Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Burung Kenari 4


Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Bagian 4




   Peristiwa Burung Kenari Karya dari Gu Long

   
Burung gagak di seluruh dunia sama-sama hitam, demikian pula kaum hamba di seluruh dunia ini sama pula, meski tata-tertib Yong-cui-sancheng cukup keras, tapi asal mereka jauh dari pandangan sang majikan, nyali mereka akan menjadi besar, jikalau harus menjaga supaya para budak ini mencari iseng dengan para genduk-genduk itu, tentunya jauh lebih sulit daripada melarang anjing makan tulang.

   Diam-diam Oh Thi-hoa tertawa geli, tampak meski paras genduk-genduk itu memang tidak begitu ayu, namun perawakan mereka sih cukup menggiurkan, dua diantaranya malah lebih menonjol, badannya segar montok dan semampai.

   Apalagi setelah cahaya matahari meningkah badan mereka, pakaian sutera ketat yang membungkus badan mereka yang berisi itu kelihatannya seperti tembus cahaya dan nampak jelas lekak-lekuk potongan badan mereka.

   sampai kulit perutnya yang halus merah itu pun seperti kelihatan, keruan para kacung yang biasanya bekerja terlalu berat itu kini sama melotot tak berkedip seperti serigala kelaparan menghadapi mangsanya, air liur berulang kali ditelannya sampai tenggorokannya turun naik.

   Tak lama kemudian, mendadak terdengar suara kerontangan bunyi wajan yang dipukul bertalu-talu seperti lazimnya penjual martabak memukul wajan menjajakan dagangannya dari dalam dapur.

   Semua laki-laki yang duduk dibawah pohon serempak berdiri, seorang anak muda berseri tawa dan berkata.

   "Kenapa nasi yang mereka masak semakin lama semakin cepat matang, obrolanku belum lagi selesai."

   Seorang genduk genit segera menimbrung dengan tertawa.

   "Kalau nasi hari ini sudah kau gares habis, memangnya besok kau tidak kebagian lagi?"

   Bersinar biji mata anak muda itu, katanya berbisik.

   "Besok kau mau tidak..."

   Tatkala itu orang lain berbondong-bondong menuju ke pintu dapur, derap langkah mereka yang ramai menelan suara bisik-bisik percakapan mereka.

   Tampak seorang laki kekar membusungkan dada dengan perut buntak berdiri diambang pintu, kalau badannya tidak berlepotan minyak dan mukanya kotor oleh asap dan hangus lagaknya mirip benar dengan buaya darat, dengan bertolak pinggang, matanya melotot dan menggembor.

   "Setiap orang ada bagiannya, rebutan apa? Satu-satu berbaris."

   Seorang laki-laki bermuka panjang seperti kepala kuda berseru lancang.

   "Kami orang orang dari kandang kuda setiap hari belum terang tanah sudah harus bangun merawat binatang, setiap hari bangun paling pagi, maka perut kamipun lapar paling dahulu, Tio-lo toa, sukalah kau memberi bantuan kepada kami dulu."

   Melirikpun tidak kepadanya, seperti anggap tak mendengar Tio-lotoa membalik badan dan keluar pula menenteng tenong tiga susun, katanya.

   "Nona-nona dari bagian atas sudah datang belum?"

   Saking dongkol laki muka kuda itu merah padam mukanya, serunya.

   "Jelas kau sudah tahu bila Siao cheng cu sudah pulang, nona-nona dari bagian atas ikut makan dari dapur kecil disana, kenapa harus menyiapkan jatah mereka disini?"

   Tio lotoa tetap tidak perdulikan dia, malah berkata kepada genduk denok itu.

   "Nona-nona bagian atas tidak datang, nah menjadi bagian mu malah."

   Dengan langkah gemulai genduk ini menghampiri, dia singkap tutup tenong dan melongok isinya, lalu melorok kepada Tio lotoa, katanya.

   "Sayurnya rada mending, tapi hanya ada pangsit beberapa butir saja, delapan orang mana bisa cukup?"

   "Kalian genduk-genduk ini memang seharian sibuk lagi makan melulu."

   Comel Tio lotoa tertawa.

   "memangnya tidak takut perutmu gendut terlalu banyak makan? Nanti tak laku kawin lho!"

   Genduk centil itu membanting kaki, katanya.

   "Bagus ya! Kau berani olokolok aku, biar nanti ku adukan kepada Cui-hong cici, supaya malam nanti dia menghukum kau menyunggi poci semalam suntuk."

   Lekas Tio lotoa menyingkir, bujukannya.

   "Sudah, sudah! Nenek moyang kecil, terhitung aku takut kepadamu, biar kutambah satu susun bagaimana?"

   Baru genduk centil itu tertawa pula katanya.

   "Satu susun bolehlah!"

   Lalu dengan menjinjing tenong berisi makanan itu dia tinggal pergi dengan lenggang kangkung, sebelum pergi dia melerok genit sekali kepada Tio lotoa, sudah tentu anak muda itupun tak ketinggalan diberi pelerokan genit.

   Beberapa gadis lainnya beramai ramai maju membawa tenong masingmasing dan berlalu, ada yang pantatnya yang berlepotan minyak itu.

   Kembali laki muka kuda memprotes.

   "Apa belum tiba giliran kami?"

   Hakikatnya Tio lotoa anggap tidak dengar, dengan malas-malas dia menjinjing keluar sesusun tenong pula, seorang perempuan tua yang bermuka burikan segera tampil kemuka, katanya tertawa nyengir.

   "Bagian nona-nona sudah selesai, aku memang tahu bila giliran kami."

   Diapun singkap tutup tenong melongok isinya, katanya tertawa.

   "Orang-orang dibilik kami mengerjakan kerjaan yang kasar, masakah boleh dibanding nona-nona yang halusan itu, lauk-pauk dan nasi sekian ini masakah cukup dimakan? Mohon tambahan nasinya saja."

   Kontan Tio lotoa menarik muka, katanya.

   "Hanya sekian saja jatah nasi kalian, mau tak mau terserah, kalau seluruh penghuni kampung ini makan menurut takaranmu, bukankah keluarga Li bakal bangkrut?"

   Perempuan tua tidak marah, katanya pula unjuk tawa dibuat-buat.

   "Ya, ya, ya, memang kita makan terlalu banyak, tapi kami ini bukan orang tak punya pikiran, kami berani sudah menyiapkan beberapa banyak kain, untuk membuat jaket bagi para toako dari dapur."

   Tio lotoa mendengus hidung, air mukanya kelihatan rada sabar, cukup mengulapkan tangan dua mangkok besar berisi nasi penuh terus dijejalkan kepelukan perempuan tua itu.

   Dari kejauhan Oh Thi-hoa menonton semua kejadian ini, hatinya geli dan dongkol pula, pikirnya.

   "Seorang koki disinipun begini pongah dan sewenang wenang, jikalau dia menjabat pangkat, rakyat jelata pasti ditindasnya setengah mati."

   Cepat sekali pembagian jatah-jatah makanan itu sudah selesai, paling akhir baru tiba giliran bagian orang-orang kandang kuda, laki-laki muka kuda itu menahan sabar, setelah menerima bagiannya diapun singkap dan memeriksa isi tenongnya.

   "Bagian istal kuda adalima orang dewasa empat anak kecil, memangnya hanya diberi sepanci bubur cewer dan beberapa keping bakpau saja?"

   "Benar, hanya sekian saja bagian kalian!"

   Sahut Tio lotoa. Saking marah laki-laki muka kuda itu sampai hijau kulit mukanya, dampratnya.

   "Orang she Tio, kau... terlalu menghina orang!"

   "Apa yang kau inginkan?"

   Ejek orang she Tio.

   "Tidak ingin menerima jatah ini?"

   Keruan laki-laki muka kuda mencak-mencak semakin murka, dampratnya.

   "Lebih baik tuan bersama tidak makan hidanganmu, biar hari ini aku adu jiwa sama kau."

   Tenong makanan itu segera dia ayun terus dibanting ke arah kepala Tio lotoa. Tak kira Tio lotoa agaknya pernah latihan silat, sedikit membalik badan berbareng sebelah tangannya menggenjot, disusul sebelah kakinya menendang, bentaknya bengis.

   "Berani kau membuat gara-gara kepada pihak dapur kami, memangnya kau sudah bosan hidup?"

   Digenjot mukanya dan ditendang terjungkal lekas laki-laki muka kuda merangkak maju menerjang maju pula dengan kalap, tapi dari dalam dapur serempak memburu keluar tujuh delapan laki-laki berseragam koki semua, terang sebentar laki-laki muka kuda ini bakal dihajar habis-habisan.

   Setelah menunggu sekian lamanya, Oh Thi-hoa belum melihat ada orang yang datang atau mengantar jatah bagi makanan Soh Yong-yong berempat, hatinya sedang gundah, pikirnya.

   "Apakah mereka tak terkurung didalam perkampungan ini?"

   Sia-sia saja dia menunggu sekian lamanya, maka timbul niatnya hendak mencari ke lain tempat, namun melihat laki-laki muka kuda itu dianiaya sedemikian rupa, sungguh dongkol dan gemes pula hatinya terhadap para koki yang sewenang-wenang itu.

   Dia tahu sekarang bukan saatnya dia mencampuri urusan orang lain, dasar berangasan dia tak tahan juga menerjang maju.

   Tio lotoa sedang acungkan kepalannya sebesar mangkok itu menghujani tubuh si muka kuda, tiba-tiba dilihatnya seseorang menerjang maju, sekali tampar seorang koki pembantunya dibikin jungkir balik tak bisa bangun.

   Pembantunya yang lain segera merubung maju mengeroyok, malah ada diantaranya mengacungkan pisau, sudah tentu Oh Thi-hoa tidak pandang mereka sebelah mata.

   Tanpa mengeluarkan kepandaian sejatinya, namun begitu dia gerak kaki tangannya, empat diantara tujuh koki yang hendak mengeroyok dirinya dia pukul roboh dan ditendang terjungkal.

   Keruan pucat muka Tio lotoa, serunya.

   "Kau... kau bocah ini juga dari bagian istal?"

   "Benar"

   Jengek Oh Thi-hoa.

   "Kau kira orang-orang dari istal boleh dihina?"

   Dengan murka Tio lotoa segera merebut pisau terus membacok kepadanya, tak nyana sekali depak Oh Thi-hoa bikin pisaunya mencelat terbang, sekali tendang lagi dia bikin Tio lotoa terpental jauh dan menumpuk teman-temannya.

   Lekas laki-laki muka kuda memburu maju terus duduk di atas punggungnya, sekaligus ia tampar dan genjot puluhan kali, Tio lotoa yang tadi sewenang-wenang dan gagah-gagahan kini kaok-kaok minta tolong.

   Baru saja Oh Thi-hoa menggasak sisa koko yang lain, sekonyong-konyong didengarnya seseorang menghardik nyaring.

   "Kalian berani berontak? Harap berhenti!"

   Banyak orang yang menghentikan pekerjaan mereka sama menonton di pinggiran, begitu mendengar suara ini, segera beramai-ramai mengeluyur pergi, laki-laki muka kudapun agaknya amat ketakutan, kepalannya yang teracung tinggi berhenti ditengah udara.

   Sebetulnya suara hardikan ini amat merdu halus dan tak menakutkan, kedengarannya malah menyegarkan semangat, bukan saja suaranya merdu, orangnyapun cantik.

   Tampak gadis remaja ini beralis lentik bermata seperti burung hong, raut mukanya mungil seperti kuaci, meski mukanya bersungut marah, tapi kelihatannya begitu menggiurkan.

   Dandanan dan pakaiannya tiada bedanya dengan budak-budak perempuan lainnya, paling paling dia lebih cantik dan mungkin budak yang biasa melayani majikan di sini.

   Sungguh Oh Thi-hoa tak mengerti, kenapa orang-orang di sini semua begini takut kepadanya.

   Tak tahan dia melirik dua kali mengamat-amati gadis ini, nona inipun sedang melotot mengawasi dirinya, katanya bengis.

   "Apa yang terjadi, kenapa kalian berkelahi di sini?"

   Oh Thi-hoa melakukan kebiasaannya mengelus hidung dengan tertawa sahutnya.

   "Kami sih tidak ingin berkelahi, soalnya Tio lotoa terlalu menghina orang istal kami, tak memberi sogokan padanya, dia sengaja mempersulit jatah kami, tak memberi nasi."

   "Nona Ping,"

   Sela Tio lotoa tersipu-sipu.

   "Sekali-kali jangan kau percaya obrolan dia!"

   Nona Ping menarik muka, ejeknya dingin.

   "Mau dengar tidak pengaduannya adalah urusanku, tidak perlu kau cerewet, memangnya aku sudah tahu kalian, koki-koki masak belakangan terlalu bertingkah dan sewenangwenang."

   Tio lotoa merengut kecut seketika dia mengkeret mundur tanpa berani banyak cincong lagi. Dari atas ke bawah dengan cermat nonaPing mengamati Oh Thi-hoa, katanya tawar.

   "Kepandaianmu boleh juga, kenapa selamanya aku belum pernah melihat kau?"

   "Setiap hari aku yang kecil selalu sibuk didalam istal sudah tentu nona takkan pernah melihat aku."

   "Tak nyana pengawal dari istal ada juga jagoan yang gagah dan pandai kunthau seperti kau, agaknya kedudukanmu terlalu rendah tak sesuai kecakapanmu."

   Mendadak dia berpaling melotot kepada laki-laki muka kuda, bentaknya bengis.

   "Apa benar dia orang dari istal kalian?"

   Tertunduk dalam kepala laki-laki muka kuda, diam-diam dia mencuri lirik kepada Oh Thi-hoa.

   Walau roman muka Oh Thi-hoa masih unjuk senyum lebar, namun diam-diam dia sudah siaga untuk bergebrak dengan sengit.

   Soalnya dia sudah tahu meski nonaPing ini kelihatannya lemah lembut, namun sorot matanya tajam bercahaya terang seorang tokoh silat luar dalam yang cukup lihai tingkat kepandaiannya, sukar dilayani.

   Tak nyana laki-laki muka kuda ternyata manggut-manggut sahutnya sambil unjuk tawa dibuat-buat.

   "Benar, dia adalah adik misan Siaujin, beberapa hari yang lalu baru datang dari desa membantu pekerjaanku."

   Sorot mata nonaPing kembali tertuju ke muka Oh Thi-hoa, sikapnya mulai sabar dan hilang rasa marahnya, katanya.

   "Kau boleh kemari membantu kerja, tapi ku larang berkelahi di sini, tahu tidak?"

   Oh Thi-hoa lega hati, sahutnya.

   "Baik, pesan nona tentu kupatuhi."

   Seperti tertawa tidak tertawa nonaPing mengawasi dirinya, katanya kagum.

   "Melihat gerak gerikmu tadi, kau bekerja di istal memang harus dibuat sayang, dua hari lagi datanglah menemui aku, akan ku usahakan laju pekerjaan yang sesuai dengan dirimu."

   Laki-laki muka kuda segera mendorong Oh Thi-hoa katanya.

   "Nona Ping bisa bicara langsung kepada Siau-cheng cu dan Hujin, kelak bila nonaPing sudi membimbing kau, terhitung kau mendapat rejeki nomplok."

