Dendam Iblis Seribu Wajah 19
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 19
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung
Sementara itu, Cia Tian Lun malah menelingkup sepasang tangannya di belakang dan memandangnya dengan tersenyum simpul.
Perlu diketahui bahwa para tokoh di dunia Kangouw sangat memandang tinggi kemashyuran nama dirinya sendiri.
Seumur hidup Heng Sang Si berkecimpung dalam dunia kekerasan, selamanya dia tidak pernah takut dengan kata kematian.
Tetapi dia justru tidak sanggup menerima penghinaan di hadapan orang banyak.
Saat itu juga dia merasa serangkum rasa pilu melanda dalam bathinnya.
Matanya yang besar memerah, dua bulir air mata langsung jatuh berderai membasahi pipinya.
Tubuhnya seperti orang yang kehilangan tenaga, kakinya goyah serta tidak dapat berdiri tegak.
Hampir saja dia terjatuh di atas tanah.
Para hadirin yang menyaksikannya ikut merasa pedih dan iba.
Mereka merasa kasihan sekali melihat keadaan laki-laki itu yang demikian mengenaskan.
Tiba-tiba terdengar mulutnya meraung keras, kepalanya mendongak ke atas dan dia langsung memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali berturut-turut.
Sepasang matanya mendelik lebar-lebar lalu yang terlihat hanya putihnya saja.
Tanpa dapat dipertahankan lagi, tubuhnya jatuh terkulai di atas tanah.
Dengan panik Tan Ki berlari menghampirinya.
Dia segera membungkuk dan memeriksa keadaan Heng Sang Si.
Sejenak kemudian dia mendongakkan kepalanya lagi, wajahnya menyiratkan perasaan duka yang dalam.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menarik nafas panjang.
"Tidak ada harapan lagi, dia sudah menggigit putus lidahnya sendiri"
Belum lagi ucapan Tan Ki selesai, segera terlihat berbagai reaksi dari orang-orang gagah yang berkumpul di tempat tersebut.
Ada yang membentak marah, ada yang menarik nafas panjang, ada yang menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras.
Ada juga beberapa orang yang berjalan ke depan namun menghentikan langkah kakinya kembali Dari sini dapat dibuktikan bahwa cara membunuh orang tanpa turun tangan sendiri yang diperlihatkan Cia Tian Lun barusan benar-benar menimbulkan perasaan marah orang-orang gagah.
Tetapi ilmunya yang sangat tinggi juga merupakan hal yang membuat orang-orang gagah ragu mengambil tindakan Sepasang mata Tan Ki yang tajam menyapu sekilas kepada orang-orang gagah.
Ia melihat mereka semuanya seakan siap mengadu jiwa dengan Cia Tian Lun, tetapi masih merasa gentar terhadap ilmunya yang sangat tinggi.
Sebagian besar malah sudah melangkah ke depan namun membatalkan niatnya kembali.
Akhirnya dia menggertakkan giginya erat-erat, tangannya terulur dan merogoh ke dalam lengan baju yang satunya lagi.
Begitu tangannya mengibas keluar, tampak secarik cahaya berwarna putih berkilauan sehingga timbul bayangan seperti bunga-bunga yang bermekaran.
Setelah itu dia berdiri tegak dengan senjata melintang di depan dada.
Cia Tian Lun melihat anak muda itu sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa pedang suling, tampaknya Tan Ki sudah mengerahkan tenaga dalam serta siap melancarkan serangan.
Tanpa dapat ditahan lagi bibirnya menyunggingkan seulas senyuman.
"Kau juga ingin mencoba beberapa jurus ilmuku ini?"
Tanyanya tenang. Dengan wajah serius Tan Ki menyahut.
"Cia Siansing (Tuan Cia) melihat usiaku masih terlalu muda sehingga tidak pantas bergebrak denganmu?"
Cia Tian Lun tertawa lebar.
"Ilmu silat tidak dapat ditentukan dari usia tua maupun muda, pokoknya siapa yang menanglah yang dipersoalkan. Tetapi ditilik dari usiamu yang demikian muda, seandainya sampai."
Tan Ki tidak memberi kesempatan kepada orang itu untuk meneruskan ucapannya, dia segera menukas.
"Seandainya sampai mati di bawah serangan kipasmu, rasanya patut disayangkan bukan?"
Cia Tian Lun mengangkat sepasang bahunya. Bibirnya tersenyum makin lebar.
"Orang-orang muda memang lebih mudah emosi. Kalau kau sudah mengungkapkan apa yang tersirat dalam hatiku, aku juga tidak ingin menyangkalnya. Namun apabila kau tetap ingin menjajal barang beberapa jurus, di sini terlalu banyak orang yang hadir. Mungkin mereka akan menganggap aku yang tua menghina kaum muda dan mengatakan aku tidak tahu aturan. Usiaku jauh lebih tinggi dibandingkan dirimu. Bagaimana kalau aku mengalah tiga jurus kepadamu dan tidak membalas sama sekali?"
I Wajah Tan Ki tetap datar dan kaku.
"Dalam tiga jurus ini, kemungkinan besar aku bisa mengambil nyawamu. Dalam perguruan Lam Hay Bun, rasanya kedudukan Cia Siansing tinggi sekali. Bagaimana kalau karena sesumbar sesaat lalu kalah di tangan seorang anak muda, rasa malunya mungkin sanggup kau terima?"
Terhadap kata-kata sindirannya yang tajam itu, tampaknya Cia Tian Lun benar-benar merasa di luar dugaan.
Untuk sesaat dia jadi tertegun, kemudian dia memperdengarkan suara tawanya yang panjang.
Padahal dalam hati dia memuji kecerdasan anak muda ini.
Dia tahu Tan Ki sengaja memanasi hatinya dan dengan demikian dia tentu tidak enak menarik kembali perkataannya.
Sebetulnya hal ini hampir sama dengan caranya menghadapi Heng Sang Si tadi, jadi boleh dibilang dia sudah kena batunya sekarang.
Oleh karena itu suara tawanya begitu melengking sehingga memekakkan telinga orang yang mendengarnya.
"Kalau kau memang punya kepandaian seperti itu, silahkan lakukan saja. Baik ilmu tenaga dalam, senjata rahasia atau akal licik apapun, aku akan menemani dengan senang hati. Pokoknya tiga jurus kemudian, kau harus berhati-hati menjaga selembar nyawamu sendiri!"
Sementara itu, belasan tamu yang mengikuti perebutan Bulim Bengcu, Im Ka Tojin, Lu Sam Nio semuanya memusatkan perhatian kepada diri Cia Tian Lun dan Tan Ki.
Mereka sudah dapat membayangkan kalau pertarungan yang akan berlangsung ini hebatnya bukan main.
Belasan pasang mata seakan tidak ingin berkedip sedikitpun karena takut kehilangan kesempatan menyaksikan pertarungan yang seru.
Suasana yang mencekam semakin terasa karena diselipi dengan ketegangan.
Selain api yang masih berkobar menimbulkan suara ple-tekan oleh hembusan angin, boleh dibilang di tempat yang luas itu begitu sunyi sehingga nafas merekapun dapat terdengar dengan jelas.
Hal ini membuat perasaan mereka semakin tidak tenang dan pengap.
Tampak sepasang mata Tan Ki mengeluarkan sinar bagai kilat.
Sikapnya serius sekali.
Tangan kanannya diangkat ke atas perlahan-lahan bagai seseorang yang menggenggam suatu benda dengan bobot berat mencapai ribuan kati.
Gerakannya yang lambat dan penampilan sikapnya yang agak tegang malah membuat hati orang-orang gagah ikut tergerak, jantung mereka berdebar-debar.
Tanpa terasa tangan mereka sampai basah karena keringat dingin bahkan menatapnya pun sambil menahan nafas.
Cia Tian Lun melihat sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam serta menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip sekalipun.
Tan Ki masih berdiri tegak dengan tangan menggetarkan peuang sulingnya yang menimbulkan bayangan putih berkilauan, tanpa dapat ditahan lagi hatinya agak tercekat.
Diam-diam dia berpikir.
Sikapnya serius dan berwibawa, tangannya diangkat dengan gerakan lamban.
Ini merupakan gaya yang dilakukan tokoh kelas tinggi sebelum memulai sebuah serangan, tampaknya anak muda ini Belum lagi pikirannya selesai bekerja, tiba-tiba telinganya menangkap suara siulan yang memekakkan telinga.
Di depan matanya terlihat cahaya putih berkelebat, rupanya Tan Ki sudah menerjang ke arahnya dengan sebuah totokan yang ditujukan ke bagian dada.
Cia Tian Lun mengangkat kipasnya menahan.
Terdengar suara dentingan logam saling membentur.
Orangnya sendiri mencelat mundur ke belakang dalam waktu yang bersamaan dengan tangkisan nya barusan.
Sepasang mata Tan Ki membuka lebar-lebar, tubuhnya bergerak mengejar ke depan.
Di tengah udara pergelangan tangannya digetarkan dan pedang sulingnya diangkat ke atas.
Segera dilancarkannya sebuah serangan.
Gerakannya dari lambat berubah menjadi cepat.
Tampak cahaya berwarna putih memijar-mijar, hawa dingin terpancar dari pedang sulingnya.
Jurus yang dikerahkannya merupakan salah satu dari petikan ilmunya yang ajaib, yakni Awan Berkabut Menyorotkan Cahaya Keemasan.
Serangannnya kali ini mengandung kekuatan tenaga yang sudah diperhitungkan matang-matang.
Hawa yang terpancar dari pedangnya tajam bergulung-gulung bagai ombak di lautan, dengan dahsyat menerjang datang laksana angin topan! Cia Tian Lun merasa sekitarnya dipenuhi hawa pedang berkilauan yang menusuk pandangan mata.
Seluruh tubuhnya bagai diselu-supi hawa dingin.
Meskipun pandangan matanya sangat awas dan pendengarannya tajam sekali, tetapi yang terlihat maupun terdengar hanya hawa pedang di tangan Tan Ki.
Begitu hebatnya hawa pedang tersebut sehingga seluruh tubuhnya bagai terkurung rapat.
Dia tidak dapat menduga ke arah mana pedang itu mengincar, dan jalan darah mana yang akan ditotok oleh ujungnya.
Tanpa terasa hatinya tercekat.
Tangan kanannya menggerakkan kipas dengan jurus Menggempur Delapan Penjuru di Malam Hari.
Bayangan kipasnya bergulung-gulung melindungi bagian atas kepalanya, orangnya sendiri langsung mencelat mundur ke belakang sejauh beberapa langkah.
Telinganya menangkap suara keresekan yang halus, kedengarannya hanya satu kali saja.
Kemudian terdengar pula suara bentakan nyaring dan ada pula yang menarik nafas panjang.
Beberapa macam suara membaur di telinganya rupanya ketiga jurus inilah yang membuat orang-orang gagah tahu sampai di mana tingginya ilmu silat Tan Ki.
Cia Tian Lun menundukkan kepalanya melihat.
Rupanya di antara lengan dan pergelangan tangannya terdapat sayatan sepanjang tiga cun.
Tampaknya dia sudah terkena serangan pedang suling Tan Ki sehingga tangannya terluka.
Kalau saja tenaga yang terkandung di dalamnya lebih berat sedikit, ada kemungkinan sebelah tangannya itu menjadi putus atau cacat seumur hidup.
Tanpa terasa bulu kuduknya jadi meremang dan sikapnya berubah hebat.
Tetapi biar bagaimana pada mulanya dia sudah sesumbar menjual omong besar, urusannya menyangkut muka serta nama baiknya sendiri.
Dengan demikian dia tidak dapat menyesal sehingga dirinya akan dipandang hina oleh orang-orang gagah yang hadir di sana.
Belum lagi anak buahnya sendiri.
Akhirnya terpaksa dia mendongakkan kepalanya dan menebalkan kulit wajahnya dengan berlagak santai.
Bibirnya kembali mengembangkan seulas senyuman.
"Dua jurus sudah berlalu, sekarang kau masih mempunyai satu jurus lagi!"
BAGIAN XLV Baru saja ucapan Cia Tian Lun selesai, Tan Ki sudah mengeluarkan suara siulan panjang lagi.
Tubuhnya kembali mencelat ke udara dan cahaya putih tampak berkilauan.
Dalam sekejap mata orangnya sudah berdiri tegak lagi di tempat semula.
Gerakannya ini merupakan serangan yang mendadak.
Cepatnya bagai kilasan cahaya, begitu berkelebat tahu-tahu sudah diam kembali.
Dari berpuluh pasang mata orang-orang yang hadir di tempat itu, ternyata tidak ada seorangpun yang sempat melihat bagaimana cara tubuhnya bergerak.
Entah bagaimana dia turun tangan lalu tahu-tahu sudah berdiri kembali di tempat semula.
Maju dan mundurnya Tan Ki demikian cepat sehingga dia seakan tetap berdiri tegak dengan tangan menggenggam pedang suling.
Begitu pandangan mata dialihkan, tubuh Cia Tian Lun yang tadinya tidak bergerak sudah berubah posisinya.
Lengan kanannya terangkat sedikit ke atas dan telapak tangan kirinya mengambil posisi seperti menahan di depan dada.
Sikapnya seperti orang yang sedang menangkis sebuah serangan.
Cahaya api yang terang benderang menekan sinar rembulan yang redup.
Kali ini tampak jelas bahwa pergelangan tangan kanannya telah tersayat cukup dalam sehingga darah segar terus menetes membasahi tanah dekat kakinya berpijak.
Kalau serangan Tan Ki yang pertama hanya menggores ujung kulitnya serta tidak sampai mengeluarkan darah banyak, maka kali ini lukanya cukup dalam.
Hal ini membuktikan bahwa serangan Tan Ki yang secepat kilat sudah membuat Cia Tian Lun yang sombong karena ilmunya tinggi terluka di bawah gerakan pedang sulingnya.
Saat itu juga terdengar suara tepuk tangan yang riuh dan suara pujian yang gegap gempita dari mulut para orang-orang gagah.
Suara desiran angin dan percikan api masih tidak dapat menahan suara gemuruh tersebut.
Setelah tertegun beberapa saat, akhirnya Cia Tian Lun menarik nafas panjang.
