahkan Cian Locianpwe yang sudah berangkat lebih dulu setengah hari sebelum kami, masih belum sampai juga."

   Mendengar nada ucapan Liang Fu Yong, tampaknya dia sangat menghormati si gadis berpakaian putih.

   Hatinya mulai merasa urusan ini memang luar biasa sekali.

   Sejak berkecimpung di dunia persilatan sampai sekarang, waktunya sudah lebih dari setengah ta-hun.

   Secara berturut-turut dia menemui tokoh-tokoh yang aneh dan memiliki ilmu tinggi.

   Wataknya tidak sekeras dan seangkuh dulu lagi.

   Setelah mendengar keterangan Liang Fu Yong, sepasang alisnya langsung terjungkit ke atas.

   "Meskipun Siaute menimpuk burung peliharaannya sehingga terluka, tetapi aku bukan melakukannya dengan sengaja. Seandainya dia memang seorang locianpwe yang termasuk tokoh sakti dan misterius. Rasanya masih bisa dijelaskan secara baik-baik."

   Seraya berbicara, ketiga orang itu berjalan menuju tempat semula.

   Tampak si pengemis sakti sedang bersandar pada sebuah batu besar dan beristirahat dengan mata terpejam.

   Wajahnya yang pucat pasi menandakan bahwa luka yang dideritanya masih belum menunjukkan perubahan apa-apa.

   Sedangkan Tian Bu Cu duduk di sampingnya termenung-menung tanpa mengucapkan sepatah katapun.

   Sejak mengetahui bahwa tokoh aneh yang memiliki ilmu tinggi ini sedang menguji ketabahannya dengan maksud ingin menerimanya sebagai murid, Liang Fu Yong terlebih-lebih tidak berani banyak bertingkah.

   Dengan sopan dan tenang dia berdiri di samping dan membiarkan Mei Ling yang menceritakan tentang diri Tan Ki secara tidak sengaja menimpuk Liok Giok sehingga terluka.

   Mei Ling mengisahkan semuanya secara terperinci dan juga memberitahukan raut wajah dan tampang si gadis berpakaian putih beserta pelayannya.

   Tentu saja Mei Ling tidak dapat melihat jelas wajah si gadis berpakaian putih karena tertutup sehelai cadar yang tipis.

   Tian Bu Cu memejamkan matanya menguras otak beberapa saat, tetapi dia tetap tidak dapat menduga asal-usul gadis tersebut, kemudian dia membuka matanya kembali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Kalau benar apa yang kalian katakan, maka gadis berpakaian putih itu pasti mempunyai riwayat hidup yang hebat. Asal-usulnya pasti luar biasa sekali. Tetapi saat ini, di seluruh sungai telaga, baik utara maupun Selatan, rasanya tidak ada tokoh seperti yang kalian"

   Berkata sampai di sini, tiba-tiba sepasang alisnya berkerut dan ucapannya langsung terhenti.

   Tiba-tiba dari angkasa terdengar suara pekikan yang aneh, kumandangnya terdengar sampai jauh dan suaranya bening nyaring.

   Wajah Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong berubah seketika mendengarnya.

   Cian Cong dan Tan Ki tampaknya sudah merasa kehadiran sesuatu yang mengejutkan.

   Menyusul kemudian suara siulan yang panjang dan tidak terhenti-henti.

   Di balik suara tersebut juga terdengar suara keliningan yang terus berdenting.

   Tian Bu Cu mengibaskan lengan pakaiannya lalu melonjak bangun.

   Dalam sekejap mata, di antara pepohonan yang lebat di sebelah selatan terdengar suara seorang gadis yang bening dan kekanak-ka-nakkan.

   "Siapa orangnya yang melukai Liok Giok peliharaan majikanku? Cepat keluar dan jawab pertanyaanku!"

   Sepasang alis mata Tan Ki langsung terjangkit ke atas.

   Baru saja dia ingin membuka mulut, Liang Fu Yong sudah menarik lengannya dengan gugup.

   Gadis itu membisikkan beberapa patah kata, akhirnya Tan Ki dapat juga menahan hawa emosi dalam hatinya.

   Kemudian terdengar suara angin kencang menderu-deru.

   Di hadapan mereka telah berdiri seorang gadis remaja dengan rambut dikepang dua dan mengenakan pakaian berwarna hijau.

   Wajahnya cantik sekali, usianya paling banter enam belasan tahun, bibirnya merah dan mungil.

   Tetapi ketika dia melihat Mei Ling dan Liang Fu Yong yang berdiri di samping Tian Bu Cu, perasaan marah langsung tersirat di wajahnya.

   Matanya mendelik lebar-lebar.

   "Aku kira siapa orangnya, ternyata rombongan kalian. Malam itu di lembah yang terpencil, dengan baik hati kami mengantarmu ke mari. Sekarang air susu malah dibalas dengan air tuba. Dasar manusia tidak mengenal budi. Memangnya apa kesalahan Liok Giok kepada kalian sehingga kalian sampai hati melukainya sedemikian rupa. Kalian benar

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   benar tidak boleh diberi ampun! Siapa yang melukainya cepat menggelinding keluar, aku akan mematahkan sebuah lengannya untuk membalaskan dendam bagi Liok Giok!"

   Tian Bu Cu mendengar ucapan gadis remaja itu sangat ketus dan tajam menusuk. Sikapnya malah semakin tenang dan lembut.

   "Mohon tanya kepada Nona kecil ini, entah siapa nama majikanmu yang mulia? Entah berasal dari perguruan mana? Siapa tahu Pinto dengan dia pernah berjodoh sehingga pernah saling mengenal di suatu tempat. Kalau Nona kecil ini bisa memberitahukan, biar Pinto yang tampil dan menjelaskan urusan ini kepadanya. Jangan sampai gara-gara seekor burung saja, hubungan persahabatan jadi retak."

   Sepasang mata gadis itu mengerling ke sana ke mari sekilas. Kemudian berhenti pada wajah Tian Bu Cu.

   "Majikanku tidak mungkin saling mengenal dengan kalian. Kau juga tidak usah ikut campur dalam urusan ini. Aku juga tidak ada waktu bersilat lidah denganmu. Pokoknya siapa yang melukai Liok Giok, cepat keluar! Jangan sampai aku melukai orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini!"

   Ucapannya ini benar-benar menusuk, boleh dibilang sangat menghina. Tan Ki yang mendengarnya tidak dapat menahan kesal lagi. Dia segera melangkah lebar ke depan dan berdiri dengan dada membusung.

   "Berapa sih harganya seekor burung? Mengapa kau demikian kasar dan sombong. Kalau burung itu memang peliharaan kalian, seharusnya kalian kurung dia dalam sangkar dan jangan biarkan dia bebas berkeliaran ke mana-mana. Cayhe memang yang menimpuknya dengan senjata rahasia, tetapi aku tidak sengaja. Apakah majikanmu orang yang sama sekali tidak ada pengertiannya?"

   Sahutnya dengan nada sinis.

   Gadis berpakaian hijau itu mendengus dingin satu kali.

   Tampak tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu orangnya sudah menerjang datang.

   Dengan jurus Angin Menghembus Dedaunan Rontok, serangannya dengan hebat meluncur ke arah Tan Ki.

   Gerakannya gesit dan ringan, kecepatannya bagai kilat.

   Tan Ki hanya merasa ada segulung angin berbau harum yang menerpa ke arahnya.

   Gadis itu sudah menerjang ke arahnya.

   Dalam sesaat itu apabila dia ingin mengerahkan jurus menangkis, tentu tidak sempat lagi.

   Cepat-cepat dia memiringkan tubuhnya kemudian menerobos keluar ke sebelah kiri.

   Tian Bu Cu mengibas lengan jubahnya, serangkum angin yang kencang langsung terpancar keluar.

   Meskipun gadis berpakaian hijau itu memiliki berbagai ilmu serta kepandaian yang aneh-aneh, tetapi dia belum mengerahkannya.

   Satu hal yang pasti, kekuatan tenaga dalamnya masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan Tian Bu Cu.

   Begitu angin pukulan memancar, kain pengikat pinggangnya sampai melambai-lambai, orangnya sendiri sampai tergetar mundur satu langkah.

   Seandainya Tian Bu Cu tidak melihat keadaan yang mendesak sehingga terpaksa turun tangan, kemungkinan besar Tan Ki sulit meloloskan diri dari pukulan gadis tersebut.

   Gadis berpakaian hijau itu tampaknya tidak menyangka kalau tosu tua yang ada di hadapannya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat.

   Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu.

   Tian Bu Cu mengembangkan seulas senyuman yang lembut.

   "Usiamu masih begitu muda, mana boleh sembarangan bergerak melukai orang? Melukai seekor burung kakaktua, meskipun merupakan binatang peliharaan yang paling disayangi oleh majikanmu, tetap harus dilihat dari alasannya. Masa benar-benar ingin orang menggantinya dengan selembar nyawa?"

   Sejak mengetahui urusan, si gadis berpa-kain hijau belum pernah menemukan lawannya.

   Kecuali sering dikalahkan oleh majikannya sendiri, mana pernah dia kena batunya seperti sekarang ini? Begitu kesalnya gadis itu sehingga kelopak matanya menjadi merah dan hampir mengeluarkan suara tangisan yang meraung-raung.

   Setelah membentak keras, tubuhnya kembali menerjang ke depan.

   Sasarannya kali ini bukan lagi Tan Ki, melainkan tokoh sakti dari Bu Tong San, Tian Bu Cu.

   Tangan kiri mengerahkan jurus Naga Mengibaskan Ekor, sedangkan tangan kanan mengerahkan jurus Petir Menyambar Atap Ramah.

   Kedua serangan itu dilancarkan dalam waktu yang bersamaan.

   Baru saja terlihat pakaiannya yang berwarna hijau berkelebat, tahu-tahu kedua serangannya sudah meluncur tiba.

   Tian Bu Cu melihat gerakan tangannya begitu gesit dan cepat bagai kilat.

   Tanpa terasa hatinya juga bergetar.

   Cepat-cepat dia mengangkat jubahnya dan mencelat mundur sejauh tiga langkah.

   Tiba-tiba terlihat gadis berpakaian hijau itu melesat ke udara.

   Di tengah-tengah tubuhnya berjungkir balik dengan kepala di bawah dari kaki di atas.

   Dia meluncur turun dengan gerakan berputar dan melintir-lintir seperti gasing dan tahu-tahu bayangan tubuhnya seperti menjadi banyak bahkan tak terhitung jumlahnya.

   Meskipun Tian Bu Cu merupakan seorang tokoh Bulim yang dapat dianggap sebagai salah satu yang tersakti saat ini dan mempunyai pengetahuan yang maha luas, namun dia tidak dapat menduga jurus apa yang dimainkan gadis itu.

   Terpaksa dia mengibaskan lengan jubahnya dan mengerahkan sebuah jurus yang telah membuat namanya menjadi terkenal yakni Kibasan Lengan Besi.

   Serangkum angin yang kencang terpancar keluar dari kibasan lengan jubahnya dan dihantamkan ke arah bayangan-bayangan yang terlihat di udara.

   Kibasan Lengan besi merupakan salah satu ilmu pusaka dalam Bu Tong Pai.

   Seluruh kekuatan tenaga dalam dikerahkan ke lengan baju sehingga kaku bagai lempengan besi.

   Bukan hanya kekuatannya yang hebat dan aneh, setiap kali sudah mendekat pasti sulit dihindari, lagipula angin yang terpancar keluar juga tajam bagai gunting.

   Lawan yang terhantam tenaga tersebut, besar kemungkinan akan melayang nyawanya.

   Watak gadis itu terlalu sombong, dia tidak sudi mengalah begitu saja.

