Peristiwa Burung Kenari 3
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Bagian 3
Peristiwa Burung Kenari Karya dari Gu Long
Waktu Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa berpaling, Li Giok-ham suami istri entah sejak kapan sudah menghilang secara diam-diam, tanpa diketahui kemana perginya.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas namun dia unjuk senyum, katanya.
"Menikmati minuman teh boleh kuiringi, jikalau hendak jajal pedang, Cayhe terus terang...."
Swe It-hang mendadak berpaling dengan mata mendelik, serunya bengis.
"Terus terang kenapa? Meski usia Losiu sudah lanjut, namun pedang masih belum loyo!"
Maka terdengar "Sreng"
Seperti pekik naga mengalun diangkasa, tahu-tahu kakek tua ini sudah mencekal sebatang pedang panjang warna putih sebening air. Coh Liu-hiang yang berdiri beberapa tombak jauhnya masih merasakan hawa pedang yang dingin mengiris kulitnya.
"Pedang bagus!"
Tak tertahan Oh Thi-hoa berseru memuji.
"Sudah tentu pedang bagus"
Ujar Swe It-hang bangga dan angkuh, sorot matanya lebih tajam dari cahaya pedangnya, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang.
"Sudah tigapuluh tahun pedang Losiu ini tidak pernah meninggalkan sarungnya, hari ini demi kau dia melihat dunia pula, boleh kau merasa bangga karenanya."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya.
"Pedang ternama keluar dari sarungnya, selamanya pantang kembali dengan kosong. Apakah hari ini Cianpwe sudah bertekad hendak memenggal kepala Cayhe?"
Beringas muka Swe It-hang, serunya lantang.
"Angkatan pendekar sebagai kaum persilatan memangnya harus berani ajal di bawah pedang, memangnya kau takut mati?"
Sesaat berdiam diri, akhirnya Coh Liu-hiang berkata.
"Kalau Cianpwe berkukuh hendak memberi pengajaran, Cayhe terpaksa harus melayani tapi semoga Cianpwe suka memberi penjelasan tentang satu soal, dengan kewibawaan dan gengsi Cianpwe tentunya tidak akan menyembunyikan persoalan ini."
"Soal urusan apa?"
Tanya Swe It-hang.
"Selamanya Cayhe tidak bermusuhan, tiada sakit hati dengan Cianpwe, sebaliknya Cianpwe berkukuh hendak menamatkan jiwa Cayhe, apakah mendapat pesan atau diperintah orang lain?"
Bertaut alis tebal Swe It-hang, sahutnya.
"Memang tidak salah, tapi jikalau lawanku bukan Coh Liu-hiang si Maling Romantis, Losiu pun tidak sudah turun tangan."
Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya.
"Kalau Cayhe bertanya lebih lanjut dari siapa Cianpwe mendapat perintah ini, tentunya Cianpwe malu mengatakannya, tapi meski Cianpwe tak mau menerangkan, Cayhe pun sudah dapat meraba tujuh delapan puluh prosen."
"Bagus sekali, kalau begitu hayolah keluarkan senjatamu!"
"Baiklah,"
Sahut Coh Liu-hiang belum lagi suaranya lenyap, tiba-tiba badannya melambung tinggi ke angkasa, melejit ke arah sepucuk pohon yang tinggi dan besar disampingsana , sekali raih dengan ringan dia memetik setangkai dahan pohon.
Swe It-hang dijuluki Jay-sing "memetik bintang"
Betapa tinggi ilmu Ginkangnya dapatlah dibayangkan dari nama gelarnya ini, tapi melihatgaya lompatan Coh Liu-hiang ini seketika berubah hebat rona mukanya.
Tampak dengan ringan tanpa mengeluarkan suara Coh Liu-hiang sudah jumpalitan balik menancapkan kakinya ditempat semula, dahan pohon itu dia kutungi sepanjang lima kaki di ujung dahan pohon itu masih terdapat tiga lima lembar daun pupus dengan melintangkan dahan di depan dada segera ia memberi gaya penghormatan kepada angkatan yang lebih tua, katanya.
"Silahkan Cianpwe."
Bertaut alis Swe It-hang, tanyanya.
"Itukah senjatamu?"
"Ya"
Swe Ih-hang gusar, dampratnya.
"Anak muda terlalu pongah dan takabur, umpama Li Koan-hu sendiripun tak berani bersikap kurang ajar seperti kau ini terhadap Lohu."
"Sedikitpun Cayhe tidak takabur dan memandang rendah segala."
"Memangnya apa maksudmu?"
"Asal dipakainya dengan betul, segala benda di dalam mayapada nan luas ini, semua adalah alat senjata yang dapat melukai orang, tergantung siapa pemakai dan cara bagaimana menggunakannya, umpama senjata sakti mandraguna peninggalan jaman kono, kalau si pemakainya tidak becus juga tidak akan bisa melukai orang. Cianpwe seorang kosen, mengapa tidak paham akan pengertian ini?"
Kata-katanya diucapkan secara wajar, enteng dan tawar namun maknanya betul-betul mengandung sindiran pedas yang menusuk perasaan.
Diam-diam Oh Thi-hoa bersorak geli dalam hari, dia tahu inilah salah satu strategi perang Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuhnya, jikalau musuh terlalu tangguh, maka Coh Liu-hiang pasti menumpas kewibawaan dan menekan ketabahan hatinya lebih dulu.
Apalagi pedang ditangan Swe It-hang itu, terang adalah senjata sakti yang dapat mengiris besi seperti mengiris sayur, jikalau Coh Liu-hiang menggunakan senjata tajam yang terbuat dari logam melawannya, terang takkan kuat melawan ketajaman pedang lawan.
Kini dia menggunakan dahan pohon yang lemas untuk melawan musuh, yang diambilnya adalah cara lemas mengatasi kekerasan umpama tidak dapat merenggut keuntungan paling tidak dirinyapun tidak terlalu besar.
Baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul menyadari kecerdikan Coh Liuhiang didalam menghadapi musuh, memang jarang dan tidak mungkin ditandingi orang lalu, hampir tak tahan dia ingin membujuk kepada Swe Ithang.
"Kenapa kau begitu getol ingin bertanding dengan Ulat busuk? Jay sing ih-su julukanmu ini tidak gampang kau peroleh, kenapa kau harus mempertaruhkan gengsi dan nama baikmu yang bakal runtuh ini?"
Asap yang mengepul dari wedang teh didalam gardu sudah menguap hilang ditelan angin pegunungan.
Swe It-hang tidak banyak bicara lagi, selangkah demi selangkah dia berjalan keluar, langkah kakinya mantap dan amat pelan, hanya dua langkah kakinya beranjak Oh Thi-hoa sudah dibikin kaget dan melongo.
Oh Thi-hoa sendiri sering berkelahi dan suka melabrak musuhnya matimatian, sejak kecil sampai setua ini wataknya belum pernah berubah, selama hidupnya setiap kali bertarung dengan lawan, hampir dikata dianggapnya seperti dirinya makan nasi dan minum air seperti layaknya kehidupan manusia umumnya.
Selama sepuluh tahun belakangan ini, boleh dikata musuh macam apapun pernah dihadapinya, sudah bukan mustahil bila diantara sekian banyak musuh-musuhnya terdapat pula tokoh-tokoh ahli pedang yang kenamaan.
Diantara tokoh-tokoh pedang itu termasuk ahli pedangnya ada pula yang enteng dan cepat laksana kilat menyambar, ada pula yang amat ganas dan keji.
Tapi peduli siapapun setelahgaya pedang dan jurus serangannya dilancarkan baru menjadikan ancaman yang fatal bagi musuhnya.
Tapi Swe It-hang yang dilihatnya sekarang bukan saja pedang panjangnya belum bergerak menyerang, sampaipun badaniahnya seolah sudah diasah menjadi senjata golok, seluruh badannya dari ujung kaki sampai atas kepala lapat-lapat mengeluarkan hawa membunuh yang bisa mengecilkan nyali musuhnya.
Sebagai orang di luar kalangan yang tiada sangkut paut dengan pertempuran adu jiwa ini Oh Thi hoa sudah merasakan ancaman berat ini, apalagi Coh Liu-hiang yang berhadapan secara langsung.
Siapa akan menduga kakek tua sebagai sastrawan yang alim dan welas asih dengan gelaran si suci memetik bintang ini, didalam waktu sesingkat ini bisa berubah begitu kejam dan menakutkan.
Hembusan angin pegunungan yang menderu keras membuat pakaian sucinya yang longgar itu melambai-lambai, berbunyi nyaring, langkah kakinya tak berhenti terus melangkah ke depan tapi orang lain justru tidak merasakan bahwa badannya sedang bergerak.
Soalnya dia sudah himpun seluruh semangat, kekuatan dan jiwanya ke dalam segulung hawa pedang yang merupakan tumpuhan ilmu pedangnya, orang lalu cuma merasakan hawa pedangnya seperti menyesakkan napas sehingga seolah-olah sudah melupakan kehadiran badan kasarnya.
Badaniahnya sudah menyatu dengan hawa pedang dan bersatu padu, memenuhi mayapada diantara bumi dan langit, oleh karena itu disaat dia bergerak, seperti tak bergerak, waktu tak bergerak seolah-olah sedang bergerak.
Akhirnya Oh Thi-hoa betul-betul menemukan kebesaran pambek seorang Cianpwe kosen ahli pedang ini, betul-betul tak terjangkau oleh nalar dan pemikiran siapapun.
Semula dia berniat membujuk dan menasehati Swe Ithang sekarang mau tidak mau hatinya gundah dan menguatirkan keselamatan Coh Liu-hiang malah.
Dia sendiri tidak habis mengerti dengan cara bagaimana baru dia bisa menggempur dan memecahkan perpaduan hawa pedang yang kokoh itu.
Hembusan angin gunung cukup deras, tapi seluruh mayapada dan isinya seolah-olah sudah membeku jadi satu.
Terasa oleh Oh Thi hoa keringat dingin sebesar kacang setetes demi setetes mengalir keluar, seluruh penghuni jagat dalam sekejap ini seolahKoleksi
KANG ZUSI olah berhenti bergerak dan mati rasa sampai sang waktu seolah-olahpun berhenti.
Terasa seolah-olah ada sepasang tangan yang tidak kelihatan, sedang mencekik lehernya.
Napasnya hampir sesak dan berhenti sama sekali.
Sukar dia membayangkan betapa tersiksa keadaan Coh Liu-hiang pada saat itu, tapi pada saat itu mendadak Coh Liu-hiang melejit tinggi ke tengah angkasa laksana burung bangau raksasa melambung tinggi.
Siapapun takkan menyangka di bawah tekanan tenaga musuh yang begitu hebat, dia masih kuasa melambung ke angkasa, siapapun takkan menduga kekuatan dan daya luncur lompatannya itu ternyata begitu cepat laksana samberan anak panah.
Sekokoh batu gunung Swe It-hang berdiri di tempatnya tak tergoyahkan, cuma pedang di tangannya itu sesenti demi sesenti terangkat naik, pedangnya itu seolah-olah diganduli bobot laksaan kati, kelihatannya begitu berat dan lamban sekali.
Tapi dengan jelah Oh Thi-hoa masih bisa mengikuti gerak pedang orang ternyata dia telah mengikuti gerak-gerik badan Coh Liu-hiang selincah naga menari diangkasa, namun ujung pedang orang selalu mengincar badan Coh Liu-hiang dalam jarak dua dim saja.
peduli kemanapun Coh Liu-hiang meluncur turun, terang takkan lolos dari ancaman tusukan pedang lawan.
Tapi akhirnya Coh Liu-hiang meluncur turun dan tancap kaki di tanah.
Waktu melesat tinggi tadi badannya meluncur laksana anak panah, begitu tiba di atas langit, bergerak seperti kecapung menunggang bola api, berputar dan menari-nari, perubahannya tak terhitung banyaknya, dan tak mungkin ditiru serta tak bisa ditandingi.
Pedang Swe It-hang sudah siap bergerak menyerang.
Pada saat itulah dahan pohon ditangan Coh Liu-hiang mendadak bergeming bergerak membundar, beberapa daun di ujung dahan itu, mendadak meninggalkan dahannya dan meluncur ke arah muka Swe It-hang.
Swe It-hang bersuit panjang, pedang berubah menjadi tabir cahaya yang rapat dan seperti gugusan gunung membundar.
Tampak oleh Oh Thi-hoa cahaya pedang orang sudah menelan Coh LiuKoleksi
KANG ZUSI hiang bulat-bulat, beberapa lembar daun itu, sudah tertekan hancur lebur oleh kekuatan hawa peang yang tajam dan dahsyat itu, lenyap tanpa bekas.
Akan tetapi begitu cahaya pedang kuncup, pedang ditangan Swe It-hang tahu-tahu sudah menjuntai turun lunglai, rona mukanya kaku tidak menunjukkan mimik perasaan, seluruh kulit badannya seolah-olah didalam sekejap itu sudah membeku dan dingin.
Kalau dia diibaratkan sebuah golok, maka dia sekarang sudah berubah sebagai golok kayu, berubah tak bersinar, dan kelam, ketajaman dan kewibawaan hawa pedangnya pun sudah sirna tak berbekas lagi.
Waktu dia melirik ke arah Coh Liu-hiang, tampak orang sudah meluncur turun dan hinggap satu tombak di hadapan Swe It-hang, dahan pohon di tangannya sudah gundul dan terbeset kulit pohonnya karena ketajaman hawa pedang itu.
Bukan saja Oh Thi-hoa tidak tahu orang bagaimana Coh Liu-hiang lolos dan menyelamatkan diri dari kepungan cahaya pedang musuh yang dilandasi hawa pedangnya, diapun tak tahu bagaimana kesudahan dari akhir pertempuran kedua orang ini, entah siapa menang dan pihak mana kalah.
Entah berapa lama akhirnya Coh Liu-hiang membungkuk badan katanya.
"Ilmu pedang Cianpwe tiada taranya, selama hidup belum pernah melihatnya."
Dengan hambar Swe It-hang mengawasinya, mulutnya menggumam.
"Bagus, bagus, bagus sekali..."
Beruntun dia berkata tiga kali, pedang saktinya itu tiba-tiba berubah jadi selarik bianglala yang melesat terbang ke tengah udara laksana kilat menyambar dicuaca menjelang gelap ini, terus meluncur ke arah Kiam-ti.
Sesaat kemudian, terdengar "Plung".
Maka sejak ini Kiam-ti ketambahan sebatang pedang tajam luar biasa yang sakti.
Dengan hampa Swe It-hang melepas pedangnya ke tempat nan jauh disana , seluruh badannya seolah sudah luluh, jiwa dan sukmanya seolah-olah sudah ikut pedangnya itu kecemplung ke telaga pedang.
