Dendam Iblis Seribu Wajah 3
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 3
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung
Gulungan hawa yang harum terus menerpa hidungnya.
Dia merasa aliran darahnya berdesir.
Jantungnya memacu lebih cepat.
Ini merupakan suasana yang panas serta merangsang, seorang pemuda yang masih hijau dan seorang gadis yang kesepian saling berpelukan dengan erat di dalam kamar.
Jurang dosa tengah mengincar keduanya agar jatuh ke dalam perangkap! Bibir Tan Ki bergerak-gerak seakan sedang bergumam seorang diri "Siapa kau sebetulnya? Mengapa kau memperlakukan aku seperti ini?"
Nada suaranya tidak mengandung kebencian, malah kegembiraan. Perempuan itu tertawa merdu.
"Cici adalah Siau Yau Sian-li (Dewi pecinta kebebasan) Liang Fu Yong"
Mendengar keterangannya, Tan Ki terkejut sekali. Pikirannya yang melayang-layang agak tersentak.
"Benar?"
Serunya dengan hati tergetar.
"Benar, Cici tidak ingin membohongimu!"
Mendengar nada suaranya yang tegas, dengan panik Tan Ki mendorong tubuh perempuan itu.
Gairah panas yang memenuhi hatinya langsung surut separuh.
Keterangan yang di luar dugaannya malah membuat dia sedemikian terkejut sehingga untuk sesaat dia terdiam tanpa sanggup mengeluarkan sepatah katapun.
Setelah tertegun beberapa saat, dia membentak dengan nada marah "Perempuan jalang, lihat pukulan!"
Baru saja ucapannya selesai, tinjunya sudah melayang ke depan.
Tiba-tiba dia merasa serangkum rasa nyeri menyerang dadanya.
Tulang belulang tubuhnya bagai patah berserakan.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Dengan panik dia menarik kembali pukulannya kemudian memejamkan mata mengatur pernafasan.
Meskipun kejadiannya berlangsung dengan cepat, namun dia sudah kesakitan sampai meneteskan keringat dingin.
Tampaknya dewi pecinta kebebasan Liang Fu Yong sudah biasa melihat perubahan seperti ini.
Dia tidak tampak terkejut malah mencibirkan bibirnya dan tersenyum mengejek.
"Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa kau tidak boleh menggerakkan hawa murni dalam tubuhmu atau bergebrak dengan orang. Kau malah seperti sengaja mencari kesusahan untuk dirimu sendiri."
Dia segera menghampiri Tan Ki.
Tangannya terulur dan mengusap keringat yang membasahi dahinya.
Kemudian dengan gerakan yang lembut dia meraba dada Tan Ki seakan ingin membantu anak muda itu meringankan penderitaannya.
Tan Ki memandangnya dengan mata menyiratkan hawa amarah.
"Minggir, kau"
Dadanya kembali terasa sakit sekali. Dengan panik dia menghentikan kata-katanya. Matanya dipejamkan kembali untuk mengatur pernafasan. Liang Fu Yong tersenyum simpul.
"Ada apa dengan Cici?"
"Kau lebih rendah dari pelacur-pelacur yang menemani tamu di rumah mesum!"
Maki Tan Ki.
Dia sadar apa yang dikatakan perempuan itu memang benar.
Apabila dia menggerakkan hawa murninya, kemungkinan lukanya akan bertambah parah.
Tetapi dia tetap mengucapkan kata-kata itu dengan nada penuh emosi.
Wajah Liang Fu Yong berubah hebat.
"Kau menganggap apa yang dilakukan Cici tidak benar bukan?"
Tanyanya tetap dengan suara lembut. Tan Ki mendengus satu kali. Mulutnya mengeluarkan suara tertawa yang dingin.
"Orang-orang mengatakan bahwa kau Sia Yau Sian-li tidak tahu malu dan seorang perempuan rendah. Ungkapan ini ternyata tidak salah. Aku sudah berkeliaran di seluruh Kangouw, di mana-mana hanya ada laki-laki yang menjadi Jai Hwa Cat. Tapi seumur hidup belum pernah mendengar ada perempuan yang melakukan hal yang hina ini"
Dia merasa kata-kata selanjutnya yang hendak diucapkan terlalu kasar, maka dari itu, dia segera membungkam dan tidak melanjutkan kembali. Liang Fu Yong tersenyum simpul.
"Apapun yang dikatakan oleh orang lain, biarkan saja. Asal Cici tidak mendengarnya sendiri."
Sahutnya santai.
"Apakah kau benar-benar tidak tahu malu?"
"Tidak tahu malu? Kalau aku memperdulikan cemoohan itu, tentu aku tidak akan mendapat julukan perempuan rendah, dan digelari dewi pecinta kebebasan yang setiap hari bebas bercinta dengan laki-laki manapun."
Mendengar ucapannya, hati Tan Ki jadi kesal sekaligus marah.
Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu tanpa tahu apa yang harus dicacinya lagi.
Akhirnya dia memejamkan sepasang matanya dengan gaya acuh tak acuh.
Telinganya mendengar lagi nada suara perempuan itu yang seperti irama pembetot sukma itu.
"Baik-baiklah kau rebah di atas tempat tidur. Cici tidak akan membuatmu kecewa."
Lengannya yang lembut meraba-raba kemudian menggendong Tan Ki dan membopongnya ke atas tempat tidur.
Kali ini perasaan Tan Ki menjadi bimbang.
Ingin rasanya dia menghentakkan tangan perempuan itu atau memberontak, tetapi mengingat luka yang dideritanya, dia tidak berani bergerak sembarangan untuk menjajal.
Tapi kalau dia mendiamkan saja, peristiwa selanjutnya yang bakal terjadi sudah dapat dibayangkan! Begitu pikirannya tergerak, beberapa saat lamanya dia tidak dapat mengambil keputusan.
Sementara itu, saking malunya, selembar wajah Tan Ki yang tampan sudah berubah merah padam.
Persis seperti orang yang baru menenggak beberapa cawan arak yang keras sekaligus.
Tiba-tiba dia merasa punggungnya menyentuh sesuatu yang lembut.
Rupanya dia sudah dibaringkan di atas tempat tidur.
Di bawah sorotan lampu yang remang-remang.
Tan Ki melihat sebuah bayangan yang sedang melepaskan pakaian bahkan celana panjangnya.
Hati Tan Ki tercekat tidak kepalang.
Celaka! serunya dalam hati.
Cepat-cepat dia memejamkan matanya kembali dan tidak berani melihat pemandangan yang ada dihadapannya.
Hatinya bagai tertekan sesuatu benda yang berat sehingga nafasnya tersendat-sendat.
Perasaan hatinya saat ini lebih kacau dari sebelumnya.
Pikirannya semakin kalut dan mulai lupa akan dirinya sendiri.
Dia bagai seekor domba yang terkejut juga takut serta tak sanggup memberikan perlawanan! Perasaan terkejutnya belum sirna, dia merasa sesosok tubuh yang lembut telah menindihnya dari atas.
Nafasnya jadi memburu, hatinya semakin tegang.
Matanya yang dipejamkan erat-erat semakin tidak berani dibuka.
Dia merasakan serangkum bau harum yang lain terpancar dari tubuh Liang Fu Yong.
Malah lebih mempesona dari hawa harum yang terpancar dari rambut maupun mulutnya.
Hatinya benci tidak kepalang kepada perempuan yang rendah ini.
Namun pada saat demikian, mau tidak mau gairah kelaki-lakiannya tergerak juga.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia bersentuhan dengan tubuh seorang perempuan.
Apalagi dalam keadaan yang demikian merangsang dan mendebarkan hati.
Perasaannya mulai tidak dapat dikendalikan! Terdengar nada suara Liang Fu Yong yang diiringi nafasnya yang tersengal-sengal.
"Siaute, kau tidak boleh membuat aku kecewa dan membiarkan aku terhempas-hempas seperti ini"
Suaranya lirih sekali namun mengandung pengaruh yang kuat.
Diam-diam Tan Ki menarik nafas panjang.
Habislah aku kali ini. keluhnya dalam hati.
Segulung angin yang dingin menerpa masuk lewat jendela.
Tanpa terasa hatinya menggidik.
Begitu mata memandang, entah sejak kapan Liang Fu Yong sudah melepas jubah luarnya.
Rasa terkejutnya jangan dikatakan lagi.
Dalam benaknya tiba-tiba terlintas bayangan dua orang gadis.
Juga entah dari mana dia mendapat keberanian, mulutnya mendadak meraung keras dan kesadarannya segera tergugah.
Dia menggelindingkan tubuhnya sehingga terjatuh dari atas tempat tidur.
Liang Fu Yong terkejut sekali melihat hal yang diluar dugaannya.
"Siaute, apa yang terjadi dengan dirimu?"
Tan Ki mendelikkan matanya dengan marah.
"Benar-benar perempuan yang tidak tahu malu. Siapa yang sudi menjadi adikmu?"
Cepat-cepat dia mengaitkan kancing jubahnya kemudian melangkah keluar dari kamar tersebut.
Gerakannya yang spontan ini membuat Liang Fu Yong menatapnya dengan tertegun.
Tiba-tiba tubuhnya melesat dan menghadang di depan pintu.
Gerakan tubuhnya demikian cepat sehingga benar-benar mengejutkan.
Hati Tan Ki tercekat.
Dengan sendirinya dia mundur dua langkah.
"Apa yang kau inginkan?"
Bentaknya kesal.
"Kau lupa syarat yang kuajukan ketika akan menyembuhkan lukamu?"
Tan Ki terkejut sekali.
"Syarat apa, cepat katakan!"
"Aku ingin kau menemaniku malam ini. sahut Liang Fu Yong. Sekali lagi Tan Ki tertegun. Setelah lewat beberapa saat, tampaknya dia baru dapat mencernakan arti ucapan perempuan tersebut. Hawa amarah dalam dadanya jadi meluap seketika.
"Apa-apaan? Kau memiliki kepandaian, si-lahkan paksa aku melakukannya. Tetapi kalau kau berharap aku akan melayanimu dengan suka rela, kau hanya mimpi di siang bolong! Biarpun luka dalamku ini akan bertambah parah, aku juga akan mencoba beberapa jurus ilmu silatmu itu!"
Baru saja ucapannya selesai, kakinya tiba-tiba maju dan menerjang ke depan.
Serangkum gelombang angin yang dahsyat menerpa ke depan.
Dalam waktu yang sekejap mata, dia sudah melancarkan lima enam jurus serangan.
Melihat serangannya yang hebat dan keji, Liang Fu Yong tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Dia menggeser tubuhnya ke samping, bayangan tubuh Tan Ki yang tinggi dan panjang menerobos dari sisinya.
Dalam beberapa kali loncatan saja dia sudah mencapai jarak beberapa puluh depa.
Wajah Liang Fu Yong menjadi datar seketika.
Di wajahnya tersirat juga hawa pembunuhan yang tebal.
"Jangan lari!"
Bentaknya.
Dengan tergesa-gesa dia mengejar.
Tiba-tiba dia teringat bahwa tubuhnya belum mengenakan pakaian.
Meskipun saat itu baru memasuki kentungan kedua, malam larut dan jarang ada penduduk yang berlalu lalang, tetapi dia juga tidak enak telanjang bulat seperti itu mengejar seorang laki-laki.
Cepat-cepat dia kembali lagi ke kamar dan mengenakan pakaian.
Ketika keluar lagi, Tan Ki sudah berada dalam jarak kurang lebih empat lima li jauhnya.
Anak muda itu seperti mempertahankan diri dalam keadaan terluka dan tetap ingin terlepas dari cengkeraman Liang Fu Yong.
Caranya berlari benar-benar seperti orang yang melihat setan.
Liang Fu Yong memperdengarkan dengusan dari hidung dan mempercepat langkahnya mengejar.
Tidak berapa lama kemudian, dia sudah melihat bayangan punggung Tan Ki.
Rupanya, anak muda tersebut tidak mengenal seluk-beluk jalanan di daerah tempat itu.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia hanya terus berlari sekuat tenaga tanpa arah yang tepat.
Dia sendiri tidak tahu dirinya sudah sampai di mana.
Sedangkan Liang Fu Yong hapal sekali jalanan di daerah itu.
Lagi pula saat ini ilmu ginkangnya jauh lebih tinggi daripada Tan Ki.
Oleh karena itu dalam waktu yang tidak berapa lama dia sudah berhasil menyusul anak muda tersebut.
Ketika Tan Ki melihat Liang Fu Yong, dia terkejut setengah mati.
Dia tahu tempat itu hanya berjarak setengah li dari Lok Yang.
Asal dia dapat masuk ke dalam kota dan menemukan Cian Cong maupun Lok Hong, tentu dia tidak perlu takut lagi terhadap perempuan ini.
Begitu pikirannya tergerak, dia memacu langkahnya lebih cepat dan terus berlari ke depan.
Tetapi lambat laun dia merasakan dadanya mulai nyeri kembali.
Keringat dingin mulai menetes di keningnya.
Dia tahu apabila dia berlari terus, luka dalamnya pasti akan kambuh kembali.
Namun wataknya keras kepala membuat Tan Ki tidak menghentikan larinya.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuh Liang Fu Yong melesat maju beberapa langkah kemudian menghadang di depannya.
Perubahan yang mendadak ini terjadinya begitu cepat.
Saat itu Tan Ki sedang berlari seperti orang kalap.
Tiba-tiba dia melihat Liang Fu Yong menghadang di depan.
Dengan panik dia menghentikan langkah kakinya, namun dia tetap tidak dapat mengimbangi gerakan kakinya dengan baik.
Setelah menjerit satu kali, tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan lawan.
Dengan lembut Liang Fu Yong memeluknya.
Tampangnya aneh sekali, entah apa yang sedang dipikirkannya dalam hati.
Tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
"Adik yang tampan, mengapa kau begitu keras kepala dan sengaja mencari kesulitan untuk dirimu sendiri?"
Tan Ki segera memberontak dan melepas diri dari pelukannya. Mulutnya memperdengarkan suara tertawa yang dingin.
"Siapa yang meminta belas kasihan da"
Tiba-tiba dadanya terasa sakit, kata-kata selanjutnya tidak sanggup diucapkan lagi.
Sepasang mata Liang Fu Yong yang berbinar-binar menatap Tan Ki dari atas kepala sampai ke ujung kaki.
Dia seperti ingin menemukan sesuatu yang entah apa pada wajah anak muda tersebut.
Beberapa saat berlalu lagi "Meskipun Cici sudah bertemu dengan ratusan atau ribuan laki-laki, tetapi belum ada satu pun yang seperti dirimu ini."
Katanya dengan nada perlahan.
"Seperti apa?"
"Menyenangkan namun keras kepala."
Tan Ki mendengus dingin. Dia memalingkan kepalanya ke arah lain. Mulutnya malah memaki lagi.
"Perempuan rendah yang tidak tahu malu!"
Liang Fu Yong tersenyum simpul.
Dia sama sekali tidak ambil hati terhadap makian Tan Ki.