"Dalam seumur hidup ini, jarang sekali aku menemukan tandingan yang setimpal, kecuali dua puluh tahun yang lalu, aku dikalahkan oleh Tocu Lam Hay Bun, selamanya belum pernah ada orang lain yang dapat bertahan seratus jurus seranganku. Tetapi malam ini, aku mendapat pelajaran yang baru. Usia adik ini masih demikian muda, penampilannya pun biasa-biasa saja, ternyata ilmu yang dikuasai sudah sedemikian tinggi sehingga aku, Cia Tian Lun, salah pandangan"
Dia menghentikan kata-katanya sejenak. Tampaknya dia sedang mengerahkan hawa murninya untuk menahan darah yang terus mengalir dari pergelangan tangannya. Sesaat kemudian terdengar dia berkata kembali.
"Dalam tiga jurus kau dapat membuat aku terdesak bahkan terluka. Mungkin kecuali Toa Tocu kami, di dunia ini tidak ada orang yang sanggup menandingimu lagi."
Tan Ki mendengar kata-kata yang diucapkannya seakan keluar dari hati yang tulus, bahkan sikap angkuhnya juga sudah jauh berkurang. Tanpa dapat ditahan lagi, bibirnya segera mengembangkan seulas senyuman yang ramah.
"Di dunia ini terdapat banyak tokoh berilmu tinggi, tetapi kebanyakan sudah mengasingkan diri dan tidak bersedia mencampuri urusan dunia yang rumit ini. Sayangnya saudara belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Padahal ilmu Cayhe ini masih belum terhitung apa-apa"
"Kalau kau tidak percaya, tentu saja aku juga tidak dapat berkata apa-apa lagi. Pada suatu hari nanti, mungkin kau dapat membuktikannya sendiri. Aku bukan orang yang selalu terkurung di Lam Hay Bun. Banyak sudah aku menyaksikan berbagai keajaiban di dunia ini. Oleh karena itu kata-kata yang kuucapkan bukan asal cetus saja. Kelak apabila ada kesempatan untuk bertemu dengan tocu kami, waktu itu kau baru menyadari benar tidaknya ucapanku ini. Sekarang aku merupakan prajurit yang kalah perang, baik nama ataupun kecemerlangan wajahku ini sudah sirna, oleh karena itu aku ingin memohon diri!"
Sepasang matanya yang tajam menyapu sekilas kepada mayat-mayat yang berserakan di atas tanah.
Sesaat kemudian baru dia melanjutkan lagi kata-katanya "Dua regu tentara berperang, pasti ada korban yang jatuh.
Tetapi kalau adik kecil ini merasa tidak puas karena aku telah membunuh beberapa orang dari pihakmu, tentu saja aku mengerti peraturan dunia Kangouw yang menyatakan hutang darah dibayar dengan darah! Ada dendam harus dibalas.
Adik kecil boleh menahan aku di sini.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ingin bunuh, ingin cincang, silahkan.
Pokoknya aku tidak akan membalas!"
Mendengar kata-katanya yang tegas, Tan Ki jadi serba salah.
Di dalam ucapannya yang lembut terkandung kekerasan hatinya yang gagah.
Hal ini membuktikan bahwa orang ini sebetulnya termasuk seorang pendekar berjiwa lapang sehingga menyatakan bahwa dirinya yang sudah kalah dan tidak berniat mengadakan pertarungan lagi.
Tentu saja Tan Ki boleh maju ke depan dan membunuhnya langsung.
Tetapi tentara yang sudah mengibarkan bendera putih tanda mengaku kalah, di negara mana pun tidak boleh dibunuh lagi.
Bukan saja Tan Ki tidak ingin melakukan hal tersebut, lagipula pandangan orang terhadap dirinya menjadi rendah.
Namun apabila dia melepaskannya begitu saja, sedangkan di sana hadir demikian banyak orang gagah yang menyaksikan bagaimana Cia Tian Lun membunuh rekan-rekan mereka dan mayat-mayatnya pun masih berserakan di atas tanah, keputusan apa yang harus diambilnya agar terlihat tidak berat sebelah? Tan Ki menundukkan kepalanya merenung.
Untuk sesaat dia merasa begini salah begitu salah.
Hatinya bimbang memilih keputusan yang harus diambilnya.
Sesaat kemudian dia mendongakkan kepalanya menatap Cia Tian Lun kemudian pandangannya kembali beredar kepada orang-orang gagah.
Akhirnya dia malah berdiri termangu-mangu tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendatangi.
Rupanya Ceng Lam Hong dan Lok Ing berlari ke arah mereka dan berhenti di samping Tan Ki.
Tampaknya kedua perempuan ini sudah melalui pertarungan yang sengit.
Wajah mereka menyiratkan perasaan letih dan nafaspun masih tersengal-sengal.
Malah di lengan kanan Ceng Lam Hong terlihat bekas darah dan lengan pakaiannya terdapat dua buah lubang bekas tusukan pedang, untung saja tidak tampak parah.
Namun rambutnya awut-awutan dan tangannya menggenggam sebatang pedang yang sudah, terkutung setengahnya.
Melihat ibunya terluka, Tan Ki merasa terkejut sekali.
Bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengajukan pertanyaan, tetapi Ceng Lam Hong sudah menggoyangkan tangannya seperti memberi isyarat agar dia jangan berkata apa-apa.
Sementara itu, dia menoleh kepada Cia Tian Lun.
"Apakah siangkong ini yang menjabat sebagai Bun Bu Co-siang (Menteri kiri bagian ilmu surat dan ilmu silat) Cia Siansing adanya?"
Cia Tian Lun tertegun sejenak mendengar pertanyaannya.
"Bagaimana kau bisa tahu sebutan diriku?"
Tanyanya kembali. Ceng Lam Hong tersenyum ramah kepadanya.
"Kau juga mendapat gelar Pelajar Maut, bukan? Bagus sekali! Jadi aku tidak perlu berlari ke sana ke mari untuk mencarimu. Lagipula kalau menyampaikan pesan lewat orang lain, kadang-kadang justru tidak disampaikan."
Dia berhenti sejenak, tiba-tiba suaranya diperkecil sehingga terdengar lirih sekali.
"Ramalan Cin menembus langit, daun Tong menebarkan keharuman yang semerbak."
Suaranya lembut dan lirih sekali. Mungkin hanya Tan Ki yang ada di sampingnya dapat mendengar dengan jelas. Mendengar kata-katanya, dada Cia Tian Lun bagai tergetar seperti dipukul oleh seseorang. Tubuhnya bergetar hebat. Tergesa-gesa dia bertanya.
"Cepat beritahukan kepadaku, di mana dia sekarang?"
Sekali lagi Ceng Lam Hong tersenyum simpul.
"Putrinyalah yang ingin aku sampaikan kepadamu agar kau meninggalkan tempat ini secepatnya!"
Cia Tian Lun menghembuskan nafas panjang-panjang.
"Aku kira orang yang sudah mati sudah bisa hidup kembali. Toakoku itu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Mengapa di saat ini dan tempat ini bisa menyampaikan pesan kepadaku, rupanya budak cilik itu"
Berkata sampai di sini, tiba-tiba dia seperti tersadar.
Matanya yang menyorotkan sinar tajam menyapu sekilas kepada Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio yang ada pada jarak satu depa di belakangnya, kemudian dia mengeluarkan suara batuk-batuk kecil dan menghentikan kata-katanya.
"Dia juga ingin aku sampaikan kepadamu, apabila ada kesempatan, dia ingin menemuimu secara langsung!"
Cia Tian Lun menundukkan kejaalanya merenung sejenak, kemudian tampak dia tersenyum.
"Ada baiknya juga. Saat ini lebih baik Cayhe turuti saja perkataannya dan mohon diri sekarang juga."
Sembari berkata, dia menoleh kepada Tan Ki. Sekali lagi bibirnya mengembangkan senyuman yang ramah.
"Kau kuat sekali. Biarpun aku kalah di bawah pedang sulingmu, tetapi kekalahan ini kuterima dengan ikhlas."
Tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, dia segera membalikkan tubuhnya kemudian kakinya menghentak.
Tubuhnya, bergerak bagai seekor burung yang mengembangkan sayapnya dan melesat ke depan bagai terbang.
Sekali loncat saja jaraknya mencapai lima enam depaan.
Dalam waktu yang singkat, Cia Tian Lun, Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio sudah berkelebat pergi kemudian menghilang dadam kegelapan malam.
Tan Ki tertegun beberapa saat, kemudian dia menolehkan kepalanya kepada Ceng Lam Hong.
"Ibu, apa sebetulnya makna ucapanmu tadi?"
Ceng Lam Hong tersenyum simpul mendengar pertanyaannya.
"Kelak kau akan mengerti sendiri."
Wajah Tan Ki menyiratkan perasaan ingin tahu. Hatinya masih merasa penasaran, tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Oleh karena itu dia menundukkan kepalanya merenung sejenak kemudian baru melanjutkan lagi kata-katanya.
"Apakah Ibu ada bertemu dengan Cin Ying dan Cin Ie? Keadaan malam ini sangat gawat. Apabila mereka sampai tertangkap oleh pihak Lam Hay atau Si Yu, kemungkinan mereka akan mendapatkan kesulitan yang besar."
"Kau tidak perlu khawatir, aku justru mendapat tugas dari Sam-siokmu Yibun Siu San agar mengajak si pengemis cilik Cu Cia, Sam Po Hwesio, dan beberapa jago pedang tingkat tujuh dan delapan untuk memeriksa daftar nama para peserta Bulim Tayhwe kali ini, juga diminta menyimpan baik-baik beberapa dokumen penting di dalam ruang baca. Kurang lebih kentungan kedua, tiba-tiba aku melihat tiga sosok bayangan hitam berkelebat"
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar keterangan ibunya.
"Mereka pasti jago-jago dari Lam Hay dan Si Yu?"
Ceng Lam Hong menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Tebakanmu memang benar. Yang datang memang Bun Bu Yu-siang (Menteri kanan bagian ilmu surat dan baca) dari Lam Hay Bun, Tong Ku Lu beserta bawahannya kakak beradik keluarga Fu. Aku dan Tong Ku Lu sempat bergebrak beberapa jurus, namun aku langsung merasa kurang beres. Ilmu silat orang itu tingginya benar-benar di luar dugaanku, sedangkan tenaga dalam yang terpancar dari telapak tangannya, mungkin tidak kalah dengan Sam-siokmu sendiri. Setelah belasan jurus, aku mulai terdesak dan tidak mempunyai tenaga untuk melakukan serangan balasan lagi. Untung saja di saat yang genting, tiba-tiba datang dua orang gadis bertopeng. Ilmu silat mereka aneh sekali, lagi pula gabungan keduanya begitu kompak dan serasi sehingga pengaruhnya bertambah hebat. Tepat sepenanakan nasi kemudian, Tong Ku Lu terdesak mundur sehingga lari meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu, si gadis yang usianya lebih tua meminta aku menyampaikan kata-kata tadi kepada Cia Tian Lun. Mungkin kau sudah dapat menduga bahwa kedua gadis itu adalah kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie."
Mulut Tan Ki mengeluarkan suara Oh yang panjang.
Tiba-tiba ingatannya melayang ke peristiwa sewaktu dia keracunan tempo hari.
Pada saat itu dia menitipkan ibunya agar dirawat oleh Cin Ying, tanpa sadar perasaannya menjadi sedih.
Ternyata putri bekas Bengcu dari Lam Hay ini orang yang memegang teguh perkataannya.
Apa yang sudah dijanjikannya pasti ditepati.
Hal ini justru membuat perasaan hati Tan Ki menjadi tidak enak.
Biar bagaimana dia pernah berjanji akan mengambil adiknya yang ketolol-tololan itu sebagai selir.
Meskipun sekarang dia sudah beristeri, tetapi kalau Cin Ie dibandingkan kakaknya, satu seperti gadis desa yang bodohnya minta ampun, sedangkan yang satunya begitu cerdas dan cantik bagai dewi kahyangan.
Perbandingannya begitu menyolok sehingga Cin Ying bagai rembulan di langit yang memancarkan cahayanya sampai jauh.
Seandainya kedudukan Cin Ie diganti dengan kakaknya, tentu merupakan hal yang menggembirakan sekali Berpikir sampai di sini, dia sendiri merasa terkejut, perlahan-lahan dia mengetuk batok kepalanya sendiri dan berkata dalam hati.
Aku selalu merasa diriku sebagai seorang lakilaki sejati, mengapa tiba-tiba bisa mempunyai pikiran seperti itu? Kalau sampai ada orang yang mengetahuinya, mana aku ada muka lagi merebut kedudukan Bulim Bengcu? Dengan membawa pikiran seperti itu, cepat-cepat dia menarik nafas panjang dan menghentikan renungannya.
Tiba-tiba dia melihat Ceng Lam Hong membalikkan tubuhnya dan berkata kepada orang-orang gagah yang ada di tempat tersebut.
"Wajah saudara-saudara sekalian seakan menyiratkan perasaan kurang senang. Tentu karena aku membiarkan tokoh Lam Hay tadi meninggalkan tempat ini begitu saja. Sebetulnya, ilmu silat orang itu kalian sudah saksikan sendiri, taraf kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dalam Lam Hay Bun dia menjabat kedudukan sebagai Bun Bu Cuo-siang. Jabatan itu sangat tinggi, boleh dibilang hanya di bawah Tocunya sendiri. Dia juga merupakan salah satu angkatan tua yang paling setia selama mengepalai empat puluh pulau di daerah Lam Hay. Dia juga merupakan sahabat karib Bengcu lama, yakni Cin Tong. Pertemuan yang kebetulan ini sebetulnya sulit diharapkan. Tetapi aku berani menjamin kepada saudara-saudara sekalian, kelak orang ini pasti akan meninggalkan Lam Hay Bun dan bersahabat dengan pihak Tionggoan kita. Di balik semua ini terkandung sebuah rahasia besar. Untuk sesaat sulit dijelaskan dengan terperinci. Harap saudara-saudara sudi bersabar sehingga datang saatnya yang tepat serta lihat sendiri buktinya nanti!"
Tiba-tiba seorang laki-laki tua berlengan tunggal menukas dari antara orang-orang gagah.
"Meskipun seandainya suatu hari nanti Cia Tian Lun bisa memihak kepada kita, tetapi memangnya dendam para sahabat yang sekarang sudah menjadi mayat berserakan di atas tanah ini tidak perlu dibalas lagi?"
Ceng Lam Hong mengerti saat ini emosi orang-orang gagah masih meluap-luap.
Meskipun ribuan kata-kata diucapkan, tetaplah sulit membuat mereka paham.
Lebih baik menghindari persoalan besar dan membuatnya sekecil mungkin.
Oleh karena itu dia segera mengembangkan seulas senyuman yang lembut dan berkata.
