Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Burung Kenari 1


Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Bagian 1




   Peristiwa Burung Kenari Karya dari Gu Long

   

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com Pendekar Harum seri ke 3 Peristiwa Burung Kenari KARYA.

   GU LONG Kulit muka Oh Thi-hoa sekarang sudah berubah legam karena teriknya matahari padang pasir beberapa waktu yang lalu, setelah beberapa botol arak masuk ke dalam perut, kulit mukanya menjadi merah menyala kegelapgelapan, katanya menghela napas.

   "Baru sekarang aku sadar, orang-orang awam seperti mereka inilah baru betul-betul amat menarik, kalau setiap hari kau selalu bergaul dengan mereka mungkin kau tidak akan merasa ketarik, akan tetapi bila kau sudah berkayuh langkah bertamasya di padang pasir yang terik itu, maka kau akan benar-benar sadar tiada sesuatu apapun di dalam dunia ini yang menarik hatimu kecuali manusia!"

   Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya.

   "Dan di situ pulalah letak perangaimu yang menarik, seseorang yang punya rasa simpatik terhadap sesama manusia pastilah dia itu bukan seorang durjana, seorang busuk tentu tidak akan punya jalan pikiran seperti kau ini."

   "Terima kasih akan pujianmu, aku hanya mengharap Jago Mampus itupun bisa mendengar pujianmu ini."

   Menyinggung Ki Ping yan alias Jago Mampus, gelak tawa Oh Thi-hoa menjadi sumbang dan mimik mukanya jadi kecut, beruntun dia tenggak tiga cangkir arak, lalu menggebrak meja, katanya gegetun.

   "Sungguh aku tak habis mengerti, kenapa Jago Mampus tidak mau seperjalanan dengan kita, kenapa dia harus pulang?"

   "Jikalau kau tahu di rumah ada orang yang sedang menunggu kau, pasti kaupun tergesa-gesa akan pulang!"

   Lama Oh Thi-hoa tidak bicara, beruntun dia habiskan lagi tiga cangkir baru dia menghela napas pula, ujarnya.

   "Benar, bagaimanapun seorang lakilaki bila tahu di rumah ada orang yang sedang menunggu dirinya pulang, sedang merindukan dirinya, sungguh suatu hal yang amat menyenangkan!"

   Tapi yang penting adalah dalam hatimu benar-benar merindukan seseorang yang patut kau perhatikan, kalau tidak umpama rumahnya itu merupakan suatu tempat terindah di seluruh jagat ini, andaikata kau menggusurnya pulang dengan cambuk, diapun tidak akan sudi pulang.

   Oh Thi-hoa mengedip-ngedipkan matanya, katanya tertawa.

   "Aku tahu, kau sedang merindukan Yong-ji dan lain-lain bukan?"

   Tanpa menunggu Coh Liu-hiang segera ia menambahkan pula.

   "Bahwasanya umpama kata mereka sudah pulang, hakekatnya kau tidak perlu menguatirkan mereka, cukup mengandal tenaga mereka bertiga, tujuh propinsi selatan dan enam puluh tiga propinsi di utara memangnya siapa berani mengusik seujung rambut mereka?"

   Coh Liu-hiang mandah tertawa getir, Oh Thi-hoa pun tidak banyak bicara lagi, karena pada saat mana mereka lihat ada seorang muda berpakaian serba hijau sedang melangkah menghampiri mereka.

   Pemuda ini sebetulnya duduk di meja sebelah, tak jauh dari tempat duduk mereka, bukan saja berparas cakap tampan, kelihatannya tindak tanduknya lemah lembut dan gagah, pakaiannya meski tidak terlalu mewah, namun potongannya cukup cocok dengan perawakan badannya, bahkan kainnyapun terbuat dari sutra yang mahal, kelihatannya anak dari keluarga hartawan yang punya pendidikan keras dan tahu adat.

   Orang seperti dia kemanapun dia berada, pastilah menarik perhatian orang banyak, apalagi di sebelahnya diiringi istrinya yang cantik molek.

   Sebetulnya sejak tadi Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang sudah memperhatikan sepasang suami istri ini, diwaktu mereka minum arak, kedua suami istri ini juga sedang minum, selain cara minum mereka benarbenar mengejutkan orang banyak, ternyata kekuatan minum suami istripun cukup banyak.

   Dikala sang suami minum arak, sang istri ternyata dapat mengiringinya dengan baik.

   Sejak tadi Coh Liu-hiang sudah merasa ketarik dan kagum.

   Sekarang pemuda ini meninggalkan sang istri datang menghampiri, sungguh Oh Thi-hoa tidak mengerti apa maksud orang, pemuda jubah hitam itu sudah tiba dihadapannya, merangkap kedua tangan dan menyapa dengan tersenyum.

   "Sebetulnya Siaute tidak berani mengganggu selera minum arak tuan-tuan berdua, tapi melihat kalian sedemikian besar takaran minumnya sungguh tak tahan lagi untuk mohon berkenalan, semoga kalian tidak salahkan keteledoran ini". Bagi tukang judi, umpama celana satu-satunya yang dia pakaipun akhirnya kalah dalam pertaruhan, dia masih senang dipuji orang bahwa dia pintar berjudi, pandai bertaruh. Demikian juga orang yang suka minum arak, tiada yang tiada disanjung puji sebagai orang yang punya takaran besar. Apalagi takaran minum pemuda ini sendiripun tidak sedikit, pujian seperti ini keluar dari mulutnya, sudah tentu membuat hati orang yang dipujinya kegirangan setengah mati. Oh Thi-hoa sudah berdiri menyambut, katanya tertawa.

   "Empat penjuru lautan semua adalah saudara, kau sudi kemari, itu berarti kau pandang kami, kalau kami masih salahkan kau, kukira kami ini sudah gila!"

   Pemuda itu tersenyum, katanya pula.

   "Jikalau Siaute tidak melihat bahwa kalian adalah kaum pendekar yang berjiwa besar, lapang dan luhur, juga sekali kali tidak berani mengganggu di sini."

   Oh Thi-hoa mendadak menarik muka, katanya sungguh-sungguh.

   "Sebetulnya kau memang tidak pantas kemari."

   Baru saja pemuda itu tertegun, Oh Thi-hoa sudah menyambung.

   "Jikalau kau kemari ingin ajak kami minum arak, biarlah minta kami saja yang kesana, kenapa kau tinggalkan binimu seorang diri menunggu di mejasana , paling tidak kau harus dihukum tiga cangkir lebih dulu."

   Pemuda itu terpingkal-pingkal dengan tepuk tangan, serunya.

   "Kalau kalian sudi pindah ke mejasana , umpama Siaute dihukum minum tiga puluh cangkir juga tidak menjadi soal."

   Setelah tiga cangkir arak masuk ke perut, Oh Thi-hoa sudah begitu akrab dan saling membahasakan saudara tua dan muda.

   Untuk Coh Liu-hiang tidak begitu mudah dia lantas bisa bersahabat dengan orang begitu akrab dalam waktu sesingkat ini, namun bukan berarti bahwa dia berwatak aneh dan berjiwa sempit serta suka menyendiri, apalagi kedua pemuda suami istri ini begitu ramah-tamah dan simpatik, siapapun takkan sungkan-sungkan lagi untuk berkenalan lebih dekat dengan mereka.

   Bukan saja pemuda ini baik tutur kata dan sopan santun, takaran araknya pun luar biasa, pintar basa-basi lagi, demikian pula istrinya, berparas cantik dan lemah lembut, cuma diantara tengah alisnya, lapat-lapat seperti mengandung kegetiran hati yang merisaukan sanubarinya, rona mukanyapun pucat dan putih sekali, seperti orang yang baru sembuh dari penyakit yang cukup berat.

   Akan tetapi sikap dan keadaan sakit yang molek ini, cukup menggiurkan dan menawan hati juga.

   Sepuluh diantara sebelas orang ada di dalam ruang makan di atas loteng ini, rata-rata sering melirik mata ke arahnya dengan melotot.

   Setiap matanya mengerling, pandangan mata laki-laki yang duduk tersebar di sekelilingnya sama terkesima, jikalau ada orang yang tidak melirik atau memandang kepadanya, tentulah orang itu sudah mabuk dan tidak sadar diri.

   Ternyata pemuda jubah hijau ini tidak hiraukan bagaimana pandangan orang lain terhadap istrinya, bukan saja dia tidak marah, malah seperti merasa senang dan bangga.

   Yang aneh, suami istri muda ini kelihatannya lemah lembut dan sopan santun, malah boleh dikata lembut tak kuat menahan hembusan angin, namun sepasang matanya justru berkilat terang sebening air danau.

   Coh Liu-hiang maklum hanya seseorang yang membekal Lwekang tinggi saja yang mungkin mempunyai sorot mata setajam itu, jelas bahwa suami istri muda ini adalah kaum persilatan yang punya kepandaian tidak rendah pula.

   Akan tetapi pada setiap gerak-gerik dan percakapan mereka, sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang pandai bermain silat dan sudah berpengalaman di kalangan Kangouw, dari sudut manapun tetap bukan kaum persilatan.

   Mau tidak mau Coh Liu-hiang jadi ketarik juga kepada kedua orang ini.

   Terhadap istri orang lain sudah tentu tidak enak dan sungkan dia mengawasinya dengan seksama, tapi disaat suaminya sedang menghaturkan arak dan ajak Thi-hoa adu minum, istrinya itu sedang menunduk dan batukbatuk kecil.

   Kebetulan sinar api menyorot dari sebelah samping dan menyinari selembar mukanya.

   Sorot mata Coh Liu-hiang berlawanan arah sama-sama tertuju ke wajah orang.

   Sungguh seraut wajah yang serba sempurna tanpa cacat sedikitpun, bentuk liku pada setiap kulit mukanya kentara amat jelas dan lengkap, seolah-olah lebih sempurna dari ukiran sebuah patung dewi pualam yang indah itu.

   Tapi berkat ketelitian Coh Liu-hiang serta ketajaman matanya, lapat-lapat dia merasakan raut muka yang sempurna ini tetap masih kekurangan sesuatu yang kurang wajar pada diri seorang perempuan cantik.

   Dari sudut tempat duduk Coh Liu-hiang sekarang, kebetulan tepat sekali dapat memandang kedua alis dari samping yang tersorot sinar api, ternyata perempuan secantik ini tanpa mempunyai alis, jadi alis lentik di atas matanya itu adalah hasil karya seorang ahli dengan goresan potlot hitam yang sedemikian miripnya dan sukar dibedakan kalau tidak diperhatikan.

   Serasa hampir berhenti napas Coh Liu-hiang.

   "Burung Kenari?"

   Apakah nyonya muda dihadapannya ini adalah si Burung Kenari? Seketika terbayang oleh Coh Liu-hiang mayat-mayat gadis di dalam lembah sesat ditengahpadang pasir itu, kematian setiap gadis itu sedemikian mengerikan, kedua alis setiap korbannya tiada satupun yang ketinggalan, semua dicukur kelimis...

   "Apakah lantaran dia sendiri tidak mempunyai alis, maka setiap kali dia membunuh seorang perempuan, alis korbannya lantas dicukuri lebih dulu?"

   Hanya sekilas Coh Liu-hiang mengawasi lantas melengos, kebetulan pemuda jubah hijau dengan tertawa angkat cangkir kepadanya. Coh Liuhiang angkat juga cangkirnya ajak orang minum bersama, katanya tertawa.

   "Sudah sekian banyak arak tertelan ke dalam perut, namun siapakah she dan nama besar saudara belum lagi sempat kami tanyakan?"

   Oh Thi-hoa gelak-gelak, serunya.

   "Ya, ya, aku hanya repot minum dan minum saja sampai melupakan hal ini, sungguh harus dihukum tiga cangkir."

   Setelah Oh Thi-hoa tenggak habis tiga cangkir, baru pemuda baju hijau memperkenalkan dirinya dengan tertawa.

   "Siaute Li-Giok-nam. Belum habis kata-katanya, istrinya yang cantik itupun angkat cawan dan menyela.

   "Kenapa kalian tidak tanya siapa aku? Apakah setiap perempuan setelah dia menikah lantas tak pantas ditanyakan namanya?"

   Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang katanya tertawa.

   "Agaknya kami harus dihukum minum tiga cangkir lagi."

   Li Giok-han segera memperkenalkan dengan tertawa.

   "Istriku bernama Liu Bu-bi. Bu-bi artinya "tanpa alis", jangan kalian sangka dia ini lemah tak tahan dihembus angin, sebetulnya bukan saja wataknya menyerupai lakilaki, kalau berkelahi, diapun tidak akan bisa dikalahkan oleh laki-laki."

   "O!"

   Oh Thi-hoa bersuara heran dengan tertawa.

   "Tak nyana istrimu ini kiranya srikandi yang perwira dari kaum hawa!"

   Liu Bu-bi tersenyum manis katanya.

   "Sebetulnya sampai namaku pun mirip dengan laki-laki, cuma diwaktu kecil aku kena penyakit keras, meski tidak mati, namun alisku rontok seluruhnya... alisku sekarang adalah lukisan palsu belaka, masakah kalian tidak bisa membedakan?"

   Semula Coh Liu-hiang mengira orang pasti menyembunyikan kekurangan dirinya ini, tak nyana bahwa sekarang dia mengaku terus terang malah, sudah tentu Coh Liu-hiang merasa sangat diluar dugaan. Terdengar Li Giok-han menimbrung.

   "Sekarang giliran Siaute mohon tahu siapakah nama besar kalian berdua?"

   "Aku she Oh bernama Thi-hoa, dia..."

   Baru saja Coh Liu-hiang belum berkeputusan apakah dia haru membiarkan orang memperkenalkan dirinya, tepat pada saat itulah sekonyong-konyong ada orang menerobos maju dekat mereka, sambil berseru keras menuding Coh Liu-hiang.

   "Apakah semua hadirin sudah melihat jelas, tuan ini adalah Coh Liu-hiang yang terkenal di kolong langit, hari ini sungguh kalian beruntung, dapat melihat muka asli Maling Romantis yang sesungguhnya, adalah pantas kalau kalian berdiri menghaturkan secangkir arak kepadanya!"

   Tenggorokan ini agaknya amat lebar, dan suaranya sekeras tukang jual obat di pinggir jalan yang sering menjajakan dagangannya, sudah tentu dengan suara teriakannya ini seluruh tamu-tamu yang hadir di dalam loteng ini sama terkejut, meski diantara mereka hakekatnya tidak tahu siapa dan orang macam apa sebenarnya Coh Liu-hiang si Maling Romantis, tapi bagi orang yang pernah kelana dan menempuh perjalanan jarak jauh, pasti pernah mendengar ketenaran Coh Liu-hiang, seketika berobah roman muka mereka.

   Tampak orang ini berbaju biru bercelana abu-abu.

   Kedua kakinya diikat dengan kain panjang warna hitam, sedang baju di depan dadanya tersingkap lebar, pelipis sebelah kiri ditempel obat koyo, terang sekali dia ini seorang bajingan atau buaya darat setempat, setelah berkaok-kaok tanpa banyak tingkah lagi segera dia putar badan dan hendak pergi.