Justru dia maju ke depan dan mengeluarkan sehelai sapu tangan yang kemudian digunakan untuk menghapus keringat yang membasahi keningnya.
Gerak-geriknya mesra dan lembut serta penuh perhatian.
Tiba-tiba hati Tan Ki jadi tergerak.
Di benaknya melintas sebuah pemikiran yang aneh Apakah sikap perempuan ini benar-benar demikian rendah dan memuakkan? Apabila menasehatinya baik-baik, apakah dia dapat berganti haluan menjadi orang yang benar? Dengan membawa pikiran seperti itu, tanpa sadar dia jadi termenung.
"Apa yang kau pikirkan?"
Tanya Liang Fu Yong.
"Memikirkan engkau."
Liang Fu Yong terpana mendengar jawabannya. Kemudian terlihat dia mengembangkan seulas senyuman yang kenes.
"Tampaknya suasana hatimu berubah dengan cepat juga. Apakah kau sedang memikirkan bahwa sebetulnya aku cukup cantik?"
Wajah Tan Ki tampak serius.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku ingin bertanya kepadamu, setiap kau memaksakan kehendakmu pada seorang laki-laki, apakah kau pernah memikirkan suatu hal?"
"Tentang apa?"
"Cinta!"
Mendengar kata-katanya, mula-mula Liang Fu Yong tertegun. Kemudian dia malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Berapa sih nilai benda tidak berwujud itu? Kaisar sekarang boleh mempunyai tiga isteri dan enam selir, dan malah dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar. Tetapi, kalau perempuan, biarpun suaminya mempunyai simpanan di luar, sang isteri tetap tidak boleh menyeleweng. Ini ini benar-benar tidak adil, apakah karena terlahir sebagai seorang perempuan, kami-kami ini tidak ada harga-nya sama sekali?"
"Jadi, karena pikiran demikian, kau anggap tidak ada cinta dalam kamus seorang perempuan?"
Tanya Tan Ki dengan penampilan yang tenang.
"Tidak salah, aku justru mempunyai pikiran seperti itu. Makanya aku merubah pandangan hidupku dan berbuat sesuka hati."
"Tapi, coba pikir, apa yang kau dapatkan? Kehampaan diri, kerinduan akan cinta, semuanya tetap tidak terselesaikan."
Pertanyaan ini, membuat Liang Fu Yong menjadi termangu-mangu.
Mulutnya membungkam tanpa tahu apa yang harus dikatakannya.
Betul! Apa yang didapatkannya? Tidak ada.
Apa yang diperoleh hanya kesenangan yang diperoleh dengan cara memaksa.
Setelah semuanya berlalu, hatinya tetap terasa hampa bagai sebuah perahu kecil di tengah samudera yang terhempas-hempas ombak tanpa tujuan yang pasti.
Juga bagai sekuntum bunga yang layu dan tidak mendapat perhatian dari siapapun Siapa yang dapat menambal kekosongan dalam hatinya? Tidak ada.
Dia ingat ketika melakukan perjalanan, pada suatu hari dia terserang penyakit yang parah.
Pada saat itu, siapa yang datang menjenguknya? Siapa yang mengasihani dirinya? Siapa yang menghiburnya? Tidak ada, tidak ada yang diperolehnya Berpikir sampai di sini, segulung kesedihan menyelinap di dalam hatinya.
Air matanya berderai dengan deras.
Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Tan Ki melihat hati perempuan ini mulai tergerak oleh kata-katanya.
Diam-diam dia merasa gembira.
Sengaja dia mengujinya kembali.
"Apakah kata-kata yang kuucapkan tidak benar?"
Liang Fu Yong merasa rendah diri dan iba terhadap dirinya sendiri.
"Tidak, lanjutkanlah kata-katamu. Meskipun salah, aku tetap tidak akan menyalahkan engkau."
Sahutnya lirih. Tan Ki tersenyum lembut.
"Baiklah. Kalau begitu kau ikut denganku!"
"Untuk apa?"
"Aku akan memperlihatkan keajaiban kepadamu, yakni mencari cinta yang sejati. Dengan demikian kau tidak akan menyimpan perasaan kecewamu dan pandanganmu terhadap hidup ini akan berubah. Kalau tidak kau akan semakin terjerumus dalam lembah kenistaan yang kau sendiri tidak sadari selama ini."
Liang Fu Yong merenung sejenak. Dengan perasaan curiga dia bertanya "Benarkah cinta mempunyai kekuatan yang demikian besar? Sehingga dapat membuat aku berganti haluan dan menjadi orang baik-baik?"
"Kalau tidak percaya, mengapa tidak mencobanya saja? Tetapi, gerak-gerikmu sejak sekarang harus mengikuti perkataanku. Kalau tidak, malam-malam kau akan menyelinap keluar dan mengulangi lagi perbuatan terkutuk itu. Apabila demikian halnya, biarpun dewa turun dari langit juga tidak dapat menyembuhkan penyakit kejiwaanmu itu."
Sepasang alis Liang Fu Yong mengerut ketat.
Dia merenung beberapa saat kemudian menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Cici akan mendengar perkataanmu.
Tetapi kau harus memberi sebuah batas waktu.
Kalau tidak, apabila seumur hidup aku tidak mendapatkan jawaban, bukankah Cici harus mendengar perintahmu seumur hidup?"
Tan Ki tidak menduga dia akan mengeluarkan permintaan seperti itu. Diam-diam dia berpikir beberapa saat.
"Bagaimana kalau tiga bulan?"
"Ucapan seorang laki-laki sejati"
"Seperti kuda yang berlari cepat."
Sahut Tan Ki segera.
Kedua orang itu mengangkat telapak tangan kanannya dan saling menepuk satu kali.
Semacam isyarat terkukuhnya sebuah perjanjian.
Hal ini biasa dilakukan oleh para tokoh Bulim.
BAGIAN VII Dari musuh, kedua orang itu berubah menjadi sepasang sahabat.
Malam semakin larut.
Tidak terdengar suara sedikitpun.
Keduanya berdiri saling bertatapan dan tidak mengucapkan sepatah katapun untuk sekian lama.
Lama, lama sekali akhirnya Liang Fu Yong menarik nafas panjang "Adik, siapakah namamu?"
"Tan Ki."
"Orangtuamu?"
Pertanyaan ini menerbitkan rasa sakit di dalam hati Tan Ki. Wajahnya tampak berubah hebat.
"Jangan tanya persoalan ini!"
Bentaknya keras.
Perasaan hati Liang Fu Yong sangat peka.
Setelah tertegun sekian lama, akhirnya dia dapat menduga bahwa riwayat hidup Tan Ki pasti penuh liku-liku dan tidak mudah mencetuskan penderitaan hatinya.
Oleh karena itu dia tersenyum lembut dan mengalihkan pokok pembicaraan.
"Baik, jangan tanya ya sudah. Tetapi ke mana tujuan kita, seharusnya kau boleh jelaskan bukan?"
Tan Ki mendongakkan kepalanya menatap langit.
"Kita menuju sebelah Barat kota. Lihat pertarungan antara dua tokoh yang berilmu tinggi."
Katanya.
"Baik."
Tampaknya Liang Fu Yong sudah menaruh kepercayaan yang dalam terhadap Tan Ki.
Bibirnya hanya mengucapkan sepatah kata baik dan tidak menanyakan hal lainnya.
Sekali gerak tubuhnya langsung melesat.
Kedua orang itupun berlari bersama-sama ke depan.
Tiba-tiba terdengar Tan Ki mengeluarkan suara aduhan yang lirih.
Alisnya langsung bertaut dengan erat.
Liang Fu Yong terkejut sekali melihatnya.
"Adik, ada apa?"
"Dada. Dadaku masih terasa sakit."
Liang Fu Yong mengeluarkan suara seruan. Dia langsung tertawa bebas.
"Hampir saja aku lupa."
Dia mengulurkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan empat butir pil. Disodorkannya ke mulut Tan Ki.
"Setelah menelan obat ini, luka dalam sudah terhitung sembuh secara keseluruhan. Sebetulnya, tiga butir obat yang kuberikan sebelumnya daya kerja obatnya lambat sekali karena dosisnya rendah. Tidak cukup untuk membuyarkan darah yang membeku, itulah sebabnya kau tetap merasa sakit."
"Kalau begitu, kau mengatakan aku tidak boleh menggerakkan hawa murni dan bergebrak dengan orang selama dua belas kentungan hanya bohong belaka?"
Tanya Tan Ki.
"Betul, kalau tidak demikian, mana mungkin kau membiarkan aku menggerayangimu? Yang lucu justru para tokoh Bulim lainnya yang mengalami kejadian serupa. Setelah mendengar perkataanku, mereka tidak berani bergerak sedikipun, tampang mereka pada ketakutan. Hanya engkau yang tidak berhasil kukelabui. Hal ini karena watakmu yang keras sehingga lolos dari cengkeraman Cici."
Tan Ki hanya tersenyum simpul. Dia tidak marah. Diam-diam dia menggerakkan hawa murninya melewati seluruh urat nadi dalam tubuhnya. Dia tidak merasakan adanya sesuatu kelainan.
"Mari berangkat!"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya segera.
Tubuhnya melesat dan dengan kecepatan tinggi dia menghambur ke depan.
Di bawah cahaya rembulan yang redup, yang tertampak hanya dua sosok bayangan.
Keduanya berkelebat dengan cepat.
Dalam waktu tidak berapa lama, mereka sudah memasuki kota Lok Yang.
Tan Ki mengajak Liang Fu Yong menuju ke sebelah Barat kota di mana terletak Cui Sian Lau.
Tujuannya untuk menyaksikan pertarungan antara Cian Cong dan Ciu Cang Po.
Dia ingin sekali lihat siapa yang lebih unggul diantara keduanya.
Ketika sedang berjalan, tiba-tiba bayangan manusia berkelebat, sesosok bayangan hitam berdiri di depan pada jarak kurang lebih tujuh depa.
Gerakan orang ini demikian cepat.
Sekali melesat tahu-tahu dia sudah menghentikan langkah kaki dan berdiri tegak di depan sana.
Melihat keadaan itu, diam-diam Tan Ki merasa terkejut.
"Siapa?"
Bentaknya. Terendus serangkum bau harum mengiringi semilirnya angin, Orang itu perlahan-lahan menghampirinya. Begitu mata memandang, Tan Ki segera mengeluarkan suara kejutan.
"Kiau Hun!"
Panggilnya.
Tidak salah, orang yang mendatangi itu memang dayang Mei Ling yang cantik, Kiau Hun adanya.
Pertama-tama wajahnya menunjukkan kegembiraan.
Ketika matanya beredar, dia melihat Siau Yau Sian-li yang berdiri di samping Tan Ki.
Tampangnya yang riang langsung berubah menjadi dingin.
Dalam waktu yang singkat, wajahnya berubah dua kali berturut-turut.
Tan Ki masih belum menyadarinya.
Dia menghambur ke depan dan mencekal sepasang tangan Kiau Hun.
"Rupanya kau juga sudah dalang ke tempat ini."
Katanya. Siapa tahu Kiau Hun malah menepis tangannya dengan kasar.
"Tentunya urusanmu sudah selesai!"
Ucapannya dingin sekali. Tampaknya, untuk sesaat Tan Ki tidak paham maksud ucapannya. Mendengar katakata gadis itu dia malah tertegun. Kiau Hun tertawa dingin.
"Apa? Kau tidak bisa mengatakan apa-apa lagi?"
"Aku aku tidak ingat urusan apa yang kau maksudkan?"
"Ketika aku hendak pergi, bukankah kau mengatakan agar aku menunggumu di sini, karena kau mempunyai beberapa macam urusan yang harus diselesaikan. Itulah sebabnya kau tidak bisa mengajak aku serta"
Dia berhenti sejenak, kemudian telunjuknya menuding Liang Fu Yong. Dengan suara tajam dia berkata.
"Apakah urusan penting yang kau katakan itu adalah mencarinya?"
Tan Ki menggelengkan kepalanya.
"Kouwnio jangan salah paham, urusan yang aku katakan tidak ada hubungannya dengan dia."
Kiau Hun tertawa dingin satu kali. Tawanya itu mengandung kepiluan yang tidak terkirakan.
"Aku mengerti sekarang, kau pasti menganggap aku tidak pantas bersanding denganmu, maka kau sengaja membawanya untuk mengesalkan hatiku!"
Tiba-tiba hatinya menjadi perih dan air matanya pun mengalir dengan deras.
Meskipun hati gadis ini panas bagai api yang berkobar-kobar, tetapi terhadap masalah cinta kasih, dia justru memandangnya dari sudut yang pesimis.
Begitu kecurigaannya timbul, penjelasan apapun tidak masuk lagi ke telinganya.
Dia hanya mempertimbangkan urusan ini dengan keyakinan hatinya saja.
Pengalaman Liang Fu Yong lebih luas.
Sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang sedang terjadi.
Dia tidak ikut campur dalam masalah ini melainkan hanya berdiri di samping dan memperhatikan dengan pandangan datar.
Tan Ki berdiri di sudut satunya.
Begitu paniknya dia sampai seperti orang linglung.
Kesannya terhadap Kiau Hun hanya perasaan kasihan saja, sama sekali tidak memendam perasaan cinta kasih.
Tetapi, pada saat ini, bagaimana dia harus mengatakannya.
Tentunya kata-katanya akan menambah perasaan antipati di kedua pihak.
Dia tidak berani mengatakannya, juga tidak sanggup mengucapkannya.
Biar bagaimanapun, dia merupakan wujud asli dari Cian bin mo-ong.
Di bahunya masih terpanggul beban dendam ayahnya.
Mana mungkin dia mendahulukan urusan cinta kasih antara muda-mudi? Begitu pikirannya tergerak, dia membangkitkan rasa berani dalam hatinya.
"Cen Kouwnio, kau tidak boleh salah paham terhadapku."
Katanya.
"Salah paham? Apakah semua ini hanya kesalahpahaman saja?"
Untuk sesaat Tan Ki benar-benar tidak tahu bagaimana harus memberi penjelasan kepada Kiau Hun.
Dia berdiri termangu-mangu dengan mulut membungkam.
Begitu matanya memandang, dia melihat wajah Kiau Hun basah oleh air mata.
Tampangnya sungguh mengenaskan.
Diri gadis itu bagai sekuntum melati yang diterpa hujan sehari semalam.
Tan Ki merasa dirinya agak bersalah.
Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya.
Perasaan gadis ini terhadapnya bagai api yang membara, memangnya dia tidak tahu? Tetapi, dia masih menanggung beban dendam sedalam lautan.
Untuk saat ini dia belum ingin membicarakan soal cinta.
Lagipula, orang yang menawan hatinya, justru gadis yang lainnya Tetapi kata-kata ini, dia tidak berani mengutarakannya.
Karena dia sendiri tidak tahu apakah gadis itu juga mencintainya? Kadang-kadang urusan di dunia ini demikian aneh dan kebetulan! Kiau Hun mencintainya sepenuh hati sehingga menyeretnya ke lembah kasih yang mana dia hanya bertepuk sebelah tangan.