"Urusan ini akan kita bicarakan lagi perlahan-lahan kelak. Pokoknya suatu hari pasti ada jawaban yang memuaskan hati saudara sekalian, sekaligus dapat memadamkan api kemarahan dalam hati kalian itu."
Sepasang mata Lok Ing yang mengandung sinar romantis itu berulang kali melirik ke arah Tan Ki.
Tampaknya dia seperti mempunyai banyak kata-kata yang ingin dibicarakan, namun sampai saat ini tidak ada kesempatan sama sekali.
Hanya sepasang alisnya yang terus mengerut, namun sejak awal hingga akhir, dia tidak mengucapkan sepatah kata-pun.
Setelah Ceng Lam Hong menyelesaikan ucapannya, baru dia berkata.
"Pek Bo, kita sudah boleh pergi sekarang."
Ceng Lam Hong menoleh kembali kepada Tan Ki.
"Anak Ki, kau harus berhati-hati. Mulai sekarang kau tidak boleh bertindak sembrono, apalagi sembarangan menempuh bahaya sehingga membuat orang khawatir. Sekaligus kau harus berbaik hati kepada"
Berkata sampai di sini, perempuan setengah baya itu seakan teringat akan sesuatu hal sehingga ucapannya tidak jadi diteruskan. Sepasang mata Tan Ki melirik sekilas ke arah isterinya kemudian berkata.
"Anak akan menurut apapun perkataan ibu, mulai sekarang tidak akan sembrono lagi."
Baru saja ucapannya selesai, terasa ada segulung angin yang berdesir kencang.
Ceng Lam Hong dan Lok Ing sudah meninggalkan tempat itu, gerakan mereka laksana kepulan asap yang tertiup angin, mereka menuju ke arah timur.
Tiba-tiba hati Tan Ki jadi tergerak.
Diam-diam dia berpikir.
Lok Ing biasa malang melintang di daerah Sai Pak, dia sudah terkenal sebagai gadis yang keras kepala dan selalu tidak pakai aturan.
Mengapa tanpa hujan tanpa angin dia mendekati ibu dan bersikap begitu baik terhadapnya? Jangan-jangan di balik semua ini terselip apa-apanya. Berpikir sampai di sini, dia jadi termangu-mangu.
Untuk sekian lama dia memandangi punggung Lok Ing sampai menghilang di kejauhan.
Dia tahu gadis itu bertepuk sebelah tangan dalam mencintainya.
Meskipun hatinya mempunyai maksud tertentu, rasanya bukan urusan yang akan merugikan diri ibunya, itulah sebabnya Tan Ki tidak terlalu memusingkan hal itu.
Saat itu rembulan yang tinggal sepenggal itu semakin suram cahayanya, sedangkan di langit bagian timur mulai tampak secarik garis berwarna keemasan.
Mungkin sepenanakan nasi lagi matahari akan terbit secara keseluruhan.
Kurang lebih seratus orang turun tangan membantu memadamkan api yang menyala di gudang darurat penyimpanan ransum.
Lambat laun api mulai melemah.
Kecuali debu-debu sisa kebakaran yang masih beterbangan, di atas langit masih terlihat gumpalan asap putih.
Rasanya keadaan cukup parah dan sulit diperbaiki dalam waktu yang singkat.
Tan Ki mengedarkan pandangannya sambil menyimpan kembali pedang sulingnya.
Baru saja dia berniat memberikan bantuan kepada yang lain untuk membereskan mayat-mayat yang berserakan, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara panggilan.
"Tan-heng!"
Yang tidak henti-hentinya berkumandang.
Dua sosok bayangan berlari secepat kilat mendatangi.
Begitu pandangan matanya beralih, tampak seorang gemuk dan yang seorang lagi bertubuh kurus menghampiri ke arah mereka.
Kedua orang itu adalah Hek Lohan Sam Po Hwesio dan si pengemis cilik Cu Cia.
Dalam sekejap mata mereka sudah sampai di hadapan Tan Ki.
Lengan kiri si pengemis cilik Bulim dibalut dengan kain putih, rembesan darah terlihat jelas.
Tampaknya luka si pengemis cilik ini tidak ringan juga.
Namun sikapnya yang periang masih kentara jelas.
Dia langsung tertawa terbahak-bahak begitu melihat Tan Ki.
"Tan-heng, paman ketigamu Yibun Siu San meminta kau segera datang ke ruang pertemuan!"
Tan Ki jadi tertegun mendengar kata-katanya.
"Aku?"
Cu Cia tertawa lebar.
"Benar, memang engkau yang dimaksud!"
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Bibirnya tersenyum simpul.
"Dalam pertandingan malam ini boleh dibilang pihak kita mengalami kerugian besarbesaran. Mayat berserakan, seluruh bukit bagai diselimuti hawa kedukaan yang tebal. Untung saja tidak sampai rata menjadi tanah. Sedangkan kau di sini juga memenangkan pertarungan dengan cemerlang. Hal ini sudah tersebar luas di seluruh bukit. Siapapun tahu bahwa tiga jurus ilmu pedang sulingmu berhasil melukai Bun Bu Cuo-siang dari Lam Hay. Meskipun tidak parah, i namun merupakan suatu hal yang patut dibanggakan. Hwesio cilik ini tidak sampai mati, sejak semula sudah mengambil keputusan untuk minum sampai puas guna merayakan kemenangan Tan-heng!"
Katanya sambil tertawa tergelakgelak. Si pengemis cilik Cu Cia ikut tersenyum simpul.
"Si pengemis cilik sendiri sampai terluka lengan kirinya. Mestinya orang yang terluka harus merasa sedih dan tidur beristirahat. Tetapi asal masih mempunyai sedikit nafas, walaupun orang-orang mengatakan minum arak bisa memperbanyak darah yang mengalir, masa bodoh. Kemenangan Tan-heng yang sedikit tetap merupakan peristiwa yang menggembirakan. Meskipun harus mati, si tukang minta-minta ini tetap ingin minum sampai mabuk."
Beberapa orang itu bercakap-cakap sambil berjalan.
Tanpa terasa sebentar saja mereka sudah sampai di ruang pertemuan.
Tampak bayangan orang berjalan mondar-mandir membereskan tempat yang berantakan itu.
Mayat-mayat telah dipindahkan, sedangkan bekas darah sudah dibersihkan.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan wajah masih tertutup cadar, Yibun Siu San berdiri di bagian yang tinggi, sedangkan si pengemis sakti Cian Cong duduk di atas kursi besar dengan wajah serius, tangannya yang satu mengangkat hiolo arak tinggi-tinggi dan meneguknya seperti orang yang kehausan.
Setelah minum arak dalam jumlah yang banyak, semangatnya malah seperti terbangkit.
Di sebelah kanannya duduk Pangcu Ti Ciang Pang, yakni Lok Hong.
Wajahnya juga kelam sekali.
Sepasang matanya terpejam rapat seperti orang yang sedang beristirahat.
Dia seolah tak menyadari sama sekali kehadiran Tan Ki dan yang lainnya.
Orangnya sedikitpun tidak bergerak, bahkan matanya tidak terpicing sedikitpun.
Goan Yu Liong dan Yang Jen Ping berdiri di belakang punggung Goan Siang Fei, dua baris bagian depan duduk berkeliling Kok Hua Hong serta pendekar pedang tingkat delapan lain.
Yibun Siu San menggapai tangannya memberi isyarat agar Tan Ki duduk di tempat yang kosong.
Anak muda itu sampai kelabakan dan cepat-cepat menjura dalam-dalam.
"Para Cianpwe sedang duduk berkumpul, mana boleh anak Ki tidak tahu aturan duduk bersama. Biar anak Ki berdiri saja."
Katanya.
Tiba-tiba Lok Hong mendongakkan kepalanya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Matanya yang bersinar tajam menatap Tan Ki sekilas.
Kemudian dia tersenyum simpul dengan wajah menyiratkan perasaan kagum.
Setelah itu dia memejamkan matanya kembali.
Yibun Siu San tertawa lebar.
"Pertarungan malam ini, membuat kau pantas duduk bersama para Cianpwe ini. Kau juga tidak perlu rendah diri lagi, duduklah. Kalau sampai kau dianggap sombong kan malah tidak baik."
Tan Ki bimbang sejenak.
Baru kemudian dia membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat dan duduk di tempat yang ditunjuk oleh Yibun Siu San.
Mei Ling, Ban Jin Bu, Sam Po Hwesio serta si pengemis cilik Cu Cia berdiri berbaris di belakangnya, seakan menjadi pengawal bagi Tan Ki.
Ketika bara duduk saja, pandangan mata Tan Ki sudah mengedar ke orang-orang gagah yang ada di sekelilingnya.
Tiba-tiba hatinya jadi tergerak.
Diam-diam dia berpikir.
Rasanya masih ada beberapa orang yang belum hadir. Dengan membawa pikiran seperti itu, dia langsung menanyakannya kepada Yibun Siu San.
"Siok-siok, apakah Ciong San Suang Siu, kedua pengawal Cianpwe, masih menjaga goa di bagian belakang bukit di mana Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri?"
Tampak sinar mata Yibun Siu San mengeluarkan cahaya yang berkilauan. Dia mendengus satu kali.
"Goa di belakang bukit itu letaknya agak terpencil sehingga tidak mudah ditemukan. Ketika Tian Bu Cu Locianpwe menyatakan hendak menutup diri menurunkan ilmu kepada Liang Fu Yong, orang yang tahu hanya segelintir saja. Entah bagaimana caranya ternyata malah bisa didatangi oleh tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Kecuali Kaucu Pet Kut Kau dan adik seperguruannya Kim Yu. Laki-laki yang satu lagi mengenakan pakaian serba hitam dan tubuhnya kurus seperti tinggal tengkorak saja, tetapi ilmunya sangat tinggi dan rasanya tidak di sebelah bawah Kaucu Pek Kut Kau. Aku sendiri sempat bergebrak dengannya sampai ratusan jurus, tetapi tidak sanggup meraih keuntungan sedikitpun. Malah kadang-kadang aku sampai terdesak mundur oleh kekuatan tenaga dalamnya yang dahsyat serta jurus serangannya yang aneh. Kemudian aku baru mengetahui bahwa orang ini merupakan Bun Bu Yu Siang dari pihak Lam Hay Bun, yakni Tong Ku Lu."
Tan Ki agak tertegun mendengar keterangannya.
"Ketika Tong Ku Lu menyatroni ruang baca, bukankah dia sudah diusir oleh dua gadis bertopeng? Mengapa dia bisa kembali lagi dan malah menuju ke bagian belakang bukit di mana Tian Bu Cu Locianpwe menutup diri?"
Sekali lagi Yibun Siu San mengeluarkan suara dengusan berat dari hidungnya.
"Kalau Tong Ku Lu sempat datang lebih awal sedikit saja, mana mungkin Ciong San Suang Siu bisa bertahan lebih dari lima puluh jurus? Untung sebelum aku datang memberi bantuan, Lok Lo Pangcu sudah sampai terlebih dahulu dan menahan Kaucu Pek Kut Kau. Dengan demikian Tian Bu Cu Locianpwe serta Liang Fu Yong yang menutup diri di dalam goa tidak sampai mengalami peristiwa yang membahayakan."
Tan Ki seperti teringat akan sesuatu hal, tiba-tiba saja dia bertanya.
"Siapa perempuan yang satunya lagi?"
Yibun Siu San menggelengkan kepalanya.
"Tidak tahu. Dia juga sama seperti aku ini, mengenakan cadar untuk menutupi wajahnya. Dengan demikian wajah aslinya jadi tidak kelihatan. Sejak awal hingga akhir dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun dari bentuk badannya dapat diduga bahwa perempuan ini usianya masih muda sekali."
Mulut Tan Ki mengeluarkan suara oh yang panjang.
Biji matanya mengerling ke sana ke mari.
Sepertinya ada suatu hal yang sedang ia pertimbangkan dalam hatinya.
Kelima jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya.
Matanya terpejam dan merenung beberapa saat, tetapi dia tidak bersuara sedikitpun.
Telinganya kembali mendengar suara Yibun Siu San yang berbicara dengan perlahan-lahan.
"Meskipun usia gadis ini masih muda, tetapi tampaknya dia justru yang menjadi pimpinan orang-orang ini. Dia yang menurunkan perintah dan juga sangat licik. Ciong San Suang Siu kedua-duanya terluka di tangan gadis ini. La-gipula gadis itu sepertinya memahami sekali seluk beluk daerah di belakang bukit, begitu sampai dia langsung menuju goa di mana Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri"
Kata-kata yang diucapkannya seperti ditujukan kepada Tan Ki, juga merupakan peringatan kepada orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut.
Setiap patah kata diucapkannya dengan berat dan lambat sehingga menimbulkan peraaan tidak tenang di hati mereka.
Begitu mata dipejamkan, yang terbayang di pelupuk mata justru diri seorang gadis bercadar yang samar-samar seakan berkelebat ke sana ke mari Tiba-tiba si pengemis sakti Cian Gong menepuk meja di hadapannya dan tertawa terbahak-bahak.
"Ditilik dari kata-kata si tua Yibun Siu San tadi, tampaknya dia ingin memperingatkan bahwa di antara kita terdapat seorang mata-mata. Kalau tidak, pihak Lam Hay maupun Si Yu tidak mungkin secara kebetulan atau begitu cepat menemukan goa di belakang bukit. Apabila kita renungkan secara seksama, tampaknya serangan Lam Hay dan Si Yu yang Secara mendadak tadi seolah ingin memamerkan kekuatan dan mengacaukan keadaan kita. Tetapi sebetulnya tujuan utama mereka adalah jiwa Tian Bu Cu. Kalau serangan ini sampai berhasil dan si hidung kerbau itu mati di puncak bukit Tok Liong Hong, akibatnya tentu dapat dibayangkan. Sudah pasti mereka akan menggunakan cara yang licik dengan menyebarkan berita di luaran bahwa si hidung kerbau mati karena ulah kita. Dengan demikian, meskipun kita mempunyai seribu lidah ataupun alasan, pihak lima partai besar belum tentu mau mengerti. Akhirnya pasti timbul bentrokan antara pihak kita dengan para partai besar. Kemungkinan malah bisa timbul pertumpahan darah yang hebat. Sedangkan saat itu mereka tinggal berdiri di samping menyaksikan keramaian dan kemudian memungut hasilnya."
Mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong, orang-orang gagah langsung mengeluarkan suara seruan terkejut.