   "Terima kasih nonaPing ,"

   Segera Oh Thi-hoa unjuk rasa kegirangan.

   "Dua hari lagi aku pasti menghadap nona Ping."

   Melihat pinggangnya nonaPing yang ramping dan meliuk seperti gitar serta kakinya yang tinggi semampai, serta kedua jari-jari tangannya yang halus dan runcing-runcing itu, dalam hari memang dia sudah ingin berhadapan dengan nona cilik ini.

   Baru sekarang Tio lotoa berkesempatan unjuk muka berseri katanya.

   "Jarang sekali nonaPing sudi datang kemari, entah ada petunjuk apa?"

   Seketika nonaPing menarik muka pula, katanya.

   "Pekerjaan di istal memang kasar, tapi asal dia termasuk lingkungan dalam perkampungan ini, ransum yang harus kau jatahkan harus sama dan rata, selanjutnya bila kau berani korupsi, awas mangkok nasimu sendiri."

   "Siau... Siaujin tidak berani."

   Tio lotoa tersipu.

   "Baik, kemarin ada kusuruh kau membuat beberapa nyamikan, sudah kau siapkan belum?"

   Tanya nonaPing lebih lanjut. Tio lotoa terbelalak kaget, keringat dingin seketika membasahi jidatnya. Nona Ping mendelik, katanya dingin.

   "Apa yang terjadi, memangnya jatah kami beberapa saudarapun kau lalap sekalian?"

   Kecut muka Tio lotoa katanya meringis.

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siaujin punya nyali sebesar gunungpun takkan berani, bubur lidah ayam udang goreng, pangsit bakar dan lain-lain sesuai pesan nona sebetulnya sudah kubuat, cuma... cuma..."

   "Cuma apa?"

   Desak nonaPing . Tergerak hati Oh Thi-hoa, mendadak dia tertawa dan menimbrung.

   "Hal ini tak bisa salahkan dia, dia kira kalau toh Siau-cheng-cu sudah pulang, nona pasti akan makan dari rangsum dapur kecil didalam, makan nyamikan yang sudah dia siapkan dia berikan kepada orang lain."

   Seperti menahan geli nonaPing mengawasi Oh Thi-hoa pula, katanya.

   "Tak kira kau orang ini ternyata berhati mulia, kau bicara membela dia malah."

   Mendadak Oh Thi-hoa menyadari bahwa tampangnya tentu amat jelek, dan lagi punya daya tarik yang luar biasa, kalau tidak nonaPing ini sekalikali tidak akan mengawasinya dengan sorot mata begini.

   Karena menurut perasaannya dipandang oleh seorang nona jelita dengan sorot mata begituan, sungguh merupakan suatu hal yang harus dibuat girang, tanpa sadar Oh Thi-hoa merasa dirinya terbang ke awang-awang.

   Untunglah dia bukan laki-laki desa yang baru saja keluar kandang, dia masih belum lupa akan tugasnya kemari, biji matanya berputar, kembali dia berkata tertawa.

   "Apakah koki yang membuat nyamikan, dari dapur kecil didalamsana , tidak lebih pintar dan enak dari koki dari dapur besar ini?"

   Kata nona Ping.

   "Kepandaian masak koki dapur kecil di sana tentu lebih baik dari dapur besar di sini, tapi kokinya adalah orang setempat, masakan yang bisa dibuatnya hanyalah masakan setempat pula, mana dia bisa bikin bubur lidah ayam dan lain-lain masakan dari Kwitang yang luar biasa itu?"

   "O, masakan-masakan setempat tidak lebih enak daripada bubur ayam lidah dan udang goreng lain-lain itu?"

   Tanya Oh Thi-hoa pula. Laki-laki muka kuda jadi tak sabaran melihat petingkah Oh Thi-hoa, dia duga nona Ping pasti takkan sabar dan marah, tak nyana nona Ping sedikitpun tidak bosan tetap sabar, sahutnya tertawa lirih.

   "Menurut selera kami sudah tentu masakan daerah sini lebih enak tapi ada beberapa tamu undangan majikan justru senang masakan Kwitang, terutama setiap pagi hari hidangan yang kami suguhkan tidak boleh sembarangan, khabarnya orang-orang Kwitang memang demikian, nasi boleh tidak uruskan, namun nyamikan pagi dan malam sekali-kali tidak boleh sembarangan. Oh Thi-hoa menghela napas, katanya.

   "Ya, orang yang usianya sudah lanjut, memang sulit dilayani."

   "Kau kira mereka kakek-kakek tua?"

   Jantung Oh Thi-hoa sudah mulai berdebar, tapi dia masih bersikap tenang, katanya.

   "Bukan kakek tua, memangnya nona-nona besar?"

   Nona Ping tertawa, sahutnya.

   "Benar, beberapa nona itu, memang lebih sulit dilayani dari kakek-kakek tua."

   Bagaimana juga Oh Thi-hoa bukan seorang yang bisa menahan perasaan hatinya, meski dia ingin berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa, tapi tak urung alisnya tegak, dan mata bersinar, mulut menyungging senyuman lagi, hatinya melonjak kegirangan.

   Untung nonaPing sudah berpaling, matanya melotot kepada Tio lota, katanya.

   "Oleh karena itu bila hari ini kau tidak keluarkan nyamikan sesuai apa yang kupesan, berarti kau mencari gara-gara kepadaku, aku sendiri malu untuk mempertanggung-jawabkan kepada majikanku."

   Keringat gemerobyos di kepala Tio lotoa, sahutnya meringis ketakutan, sambil banting kaki.

   "Ini..."

   Mendadak Oh Thi-hoa tertawa pula, selanya.

   "Sebetulnya kau tidak perlu gugup, jikalau kau masuk dapur dan mau cari, aku berani tanggung masih ada sisa nyamikan yang kau simpan."

   "O?"

   Tio lotoa bersuara kaget dan heran.

   "Seorang koki besar kalau membuat beberapa nyamikan yang mencocoki selera mulutnya, bila dia tidak mencuri sedikit untuk dinikmati sendiri, maka hidangan buatannya itu tentu tidak enak."

   "Kenapa?"

   Tanya nonaPing .

   "Karena orang yang suka makan, baru pandai masak hidangan yang enakenak."

   Memang dalam dapur masih ada beberapa macam nyamikan yang disembunyikan. Nona Ping segera melirik kepada Oh Thi-hoa, katanya.

   "Tak nyana kau memang cerdik dan pintar."

   "Siaujin sedikitpun tidak pintar."

   Sahut Oh Thi-hoa.

   "Bukan saja aku sendiri suka makan, malah akupun pernah jadi tukang masak, kalau tukang masak tidak main korupsi akan masakannya, boleh dikata sesukar anjing dilarang makan tulang."

   Sembari bicara dia maju menjinjing tenong itu, lalu menambahkan.

   "Bobot tenong ini tidak ringan, biar Siaujin saja yang membawakan."

   Bersinar biji mata nonaPing , katanya tertawa.

   "Kalau kau selalu begini sregep, kelak tentu kau mendapat banyak manfaat."

   Setelah orang beranjak, sekilas Oh Thi-hoa memandang kepada laki-laki muka kuda itu dengan sorot mata terima kasih, laki-laki muka kuda itu manggut-manggut, katanya berbisik.

   "Harus hati-hati, disana kau tidak boleh petingkah lagi, jikalau disana kau perbuat kesalahan, akupun bisa ikut memperoleh getahnya, tahu tidak?"

   Setelah keluar dari perkampungan belakang mereka menyusuri jalan likuliku yang diapit tanaman kembang warna-warni, tak lama kemudian mereka sudah akan tiba di bilangan dalam kembali mereka menyusuri serambi panjang, jendela disini semuanya terukir indah dan mengkilap, suasana sunyi senyap, udara pagi dipenuhi bau kembang yang harum, sinar matahari menyinari kertas jendela yang putih, lantai di sepanjang serambi ini begitu kemilau lebih bersinar dari permukaan kaca.

   Mata Oh Thi-hoa melulu mengawasi nonaPing yang jalan di depannya, dalam pandangannya gerak-gerik pinggang yang ramping dan pinggul yang menonjol padat itu jauh lebih menarik daripada pemandangan alam di sekitarnya.

   Apalagi hembusan angin lalu membawa harum kembang, nonaPing sering berpaling ke belakang unjuk senyuman mekar pula kepadanya, keruan hati Oh Thi-hoa senang bukan main.

   Orang-orang yang dicari ubek-ubekan oleh Coh Liu-hiang selama beberapa bulan tak berhasil ditemukan, tak nyana hari ini tanpa banyak mengeluarkan tenaga dirinya bakal menemukan mereka, selanjutnya, dengan membawa Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam, berlima bisa cepat memberi bantuan kepada Coh Liu-hiang, dengan kekuatan mereka berenam, masakah tidak mampu bikin Yong-cui-san-ceng ini langit ambruk dan bumi terbalik.

   "Tatkala itu, masakah ulat busuk tidak akan kagum dan memuji aku?"

   Demikian batin Oh Thi-hoa serasa jantungnya seperti ingin terbang ke awang-awang saking kesenangan.

   Kini sorot matanya beralih kepada pinggul nona Ping yang bulat berisi dan ketat terbungkus oleh celananya itu, tidak urung diam-diam dia tertawa geli dan melelet lidah, Pikirnya.

   "Tatkala itu aku pasti akan mencubit pelan di atas pinggulnya yang bulat ini, gadis romantis ini masakah takkan menubruk ke dalam pelukanku?"

   Bukankah hatinya seperti dikilik-kilik, tangannyapun menjadi gatal, sampai dimana mereka berada dan melewati mana saja, bahwasanya tak pernah dia perhatikan. Mendadak noaPing berhenti dan berkata.

   "Sudah sampai, buat apa kau masih jalan kedepan?"

   Baru sekarang Oh Thi-hoa tersentak sadar dari lamunannya yang muluk muluk, sahutnya unjuk tawa berseri.

   "Apakah di sini saja?"

   "Em! Tuh didalam rumah."

   Kata nonaPing . Tampak kerai bambu bergelantung ke bawah rumah inipun sunyi sepi, dari dalam terendus bau wangi yang menyegarkan badan, entah bau kembang, bau dupa atau bau manusia? Nona Ping tertawa cekikikan, katanya.

   "Apa sih yang kau lamunkan, serahkan tenong itu kepadaku!"

   Sebelah tangannya menerima tenong dari tangan Oh Thi-hoa seraya mendekatkan mulut berbisik di pinggir kupingnya.

   "Malam nanti datanglah cari aku, tahu tidak?"

   Meski hati Oh Thi-hoa bersorak girang, namun tak urung diapun merasa sayang, karena terpaksa dia harus menyia-nyiakan kebaikan dan tawaran si nona centil ini.

   Sebetulnya dia hendak main basa basi dulu baru akan turun tangan, siapa tahu...

   Siapa tahu nonaPing yang genit ini tahu-tahu turun tangan lebih dulu.

   Tangan kirinya tiba-tiba melorot turun dari pundak Oh Thi-hoa beruntung dengan gerakan yang cekatan dan mahir sekali menutuk empat Hiat-to dibagian tangan dan ketiak kiri Oh Thi-hoa, sementara tangan kanannya masih memegangi tenong itu tanpa bergerak sedikitpun.

   Dikala Oh Thi-hoa lepaskan tenong di tangannya tahu-tahu pergelangan tangannyapun terpegang kencang oleh jari-jari runcing halus itu.

   Terdengar nonaPing berkata halus merayu.

   "Pemuda yang romantis meski kau cukup baik dan simpatik terhadapku, terpaksa aku harus mengecewakan harapanmu."

   Lalu sekali tampar dia bikin Oh Thi-hoa terjungkal roboh tengkurap, lalu duduk di atas pantat Oh Thi-hoa, keruan merasa meledak perut Oh Thi-hoa saking gusar.

   Sekarang bukan saja dia tidak akan bisa tertawa, malah ingin menangispun air mata tak bisa diperasnya keluar.

   Nona Ping lantas menepuk tangan dan berseru lantang.

   "Anak-anak hayo kemari!"

   Dari dalam rumah segera berlari keluar beberapa anak laki-laki. Berkata nonaPing .

   "Gotong bajingan ini ke dalam, ikat dengan urat kerbau, salah satu segera pergi memberi laporan kepada Siau-hujin, katakan orang yang suruh aku perhatikan sekarang sudah ketemu dan teringkus. Kacung kecil berbaju hijau itu mengiakan dan segera berlalu. Lalu nona Ping berkata kepada kacung cilik yang satunya lagi.

   "Beritahu kepada Thian-koan-keh, suruh dia pergi ke istal di belakang, hajar Ong sam si muka kuda lima puluh rangketan, lalu gusur pula ke empat Uikoankeh untuk dihukum dengan tuduhan sekongkol dengan musuh."

   Terasa getir mulut Oh Thi-hoa, serunya.

   "Kau... memangnya kau sudah tahu siapa aku sebenarnya?"

   Nona Ping tersenyum manis, ujarnya.

   "Masakah Oh Thi-hoa Oh Tayhiap yang kenamaan tidak kenal?"

   "Tapi kau..."

   "Siau-hujin sudah memperhitungkan kau pasti akan meluruk ke belakang mencari ke empat nona-nona itu, maka dia suruh aku meronda dan memperhatikan orang seperti kau, kupikir saat ini tiba waktunya makan pagi, kemungkinan kau akan mencari sumber penyelidikan dari "makan pagi"

   Ini, karena kecuali ini, hakekatnya kau tak punya kesempatan untuk mendapatkan cerita mengenai teman-temanmu itu."

   Tertawa cekikikan lalu dia menyambung.

   "Kalau tidak demikian, masakah aku mau begitu saja lantas percaya kepadamu? Kemungkinan memang semua laki-laki dalam dunia ini mempunyai penyakit dan cacat yang sama, selalu mereka mengira dengan beberapa patah bujuk rayu, gadis yang masih hijau dengan mudah bisa dipeletnya. Di luar tahunya justru perempuan jika mau menipu lakilaki, jauh lebih gampang dari laki-laki menipu perempuan."

   Oh Thi-hoa menghirup napas panjang, mulutnya menggumam.

   "Seharusnya aku sudah tahu akan pengertian ini sejak tadi, memangnya kenapa aku begitu saja mau percaya akan obrolanmu?"

   Xxx Jari-jari Coh Liu-hiang tetap memegangi ujung pedang, sementara gagang pedang dibuat menyerang musuh.

   Umumnya ujung pedang yang runcing dan tajam sukar dibuat pegangan, bukan saja sukar digenggam kencang, tenagapun sukar dikerahkan, apalagi menyerang dengan gagang pedang sudah tentu jauh tak begitu ganas dan membawa efek yang fatal bagi musuhnya daripada menyerang dengan ujung pedang yang tajam.

   Dalam kolong langit ini belum pernah ada tokoh pedang yang memutar balik cara pegangannya untuk melawan musuh, kecuali dia sengaja memandang rendah musuhnya, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata musuhnya.