Sedangkan dia juga mencintai seorang gadis yang lain, bahkan merindukannya setiap saat.
Kiau Hun tidak tahu kalau Tan Ki mempunyai kesulitan yang tidak dapat dikemukakannya.
Melihat dia membungkam seribu bahasa, dia bertambah yakin bahwa dugaannya memang benar.
Hatinya semakin pedih.
Perasaannya menjadi hancur seketika.
Dia menangis terisak-isak.
Dia melampiaskan perasaannya yang tertekan dan gundah dengan air mata.
Suara tangisannya begitu rendah.
Di malam yang sesunyi ini, mirip dengan ratapan seorang wanita yang kehilangan suaminya.
Orang yang mendengarnya akan ikut merasa tertekan dan sedih.
Lama, lama sekali terdengar suara Kiau ,Hun yang tersendat-sendat.
"Rupanya kau juga memandang rendah diriku.
Malah sengaja berpura- pura serta mendustai perasaanku."
Suaranya begitu pilu.
Di dalamnya terselip penderitaan yang tidak terkatakan.
Ucapannya selesai, air mata sebesar kacang kedelai terus mengalir membasahi pipinya.
Mendengar makian itu, Tan Ki semakin termangu-mangu.
Dia membungkam sekian lama.
Perlu diketahui bahwa gadis ini terlahir sebagai orang yang tidak mampu dan terpaksa menjadi dayang keluarga Liu.
Keberhasilannya hari ini, semua berdasarkan kasih sayang Mei Ling yang sudah menganggap dia seperti saudara sendiri.
Tetapi, di dalam hatinya, terkandung perasaan rendah diri yang kuat.
Dia selalu menganggap orang lain demikian mulia dan hidup dalam keme-wahan.
Sedangkan dirinya adalah seorang gadis yang papa dan hina.
Justru karena mempunyai perasaan demikian, dia semakin yakin Tan Ki melihat dia hanya sebagai seorang dayang dan memandang rendah dirinya.
Dia membenci nasibnya sendiri! Dia juga membenci Tan Ki! Perasaan cinta di dalam hatinya telah berubah menjadi benci! Seandainya dia tidak menolong Tan Ki, dia juga tidak terusir dari perguruannya.
Sehingga sekarang dia menjadi terlunta-lunta tanpa tempat bernaung diri? Lagipula, dia menganggap cinta sucinya telah dikhianati oleh Tan Ki.
Sungguh seorang laki-laki yang memuakkan! Seorang laki-laki yang tipis budinya! Oleh karena itu, diapun memperdengarkan suara tawa yang memilukan.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Seorang gadis yang malang telah pergi.
Dia tidak membawa apa-apa.
Hanya sekeping hati yang hancur dan perasaan benci yang terpendam mengiringi kepergiannya.
Angin malam berhembus lembut seperti mengantarnya.
Bayangan pungguk yang mengenaskan, menghilang dengan perlahanlahan Langkah kaki yang berat tidak memperdengarkan suara lagi.
Tan Ki memandang bayangan punggungnya yang menghilang di kejauhan dengan termangu-mangu.
Lama sekali dia tidak membuka suara.
Bahkan tubuhnya pun tidak bergerak sedikit juga.
Sebetulnya, dia tahu, menghalangi kepergian Kiau Hun hanya perbuatan yang sia-sia saja.
Dalam waktu yang bersamaan, dia juga sadar bahwa dirinya telah melukai hati seorang gadis.
Dia telah menghancurkan impian indah seorang dara! Dia merasa, jauh di dalam sanubarinya, dia seperti menanggung semacam hutang yang membuat hatinya tidak tenang.
Dia berhutang cinta kasih kepada Kiau Hun.
Berpikir sampai di sini, dia menarik nafas panjang.
Perasaannya menjadi gelisah dan tertekan.
Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut Liang Fu Yong.
"Adik, aku tidak jadi ikut denganmu."
Katanya. Tan Ki terkejut setengah mati.
"Kenapa?"
Sepasang alis Liang Fu Yong mengerut dengan erat.
"Rupanya inilah yang disebut cinta, begitu menyayat hati dan pilu.
Semuanya hanya merupakan penderitaan.
Apabila Cici ikut denganmu, rasanya tidak mungkin mendapatkan manfaat apa-apa.
Malah kalau aku yang mengalaminya, setiap hari aku akan berurai air mata dan meraung-raung seperti orang gila."
Setelah berhenti sejenak, dia meneruskan lagi kata-katanya.
"Apakah kau tidak lihat, ketika hendak pergi, tampang gadis tadi begitu kusut dan patut dikasihani. Kalau aku yang mengalami hal serupa, bukankah berarti sudah tahu malah mencari kesulitan untuk diri sendiri?"
Tan Ki tertawa getir.
"Rasa simpati diantara seorang laki-laki dan perempuan, harus terbit dari perasaan kasih diantara keduanya. Dengan demikian, baru ada kebahagian kelak di kemudian hari. Kalau hanya cinta sebelah pihak, namanya bertepuk sebelah tangan dan otomatis penderitaan yang akan diterimanya. Mana bisa kau membandingkan kedua hal itu dengan pandangan yang sama?"
Liang Fu Yong memalingkan wajahnya dan bertanya.
"Benarkah demikian?"
Nada suaranya seperti masih kurang percaya. Tan Ki tersenyum simpul.
"Maka dari itu, kau ikut aku dan mencobanya sendiri. Pada saat kau menyadari betapa mulianya arti kata cinta itu, kau pasti akan berterima kasih kepadaku. Tetapi ingat, aku melakukan semua ini sebagai imbalan karena kau telah membantuku menyembuhkan luka dalam."
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liang Fu Yong menarik nafas perlahan-lahan.
"Baiklah, aku akan mempercayaimu kali ini. Bencana atau keberuntungan, semuanya tentu dapat diketahui dalam jangka waktu tiga bulan."
Mendadak tubuhnya berkelebat! Sekali melesat dia sudah mencapai jarak sekitar tiga depa.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah sampai di depan Cui Sian Lau yang sangat terkenal itu.
Pada saat itu, waktu kurang lebih baru lewat kentungan ketiga.
Di sekitar hanya kesenyapan semata, tanpa suara sedi-kitpun.
Bulan sabit menyorotkan cahayanya yang remang-remang menyinari jalanan tersebut.
Tidak ada satu orangpun.
Perlahan-lahan Tan Ki menarik ujung lengan baju Liang Fu Yong dan mengajaknya ke toko tahu yang ada di sebelah kiri jalan.
Saat ini, tenaga dalamnya sudah pulih kembali.
Gerakannya begitu cepat sehingga tampaknya tidak kalah dengan Liang Fu Yong.
Perempuan itu tersenyum melihat kenyataan ini.
"Adik, tampaknya ilmu silatmu lumayan juga."
Katanya.
Tan Ki hanya tersenyum-senyum.
Dia tidak berkata apa-apa.
Dengan tampang serius, dia mengajak Liang Fu Yong bersembunyi di bawah atap toko tahu tersebut.
Waktu merayap dengan perlahan, satu menit, satu jam setelah lewat agak lama, masih belum tampak ada kejadian apa-apa.
Liang Fu Yong adalah seorang perempuan yang tidak bisa diam.
Hatinya mulai tidak sabar.
Tiba-tiba terdengar Tan Ki mendehem.
"Hati-hati, ada orang datang."
Katanya.
Begitu mata memandang, dari kejauhan terlihat setitik bayangan yang berlari dengan pesat.
Gerakan orang itu bagai hembusan angin melayang datang.
Kecepatan gerakannya membuat hati tercekat.
Dalam sekedipan mata, dia sudah sampai di bawah gedung Cui Sian Lau.
Tampak jubahnya yang berwarna hijau berkibar-kibar.
Bagian belakang kepalanya diikat dengan sehelai pita.
Usianya sekitar lima puluh tahunan.
Wajahnya putih bersih.
Matanya menyorotkan sinar tajam bagai naga sakti.
Alisnya tebal bak alis harimau.
Penampilannya mengesankan kewibawaan seorang yang gagah.
Dengan seksama dia memperhatikan daerah sekitarnya.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah melayang ke atas.
Sungguh gerakan yang mencengangkan! Dua pasang mata dari Tan Ki dan Liang Fu Yong tidak sempat melihat bagaimana orang itu menggerakkan tubuhnya.
Yang terlihat oleh mereka hanya kelebatan bayangan dan tahu-tahu orang itu sudah hilang dari pandangan.
Diam-diam hati mereka tercekat.
Tanpa sadar keduanya saling memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tan Ki sudah pernah melihat gerakan tubuh Cian Cong.
Ketinggian ilmu silatnya, kalau ditilik dari keadaan sekarang, mungkin sudah sulit mencari tandingannya.
Tetapi gerakan orang yang barusan, tampaknya masih lebih tinggi lagi dari Cian Cong.
Siapa orang itu? Seorang tokoh yang misterius.
Kedua orang itu masih tergetar hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang panjang dan suara teriakan yang keras berkumandang dalam waktu yang bersamaan.
Dari arah Barat dan Timur mendadak muncul dua sosok bayangan.
Gerakan tubuh kedua orang ini sama cepatnya dan dalam sekejap mata sudah tiba dia atap Cui Sian Lau.
Begitu mata memandang, hati Tan Ki terkejut juga gembira.
Yang datang ternyata memang Cian Cong si pengemis sakti dan Ciu Cang Po yang merupakan tokoh nomor satu di dunia Kangouw zaman ini.
Terdengar Cian Cong mengeluarkan suara tawa yang bebas.
"Nenek pengemis, kau juga sudah datang?"
Ciu Cang Po tertawa dingin.
"Jangan kata Cui Sian Lau. Meskipun gunung golok maupun lautan berapi, aku juga akan menepati janji."
Baru saja dia berkata sampai di situ, tiba-tiba Tan Ki menyadari sesuatu hal. Di seberang jalan, berdiri Pangcu dari Ti Ciang Pang, yakni Lok Hong. Jenggotnya melambai
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
lambai dan bibirnya tersenyum.
Cucu perempuan kesayangannya Lok Ing malah tidak tabu ke mana perginya.
Gadis itu pun tidak terlihat di sekitar tempat tersebut.
Orang-orang yang datang malam ini, mungkin banyak juga. pikir Tan Ki dalam hatinya.
Ketika benaknya sedang bekerja, tiba-tiba dia merasa di atas kepalanya berkelebat beberapa bayangan.
Semuanya berjumlah tiga orang.
Dari atap toko tahu mereka melesat ke seberang jalan dan menghilang di kegelapan malam.
Mata dan perasaan Siau Yau Sian-li Liang Fu Yong lebih peka serta awas.
Begitu melihat ketiga orang itu semuanya berkepala gundul dan mengenakan (jubah) abu-abu yang longgar, dia segera menarik tangan Tan Ki.
"Mereka adalah para Hwesio. Kemungkinan dari Siau Lim Pai."
Kata- katanya terhenti sejenak, dia mendongakkan wajahnya dan melanjutkan kembali.
"Lihat, di sana ada beberapa orang tojin!"
Sinar mata Tan Ki mengikuti arah yang ditunjuknya.
Ternyata dia melihat orang bertampang pendekar dan dengan mengendap-endap menyelinap ke bagian belakang Cui Sian Lau.
Meskipun orang-orang ini jumlahnya lebih banyak, namun masing-masing dari mereka mempunyai gerakan yang gesit dan lincah.
Langkah kaki mereka tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Hal ini membuktikan bahwa mereka tentunya Tosu Bu Tong Pai yang memiliki ilmu tinggi.
Hatinya tergetar.
Tampaknya urusan malam ini, bukan lagi masalah kalah menangnya pertandingan antara Cian Cong dengan Ciu Cang Po.
Di balik semua ini pasti ada persoalan yang lain pikirnya dalam hati.
Begitu perasan seperti itu menyelinap di dalam kalbu, tanpa sadar tubuhnya menggelinjang seperti orang yang kedinginan.
Dia terus merasa bahwa dalam pertandingan malam ini mungkin terselubung rencana yang keji! Tiba-tiba, di benaknya juga terlintas suatu ingatan.
Mungkinkah orang-orang ini sedang memasang perangkap untuk menjebak Cian bin mo-ong? Hm, hm aku justru berada di sini, apakah kalian dapat menangkapku? Sayang sekali, kalian bahkan tidak tahu wajah asliku ejeknya dalam hati.
Berpikir sampai di sini, dia tersenyum penuh kebanggaan.
Tindak-tanduknya selama setengah tahun belakangan ini dengan nama Cian bin mo-ong, telah menggetarkan hati para tokoh Bulim.
Dia sudah menjadi bagian tertentu dalam tindak-tanduk tokoh-tokoh kelas tinggi dunia Bulim.
Tiba-tiba segumpal awan besar berwarna hitam menyelubungi rembulan yang sedang bersinar.
Sekitar tempat itu menjadi gelap gulita.
Tetapi terdengar suara bentakan dan siulan panjang yang memecah keheningan malam.
Angin yang timbul dari pukulan tangan malah membisingkan telinga.
Rupanya, dalam waktu yang singkat, Cian Cong dan Ciu Cang Po sudah mulai bergebrak.
Tan Ki segera memusatkan perhatiannya.
Begitu seriusnya dia memperhatikan jalan pertarungan sehingga tubuhnya tidak bergerak dan matanya hampir tidak pernah berkedip.
Hanya terasa angin malam yang menghembus mengibar-ngibarkan lengan bajunya.
Sementara itu, tampak juga beberapa orang sedang bergerak.
Mereka rupanya berganti posisi persembunyian.
Sejenak kemudian, awan hitam tadi pun mulai berarak.
Cahaya rembulan kembali bersinar.
Kesenggangan yang ada di jalanan pun pulih kembali.
Ini merupakan malam yang sunyi mencekam.
Dalam keheningan, juga terselip marabahaya yang mengintai.
Begitu mata memandang, di atas atap Cui Sian Lau, bayangan tubuh manusia masih berkelebat ke sana ke mari.
Pertarungan masih berlangsung dengan sengit.
Si pengemis sakti Cian Cong tahu bahwa lawannya jarang berkeliaran di dunia Kangouw.
Tetapi ilmu silat yang dikuasainya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali.
Oleh karena itu, dia tidak berani memendam perasaan memandang ringan lawannya.
Telapak tangannya yang besar bak kipas itu mengibas, serangkum angin yang dahsyat pun terpancar keluar.
Tampaknya dalam hati Ciu Cang Po juga mengerti bahwa orang yang ada di depan matanya mempunyai tenaga dalam yang dahsyat.
Kibasan tangannya itu seakan tidak terlalu istimewa tetapi sebetulnya mengandung kekuatan tenaga dalam yang telah dilatihnya selama ini tak boleh dianggap enteng.