Mereka bagai tersentak dari mimpi dan wajah masing-masing menyiratkan perasaan gusar yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
Memang dari pihak lima partai besar, kali ini yang memberikan bantuan hanya Tian Bu Cu seorang.
Apabila sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri orangtua itu, akibatnya kemarahan pihak lima partai besar pasti terbangkit.
Cian Cong mengangkat hiolo araknya dan meneguk dua tegukan besar.
Matanya yang bersinar tajam menyapu ke sekeliling sekilas.
Perlahan-lahan dia berkata lagi.
"Sebentar lagi hari sudah pagi, saudara sekalian sudah letih berkutat sepanjang malam. Untuk sementara persoalan ini tidak usah terlalu dipikirkan. Biar kita selidiki perlahanlahan, suatu hari nanti urusan ini pasti bisa mendapat penjelasan yang memuaskan dan mata-mata tersebut pasti ketahuan siapa orangnya. Dengan demikian kita bisa membalaskan dendam untuk para sahabat yang gugur hari ini. Setelah sarapan pagi nanti, pemilihan Bulim Bengcu akan dimulai kembali. Sekarang harap saudara-saudara sekalian dapat mempergunakan waktu yang singkat ini untuk beristirahat sebaik-baiknya sehingga dapat hadir dalam pertandingan final nanti."
Selesai berkata, dia segera berjalan keluar mendahului yang lain.
Langkah kakinya ringan sekali, dalam sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata.
Tamutamu yang lainnya mulai bangkit dari tempat duduk masing-masing, dengan berbondongbondong mereka keluar dari ruangan tersebut.
Dalam waktu yang singkat, di dalam ruangan itu hanya tinggal Yibun Siu San, Lok Hong, Tan Ki dan istri yang baru dinikahinya, Liu Mei Ling, berempat.
Tampak Yibun Siu San memejamkan matanya, mendengarkan dengan seksama.
Setelah yakin orang-orang gagah lainnya sudah keluar dari ruangan tersebut, dia baru berkata dengan nada suara berat.
"Anak Ki, kau pernah mengatakan kepadaku bahwa di antara pihak kita telah diselusupi mata-mata dari Lam Hay dan Si Yu. Hal ini membuktikan bahwa sejak semula kau sudah tahu siapa adanya orang ini. Sekarang di dalam ruangan ini hanya tinggal aku dan Lok Locianpwe, beliau bukan orang luar bagi kita, kau boleh mengatakannya terus terang dan tidak perlu ditutupi lagi."
Mendengar kata-katanya, untuk sesaat Tan Ki tertegun.
Kemudian dia menolehkan kepalanya kepada Mei Ling.
Tampak sepasang mata istrinya itu juga menyiratkan perasaan ingin tahu yang dalam.
Dia sedang menatap Tan Ki lekat-lekat dengan bibir menyunggingkan senyuman, seolah perasaannya langsung menjadi tenteram asal berada dekat suaminya itu.
Mungkin apabila ada yang mengatakan gunung Thai San akan roboh, dia juga tidak merasa gentar.
Tan Ki menarik nafas panjang.
"Ling Moay, sebelum aku mengatakan siapa adanya orang ini, aku harap kau menjaga perasaanmu agar jangan sampai terkejut"
Mei Ling menanggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Tan Ki berpikir sejenak sebelum berkata.
"Orang ini belum lama kukenal"
Lok Hong tampaknya kurang sabar mendengar ucapan Tan Ki. Wajahnya agak berubah. Dia segera menukas.
"Mengapa sih kau ini suka bertele-tele? Bicara nama seseorang saja pakai putar-putar segala. Lohu tidak perduli bagaimana kau bisa mengenal orang ini, asal kau katakan saja secara terus terang siapa orangnya. Coba apakah orang yang kau sebutkan sama dengan orang yang kucurigai dalam hati? Segala macam tetek bengek lebih baik dihilangkan saja!"
Tan Ki jadi tertegun mendengar kata-katanya yang ketus.
Diam-diam dia berpikir di dalam hati.
Perasaan hati orangtua ini maunya tergesa-gesa, padahal orang yang ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya seharusnya justru bersabar.
Dia malah mendesak orang sedemikian rupa.
Hm! Aku, Tan Ki, toh bukan orang yang takut menghadapi urusan apapun. Meskipun dia menggerutu dalam hati, di luarnya dia tidak berani menunjukkan perasaan kurang senangnya.
"Kalau Locianpwe berkata begitu, Boanpwe terpaksa mengatakannya secara langsung saja. Orang yang Boanpwe curigai sebagai mata-mata adalah bekas budak keluarga Liu yang bernama Cen Kiau Hun!"
Sepasang alis Lok Hong langsung terjungkit ke atas mendengar keterangannya.
"Lohu pernah mendengar berita bahwa si raja iblis Oey Kang sudah bergabung dengan pihak Lam Hay. Oleh karena itu di dalam hati Lohu selalu menduga bahwa mata-mata yang menyelusup ke pihak kita kali ini pasti putra angkatnya Oey Ku Kiong. Orang ini sangat mencurigakan. Belakangan ini dia malah seakan berpihak kepada kita. Sekarang tiba-tiba kau mengatakan mata-mata itu justru bekas budak keluarga Liu, Kiau Hun. Entah bukti apa yang sudah tergenggam dalam tanganmu sehingga kau berani mengatakan bahwa dialah mata-mata yang dimaksud?"
Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Bukti sih belum ada. Tetapi Boanpwe pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa dia mewakili pihak Lam Hay Bun seorang diri mengadakan pertemuan di sebuah kuil tua. Sedangkan tujuannya saat itu adalah mengadakan perundingan tentang persoalan penting dengan adik seperguruan Kaucu Pek Kut Kau. Sayangnya Locianpwe tadi buru-buru menukas perkataan Boanpwe sehingga banyak kata-kata yang sebetulnya ingin dijelaskan jadi terlupa. Kalau tidak, tanpa perlu Locianpwe menanyakan pun, Boanpwe bisa menerangkan semuanya sampai jelas."
Mata Lok Hong mendelik lebar-lebar mendengar ucapannya. Tampaknya orangtua itu mulai merasa marah.
"Sepertinya engkau ini memang sengaja ingin mencari gara-gara dengan Lohu?"
Tan Ki tertawa lebar.
"Tidak berani, tidak berani! Locianpwe merupakan seorang pimpinan di daerah Sai Pak. Nama Locianpwe sudah terkenal di mana-mana dan semua orang mengetahui jiwamu yang gagah. Sedangkan Boanpwe hanya seorang Bu Beng Siau-cut, bukan ilmunya saja yang masih rendah, pengetahuan pun cetek sekali. Diri Boanpwe sendiri menyadari bahwa sinar kunang-kunang tidak mungkin lebih terang dari cahaya rembulan. Locianpwe sekalisekali jangan salah paham terhadap ucapan Boanpwe."
Mendengar kata-katanya, mata Lok Hong menyorotkan sinar yang tajam menusuk. Tiba-tiba dia menggebrak meja keras-keras, kemudian bangkit dari tempat duduknya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kata-kata yang kau ucapkan semakin lama semakin kentara bahwa kau memang sengaja mencari perkara dengan Lohu!"
Suara tawanya mengandung keangkuhan yang tidak terkirakan, namun begitu kerasnya sehingga mirip geledek yang bergemuruh, Mei Ling sampai merasa jantungnya bergetar dan cepat-cepat menutup kedua telinganya erat-erat.
Yibun Siu San melihat sikap keduanya secara bergantian.
Yang satu matanya menyorotkan sinar dingin seakan ingin melampiaskan penghinaan yang diterimanya selama sebulan belakangan ini, sedangkan rambut si orangtua sampai berjingkrakan ke atas menandakan kemarahan hatinya.
Dia juga melihat Lok Hong secara diam-diam telah mengerahkan tenaga dalamnya seperti siap melancarkan serangan.
Suasana saat itu terasa pengap dan menegangkan.
Cepat-cepat dia membuka mulut membentak Tan Ki.
"Anak Ki tidak boleh kurang ajar. Biar bagaimana Lok Locianpwe merupakan Pangcu dari sebuah perkumpulan besar. Baik nama besar maupun kedudukannya jauh lebih tinggi daripadamu, mana boleh kau sembarangan mengoceh di hadapannya? Malam ini kita mendapat banyak bantuan darinya. Berterima kasih saja belum, kau sudah berani berkatakata yang tidak enak didengar di hadapanku! Tenaga dalam Lok Locianpwe sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Asal dia turun tangan, jangan harap selembar nyawamu masih dapat dipertahankan. Cepat minta maaf kepada dia orangtua, apakah kau benarbenar sudah tidak menyayangkan jiwamu sendiri?"
Tan Ki malah tersenyum simpul mendengar omelannya.
"Apa yang dikatakan keponakanmu ini setiap patahnya merupakan kata-kata yang sebenarnya, sama sekali bukan ocehan yang tidak benar bukan?"
Begitu kesalnya Lok Hong sehingga dia menggebrak meja di hadapannya keras-keras.
Saat itu juga terdengar suara yang menggelegar, cawan teh di atas meja pecah berhamburan, air teh yang di dalamnya pun muncrat ke mana-mana.
Tan Ki masih tetap tersenyum.
"Locianpwe merupakan seorang pimpinan di daerah tertentu, tidak usah pura-pura marah. Boanpwe hanya ingin mengingatkan sedikit. Seandainya aku sanggup meraih kedudukan Bulim Bengcu, entah janji yang pernah Locianpwe ucapkan masih terhitung atau tidak?"
Wajah Lok Hong merah padam, sepasang matanya bagai mengandung kobaran api yang membara.
"Memangnya kau kira siapa diri Lohu ini? Mana mungkin aku menghilangkan rasa percaya kepada seorang angkatan muda? Tapi kau juga harus ingat baik-baik! Apabila kau tidak sanggup merebut kedudukan Bulim Bengcu, sepasang telapak besi Lohu ini tidak akan melepaskan orang yang mencuri ilmu leluhur kami begitu saja!"
Mendengar kata-katanya, Tan Ki langsung berdiri sambil tertawa panjang.
"Baiklah, kita tentukan demikian saja. Sesudah sarapan nanti, kita bertemu lagi di arena pertandingan!"
Selesai berkata, dia langsung mengajak Mei Ling meninggalkan tempat pertemuan tersebut.
Telinganya menangkap suara dengusan dingin sebanyak dua kali, tetapi dia tidak memperdulikan sama sekali.
Kemungkinan, ketika Tan Ki memejamkan matanya merenung tadi, dia telah mempunyai keyakinan atas dirinya sendiri dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu.
Sedangkan barusan tanpa sadar dia seakan telah menyatakan isi hatinya.
Baru saja Tan Ki dan Mei Ling meninggalkan tempat itu, tampak dua sosok bayangan berkelebat masuk ke dalam ruangan pertemuan.
Rupanya yang datang adalah Ceng Lam Hong beserta Lok Ing berdua.
Entah apa sebabnya, sikap Lok Ing yang keras kepala dan tidak tahu aturan sama sekali tidak terlihat lagi.
Tampak wajahnya yang cantik selalu mengembangkan senyuman yang lembut.
Saat itu sambil berjalan dia berkata kepada Ceng Lam Hong.
"Pek Bo, kau lihat sendiri sikap Tan Koko kepada kakekku kurang ajar sekali, sungguh menyebalkan. Tetapi Pek Bo hanya memperhatikan tanpa mengatakan apa-apa. Seharusnya kau orangtua mengajar adat sedikit kepadanya."
Ceng Lam Hong tersenyum simpul.
"Anak baik, kau tidak perlu khawatir. Pek Bo pasti mengikuti kemauan hatimu, pokoknya sampai hatimu puas. Tetapi sekarang masih belum tepat waktunya, asal kau sabar saja dulu sedikit."
Ucapannya itu mengandung dua makna, nada suaranya tenang dan terselip sesuatu hal yang lainnya.
Wajah Lok Ing jadi merah padam.
Cepat-cepat dia menghambur ke belakang Lok Hong.
Begitu pandangan mata dialihkan, tampak mata Yibun Siu San maupun Lok Hong terpejam rapat-rapat.
Mereka duduk di atas kursi berbentuk singa dan tidak mengucapkan sepa-tah katapun.
Hatinya menjadi berdebar-debar.
Entah apa yang terjadi pada diri kedua orang ini.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAGIAN XLVI Ceng Lam Hong segera menghampirinya.
"Kedua orang itu sedang menghimpun hawa murni dalam tubuh agar keletihan dapat dihilangkan secepatnya. Sepanjang malam mereka sudah banyak mengeluarkan tenaga, jangan bersuara, nanti mereka terkejut."
Katanya lirih.
Lok Ing menghembuskan nafas panjang-panjang.
Cepat-cepat dia mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.
Tadi dia sempat panik karena mengira telah terjadi sesuatu pada diri kakeknya dan Yibun Siu San.
Lewat keterangan Ceng Lam Hong, perasaannya jadi tenang kembali.
Bibirnya tersenyum.
"Tit-li (keponakan) juga menduga demikian.
Pek Bo, duduk saja di sini."
Dia langsung menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Ceng Lam Hong duduk.
Dia sendiri menemani duduk di sebelah kirinya kemudian memejamkan mata beristirahat.
Perlu diketahui bahwa seseorang yang mempelajari ilmu silat dapat bertahan tidak tidur meskipun tiga hari tiga malam lamanya.
Apabila dalam pertarungan terkena luka dalam atau bagian luar yang terluka, asalkan mengerahkan hawa murni dalam tubuh lalu beristirahat sejenak, maka keadaannya bisa segera pulih kembali.
Yibun Siu San dan Lok Hong adalah tokoh-tokoh Bulim yang memiliki kepandaian tinggi.
Tenaga dalam mereka juga sudah mencapai taraf yang hebat, tetapi kali ini mereka sampai memerlukan waktu dua kentungan untuk memejamkan mata beristirahat.
Setelah itu tampak keduanya membuka mata dan kesehatan sudah pulih seperti sedia kala.
Hal ini membuktikan bahwa pertarungan tadi malam cukup banyak menguras hawa murni dalam tubuh mereka.
Sementara itu, terdengar suara langkah kaki mendatangi.
Mereka segera menolehkan kepalanya.
Tampak si pengemis cilik Cu Cia beserta Sam Po Hwesio berjalan masuk dengan berendengan.
Melihat kehadiran kedua orang itu, Yibun Siu San langsung bertanya.
"Apakah semuanya telah disiapkan?"