   Coh Liu-hiang masih bisa berlaku tenang, sebaliknya Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, sekali raih dia cengkeram pundak orang, katanya dengan tertawa berseri.

   "Siapa sahabat ini? Cara bagaimana kau bisa kenal Coh Liu-hiang?"

   Orang itu berusaha meronta melepaskan diri namun sedikit Oh Thi-hoa kerahkan tenaga, keringat dingin seketika berketes-ketes membasahi jidatnya, katanya sambil meringis.

   "Aku yang kecil ini hanya penjual obat saja, masakah kenal Coh Liu-hiang tokoh kosen yang tenar di Kangouw, soalnya ada orang memberi sepuluh tail perak kepadaku, suruh aku berkaok-kaok di sini, begitulah kejadiannya dan titik."

   Oh Thi-hoa tahu apa yang dikatakan ini memang benar, karena dengan kepandaian orang serendah ini, untuk kenal siapakah Coh Liu-hiang yang sebenarnya tidak akan mungkin terjadi. Sebaliknya Coh Liu-hiang mengerut kening katanya.

   "Siapakah yang memberi kau sepuluh tail perak? dan menyuruhmu kemari?"

   Laki-laki itu unjuk tawa getir, katanya meringis kesakitan.

   "Orang itu bilang adalah teman baik Coh Liu-hiang, Sianjin sendiripun tak melihat roman mukanya."

   "Memangnya kau ini picak?"

   Damprat Oh Thi-hoa dengan melotot.

   "Orang itu menyeret Sianjin ke tempat yang gelap, membelakangi sinar lagi, Sianjin hanya melihat orang itu membawa sebuah kurungan, di dalam kurungan kalau tak salah ada seekor burung kenari."

   "Burung Kenari?"

   Tak tertahan Oh Thi-hoa berteriak kaget. Segera dia berpaling kearah Coh Liu-hiang tak memberikan reaksi apa-apa, cuma tertawa-tawa katanya.

   "Benar, memang orang itu adalah temanku, agaknya dia sengaja hendak menggoda aku, kau beleh pergilah!"

   Terpaksa Oh Thi-hoa lepaskan tangannya, selicin belut laki-laki itu segera berlari sipat kuping turun ke bawah loteng. Agaknya Li Giok-han pun terkesima, baru sekarang dia menarik napas panjang, katanya sambil menepuk tangan.

   "Bi-ji, kau sudah dengar bukan? Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang paling kau kagumi, sekarang sedang duduk di hadapanmu, tidak lekas kau haturkan secangkir arak kepadanya?"

   Liu Bu-bi tertawa, katanya.

   "Sudah tentu aku ingin menghaturkan secangkir arak, namun sekarang Coh Liu-hiang takkan bisa minum lagi."

   "Tidak bisa minum lagi? Kenapa?"

   Liu Giok-han menegur.

   "Jikalau kau ditatap sedemikian rupa oleh sekian banyak pasang mata, apa kau masih bisa tenang minum arak?"

   Bisa-bisa dia tersenyum manis kepada Coh Liu-hiang, katanya pula.

   "Oleh karena itu Coh-siangsing kau tidak perlu menemani kami minum lagi, jikalau kau ingin pergi, kami sekali kali tidak akan menahan dan menyalahkan kau."

   Coh Liu-hiang menarik napas panjang, katanya dengan tertawa getir.

   "Cayhe sebetulnya tak ingin pergi, tapi sekarang.... terpaksa Cayhe mohon diri saja."

   Begitu tiba di bawah loteng, dengan keras Oh Thi-hoa lantas menepuk pundak Coh Liu-hiang, katanya.

   "Ulat busuk, bukankah banyak sekali perempuan-perempuan yang pernah kau lihat, tapi perempuan seperti Liu Bu-bi ini, kukira kau belum pernah melihatnya bukan? Dia cantik rupawan, hal ini tak perlu diragukan lagi, malah... malah gagah dan periang, genit dan supel, begitu prihatin lagi, tahu bahwa kau tidak akan tahan lama duduk disana segera dia membujukmu untuk segera mengundurkan diri, apalagi terhadap suaminya tentu lebih besar perhatiannya."

   "Tidak salah, dalam hal ini memang harus dihargai."

   "Dihargai? Memangnya cukup dihargai saja, perempuan seperti dia berani kukatakan pasti tak ada yang keduanya dimuka bumi ini."

   "O!"

   "Ada kalanya perempuan itu mempunyai banyak manfaat, tapi perempuan tetap perempuan, setiap perempuan sedikit atau banyak pasti mempunyai kekurangannya, ada yang suka cerewet, ada yang bertingkah, ada pula yang bersikap dingin kaku dan kasar lagi, namun ada pula yang cabul dan murah menjual cinta, ada yang melarang suaminya minum arak, sebaliknya dia sendiri suka minum cuka."

   "Kalau toh setiap perempuan mempunyai kekurangannya sendiri, memangnya dia itu bukan perempuan?"

   "Justru disitulah letak keistimewaannya seluruh manfaat dan kebaikan dari rupa-rupa perempuan, dia memiliki seluruhnya, tapi kekurangan setiap perempuan, tiada satupun yang ada padanya, demikian pula sifat baik dan watak laki-laki yang patut dihargaipun dia miliki, namun justru dia seratus persen adalah perempuan, kalau masih ada perempuan kedua seperti dia, meski harus mampus mempertaruhkan jiwa, aku akan mati-matian berusaha mengawininya."

   Baru pertama kali ini kau melihatnya, sudah begitu jelas kau mengenal dirinya?"

   Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya lebih keras."

   Jangan kau kira hanya kau saja yang pandai menilai, dan menyelami jiwa perempuan, aku orang she Oh belum tentu lebih asor dari kau."

   "Masakah tak terpikir olehmu, bukan mustahil bila dia itu Burung Kenari itu?"

   Hampir saja Oh Thi-hoa menghindar kaget, serunya melotot.

   "Burung Kenari? Apa kau hari ini tak enak badan? Jikalau benar dia Burung Kenari, lalu siapa pula yang membawa kurungan burung itu?... Jikalau dia benar Burung Kenari, biar kupenggal kepalaku ini."

   Coh Liu-hiang tertawa-tawa saja tak banyak bicara lagi, karena dia sendiri mulai curiga juga akan dugaan dan pemikirannya, sesaat lamanya baru mulutnya menggumam.

   "Hari ini sudah dijamu makan minum oleh mereka, besok kita harus berdaya undang mereka menjamunya kembali". Oh Thi-hoa tepuk tangan serunya.

   "Setengah harian kau ngobrol, baru kata-katamu ini yang patut dipuji."

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Memang mereka sudah berencana untuk menginap dikota ini semalam, maka sejak datang tadi mereka sudah mencari penginapan dan minta dua kamar yang paling bersih.

   Sinar rembulan menyinari pohon flamboyan di depan jendela, pada pertengahan musim semi ini, entah dari mana datangnya hembusan angin yang membawa bau harum seolah-olah membuat orang kantuk dan tenggelam dalam buaian mimpi.

   Tapi Oh Thi-hoa masih duduk di kamar Coh Liu-hiang.

   Coh Liu-hiangpun tidak mendesaknya untuk kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur, karena Coh Liu-hiang cukup tahu orang paling takut akan kesunyian.

   Apalagi di dalam waktu yang sudah larut malam dengan bulan purnama lagi, memang tidak bisa tidak seseorang duduk melamun seorang diri tanpa ditemani sahabatnya, memandang rembulan bundar di tengah cakrawala.

   Coh Liuhiang berkata lirih.

   "Bau kembang demikian harum, musim rontok mungkin sudah berselang tanpa kita sadari. Oh Thi-hoa menarik napas katanya.

   "Entah berapa banyak persoalan pula yang tanpa kita sadari sudah berlalu demikian saja, apalagi musim rontok..."

   Pada saat itulah, terdengar suara orang banyak yang ribut-ribut, disusul terdengar seorang berseru lantang.

   "Apakah Coh Liu-hiang tinggal di sini? Yau Tiang-hoa sengaja berkunjung kemari."

   Coh Liu-hiang mengerut kening, katanya.

   "Celaka, ternyata Burung Kenari suruh orang berkaok-kaok di atas loteng itu, maksudnya hendak mencari kesukaran bagi kita."

   Baru saja kata-katanya berakhir, di taman kembang di luar kamarnya sudah penuh sesak berjublek banyak orang.Ada yang menenteng lampion, ada pula yang memanggul seguci arak, ada yang sudah setengah sinting karena hampir mabuk, ada yang rasa kantuknya belum hilang, seolah-olah baru saja diseret orang dari tempat tidurnya.

   Yang berjalan terdepan adalah seorang laki-laki yang panjang kaki, panjang tangan, badannya kurus hitam, dua tiga langkah saja orangnya sudah tiba di pinggir jendela, biji matanya berjelalatan, segera dia rangkap tangan menjura dan berkata.

   "Siapakah yang bernama Coh Liuhiang? Cayhe Yau Tiang-hoa, semula murid Siau lim pay dari golongan preman, sekarang membuka Piau-kiok kecil-kecilan di sini, sudah lama kami dengar ketenaran nama besar Coh Liu-hiang si Maling Romantis, kau Coh Liu-hiang sudah sudi mampir ke kota kecil ini, jikalau kami tidak diberi kesempatan untuk menyambut selayaknya sebagai tuan rumah, berarti memandang rendah kami sekalian. Orang ini bicara cepat dan gugup menyerocos dengan ludah berhamburan, waktu menyebut Siau Lim pay mukanya unjuk takabur dan bangga. Menghadapi orang-orang awam yang suka mengagulkan diri ini, sungguh Oh Thi-hoa seperti kehabisan akal, baru saja dia ingin menyeret keluar menyingkir ke tempat lain, tak nyana Coh Liu-hiang sudah menepuk pundaknya sambil tertawa, katanya.

   "Agaknya tidak kecil gengsi dan mukamu, begitu besar penghargaan mereka sampai meluruk begini banyak kemari."

   Keruan mendelong biji mata Oh Thi-hoa, tapi orang-orang banyak di luar jendela itu sudah beramai-ramai menjura dan bersoja kepadanya, untuk menyangkalpun sudah tak sempat lagi. Didengarnya orang-orang di luar itu berebut menyanjung puji kepadanya.

   "Sudah lama kagum akan kebesaran nama Coh Liu-hiang! Hari ini beruntung dapat berhadapan dengan Maling Romantis, sungguh amat menggirangkan!"

   Waktu Oh Thi-hoa melirik dilihatnya Coh Liu-hiang sudah menyingkir kesamping jendela, sungguh gemasnya bukan main, namun sekilas biji matanya berputar, tiba-tiba dia bergelak tawa ujarnya.

   "Benar, Cayhe memang Coh Liu-hiang, tapi Coh Liu-hiang tak lebih hanya maling kecil belaka, masakah aku berani bikin repot para saudara sekalian untuk menjenguk kemari?"

   Sembari bicara sengaja dia melerok kepada Coh Liuhiang, tak nyana Coh Liu-hiang masih berseri geli sambil menggendong tangan di tempatnya, sedikitpun tak marah oleh banyolannya.

   Yau Tiang-hoa sebaliknya tertegun, sesaat kemudian lalu berkata dengan mengerut kening.

   "Coh Liu-hiang terlalu merendahkan diri, kaum persilatan yang tak tahu Maling Romantis mencuri punya si lalim untuk bantu si miskin, berjiwa besar, bajik dan setia kawan, suka menegakkan keadilan lagi, siapa pula yang berani mengatakan Maling kecil atau perampok atas diri Coh Liu-hiang?"

   Oh Thi-hoa terbahak-bahak.

   "Di hadapanku kalian tidak akan berani berkata demikian, di belakangku bukan mustahil bukan saja memakiku sebagai rampok atau maling, mungkin mencaciku sebagai kurcaci dan apa saja yang lebih rendah!"

   Kembali Yau Tiang-hoa tertegun, katanya tertawa kering.

   "Coh Liu-hiang ternyata begini humor dan suka berkelakar, sungguh lucu dan menyenangkan"

   Seperti kuatir Coh Liu-hiang mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar kuping, lekas dia menambahkan "Biarlah Cayhe perkenalkan beberapa kawan yang ikut datang ini...

   tuan ini adalah Mao Kian kong, orang menyebutnya Sinkun-bu-tek-toa-piau-khek atau Piausu besar bertangan sakti tanpa tandingan, dia ini Tio Toa hay...

   Beruntun dia memperkenalkan puluhan nama orang, kalau bukan Sin kun atau kepala sakti tentu Sin to atau golok sakti, kalau bukan Bu tek atau tiada tandingan tentu Tin wi atau menggoncangkankota .

   Mengawasi tampang orang-orang ini, mendengar lagi nama gelaran mereka satu persatu, sungguh serasa hampir saja gigi Oh Thi-hoa protol saking geli, tak tahan dia berkata tertawa.

   "Kalian datang berbondong-bondong entah ada petunjuk apa kepadaku."

   Tio Toa-hay segera tampil ke depan, katanya.

   "Cayhe beramai bukan saja amat kagum bahwa Ginkang Maling Romantis tiada bandingan dimuka bumi ini, takaran minumannyapun tiada bandingannya di seluruh kolong langit, kali ini kita punya kesempatan sama, kita beramai ingin sekedar menyuguh arak beberapa cawan kepadamu."

   "Salah, salah, kalian salah semua, Gingkang ku Coh Liu-hiang ini meski secepat lari kuda, sekencang harimau, tapi takaran minumku paling hanya setanding saja dengan si Ulat busuk, orang yang benar-benar punya takaran minum tiada bandingannya nih berada disini."

   Kemana jarinya menuding, pandangan semua orang yang diluar jendela serempak tertuju kearah Coh Liu-hiang, untuk menyingkirpun tak dapat lagi, maka Oh Thi-hoa bergelak tawa, katany.

   "Nah inilah Oh Thi-hoa, Oh Tayhiap, dia benar-benar tokoh besar didalam bidang minum arak, seorang gagah, seorang enghiong, kalau kalian tidak lekas haturkan beberapa cawan lebih banyak kepadanya kelak pasti kalian akan menyesal dan kecewa karena kehilangan kesempatan baik ini."

   Belum habis kata-katanya, entah berapa banyak jumlah orang-orang itu sudah beramai-ramai memburu masuk lewat jendela atau dari pintu,lima diantara sepuluh orang sudah memburu ke arah Coh Liu-hiang dan berdekatan untuk bersalaman dengannya.

   Baru sekarang Oh Thi-hoa terhitung membalas dendam, tanpa menunggu orang menghatur arak kepadanya, lebih dulu dia rebut cawan ditenggaknya habis tiga cawan besar.

   Lalu katanya tertawa besar.