   Akan tetapi musuh-musuh yang dihadapi Coh Liu-hiang adalah tokoh-tokoh ahli pedang yang membekal kepandaian tiada taranya, musuh-musuh yang amat menakutkan, dan lagi belum sampai seperminuman teh, barisan ini digerakkan, berulang kali Coh Liu-hiang sudah menghadapi mara bahaya, pernah dua kali pedang-pedang musuh sudah menyerempet lewat di tenggorokannya dan di sisi tulang dadanya, namun dia tetap bersikap tenang serta menggunakan pedang dengan gaya yang sama sejak mula.

   Apakah tujuannya? Siapapun tiada yang tahu, kenapa dia gunakan gagang pedang buat menyerang musuh.

   Memang orang lain tahu bahwa Coh Liuhiang tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tak berarti, tapi tiada seorangpun yang pernah mau memikirkan kemana juntrungan tujuannya, merekapun tiada yang mau bertanya.

   Maklumlah dalam keadaan dan saatsaat yang gawat ini, tiada yang mau menggunakan otak untuk memecahkan teka-teki ini, maka merekapun tiada yang sempat bertanya.

   Yang jelas sekarang adalah saatnya menggunakan pedang.

   Gerakan cahaya pedang laksana bianglala seperti kilat menyambar, perubahangaya permainan pedangpun beraneka warnanya, berubah-ubah tak putus-putus sambung menyambung, begitu cepat sehingga tak memberi kesempatan kepada musuh untuk memeras otak mencari akal untuk mengatasi.

   Maka gerakan perlawanan mau tidak mau harus dilakukan secara reflek dan otomatis.

   Mereka kerahkan tenaga, himpun semangat dan pusatkan pikiran dan perhatian semua terpusatkan pada gerakan pedang di tangannya, hati dan permainan pedang mereka sudah senyawa dalam batang pedang yang bentuknya berlainan itu, kini sudah berubah menjadi tunggal, semangat napas, jiwa dan tenaga ke enam orang seolah-olah sudah dilebur menjadi satu.

   Sehingga gerakan jala cahaya pedang semakin rapat, semakin ketat, lambat laun menyempit dan mengecil.

   Coh Liu-hiang umpama ikan yang sudah terjaring didalam jala kembali di sini dia terjaring ke dalam lingkaran cahaya pedang.

   Lain dengan kejadian-kejadian yang terdahulu hari ini terang ia takkan bisa lolos dan tiada jalan untuk dia keluar.

   Dari kejauhan gerakan sinar pedang dengan landasan hawa pedangnya bergulung gulung meninggi turun naik seperti gugusan sebuah bukit yang berubah laksana pandangan khayal didalam mimpi, deru hawa pedang yang keras itu membuat udara seolah-olah bergolak seperti hujan badai sedang menerpa datang.

   Lama kelamaan udara pagi nan cerah ini menjadi dingin dan dingin seperti es.

   Selama mengikuti pertempuran dahsyat ini rona muka Liu Bu-bi berubah beberapa kali, baru sekarang mukanya menampilkan senyuman mekar senang, karena sekarang dia sudah yakin bahwa Coh Liu-hiang sudah takkan mungkin bisa lolos lagi dari barisan pedang yang mandraguna ini.

   Memang perbawa barisan pedang ini laksana benteng baja yang takkan gugur dan jebol diterjang gugur gunung.

   Begitu dahsyat dan hebat benar barisan pedang ini, sampai si orang tua linglung yang tinggal menunggu ajal itupun menunjukkan rasa haru dan bergolak perasaannya, hawa pedang yang menyesakkan napas, agaknya malah membangkitkan gairah jiwa hidupnya yang sedang sekarat.

   Jari-jari tangannya yang biasanya gemetar dan kurus kering itu, tak henti-hentinya bergerak, terbuka tergenggam lagi begitulah berulang kali, saking terbakar seolah-olah ingin dia melompat bangun dan menggenggam gagang pedangnya, menerjunkan diri didalam adu kekuatan nan sengit ini.

   Agaknya dia sudah tak tahan lagi duduk menonton tak bergerak.

   Takkala itu gulungan sinar pedang sudah semakin sempit, pakaian bagian atas Coh Liu-hiang sudah hancur tersambar tebasan deru angin pedang yang tajam, boleh dikata dia sudah mati kutu dan tak kuat mengerahkan tenaga melawan.

   Pada saat itulah, kacung cilik berbaju hijau tiba-tiba menyelinap masuk dari luar menyusuri pinggir tembok, munduk munduk ke dalam mendekati ke belakang Liu Bu-bi, lalu berbisik-bisik entah apa yang dia laporkan kepada nyonya muda ini.

   Sekarang Liu Bu-bi tahu, bahwa Oh Thi-hoa di belakang sanapun sudah teringkus.

   Maka seri tawanya semakin mekar, didalam arus hawa pedang laksana pelangi meluncur tidak putus-putus itu, senyum tawanya kelihatannya begitu sadis dan culas, namun selintas pandang mukanya begitu molek dan agung.

   Sekonyong-konyong hawa pedang yang seliweran saling gubat itu mendadak bersatu-padu, tabir cahaya pedang yang memenuhi udara itu kini mendadak berubah menjadi enam utas pelangi yang menyala, bersilang dari kiri kanan atas bawah serempak mengunci ke tengah pada badan Coh Liuhiang.

   Perbawa gabungan hawa pedang semula mendesak Coh Liu-hiang sehingga dirinya dipojokan ke suatu yang mematikan.

   Maka tusukan pedang kembali dilontarkan, sekarang Coh Liu-hiang sudah benar-benar kehabisan tenaga dan putus asa, entah dengan cara apa dan bagaimanapun dia berkelit, dadanya takkan luput dari tembusan ujung pedang.

   Memangnya dikolong langit ini sudah pasti takkan ada orang yang mampu meluputkan diri dari tusukan enam ujung pedang sekaligus dari enam penjuru.

   Sekonyong-konyong "kelontang"

   Bunyi sesuatu benda keras yang terjatuh ke lantai.

   Disusul hawa pedang dan samberan pelangi kemilau itu secara ajaib mendadak sirna tak berbekas.

   Li Giok-ham dan kelima orang seragam hitam itu seolah-olah membeku kaku ditengah arus dingin yang mengembang keempat penjuru.

   Demikian juga senyuman manis yang menghias muka Liu Bu-bi secara mendadak ikut membeku kaku.

   Tiba-tiba dilihatnya bayangan Coh Liu-hiang berkelebat miring, tahu-tahu pedangnya menyusup di bawah ketiak Li Giok-ham, telapak tangan kiri menekan dada Li Giok-ham, sementara jari-jari tangan kanannya meremas pergelangan tangannya.

   Pedang Coh Liu-hiang sendiri entah hilang kemana, sebaliknya dengan pedang ditangan Li Giok-ham, dia menekan dan menahan pedang panjang ditangan laki-laki kurus tinggi berbaju hitam itu.

   Lebih enak lagi ternyata laki-laki kurus kate yang seragam hitam itu kini kedua tangannya sudah mencekal masing-masing sebatang pedang, entah apa yang terjadi, pedang yang dicekal ujung runcingnya oleh Coh Liu-hiang tadi, kini berada ditangan kiri laki-laki kurus kate ini.

   Setiap gerak permainan perubahan barisan pedang ini sudah diperhitungkan begitu seksama, setiap jurus serangannya sudah direncanakan sesuai dengan ajarannya yang merupakan tumpuan otak seorang jenius dalam bidang ini, kerja-sama enam batang pedang seumpama ditembus air hujanpun tidak bisa, demikian rapatnya setitik lobangpun tiada! Maka pedang kurang sebatang pun tak boleh, karena barisan pedang seketika akan menunjukkan lobang, atau mungkin tak bisa digerakkan lagi, tapi jikalau kebanyakan sebatang pedang, barisan inipun tak mungkin bergerak, seperti orang mengumbar ular dibubuhi kaki naga, sia-sia dan tak sesuai dengan kebutuhan.

   Kini barisan ini ketambahan sebatang pedang, sudah tentu gerakan tiga batang pedang yang lain menjadi terhalang dan macet karena kehadiran pedang yang satu ini.

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kalau toh permainan pedang mereka sudah terbendung maka jurus-jurus selanjutnya sudah tentu tak bisa diteruskan, karena dalam waktu sesingkat itu, tahu-tahu jari-jari tangan Coh Liu-hiang sudah mengancam Hiat-to mematikan didada Li Giok-ham.

   Demi keselamatan jiwa Li Giok-ham pula terpaksa mereka harus menghentikan permainan.

   Tanpa disadari telapak tangan Liu Bu-bi sudah berkeringat dingin.

   Entah berapa lama kemudian, mendadak Coh Liu-hiang unjuk tawa kepada laki-laki kurus kate baju hitam itu, katanya.

   "Dua puluh tahun yang lalu Cayhe sudah lama kagum dan mendengar betapa hebat kepandaian Jut-jiu-siang-hoat Yam yan-sin-kiam Ling-locianpwe yang tiada taranya di seluruh dunia. Sungguh tak nyana hari ini aku bisa kumpul bersama di sini dengan Linglocianpwe malah bertanding pedang lagi, sungguh menggembirakan dan merupakan rejeki besar selama hidupku."

   Laki-laki kate kurus baju hitam mendengus hidung, ujarnya.

   "Apakah sejak tadi kau memang sudah mengetahui akan diriku?"

   Coh Liu-hiang tertawa katanya.

   "Tadi waktu Cayhe melihat kedatangan Cianpwe berlima hanya mengenal satu orang saja, tapi terang bukan Linglocianpwe."

   "Siapa yang sudah kau kenali lebih dulu?"

   Tanya laki-laki kurus baju hitam. Sorot mata Coh Liu-hiang beralih kepada laki-laki baju hitam yang menenteng pedang kayu itu katanya.

   "Tadi Cayhe hanya mengenal Cianpwe ini pasti Giok-kiam Sim Ciok Siau locianpwe. Keluarga Sian dengan Giok kiamnya, merupakan pedang tunggal yang tiada keduanya di Bulim. Siau Tayhiappun sebagai ahli pedang yang kenamaan di Kangouw, jikalau Tayhiap tidak suka muka aslinya dikenal orang, tentulah kuatir orang dapat melihat asal-usul dirinya, pula dari senjata pedangnya yang khas, oleh karena itu terpaksa harus membikin pedang dari kayu sebagai ganti senjatanya untuk mengelabui pandangan orang lain. Giok-kiam Siau Ciok termenung sesaat lamanya, akhirnya dia menyingkap kerudung mukanya, katanya.

   "Benar, aku memang Siau Ciok, kalau kau sudah tahu asal-usulku, tentu kau sudah tahu bagaimana hubunganku dengan Li Koan-hu, soal lain aku tidak perbanyak bicara lagi."

   Tampak orang ini bermuka persegi dengan dagu lebar berkulit putih bersih, matanya berkilat seperti bintang, walau rambut dan jenggotnya sudah ubanan, ujung mata dan dahinya sudah dihiasi kerut-kerut kemerut, namun lapatlapat masih menggambarkan kegagahan dan kecakapannya dimasa dulu, cuma setelah menanjak pertengahan umur, kini dia sudah menjadi kaya dan hidup tentram.

   Coh Liu-hiang tertawa, katanya.

   "Oleh karena Cayhe memang sudah tahu betapa intim hubungan para Cianpwe dengan Li-lochengcu, maka Cayhepun sudah menduga, satu diantara kalian berlima tentu adalah Siang-kiam butik- tin koan-tang Ling Hwi-kek Ling-locianpwe yang punya hubungan dekat sebagai adik ipar Li-locianpwe, cuma dalam waktu dekat belum bisa bedakan siapakah sebenarnya diantara kalian. Ling Hwi-kek bertanya.

   "Sejak kapan kau dapat mengenali Lohu?"

   "Beberapa jurus setelah Cianpwe melancarkan serangan, Cayhe lantas mengetahui yang mana Cianpwe adanya."

   Sahut Coh Liu-hiang.

   "Ilmu pedang yang kugunakan bukan ajaran dari perguruanku sendiri, darimana kau bisa tahu akan diriku?"

   Tanya Ling Hwi-kek pula.

   "Memang ilmu pedang yang Cianpwe gunakan bukan ajaran perguruan sendiri, namun tetap masih dimengerti, soalnya selama bertahun-tahun Cianpwe sudah biasa menggunakan Siang kiam "sepasang pedang"

   Hari ini, dipaksa oleh keadaan untuk main dengan pedang tunggal, sedikit banyak gerak-geriknya tentu kurang leluasa."

   Sampai di sini dia berhenti sebentar dengan tertawa lalu meneruskan.

   "Perduli siapapun, kebiasaan yang sudah berakar dan mendarah daging kepada seseorang selama puluhan tahun, didalam waktu singkat tak mungkin bisa menghapus atau memperbaiki kebiasaan ini demikian pula tangan kiri Cianpwe meski tergenggam kencang dan ikut bergerak mengikuti ajaran pedang tunggal, namun bila menghadapi saat gawat dan tegang, maka jari-jari tangan itu akan mengepal kencang seolah-olah sedang menggenggam sebatang pedang yang tidak kelihatan wujudnya. Ling Hwi-kek mendengarkan dengan tekun sesaat kemudian dia bertanya.

   "Sejak permulaan kau sengaja mencekal pedang di ujungnya apakah kau memang sudah siap hendak mengangsurkan gagang pedangmu ini ke dalam tanganku?"

   Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya.

   "Benar, Cayhe tahu kalau gagang pedang ini diangsurkan ke tangan Ling Cianpwe, maka tanpa sadar Cianpwe pasti akan menerimanya. Soalnya seluruh perhatian Cianpwe sudah ditumplek pada gerakan pedang tunggal ditangan kiri, maka terhadap kejadian lain, tentu kurang menaruh perhatian atau boleh dikatakan sedikit lena. Oleh karena itu didalam keadaan itu mau tak mau Cianpwe sudah terkendali diri oleh kebiasaan itu sendiri."

   Hal ini gampang dimengerti, umpamanya seseorang yang sudah biasa isap rokok jikalau dia sudah bertekad dan berjanji untuk tidak isap rokok lagi namun bila dia kebentur saat-saat yang tegang urat syarafnya, jikalau segala daya pikirannya dia tumplek pada satu persoalan, kebetulan dihadapannya tersedia rokok maka tanpa dia sadari tangannya akan gatal dan mengambil rokok itu, itulah karena dia sudah dihayati oleh gerakan reflek di luar kesadarannya.

   Pada saat itu sudah tentu Coh Liu-hiang sendiri belum tahu akan gerakan reflek diluar kesadaran itu, namun dia cukup tahu bahwa kebiasaan menjadi wajar dan akalnya memang benar dan berhasil dengan baik sekali.

   Ling Hwi-kek menarik napas panjang, ujarnya.

   "Bicara terus terang setelah aku menyambuti pedang ini, aku sendiri masih bingung dan tidak tahu cara bagaimana pedang tahu-tahu sudah tercekal di tanganku."

   "Tapi tentunya Cianpwe cukup tahu, bahwa barisan pedang ini tidak boleh kurang satu pedang, namun juga tidak boleh ketambahan sebatang pedang, kalau tidak gerakan barisan pedang ini bakal kacau dan terhalang serta mati kutu."