"Suhu si tukang minta-minta sudah membereskan arena pertandingan sampai rapi serta siap dipakai. Para pendekar tingkat delapan, kecuali Heng Sang Si dan empat rekan lainnya yang meninggal beserta delapan orang pendekar pedang tingkat enam, semuanya sudah berkumpul di arena pertandingan. Asal Susiok serta Lok Locianpwe sudah hadir, rasanya pemilihan Bulim Bengcu sudah bisa dimulai."
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali.
Sejenak kemudian tampak dia berdiri dari kursinya kemudian mengajak Lok Hong menuju arena pertandingan.
Ceng Lam Hong dan Lok Ing berjalan lemah gemulai mengikuti di belakang mereka.
Paling akhir mengiringi si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio, tetapi sepasang mata kedua orang ini terus mengerling ke sana ke mari.
Diam-diam mereka merasa heran mengapa sampai saat ini masih belum terlihat bayangan Tan Ki dan istrinya.
Dalam waktu singkat keenam orang itu sudah sampai di ruangan pertandingan.
Kerumunan manusia bergerak-gerak, angin pagi menghembus membawa kesegaran.
Pakaian yang berwarna-warni pun melambai-lambai seperti bendera yang berkibaran.
Mereka mengambil jalan mengitar.
Di tengah-tengah arena bagian atas tampak duduk si pengemis sakti Cian Cong.
Orangtua itu sedang menggerogoti paha ayam sambil sekalisekali meneguk arak dari hiolonya.
Wajah Cian Cong sudah merah padam, matanya terlihat sayu sehingga kentara jelas bahwa orangtua itu sudah mulai mabuk.
Kemungkinan sebelum menuju ke tempat tersebut dia sudah minum arak dalam jumlah yang banyak.
Orangtua ini memang mempunyai kebiasaan yang aneh, belum pernah dia minum air putih atau air teh.
Biar makanpun yang diminumnya tetap arak.
Setiap minum pasti mabuk.
Oleh karena itu dari tubuhnya tidak sedetikpun tidak terpancar bau arak yang menusuk.
Sedangkan pikirannya semakin terang kalau sudah mabuk.
Saat ini dia duduk di bagian atas dengan sepasang mata mengedar ke sana ke mari.
Tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun.
Yibun Siu San mengulapkan tangannya mempersilahkan Lok Hong duduk di bagian kanan.
Dia sendiri tanpa sungkan lagi duduk di tengah-tengah.
Ceng Lam Hong dan si pengemis cilik Cu Cia berdiri di belakang mereka.
Di seluruh arena yang luas itu tidak terdengar sedikit suarapun.
Suasana demikian serius seakan mereka sedang menantikan berlangsungnya pertandingan dengan hati tegang.
Yibun Siu San duduk di tempatnya sambil mengedarkan sepasang matanya yang tajam.
Dia memperhatikan sekelilingnya dengan seksama.
Sekonyong-konyong tampak sepasang alisnya menjungkit ke atas.
Dia menolehkan kepalanya kepada Cian Cong.
"Mengapa anak Ki masih belum hadir juga? "Si pengemis tua kan bukan inang pengasuhnya, bagaimana bisa tahu mengapa dia masih belum datang juga? Tetapi Hek Lohan si Hwesio cilik dan Yang Jen Ping melihat dia berjalan sambil bercakap-cakap dengan istrinya. Entah apa yang mereka kasak-kusukkan. Meskipun mereka melihat, tetapi kan tidak enak rasanya mengganggu sepasang pengantin baru yang sedang memadu kasih?"
Yibun Siu San jadi tertegun mendengar kata-katanya.
"Arah mana yang mereka ambil?"
Tanyanya kembali. Cian Cong merenung sejenak.
"Kemungkinan ke bagian belakang bukit. Sam Po Hwesio mengatakan bahwa si setan cilik itu mungkin mengkhawatirkan keadaan Liang Fu Yong. Semalam mereka sudah terlibat berbagai pertarungan, sedangkan dia masih belum mendapat bukti yang nyata bagaimana keadaan mereka yang sedang menutup diri."
Wajah Yibun Siu San tampak kelam sekali.
"Pertandingan sudah hampir dimulai, dia toh sudah pergi cukup lama, kan seharusnya sudah kembali. Apakah dia tidak tahu setelah lewat pagi ini, berarti dia tidak mempunyai kesempatan lagi ikut dalam perebutan Bulim Bengcu?"
Mendengar nada bicaranya, tampaknya Yibun Siu San mengkhawatirkan keadaan Tan Ki dan perhatiannya terhadap anak muda itu juga besar sekali. Cian Cong tertawa lebar.
"Si pengemis tua dengan dirimu tiada bedanya. Kita semua mengharapkan si setan cilik itu dapat melewati tiga macam ujian dalam pertandingan ini dan sanggup menghadapi lawan yang lain agar kedudukan Bulim Bengcu berhasil diraihnya tanpa susah payah. Tetapi kita justru tidak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki bocah ini. Waktu pertandingan sudah hampir dimulai, dia malah tidak muncul. Sedangkan seratus lebih tokoh Bulim sudah berkumpul di sini menantikan jalannya pertandingan. Kita toh tidak mungkin menunda waktu lebih lama hanya karena urusan pribadi. Sekarang sebaiknya kita mulai saja acara ini sambil mengutus orang untuk mencari si setan cilik itu."
Yibun Siu San menarik nafas panjang.
"Aku justru khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya, padahal tidak ada orang yang dapat disuruhnya mencari bantuan."
Sambil berkata, dia menggapaikan tangannya kepada si pengemis cilik Cu Cia, juga Hek Lohan Sam Po Hwesio.
Dia berbisik kepada mereka dengan suara lirih kemudian baru berdiri dengan perlahan-lahan.
Dengan suara keras dia mengumumkan bahwa pertandingan final perebutan Bulim Bengcu tersebut segera di mulai.
Di antara delapan orang jago yang diandalkan, Liu Seng tidak berminat mencari nama sehingga mengundurkan diri.
Sedangkan Kok Hua Hong baru sembuh dari luka yang parah, untuk sementara tenaganya tidak boleh terkuras.
Ciong San Suang Siu sedang menjaga goa di mana Tian Bu Cu sedang menutup diri menurunkan ilmu kepada Liang Fu Yong.
Tugas mereka bukan saja berat, namun tanggung jawabnya pun tinggi sekali.
Dengan demikian mereka juga tidak dapat turut dalam pertandingan tersebut.
Oleh karena itu, dari antara pendekar pedang tingkat delapan, yang tersisa hanya Goan Yu Liong beserta tiga orang lainnya.
Lihat siapa diantara mereka yang berhak menjabat kedudukan sebagai Bulim Bengcu.
Begitu pertandingan dimulai, empat orang pendekar pedang tingkat delapan itu langsung dibagi menjadi dua kelompok dan segera melangsungkan pertarungan sengit.
Masing-masing mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenangkan pertarungan.
Untuk sementara kita kembali kepada si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio yang ditugaskan oleh Yibun Siu San untuk mencari Tan Ki.
Kedua orang itu tidak menunda waktu lagi, mereka segera meninggalkan arena pertandingan dan lari dengan cepat.
Gerakan tubuh mereka bagai awan yang berarak.
Yang tertangkap oleh pandangan mata mereka hanya pepohonan dan rerumputan yang tinggi.
Semakin jauh mereka berlari, jalanan yang dilewati pun semakin sulit ditempuh.
Ranting-ranting pohon serta batu-batu besar kecil menghalangi jalan.
Kerikil-kerikil tajam juga berserakan di mana-mana sehingga menimbulkan perasan tidak enak dalam hati.
Pikiran Cu Cia sedang ruwet, dia tidak memperdulikan jalanan yang banyak liku-likunya itu.
Sepanjang perjalanan dia terus berlari secepat kilat.
Dalam sekejap mata dia sudah mencapai jarak setengah li.
Setelah melewati sebuah lekukan, tiba-tiba dia melihat ada jurang yang dalam sehingga jalanan menjadi buntu.
Bagian kiri terdapat pepohonan siong yang lebat, dedaunannya juga rimbun sekali.
Sedangkan di bagian kanan persis bersebelahan dengan jurang terdapat sebuah goa alami namun sudah dibersihkan oleh beberapa orang gagah atas perintah Yibun Siu San.
Suasana di sekitar begitu tenang sehingga menimbulkan perasaan tenteram.
Memang sebuah tempat yang cocok sekali apabila digunakan untuk menutup diri berlatih ilmu.
Seiring tiupan angin yang lembut, tampak rumput-rumput melambai-lambai.
Pinto goa yang entah seberapa tebalnya justru tertutup rapat-rapat.
Keadaan di sekeliling pun sunyi senyap tanpa terlihat bayangan seorangpun.
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul.
Dia menunjuk ke arah pintu goa sambil berkata.
"Apakah goa ini yang digunakan Tian Bu Cu Locianpwe untuk menutup diri?"
Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya menyiratkan perasaannya yang sedang kebingungan.
"Memang goa ini yang dimaksud, tetapi entah ke mana perginya Ciong San Suang Siu yang bertugas menjaga di sini?"
Mendengar kata-katanya, Sam Po Hwesio jadi termangu-mangu. Matanya mengedar ke sekeliling tempat itu.
"Rasanya sedikit aneh. Tukang minta-minta, biasanya kau paling banyak akal bulus. Apakah kau bisa menebak apa sebetulnya yang telah terjadi?"
"Si pengemis cilik kan bukan setan penjaga lembah ini, juga bukan tukang ramal. Tanpa hujan tanpa angin menghadapi urusan seperti ini, mana bisa aku menduga sembarangan saja. Asal mulanya bagaimana saja aku tidak tahu, rasanya."
Tiba-tiba dia seperti menemukan sesuatu.
Kata-katanya terhenti seketika.
Sepasang matanya menatap ke depan lekat-lekat.
Sikapnya serius dan waspada.
Sam Po Hwesio tahu sikap rekannya ini sehari-harinya bebas tanpa banyak pemikiran apa-apa.
Sepanjang hari selalu tertawa lebar.
Sebelumnya dia tidak pernah melihat tampang si pengemis cilik seperti sekarang ini, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi termangudari dalam goa.
Cu Cia jadi termangu-mangu beberapa saat.
Kemudian terdengar dia berkata kembali "Apakah wajah saudara ini dipenuhi dengan bekas cacar atau lidah saudara yang telah dipotong oleh mertua, sehingga tidak berani menemui orang dan bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun? Si pengemis cilik berkelana di dunia Kangouw, bukan baru dua tiga tahun ini, tetapi belum pernah menemui manusia yang menyembunyikan kepala memperlihatkan ekor seperti dirimu ini.
Apabila saudara mempunyai kepala dan wajah, ada she serta nama, seharusnya tidak perlu menyembunyikan diri di tempat gelap seperti setan gentayangan.
Meskipun selembar nyawa si tukang minta-minta ini tidak seberapa nilainya, namun hanya mati di tangan seorang pendekar sejati baru merasa puas!"
Si pengemis cilik mengira kata-katanya yang keras dan tajam ini pasti bisa menimbulkan kemarahan orang yang bersembunyi itu sehingga mengunjukkan diri.
Paling tidak dia akan membuka suara memberikan sahutan.
Dengan demikian tidak sulit baginya untuk menentukan bagian mana orang itu menyembunyikan dirinya.
Setelah itu urusan timenjaga segala kemungkinan, sekonyong-konyong dia merasa ada serangkum angin yang menerpa dari depan.
Keadaan di dalam goa itu begitu gelap sehingga kelima jari tangan sendiripun tidak terlihat.
Meskipun pandangan mata Cu Cia lebih tajam daripada orang biasa, dalam keadaan seperti ini dia tidak dapat melihat senjata rahasia apa yang sedang meluncur ke arahnya.
Hatinya menjadi tercekat, mulutnya mengeluarkan suara teriakan keras.
"Ada senjata rahasia!"
Sepasang lengannya direntangkan ke depan, seiring dengan suara teriakannya, tubuh si pengemis cilik pun mencelat ke samping dengan gerakan secepat kilat.
Tanpa menunda waktu dia pun meloncat mundur ke belakang tiga langkah.
Terdengar suara benturan logam dan batu, Cu Cia tahu senjata rahasia itu sudah mengenai dinding goa di sampingnya.
Suaranya saja sampai bergema ke seluruh goa dan kumandangnya seperti sahut menyahut.
Cu Cia merasa marah sekali terhadap bo-kongan itu.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang menimpukkan senjata rahasia? Kalau sahabat dari dunia Bulim seharusnya memberi peringatan terlebih dahulu!"
Untuk sekian lama tetap tidak ada sahutan sumbernya dari bahwa tanah, suaranya sendiri gemuruh memekakkan telinga.
Kurang lebih setengah menit kemudian sepasang pintu yang tadinya tertutup rapat mulai membuka.
Si pengemis cilik Cu Cia merentangkan pedang pendeknya di depan dada kemudian mendahului Sam Po Hwesio menerjang ke dalam.
Dengan bantuan cahaya matahari yang sedang bersinar terang, dia mengedarkan pandangannya.
Tampak tinggi goa itu mencapai satu depa setengah.
Keadaan di dalamnya luas sekali.
Tetapi karena lama sekali tidak pernah dimanfaatkan, maka di dalamnya masih terasa ada hawa yang lembab.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar, rupanya sepasang pintu goa yang tadi telah terbuka sekarang merapat kembali.
Kalau waktu membukanya agak lama, tutupnya justru cepat sekali.
Otomatis ruangan goa tersebut kehilangan penerangan dan menjadi gelap gulita.
Sam Po Hwesio meleletkan lidahnya sambil tertawa lebar.
"Amit-amit! Kalau saja si hwesio cilik terlambat masuk satu detik saja, tubuh ini pasti tergencet pintu yang tebal ini dan bisa-bisa gepeng seperti perkedel!"
Si pengemis cilik mengerutkan sepasang alisnya, dia berkata dengan suara lirih.
"Jangan banyak bicara! Menurut pandangan si pengemis cilik, di dalam goa pasti bersembunyi seorang tokoh yang berbahaya. Keadaan sekarang tidak menguntungkan bagi kita, apalagi si pengemis cilik masih belum menemukan seorang tukang minta-minta perempuan yang dapat dijadikan isteri, dengan demikian ketu-runanpun belum ada. Siapa yang ingin mati konyol di tempat ini?"
Mulutnya berkata, langkahnya mulai bergerak.
Perlahan-lahan dia berjalan masuk ke dalam goa.
Sam Po Hwesio melepaskan tasbeh yang mengalungi lehernya.
Digenggamnya erat-erat tasbeh itu di tangan.