   "Sebenarnya bukan saja aku Coh Liu-hiang takaran minumku tak sebanding Oh Tayhiap ini, ilmu silatkupun bukan tandingannya, pada suatu hari aku mengajaknya bertanding, dalam lima puluh jurus saja aku sudah kena dibantingnya, kepala keluar kecap... coba kalian lihat, kepalaku di sini pelang, untung dia kenal kasihan kepada teman sendiri, kalau tidak mungkin pelang di kepalaku ini lebih besar tiga kali lipat."

   Mata semua orang terbelalak dan berpaling ke arah Coh Liu-hiang, beramai-ramai mereka bertanya.

   "Apa benar Oh Tayhiap kau?"

   Ribut sekali sampai kuping Coh Liu-hiang serasa pekak oleh pertanyaan yang bertubi-tubi, tiada satupun pertanyaan mereka yang jelas terdengar olehnya, terpaksa dia hanya menyengir saja sambil mengelus hidung, dalam hati gemas dan gegetun setengah mati, ingin rasanya sumbat mulut Oh Thi-hoa dengan rumput kering.

   Pada saat itulah "Wut"

   Sebuah benda hitam legam dan berat tiba-tiba melesat terbang lewat jendela dari luar pekarangan masuk ke dalam kamar, begitu keras daya luncuran benda ini sampai angin menderu dan jendelapun sampai bergetar bersuara.

   Keruan orang-orang yang berada didalam kamar sama kaget dan menjerit menyingkir sejauh mungkin.

   "Blang"

   Serasa bergetar seluruh kamar itu, benda berat itu tepat jatuh di atas meja, piring mangkok dan cangkir serta guci yang berada di atas meja besar itu sama tersapu jatuh seluruhnya, waktu semua orang menegasi ternyata itulah sebagai hiasan ditengah taman kembangsana .

   Gentong ikan mas ini sedikitnya berat tiga lima ratusan kati, tapi orang dapat mengangkat dan dilemparkan ke dalam kamar dari jarak yang begini jauh, malah tepat sekali jatuh di atas meja, malah air di dalam gentong tiada setetespun yang tercecer keluar, maka dapatlah diukur berapa besar dan hebat kekuatan tenaga orang yang melemparnya masuk, sungguh mengejutkan, serempak semua hadirin sama berpaling keluar jendela.

   Bintang-bintang kelap-kelip menghias cakrawala, sinar rembulan sebening air telaga, pepohonan dari tanaman didalam pekarangan seolah-olah baru saja tersiram dan tercuci bersih dan menjadi segar, dan di bawah pohon flamboyan disana itu tahu-tahu tampak dua sosok bayangan orang.

   Entah kapan dan dari mana datangnya kedua bayangan orang ini, mereka sama mengenakan jubah panjang warna hitam, kepala dan mukanya berkerudung oleh kedok hitam pula.

   Jilid 29 Kedok yang terpakai dari kedua orang ini berlainan coraknya.

   Yang bertubuh pendek mengenakan kedok muka orang yang sedang tertawa lebar dengan mulut terpentang, sementara kedok muka orang yang tinggi sedang mewek-mewek seperti hendak menangis, jadi kedua kedok berlawanan ini, satu tertawa yang lain menangis jelas sekali perbedaan dan warnanya, hijau dan putih.

   Kalau dilihat siang hari tentu amat lucu dan menertawakan, tapi pada malam sunyi di tengah bulan purnama ini kelihatan justru rada seram dan mengiriskan.

   Hembusan angin malam yang kencang menggetar bunyinya jubah panjang yang dipakai kedua orang ini, hembusan angin dingin itupun menghembus masuk ke dalam kamar, seketika Yau Tiang-hoa dan lain-lain sama bergidik dan merinding, suaranya tergagap.

   "Ke... kedua sahabat itu apakah juga teman baik Coh Liu-hiang?"

   "Bukan"

   Sahut Oh Thi-hoa tegas sambil geleng kepala.

   "Lalu siapakah kedua orang itu?"

   Tanya Yau Tiang-hoa pula dengan mengkirik. Terpentang lebar mulut Oh Thi-hoa tertawa lebar, sahutnya.

   "Kenapa kau tanya aku malah, kau ini murid Siau lim pay yang diagungkan itu, sebagai tuan rumah di sini lagi, jikalau di dalam kota kedatangan orang2 yang tak dikenal asal usulnya, masakah kau tidak tahu?"

   Karena diumpak, Yau Tiang-hoa segera membusungkan dada, segera ia tampil ke depan dengan unjuk sikap gagah sebagai murid Siau lim pay, tak nyana begitu dia angkat kepala, empat biji mata di luar jendela itu sedingin es setajam pisau sedang menatap kepada dirinya.

   Orang berkedok muka tertawa itu segera tertawa cekikikan, katanya kalem.

   "Tak nyana di sini ada murid Siau lim pay, maaf, kurang hormat, kurang hormat."

   Sembari bicara segera ia membungkuk badan menjemput dua buah batu bata yang masing-masing dijepit diantara kedua jarinya, waktu ucapannya sampai pada kata "kurang hormat"

   Kedua batu bata itu tiba2 sama rontok berhamburan memenuhi tanah, ternyata hanya sedikit mengerahkan tenaga jarinya saja kedua batu bata itu sudah dijepit hancur berkeping-keping.

   Begitu demonstrasi kekuatan jari-jari si orang berkedok tertawa diperlihatkan, jangan kata Yau Tiang-hoa sudah pucat pias saking kaget dan ketakutan.

   Sampaipun Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa ikut terkejut dan kagum.

   Orang berkedok tangis itu segera menjengek dingin.

   "Sudah lama kudengar pukulan dari Siau-liem-pay tiada bandingan di seluruh kolong langit, sudikah sahabat ini keluar memberi beberapa jurus?"

   Suara itu seperti meringkik tangis mirip benar dengan suara seorang banci. Napas Yan Tiau-hoa tersengal tanpa sebab, sahutnya tergagap.

   "Aku... Cayhe... tak sempat bicara lagi tiba-tiba badannya roboh menindih Tio Toa-hay. Ternyata kedua lututnya lemas dan tak kuat berdiri lagi, sekilas Mao kian-kong melirik kepada Oh Thi-hoa, mendadak dia membesarkan nyali berkata dengan keras.

   "Kawan di luar itu aliran dari mana? Memangnya kau tidak tahu siapa yang tinggal di sini?"

   "Siapa dia?"

   Tanya orang berkedok tangis dingin. Sebaliknya, orang berkedok tawa itu berkakakan.

   "Paling hanya kaum keroco yang suka main gertak dan suka mulut besar belaka."

   Merah muka Mao kian-kong, katanya.

   "Mulut sahabat ini sukalah bicara sedikit bersih, tahukah kau Oh Thi-hoa, Coh Liu-hiang Maling Romantis yang menggetar dunia persilatan sama berada disini."

   Orang berkedok tangis itu berkata.

   "Memangnya hari ini kami hendak mencari Oh Tay-hiap dan Coh Liu-hiang, siapapun dia asal teman baik kedua orang ini, terhitung menjadi tujuan kita pula, bagi mereka yang tidak bersangkut paut dengan kedua orang ini, lekas menyingkir ke samping."

   Sembari bicara telapak tangannya mengelus batang pohon, begitu habis kata-katanya, daun-daun plamboyan di pucuk pohon tiba-tiba sederas hujan sama runtuh berjatuhan.

   Maka orang-orang yang berkerumun didalam rumah itu seperti digiring dengan cambuk beramai-ramai lari ke samping menjauhi Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang.

   Tinggal mereka berdua yang tetap berdiri ditengah ruangan.

   Mao Kian-kong segera unjuk tawa dipaksakan katanya.

   "Kami memangnya tiada hubungan apa-apa dengan Coh Liu-hiang, malah kenalpun belum pernah, benar tidak?"

   Orang-orang lain segera unjuk tawa dipaksakan juga dan menanggapi.

   "Hakekatnya memang tidak kenal... siapakah sih Coh Liu-hiang itu?"

   Orang berkedok tangis menjengek lebih dingin.

   "Betul-betul kawanan kunyuk kurcaci."

   Orang berkedok tawa berkata.

   "Kalau demikian kalian dua orang silahkan keluar."

   Oh Thi-hoa tiba-tiba maju ke depan Mao Kian-kong, katanya cengarcengir.

   "Mao-toa piausu, persahabatan kami selama beberapa tahun ini kenapa kau tak ikut membantu kesulitanku?"

   Memutih bibir Mao Kian-kong matanyapun mendelik ketakutan, katanya gemetar.

   "Kau... siapa kau hakekatnya aku tidak kenal kau, mana boleh kau memfitnah orang."

   Oh Thi-hoa terpingkal-pingkal katanya.

   "Kalau kau tidak kenal aku, baiklah silahkan kau minum secawan arak ini, pelan-pelan dia angkat secawan arak tinggi-tinggi terus dituang pelan-pelan diatas kepala Mao Kian-kong, saking kaget dan ketakutan setengah mati Mao Kian-kong sudah berdiri kaku mematung, menyingkirpun tidak berani. Oh Thi-hoa gelak-gelak sambil membuang cawannya, katanya.

   "Agaknya perlu kau mengganti nama dengan sebutan kunyuk bedebah."

   Ditengah gelak tawanya tiba-tiba badannya sudah melesat keluar jendela.

   Dua bayangan orang di luar itupun serempak berkelebat terbang jauh ke belakang, tahu-tahu hinggap di atas pagar tembok terus berkelebat sekali gali lenyap ditelan kegelapan di luarsana , betapa tinggi dan hebat kepandaian ginkangnya sungguh amat mengejutkan.

   Akan tetapi ilmu ginkang Oh Thi-hoa apalagi Coh Liu-hiang dibandingkan siapapun takkan lebih asor, namun melihat lawan begitu tinggi dan amat lihai, sedikitpun mereka tidak berani takabur.

   Mereka terbang melesat jajar berendeng adu pundak, dari kejauhan menguntit kedua bayangan itu, dalam waktu dekat sengaja mereka tidak berani mengejar terlalu dekat, sekilas Oh Thi-hoa melirik pada Coh Liu-hiang, katanya tertawa getir.

   "Agaknya musuhmu yang lihay lihay tak sedikit jumlahnya."

   "Memangnya kedua orang di depan itu bukan musuhmu?"

   Oh Thi-hoa melengak katanya.

   "Hakekatnya melihatpun aku belum pernah orang macam apa sebenarnya kedua orang ini"

   "Aku juga belum pernah melihat mereka."

   "Coba kau pikir-pikir kedua orang ini pasti mencari kau, musuh musuhku tiada satupun yang membekal kepandaian setinggi mereka, hanya satu saja Kui-ong "Raja Setan"

   Han Bui tapi tiga tahun yang lalu iapun sudah menjadi setan asli."

   "Aku sendiripun tak habis pikir kapan pernah musuh setangguh mereka ini."

   Masakan dari gerak gerik dan langkah ilmu silat mereka kau tidak bisa membedakan siapa mereka? Tidak banyak tokoh-tokoh selihay mereka ini dalam kalangan Kang ouw!"

   "Pukulan tangan kedua orang ini sama dilandasi kekuatan lunak, seperti Kim si hiang ciang "Pukulan Kapas Benang Emas"

   Dari aliran Kam-cong. Akan tetapi yang benar-benar dapat meyakinkan Kim-si-hian-siang sampai tingkat setaraf itu, selama tiga puluhan tahun mendatang ini tidak lain hanya Put sian khek seorang saja."

   "Tapi Put sian-khek hanya punya sebuah tangan, mana mungkin menjadi dua orang?"

   "Aku tahu mereka jelas tak mungkin Put-sian-khek adanya oleh karena itu aku tak habis pikir siapakah gerangan kedua orang ini?"

   "Perduli siapa kedua orang ini, gelagatnya malam ini kita harus bertanding adu jiwa, semula kukira sepulang ke kampung halaman boleh kita mengecap hidup tenteram dan damai siapa nyana baru ditengah jalan sudah kebentur kesulitan begini, tahu begini, aku lebih suka ikut Pipop-kongcu kembali ke negeri Kui-je hidup disanjung dan berkelebihan di sana."

   Mulut mereka bicara, namun gerak gerik mereka tidak menjadi kendor karenanya, gerakan kedua orang di depan pun tidak menjadi lambat, betapa kuat pernapasan mereka, kiranya tidak lebih asor dari mereka.

   Jalan yang mereka tempuh semakin belukar naik turun tidak menentu, masuk hutan melompati jurang, akhirnya mereka tiba pada suatu tempat dimana banyak terdapat kunang-kunang sedang beterbangan dimalam hari, kiranya tanpa disadari mereka telah tiba di tanah pekuburan.

   Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya.

   "Kembali tiba di tanah pekuburan, kenapa setiap kali ada orang yang menantang berkelahi sama aku, selalu mencari tanah pekuburan sebagai gelanggang pertumpahan?"

   Coh Liu-hiang tertawa, katanya.

   "Jikalau ingin ajak kau minum arak, sudah tentu akan bawa kau ke rumah makan, tapi sekarang dia merenggut jiwamu, sudah tentu membawamu ke tanah pekuburan supaya lebih gampang membereskan mayatnya."

   Kebetulan hembusan angin malam yang rada santer menghembus datang dari depan kunang-kunang sama serabutan menyampok muka mereka.

   Di sini bulan purnama seraya memancarkan cahayanya yang redup.

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cahaya yang redup remang-remang menyinari tanah pekuburan yang serba seram, sunyi dan semak belukar seperti ini, dari kejauhan sering terdengar lolong serigala lagi, suaranya yang melengking tinggi dan tajam laksana pekik setan yang penasaran, namun rasanya lebih jelek dan lebih seram kedengarannya dari setan nangis, lama kelamaan Oh Thi-hoa merasa kulit mukanya kaku kejang tak bisa tertawa lagi.

   Kedua orang seragam hitam itu sementara mana sudah berhenti ditengah tengah tanah pekuburan ini, dengan dingin mereka mengawasi kedatangan Coh Liu-hiang berdua.

   Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa memperlambat langkahnya, langkah demi langkah dengan kewaspadaan mereka maju mendekat.

   Tampak di depan kuburan-kuburan yang berjajar dan bersusun susun itu sudah ditata empat peti mati kecil, di atas peti mati kecil ini dilambari tikar dari rumput, orang berkedok muka tangis ulur tangannya menuding peti-peti mati di depannya dan berkata.

   "Silahkan !"

   Oh Thi-hoa mengelus-elus hidung katanya tertawa.

   "Jikalau peti mati ini dipersiapkan untuk aku, rasanya terlalu kecil."

   Orang berkedok muka tertawa terkekeh kekeh, katanya.

   "Jikalau badanmu dipotong menjadi dua, bukankah tepat dan pas?"

   Meniru suara tawa orang, Oh Thi-hoapun terkekeh kekeh, ujarnya.

   "Potongan badanmu kira kira sebanding dengan aku untuk memasukkan badanmu peti inipun pas dan tepat."

   Orang berkedok muka tangis itu ternyata menuding pula ke arah peti mati yang lain.

   "Silahkan !"

   Oh Thi-hoa tertawa riang, serunya.