   Agaknya hati Ling Hwi-kek amat mendelu dan masgul, diam-diam saja tak bersuara. Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut.

   "Kalau gerakan keseluruhan dari barisan pedang ini terhalang, dengan sendirinyagaya dan bendungan barisan pedang ini berubah posisinya. tapi mengandal Lwekang dan kepandaian para Cianpwe sekalian, sudah tentu dengan cepat kesalahan dan kekurangan ini sudah bisa diatasi."

   Laki-laki tua bertubuh tinggi kekar itu menimbrung.

   "Oleh karena itu kau lantas bertindak menggunakan kesempatan yang amat baik dan singkat ini, kau menyergap dan mengancam Li-siheng, supaya senjata kami tak berani bekerja lebih lanjut untuk menyerang kau."

   Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya.

   "Tindakan Cayhe memang amat terpaksa, bahwasanya sedikitpun Cayhe tiada hasrat hendak mencelakai Li heng."

   

   Jilid 35 Liu Bu-bi menerjang, teriaknya.

   "Kalau begitu kenapa tidak segera kau lepaskan dia?"

   "Kalau Cayhe lepaskan dia, apakah kalian juga mau membebaskan diriku?"

   Liu Bu-bi kertak gigi, serunya.

   "Asal kau tidak melukai dia, aku boleh berjanji kepada mu..."

   Sejak tadi Li Giok-ham tunduk lemas dan sayu, sekarang tiba-tiba dia membentak bengis.

   "Sekali-kali kau tidak boleh berjanji apapun kepadanya, mengapa kau lupa?"

   Liu Bu-bi membanting kaki, serunya.

   "Sedikitpun aku tidak lupa, tapi kau..."

   Masakah aku harus berpeluk tangan membiarkan orang menyakiti kau?"

   "Aku mati tidak menjadi soal, meski dia benar menggorok leherku, kaupun jangan melepaskan dia pergi."

   Ternyata air mata Liu Bu-bi bercucuran, katanya dengan pilu.

   "Aku tahu demi aku, kau tidak segan-segan..."

   Belum habis kata-katanya mendadak Li Giok-ham menggerung kalap seperti benteng ketaton, dengan kepalanya dia menubruk dada Coh Liu-hiang sementara kakinya melayang menendang kemaluannya.

   Perubahan yang tak pernah terduga bukan saja Ling Hwe-kek kaget dan berubah mukanya, karena semua hadirin maklum asal tenaga dalam Coh Liuhiang dikerahkan, maka urat besar yang menembus ke jantung Li Giok-ham bakal tergeser pecah dan hancur, jiwanya pun binasa.

   Maka terdengarlah "Blang"

   Li Giok-ham terhuyung mundur ke belakang, pedang di tangannya mencelat terbang, namun badannya tidak sampai tersungkur jatuh.

   Malah Coh Liu-hiang tertendang terguling-guling.

   Kiranya disaat yang amat gawat itu Coh Liu-hiang tidak kerahkan tenaga dalamnya, disaat-saat jiwa sendiri hampir saja terenggut elmaut, ternyata dia masih tidak tega melukai atau menamatkan jiwa orang lain.

   Li Giok-ham gentayangan mundur, Coh Liu-hiang roboh terguling, selarik sinar pedang melesat terbang...

   pada saat itu pula mendadak bayangan Liu Bu-bi melesat maju.

   Badannya meluncur laksana bintang mengejar rembulan, sigap sekali ditengah udara dia menyambut pedang Li Giok-ham yang mencelat terbang itu, lalu dari atas menukik turun bersama pedang itu terus menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang masih terguling di lantai.

   Coh Liu-hiang tidak tega melukai orang, celaka adalah dia sendiri terlentang luka tidak ringan, mukanya sudah pucat pias, namun keringat sebesar kacang berketes-ketes membasahi seluruh kepalanya.

   Dengan mendelong dia awasi tusukan pedang Liu Bu-bi yang bakal memantek badannya di atas lantai dengan dada tembus sampai ke punggung.

   "Trang"

   Sekonyong-konyong terdengar benturan keras sehingga keluar api muncrat menyilaukan mata, begitu kerasnya suara benturan senjata keras ini seperti pekikan naga sehingga kuping terasa pekak.

   Ternyatalima batang pedang ditangan Li Hwi-kek dan lain-lain serempak terayun ke depan memetakan jaringan sinar mengkilap yang ketat, tahutahu tusukan pedang Liu Bu-bi tertahan dan tersanggah ditengah udara.

   Begitu keras benturan ini sampai badan Liu Bu-bi tertolak mumbul ke tengah udara dan bersalto ke belakang meloncat dengan enteng tancap kaki tak bersuara, tangan yang memegang pedang sudah linu kemeng tak bisa bergerak, namun pedang masih digenggamnya dengan kencang, suaranya gemetar dan ngeri.

   "Cianpwe... Cianpwe, kenapa kalian menolongnya?"

   Suara Siau Ciok bengis dan kereng.

   "Dia tidak tega melukai jiwa suamimu, sehingga terima tertendang roboh, mana boleh dalam keadaan seperti itu kau hendak membunuh dia, anak didik keluarga Li di Mao kau mana boleh melaksanakan perbuatan serendah dan tak tahu budi seperti ini?"

   Liu Bu-bi tertunduk lemas, agaknya diapun terbungkam tak bisa berdebat lagi. Li Giok-ham mendadak berlutut, ratapnya.

   "Dia menaruh belas kasihan kepadaku, sudah tentu Wanpwe cukup tahu budi luhurnya ini Wanpwe tidak akan berani melupakannya apapun caranya Wanpwe pasti akan membalas budi kebaikan ini tanpa pamrih."

   "Seenak udelmu kau bicara, kau kira sebagai orang persilatan harus mengutamakan budi pekerti, tegas dalam budi kebaikan dan dendam kesumat."

   "Budi luhurnya terhadap Wanpwe terang akan kubalas ganda, tapi hari ini apapun yang terjadi sekali-kali Wanpwe tak akan membiarkan dia lolos dari sini."

   "Apa-apaan ucapanmu ini?"

   Bentak Siau Ciok mendelik. Semakin dalam kepala Li Giok-ham tertunduk sahutnya.

   "Karena betapapun tebal dan mendalam budi luhurnya terhadap Wanpwe, takkan setebal dan sedalam budi luhur orang tua yang mendidik dan membesarkan diriku, jikalau hari ini Wanpwe membiarkan ia pergi karena dia menanam budi terhadap diriku, mungkin ayah bakal menyesal seumur hidup, bukan mustahil aku bakal dikutuknya. Bakti terhadap orang tua memang sukar dilakukan dan memerlukan pengorbanan, namun betapapun Wanpwe harus mengutamakan bakti lebih dulu tentunya para Cianpwe tidak akan membuat Wanpwe tidak berbakti terhadap orang tua bukan?"

   Lama Siau Ciok termenung, pelan-pelan sorot matanya tertuju pada Li Koan-hu.

   Tampak rona muka si orang tua yang sudah loyo ini, dari pucat pasi kini berobah merah padam, daging di ujung bibirnya tampak gemetar keras, sepasang mata yang sudah hampa mendelong itu, kini menyorotkan kegusaran yang tak terlampias, seolah-olah mirip sepasang obor yang sakti, membakar dan menghidupkan kembali jiwa lapuknya yang tinggal menunggu ajal itu.

   Siau Ciok akhirnya menarik napas, katanya sambil menarik sorot matanya.

   "Bagaimana menurut pendapat kalian?"

   Ling Hwi-kek berempat kelihatannya serba susah, tiada satupun yang segera menjawab pertanyaan ini, dengan melirik satu persatu Li Giok-ham pandang mereka, katanya pula.

   "Wanpwe cukup tahu, dengan gengsi kedudukan dan ketenaran para Cianpwe, sekali-kali tidak akan turun tangan disaat lawan sudah terkalahkan, apalagi membunuhnya. Tapi mengingat hubungan intim para Cianpwe dimasa lalu dengan ayah, tentunya takkan berpeluk tangan dan tega membiarkan beliau memeras diri dalam keadaan yang tersiksa itu."

   Kini kepalanya terangkat, katanya lebih lanjut.

   "Sejak tujuh tahun yang lalu waktu beliau meyakinkan hawa pedang, tak beruntung Cay-hwe-ji-po, selama tujuh tahun ini keadaan lebih sengsara dan tersiksa daripada orang mati, memangnya para Ciapwe begitu tega..."

   "Jangan kau banyak cerewet lagi!"

   Sentak Siau Ciok bengis.

   "Aku hanya ingin tanya kepadamu, umpama kata sekarang kita membunuh Coh Liuhiang, memangnya manfaat apa yang diperoleh ayahmu?"

   "Wanpwe sendiri tidak tahu kenapa ayah begitu getol ingin membunuh jiwa orang ini, aku hanya tahu bahwa perintah dan kehendak orang tua tak boleh dibangkang, jikalau para Cianpwe belum lupa akan..."

   "Tidak perlu kau peringatkan aku."

   Tukas Siau Ciok keras.

   "Memangnya dulu Li Koan-hu teramat baik terhadapku, umpama aku bisa melakukan perbuatan terkutuk kepada manusia siapa saja dikolong langit ini sekalikali aku takkan berani berbuat salah terhadapnya!"

   Mulut bicara pelanKoleksi

   KANG ZUSI pelan dia menarik pedangnya, katanya.

   "Putusanku sudah tegas, entah bagaimana pendapat kalian?"

   Laki-laki bertubuh tinggi kekar menghela napas sahutnya.

   "Kalau Siao-lo berpendapat demikian, Losiu takkan banyak bicara lagi!"

   Ling Hwi-kek berkata.

   "Dengan Hoan-hu-heng bukan saja kenalan baik, malah masih terhitung famili dekat, maka kedudukan dan keadaanku sendiri sebetulnya jauh lebih menyulitkan daripada kalian, maka... maka... mendadak dia membalikkan badan katanya.

   "Hari ini perduli kalian mau bunuh Coh Liu-hiang atau membebaskannya pergi, terpaksa aku anggap tidak melihat tak mendengar, lebih baik kalian boleh anggap aku tak hadir di sini."

   Kini empat pedang sudah ditarik mundur. Laki-laki baju hitam yang bertubuh biasa itu agaknya lama sekali peras otaknya, baru sekarang dia bersuara dengan nada berat.

   "Pendirianku sama dengan Ling-heng."

   Agaknya orang ini tidak suka bicara cukup beberapa patah katanya saja, dia lantas putar badan menyingkir ke pinggir.

   Maka sekarang yang ketinggalan hanyalah laki-laki tinggi besar yang kekar itu, pedangnya masih teracung lurus ke depan, meski pedang tergenggam erat, namun ujung pedangnya kelihatan bergoyang-goyang dan gemetar.

   Berkata Siau Ciok mengerut alis.

   "Aku tahu hubunganmu dengan Li Koanhu paling mendalam, kenapa kau tidak buka suara?"

   Laki-laki tinggi besar serba hitam ini menghela napas, katanya.

   "Bukan saja hubungan Koan-hu-heng dengan aku amat mendalam malah dia pernah menolong jiwaku, jikalau lantaran diriku sendiri, aku disuruh membunuh Coh Liu-hiang dengan pedangku ini tak menjadi soal, namun sayang..."

   "Apa yang kau sayangkan?"

   Tanya Siau Ciok tidak sabar.

   "Tentunya Ciok-lo sudah tahu setiap patah dan tindak tandukku, bakal mempengaruhi ribuan anak murid Bu tong-pay kami, mana bisa, mana aku bisa..."

   Suaranya gemetar terang bahwa hatinya amat mendelu dan perasaan hati sedang berada dalam tekanan keadaan. Namun Siau Ciok segera membentak dengan bengis.

   "O, jadi kau sedang merisaukan kedudukan Toa-hu-hoatmu di Butong-san, tapi jikalau Li KoanKoleksi

   KANG ZUSI hu tidak menolong jiwamu, apa kau masih bisa hidup sampai sekarang?"

   "Kenapa tidak kau copot saja kedudukan Toa-hu-hoatmu itu demi membalas kebaikannya?"

   Ternyata laki-laki tinggi besar dan kekar ini adalah Thi-san Totiang, pelindung pertama dari Bu-tong-san yang sekarang. Diam-diam mencelos hati Coh Liu-hiang, terdengar Siau Ciok sedang berkata pula.

   "Biar kuberitahu kepadamu, setelah hari ini aku membalas budi kebaikan Li Koan-hu selanjutnya akupun malu untuk mengurus dan mengasuh serta memimpin murid didik dari perguruan Giok-kiam kami, selanjutnya aku akan mengundurkan diri mengasingkan diri di atas gunung, jikalau kau suka menjadi temanku, dengan senang hati aku sambut uluran tanganmu."

   Dada Thi-san Totiang turun naik napasnya memburu keras, keringat bertetesan membasahi bahunya. Mendadak Coh Liu-hiang menimbrung dengan tertawa.

   "Kukira Totiang tidak perlu sangsi dan serba salah, lebih baik kau tiru tekad para Tayhiap ini, gunakan diriku sebagai pembalasan kebaikan orang! Apa yang dinamakan "kesetiaan dan keadilan Kang-ouw"

   Sebetulnya banyak ragam artinya, hari ini kau membunuh aku, bukan saja orang lain tidak akan menistamu sebagai seorang yang tak punya rasa cinta kasih dan tidak setia, malah orang akan mengatakan kau tegas memberikan budi kebaikan dan dendam sakit hati, bagi seorang laki-laki sejati yang membalas budi kebaikan orang lain.

   Sebaliknya jikalau hari ini kau bebaskan aku, kelak kau akan malu jadi manusia."

   Thi-san Totiang membanting kaki, mendadak dia angkat telapak tangan kirinya, terus diayun balik menebas ke pundak kirinya sendiri.

   "Krak"

   Terdengar tulang patah dan remuk oleh pukulan tangannya sendiri. Siau Ciok berteriak kaget, serunya.

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa kau berbuat demikian?"

   Thi-san Totiang terhuyung mundur, katanya serak dengan tertawa getir.

   "Kalian sudah melihat, Coh Liu-hiang, kaupun melihat bukan aku tidak sudi merintangi mereka membunuh orang, kenyataan sekarang aku sudah tak mampu menghalangi mereka lagi."

   Bukan saja mula Liu Bu-bi sudah pucat pias tak berdarah, agaknya diapun terkesima saking kaget dan takut. Kata Thi-san Totiang dengan serak.

   "Kenapa tidak segera kau bunuh dia? Apa pula yang kau tunggu?"

   Tersipu-sipu Liu Bu-bi berlutut di lantai bersama Li Giok-ham keduanya menyembah tiga kali, serunya.

   "Terima kasih Cianpwe, budi luhur para Cianpwe selama hidup Tecu takkan melupakan."

   Coh Liu-hiang menghela napas pelan-pelan katanya dengan tertawa getir.

   "Ada orang seperti Thi-san Totiang yang begitu simpatik terhadapku maka terbukti sudah bahwa "jalan kebenaran dan keadilan Kangouw"

   Hakekatnya bukan omong kosong belaka, terhitung kematianku tidak sia-sia, aku mati tidak penasaran, cuma sampai sekarang aku tetap tak mengerti, kenapa kalian ingin benar membunuhku, akupun tahu sekarang kalian terang takkan mau memberi tahu kepadaku, agaknya matipun aku akan jadi setan gentayangan."