Untuk sesaat dia tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Pinggangnya meliuk dan tahu-tahu tubuhnya berputar serta mundur tiga langkah.
Tiba-tiba dia merasa bagian bawah kakinya licin sekali.
Tubuhnya menjadi tidak seimbang dan bergoyang-goyang seperti orang mabuk.
Hampir saja dia tergelincir ke bawah.
Rupanya atap genting dari Cui Sian Lau terbuat dari bahan kaca keluaran Su Couw yang sangat terkenal.
Benda ini keras dan licin.
Orang yang berdiri di atasnya, terasa bagai menginjak kumparan minyak, maka tubuhnya akan semponyongan.
Justru karena hati Ciu Cang Po terlalu yakin akan dirinya sendiri, dia hampir saja tidak menyadari bahaya tersebut, nyaris saja tubuhnya tergelincir ke bawah.
Hatinya tercekat, cepat-cepat dia menggeser ke samping sejauh dua langkah kemudian mengangkat tongkat ke depan untuk melindungi bagian dadanya.
Sikap Cian Cong meskipun ugal-ugalan, tetapi pada dasarnya dia adalah seorang pendekar berjiwa mulia.
Dia tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Ciu Cang Po.
Hanya mulutnya saja yang mengeluarkan suara tawa terbahak-bahak.
Tampak wajah Ciu Cang Po menjadi merah padam.
Dari malu dia menjadi marah.
Mulutnya meraung murka dan tongkatnya yang anehpun bergerak menimbulkan ribuan bayangan yang bergelombang-gelombang menghempas datang! Dalam satu jurus, enam buah urat darah penting di depan dada sudah terkurung bayangan tongkat si nenek kurus tersebut.
"Ilmu tongkat yang bagus!"
Teriak si pengemis sakti Cian Cong.
Tubuhnya menghentak dan tiba-tiba mencelat ke atas.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun dia sedang mengelakkan serangan, tetapi dia tetap tidak lupa menyerang musuhnya.
Orangnya masih di tengah udara, saling susul menyusul dia melancarkan empat buah pukulan dan tiga kali tendangan.
Ciu Cang Po melihat Cian Cong menyerang dengan gencar, dengan kalang kabut tubuhnya mencelat mundur sembari diamdiam mengagumi ketinggian ilmu silat si pengemis sakti yang tinggi sekali.
Di samping itu dia juga merasa penasaran.
Watak nenek ini pada dasarnya memang picik dan tinggi hati.
Kalau tidak demikian, dia tidak mungkin menantang Cian Cong malam ini untuk pertarungan sengit hanya karena urusan Tan Ki yang sepele.
Maka dari itu, persoalan yang membuatnya semakin penasaran, pandangan pun menjadi semakin picik.
Dia tidak sudi mengalah.
Walaupun ilmu silat si pengemis sakti lebih tinggi lagi, dia juga ingin bertarung sampai ada penentuan siapa yang kalah serta siapa yang menang baru hatinya merasa puas.
Begitu mencelat mundur, nenek kurus itu langsung menghimpun tenaga dalam dan mengatur hawa murni di dalam tubuhnya kemudian sekali lagi mengibaskan tongkat ke depan.
Dalam waktu yang singkat dia telah melancarkan delapan belas jurus berturutturut.
Serangan yang gencar ini membuat Cian Cong terdesak sehingga dia terpaksa mundur f tiga langkah kemudian memaksakan diri menyambut serangan itu.
Ketika pukulannya datang, terdengar angin menderu-deru.
Hal ini membuat Ciu Cang Po menahan dari sebelah kanan dan menghindar ke sebelah kiri.
Berturut-turut kakinya mundur ke tempat semula.
Kedua orang itu hilir mudik, maju mundur saling menyerang serta menangkis dengan sengit.
Perkelahian diantara kedua orang itu merupakan pertarungan yang sengit di antara dua tokoh berilmu tinggi yang mengeluarkan segenap kemampuannya! Hal ini membuat Tan Ki yang menyaksikan pertandingan itu menjadi terpesona dan terpaku.
Bahkan orang-orang yang bersembunyi di dalam kegelapan juga hampir kelepasan mulut berseru memuji.
Tetapi karena mereka mempunyai rencana tertentu, maka tidak berani berteriak dengan suara keras.
Kentungan ketiga sudah berlalu.
Menang atau kalah di antara kedua orang itu masih sulit ditentukan.
Kentungan keempat kentungan kelima, juga segera berlalu.
Di batas langit, lambat laun tersembul cahaya kuning keemasan.
Hari yang baru telah datang.
Namun, kedua orang yang bertarung di atap genting Ciu Sian Lau masih belum berhenti.
Mereka sudah bertarung sebanyak ribuan jurus.
Sampai sekarang masih belum dapat menentukan siapa yang lebih unggul di antara keduanya.
Hal ini tampaknya membuktikan bahwa ilmu silat mereka setali tiga uang alias seimbang.
Siapapun diantara mereka sulit merubuhkan lawannya.
Tan Ki mengalihkan pandangannya, dia melihat ke sekeliling.
Tampak orang-orang yang sedang bersembunyi di kegelapan sedang memusatkan perhatiannya menyaksikan jalannya pertarungan.
Tetapi mimik wajah mereka agaknya sudah mulai tidak sabar.
Beberapa kali mereka menegakkan tubuh dan memperhatikan sekitar.
Kadang-kadang mereka berbincang-bincang beberapa patah kata dengan rekannya kemudian menggelengkan kepala sambil tertawa getir.
Tan Ki tidak tahu apa yang sedang mereka nantikan.
Tetapi kalau ditilik dari mimik wajah mereka, kemungkinan orang yang mereka tunggu tidak akan muncul malam ini.
Ketika benaknya sedang merenung, tubuh Liang Fu Yong yang kecil dan mungil entah sejak kapan telah menyelusup ke dalam pelukannya.
Saat ini pikiran Tan Ki sedang bekerja keras, dia tidak memperdulikan tingkah perempuan itu.
Tetapi tampang perempuan itu kelihatannya agak aneh.
Seperti seorang yang sedang mengkhayal, juga seperti sedang menyimpan sesuatu rahasia.
Di wajahnya tersirat mimik yang kadang tertawa tetapi ka-dangkala malah cemberut.
Padahal dia sendiri merasa bingung.
Mengapa hatinya bisa berdegup-degup sehebat itu? Indera penciumannya, mengendus serangku m bau yang terpancar dari tubuh Tan Ki.
Bau itu menunjukkan desah nafas dari seorang laki-laki yang gagah.
Dia merasa hatinya menjadi gelisah dan pikirannya melayang-layang.
Bernaung di dalam pelukan Tan Ki yang bertubuh kekar dan berotot, dia dapat mendengar denyut jantung anak muda itu.
Dak! Duk! Dak! Duk! Bagai irama musik yang mengiringi degup jantungnya sendiri.
Hatinya sendiri, entah mengapa timbul semacam perasaan yang aneh.
Tetapi dia sendiri tidak dapat menjelaskannya.
Dia hanya merasa perasaan ini amat ajaib, membuat hatinya terlena.
Dia teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia menyerahkan sesuatu yang paling berharga dari diri seorang gadis kepada seorang pemuda yang dicintainya.
Dia juga mempunyai perasaan seperti sekarang ini kemudian, perasaan seperti ini tidak dirasakannya lagi bagai sesuatu terombang-ambing di tengah lautan dan sulit ditemukan lagi.
Ingin sekali rasanya dia mencari kem-bali perasaan yang hilang itu.
Walaupun hanya sedikit kenangannya saja.
Oleh karena itu, diapun memaksakan kehendaknya kepada setiap laki-laki yang ditemuinya, dia berharap laki-laki itu dapat mengajaknya naik ke puncak gunung yang tinggi dan beterbangan di awan biru Tapi, dia selalu gagal.
Setiap kali gelombang birahi sudah berlalu, dia merasakan kehampaan yang membingungkan.
Hatinya menjadi kosong melompong.
Padahal dia sadar, apabila dia mengulangi perbuatan itu, yang didapatinya hanyalah penyaluran sesaat, kesenangan sekejap.
Dia tidak mungkin memperoleh ketenagan bathin.
Tetapi setiap gairah dalam hatinya bergejolak, kembali bara api di dalam dadanya berkobarkobar.
Hal ini membuat dia tidak sanggup mempertahankan diri.
Sekarang, dia bergelayutan di pelukan Tan Ki.
Kembali dia mengendus bau nafas yang istimewa pada diri seorang laki-laki.
Wajahnya menjadi merah padam.
Dia merasa hatinya berdebar-debar.
Seluruh tubuhnya terkulai lemas seperti tidak mempunyai tenaga sedikitpun.
Dia tidak tahu mengapa, tapi dapat merasakan bahwa hal ini merupakan peristiwa yang aneh.
Karena setiap kali dia berhubungan dengan seorang laki-laki, dia belum pernah mempunyai perasaan yang seaneh ini.
Tepat pada saat hatinya sedang gundah, tiba-tiba segulungan angin yang dingin menghembusi wajahnya.
Tanpa sadar tubuhnya menggigil.
"Adik, aku merasa kedinginan."
Katanya dengan suara lirih.
Sepasang mata Tan Ki sedang terpaku ke atap genting.
Dia malah tidak berkedip sekalipun.
Tetapi setelah mendengar ucapannya, dia segera mengulurkan lengannya dan memeluk pinggang perempuan itu.
Sebetulnya, seluruh perhatian Tan Ki sedang terpusat pada pertarungan yang terjadi antara Cian Cong dengan Ciu Cang Po.
Dia mengulurkan lengannya memeluk pinggang Liang Fu Yong hanya bertujuan agar perempuan itu mendapat sedikit kehangatan.
Dia tidak mempunyai maksud lain sedikitpun.
Hanya semacam gerakan refleks pada saat tertentu.
Liang Fu Yong tertawa lebar.
Tawanya mengandung kegenitan dan kejalangan yang dinyatakan secara menyolok.
Dia merasa lengan Tan Ki begitu kekar, juga mengandung tenaga yang kuat seakan sanggup meremukkan setiap bagian dari tubuhnya.
Tentu saja apa yang dipikirkan dalam hatinya, orang lain tidak mungkin bisa tahu.
Sementara itu, pertarungan di atas atap genting telah mencapai puncak ketegangannya.
Suasana terasa semakin mencekam.
Tampak gerakan Cian Cong dan Ciu Cang Po berdua berubah menjadi lambat sekali.
Setiap kali tangan diangkat dan kaki menginjak seakan membawa beban ribuan kati sehingga sulit digerakkan.
Tapi tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan ataupun kibasan tongkat, tampaknya mengandung kekuatan dahsyat yang tidak berwujud sehingga atap genting Cui Sian Lau itu pecah berhamburan.
Untung sebelumnya Bu Ti Sin-kiam Liu Seng sudah menyuruh orang berjaga di dalam Cui Sian Lau.
Maksudnya pertama untuk melindungi setiap tamu yang berkunjung ke penginapan itu, sekaligus menyatakan bersedia mengganti kerugian apabila terjadi kerusakan.
Kalau tidak diberitahukan terlebih dahulu, kemungkinan para pelayan maupun tamu-tamu yang datang akan terkencing-kencing ketakutan mengetahui adanya pertarungan di atap genting rumah makan sekaligus dengan datangnya berbagai tokoh yang ingin menyaksikan keramaian.
Terdengar suara bentakan nyaring dari mulut Ciu Cang Po.
Seluruh rambutnya yang telah memutih seakan berjingkrakan ke atas.
Sepasang matanya menyorotkan sinar api yang berkobar-kobar.
Tampangnya garang menyiutkan nyali orang yang memandangnya.
Meskipun marah, tapi penampilan si pengemis sakti Cian Cong lebih tenang.
Justru setelah pihak lawan meraung nyaring, dengan dahsyat dia melancarkan sebuah pukulan untuk menyambut datangnya serangan tongkat Ciu Cang Po yang keji.
Dua gulungan tenaga yang kuat langsung beradu.
Timbul suara yang menggelegar seperti genderang yang ditabuh dengan keras.
Kemudian terlihat dua sosok bayangan mereka berpencar.
Kedudukan tetap seimbang.
Tiba-tiba setelah berhenti sejenak, keduanya mengeluarkan suara teriakan dan saling menerjang lawannya.
Kejadiannya hanya sekejap mata! Dalam waktu yang singkat itu, kedua orang tersebut kembali beradu pukulan! Mendadak sesosok bayangan melesat ke atas dan menerjang ke depan.
Dia adalah pangcu Ti Ciang Pang, Lok Hong.
Gerakan orang ini cepat tidak terkira.
Ketika dia melesat ke atas genting, matanya langsung mengedar.
Tanpa terasa dia jadi termangu-mangu.
Tampak si pengemis sakti Cian Cong sedang memegang dada dengan tangan kirinya.
Tubuhnya tetap berdiri tegak.
Mimik wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang menahan rasa sakit.
Sedangkan Ciu Cang Po terbaring di atas genting tanpa bergerak sedikitpun.
Matanya terpejam rapat-rapat.
Kalau tidak sampai mati, paling tidak menderita luka yang sangat parah.
Perlahan-lahan Lok Hong menarik nafas panjang.
"Cian heng, bagaimana keadaanmu?"
Tanyanya. Si pengemis tua Cian Cong masih dapat tertawa terbahak-bahak.
"Si pengemis tua termakan tendangan nenek pengemis itu satu kali. Tapi dadanya juga terkena serangan pukulan si pengemis tua. Kedua-duanya tidak ada yang rugi"
Tiba-tiba mulutnya terbuka dan Hoakkk! diapun memuntahkan darah segar.
Tubuhnya semponyongan beberapa saat kemudian terkulai jatuh.
Lok Hong terkejut sekali.
Dengan panik dia mengulurkan tangan dan segera memapah orangtua itu.
Tampak Cian Cong menghembus nafas panjang-panjang.
Bibirnya masih juga tersenyum.
"Ilmu silat si nenek pengemis ini benar-benar membuat si pengemis tua kagum kepadanya. Tetapi watak orang ini benar-benar terlalu picik, tidak dapat diajak bersahabat"
Mendadak rasa sakit di dadanya terkena tendangan Ciu Cang Po semakin sakit. Cepatcepat dia menutup mulutnya dan tidak berani berbicara lagi. Saking sakitnya, keringat dingin telah membasahi kening orangtua tersebut. Lok Hong tersenyum simpul.
"Membiarkan orang seperti dia hidup di dunia sama sekali tidak ada manfaatnya. Biar hengte yang membereskannya saja"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pandangan tokoh-tokoh Bulim, Cian Cong dianggap sebagai salah satu dari dua tokoh sakti yang masih hidup di dunia ini.
Hal ini bukan kebetulan, tetapi selain ilmu silatnya yang tinggi, hatinya juga welas asih dan adil dalam memutuskan sesuatu.
Mendengar kata-kata Lok Hong, dia jadi panik sekali.
Orangtua itu segera mencegah.