   "Tak heran usaha toko peti mati belakangan ini cukup laris, kiranya ada orang menggunakan peti mati sebagai tempat duduk!"

   Melihat Coh Liu-hiang sudah duduk, terpaksa diapun duduk ke tempat yang ditunjuk. Empat orang masing-masing menduduki empat peti mati, satu sama lain berhadapan, duduk ditengah tanah pekuburan. Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya.

   "Entah siapakah nama besar kalian berdua? Sebetulnya apakah tujuan kalian memancing kami kemari? Apakah sebelum kami pernah bermusuhan?"

   Beruntun dia ajukan tiga pertanyaan, namun satupun tidak dijawab. Orang berkedok muka tangis mendadak malah mengulap tangan memberi tanda dan memberi perintah.

   "Siapkan hidangan !"

   Oh Thi-hoa melengak, katanya tertawa geli.

   "Jadi kalian undang kami hendak menjamu makam minum di sini?"

   Orang berkedok muka tangis itu berkata.

   "Cuma harus disayangkan ditempat seperti ini tiada hidangan lezat apa-apa yang patut kusuguhkan kepada kalian."

   Baru habis kata katanya, dari balik kuburan bersusun di belakangsana muncul dua orang, kedua orang inipun mengenakan jubah panjang warna hitam, mukanyapun mengenakan kedok yang serba aneh dan lucu.

   Kedua orang ini mendatangi sambil menggotong sebuah peti mati.

   Namun peti mati yang ini jauh lebih besar, kedua orang baju hitam itu terus maju dan menggotong peti mati besar ini ditengah tengah antara mereka berempat, setelah meletakkan di tanah, berputar kedua orang ini membungkuk memberi hormat terus mengundurkan diri ke tempat datangnya semula.

   Seolah-olah mereka memang keluar masuk dari dalam kuburan.

   Orang berkedok muka tertawa kembali ulurkan tangannya sambil berkata.

   "Mari silahkan."

   "Silahkan? silahkan apa?"

   Tanya Oh Thi-hoa heran.

   "Silahkan makan !"

   Orang kedok muka tangis pula yang menjawab. Sekilas Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba ia tertawa keras.

   "Apa kalian hendak undang aku kemari menggasak makanan orang mati?"

   Dingin suara orang berkedok tangis itu.

   "Setiba ditempat ini makan apa kalau tidak makan mayat orang?"

   Oh Thi-hoa melenggong serunya terloloh-loloh.

   "Ha, ha, aneh, lucu dan menyenangkan, sungguh amat menyenangkan !"

   Suara tawanya tiba-tiba terputus, dilihatnya orang berkedok muka tangis sudah ulurkan tangannya ke dalam peti mati.

   "peletak jari jarinya seperti memutus semacam entah barang apa. Diwaktu tangan orang ditarik keluar tahu-tahu jari-jarinya sudah memegangi sebuah pangkal lengan tangan yang berlepotan darah, sedikit menyingkap kedok mukanya ke atas "kres"

   Dengan lahap dia gerogoti lengan berdarah daging mentah itu, serunya tertawa senang.

   "Silahkan, silahkan, silahkan orang ini mampus belum lama, dagingnya masih segar dan lezat."

   Sembari tertawa dan bicara, mulutnya kecap-kecap dengan nikmatnya, darah segar mengalir keluar dari ujung mulutnya dan membasahi dagunya. Sungguh kaget dan mual Oh Thi-hoa dibuatnya, teriaknya gusar.

   "Sebetulnya kalian..."

   Tak nyana baru beberapa patah serunya, dilihatnya Coh Liu-hiang juga ulurkan tangan masuk ke dalam peti mati.

   "pletak"

   Tahutahu diapun menjemput sembarang lengan tangan yang berlepotan darah pula. Disusul "kres"

   Dengan lahapnya diapun gigit daging lengan tangan itu, seperti menggerogoti paha ayam.

   Darah segarpun mengalir dari ujung mulut berketes-ketes jatuh ke tanah.

   Merinding dan berdiri bulu roma Oh Thi-hoa melihat adegan seram dan serba kejam ini, seperti manusia purba yang masih hidup secara primitif saja gegares daging manusia yang mentah, keruan dia berjingkrak gusar, bentaknya.

   "Coh Liu-hiang sejak kapan kaupun belajar makan daging manusia yang mentah begitu?"

   Coh Liu-hiang tertawa, katanya.

   "Daging manusia ini memang segar dan lezat rasanya luar biasa nikmatnya, mari kau boleh mencicipi sekerat saja."

   Kaget dan gusar bukan kepalang Oh Thi-hoa dibuatnya, disaat dia kehabisan akal tak tahu apa yang dia harus lakukan, kedua orang berkedok itu mendadak terbahak-bahak, orang berkedok muka tertawa cekikikan geli, ujarnya.

   "Memang sejak mula aku sudah tahu kami takkan bisa mengelabui mata Coh Liu-hiang si Maling Romantis!"

   Ditengah gelak tawa mereka, tiba-tiba di empat penjuru muncul puluhan lampu lampion yang terang benderang, sehingga tanah pekuburan ini diterangi seperti siang hari, baru sekarang Oh Thi-hoa yang berdiri melongo melihat jelas, bahwa lengan tangan yang berlepotan darah itu adalah sekerat tebu yang dibuat sedemikian rupa lalu dilumuri kuah kental yang terbuat dari gula merah, didalam kegelapan tanah pekuburan yang serba seram ini, dibawah pancaran sinar bulan yang redup remang-remang, walau berhasil mengelabui pandangan Oh Thi-hoa, toh tak berhasil menipu Coh Liu-hiang.

   Mulut Oh Thi-hoa melongo dan melelet lidah, sekuatnya dia menggosokgosok hidung, katanya.

   "Ini... sebetulnya apa sih yang sedang kalian lakukan?"

   Orang berkedok muka tertawa segera menanggalkan kedok mukanya sambil tertawa.

   "Siaute memang punya pikiran yang muluk-muluk dan rada brutal, semoga Oh-heng suka memaafkannya!"

   Orang ini masih muda belia, beralis tebal bermata tajam bening, ternyata bukan lain adalah kenalan barunya Li Giok-ham.

   Sudah tentu orang yang mengenakan kedok muka tangis itu bukan lain adalah Liu Bu-bi.

   Kembali Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya tertawa besar.

   "Ha..ha.. sungguh menyenangkan, selama hidupku belum pernah kutemui kejadian yang menyenangkan seperti ini, kalian berdua memang pandai mengada-ada!"

   Liu Bu-bi tersenyum lebar, katanya.

   "Aku tahu kalian pasti akan dibikin repot oleh kawanan tamu yang tak diundang itu sampai tak bisa meloloskan diri, maka terpaksa kami mencari akal seperti ini sekaligus untuk menyenangkan hati dan menghibur lara!"

   "Bagus, bicara kalian ini memang tiada bandingannya di kolong langit. Kecuali kau, mungkin sukar dicari orang kedua yang bisa menemukan cara sebagus ini."

   Oh Thi-hoa memujinya. Li Giok-ham tertawa ujarnya.

   "Tapi betapapun cermat dan teliti cara kerjanya toh tetap tak berhasil mengelabui ketajaman mata Coh-heng."

   "Memangnya matanya tumbuh berlipat ganda tajamnya, tapi aku tidak jelas dan pingin punya mata seperti dia, karena keadaan itu bakal mempersempit diri dan tak bisa seriang seperti aku ini."

   Di dalam peti mati itu bukan saja terdapat tebu istimewa, ada pula jeruk, manggis semangka dan mangga.

   Sudah tentu hidangan buah-buahan yang segar-segar ini merupakan hidangan baru yang amat mencocoki selera mereka setelah perut biasanya dijejal daging dan arak melulu.

   Apalagi meski buah buahan ini bukan makanan yang mahal, tetapi di tanah pekuburan seperti ini pada musim rontok pula sudah tentu rasanya jauh lebih menyenangkan daripada hidangan tapak biruang atau lidah burung, dari sini dapatlah dinilai, bukan saja tuan rumah amat prihatin dan pintar meladeni tamunya, jelas sekali orangnyapun tak segan-segan mengeduk kantong untuk menyediakan makanan yang tidak mungkin bisa didapatkan tidak pada musimnya.

   Angkat cawan araknya, Oh Thi-hoa tertawa, katanya.

   "Selama hidupku meski tidak sedikit perbuatan brutalku, tapi duduk di atas peti mati di tanah pekuburan, minum arak benar-benar merupakan kejadian pertama kali segede ini usiaku."

   Segera Li Giok-ham bertanya.

   "Apakah Oh-heng merasa kurang senang?"

   "Kurang senang? Malahan aku merasa amat riang dibanding dengan tempat ini, kamar-kamar di hotel itu boleh dikata lebih sumpek dan gerah daripada berada di dalam peti mati sekecil ini. Dibanding kalian suami istri, kawanan Piauwsu yang menyebalkan itu, seperti rombongan mayat hidup melulu."

   Liu Bu-bi tertawa geli katanya.

   "Walau waktu itu aku mengenakan kedok orang menangis, namun mendengarkan merubah nama julukan si kepala gundul itu, hampir saja aku tertawa geli."

   Oh Thi-hoa mengucek-ucek hidung, katanya.

   "Kalau tahu banyolanku bakal terdengar kalian, tentu aku tak berani mengeluarkan kata-kataku ini."

   Coh Liu-hiang tiba-tiba bersuara.

   "Kaum Kang-ouw sama tahu, di dalam Bulim pada jaman ini terdapat tiga keluarga besar persilatan, ketenaran dan kebesaran ketiga keluarga besar ini tidak lebih asor dari tiga Pang besar dan Chat pay atau tujuh partai, dan lagi setiap keluarga dari ketiga keluarga besar persilatan, masing-masing mewariskan ilmu silat ajaran leluhurnya turun temurun merupakan tradisi keluarga, tingkat kepandaian silatnya cukup setimpal dijajarkan dengan Lo han sin kun dari Siao lim pay dan setanding dengan Liang gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay. Cuma para anak didik dan keturunan dari ketiga keluarga besar persilatan ini masingmasing amat memasuki dan terkekang oleh undang-undang keluarga, maka jarang sekali mereka mondar-mandir di kalangan Kangouw."

   Di luar dugaan mendadak Coh Liu-hiang mengobral tentang situasi dunia persilatan pada jaman itu, orang lain tadi kemek-kemek tak tahu bagaimana harus ikut bicara, terpaksa mereka tinggal diam mendengarkan uraiannya lebih lanjut.

   "Puluhan tahun belakangan ini,"

   Coh Liu-hiang meneruskan uraiannya.

   "tunas-tunas muda yang berbakat dari masing-masing anak didik ketiga keluarga besar persilatan ini saling bermunculan walau mereka jarang di Kang-ouw, namun bak umpama seekor naga setiap kali menampakkan diri, pasti ada-ada saja yang dilakukan, dan pasti menggemparkan seluruh dunia umpamanya."

   Tak tahan Oh Thi-hoa segera menyeletuk.

   "Umpamanya, Lamkiong Ping dari Lam-kiong si-keh dulu pernah di dalam satu malam saja menyapu bersih delapan belas pangkalan berandal dari puncak Thay-hang san yang malang melintang selama empat puluhan tahun di dunia persilatan disapunya habis ke akar-akarnya dan lenyap dari permukaan bumi."

   Coh Liu-hiang tersenyum, katanya.

   "Itu kejadianlima puluhan tahun yang lalu, sudah Lamkiong koncu yang muda belia dan gagah itu, sepuluh tahun yang lalu sudah berpulang ke tanah asalnya, khabarnya menjadi dewa dua tiga puluh tahun..."

   "Dua tiga puluh tahun mendatang,"

   Oh Thi-hoa kembali menyela.

   "Peristiwa besar yang menggetarkan Bulim adalah peristiwa Hong-cui sanceng yang dipimpin oleh Li Boan-hu Locianpwe, beliau mengundang tiga puluh satu ahli pedang yang ternama di seluruh dunia berkumpul di puncak datar di Kiam-ti "telaga pedang"

   Dimana mereka minum teh mendemonstrasikan ilmu pedang, dan Li-locianpwe dengan sebatang pedang Koh bu-yang-kiam yang mempunyai sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus, mengalahkan ketiga satu ahli-ahli pedang itu, sehingga mereka tunduk lahir batin, beliau diangkat sebagai tokoh pedang nomor satu di seluruh jagat."

   "Benar."

   Ujar Coh Liu-hiang menepuk tangan.

   "Akan tetapi ilmu silat dari keluarga besar persilatan ini masing-masing mempunyai kebolehan dan kebagusannya sendiri-sendiri, tapi tiga puluh tahun belakangan ini, Yongcui- san-ceng yang berada di Hay-yang-san yang terletak di Koh so hin sebagai puncak dari kebesarannya."

   Sampai disini dia tersenyum pula, mendadak dia berpaling kepada Li Giokham, katanya tetap tersenyum lebar.

   "Li-heng masih muda dan gagah, betapa tinggi kepandaian silatmu jarang terlihat ada tandingannya di kalangan Kangouw kalau dugaan Cayhe tidak meleset tentulah kau salah satu anak didik dari Yong cui san cheng itu."

   "Sungguh harus disesalkan", sahut Li Giok-ham.

   "Siaute tidak belajar dengan tekun dalam bidang ilmu silat, sehingga merendahkan derajat ketenaran keluarga yang sudah dijunjung tinggi sejak puluhan tahun yang lalu."

   "Li-heng terlalu merendah, entah pernah apa Li heng dengan Li Koan hu, Li locianpwe?"

   "Beliau adalah ayahku."

   Sahut Li Giok ham dengan hormat dan hikmat. Sejak tadi Oh Thi-hoa sudah mendengarkan dengan mata terbelalak dan alis tegak, tak tahan segera dia bersorak sambil tepuk tangan.

   "Tak heran kalian suami istri begini hebat, begini jempolan, anak didik keluarga besar kaum persilatan memang lain dari pada yang lain."

   Li Giok-ham tertawa, ujarnya.

   "Patah tumbuh hilang berganti, selama puluhan tahun ini generasi muda saling bermunculan di seluruh pelosok dunia, jadi bukan melulu Yong-cui-san-cheng saja yang tetap di puncak ketenarannya, dan lagi kebesaran kita sudah mulai pudar dan tersapu oleh ketidak becusan dari generasi muda seperti tingkatanku ini, sampai pun ayah kini tidak berani mengagulkan diri lagi sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat."

   Tanpa menunggu Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang buka suara, segera dia menambahkan.

   "Paratokoh-tokoh ahli pedang yang dulu ikut menjajal kepandaian pedang di gardu teh di pesisir Kiam-ti itu, kini sudah banyak yang sudah meninggal dunia. Akan tetapi ahli-ahli pedang dari generasi muda yang muncul di Kang-ouw belakangan ini banyak yang jauh lebih unggul daripada para cianpwe yang terdahulu. Menurut penilaian ayahku, tokoh-tokoh ternama pada jaman ini, kami hanya menilai dalam bidang ilmu pedangnya saja, terhitung Sia-ih-jin tayhiap sebagai jago nomor satu di seluruh muka bumi ini."