   Maka ujung pedang Liu Bu-bi akhirnya terhujam kedada Coh Liu-hiang.

   Coh Liu-hiang secara langsung merasakan ujung pedang Liu Bu-bi yang dingin itu sudah menembus ke dalam kulit dagingnya, anehnya dalam keadaan seperti itu, Coh Liu-hiang ternyata malah terlalu terang, sedikitpun tidak merasa takut, sampai sakitpun sudah tak terasakan lagi olehnya, yang terasa hanyalah ujung pedang yang tajam mengkilat itu sedingin es.

   Entah mengapa pada detik-detik sebelum ajalnya ini, pikirannya mendadak melayang ke tempat nan jauh disana , di suatu tempat di pucuk utara yang bertanah salju.

   Terbayang olehnya diwaktu dirinya masih kecil, waktu dia bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa dibukit salju, secara diamdiam Oh Thi-hoa menyusupkan segenggam salju yang dingin itu ke dalam lobang baju di lehernya.

   Gumpalan salju itu terus melorot turun sampai di dadanya, perasaan diwaktu kecil dulu itu mirip benar dengan keadaan sekarang.

   Bila orang mengacungkan gumpalan salju hendak menyusupkan kedalam bajunya, kau akan merasa takut, namun setelah salju yang dingin itu menyentuh dan mengalir di kulit badanmu, kau malah akan merasa suatu siksaan yang menyenangkan, seolah-olah pula kau merasakan terbebaskan dari segala belenggu dan kesulitan, karena sesuatu yang membuatmu merasa takut sudah berlalu.

   Lantaran yang betul-betul ditakuti oleh orang, bukan benda itu sendiri, tapi hanyalah bayangan khayalnya saja terhadap kejadian itu, umumnya manusia takut menghadapi kematian, lantaran tiada manusia yang benarbenar memahami arti dari kematian itu, maka timbul berbagai bayangan atau khayal yang menakutkan terhadap kematian sendiri.

   Dan kematian itu kini sudah berada di hadapan Coh Liu-hiang.

   Didalam masa hidupnya yang beraneka ragam, penuh humor dan serba romantis itu, dia sendiri tidak tahu berapa kali dirinya pernah menghadapi detik-detik tegang yang bakal merenggut jiwanya, tapi selama itu dia tak pernah kehilangan keyakinan dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

   Hanya kali ini saja, dia benar-benar sudah tak berdaya sama sekali, ia insyaf dalam keadaan seperti ini ditempat ini pula, sekali-kali takkan terjadi sesuatu keajaiban, pasti takkan ada orang yang bakal menolong dirinya lagi.

   Secara langsung terasa olehnya, belum pernah dirinya begitu dekat dengan ajal, begitu dekat seolah-olah dia sudah dapat merasakan serta melihat keganjilan dari bayangan kematian itu, sehingga terasa pula olehnya bahwa "MATI"

   Ternyata juga hanya begini saja, tiada sesuatu yang perlu dibuat takut, maka timbul ingatannya, bahwa bukan saja orangorang yang takut mati amat kasihan, sesungguhnya amat menggelikan.

   Maka setitik harapannya pada saat itu, hanyalah, semoga Oh Thi-hoa sudah membawa Soh Yong-yong dan lain-lain melarikan diri, jikalau sekarang dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kenyataannyapun sudah teringkus dan tergenggam jiwanya ditangan mereka, maka perasaan hatinya sebelum ajal ini takkan begitu tenang dan tentram.

   Sekilas ini, banyak sekali persoalan yang terbayang dalam benaknya, dia sendiri tidak tahu cara bagaimana didalam waktu yang singkat ini dia bisa teringat banyak persoalan itu.

   Dia merasa ujung pedang yang dingin itu masih berhenti di dadanya.

   Agaknya ujung pedang sedang berhenti mogok.

   Tak tertahan segera dia angkat kepala memandang ke arah Liu Bu-bi.

   Dilihatnya mata Liu Bu-bipun sedang menatap dirinya, roman mukanya yang cantik pucat itu seakan-akan menampilkan rasa pilu dan sedih, sayang dan kasihan.

   Terdengar Li Giok-ham batuk-batuk kecil, katanya.

   "Coh-heng, terus terang kami merasa amat bersalah terhadap kau, semoga kau suka memaafkan tindakan ini."

   Hampir saja Coh Liu-hiang tak tahan hendak tertawa, masakah seorang pembunuh mohon ampun dan minta maaf kepada korbannya, terasa oleh Coh Liu-hiang ucapannya ini teramat lucu dan ganjil kedengarannya. Liu Bu-bi segera menambahkan dengan suara rawan.

   "Kami sendiri tiada niat membunuh kau, sungguh merupakan tindakan terpaksa."

   Setelah menghela napas, dia pejamkan matanya.

   Coh Liu-hiang tahu begitu matanya terpejam, maka ujung pedang segera akan menusuk ulu hatinya dan tamatlah jiwanya.

   Tak tahunya pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara gaduh, seperti meja dan cangkir poci dan lain-lain di atas sama jatuh pecah berantakan, selanjutnya didengarnya pula seseorang membentak dengan suara yang dipaksakan.

   "Ta.... tahan!"

   Dalam detik-detik yang menentukan jiwanya ini, sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tidak akan pernah membayangkan ada orang bakal menolong jiwanya.

   Memang mimpipun tak pernah terpikir olehnya, siapakah sebenarnya yang menolong dirinya.

   xxx Itulah sebuah rumah mungil yang dipajang dengan indahnya, kainparis menutupi jendela, kain gordyn melambai tertiup angin, bau wangi memenuhi ruangan menyegarkan napas seolah-olah di situ adalah sebuah kamar seorang perawan.

   Tapi didalam pandangan Oh Thi-hoa tempat ini tak ubahnya sebagai penjara yang paling mewah belaka.

   Nona Ping mondar-mandir dan tak mau berhenti didalam rumah, pinggangnya yang ramping seperti menggeliat dengan indahnya, dadanya yang padat montok seolah-olah hendak meledak menjebol kain sutra yang membungkusnya, sampaipun sulaman kembang dibagian dalamnyapun kelihatan samar-samar, adanya seorang gadis ayu dengan dandanan merangsang mondar-mandir di hadapanmu, sungguh merupakan rejeki besar bagi seorang laki-laki yang memperoleh tontonan gratis.

   Tapi sekarang sedikitpun Oh Thi-hoa tidak merasa sedan beruntung dan terpesona, kalau semula dia ingin mencubit pinggul orang yang bulat itu, sekarang ingin rasanya dia memberi persen bogem mentah diujung hidungnya yang mancung itu.

   Gemas sekali hatinya.

   Lalu sekali pukul lagi bikin rontok seluruh giginya supaya kelak dia tidak berani membual dan ngapusi orang lagi, sayang sekali hatinya hanya bisa marah tanpa dapat berbuat apa-apa, karena kaki tangannya terikat sedemikian kencang.

   Bahwa orang tidak pukul rontok giginya sendiri sudah merupakan suatu keberuntungan.

   Terasa lenggang nonaPing semakin lama semakin genit, gemulai dan mempesonakan sampai pandangan matanya mendelik dan kepala pusing, tak tahan dia menjerit.

   "Apakah pantatmu tumbuh bisul? Kenapa tidak kau duduk saja?"

   Ternyata nonaPing betul-betul menghampiri ke depannya dan duduk. Oh Thi-hoa tidak duga orang mau begitu dengar katanya, sesaat dia melongo katanya pula lebih keras.

   "Akukan bukan bapakmu, kenapa kau begitu penurut?"

   Bukan saja tidak marah, nonaPing malah tertawa lebar, ujarnya.

   "Apakah kau berpendapat jiwamu bakal segera mampus, maka kau lekas naik pitam, sebetulnya kau tidak perlu marah-marah karena aku jelas takkan membunuh kau."

   Berputar biji mata Oh Thi-hoa, katanya.

   "Kalau kau tidak membunuhku, kenapa tidak lekas kau bebaskan aku?"

   "Asal Coh Liu-hiang itu sudah mampus, segera aku membebaskan kalian."

   Berkerut alis Oh Thi-hoa. Dengan tersenyum nonaPing segera menambahkan.

   "Bukan saja melepas kau, ke empat nona-nona itupun akan kami bebaskan seluruhnya, oleh karena itu lekaslah kau berdoa kepada Thian supaya Coh Liu-hiang lekas mati, semakin cepat dia mati semakin cepat kalian dibebaskan."

   "Kalau demikian mungkin selama hidupku aku bakal terbelenggu seperti ini dan kau akan meladeniku pula."

   "O?"

   NonaPing bersuara heran. Oh Thi-hoa melotot, teriaknya.

   "Ketahuilah selamanya Coh Liu-hiang takkan mudah terbunuh, sekarang segera kau bebaskan aku, terhitung kau cerdik, kalau tidak bila dia sudah kemari, he he..."

   "Aduh!"

   NonaPing terpingkel-pingkel.

   "Begitu menakutkan! Kalau kau menakut-nakuti aku, jantungku serasa hendak melonjak keluar."

   Oh Thi-hoa menyeringai, jengeknya.

   "Sekarang tentu kau tidak perlu takut, namun bila dia sudah berada disini..."

   Sekonyong-konyong di luar terdengar ada seseorang memanggil lirih.

   "Nona Ping."

   "Masuk..."

   Sahut nonaPing .

   "kau sudah memberi laporan kepada Siauhujin? Apa yang dipesan oleh Hujin?"

   Yang masuk ternyata kacung cilik baju hitam itu, sahutnya menjura.

   "Siau-hujin hanya tertawa -tawa saja, sepatahpun tidak memberi pesan apa-apa. Nona Ping melerok kepada Oh Thi-hoa, tanyanya pula.

   "Apa kaupun ada melihat Coh Liu-hiang itu?"

   Kacung cilik itu menyeringai tawa, sahutnya.

   "Sudah tentu melihat dia, memang laki-laki ganteng yang gagah, sedikitnya jauh lebih cakap dari yang ini, jauh lebih pintar pula."

   Oh Thi-hoa mendengus, jengeknya.

   "Kau bocah ini tahu kentut."

   Nona Ping tertawa cekikikan, katanya.

   "Justru karena bocah cilik tidak tahu urusan, maka apa yang dia ucapkan pasti jujur."

   Kacung cilik itu tiba-tiba berkata pula.

   "Sering aku mendengar cerita orang katanya betapa lihai dan hebat Coh Liu-hiang yang digelari Maling Romantis itu, tapi menurut apa yang sudah kulihat tadi, kecuali perawakannya gagah bermuka ganteng saja, yang lain-lain sih biasa saja, belum lama setelah aku masuk ke ruang dalam, dengan jelas kulihat sendiri dia ditendang terjungkal oleh Siau cengcu, rebah di tanah, bergerakpun tidak bisa."

   Oh Thi-hoa gusar serunya.

   "Mungkin kau melihat setan disiang hari bolong."

   Kacung cilik berbaju hijau ternyata tertawa peringisan katanya.

   "Jika kau anggap aku sedang membual, lebih baik jangan kau percaya."

   Oh Thi-hoa melongo sesaat lamanya, akhirnya tak tahan ia berseru.

   "Walau aku tidak percaya, tapi tidak menjadi soal mendengar obrolanmu, yang terang dalam keadaan begini aku memang amat iseng."

   "Kalau kau sedang iseng, sebaliknya aku sedang repot."

   Kata kacung cilik itu tertawa.

   Aku tidak punya waktu untuk bercerita kepada kau, mulutnya bicara, badannya sudah berputar keluar.

   Keruan Oh Thi-hoa jengkel dan gemes, tenggorokkannya terasa getir, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

   Tak kira, tak lama kemudian kacung cilik itu berlari balik cuma menongolkan kepalanya saja diambang pintu, katanya mengawasi dirinya.

   "Kalau kau ingin tahu bagaimana keadaan temanmu sekarang aku sih punya cara yang baik."

   "Cara apa?"

   Tanya Oh Thi-hoa tak tahan lagi.

   "Jikalau kau suka memberi hadiah kepadaku, begitu hatiku senang, bukan mustahil segera ku ajak kau ngobrol."

   "Hadiah apa yang kau inginkan dari aku?"

   Berputar biji mata kacung cilik ini, katanya.

   "Yang lain aku tidak mau, aku hanya suka kotak perak didalam kantongmu itu."

   Oh Thi-hoa tertawa dingin katanya.

   "Liu Bu-bi ternyata tidak melupakan benda ini, kenapa tidak dia sendiri yang mengambilnya kemari?"

   "Memangnya nyonya muda perlu turun tangan sendiri? Umpama aku saja sekarang jangan kata aku hanya ingin minta sesuatu barangmu saja, seandainya harus menelanjangi seluruh pakaianmu, kaupun hanya bisa melotot saja kepadaku."

   Ternyata biji mata Oh Thi-hoa betul-betul melotot besar seperti bundar telur, dampratnya gusar.

   "Kau... kau berani?"

   "Kenapa aku tidak berani, cuma aku ini seorang kacung dari keluarga Li ini, selamanya harus pegang tata tertib, sekali-kali aku tak sudi sembarangan ambil barang milik orang lain tanpa ijin, kecuali secara sukarela orang itu memberi kepadaku."

   Nona Ping tertawa lebar katanya.

   "Kau jangan kuatir, Oh Thi-hoa biasanya terbuka tangan dia bukan orang kikir, sekali-kali dia tidak akan merasa berat memberikan barang yang kau inginkan, apalagi hanya mulutnya saja yang terkancing, sebetulnya hatinya sudah gugup setengah mati, jikalau kau tidak segera memberitahu keadaan Coh Liu-hiang yang sebenarnya, bukan mustahil dia bisa mampus karena kau bikin marah."

   Walau amarah Oh Thi-hoa sudah berkobar tapi memang dia amat ingin besar tahu keadaan Coh Liu-hiang meski apa yang dia dengar dari penuturan mulut bocah kecil ini tidak seratus persen boleh dipercaya, namun masih mending dari pada tak tahu sama sekali, terpaksa dalam hati dia menghela napas, mulutnya segera terpentang lebar, serunya lantang.

   "Benar, Oh Toaya biasanya amat royal, apa yang diinginkan orang kalau dia punya dengan suka hati dia memberikan, nah boleh kau ambil sendiri."

   "Kacung cilik itu sudah memburu maju sambil merogoh keluar kotak perak Bau-hi-li-hoa-ting itu, katanya tertawa gembira.

   "Kau sendiri yang memberi kepadaku dengan sukarela, aku tak memaksa kau lho, benar tidak?"

   "Ya, terhitung aku situa bangka ini, kesandung oleh anak kecil, anggap saja hari ini aku terlalu sial."

   Gumam Oh Thi-hoa uring-uringan.

   "Apakah kau merasa sial? Kalau dibandingkan dengan temanmu yang satu itu, kau malah terhitung beruntung."

   "Dia... bagaimana keadaannya sekarang?"