"Tidak boleh, ilmu silat yang dimiliki orang ini, mungkin telah menghabiskan separuh usianya, baru ia mencapai tingkat setinggi ini. Kalau kau membunuhnya begitu saja, benar-benar patut disayangkan. Apalagi, aku dengar tindak-tanduk orang ini sebetulnya tidak terlalu"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang dingin menukas "Perbuatannya tidak terlalu apa? Cian Cong, kau anggap perbuatanmu seumur hidup selalu benar dan tidak pernah ada terkandung niat busuk sedikitpun?"
Mendengar ucapan itu, Cian Cong benar-benar merasa di luar dugaan.
Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu.
Begitu mata memandang, dia melihat seseorang sedang melangkah dengan santai di atap genting, ilmu ginkang yang dimilikinya, mungkin malah lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Hatinya langsung tercekat.
Setelah di perhatikan baik-baik, dia melihat orang ini mengenakan jubah hijau dengan rambut disanggul ke atas.
Tangannya memegang sebatang kipas yang terbuat dari sejenis tulang yang keras.
Tampangnya biasa-biasa saja.
Namun penampilannya seperti playboy kawakan.
Tetapi membuat orang yang menatapnya menjadi sebal.
Sepasang alis Cian Cong langsung terjungkit ke atas.
Entah di mana aku pernah berjumpa dengan orang ini benar-benar kurang ajar, justru pada saat diperlukan aku selalu tidak bisa mengingatnya. katanya dalam hati.
Tampaknya Lok Hong sudah dapat melihat bahwa orang yang baru muncul ini mempunyai ilmu silat yang tinggi sekali.
Dia segera merangkapkan sepasang tangannya menjura.
"Entah siapa nama Saudara yang mulia. Harap maafkan kalau pandangan hengte sudah kurang jelas."
Katanya.
Meskipun Lok Hong adalah seorang pang-cu, tetapi seumur hidup dia sibuk berlatih ilmu silat dan mengurusi tetek bengek di perkumpulannya.
Oleh karena itu dia jarang berkelana di dunia Kangouw.
Kecuali dua tiga orang sahabat lamanya, tokoh yang lain dia hanya pernah mendengar namanya saja dan belum pernah bertemu muka.
Apalagi kalau orang berjubah hijau ini sudah lama mengasingkan diri dan baru muncul kembali.
Tampak laki-laki berjubah hitam itu melirik Lok Hong sekilas dengan sinar matanya yang datar.
Bibirnya tersenyum.
Tatapannya beralih kepada Cian Cong.
"Pengemis tua, jurus seranganmu yang dinamakan "Hui Siu Jut Lim" (Lengan baju terbang memasuki hutan) tampaknya boleh juga!"
Tampaknya watak orang ini sulit dimengerti.
Ketika berbicara dan tertawa, rasanya tidak terselip rasa permusuhan.
Tetapi entah mengapa, Cian Cong yang mendengar suara tawanya, tanpa sadar jadi menggidik.
Mata manusia berjubah hijau itu beredar lagi.
Kali ini berhenti pada diri Lok Hong.
Mulutnya kembali memperdengarkan suara tertawa yang nyaring.
"Apakah saudara tetap ingin membunuh Ciu Cang Po?"
Nada bicaranya tajam sekali meskipun diucapkan dengan bibir tersenyum.
Lok Hong yang mendengarnya menjadi tidak tenang.
Wajahnya merah padam.
Dia sampai tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Sengaja dia membuang muka dan melihat ke tempat lain.
Tampaknya dia tidak ingin bertemu pandang dengan orang ini.
Orang berjubah hijau itu tersenyum simpul.
"Nenek ini mempunyai hubungan yang erat denganku.
Kalau kalian berdua tidak senang melihatnya, bagaimana kalau kubawa pergi saja?"
Tanpa menunggu jawaban, dia langsung membungkukkan tubuhnya memondong Ciu Cang Po. Tindak tanduknya ini seperti menyatakan.
"Biarpun kalian tidak setuju, aku tetap akan membawanya. Lihat apa yang dapat kalian lakukan terhadap diriku?"
Wajah Lok Hong langsung berubah hebat.
Baru saja dia hendak meluapkan perasaan amarahnya, dia merasa ujung lengan bajunya telah dijawil oleh Cian Cong.
Dia segera mengalihkan tatapannya.
Dia melihat mimik wajah si pengemis tua itu mengandung kecurigaan yang berat.
Sepasang alisnya terjungkit ke atas.
Hatinya seakan sedang menghadapi masalah yang rumit, dan tidak dapat dipecahkannya.
Padahal dia tahu sikap Cian Cong biasanya sangat bebas.
Bibirnya selalu tersenyum.
Kalau tidak menghadapi masalah yang serius, tampangnya tidak pernah seperti itu.
Lok Hong menjadi terpana.
Tetapi dia melihat orangtua itu mengerutkan sepasang alisnya.
Cian Cong sedang merenung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Dia merasa tidak enak untuk mengajukan pertanyaan pada saat seperti itu.
Akhirnya dia terpaksa menahan emosi dalam dadanya dan mendelik lebar kepada manusia berjubah hijau seperti menunjukkan bahwa hatinya merasa kurang senang.
Hal ini karena kedudukannya sebagai pangcu sebuah perkumpulan yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan.
Apabila dia sampai disudutkan oleh seorang tokoh tidak dikenal dan tidak berani mengambil tindakan apa-apa, tentu dirinya akan dicemooh orang.
Manusia berjubah hijau itu melihat kedua orang itu saling lirik beberapa kali.
Tetapi mereka tidak memberikan jawaban.
Setelah menunggu sekian lama, hatinya mulai kurang sabar.
Oleh karena itu dia langsung memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Apakah kalian tidak ingin mengatakan apa-apa? Kalau begitu aku akan membawa orang ini. Selama gunung masih menghijau dan air masih mengalir, kelak kita pasti akan berjumpa kembali!"
Tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah mendarat di atas tanah.
Gerakannya sungguh cepat dan indah.
Tanpa menolehkan kepala sekalipun, dia langsung melesat ke depan.
Dalam waktu yang singkat, bayangannya pun sudah tidak terlihat lagi.
Dari kejauhan, tiba-tiba berkumandang suara orang itu yang diucapkan dengan sungkan "Si pengemis tua harap menunggu dengan sabar.
Tiga bulan kemudian, aku akan mengajarkan kepada nenek ini mengembalikan jurus serangan Hui Siu Jut Lim milikmu itu!"
Meskipun suara itu terpancar dari jauh dan di telinga Cian Cong maupun Lok Hong terdengar lirih sekali, namun kata-katanya sangat jelas.
Pengalaman maupun pengetahuan kedua orang ini sangat luas.
Begitu mendengar suaranya, mereka segera sadar bahwa pihak lawan menggunakan semacam ilmu tingkat tinggi dan mengumpulkan ucapannya menjadi gabungan yang kemudian dikirimkan dari jarak jauh.
Tanpa terasa keduanya saling pandang sambil tertawa getir.
Tidak sepatah katapun terucap dari bibir mereka.
Ilmu semacam ini kedua orang itu otomatis juga bisa.
Tetapi kalau dibandingkan, ucapan yang terdengar tidak sejelas manusia berjubah hijau tersebut.
Begitu manusia berjubah hijau itu membawa pergi Ciu Cang Po, hawa pembunuhan yang tadi memenuhi tempat itu juga buyar seketika.
Tetapi di dalam hati orang-orang yang ada di sekitar daerah itu, timbul sebuah pertanyaan.
Siapa dia? Siapa kiranya tokoh yang misterius itu? Siapa? Tidak ada seorangpun yang dapat menjawabnya.
Pertanyaan itu bagai teka teki terselubung dan harus dicari dulu pemecahannya.
Sekian lama Cian Cong dan Lok Hong termenung memikirkan pertanyaan yang sama.
Kadang-kadang mereka saling lirik dengan harapan rekannya dapat memberi keterangan tentang masalah yang rumit ini.
BAGIAN VIII Sementara itu, dari sekitar Cui Sian Lau dan ujung jalan, keluar sekerumunan orang.
Ada Rahib, Tosu, Nikouw, Hwesio dan berbagai kalangan.
Tampak langkah kaki mereka semuanya sangat ringan.
Gerakan tubuh juga sangat cepat.
Hal ini membuktikan bahwa mereka bukan tokoh sembarangan.
Untuk apa mereka datang ke tempat ini? Melihat keadaan ini, Tan Ki yang bersembunyi di kegelapan menjadi terkejut setengah mati.
Pengalaman memberitahukan, bahwa kedatangan orang-orang ini yang mana termasuk tokoh-tokoh dari lima partai besar, pasti bukan sekedar kebetulan.
Tiba-tiba terlihat bayangan berkelebat.
Lok Hong dan Cian Cong saling susul menyusul melayang ke atas tanah.
Begitu mata memandang, keduanya menjadi tertegun.
Tampaknya, mereka juga tidak tahu apa yang direncanakan orang-orang ini.
Seorang angkatan tua dari Siau Lim Pai, yakni Pun Bu Taisu, merupakan orang pertama yang segera menghampiri.
Dia merangkapkan sepasang tangannya dan mengucapkan nama Budha.
"Entah bagaimana kabar Cian Sicu setelah sekian lama tidak berjumpa?"
Sapanya ramah. Sepasang biji mata Cian Cong jelalatan ke sana ke mari.
"Apakah kau Hwesio busuk ini mengharap aku mati cepat-cepat atau mati kekenyangan makan daging anjing?"
Sahutannya malah merupakan gerutuan.
Tampaknya Pun Bu Taisu sudah paham sekali watak Cian Cong yang suka ceplasceplos.
Ucapan seperti ini entah telah didengarnya berapa puluh kali.
Oleh karena itu, terhadap sahutan Cian Cong, dia hanya tersenyum simpul.
"Mana mungkin, mana mungkin. Tentunya Sicu hanya bergurau."
"Untuk apa kalian datang ke mari? Untuk menyaksikan si pengemis tua berkelahi dengan si nenek kurus itu bukan?"
Pun Bu Taisu masih tersenyum-senyum.
"Dapat menyaksikan kehebatan Cian Sicu, sungguh merupakan keberuntungan bagi kami. Tetapi, sebetulnya kedatangan kami ini adalah untuk menunggu seseorang."
Tampaknya Cian Cong tertarik sekali dengan ucapannya. Dia langsung tertawa lebarlebar.
"Siapa yang kalian tunggu?"
"Cian bin mo-ong!"
Cian Cong tertegun.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau Cian bin mo-ong benar-benar akan ke tempat ini?"
"Cian Sicu merupakan salah satu dari dua tokoh sakti di dunia Bulim. Dan malam ini mengadakan perjanjian untuk bertarung dengan Ciu Cang Po. Pertandingan ini pasti sangat seru dan mendebarkan hati. Dalam hati pinceng berpikir Cian bin mo-ong memiliki ilmu silat yang tinggi. Masa dia tidak mendengar berita ini dan bergegas datang untuk menyaksikan keramaian? Oleh karena itu, pinceng segera mengajak beberapa orang kawan dan menunggu di sini untuk berjaga-jaga, tapi"
Cian Cong tertawa terkekeh-kekeh.
"Tapi, orang yang kalian tunggu ternyata tidak datang bukan?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Biar aku beritahukan kepadamu, Kwesio busuk. Beberapa malam yang lalu, si pengemis tua justru sudah bertemu dengan Cian bin mo-ong. Bahkan kami sempat bergebrak. Sayangnya dia hanya terkena satu pukulan si pengemis tua, akhirnya dia berhasil meloloskan diri"
Kata-katanya terhenti dan tangannya menunjuk ke arah Lok Hong.
"Pangcu dari Ti Ciang Pang ini juga mende-ngar kabar tentang tindak tanduk Cian bin mo-ong yang menimbulkan huru-hara di dunia Kangouw. Perbuatannya tidak mengenal bumi dan langit. Dia sengaja meninggalkan markas Ti Ciang Pang dan bersiapsiap diri bertemu dengan Cian bin mo-ong. Si pengemis tua tahu, setelah terkena pukulanku, dalam waktu tiga atau lima hari pasti belum pulih. Lebih baik kita menuju gedung keluarga Liu untuk sementara. Biar kita tidak usah menganggu dia beberapa hari, sekalian merundingkan cara menghadapi Cian bin mo-ong ini."
"Bisa memperoleh bantuan dari Cian Sicu serta Lok Sicu ini, meskipun urusan yang lebih hebat juga pasti dapat diselesaikan."
Sahut Pun Bu Taisu. Si pengemis tua tertawa terkekeh-kekeh.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan cepat-cepat menempelkan emas di muka si pengemis tua ini. Siapa tahu kalian kelak yang tidak becus, sehingga belum apa-apa sudah ketakutan. Hal inilah yang akan menjadi bahan tertawaan."
Ucapannya ini seperti tidak berani memandang rendah Cian bin mo-ong.
Kemudian, dengan diiringi si pengemis sakti Cian Cong dan Lok Hong, tokoh-tokoh dari kelima partai besar berbondong-bondong menuju gedung kediaman keluarga Liu.
Dalam sekejap mata, kerumunan orang itu sudah bubar sampai bersih.
Meskipun dalam masalah tadi, Tan Ki tidak ikut campur, tapi melihat saja hatinya sudah tergetar.
Tahu-tahu keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya! Rupanya tokoh-tokoh dari kelima partai besar masih belum sudi melepaskan diriku. pikirnya dalam hati.
Mendadak mulutnya memperdengarkan suara tawa yang dingin.
Pada suatu hari nanti, Cian bin mo-ong akan berkunjung kelima partai besar dan menantang kalian satu persatu. katanya dalam hati.
Mendadak, terdengar suara Liang Fu Yong yang membersin.
"Adik, ke mana lagi tujuan kita setelah ini?"
Tanyanya kemudian. Tan Ki menggelengkan kepalanya.
"Aku sendiri tidak tahu."
Dia tahu Cian Cong, Lok Hong dan yang lain-lainnya semua berada di rumah Liu Seng.
Apabila dia ingin membunuh Liu Seng untuk membalaskan dendam ayahnya, sekarang ini dia juga tidak sanggup menandingi mereka.
Satu-satunya jalan hanyalah menghindari mereka selam tiga atau lima hari.
Tetapi, dalam waktu beberapa hari ini, apa yang harus dilakukannya? Dan ke mana dia harus pergi? Tidak ada.
Dia tidak mempunyai rumah.
Meskipun dunia ini begitu luas, tetapi dia tidak tahu harus pulang ke mana? Berpikir sampai di sini, tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
Kepalanya tertunduk dalam-dalam dan tidak mengucapkan sepatah katapun.
Kemudian, perlahan-lahan dia mendorong tubuh Liang Fu Yong.
"Mari kita pergi pesiar saja."
Katanya kemudian. Liang Fu Yong mengangkat sebelah tandannya dan merapikan rambutnya yang acakacakan. Dengan penuh perasaan dia mengembangkan seulas senyuman.