   Coh Liu-hiang segera menanggapi.

   "Itu hanya pujian Li-locianpwe kepada generasi muda yang berbakat saja, Cayhe memang pernah dengar katanya ilmu pedang Sia-ih jiu hebat luar biasa dan seperti mainan sulapan belaka dan tak kentara gerak bentuknya tapi bicara soal pengalaman dan kematangan latihannya, dibanding Li-locianpwe, tak perlu disangsikan lagi masih jauh sekali jaraknya, kenapa Li-heng terlalu merendah?"

   Oh Thi-hoa tertawa, selanya.

   "Tidak salah rendah hati memang watak seorang yang berbudi luhur, tapi kalau terlalu berkelebihan malah kebalikannya pura-pura belaka."

   Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya.

   "Adahal-hal yang tidak kalian ketahui beberapa tahun yang lalu secara tak terduga ayah mendadak terserang semacam penyakit aneh yang tak dapat disembuhkan lagi sampai sekarang masih tetap rebah di atas pembaringan. juga sudah sepuluh tahun tak pernah pegang pedang lagi."

   Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sama-sama tertegun, mereka tak tahu cara bagaimana harus menghibur dan menghela napas gegetun belaka. Sesaat kemudian Li Giok-ham malah berseri tawa pula, katanya.

   "Melulu dinilai dari ilmu sebagai jagoannya, tapi kalau bicara soal kecerdikan, ilmu silat, pengalaman menghadapi musuh dan mengalahkannya, dikolong langit ini, siapa pula yang bisa menandingi Coh Liu-hiang?"

   Oh Thi-hoa terloroh-loroh, meski dia cukup baik, tapi jangan kau mengagulkan dia terlalu tinggi yang jelas dia tidak sungkan dan rendah hati seperti kau."

   "Bicara apa peristiwa besar belakangan ini yang menggemparkan Bulim, tentunya harus diakui hanya Coh Liu-hiang pula yang harus dinobatkan ke tempat teratas dalam usahanya menumpas intrik antara Lamkiang Ling dan Biau ceng Bu Hoa, sekaligus menolong dan menegakkan kembali nama baik Siau lim pay dan Kay-pang."

   Coh Liu-hiang tertawa-tawa, katanya.

   "Itu hanya kejadian kecil saja, kenapa harus dibuat pujian."

   "Kaupun tidak usah sungkan-sungkan"

   Sela Oh Thi-hoa.

   "Kalau peristiwa itu kejadian kecil, lain peristiwa yang bagaimana baru boleh terhitung kejadian besar?"

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Liu Bu-bi mendadak tertawa, timbrungnya.

   "Kalau dinilai kecerdikan, ilmu silat dan pengalaman menghadapi musuh serta mengalahkannya, sudah jelas tiada orang yang mampu menandingi Coh Liu-hiang, tapi kalau bicara keluhuran jiwa, ke lapangan dada serta wataknya suka bebas merdeka, memangnya siapa pula yang bisa dibandingkan Hoa-ouw hiap atau kupu-kupu kembang Oh Thi-hoa, Oh Tayhiap?"

   "Tepat sekali ucapan ini."

   Seru Oh Thi-hoa tertawa lebar.

   "Kalau dibanding minum arak memang tiada orang yang betul-betul bisa dibandingkan dengan aku."

   "Benar"

   Ujar Coh Liu-hiang pula.

   "Dikolong langit ini, memang tiada orang yang dapat mabuk lebih cepat daripada kau."

   Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri sambil berkaok-kaok.

   "Bocah keparat, berani kau ugal-ugalan di hadapan seorang ahli? Akan datang suatu ketika, akan kuadu kekuatan dengan kau, coba saja buktikan siapa yang roboh lebih dulu."

   "Ugal-ugalan di depan seorang ahli,"

   Ujar Liu Bu-bi tersenyum manis.

   "kata-kata yang tepat sekali, jauh lebih mengasyikkan daripada permainan badut didalam panggung sandiwara."

   "Kecuali setan arak seperti dia ini, siapapun takkan sudi mengeluarkan kata-kata seperti itu, itulah yang dikatakan tiga patah kata tidak lepas dari kepintarannya."

   Demikian Coh Liu-hiang mengolok-ngolok.

   "Kalian benar-benar sahabat baik yang berjiwa besar dan luhur budi."

   Kata Li Giok-ham.

   "Siaute dapat berkenalan dengan kalian sungguh merupakan rejeki yang tiada taranya bagi kami, ingin rasanya kami bila berkumpul lebih lama lagi."

   Liu Bu-bi menambahkan.

   "Oleh karena itu sungguh besar harapan kami untuk mengundang kalian untuk bertamu sepuluh hari di Yongcun san-ceng, sumber air disana merupakan salah satu dari tiga sumber air abadi yang terkenal di seluruh dunia, bukan saja nikmat untuk menyeduh teh, buat bikin arakpun tak kalah enaknya."

   Seketika bersinar biji mata Oh Thi-hoa, katanya menepuk paha.

   "Sudah lama kudengar Yongcui san-ceng dibangun membelakangi gunung menghadap keair, sejak lama ingin rasanya aku bertamasya ke tempat nan indah permai itu, sekaligus untuk berkenalan dengan jago pedang nomor satu di seluruh jagat ini."

   Diliriknya Coh Liu-hiang sebentar, lalu menambahkan dengan menghela napas.

   "Namun sayang aku harus temani dia pergi mencari beberapa orang lagi."

   Coh Liu-hiang segera menambahkan.

   "Betapa Cayhe tidak ingin memberi sembah hormat kepada Li-locianpwe, cuma tugas berat melibat diri, kali ini belum bisa kesana, untunglah hari masih panjang, kelak aku pasti mencari kesempatan."

   Bergerak kerlingan mata Liu Bu-bi katanya.

   "Sungguh harus disesalkan, dalam rumah kami ada beberapa orang yang ingin benar berhadapan dengan Coh Liu-hiang."

   "O?"

   Coh Liu-hiang bersuara heran bertanya-tanya.

   "Kau tak perlu tanya,"

   Timbrung Oh Thi-hoa.

   "Yang mau bertemu dengan kau tentu gadis berusia tujuh belasan, persoalan apapun tidak tahu, entah darimana mereka pernah dengar segala julukan muluk seperti Maling Romantis meninggalkan bebauan wangi! Pemuda tampan diantara gerombolan bajingan segala! Maka mereka yakin kau pasti seorang laki-laki yang luar biasa. Li-heng, coba katakan benar tidak?"

   Liu Bu-bi cekikikan geli, katanya.

   "Mereka memang gadis-gadis perawan yang baru saja mekar, tapi jikalau kau katakan mereka tak tahu urusan, salah besar ucapanmu."

   "O?"

   Ganti Oh Thi-hoa bersuara heran.

   "Beberapa nona itu bukan saja pandai ilmu silat, pintar menulis dan ahli seni lukis dan sastra, pintar dan cantik-cantik, malah satu diantaranya seorang jenius yang pernah mengikuti ujian pemerintah dan mendapat anugerah tinggi dari ilmu sastra."

   "O! Siapakah namanya?"

   Liu Bu-bi tertawa tawar, sahutnya.

   "Namanya Soh Yong yong."

   Xxx Cuaca cerah, hawa segar.

   Tiga buah kereta yang dipajang indah dan megah tengah berlari di jalan raya yang dipagari pepohonan rindang.

   Kereta terdepan kelihatannya kosong tanpa muatan seorangpun, namun kereta ini tanpa kuda, sebaliknya ditarik enam laki-laki yang berbadan tegap tinggi dan kekar, sinar mata mereka berkilat-kilat, sekilas pandang orang akan tahu bahwa ke enam orang ini adalah ahli silat yang berkepandaian tinggi, namun mereka terima diperbudak, maka dapatlah dibayangkan bagaimana majikan mereka, tentulah seorang tokoh Bulim yang amat kosen.

   Kereta terbelakang, sering terdengar suara cekikikan genit seorang perempuan semerdu kicauan burung kenari, sayang jendela kereta tertutup rapat, siapapun takkan bisa melihat atau tahu muka si penunggang kereta.

   Kereta yang ditengah sebaliknya lebih besar dan lebar, keadaanyapun paling mewah, jendela kereta terpentang lebar, namun kerai menjuntai turun, dari balik kerai itu sering terdengar gelak tawa riang gembira.

   Gelak tawa gembira yang keluar dari mulut Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, mendengar Soh Yong-yong berada di Yong-cui-san-cheng, masakah mereka tidak sudi ikut Li Giok-ham pulang kesana? Memang kereta ini tidak dibuat sebagus kereta KiPing -yan itu, tapi kereta ini lebih luas dan lebar, lebih nyaman dan segar, membuat orang tak merasa letih meski menempuh perjalanan jauh.

   Bukan hanya sekali saja Coh Liu-hiang bertanya-tanya.

   "Cara bagaimana Yong ji bertiga bisa tahu-tahu berada di Yong cui san ceng? Liu Bu-bi selalu menjawab dengan tertawa.

   "Sekarang terpaksa aku harus jual mahal, yang terang setelah kau bertemu dengan nona Soh kau akan jelas duduknya perkara."

   Berhari-hari lamanya mereka kembali ke Tiong-goan lalu lintas jalan raya semakin banyak, orangpun lebih banyak hilir mudik, melihat ketiga buah kereta ini, sudah tentu tiada satupun yang tidak memperhatikan.

   Hari itu mereka sampai di Kayhong, hari sudah magrib, terpaksa rombongan mereka masukkota dan mencari penginapan.

   Setelah makan malam dan menenggak arak habis beberapa cawan arak, semua orang kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat.

   Hanya Oh Thi-hoa menuruti kebiasaannya, dia tetap duduk di kamar Coh Liu-hiang tidak mau kembali ke kamarnya sendiri.

   Masih segar dalam ingatan Coh Liu-hiang akan kejadian masa lalu yang penuh bahaya dan serba misterius yang menimpa dirinya dikota ini, sehingga pikirannya berkecamuk dan tidak bisa tidur.

   Maka kebetulan juga kehadiran Oh Thi-hoa di kamarnya.

   "Pandanganmu memang jitu."

   Kata Oh Thi-hoa.

   "Li Giok ham suami istri memang pandai menggunakan Kim si bian ciang. Pui san khek biasanya tidak punya murid, namun beliau sahabat kental Li Koan bu laksana saudara sepupu, bukan mustahil bila dia menurunkan keahliannya kepada anak sahabatnya."

   Coh Liu-hiang menghela napas panjang.

   "Yang berada di luar dugaan, jago kosen nomor satu pada masa lalu, kini sudah jadi orang tanpa daksa, para Bulim Cianpwe satu persatu sudah menemui ajalnya, sungguh harus dibuat sayang dan mengenaskan."

   "Untungnya dia masih punya seorang putra sebaik itu, sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus Ling-hong-kiam ditambah Kim-si-biauciang, memangnya Yong cui-san-ceng kuatir tidak bisa diperkembang luaskan?"

   Menurut pandanganku, kepandaian silat Liu Bu-bi bukan saja lebih tinggi dari suaminya, terutama ilmu Ginkangnya terang lebih tinggi."

   "Khabarnya kepandaian silat dari ketiga keluarga besar persilatan khusus diturunkan kepada menantu tanpa diteruskan kepada anak gadisnya, jikalau dia sudah menjadi menantu Li Koan hu, sudah tentu ilmu silatnya tidak lemah."

   "Umpama kata benar dia menikah dan masuk ke dalam keluarga Li, yang terang tak akan lebih lama dari sepuluh tahun, sementara anak didik dari ketiga keluarga besar persilatan, sejak umur tiga atau lima sudah mulai diajarkan ilmu silat, kukira Li Giok-ham tidak menyimpang dari kebiasaan ini."

   "Benar, kulihat sedikitnya dia sudah sepuluh tahun belajar dengan tekun."

   "Kalau demikian maka tidak pantas bila kepandaian Liu Bu-bi justru lebih tinggi dari suaminya. Kecuali asal-usul keluarganyapun dari kau persilatan, tapi seluruh dunia ini, berapa banyak tokoh-tokoh silat yang bisa mendidik muridnya jauh lebih jempolan dari murid didik Li Koau-hu?"

   Oh Thi-hoa mengerut kening, tanyanya.

   "Memangnya kau mulai curiga akan asal-usulnya?"

   "Beberapa kali aku ingin menanyakan asal-usul perguruannya, selalu dia menyimpang kelain persoalan, dari sini aku mendapat kesimpulan, jelas dia pasti bukan anak murid dari empat Pang besar, tujuh partai tak habis kupikir di dalam Bulim kapan pernah ada tokoh silat kosen dari tingkatan tua yang punya nama she Liu?"

   "Bagaimana juga, pendek kata kau tidak akan mencurigai bahwa menantu Li Koan hu ini adalah si Burung Kenari itu."

   Dan lagi umpama kata benar dia, adalah Burung Kenari memangnya mau apa? Burung Kenari pernah menanam budi kepada kita, tiada punya ganjelan hati tidak bermusuhan, malah jiwaku ini pun pernah ditolong! Jika bertemu Burung Kenari, aku hanya akan berterima kasih kepadanya."

   Coh Liu-hiang hanya menyeringai tawa saja tak bersuara lagi. Pada saat itulah, suara teriakan-teriakan berkumandang dari kamar sebelah. Oh Thi-hoa mengerut alis, katanya tertawa.

   "Suami istri yang begitu akrab dan kasih sayang apakah juga sering perang mulut?"

   Terdengar suara jeritan semakin keras melengking, dan lagi kedengarannya teramat menderita dan kesakitan, terang itulah suara Li Bu-bi.

   Maka tanpa ayal mulut bicara, secepat kilat Oh Thi-hoa sudah menerjang ke luar.

   Terpaksa Coh Liu-hiang ikut memburu keluar, tampak pekarangan sunyi senyap, para pelayan dan kacung-kacung yang mengikuti perjalanan suami istri, tiada seorangpun yang nampak keluar untuk menjenguk keadaan majikan mereka.

   Jikalau mereka tidak tuli, pasti mereka sudah mendengar suara keluh kesakitan yang melengking dimalam gelap nan sunyi ini, tapi kenapa tiada satupun diantara mereka yang keluar? Apa mereka sudah biasa mendengar jerit kesakitan seperti ini? Sinar pelita masih kelihatan menyala dari kamar Liu Bu-bi.

   Terdengar suara Liu Bu-bi sedang merintih-rintih kesakitan.

   "Kau bunuh aku saja! Bunuh aku saja!"

   Berubah air muka Oh Thi-hoa, baru saja ia hendak menerjang masuk, didengarnya pula suara Li Giok-ham sedang membujuk.

   "Tahanlah sebentar, tahan sebentar, jangan kau ribut membangunkan orang lain!"

   Suara Liu Bu-bi serak merintih.

   "Aku tidak tahan lagi, dari pada tersiksa seperti ini, lebih baik mampus saja."