Dia mengikuti belakang Cu Cia dengan ketat seakan takut ketinggalan oleh sahabat karibnya itu.
Berduaan mereka masuk ke dalam goa dengan hatihati.
Selangkah demi selangkah mereka bertindak.
Setelah berjalan kurang lebih tiga puluh depaan, mereka mulai merasa tanah yang diinjak menjadi kasar dan penuh dengan batubatu kecil.
Semakin lama semakin sulit ditempuh.
Baru saja dia ingin mengingatkan Sam Po Hwesio agar mengerahkan tenaga dalamnya goa ini tanpa sebab musabab yang pasti!"
Sam Po Hwesio merenung beberapa saat.
Dia merasa apa yang dikatakan si pengemis cilik Cu Cia memang beralasan.
Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya.
Setelah yakin tidak ada hal yang mencurigakan, tubuhnya langsung berkelebat ke depan goa dan memeriksa keadaan di sana dengan teliti.
Sejenak kemudian terdengar suara teriakan Sam Po Hwesio.
"Apa yang diduga oleh si tukang minta-minta ternyata sedikitpun tidak salah. Di tempat ini terdapat banyak jejak kaki. Rumput-rumputan terkulai karena bekas injakan. Tampaknya malah telah terjadi pertarungan yang sengit, sehingga banyak bekasnya yang serabutan. Sedangkan bekas jejak kaki ada yang dalamnya sampai tiga senti, lagipula satu di antaranya kecil sekali. Tidak salah lagi jejak kaki seorang perempuan"
Si pengemis cilik tidak mengucapkan sepa-tah katapun.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan goa, tangannya mengulur ke depan dan menekan suatu benda yang bentuknya bulat kecil.
Dalam waktu yang bersamaan, tangan kanannya langsung mengeluarkan sebatang pedang pendek berukuran tiga mistar.
Terdengar suara rantai berderak-derak, mangu untuk beberapa saat.
"Apakah kau menemukan sesuatu?"
Tangan si pengemis cilik menunjuk ke arah goa batu.
"Hek Lohan, coba kau perhatikan. Di depan batu goa itu ada tiga batang senjata rahasia, entah siapa yang menjatuhkannya di sana. Juga terdapat sepasang golok. Rasanya telah terjadi sesuatu belum lama ini. Kalau jatuhnya tadi malam, setelah terkena embun pagi, cahayanya pasti tidak demikian berkilau lagi. Di rerumputan bagian timur juga terdapat beberapa senjata rahasia, juga secarik koyakan baju berwarna abu-abu. Aku masih ingat dengan jelas bahwa Yi Siu Locianpwe mengenakan pakaian dari,bahan yang persis dan warnanya pun sama pula!"
Hati Sam Po Hwesio tergetar mendengarnya.
"Maksudmu di depan goa ini telah terjadi suatu peristiwa pagi ini?"
Cu Cia menganggukkan kepalanya berkahkah.
"Secara kasarnya memang demikian. Kalau tidak, Ciong San Suang Siu Locianpwe yang sudah tahu tugas serta tanggung jawabnya sangat berat, tidak mungkin meninggalkan dak begitu sulit lagi diselesaikan. Kalau tidak, posisi dirinya sungguh tidak menguntungkan. Musuh di tempat gelap, sedangkan dirinya di tempat terang. Setiap gerak-geriknya dapat diketahui oleh lawan sehingga dia kehilangan peluang melakukan penyerangan. Orang bodoh juga mengerti bahwa kedudukannya sekarang sudah kalah set. Oleh karena itu, selesai berkata dia segera mempertajam indera pendengarannya dan mendengarkan dengan seksama. Dalam keadaan seperti ini, walaupun sebatang jarum jatuh di atas tanah pada jarak sepuluh depa, pasti masih dapat terdengar jelas olehnya. Siapa nyana setelah mendengarkan beberapa saat tetap saja tidak ada suara sedikitpun. Akhirnya hawa amarah dalam dada si pengemis cilik jadi meluap. Dia berteriak dengan suara keras.
"Hei, kalau kau masih tidak mengunjukkan diri juga, si pengemis cilik akan memaki-maki delapan keturunan dari nenek moyangmu!"
Baru saja ucapannya selesai, tampaknya pihak lawan sudah mulai kehabisan perasaan sabarnya.
Tiba-tiba terdengar suara angin berdesir, tiga batang senjata rahasia meluncur ke arahnya secepat kilat.
Cu Cia mengeluarkan suara dengusan berat satu kali.
Lengan kanannya bergerak dan tenaga dalam langsung terpancar keluar.
Begitu ketiga batang senjata rahasia itu agak mendekat, sekonyong-konyong Cu Cia mengibaskan tangannya dengan jurus Angin Menangkap Bayangan.
Tampak pedangnya berkilauan dan menimbulkan bayangan seperti bunga-bunga yang menerjang ke atas.
Terdengar suara berdentang beberapa kali berturut-turut.
Tiga batang senjata rahasia tersampok jatuh di atas tanah oleh pedang si pengemis cilik.
Pendengaran si pengemis cilik Cu Cia sangat tajam, apalagi sejak semula dia memang sudah memusatkan seluruh perhatiannya.
Ketika telinganya mendengarkan dengan seksama, dia segera dapat menduga dari mana ketiga batang senjata rahasia itu dilemparkan.
Tempatnya kurang lebih dua belas langkah di sebelah kiri.
Dengan demikian dia segera tertawa terbahak-bahak.
"Si pengemis cilik juga mempunyai sedikit hadiah untukmu, sambutlah!"
Tangan kirinya mengibas, dua butir batu kecil melayang ke depan.
Rupanya ketika berbicara tadi, secara diamdiam dia sudah menyediakan dua butir batu dalam genggaman tangannya.
Kedua butir batu tersebut melayang secepat kilat karena dilemparkan dengan tenaga dalam yang kuat.
Terdengar suara desiran pakaian yang sekejap mata sirap kembali.
Kemudian terdengar suara.
Plok! Plok! Dua kali dari jarak kurang lebih satu depaan.
Kedua butir batu itu mengenai dinding goa sehingga menimbulkan gema yang berkumandang di seluruh goa.
Tentu saja orang itu sudah berpindah tempat ketika ia menimpukkan senjata rahasia.
Untuk sesaat Cu Cia jadi termangu-mangu.
Diam-diam dia berpikir di dalam hatinya.
Entah siapa orang ini? Ternyata ilmu meringankan tubuhnya begitu tinggi.
Seandainya dia sengaja menggunakan senjata rahasia mempermainkan aku, jangan harap aku dapat menggeser setengah langkah saja.
Tampaknya kalau begini terus, keadaan Tian Bu Cu Locianpwe semakin lama bisa semakin berbahaya.
Lagipula aku tidak tahu ada berapa jago kelas tinggi yang bersembunyi di dalam goa ini. Pikirannya bekerja cepat bagai kincir angin, setelah berputaran beberapa kali, hati Cu Cia semakin panik.
Matanya menatap ke arah dalam goa dengan termangu-mangu.
Dia sendiri bingung apa yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa Sam Po Hwesio.
"Hidup ada tempatnya, mati ada suratan nasibnya. Bila Giam Lo-ong (Malaikat elmaut) sudah menentukan ingin mengambil jiwa kita berdua di tempat ini, mau lari pun tidak mungkin. Saat sekarang ini yang paling penting justru menolong orang. Kita terpaksa berusaha dengan menempuh bahaya!"
Sambil berkata, tampak tubuhnya yang gemuk berkelabat. Sepasang lengan bajunya menimbulkan desiran angin, dia melesat lewat di samping Cu Cia kemudian menerjang ke depan. Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari dalam goa.
"Berhenti! Kalau kau masih berani maju terus, jangan salahkan apabila aku turun tangan melukaimu!"
Sam Po Hwesio tertawa terbahak-bahak.
"Maaf sekali kalau si Hwesio cilik tidak dapat menuruti permintaanmu!"
Sepasang kakinya dipercepat, dua kali loncatan dia sudah mencapai sembilan langkah lebih.
Cu Cia yang melihat Sam Po Hwesio menerjang ke depan tanpa memperdulikan bahaya langsung mengerutkan sepasang alis karena perbuatan rekannya itu benar-benar ceroboh.
Mudah sekali apabila lawan hendak membokongnya secara tiba-tiba.
Tetapi saat itu sudah terlambat baginya mencegah, terpaksa dia mengerahkan hawa murninya dan mengejar ke depan.
Siapa nyana baru saja dia melesat ke depan, telinganya sudah mendengar suara dengusan berat Sam Po Hwesio.
Orangnya sendiri bagai disengat aliran listrik.
Setelah gemetar sebentar, dia langsung terkulai jatuh di atas tanah.
Si pengemis cilik telah bersahabat karib dengannya cukup lama.
Selama beberapa tahun ini mereka bergembira bersama, apabila ada kedukaan pun dibagi bersama, boleh dibilang mereka berdua seperti orang dengan bayangannya yang tidak pernah berpisah sekejap matapun.
Hubungan mereka demikian erat seperti kelima jari tangan sendiri.
Sam Po Hwesio terkulai di atas tanah, kejadiannya begitu cepat.
Cu Cia tahu dia telah dibokong oleh seseorang.
Saat itu juga perasaan amarah dalam dadanya jadi meluap.
Wajahnya menyiratkan kegusaran yang berbaur dengan rasa sedih.
Dia langsung mengeluarkan suara siulan yang panjang, pedang bambunya mengerahkan jurus Menyerang Delapan Penjuru di Malam Hari.
Timbul berpuluhpuluh bayangan dari pedang bambunya yang digunakan untuk melindungi diri, orangnya sendiri menerjang ke depan dalam waktu yang bersamaan.
Dalam keadaan marah, kecepatan tubuhnya bagai terbang.
Dalam sekejap mata saja dia sudah sampai di tempat Sam Po Hwesio terkulai.
Dari dalam goa panjang dan gelap, kembali berkumandang suara yang dingin tadi.
"Kalau kau ingin mati kan mudah saja!"
Cu Cia menggetarkan lengan kanannya, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan sekonyong-konyong berubah posisi.
Pedangnya menimbulkan suara angin yang menderuderu dan dilancarkannya langsung ke arah sumber suara barusan.
Entah mengapa, tiba-tiba dia merasa bagian pahanya kesemutan, peredaran darah di bagian bawah tubuhnya bagai tersumbat, tenaganya lenyap dan hampir saja dia terkulai jatuh.
Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan dengan keras dia menghentakkan sepasang pundaknya ke belakang, gerakan tubuhnya pun terhenti.
Tetapi untuk beberapa saat dia sempat terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Apabila pada saat itu orang yang bersembunyi dalam goa kembali menimpukkan sebatang senjata rahasia, biarpun ilmu Cu Cia lebih tinggi lagi dari sekarang, tetap saja sulit baginya untuk menghindarkan diri.
Entah apa sebabnya, ternyata orang itu tidak melakukan tindakan apa-apa.
Seluruh ruangan goa yang gelap gulita itu menjadi hening sekali.
Bahkan terasa ada serangkum hawa tegang yang menyelimuti keadaan di dalamnya.
Hal ini membuat perasaan orang semakin tidak tenang.
Ketika Cu Cia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, dia merasa aliran hawa tersebut seakan tersumbat, paha kirinya sulit digerakkan.
Dia langsung tahu bahwa barusan dirinya telah terkena senjata rahasia lawan yang mengandung racun.
Meskipun nyali anak muda ini sangat besar dan selamanya menganggap remeh terhadap kematian, tetapi kali ini hatinya tercekat juga.
Dia segera mendongakkan wajahnya dan membentak dengan suara lantang.
"Hei, siapa kau sebenarnya? Keluarlah dan biar si pengemis cilik melihat tampangmu, dengan demikian matipun tidak menyesal!"
Orang itu mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.
"Sebelum masuk ke dalam goa ini, cahye sudah menutupi wajah dengan sehelai cadar. Seandainya saat ini aku keluar menemuimu, kau juga tidak dapat melihat wajah asliku!"
Cu Cia sengaja merenung sejenak. Sesaat kemudian baru dia berkata kembali.
"Si pengemis cilik maklum ilmu silatku masih tidak dapat menandingi dirimu, tetapi aku rela mati di bawah tanganmu. Apabila ada beberapa temanmu yang lain di dalam goa, ada baiknya suruh mereka turun tangan sekalian, agar si pengemis cilik mati dengan puas!"
Sembari berbicara, tangannya terulur ke depan meraba-raba tubuh Sam Po Hwesio.
Dia ingin memeriksa keadaan sahabatnya, apakah masih hidup atau sudah mati.
Tindakannya ini dilakukan dengan cepat sekali, baru saja teraba dia sudah menarik tangannya kembali.
Sementara mulutnya sedang berbicara, Cu Cia mengira lawannya pasti berhasil dikelabui.
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan suara tertawa terbahak-bahak.
"Teman baikmu itu hanya tertotok jalan darahnya, dalam waktu satu kentungan lebih tidak mungkin mati. Kau tidak perlu khawatir, lagipula cayhe sama sekali tidak berniat melukai orang, maka cara turun tanganpun ringan sekali. Sekarang ini lebih baik kau berdiri diam-diam di tempatmu itu, jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Cahye sendiri juga tidak ingin mencari kesulitan."
"Siapa kau sebenarnya? Apakah Ciong San Suang Siu telah terbunuh olehmu?"
Tanya Cu Cia semakin penasaran. Sekali lagi orang itu tertawa terbahak-bahak.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak perlu mencapaikan diri beromong kosong, kurang lebih setengah kentungan kemudian, semua urusan akan menjadi terang!"
Hati Cu Cia tergetar mendengar perkataannya, tiba-tiba saja dia membayangkan diri Tian Bu Cu yang entah selamat atau tidak. Tanpa dapat ditahan lagi dia langsung bertanya kepada orang itu.
"Apakah Tian Bu Cu Locianpwe juga sudah"
Belum lagi ucapannya selesai, sekonyong-konyong telinganya mendengar suara benturan senjata.
Nadanya melengking membuat telinga menjadi ngilu.
Sumbernya dari dalam goa.
Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya, tampak di dalam goa yang tertangkap pandangan mata hanya kegelapan.
Jarak lebih dari tiga langkah sudah tidak kelihatan apaapa lagi.
Meskipun Cu Cia memusatkan pandangan matanya, tetap saja dia tidak menemukan jejak apa-apa.
Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berdiri terdengar suara desiran angin yang timbul dari pakaian seseorang, semakin lama semakin menjauh.