"Terserah engkau saja. Pokoknya dalam tiga bulan ini, ke manapun kau pergi, Cici akan mengikutimu. Aku tidak akan banyak tanya ataupun membantah."
Sinar mata Tan Ki segera beredar ke sekitarnya.
"Lebih baik kita cari rumah penginapan dan beristirahat sejenak."
Demikianlah, kedua orang itupun segera meninggalkan toko tahu dan mencari penginapan yang sederhana.
Tan Ki meminta dua kamar tidur dan berpencar dengan Liang Fu Yong untuk beristirahat.
Hal ini malah membuat perasaan Liang Fu Yong menjadi tertekan.
Hari ini terpaksa aku memeluk bantal seorang diri katanya dalam hati.
Keesokan paginya, kedua orang itu mencari kuda tunggangan dan mengambil arah ke Lung Si.
Satu hari dua hari telah berlalu Tan Ki menceritakan berbagai kisah para wanita yang menjadi pahlawan bangsa dan tri ==================
Jilid 5 Hal 50 51 Hilang Kalo ada yang punya silahkan contact lavilla.dry@gmail.com ================== seorang tokoh persilatan.
Meskipun ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi mungkin dia bisa mengenali senjata-senjata rahasia ini! Tetapi, begitu dia menghambur ke dalam kamar ibunya, ternyata di sana tidak ada seorangpun.
Hatinya tercekat.
Dia merasa aneh sekali.
Kembali hatinya berpikir.
Mungkinkah ibu mendengar suara ayah yang berkelahi dengan seseorang, maka dia lalu keluar dengan tergesa-gesa? Matanya menerawang, di tembok masih tergantung sepasang golok berbentuk bulan sabit.
Pasangan golok itu merupakan senjata yang digunakan oleh ibunya sehari-hari.
Kalau dia tidak membawanya, pasti dia bukan keluar untuk melihat ayah.
Tiba-tiba dia melihat sehelai sapu tangan laki-laki di tengah-tengah kamar, hatinya berdebar-debar, cepat-cepat dia memungutnya.
Sekali pandang saja dia sudah tahu bahwa benda itu bukan milik ayahnya.
Untuk apa seorang laki-laki asing masuk ke kamar ibunya? Pikiran ini melintas di kalbunya yang masih bersih.
Tanpa sadar dia menjadi marah sekali.
Meskipun usianya masih kecil, tetapi terhadap urusan laki-laki dan perempuan, cukup banyak yang diketahuinya.
Ketika ayah sedang dalam keadaan di ambang maut, ibu malah kabur dengan seorang laki-laki. pikirnya dalam hati.
Semakin dipikirkan, semakin terasa bahwa dugaannya tidak salah.
Tanpa sadar, air matanyapun mengalir dengan deras.
Dia sudah menjadi seorang anak yatim piatu Sampai saat ini, dia baru mengerti apa yang dinamakan penderitaan.
Ayahnya sudah mati, ibunya kabur dengan seorang laki-laki, dalam keadaan dilanda dua macam pukulan bathin, diapun menangis meraung-raung.
Sebab sebelumnya, dia adalah seorang bocah yang cerdas dan lincah, hidupnya bahagia dengan keluarga yang harmonis.
Dia tidak tahu hal lainnya kecuali kegembiraan.
Tetapi, dalam waktu yang singkat, dunianya seakan ambruk.
Diapun berubah menjadi dewasa.
Dia tahu apa yang dinamakan kegagahan seorang laki-laki.
Dia sudah dapat memburu para laki-laki sehingga menggemparkan dunia persilatan.
Setiap malam dia selalu bercinta dan melampiaskan hasrat hatinya.
Kadang-kadang dalam satu malam dia mencari tujuh atau delapan orang laki-laki.
Tetapi sejak mengikuti Tan Ki, ternyata dia dapat juga menuruti nasehat anak muda itu dan berusaha menenangkan gairah yang bergejolak dalam dadanya.
Meskipun baru tiga hari yang singkat, tetapi sebetulnya tidak mudah.
Kalau dia merasa iseng atau sumpek, hal ini tidak boleh disalahkan.
Kemudian terdengar lagi suara Liang Fu Yong yang merdu.
"Adik, bolehkah aku datang ke kamarmu dan bercakap-cakap?"
"Apa yang akan kita percakapkan?"
Kamar sebelah menjadi hening. Tampaknya Liang Fu Yong sedang merenung. Agak lama kemudian, terdengarlah suara tawanya.
"Kita bicarakan masalah apa saja. Kalau tidak, kau boleh bercerita lagi. Saat ini Cici tidak dapat pulas. Hanya ingin berbincang-bincang saja denganmu."
Sahutnya.
"Baiklah, kau datang saja ke mari."
Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, tiba-tiba tampak sesosok bayangan menyelinap masuk lewat jendela kamar. Pertama-tama Tan Ki tertegun kemudian dia tersenyum simpul.
"Mungkin dulu kau selalu menggunakan cara seperti ini untuk menyelinap ke dalam kamar seorang laki-laki"
Tiba-tiba dia merasa kata-katanya ini bisa menyinggung perasaan Liang Fu Yong, maka dari itu dia tidak jadi melanjutkan.
Tetapi di wajahnya sudah terlihat jelas rona kemerah-merahan.
Liang Fu Yong tertawa-tawa.
Tampaknya dia tidak mengambil hati terhadap ucapan Tan Ki barusan.
Dia langsung duduk di tepi tempat tidur.
Tan Ki menegakkan badannya dengan maksud turun dari tempat tidur.
Tapi Liang Fu Yong segera mencegahnya.
Bibirnya tersenyum.
"Kau berbaring saja. Cici hanya ingin melihatmu, tidak ada niat lainnya."
Begitu mata memandang, wajah Tan Ki yang tampan begitu polos bagai bayi yang baru dilahirkan.
Bersih dan menawan hati.
Di bawah sorotan cahaya lampu yang remangremang, tampangnya semakin memukau.
Hatinya langsung berdebar-debar, seakan ada terselip perasaan jengah yang naik ke atas kepala.
Cepat-cepat dia menundukkan wajahnya dan tidak berani memandang lebih lama.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara Tan Ki.
"Konon ada seorang wanita, namanya Liang Ang Giok.
Dia hidup sebagai seorang penyanyi yang melayani tamu-tamu di rumah pelesiran.
Begitu cantiknya dia sampai namanya terkenal ke daerah-daerah yang jauh"
Liang Fu Yong merasa hatinya gelisah.
Pikirannya melayang-layang.
Dia sedang memikirkan sesuatu hal.
Apa yang dikatakan oleh Tan Ki selanjutnya sama sekali tidak masuk dalam pendengarannya.
Lambat laun, dari sepasang sinar matanya menyorot cahaya yang aneh Suasana di dalam ruangan juga seakan dipenuhi gairah yang misterius.
Yang seorang terus berbicara, sedang yang satunya lagi mendengarkan dengan setengah hati.
Orang yang bercerita justru memusatkan perhatian pada kisah yang diceritakan.
Bagaimana wanita bernama Liang Ang Giok itu terpaksa menjual diri guna menutupi hutang-piutang suaminya.
Orang yang mendengarkan malah membiarkan pikirannya melayang-layang dan saat itu seperti ada kobaran api di dalam hatinya yang naik semakin tinggi.
Tiba-tiba dia memejamkan matanya dan berteriak.
"Tidak usah diteruskan lagi!"
Tan Ki jadi tertegun.
"Apakah kau tidak senang dengan cerita yang satu ini?"
Tanyanya bingung. Perlahan-lahan Liang Fu Yong menggigit bibirnya yang sebelas atas.
"Tidak, adik. Apapun yang kau ceritakan, Ciri selalu senang mendengarnya. Biarpun kau memarahi aku juga tidak apa-apa. Tetapi saat ini, aku aku"
Entah mengapa, kata-kata yang selanjutnya begitu sulit dicetuskan oleh Liang Fu Yong.
Sebelumnya, apabila dia berhadapan dengan laki-laki manapun, dia selalu mencetuskan perasaannya terang-terangan, bahkan tanpa perasaan malu sedikitpun.
Siapa nyana, saat ini, di hadapan Tan Ki dia malah merasa jengah dan tidak sanggup membuka mulut.
Tan Ki merasa terpana.
"Ada apa dengan dirimu?"
"Aku aku"
Setelah setengah harian, dia juga belum sanggup mengatakan apa yang tersirat dalam hatinya.
Tan Ki melihat sinar matanya yang pilu.
Air mata berderai dengan deras.
Hatinya timbul sebuah pemikiran yang menyeramkan.
Tanpa sadar tubuhnya menggigil.
Tiba-tiba dengan gerakan spontan, Liang Fu Yong menerjang ke tubuh Tan Ki.
Gerakannya yang tidak disangka-sangka ini membuat Tan Ki terkejut setengah mati.
Dia segera dapat merasakan bahwa peristiwa malam ini agak tidak beres.
Telinganya menangkap gumaman Liang Fu Yong "Adik, aku membutuhkan membutuhkan"
Suaranya gugup.
Nafasnya memburu.
Di balik semua ini seakan terkandung sesuatu permintaan.
Hati Tan Ki semakin tercekat.
Dalam waktu yang bersamaan, dia segera sadar apa yang dibutuhkan oleh Liang Fu Yong.
Tiba-tiba dia berusaha menegakkan badannya, namun dia ditekan kembali oleh Liang Fu Yong.
Dalam keadaan panik dia malah sulit memberikan perlawanan.
Begitu terkejutnya Tan Ki sehingga gerakannya semakin gugup.
Datang lagi, datang lagi.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali ini habislah! jeritnya dalam hati.
Dia mengerti apa yang akan dilakukan oleh Liang Fu Yong.
Tetapi, meskipun sebetulnya dia merupakan seorang anak muda yang cerdas, namun menghadapi kejadian seperti ini, yang belum pernah dialaminya seumur hidup.
Dia juga tidak tahu harus bertindak apa.
Tampak selembar wajah Tan Ki yang tampan menjadi merah padam saking paniknya.
Kadang-kadang wajahnya berubah pucat pasi.
Tetapi untuk sesaat dia tidak dapat meluapkan kemarahannya.
Perlahan-lahan Liang Fu Yong mengangsurkan wajahnya yang merah membara mendekati Tiba-tiba Tan Ki merasa nafasnya memburu, perasaannya menjadi tegang, sepasang tangannya entah harus diletakkan di sebelah mana.
Suasana semakin panas, kalau saja ada orang lain yang menyaksikan, mereka tentunya dikira sepasang pengantin baru yang masih hijau dalam urusan tempat tidur "Tidak boleh Cici, tidak boleh begini!"
Teriak Tan Ki. Tapi kalau ada yang mencuri dengar percakapan yang berlangsung di dalam kamar itu, tentu orang tersebut akan merasa heran mengapa yang mengeluarkan jeritan justru pengantin laki-lakinya.
"Adik, aku harap kau bersedia membantu, Cici benar-benar tidak sanggup mempertahankan diri lagi"
Di bawahnya masih ada kata-kata yang lain, tetapi dia tidak berani mengatakannya.
Mendadak Liang Fu Yong menempelkan sepasang bibirnya di atas wajah Tan Ki.
Pada saat itu juga, Tan Ki merasa seperti ada arus listrik yang menjalari seluruh tubuhnya.
Dan dia langsung tergetar.
"Cici, kau tidak boleh melakukan hal seperti ini. Tidak boleh!"
Seru Tan Ki panik sekali.
Kali ini bibirnya yang disekap oleh Liang Fu Yong.
Tan Ki hanya merasa suatu benda yang hangat dan harum bermain di atas bibirnya.
Tan Ki dicium sedemikian rupa sampai gelagapan.
Ciuman itu demikian hangat dan mesra.
Benda-benda yang ada di sekitar seperti lenyap satu persatu.
Meskipun dunia ini sangat luas, tetapi sepertinya hanya milik mereka berdua.
Liang Fu Yong hanya digelayuti satu macam pikiran.
Yaitu apa yang dikehendakinya sekarang..
Sedangkan di pihak Tan Ki, begitu terkejutnya dia sampai tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Matanya terbelalak lebar-lebar Sepasang tangannya telah basah oleh keringat dingin, jantungnya berpacu cepat seperti orang yang baru saja berlari dalam jarak jauh.
Segulung demi segulung bau harum yang terpancar dari tubuh perempuan itu menerpa hidungnya.
Dia merasa pikirannya mulai kacau, sepasang matanya berkunang-kunang tetapi di hati kecilnya masih terselip sedikip kesadaran.
Tegang! Romantis! Panas! Merangsang! Suasana yang hangat memenuhi kamar itu.
Sungguh saat-saat yang mendebarkan hati dan sulit melepaskan diri! Tiba-tiba Tan Ki berteriak sekeras-kerasnya.
Dengan kuat dia mendorong tubuh Liang Fu Yong dan melonjak turun dari tempat tidur tersebut.
Perubahan yang mendadak ini, membuat Liang Fu Yong termangu-mangu.
Dia tidak menyangka kalau Tan Ki dapat melepaskan diri dari rangsangan bi-rahi yang hampir memenuhi benaknya.
Dalam keadaan tertegun, dengan sekali loncat Tan Ki sudah keluar dengan menerobos jendela.
Liang Fu Yong terkejut setengah mati.
"Adik, jangan pergi!"
Kakinya menutul dan diapun menyusul dari belakang.
Di bawah sorotan rembulan yang terang, tampak kedua orang itu berlarian dengan saling mengadu kecepatan.
Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berlari sejauh dua belas li.
Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan berdiri di atas puncak sebuah bukit dengan tidak bergerak sama sekali.
Hembusan angin membawa keharuman yang terpancar dari tubuh seorang perempuan.
Liang Fu Yong sudah mendarat di sampingnya.
Tempat ini sudah tidak jauh dari hutan.
Daerahnya agak tinggi.
Begitu di bagian de-i pan bertiup segulungan angin malam, tanpa terasa tubuh Liang Fu Yong menjadi menggigil.
Kobaran api dalam dadanya pun padam seketika.
Matanya beralih, dia melihat Tan Ki sedang mendongakkan wajahnya menatap langit.
Matanya menerawang, seakan ada sesuatu hal yang menggelayuti pikirannya.
Dia berdiri tegak tanpa mengucapkah sepatah katapun.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, dia baru menarik nafas panjang.
"Cici, tidak seharusnya kau berbuat begitu terhadapku."
Mula-mula Liang Fu Yong tertegun.
Dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Tan Ki.
Sesaat kemudian, akhirnya dia tersadar.
Otomatis wajahnya jadi merah padam dan kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Tan Ki melihat tampangnya seperti orang yang menderita malu.
Oleh karena itu dia segera tersenyum.
"Aku juga mengerti. Selama ini tindak-tandukmu selalu mengikuti kata hati. Apa yang ingin kau lakukan, tidak pernah dihalangi oleh siapapun. Kalau mengharapkan kau berubah dalam waktu beberapa hari, tentu tidak mungkin. Apa yang terjadi barusan, anggaplah tidak pernah terjadi. Biarkanlah berlalu begitu saja."