   Saat ini diamdiam dia mengerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan sehingga memberat ke bawah dan bagai kilat dia menyambut serangan tersebut.

   Begitu kedua kekuatan saling membentur, hati gadis berpakaian hijau itu langsung tergetar.

   Hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang dia baru sadar bahwa kekuatan tenaga dalamnya masih terpaut jauh dengan tosu tua tersebut.

   Cepatcepat dia menghimpun hawa murninya untuk melindungi tubuh dan berjungkir balik sekali lagi.

   Dengan membiarkan dirinya didorong oleh kekuatan tenaga Tian Bu Cu,,tubuhnya melayang lagi ke atas, kemudian pada jarak kurang lebih tiga empat depaan baru melayang turun kembali.

   Meskipun ilmu Kibasan Lengan Besi milik Tian Bu Cu ini mempunyai pengaruh kekuatan yang hebat, tetapi juga memboroskan hawa murni.

   Selesai mengerahkannya, wajah orangtua itu tampak agak berubah.

   Cepat-cepat dia menarik nafas panjang-panjang kemudian memejamkan matanya sambil mengatur pernafasan dan tidak berani langsung melancarkan serangan.

   Tiba-tiba setitik sinar terang sepert berkelebat dalam benaknya.

   Dia teringat akan seseorang dan sepasang matanya langsung terbuka lebar-lebar.

   "Apakah kau murid dari Ming San Sinni (Rahib suci dari Ming San) Fu Goat Taisu?"

   Tampak si gadis itu agak tertegun beberapa saat.

   "Ilmu agama Sinni tiada batasnya, bagaimana mungkin beliau mempunyai seorang murid seperti aku ini? Aku"

   Tiba-tiba, dia menghentikan kata-katanya, seolah ada sesuatu yang kurang tepat. Cepat-cepat dia menghentikan ucapannya dan mengibaskan kepang rambutnya ke belakang. Setelah terdiam beberapa saat dia melanjutkan kembali katakatanya.

   "Kau tidak usah perduli siapa diriku ini. Aku hanya ingin membawa orang yang melukai Liok Giok. Kalau kau tosu tua masih mencoba menghalangi, aku benar-benar akan mengadu jiwa denganmu!"

   Tian Bu Cu tersenyum lembut. Belum lagi sempat dia membuka mulut, Tan Ki sudah berjalan keluar dengan mimik wajah menunjukkan kemarahan hatinya.

   "Kau gadis cilik ini memang hebat sekali. Entah ke mana kau akan membawa diriku?"

   "Liok Giok adalah burung kesayangan majikanku. Orang dari rombongan kalian yang melukainya, sedangkan luka yang dideritanya parah sekali. Aku telah melayani majikanku selama bertahun-tahun, tetapi belum pernah aku melihat beliau begitu marah. Tadi kau sudah menyambut jurus seranganku, mungkin dalam hati kau sendiri mengerti. Meskipun tenaga dalamku belum cukup sempurna, tetapi dalam gerakan maupun jurus-jurus, aku tidak kalah olehmu. Kalau pertarungan kita diteruskan, belum tentu aku akan mengalami kekalahan.Seandainya aku tidak dapat membawa orang yang melukai Liok Giok, sebentar lagi beliau tentu akan datang sendiri, pada waktu itu urusan semakin sulit diselesaikan. Biarpun kalian beberapa orang bergabung jadi satu, rasanya juga bukan tandingan majikanku itu. Aku pikir, lebih baik suruh orang yang melukai Liok Giok itu mengikuti aku menemui majikan. Paling-paling juga hanya mendapat sedikit hukuman darinya. Kata-kata yang kuucapkan ini keluar dari hati yang tulus. Kalau kalian tetap tidak percaya, boleh saja coba-coba!"

   Mendengar keterangannya, Tian Bu Cu menjadi serba salah.

   Apabila membiarkan Tan Ki pergi seorang diri menghadap majikan gadis ini, otomatis hatinya khawatir sekali.

   Kalau dia mencegah Tan Ki pergi, sebentar lagi apabila majikannya benar datang, kemungkinan akan terjadi pertumpahan darah baru bisa menyelesaikan urusan.

   Gadis berpakaian hijau itu hanya salah seorang budaknya, tetapi ilmu silat yang dikuasainya sudah demikian tinggi.

   Hal ini membuktikan bahwa majikannya pasti seorang tokoh yang luar biasa.

   Pikirannya terus bekerja.

   Semakin lama hatinya semakin bingung.

   Kedua pilihan itu sama-sama berat baginya.

   Untuk sesaat, tokoh aneh yang memiliki ilmu tinggi ini juga jadi kebingungan dan tidak tahu keputusan apa yang harus diambilnya.

   Dia menundukkan kepalanya merenung dan untuk sekian lama tiT dak mengucapkan sepatah katapun.

   Justru ketika dia merasa serba salah, tiba-tiba terdengar Tan Ki tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada si gadis berpakaian hijau.

   "Kalau kau sudah berkata demikian, aku akan mengikutimu untuk menemui majikanmu itu. Aku ingin lihat bagaimana dia akan menghukum diriku!"

   Mendengar Tan Ki bersedia ikut dengannya, wajah gadis itu yang tadinya menunjukkan kemarahan langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia mengembangkan seulas senyuman yang manis sekali.

   "Kalau kau sudah bersedia ikut denganku, maka segala kesulitan tidak mungkin sampai terjadi. Jangan sampai dipaksa dengan kekerasan yang akhirnya menimbulkan adu senjata tajam. Aku juga percaya kalau kau adalah seorang Kuncu (Laki-laki sejati). Sekarang ini tidak mungkin aku membawamu menemui majikan. Malam ini ketika rembulan tepat berada di atas kepala, kita akan bertemu lagi!"

   Dengan suara rendah kembali gadis itu kembali menjelaskan kepada Tan Ki arah yang harus diambilnya dan tempat di mana mereka harus bertemu nanti malam.

   Setelah itu dia menjura dalam-dalam kepada Tian Bu Cu, lalu membalikkan tubuh berlari ke depan.

   Ketika baru berjalan kurang lebih dua puluh depaan, tiba-tiba dia menolehkan kepalanya kembali dan berkata kepada Tan Ki.

   "Ingat, ketika kau pergi nanti malam, jangan ajak siapapun. Majikanku paling benci bertemu dengan kalian kaum laki-laki!"

   Suaranya terdengar dari jelas sehingga menjadi sayup-sayup kemudian menghilang.

   Orangnya sendiri sudah membelok ke dalam sebuah lembah dan tidak terlihat lagi.

   Kemudian terdengar lagu suara angin berderu-deru yang meninggi ke atas.

   Beberapa orang itu segera mendongakkan kepala, entah dari sebelah mana tiba-tiba melayang terbang dengan kecepatan tinggi seekor elang raksasa.

   Sayapnya mengepak-ngepak sehingga menimbulkan suara angin yang keras.

   Kecepatannya bagai kilat yang menyambar di musim hujan.

   Dalam sekejap mata saja, burung itu hanya tinggal sebuah titik hitam yang kemudian menghilang di kejauhan.

   Saat ini, Tian Bu Cu serasa lega kembali.

   Dia menghembuskan nafas panjang-panjangdan berjalan perlahan-lahan mendekati Cian Cong.

   Tanpa sengaja dia mendongakkan wa? jahnya.

   Tampak Mei Ling dan Liang Fu Yong masih mengerutkan sepasang alisnya dan mimik wajah mereka menyiratkan perasaan khawatir yang dalam.

   Orangtua itu tahu mereka mencemaskan diri Tan Ki yang telah berjanji akan bertemu dengan majikan si gadis cilik itu malam nanti.

   Apakah dirinya akan selamat atau bahaya masih sulit dipastikan.

   Dia tersenyum kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

   Perlahan-lahan dia kembali memejamkan matanya dan merenung memikirkan cara untuk menyelamatkan nyawa si pengemis sakti Cian Cong.

   Waktu di pegunungan lebih cepat berlalu.

   Sebentar saja sudah masuk kentungan pertama.

   Tan Ki memohon diri kepada Tian Bu Cu dan yang lainnya.

   Dia juga memberitahukan tujuan yang akan didatanginya nanti, serta tempat di mana majikan gadis itu berada.

   Seorang diri dia meninggalkan padang rumput tersebut dan bersiap-siap menemui gadis berpakaian putih.

   Tidak disangka ketika dia baru masuk ke dalam rumah penginapan, dia telah bertemu dengan rombongan si pengemis cilik dan kawan-kawan.

   Setelah mendengar cerita Tan Ki dari awal hingga akhir, sepasang alis si pengemis cilik Cu Cia langsung mengerut.

   Hatinya gelisah sekali.

   "Kalau Tan-heng sudah mengadakan perjanjian dengan Tian Bu Cu Locianpwe untuk bertemu di tempat ini, maka secara langsung atau tidak, pasti dapat mengurangi berbagai kesulitan. Tetapi luka yang diderita suhuku demikian parah, aku takut dia tidak sanggup bertahan lebih lama lagi."

   Sam Po Hwesio mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

   "Kau benar-benar banyak berpikir hal yang bukan-bukan sehingga mendatangkan kesulitan bagi diri sendiri. Tenaga dalam Cian Su-pek telah dilatih sampai taraf yang tidak terkirakan tingginya. Sedikit luka kecil seperti itu mana mungkin berakibat apa-apa bagi dirinya. Di dalam dunia Kangouw saat ini, kecuali Tian Bu Cu Locianpwe, tidak ada orang kedua lagi yang lebih hebat darinya. Siau Hente berani menjamin bahwa luka itu tidak mungkin sampai merenggut nyawanya."

   Tiba-tiba Ceng Lam Hong bangkit berdiri. Dia membungkukkan tubuhnya rendahrendah kepada si pengemis cilik Cu Cia.

   "Watak Hiantit benar-benar berjiwa besar. Setiap hari selalu tersenyum riang. Benarbenar seorang sahabat yang susah dicari keduanya. Belum lagi kegagahanmu dalam membantu orang lain. Rasanya aku tidak perlu bercerita panjang lebar lagi. Apalagi Suhumu yang disebut sebagai salah satu tokoh teraneh di dunia saat ini. Demi anakku yang tidak berbakti ini, dia orangtua sampai terluka demikian parah, keselamatan jiwanya saat ini masih belum dapat dipastikan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu."

   Ceng Lam Hong menarik nafas panjang satu kali. Ia lalu menoleh kepada Tan Ki dan membentak dengan nada keras.

   "Anak tidak tahu budi! Masih tidak lekas-lekas ucapkan terima kasih atas budi yang diberikan oleh Cu-heng dan suhunya?"

   Mendengar bentakan ibunya, Tan Ki segera mengiakan dan ternyata dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di hadapan si pengemis cilik Cu Cia.

   Tampak dia menyembah beberapa kali.

   Begitu seriusnya sampai selembar wajah si pengemis cilik jadi merah padam.

   Dia juga ikut-ikutan menjatuhkan diri berlutut di atas"

   Tanah.

   "Tan-heng, jangan begitu. Perbuatanmu ini benar-benar ingin membuat si tukang minta-minta jadi orangtua secara tiba-tiba! Sambil berkata, dia juga menyembah kepada Tan Ki. Seakan menerima penyembahan dari orang lain benar-benar akan membuat dia menjadi tua beberapa tahun sehingga hatinya menjadi ketakutan. Tan Ki sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan, dia tahu orang yang sikapnya angin-anginan dan ugal-ugalan seperti Cu Cia ini justru mempunyai hati yang mulia dan tidak suka berhitungan. Meskipun dirinya belum lama mengenal si pengemis cilik Cu Cia, tetapi dia juga tidak mau sengaja membuatnya marah, yang akibatnya malah akan merusak hubungan persahabatan mereka. Akhirnya terpaksa dia tersenyum simpul dan berdiri lagi. Hati Goan Yu Liong tidak pernah lupa masalah mengikat tali persaudaraan dengan Tan Ki. Melihat kedua orang itu saling menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan pakai acara menyembah segala macam dengan mimik wajah serius, tiba-tiba dia tersadar dan menepuk tangannya keras-keras.