   Baru saj Oh Thi-hoa tahu bahwa kedua suami istri ini bukan sedang perang mulut tak tahan dia berkata.

   "Mungkin mendadak dia terserang penyakit?"

   Coh Liu-hiang lebih prihatin, sahutnya.

   "Rasa sakit ini kukira bukan kumat mendadak, pastilah penyakit lama yang sudah mengeram dibadannya, dan lagi memang sering kumat dalam jangka waktu tertentu, oleh karena itu sampai kaum hambapun sudah biasa mendengar keributan ini, kalau tidak mana mungkin mereka tetap sembunyi di dalam kamar masing-masing saja."

   "Begitu penyakit itu kumat rasa sakitnya tentu amat menyiksa, kalau tidak orang seperti Liu Bu-bi pasti tak nanti menjerit-jerit dan merintih-rintih, entah penyakit apa yang menghinggapi dirinya."

   Kelihatan keadaannya segar bugar seperti orang lain, tak nyana begitu kumat ternyata begitu menyiksa dan menakutkan, kulihat mungkin bukan terjangkit suatu penyakit apa apa, tapi terkena semacam racun apa yang amat lihai."

   "Racun-racun"

   Berubah rona muka Oh Thi-hoa.

   "Jikalau dia terkena racun, masakan Li Koan-hu tidak mencari daya untuk menyembuhkan, sudah lama kudengar ilmu ketabiban Li Koan-hu amat tinggi, orang yang keluar masuk di Yong-cui-san-ceng kebanyakan adalah para Cianpwe. Pui san-khek justru seorang ahli dalam memunahkan racun, memangnya orang sebanyak itu tidak mampu menawarkan racun dalam badannya? Begitu tega melihat dia tersiksa demikian rupa?"

   Coh Liu-hiang menghela napas, dia tidak banyak bicara lagi.

   Dari dalam rumah masih terus kedengaran suara rintihan Liu Bu-bi dengan lemah lembut dan penuh kesabaran Li Giok-ham membujuk dan menghibur, terdengar pula suara kerenyut-kerenyut dari papan ranjang yang bergerak-gerak.

   Dari suara ini dapatlah dirasakan bahwa kesakitan Liu Bubi tak menjadi reda sebaliknya semakin jadi dan saking tak tahan dia meronta-ronta, sedang Li Giok ham sekuat tenaga menahan dan mengekang dirinya.

   "Kenapa tidak kau masuk menengoknya, bukan mustahil kau dapat tolong menawarkan racunnya itu?"

   "Liu Bu-bi adalah perempuan yang berwatak keras dan punya pambek, jelas dia takkan senang orang lain melihat keadaannya yang runyam, ada omongan apa, biarlah tunggu sampai besok pagi dibicarakan pula."

   Sekonyong-konyong "Beeerrr!"

   Seekor burung yang bermalam dipucuk pohon di pekarangan terkejut dan terbang, dari ujung mata Coh Liu-hiang dapat melihat diantara sela-sela dedaunan pohon di atassana ada bintik sinar perak berkelebat.

   Tepat pada saat itu juga serumpun hujan perak tahu-tahu memberondong ke bawah dari celah-celah rumpun dedaunan di pucuk pohon, sasarannya langsung Coh Liu-hiang, betapa cepat daya luncurannya, sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Jikalau burung di pucuk pohon tidak terkejut terbang, kali ini Coh Liuhiang pasti mampus di bawah berondongan hujan bintik-bintik perak ini, karena begitu dia mendengar samberan angin, untuk berkelitpun sudah terlambat.

   Pada saat-saat yang gawat itulah, sekali jotos dia bikin Oh Thi hoa roboh terjengkang, berbareng dia menubruk tengkurap ke atas badan Oh Thihoa.

   Maka terdengar suara tang ting yang ramai, seperti hujan lebat mengetuk genteng, puluhan bintik perak itu seluruhnya sudah memaku amblas ke dalam tanah tempat dimana tadi dirinya berdiri.

   Disusul bayangan orang tiba-tiba melambung tinggi ke tengah udara dari gerombolan bayang-bayang pohon yang gelap, bersalto sekaligus terus membelok turun, melesat keluar pagar tembok yang gelap gulita.

   Belum lagi Oh Thi-hoa menyadari apa yang telah terjadi, bayangan Coh Liu-hiang sudah melesat keluar pagar tembok pula, melihat bintik-bintik perak yang tersebar disekitar kakinya, mendadak Oh Thi hoa seperti teringat sesuatu, seketika berubah air mukanya, teriaknya.

   "Ulat busuk, hati-hati kau, ini seperti Ban-hi-li-ba-ting atau Hujan paku galak, ditengah gema suaranya, badannya pun sudah ikut mengudak kesana. Ditengah malam nan kelam, kabut tipis memenuhi jagat, bayangan Coh Liuhiang samar-samar masih kelihatan di depansana , sementara bayangan hitam di sebelah depan lagi sudah tidak kelihatan. Kabut semula masih tipis dan tawar, namun sekejap mata sudah berubah begitu tebal seperti asap putih bergulung-gulung, lambat laun bayangan Coh Liu-hiang sudah tidak kelihatan lagi. Dikejauhan sana sebetulnya terlihat sinar api yang kelap-kelip, namun sinar lampu itu pun sudah lenyap tertelan kabut yang tebal ini, terasa hampir gila Oh Thi hoa dibuatnya saking gelisah dan bingung, namun dia tak berani bersuara dan berisik. Karena di dalam keadaan seperti ini, dia bersuara kemungkinan dirinya menjadi sasaran empuk untuk sambitan senjata rahasia, Oh Thi-hoa insaf pada saat seperti ini ada senjata rahasia menyerang dirinya, jelas dia takkan bisa meluputkan diri. Tak urung diapun gelisah dan gugup bagi keselamatan Coh Liu-hiang, karena keadaan Coh Liu-hiang terang lebih berbahaya dari dirinya. Beberapa langkah lagi, tiba-tiba dilihatnya di atas tanah disampingsana ada sinar putih berkelebat, waktu dia dekati dan menjemputnya, ternyata itulah sebuah kotak gepeng yang terbuat dari perak. Kotak gepeng dari perak ini, panjang tujuh dim, tebal tiga dim, buatannya amat halus dan baik sekali, pada samping kotak ini berderet tiga baris lobang kecil sebesar jarum, setiap barisnya ada sembilan lobang. Bagian atas dari kotak ini ada diukir dengan lukisan kembang yang lembut, setelah diamat-amati dengan seksama baru terlihat ditengah lukisan kembang ini terdapat dua baris tulisan huruf-huruf yang liku-liku. Sekian lamanya Oh Thi-hoa mengamat-amatinya, namun dia tidak tahu tulisan apakah itu, tak tahan dia menarik napas panjang, mulutpun menggumam.

   "Agaknya kelak aku harus lebih banyak latihan Gingkang, tapi juga harus belajar membaca mengenal tulisan."

   Baru saja dia hendak berangkat lebih lanjut, sekonyong-konyong terasa deru angin kencang menerpa datang dari samping, sebuah telapak tangan menebas ke bawah ketiaknya, sementara tangan yang lain berusaha merebut kotak perak di tangannya.

   Diam-diam Oh Thi-hoa mencaci.

   "Keparat, aku memang sedang kebingungan mencari kau, kau malah mengantar jiwa sendiri."

   Ditengah berkelebatannya pikiran ini, tangannya tiba-tiba sudah balas menjotos dan kakipun melayang menendang kaki orang.

   Sukar dilukiskan betapa lihai dan hebatnya jotosan dan tendangan kakinya ini, memang gampang dikatakan, namun prakteknya justru amat sukar, karena orang itu menubruk datang dari samping kiri, berarti dia harus memutar badan menggeser langkah baru bisa mengegos diri dari rangsangan lawan, sekaligus baru bisa balas menyerang, dari sini dapatlah dibuktikan meski Oh Thi-hoa terlalu banyak menenggak air kata-kata, tapi gerak gerik badan dan pinggangnya masih cukup lincah dan cekatan, setangkas ular sakti.

   Siapa nyana gerak-gerik si penyerang justru lebih lincah, lebih gesit, sekali berkelebat dengan enteng tahu-tahu orang sudah berada di belakangnya, baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul kaget, baru saja dia putar badan, penyerang itu sudah bersuara dengan nada berat tertahan.

   "Siau Oh, kau?"

   Mendadak Oh Thi-hoa menghela napas lega, katanya tertawa kecut.

   "Kenapa sekarang kau pun meniru aku, tanpa memberi peringatan kau lantas menyerang saja?"

   "Kulihat sinar perak yang kau pegang ini, sudah kusangka kau adalah si pembokong dengan alat senjata rahasianya, siapa menduga bahwa benda ini bakal terjatuh ke tanganmu."

   Oh Thi-hoa mengedip-ngedip mata, katanya.

   "Masakah kau sendiripun tidak menduga? Dengan dua kali pukul dan tiga kali tendang kubikin keparat itu ngacir mencawat ekor, sudah tentu benda ini dengan gampang kudapatkan."

   Coh Liu-hiang melengak.

   "Apa benar?"

   Tanyanya sangsi.

   "Tidak benar!"

   Coh Liu-hiang tertawa geli.

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sebetulnya akupun menduga bagaimana juga pasti tak akan berhasil mengudaknya."

   "Aku tak berhasil membekuknya masih boleh diterima dengan nalar, si Maling Romantis yang Ginkangnya nomor satu di seluruh dunia, kenapa setengah harian tidak berhasil menyandak si pembokong itu malah kehilangan orangnya?"

   "Jikalau kabut tak setebal ini, mungkin aku bisa membekuknya, tapi ginkang orang itu memang tidak lemah, waktu aku mengudak keluar pagar tembok orang itu sudah empatlima tombak jauhnya."

   "Di dalam waktu sekejap itu, dia sudah dapat terbang ke empatlima tombak, kalau demikian bukankah Ginkangnya lebih tinggi dari Li Giok-ham suami istri?"

   "Mungkin setingkat lebih tinggi."

   "Dibanding aku?"

   Tak tertahan Coh Liu-hiang tertawa pula, katanya menahan geli.

   "Kalau kau rada mengurangi minum arak, mungkin Ginkangnya tidak unggul dari kau, tapi sekarang..."

   "Sekarang kenapa?"

   Oh Thi-hoa menarik muka.

   "Memangnya sekarang aku tidak lebih unggul dari Giok ham suami istri?"

   Tanpa menunggu jawaban Coh Liu-hiang, dia sudah tertawa pula.

   "Tak perlu kau jawab pertanyaanku ini, supaya hatiku tidak sedih."

   "Sebetulnya Ginkangmu kira-kira sebanding dengan Li Giok-ham suami istri, Setitik Merah dan Lamkiong Lim, boleh terbilang ilmu tingkat tinggi. Tapi Ginkang orang ini kira-kira setarap dengan Bu Hoa, saat ini kalau bukan dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat tenggorokan Bu Hoa terhujam panah, mungkin aku bakal mengira pembokong tadi adalah Bu Hoa yang hidup kembali."

   "Kalau demikian, tokoh-tokoh Kang-ouw sekarang yang memiliki Ginkang setingkat itu tidak banyak lagi, benar tidak?"

   "Ya, memang tidak banyak!"

   "Kenapa kau selalu kebentur dengan musuh-musuh yang begini tangguh?"

   Coh Liu-hiang menepekur sekian lamanya, akhirnya dia balas bertanya.

   "Benda di tanganmu itu kau dapatkan dari mana?"

   "Ku temukan ditengah jalan, diatasnya ada ukiran huruf, coba kau lihat bisa tidak kau baca?"

   Coh Liu-hiang terima kotak perak itu, setelah meneliti sebentar, kontan berubah rona mukanya.

   "Inilah tulisan kuno!"

   Oh Thi-hoa jadi uring-uringan.

   "Benda ini terang jahat dan peranti membunuh orang kenapa harus diukir dengan huruf-huruf yang tak bisa dibaca, boleh dikata mirip benar bahwa ia itu terang adalah lonte "pelacur", justru dia mengenakan tujuh delapan celana!"

   "Ini bukan disengaja hendak mempermainkan orang, soalnya alat senjata rahasia ini merupakan benda keramat peninggalan orang dahulu, malah dibuat oleh seorang tanpa daksa yang sedikitpun tidak pandai main silat."

   "Benar, akupun pernah dengar asal-usul mengenai Bau-li-hoa-ting ini, tapi huruf apa terukir diatasnya itu?"

   "Huruf-huruf yang terukir ini berbunyi. Keluar pasti melihat darah, kembali kosong pertanda celaka. Kecepatan diantara kesibukan, sang raja diantara senjata rahasia!"

   "Kaum sastrawan memang pandai omong besar, agaknya ucapan ini memang tidak salah!"

   Ujar Oh Thi-hoa tertawa geli.

   "Kukira bukan sengaja hendak omong besar, hanya untuk menakuti orang belaka."

   Kata Coh Liu-hiang menghela napas.

   "Betapa halus dan pintar buatan alat senjata rahasia ini, daya pegasnya yang meluncur amat kuat dan kencang, memang tidak malu disebut sebagai raja diantara senjata rahasia. Berbagai alat senjata yang ada pada Bulim jaman sekarang, bila dibanding dengan alat senjata rahasia ini, kecepatannya sudah terang terpaut dua bagian, sebaliknya senjata rahasia umumnya digunakan untuk melukai orang dan mencapai kemenangan terakhir, meski hanya terpaut setengah dim saja, bedanya sudah terlalu jauh."

   "Apakah alat ini jauh lebih kuat dari bumbung jarum buatan Ciok koan-im itu?"

   "Jarum sambitan dari bumbung jarum buatan Ciok Koan-im itu memang sudah cukup keras, tapi kau masih sempat berkelit setelah orang menyambitkan kepadamu. Sebaliknya bila Bau-li-hoa-ting sudah disambitkan, aku berani bertaruh tiada seorang tokoh lihai dalam dunia ini yang mampu menyelamatkan diri."

   "Tapi kau tadi toh mampu meluputkan diri?"

   "Itulah nasib baikku, karena sebelum paku-paku didalam alat ini disambitkan aku telah terkejut dan waspada walau demikian jikalau jarak sambitan orang itu beberapa kaki lebih hebat lagi aku tetap takkan terhindar dari malapetaka."

   "Kalau demikian bukankah alat senjata rahasia ini teramat tinggi nilainya!"

   "Didalam pandangan kaum persilatan, alat ini memang barang mestika yang tak ternilai harganya."

   "Kalau demikian, kenapa orang itu membuang begitu saja di tanah? Jikalau dia memiliki kepandaian setinggi itu, masakan kotak sekecil dan seenteng ini tak mampu memeganginya?"

   "Ya, kejadian ini memang rada ganjil"

   Sinar pelita dikamar Lin Bu-bi sudah padam, kedua suami istri itu agaknya sudah tidur lelap.

   Secara diam diam Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa kembali ke kamarnya, pelita didalam kamar mereka masih menyala, cuma sumbunya sudah hampir terbakar habis.