Tak urung terunjuk rasa prihatin dan mendelu pada muka Coh Liu-hiang katanya menghela napas.
"Cayhe mengambil keuntungan meski untung berhasil lolos dari pedang Cianpwe, tapi aku sendiri belum bisa menang, buat apa Cianpwe..."
"Kau tak usah bilang lagi."
Coh Liu-hiang mengiakan dengan tunduk kepala. Lama Swe It-hang menatapnya pula lekat-lekat, tanpa bicara sepatah katapun tiba-tiba dia putar badan terus melangkah lebar turun gunung. Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya menghela napas.
"Memang tidak malu orang ini diagulkan sebagai Enghiong, cuma harus disayangkan, orang seperti ini semakin lama semakin jarang di Kang-ouw."
Tanya Oh Thi-hoa.
"Ucapannya terakhir, Apakah maksudnya? Apa kau benar-benar paham?"
"Dia memberitahu kepadaku, demi membalas budi kebaikan Li Koan-hu, umpama dia harus mempertaruhkan jiwa raga sendiripun tak menjadi soal, oleh karena itu meski dia tak tahu kenapa Li Koan-hu ingin membunuh aku, tidak bisa tidak dia turun tangan."
"Kalau demikian jadi dia mendapat pesan Li Koan-hu mencegatmu di sini?"
"Tentu saja demikian."
"Tapi kenapa Li Koan-hu hendak membunuh kau?"
"Seorang tua demi anak dan menantunya, urusan apapun bisa saja dia lakukan."
"Tadi cara bagaimana kau mengalahkan dia? Bukan saja aku tidak melihat jelas, kupikirpun takkan terpecahkan."
"Ilmu pedang orang ini memang sudah mencapai taraf yang tiada taranya, boleh dikata dia sudah membuat pedang yang berwujud itu menjadi abstrak "tidak berwujud"
Seluruh tubuhku sudah terkurung, hampir bernapaspun tak bisa lagi."
"Aku yang berada di luar kalangan saja serasa sesak, apalagi kau?"
"Kalau aku tidak cari akal untuk menjebol keluar dari kurungan hawa pedangnya lebih dulu, pasti pasrah dan menyerah untuk dipenggal kepalaku saja oleh karena itu aku terpaksa harus menyerempet bahaya, disaat dua ganti napas, mendadak aku melejit ke atas"
Dengan tertawa getir ia melanjutkan.
"Tentunya kau sudah tahu, menghadapi tokoh kosen seperti Swe It-hang, bukan saja sedang menghadapi bahaya, bila sekali seranganmu gagal berarti kau mengantar jiwamu!"
"Memangnya gerakan menyerang dengan cara terapung di udara ini, hanya bisa dilancarkan bila yang kuat menyerang yang lemah, karena sekali kau gagal, berarti kau kejeblos ke jalan buntu, maka waktu aku melihat kau menggunakan jurus seranganmu ini hampir saja mencolot keluar."
"Begitu badanku terapung ditengah udara, maka lebih jelas aku melihat pusat dari kekuatan hawa murninya yang kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena itu terlebih dulu aku gunakan daun-daun dari dahan pohon di tanganku untuk memancing gerakannya sehingga pemusatan hawa pedangnya itu buyar."
"Teorimu ini aku tak bisa menerimanya."
"Soalnya waktu itu dia sudah kembangkan seluruh kekuatan dan kemahirannya dalam mengendalikan hawa pedang itu, umpama air gentong yang luber atau anak panah yang sudah dipentang busurnya tinggal membidikkan saja cukup tersentuh sedikit saja, maka anak panah itu harus dilepaskan."
"Em, ya, perumpamaan ini memang tepat."
"Nah, itulah teori yang kupakai."
"Teori apa? Aku masih belum paham."
"Dengan kekuatan tenaga dalam, aku sambitkan daun pohon itu, hawa pedangnya sudah penuh sesak, begitu tersentuh oleh sesuatu benda dari luar, seketika menimbulkan reaksi yang hebat luar biasa. Celaka adalah begitu hawa pedang itu bekerja, tak mungkin dikendalikan lagi, bukan saja beberapa daun pohon itu hancur lebur seluruhnya, umpama badan seseorang pun pasti luluh tak berbekas lagi."
"Begitu lihaynya."
"Tapi begitu hawa pedang itu bergolak dan bekerja maka tampaklah titik lobang kelemahannya."
"Kenapa?"
"Karena seluruh tumpuan kekuatannya terpusatkan pada titik itu, dengan sendirinya lantas menunjukkan kekosongannya maka aku tak sia-siakan kesempatan ini, dengan ujung dahan pohon di tanganku itu aku berhasil sedikit menutul kepalanya."
Sampai di sini Coh Liu-hiang tertawa panjang, katanya pula kemudian.
"Namun demikian aku, toh terkena juga oleh tutulan tenaga hawa pedang yang dahsyat itu, sehingga terpental jauh beberapa tombak."
Oh Thi hoa menyela keringat katanya tertawa lebar.
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi, apapun yang terjadi kenyataan sejurus kau dapat mengalahkan dia."
"Sejurus ini amat enteng dan gampang dikatakan, bahwasanya amat sukar dilaksanakan, apalagi walau ujung dahan kayu itu berhasil menutul kepalanya sekali-kali takkan mampu melukai dia, maka sebetulnya dia tidak perlu mengaku kalah."
"Kalau demikian, bila waktu itu dia tidak kalah dan melabrakmu lebih lanjut, bukankah jiwamu bakal amblas?"
"Itupun belum tentu."
"Kenapa belum tentu?"
"Karena tindakanku itu sudah membikin hawa pedangnya pecah tercerai berai, kalau dia berusaha memusatkan hawa pedangnya lagi dalam waktu sesingkat itu, akupun tidak akan memberi kesempatan kepadanya, maka dia merangsek lebih lanjut, kita masing-masing harus berkelahi mengandal kematangan permainan jurus silat masing-masing."
"Darimana kau tahu bila permainan jurus tipu-tipu silatnya tidak ungkulan melawan kau?"
"Kalau membicarakan kehebatan jurus tipu-tipu silat yang terlihai, dalam kolong langit ini, mungkin tiada seorangpun yang bisa menandingi Ciokkoan- im. Oh Thi-hoa kedip-kedip mata, tanyanya tiba-tiba.
"Jikalau Swe It-hang melawan Ciok-koan-im bagaimana?"
"Ciok-koan-im pasti akan menang."
"Berdasar apa kau berani berkata demikian?"
"Karena Swe It-hang sendiri belum bisa mengendalikan hawa pedangnya itu sedemikian rupa dan senyawa dengan raganya, dapat dimainkan sesuka hatinya, diapun belum mampu melebur hawa pedangnya itu ke dalam permainan jurus tipu-tipu ilmu pedangnya."
"Kalau dia berhasil melebur hawa pedang itu ke dalam jurus tipu perubahan ilmu pedangnya?"
"Maka kepandaiannya takkan menemui tandingan dikolong langit."
"Aku mengharap dalam dunia ini ada seseorang seperti itu, supaya kaupun merasakan pahit getirnya, selamanya kau selalu menang perang, jikalau kalah sekali, mungkin kepandaian silatmu baru bisa mencapai taraf yang tiada taranya."
Sebetulnya Oh Thi-hoa berkelakar dengan ucapan ini, tak nyana Coh Liuhiang justru menanggapi dengan serius.
"Ya, memang begitulah, disitulah letak teori ilmu silat yang paling mendalam, harus disayangkan selama hidup ini aku paling gemar menyerempet bahaya, setiap kali berhadapan dengan musuh tangguh, tanpa kusadari secara reflek aku menggunakan jurus permainan yang menyerempet bahaya pula. bila aku kalah maka jiwaku tanggung mampus, oleh karena itu walau aku tahu akan kelemahanku ini, namun tetap aku main untung-untungan menyerempet bahaya untuk menempuh kemenangan."
Oh Thi-hoa malah melongo, katanya.
"Sebetulnya tujuanmu bukan melulu ingin menang dan lagi bila kau tidak menggunakan cara yang menyerempet bahaya, jelas kaupun bakal mampus karena bila kau tidak membunuh atau melukai musuh, sebaliknya musuh bakal menamatkan riwayatmu."
"Maka cepat atau lambat, akan datang suatu hari, aku pasti akan mampus ditangan orang lain."
"Tapi kaupun tidak perlu kuatir, orang yang dapat membunuh kau, kukira sampai detik ini belum lagi lahir!"
Kabut semakin tebal sehingga tabir malam terasa semakin kelam.
Disongsong datangnya gulita ini mereka naik ke puncak gunung, melewati Yam yang-sung.
Hau-cu-beng, Toan-liau-nam.
Kam-kain-swan.
Sik-kiam-sek.
Jin-sian-ting dan Sian-jin-tong.
Tapi mereka tidak menemukan jalan yang langsung menembus ke Yong-ciusan- cheng.
Hampir saja Oh Thi-hoa sudah curiga bahwa Yong-cui-sancheng apa benar terletak di Hou-kin-san ini.
Kata Oh Thi-hoa dengan mengerut kening.
"Apa kau sendiripun belum pernah berkunjung ke Yong cui san-cheng?"
"Belum, aku cuma dengar bahwa Yong cui san-cheng terletak dalam pelukan gunung jauh dariTay ouw, pulau pasir yang indah permai dengan layar berkembang, asap mengepul ditengah rumpun bambu, merupakan tempat yang panoramanya terindah di seluruh gunung ini."
Waktu Oh Thi-hoa hendak bersuara lagi, tiba-tiba dilihatnya dikejauhansana terangkat tinggi sebuah lampion perak, bergoyang-goyang terhembus angin, seolah terletak pada suatu puncak gunung yang tinggi.
"Permainan apa pula itu?"
Ujar Oh Thi-hoa mengerut kening.
"Apapun yang akan terjadi disana kita harus menengok kesana."
Ajak Coh Liu-hiang.
Cepat sekali mereka kembangkan Ginkang melesat ke atas puncak, setelah dekat dilihatnya sebuah menara raksasa, bercokol tinggi dengan angkernya ditengah hembusan angin gunung yang deras, menara ini tujuh tingkat setiap tingkatnya terdapat genteng wuwungan yang miring menjulur keluar.
Lampion merah itu tergantung di bawah payon genteng, yang paling tinggi, namun suasana sepi lenggang, hanya pohon cemara yang bergoyang gontai mengeluarkan suara-suara melengking yang bersahutan, tiada tampak bayangan seorangpun di sini.
Siapakah yang menggantung lampion itu di atassana , apa tujuannya? Cahaya lampion laksana darah, di bawah penerangan cahaya merah darah ini, tampak pada dinding menara, di bawahnya bertuliskan sebaris hurufhuruf tapi karena tulisan berada di puncak tertinggi, sehingga tidak begitu jelas dan tak terbaca dari bawah.
"Matamu lebih jeli dari mataku, apa kau sudah melihat jelas apa yang tertulis di atas itu?"
Agaknya Coh Liu-hiang seperti memikirkan sesuatu, dia cuma geleng kepala.
"Biar kutengok ke atas sana."
Kata Oh Thi-hoa. Baru saja dia hendak melompat, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah menariknya.
"Aku tahu pasti mereka sedang mengatur tipu daya di sini, tapi kalau kita tidak kesana hati terasa mendelu."
"Biar aku yang naik"
Kata Coh Liu-hiang.
Tanpa menunggu jawaban Oh Thihoa badannya sudah melambung ke atas, dia sendiripun tahu bukan mustahil di atassana ada perangkap keji yang menunggu dirinya, maka gerak-geriknya teramat hati-hati dan waspada.
Sebentar saja tampak badannya seenteng burung walet sudah mencapai tingkat ke enam, akhirnya dia sudah melihat jelas tulisan di dinding itu yaitu berbunyi.
"Coh Liu-hiang mampus di sini."
Selintas pandang dia sudah membaca tulisan ini, mesti hati amat kaget namun sedikitpun dia tidak menjadi gugup, tanpa banyak membuang waktu langsung badannya meluncur turun ke bawah.
Siapa nyana pada saat itu pula sekonyong-konyong dari puncak menara terkembang sebuah jala raksasa.
Selama ini Oh Thi-hoa menengadah mengawasi gerak-gerik Coh Liu-hiang, dengan jelas dilihatnya sinar kemilau dari benang-benang jala itu, seolaholah terbuat dari kawat-kawat lemas yang halus, meski bobotnya enteng tapi daya luncurnya ternyata amat pesat.
Disaat Coh Liu-hiang hampir terbungkus dan terjerat oleh jala besar ini, tak terasa Oh Thi-hoa menjerit memperingatkan.
"Awas!"
Ditengah peringatan Oh Thi-hoa itu, badan Coh Liu-hiang sudah melorot turun dengan lebih cepat, sehingga jala yang terkembang itu seolah-olah ketinggalan diatas kepalanya, keruan Oh Thi-hoa menghela napas lega.
Tak nyana dari tingkat kelima menara batu ini, sekonyong-konyong laksana kilat menyambar keluar sebatang sinar perak yang kemilau pula, agaknya seperti tombak arit yang melengkung, senjata yang jarang terlihat dan dipakai oleh kaum persilatan.
ujung tombak menggantol kedua lutut Coh Liu-hiang.
Sudah tentu bukan kepalang kaget Coh Liu-hiang, namun dia tetap tenang, sigap sekali sebelah tangannya menepuk pinggiran wuwungan tingkat kelima, cepat sekali badannya sudah bersalto mundur ke bawah.
Namun demikian setelah dia terhindar dari gantolan musuh, badannya berarti masuk perangkap jala lebar itu, seketika seperti ikan besar yang terjaring seluruh badannya bergelimang didalam jala, terus melayang turun dengan berputar-putar ditengah-tengah udara.
Tapi tombak gantolan itu cepat sekali terulur keluar pula dan menggantol jala sehingga jala tak sampai jatuh ke bawah, dengan sendirinya Coh Liuhiang tergantung ditengah udara dengan tanpa bisa bergerak didalam jala meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, makin lama benang-benang jala itu malah mengencang dan menjirat kulit dagingnya.
Selama berdampingan berjuang danmalang melintang, entah berapa lama Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang mengalami pertempuran antara mati dan hidup, namun selamanya belum pernah mereka menghadapi alat senjata serba aneh, perangkap serba licik dan licin seperti ini.
Reaksinya boleh dikata sudah amat cepat, namun perubahan yang dihadapinya justru lebih cepat lagi, hakikatnya Oh Thi-hoa sendiri tidak sempat mengawasi cara bagaimana Coh Liu-hiang bisa terjaring ke dalam jala musuh.
Tampak sinar perak kemilau bergoyang, tahu tahu Coh Liuhiang sudah tergantung ditengah udara.