   "Ini baru hebat! Suatu kebetulan yang sulit ditemukan. Koko tukang minta-minta mewakili kita berempat menyembah kepada Tan-heng, dengan demikian kita tidak perlu mengadakan upacara yang rumit lagi!"

   Mendengar teriakannya, mula-mula Tan Ki heran sekali.

   Untuk sesaat dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Goan Yu Liong dengan kata-katanya tadi.

   Akibatnya dia jadi termangu-mangu dan memandang anak muda itu dengan mata membelalak lebarlebar.

   Kemudian dia mengedarkan pandangannya ke beberapa orang yang lain dengan tatapan mengandung pertanyaan.

   Yang Jen Ping langsung tertawa lebar melihat sikapnya.

   "Setelah pertandingan di atas panggung, kami semua sudah melihat kehebatan ilmu silat Tan-heng. Rasanya orang lain juga mempunyai pendapat yang sama. Lagipula sikap Tanheng saat itu demikian gagah dan meyakinkan. Hal ini menimbulkan perasaan kagum setiap orang. Goan Yu Liong demikian kagum terhadap ilmu Tan-heng yang tinggi dan terus berpikir untuk mengajak Tan-heng mengikat tali persaudaraan. Bahkan aku serta Ban Jin Bu juga mempunyai pikiran yang sama. Kami berharap seusai pertandingan nanti, kami bisa menjalin tali persaudaraan yang lebih erat sehingga melewati suka duka bersama-sama."

   Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia segera menjura dalam-dalam.

   "Karena aku seorang, kalian jadi menempuh perjalanan demikian jauh, hal ini saja sudah membuat pikiran Siaute menjadi tidak enak. Kalau Yang-heng berkata begitu, kelak aku pasti merasa lebih berat lagi. Dapat mengikat tali persaudaraan dengan kalian, sungguh merupakan suatu keberuntungan Siaute yang besar sekali, namun malam ini"

   Berkata sampai di sini, tiba-tiba ia seolah merasakan sesuatu hal, sepasang alisnya bertaut erat dan mulutnya langsung membungkam.

   Si pengemis cilik orangnya lebih cerdas.

   Dia yang pertama-tama melihat mimik wajah Tan Ki agak aneh.

   Oleh karena itu dia segera bertanya.

   "Ada apa?"

   Meskipun mulutnya bertanya, tetapi sepasang matanya langsung berputar ke seluruh ruangan dan secara diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk menjaga segala kemungkinan.

   Setelah mempertajam indera pendengarannya sesaat, Tan Ki baru menggelengkan kepalanya.

   "Orangnya sudah pergi. Tidak ada suara apapun yang dapat dijadikan bahan penyelidikan. Mungkin salah seorang tamu dari ruangan depan yang ingin ke kamar kecil."

   "Aku selalu merasa bahwa penginapan yang satu ini memang rada aneh. Perlukah kita keluar menyelidikinya sebentar?"

   Tan Ki menggelengkan kepalanya.

   "Tidak usah. Besok sebelum matahari terbit, Tian Bu Cu Locianpwe pasti sudah menyusul ke mari. Dia orangtua mempunyai hati yang lapang, pengetahuannya juga luas sekali. Apabila dalam penginapan ini ada orang yang merencanakan apa-apa, pasti tidak terlepas dari pandangan mata beliau. Sekarang ini urusan kita sendiri cukup rumit. Lebih baik jangan sampai timbul lagi persoalan yang lain."

   Berkata sampai di sini, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki yang ringan.

   Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat si gadis berpakaian hijau sedang melangkah ke dalam ruangan di mana mereka berada.

   Tampak sepasang matanya yang indah mengedar ke setiap orang.

   Kemudian dia mendengus dingin satu kali dan berkata kepada Tan Ki.

   "Kau ikut denganku sekarang!"

   Mendadak tampak Yang Jen Ping ikut berdiri.

   "Tan-heng, Siaute akan menemanimu ke sana. Sekalian lihat-lihat gadis berpakaian putih yang menunggang elang raksasa itu. Siapa tahu aku mendapat kesempatan berkenalan dengannya!"

   "Tidak bisa!"

   Tukas gadis berpakaian hijau.

   "Kalau kau ikut dengannya, malah bisa menimbulkan masalah besar. Majikanku paling tidak suka bertemu dengan kalian kaum laki-laki."

   Wajah Ceng Lam Hong masih tampak murung. Dia juga ikut berbicara.

   "Kalau begitu, aku kan seorang wanita, tentu aku boleh menemaninya ke sana?"

   "Tetap saja tidak boleh. Majikanku hanya mengijinkan aku membawa orang yang telah melukai Liok Giok!"

   Mendengar ucapannya, Tan Ki segera membusungkan dada.

   "Majikanmu adalah seorang tokoh yang sakti, tentunya manusia seperti itu mempunyai pengertian yang dalam. Cayhe melukai Liok Giok tanpa sengaja, kalau beliau memang hanya mengijinkan aku seorang yang menemuinya. Mari kita berangkat sekarang juga."

   Dia merandek sejenak dan kemudian berkata lagi kepada Ceng Lam Hong.

   "Ki-ji akan pergi bersamanya. Kalau majikannya benar-benar tidak tahu aturan dan tetap ingin aku mengganti kerugian yang diderita burung kakaktua tersebut, paling-paling Ki-ji kehilangan selembar nyawa. Tetapi kalau dia memang seorang tokoh Cianpwe yang aneh, tentu tidak akan memperpanjang persoalan sekecil ini. Pokoknya Ibu tidak perlu khawatir segala macam."

   Tiba-tiba terdengar suara siulan yang memecahkan keheningan malam. Tampak gadis berpakaian hijau itu mengerutkan sepasang alisnya.

   "Cepat jalan, kalau sampai terlambat!"

   Tampaknya dia gugup sekali.

   Tidak diberinya kesempatan untuk tan ki membantah sedikit-pun, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya mencekal Tan Ki dan mengajaknya keluar dari ruangan tersebut.

   Mungkin dia mendapat isyarat dari suara siualan tadi, tangannya yang mencekal Tan Ki diperketat dan dia menyeret anak muda itu berlari secepat kilat.

   Tujuannya sudah tentu taman bunga tersebut.

   Di bawah cahaya rembulan, tampak bunga-bunga bermekaran dan membawa serangkum bau harum yang menyegarkan.

   Setelah melewati gunung-gunungan yang ada di tengah-tengah, mereka masuk lagi ke dalam sebuah halaman besar.

   Gadis berpakaian hijau itu menarik Tan Ki menuju ke deretan kamar yang ada di sebelah Utara.

   Tampaknya gadis itu sudah menghapal daerah ini dengan baik, meskipun melangkah dengan tergesa-gesa tetapi dia sama sekali tidak bingung atau berhenti memperhatikan keadaan di sekitarnya.

   Dia langsung menying kapkan tirai yang membatasi ruangan dan melangkah masuk.

   Diam-diam Tan Ki memperhatikan keadaan dalam ruangan itu.

   Penataannya sangat asri dan apik.

   Di depan ruangan yang membatasi kamar utama terdapat untaian tirai berwarna putih yang terbuat dari kerang-kerangan.

   Pada bagian luar diletakkan beberapa buah kursi yang disandarkan pada tembok.

   Di sebelah kiri duduk seorang gadis berpakaian mini dengan sebagian pundak terbuka.

   Tampaknya usia gadis itu lebih muda sedikit dari si gadis berpakaian hijau.

   Dalam pelukannya terbaring Liok Giok yang sedang terluka parah.

   Ketika melihat si gadis berpakaian hijau membawa seseorang pulang bersamanya, dia segera berdiri dan tersenyum manis.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cici Mei Hun, apakah orang ini yang melukai Liok Giok?"

   Tanyanya dengan suara lirih. Gadis berpakaian hijau itu menganggukkan kepalanya.

   "Mana Cujin? Ke mana perginya?"

   Tanyanya dengan suara rendah. Gadis berpakaian mini itu menunjuk ke arah kamar utama.

   "Melihat luka yang diderita Liok Giok begitu parah, kelihatannya Cujin marah bukan main. Siang tadi, beliau sendiri yang mengoleskan obat dan mencekoki setengah bungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang."

   Selesai berkata, dia mendelik kepada Tan Ki dengan mata terbelalak lebar-lebar.

   "Bencana yang kau timbulkan sungguh besar. Luka yang diderita oleh Liok Giok mungkin harus diganti dengan nyawamu sendiri!"

   Katanya ketus.

   Mendengar ucapannya, Tan Ki jadi gusar.

   Untuk sesaat dia jadi lupa di mana dia berada.

   Sepasang alisnya terjungkit ke atas dan dia sudah hampir meledakkan kemarahannya.

   Melihat tampangnya yang garang, kemungkinan setiap saat Tan Ki dapat mengumbar rasa amarahnya, si gadis berpakaian mini takut dia akan membentak atau berteriak keraskeras sehingga mengejutkan majikannya yang sedang bersemedi.

   Tanpa dapat ditahan lagi hatinya menjadi panik.

   Tangan kanannya te tap memeluk Liok Giok sedangkan tangannya terulur ke depan dan secepat kilat menotok ke arah kepala Tan Ki.

   Angin yang terpancar dari jari tangannya kencang sekali sampai menimbulkan suara berdesir.

   Tan Ki merasa dirinya memang bersalah, oleh karena itu dia tidak berani menyerang terlebih dahulu.

   Sebab hal ini membuktikan dirinya sebagai manusia yang tidak tahu aturan.

   Namun begitu gadis itu menggerakkan tubuh dan menyerang kepadanya, dia langsung membalikkan tangannya dan mengerahkan jurus Lengan Besi Menahan Air Sungai.

   Sasarannya malah pergelangan tangan gadis itu.

   Gadis berpakaian mini itu dapat melihat gerakan Tan Ki mengandung tenaga yang kuat lagi pula jurusnya agak aneh.

   Dia merasa bahwa anak muda ini bukan orang sembarangan juga.

   Cepat-cepat dia menekan lengan kirinya agar bobotnya lebih berat.

   Totokannya berubah menjadi tepukan, dikerahkannya ilmu Lwekang taraf tertinggi dengan gerak tangan seperti bunga teratai.

   Sekali lagi dia melancarkan sebuah serangan ke dada Tan Ki.

   Dalam pertandingan di atas panggung beberapa waktu yang lalu, Tan Ki berhasil tnencapai peringkat Pendekar pedang tingkat lima.

   Hal ini tidak didapatkannya dengan mudah.

   Melihat serangan gadis berpakaian mini itu yang demikian keji, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap.

   Setelah mengeluarkan suara bentakan, tangannya yang terulur ke depan membentuk cakar dan meluncur ke arah pergelangan tangan kiri gadis itu.

   Siapa nyana begitu dia mengerahkan serangannya, Mei Hun juga terkejut setengah mati.

   Dia tahu apabila seseorang sedang bersemedi, maka hal yang paling dibenci adalah gangguan dari luar.

   Tadi Tan Ki membentak dengan suara keras, dia takut majikannya akan terkejut.

   Oleh karena itu, tanpa sadar dia menerjang ke depan dan dengan jurus Menggunting Bunga Bwe Sembarangan, kedua jari tangannya meluncur ke depan dan menotok bagian ubun-ubun Tan Ki.

   Anak muda itu langsung merasa tubuhnya seperti kesemutan dan tenaga dalamnya lenyap seketika.