   Tanya Oh Thi-hoa gelisah.

   "Setelah ditendang roboh oleh Siau-chengcu, nyonya muda segera menubruk maju sambil menusukkan pedangnya, ternyata Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang kenamaan itu, berkelitpun sudah tidak mampu lagi."

   Walau Oh Thi-hoa tidak percaya obrolan seorang bocah, namun mendengar cerita ini tak urung dia menjerit kaget, kacung cilik itu malah cekikikan geli, katanya dengan kalem.

   "Tapi kelima Cianpwe justru berpendapat nyonya muda tidak pantas membunuhnya, serempak mereka turun tangan menghalangi dan menangkis pedang nona muda..."

   Sampai disini tak terasa Oh Thi-hoa menarik napas, katanya lagi.

   "Agaknya kelima orang itu memang tidak malu sebagai tokoh-tokoh kosen ahli pedang yang sudah kenamaan."

   "Apa sekarang sudah mau percaya bahwa apa yang kukatakan tidak membual lagi?"

   Tanya kacung cilik itu.

   "Belum lagi Oh Thi-hoa buka suara lagi, nonaPing sudah mendahului.

   "Sudah tentu dia percaya karena seseorang bila mendengar kabar gembira tentu lebih mudah untuk mempercayainya."

   "Kalau demikian,"

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar si kacung cilik.

   "kalau cerita kulanjutkan mungkin sepatah katapun tak mau dipercayainya."

   "O, Coba kau teruskan ceritamu!"

   Desak nonaPing ikut merasa heran.

   "Karena kalau ceritaku kulanjutkan, maka tiada sepatah katapun yang merupakan kabar gembira."

   "Apakah... apakah kelima Cianpwe itu akhirnya merubah haluan?"

   Tanya Oh Thi-hoa gemetar.

   "Walau kelima orang-orang tua itu ada sedikit belajar keimanan, betapapun mereka belum pikun, untuk masih bisa membedakan untung rugi dan berat ringan sesuatu persoalan. Setelah Siau cengcu ketengahkan pengertian yang mendalam perihal kesetiaan dan persahabatan, akhirnya kelima orang itu satu persatu mengundurkan diri."

   Meski Oh Thi-hoa tidak percaya ucapannya, mau tak mau dia harus percaya juga akhirnya, tanyanya pula tak sabaran.

   "Belakangan bagaimana?"

   "Belakangan aku mengundurkan diri."

   Sahut kacung cilik itu. Karuan Oh Thi-hoa berjingkrak gusar. teriaknya.

   "Kau tinggal pergi? Kenapa kau pergi darisana ?"

   "Karena aku takut melihat orang mati, kulihat ujung pedang nyonya muda sudah menusuk ke dalam dadanya, maka secara diam-diam aku lantas mengeluyur keluar, tapi cepat atau lambat suatu ketika kau pasti akan percaya, hakekatnya aku tak perlu membual untuk menggertak atau menakuti aku."

   Terasa oleh Oh Thi-hoa seluruh badannya menjadi kejang, keringat gemerobyos membasahi seluruh badan. Berkata pula kacung cilik itu dengan tertawa.

   "Namun setelah aku pergi, bukan mustahil mendadak bisa muncul seseorang yang menolong jiwanya, sudah lama aku dengar katanya teman Coh Liu-hiang tersebar di seluruh kolong langit, apa benar?"

   "Sudah tentu ada orang yang akan menolongnya."

   Seru Oh Thi-hoa penuh keyakinan. Pasti ada orang yang datang menolongnya, sudah tentu..."

   Beruntun berulang kali dia ucapkan kata-katanya ini, karena dia kuatir dia sendiripun tidak percaya maka sengaja dia ulangi dua tiga kali untuk memperteguh keyakinannya.

   Celaka adalah setelah tujuh delapan kali dia ulangi kata-katanya, hatinya masih belum mau percaya juga.

   "Coba kau pikir"

   Kata kacung cilik itu pula ."

   Siapa yang akan menolong dia?"

   "Siapa saja bisa saja menolong dia, karena terlalu banyak untuk disebut satu persatu yang terang orang mau menolongnya."

   Kata Oh Thi-hoa sengit.

   "O! coba kau sebut saja dua tiga orang diantaranya."

   "Umpamanya, umpamanya, Setitik Merah dari Tionggoan, Bau li tok hing Cay locianpwe, Thian-hong Taysu, haha, tentunya kau kenal nama-nama beberapa orang ini?"

   Meski sedapat mungkin dia menghibur diri dengan mulut nyerocos.

   tapi dia sendiri tahu bahwa orang-orang yang dia sebut namanya tadi takkan mungkin meluruk kemari dan lagi umpama benar mereka menyusul datang, belum tentu mereka mampu menolong jiwa Coh Liu-hiang.

   Biji mata kacung cilik itu kembali berputar katanya.

   "Benar, agaknya tadi aku seperti melihat berkelebatnya bayangan seorang Hwesio tua, kalau tidak salah memang Thian-hong Taysu."

   "Apa benar kau melihatnya?"

   Seru Oh Thi-hoa kegirangan.

   "Em! Tapi setelah kutegasi, baru aku tahu ternyata dia bukan seorang Hweshio, tapi adalah seorang laki-laki botak."

   Sudah tentu serasa orang yang kebakaran jenggot gusar dan gelisah, Oh Thi-hoa gusar lagi karena permainan bocah cilik ini. Kacung cilik malah cekikikan katanya.

   "Kau jangan marah, bukan sengaja aku hendak membuat kau marah, soalnya kau sendiri suka mengapusi dirimu sendiri, terpaksa akupun ikut bantu kau menipumu juga.

   "Kau kira bualanmu pantas dibuat girang ya?"

   Damprat Oh Thi-hoa meronta-ronta.

   "Ketahuilah jikalau kalian benar sudah membunuh Coh Liuhiang didalam waktu setengah bulan seluruh Yong cui-san-cheng ini bakal dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah, belum habis dia bicara, dari dalam rumah mendadak kumandang suara desingan yang nyaring, seolaholah barang besi apa yang dipukul dengan gencar. Setelah didengarkan dengan seksama, suara gaduh ini seperti kumandang dari dalam bumi. Kacung cilik itu segera mengawasi nonaPing dengan tertawa, katanya.

   "Apakah macan betina itu sedang main gila lagi?"

   Nona Ping menghela napas, katanya.

   "Dia sedang memanggil orang, bila aku tidak segera turun ke bawah, maka dia akan memukul terus takkan berhenti, sampai orang lain budek dan dongkol setengah mati."

   "Kenapa tidak beri hajaran kepadanya supaya orang lain tahu akan tata tertib di sini, pasti dia akan tunduk dan menyerah mentah-mentah,"

   Kacung itu mengusulkan.

   "Sejak mula aku sudah hendak unjuk gigi kepada mereka, namun nyonya muda justru bersikap ramah-tamah terhadap mereka, untung orang she Coh itu sekarang sudah tamat terhitung akupun boleh terbebas dari kesulitan."

   Bila mata Oh Thi-hoa kembali melotot besar, serunya.

   "Apakah yang kau bicarakan adalah nona Soh dan lain-lain?"

   Mengerling biji mata nonaPing , tiba-tiba dia tertawa dengan berkata;

   "Bukan kau ingin menjenguk mereka? Baik, sekarang juga kubawa kau kepada mereka, kulihat kau dengan macan betina itu memang pasangan yang setimpal."

   Lalu dia menghampiri sebuah pigura yang dari lukisan cat kuno serta menurunkannya, maka tampaklah di belakangnya sebuah dinding merekah ke bawah dengan pintu yang cukup untuk turun seseorang ke bawah, undakundakan batu.

   Kejap lain mereka sudah tiba di sebuah sel atau kamar tahanan di bawah tanah yang beruji besi.

   Begitu Oh Thi-hoa tiba di ruangan bawah, sorot matanya seketika melihat tiga ekor kura-kura.

   Ketiga ekor kura-kura besar itu merupakan lukisan dari tinta bak hitam yang melekat pada dinding tembok putih yang berhadapan dengan pintu masuk, yang paling besar ternyata digambar besar dari sebuah meja bundar.

   Lucu sekali bahwa kepala kura-kura itu ternyata berjenggot dan berkaca-mata, dan yang lain digambar rada kecilan, pada kedua sisi masing-masing ada dilukis tiga baris huruf-huruf pengenal yang berbunyi.

   "Gambar Li Giok-ham dan gambar Liu Bu-bi. Dibawahnya tertanda Li Ang siu dari Tionggoan dan Song Thiam-ji dari King-nam. Tak jauh dari gambar ketiga kura-kura ini, tertulis pula sepasang syair tampilan, masing-masing berbunyi.

   "Anaknya Linglung, babaknya pikun."

   "Mantunya gendeng, sekeluarga serba gila."

   Kalau Oh Thi-hoa saat itu tidak sedang masgul dan gundah pikiran, mungkin ia sudah tertawa terpingkal-pingkal.

   Maka setelah maju lebih lanjut, maka dia melihat empat orang.

   Empat orang gadis muda yang rupawan laksana bidadari.

   Yang terlihat oleh Oh Thi-hoa lebih dulu adalah gadis yang berambut kepalanya dikuncir dua, kulit mukanya bersemu abu-abu dengan bulat seperti kuaci, dikombinasi dengan sepasang mata yang jeli, lincah dan membundar besar.

   Tatkala itu gadis ini sedang memukulkan sebuah baskom tembaga pada terali besi tak henti-hentinya sehingga mengeluarkan suara kelontangan yang gaduh.

   Gadis yang di sebelahnya berpakaian celana panjang warna merah menyala seperti api yang sedang membara, namun kulit badannya sedemikian halus, dua orang yang lain sedang duduk berhadapan dipojokkansana main catur.

   Kalau di sebelah sini sedang ribut dengan suara baskom tembaga yang diadu terali besi, serasa bumi hampir ambruk, di sebelahsana keadaan justru tenang-tenang tanpa mengeluarkan suara.

   Gadis yang di sebelah kiri lemah lembut pendiam, rambutnya yang diikal dengan alis lentik dan bulu mata yang panjang lebat, kerlingan mata yang jernih, selintas pandang bak bidadari yang turun dari kahyangan, sudah lama tidak dikotori oleh kehidupan duniawi.

   Sebaliknya gadis yang duduk di sebelah kanan laksana kembang Tho yang mekar di musim semi, namun sedingin tonggak salju di musim dingin pula, roman mukanya yang pucat dengan sepasang biji mata bening setenang gelombang lautan teduh yang mengalun pelan-pelan.

   Oh Thi-hoa menghirup napas panjang berulang kali, mulutnya lantas menggumam.

   "Akhirnya aku berhasil bertemu dengan mereka, namun sayang sekarang segalanya sudah terlambat."

   Gadis berkuncir begitu melihat kedatangan nonaPing seketika tertawa besar, serunya.

   "Perempuan bodoh, memangnya kedua kakimu sudah buntung? Baru sekarang kau kemari, tidak mendengar panggilanku?"

   Nona Ping tersenyum saja, sahutnya.

   "Aku bukan perempuan bodoh, logatmu sukar ku tangkap."

   "Apa kau tidak mengerti? Kau tidak mengerti kenapa aku menamakan kau perempuan goblok?"

   Seru gadis itu tertawa besar. Mimik wajah gadis ini serba aneh dan kaya akan perbuatan yang berlainan, baru saja mukanya masih berseri tawa, tahu-tahu sudah menarik muka dan merengut jelek, serunya.

   "Kutanya kau, apakah keluarga majikanmu sudah mampus seluruhnya? Sampai ini waktu belum lagi dia membereskan persoalan kita?"

   Logat perkataannya mengandung aksen orang selatan, lama kelamaan nonaPing baru paham apa yang dikatakan, tapi belum lagi dia memberi tanggapan, gadis baju merah itu sudah melotot kepada Oh Thihoa, teriaknya.

   "Oh.. Oh.. bukankah kau she Oh?"

   "Benar."

   Sahut Oh Thi-hoa tertawa getir.

   "Aku memang Oh Thi-hoa, tak nyana kau masih ingat kepadaku."

   Baru saja dia menyebut namanya sendiri, gadis lemah lembut itu segera tinggalkan biji-biji caturnya memburu ke depan terali besi, dengan melotot mereka awasi dirinya. Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya.

   "Aku pun tahu kau bernama Soh Yong-yong, kau ini Li Ang-siu dan kau Song Thiam-ji dulu waktu aku melihat kalian, kalian masih kanak-kanak tak nyana sekarang sudah tumbuh besar. Li Ang-siu tertawa lebar sahutnya.

   "Setiap orang tentunya bisa tumbuh dewasa benar tidak?"

   "Sejak lama aku ingin menjenguk kalian, sayang waktu sekarang ini kurang tepat, tempat ini terlalu buruk."

   Nona Ping menurunkan dirinya di depan terali besi, katanya tertawa.

   "Kalian sesama sahabat lama bertemu, silahkan ngobrol sepuas hati."

   Mulut bicara sementara ujung kakinya menutul ke atas lantai, papan batu di bawah Oh Thi-hoa tiba-tiba menjeplak terbalik turun dan naik lagi, kontan badan Oh Thi-hoa terjeblos terus terguling-guling didalam terali besi.

   Lekas Li Ang siu dan Soh Thiam-ji memburu maju memapaknya duduk, kejap lain tali urat kerbau yang membelenggu seluruh badannya sudah diputuskan seperti burung berkicau kedua orang ini lantas menghujani pertanyaan.

   "Bagaimana kau bisa datang kemari?"

   "Aku sendiripun ingin tanya kalian, kenapa bisa berada di sini?"

   Balas bertanya Oh Thi-hoa. Song Thiam-ji segera berebut bicara.

   "Kami tamasya ke gurun pasir naik kuda dan..."

   Dengan logat orang selatan dia nyerocos tidak henti hentinya, tiba-tiba berhenti lalu menambahkan.

   "Apa yang kukatakan mungkin kau tidak mengerti, biar dia saja yang cerita."

   Li Ang-siu segera angkat bicara.

   "Cerita panjang kuperpendek saja, yang jelas kita sudah bertamasya ke gurun pasir, tak lama kita segera pulang mencari Coh Liu-hiang, namun ditengah jalan kami kesampok dengan Li Giok-ham, Liu Bu-Bi suami istri!"

   "Kalian kenal kedua suami istri itu?"

   Tanya Oh Thi-hoa. "Siapa kenal mereka! Kebetulan hari itu kami mampir ke Kwi-gi-lau sekaligus mencari Siau-ceng-san untuk cari kabar, kebetulan merekapun berada disana ."

   Diam-diam Oh Thi-hoa membatin.

   "Kemungkinan mereka bukan kebetulan berada disana , yang terang mereka sengaja sedang menunggu kedatangan mereka."

   "Semula kami merasa kedua suami istri ini memang sopan santun dan cerdik lagi, katanya mereka keturunan dari keluarga besar persilatan lagi, sehingga sedikitpun kami tak pernah curiga dan siaga akan muslihatnya."

   Sampai di sini dia berhenti mengawasi Oh Thi-hoa lekat-lekat, tanyanya.