Perlahan-lahan Liang Fu Yong mendongakkan kepalanya. Di wajahnya yang merah jengah sudah mengalir dua tetes air mata.
"Adik, apakah kau marah kepadaku?"
Air matanya menetes bukan karena perasaannya takut ataupun sedih.
Justru karena dia merasa malu sekali.
Hati Tan Ki jadi tergerak.
Dia juga bisa mengeluarkan air mata, hal ini membuktikan bahwa di otaknya masih ada sedikit kesadaran dan belum tertutup sama sekali.
Kalau aku menasehati lebih gencar lagi, mungkin tidak sulit mengajaknya kembali ke jalan yang lurus dan menjadi orang baik-baik, pikirnya dalam hati.
Setelah mempunyai renungan seperti itu, bibirnya langsung mengembangkan seulas senyuman.
"Urusan kecil seperti ini, tidak mungkin aku memasukkannya ke dalam hati."
Kata-kata ini diucapkan dengan nada tulus.
Justru membuat perasaan Liang Fu Yong semakin tergugah.
Kalau saat ini Tan Ki mendampratnya habis-habisan, mungkin perasaan Liang Fu Yong lebih lega.
Tetapi Tan Ki justru mengucapkan kata-kata yang wajar dan tidak mengandung sedikit kemarahan pun.
Hatinya segera dilanda perasaan rendah diri.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan menuruni bukit tersebut.
Gerakannya dilakukan dengan tiba-tiba, Tan Ki menjadi termangu-mangu.
Dia tidak mengerti mengapa Liang Fu Yong mendadak pergi begitu saja.
Sebetulnya, dia memang tidak memahami perasaan seorang perempuan.
Dia merasa hati seorang wanita paling sulit diraba.
Mimpi pun dia tidak mengira bahwa justru sikapnya yang terbuka dan lembut serta kata-katanya yang menghibur itulah yang bukan saja terpatri dalam-dalam di sanubari Liang Fu Yong.
Malah membuat perempuan itu merasa dirinya begitu rendah dan tidak tahu malu.
Serta merasa baik tindak-tanduknya maupun mutu dirinya sendiri tidak dapat dibandingkan dengan anak muda tersebut.
Biar bagaimana dia hanya seorang perempuan yang jalang, genit dan rendah.
Kepergian Liang Fu Yong meninggalkan Tan Ki, sebetulnya karena dia tidak berani menghadapi kenyataan yang terpampang didepannya.
Tan Ki sama sekali tidak memikirkan bahwa menjelang kepergiannya, hati Liang Fu Yong digelayuti berbagai macam tekanan bathin.
Setelah tertegun sejenak, dia segera menggerakkan langkahnya mengejar.
"Cici, cici, mengapa kau pergi?"
Liang Fu Yong menyahut dengan suara tersendatsendat.
"Aku ingin meninggalkan tempat ini, meninggalkan engkau dan meninggalkan semuanya yang ada"
Hatinya seperti dipenuhi berbagai katakata, tetapi dia tidak sanggup mencetuskan-nya.
Setelah mengucapkan beberapa patah kata di atas, tiba-tiba mulutnya membungkam.
Pada saat berbicara, dia sudah menghentikan langkah kakinya.
Tetapi dia masih belum membalikkan tubuh.
Dia berdiri memunggungi Tan Ki, dia takut menatap wajahnya yang selalu tersenyum dan matanya yang berbinar-binar Terdengar Tan Ki tertawa getir.
"Kau tidak boleh pergi. Kecuali kalau kau mempunyai keyakinan bahwa kau tidak akan mengulangi perbuatanmu yang dulu, tentu kau boleh pergi. Tetapi kalau kau belum mempunyai kesanggupan untuk merubah tindak-tandukmu, lebih baik kau ikut denganku. Dengan demikian, masih ada orang yang mengawasimu sehingga perbuatan terkutuk itu tidak akan terulang lagi."
Kata-katanya yang terakhir diucapkan dengan tegas. Suaranya juga serius sekali serta mengandung kewibawaan yang tidak dapat ditolak. Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.
"Untuk apa? Di dalam hatiku telah tertanam akar jahat yang tidak dapat dicabut lagi. Dan aku juga tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Setiap gairah itu datang, aku seperti tidak memperdulikan hal lainnya lagi. Bahkan sikapku berubah menjadi demikian rendah serta tidak tahu malu. Dengan bisa memperoleh perhatianmu, sebetulnya aku sudah merasa bahagia. Apa lagi yang aku inginkan? Namun, di dalam hatiku justru terselip perasaan pesimis dan rendah diri yang bertambah berat sehari demi sehari"
Tan Ki memutar tubuhnya dan berdiri dihadapannya. Dia segera meraih tangan Liang Fu Yong dan menggenggamnya erat-erat. Bibirnya tersenyum lembut.
"Kau salah. Orang yang tahu kesalahannya sendiri dan berniat merubah, merupakan pahala yang besar sekali. Siapa orangnya yang berani menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan kesalahan? Para dewa yang sudah menetap di atas langit juga tidak berani mengucapkan kata-kata yang demikian takabur, apalagi kita yang terlahir sebagai manusia biasa?"
"Apakah kau benar-benar memaafkan aku dan tidak menaruh benci sedikitpun terhadap perbuatanku tadi?"
"Cici, apakah kau tetap tidak percaya?"
Suaranya demikian tulus, persis seperti sebilah pedang tajam yang langsung menembus jantung hatinya.
Sedemikian terharunya Liang Fu Yong sampai-sampai air matanya mengalir dengan deras.
Yang diteteskan olehnya adalah air mata persahabatan yang tulus dan perasaan kasih yang dalam.
Perlahan-lahan Liang Fu Yong memejamkan sepasang matanya.
"Adik, kalau kau benar-benar memaafkan aku, sudikah kau memeluk aku walaupun hanya sekejap saja?"
Tanyanya dengan nada berat.
Tan Ki tersenyum lembut.
Kedua tangannya terulur dan dia memeluk Liang Fu Yong erat-erat.
Tubuh perempuan yang mungil itupun terjatuh dalam pelukannya Dia merasa nafasnya sesak, seluruh tubuhnya lemas, menggunakan kesempatan ini dia menyelusup ke dalam pelukan Tan Ki.
Untuk sesaat, suasana jadi sepi senyap, tetapi mengandung keperihan yang dalam.
Lama, lama sekali dia masih tetap memejamkan sepasang matanya, tubuhnya tidak bergerak sedikit juga.
Saat itu juga, apa yang didambakannya dan benda yang diharapkannya seperti terlampias dalam pekikan anak muda tersebut.
Tiba-tiba matanya mengejap.
Dua tetes air mata mengalir turun membasahi pipinya.
Tan Ki mengusapkan wajahnya pada rambut Liang Fu Yong.
"Cici, yang lalu biarkanlah berlalu. Tidak perlu dipikirkan lagi. Yang kita kejar sekarang hanya kecerahan masa depan kau mengerti maksudku bukan?"
Nada suaranya demikian tulus. Seperti seorang ibu yang bijaksana yang menasehati putrinya dengan suara lembut dan tidak kenal jenuh.
"Aku tahu, lain kali aku pasti bisa berubah."
Tan Ki tersenyum lebar.
"Baiklah, kita sudah harus pulang sekarang."
Malam semakin larut, angin yang dingin tetap berhembus Tan Ki dan Liang Fu Yong segera mengembangkan ilmu meringankan tubuh dan kembali ke penginapan.
Kemudian, Tan Ki mengantarkan Liang Fu Yong ke kamar sebelah.
Dia memperlakukan perempuan itu bagai perlakuan seorang ibu terhadap putrinya.
Dia menyelimuti tubuh perempuan itu, bahkan menyenandungkan lagu Sampai Liang Fu Yong tertidur dengan pulas, dia baru menghembuskan nafas panjang dan kembali ke kamarnya sendiri.
Tiba-tiba Liang Fu Yong menarik nafas panjang dan membuka matanya.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di sudut matanya terlihat buliran air mata yang menggantung.
Sebetulnya, dia belum tertidur.
Namun dia hanya pura-pura terpulas.
Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin dia dapat tidur dengan nyenyak? Tindaktanduk Tan Ki membuat dia menekan keras-keras kobaran birahi di dalam dadanya.
Namun setelah dia pergi, otomatis gairah itu terbangkit kembali.
Terjadi peperangan di antara kesadaran serta keinginan di dalam hatinya.
Liang Fu Yong membolak-balikkan tubuhnya tanpa bisa pulas sedetikpun.
Memangnya dia sendiri tidak berniat berubah, tetapi, ada semacam keinginan yang kuat di dalam bathinnya yang terus menerus merongrongnya dan membuatnya tidak dapat mengendalikan diri! Dia rela meloncat dari sebuah tepi jurang yang dalam terjun ke bawah Cahaya lampu di dalam kamar lambat laun menjadi suram, malam telah bertambah larut.
Liang Fu Yong merasa, di dalam tubuhnya terdapat setungku api yang terus berkobar-kobar, semacam keinginan yang mendesak yang membuat pikirannya menjadi kebal Dari sepasang sinar matanya tersorot cahaya yang dipenuhi oleh hasrat yang kuat, namun justru membuat wajahnya semakin cantik.
"Aku tidak sanggup lagi aku tidak dapat menahannya aku ingin"
Gumamnya seorang diri.
Terdengar desahan nafas yang lirih, di mimik wajahnya mulai tersirat gairah yang meluap-luap.
Pada saat itu juga, dia sudah tahu apa yang akan diperbuatnya.
Walaupun bagaimana Tan Ki berusaha menasehatinya, akhirnya semua sia-sia.
Dia sadar mengapa dirinya begitu gelisah justru karena kesadarannya hampir lenyap dari benaknya.
Tampak bayangan manusia berkelebat.
Cahaya lampu berkibar-kibar.
Dia sudah menyelinap keluar dari kamarnya.
Gerakannya pesat bagai kilat, namun langkah kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Cahaya rembulan yang suram, sesosok bayangan meninggalkan tanah seakan terbang, dan menerjang terus ke depan.
Sekali lagi perbuatan terkutuk akan diulanginya.
BAGIAN IX Malam semakin larut.
Di sekitar yang terlihat hanya kesunyian.
Tampak di bawah sorotan cahaya rembulan, sesosok bayangan melesat bagai kilat menerjang terus ke depan.
Angin malam bertiup kencang, tidak henti-hentinya menyapu wajah Liang Fu Yong, namun hembusan angin yang dingin itu tidak dapat memadamkan api yang berkobarkobar di dalam dadanya.
Sebaliknya, malah menambah hasrat di dalam kalbunya yang menuntut hal yang didambakannya.
Dalam waktu yang singkat dia sudah berlari sejauh sepuluh li.
Di depan terdapat sebuah kota, begitu mata memandang, yang terlihat hanya kegelapan, tidak ada cahaya lampu setitikpun.
Tentu saja, para penduduk saat ini sedang pulas dalam mimpi.
Siapa yang akan menduga bahwa seorang perempuan yang terkenal kejalangannya akan mencari mangsa di kota mereka.
Sesaat kemudian, dia menghentikan langkah kakinya.
Seperti biasa, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya berkelebat dengan kaki menghentak, dia menuju ke arah sebuah gedung besar yang ada di sebelah kiri.
Sepasang kakinya segera menutul, tubuhnya melayang ke atas dan orangnya pun mendarat di taman belakang.
Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya.
Di hadapannya terdapat sebuah ruang perpustakaan.
Di sana masih ada cahaya lampu yang menyorot lewat dedaunan yang rimbun di depan jendela.
Sayup-sayup, hembusan angin membawa suara seseorang yang sedang membaca syair.
Dari pengalamannya, Liang Pu Yong segera mengetahui bahwa yang ada dalam ruangan itu pasti seorang pelajar yang lemah.
Lagipula, keadaan di dalam ruangan itu begitu hening.
Seakan tidak ada pihak ketiga di sana.
Bibirnya tersenyum simpul.
Dengan berani dia melangkah ke arah ruangan tersebut dan mengetuk daun jendelanya.
"Siapa?"
Dari dalam terdengar suara seorang laki-laki bertanya. Sekali lagi terlihat seulas senyuman di bibir Liang Fu Yong. Dengan berani dia menyahut.
"Aku."
"Oh, apakah Ie Cin Moay-moay yang datang? Sekarang sudah larut sekali, kau datang ke mari"
Belum lagi kata-katanya selesai, secercah sinar menerobos keluar, orang itu sudah membuka jendelanya.
Dia langsung tertegun.
Selembar wajah yang tampan namun menunjukkan perasaannya yang kebingungan muncul di depan mata Liang Fu Yong.
Kenyataannya, laki-laki itu balikan tidak pernah bermimpi bahwa pada saat ini dan tempat ini akan muncul seorang perempuan yang cantik jelita serta bukan Ie Cin Moaymoay seperti yang diduganya.
Kejadian yang benar-benar di luar dugaan itu, membuat dirinya terkejut untuk sesaat.
Diapun berdiri dengan termangu-mangu.
Hanya terlihat Liang Fu Yong bergerak sedikit, tahu-tahu orangnya sudah masuk ke dalam ruangan dengan menerobos jendela.
Dia malah merapatkan daun jendela ruangan tersebut.
Dia berdiri sambil menatap laki-laki itu lekat-lekat.
Pancaran matanya me-ngandung perasaannya yang terang-terangan dan senyumannya juga begitu mesra.
Dia sedang memperhatikan laki-laki itu.
Tapi pihak lawan justru begitu ketakutannya sehingga pucat pasi.
"Siapa kau sebenarnya?"
Tanyanya gugup. Liang Fu Yong tersenyum simpul.
"Aku adalah aku. Memangnya siapa? Tetapi, kau adalah seorang laki-laki sedangkan aku adalah seorang perempuan"
Senyumnya itu bagai sekuntum mawar yang baru mekar namun mempunyai duri yang tajam dan dapat menusuk.
Diam-diam timbul perasaan ngeri di dalam hati laki-laki itu.
Tanpa sadar tubuhnya bergetar.
Tampangnya yang tegang dan menyiratkan perasaan takutnya, membuat Liang Fu Yong yang sedang menatapnya malah bertambah senang.
Dia berjalan menghampiri sambil menepuk bahunya beberapa kali.
"Apa yang kau takuti? Laki-laki sejati harus mendongakkan kepala menatap langit dan menginjakkan kaki di bumi dengan keras. Kalau terhadap seorang perempuan saja sudah takut sedemikian rupa, bukankah orang yang menyaksikannya bisa tertawa terbahakbahak sampai giginya copot?"
Laki-laki itu membangkitkan keberaniannya dan memaksakan sebuah senyum di bibirnya.
"Aku hanya seorang pelajar yang miskin. Aku tidak mempunyai apa-apa. Apabila Li Enghiong mencari harta benda atau batu permata, harap mencari di tempat lain saja."