   Baru saja dia mendengus satu kali, tubuhnya langsung terkulai di atas tanah dalam keadaan pingsan.

   Ubun-ubun merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam diri manusia.

   Urat-urat syaraf yang utama semua berkumpul di daerah tersebut.

   Kalau sampai tertotok, orang itu tidak hanya akan merasa ngilu dan tidak sadarkan diri.

   Bila totokannya agak berat malah bisa membahayakan jiwa seseorang.

   Apabila tidak sampai mati, lama kelamaan pasti bisa berubah menjadi tidak waras.

   Mei Hun tadinya hanya ingin menotok Tan Ki agar anak muda itu tidak lagi berteriak keras-keras, yang ditakutkan akan mengganggu semedi gurunya.

   Setelah majikannya selesai semedi baru dia membebaskan totokan anak muda tersebut.

   Siapa tahu dalam keadaan panik dia tidak membedakan bagian mana yang ditotoknya dan turun tangannya pun agak berat sedikit.

   Akibatnya Tan Ki malah jatuh tidak sadarkan diri di atas tanah.

   Begitu matanya memandang, dia melihat anak muda itu rebah di atas tanah dengan sepasang mata terpejam rapat.

   Giginya juga mengatup kuat-kuat seakan menahan penderitaannya yang tidak terkirakan.

   Wajahnya yang pucat terus mengerut-ngerut.

   Mei Hun sejak kecil tinggal di daerah pegunungan.

   Hatinya masih polos sekali.

   Sepanjang perjalanan tadi dia terus menarik tangan Tan Ki.

   Saat itu dia masih belum merasakan apaapa.

   Sekarang tubuhnya setengah membungkuk dan dia sedang memperhatikan keadaan Tan Ki dengan seksama.

   Dia merasa bahwa anak muda ini berbeda dengan laki-laki lainnya.

   Seakan seluruh bagian dari dirinya tidak ada setitik-pun yang tidak enak dipandang Setelah memperhatikan sejenak, tanpa hujan tanpa angin wajahnya jadi merah padam.

   Dia mendongakkan kepalanya menatap si gadis berpakaian mini.

   "Cici Ciu Hiang, coba lihat tampangnya, kasihan sekali. Lebih baik kita bebaskan saja totokan pada dirinya."

   "Selamanya aku belum pernah melihat Cujin begitu marah. Tampaknya dia tidak akan melepaskan anak muda itu begitu saja."

   Hati Mei Hun jadi tergetar mendengar ucapannya.

   "Cici Ciu Hiang, kalau menurut pendapatmu, mungkinkah Cujin sampai menginginkan nyawanya?"

   Ciu Hiang tersenyum simpul.

   "Ini bagaimana aku bisa tahu?"

   Tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu hal. Dia mengejapkan matanya beberapa kali dan tersenyum manis.

   "Cici Mei Huh, tampaknya kau sangat mengkhawatirkan anak muda ini?"

   Wajah Mei Hun jadi merah padam mendengar pertanyaannya. Matanya mendelik satu kali kepada gadis itu lalu menyahut.

   "Mengapa kau bisa mengoceh sembarangan? Aku hanya melihat tampangnya mengenaskan sekali. Ubun-ubun merupakan bagian yang terpenting di bagian tubuh manusia. Kalau agak lama dibiarkan, dia pasti tidak dapat menahannya. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya sebelum Cujin mengajukan pertanyaan, bagaimana kita harus bertanggung jawab?"

   BAGIAN XLII Selesai berkata, Mei Hun tidak menunggu sampai Ciu Hiang menjawab, dia segera mengulurkan tangannya dan membopong bangun tubuh Tan Ki.

   Tangan kanannya segera mengurut-urut bagian belakang leher anak muda itu.

   Setelah peredaran darahnya lancar, kembali dia menepuk perlahan-lahan menepuk bagian punggungnya.

   Terdengar Tan Ki mengeluarkan suara batuk-batuk kecil.

   Tiba-tiba sepasang matanya membuka.

   Melihat sebagian dirinya ada dalam pelukan Mei Hun, hatinya merasa heran sekali.

   Sepasang alisnya mengerut seketika.

   Dia menatap Mei Hun sambil berkata.

   "Kalau kau sudah menotok jalan darahku, mengapa sekarang kau malah menyelamatkan aku kembali?"

   Tanpa hujan tanpa angin dia mengajukan pertanyaan, saat itu juga wajah Mei Hun jadi merah padam. Sepasang matanya yang besar dan indah mengejap beberapa kali, akhirnya dia dapat juga memberikan jawaban.

   "Aku takut jalan darahmu tertotok terlalu lama sehingga dapat mengakibatkan kematian."

   Belum lagi suaranya sirap, Ciu Hiang tidak dapat menahan diri lagi, dia langsung tertawa terkekeh-kekeh. Mei Hun mendongakkan kepalanya dan memandanginya dengan mata mendelik.

   "Apa yang kau tertawakan? Memangnya aku tak takut kalau dia mati? Kalau dia benarbenar sampai mati, setelah selesai bersemedi, Cujin pasti akan mengajukan pertanyaan kepadanya. Coba apa yang akan kau katakan waktu itu?"

   Tiba-tiba dia menundukkan kepalanya dan melihat tubuh Tan Ki masih berada dalam sandarannya.

   Kepala Tan Ki tepat menempel pada sepasang payudaranya.

   Kalau dia tidak melihat masih tidak apa-apa.

   Begitu melihat, tubuhnya seperti mendadak dialiri arus listrik.

   Tanpa terasa dia menggigil dan cepat-cepat dia menegakkan tubuh Tan Ki dan berkata dengan suara lirih.

   "Kau duduk di sini dulu sebentar beristirahat, jangan mempunyai niat untuk kabur. Sebentar lagi majikanku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu."

   Tiba-tiba dari kamar utama terdengar suara gerakan yang halus.

   Ciu Hiang tahu majikannya sudah selesai bersemedi.

   Dengan memeluk Liok Giok, dia cepat-cepat berjalan menuju kamar utama tersebut.

   Mei Hun melihat dia berjalan menuju kamar utama kemudian masuk ke dalamnya.

   Di luar hanya tinggal dia bersama Tan Ki berduaan.

   Entah mengapa, tiba-tiba saja dia mengkhawatirkan keselamatan anak muda itu.

   Tanpa sadar dia mendekati Tan Ki dan berbisik di samping telinganya.

   "Nanti kalau majikanku mengajukan pertanyaan kepadamu, kau harus mengatakan bahwa kau tidak sengaja melukai Liok Giok, dan kau bersedia menerima hukuman. Kalau beliau menyuruh aku atau Ciu Hiang mencambuki dirimu, kau tidak boleh mengerahkan tenaga dalam melawan atau berteriak kesakitan"

   Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas mendengar kata-katanya.

   "Kalau dia benar-benar ingin memberi hukuman, aku tentu saja keberatan menerimanya. Kecuali kalau dia sama seperti engkau, totok dulu jalan darahku sehingga aku tidak berdaya. Bila tidak, Tan Ki bukan manusia yang dapat dihina begitu saja!"

   Mei Hun melihat anak muda ini demikian keras kepala, dia jadi semakin panik. Tiba-tiba dari dalam kamar utama terdengar suara teriakan Ciu Hiang.

   "Cici Mei Hun, cepat bawa orang yang melukai Liok Giok ke sini! Cujin ingin menanyainya sendiri!"

   Mendengar suara itu, sekali lagi sepasang alis Tan Ki terjungkit ke atas.

   Telapak tangannya menekan lantai dan melonjak bangun.

   Mei Hun tahu watak anak muda ini sangat keras lagi angkuh.

   Pasti dia sudah ingin mengumbar kemarahannya lagi.

   Cepatcepat dia menarik lengan anak muda itu.

   Dia menggigit bibirnya sendiri perlahan-lahan lalu berkata lagi.

   "Setelah bertemu dengan majikanku, jangan sembarangan mengumbar adatmu. Akhirnya nanti kau sendiri yang merasakan kesulitannya. Mengertikah kau apa yang kukatakan?"

   Suaranya begitu lembut, wajahnya menunjukkan permohonan yang dalam.

   Matanya yang besar dan bulat memandangi Tan Ki tanpa berkedip sedikitpun.

   Sinar matanya menyiratkan perhatian yang besar dan kecemasan yang tidak terkirakan.

   Tan Ki melihat gadis remaja itu begitu panik melihat keadaan dirinya, akhirnya anak muda itu jadi tidak tega.

   Dia menganggukkan kepalanya dan mengembangkan seulas senyuman yang manis.

   Wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kemarahan lagi.

   Melihat Tan Ki telah mengabulkan permintaannya, hati Mei Hun gembira sekali.

   Wajahnya yang cantik dan berona merah jambu langsung berseri-seri.

   Dia juga membalas senyuman Tan Ki dengan senyuman yang tidak kalah manisnya.

   Kemudian dia menarik tangan anak muda itu dan mengajaknya masuk menuju kamar utama.

   Begitu tirai berwarna putih disingkapkan, tampaklah sebuah ruangan yang ditata indah dan bersih.

   Sekali pandang saja membuat perasaan orang menjadi segar dan nyaman.

   Seorang gadis berpakaian putih dengan rambut panjang terurai sampai di bahu.

   Dia berdiri menghadap jendela.

   Tan Ki hanya dapat melihat bayangan punggungnya saja.

   Tetapi dia sudah dapat merasakan keanggunan gadis itu.

   Ciu Hiang yang memeluk Liok Giok "berdiri di samping gadis itu, tetapi wajahnya menghadap Tan Ki.

   Mei Hun menarik tangan Tan Ki masuk ke dalam dan berhenti pada jarak kurang lebih lima langkah dari gadis berpakaian putih itu.

   Dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

   "Budak Mei Hun sudah membawa orang yang melukai Liok Giok. Harap Siocia memberikan keputusan."

   Gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak menolehkan kepalanya.

   "Tinggalkan saja dia di sini. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan. Untuk sementara kau dan Ciu Hiang keluar dulu. Kalau aku sudah memanggil, kalian baru boleh masuk lagi."

   Setelah mendengar ucapannya, Mei Hun dan Ciu Hiang menjadi tertegun serentak.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dua pasang mata menatap majikan mereka lekat-lekat.

   Kemudian pandangan mereka beralih kepada Tan Ki.

   Namun mereka tidak berani banyak bertanya.

   Kedua-duanya segera mengiakan kemudian mengundurkan diri.

   Di kamar utama sekarang hanya tinggal Tan Ki bersama gadis berpakaian putih tersebut.

   Tiada satupun di antara mereka yang mengucapkan kata-kata.

   Untuk sesaat suasana jadi hening mencekam.

   Hati Tan Ki merasa bingung bukan kepalang.

   Dia berdiri memandangi bayangan punggung gadis berpakaian putih itu dengan termangu-mangu.

   Bentuk tubuhnya sungguh indah.

   Angin musim semi menghembus lewat jendela, mengibarkan pakaiannya yang putih bersih.

   Penampilannya saat itu persis seorang dewi dari kahyangan yang menanti kedatangan kekasihnya.

   Hal ini membuat perasaan seseorang menjadi kagum dan menaruh rasa hormat yang dalam.

   Terdengar suaranya yang merdu dari bibir gadis itu.

   "Murid siapa kau ini? Burung bukan binatang buas yang suka mencelakai manusia, mengapa kau sampai hati menggunakan senjata rahasia melukainya?"

   Tan Ki mendengar suaranya begitu bening dan enak didengar, namun kata-kata yang diucapkannya bagai sebilah pisau yang menusuk hati anak muda itu.

   Diam-diam dia berpikir dalam hati.

   Gadis ini sungguh sombong! Tetapi dia tidak menunjukkan perasaannya dari luar, mulutnya malah menyahut.