   Lekas Oh Thi-hoa memuntir putaran sehingga sumbunya keluar lebih besar, kamar menjadi lebih terang pula katanya.

   "Sia-sia kami bekerja setengah malaman, bayangan orang pun tak dilihat jelas, kalau tidak segera menenggak arak, aku sudah hampir gila dibuatnya."

   Diatas meja terdapat sebuah poci teh dan sebuah poci arak, Oh Thi-hoa merasa cangkir arak terlalu kecil, sembari mengoceh dia menuang penuh cawan tehnya dengan arak. Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, katanya.

   "Terlambat minum arak tohkan tidak bakal mampus, marilah kita keluar dulu lihat Bau-hi-li-hoating itu apakah masih berada di tempatnya semula."

   Sebelah tangan menjunjung pelita tangan yang lain menarik Oh Thi-hoa mereka melangkah keluar.

   Didalam rumah ada seekor tabuhan yang sedang terbang, melingkar mengikuti sinar pelita yang bergerak, akan tetapi dikala tabuhan ini terbang lewat di atas cawan yang berisi penuh arak itu, tiba-tiba jatuh dan kecemplung ke dalam cawan arak itu.

   Apakah tabuhan itu mabuk juga oleh bau arak sehingga tak bisa terbang lagi? Tapi bau arak masakan ada yang begitu keras? Jikalau Coh Liu-hiang belum melangkah keluar, tentu dia akan melihat serangga kecil seperti tabuhan begitu terjatuh ke dalam cawan arak itu, arak dalam cawan itu mengeluarkan suara "Ces", disusul asap hijau yang tipis mengepul keluar.

   Ternyata tabuhan yang kecemplung ke dalam arak itu sudah lenyap tanpa bekas, di dalam waktu sesingkat itu tabuhan itu sudah lumer dan mencair terbaur didalam arak menjadi buih-buih putih.

   Kejap lain buih-buih kecil itupun sudah pecah dan hilang, secawan arak tetap secawan arak, malah kelihatannya begitu bening dan enak rasanya, sedikitpun tidak menunjukkan sedikitpun kotoran apa saja.

   Jikalau semacam arak ini diminum masuk ke perut Oh Thi-hoa, maka isi perut Oh Thi-hoa tanggung bakal meledak dan membusuk hancur tanpa meninggalkan bekas ! xxx Kota Kayhong jarang turun hujan, maka tanah di pekarangan amat kering dan keras, hampir sekeras batu, umpama dikeduk menggunakan linggis, orangpun akan bekerja memeras keringat, setengah harian orang baru bisa membenamkan sebatang paku, dengan pukulan palu besar.

   Tapi dibawah penerangan pelita ditangan Coh Liu-hiang, didapatinya kedua puluh tujuh batang Bau-hi-li-hoa-ting seluruhnya menancap amblas ke dalam tanah, yang nampak hanya lobang-lobang saja yang berjajar.

   Berkata Coh Liu-hiang.

   "Lihatlah tempat dimana senjata rahasia ini disambitkan, berapa jauh menurut pikiranmu?"

   "Kira kira ada empatlima tombak."

   Sahut Oh Thi-hoa menerawang sebentar.

   "Jadi Li Hoa-ling atau paku dari kembang ini disambitkan dari jarak empatlima tombak, namun masih bisa menancap amblas ke dalam tanah berapa kuat dan deras daya luncuran senjata rahasia ini, dapatlah kau bayangkan sendiri"

   "Ingin aku membongkar kotak gepeng ini untuk melihat keadaan dalamnya seolah-olah kotak ini bisa membidikkan kedua puluh tujuh batang jarum itu seperti orang menarik busur panah saja."

   Mulutnya bicara, lekas dia berjongkok, dengan sebuah pisau kecil, satu persatu dia korek kedua puluh tujuh Li-hoa-ling itu, namanya saja paku, bahwasanya tidak ubahnya seperti jarum sulaman, cuma pangkalnya saja yang rada membesar, tapi kalau ditekan diatas telapak tangannya rasa enteng bisa terbang dihembus angin kencang.

   Mencelos hati Oh Thi-hoa, katanya.

   "Paku sekecil dan enteng ini dapat juga menancap amblas ke dalam tanah sekeras ini, jikalau kau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapapun aku tidak mau percaya."

   "Karena kecepatannya luar biasa, maka kekuatannya besar luar biasa pula."

   "Paku sekecil ini menghantam tanah amblas seluruhnya, jikalau sampai mengenai badan manusia, masakah jiwanya dapat diselamatkan... aku pasti akan memasukkannya kembali ke dalam kotak itu, ingin aku menjajal betapa kecepatannya sambutannya? "lalu kerjanya dipercepat, sebentar saja dia sudah selesai mengorek keluar kedua puluh tujuh batang jarum itu.

   "Ujung paku ini begitu runcing dan tajam kau harus hati hati"

   "Tidak apa-apa aku tahu Bua-hi- li-hoat ting selamanya tidak pernah dilumuri racun, karena tanpa dilumuri racun, kekuatan paku sekecil ini cukup berkelebihan untuk menamatkan jiwa orang."

   Mereka kembali ke dalam rumah, Oh Thi-hoa tuang seluruh paku-paku itu di atas meja, lalu diangkatnya cawan arak sambil tertawa, katanya.

   "Sekarang aku boleh minum bukan ! Apa kaupun ingin minum secawan?"

   Coh Liu-hiang tertawa tawa, sahutnya.

   "Aku minum teh saja."

   Pelita diletakkan, lalu menyambar cawan tehnya.

   Jilid 30 Takkala itu Oh Thi hoa sudah angsurkan cawan araknya ke depan mulutnya.

   Dia tidak menyaksikan tabuhan kecil yang terjatuh ke dalam araknya karena keracunan oleh bau arak, sudah tentu dia tidak tahu bila arak itu dia minum masuk ke perutnya, maka dalam dunia ini bakal tidak ada manusia yang bernama Oh Thi hoa lagi.

   Inilah secawan terakhir yang bakal diminumnya, disaat arak hampir tertenggak ke mulutnya.

   Sungguh tidak pernah terduga olehnya mendadak Coh Liu-hiang layangkan sebelah tangannya, kontan cawan itu tersampok terbang dan jatuh kerontangan pecah berantakan, arakpun tercecer di lantai.

   Bukan kepalang kejut Oh Thi-hoa, teriaknya penasaran.

   "Apa kau mendadak terserang penyakit anjing gila?"

   Tanpa perduli caci maki orang, Coh Liu-hiang malah berkata.

   "Kau lihat poci teh ini".

   "Mataku tidak picak, sudah tentu aku melihatnya". "Pandanglah tanganku ini!"

   "Kau memangnya sudah gila, kenapa harus memandang tanganmu, memangnya tanganmu mendadak bisa tumbuh sekuntum kembang mawar?"

   Berkata Coh Liu-hiang tawar.

   "Tanganku yang ini, semula kugunakan untuk mengambil poci teh, tapi pernahkah kau perhatikan pegangan poci teh ini sekarang sudah beringset ke arah lain, tidak terletak pada sebelah tanganku ini".

   "Tidak terletak sebelah tangan kirimu? Memangnya kenapa?"

   "Tadi aku duduk di sini, pernah aku menuang secawan teh dan kuminum habis lalu kukembalikan poci ini pada letaknya semula, tapi pegangan poci ini sekarang tidak pada posisi semula".

   "Memangnya kenapa harus dibuat ribut, bukan mustahil tadi kau sudah ganti menggunakan tanganmu yang lain".

   "Selamanya aku menggunakan tangan kiri untuk menuang teh, sejak dulu sudah menjadi kebiasaan, selamanya takkan berubah".

   "Me.....memangnya kenapa?"

   "Itu berarti, setelah aku minum tehku tadi poci teh ini pernah disentuh orang, dan kau kecuali terserang penyakit demam, selamanya tak pernah menyentuh poci teh".

   "Umpamanya aku sakit demam batuk juga tak kau bisa menyentuh poci teh, karena orang lain setelah mabuk arak harus minum teh, untuk menghilangkan mabuknya, aku sebaliknya begitu mengendus bau teh, mabukku bakal menjadi-jadi".

   "Nah itulah, jikalau kau sendirian tidak pernah menyentuh poci teh ini, poci teh ini sendiripun tak bisa bergerak, lalu kenapa letak posisinya berpindah? Oh Thi-Hoa melengak heran, katanya.

   "Setelah mendengar uraianmu akupun jadi heran."

   "Itu berarti di kala kami berdua keluar tadi, pasti ada orang masuk ke mari menyentuh poci teh ini. Tanpa sebab untuk apa dia masuk ke mari menyentuh poci teh ini?"

   Tersirap darah Oh Thi Hoa, serunya.

   "Apakah dia sudah menaruh racun di dalam poci teh ini?"

   "Benar, orang itu sudah memperhitungkan begitu kembali mulut kita tentu kering dan pasti menuang teh atau arak untuk minum maka dia taruh racun di dalam poci teh, tapi agaknya tak pernah terpikir olehnya bahwa selamanya aku menuang air teh menggunakan tangan kiriku, maka setelah dia masukkan racun seenaknya saja dia taruh poci teh ini tidak pada posisi semula, sehingga pegangan poci ini berpindah arah yang berlawanan."

   Oh Thi-Hoa menjublek di tempatnya. Sesaat lamanya baru ia bersuara.

   "Kalau dalam teh ini beracun, tentu araknyapun berbisa."

   "Kalau tidak masa aku sudah gila menyampok cawan arakmu tanpa sebab? Meski banyak ragam setan arak di kolong langit ini, tapi setiap arak dipandangnya lebih berharga dari jiwanya sendiri, umpama kau membakar rumah dan harta bendanya, mungkin dia tidak akan marah, tapi bila kau menumpahkan araknya, pasti dia akan marah seperti orang gila."

   "Caci maki yang bagus, bagus makianmu."

   "Bukan aku ingin memakimu, aku hanya ingin supaya kau tahu bahwa aku tidak terjangkit anjing gila."

   Lalu dia tuang sisa setengah air the ke dalam poci arak.

   "Ces"

   Seketika asap hijau mengepul naik, seperti orang menuang air dingin ke dalam wajan yang minyaknya sedang mendidih. Merinding Oh Thi-hoa dibuatnya, katanya.

   "Racun yang lihay sekali, agaknya setanding dengan racun yang pernah digunakan Ciok-koan-im."

   Coh Lu-hiang membenamkan rona mukanya dengan mimik kaku tanpa bicara.

   "Kalau dilihat gelagatnya, orang yang menyambitkan senjata rahasia dan orang yang menaruh racun di sini pasti satu komplotan bukan?"

   Coh Lu-hiang hanya mengiakan dan mengangguk. Sesaat lamanya Oh Thi-hoa tercenung diam, katanya kemudian dengan tertawa.

   "Sungguh tidak pernah aku memperhatikan kau selalu menggunakan tangan kiri mengambil teh, setiap mengerjakan apa saja kau selalu menggunakan tangan kanan, kenapa melulu tangan kiri saja yang kau gunakan mengambil air teh? "Karena selama beberapa tahun ini kau bertempat tinggal di antara kapal, sebesar kapal itu tempatnya tentu terbatas, demikian juga kamarku itu tidak terlalu besar, maka setiap benda harus ditaruh pada letak masingmasing yang tepat serasa, terutama poci arak atau poci teh, jikalau meletakkan di tempat yang salah, maka pasti sering menjatuhkan atau menyentuh benda-benda lainnya, oleh karena itu Yong-ji lantas membuat sebuah rak khusus untuk menaruh poci teh di sebelah kiri di pinggir kursi yang sering kududuki, cukup mengulur tangan dengan mudah aku bisa mengambilnya."

   Dia tertawa-tawa lalu meneruskan.

   "Setelah kebiasaan sekian lamanya, maka selalu aku mengambil teh dengan tangan kiriku."

   "Lucu, lucu, tapi kenapa Yong-ji tak menaruh rak poci teh itu di sebelah kananmu saja?"

   "Soal ini gampang dibereskan karena di sebelah kanan tiada tempat kosong untuk menaruh poci teh itu."

   Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala, ujarnya.

   "Tak nyana tinggal di atas kapal juga ada kegunaannya yang serba melit, tinggal di kapal adakalanya memang terasa terkekang dan kurang bebas, tapi semakin kecil tempat tinggalmu, maka semakin membiasakan dirimu untuk tidak sembarangan menyentuh barang-barang lain yang bukan tujuanmu, maka setiap melakukan pekerjaan apapun, kau akan bekerja menurut aturan, kebiasaan seperti ini mungkin jarang terlihat dan takkan menunjukkan manfaatnya, tapi dikala kau menghadapi bahaya sering tanpa kau sadari tahu sudah menolong jiwamu."

   "Kalau demikian jikalau aku pindah ke dalam kurungan burung dara bukankah aku bakal manusia paling punya aturan dalam cara kehidupanku". Mendadak seperti teringat apa-apa, senyuman yang menghias mukanya seketika beku, teriaknya.

   "Kamar Li Giok-ham sepi lenggang tanpa kedengaran sedikit suara bukan mustahil mereka berdua sudah menjadi korban keganasan orang."

   Tidak mungkin, siapapun yang mengincar jiwa kedua suami istri ini, bukan soal sepele."

   "Tapi waktu mereka datang Lu Ba bi sedang kumat penyakitnya, mungkin mereka tidak mampu melawan....bagaimana juga, aku harus menjenguk mereka."

   "Menjenguk mereka pun baik, mungkin mereka ada mendengar sesuatu apa yang mencurigakan."

   Tanpa menunggu kata Coh Liu-hiang berakhir, Oh Thi hoa sudah berlari keluar.

   Waktu itu cuaca masih gelap meski menjelang fajar, dikejauhan sudah terdengar kokok ayam jago.

   Dua kali Oh Thi hoa memanggil, Li Giok-ham sudah menyulut api di dalam kamar dan membuka pintu dengan mengenakan mantel ia keluar, roman mukanya masih unjuk rasa kantuk dan keheranan serta kaget, namun ia tetap tersenyum menyapa.

   "Kalian begini pagi sudah bangun !"

   Melihat orang keluar dengan segar bugar barulah Oh Thi-hoa mengelus dada lega, katanya tertawa.

   "Bukan kami bangun pagi-pagi tapi semalam suntuk kami tidak tidur."

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkilat sorot mata Li-Gok-ham, tanyanya.

   "Apakah terjadi sesuatu?"

   "Panjang kalau dibicarakan kalau kau sudah bangun, marilah duduk ke kamar, kami mengobrol disana."

   Li Giok-ham berpaling ke dalam kamar, lalu pelan-pelan menutup pintu dari luar, katanya menghela nafas.

   "Istriku pada kurang enak badan, sebetulnya siaute pun baru saja pulas."

   "Apakah penyakit istrimu tidak berat?"

   Tanya Oh -Thi-hoa.

   "Ya penyakit lama saja yang kumat, setiap bulan pasti kumat dua kali, namun tak mengganggu kesehatannya, Cuma rada menyulitkan saja."