Sesaat kemudian suara itu tidak terdengar lagi.
Cu Cia yakin orattg yang bersembunyi tadi sudah meninggalkan tempat tersebut.
Apabila pendengaran Cu Cia tidak cukup tajam, tentu dia tidak dapat mendengar suara gerakan orang itu yang demikian ringan.
Dia maklum situasi saat ini sangat gawat, menunda waktu satu detik satu menit saja, kemungkinan menyangkut keselamatan jiwa seseorang.
Dia tidak sempat memeriksa keadaan luka Sam Po Hwesio lagi, tubuhnya langsung bergerak, berkelebat masuk ke dalam goa.
Sayang sekali pahanya sendiri juga terluka, gerakannya menjadi kaku dan tidak gesit seperti biasa.
Oleh karena itu, jalannya juga tidak dapat terlalu cepat.
Kurang lebih seminuman teh kemudian, dia menikung pada sebuah belokan.
Telinganya kembali mendengar suara benturan senjata.
Dia segera menduga ada orang yang sedang mengadakan pertarungan.
Cepat-cepat dia melonjak dua kali berturut-turut.
Dengan menahan rasa nyeri di pahanya, dia terus menerjang maju ke depan.
Setelah lewat lagi sebuah tikungan, tiba-tiba pemandangan di depan matanya jadi terang.
Di kiri kanan dinding goa terdapat beberapa batang obor besar yang menyala, sinarnya berkibaran sehingga matanya yang sejak tadi melihat keadaan gelap menjadi silau.
Untuk sesaat dia tidak berani membuka matanya.
Namun dia sadar musuh kuat sedang di hadapan mata, setiap waktu bisa menyebabkan peristiwa yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu, setelah memejamkan mata beberapa saat, perlahan-lahan dia membukanya kembali.
Begitu pandangan matanya sudah terbiasa, dia melihat Ciong San Suang Siu duduk berdampingan di depan tumpukan kayu bakar.
Wajah mereka pucat pasi dan keringat membasahi seluruh tubuh mereka.
Tampang mereka menyiratkan penderitaan yang dalam seakan sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan.
Di bagian pundak, pinggang maupun paha mereka terlihat tanda luka yang cukup dalam.
Darah segar masih terus menetes.
Tampaknya kedua orang itu saja melangsungkan pertarungan sengit dengan pihak musuh dan akibatnya terluka cukup parah.
Mei Ling sedang berjongkok di bawah tanah mengobati kedua orangtua tersebut.
Meskipun dia tahu di belakangnya ada orang yang berlari mendatangi, tetapi dia tidak menolehkan kepalanya atau melirik sekilas.
Seorang laki-laki berpakaian putih dengan wajah ditutupi sehelai cadar berdiri di samping dengan tangan menggenggam sebatang pedang.
Diam-diam Cu Cia memperhatikan orang ini.
Mungkin dialah yang menimpukkan senjata rahasia di tengah goa tadi.
Tanpa dapat ditahan lagi hidungnya mengeluarkan suara dengusan dingin.
Setelah itu baru dia mengalihkan pandangannya.
Siapa nyana begitu melihat, dia langsung merasa jantungnya berdebar-debar dan hatinya menjadi panik bukan main.
Dia melihat sebelah lengan Tan Ki terulur ke depan dengan wajah kelam.
Dengan pedang sulingnya dia menahan pedang panjang di tangan seorang gadis berpakaian merah.
Gadis itu juga menggunakan cadar untuk menutupi wajahnya.
Hanya dari bentuk tubuhnya dapat dipastikan bahwa usianya masih cukup muda.
Saat ini kedua orang itu saling mengadu kekuatan tenaga dalam lewat senjata masing-masing, tubuh mereka tidak bergerak sedikit-pun.
Tampak keringat sudah membasahi kening keduanya, dada mereka turun naik dan nafas-pun tersengal-sengal.
Masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan lewat pedang dan berusaha mendesak lawannya.
Keduanya mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendesak lawannya.
Hal ini membuat kedua batang senjata mereka hampir tidak bisa dipertahankan.
Tampak cahaya dari percikan api yang timbul dari senjata mereka memijar-mijar.
Kedua senjata saling bergesekan dan seperti mengandung aliran listrik.
Timbul suara yang membuat pendengaran menjadi ngilu.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian tampak wajah Tan Ki semakin kelam, keringatnya mengucur bagai curah hujan.
Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut gadis itu, tubuhnya terhuyung-huyung seakan sudah mulai tidak kuat mempertahankan diri.
Mungkin sebentar lagi dia akan terdesak mundur.
Laki-laki berpakaian putih yang wajahnya juga ditutupi cadar seakan tergetar melihatnya, tanpa sadar kakinya melangkah ke depan setengah tindak.
Cu Cia melihat laki-laki itu ingin maju ke depan memberikan bantuan kepada si gadis berpakaian merah.
Dia segera memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Saudara harap jangan keburu nafsu! Jangan lupa masih ada si pengemis cilik di sini!"
Tiba-tiba semangat si gadis berpakaian merah sepertinya terbangkit kembali.
Tubuhnya bergerak ke sana ke mari.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangannya sudah bertambah sebatang pedang pendek.
Meskipun ukuran pedang itu pendek, tetapi cahayanya justru berkilauan sekali.
Begitu digerakkan terasa ada serangkum hawa dingin yang menyebar.
Kalau dibandingkan dengan pedang panjang di tangan kanannya, mungkin ketajamannya melebihi beberapa kali lipat.
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas.
Diam-diam dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan memperhatikan tindakan yang akan diambil oleh gadis tersebut.
Tampaknya gadis itu mengatur pernafasannya sejenak, tiba-tiba tubuhnya kembali berkelebat dan menerjang datang ke arah Tan Ki.
Kedua orang itu kembali bergerak dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang dahsyat serta kecepatan bagai kilat.
Orang lain jangan harap dapat melihat bagaimana mereka menggerakkan senjata masing-masing, yang tampak hanya cahaya berwarna hijau dan sinar putih yang berkilauan menusuk pandangan mata.
Untuk sesaat bayangan manusia laksana menari-nari di tengah kabut yang tebal.
Terasa hawa yang terpancar dari pedang menyebar sejauh lima langkah di sekeliling mereka.
Bahkan obor api yang tertancap di kanan kiri dinding goa ikut melambai-lambai karena terpaan angin yang kencang.
Kadang sinarnya menyala terang, sekejap kemudian redup kembali.
Tan Ki khawatir suara pertarungan mereka mengejutkan Tian Bu Cu yang sedang menutup diri.
Oleh karena itu, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara bising.
Cu Cia sampai mengeluarkan keringat dingin menyaksikan pertarungan tersebut.
Diamdiam dia berpikir dalam hatinya.
Tampaknya ilmu pedang memang benar tidak ada batasnya.
Suhuku sendiri terkenal di dunia Kangouw dengan ilmu pedang Delapan Pedang Pengejar Sukma-nya.
Tetapi kalau dibandingkan dengan ilmu yang digunakan Tan-heng sekarang, kemungkinan malah sudah kalah satu garis.
Usia Tan-heng paling-paling lebih tua satu dua tahun dibandingkan denganku, ternyata dia sudah berhasil melatih ilmu pedangnya sampai taraf sedemikian tinggi sehingga dapat melukai orang dari jarak sepuluh langkah tanpa wujud sama sekali Justru di saat Cu Cia sedang merenung, teryata telah terjadi perubahan di arena pertarungan.
Tampak cahaya hijau semakin lama semakin membesar.
Hawa yang terpancar dari pedang seperti mengandung kegusaran.
Tiba-tiba terdengar kembali suara logam beradu, timbul secarik sinar bagai pelangi yang hanya sepenggal.
Bayangan manusia pun memencar, sebatang pedang suling di tangan Tan Ki yang langka ternyata kutung putus oleh cahaya hijau yang tajam tadi.
Di lain pihak pedang panjang di tangan kanan si gadis berpakaian merah juga patah menjadi dua bagian, dari lengannya terlihat darah mengalir.
Tetapi karena wajahnya ditutupi dengan cadar, jadi tidak tampak bagaimana tampangnya saat itu.
Tampaknya dia tergetar oleh tenaga dalam Tan Ki yang kuat.
Kalau saja gerakannya kurang cepat, mungkin sebelah lengannya juga ikut terpapas putus.
Untungnya dia cepatcepat menahan serangan Tan Ki dengan pedang panjangnya.
Dalam hati dia sadar bahwa apabila pertarungan ini tetap diteruskan, dia juga bukan tandingan Tan Ki.
Rencana yang telah diperhitungkan matang-matang tampaknya tidak mungkin terwujud lagi.
Tanpa menunda waktu lagi gadis itu mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian menghambur keluar dari goa tersebut.
Cu Cia dapat melihat bagaimana liciknya gadis ini.
Saat itu sang gadis melesat lewat di sampingnya, dia segera mengambil kesimpulan bahwa dia harus menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang murid yang dididik oleh tokoh lurus.
Tentu saja dia tidak sudi membokong orang secara diam-diam, oleh karena itu mulutnya segera mengeluarkan suara bentakan nyaring.
"Sambut seranganku ini!"
Pergelangan tangannya memutar, pedangnya langsung dijulurkan ke depan.
Dengan jurus Ular Putih Memuntahkan Bisa, dia melancarkan sebuah tikaman.
Serangan ini dikerahkan setelah mempertimbangkan baik-baik.
Dengan demikian kehebatannya tidak dapat dianggap ringan.
Suara yang timbul dari serangannya menderuderu.
Kecepatannya bagai kilat menyambar.
Punggung si gadis berpak un merah seakan mempunyai mata, tanpa memalingkan kepala, lengannya sudah terulur dan menghantam ke belakang.
Kalau dikatakan memang aneh juga, serangannya itu ternyata dengan telak menahan pedang kayu Cu Cia yang sedang meluncur ke arahnya.
Cu Cia melihat dia melancarkan serangan balasan tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun.
Bahkan langkah kaki gadis itu tidak berhenti sama sekali.
Tampaknya dia memang tidak memandang sebelah mata kepada Cu Cia.
Karena usia si pengemis cilik itu masih relatif muda, otomatis emosi dalam dadanya gampang meluap.
Saat itu juga dia menjadi gusar, kecepatan pedang bambunya dipertambah, serangkum angin yang kencang langsung terpancar keluar.
Namun baru saja dia maju dua langkah, pedang bambunya telah tertahan oleh tenaga dalam yang tidak berwujud.
Hatinya tercekat, tangannya yang menggenggam pedang terasa panas dan hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri.
Akhirnya pedang bambu di tangannya terjatuh di atas tanah kerena terlepas dari pegangannya.
Matanya menatap lekat-lekat bayangan punggung si gadis berpakaian merah yang terus melesat pergi.
Tanpa terasa dia jadi termangu-mangu.
Seandainya gadis itu memang berniat melukainya, asal tenaga dalamnya tadi ditambah sedikit lagi, Cu Cia pasti tidak sanggup mengundurkan diri dalam keadaan utuh.
Berpikir sampai di sini, tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya bergetar.
Bulu kuduknya merinding semua membayangkan kehebatan ilmu silat gadis itu.
Sementara itu, Tan Ki membungkukkan tubuhnya memungut kembali pedang sulingnya yang sudah terkutung sebagian.
Dia memasukkannya ke dalam saku pakaian.
"Kedatangan Cu-heng sungguh kebetulan.
Harap kau menjaga diri Tian Bu Cu Locianpwe yang sedang merawat lukanya!"
Melihat orang habis berkata sudah berniat pergi, Cu Cia malah jadi tertegun.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya Tan-heng sendiri hendak ke mana?"
"Aku ingin menyelidiki jejak orang-orang tadi!"
Tanpa memberi kesempatan bagi Cu Cia untuk mengajukan pertanyaan lagi, Tan Ki langsung melesat keluar dari goa tersebut.
Tampak bayangan tubuhnya berkelebat bagai hembusan angin dan dalam waktu sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata.
Sepasang alis Cu Cia langsung mengerut-ngerut.
Diam-diam dia berpikir dalam hati.
Tingkah lakunya seperti orang yang tergesa-gesa, malah keringatpun belum sempat dihapus.
Mungkinkah di dalam hatinya telah tersimpan suatu kecurigaan sehingga dia ingin membuktikan benar tidaknya? Seraya berpikir, kakinya melangkah ke depan untuk memungut pedang bambunya yang terjatuh di atas tanah.
Tangannya yang sebelah lagi mengeluarkan sebotol obat luka dan dia segera membantu Mei Ling membalut luka Ciong San Suang Siu.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendatangi.
Begitu pandangan matanya ditolehkan, dia melihat sosok tubuh Sam Po Hwesio yang gemuk sedang berjalan masuk mendekati mereka.
Belum lagi Cu Cia sempat menanyakan keadaan lukanya, si Hwesio cilik itu sudah terlebih dahulu mengajukan pertanyaan.
"Siapa laki-laki dan perempuan yang baru menerjang keluar dari dalam sini? Keadaan di tengah-tengah goa begitu gelap, kawan atau lawan sampai sulit dibedakan. Biarpun hati si Hwesio cilik sedang mendongkol sekali, tetapi tetap saja tidak berani sembarangan turun tangan. Si pengemis cilik Cu Cia hanya tertawa getir. Dia sengaja tidak menjawab pertanyaan Sam Po Hwesio, namun menolehkan kepalanya kepada Mei Ling.
"Liu Kouwnio, sebetulnya bagaimana kejadiannya sampai Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe bisa sampai terluka sedemikian rupa?"
Mei Ling meletakkan bekas sobekan lengan pakaian sisa membalut luka Ciong San Suang Siu di atas tanah. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sendiri juga kurang jelas. Tadinya aku dan Tan Koko hanya berniat melihat keadaan Liang Cici, sekalian jalan ke arah ini. Tetapi baru masuk ke dalam goa, kami sudah melihat laki-laki berpakaian putih yang mengenakan cadar tadi. Dia sedang berusaha membuka pintu ini. Aku dan Tan Koko bertanya kepadanya dengan suara keras sampai beberapa kali, tetapi mereka tidak menyahut sedikitpun. Malah si gadis berpakaian merah langsung menyerang Tan Koko sehingga terjadi pertarungan sengit."
"Kalah dan menang masih belum ketahuan, mengapa si laki-laki berpakaian putih tibatiba mengundurkan diri dan mencegat kami di lorong goa? Dia toh bukan tukang ramal, bagaimana dia bisa tahu kalau aku dan Sam Po Hwesio akan datang ke mari?"