Liang Fu Yong mencibirkan bibirnya dan tersenyum mengejek.
"Aku tidak ingin segala harta benda ataupun batu permata."
Laki-laki itu jadi tertegun.
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Sesuatu yang ada pada tubuhmu."
Mula-mula laki-laki itu terpana. Sesaat kemudian dia menjadi gusar.
"Perempuan tidak tahu malu, cepat menggelinding dari sini! Aku berasal dari keluarga yang taat pada ajaran Kong Beng, mana boleh aku melakukan perbuatan rendah seperti itu?"
Bentaknya keras. Liang Fu Yong malah cengar-cengir menatapnya.
"Aduh, galak benar!"
Dia sengaja melangkah maju dan merapat kepada laki-laki itu. Laki-laki itu semakin ketakutan. Cepat-cepat dia mundur dua langkah.
"Pergi! Kalau kau tetap tidak mau pergi, aku akan berteriak sekeras-kerasnya!"
Ancam laki-laki itu.
Tiba-tiba, terdengar suara prang! Prang! Beberapa kali.
Rupanya laki-laki itu begitu panik sehingga sebuah pot kembang yang terdapat di atas meja tersentuh sikut tangannya dan pecah berantakan.
Suasana semakin menegangkan dan membuat jantung berdebardebar.
Liang Fu Yong seperti seekor kucing yang maju setindak demi setindak mendesak ke arah tikus kecil tersebut.
Berani sekali dia! Laki-laki itu mundur lagi beberapa langkah.
Akhirnya dia sudah merapat pada ujung tempat tidur.
Dalam keadaan seperti ini, dia sadar dirinya sudah dalam ambang bahaya, tanpa dapat di pertahankan lagi, mulutnya terbuka lebar-lebar dan berteriak sekeraskerasnya.
"Tolong! Tolong!"
Dia masih ingin berteriak terus, tetapi tiba-tiba terdengar suara aduhan dari mulutnya dan diapun terkulai di atas tanah. Rupanya Liang Fu Yong sudah menotok jalan darah lakilaki tersebut.
"Di dalam ruangan itu terdapat sebuah lampu gantung yang cahayanya terang sekali. Saat itu tengah menyinari wajah Liang Fu Yong yang telah berona merah dan membuat diri perempuan itu semakin menawan. Perlahan-lahan dia mengangkat laki-laki itu dan meletakkannya di atas tempat tidur. Meskipun dalam keadaan tertotok, tetapi pikiran maupun perasaannya masih tetap sadar. Menilik situasi yang dihadapinya, biar seorang yang paling pandir sekalipun, tetap dapat menduga apa yang akan terjadi. Hatinya menjadi mangkel dan marah. Pada, dasarnya dia memang seorang pemuda yang sopan dan berpendidikan. Meskipun mulutnya ingin mencaci maki, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu tanpa tahu harus mengucapkan apa. Dengan tenang Liang Fu Yong membaringkan laki-laki itu di atas tempat tidur. Bibirnya tersenyum manis.
"Aku tidak akan menelan dirimu. Kau jangan khawatir."
Dengan marah laki-laki itu memalingkan wajahnya. Dia tidak memperdulikan Liang Fu Yong. Tetapi bathinnya justru sedang membara, jantungnya berdegup-degup. Telinganya mendengar segulungan suara yang merdu dan membetot sukmanya.
"Koko yang baik, kau tidak perlu merasa takut. Kau hanya diminta untuk meminjamkan tubuhmu malam ini kepadaku. Kalau tidak bisa juga, bayangkan saja aku sebagai Ie Cin Moay-moay, kekasihmu itu." Perempuan yang tidak tahu malu. Kata-kata yang begitu rendah masih bisa diucapkan dengan santai! makinya dalam hati. Ketika benaknya sedang bergerak, tiba-tiba dia merasakan selembar wajah yang panas merapat ke arahnya. Hatinya semakin berdebar-debar. Dia merasa pikirannya menjadi tegang. Nafasnya sesak dan keringat dingin mulai membasahi keningnya. Dia ingin membuka mulut dan berteriak sekeras-kerasnya, namun tidak ada suara sedikitpun yang keluar. Dua belah bibir yang hangat dan harum tahu-tahu telah menempel di atas bibirnya. Pada saat itu juga, dirinya bagai kena sambaran petir. Sehingga dia merasa seluruh tubuhnya dijalari perasaan yang aneh. Perasaan itu demikian janggal, ajaib dan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sampai-sampai dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya Dalam waktu yang singkat, dia seperti tiba-tiba menjadi dewasa. Dia mulai mengerti bahwa di antara laki-laki dan perempuan terselip hubungan yang demikian ajaib. Hatinya menjadi lemas. Dia tidak dapat mempertahankan diri dari keindahan bayangan di hadapannya. Ciuman yang mendadak itu telah membuat hatinya menjadi luruh. Entah mendapat kekuatan dan keberanian dari mana, tiba-tiba dia menggulingkan tubuhnya dan menindih Liang Fu Yong. Terdengar suara tawa yang genit, centil, dan bebas. Seakan seluruh manusia di dunia ini juga tidak dapat menolak suara tawa yang satu ini. Terdengar suara hembusan angin, Liang Fu Yong menghantamkan sebuah pukulan jarak jauh dan lampu di dalam ruangan itu-pun padam seketika. Di dalam ruangan sekarang yang ada hanya kegelapan. Hening seketika, yang terdengar hanya suara desiran baju yang dibuka. Sesuatu yang luar biasa akan berlangsung di dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba dari luar jendela berkumandang serangkum suara tawa yang dingin! Datangnya suara tawa ini demikian mendadak, sehingga benar-benar di luar dugaan. Tapi sempat membuat dua orang yang sedang bergelut di atas tempat tidur itu menjadi tertegun. Otomatis gerakan tangan pun terhenti. Dalam kegelapan, wajah Liang Fu Yong yang cantik segera berubah hebat. Hawa pembunuhan mulai tersirat di keningnya. Dalam waktu yang singkat, dia sudah mengenakan kembali pakaiannya. Karena dia sadar, musuh yang datang di luar jendela pasti merupakan seorang tokoh dari aliran lurus! Sedangkan laki-laki itu langsung menundukkan kepalanya dengan wajah pucat pasi. Dia meringkuk di sudut tempat tidur tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dia takut orang yang ada di luar jendela adalah Ie Cin Moay-moay atau keluarganya. Kalau urusan yang memalukan ini sampai tersebar keluar, dimana dia harus menyembunyikan wajahnya. Berpikir sampai di sini, tanpa dapat tertahan lagi, keringat dingin pun membasahi tubuhnya. Gairah yang berkobar-kobar dalam dadanya pun padam seketika. Tepat pada saat itu, kembali terdengar suara tertawa dingin dari luar jendela.
"Siau Yau Sian-li, keluarlah!"
Bentak orang itu.
Liang Fu Yong menjadi tertegun.
Mengapa orang ini bisa mengenali aku? tanyanya dalam hati.
Di samping itu, hatinya juga merasa marah, peristiwa menyenangkan yang sudah di depan mata, jadi gagal gara-garanya.
Bagaimana hatinya tidak jadi benci! Oleh karena itu, dia meraung sekeras-kerasnya.
Sebuah kursi bundar langsung ditimpukkannya keluar jendela.
Sepasang kakinya menutul, seiring melayangnya kursi tadi, tubuhnya pun menerobos keluar.
Ketika sepasang kakinya baru menginjak tanah, dia melihat kibaran pakaian berwarna hijau melesat ke arah depan.
Dia tidak tahu orang yang tertawa dingin sengaja memancingnya keluar dari gedung tersebut.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia segera mengejar.
Telinganya menangkap suara gaduh dari belakang.
Bayangan manusia berbondongbondong mengejar keluar.
Rupanya suara jendela pecah karena sambitan kursi Liang Fu Yong telah mengejutkan seisi gedung tersebut dan merekapun keluar beramai-ramai untuk melihat apa yang telah terjadi.
Di bawah sorotan cahaya rembulan yang remang-remang, kedua orang itu berlari dengan cepat.
Yang satu kabur dan yang satu lagi mengejar.
Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berlari sejauh dua puluh li.
Tiba-tiba terlihat orang itu menghentikan langkah kakinya dan membalikkan tubuhnya.
Tepat pada saat itu, Liang Fu Yong sedang berlari dengan kecepatan tinggi.
Nyaris dia tidak dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya dan bertumbukan dengan orang itu.
Untung saja ilmu silatnya cukup tinggi.
Dengan gugup dia menahan gerakan tubuhnya dan berputaran sebanyak dua kali baru perlahan-lahan berhenti.
Begitu matanya memandang, dia melihat orang itu mengenakan pakaian berwarna hijau, usianya sekitar empat puluh tahunan.
Wajahnya pucat pasi dan datar sekali.
Tidak dapat kita menentukan bagaimana perasaan orang itu yang sebenarnya.
Tampang yang menyeramkan muncul di tengah malam yang dingin mencekam.
Meskipun nyali Liang Fu Yong cukup besar namun tanpa dapat di tahan lagi, tubuhnya juga bergidik.
Kakinya sampai mundur dua langkah.
"Siapa kau?"
Bentaknya.
"Cian bin mo-ong!"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut orang itu dengan nada suara yang sinis.
Keempat huruf itu diucapkan dengan lambat dan panjang.
Di dalamnya seakan terkandung ketegasan seorang laki-laki yang penuh wibawa.
Mendengar kata-katanya, Liang Fu Yong terkejut setengah mati.
Wajahnya berubah hebat dan tanpa sadar kakinya sampai mundur dua langkah.
Cian bin mo-ong yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan dan membuat para tokoh di dunia Bulim jadi pusing kepalanya, ternyata muncul di hadapan dirinya sendiri.
Hal ini bahkan tidak pernah terbayang dalam impiannya.
Tentu saja, dia masih belum tahu kalau Cian bin mo-ong merupakan samaran dari Tan Ki.
Dalam keadaan terkejut dan ketakutan, Liang Fu Yong meliriknya sekali lagi.
Dia berusaha memberanikan dirinya dan memperdengarkan suara tawa yang genit.
"Setiap orang mengatakan bahwa Cian bin mo-ong dapat merubah dirinya menjadi ribuan orang. Bahkan kabarnya dapat membunuh orang dalam sekejap mata. Tapi dalam pandanganku, biar bagaimana kau juga tetap seorang manusia biasa."
Cian bin mo-ong Tan Ki tersenyum simpul.
"Betul, aku juga manusia. Tidak mempunyai tiga kepala atau enam pasang tangan. Gerak-gerikku juga tidak mirip dengan setan gentayangan. Adik Tan Ki juga sering menasehati bagaimana caranya menjadi manusia yang wajar, apakah kau sudah melupakah kata-katanya?"
Hati Liang Fu Yong tercekat mendengar ucapannya.
"Bagaimana kau bisa tahu urusan ini?" tanyanya dengan suara tajam. Tan Ki tertawa lebar.
"Cian bin mo-ong sudah berkelana menjelajahi seluruh Kangouw. Tentu saja mempunyai kepandaian yang tidak dimiliki orang lain. Urusan sekecil ini, seandainya dapat mengelabui pandanganku, mana pantas aku mendapat sebutan iblis nomor satu di dunia ini?"
Berkata sampai di situ, tiba-tiba dia berhenti. Wajahnya berubah menjadi serius dan penuh wibawa.
"Kau sudah mengadakan perjanjian dengan Tan Ki bahwa dalam waktu tiga bulan ini kau tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan ataupun mencelakai orang lain. Kalau malam ini dihitung juga, kau baru menepati janjimu selama tiga hari dan mengulangi lagi perbuatan yang terkutuk itu. Apakah kau kira Tan Ki itu orang yang bodoh sehingga tidak mengetahuinya sama sekali?"
Liang Fu Yong mendengar kata-katanya semakin lama semakin keras.
Di dalamnya terkandung kemarahan yang meluap-luap.
Bahkan orang itu sampai menghentakkan kakinya beberapa kali saking jengkelnya.
Sedangkan di bathinnya sendiri, semakin didengarkan, perasaannya semakin menggigil.
Entah mengapa, di dalam hatinya timbul semacam ketakutan.
Dia khawatir Cian bin mo-ong akan membeberkan urusan malam ini kepada Tan Ki.
Liang Fu Yong tidak sempat mempertimbangkan lagi keadaan yang terbentang di depan matanya.
Mengapa orang ini begitu jelas tentang dirinya sendiri, seperti orang yang menatap telapak tangannya sendiri.
Mengapa ketika mengungkit persoalan Tan Ki, nada suaranya begitu marah dan tajam, mengapa? Pada saat itu juga, dia merasa otaknya seakan menjadi kosong melompong.
Perlu diketahui bahwa hubungannya dengan Tan Ki berlangsung selama tiga hari.
Meskipun semuanya masih demikian singkat, tetapi di dalam hati Liang Fu Yong telah timbul perasan hormat yang dalam pada adik Tan Ki-nya.
Dia merasa setiap tindaktanduknya demikian wajar, lembut, penuh perhatian dan mengandung curahan kasih yang tidak terkatakan.
Meskipun dia sudah pernah bertemu dengan ratusan bahkan ribuan laki-laki, tetapi ia belum pernah melihat orang seperti Tan Ki.
Orang yang mana dapat membuat perasaannya tergugah.
Bahkan setiap ucapan maupun senyum anak muda itu, tidak ada satupun yang membuat dirinya bertambah gagah dan tampan.
Perempuan manapun yang bertemu dengannya, tentu sulit menahan rasa simpatinya.
Rasa hormat yang timbul dalam hati Liang Fu Yong kepada Tan Ki adalah berda-sarkan perasaannya yang tulus.
Dia merasa adiknya yang satu ini membuat sejarah hidupnya bertambah dengan terukirnya nama seorang laki-laki.
Tetapi dia masih belum sadar bahwa perasaan hormat yang ada sekarang merupakan bagian dari cinta kasihnya yang mulai tumbuh.
Dalam pikirannya, apabila dia dapat berdekatan dengan adiknya itu, hatinya sudah merasa puas dan senang.
Apabila Cian bin mo-ong memberitahukan urusan malam ini kepada Tan Ki, akibatnya sungguh tidak berani ia bayangkan.
Mungkin, saking marahnya, Tan Ki akan meninggalkannya begitu saja.
Dan pasti untuk selamanya tidak sudi memperdulikan dirinya lagi.
Berpikir sampai di sini, sekali hatinya tergetar.
Dia segera mengambil sebuah keputusan.
Mulutnya memperdengarkan suara tertawa dingin.
"Apakah kau bermaksud menceritakan urusan malam ini kepada adikku?"
Tanyanya serius.
"Tidak salah!"
Wajah Liang Fu Yong berubah hebat. Segulung hawa pembunuhan yang tebal segera merasuki jiwanya. Sekali lagi dia tertawa dingin.
Kisah Si Rase Terbang -- Chin Yung Pendekar Setia Karya Gan KL Anak Berandalan -- Khu Lung