Sekali merogoh tangan Oh-Thi-hoa lolos pisau pendek didalam slop sepatunya, tahu-tahu badannya sudah melejit tinggi, sinar pisaunya laksana bianglala terbang mengirim kearah jala besar itu.
Namun didengarnya Coh Liu-hiang membentak kepadanya.
"Lekas mundur kedua orang ini tak boleh dilawan..."
Ditengah bentakannya ini, dari puncak menara tahu-tahu meluncur sesosok bayangan seperti burung raksasa.
Malam remang-remang sehingga tak terlihat jelas bentuk mukanya, yang terang orang ini berperawakan tinggi besar, solah-olah seorang didalam dongeng pada jaman purba dulu.
Terasa pandangan Oh Thi-hoa tiba-tiba menjadi gelap, seolah-olah menara raksasa ini tiba-tiba runtuh menindih ke atas kepalanya, ke arah manapun dia berkelit menghindarkan dirinya tetap terkurung didalam bayangan hitam ini.
Kalau kaum keroco yang menghadapi situasi segawat ini, saking takutnya mungkin sudah pikirkan keselamatan diri sendiri dan berusaha lari, jelas dia takkan lari dari tindihan bayangan raksasa laksana gugur gunung ini.
Betapapun nyali Oh Thi-hoa memang berlipat ganda lebih besar dari orang lain, bukan saja dia tidak lekas melorot turun berusaha menyelamatkan diri, dengan mengacungkan pisau di tangannya, dia malah menerjang naik memapak ke arah bayangan raksasa ini.
Cara tempur dan serangan yang ingin mengadu jiwa dengan musuh seperti ini, biasanya dipandang perbuatan memalukan bagi seorang tokoh kosen, namun ada kalanya dapat merubah situasi memutar keadaan merebut inisiatif penyerangan lebih dulu.
Soalnya lawan sudah yakin bila dirinya pasti menang, sudah tentu dia takkan sudi melayani cara tempur yang nekad ini, akan tetapi bagi siapapun untuk merubah gerakan jurus permainan silatnya didalam waktu sesingkat itu, jelas bukan urusan yang mudah dilakukan atau boleh dikata tidak mungkin.
Diluar tahunya bayangan besar dari makhluk raksasa ini ternyata bergerak sedemikian lincah dan gesit sekali, mendadak bayangannya berputar, ditengah udara badannya melayang menyingkirlima kaki jauhnya.
Tepat pada saat itu pula, tombak gantolan mendadak ditarik mundur, sudah tentu Coh Liu-hiang yang tergantung ditengah udara dalam jala besar itu seketika melayang jatuh.
Coh Liu-hiang melayang jatuh sementara Oh Thi-hoa menerjang naik, keruan kedua-duanya saling terjang dengan kerasnya, untuk pisaunya dapat dia geser ke samping sehingga tidak melukai Coh Liu-hiang, berpaling seluruh hawa murni yang dia kerahkan, seketika dia buyarkan, dia rela dirinya keterjang sampai luka-luka, betapapun dia tidak mau membuat luka Coh Liu-hiang.
"Blang"
Seperti meteor jatuh badan Coh Liu-hiang menumbuk Oh Thi-hoa dengan dahsyatnya.
Karena tenaga dan hawa murninya tiba-tiba kuncup, keterjang begitu keras lagi, seketika terasa kepalanya berat, matanya berkunang-kunang, tanpa kuasa Oh Thi-hoa jatuh semaput.
Lapat-lapat masih terasa olehnya badan Coh Liu-hiang menindih di atas badannya.
Belum lagi musuh bergerak atau menyerang, tahu-tahu pihak sendiri telah dipukul roboh dan tak bisa berkutik lagi.
Sesaat kemudian terdengarlah seseorang tertawa terpingkal-pingkal, serunya.
"Banyak orang bilang betapa hebat dan lihainya kedua orang ini, ternyata hanya begini saja."
Suara orang ini kedengarannya melengking tajam dan cepat sekali, seperti suara anak kecil yang lagi menanjak dewasa, tapi setiap patah katanya dapat didengar sampai ketempat jauh, betapa kuat Lwekangnya, kiranya sudah terlatih beberapa puluh tahun.
Seorang lain segera menjawab.
"Memangnya di kalangan Kangouw banyak kaum keroco yang suka mengagulkan diri, tapi kedua orang ini terhitung lumayan juga."
Suara orang ini justru seperti genta yang ditalu, dan lagi amat perlahan dan lamban, dia bilang sepatah kata, orang lain sudah berkata tiga empat kata.
Kuping Oh Thi-hoa terasa pekak waktu dia membuka mata, maka dilihatnya dua orang tinggi pendek berdiri di depannya.
Umpama orang pendek ini berjinjit paling hanya seperut orang di sebelahnya, badannya kurus kering seperti genteng, kepalanya menggunakan topi rumput yang besar sebesar roda kereta.
Seolah-olah mirip benar dengan jamur payung, seluruh badannya yang kurus itu terselubung oleh bayangan topinya, bahwasanya sukar terlihat raut mukanya.
Orang yang tinggi ini biji matanya seperti kelintingan tembaga, pinggangnya kira-kira dua pelukan orang dewasa, rambut panjang awutawutan, sebagian di sebelah belakang dikuncir jadi dua, selintas pandang mirip benar dengan patung penjaga pintu kelenteng pemujaan.
Pakaian yang dikenakan kedua orang ini amat mewah kalau tidak mau dikatakan terlalu perlente, jelas tukang jahitpun seorang ahli yang sudah kenamaan, tapi pakaian perlente ini dipakai oleh orang-orang dengan perawakan seperti mereka, kelihatannya tidak keruan.
Yang pendek mengenakan jubah sutra yang baru berwarna menyala, namun dimana-mana berlepotan minyak, terang kancing pertama, namun dimasukkan ke dalam kancing ketiga.
Orang gede di sebelahnya juga mengenakan jubah panjang warna merah dengan celana panjang warna biru, sayang ukuran jubahnya ini paling tidak kurang tiga angka, karena panjangnya kurang dua kaki, dengan badan sebesar itu mengenakan pakaian ketat dan kependekan seolah-olah pakaiannya hasil curian saja.
Kedua orang yang aneh dan lucu ini, kenyataan memiliki kepandaian silat sedemikian tinggi.
Oh Thi-hoa hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, tanyanya.
"Siapakah namamu? Kenapa..."
Belum habis pertanyaannya si pendek itu sudah berteriak.
"Masakah aku ini tidak kau kenal?"
"Memangnya Oh Thi-hoa Oh Tayhiap seperti aku ini kenal orang macam kalian ini?"
Si pendek menghela napas gumannya.
"Tak nyana setelahmalang melintang sekian tahun di Kang-ouw, bocah keparat ini sia-sia hidup setua ini, masakah aku orang tua inipun tidak dikenalnya"
Sembari bicara topi rumput di atas kepalanya ditanggalkan, katanya menambahkan.
"Coba kau lihat biar jelas, siapa aku ini?"
Tampak oleh Oh Thi-hoa kepala orang ini gundul pelontos tanpa seutas rambutpun dan lagi kepalanya ini satu lipat lebih besar dari kepala orang biasa.
Dengan badan yang kurus punya kepala sebesar itu, seperti sumpit yang diatasnya menusuk sebuah bakpao, sayang keadaan Oh Thi-hoa masih lemas dan linu bergerakpun tidak bisa, kalau tidak melihat tampangnya ini tentu tak tahan dia terpingkal-pingkal geli.
Berkata pula si pendek.
"Sampai sekarang kau masih belum tahu siapa aku ini?"
"Aku hanya tahu bahwa kau ini adalah si gundul botak saja, memangnya apanya yang perlu dibuat heran?"
Si pendek pun tidak marah, malah tertawa berseri, katanya.
"Kalau gundul lantas tiada apa-apanya?"
"Tidak ada apa-apanya? sudah tentu tidak punya rambut."
"Tiada rambut berarti Bu-hoat, benar tidak?"
Selamanya belum pernah Oh Thi-hoa berhadapan dengan orang secerewet ini, malas rasanya meladeni bicara orang. Si pendek kembali mengenakan topi rumput besarnya ke atas kepalanya, katanya sambil mendongak.
"Dimana langit kenapa langit tidak kelihatan?"
Dengan menggunakan topi rumput sebesar itu mesti kepalanya mendongak, langit memang tidak dilihatnya.
Tak tertahan Oh Thi-hoa tertawa, tapi sekilas otaknya berpikir kulit daging mukanya seketika kaku dan mengejang secara mendadak.
Si pendek tertawa riang, ujarnya.
"Kini tentu kau sudah tahu siapa aku orang tua ini bukan?"
"Kau..."
Suara Oh Thi-hoa serak tersendat.
"Apakah kau ini Bo-hoat Bothian To Kau-ang?"
Bo hoat Bo-thian berarti tidak kenal aturan tidak mengenal Thian, To Kau-ang adalah aki jagal anjing. Si pendek berjingkrak sambil tepuk tangan serunya.
"Kau bocah ini ternyata pengetahuan juga, boleh dididik, boleh dipelihara!"
Lalu dia julurkan tangannya menuding si raksasa itu, katanya.
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tahu siapa dia?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya getir.
"To Kau-ang dan To Hi-po selamanya seperti bandulan tidak pernah meninggalkan timbangan, tidak ketinggalan bandulan, masakah aku tidak tahu?"
"Benar, dia inilah istriku tercinta Thian-lote-hong To Hi-po adanya. Aku orang tua ini meski Bo hoat-bo thian, tapi begitu masuk kedalam Thian-lote- hong jangan harap bisa membalikkan badan lagi."
Thian-lo te hong berarti pencakar langit jalan bumi.
Mahluk raksasa sebesar ini ternyata adalah seorang perempuan, hal ini sudah amat luar biasa, lebih menggelikan lagi bahwa perempuan ini ternyata adalah istri manusia kurus kerempeng yang kering ini, siapapun terpingkal-pingkal dan pecah perutnya.
Tapi Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, karena dia cukup tahu meski kedua orang ini jenaka dan suka humor, namun selama seratus tahun mendatang ini dalam kalangan Bulim mereka adalah salah satu dari empat pasangan suami istri yang berkepandaian amat tinggi.
Bukan saja kedua orang ini menggunakan senjata yang jarang dipakai oleh kaum persilatan umumnya, ilmu silat merekapun luar biasa aneh dan lihai, sepak terjangnya sudah dirubah itu tangannya.
Selamanya tiada orang yang tahu asal-usul perguruan kedua orang ini.
Selamanya tiada orang yang tahu kapan mereka muncul, ada kalanya kedua orang ini laksana datangnya hujan badai, mendadak lenyap begitu saja, selama dua tiga puluh tahun belakangan ini sudah tak terdengar pula kabar berita mereka, maka tiada orang yang tahu kemana mereka pergi dan dimana mereka berada.
Tapi setiap kaum persilatan sama tahu satu hal, yaitu.
Lebih baik kau berdoa terhadap Thian Yang Maha Kuasa, jangan sekali kali kau berbuat salah terhadap kedua suami-istri ini, siapapun jikalau berdosa terhadap kedua orang ini, maka selama hidupnya jangan harap bisa mengecap harihari dengan tentram dan sentosa.
Tampak To Kau-ang masih tertawa cengar-cengir, begitu lebar tawanya dan terpingkal-pingkal sampai napasnya memburu tersengal-sengal, tapi sekilas Toh Hi Po melirik kepadanya, seketika dia hentikan tawanya dan tidak berani meringis lagi
Jilid 33 Lebih baik kalau dia tidak melerok, sekilas melerok dan marah, seluruh pakaian ketat yang membungkus badannya seolah-olah melembung hampir meledak, tapi Oh Thi-hoa terheran heran dan tak habis mengerti, kenapa perempuan segede ini mengenakan pakaian ketat sekecil itu.
Memangnya diluar tahunya dan tak pernah terpikir oleh Oh Thi-hoa, umumnya perempuan yang kakinya besar suka mengenakan sepatu kecil, demikian pula perempuan yang tambun suka mengenakan pakaian ketat dan kecil bila seorang perempuan tinggi menikah dengan suami kate atau cebol, maka ingin rasanya dia menggergaji saja kedua kakinya menjadi pendek supaya sejajar dengan suaminya, namun kalau kaki dipotong menjadi cacat terpaksa pakaiannya saja yang dipotong dua kaki lebih pendek dari ukuran semestinya, dalam batin akan terasa nyaman dan tentram.
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa dingin, katanya.
"Banyak orang bilang betapa lihaynya To Kau-ang suami istri, ternyata juga cuma begini saja."
"Aku orang tua tanganpun belum lagi digerakkan, tahu tahu kau sudah rebah tak berkutik, masakan kau masih belum terima?"
Olok To Kau-ang. Oh Thi-hoa berkata beringas.
"Jikalau kau berani bertanding secara terang terangan melawan aku, dapat kau mengalahkan sejurus setengah tipu, sudah tentu aku akan tunduk dan menyerah tanpa pamrih, tapi kau menggunakan tipu daya selicik ini, terhitung perbuatan Enghiong macam apa?"
To Kau-ang tertawa besar, katanya.
"Ucapanmu ini terlalu ngelantur, siapapun yang bergebrak bila sepihak dapat merobohkan pihak yang lain, perduli cara apapun yang dia gunakan merupakan kepandaian yang harus dipuji jikalau aku orang tua dapat sekali kentut lalu dapat bikin bau mampus sesak napas, sudah sepantasnya kau tunduk lahir bathin kepadaku."
Saking dongkol oleh olok-olok orang yang brutal ini Oh Thi-hoa sampai tak bisa bicara lagi.
Mendadak disadarinya, bukan saja saat mana seluruh badannya linu kemeng, Coh Liu-hiang yang menindih di atas badannyapun tak bergerak sama sekali, sampai napaspun sudah berhenti.
Saking kagetnya, tak terasa Oh Thi-hoa berteriak melengking.
"Lo... Lo coh, kenapa kau tidak bersuara? Masakah kau."
"Kembali kau bicara ngelantur pula."
Ejek To Kau-ang setelah terlorok lorok.
"Memangnya tadi kau tak melihat disaat aku mengulurkan tombakku tadi, sekaligus sudah masuk dua Hiat-tonya."
Dengan tertawa dia maju menghampiri sambil menambahkan.
"Mungkin turun tanganku tadi terlalu berat dan cepat, sehingga kau tidak melihatnya dengan jelas, sekarang..."
Belum kata katanya berakhir, baru saja dia tiba di hadapan Coh Liu-hiang, sekonyong konyong sepasang tangan Coh Liu-hiang secepatnya menjulur keluar dari dalam jala.