   Sekaligus Oh Thi-hoa melirik pada Coh Liu-hiang, seperti hendak bilang.

   "rekaanmu meleset, dia tidak terkena racun, cuma penyakit lama saja yang kumat."

   Coh Liu-hiang mandah tertawa, katanya malah. Kalau Li-heng baru saja tertidur, entah adakah kau mendengar sesuatu yang mencurigakan?"

   "Istriku terus merintih-rintih kesakitan sambil meronta-ronta, seperti anak kecil saja, terpaksa aku harus cari akal untuk membujuk dan menghiburnya, kejadian lain sampai tidak pernah kuperhatikan."

   Baru berhenti mendadak dia bertanya."

   Sebetulnya apakah yang telah terjadi, apakah?"

   "Bukan kejadian apa-apa, Cuma ada orang berusaha mencelakai jiwa Coh Liu-hiang ini pun penyakitnya sejak lama, setiap bulan malah kumat sering kali.

   "

   Oh Thi-hoa mengolok-olok jenaka. Li Giok-ham terkejut "Adaorang hendak mencelakai Coh- heng? Siapakah orangnya yang punya nyali begitu besar?"

   "Aku mengejarnya setengah harian dia, namun bayangan orangpun tak berhasil kecandak, tokoh-tokoh kosen yang lihay dalam Kangouw, agaknya hari-kehari lebih banyak lagi".

   "Waktu itu mereka sudah kembali ke dalam kamar, begitu melihat pakupaku perak diatas meja, seketika berubah air muka Li Giok-ham, katanya.

   "Senjata rahasia diatas meja ini bukankah alat orang untuk mencelakai Coh heng?"

   Coh Liu-hiang menatap muka orang lekat-lekat sahutnya;

   ""Apa Liheng juga kenal asal-usul senjata rahasia ini?"

   "Agaknya mirip dengan Bau hi-li hoa ting."

   "Tepat!"

   Ujar Coh Liu-hiang "Coh Liu-hiang memang tidak bernama kosong, menurut yang Siaute ketahui, kekuatan daya luncur serangan Ban hi-li hoa ting ini boleh terhitung nomor satu di seluruh muka bumi, setiap kali disambitkan mesti melihat darah, sampai sekarang belum ada seorang tokoh kosen manapun yang bisa berkelit atau meluputkan diri dari incarannya, It-seng Totiang yang dulu malang melintang di Lam-hoa, akhirnya mati karena senjata rahasia ini.

   Sebaliknya Coh-heng tetap tak kurang suatu apa.

   Hal ini membuktikan, bahwa kepandaian silat Coh-heng masih setingkat lebih tinggi dari tokoh besar ahli pedang yang pernah menjagoi daerah selatan itu".

   Oh Thi-hoa tertawa ujarnya.

   "Cuma nasibnya saja selalu lebih beruntung dan orang lain".

   "Di bawah incaran Bau-hi li-hoa ting tidak pernah ada orang yang bernasib baik kecuali Coh-heng. umpama nasib orang berlipat, lebih baik sekali-kali tak akan bisa lolos dari brondongan dua puluh tujuh batang paku perak ini".

   "Agaknya kau amat paham mengenai senjata rahasia yang keji ini, tanya Oh Thi-hoa.

   "Inilah senjata rahasia yang paling terkenal dimuka bumi ini dulu waktu ayah mulai mengajarkan ilmu silat kepada kami, pernah pula menuturkan tentang segala seluk beluk senjata rahasia, disuruhnya supaya selanjutnya aku lebih waspada, menurut kata beliau. Dikolong langit ini ada enam benda yang paling menakutkan. Bau-hi-li-hoa-ting ini adalah salah satu diantaranya.

   "Pengetahuan Li-locianpwe amat luas"

   Timbrung Coh Liu-hiang.

   "tentunya asal usul pembuatan alat senjata ini juga pernah diceritakan kepada Liheng".

   "Pembuat alat senjata ini adalah anak dari keluarga persilatan juga, namanya Cin Si-bing, ayahnya adalah Lam-ouw siang kiam yang jaya dan disegani pada zaman dulu".

   "Menurut apa yang kami ketahui, pembuat alat senjata ini, sedikitpun tidak bisa main silat, putra dari Lam-ouw siang kiam cara bagaimana tidak pandai main silat? Apakah khabar ini kurang benar?"

   Sela Oh Thi-hoa.

   Apa yang Oh-heng dengar tidak salah, Cin Si bing memang tidak bisa main silat, karena sejak kecil dia sudah terserang kelumpuhan dan tak terobati sehingga tidak leluasa bergerak, bukan saja tidak bisa belajar silat, malah tenaga untuk berdiripun tak bisa".

   "Kasihan!"

   Ujar Oh Thi-hoa.

   "Mereka adalahlima laki-laki bersaudara.

   Cin Si bing nomor tiga, mungkin karena tanpa daksa sehingga otaknya jauh lebih cerdik dan pintar dari ke empat kakak adiknya, sayang badan cacat.

   Sementara saudara-saudaranya sudahmalang melintang menegakkan nama di kalangan kang ouw.

   Sudah tentu hatinya amat iri, jelus dan penasaran, maka dia lantas bersumpah pada suatu ketika dia hendak melakukan sesuatu yang cukup menggemparkan dunia supaya orang-orang lain melek matanya bahwa orang cacatpun tak boleh dipandang rendah".

   "Ke empat saudaranya itu bukankah Kam lam su-gi yang amat terkenal dulu?"

   "Ya"

   Li Giok-ham mengiakan.

   "setahun penuh hidup Cin Si-bing hanya rebah saja di atas pembaringan, kecuali membaca buku, maka dia menghabiskan waktu membuat mainan dari ukuran kaya, dasar otaknya emang pintar dan berbakat lagi, lama kelamaan sepasang tangannya itu menjadi begitu ahli, khabarnya rumahnya dipasang alat-alat rahasia yang dibuatnya sendiri dengan amat lihay dan beraneka ragamnya meniru alat kerbau, dan kuda kayu buatan Cukat Liang pada zaman Sam-kok dulu, diapun membuat banyak sekali orang-orangan dari kayu yang bisa bergerak sendiri, cukup asal dia menyentuh tombol rahasianya, orang-orangan kayu dapat melayani segala makan minumnya dengan baik". Oh Thi-hoa tertawa, katanya.

   "Kalau begitu rumahnya itu tentu amat menyenangkan kalau Cin-siansing itu belum meninggal, ingin aku menemui beliau".

   "Begitulah beberapa tahun telah berselang, dengan kayu dia berhasil membuat sebuah kotak rahasia yang dilengkapi alat-alat pegas dan sebagainya, lalu dia suruh saudara-saudaranya pergi mencari pandai besi untuk membuatkan kotak yang mirip kayunya itu dari bahan perak, saudaranya menyangka hanya mainan anak-anak belaka maka tidak pernah mengambil perhatian, di Koh-so berhasil mencarikan pandai besi yang paling terkenal pada waktu itu dipanggil pulang ke rumahnya, kalau tidak salah pandai besi itu bernama Kiau jiu song". Sampai di sini ia menghela napas, lalu melanjutkan.

   "Kiau jiu song bertempat tinggal di rumah Cin Si-bing itu selama tiga tahun, siapapun tiada yang tahu apa saja kerja kedua orang ini didalam rumah serba rahasia itu, cuma setiap bulannya Cin Si-bing menyuruh prang mengantar honor yang berjumlah besar ke rumah Kiau jiu song untuk ongkos hidup sehari-hari bagi keluarganya, oleh karena itu meski tiga tahun tidak pulang, istri dan anaknya tidak perlu kuatir". Coh Liu-hiang menghela napas, katanya.

   "Mungkin istrinya itu tidak tahu bahwa uang yang mereka makan itu adalah uang jaminan yang diberikan Cin Si-bing untuk membeli nyawa suaminya".

   "Benar, tiga tahun kemudian, begitu Kiau jiu ong keluar dari rumah itu, kontan dia terjungkal jatuh terus tak bangun lagi. Kontan lantaran dia sudah kehabisan tenaga, daya otak dan hatinya sudah keropos, jiwanyapun tak tertolong lagi. Tapi bagaimana duduk perkara yang sebenarnya siapapun tiada yang tahu Keluarga Ciu dibilangan Ouw-lam selatan waktu itu merupakan keluarga besar yang punya kekayaan dan kekuasaan, amat disegani dan terkenal, oleh karena itu keluarga Kiau jiu songpun tiada yang menarik perkara akan kematian yang aneh itu". Coh Liu-hiang menghela napas pula, ujarnya.

   "Kalau Kiau Jiu song sudah tahu kunci rahasia cara pembuatan alat Bau-hi-li-hoa-ting, Cin Si-bing pasti tidak akan membiarkannya hidup dan membocorkan kepada orang lain, mungkin Kiau jiu song si pembuat alat itu sendiri yang menjadi korban pertama kali oleh Bau-hi-li-hoa-ting".

   "Setengah bulan kemudian, mendadak Ciu Si-bing menyebar banyak undangan dia undang seluruh tokoh-tokoh ahli senjata rahasia yang berkepandaian tinggi, hari itu kebetulan hari Tiong-chiu, bulan sedang purnama, orang-orang Kangouw itu memandang muka Kam lam su gi, yang hadir ternyata tidak sedikit jumlahnya, disaat para hadirin sedang kebingungan, entah apa maksud Ciu kongcu yang cacat dan belum pernah berkelana di Kangouw ini menyebar undangan sekian banyaknya". Ingin Oh Thi-hoa menimbrung, akhirnya dia telan kembali kata-katanya. Terdengar Li Giok-ham melanjutkan.

   "Tak nyana setelah minum arak berputar tiga kali, mendadak Ciu Si-bing mohon kepada Hou Lam-hwi untuk bertanding senjata rahasia". Akhirnya Oh Thi-hoa tak sabar lagi, selanjutnya.

   "Apakah Hou Lam-hwi yang dijuluki Pat-pi-sin-wan atau lutung sakti delapan tangan itu?"

   Benar, seluruh badan orang ini dari atas sampai ke bawah penuh ditaburi alat-alat senjata rahasia, khabarnya didalam waktu yang bersamaan dia bisa menyambitkan delapan macam senjata rahasia yang berlainan, sudah tentu kepandaian menyambit serangan senjata rahasiapun luar biasa, seolah-olah badannya tumbuh delapan tangan, memang sesungguhnya dia boleh dipandang sebagai ahli senjata rahasia yang kosen di Bulim pada jaman itu, sudah tentu tokoh semacam dia mana suci melayani tantangan seorang tanpa daksa untuk bertanding.

   Apalagi dia cukup kental berhubungan dengan Kang Lam su-gi".

   "Benar, umpama dia menang. Kemenangannya itupun tak perlu dipuji", ujar Oh Thi-hoa.

   "Seluruh hadirinpun menduga Ciu Si-bing hanya berkelakar saja, tak kira Ciu Si-bing berkukuh untuk bertanding dengan Hou Lam-hwi malah dia memancing dengan perkataan tajam yang kotor, Hou Lam-hwi terpaksa turun gelanggang karena penasaran".

   "Akhirnya bagaimana?"

   "Kusingkat saja ceritanya, akhirnya Hou Lam-hwi mati di bawah berondongan Bau-hi-li-hoa-ting itu, malah beberapa tokoh ahli senjata rahasia yang lainpun ikut jadi korban. Semua orang tahu bahwa Ciu Si-bing menyambit senjata rahasia dari kotak perak gepeng di tangannya itu, namun tiada orangpun yang bisa berkelit menyelamatkan diri".

   "Telengas benar Cin-kongcu itu"

   Coh Liu-hiang menghela napas.

   "Sejak kecil orang ini sudah cacad jasmani sudah tentu tabiatnya jadi eksentrik, tapi apakah Lam ouw siang kiam dan Kang lam su gi tidak mengurus anak dan saudaranya itu".

   "Waktu itu Lam ouw siang kiam dan bersaudara sudah wafat, Kam lam su gi sebaliknya mempunyai tujuan licik tertentu".

   "Tujuan licik apa?"

   "Melihat saudaranya dapat membuat alat senjata rahasia selihay itu, maka mereka berangan-angan untuk menegakkan lebih cemerlang nama kebesaran keluarga Ciu mereka di kalangan mayapada ini, namun tak pernah terpikir oleh mereka, karena ambisi yang keterlaluan ini, kaum persilatan di Kangouw sudah pandang mereka sebagai musuh umum kaum persilatan, siapapun tak ingin alat rahasia sekejam itu terjatuh ke tangan para saudara Ciu itu, maka siapapun ingin melenyapkan saja itu baru lega hatinya, karena siapa yang tidak takut bila alat senjata rahasia itu digunakan memusuhi dirinya?"

   "Terutama orang-orang yang biasanya sengketa dengan keluarga Ciu itu", timbrung Oh Thi-hoa.

   "Tahu musuh mereka memiliki alat senjata rahasia yang begitu lihay, sudah tentu setiap malam tidak bisa tidur".

   "Oleh karena itu mereka berpikir turun tangan lebih dulu tentu menguntungkan, maka dengan berbagai daya upaya satu per satu mereka sikat Kang lam su gi, lalu Ciu keh ceng dibakarnya habis seluruhnya, sudah tentu Ciu Si-bing pun mati ditengah kobaran api itu". Sampai sekarang baru Coh Liu-hiang bertanya.

   "Lalu belakangan Bau-hi-lihoa- ting ini terjatuh ke tangan siapa?"

   "Tiada yang tahu alat senjata rahasia itu jatuh ketangan siapa, karena siapapun yang memperolehnya tentu merahasiakan dan tak mau bilang kepada siapapun, tapi setiap selang tiga lima bulan, pasti ada tokoh Kangouw yang menemui ajalnya karena Bau-hi-li-hoa-ting ini, tapi orang yang membekal alat senjata itu sendiripun takkan berumur panjang, karena begitu ada sedikit kabar dan bocor beritanya, pasti akan ada orang yang berusaha merebutnya."

   "Kalau demikian, bukanlah alat senjata rahasia ini menjadi benda yang bertuah?"

   Ujar Coh Liu-hiang.

   "Selama puluhan tahun, entah berapa kali sudah alat senjata rahasia ini sudah pindah tangan setiap orang yang pernah memilikinya tentu akhirnya ajal, sampai beberapa tahun yang lalu, alat senjata rahasia ini mendadak menghilang tak keruan paran, mungkin orang yang memilikinya tidak pernah menggunakannya oleh karena itu kaum persilatan pada generasi mendatang ini meski sering mendengar cerita mengenai Bau-bi-hi-hoa-ting ini malah tidak sedikit pula orang yang tahu akan bentuk dan pembawanya, namun tiada seorangpun yang pernah melihatnya sendiri. Oh Thi-hoa mengawasi Coh Liu-hiang katanya tertawa.

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 23:44:03
oleh Saiful Bahri Situbondo


Imbauan Pendekar -- Khu Lung Imbauan Pendekar -- Khu Lung Pedang Angin Berbisik -- Han Meng

Cari Blog Ini