   "Aku bernama Tan Ki. Pernah mendapat pelajaran silat barang beberapa hari dari si pengemis sakti Cian Lociapwe serta dari pamanku yang ketiga. Kesalahan tangan melukai Liok Giok, sebetulnya hanya karena rasa penasaran yang timbul sesaat. Sama sekali bukan kesengajaan. Lagipula aku juga tidak tahu kalau burung itu merupakan peliharaan seseorang."

   Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan suara deheman sekali.

   "Rupanya kau mengandalkan kebesaran nama si pengemis tua Cian Cong yang besar sehingga banyak lagak dan bertingkah semena-mena. Meskipun burung kakaktua itu bukan manusia, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyentuh sehelai bulunya. Cian Cong sendiri juga belum tentu berani mengganggu binatang peliharaanku. Sekarang kau sudah berani melukainya, maka sepatutnya menerima hukuman. Tetapi aku tidak sudi mengatakan apa-apa kepadamu. Aku akan mencari Cian Cong untuk memperhitungkannya. Biar dia mengganti dengan selembar nyawanya atas kesalahan yang dilakukan oleh muridnya yang tidak becus!"

   Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Kemudian dia mengeluarkan suara tawa yang dingin.

   "Akulah yang melukai burung itu, apa hubungannya dengan Cian Locianpwe? Aku, Tan Ki bersedia menanggungnya seorang diri. Nona boleh menghukum aku sampai mati sekalipun. Meskipun aku tahu ilmu silatmu tinggi sekali dan kepandaianku yang hanya terdiri dari beberapa jurus ini sudah barang tentu bukan tandinganmu. Namun sudah pasti aku tidak akan menerima kematian begitu saja!"

   Gadis berpakaian putih itu mendongakkan kepalanya sedikit dan memperdengarkan suara tawa yang merdu.

   "Kalau mendengar nada ucapanmu, tampaknya kau ingin berkelahi denganku?"

   "Hati Nona mengerti sendiri, aku sama sekali tidak ada niat seperti itu. Tetapi kalau Nona masih belum bisa menerima juga bahwa aku memang tidak sengaja melukai Liok Giok, Tan Ki bersedia menerima kematian lewat jalan pertarungan!"

   Gadis berpakaian putih itu tertawa ringan.

   "Bagus sekali! Bukankah kau selalu membawa senjata dalam lengan pakaianmu? Sekarang coba kau serang dulu aku barang dua jurus. Kalau kau dapat menghantam mati aku dalam satu jurus, tentu tidak ada lagi orang yang mencari kesulitan dengan Cian Cong atau paman ketigamu!"

   Kali ini hati Tan Ki benar-benar tergetar.

   Sejak dia masuk ke dalam kamar utama ini, si gadis berpakaian putih belum sekalipun menolehkan kepalanya, tetapi dia bisa tahu bahwa di dalam lengan bajunya ada sebatang pedang suling.

   Meskipun hatinya merasa terkejut, tetapi dari luar dia tidak menunjukkan perasaannya, dia malah mengembangkan seulas senyuman.

   "Dari getaran lengan bajuku ini, Nona bisa mengetahui ada senjata yang tersembunyi di dalamnya, kekuatan indera pendengaranmu itu benar-benar membuat aku kagum sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Meskipun aku, Tan Ki merupakan orang baru dalam dunia Bulim dan ilmu kepandaian Nona pun jauh melebihi aku, namun aku tidak suka menyerang orang dari belakang. Harap Nona keluarkan senjatamu. Biarpun harus mati, Tan Ki tidak akan penasaran lagi."

   Gadis berpakaian putih itu tetap membelakangi Tan Ki dan memperdengarkan suara tawanya yang merdu.

   "Kalau tidak ada keyakinan seratus persen, mana mungkin aku menyuruhmu menyerang dari belakang. Kau tidak perlu khawatir. Coba saja. Asal kau sanggup membuat aku bergeser setengah langkah saja dari tempatku sekarang ini, urusan melukai Liok Giok akan disudahi sampai di sini, sekaligus aku juga akan melepaskan Cian Cong dan paman ketigamu dari segala tanggung jawab!"

   Meskipun kata-kata ini diucapkan dengan wajar dan lembut, namun di dalamnya terkandung keangkuhan yang tidak terkirakan.

   Tan Ki yang mendengarnya sampai merasa panas.

   Diam-diam dia berpikir dalam hatinya.

   Meskipun kepandaianmu tinggi sekali, tetapi kau juga tidak seharusnya bersikap begitu sombong.

   Seakan tidak memandang sebelah mata kepada orang lain sama sekali.

   Biar aku coba saja.

   Aku tahu bagaimana kau menghindar dari gabungan ilmu Tian Si Te-sa yang hebat itu! Berpikir sampai di sini, kegagahannya timbul seketika.

   Dia segera mengeluarkan senjatanya yang berbentuk pedang suling.

   "Kalau Nona memang demikian mengalah kepadaku, tentu saja aku harus menurut. Harap pusatkan perhatian, aku akan mulai menyerang sekarang."

   Lengan kanannya telah mengerahkan tenaga dalam.

   Tangannya bergerak mengerahkan salah satu jurus Te Sa Jit-sut, yakni Mengibas Pasir di Atas Tanah.

   Dengan cepat serangannya meluncur ke arah punggung gadis itu.

   Pada dasarnya ilmu silat Tan Ki sekarang tidak dapat dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya.

   Dia sudah mendapat kemajuan berkat bimbingan kedua orangtua yang mengasihinya.

   Dapat dibayangkan sampai di mana kehebatan serangannya itu.

   Namun tampaknya si gadis berpakaian putih itu tidak takut sama sekali.

   Ternyata dia tidak menolehkan kepalanya sekalipun.

   Sikapnya seperti orang yang tidak menyadari datangnya serangan.

   Tetapi ketika pedang suling Tan Ki mulai memainkan jurusnya yang hebat, tubuhnya terlihat bergetar sejenak.

   Tampaknya ilmu Tan Ki yang tinggi sempat membuatnya terkejut juga.

   Namun hal ini hanya terjadi dalam sekejap mata saja.

   Penampilannya kembali tenang, tetapi meskipun waktu yang sangat singkat, Tan Ki sudah sempat melihat rasa terkejutnya.

   Justru di saat itulah, pedang sulingnya tinggal dua tiga centi saja dari punggung gadis berpakaian putih itu.

   Tiba-tiba setitik ingatan melintas di benaknya, seolah mendadak teringat suatu hal.

   Akhirnya dia tidak sanggup meneruskan serangannya.

   Dengan panik dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan menekan tenaganya pada telapak tangan sehingga tidak terus meluncur ke depan.

   Dengan demikian serangannya keburu ditarik kembali.

   Untung saja ilmu silat Tan Ki sudah cukup tinggi.

   Serangannya dapat dilancarkan kemudian ditarik kembali sesuka hati.

   Tetapi meskipun dia masih sempat menarik kembali serangannya, namun tubuhnya yang menerjang ke depan justru sulit ditahan.

   Akibatnya dia membentur punggung gadis berpakaian putih itu.

   Tiba-tiba, serangkum bau harum menerpa hidung Tan Ki.

   Dia merasa ada segulung tenaga yang lembut menahan tubuhnya yang sedang meluncur ke depan.

   Begitu dia memperhatikan, entah sejak kapan gadis berpakaian putih itu sudah menolehkan kepalanya.

   Punggungnya menghadap jendela dan ternyata dia tetap berdiri tegak di tempatnya semula.

   Hanya setengah badannya saja yang berputar.

   Tampak gadis itu tersenyum simpul.

   "Mengapa di tengah jalan tiba-tiba-kau mengubah keputusanmu, padahal pedangmu kan sedang menyerang ke arah punggungku?"

   Setelah melihat wajah si gadis berpakaian putih, hati Tan Ki langsung bergetar.

   Tampak bulu matanya lentik dan alisnya tebal.

   Hidungnya mancung dipadu dengan bibir yang mungil.

   Kecantikannya boleh dibilang seimbang dengan Mei Ling atau Lok Ing, tetapi di balik kecantikannya masih terkandung keanggunan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

   Sepasang matanya yang besar bersinar terang serta menyiratkan kewibawaan yang besar.

   Orang yang melihatnya pasti timbul perasaan hormat.

   Perempuan yang cantik memang banyak.

   Tetapi kecantikan yang disertai berbagai macam kesempurnaan seperti yang diuraikan.

   di atas, boleh dibilang dari seribu belum tentu ketemu satu.

   Tan Ki yang melihatnya sampai termangu-mangu.

   Akhirnya dia menjadi jengah sendiri dan cepat-cepat menundukkan kepalanya tidak berani melihat lagi.

   Melihat Tan Ki tidak menjawab pertanyaannya, sekali lagi gadis berpakaian putih itu tersenyum simpul.

   "Mengapa kau tiba-tiba menahan pedangmu dan tidak menyerang terus? Katakanlah! Apakah kau tidak mendengar jelas apa yang kutanyakan tadi?"

   Katanya lembut. Tan Ki cepat-cepat menenangkan hatinya.

   "Dia mendongakkan kepalanya dan menyahut.

   "Aku tahu kesalahan ada di pihakku, meskipun aku melukai burung peliharaan nona tanpa sengaja. Oleh karena itu, tiba-tiba aku merasa perbuatanku sangat tidak pantas dan tidak berani meneruskan serangan tadi."

   Sepasang mata gadis berpakaian putih yang indah itu menatap Tan Ki lekat-lekat. Sejenak kemudian tampak senyumannya mulai sirna dan dia memejamkan matanya rapatrapat kemudian membalikkan tubuhnya kembali menghadap jendela.

   "Kalau kau sudah tahu salah, aku juga tidak akan memperpanjang urusan ini. Mengingat kelakuanmu yang menarik kembali serangan di tengah jalan, urusan Liok Giok kita sudahi saja. Tetapi ada satu hal lain yang harus kau tutup rahasianya. Laki-laki di dalam dunia ini, yang pernah melihat wajah asliku hanya engkau seorang. Kau harus berjanji bahwa kau tidak akan menceritakan apa yang kau lihat dan apa yang kita bicarakan hari ini kepada siapapun!"

   "Hati nona sungguh lapang, aku Tan Ki merasa kagum sekali dan sangat berterima kasih. Apa yang nona pesankan, sudah seharusnya aku turuti."

   Sekali lagi si gadis berpakaian putih itu membalikkan tubuhnya perlahan-lahan dan mengembangkan seulas senyuman.

   "Kita dapat bertemu, terhitung ada jodoh juga. Tiga bungkus Bubuk Penyelamat -Jiwa Penyambung Tulang ini dapat menghilangkan segala macam racun dan menyambung kembali urat yang sudah terputus, juga dapat menyambung tulang yang retak. Dapat pula digunakan untuk menyembuhkan luka dalam. Aku hadiahkan kepadamu agar kau dapat menggunakannya di saat genting."

   Selesai berkata, tangannya mengulur ke depan dan diserahkannya tiga bungkus obat itu.

   Tan Ki melihat tangannya yang halus dan indah menggenggam tiga bungkus obat, dia segera menyambutnya dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam sembari mengucapkan terima kasih.

   Gadis berpakaian putih itu tampaknya sudah tidak memiliki perkataan apa-apa lagi yang ingin ia sampaikan.

   Bibirnya bergerak dengan maksud memanggil Mei Ling dan Ciu Hiang.

   Tiba-tiba Tan Ki teringat kata-kata yang diucapkan oleh Tian Bu Cu.

   Oleh karena itu dia segera menggunakan kesempatan itu menanyakannya.

   "Apakah nona yang bernama Fu Goat Taisu dan berjuluk Ming San Sinni? Tecu benarbenar tidak mempunyai mata, apabila ada kesalahan, harap Locianpwe sudi memaafkan."