   "Jikalau kau tahu martabat mereka, apa kaupun bisa curiga dan siaga akan perangkap mereka?"

   "Tidak, soalnya kita tidak secerdik dan seteliti Coh Liu-hiang."

   "Dan karena itulah, dia ajak kami seperjalanan maka kamipun terima permintaannya. Tak nyana secara diam-diam mereka sudah memberi obat bius didalam air teh yang kami minum, waktu kami siuman, tahu-tahu sudah diantar ke tempat ini, sungguh aku tidak habis berpikir sebagai putra keturunan dari keluarga besar persilatan yang kenamaan, ternyata sudi melakukan perbuatan yang hina dan serendah ini."

   "Kalau aku, akupun takkan menduga."

   "Lebih aneh lagi,"

   Demikian tutur Li Ang-siu lebih lanjut.

   "Sampai detik ini, kami masih belum tahu tujuan dan maksud mereka, karena kami terkurung disini tidak pernah kami melihat cecongornya lagi."

   Jarinya menuding Song Thiam-ji lalu meneruskan.

   "Meskipun setan cilik ini setiap hari pentang bacot memaki kalang kabut, setiap hari membikin ribut, namun apapun yang dia maki, penghuni perkampungan di sini seolah-olah sudah mampus seluruhnya, tiada satupun yang mau muncul kecuali saatsaat tertentu, saking dongkol maka kami menggambar tiga ekor kura-kura di atas dinding, tak nyana mereka betul-betul menjadi kura-kura yang selalu menyembunyikan kepalanya tak mau muncul menemui kami."

   Menghela napas.

   "Coba pikir, apakah maksud mereka sebenarnya?"

   Oh Thi-hoa merasa getir ternggorokannya, dia kebingungan tak tahu apa yang harus dia bicarakan. Mendadak Soh Yong-yong angkat bicara.

   "Bukankah kau sudah bertemu dengan Coh Liu-hiang?"

   Dengan tajam dia menatap mukanya, terasa Oh Thi-hoa kerlingan mata orang yang lembut dan hangat, mendadak begitu terang cemerlang, sehingga orang yang dipandangnya takkan bisa berbohong lagi dihadapannya. Terpaksa Oh Thi-hoa mengangguk sahutnya.

   "Ya, aku memang sudah bertemu sama dia."

   "Lalu dimanakah dia sekarang?"

   Oh Thi-hoa menundukkan kepala melengos dari tatapan sorot mata orang, sahutnya tersendat.

   "Aku... aku kurang jelas."

   Soh Yong-yong maju ke depannya, katanya tandas.

   "Kau pasti tahu, kuharap kau jangan kelabui kami, apapun yang terjadi atas dirinya, kuharap kau suka memberi tahu kepada kami, karena kami punya hak untuk mengetahui."

   Semula tutur katanya begitu lebut dan merdu mengasyikkan, namun lama kelamaan nadanya sudah mengandung kekuatiran, melengking dan gelisah, seolah-olah dia sudah mendapat firasat jelek.

   Akan tetapi betapa Oh Thi-hoa akan tega menceritakan kabar buruk yang menimpa diri Coh Liu-hiang kepada mereka.

   Sayang sekali Oh Thi-hoa bukan seorang yang pandai menyembunyikan perasaan hati dan bisa menekan emosi, meski sepatah katapun dia tidak berbincang, namun rona muka Soh Yong-yong lambat-laun semakin pucat, kaki tangan dan bibirnyapun gemetar.

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Agaknya seperti kehilangan keseimbangan badan, badannya tak kuat berdiri lagi, mendadak dia meloso jatuh, dengan menjerit bersama Song Thiam-ji dan Li Ang-siu berebut maju memapahnya.

   Tepat pada saat itu pula, terdengar gerungan lirih tertahan, mendadak Mutiara hitam sudah memburu datang dan sedang mencekik leher Oh Thi-hoa, kulit mukanya pucat tak berdarah, dengusnya sambil melotot.

   "Sebetulnya apa yang terjadi dan apa pula yang dia alami? Tidak kau katakan biar aku bunuh kau lebih dulu."

   Tersipu-sipu Soh Yong-yong meronta bangun, serunya gemetar.

   "Lepaskan dia, lepaskan dia... sekali-kali dia tidak punya maksud jahat."

   "Tapi kenapa dia tidak mau bicara?"

   Sentak Mutiara hitam.

   "Apa sih yang ingin dia sembunyikan untuk mengelabui kita?"

   Air mata bercucuran membasahi pipi Soh Yong-yong, katanya pilu.

   "Aku tahu kenapa dia tidak mau membuka mulut, karena dia kuatir kita sedih."

   Habis kata-katanya tangisnya pun pecah sesenggukan.

   Li Ang-sui, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam sama berdiri memjublek, ketiganya sama mendelong awasi muka Oh Thi-hoa.

   Melihat rona muka dan sorot mata mereka, sungguh serasa ditusuk jarum ulu hati Oh Thi-hoa, sampai detik ini, baru dia benar-benar merasakan dan memahami betapa kecut perasaan seorang sedih hati."

   Sekonyong-konyong bayangan seseorang seperti terbang menerjang ruang penjara di bawah tanah ini.

   Orang ini ternyata bukan lain adalah Li Giokham.

   Begitu melihat orang ini, biji mata Li Ang-siu dan Song Thiam-ji seketika menyala seperti hendak menyemburkan api.

   Teriak Li Ang-siu dengan lantang.

   "Kau keparat busuk ini, berani kau kemari menemui kami?"

   Song Thiam-ji menjerit-jerit dengan suara gemetar.

   "Kau apakan Coh Liuhiang sekarang?"

   Mutiara hitam membentak bengis.

   "Lebih lekas kau bunuh aku, kalau tidak cepat atau lambat aku pasti akan membunuhmu."

   "Bangsat kurcaci."

   Oh Thi-hoa tidak mau ketinggalan memaki juga.

   "Berani kau berduel menentukan hidup mati dengan aku?"

   Empat orang serempak pentang mulut memaki dengan suara keras dan ribut, namun Li Giok-ham ternyata seperti tunduk mendengar.

   Tampak rona mukanya pucat, lebih sedih dan harus dikasihani, lebih menakutkan, biji matanya digenangi warna darah, seluruh badan gemetar.

   Setelah melihat tegas badannya, Oh Thi-hoa berempat malah melongo dan terheran-heran, disaat mereka bertanya-tanya tak habis mengerti, mendadak Liu Bu-bi ikut memburu datang.

   Bukan saja tindak tanduknya kelihatan amat duka, juga kelihatan gugup dan ketakutan.

   Langsung dia memburu ke depan Li Giok-ham, dengan kencang dia peluk badan orang, serunya setengah meratap gemetar.

   "Akulah yang membuat gara-gara ini, akulah yang membuat kau celaka."

   Li Giok-ham tidak bersuara, matanya lurus mendelong, tangannya pelanpelan mengelus rambur Liu Bu-bi, sorot matanya penuh diliputi kepedihan, juga diliputi kasin sayang.

   Mendadak Liu Bu-bi lepaskan pelukannya sambil putar badan, tengah merogoh sebatang badik yang kemilau terus menghujam keulu hatinya sendiri.

   Seperti orang gila yang kalap dengan kencang Li Giok-ham menubruk maju serta berteriak serak.

   "Mana boleh kau berbuat nekad ini, lepaskan tanganmu!"

   Air mata sudah bercucuran dimuka Liu Bu-bi, serunya sesenggukan.

   "Sudah lama aku memberikan beban yang berlarut-larut kepadamu, aku mohon padamu, biarlah aku mati saja, setelah aku mati orang akan memaafkan segala kesalahan kita."

   Li Giok-ham membanting kaki, katanya.

   "Coba kau pikir, setelah kau mati apakah aku masih bisa hidup?"

   Bergetar sekujur badan Liu Bu-bi, klontang, badik di tangannya terjatuh di atas lantai, maka mereka lantas berpelukan dan bertangisan dengan keras.

   Sungguh Oh Thi-hoa berlima terpaku dan melongo di tempatnya melihat pertunjukan aneh, ganjil dan memilukan ini.

   Tiada satupun yang tahu apa sebab kedua suami istri ini sekarang berubah begitu mengenaskan, begitu konyol? Memangnya mereka sedang bermain sandiwara pula? Ditengah sengguk tangisnya, terdengar Liu Bu-bi berkata pula.

   "Sebetulnya memang aku tega berpisah dengan kau, namun diriku, mana aku tega membiarkan kau ikut sengsara dan tersiksa bersamaku?"

   Berkata Li Giok-ham lembut.

   "Sejak kedatanganmu, setiap hari setiap waktu aku hidup dalam kesenangan, mana boleh kau katakan aku menderita malah?"

   "Kalau begitu, marilah tinggal pergi saja. Ke tempat nan jauh mencari suatu tempat yang damai dan tentram, disana kita menetap, siapapun tak perlu kita temui."

   "Tapi kau..."

   "Mungkin aku masih bertahan hidup beberapa bulan lagi, setelah beberapa bulan ini."

   Li Giok-ham menukas ucapannya, katanya lembut.

   "Apapun yang terjadi aku tidak akan berpeluk tangan membiarkan kau mati, aku ingin kau hidup abadi."

   "Tapi sekarang...."

   "Sekarang kita belum putus harapan, paling tidaklima orang itu masih berada ditangan kita."

   Mendengar percakapan mereka semakin bingung dan pening kepala Oh Thi-hoa. Kenapa Liu Bu-bi ingin bunuh diri? Kenapa mereka?"

   Mendadak Li Giok-ham menghardik keras.

   "Berdiri di tempatmu, berani selangkah kau maju, akan kutamatkan jiwa mereka."

   Entah sejak kapan kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting sudah berada di tangannya dan tertuju ke arah Oh Thi-hoa, tangan yang lain dengan kencang menarik Liu Bu-bi, seolah-olah kuatir kehilangan dirinya.

   Dari undakan batu terdengar seseorang menghela napas, ujarnya.

   "Sampai detik ini, kalian masih belum kapok dan menyudahi persoalan ini? Buat apa pula kalian harus menyiksa diri?"

   Ternyata suara ini keluar dari mulut Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang ternyata belum mati. Siapakah yang menolong jiwanya? Sudah tentu bukan kepalang senang Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong berempat. Serempak mereka berteriak.

   "Coh Liu-hiang, kaukah ini?"

   Mereka tidak perlu jawaban, karena mereka benar-benar sudah melihat Coh Liu-hiang.

   Coh Liu-hiang masih berdiri di undakan batu terbawah, memang dia tidak maju lebih lanjut, karena dia cukup tahu betapa hebat perbawa sambitan dari Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu.

   Sekarang Oh Thi-hoa berlima sama berhimpitan didalam kamar tahanan itu, mereka sama-sama terbidik oleh sambaran Bau hi li hoa ting itu.

   Hakekatnya mereka tak sampai dan tak mungkin berkelit dari incaran Bau hi li hoa ting ini.

   Oh Thi-hoa berjingkrak sambil bersorak kegirangan.

   "Ulat busuk, ternyata kau memang tidak mampus, aku tahu kau memang tak bisa mati, memangnya siapa yang bisa membunuh mu?"

   Meski senang tertawa namun Coh Liu-hiang menjawab dengan menghela napas.

   "Tapi kalau kali ini tiada orang yang menolong aku, jiwa ku ini terang sudah direnggut oleh mereka."

   "Benar ada orang menolong kau? Siapa?"

   "Kau takkan bisa menerkanya."

   "Sudah terang kau tidak akan menerka karena aku sendiripun tidak menyangka, bahwa orang yang menolong aku justru adalah Li Koan-hu Lilocianpwe."

   Oh Thi-hoa melongo pula teriaknya.

   "Anaknya ingin mencabut jiwamu, masakah bapaknya bakal menolong kau malah?"

   "Hakekatnya dia tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, sekali-kali tak pernah terpikir olehnya hendak mencabut jiwaku, semua peristiwa ini tak lain tak bukan adalah rencana dan kehendak Li-kongcu suami istri sendiri."

   "Tapi, tokoh-tokoh macam Swe It-hang itu bukankah mereka benar-benar datang karena undangan dan pesan Li Koan-hu sendiri?"

   "Yang terang Li-kongcu ini memalsukan tulisan ayahnya dan memanggil mereka di luar tahu bapaknya, kalau anaknya bicara mewakili ayahnya, sudah tentu orang lain takkan curiga."

   "Memangnya kenapa Li Koan-hu sendiri tidak menyangkal dan membongkar muslihatnya ini?"

   Tanya Oh Thi-hoa.

   "Karena sejak tujuh tahun yang lalu, Li-locianpwe tersesat jalan didalam latihan ilmunya sehingga darah macet dan badan cacat, sejak itu beliau tak bisa bicara lagi."

   Semakin keheranan Oh Thi-hoa mendengar cerita ini, katanya.

   "Kalau badannya sudah cacat dan tak bisa bergerak, cara bagaimana bisa menolong kau?"

   Selama hidup Li locianpwe jujur ksatria dan mengutamakan keadilan dan kebenaran secara gamblang dia mengawasi suatu peristiwa sesat di depan mata, celaka orang justru meminjam atau memalsu namanya, betapa pedih, marah sanubarinya melihat perbuatan putranya yang terkutuk ini, mungkin kaupun takkan dapat membayangkan keadaannya pada waktu itu, namun dia justru hanya bisa mengawasi dengan mendelong tanpa mampu mencegah atau berbuat apa-apa, bergerakpun tidak bisa.

   "Mungkinkah karena amarahnya itu, sehingga hawa murninya yang tersumbat dalam latihannya dulu tiba-tiba jebol oleh arus kemarahan yang di luar batas itu?"

   "Ya, begitulah terjadinya."

   "Tanpa kau jelaskan, aku sudah mengerti apa yang terjadi selanjutnya."

   "O, Ya?"

   "Waktu Liu Bu-bi acungkan pedang hendak membunuh kau, mendadak dilihatnya Li-locianpwe tiba-tiba bisa bergerak dan bicara sudah tentu kejutnya bukan main, seseorang bila tahu tipu muslihat dan perbuatan jahatnya sudah konangan dan terbongkar rahasianya, siapapun akan ketakutan."

   "Tidak salah."

   "Waktu dia nekad hendak membunuh kau, kelima Cianpwe itu tentunya tak membiarkan maksudnya terlaksana, tatkala itu mungkin Li Giok-ham sendiri sudah lemas ketakutan maka segera dia ngacir ke tempat ini."

   Coh Liu-hiang tersenyum, katanya.

   "Rekaanmu memang sembilan puluh persen benar, hebat benar otakmu memang sudah lebih cerdik. Tapi kalau kau pun bisa menemukan tempat ini, kenapa tidak kau bawa tua bangka yang tertipu itu kemari juga?"

   "Urusanku sendiri, sudah tentu harus kubereskan sendiri pula."

   "Kau mampu membereskan?"

   "Aku sendiri tidak tahu apa benar dalam dunia ini ada urusan yang tak bisa dibereskan, sedikitnya sampai detik ini aku belum pernah menghadapinya."

   Sebetulnya soal ini boleh kelak dibicarakan pelan-pelan, tapi mereka justru nyerocos tidak henti-hentinya, seolah-olah sudah lupa dimana mereka bicara dan kapan mereka mengobrol.