Sudah tentu mimpipun To Kau-ang si jagal anjing ini tidak akan pernah menyangka, saking kagetnya, tahu tahu kedua kakinya sudah terpegang oleh Coh Liu-hiang, sekali sentak kontan badan si jagal anjing yang kurus tinggi seperti genter ini rebah tak berkutik lagi.
Taoh Hi-po si nenek nelayan ini keruan menggerung gusar seperti singa mengamuk, menubruk maju.
"Berdiri ditempatmu!"
Terdengar Coh Liu-hiang membentak.
"Kalau tidak lakimu takkan hidup lebih lama lagi."
Benar juga Toh Hi-po tak berani melangkah setapak lagi, sorot matanya menampilkan rasa prihatin dan kuatir akan keselamatan suaminya yang cebol kate ini. Tadi si Jagal anjing sudah mengumpat caci.
"Anak jadah menggunakan cara demikian terhitung orang gagah macam apa kau?"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya.
"Dua orang bergebrak, asal dapat merobohkan lawannya, peduli cara apa yang digunakan... tadi kau sendiri berkata demikian, memangnya secepat itu kau sudah lupa?"
Si Jagal anjing melengak, tak tahan Oh Thi-hoa terbahak bahak, serunya.
"Bagus, bagus sekali, itulah yang dinamakan mengangkat batu mengepruk kaki sendiri, kau kentut dan kau sendiri yang bau."
Tak nyana si jagal anjing malah terpingkal-pingkel juga, katanya.
"Baik, baik, baik Coh Liu-hiang ternyata memang cukup pintar, tak heran banyak orang sama takut kepada kau."
"Ah, mana berani!"
Sahut Coh Liu-hiang.
"Tapi ada satu hal yang belum ku mengerti, tadi terang aku sudah menutuk Hiat-tomu sudah kuperhitungkan didalam satu jam, jangan kata bergerak kentutpun tidak bisa, cara bagaimana mendadak sekarang kau sudah bisa bergerak?"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya.
"Di saat kau menutuk Hiat-toku, badanku sudah meluncur jatuh."
"Bukan saja kontan melayang jatuh, malah kau menumpuk bocah she Oh itu, mana ada kesempatan mengerahkan hawa murni membebaskan tutukan?"
"Cayhe memangnya belum mencapai taraf kepandaian untuk mengerahkan hawa murni membuka tutukan Hiat-to sendiri, tuan terlalu mengagungkan diriku."
"Memangnya cara apa yang kau gunakan?"
"Siapa saja disaat Hiat-tonya tertutuk, pasti masih ada kesempatan meski hanya seper-seratus detik bergerak benar tidak?"
"Benar, karena meski Hiat-tonya sudah tertutuk, namun dalam badan masih ada sisa tenaga murni yang masih mengalir, tapi kesempatan itupun amat singkat dan hanya bergerak sedikit saja."
"Tapi bergerak sedikit saja sudah cukup dan besar sekali manfaatnya."
Bersinar biji mata si Jagal anjing, teriaknya.
"O, aku paham sekarang, waktu itu begitu kau merasa Khi-hiat-nay-hiat tertutuk segera kau gerakan sedikit badanmu, sehingga bocah she Oh itu menubruk badanmu sekaligus membobol kedua Hiat-to yang tertutuk itu."
"Ya begitulah kejadiannya."
Kejut dan girang bukan main Oh Thi-hoa serunya tertawa lebar.
"Kau tua bangka ini ternyata punya otak yang pintar juga, patut dibimbing, pantas dididik di kebun binatang!"
Si jagal anjing menghela napas, ujarnya.
"Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang kau memang setan cerdik, tak nyana tua bangka seusia enam tujuh puluh tahun seperti aku ini, hari ini terjungkal ditangan bocah cilik yang masih bau pupuk bawang."
Nenek nelayan segera melotot kepada Coh Liu-hiang, suaranya sember.
"Sekarang apa pula yang kau inginkan?"
Tatkala itu Oh Thi-hoa sudah merangkak bangun dari tindihan badan Coh Liu-hiang, serta sedang sibuk membuka jala besar yang membungkus badan Coh Liu-hiang, Nenek nelayan hanya mendelong mengawasi saja tanpa memperlihatkan reaksi apa-apa."
Coh Liu-hiang mencelat bangun katanya perlahan.
"Apa kalian punya permusuhan dengan Cayhe?"
"Tiada!"
Sahut nenek nelayan.
"Kalau kalian tidak bermusuhan dengan Cayhe, kenapa kalian bersikap begini terhadap Cayhe?"
Sesaat berdiam diri, akhirnya nenek nelayan berkata menghela napas.
"Kami suami istri selamanya membedakan tegas dendam kebencian dan budi kebaikan, bahwasanya kamipun tiada niat melukai kau, cuma..."
"Cuma dulu kalian pernah mendapat budi kebaikan Li Koan hu maka kalian hendak membekuk aku diantar ke Yong-cui-san-cheng, benar tidak?"
Belum nenek nelayan bicara, Jagal anjing sudah terbahak-bahak, serunya.
"Benar, aku orang tua sebetulnya hendak membekuk kau untuk dihaturkan kepada orang sebagai pembalasan budi kebaikannya dulu, oleh karena itu jikalau sekarang kau hendak membunuh aku adalah suatu hal yang jamak dan pantas."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya.
"Jikalau aku tidak ingin bunuh kau?"
"Lebih baik kau bunuh aku saja, aku ini berjiwa sempit berpandangan cupat, hari ini aku kecundang oleh kau, umpama kau lepas aku pulang, kelak bukan mustahil masih belum kapok dan ingin mencari perkara dan membuat kesulitan kepada kau."
Berubah air muka nenek nelayan serunya.
"Kau... kau bujuk orang membunuhmu malah?"
"Memangnya kenapa, yang terang aku sudah bosan jadi seorang laki-laki, cepat mati cepat menitis, pada titisan yang akan datang aku pasti akan jadi perempuan dan kawin sama kau pula, supaya kaupun mengecap rasanya jadi seorang suami, barulah terhitung seri dan setanding antara kita berdua."
Saking marah, hijau membesi rona muka nenek nelayan, suaranya sumbang.
"Berani kau bicara begitu terhadapku?"
"Seorang laki-laki jikalau benar-benar sudah menghadapi kematian, kenapa pula dia tidak berani bicara?"
Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya.
"Jikalau Coh Liu-hiang membebaskan kau?"
"Kenapa dia harus membebaskan aku?"
Teriak jagal anjing.
"Kenapa dia tidak boleh membebaskan kau?"
"Perbuatanku patut dicela dan memalukan, merugikan dia lagi, jikalau dia masih mau membebaskan aku, maka dia seorang gila."
"Dia bukan orang gila, sebaliknya adalah seorang Kuncu atau sosiawan, dengan ukuran jiwa seorang rendah kau menilai dirinya, maka kau kira dia bakal membunuh kau."
Jagal anjing melengak, katanya.
"Jikalau benar dia tidak membunuh aku sungguh celaka tiga belas."
Jagal anjing dan nenek nelayan sudah pergi, lampion merah masih bertengger di puncak menara, kabut tebal sudah menyelubungi seluruh pelosok puncak bukit, cahaya lampion merah yang terbungkus kabut tebal kelihatannya seperti darah yang muncrat beterbangan.
Tapi sekelilingnya masih dilingkupi tabir gelap yang amat pekat tak berujung pangkal, seperti waktu kedatangan Coh Liu-hiang tadi.
Oh Thihoa mendelong mengawasi kabut dihadapannya, seolah-olah ingin dia mengikuti arah kemana kedua suami istri itu pergi ditelan tabir malam.
Sepasang suami istri yang serba aneh dan ganjil ini laksana angin berlalu dan menghilang, sejak kini, mungkin Oh Thi-hoa takkan bisa melihat mereka, takkan mendengar kabar berita mengenai kedua orang ini.
Akhirnya Oh Thi-hoa berpaling kepada Coh Liu-hiang, katanya tertawa.
"Sejak tadi aku sudah menduga, kau pasti membebaskan mereka, ternyata dugaanku tidak meleset."
"Jikalau kau adalah aku, memangnya kau hendak membunuh mereka?"
Balas tanya Coh Liu-hiang.
"Sudah tentu tidak akan ku lakukan."
Sahut Oh Thi-hoa tertawa.
"sekalikali aku tidak akan sudi membunuh laki-laki yang takut bini, karena laki-laki yang takut bini kebanyakan bukan orang jahat."
"Kenapa?"
"Laki-laki kalau toh bininya saja amat ditakuti, memangnya dia masih punya keberanian melakukan kejahatan?"
Coh Liu-hiang ditepuk pundaknya, katanya lebih lanjut dengan tertawa.
"Waktu kau membebaskan si jagal anjing tadi, adakah kau melihat rona mukanya? Aku melihatnya dengan jelas, bahwasanya belum pernah selama hidupku melihat rona muka sejelek itu dari seorang tawanan yang dibebaskan, seolah-olah dia malah lebih senang kau bunuh daripada kau bebaskan dan tidak sudi pulang, kalau dia pulang entah hukuman dan siksaan apa yang bakal dia alami, sungguh aku tidak berani membayangkan."
"Kau anggap dia sedang tersiksa, sebaliknya dia sendiri justru menganggapnya sebagai suatu kenikmatan."
"Kenikmatan? Berlutut menyunggi piring atau menyanggah poci arak, masakah kau katakan sebagai suatu kenikmatan?"
"Kenapa tak boleh dianggap sebagai suatu kenikmatan? Masakah nenek nelayan bakal menyuruh kau menyunggi poci di atas kepalamu?"
"Sudah tentu tidak."
"Nah itulah, nenek nelayan pasti tidak akan suruh kau menyunggi poci, karena dia tidak menyukai kau."
"Kalau demikian dia menghukum jagal anjing menyunggi poci, lantaran dia menyukai suaminya?"
"Benar, itulah yang dinamakan cinta keblinger, semakin besar cintanya semakin ketat dia menjaga suaminya."
Oh Thi-hoa mendekap kepalanya, katanya merintih.
"Jikalau setiap perempuan mempunyai jiwa eksentrik seperti dia, lebih baik aku cukur rambut menjadi pendeta saja."
"Kau berkata demikian karena kau tidak menyelami hubungan cinta dan ikatan batin kedua suami istri ini."
"Kau tahu dan menyelami?"
"Kau kira si jagal anjing benar-benar takut bini?"
"Kenyataan sudah di depan mata."
"Kalau begitu ingin aku tanya kau, kenapa dia mesti takut kepada si dia? Mengapa kau tidak melihat bahwa ilmu silat jagal anjing lebih tinggi dari bininya?"
Oh Thi-hoa melengak, gumamnya.
"Ya meski gerak-gerik nenek nelayan amat cepat dan aneh, namun Lwekang jagal anjing terang lebih mendalam, kalau kedua orang ini bertempur, jelas nenek nelayan bukan tandingan jagal anjing, memangnya kenapa si jagal anjing takut kepadanya?"
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biar kujelaskan. Soalnya jagal anjingpun amat mencintai bini tuanya, seorang laki-laki bila dia tidak mencintai bininya, pasti takkan takut kepadanya, itulah yang dinamakan lantaran cinta lantas tumbuh rasa segan, jadi bukan takut."
"Janggal, janggal, teorimu ini teramat janggal."
Kata Oh Thi-hoa geleng kepala.
"Setiap kau punya bini, kau akan tahu bahwa teoriku ini tidak janggal."
Baru saja mereka lolos dari mara bahaya elmaut yang hampir merenggut nyawa mereka, meski dengan kecerdikan Coh Liu-hiang, mereka berhasil menang, namun langkah mereka selanjutnya masih dihadang berbagai malapetaka yang tidak kurang berbahayanya.
Bahwa Li Giok-ham suami istri bisa mengundang Swe It-hang dan tokohtokoh silat setingkat dan selihai si jagal anjing suami istri, pasti merekapun dapat mengundang tokoh-tokoh lain yang lebih lihai dan lebih hebat kepandaiannya.
Kenyataan membuktikan Coh Liu-hiang dua kali berhasil memukul mundur kedua musuhnya dengan kepintaran otaknya, namun betapapun kekuatan dan kecerdikan seseorang ada batasnya, hakikatnya berapa besar kuat dan berapa kali pula mereka berdua masih dapat menang dalam gebrakan melawan musuh yang aneka ragam banyaknya ini? Apalagi Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thian-ji dan Mutiara hitam masih didalam cengkeraman mereka, seolah-olah seseorang yang tenggorokannya sudah dicekik dan tak berkutik oleh lawan.
Titik kelemahan inilah yang membuat Coh Liu-hiang kewalahan serasa tak bisa bernapas.
Didalam suasana dan situasi serba berbahaya yang memerlukan banyak perhatian dan energi ini, namun mereka masih begini iseng mengobrol soal hubungan suami istri, soal suami yang takut bini segala, bila ada orang lain mendengar percakapan ini tentu mereka mengira kedua orang ini rada sinting atau kurang waras otaknya.
Bahwasanya justru mereka tahu bahwa tugas berat dan mara bahaya yang menunggu mereka masih terlalu banyak, maka sedapat mungkin mereka berkelakar mencari ketenangan hati untuk mengendorkan ketegangan semangat yang selalu menarik urat syaraf selama ini, sudah tentu hal ini merupakan usaha mereka pula untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi muslihat musuh yang lebih berbahaya.
Seseorang bila terlalu tegang urat syarafnya, umpama pula senar biola atau gitar yang tertarik kencang, sekali petik dan gesek pasti putus.
Sesaat kemudian mendadak Oh Thi-hoa berkata pula tertawa.
"Umpama nenek nelayan menjewer kuping si jagal anjing, sampaipun menjinjingnya dibawa lari pulang, akupun takkan merasa heran, tapi sungguh aku tak pernah menduga bahwa dia membawa si jagal anjing pulang dengan memasukkannya kedalam jalanya."
"Oleh karena itulah si jagal anjing sendiri bilang, begitu Bu-hoat-bu-thian masuk ke dalam Thian lo te hong selama hidup jangan harap dia bisa berdiri tegak dan bebas kelana."
"Bagaimana juga mereka adalah sepasang suami istri serba aneh dan janggal memang menarik dan jenaka sekali."
Sebaliknya menurut pandanganku, Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sepasang suami istri muda ini, jauh lebih ganjil dan lebih jenaka dan menarik dari mereka."
Fajar sudah menyingsing, alam semesta diterangi cahaya surya nan cerlang cemerlang, kembang mekar, burung berkicau, sehingga suara pagi nan sunyi ini terasa tentram dan sentosa.Lima anak laki-laki sedang sibuk mengulung kerai bambu, mereka sibuk bekerja siap menyambut tamu.
Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang adalah tamu-tamu.
Li Giok-ham suami istri berdiri diambang pintu dengan muka berseri sedang menunggu kedatangan mereka.