   Tan Ki menekuk kakinya dengan maksud berlutut menyembah gadis itu. Tampak gadis itu mengibaskan lengan pakaiannya, segera terasa ada serangkum kekuatan yang lembut menahan diri Tan Ki yang berniat menjatuhkan diri berlutut. Bibirnya tersenyum simpul.

   "Sinni adalah guruku yang mulia. Aku adalah murid tunggal beliau."

   Terdengar suara seruan terkejut dari bibir Tan Ki.

   Diam-diam dia sendiri merasa geli.

   Mengapa hari ini aku jadi linglung, lihat dari caranya berpakaian saja seharusnya aku sudah dapat menduga bahwa dia bukan seorang rahib Hatinya berpikir demikian, tanpa terasa bibirnya mengembangkan seulas senyuman.

   Siapa nyana sepasang mata gadis itu juga sedang memperhatikan dirinya.

   Kali ini sinar yang tersorot dalam matanya tidak lagi mengandung kemarahan malah menyiratkan perasaannya yang lembut.

   Dua pasang mata bertemu, mereka sama-sama merasakan hatinya tergetar.

   Gadis berpakaian putih itu cepat-cepat memalingkan wajahnya, Tan Ki sendiri dengan gugup menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Untuk sesaat suasana di dalam kamar itu jadi hening.

   Di wajah gadis berpakaian putih yang cantik itu dalam waktu sekejap tersirat berbagai mimik yang berlainan.

   Kadangkadang tampak sepasang alisnya mengerut, kadang-kadang pula dia mendongakkan kepalanya merenung.

   Seakan dia sedang memikirkan suatu masalah yang serius.

   Tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat.

   Wajahnya kembali datar seperti semula.

   Dengan tegas dia berkata kepada Tan Ki.

   "Sekarang juga aku akan menyuruh Mei Hun mengantarkan engkau ke tempat semula. Tapi kau harus ingat apa yang telah kau janjikan. Jangan sekali-kali kau ceritakan apa yang kau alami hari ini kepada siapapun!"

   Selesai berkata, dia tidak memberi kesempatan bagi Tan Ki untuk menyahut. Segera dipanggilnya Mei Hun dan Ciu Hiang. Ketika kedua gadis itu masuk kembali ke dalam kamarnya, gadis berpakaian putih itu langsung berkata.

   "Kau antarkan dia kembali ke tempat semula, setelah itu cepat kembali lagi ke sini. Kita akan segera berangkat kembali ke Ming San!"

   Mei Hun tidak berani banyak bertanya.

   Dia langsung mengiakan dan mengajak Tan Ki keluar dari kamar tersebut.

   Ketika berjalan sampai di depan pintu, entah mengapa, Tan Ki tidak dapat menahan perasaan hatinya untuk menoleh menatap gadis berpakaian putih itu sekejap.

   Sepasang mata si gadis berpakaian putih juga sedang memandang kepadanya lekat-lekat.

   Kembali kedua pasang mata bertemu, Tan Ki merasa hatinya berdebar-debar.

   Si gadis berpakaian putih juga memalingkan wajahnya dengan gugup.

   Meskipun wajahnya menoleh ke arah yang lain, tetapi Tan Ki dapat melihat sorot matanya yang mengesankan seperti orang yang berat ditinggalkan.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mei Hun mengajak Tan Ki keluar dari kamar dan mengantarkannya kembali ke taman bunga.

   Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan memandang Mei Hun.

   Hatinya ingin sekali mengucapkan terima kasih karena nasehatnya tadi.

   Tetapi belum sempat dia membuka suara, Mei Hun sudah berkata duluan.

   "Setelah perpisahan ini, entah kapan kita dapat berjumpa kembali. Mungkin dalam seumur hidup ini, kita tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi. Tan Siangkong, harap jaga dirimu baik-baik"

   Berkata sampai di sini, dia tidak meneruskan ucapannya.

   Meskipun wajahnya mengembangkan senyuman, namun Tan Ki dapat melihat ada semacam kesedihan menjelang perpisahan yang tersirat di mimik wajahnya.

   Perasaan anak muda ini jadi terharu.

   Tadinya dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hati gadis ini, tetapi seribu satu kata bagai tercekat dalam tenggorokannya.

   Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengucapkannya.

   Sampai sekian lama dia berdiam diri seperti orang yang termangu-mangu.

   Akhirnya dia mengeluarkan suara batuk kecil dan berkata.

   "Harap kau juga jaga diri baik-baik. Aku mohon diri sekarang."

   Perlahanlahan dia membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari halaman tersebut. Tiba-tiba terdengar suara panggilan Mei Hun.

   "Tan Siangkong!"

   Mendengar panggilan itu, Tan Ki langsung menghentikan langkah kakinya. Dia menolehkan kepalanya dan mengembangkan seulas senyuman.

   "Apakah nona masih ada perkataan lain?"

   Mei Hun melihat dia tiba-tiba menolehkan kepalanya, untuk sesaat jadi tertegun.

   Tampaknya dia tidak menduga kalau mendengar panggilannya, Tan Ki akan menghentikan langkah kakinya seketika dan menolehkan kepala serta mengembangkan seulas senyuman yang lembut.

   Sebetulnya dia tidak ada perkataan apa-apa.

   Panggilannya tadi hanya karena luapan emosi sesaat dan dilakukannya tanpa sengaja.

   Sekarang dia justru kebingungan sendiri.

   Tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

   Setelah berdiam diri beberapa saat akhirnya dia mencetuskan kata-kata yang terpikir di benaknya saat itu juga "Apabila ada waktu, aku akan mengunjungimu!"

   Sesudah kata-kata itu diucapkan, dia baru merasa tersipu-sipu.

   Rasanya tidak pantas seorang gadis mengucapkan kata-kata seperti itu.

   Wajahnya jadi merah padam seketika.

   Seperti seekor kelinci yang ketakutan, dia langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

   Tan Ki merasa terharu sekali atas sikap gadis itu terhadap dirinya.

   Dia memandangi bayangan punggung Mei Hun dengan terma-ngu-mangu.

   Penampilan si gadis berpakaian putih yang begitu anggun laksana bidadari, lembut bagai dewi benar-benar telah meninggalkan kesan yang sangat indah di dalam hatinya.

   Entah berapa lama sudah berlalu, tiba-tiba dia mendengar suara Yang Jen Ping yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.

   "Tan-heng, kapan kau kembali? Mengapa kau berdiri termenung seorang diri? Apakah gadis berpakaian putih itu tidak jadi menghukum dirimu?"

   Tanyanya bertubi-tubi. Tan Ki menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru saja dia ingin menjawab, mendadak dari tempat yang tidak seberapa jauh berkumandang lagi suara tawa seseorang.

   "Si pengemis cilik sudah mengatakan bahwa tidak bakal ada kejadian apa-apa, tetapi kalian tetap tidak percaya! Coba lihat! Bukankah dia berdiri di sana dalam keadaan baikbaik saja? Si pengemis cilik kalau disuruh berkelahi memang paling tidak becus, tetapi soal ramal meramal sudah terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia!"

   Tan Ki tidak sempat lagi menjawab pertanyaan Yang Jen Ping.

   Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat beberapa orang yang sedang berjalan ke arahnya.

   Yang paling depan sudah pasti si pengemis cilik Cu Cia.

   Di belakangnya mengikuti Ban Jin Bu, Goan Yu Liong dan Sam Po Hwesio.

   Seperti semut yang melihat gula, mereka langsung mengerumuni Tan Ki dan semuanya mengajukan pertanyaan mengenai apa yang dialaminya barusan.

   Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.

   "Nona yang bernama Mei Hun itu mengajak aku menemui majikannya. Ternyata majikannya itu orang yang penuh pengertian. Dia tidak menjatuhkan hukuman apapun pada diriku. Hanya mengajukan satu dua pertanyaan, kemudian melepaskan aku kembali"

   Kata-kata ini diucapkan dengan nada terpaksa sehingga membuat orang sulit mempercayainya.

   Seumur hidupnya Tan Ki memang jarang berdusta, apalagi dia juga merasa berat mengelabui beberapa orang sahabat baiknya ini.

   Tetapi dia sudah berjanji kepada si gadis berpakaian putih untuk merahasiakan apa yang dialaminya, terpaksa dia berkata asal-asalan saja.

   Si pengemis cilik mengibas-ngibas rambut-N nya yang memang sudah acak-acakan.

   Bibirnya tersenyum simpul.

   "Tan-heng, apa yang kau katakan ini benar-benar sulit dipercaya! Apakah cerita lama di taman bunga keluarga Liu terulang kembali?"

   Hati Tan Ki langsung tergetar. Wajahnya langsung berubah hebat.

   "Cu Hente, mana boleh kau sembarangan menduga yang bukan-bukan? Gadis itu adalah seorang tokoh"

   Tadinya dia ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang tokoh sakti yang mendapat didikan langsung dari Ming San Sinni.

   Tetapi sampai di tengah jalan, dia teringat kembali akan janjinya.

   Oleh karena itu dia cepat-cepat menghentikan kata-katanya dan langsung membungkam.

   Dirinya malah berdiri termenung sekian lama.

   Justru di saat dia termangu-mangu seperti itu, mendadak dari kejauhan terdengar suara langkah kaki yang mendatangi.

   Geng Lam Hong berjalan dengan tergesa-gesa dalam sekejap mata dia sudah tiba di hadapan beberapa orang itu.

   "Mengapa kalian masih berdiri di sini santai-santai? Tian Bu Cu Locianpwe dari Bu Tong Pai sudah membawa Cian Locianpwe datang ke mari. Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong juga ikut datang!"

   Tan Ki mendongakkan kepalanya menatap warna langit. Saat itu belum lagi sampai kentungan kelima, ternyata Tian Bu Cu sudah menepati janjinya menyusul ke mari. Dengan demikian dia menolehkan kepalanya kepada Cu Cia.

   "Gurumu datang ke mari dalam keadaan terluka, entah bagaimana keadaannya. Lebih baik kita cepat-cepat kembali melihatnya!"

   Tan Ki memang sengaja menghindari pertanyaan mereka yang berbelit-belit.

   Selesai berkata, dia langsung mengerahkan ginkangnya dan lari ke depan.

   Saat ini si pengemis sakti Cian Cong sedang duduk bersandar di atas kursi beristirahat.

   Begitu si pengemis cilik Cu Cia dan yang lainnya masuk ke dalam kamar, mereka segera dapat melihat wajah orangtua itu yang kekuning-kuningan.

   Tampangnya kuyu dan kusut.

   Mereka terkejut sekali melihatnya.

   Hati si pengemis cilik jadi pilu, dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah dan memanggil dengan dengan suara parau "Suhu!"

   Air matanya bagai curah hujan yang turun dengan deras membasahi pipinya. Cian Cong segera membuka sepasang matanya. Dengan sinarnya yang sudah pudar dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian terdengar orangtua itu tertawa terbahak-bahak.

   "Dasar orang tidak berguna! Masa di depan sahabat-sahabat baikmu menangis seperti anak kecil. Hei, si pengemis tua ini belum mati! Hayo cepat bangun!"

   Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit sekali.

   Mungkin lukanya kambuh kembali.

   Ternyata tokoh paling aneh di dunia ini juga hampir tidak sanggup menahan penderitaan yang demikian hebat.

   Dia langsung menekap dadanya dan mengatur pernafasan.

   Sampai kurang lebih sepeminuman teh, baru rasa sakitnya agak berkurang.

   Melihat keadaannya, si pengemis cilik tidak berani membantah lagi.

   Sambil menahan air mata yang masih ingin mengalir, dia langsung berdiri dengan kepala tertunduk.

   Cian Cong memejamkan matanya dan beristirahat beberapa saat.