Mei Ling tersenyum mendengar kata-katanya.
"Dia sama sekali belum bergebrak dengan Tan Koko, tentu saja bebas ke mana saja. Begitu masuk ke mari, Tan Koko langsung terlibat perkelahian dengan gadis berpakaian merah. Pada saat itu Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe justru sedang mempertahankan diri sekuatnya agar mereka jangan sampai menerobos masuk ke dalam. Meskipun sudah terluka parah tetapi mereka masih terus bertahan. Seorang diri saja, apabila dia hendak merobohkan Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe dalam waktu yang singkat, memangnya gampang. Apalagi setelah kedatangan kami, tampaknya dia tidak ingin menyaksikan pertarungan antara gadis berpakaian merah itu dengan Tan Koko. Oleh karena itu, dia segera berjalan keluar dan kemungkinan dia bersembunyi di lorong sempit sekaligus mencegah apabila ada pihak kita yang datang memberikan pertolongan atau bisa jadi dia menunggu di sana sebagai pembuka jalan seandainya gadis itu ingin mengundurkan diri."
Cu Cia menaikkan sepasang bahunya.
"Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe mempertaruhkan nyawa menjaga pintu batu ini. Untung saja pihak lawan belum sempat membobolnya. Apabila hal ini terjadi, Tian Bu Cu Locianpwe yang sedang menutup diri pasti akan terkejut, akibatnya sungguh tidak dapat dibayangkan, bahkan Liang Fu Yong juga mungkin"
Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu hal yang mencurigakan, kata-katanya terhenti.
Sepasang alisnya mengerut ketat dan kepalanya mendongak ke atas seakan sedang memutar otaknya.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, baru terdengar dia menarik nafas panjang.
Lalu dia berkata dengan lirih seperti sedang mengguman seorang diri.
"Si pengemis cilik sungguh tidak mengerti, bagaimana kedua orang ini bisa tahu cara membuka alat rahasia yang digunakan untuk menutup goa. Apakah ada orang yang mengkhianati kita dan membeberkan rahasia kepada pihak musuh?"
Bukan hanya Cu Cia yang mengandung kecurigaan yang dalam.
Demikian pula halnya dengan Tan Ki yang sedang mengejar sepasang manusia tadi.
Setelah memungut kembali pedang sulingnya yang patah ia langsung mengejar mereka.
Kecepatannya jangan ditanyakan lagi.
Dalam waktu yang singkat dia sudah keluar dari goa yang gelap itu.
Begitu pandangan matanya beredar, dia melihat sekitar bukit tersebut sunyi senyap.
Angin berhembus semilir menggoyangkan rerumputan yang tumbuh liar.
Tidak terlihat bayangan seorangpun.
Tanpa dapat ditahan lagi dia menggaruk-garuk kepalanya, diam-diam dia berpikir dalam hati.
Di seluruh bukit ini entah terdapat berapa banyak celah-celah yang terpencil, ke mana aku harus mencari mereka? begitu pikirannya tergerak, dia merenung sejenak.
Kemudian dia menggertakkan giginya erat-erat dan mengerahkan ilmu ginkangnya menghambur ke arah barat.
Dia sadar cara berlari tanpa memperhitungkan arah ini dan hanya mengandalkan nasib serta peruntungan, sebetulnya sulit untuk dapat menyandak kedua orang tadi.
Siapa nyana baru saja berlari sejauh empat lima depa, secercah warna menyolok sudah tertangkap pandangan matanya.
Gadis berpakaian merah itu ternyata sedang berdiri membelakanginya dengan bersandar pada sebatang pohon siong.
Angin pagi menghembuskan ikat pinggangnya yang menjuntai ke bawah.
Gelang tangannya yang diganduli bola-bola emas ukuran kecil berdentingan karena saling beradu.
Warna pakaiannya sungguh kontras dengan pemandangan di sekitar.
Untuk sesaat Tan Ki malah jadi tertegun.
Tempat ini merupakan sebidang tanah kosong yang tidak jauh dari jurang yang dalam.
Rerumputan serta pepohonan agak jarang, dengan demikian pemandangan jadi lapang.
Selain sebatang pohon siong yang disandarinya, boleh dibilang tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan diri.
Tetapi Tan Ki tetap khawatir kalau si laki-laki berpakaian putih tetap melindungi gadis itu secara diam-diam.
Meskipun kakinya melangkah ke depan, namun tanpa menyolok dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Sikapnya hati-hati dan waspada.
BAGIAN XLVII Ketika jaraknya dengan gadis berpakaian merah tinggal empat lima langkah, tetap tidak terjadi apapun.
Entah mengapa, terang-terangan si gadis itu tahu ada seseorang yang sedang berjalan ke arahnya, namun dia tidak menolehkan kepalanya atau melirik sekilaspun.
Dengan punggung membelakangi Tan Ki, dia menatap ke arah pemandangan yang jauh.
Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya.
Jaraknya sekarang hanya tinggal setengah depa saja.
Begitu dekatnya sehingga apabila Tan Ki mengulurkan tangannya, dia pasti dapat meraba gadis itu.
Tetapi dia malah sengaja mengeluarkan suara batuk-batuk kecil.
"Kiau Hun!"
Panggilnya. Secara langsung dia menyebut nama gadis itu, tadinya dia mengira paling tidak gadis itu akan menolehkan kepalanya dengan terkejut. Siapa tahu gadis itu hanya mengembangkan sedikit senyuman sambil menyahut.
"Baguslah kalau kau sudah tahu!"
"Aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu!"
Kiau Hun tertawa datar.
"Lihat dulu apakah hatiku sedang gembira atau tidak menjawab pertanyaanmu!"
Tan Ki jadi termangu-mangu.
"Kiau Hun, mana boleh kau berbicara ketus seperti itu denganku?"
Mendengar kata-katanya, sekonyong-konyong Kiau Hun membalikkan tubuhnya.
"Aku baru mengucapkan sepatah kata saja, kau sudah anggap ketus? Pernahkah kau sendiri berpikir, berapa banyak sudah kau mendatangkan penderitaan kepada orang lain. Tentu kau sendiri tidak merasakannya bukan?"
Wajahnya masih ditutupi sehelai cadar. Dengan demikian sulit melihat bagaimana tampangnya saat itu. Tetapi dari nada suaranya dapat diduga bahwa hatinya saat ini merasa pedih sekali. Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas panjang.
"Apa yang terjadi di masa lalu, masih terbayang jelas di depan mata. Aku Tan Ki beberapa kali menerima budi pertolonganmu, biar bagaimana aku tidak akan melupakannya. Tetapi aku tidak mengerti mengapa kau harus merendahkan dirimu menjadi mata-mata bagi pihak Lam Hay. Tadi di dalam goa, kalau aku tidak keburu datang tepat pada waktunya, mungkin saat ini Tian Bu Cu Locianpwe beserta cici Liang sudah terkapar di atas tanah bermandikan darah. Keduanya pasti mati di bawah pedang hijaumu itu. Untung saja jurus yang kau gunakan tadi pernah kulihat satu kali ketika di Pek Hun Ceng, dengan demikian aku segera mengenali dirimu. Entah bagaimana perasaanku tadi, boleh dibilang kesal dan panik bercampur menjadi satu, tetapi sejak mula hingga akhir, aku tetap tidak tega turun tangan kejam terhadap dirimu"
Kiau Hun langsung menukas dengan nada dingin.
"Sekarang Oey Ku Kiong tidak ada di sini, kau boleh turun tangan menghantam diriku sampai mati!"
Tan Ki semakin gugup menghadapinya.
"Aku hanya ingin bertanya sampai jelas, mengapa kau bisa beralih ke pihak Lam Hay Bun?"
Kiau Hun mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Suaranya melengking memecahkan keheningan dan membuat telinganya jadi ngilu. Wajah Tan Ki langsung berubah hebat melihat tingkah lakunya.
"Apa yang kau tertawakan?"
Bentaknya kesal.
"Aku menertawakan pertanyaanmu yang begitu kekanak-kanakan. Kalau di daerah Tionggoan aku selalu mendapat hinaan karena keadaan diriku yang hanya seorang budak di keluarga Liu dan di mana-mana yang terlihat hanya cibiran orang, mengapa aku tidak boleh mencari jalan mengangkat derajatku sendiri?"
"Oleh karena itu kau sengaja mendekati Tocu Lam Hay Bun dan memikatnya dengan kecantikanmu itu?"
Kiau Hun tertawa dingin.
"Ini merupakan salah satu jalan bagiku untuk membalas dendam!"
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
"Kepada siapa kau ingin membalas dendam?"
"Siapa saja, pokoknya setiap orang yang pernah memandang rendah diriku dan pernah menghina aku. Termasuk orang-orang yang sudah merebut kekasih hatiku!"
Tan Ki tertawa getir mendengarnya.
"Bagus sekali! Sekarang aku toh ada di hadapanmu, kau boleh membalaskan dendammu yang pertama!"
Kiau Hun mendengus dingin satu kali. Tangannya bergerak, tahu-tahu sebatang pedang pendek telah tergenggam di tangannya. Cahayanya berwarna hijau dan berkilauan.
"Apa yang kau katakan memang tidak salah. Dalam daftar orang-orang yang ingin kubalaskan dendam dalam hati ini, kau menduduki urutan pertama. Demi engkau, aku tidak perduli segala macam bahaya, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa aku pernah menolong dirimu. Akibatnya aku malah ditendang keluar dari pintu perguruan. Sebagai seorang gadis yang sebatang kara tanpa sanak saudara seorangpun, aku berkelana ke mana-mana. Apakah kau pernah membayangkan betapa mengenaskannya keadaanku saat itu? Tetapi aku tidak merasakannya sama sekali. Siapa sangka hatiku yang tulus ini ternyata dipersembahkan kepada seorang laki-laki buaya. Bukan saja aku tidak dihibur sedikitpun, kau malah menghancurkan seluruh perasaanku. Dalam keadaan putus asa, setiap orang pasti mempunyai pikiran pendek. Apalagi jiwa kami kaum perempuan yang jauh lebih lemah daripada kalian laki-laki. Biasanya sedikit-sedikit ingin bunuh diri. Tetapi aku bukan orang bodoh yang mau mati begitu saja. Aku ingin menggunakan tubuh yang sudah tidak mempunyai perasaan ini sebagai imbalan untuk membuka jalan agar aku dapat membalas dendam. Siapa saja yang pernah menganggap remeh diriku atau menghindari aku, aku akan mencincang tubuhnya sampai hancur berkeping-keping!"
Sambil berbicara, pedang pendek di tangannya bergerak, cahayanya berkilauan dan saat ini sudah di tempelkan di depan dada Tan Ki.
Asal dia mengerahkan sedikit saja tenaganya, sudah pasti selembar nyawa Tan Ki sulit dipertahankan.
Sikap Tan Ki masih tenang seperti semula.
Dia seakan tidak merasa gentar sedikitpun menghadapi pedang pendek tersebut.
"Pendirianmu yang demikian picik, akhirnya hanya akan menghancurkan dirimu sendiri. Meskipun aku mempunyai niat membantu, tetapi aku tidak mempunyai kesanggupan seperti itu. Hany dirimu sendiri yang dapat menyadarkan pikiranmu yang sesat serta kembali ke jalan yang benar!"
Sekali lagi Kiau Hun tertawa dingin.
"Sayangnya aku ini selalu mengikuti apa kata hati, biarlah penyesalan datang di kemudian hari!"
Pergelangan tangannya bergerak, pedang pendeknya dihunjamkan sedikit ke dalam daging di dada Tan Ki.
Tampak sepasang alis anak muda itu mengerut-ngerut, tetapi dia tetap menahan rasa sakit dan tidak mengeluarkan suara keluahan sedikitpun.
Darah segar mengalir dari ujung pedang tersebut.
Pedang pendek di tangan Kiau Hun ini pernah mematahkan pedang suling Tan Ki ketika bertarung di dalam goa.
Tajamnya jangan ditanyakan lagi.
Tampak wajah Tan Ki tetap menyiratkan ketenangan seakan tidak merasakan apa-apa.
Dia seperti orang yang tidak memperdulikan mati hidupnya sendiri.
Sepasang matanya menatap Kiau Hun lekat-lekat tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Angin yang sejuk berhembus semilir, pakaian kedua orang itu mengibar-ngibar.
Suasana begitu hening dan mencekam.
Tiba-tiba Tan Ki merasa tangan Kiau Hun terus gemetaran, di cadar yang menutupi wajahnya juga terlihat rembesan air.
Tidak diragukan lagi bahwa emosi gadis itu telah tergugah dan keringat terus menetes membasahi wajahnya.
Tan Ki menarik nafas panjang perlahan-lahan.
"Mengapa kau tidak meneruskan tusukan-mu?"
Pertanyaan ini seakan memberi pukulan bathin yang hebat kepadanya.
Tiba-tiba tangannya merenggang dan dia menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Perubahan yang tidak terduga-duga ini justru membuat Tan Ki jadi termangu-mangu.
Meskipun dia merupakan seorang pemuda yang berotak cerdas, tetapi setiap kali menghadapi air mata seorang perempuan, dia malah tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dia berdiri terpana di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Untuk sesaat suasana jadi hening.
Tan Ki hanya membungkukkan tubuhnya memungut pedang pendek Kiau Hun yang terjatuh di atas tanah.
Setelah menangis beberapa lama, tampaknya emosi di dalam hati Kiau Hun sudah agak reda.
Perlahan-lahan suara isak tangisnya semakin lirih dan dilepaskannya cadar penutup wajahnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa setiap orang yang terjatuh di tanganku, dapat kubunuh tanpa mengedipkan mata sedikitpun. Hanya engkau laki-laki yang tidak berbudi ini yang justru membuat aku tidak sampai hati untuk turun tangan."
Beberapa lama dia terdiam, kemudian baru melanjutkan kembali kata-katanya.
"Mungkin tanpa kusadari sebetulnya aku masih menaruh hati kepadamu."
Diam-diam Tan Ki berpikir di dalam hati.
Aku sudah menikahi Mei Ling, belum lagi janjiku untuk mengambil Liang Fu Yong dan Cin Ie sebagai selir.
Di samping itu masih ada dua gadis lain yang diam-diam memperhatikan aku, yakni Lok Ing dan Cin Ying.
Sekarang aku sudah cukup bingung, bagaimana mungkin ditambah lagi dengan dirimu? Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi dia justru tidak tahu bagaimana mengutarakannya.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Pendekar Pemanah Rajawali -- Jin Yong Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long