Kata Liu Bu-bi setelah mereka berhadapan.
"Jalan punya jalan, tanpa sadar tahu-tahu kita sudah kehilangan bayangan kalian, tabir malam sudah membuat alam gelap lagi, dicari kemana-manapun sukar ketemu, sungguh membuat kami gugup dan gelisah sekali."
Li Giok-ham ikut bicara.
"Siaute baru saja hendak mengutus orang mencari kalian, tak nyana kalian sudah datang, sungguh amat menggirangkan."
Ternyata kedua orang ini masih bisa bermanis-manis muka, sungguh Oh Thi-hoa hampir gila dibuatnya saking dongkol dan marah, sebaliknya Coh Liu-hiang tetap bersikap wajar, katanya tersenyum.
"Kami amat terpesona oleh panorama menjelang gelap, sungguh tak kira bikin kalian gelisah saja."
"Bulan purnama di Hou-kiu memang merupakan pemandangan lain dari yang lain, untung Coh-heng berdua memang seorang yang berjiwa seni, kalau tidak masakah begitu asyik tenggelam dalam panorama indah itu sampai lupa diri?"
Tak tahan Oh Thi-hoa menimbrung.
"Sebetulnya kami bukan seniman yang tergila-gila panorama cuma semalam kami terpulas di bawah Bou-kiu-ta, disana kami semalam bermimpi amat indah dan mengasyikkan."
"Apakah dalam mimpi Oh-heng bertamasya di Hou-kiu?"
Tanya Liu Bu-bi tertawa manis.
"Tentu amat menyenangkan sekali."
"Sebetulnya mimpiku itu tidak begitu menyenangkan, lebih celaka lagi dalam mimpi itu kami kesampok dengan beberapa orang yang hendak mencabut nyawa kami, dan yang mengasyikkan adalah bahwa pembunuh itu adalah orang-orang yang kalian undang kemari."
"O, kalau begitu tentu amat menarik."
Ujar Liu Bu-bi.
"sayang sekali kami kok tak pernah bermimpi seindah itu, kalau kami bisa bertemu didalam impian itu, bukankah lebih menarik dan menyenangkan?"
Sementara itu mereka sudah melalui serambi panjang dan memasuki ruang-ruang pendopo yang setiap pintunya bergantung kerai bambu dalam lima ruang-ruang pendopo besar besar itu, sebelum mereka tiba, anak kecil itu sudah menggulung kerai-kerai itu lebih dulu, setelah mereka lewat kerai diturunkan pula, langkah demi langkah mereka terus maju dan semakin jauh meninggalkan dunia luar yang penuh dengan debu.
Sepanjang perjalanan biji mata Oh Thi-hoa berjelalatan, seolah masih ingin bicara panjang lebar, namun Li Giok-ham sudah bicara lebih dulu.
"Sebentar kalian akan bertemu dengan orang yang ingin kalian temui."
Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, selanjutnya dia bungkam tak bersuara, apapun yang perlu dia utarakan, biarlah bicarakan setelah bertemu dengan Soh Yon-yong dan lain-lain.
Lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang mukanya tersenyum simpul, namun hatinya gundah dan tegang.
Tampak anak-anak kecil itu kembali menggulung kerai didepan sebuah pintu yang menembus ke sebuah kamar, bau harum kayu cendana seketika terhembus keluar dari dalam kamar menyongsong kedatangan mereka.
Ditengah kepulan asap putih dari pedupaan dalam kamar, tampak seorang tua berambut uban duduk tenang di atas dipan.
Rona mukanya yang bersih kelihatannya sedemikian kurus dan loyo, seperti amat letih, demikian pula sorot matanya begitu guram dan pudar, seolah pandangannya sudah tidak berhayat dan tidak bernanar lagi.
Badannya sudah kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang tanpa sukma tak berjiwa, hidupnya ini tidak lebih hanya sedang menunggu ajal belaka.
Namun tepat di depan kakinya yang bersimpur itu terletak sebilah pedang yang bercahaya terang menyolok mata.
Batang pedang gelap mengkilap, sebening air danau, sarung pedang yang terletak di sebelahnya penuh dihiasi batu-batu jambrud dan berlian serta mutiara, namun di bawah pancaran cahaya pedang, batu-batu permata itu sudah kehilangan kemilaunya yang hidup.
Dengan mendelong tanpa berkedip orang tua ini terus mengurusi pedang itu, badannya duduk kaku tak bergerak.
Seakan akan gairah hidupnya hanya bergantung dari pedang yang disandingnya ini.
Apakah orang tua inikah yang diwaktu mudanya dulu merupakan tokoh pedang nomor wahid di seluruh jagat Li Koa-hu adanya? Tanpa merasa Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa menjublek di luar pintu.
Hati mereka kaget heran dan mendelu, orang yang sedemikian kuatnya, kini jiwanya ternyata sudah begini lemah, sudah lapuk.
Jadi bukankah kehidupannya sendiri merupakan tragedi yang menyedihkan? Yang amat mengejutkan Coh Liu-hiang adalah bahwa Soh Yon-yong berempat ternyata tak berada di sini, ingin bertanya tapi Li Giok-ham suami istri sudah melangkah masuk ke dalam.
Berbareng kedua orang ini menjura hormat, terdengar Li Giok-ham buka suara.
"Anak ada membawa dua sahabat karib dari tempat nan jauh tujuannya cuma ingin bertemu muka dengan kau orang tua, maka anak terpaksa membawa mereka kemari."
Orang tua itu tidak angkat kepala tak bergeming, sampaipun sorot matanyapun tak tertarik. Berkata Li Giok-ham lebih lanjut.
"Ayah sering menyinggung kedua sahabat anak ini, yang di sebelah kiri adalah Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang kenamaan di seluruh kolong langit, dan yang sebelah kanan adalah Hou-cu-tiap si kupu-kupu kembang Oh Thi-hoa yang sejajar dengan Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa hanya berdiri diam, sedikit membungkuk badan tanda hormat, namun mereka tidak tahu apa yang mesti diucapkan. Perlahan-lahan Li Giok-ham beru memutar badan, katanya unjuk tawa berseri.
"Belakangan ini mata kuping ayah rada kurang normal, harap dimaafkan jikalau beliau tidak dapat menyambut kedatangan kalian."
"Ah, mana berani."
Ujar Coh Liu-hiang merendah diri. Oh Thi-hoa justru tak sabaran, katanya.
"Wanpwe tidak berani mengganggu Cianpwee lagi, baiklah kami mohon diri saja."
Walau mereka ingin segera bertemu dengan Soh Yong-yong, ingin menarik Li Giok-ham ketempat lain untuk menanyakan keadaan mereka, namun mereka segan bersikap kasar dan tidak patut di hadapan orang tua yang tinggal menunggu ajal ini.
Hormat dan menjunjung peradatan kepada yang lebih tua adalah bagi jiwa pendekar, Coh Liu-hiang pasti takkan berani melanggar tata tertib ini.
Bibir orang tua tiba-tiba bergerak, agaknya ingin bicara, namun suaranya tak keluar dari tenggorokannya, kulit daging mukanya seolah sudah kaku dan mati rasa.
"Sepanjang tahun ayah berdiam dalam rumah sehingga merasa kesepian, selama ini beliau jarang dikunjungi para sahabatnya yang lama, bahwa kalian sudi bertandang kemari tidak mau sekedar duduk didalam melepaskan lelah lagi, maka ayah merasa amat menyesal dan malu diri."
Karena kata-kata ini terpaksa Coh Liu-hiang beradu pandang dengan Oh Thi-hoa, akhirnya mereka menduduki sebuah kursi.
Walau mereka mempunyai keberanian menghadapi sebuah laksaan pasukan berkuda, tertawa menghina terhadap kerabat kerajaan, namun berhadapan dengan orang tua yang mendekati ajalnya ini mereka patuh dan tunduk tanpa berani banyak cingcong lagi.
Li Giok-ham tertawa girang katanya.
"Kalian begini bijaksana, ayah pasti amat terharu dan berterima kasih sekali."
Mulut si orang tua kembali bergerak-gerak, sikapnya seperti amat sedih pilu, tapi juga kelihatan gelisah dan gugup tak sabaran. Li Giok-ham mengerut kening katanya.
"Entah ayah ada omongan apa yang ingin disampaikan kepada kalian..."
Sembari bicara dia berdiri terus menghadap ke depan si orang tua, membungkuk badan mendekatkan kuping ke depan mulut ayahnya. Coh Liu-hiang tidak mendengar suara si orang tua, cuma dilihatnya Li Giok-ham manggut berulang-ulang sambil mengiakan.
"Ya.., ya... anak mengerti."
Waktu dia berpaling lagi, raut mukanya menampilkan rasa pedih dan berat, namun berkata dengan dibuat-buat.
"Sejak beberapa tahun mendatang, ayah cuma punya satu keinginan yang belum terlaksana, kebetulan hari ini kalian berkunjung kemari, tentunya keinginan ayah bisa terlaksana, tergantung apakah kalian sudai bantu melaksanakan."
Coh Liu-hiang menahan gejolak hatinya, katanya tersenyum.
"Entah Cianpwe punya keinginan apa? Wanpwe berdua jikalau mampu dan kuat melakukan kami siap membantu."
"Kalau demikian, baiklah Siaute ajak menghaturkan terima kasih kepada kalian."
Tak tahan Oh Thi-hoa menimbrung.
"Tapi kami harus menilai dulu apa keinginan Cianpwe itu? Apakah kita betul-betul dapat membantu?"
Li Giok-ham tertawa ujarnya.
"Hal ini Siaute tentunya cukup paham."
Oh Thi-hoa tergila-gila ujarnya pula.
"Sudah tentu akupun tahu Cianpwe tentu tidak akan memaksa bila menghadapi kesulitan."
Seakan akan Li Giok-ham tidak memahami ucapannya ini, katanya kalem.
"Ayah terkenal lantaran pedang maka beliau pandang pedang sebagai jiwanya sendiri. Setiap urusan dan persoalan dan menyangkut dengan pedang beliau selalu ketarik untuk mengetahuinya, oleh karena itu bukan saja berusaha mendapatkan buku-buku pelajaran ilmu pedang dari jaman dulu kala, malah beliau pun ada menyelidiki dan menyelami sejarah kehidupan tokoh-tokoh pedang kenamaan, serta pengalaman tempur mereka yang dahsyat selama hidup mereka."
Sekilas Coh Liu-hiang melirik ke arah orang tua itu, batinnya.
"Betapa berat dan jerih payah seorang ahli pedang menggembleng diri dalam latihannya untuk mencapai puncak kemahirannya, bukan saja mereka harus mengorbankan harta benda dan kedudukan, malah harus hidup dalam pengasingan yang sepi dan tawar namun apa pula yang mereka hasilkan? Tidak lebih hanya nama kosong selama puluhan tahun dalam kalangan Kangouw melulu. Li Giok-ham bicara lebih lanjut.
"Dengan jerih payah ayah selama puluhan tahun didalam penyelidikannya, sudah tentu dalam ajaran silat beliau mendapat kemajuan pesat, yang tiada taranya, namun dari penyelidikannya ini belum menemukan beberapa persoalan yang aneh lucu dan menarik hati."
Wajah Oh Thi-hoa bersikap kurang simpatik, mau tak mau dia terkena mendengar berita ini tak tahan dia bertanya.
"Persoalan apa?"
"Ayah menemukan unsur-unsur keluar-biasaan didalam beberapa ajaran ilmu pedang sejak dulu kala itu, ternyata bukanlah ilmu-ilmu pedang hebat dan digdaya, disitulah letak persoalan yang dipandang aneh oleh ayah."
"Artinya... apakah artinya aku tak mengerti."
Ujar Oh Thi-hoa.
"Umpamanya."
Kata Li Giok-ham lebih lanjut.
"Jurus Ban hiau bu hong dari Sip han-toa kiu sek dari ajaran Mo kau, didalam jurus tersembunyi jurus perubahannya tak terhitung banyaknya sehingga dari satu berubah ke lain tipu-tipu sampai berjumlah tujuh ratus sembilan puluh dua jurus, dinilai dari cara geraknya yang enteng seperti melayang dan aneh, kekerasan dan jurus permainannya yang cepat dan matang, sesungguhnya masih jauh lebih unggul dari Liang-gi kiam-hoat dari pihak Butong pay."
"Ya, akupun pernah dengar betapa lihai ilmu pedang tunggal pihak Mo Kau, khabarnya sampai sekarang dalam kolong langit ini, belum ada seorangpun yang mampu bertahan diri menghadapi sampai tujuh ratus sembilan puluh dua jurus itu."
"Jangan kata kuat melawan sampai tujuh ratus sembilan puluh dua jurus penuh, malah mampu melawan tujuh jurus permulaan ilmu pedangnya saja belum pernah ada. Tapi selama ratusan tahun, kaum persilatan hanya tahu bahwa Liang-gi-kiam hoat dari Butong pay, tiada bandingannya di seluruh jagat, maka Biau-biau bu hong dari Siop hun toa kiu sek itu jarang dikenal lagi oleh khalayak ramai."
"Mungkin karena jarang kaum persilatan yang benar-benar menyaksikan ilmu pedang yang lihai itu."
Demikian komentar Oh Thi-hoa.
"Memang tidak banyak orang yang pernah melihat ilmu pedang itu, lalu berapa banyak pula orang yang pernah melihat Liang-gi-kiam hoat. Peraturan Bu-tong pay amat ketat dalam memilih calon murid, dulu waktu jaya-jayanya tidak lebih anggota mereka cuma delapan puluh satu orang saja, dan lagi ke delapan puluh satu murid-murid Butong itu, bukannya setiap orang pernah mempelajari dan mahir akan Liang gi-kiam hoat ini."
"Ya, akupun tahu bahwa Liang gi-kiam hoat hanya boleh diajarkan kepada calon yang dipilih oleh ketuanya sendiri, oleh karena itu, murid-murid Butong yang benar-benar mahir menggunakan Liang gi kiam hoat paling banyak hanya empatlima orang diantara sepuluh orang."
"Akan tetapi pihak Mo Kau selalu membuka pintu perguruannya lebarlebar, malah begitu masuk perguruan lantas boleh meyakinkan ilmu pedang, murid-murid Butong jarang turun gunung, sebaliknya murid-murid Mo kau malang melintang dan bersimaharaja di Bulim, maka apapun yang harus dikatakan, tentunya orang-orang yang pernah menyaksikan Sip-hun-toakiu- sek, tentunya beberapa lipat lebih banyak dari orang-orang yang pernah menyaksikan Liang gi kiam hoat. Akan tetapi Sip hun toa kiu sek justru tidak begitu terkenal dan disegani seperti Liang gi kiam hoat, apakah sebabnya?"
Tanpa sadar oh Thi-hoa mengelus-elus hidung, mulutnya menggumam.