   Setelah itu baru dia membuka matanya kembali.

   Dia menunjuk ke arah tosu tua yang duduk di sampingnya.

   "Tosu ini merupakan tokoh sakti dari Bu Tong Pai yang bersama-sama si pengemis tua mendapat julukan dua manusia paling aneh di dunia. Kalian sudah tentu pernah mendengar namanya bukan? Memang betul, beliau adalah Tian Bu Cu Locianpwe. Si pengemis tua masih dapat hidup sampai sekarang, semuanya merupakan berkat pertolongan dan rawatannya"

   Berkata sampai di sini, tiba-tiba dia memejamkan sepasang matanya kembali dan membungkam seribu bahasa.

   Si pengemis cilik, Sam Po Hwesio, Yang Jen Ping, Ban Ji Bu dan Goan Yu Liong cepatcepat maju ke depan dan memberi hormat dengan berlutut di atas tanah.

   Tian Bu Cu mengibaskan lengan bajunya.

   Serangkum tenaga yang tidak berwujud langsung terpancar keluar dan menahan tubuh beberapa orang itu sehingga tidak dapat menekuk kakinya lebih jauh.

   "Pinto adalah orang gunung yang kasar, tidak biasa menerima segala macam penghormatan. Kalian berdirilah!"

   Sementara itu, Tan Ki menuangkan dua cawan teh untuk kedua orangtua itu.

   Diamdiam dia memasukkan sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang pemberian si gadis berpakaian putih ke dalam cawan teh Cian Cong.

   Setelah itu dia menyodorkannya kepada mereka.

   Ketika Cian Cong meneguk air teh itu, dia merasa teh yang disediakan oleh Tan Ki harum luar biasa.

   Tadinya dia mengira bahwa teh itu memang dari jenis daun teh yang baik sehingga warnanya saja yang lebih pekat dari biasanya.

   Oleh karena itu dia tidak banyak bertanya.

   Diminumnya teh itu sampai kering.

   Tetapi biar bagaimanapun orangtua ini merupakan salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia jaman itu.

   Pengalamannya banyak dan pengetahuannya luas sekali.

   Dia segera merasa ada sesuatu yang tidak beres begitu teh itu diteguknya sampai kering.

   Dia merasa aliran darah dalam tubuhnya bertambah cepat, serangkum hawa panas mengalir ke seluruh urai nadinya.

   Kurang lebih setengah kentungan kemudian, perasaannya terasa lebih bersemangat, wajahnya yang tadi pucat kekuning-kuningan sekarang berubah menjadi merah jambu.

   Saat itu juga, dia merasa terkejut dan rada curiga.

   Diam-diam dia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, sekarang dia bukan saja tidak merasa sakit lagi, tetapi luka dalam tubuhnya juga terasa sembuh seketika.

   Malah hawa murninya beredar lebih lancar daripada sebelum terluka.

   Ketika hari sudah terang dan pelayan penginapan mengantarkan sarapan pagi, mereka segera menyantapnya dengan lahap.

   Setelah itu Tian Bu Cu kembali memeriksa denyutan urat nadinya.

   Hati orangtua itu terlonjak seketika.

   Tiba-tiba dia menemukan bahwa luka dalam yang diderita Cian Cong sudah sembuh sama sekali.

   Bahkan gejala keracunanpun sudah tidak ada.

   Dalam keadaan kurang yakin, Tian Bu Cu sampai memeriksanya berkalikali, tetapi kenyataannya tetap sama.

   Sama sekali tak ada tanda-tanda seperti orang yang pernah terluka.

   Bukan saja kesehatan Cian Cong sudah pulih, bahkan kesehatannya lebih baik dari pada sebelum terluka.

   Bagaimana Tian Bu C u tidak menjadi bingung dan penasaran melihat kenyataan yang aneh ini? Peristiwa yang tidak terduga-duga ini membuat kedua tokoh sakti tersebut terlongongldngong sekian lama dan tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.

   Mereka lalu berusaha menyelidiki apa yang telah terjadi.

   Saat itu Tan Ki baru menceritakan urusan gadis berpakaian putih yang menghadiahkan tiga bungkus obat kepadanya.

   Tian Bu Cu mendengarkan dengan seksama.

   Wajahnya tampak serius sekali.

   Setelah Tan Ki selesai bercerita, tampak orangtua itu menarik nafas panjang.

   "Sudah hampir empat puluh tahun pinto tidak pernah mendengar kabar dari Ming San Sinni. Tidak disangka dia masih hidup di dunia ini dan mempunyai seorang murid yang demikian sakti. Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang merupakan obat pusaka bagi dunia persilatan. Kelak entah berapa banyak tokoh Bulim yang akan tertolong nyawanya berkat obat mujarab ini. Anak Ki, kau harus simpan baik-baik dua bungkus sisa Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang ini. Kelak pasti ada faedahnya dan dapat menolong orang di saat genting."

   Tan Ki mengejap-ngejapkan matanya sambil tersenyum.

   "Locianpwe, benarkah obat ini demikian mujarab? Tadi ketika sarapan pagi, diam-diam Boanpwe memasukkan sebungkus ke dalam air teh adik Mei Ling. Boanpwe pikir dia kesalahan minum racun sehingga tubuhnya berpenyakit parah. Mungkin obat ini dapat menawarkan racun yang mengendap dalam tubuhnya. Sekarang hanya sisa satu bungkus lagi."

   Cian Cong menghentakkan kakinya keras-keras ke atas tanah.

   "Dasar bodoh! Berbuat apa-apa selalu tanpa pakai pertimbangan! Obat semacam ini, beberapa generasi juga belum tentu dapat menemukannya lagi. Kau malah sembarangan menggunakannya tanpa menanyakan pendapat orang lain. Ilmu pengobatan si hidung kerbau ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Racun yang diidap Mei Ling hanya termasuk penyakit kecil baginya, pasti dia dapat menyembuhkannya dengan mudah. Kau malah melihat penyakit ringan sebagai penyakit yang parah, sampai menghabiskan sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang!"

   Tian Bu Cu tertawa lebar mendengar gerutuannya.

   "Ada sebab ada akibat, segala di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa. Kita manusia hanya mengikuti jalannya saja. Apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali lagi. Anak muda ini kan masih pengantin baru, tentu saja hatinya panik mengetahui dalam tubuh isterinya mengendap racun jahat. Dalam hal ini dia juga tidak dapat disalahkan. Sudah pasti dia ingin isterinya lekas sembuh. Satu-satunya jalan sekarang ini hanya berharap agar dia mempergunakan sisa sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang itu dengan baik-baik."

   Beberapa orang itu masih merundingkan berbagai hal lainnya.

   Perlahan-lahan waktu merayap dan matahari semakin tinggi.

   Luka yang diderita Cian Cong sudah sembuh secara keseluruhan.

   Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menunda waktu.

   Sebelas orang itu segera meninggalkan penginapan tersebut dan kembali ke Tok Liong Hong di mana pertandingan untuk memperebutkan Bulim Bengcu masih berlangsung.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Baru beberapa saat mereka meninggalkan Suang Eng Lau, tiba-tiba di angkasa sampai tiga ekor burung merpati pos terbang melintas.

   kepala mereka.

   Kecepatannya bagai sambaran kilat, arah merekapun berlainan.

   Ada yang menuju timur, selatan dan yang terakhir terbang menuju utara.

   Tian Bu Cu memperhatikan ketiga ekor burung merpati itu terbang jauh.

   Dia melihat dengan seksama kecepatan dan arah yang diambil ketiga ekor burung itu.

   Mendadak suatu ingatan seolah melintas di benaknya.

   Tampak sepasang alis orangtua itu mengerutngerut.

   Untuk sekian lama dia berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun.

   Cian Cong malah hampir kehabisan rasa sabarnya.

   Terdengar dia tertawa dingin dan menggumam seorang diri.

   "Ternyata golongan sesat dari Lam Hay juga sudah bisa menggunakan merpati pos untuk menyelidiki jejak si pengemis tua"

   Suaranya semakin lama semakin lirih sehingga kata-katanya yang terakhir tidak terdengar lagi.

   Orang lainnya sudah tentu tidak mengerti apa maksud ucapannya itu.

   Menjelang malam hari, kesebelas orang itu sampai di Tok Liong Hong.

   Tampak asap mengepul-ngepul memenuhi udara.

   Di depan pintu gerbang berdiri delapan orang laki-laki bertubuh kekar.

   Wajah mereka tampak serius.

   Bekali.

   Sekali pandang saja, orang dapat menduga bahwa di atas puncak bukit itu mungkin telah terjadi sesuatu yang gawat.

   Keadaan yang terlihat sangat tidak wajar dan lain sekali dengan sebelumnya.

   Suasana di sekitar tempat itu juga terasa tegang mencekam.

   Watak Cian Cong paling tidak bisa diam serta ugal-ugalan.

   Dia langsung merasa sebal melihat keadaan seperti itu.

   Oleh karena itu, sepasang alisnya segera menjungkit ke atas.

   Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang-kencangnya ke ruang pertemuan.

   Di atas puncak bukit Tok Liong Hong ini memang sudah dibangun berbagai sarana yang diperlukan selama terselenggaranya pertemuan besar tersebut.

   Liu Seng sudah bekerja keras demi terselenggaranya pertandingan untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu ini.

   Dia mengumpulkan berpuluh-puluh tukang yang ahli dan membangun semua ruangan serta panggung dalam waktu yang singkat.

   Untung saja dua hari sebelum pertandingan dimulai semuanya sudah beres.

   Berhubung situasi sedang mendesak, mereka menggunakan strategi yang membangun ruangan-ruangan dengan mengikuti susunan tanah bukit itu sendiri.

   Ilmu ginkang Cian Cong sudah mencapai taraf yang tinggi sekali.

   Tidak berapa lama kemudian dia sudah sampai di depan ruang pertemuan.

   Begitu menaiki undakan batu di halaman, dia sudah melihat bahwa di dalam ruangan itu telah berkumpul belasan rekannya.

   Wajah setiap orang tampak kelam dan serius.

   Tidak ada seorangpun yang berbicara.

   Masing-masing seolah sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

   Tampaknya mereka sedang merundingkan masalah yang genting dan belum mendapatkan jalan pemecahannya.

   Mereka semua bermuram durja dan menunggu dengan sabar.

   Begitu heningnya ruangan itu sehingga batang jarum jatuh pun mungkin akan terdengar jelas.

   Kali ini sepasang alis Cian Cong mengerut semakin erat, tangannya tanpa terasa tergerak mengambil kendi araknya dan sebagaimana biasanya dia langsung meneguk beberapa tegukan besar sehingga terdengar suara.

   Glek! Glek! Grook! Dari tenggorokannya.

   Baru saja dia ingin bertanya, Yibun Siu Sari sudah berdiri dan menyongsongnya.

   "Pengemis tua, nasib kita memang lagi sial. Baru saja kau meninggalkan tempat ini, aku terpaksa menyelenggarakan pertandingan ini seorang diri. Siapa nyana di malam kedua tiba-tiba terjadi sesuatu. Hampir saja aku tertimpa bencana besar. Dari pihak Lam Hay dan Si Yu menyelinap beberapa orang utusannya yang ingin menyelidiki keadaan di tempat kita ini. Hampir sepanjang malam aku dikerjai oleh mereka sampai letihnya tak perlu dikatakan lagi. Boleh dibilang aku bermain petak umpet dengan mereka. Untung juga ada beberapa sahabat yang membantu sehingga tidak sempat terjadi apa-apa yang hebat. Kalau tidak, mungkin terpaksa aku membenturkan kepala di ruangan depan untuk mendapat hukuman mati atas dosa besar. Apabila sampai jatuh korban banyak. Meskipun beberapa sahabat kita merupakan tokoh-tokoh tua yang sudah banyak pengalaman, namun kaum penjahat itu licik sekali. Mereka menimbulkan suara di timur, tetapi menyerang di sebelah barat. Beberapa bangunan kita sempat dibakar oleh mereka. Dari pihak mereka yang datang adalah jago-jago yang jarang terlihat di dunia Kangouw. Dalam satu malam saja ada tujuh delapan orang pihak kita yang terluka. Aku justru sedang kebingungan karena kita kekurangan tenaga. Untung saja kau cepat-cepat kembali ke mari. Begini saja, tugas yang berat ini aku kembalikan lagi kepadamu. Malam ini kalau mereka datang lagi, aku pasti harus melawan mereka agar orang-orang jahat itu tidak meremehkan kemampuan kita orang-orang Tionggoan!"