   Seolah-olah tidak sadar bahwa Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sedang berdiri disana .

   Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dan lain-lain sedang mengawasi dengan pandangan heran.

   Dan yang membuat Soh Yong-yong berempat amat duka dan mendelu, bukan saja Coh Liu-hiang tidak ajak mereka bicara, sampaipun melirikpun tidak ke arah mereka, selama ini cuma sibuk bicara dengan Oh Thi-hoa.

   Diantara mereka berempat hanya Soh Yon-yong seorang saja yang dapat meraba maksud hati Coh Liu-hiang, dia tahu mereka sedang memancing perhatian Li Giok-ham dengan percakapan ini.

   Asal perhatian Li Giok-ham rada terpencar dan sedikit lena, maka Coh Liu-hiang akan berusaha dan mendapat kesempatan untuk turun tangan merebut alat rahasia di tangannya itu, betapa cepat Coh Liu-hiang turun tangan, Soh Yong-yong cukup yakin dia pasti akan berhasil.

   Apa boleh buat, ternyata tanpa berkedip pandangan Li Giok-ham masih menatap Coh Liu-hiang, tangannya masih kencang memegangi Bau hi li hoa ting itu.

   Apapun yang dikatakan Coh Liu-hiang seolah-olah tidak dia dengar, namun sedikit tangan Coh Liu-hiang bergerak, maka Bau hi li hoa ting di tangannya itu segera akan memberondong keluar.

   Diam-diam Soh Yong-yong mengucurkan keringat dingin dan berdiri bulu kuduknya, hatinya tegang dan seram, karena dia maklum untuk merebut Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu, usaha Coh Liu-hiang akan berat, laksana mencabut gigi dimulut harimau.

   Mendadak Li Giok-ham menghardik bengis.

   "Sudah selesai percakapan kalian?"

   "Apa kaupun ingin bicara?"

   Tukah Oh Thi-hoa.

   "Bagus, biar aku tanya kau dulu, bahwasanya Coh Liu-hiang ada permusuhan apa dengan kau? Kenapa kau hendak mencelakai jiwanya?"

   

   Jilid 36 Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya.

   "Selamanya aku tak bermusuhan tiada dendam kepadanya, bahwa aku harus membunuh dia, karena terdesak keadaan dan.."

   "Kau ini sedang bicara? Atau sedang kentut?"

   Ternyata Li Giok-ham tidak marah, ujarnya menghela napas.

   "Banyak persoalannya, aku percaya kau pasti takkan bisa mengerti."

   "Banyak persoalan semula memang sukar kupikirkan penjelasannya, tapi lambat laun sekarang aku sudah mendapatkan gambarannya yang terang."

   "O"

   Coba kau terangkan !"

   Kata Li Giok-ham.

   "Yang membuatnya bingung dan masih tak mengerti adalah kalau toh kalian sudah melepas aku kenapa pula ingin membunuh aku?"

   "Belakangan baru aku mengerti"

   Kata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tertawa.

   "Karena akhirnya aku sadar hakekatnya selama ini kau sendiri tidak pernah menolong aku!"

   "Kau...

   "

   Liu Bu-bi ragu-ragu.

   "Masakah kau sudah lupa didalam lembah sesat tempat kediaman Ciok Koan im itu?"

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar ucapan orang, Coh Liu-hiang lebih yakin.

   "Tidak salah."

   Tukasnya.

   "Hari itu memang kenyataan kau membunuh banyak orang, tapi tujuanmu bukan untuk menolong aku, karena waktu itu akupun sudah mengejar keluar, kau tidak bunuh mereka, aku tetap bisa lolos!"

   Liu Bu-bi menjengek dingin.

   "Kalau kau tidak sudi terima budi pertolongan, akupun tidak bisa memaksa kau."

   "Walau kau tidak pernah menolong aku, aku tetap berterima kasih kepadamu karena bila kau tidak turun tangan, Kui-je-ong ayah beranak, Oh Thi-hoa dan KiPing -yan mungkin sudah benar benar mati oleh arak Ciok Koan-im."

   "Ternyata kau belum melupakan peristiwa itu sungguh harus dipuji."

   Olok Liu Bu-bi.

   "Sungguh tentu aku tidak akan lupa, karena selama ini aku sedang heran, setelah bertemu dengan Soh Yong-yong ditengah jalan, baru kalian menyusup ke padang pasir, bagaimana mungkin begitu tiba di gurun pasir, dengan mudah kau lantas dapat menemukan tempat kediaman Ciok-Koan-im di lembah sesat itu? Bukan saja letak lembah sesat itu tersembunyi penuh dipasangi jebakan dan alat-alat rahasia, jarang diinjak manusia luar lagi, jalanan didalam lembahpun simpang siur gampang menyesatkan, namun kalian berlenggang dengan mudah pergi datang seperti berjalan di tanah datar bagai di dalam rumahnya sendiri, bukankah hal ini amat mengherankan?"

   Oh Thi-hoa angkat pundaknya, timbrungnya.

   "Benar, mendengar uraianmu ini, akupun ikut heran juga."

   "Dan lagi,"

   Kata Coh Liu-hiang lebih lanjut.

   "Kepandaian Ciok-koan-im menggunakan racun amat pandai, arak beracun buatannya sudah tentu orang tidak tahu, ramuan racun apa saja dan tak bisa memunahkannya, maka setelah dia melihat Oh Thi-hoa rebutan arak beracun dan menenggaknya habis dengan Ki Ping-yan, segera dia berlalu, karena dia beranggapan dalam dunia ini tiada seorang tokoh siapapun yang mampu menawarkan arak beracunnya itu, maka tanpa sangsi dia tinggal pergi."

   Lalu dengan tajam dia menatap Liu Bu-bi, katanya kalem.

   "Tapi seenak kau membubuhi obat kepada si pasien yang sudah kau ketahui penyakitnya saja kau memunahkan kadar racun yang mengeram dalam tubuh teman temanku itu, bukankah hal ini jauh lebih mengherankan?"

   "Benar."

   Kata Oh Thi-hoa angkat kedua tangan.

   "Kalau dia tidak tahu kadar racun apa yang tercampur dalam arak Ciok-koan-im, cara bagaimana dia bisa mengobati kami berempat dengan mudahnya?"

   Jari-jari Liu Bu-bi yang putih halus dan runcing itu sedang meremas ujung bajunya, katanya.

   "Kedua kejadian itu, apakah kaupun sudah dapat memecahkannya?"

   Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya.

   "Meskipun kedua kejadian ini sulit diterangkan, namun kalian sendiri yang meninggalkan gejala-gejala yang kurang sempurna dan teliti, kalau bukan lantaran kedua peristiwa itu, mungkin selamanya aku tidak akan menebak tepat asal-usulmu yang sebenarnya."

   Jari-jari Liu Bu-bi yang putih menjadi semakin putih dan pucat karena tenaga meremas ujung bajunya terlalu keras, malah kedua lengannya itu tampak gemetar semakin keras, katanya.

   "Kau... sekarang kau sudah tahu siapa sebenarnya aku ini?"

   "Ingin aku bertanya dulu kepadamu, seseorang bila dia belum pernah berada didalam lembah kediaman Ciok-koan-im itu, apakah dia bisa pergi datang seenaknya?"

   Liu Bu-bi menggigit bibir, sahutnya kemudian.

   "Tidak bisa."

   "Seseorang bila dia tidak tahu racun macam apa yang ditaruh dalam arak Ciok-koan-im itu, mungkinkah dia bisa menawarkan kadar racunnya?"

   "Tidak mungkin."

   "Jikalau bukan orang kepercayaan Ciok-koan-im yang terdekat, terang tak mungkin bisa tahu jalan rahasia keluar masuk dari lembah sesat itu, maka diapun takkan tahu dosis racun yang tercampur didalam arak itu, benar tidak?"

   Mendadak Liu Bu-bi tertawa terloroh-loroh. Agaknya dia sudah tidak bisa kendalikan emosinya sendiri, seperti orang linglung dia terloroh-loroh terus tak berhenti. Akhirnya Oh Thi-hoa bertanya.

   "Dia... memangnya siapakah dia sebenarnya?"

   Coh Liu-hiang menghirup hawa segar, katanya sepatah demi sepatah.

   "Masakah kau belum paham bahwa dia adalah murid kesayangan Ciok-koanim?"

   Liu Bu-bi ternyata adalah murid didik Ciok-koan-im. Sudah tentu penjelasan ini membikin Oh Thi-hoa terperanjat. Sebaliknya, rona muka Li Giok-ham berubah hebat, bentaknya beringas.

   "Jikalau dia benar muridnya Ciok-koan-im, kenapa sesama saudara seperguruannya dia bunuh seluruhnya?"

   Coh Liu-hiang tertawa dingin, ejeknya.

   "Kalau Ciok-koan-im sudah berangan-angan hendak menjadi ratu dinegri Kui-je, kalau dia membawa para muridnya yang sekian banyak jumlahnya, bukankah terlalu berabe dan membebani pundaknya?"

   "Kau... kau kira Ciok-koan-im yang menghendaki dia membunuh semua saudara seperguruannya itu?"

   "Ya, begitulah kejadiannya."

   Sahut Coh Liu-hiang.

   "Lantaran orang-orang itu tidak pernah menyangka dia bakal turun tangan secara keji, maka mereka tiada satupun yang siaga, kalau tidak dengan tenaganya seorang, masakah dia dalam waktu sesingkat itu bisa membunuh sedemikan banyak orang?"

   "Kalau demikian, jadi kau beranggapan lantaran dia murid didik kepercayaan Ciok-koan-im, maka dia bermaksud membunuhmu?"

   "Kecuali itu, agaknya sulit mencari alasan lain untuk menjelaskan persoalan ini."

   "Lalu bagaimana dengan aku?"

   Tanya Li Giok-ham.

   "Mungkin kaupun tertipu oleh dia, kau diperalat tanpa kau sadari. Kemungkinan dia adalah utusan Ciok-koan-im yang dipendam di Kanglam, maka dia sudi menikah dengan kau dengan embel-embel nyonya muda dari Yong-cui-san-cheng sebagai tameng, paling baik untuk menyembunyikan diri."

   Tanya Li Giok-ham.

   "Kalau benar dia komplotan Ciok-koan-im yang setia, kenapa pula dia mau menolong Oh Thi-hoa dan lain-lain dari keracunan arak itu?"

   "Karena waktu itu aku sudah membunuh Ciok-koan-im, melihat gelagat jelek dan tidak menguntungkan dirinya, maka terpaksa dia menolongnya, maksudnya dia supaya kelak dia bisa mengatur jalan mundur, yang terang kalau Oh Thi-hoa dan lain-lain mampus toh tiada manfaatnya bagi dirinya."

   Li Giok-ham mendadak tertawa gelak-gelak! Nada tawanya mengandung penasaran dan gusar, seolah banyak penasaran yang tidak lampias.

   "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau memang terlalu pintar, namun sayang kau keblinger oleh kepintaranmu sendiri."

   "Memangnya uraianku barusan salah?"

   "Sudah tentu apa yang kau uraikan tidak salah, apa yang diketahui oleh Coh Liu-hiang yang serba pintar masakah bisa salah? Sekarang apapun yang kau katakan yang terang sudah tiada hubungannya sama sekali."

   Sorot matanya seolah-olah hendak menyemburkan api, suaranya mirip gerungan gusar.

   "Karena sekarang kau jelas akan mati kalau tidak segera aku bunuh kalian."

   "Apa kau sudah gila?"

   Seru Oh Thi-hoa kaget.

   "Benar, memang aku sudah gila tapi bila kau menjadi aku, kau akan lebih gila lagi."

   Jari-jarinya gemetar sembarang waktu tombol kotak Bau hi li hoa ting itu kemungkinan tersentuh, kalau orang lain masakah berani adu mulut dan menyindirnya dengan pedas. Tapi Oh Thi-hoa justru tidak peduli, teriaknya.

   "Sampai detik ini kau masih ingin melindungi dia?"

   "Sudah tentu."

   Sahut Li Giok-ham kalap.

   "Sampai detik ini, kau masih belum percaya bila binimu ini adalah murid kepercayaan Ciok-koan-im?"

   Sebetulnya Liu Bu-bi sudah tunduk kepala, tiba-tiba dia angkat kepala dan berseru beringas.

   "Benar, memang aku adalah murid Ciok-koan-im tapi sejak mula aku tidak pernah mengelabui dan merahasiakan diriku kepadanya!"

   Oh Thi-hoa melongo, katanya menatap Li Giok-ham.

   "Jadi kau sudah tahu bila dia adalah murid Ciok-koan-im yang dipendam di Kang-lam sebagai mata-mata, namun kau tetap mempersunting dia sebagai istrimu, kecuali dia memangnya perempuan dalam dunia ini sudah mampus seluruhnya?"

   Dengan kencang Liu Bu-bi pegang tangan Li Giok-ham, dia tidak membiarkan orang bicara lagi. Namun tangannya sudah gemetar, katanya.

   "Segala caci maki yang paling kotor dan keji sudah kalian lontarkan kepada kami, bolehkah beri kesempatan untuk aku bicara, secara terbuka."

   "Cayhe sedang pasang kuping."

   Ujar Coh Liu-hiang tersenyum.

   "Diantara murid-murid yang dididik Ciok-koan-im, hanya aku dan Ki Buyong yang dipungutnya sejak kecil, jadi kami tumbuh dewasa disampingnya, kami berdua sama-sama anak yatim piatu, malah siapa-siapa nama ayah bunda kamipun tak tahu, semula beliau ada memberi nama kepadaku, setelah aku berada di sini, baru aku merubah she Liu dan bernama Bu-bi."

   "Jadi nama Ki Bu-yong juga dirubah setelah roman mukanya itu dirusak?"

   Tanya Coh Liu-hiang.

   "Benar, semula dia bernama Bu-su "tiada maksud"

   Dan aku bernama Bu-gi "tak terkenang"."

   Coh Liu-hiang menghela napas gumannya.

   "Bu-su, Bu-gi, Bu-hoa... ai!"

   "Walau dia ingin supaya kami Bu-su, Bu-gi, betapapun kami ini manusia yang berdarah daging, setiap orang setelah menanjak dewasa pasti dia akan terkenang ayah bundanya. Sudah tentu kamipun tidak ketinggalan apa boleh buat beliau setuju merahasiakan dan tak mau mencari tahu siapa ayah bunda kami sesungguhnya, setiap kali kami menyinggung hal ini, dia lantas marah dan uring-uringan."

   "Bagaimana tindakannya terhadap para murid didiknya, aku sedikit pernah menyaksikannya."

   Ujar Coh Liu-hiang.

   "Tapi dia terlalu baik terhadap aku dan Ki Bu-yong, cuma watak Ki Bu-yong lebih pendiam dan suka menyendiri, berhati keras lagi. Sudah tentu sifatnya yang lugu itu tidak bisa mengambil hati gurunya, aku sebaliknya lebih..."

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 23:44:03
oleh Saiful Bahri Situbondo


Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Pendekar Binal -- Khu Lung Perkampungan Hantu -- Khu Lung

Cari Blog Ini