"Ya, memang suatu hal yang ganjil."
"Sudah tentu merupakan suatu yang ganjil dan aneh, namun ayah sudah berhasil menyelami dan tahu dimana letak keganjilannya."
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa gelak-gelak, serunya.
"Sekarang akupun sudah tahu!"
"Mohon petunjuk"
Pinta Li Giok-ham.
"Soalnya ajaran ilmu pedang Bau-biau bu-hong dari Sip-hun-kiu-sek amat mendalam dan tinggi, maka orang-orang yang benar-benar dapat mempelajari inti ilmu pedangnya belum pernah ada, belum lagi ajaran ilmu pedang mereka matang, lantas malang melintang di kalangan Kangouw, sudah tentu mereka harus sering menghadapi kegagalan dan runtuh total, oleh karena itu didalam pandangan umum ilmu pedang mereka ini jadi tawar dan kurang bermutu."
"Memang hal ini merupakan salah satu alasannya, namun bukanlah sebabsebabnya yang utama."
Kata Li Giok-ham.
"O! Lalu apakah yang menjadikan sebab yang utama?"
"Soalnya pedang itu sendiri adalah benda mati, sebaliknya manusia berdarah daging dan punya jiwa, oleh karena itu seseorang yang menggunakan pedang harus dapat memainkan ilmu pedang dengan hidup dan senyawa dengan dirinya, barulah betul-betul dapat menampilkan kehebatan dan intisari ilmu pedang itu."
"Bukankah apa yang kukatakan tadi adalah soal ini juga?"
Tanya Oh Thihoa. Mendadak Coh Liu-hiang tertawa, katanya.
"Bukan ilmu pedang muridmurid Mo-kau tidak matang, adalah karena hati mereka yang nyeleweng dari kebenaran, sepak terjang mereka keluar garis dari batas-batas perikemanusiaan, oleh karena itu setiap kali tempur tidak dapat berkobar dari semangatnya, oleh karena itu pula umpama benar ilmu pedang mereka lebih tinggi dari orang lain, akhirnya toh terkalahkan juga, kata-kata sesat takkan dapat mengalahkan yang lurus, sejak dahulu kala mengambil teori dari kenyataan ini."
Lalu dia berputar menghadapi Liu Bu-bi, katanya lebih lanjut dengan tetap tersenyum.
"Apakah kalian suami istri berpendapat apa yang ku uraikan barusan masih masuk diakal?"
Liu Bu-bi batuk-batuk ringan dua kali, katanya tertawa.
"Benar, dua orang bergebrak, yang ilmu silatnya tinggi belum tentu menang, seseorang bila dia punya keyakinan menang, ada kalanya dia benar-benar dapat mengalahkan musuhnya yang lebih tangguh."
Dengan tatapan tajam Coh Liu-hiang awasi muka orang, katanya tandas.
"Tapi seseorang bila merasa bahwa apa yang dia lakukan benar, barulah dia punya keyakinan akan menang, benar tidak?"
Sesaat lamanya Liu Bu-bi menepekur katanya kemudian dengan tertawa lebar.
"Tentunya Coh-siansing sendiri amat paham akan pengertian ini, karena sejak lama aku sudah dengar bahwa Coh Liu-hiang si Maling Romantis tidak pernah kalah dalam segala medan laga, perduli betapapun tinggi dan tangguh kepandaian lawannya, dia tetap punya keyakinan bahwa dirinya takkan terkalahkan."
Berkata Coh Liu-hiang dengan nada berat.
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah karena Cayhe percaya apa yang kulakukan, selamanya tidak pernah merugikan orang lain, kalau tidak umpama ilmu silatku setinggi langit, entah sudah berapa kali aku dibikin mampus oleh orang."
Belum Liu Bu-bi sempat bicara, Li Giok-ham sudah mendahului.
"Selama ratusan tahun mendatang entah berapa banyak peristiwa pertempuran besar dalam Bulim yang kenamaan, sering kali terjadi yang lemah berhasil menundukkan yang kuat, hal inipun merupakan peroalan yang dibuat heran pula oleh ayah. Umpamanya, waktu Mokau Kaucu Tokko Jan menempur Tionggoan Tayhiap Thi Tiong siang di puncak Yam-thang dulu, sebelum pertempuran itu berlangsung, kaum persilatan sama beranggapan Thi Tiong siang yang belum genap berusia tiga puluh pasti takkan ungkulan melawan Tokko Jan yang tinggi ilmu silatnya, mendalam Lwekangnya. Apalagi kepandaian silat ajaran dari Thi hiat-toa-ki-bun, jelas bukan tandingan dan tidak setinggi kepandaian orang-orang Mokau, oleh karena itu banyak orang-orang Kang-ouw yakin bahwa Tokko Jan akhirnya pasti akan menang, malah ada yang berani bertaruh dengan mengapit satu lawan sepuluh, dipertaruhkan didalam delapan ratus jurus Tokko Jan mesti berhasil mengalahkan Thi Tiong-siang."
"Peristiwa itu, aku sendiripun pernah mendengar."
Ujar Oh Thi-hoa.
"Siapa tahu, kedua tokoh puncak ini ternyata harus bertempur tiga hari tiga malam, belakangan meski Thi Tiong sian sudah terluka tiga belas tempat di badannya, seluruh pakaiannya boleh dikata sudah berlepotan darah, akhirnya dengan Siau-thian-sing-ciang lalu dia berhasil menggetar putus urat nadi Tokko Jan sampai sebelum ajalnya, Tokko Jan masih belum mau percaya akan kenyataan yang dihadapinya bahwa dirinya betul-betul sudah kalah."
Berseri dan bergsirah semangat Oh Thi-hoa mendengar cerita ini, katanya bertepuk tangan.
"Thi Tiong sian Thi Tayhiap itu memang seorang laki-laki sejati, laki-laki gagah yang tiada taranya, kelak bila ada kesempatan aku bisa bertemu dengan beliau, apalagi kalau bisa minum bersama dia tiga hari tiga malam tak sia-sialah perjalananku selama ini."
"Tapi yang betul betul membuat ayah amat heran adalah sejak dulu kala sampai sekarang dalam kalangan Kang-ouw belum pernah terjadi adanya Kiam-tin "barisan pedang"
Yang kokoh kuat dan tak pernah terkalahkan."
"Barisan pedang?"
Tanya Oh Thi-hoa.
"Tidak salah, barisan pedang. Pak to chit-kiam-tin dari Coan cin-kau, Patkwa- kiam-tin dari Butong pay, meski sudah lama menjagoi dan kenamaan di Kangouw namun bila kebentur seorang tokoh kosen yang betul-betul berisi, seolah-olah barisan pedang ini menjadi tak berguna lagi."
"Benar, sampai sekarang belum pernah aku dengar ada tokoh kosen yang mana pernah gugur di dalam barisan pedang."
Ujar Oh Thi-hoa.
"Memang tidak sedikit tokoh-tokoh kosen dalam dunia persilatan ini yang gugur oleh ilmu pedang Butong pay, namun tiada seorang pun yang pernah gugur didalam Pat-kwa kiam tin, apakah Oh-heng tidak merasa ganjil dan heran akan kejadian ini?"
"Setelah mendengar uraianmu, akupun jadi merasa heran. Pat kwa-kiamtin sedikitnya harus dijalankan oleh gabungan delapan orang, malah harus sudah dilatihnya dengan matang dan sempurna betul, setiap gerak-gerik mereka harus bisa kerja sama dengan rapi dan harmonis, maka menurut teori, menghadapi musuh dengan menggunakan Pat kwa-tin hasilnya seharusnya jauh lebih gemilang daripada bertempur satu lawan satu."
"Akan tetapi didalam menghadapi musuh tangguh Pat-kwa-kiam-tin, ini kebalikannya, tak berguna sama sekali, memang boleh dikata tiada suatu barisan pedang yang betul-betul dapat menunjukkan perbawanya yang sejati dalam dunia persilatan, memangnya kenapa hal ini bisa terjadi?"
"Oh Thi-hoa menepekur, katanya kemudian.
"Itulah kemungkinan karena setiap barisan pedang dari golongan atau aliran manapun, pasti menunjukkan titik lobang kelemahannya."
"Umpama benar barisan pedang itu menunjukkan lobang kelemahan, tapi segala ilmu pedang dalam jagat ini tiada satu ilmu pedang dari cabang manapun yang tak menunjukkan kelemahannya, memangnya betapa bisa terjadi ilmu pedang yang dilakukan oleh gabungan tenaga delapan orang justru tak lebih unggul dari kekuatan ilmu pedang satu orang?"
Tak tertahan, kembali Coh Liu-hiang mengelus-elus hidung, katanya.
"Apakah ayahmu pun sudah memahami akan seluk-beluk dan sebab musababnya?"
"Sebabnya ialah, meski Pat-kwa kiam-tin itu memang hebat dan dahsyat, sayangnya didalam murid-murid Butong pay yang sekian banyaknya itu, justru sulit ditemukan delapan orang yang mempunyai bobot kepandaian rata, oleh karena itu meski barisan pedang itu sendiri amat lihai, namun bila pelaku pelakunya tidak mempunyai landasan silat dan Lwekang yang tinggi dan merata, setiap kali menghadapi tokoh-tokoh sejati, tidak sulit barisan ini dibikin kocar-kacir. Umpama kata Siaute berhasil mempelajari ilmu pedang yang tiada taranya sejagat ini, namun kebentur dengan tokoh kosen dari aliran Lwekeh seperti Coh-heng, terang akupun bakal terjungkal roboh."
"Ah, Li-heng terlalu merendah diri."
Ujar Coh Liu-hiang tertawa.
"Akan tetapi,"
Ujar Oh Thi-hoa.
"sedikitnya adalima anak murid Butong pay yang memiliki Lwekang tinggi."
"Apakah Li heng maksudkan Bu-tong Ciangbun dan ke empat Hu-hoatnya?"
"Ya, mereka cukup diagulkan."
"Umpama kata kelima orang ini ikut bertempur didalam Pat-kwa kiam-tin, namun toh masih kurang tiga orang lagi. Jikalau begitu saja mencari tiga orang untuk menggenapi jumlahnya, maka barisan ini akan menunjukkan banyak kelemahannya."
"Ya, tidak salah,"
Ujar Oh Thi-hoa menghela napas.
"Begitu barisan pedang menunjukkan kelemahan bila kebentur tokoh silat yang benar-benar tinggi kepandaiannya, tentu titik kelemahan itu bakal menjadi incaran serangannya, jika salah satu dari ke delapan orang ini dirangsek dan sulit balas menyerang, seluruh barisan akan sulit dimainkan dengan lancar dan sempurna, tatkala itu gabungan delapan orang bakal lebih konyol dan takkan unggul dari kekuatan satu orang."
Sampai disini Li Giok-ham tertawa sambil menelan ludah.
"Apalagi ke empat Bu-hoat dari Butong itu belum tentu mempunyai Lwekang dan kepandaian silat yang sebanding, belum tentu mereka terhitung tokoh-tokoh yang benar-benar kosen."
Coh Liu-hiang tertawa, kembali dia menimbrung.
"Dan lagi tokoh-tokoh kosen yang sejati sekali-kali takkan gampang mau menceburkan diri didalam gabungan barisan pedang, karena setiap bertempur mereka mengutamakan bertanding secara jujur satu lawan satu, mana sudi bergabung dengan orang melawan musuh?"
"Benar, memang begitulah kenyataannya. Menurut tradisi pihak Butong pay turun temurun sejak dulu kala, tak seorang pun Ciangbunjin mereka yang pernah ikut dalam permainan barisan pedang, apalagi golongan pedang seperti Bu-tong pay yang amat disegani dan mempunyai anak didik yang begitu banyak, mereka toh sulit untuk menemukan delapan orang benarKoleksi
KANG ZUSI benar dapat bekerja sama dan setingkat untuk menggerakkan barisan apalagi partai atau golongan lain?"
"Sudah ngobrol setengah harian, belum lagi kau jelaskan keinginan bapakmu yang belum terlaksana itu?"
Teriak Oh Thi-hoa.
"Belum juga kau jelaskan bantuan apa yang mesti kami lakukan."
"Setelah ayah berhasil menyelidiki dan menyelami berbagai barisan pedang sejak jaman dulu sampai masa kini, beliau berhasil menciptakan barisan pedang. Menurut pandangan beliau, dalam kolong langit ini, pasti takkan ada manusia manapun meski kepandaian silatnya setinggi langit dapat memecahkan barisan ilmu pedang ciptaannya itu, tapi selama puluhan tahun tak bisa dibuktikan. Inipun salah satu hal yang paling disesalkan beliau."
Setelah menghela napas, lalu menambahkan.
"Karena untuk membuktikan hal ini, kami menghadapi dua persoalan yang maha sulit, pertama. Walaupun beliau sudah mengurangi person dari barisan pedang ini menjadi enam orang, namun sulit juga untuk mencari enam tokoh-tokoh yang mempunyai Lwekang sebanding."
"Entah dalam pandangan beliau, orang-orang macam apa baru terhitung tokoh kosen yang setaraf untuk melakukan barisan pedangnya itu? tanya Coh Liu-hiang.
"Lwekang orang ini paling tidak harus setanding atau setaraf dengan kepandaian para Cian-bun dari tujuh partai besar masa kini, dan lagi dia harus seorang ahli dalam ilmu pedang, umapamanya..."
"Umpamanya Swe It hang"
Tukas Coh Liu-hiang tawar. Tampaberubah air mukanya, Li Giok-ham menyambung.
"Tidak salah, sayang tokoh kosen berkepandaian ilmu pedang setaraf Swe cinpwe, mencari seorang saja sudah amat sulit, apalagi hendak sekaligus menemukan enam orang, tentu sulitnya seperti manjat ke langit."
Berkilat biji mata Coh Liu-hiang, katanya.
"Bagi orang lain memang sesulit memanjat langit untuk menemukan enam tokoh ahli pedang yang setanding dan setinggi itu, tapi mengandal gengsi, ketenaran dan kebesaran ayahmu, bukan suatu hal yang mustahil untuk mengundangnya dengan mudah."
"Benar, diantara para sahabat ayah yang sekian banyaknya, memang ada beberapa yang boleh dikatagorikan sebagai tokoh kosen tingkat atas namun para Cianpwe ini semua bebas seperti bangau liar yang suka kelana atau sama mengasingkan diri, sukar dicari jejaknya, oleh karena itu sampai hari ini ayah baru berhasil mengumpulkan enam orang yang diperlukan."
Terkesiap darah Oh Thi-hoa, teriaknya.
"Kalau demikian, bukankah keinginan ayahmu sudah terlaksana?"
Li Giok-ham menghela napas, ujarnya.