   Wajahnya selalu ditutupi sehelai cadar yang tipis.

   Hal ini membuat orang tidak dapat melihat mimik perasaannya.

   Sejak berkenalan dengannya, Cian Cong selalu melihat sikapnya yang tenang dan riang.

   Belum pernah ditemuinya penampilan seperti sekarang ini yang begitu kesal.

   Sepasang matanya terus menyorotkan sinar yang berkilauan.

   Hal ini membuktikan bahwa hawa amarah dalam hatinya benar-benar telah meluap.

   Kemungkinan besar beberapa malam yang lalu dia dipermainkan musuh sedemikian rupa sehingga kekesalan dalam hatinya terpendam dalam-dalam dan tidak menemukan suatu hal yang dapat menjadi salurannya.

   Mendengar perkataan Yibun Siu San, untuk sesaat si pengemis sakti Cian Cong tidak enak hati untuk mengatakan apa-apa.

   Di saat dia sedang menguras otak bagaimana merundingkan masalah ini dengan baik-baik, Tian Bu Cu melangkah masuk dengan tenang diiringi beberapa orang lainnya.

   Pandangan mata Cian Cong beredar ke sekitar ruangan.

   Cepat-cepat dia memperkenalkan tokoh sakti itu kepada rekan-rekannya yang lain.

   Dengan demikian, dia sekaligus dapat menghindari desakan Yibun Siu San.

   Perlu diketahui, meskipun nama Tian Bu Cu sangat terkenal di dunia Kangouw, tetapi ia, selalu menyendiri dan lebih banyak tinggal di Yang Sim An, Bu Tong San.

   Meskipun disebut sebagai salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia, orang yang pernah melihat orangnya hanya beberapa gelintir saja.

   Bahkan sampai di mana ketinggian ilmu silatnya, orang-orang dunia Kangouw hanya mendengar dari selentingan di luaran saja.

   Kenyataannya sendiri, mereka belum tahu pasti.

   Dengan demikian para tamu yang hadir di Tok Liong Hong, walaupun tahu di dunia ada tokoh seperti dia, tetapi selama ini hanya dapat membayangkannya saja.

   Begitu diperkenalkan oleh Cian Cong, Liu Seng beserta Kok Hua Hong, Ciong San Suang Siu, Goan Siang Fei, Heng Sang Si dan tujuh delapan orang lainnya segera mengalihkan pandangan mereka kepada orangtua ini.

   Mata mereka memperhatikan Tian Bu Cu lekat-lekat dan mulut mereka mengeluarkan suara pujian kagum yang tidak berhenti-henti.

   Watak Tian Bu Cu memang selalu merendahkan diri.

   Dia senang bergaul dengan siapa saja meskipun namanya sudah sangat terkenal.

   Oleh karena itu dia segera menghampiri setiap tamu yang hadir dan menyalami mereka satu per satu untuk kemudian duduk bersama-sama mereka.

   Tan Ki beserta rekan-rekan lainnya yang sebaya berdiri di belakang guru dan angkatan tua masing-masing.

   Mereka tidak berani langsung duduk bersama para hadirin yang merupakan tokoh-tokoh tua.

   Tian Bu Cu mengulurkan tangannya mengangkat cawan teh dan dengan lambat menghirupnya beberapa teguk.

   Bibirnya tersenyum lebar.

   "Apa yang diperbuat pihak Lam Hay maupun Si Yu sekarang boleh dibilang sudah terang-terangan. Kemungkinan besar tidak lama lagi akan terjadi bencana besar yang akan mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran. Entah bagaimana rencana saudara-saudara dalam menanggulangi masalah ini?"

   Liu Seng segera menjura dan tersenyum.

   "Mohon tanya bagaimana pendapat totiang sendiri?"

   "Ular tidak bisa tanpa kepala, burung tidak bisa terbang tanpa sayap. Hari ini para sahabat yang hadir di Tok Liong Hong ini, kalau bukan seorang yang ilmunya tinggi, berjiwa bijaksana serta mempunyai kecerdasan melebihi orang lain dan sanggup membuat setiap orang menaruh rasa hormat serta kagum, tentu sulit membuat semuanya tunduk. Meskipun orang yang hadir di Tok Liong Hong ini jumlahnya banyak sekali, tetapi setiap tokoh ini mempunyai kelebihan masing-masing. Bila dikumpulkan, kemungkinan malah akan timbul masalah baru. Yang paling penting bagi kita orang dunia Kangouw, justru nama besar dan ketenaran serta kemakmuran hidup. Memang tidak semuanya bersikap demikian, namun apabila kita mau mengakui secara jujur, di antara sepuluh orang, mungkin ada sembilan yang lebih mementingkan nama besar daripada hal lainnya di dunia ini. Apabila pihak Lam Hay maupun Si Yu berhasil mengetahui kelemahan kita ini, mereka bisa menggunakan siasat mengadu domba sehingga terjadi pecah perang saudara di antara kita sendiri. Hal inilah yang harus kita cegah pertama-tama!"

   Apa yang dikatakan oleh Tian Bu Cu benarbenar bagai jarum tajam yang menusuk hati setiap orang.

   Sampai-sampai para hadirin saling menatap satu dengan lainnya dan diamdiam, mereka memuji ketelitian pertimbangan tokoh Bu Tong Pai ini.

   Tampak Yibun Siu San tertawa kecil.

   "Apa yang totiang katakan mengandung makna yang dalam. Baik pengalaman maupun pengetahuan juga membuat orang kagum. Tetapi sampai hari ini, dalam pertandingan yang sudah lalu, telah terpilih tiga belas orang pendekar pedang tingkat delapan dan tiga puluh lima orang pendekar pedang tingkat tujuh. Ilmu mereka semuanya dapat dibilang sudah cukup tinggi. Besok siang kita sudah dapat memilih seorang Bulim Bengcu dari tiga belas orang pendekar pedang tingkat delapan ini."

   Berkata sampai di sini, ucapannya terhenti, sepasang sinar matanya melirik ke arah Tan Ki sekilas. Beberapa saat kemudian baru dia melanjutkan kembali.

   "Karena dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu kali ini, kita terbentur berbagai kesulitan. Juga disebabkan waktu yang sangat mendesak, mungkin masih banyak tokoh lain yang tidak keburu datang. Ada juga yang karena halangan lainnya tidak dapat hadi r pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, aku dan si pengemis sakti Cian Cong telah merundingkan hal ini baik-baik dan akhirnya mendapatkan suatu keputusan. Kami membuat peraturan baru bagi para sahabat yang tidak keburu sampai pada waktunya atau karena urusan pribadi sehingga pertandingannya tertangguh. Seandainya orang itu mempunyai syarat yang cukup, maka kami memberinya kesempatan untuk menandingi lawan-lawan lainnya. Umpamanya pendekar pedang tingkat empat tertangguh dalam pertandingan, dia masih boleh mengikuti pertandingan lain. Apabila secara berturut-turut dia mengalahkan dua lawan dari tingkat yang sama, maka tingkatannya pun akan naik menjadi pendekar pedang tingkat lima. Begitu pula seterusnya. Seandainya dia berhasil mengalahkan lawan-lawan berikutnya sampai mencapai gelar pendekar pedang tingkat kedelapan, maka orang ini boleh memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu. Setelah semua orang ini mengikuti lagi ujian kebijaksanaan dalam mengambil ke-putusan serta kecerdasan otaknya, rasanya Bulim Bengcu dapat terpilih dari salah satu orang-orang ini."

   Terdengar suara mendesah dari mulut Tian Bu Cu, kemudian dia memejamkan matanya merenung beberapa saat. Setelah itu baru dia berkata dengan perlahan-lahan.

   "Kalau begitu, besok adalah hari terakhir dalam penyelenggaraan Bulim Tayhwe ini."

   Tampaknya hati orangtua ini sedang digelayuti semacam pikiran yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

   Meskipun mulutnya menggumamkan kata-kata, tetapi sepasang matanya masih terpejam rapat-rapat.

   Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali.

   "Betul.

   Hanya tinggal satu hari lagi.

   Dalam pengujian kebijaksanaan maupun kecerdasan, cayhe sudah mempunyai sedikit pertimbangan.

   Apabila ada waktu senggang, cayhe ingin merundingkannya kembali dengan Cian-heng serta Tian Bu Cu Locianpwe."

   Tiba-tiba sepasang mata Tian Bu Cu terbuka lebar.

   Sinar yang terpancar keluar begitu tajamnya, seperti sengaja juga tidak, dia melirik Liang Fu Yong sekilas.

   Dalam waktu yang singkat dia seolah telah memutuskan suatu masalah yang besar.

   Dengan demikian hatinyapun menjadi lega.

   "Baiklah, besok saja kita tentukan!"

   BAGIAN XLIII Cian Cong mendengar orangtua itu seperti menggumam kepada dirinya sendiri.

   Nada suaranya begitu tegas, seolah dalam ucapannya terkandung maksud tertentu.

   Walaupun lukanya baru sembuh, tetapi wataknya tetap tidak berubah.

   Dia masih periang dan ugalugalan seperti biasanya.

   Oleh karena itu dia langsung tertawa terbahak-bahak.

   "Hidung kerbau, sebetulnya setan apa yang kau sembunyikan dalam hati kecilmu itu? Bicara seperti menggumam kepada diri sendiri sehingga orang lain dibuat kebingungan setengah mati. Bolehkah kau menjelaskan dengan terperinci, hal apa sebenarnya yang sedang terpikir oleh benakmu itu?"

   Tian Bu Cu tersenyum simpul melihat ketidaksabaran si pengemis sakti Cian Cong.

   "Pinto hidup mengasingkan diri di Yang Sim An, selama enam puluh tahun boleh dibilang tidak pernah berkelana di dunia Kan-gouw. Oleh karena itu pengetahuan pun dangkal sekali. Dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini, Pinto tidak bisa memberikan pendapat apa-apa. Lagipula ilmu silat adalah pelajaran yang paling rumit. Dengan kata lain tidak ada batas tertentu yang dapat dijadikan patokan. Setiap cabang ilmu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pinto juga tidak berani memutuskan ilmu kepandaian siapa yang berhak menjabat kedudukan Bulim Bengcu. Resikonya terlalu besar. Selama beberapa bulan terakhir ini, pinto sudah mengadakan penyelidikan secara teliti. Memang ada satu orang yang cukup memenuhi syarat. Baik ilmu silatnya maupun mutu orangnya serta kecerdasan otaknya, boleh dibilang cukup memuaskan. Pinto adalah seorang beragama yang sudah lama mengasingkan diri, nama besar bagi Pinto tidak berarti apa-apa. Tetapi aku mempunyai niat untuk membantu orang ini menjadi tokoh besar yang mempunyai nama di dunia persilatan. Siapa tahu dia bisa merebut kedudukan Bulim Bengcu kali ini."

   


Kuda Putih Karya Okt Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung Pengelana Rimba Persilatan -- Huang Yi

Cari Blog Ini