"Oh-heng jangan lupa, dalam melaksanakan keinginan tadi, masih kebentur oleh kesulitan kedua."
"Masih ada kesulitan apalagi?"
Berkata Li Giok-ham pelan-pelan.
"Untuk membuktikan apakah barisan pedang ini benar-benar tiada kelemahannya, maka diperlukan seseorang untuk memecahkannya, justru orang ini jauh lebih sulit ditemukan. Karena bukan saja orang ini harus memiliki kepandaian silat yang tiada taranya, kecerdikan otak yang luar biasa, harus memiliki rekor tempur yang gemilang lagi, pernah mengalahkan tokoh-tokoh silat yang berkepandaian tinggi pula,"
Sampai di sini matanya mengawasi Coh Liu-hiang, serta menabahkan.
"Karena hanya orang seperti itu, baru betul-betul dapat menguji sampai dimana kesempurnaan barisan pedang ciptaan ayahku itu, betul tidak? "
Coh Liu-hiang adem ayem, katanya tersenyum.
"Entah dalam pandangan Li heng, orang bagaimana baru setimpal untuk membuktikan kesempurnaan barisan pedang itu?"
"Setelah Siaute pikir pulang pergi, dalam dunia ini hanya ada seorang saja"
"Siapa?"
"Coh-heng sendiri."
Katanya sambil menatap Coh Liu-hiang.
"Asal Coh-heng sudi turun tangan, maka keinginan ayah pasti segera bisa terlaksana."
Sikap Coh Liu-hiang tetap tenang, katanya kalem.
"Apakah aku diberi kesempatan untuk memilih?"
"Tiada!"
Sambut Li Giok-ham. Oh Thi-hoa berjingkrak beringas, serunya dengan terbelalak.
"Kau suruh dia bertanding dengan enam orang yang berkepandaian setaraf Swe Ihhang, bukankah kau hendak mencabut jiwanya?"
Li Giok-ham mandah tertawa saja tak bersuara. Coh Liu-hiang berkata tertawa ewa.
"Kau tidak usah gugup, jiwaku ini toh kupungut kembali, jikalau mati di Yong-cui san-cheng, bukankah boleh dikata tepat dan sesuai tempat kuburku?"
Oh Thi-hoa melongo tiba-tiba dia meraihnya terus diseret ke samping, suaranya serak.
"Kau... apa kau yakin dan punya pegangan?"
"Tidak."
"Kalau tidak yakin, kenapa kau suruh aku tak usah gelisah?"
"Urusan sudah terlanjur sedemikian lanjut, apa gunanya gelisah?"
Berputar biji mata Oh Thi-hoa, katanya dengan nada berat.
"Mari sekarang juga kita terjang keluar bersama, kukira sekarang masih ada waktu."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya.
"Kukira sudah terlambat."
Kerai bambu tergulung naik pula, beberapa orang beriring beranjak masuk.
Beberapa orang ini sama mengenakan pakaian serba hitam legam, jubah panjang sutra yang halus dan paling mahal.
Jubah sutra hitam yang kemilau sedemikian lemas melambai laksana air beriak, tapi dikala mereka bergerak, riak gelombang seperti gerakan air itu sedikitpun tidak kelihatan, seolah-olah setiap langkah kaki mereka meluncur di permukaan salju yang licin, seenteng kecapung, selicin belut.
Muka mereka bercadar secarik kain hitam pula, sampaipun biji mata merekapun tertutup rapat, tiada seorangpun yang bisa mengenal siapasiapa saja beberapa orang ini.
Setiap gerak-gerik mereka secara reflek menimbulkan wibawa yang tak terasakan, meskipun tiada orang yang tahu asal usul dan siapa sebenarnya orang-orang ini, namun tiada seorangpun yang berani memandang enteng mereka.
Orang pertama berbadan kurus tinggi, berdiri tegak laksana tombak, tangannya menenteng sebilah pedang kuno yang bentuknya aneh kemilau terbuat dari tembaga.
Orang kedua pendek dan kurus, orang ketiga berperawakan tinggi kekar dan berdada lebar berpundak tinggi, kedua orang ini berjalan beriring, kelihatannya amat menyolok bedanya.
Pedang ditangan kedua orang ini sama-sama memancarkan cahaya terang, jelas bukan senjata sembarangan, tapi bentuk pedangnya tidak luar biasa, siapapun yang melihatnya pasti dapat menerka bahwa kedua pedang ini pasti punya asal usul yang luar biasa.
Perawakan orang ke empat biasa saja, senjata yang dibawapun Ceng-kongkiam biasa umpama dia menenteng pedang ke jalan raya, orang lain takkan melirik dua kali kepadanya.
Orang kelima pendek dan tambun, perutnya gendut seperti keong, pedang di tangannya seperti besi bukan emas, setelah ditegasi ternyata hanya sebatang kayu yang dipapas dalam bentuk seperti pedang.
Kelima orang ini beriring masuk tanpa bersuara, tiada menunjukkan gerakan apa-apa.
Tapi kehadiran mereka seketika membuat hawa dalam kamar ini bergolak, seolah-olah diliputi hawa membunuh yang tebal mencekam perasaan setiap orang, sehingga bulu kuduk merinding.
Oh Thi-hoa mengkirik seram dan berkuatir bagi keselamatan Coh Liuhiang, karena sekilas pandang dia sudah tahu, kedudukan tingkat dan kepandaian silat kelima orang ini, pasti takkan ada seorangpun yang lebih rendah dari Swe It-hang.
Tapi Coh Liu-hiang tetap tersenyum simpul katanya sambil menjura kepada kelima orang itu.
"Cayhe ada dengar Yong-cui-san-cheng katanya kedatangan beberapa tokoh kosen, aku sudah mendapat firasat hari ini pasti aku akan dapat berkenalan dengan kegagahan para Cianpwe, sungguh harus dibuat girang, siapa tahu para Cianpwe ternyata tidak sudi memperlihatkan muka asli, masing-masing sungguh harus disesalkan sekali."
Kelima orang serba hitam itu tetap berdiri tidak bergerak tiada yang buka suara. Kata Coh Liu-hiang pula.
"Umpama para Cianpwe segan memperlihatkan muka aslinya, kenapa pula biji matapun harus diselubungi?"
Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu tiba-tiba buka suara.
"Kaum kita sudah menjiwai ilmu pedang, buat apa harus menggunakan mata?"
Walau hanya mengucapkan beberapa patah kata saja, namun seluruh bangunan gedung terasa oleng oleh getaran suara yang bergema keras memekak telinga, cangkir dan poci di atas mejapun bergemeretak.
"Cayhe tahu, bagi setiap ahli setiap kali turun tangan tentu mempunyai perhitungan yang matang hakekatnya tidak perlu menggunakan mata, tapi masakah para Cianpwe tidak ingin mengetahui siapakah sebenarnya dan bagaimana tampang musuh yang harus kalian hadapi bersama?"
Kali ini tiada orang yang menjawab. Kelima orang tetap diam tidak memberikan reaksi. Sesaat kemudian malah Li Giok ham yang bersuara dengan tertawa.
"Kelima Cianpwe ini selama hidupnya belum pernah bertanding melawan orang secara gabungan setelah hari ini, merekapun takkan mungkin bergabung melawan musuh, oleh karena itu bukan saja beliau-beliau ini tidak mau memperlihatkan asal usul dirinya kepada kau merekapun tidak perlu tahu siapa dan macam apa tampangmu, kelima Cianpwe ini tidak sedih hanya ingin membuktikan dan melaksanakan keinginan ayah saja."
"Benar"
Ujar Liu-hiang sinis,."
Akupun tahu kedatangan kelima Cianpwe hari ini, lantaran mereka hutang budi terhadap ayahmu, tapi peristiwa hari ini sebetulnya memang keinginan ayahmu ataukah melulu keinginanmu sendiri?"
Berubah air mata Li Giok-ham, sahutnya.
"Sudah tentu atas keinginan ayah."
Mata Coh Liu-hiang melotot mengawasinya, katanya.
"Lalu keinginan ayahmu hanya ingin membuktikan kehebatan ciptaan barisan pedangnya? Atau ingin membunuh aku?"
Pucat muka Li Giok-ham, sesaat lamanya dia mati kutu dan tak mampu menjawab. Liu Bu-bi tertawa riang selanya.
"Apapun yang bakal terjadi, kukira kedua persoalanmu ini tidak bedanya lagi."
"O? Kenapa tak berbeda?"
Kerlingan mata Liu Bu-bi yang genit mendadak berubah begitu kejam, katanya sepatah demi sepatah sambil melotot. "Karena jikalau barisan pedang ini tak punya kelemahan, maka tuan pasti akan menjadi tumbal dari terciptanya barisan pedang sakti ini."
"Memangnya bagaimana kalau barisan pedang ini benar-benar ada kelemahannya?"
"Umpama benar barisan pedang ini ada kelemahannya, tapi di bawah permainan kelima Cianpwe ini, kukira tuan takkan mampu menerjang keluar dari barisan."
Coh Liu-hiang tertawa besar sambil menengadah katanya.
"Betul, sekali umpama lobang kelemahan barisan ini seratus banyaknya atau tidak merupakan barisan pedang yang sesungguhnya, dengan gabungan tempur kelima Cianpwe yang kosen ini, mungkin tiada seorangpun di kolong langit ini yang mampu menandinginya."
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. benar, syukur kalau kau mengerti."
Ujar Liu Bu-bi.
"Kalau begitu kenapa pula kalian harus pakai embel-embel dengan barisan pedang segala, perduli bagaimana keadaannya, kenapa tak dikatakan terus terang saja bahwa jiwaku diinginkan terkubur di sini, bukankah lebih praktis dan gampang."
"Dalam hal ini jelas harus dibedakan dan memang berbeda."
Kata Liu-Bubi.
"O, apa bedanya?"
"Kalau kelima Cianpwe ini bergabung menempurmu, meski kau tidak kuat melawan, tapi kau masih mampu melarikan diri, Ginkang tuan tiada bandingan di seluruh dunia, hal ini cukup diketahui orang banyak."
"Pujian melulu?"
"Tapi begitu barisan pedang ini bergerak, umpama tuan tumbuh sayappun jangan harap bisa meloloskan diri sebelum jiwanya ajal!"
Lama Coh Liu-hiang menepekur, katanya kemudian pelan-pelan.
"Sebetulnya ada permusuhan apakah aku dengan kalian suami istri, begitu besar tekad kalian hendak menamatkan jiwaku?"
Berputar biji mata Liu Bu-bi,katanya dingin.
"Tadi sudah kami jelaskan, ini bukan keinginan kamu, adalah keinginan ayah mertua."
Tampak orang tua atau Li Koan-hu itu masih duduk terlongo hampa di tempatnya tanpa bergerak, matanya redup dan menatap pedang dihadapannya dengan tatapan kosong. Coh Liu-hiang menghela napas, katanya.
"Perduli apa benar adalah keinginan beliau? Yang terang toh tiada seorangpun diantara kalian yang bisa mendapatkan penjelasannya."
Mendadak Oh Thi-hoa menjerit.
"Apakah barisan ini harus dibentuk terdiri enam orang? Tapi kenapa yang hadir hanyalima orang?"
Liu Bu-bi mengiakan. Diam diam bersorak hati Oh Thi-hoa, katanya tertawa.
"Tentunya kalian tidak pernah membayangkan bila Swe lo-hiang akan tinggal pergi begitu saja tanpa kembali lagi."
"Swe locianpwe datang atau tidak, tidak menjadi soal."
"Tidak menjadi soal?"
Seru Oh Thi-hoa tertegun.
"Kenapa tidak menjadi soal? Kalau kurang satu orang barisan...
"
Liu Bu-bi menukas kata katanya.
"Masakah kau belum pernah dengar, orang luarpun boleh saja menggenapi keadaan?"
Tanpa menghiraukan Oh Thi-hoa lagi, segera dia membalik menghadapi kelima Cianpwe serta menjura hormat, katanya.
"Wanpwe pernah ikut latihan barisan ini, sampai sekarang masih segar dalam ingatanku. Swe locianpwe tidak hadir, terpaksa biar Wanpwe menduduki posisinya, semoga para Cianpwe suka memberi bantuan dan melindungi, tak terhingga rasa terima kasih Wanpwe."
Laki laki kurus tinggi yang terdepan itu mendadak bersuara.
"Kenapa tidak kau suruh suamimu turun tangan?"
Liu Bu-bi melengak, sahutnya tersekat.
"Itu..."
Laki laki bertubuh pendek itu menimbrung dengan suara bengis.
"Memangnya kau kira bahwa ilmu pedangmu lebih tinggi dari ahli waris keluarga Li?"
Ditengah sentakannya, pedang di tangannya tahu-tahu berubah menjadi caplok bintik-bintik yang tersebar seperti bintang perak berkembang bertaburan.
Dengan mendelong Liu Bu-bi pandang titik-titik perak itu, badannya sedikitpun tak bergerak bukan saja tak berkelit diapun tak melawan, seolah-olah di sudah tahu bahwa gerakan pedang ini hanya gertakan belaka.
Memang bintik-bintik perak yang bertaburan itu setiba di depan mukanya, secara ajaib tahu-tahu lenyap tak keruan paran.
"Bagaimana?"
Tanya laki-laki kurus tinggi itu.
"Lumayan"
Sahut laki-laki kurus kecil.
"Terima kasih Cianpwe"
Seru Liu Bu-bi tertawa senang. Tibatiba dia berputar menghampiri ke depan Li Koan-hu, katanya menjura dalam.
"Mohon ayah mertua suka meminjamkan pedang ini kepada putrimu."
Jilid 34 Dengan tatapan kosong orang tua itu melirik kepadanya, lalu tertunduk pula tak memberikan reaksi apa-apa. Liu Bu-bi langsung meraih pedang itu, lalu menjura pula katanya.
"Terima kasih akan kemurahan kau orang tua."
Bicara sendiri dijawab sendiri dengan begitu saja dia terus ambil pedang pusaka di hadapan orang itu.
Kulit daging dimuka orang tua kelihatan berkerut-kerut gemetar, sorot matanya tiba-tiba memancarkan sinar terang laksana bintang menyala namun sepatah katapun tak mampu bersuara.
Oh Thi-hoa mendadak memburu maju berdiri jajar disamping Coh Liuhiang "Apa keinginanmu?"
Tanya Coh Liu-hiang.
"Kalau mereka ada enam orang, kenapa kita tidak boleh dua orang?"
"Kenapa harus dua orang?"
"Dua orang tentunya lebih baik daripada seorang diri."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya.
"Kalau dua orang mati bersama, tentunya lebih baik kalau mati seorang saja."
Oh Thi-hoa mengepal kencang jari-jarinya, belum dia buka mulut Liu Bu-bi sudah mendahului.
"Lebih baik kau dengar nasehatnya! Bila dia seorang diri kemungkinan mempunyai sedikit kesempatan untuk melarikan diri, kalau bersama kau, jangan kata ada harapan, yang terang kalian pasti akan ajal bersama."
Merah padam muka Oh Thi-hoa, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang.
"Kau... kau tidak mau bergebrak berdampingan sama aku?"
Coh Liu-hiang genggam tangannya katanya pelan-pelan.
"Coba kau pikir lagi lebih seksama, sebentar kau akan paham akan maksudku, mulainya bicara, jari-jarinya bergerak menulis huruf "lari"
Ditelapak tangan Oh Thi-hoa.
Maksudnya adalah menganjurkan Oh Thi-ho mengundurkan diri berusaha menolong Soh Yong-yong dan lainnya.
Karena Li Giok-ham suami istri terang akan tumplek seluruh perhatiannya di dalam kamar ini, yang pasti kedua orang ini tak akan meninggalkan tempat ini sebelum urusan disini selesai, maka tempat-tempat lain dari Yong cui san ceng pasti kosong melompong.
Inilah kesempatan paling baik untuk menolong orang.
Akhirnya Oh Thi-hoa menarik napas panjang katanya.
"Ya, aku mengerti."
"Baik sekali, aku tahu selamanya kau tak akan membuat aku kecewa."
Sembari bicara kembali jari-jarinya menulis "pergi"
Di telapak tangan Oh Thi-hoa. Maksudnya ialah setelah Oh Thi-hoa menolong Soh Yong-yong berempat harus meninggalkan tempat ini. Kembali berubah air muka Oh Thi-hoa katanya.
"Tapi kau..."
Lekas Coh Liu-hiang meremas jarinya, katanya dengan tertawa.
"Jikalau kau adalah sahabat baikku, maka kau harus beri kesempatan paling baik supaya aku tekun dan bergebrak sepenuh hati, toh kau juga sudah tahu niatku, jikalau ada persoalan lain memberatkan perhatianku, maka kesempatan untuk sedikit menangpun tiada lagi dalam benakku."
Sebentar Oh Thi-hoa berpikir, akhirnya dia manggut-manggut dengan rasa berat, terasa jari-jari Coh Liu-hiang masih sedemikian tenang dan hangat, begitu teguh dan besar tekadnya sebaiknya tangan sendiri berkeringat dingin.
Tak tahan dia balas menggenggam tangan Coh Liu-hiang kencang, keduanya berhadapan saling pandang sekian lamanya.
Akhirnya Coh Liu-hiang membalik badan, katanya kalem.
"Cayhe sudah siap, silahkan para Cianpwe mulai!"
Oh Thi-hoa bukan seorang pesimis yang gampang putus asa, dan lagi selamanya dia amat yakin dan menaruh kepercayaan besar terhadap kebolehan ilmu silat Coh Liu-hiang tapi sekarang, entah kenapa tanpa dia sadari biji matanya berkaca-kaca dan berwarna merah.
Kata Liu Bu-bi mengawasi Coh Liu-hiang.
"Masakah sampai detik ini kau masih tidak mau menggunakan senjata?"
"Dalam keadaan seperti ini, pakai senjata atau tidakkan sama saja."
Laki-laki kate gemuk itu mendadak terloroh-loroh, katanya.
"Nyali orang ini ternyata tidak kecil."
"Cianpwe terlalu memuji, sebenarnya nyali Cayhe biasanya amat kecil, setiap kali sebelum bertempur dengan orang, hatiku pasti amat ketakutan, tapi setelah gebrak dimulai, rasa takut seketika sudah terlupakan sama sekali"
Tapi dengan habis kata-katanya, mendadak laksana kilat ia turun tangan lebih dulu, jarinya terlekuk laksana cakar garuda menyergap dengan jurus Sian-hong-jiang-cu "sepasang naga berebut mutiara", yang dituju adalah sepasang mata Liu Bu-bi.
Karena tidak menduga duga dan tidak siaga, saking kejutnya Liu Bu-bi menarik diri mundur beberapa langkah.
Tak nyana serangan Coh Liu-hiang ini hanya gertak sambel saja, secepat kilat tangan kirinya ikut bergerak, sementara jari telunjuk dan jari tengah tangan kananya, tahu-tahu sudah menjepit ujung pedang ditangan Liu Bubi.
Seketika Liu Bu-bi rasakan segulung tenaga dahsyat menerjang datang menggetar seluruh batang pedangnya dengan keras, saking besar tenaga getaran lawan, jari dan lengannya terasa linu kemeng, pedang panjang tak kuasa dicekal lagi, terlepas dan terampas.
Belum lagi dia berdiri tegak didengarnya Coh Liu-hiang berseru lantang.
"Terimakasih akan pinjaman pedang ini. Banyak terima kasih, terima kasih."
Ditengah gelak tawanya pedang bercahaya kemilau laksana reflek sinar matahari di permukaan air itu tahu-tahu sudah berada di tangannya namun ia tetap memegang ujung pedang itu dengan ketiga jari-jarinya lalu gagang pedang tahu-tahu ia menjojoh kepada laki-laki tinggi yang berdiri di ujung kiri.
Laki-laki kurus tinggi baju hitam itu berseru memuji.
"Gerakan tangannya yang cepat sekali."
Berapa patah katanya saja, bukan saja ia sudah berkelit dari serangan Coh Liu-hiang, malah cahaya pedang di tangannya berkelebat tahu-tahu ia sudah balas menyerang dua jurus.
Saking kaget tadi serasa arwah Liu Bu-bi terbang ke awang-awang, belum lagi rasa kejutnya hilang dan hati belum tenang, berdiri melongo di tempatnya, tahu-tahu barisan pedang di depannya sudah mulai bergerak, Li Giok-ham membanting kaki, segera dia lolos pedang menerjang maju menambal lowongan yang masih kosong.
Maka cahaya pedang mendadak bertaburan saling membelit seperti gugusan gunung terselubung bianglala, angin dingin menyambar tajam berseliweran.
Pedang-pedang itu sudah berubah merupakan tabir cahaya yang menggulung lenyap seluruh bayangan Coh Liu-hiang.
Begitu keras sambaran angin yang mendampar keluar dari arena pertempuran sampai Liu Bu-bi terdesak mundur sempoyongan ke pojok dinding, roman mukanya pucat pias tak berdarah, sesaat lamanya, tetes demi tetes air mata meleleh membasahi pipinya.
Coh Liu-hiang menyergap, merebut pedang, melancarkan serangan, Liu Bubi terdesak sempoyongan, Li Giok-ham segera merangsek maju maka barisan pedang segera bergerak, semua ini terjadi hampir dalam waktu yang sama.
Jantung Oh Thi-hoa sampai berdetak keras seperti hendak mencotot keluar dari rongga dadanya, melihat pertempuran hebat ini, saking kejut dan girangnya, hampir tak tertahan dia hendak bersorak dan tepuk tangan, tindakan yang dilakukan Coh Liu-hiang ini memang patut diberi pujian dan disoraki.
Menang kalah dari hasil pertempuran dahsyat ini meski belum bisa diketahui, tapi sedikitnya Coh Liu-hiang sudah berhasil merebut inisiatif penyerangan lebih dulu, sehingga didalam waktu dekat barisan ini sukar menunjukkan perbawaannya yang hebat.
Dan lagi pengetahuan dan latihan Li Giok-ham akan barisan pedang ini terang tak sepaham atau lebih mendalam dari Liu Bu-bi, kini dengan dia yang mengganti kedudukan Liu Bu-bi, sedikit banyak barisan ini akan kehilangan sedikit keampuhannya.
Menghadapi suatu pertempuran besar yang begini dahsyat, sungguh Oh Thi-hoa amat berat untuk tinggal pergi, ia tak tega meninggalkan Coh Liuhiang adu jiwa seorang diri disini.
Tapi bagaimana juga dia harus menyingkir karena dia insyaf bila dirinya tidak berlalu pasti Coh Liu-hiang akan terpecah perhatiannya, sudah tentu dia cukup tahu didalam pertempuran sengit yang hebat ini, siapapun bila konsentrasinya terpecah, kemungkinan dia bakal menggunakan tipu dan jurus permainan yang keliru dan sedikit kekeliruan ini cukup menamatkan riwayatnya.
Bagi pertempuran tokoh-tokoh kosen, tinggi rendah dan kuat lemah dari ilmu silat seseorang sudah tentu memegang peranan penting tapi dalam melancarkan serangan dan gerak geriknya kalau tidak diperhitungkan dengan seksama dan tepat unsur ini lebih besar akibatnya untuk menamatkan jiwa sendiri.
Di pojokan kamarsana sebuah jendela yang terpentang lebar-lebar, Oh Thi-hoa kertak gigi, tiba-tiba dia menerjang keluar darisana .
Pepohonan di taman kembang ini amat subur dan lebat, sekelilingnya sunyi sepi tidak kelihatan bayangan seorangpun.
yang terdengar hanya desiran angin kencang dari samberan pedang didalam kamar.
begitu cepat dan ramai suara terdengar adanya suara benturan keras.
Dari sini dapatlah dibayangkan betapa hebat, rapat dan lincah kombinasi permainan ke enam orang, kiranya memang sudah mencapai puncaknya.
Tak tertahan Oh Thi-hoa berpaling ke dalam lewat jendela, tampak samberan sinar pedang yang menjadi tabir kemilau itu semakin lama semakin rapat dan ketat, tak tampak sedikitpun lubang kelemahannya.
Sungguh dia tidak habis mengerti, bagaimana Coh Liu-hiang bisa membobol kepungan tabir cahaya kemilau ini, lolos dari kepungan barisan pedang, kakinya jadi sulit bergerak melihat keadaan kawannya yang terkepung begitu mengenaskan.
Dalam hati dia berusaha memberi penjelasan kepada diri sendiri.
"Perkampungan ini begini luas, untuk menemukan tiga orang, sungguh umpama mencari jarum di lautan, yang terang aku tak mungkin bisa menemukan mereka, lebih baik aku tetap tinggal di sini menemani dia, jikalau memang dia tak kuat melawan, mungkin aku bisa memberi bantuanku."
Angin pagi menghembus sepoi-sepoi membawa harum kembang, dedaunan pohon bergoyang gontai melambai lambai.
Tata tertib dalam perkampungan besar milik keluarga besar persilatan ini agaknya amat keras, di sini terjadi peristiwa besar seperti ini, pasti takkan ada seorangpun yang berani datang melihat keramaian.
Dikejauhansana tampak asap mengepul melalui celah-celah daun pohon, lapat-lapat terendus oleh Oh Thi-hoa bau masakan bubur yang sedap untuk makan pagi, terang di sebelahsana adalah dapur yang sedang menyiapkan hidangan pagi dan kebetulan sudah beres.
Perduli terjadi peristiwa besar apapun, orang-orang penghuni Yong-cuisan- cheng, tiada yang berani merubah tata-tertib yang sudah merupakan kerja mereka sehari-hari.
tiada seorangpun yang berani meninggalkan tugas yang harus dia kerjakan.
Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala sambil menghirup napas panjang, terasa bau masakan bubur semakin sedap dan merangsang seleranya, baru sekarang ia menyadari bahwa perutnya sudah kelaparan.
Kebetulan dalam hatinya timbul suatu pikiran.
"Peduli dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang harus tangsel perut."
Bukan saja orang-orang penghuni Yongcui- san-ceng harus makan, maka Soh Yong-yong dan lain-lain pun harus makan pula.
Li Giok-ham suami istri menawan mereka sebagai sandera untuk menekan dan mengancam Coh Liu-hiang, pasti mereka tidak akan dibiarkan kelaparan, paling tidak setiap pagi pasti diberi makan.
Asap dapur itu membumbung tinggi di sebelah belakang paya-paya kembang seruni di sebelah timursana .
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oh Thi hoa segera kembangkan Ginkangnya melesat ke arahsana .
Di belakang paya-paya kembang ternyata adalah pagar tembok yang mengelilingi taman bunga ini, dibalik dinding sanapun terdapat beberapa petak pekarangan, di sana banyak dijemur pakaian yang baru saja dicuci, disamping kanan kiri terdapat dua baris bangunan petak-petak rumah, terang disanalah tempat tinggal para kaum hamba dari Yong-cui-san-ceng, tatkala itu kebetulan ada beberapa orang sedang duduk di bawah emperan rumah, mengasah golok menggosok tombak dan membersihkan alat senjata lainnya.
Beberapa laki-laki yang bertelanjang dada sedang bergaya latihan kunthau ditengah pekarangan, mulut mereka sama mengomel, dikatakan pakaian yang terjemur disini terlalu banyak sehingga mengganggu gerak latihan mereka.
Maju lebih jauh, kembali adalah sederetan rumah-rumah atapnya meruncing tinggi, di pucuk dipasangi selubung asap yang tinggi, tiga diantaranya sedang mengeluarkan asap tebal, terang disinilah letak dapur dari keluarga Li yang besar berayatnya ini.
Semula Oh Thi-hoa masih rada tegang, tapi akhirnya dia mengetahui meski banyak orang yang berada dibilangan belakang ini, namun sikap dan tindak tanduk mereka kelihatan malas-malasan dan terlalu iseng.
Maklumlah karena tempat ini adalah dunia mereka, mereka tidak perlu kuatir orang-orang atas datang kemari mengadakan inspeksi, merekapun tidak usah kuatir adanya rampok atau pencuri.
Rampok-rampok yang paling goblok di dunia ini, juga tidak bakal mengincar harta milik orang-orang ini, umpama kata benar ada orang yang berani meluruk ke Yong-cui-san-cheng mencari gara-gara, bukan orang-orang kalangan rendah ini yang dijadikan sasaran, oleh karena itu setiap mereka dapat melegakan hati, maka Oh Thi-hoa sendiri berlega hati.
Sebentar dia berhenti dan biji matanya berputar, mendadak diapun tanggalkan pakaiannya, dengan bertelanjang dada diapun menerobos keluar dari gerombolan kembang, terus mencari tempat yang tidak tersorot cahaya matahari dan duduk disana, menggeliat pinggang mengencangkan kaki tangan, dengan napas yang tersengal-sengal, seolah-olah dia amat keletihan sehabis latihan kunthau, luar dalam dan orang-orang disekitarnya ternyata tiada seorangpun yang memperdulikan dirinya.
Tampak dibawah pohon rindang didepan rumah dapur sana, juga duduk berkelompok beberapa orang, malah ada laki-laki ada perempuan, yang lakilaki sedang berusaha menggoda yang perempuan dan diajak bicara, sebaliknya orang-orang perempuan itu anggap sepi dan tidak rewes ocehan mereka.
first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 23:44:03
oleh Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Misterius -- Gan Kl Lima Jago Luar Biasa -- Sin Liong Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung