Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 12


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 12




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Keadaannya ketika itu sangat kritis atau dengan perkataan lain keselamatan jiwanya lebih banyak buruknya daripada baiknya.

   Yu Bok adalah pelayan dari keluarga Kanglam Ji-gi (Tabib sosial dari Kanglam).

   Kenyataannya sekarang, dengan membawa luka yang parah dan tidak mendapat perawatan yang baik pelayan itu membedal kudanya kencang-kencang melalui jalan raya.

   Tanpa dijelaskan semua orang sudah dapat membaca garis besar peristiwa yang telah terjadi.

   Diantara sekian banyak orang.

   Yu Siau-lam paling kaget bercampur panik, dicekalnya lengan Yu Boh sambil diguncang-guncangkan berulang kali.

   "Yu Boh! Yu Boh! Sadarlah sebentar, sadarlah sebentar! Apa yang telah terjadi?"

   Mendapat guncangan tersebut, dengan merasa kesakitan yang luar biasa Yu Boh membuka kembali matanya. Melihat pelayannya sudah sadar, Yu Siau-lam segera menegur lagi dengan cemas.

   "Apa yang telah terjadi? Yu Boh, kau masih kenali aku. Yu Boh! Jawablah pertanyaanku!"

   Dengan lemas Yu Boh mengangguk, bisiknya terbata-bata.

   "Kong.... Kongcu....cepat...."

   Tapi sebelum maksud hatinya diutarakan keluar, pelayan itu kembali terkulai dengan mata terpejam, jatuh tak sadarkan diri.

   Yu Siau-lam semakin gelisah, dia hendak menggoncang-goncangkan kembali Yu Boh yang pingsan, tapi Hoa In-liong bertindak cepat.

   Ia pegang lengan pemuda itu dan berkata.

   "Saudara Siau-lam, tenangkan dulu hatimu! Luka dalam yang diderita palayanmu ini teramat parah. Sedikit goncangan yang keras akan menyebabkan jiwanya melayang"

   Kemudian sambil berpaling ke arah Li Poh-seng katanya lagi.

   "Cepat baringkan Yu Boh ke atas tanah. Akan siaute periksa keadaan luka yang dideritanya"

   Li poh seng tidak membantah, dia lantas membaringkan Yu Boh ke atas tanah.

   Hoa In-liong pun bungkukkan badan memeriksa denyutan nadinya, sementara tangan yang laiu dengan cepat membuka pakaian dada dari pelayan tersebut.

   Setelah pakaian terbuka, belasan pasang matapun dengan sinar mata berkilat memandang ke arah dada Yu Boh.

   Apa yang terlibat? Sebuah bekas telapak tangan yang berwarna merah darah tertera nyata didada sebelah kiri Yu Boh.

   Bekas telapak tangan itu menonjol tiga bagian dari permukaan dada, merah darah dan sembab mengerikan.

   Jelas pukulan itu dilancarkan seseorang dengan menggunakan punggung telapak tangan yang kuat.

   Diam-diam Hoa In-liong terkejut setelah menyaksikan bekas luka itu.

   Ia lantas berpikir.

   "Melukai orang dengan punggung telapak tangan, ini menunjukkan bahwa serangan dilancarkan dengan suatu ayunan yang kencang. Aaaai.... Luka Yu Boh tepat di dada kiri, jantungnya sudah tergetar putus. Dari sini dapat ku ketahui betapa dahsyat dan kuatnya serangan tarsebut. Mungkinkah bencana besar sudah menjelang tiba? Bagaimanapun juga aku harus berusaha dengan segala kemampuan untuk mencegah peristiwa ini terjadi...."

   Ternyata pemuda ini sudah mengetahui dari pemeriksaan denyut nadinya bahwa jantung Yu Boh sudah pecah.

   Kendatipun ada obat dewapun nyawa pelayan tersebut tak bisa ditolong lagi.

   Sekalipun demikian, hal ini tidak diungkapkan diatas wajahnya.

   Sembari diam-diam menyalurkan hawa murninya untuk membantu pernapasan Yu Boh yang sudah sekarat diapun perhatikan bekas telapak tangan itu dengan seksama.

   Ia berharap dari bekas telapak tangan yang berwarna merah membara itu dapat menemukan titik terang, sehingga dalam usahanya melacak jejak pembunuh itupun tidak mengalami banyak kesulitan.

   Selang sesaat kemudian, Coa Cong-gi yang pertama-tama tak sabar, ia lantas menegur dengan suara lirih.

   "Saudara Hoa, keadaan Yu Boh tidak menguatirkan bukan?"

   Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali sambil berpaling ke arah arah Yu Siau-lam ia berkata.

   "Saudara Siau lam, selembar nyawa Yu boh mungkin tak dapat diselamatkan lagi!"

   Dalam beberapa waktu ini, perasaan Yu Siau lam paling tegang.

   Ia sudah mendapat firasat bahwa dalam keluarganya telah tertimpa musibah besar, maka sedapat mungkin ia kendalikan perasaannya yang bergolak dengan berdiri membungkan diri.

   Ia berbuat demikian karena Hoa In-liong sendiripun bersikap tenang.

   Dalam sangkaannya, bila anak muda itupun tenang, pastilah keadaan pelayannya tidak berbahaya.

   Siapa tahu Hoa In-liong menyusulkan kata-kata tersebut, mendadak sontak ia jadi tertegun.

   Hanya sebentar ia mematung, selanjutnya dengan suara memohon teriaknya berulang kali.

   "Saudara Hoa, aku mohon tolonglah jiwanya! Saudara Hoa, tolonglah jiwanya sedapat mungkin!"

   Pelan-pelan Hoa In-liong menggeleng.

   "Bila tak ada Leng-ci mustika, jiwanya tak mungkin bisa diselamatkan lagi!"

   Yu Siau-lam jadi kelabakan bercampur gugup.

   "Kaaa.... kalau memang begitu, berusahalah sadarkan dirinya sejenak. Aku ingin bertanya kepadanya!"

   "Baiklah!"

   Ucap Hoa In-liong.

   "Siau-te akan berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkannya, cuma...."

   Ia berhenti sejenak, wajahnya berubah amat serius.

   "Saudara Siau-lam"

   Katanya selanjutnya.

   "Bila dirumahmu telah terjadi bencana, aku harap engkau dapat menguasai diri!"

   Perasaan Yu Siau-lam waktu itu sangat kalut. Apa yang diharapkan sekarang adalah menyadarkan Yu Bok dari pingsannya, maka setelah mendengar perkataan itu, diapun menggangguk.

   "Siau-te mengerti!"

   Hoa In-liong masih kuatir meski rekannya telah mengangguk, ia memberi tanda kepada Li Poh Seng dan Coa Cong-gi untuk berjaga-jaga didamping Yu Siau-lam.

   Sesudah itu baru mengulurkan hawa murninya kedalam tubuh Yu Boh.

   Terdesak oleh hawa murni yang mengalir kedalam tubuhnya dengan deras, Yu Boh menghembuskan nafas panjang dan sadar kembali diri pingsannya....

   Begitu Yu Boh sadar, cepat Yu Siau-lam berjongkok disampingnya sambil bertanya dengan lembut.

   "Yu Boh....Yu Boh....! Bagaimanakah rasamu sekarang? Apakah masih dapat bertahan?"

   Dengan lemah Yu Boh menggerakkan biji matanya mengawasi Yu Siau-lam, lama.... Lama sekali, ia baru berbisik.

   "Koo.... Koongcu.... cee.... ceepat....puu....pulang...."

   Yu Siau-lam makin tercekat.

   "Apa yang telah terjadi? Bagaimana dengan Lo-ya dan Hujin? Tidak apa-apa toh?"

   Dengan nada yang semakin lemah Yu Boh berbisik kembali.

   "Kee.... kemarin malam.... telah datang see.... serombongan manusia yaa.... yang tak jelas asal usulnya.... mee.... mereka....meee....melepaskan api. da.... dan....membakar ruu....rumah kita...."

   Tibi tiba nafasnya memburu, kata-katanya terputus setengah jalan, sebelum ucapan itu serapat dilanjutkan kembali.

   Tubuhnya telah mengejang keras, kakinya tiba-tiba menjejak ketanah dan....

   Yu Siau-lam makin gelisah, sekuat tenaga ia menggoncang-goncangkan bahunya sambil berteriak.

   "Bagaimana dangan loya? Bagaimana dengan loya dan hujin?"

   Waktu itu Yu Boh sulih hampir putus nyawa tapi terkena goncangan yang begitu keras, tiba-tiba seperti mendapat tambahan tenaga yang entah datang dari mana, matanya membelalak kembali.

   Kulit mukanya mengejang sangat keras, bibirnya gemetar, suaranya yang sempat meletup keluar kedengaran sangat rilih.

   "Loo....looya.... dii.... dii"

   Ucapan itu tak dilanjutkan untuk selamanya.

   Sebagai seorang manusia yang sudah, sekarat, ibaratnya lentera yang kehabisan minyak.

   Meski cahaya lampu itu mencorong terang tapi hanya sebentar saja sebelum padam untuk selamanya.

   Demikian pula dengan Yu Boh.

   Karena, guncangan yang diterimanya, ia seolah-olah mendapat kekuatan.

   Tapi itupun hanya berlangsung sedetik.

   Sebelum kata-kata itu sempat diselesaikan, malaikat elmaut telah menjemput nyawanya.

   Ia mengejang makin keras, kali ini kakinya betulbetul menjejak tanah, kepalanya terkulai dan Yu Boh menghembuskan nafas yang penghabiskan.

   Bagaimana dengan Yu Siang-tek suami istri? Apa yang telah terjadi? Yu Boh tidak berhasil menyelesakan tugasnya untuk menyampaikan berita itu kepada majikan mudanya rahasia tersebut dibawanya sampai keliang kubur.

   Tak terkirakan rasa sedih Yu Siau-lam menghadapi kejadian itu.

   Tak kuasa lagi ia memeluk jenazah Yu Boh sambil mengucurkan air matanya dengan deras.

   "Yu Boh....Ooh Yu Boh.... Bangunlah kau. Kau tak boleh pergi! Kau tak boleh pergi!"

   Hoa In-liong kuatir rekannya terlampau sedih hingga mengakibatkan kesehatan badannya terganggu, cepat ia bopong jenazah Yu Boh seraya berkata.

   "Saudara Siau-lam, simpanlah kesedihanmu itu. Sampai sekarang keadaan dari Pek-bu dan Pek-bo masih belum jelas. Hal paling penting yang harus kita lakukan sekarang adalah kembali ke kota Kim-leng secepatnya. Kita periksa sendiri apa gerangan yang telah terjadi disitu!"

   Li Poh-seng dan Coa Cong-gi yang sedang memayang Siau-lam, segera menanggapi pula.

   "Betul! Saudara Siau-lam tak boleh bersedih hati sehingga mengacaukan pikiranmu. Ketahuilah pikiran yang kalut tidak akan memberi manfaat apa-apa terhadap persoalan yang sedang kita hadapi. Perkataan dari saudara In-liong memang benar. Tindakan paling penting yang harus kita lakukan sekarang adalah kembali dulu ke kota Kim-leng. Kemudian dari situ kita baru menyusun rencana kembali". Air mata bercucuran bagaikan bendungan yang ambrol, Yu Siau-lam membungkam dalam seribu bahasa, namun kesedihan yang menghiasi wajahnya teramat jelas. Be Si-kiat maju menghampiri, katanya tiba-tiba.

   "Hoa kongcu, serahkan jenazah Yu Boh kepadaku, biar aku saja yang bopong!"

   Hoa In-liong berpikir sebentar, akhirnya dia serahkan jenazah itu kepada Be Si- kiat sambil berkata.

   "Begitupun boleh juga! Nah, lebih baik kalian berangkat lebih duluan. Belikan sebuah peti mati yang baik dikota Teng-wan, kemudian kebumikan jenazahnya dengan baik- baik. Kamu sekalian tak perlu menunggu lebih lama lagi"

   "Baiklah!"sahut Be Si-kiat, setelah menyambut jenazah itu diapun putar badan siap berlalu.

   "Tunggu sebentar!"

   Tiba-tiba Yu Siau-lam membentak dengan suara dalam.

   "Aku hendak melihat dulu bekas luka di dadanya!"

   "Tidak usah!"

   Tolak Hoa In-liong cepat.

   "Bekas luka itu sudah kuamati dengan jelas dan masih teringat dalam benakku. Biarkanlah mereka yang telah mati cepat masuk tanah. Mereka harus berangkat lebih duluan dari kita"

   Dalam beberapa saat belakangan ini, apa yang dipikirkan Yu Siau-lam hanyalah soal keselamatan ayah ibunya.

   Dia selalu menganggap orang tuanya telah mendapat bencana, maka maksudnya dia hendak mencari jejak pembunuh keji itu dari bekas luka di dada Yu Boh.

   Siapa tahu Hoa In-liong lebih cerdik dan cekatan, ia sudah memperhatikan lebih dulu sampai ke situ.

   Setelah tertegun sejenak, Yu Siau-lam bertanya lagi sambil palingkan wajahnya.

   "Adakah sesuatu yang istimewa dengan bekas luka itu?"

   "Bekas luka itu terkena oleh pukulan pungung telapak tangan. Disekitar bekas ibu jari tampak dua bulatan merah yang menonjol besar"

   "Aku juga perhatikan sampai kesitu"

   Sambung Poh-seng.

   "Tonjolan merah itu sama besarnya antara yang satu dengan yang lain. Entah terluka oleh benda apa?"

   "Aku telah berpikir cermat sampai kesitu"

   Ujar Hoa In-liong lebih lanjut.

   "Tonjolan yang agak kecil berada didepan, sedangkan tonjolan yang besar berada dekat dengan bekas luka disekitar ibu jari"

   "Bekas luka itu jadi lebih banyak sebuah? Maksudmu pukulan itu dilancarkan oleh enam buah jari tangan?"

   Yu Siau-lam bertanya keheranan, air mata yang membasahi wajahnya cepat diseka. Hoa In-liong mengangguk.

   "Aku rasa begitulah. Cuma tidak kuketahui itu bekas pukulan telapak tangan kanan atau bekas pukulan telapak tangan kiri"

   "Perduli amat bekas pukulan telapak tangan kanan atau kiri, yang paling penting sekarang adalah kembali dulu ke kota Kim-leng"

   Tukas Coa Cong-gi tiba-tiba dengan lantang. Hoa In-liong menengadah ke depan, ketika dilihatnya Be Si-kiat sekalian sudah pergi jauh, dia pun mengangguk.

   "Betul juga perkataan itu. Sampai sekarang keadaan dari empek dan pek-bo masih belum jelas. Apa gunanya kita bicarakan dulu soal bekas luka itu, ayoh kita segera berangkat!"

   "Kau tak usah ikut!"

   Tiba-tiba Yu Siau-lam menyela.

   "Apa kau bilang? Aku tak usah ikut?"

   Hoa In-liong tercengang sampai berdiri tertegun. "Ehmmm, yaa!"

   Jawab Yu Siau-lam dengan tenang.

   "Kau harus pergi ke bukit Yan san untuk memenuhi janji. Bila harus ke kota Kim-leng dulu kemudian baru menuju bukit Yan- san, aku kuatir kalau waktunya tidak sempat lagi"

   Dalam detik-detik yang terakhir ini, hampir seluruh pikiran dan perhatian Hoa In-liong dilimpahkan atas peristiwa yang sedang berlangsung di depan mata, hampir saja ia lupakan sama sekali bila di bukit Yan-san dia masih punya janji.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka begitu diingatkan kembali oleh Yu Siau-lam, kontan saja pemuda itu merasa serba salah karena tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Matanya jadi terbelalak, mulutnya melongo dan untuk sementara waktu dia cuma berdiri termangu-mangu seperti orang bodoh.

   Melihat anak muda itu tertegun, cepat Yu Siau-lam berkata kembali dengan lembut.

   "Dengarkan dulu perkataanku. Meski dirumahku telah terjadi peristiwa besar, toh musibah itu sudah terlanjur terjadi. Sekalipun kita menyusul ke sana juga tak mungkin bisa mencegah berlangsungnya peristiwa tersebut, paling banter kita hanya bisa berusaha melacaki jejak pembunuh keji itu. Lain halnya dengan keadaaan nona Wan. Setiap hari ia berada diseputar orang jahat, posisinya berbahaya dan lagi dia pun ada rahasia besar yang heudak disampaikan kepadamu. Jika kau sampai datang terlambat, siapa tahu kalau jiwanya keburu melayang? pergilah memenuhi janji, kami akan nantikan kedatanganmu di kota Kim-leng!"

   Sewaktu mengucapkan kata- kata tersebut, sikapnya sangat tenang dan kalem.

   Sedikitpun tidak memenunjukan luapan emosi atau golakan perasaan hatinya.

   Padahal sebagaimana diketahui, sampai detik itu ia masih belum tahu musibah apakah yang telah menimpa keluarganya.

   Diapun tak tahu bagaimanakah nasib ayah ibunya ketika itu.

   Maka bila berbicara dari sikap tenangnya sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, dapat diketahui bahwa rasa perhatiannya terhadap Hoa In-liong sudah mencapai tingkatan yang amat akrab.

   Coa Cong-gi segera menanggapi pula ucapan tersebut.

   "Betul perkataan dari saudara Siau-lam memang masuk diakal. Lebih baik kita memisahkan diri untuk melaksanakan tugas masingmasing. Saudara Poh-seng boleh temani saudara Siau-lam pulang ke Kim-leng. Sedang aku biarlah temani saudara Hoa menuju bukit Yan-san.

   "Waah.... Tidak bisa, tidak bisa. Kalian tak usah ikut aku. Lebih baik semuanya pulang ke Kimleng lebih dulu!"

   Tukas Hoa In-liong dengan cemas.... Kontan Coa Cong-gi mendelik besar. Tapi sebelum pemuda itu sempat menyembur kata-katanya, Hoa In-liong telah malanjutkan kembali kata-katanya.

   "Saudara Cong-gi, keadaan dikota Kimleng dewasa ini masih belum jelas. Jumlah kekuatan kitapun sangat minim, tidak sepantasnya kalau engkau mengurangi kembali kekuatan yang sudah minim itu untuk menemani aku kebukit Yan-san. Coba kalau keedaan tidak mendesak, mungkin akupun akan berangkat ke kota Kim-leng untuk membantu saudara Siau-lam lebih dulu!"

   Setelah alasan tersebut diutarakan keluar, Coa Cong-gi tidak mampu berkata-kata lagi.

   Meski bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepotong perkataanpun yang sempat diutarakan keluar.

   Sesungguhnya perkataan itu memang tepat sekali.

   Kedua belah pihak sama-sama adalah sahabat karib, mana boleh ia pilih kasih dengan condong kesatu pihak? Kata-kata tersebut boleh dibilang tepat mengena disasarannya dalam hati Cong-gi.

   Li Poh-seng berbicara pula.

   "Apa yang dikatakan saudara In-liong masuk diakal. Keadaan kota Kim-leng masih kabur dan belum jelas. Keadaan tersebut butuh tenaga yang lebih banyak untuk menyelidikinya. Adik Cong-gi ayoh kita segera berangkat!"

   Coa Cong-gi masih rada sangsi, tapi akhirnya diapun mengangguk.

   "Baiklah! Akan kunantikan kedatanganmu di kota Kim-leng. Jika di bukit Yan san tak ada kejadian lain, cepat cepatlah menyusul kami!"

   "Siau-te akan mengingatnya baik-baik!"

   Jawab Hoa In-liong sambil mengangguk berulang kali.

   Maka mereka berempatpun saling memberi hormat, kemudian buru-buru melanjutkan perjalanannya masing-masing.

   Memandang hingga bayangan punggung Yu Siau lam sekalian lenyap dari pandangan, Hoa Inliong merasa sangat terharu.

   "Yu Siau lam adalah pemuda yang tenang dan pandai membawa diri"

   Ia berpikir.

   "Li poh-seng lembut tapi tangguh, sedang Coa Cong-gi, walaupun seringkali mengambil tindakan tanpa berpikir panjang, toh dia adalah seorang laki-laki yang berjiwa besar dan mengutamakan kesetiaan kawan. Aku bisa berkenalan dengan sobat sobat sepeti ini, boleh di bilang perjalananku ke kanglam kali ini bukan suatu perjalanan yang sia-sia belaka. Tapi, siapakah yang melepaskan api membakar Pesanggrahan tabib? Siapa pula yang melukai Yu Boh? Yu locianpwe termashur sebagai dermawan yang paling besar dari kota Kim-leng, siapakah yang bagitu tega mencari gara-gara terhadapnya? Jangan-jangan.... Jangan-jangan peristiwa ini terjadi karena mereka memang sengaja hendak menyulitkan kedudukan aku si Hoa loji?"

   Dia bukan seorang pemuda yang pemurung, lebih-lebih tidak berambisi besar atau mengidap penyakit ragu-ragu serta sukar mengambil keputusan.

   walaupun ia sudah merasa bahwa kejadian itu tak mungkin terjadi tanpa sebab-sebab tertentu, bahkan mungkin ada sangkut pautnya dengan dia, namun itu hanya terbatas pada perasaan belaka, untuk selanjutnya perasaan semacam itu tidak dipikirkan lebih mendalam.

   Karena itu, setelah termenung sejenak lagi, kembali dia bergumam seorang diri.

   "Aaaah.... Perduli amat! Biarlah urusan satu demi satu datang menimpa, pokoknya asal Yu- locianpwe suami isteri sampai cedera atau mendapat celaka, aku Hoa loji bersumpah akan mengobrak-abrik bajingan-bajingan itu sampai musnah dari muka bumi!"

   Ditengah gumaman tersebut, pemuda itu putar badan dan berangkat menuju bukit Yan-san dengan mengitari kota Teng-wan.

   Setelah keluar dari pintu kota selatan, pemuda itu mengambil arah jalan menuju kota Kim-leng, kemudian berbelok pula menuju ke tenggara.

   Dikota Teng wan itulah Hoa In-liong menginap semalam untuk melepaskan lelahnya, untuk kemudian keesokan harinya sebelum fajar menyingsing ia sudah melanjutkan kembali perjalanannya.

   Bukit Yan-san itu ada dua tempat.

   Yang satu terletak propinsi Ou-pak keresidenan Siang-yang, dekat bukit Long-tiong.

   Oleh karena bukit Long-tiong-san adalah tempat tinggal dari Cu-kat Khong Beng pada jaman Sam-kok, maka meski kecil bukitnya, besar sekali namanya dalam pendengaran orang.

   Sedang bukit Yan-san yang dituju Hoa In-liong kali ini letaknya di propinsi An- hui diseputar pegunungan Pak-shia-san.

   Tempat itu berada di selatan Cuan-siok, sebelah barat kota Wu-kangtin.

   Meski bukitnya kecil tapi keadaan medannya berbahaya dan curam.

   Batu karang yang tajam dan licin berserakan dimana-mana.

   Demikian sulitnya bukit itu didaki, sehingga membuat orang yang berkunjung kesitu terpaksa harus balik ke bawah setibanya dipunggung bukit.

   Hoa In-liong bergerak ke arah selatan.

   Sepanjang jalan ia tak lupa menyelidiki jejak dari Hong Seng sekalian, maka karena itu perjalanan dilakukan tidak terlalu cepat.

   Ketika tengah hari ketiga menjelang tiba, ia baru sampai di kota Ci-tin di utara bukit Yan-san.

   Waktu itu dengan perasaan tercengang bercampur heran ia berpikir tiada hentinya.

   "Aneh.... betul-betul sangat aneh, Hong Seng sekalian adalah manusia-manusia suku asing yang berwajah jelek. Dengan dandanan yang aneh, apa lagi membawa seorang gadis rupawan, semestinya rombongan mereka sangat menarik perhatian orang banyak. Kenapa sepanjang perjalananku kemari, tak seorangpun yang mengatakan pernah berjumpa dengan mereka....? Masa mereka bisa terbang di langit atau berjalan di bawah tanah....? Heran!.... benar-benar mengherankan!"

   Makin dipikir pemuda itu semakin curiga, tanpa terasa tibalah pemuda itu diujung jalan dimana terdapat sebuah warung teh yang memakai merek Cwan-seng-lo.

   Satu ingatan tiba- tiba melintas dalam benaknya.

   Pemuda itu segera percepat langkahnya masuk ke warung teh itu Cwan-seng-lo merupakan sebuah rumah makan yang cukup termashur dikota Ci-tin usahanya sangat maju, langganannya banyak.

   Meskipun saat bersantap sudah lewat, ternyata tamu yang bersantapan disitu masih amat banyak.

   Dengan dandanan Hoa In-liong yang berpakaian ketat, menyoren pedang tik dipinggang, mengenakan mantel dipunggung serta berperawakan tinggi besar, kemunculannya dirumah makan itu segera menarik perhatian orang banyak.

   Dengan senyum dikulum ia memilih sebuah tempat dekat meja.

   Seorang pelayan muncul dengan badan terbungkuk-bungkuk.

   "Kongcu maafkanlah pelayanan kami yang lamban"

   Katanya minta maaf.

   "Maklum, jumlah pelayan di tempat kami terlalu sedikit untuk melayani tamu yang begitu banyak". Hoa In-liong tersenyum.

   "Tak perlu sungkan-sungkan, sediakan saja sayur dan arak. Sediakan pula sepeci air teh, nanti aku hendak menanyai pula dirimu tentang beberapa persoalan". Pelayan itu mengiakan berulang kali, dengan badan terbungkuk-bungkuk ia pun berlalu dari situ. Sebentar saja suara berbisik-bisik bergema dari sana sini.

   "Woouw.... Sauya dari manakah itu? Tampan amat!"

   "Ehmm.... Gagah pula potongannya dia pasti keturunan hartawan yang kaya raya!"

   "Coba lihat wibawanya yang besar, wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang kekar, mungkin dia adalah seorang pendekar muda!"

   Maklum, Ci-tin hanya sebuah kota kecil.

   Belum pernah tempat itu dikunjungi seorang pemuda tampan yang gagah perkasa macam Hoa In-liong.

   Tak heran kalau mereka lantas berbisik-bisik memuji kegagahan pemuda itu.

   Selang sesaat kemudian, pelayan muncul menghidangkan sayur dan arak, lalu menghidangkan pula sepoci air teh.

   Setelah memenuhi cawan Hoa In-liong dengan air teh, pelayan itu berkata.

   "Kongcu tentu lelah dijalan selahkan minum!"

   Hoa-In liong mengambil cawan dan menghirup setegukan. Ketika dilihatnya pelayan itu tidak bermaksud mengundurkan diri dari situ, tahulah dia bahwa pelayan itu sedang menantikan pertanyaannya.

   "Tolong tanya berapa banyak rumah penginapan yang berada dalam kota ini?"

   Sambil tersenyum yang dipaksakan, jawab pelayan itu.

   "Harap kongcu maklum, kota ini hanya berpenduduk enam-tujuh ratus orang. Lagi pula merupakan dusun yang miskin, jarang dilewati orang luar daerah. Tentu saja tak ada penginapan disini. Cuma. Hee.... hee.... Bila kongcu ingin menginap, hamba dapat usahakan tempat beristirahat bagi dirimu"

   "Ramah amat pelayan ini"

   Batin Hoa In-liong berpikir demikian, ia bertanya lebih jauh.

   "Tak usah repot-repot, aku ingin mencari kabar pula tentang beberapa orang"

   "Siapa yang hendak kongcu cari?"

   Tanya pelayan itu setelah tertegun sejenak.

   "Seorang gadis, seorang sastrawan muda serta dua orang laki-laki setengah baya berjubah kuning"

   "Orang asing?"

   Tanya pelayan itu lagi sambil mengerdipkan matanya yang sipit. Hoa In-liong mengangguk.

   "Ehmm! Dua orang laki-laki setengah baya yang berjubah kuning itu datang dari Seng-sut-hay, bukan bangsa Han. Sebaliknya gadis dan sastrawan itu orang Tionggoan"

   Dergan kening berkerut pelayan itu berpikir sebentar, kemudian ia gelengkan kepalanya.

   "Tidak ada, tidak ada manusia macam itu disini! Setiap orang yang datang luar daerah kecuali punya sanak keluarga disini, kebanyakan mereka menginap di rumah kami. Sekalipun tidak menginap disini, hamba percaya mereka tak akan lolos dari pengamatanku"

   Tiba-tiba ia tertawa cekikikan, lanjutnya lebih jauh.

   "Terus terang kukatakan kongcu, bahwa hamba sebenarnya bernama Go Beci. Tapi ia lantaran semua urusan kuketahui maka orang menyebut diri hamba sebagai "Bu-put-ci (tak ada yang tak tahu). Hee.... hee.... hee.... hal ini lantaran...."

   Tanpa terasa Hoa In- liong tersenyum, cepat tukasnya.

   "Cukup.... cukup.... Tolong tanya saja disekitar sini apakah ada kuil atau sebangsa too koan?"

   "Oooh.... tidak ada, tidak ada"

   Pelayan itu gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Disekitar dua puluh li dari dusun ini hanya ada sebuah kuil dewa tanah di sebelah barat kota!"

   Menyaksikan sikapnya yang serius dan bersungguh-sungguh itu, Hoa In-liong kembali merasa geli, ia tertawa tergelak.

   "Bagaimana dengan bukit Yan-san? Apakah di situ juga tidak ada kuil atau too koan?"

   Tanyanya kemudian selesai tertawa. "Bukit Yan-san?"

   Mula mula pelayan itu tertegun, untuk selanjutnya dia manggut- manggut.

   "Kalau di bukit Yan-san memang terdapat sebuah too-koan dan too-koan itu berada dekat dengan puncak bukit tersebut, besar sekali bangunannya!"

   Diam-diam Hoa In-liong merasa gembira setelah mendengar perkataan itu, pikirnya.

   "Yaa betul, mereka pasti menuju ke sana dengan mengitari tempat ini. Kalau begitu mereka pasti bercokol di dalam too-koan tersebut untuk beristirahat...."

   Tapi sebelum ingatan itu selesai berkelebat dalam benaknya, terdengar pelayan itu sudah melanjutkan kembali kata katanya.

   "Cuma too-koan itu sudah roboh banyak tahun. Banyak diantara bangunan tadi sudah menjadi puing-puing yang berserakan. Konon dahulunya tempat itu adalah sebuah markas dari perkumpulan Thong Thian-kau. Kongcu tahu? Thong Thian-kau adalah sebuah perkumpulan yang amat jahat dan ganas. Disana sini mereka melakukan banyak kejahatan dan kebiadaban. Kemudian dari dunia persilatan telah muncul seorang pendekar besar yang bernama Thian-cu-kiam Hoa thayhiap...."

   Setelah tujuannya tercapai, Hoa In-liong tidak berminat untuk mendengarkan cerita dari pelayan itu lagi, cepat dia ulapkan tangannya sambil menukas.

   "Cukup.... Cukup....sekarang kau boleh berlalu. Atas jerih payahmu ini, akan kuperhitungkan nanti saja!"

   Padahal ketika itu sang pelayan sedang berceritera dengan penuh semangat.

   Selaan dari Hoa Inliong tersebut ibaratnya sebaskom air dingin yang diguyurkan diatas kepalanya.

   Seketika itu juga ia berdiri bodoh dengan wajah termangu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti dilakukan.

   "Sudah cukupkah?"

   Tiba-tiba serentetan suara merdu menyambung dari samping.

   "Nah kalau sudah cukup, sekarang tiba giliran untuk melayani kami". Suara itu lembut, merdu dan enak didengar bagaikan bunyi genta. Dengan perasaan terkejut Hoa In-liong berpaling kesamping. Disudut kiri dekat dinding ruangan, duduklah seorang pemuda sastrawan berbaju putih, disampingnya duduk pula seorang kacung yang berusia empat lima belas tahunan. Waktu itu dengan senyuman di kulum mereka sedang memandang ke arahnya. Sastrawan itu tampan sekali, usianya antara enam tujuh belas tahunan, alis matanya bagaikan semut beriring, matanya jeli bagaikan bintang kejora. Hidungnya mancung, bibirnya merah seperti delima merekah. Giginya yang putih rata. Pipinya yang halus putih dengan sepasang lesung pipinya menambah kebagusan paras mukanya. Kulit tubuh sastrawan itu putih bersih. Sifat kekanak kanaknya masih tertera jelas dibawanya. Diantara sifat kekanak kanaknya terselip pula sifat binal, nakal dan cerdiknya. Ini membuat siapapun yang memandang segera timbul rasa senang dan simpantiknya. Siapapun ingin berkenalan rasanya setelah berjumpa dengan orang ini. Tapi, perasaan Hoa In-liong ketika itu jauh berbeda. Pertama lantaran kedatangan pemuda itu sangat mendadak, suaranya menggetarkan telinga. Kedua meski berada dalam perhatian tetamu yang begitu banyak, ternyata pemuda itu dapat bersikap tenang dan bebas, sedikitpun tak nampak rikuh atau panik. Hal ini membuktikan bahwa dia bukan manusia sembarangan.... Padahal waktu itu suasana amat kalut. Banyak kejadian berlangsung berturutan dan yang paling penting tempat itu adalah sebuah dusun miskin yang terpencil sebagai seorang pemuda yang cermat dan tidak gegabah tentu saja ia jadi kaget dan waspada setelah berjumpa dengan manusia seperti itu. Dalam waktu singkat ia merasa suasana diloteng rumah makan itu seakan akan berubah jadi beku. Begitu sunyi sepi sehingga jarum yang terjatuh ke tanahpun dapat kedengaran dengan jelas. Diamatinya pemuda sastrawan itu dengan cermat, tiba-tiba Hoa In-liong merasakan hatinya tergerak ia merasa orang itu makin dilihat semakin dikenal rasanya.

   "Aneh, kenapa raut wajah orang ini amat kukenal jumpai disuatu tempat. Tapi....siapakah dia? Aku pernah menjumpainya dimana?"

   OooOOOooo PENEMUANNYA ini seketika itu juga membuat sepasang alis matanya berkenyit.

   Dengan sinar mata setajam sembilu diamatinya orang itu dengan tajam, sementara otaknya berputar untuk menduga-duga siapa gerangan pemuda tersebut.

   Bayangan manusia melintas didepan matanya.

   Sambil menggoyangkan pantatnya pelayan itu menghampiri pemuda sastrawan tersebut, lalu sambil tertawa yang dipaksakan sahutnya.

   "Maaf kalau terlambat.... Maaf kalau terlambat.... Apa yang sauya inginkan? Harap diucapkan."

   Pemuda itu mengerling sekejap sambil moncongkan bibirnya.

   "Huuh!.... Pandai amat kau memilihkan sebutan! Kau sebut dia kongcu dan sebut aku sauya. Memangnya lantaran dia menyoren pedang dan pandai bersilat, sedang aku cuma seorang sastrawan yang lemah tak punya kepandaian apa-apa, maka kau berani permainkan orang?"

   Pelayan itu dibuat serba salah, menangis tak bisa tertawapun sungkan. Terpaksa sambil bungkukkan badan minta maaf katanya lagi sambil tertawa.

   "Kongcu suka bergurau.... Kongcu suka bergurau.... Harap engkau yang terhormat...."

   Sebelum pelayan itu menyelesaikan kata-katanya, kembali pemuda itu tertawa merdu, kepada kacung bukunya ia berkata.

   "Anak Leng! Tahun-tahun belakangan ini memang suasananya sedikit ganas. Coba lihatlah begitu cepat ia mengikuti gelagat?"

   Kacung buku itu menutupi bibirnya dengan ujung baju, lalu sambil menahan tertawanya ia berkata.

   "Sio.... sauya, perkataanmu memang benar. Sebutan kongcu itu memang kedengaran lebih segar!"

   Hoa In-liong yang mengikuti semua pembicaraan tersebut dari samping, diam-diam tertawa geli, pikirnya.

   "Entah siau-sauya darimanakah ini? Tampaknya dia lebih binal dan nakal daripada aku Hoa loji. Haa.... haa.... haa.... Akan kulihat permainan busuk apa lagi yang bisa dia lakukan untuk menggoda pelayan tersebut?"

   Perlu diketahui, pada dasarnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang binal, nakal dan suka menggoda orang.

   Ketika dilihatnya pemuda tampan yang berapa dihadapannya memiliki tabiat serta sifat yang persis seperti tabiat sendiri, betapa gembira dan senangnya dia.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seketika itu juga, sifat binal dan ingin menggodanya menguasahi kembali seluruh benaknya.

   Otomatis perasaan waswasnya tersapu lenyap dari dalam benaknya.

   Jilid 19 SEMENTARA pemuda itu telah berkata kembali.

   "Kalau diingat kembali, maka perkataan ibuku memang tak salah. Beliau berkata orang yang bekerja sebagai kusir, sebagai tukang perahu, sebagai pelayan, sebagai kuli dan sebagai Hamba negara paling pandai putar kemudi mengikuti hembusan angin manusia-manusia begini paling licik dan busuk. Ternyata bukti memang begitulah, betul tidak anak Leng?"

   "Yaa betul,"

   Kacung buku itu mengangguk sambil tertawa.

   "Pelayan ini memang licik sekali. Mungkin dia memang termasuk type manusia pelayan seperti yang dimaksudkan hujin!"

   Begitulah, kedua orang itu saling berbicara saling menanggapi.

   Mereka Berbicara dan tertawa, membuat air muka pelayan itu berubah jadi merah membara, mau menangis tak bisa mau tertawa tak dapat, mau gusar pun tak berani.

   Keadaannya benar-benar mengenaskan.

   Akhirnya karena apa boleh buat, terpaksa dengan wajah yang memelaskan dia memohon.

   "Oooh....kongcu ya! Seorang laki laki budiman tak akan mengingat ingat kesalahan seorang siaujin. Hamba...."

   "Memangnya kau anggap aku selalu mengingat dirimu?"

   Pemuda tampan itu balik bertanya dengan senyum dikulum. Pelayan tersebut semakin membungkukkan badannya.

   "Yaa.... Yaa.... Hamba memang terlalu gegabah, bekerja teledor sehingga terlalu lambat melayani kongcu. Harap engkau suka memaafkan kesalahan hamba dan tidak menyusahkan diri hamba lagi.... Apa yang kongcu pesan segera akan hamba kerjakan dengan baik...."

   Pelayan itu memang berlidah tajam serta pandai menjilat pantat. Setiap perkataannya begitu menarik hati membuat hati pemuda itu jadi lembek kembali. Akhirnya diapun mengangguk.

   "Baiklah! Siapkan sayur dan arak yang paling lezat!"

   Bagaimana mendapat pengampunan, cepat-cepat pelayan itu mengiakan lalu mengambil langkah seribu. Baru beberapa langkah pelayan itu kabur, ketika pemuda tampan itu berseru kembali.

   "Eee.... Pelayan! Tunggu sebentar!"

   Dengan hati bergetar keras pelayan itu berhenti, meski ada engkau tapi ia balik juga kehadapan tamunya.

   "Engkau tahu sayur apa yang hendak kupesan?"

   Tanya pemuda tampan itu sambil tersenyum. Pelayan itu sudah setengah dibikin mabok setelah dikocok habis habisan oleh tamunya, maka ia pun tertegun setelah mendengar pertanyaan tersebut.

   "Sayur apa yang hendak kongcu pesan?"

   Akhirnya setelah sangsi sebentar ia balik bertanya. Pemuda tampan itu langsung menuding kearah meja Hoa In-liong seraya menyahut.

   "Buatkan persis seperti apa yang dia makan, tak boleh terlalu banyak juga jangan terlalu kurang. Bila terlalu banyak atau terlalu sedikit, engkaulah yang musti tanggung jawab!"

   Terkejut bercampur heran Hoa In-liong ketika mendengar ucapan itu, ia segera berpikir.

   "Nah.... Si pencari gara-gara sudah datang. Rupanya dia berbicara kesana kemari tujuannya adalah untuk mencari gara-gara dengan aku...."

   Tentu saja pemuda kita bukan seorang laki-laki yang takut urusan, malahan justru karena adanya urusan, ia tampak semakin segar dan bersemangat. Sambil tertawa terbahak-bahak ia bangkit berdiri, lalu memberi hormat dari kejauhan.

   "Kita bisa bertemu muka, itu tandanya kalau kita ada jodoh"

   Demikian ujarnya.

   "Tak kunyana kalau hengtay memiliki selera yang persis seperti seleraku, sampai sekarang sayur dan arak yang kupesan belum disentuh. Jika tidak keberatan bagaimana kalau anda berpindah kemari untuk saling pererat hubungan?"

   Walaupun di mulut ia berkata demikian, dalam hati kecilnya iapun menyusun perhitungan, pikirnya.

   "Sampai dimanapun kebinalan dan kelicikanmu aku tidak percaya kalau Hoa loji tak mampu mengalahkan dirimu. Hmm! Paling sedikit aku Hoa loji harus berusaha untuk menyelidiki usulmu hingga jelas dan terang!"

   Rupanya kedatangan pemuda tampan itu memang bertujuan kepadanya, tampak ia mengerlingkan matanya kemudian menjawab.

   "Lama aku dengar orang berkata bahwa engkau supel dan gagah. Setelah perjumpaan hari ini terbuktilah sudah bahwa kabar yang tersiar diluaran memang bukan berita kosong belaka"

   Ia lantas bangkit berdiri, kepada kacung bukunya dia menambahkan lebih jauh.

   "Leng-ji, mari kita pindah dan mengganggunya sejenak!"

   Dengan langkah yang tegap dia berjalan lebih dulu pindah kemeja Hoa In-liong.

   Sementara itu Hoa In-liong sendiripun sudah menyusun perhitungan yang masak.

   Ia telah memutuskan untuk menghadapi setiap perubahan dengan kepala dingin.

   Akan disaksikan permainan busuk apakah yang hendak dilakukan mereka terhadapnya.

   Karena itu sambil berpesan kepada pelayan untuk menambah sayur dan arak, ia mempersilahkan tamunya mengambil tempat duduk.

   Kali ini pelayan tersebut bertindak lebih cerdik, begitu mendapat pesanan, secepat terbang ia berlalu.

   Selang sesaat kemudian apa yang dipesan telah dihidangkan.

   Kacung buku yang bernama "Leng-ji"

   Itu segera mengangkat poci arak dan memenuhi cawan mereka berdua. Sebenarnya Hoa In-liong masih ingin mengucapkan kata-kata sopan santun. Siapa tahu sambit meletakkan poci araknya kemeja, terdengar "Leng ji"

   Berkata dengan serius.

   "Eeeh.... Sio.... sauya kami tidak pandai minum arak, kau harus memaklumi keadaannya"

   "Leng-ji!"

   Bentak pemuda tampan itu tiba-tiba dengan wajah serius.

   "Kembali kau sudah melupakan peraturanku, tahukah kau? Dia adalah ji-kongcu....!"

   Leng-ji menjulurkan lidahnya sambil menunjukkan muka setan, kemudian ia baru memanggil.

   "Jikongcu!"

   Setelah itu dengan mulut membungkam dia duduk kembali ditempat duduknya.

   Hoa In-liong yang selama ini mengawasi terus mimik wajah orang dengan teliti, segera menemukan bahwa sikap dari pemuda tampan itu bukan sikap yang sengaja dilakukan.

   Ini membuat hatinya semakin keheranan, pikirnya.

   "Apa artinya kesemuanya ini sebentar berpurapura sebentar sungguhan, sebenarnya apa maksud hatinya?"

   Walaupun dihati berpikir demikian, hal tersebut tak sampai diutarakan keluar. Dia mengangkat cawan arak lalu tersenyum.

   "Kalau memang begitu, aku tak berani terlalu memaksa"

   Katanya.

   "Akan kukeringkan secawan arak ini sebagai penghormatanku padamu. Selanjutnya bila heng-tay tak keberatan, minum secawan arakpun bolehlah"

   Habis berbicara, sekali teguk dia habiskan dulu isi cawan sendiri. Pemuda tampan itu berdiri hanya mengangkat cawannya dan menempelkan saja dibibirnya sebagai pertanda rasa hormatnya, kemudian sambil tertawa ia berkata.

   "Ji kongcu, engkau memang sangat supel dan ramah, cuma aku menganggap dirimu sedikit keterlaluan"

   Begitu buka suara, kata-katanya hanya melukai orang, mimpipun Hoa In-liong tidak menduga sampai kesitu.

   Untuk sesaat dia tak bisa menanggapi kecuali duduk tertegun.

   Melihat pemuda itu tertegun, tiba-tiba dengan suara yang lembut pemuda tampan itu berkata lagi.

   "Betapa tidak bagaimanapun juga kita baru berkenalan untuk pertama kalinya. Padahal kaupun tahu kalau kedatanganku mengandung maksud tertentu, tahukah engkau aku sehabat atau musuh? Aku yakin kau belum bisa mengetahuinya dengan jelas? Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja engkau tidak menanyakan maksud kedatanganku, juga tidak menanyakan siapa namaku. Begitu angkat cawan lantas meneguk habis isinya, padahal arak itu disuguhkan oleh Leng-ji. Seandainya aku adalah musuhmu dan Leng-ji telah mencampuri arak itu dengan racun, bukankah sekarang kau sudah keracunan hebat? Kau memang supel dan menarik, tapi tidak seharusnya bertindak begitu ceroboh dan gegabah!"

   Kalau dipikir dengan sungguh-sungguh, maka apa yang dikatakan pemuda itu memang masuk diakal, lagipula bernada tajam, sedikitpun tidak memberi muka kepada lawannya.... Diam-diam Hoa In-liong mendengus, pikirnya.

   "Sialan! Toh engkau tahu kalau kita baru saja berkenalan, memangnya kau anggap ucapan semacam itu tidak keterlaluan? Jika aku Hoa loji takut dipecundangi olehmu, tak nanti kuundang dirimu datang kemari dan duduk semeja dengan diriku"

   Pikir tinggal pikir, mulut tak dapat membungkam terus menerus, maka diputuskan siasat tersebut akan dibalas dengan siasat, tersenyumlah pemuda kita.

   "Nasehat saudara memang tepat dan benar, bolehkah aku tahu siapa namamu?"

   Tampaknya pemuda tampan itu puas dengan sikap lawannya yang sangat penurut, dengan wajah berseri dia tertawa.

   Tapi begitu dia tertawa.

   Hoa In-liong maka terperangah hingga untuk sesaat melongo-longo seperti orang bodoh.

   Ternyata tertawanya itu begitu polos, begitu genit dan menawan hati, jelas merupakan senyuman seorang gadis cantik.

   Sementara anak muda itu masih melamun, pemuda tampan tersebut telah memperkenalkan namanya.

   "Aku berasal dari marga Cwan, Cwan dari kata Cwan-poh (pengundang), Cwan-yang (propaganda), Cwan-si (bersumpah), Cwan-cau (mengudang). She tersebut adalah she dari ibuku karena aku mengikuti marga ibu dan namaku adalah Wi. Lengkapnya Cwan Wi. Sudah jelas?"

   Bagaimanapun jua dasar anak muda yang sudah bertele-tele, untuk menerangkan nama sendiripun diperlukan waktu hampir setengah harian lamanya.

   Seakan akan dia takut kalau pemuda itu tak sempat mendengar namanya dengan jelas.

   Diam diam Hoa In-liong mengerutkan dahinya tapi untuk sopan santun diapun mengangguk.

   "Aku yang muda bernama Hoa yang, nama kecil In".

   "Yaa aku sudah tahu, kau punya nama kecil yang di sebut In-liong. Tak usah diterangkan lagi"

   Tukas Cwan Wi tiba-tiba sebelum anak muda itu sempat menyelesaikan kata katanya. Sesudah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi.

   "Kenapa tidak kau tanyakan kepadaku, mengapa aku datang kemari mencarimu?"

   Menyaksikan keanehan rekannya, Hoa In-liong tertawa geli.

   "Aku memang sedang siap-siap bertanya!"

   Katanya kemudian.

   "Aku mendapat perintah dari toako. Toako yang mengutus aku datang kemari!"

   Jawab Cwan Wi dengan nyaring.

   "Toako?"

   Ulang Hoa In-liong dengan wajah tertegun karena heran dan tidak habis mengerti. Cwan Wi manggut manggut.

   "Ya, toako yang suruh aku kemari. Toako suruh aku menyampaikan pesan kepadamu. Katanya kau jangan pergi ke bukit Yan-san untuk penuhi janji itu"

   Hoa In-liong semakin terkejut, rasa tertegunnya makin menjadi-jadi, setelah melongo sesaat dia baru bertanya.

   "Siapakah toakomu? Kenapa aku tak boleh memenuhi janji di bukit Yan-san....?"

   "Toako siapa lagi?"

   Cwan Wi mengerdipkan matanya.

   "Tentu saja toakomu sendiri! Tentang alasannya kenapa kau tak boleh pergi memenuhi janji, Waah.... Aku sendiripun tak tahu"

   Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat, makin lama ia semakin melongo.

   "Toako ku?"

   Kembali gumamnya dengan keheranan.

   "Kau maksudkan toakoku Hoa Si?"

   "Huuuh.... Tolol amat kamu ini! Semua orang mengatakan kau cerdik, kau pintar. Tapi nyatanya kau adalah orang paling goblok yang pernah kujumpa. Kalau bukan toakomu Hoa Si, memangnya kau punya berapa banyak toako lagi?"

   Tanpa sadar Hoa In-liong menghembuskan nafas panjang.

   "Ooooh.... Rupanya kakakku yang minta engkau datang kemari. Jadi kalau begitu kita bukan orang luar"

   "Sekalipun bukan orang luar, aku juga bukan orang dari keluargamu"

   Cepat Cwan Wi menambahkan dengan serius. Hoa In-liong tertawa tergelak karena geli.

   "Kau memang binal, nakal dan suka menggoda orang"

   Pikirnya dalam hati.

   "Kalau toh toako yang minta kedatanganmu kesini, kenapa tidak kau sampaikan maksud kedatangannya sejak tadi tadi? Lagakmu yang pura-pura bersikap serius, sok rahasia rupanya cuma bertujuan untuk bikin tegangnya urat syaraf saja. Aaai.... Dasar bocah yang sering dimanja, dalam keadaan seperti inipun masih bisa bisanya bergurau!"

   Meskipun mengeluh dalam hati, tidak berarti ada perasaan tak senang di hati kecilnya.

   Setelah termenung sebentar, dia angkat poci arak dan memenuhi cawan sendiri, lalu menambahkan pula cawan Cwan Wi dengan setetes arak.

   Setelah itu sambil mengangkat cawannya, ia berkata sambil tersenyum ramah.

   "Pepatah kuno bilang. Empat samudra adalah saudara sendiri. Asal pandangan hidup kita sama cita-cita kita sama dan tujuan kita sama, walaupun bukan keluarga sendiri juga tidak menjadi soal. Kau sebut kakakku sebagai "toako,"

   Padahal akupun lebih tua beberapa tahun daripada dirimu, maaf bila kuberanikan diri untuk memanggilmu sebagai saudara Cwan.

   Marilah saudara Cwan, siau-heng hormati secawan arak untukmu sebagai rasa terima kasihku atas perjalanan yang kau tempuh demi dirimu"

   Cwan Wi memang polos dan lincah, sambil kerutkan kening dia berseru.

   "Barusan toh kau sudah menghormati secawan arak kepadaku?"

   Hoa In-liong tertawa tergelak.

   "Haa.... haa.... Itulah yang dikatakan adat yang banyak bikin orang tidak aneh, kuteguk dulu isi cawan ini!"

   Begitu selesai berkata, dia lantas teguk habis isi cawan sendiri. Cwan Wi kehabisan kata-kata untuk berbicara terpaksa sambil kerutkan kening dia ikut mencicipi setegukan arak.

   "Baiklah!"

   Kata Hoa In-liong kemudian.

   "Anggaplah kita telah bersahabat setelah meneguk secawan arak tadi. Saudara Cwan, tolong tanya kau telah berjumpa dengan kakakku dimana?"

   Cwan Wi sedang mengurut tenggorokannya untuk menelan arak dalam mulutnya ke dalam perut. Mendengar pertanyaan tersebut diapun menyahut.

   "Di kota Im-ciu!"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aneh betul!"

   Seru Hoa In-liong kemudian dengan tercengang.

   "Im-ciu letaknya di sebelah barat propinsi An-gui. Dari mana kakakku bisa tahu kalau aku mempunyai janji di bukit Yan-san?"

   "Kami bertamu saudara Yu Siau-lam di kota Ciu-sin. Saudara Siau-lam lah yang memberitahukan soal janji Yan-san itu kepada toako!"

   Hoa In-liong termenung beberapa saat lamanya tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknyacepat dia bertanya lagi.

   "Sudah berapa hari engkau melakukan perjalanan bersama-sama kakakku....? "Dua hari!"

   "Dua hari?"

   Hoa In-liong makin tercekat.

   "Dalam dua hari kalian bila menempuh perjalanan dari kota Im-ciu sampai kota Cin-sian?"

   "Toako bilang ada urusan penting hendak mencari dirimu, tentu saja dalam dua hari jarak tersebut dapat kami lampaui"

   "Hanya kakakku seorang?"

   Kembali Hoa In-liong bertanya setelah tertegun sejenak.

   "Sebetulnya toako datang bersama empek Hoa"

   Sebelum pemuda itu sempat menyelesaikan kata-katanya, dengan hati sangat terkejut In-liong telah menukas.

   "Apa? Ayahku juga ikut datang?"

   "Masih ada lagi seorang lo-koan-keh. Cuma saat ini mereka sudah pulang ke Im Tiong-san"

   Timbul kecurigaan dihati Hoa In-liong setelah penjelasan tersebut, cepat tanyanya lagi.

   "Kenapa ayahku pulang ke rumah lagi setelah sampai ditengah jalan? Sebenarnya peristiwa basar apakah yang telah terjadi selama ini....?"

   "Ayahmu pulang kembali ke Im Tiong-san lantaran ditengah jalan telah bertemu dengan kami ibu dan....ibu dan anak. Empek Hoa lama sekali bercakap cakap dengan ibuku. Kemudian beliau bersama ibumu pulang kembali ke Im Tiong-san sedang apa yang sebenarnya telah terjadi, aku tak sempat mengetahuinya"

   Hoa In-liong berpikir kembali, ia merasa kehadiran ayahnya dalam dunia persilatan menunjukkan semakin seriusnya peristiwa dalam dunia persilatan.

   Sebab bila dunia persilatan tidak mengalami suatu perubahan besar tak nanti ayahnya akan munculkan diri dengan begitu saja.

   Meski demikian, anak muda itu tak ingin banyak berbicara, maka setelah termenung sejenak ia bertanya pula.

   "Lalu sekarang kemana perginya kakakku?"

   "Toako pergi ke kota Kim-leng! Sebelum berpisah toako secara khusus menitip pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu. Katanya sekarang juga itu harus berangkat ke kota Kim-leng untuk berkumpul dengannya, sebab ada urusan penting yang hendak dibicarakan"

   Setelah pembicaraan berlangsung sampai disitu garis besar keadaan yang sebenarnya pun dapat di pahami Hoa In-liong.

   Ia tahu, jika toakonya begitu terburu-buru ingin berjumpa dengannya, itu berarti bahwa ada urusan penting yang telah terjadi.

   Tapi dia pun tak dapat ingkar janji, sehingga membiarkan Wan Hong giok menanti dengan percuma.

   Maka setelah mempertimbangkan enteng beratnya persoalan, akhirnya dia berkata.

   "Baiklah! Kalau begitu besok pagi-pagi kita berangkat!"

   Hoa In-liong mengambil keputusan demikian lantaran keadaanlah yang memaksa dia harus berbuat begini.

   Betapapun juga dia sangat ingin berjumpa dengan Hoa Si secepat mungkin dan mencari tahu peristiwa apa yang telah terjadi, hingga sampai ayahnya ikut terbawa-bawa masuk kembali ke dalam dunia persilatan.

   Namun Cwan Wi tak bisa memahami perasaannya waktu itu, tampak ia rada tertegun, kemudian berseru nyaring.

   "Kenapa? Jadi kau masih ingat memenuhi janjimu di bukit Yan- san?"

   "Selisih satu malam rasanya juga tak terlalu lambat. Asal perjalanan kita tempuh lebih cepat lagi, waktu yang silang rasanya masih dapat disusul kembali"

   "Selisih waktu semalam?"

   Teriak Cwan Wi dengan marah.

   "Engkau tahu meski hanya selisih waktu semalam, peristiwa besar apalagi yang bakal terjadi?"

   "Yaaa....Tapi apa boleh buat?"

   Kata Hoa In-liong dengan nada minta maaf.

   "Sebagai seorang laki-laki sejati, kita tak boleh ingkar janji. Sekalipun ada urusan lain.... Ya.... Bagaimana lagi? Janji tetap janji. Walaupun ada urusan yang lebih penting, janji tetap tak dapat diingkari dengan begitu saja". Tampaknya Cwan Wi semakin naik darah, setelah merenung sebentar katanya lagi dengan ketus.

   "Aku tahu orang she Wan itu adalah seorang cantik. Aku tahu gadis she Wan itu mencintai dirimu dan kau keberatan untuk meninggalkan dirinya. Hmmm! Orang lain mengatakan kau bajul buntung, kau romantis dan suka main perempuan, dulu aku masih belum percaya, tapi sekarang.... sekarang aku...."

   Sebelum pemuda tampan itu sempat menyelesaikan kata katanya Hoa In-liong sambil tertawa getir telah menukas.

   "Saudara Cwan...."

   Cwan Wi mendelik besar. Dengan penuh kemarahan ia menyemprot.

   "Siapa yang sudi menjidi saudaramu? Panggilan dari saudara sendiri yang disampaikan dengan mengirim seorang utusan ternyata kalah pentingnya dengan janji seorang perempuan lewat usang. Hmmm! Terhadap manusia macam begini....aku jadi segan untuk banyak berbicara lagi!"

   Hoa In-liong benar-benar dibikin serba salah, tertawa tak bisa menangispun sungkan. ia gelengkan kepalanya berulang kali sambil mengeluh lirih.

   "Saudara Cwan, kau bikin orang penasaran.... kau bikin orang jadi penasaran"

   "Aku membuat kau menjadi penasaran?"

   Teriak Cwan Wi makin gusar.

   "Baik! Aku mohon diri lebih dulu. Aku tak akan mengganggu engkau lebih jauh...."

   Dia lantas bangkit berdiri dan siap pergi.

   "Saudara Cwan....! Saudara Cwan....! Jangan pergi dulu. Jangan pergi dulu!"

   Cegah Hoa In-liong sedang gelisah.

   "Dengarkan dulu penjelasanku"

   "Bukankah aku telah membuat engkau penasaran? "kata Cwan Wi dengan mendongkol.

   "Kalau toh akan membuat kau jadi penasaran, kenapa tidak kau perbolehkan aku pergi saja dari sini?"

   Hoa In-liong menghela napas panjang, ia termenung sebentar untuk berpikir, kemudian baru ujarnya lagi dengan suara yang perlahan dan lembut.

   "Antara aku dengan Wan Hong- giok hanya punya jodoh bertemu muka satu kali saja. Sekalipun ada benih-benih cinta yang tumbuh dihati kita masing-masing, itupun masih terbatas pada cinta permulaan, tak nanti sudah mencapai taraf yang kau ibaratnya tak bisa berpisah lagi. Yaaa.... Kenangan masa lampau ada baiknya tak usah kita bicarakan lagi. Siau-heng akan perlihatkan surat dari nona Wan kepadamu. Selesai membaca surat tersebut, engkau akan segera memahami alasan lain yang membuat siau-heng bersikap demikian. Kau pasti akan mengerti bahwa siau-heng tidak gampang terpikat oleh seorang perempuan"

   Sambil berkata ia merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas butut yang segera diserahkan kepada Cwan Wi.

   "Aaaah....Ogah aku membaca surat cintamu"

   Tampik Cwan Wi sambil palingkan kepalanya.

   "Kalau ingin menerangkan, lebih baik terangkan saja dengan mulut!"

   Sambil membungkukkan badannya setengah memohon Hoa In-liong membentangkan surat kumal tersebut dihadapan mukanya, lalu berkata kembali.

   "Aku tak dapat menerangkan dengan mulut, sebab dibalik surat ini masih terdapat suatu rahasia yang sangat besar. Rahasia ini tak boleh sampai ketahuan orang lain, maka alangkah baiknya kalau saudara Cwan membaca langsung dari kertas ini!"

   Cwan Wi dapat menangkap keseriusan orang sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, tanpa sadar ia berpaling memandang kearah Hoa In-liong.

   Dengan wajah setengah memohon Hoa In-liong segera mendesak kembali rekannya agar membaca surat itu sendiri.

   Rupanya Cwan Wi tak tega, akhirnya ia menundu kan kepalanya juga untuk membaca surat itu.

   Selesai membaca surat tadi, ia baru menengadah sambil katanya dengan suara yang lebih ramah.

   "Jadi kalau begitu, gadis-gadis she Wan itulah yang terlalu romantis sehingga diam-diam ia mencintaimu tanpa kau sendiri menyadari akan hal ini...."

   "Tak bisa kau katakan demikian"

   Sahut Hoa In-liong dengan wajah tersipu-sipu. Cwan Wi berpaling dengan alis mata berkenyit.

   "Lalu.... Bagaimana yang betul?"

   Dia balik bertanya. Sikap Hoa In-liong makin rikuh, dengan muka merah jengah katanya tergagap.

   "Aku.... aku sendiripun tak dapat menerangkan dengan jelas"

   Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba lanjutnya kembali dengan wajah serius.

   "Pokoknya peristiwa ini mungkin menyangkut suatu masalah yang amat besar dan yang pasti ke adaan nona Wan sesudah terjatuh ke tangan kaum iblis sesat pasti mengenaskan sekali. Sebagai umat persilatan yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, apabila setelah mengetahui jelas keadaan yang sebenarnya, masa kita harus berpeluk tangan belaka membiarkan orang lain tersiksa? Saudara Cwan, tentunya tidak demikian bukan?"

   Mungkin apa yang diucapkan Hoa In-liong memang benar dan masuk diakal.

   Untuk sesaat lamanya Cwan Wi tak mampu berkata maupun berbicara.

   Dengan mulut membungkam dia angsurkan kembali kertas itu kepada rekannya.

   Sambil menerima surat itu dan disusupkan kembali ke dalam sakunya, kembali Hoa In-liong meminta.

   "Saudara Cwan, apakah engkau dapat memahami keadaanku? Bagaimana kalau kita berangkat besok pagi saja?"

   "Tentang soal ini.... tentang soal ini...."

   Demikian sangsinya Cwan Wi sampai dia tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Bagaimana kalau demikian saja?"

   Sambung Hoa In-liong lagi.

   "Saudara Cwan berangkat duluan dan Siau-heng akan segera berangkat selewatnya tengah malam nanti? Aku percaya kita bisa berjumpa muka lagi setibanya di dermaga penyeberang Boh-ko. Dengan demikian bukankah kita tak usah membuang waktu lagi dengan percuma?"

   Tiba-tiba Cwan Wi menghela nafas panjang.

   "Aaaai.... Engkau telah salah mengartikan maksudku. Sebenarnya akulah yang sengaja telah membohongi dirimu dalam keteranganku tadi"

   "Bagaimana maksudmu?"

   Tanya Hoa In-liong dengan wajah setengah tertegun.

   "Latar belakang janji dibukit Yan-san telah ku ketahui semua dengan amat jelasnya. Saudara Siau-lam lah yang menceritakan kesemuanya itu kepadaku. Barusan aku sengaja menuduh engkau terpikat oleh perempuan, maksudku adalah untuk memanasi hatimu dengan tuduhan tadi dan tujuanku berbuat demikian tak lain adalah berharap agar engkau tidak pergi memenuhi janji tersebut" Mendengar keterangan tersebut, Hoa In-liong merasa marah bercampur mendongkol, dengan kesal teriaknya.

   "Kau....kau.... Aaaai....! Apa gunanya engkau berbuat kesemuanya itu atas diriku?"

   Bagaimanapun juga, si anak muda ini segan menegur Cwan Wi, maka sambil menghela nafas panjang dia hanya gelengkan kepalanya berulang kali sebagai tanda rasa kesalnya. Cwan Wi sendiripun agak kikuk, tiba-tiba panggilnya dengan suara tergagap.

   "Ji.... Ji-ko...."

   Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian ia bersorak gembira.

   "Betul! Kau musti panggil jiko kepadaku, ayoh panggillah sekali lagi....!"

   Sebagai seorang laki laki yang berjiwa besar dan berhati jujur, tak pernah suatu kesalahan atau suatu kejengkelan disimpan terus dalam hati, maka dari itu setelah mendengar panggilan "jiko"

   Dari Cwan Wi yang diucapkan dengan nada takut-takut, semua kemurungan dan kekesalan yang semula menyelimuti benaknya seketika tersapu lenyap dari dalam benaknya.

   Entah apa sebabnya tiba-tiba paras muka Cwan Wi berubah jadi merah padam seperti kepiting rebus.

   Bukan saja ia tidak melanjutkan panggilan tersebut, malah sebaliknya menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Hoa In-liong segera tertawa tergelak.

   "Haa.... haa.... Coba lihat tampangmu, apanya yang perlu kau malui? Bukankah kau sebut toako kepada kakakku? Maka semestinya kau memang harus sebut Jiko kepadaku! Terus terang kuberitahukan kepadamu, aku Jiko paling romantis dan paling hangat dalam pergaulan. Asal aku sebut Jiko kepadaku, selama hidup aku tak bakalan menderita kerugian"

   Ketika selesai mendengar upacara tersebut paras muka Cwan Wi berubah semakin marah lagi dan kepalanya juga tertunduk semakin rendah, hingga sekarang jelas terlihat betapa merahnya semua tengkuk dan telinga gadis itu.

   Rupanya Hoa In-liong agak terlena menyaksikan keadaan dari rekannya, dengan perasaan apadaya dia gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Yaa.... Bagaimanapun juga masih seorang bocah"

   Gumamnya dengan kening berkerut.

   "Takut mula, tak berani angkat kepala.... Yaa.... Bagaimana lagi? Pokoknya lain kali kau musti sebut Jiko terus kepadaku...."

   Sesudah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya kembali.

   "Mungkin mengucapkan sesuatu kepadaku, bukankah begitu....? Cepat katakan!"

   Engkau hendak Cwan Wi manggut-manggut tanda membenarkan setelah merenung sejenak hingga warna merah yang menghiasi wajahnya lenyap semua, dia baru menengadah seraya berkata.

   "Jiko, tentunya kau tak akan memenuhi janjimu dibukit Yan-san bukan....?"

   Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya, diam diam ia berpikir didalam hati.

   "Barusan saja pembicaraan berlangsung baik sekali, kenapa begitu cepat pikirannya berubah?"

   Meski dalam hati berpikir demikian, diluaran dia pun bertanya dengan nada keheranan.

   "Kenapa?"

   "Tidak karena apa-apa. Anggaplah sebagai suatu permohonan dariku, tentunya engkau bersedia mengabulkan permintaanku itu bukan?"

   Hoa In-liong tertegun.

   "Saudaraku dengarkan dulu perkataanku"

   Katanya kemudian.

   "Cinta adalah ciita, setia kawan adalah setia kawan. Aku menyanggupi dirimu adalah karena cinta. Sedang kupenuhi janjiku dibukit Yan-san adalah setia kawan. Sebagai manusia yang hidup diantara masyarakat, kita harus dapat membedakan antara cinta dan setia kawan dengan jelas. Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah engkau masih hendak memohon kepadaku agar membatalkan janjiku dibukit Yan-san?"

   Sekali lagi Cwan Wi tersudut hingga tak mampu memberikan jawaban yang tepat, ia semakin gelisah.

   "Bukan demikian.... Hal ini adalah maksud hati dari Toako. Toako berkata begini...."

   "Siau.... sauya!"

   Tiba-tiba Leng-ji berteriak lengking.

   Cwan Wi segera menyadari kembali kesilapannya sehingga hampir saja bicara telanjur, cepatcepat ia menutup mulutnya kembali membatalkan niatnya untuk berbicara lebih jauh.

   Betapa heran dan tercengangnya Hoa In-liong melihat sikap rekannya.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebentar ia memandang kearah Leng-ji, sebentar lagi memandang kearah Cwan Wi, kemudian bertanya.

   "Sebetulnya apa yang telah terjadi, apa yang sebenarnya telah dikatakan oleh Toako?"

   "Toako.... Toako...."

   Cwan Wi semakin tergagap sampai tak mampu melanjutkan kata katanya. Leng-ji yang berada disamping dengan cepat menyambung kata-kata tersebut.

   "Toa kongcu bilang, jikalau Ji-koancu tetap bersikeras dengan pendiriannya, tak dapat diajak berbicara yang benar, maka kami diperintahkan sagera kembali kekota Kim-leng dan jang...."

   "Leng-ji....!"

   Bentak Cwan Wi dengan suara yang nyaring. Leng ji berpaling serta melemparkan sebuah kerlingan yang penuh mengandung arti, lalu melanjutkan kembali kata katanya.

   "Apa yang Leng-ji ucapkan adalah kata-kata yang sejujurnya! Sauya, lebih baik kita kembali dulu ke kota Kim-leng!"

   Hoa In-liong tidak sempat memperhatikan kerlingan mata dari kacung buku itu. Ketika didengar Leng-ji membantu dia menganjurkan Cwan Wi agar pulang dulu ke kota Kim-leng, cepat-cepat dia menambahkan pula.

   "Betul! Lebih baik kita ikuti saja rencana semula. Kalian berangkat lebih duluan dan aku akan menyusul dari belakang"

   Leng-ji lah pertama-tama yaog bangkit berdiri lebih dahulu, katanya kembali.

   "Sauya, mari kita berangkat! Banyak bicara juga tak ada gunanya, buat apa kita musti bercokol terus tanpa hasil disini?"

   Cwan Wi merenung sebentar, sepertinya ia merasa bahwa perkataan Leng-ji memang masuk di akal, akhirnya diapun ikut bangkit berdiri.

   "Baiklah, mari kita berangkat lebih duluan!"

   Ka tanya. Ia berpaling ke arah Hoa In-liong. Sambil menatap wajahnya kembali ia berkata dengan nyaring.

   "Jiko, aku akan berangkat lebih duluan. Aku harap engkau suka berhati-hati dalam perjalananmu memenuhi janji di bukit Yan-san"

   Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, sikap jengah dan rikuhnya sudah tersapu lenyap tak membekas, sebagaimana semula sikapnya kembali supel, gagah dan menawan.

   Hoa In-liong jadi rada lega setelah mengetahui tak ada orang menghalangi niatnya lagi.

   Ia bangkit berdiri derigan wajah berseri, katanya sewaktu menghantar kepergian orang.

   "Saudara Cwan memang tak malu disebut seorang manusia yang tahu diri. Siau heng merasa sangat beruntung dapat berkenalan dengan dirimu! Bicara terus terangnya saja, andaikata perjumpaan kita tidak berada dalam suasana yang kurang menguntungkan, siau heng benar-benar merasa sedikit berat hati untuk berpisah dengan dirimu"

   Paras muka Cwan Wi secara aneh terhias kembali oleh warna semu merah.

   Cuma waktu itu dia sudah memutar tubuhnya sambil beranjak pergi.

   Dengan demikian Hoa In-liong tak sempat menyaksikan perubahan wajahnya itu.

   Terdengar ia berkata dengan suara yang merdu dan nada yang nyaring.

   "Kita bukan putra-putri masyarakat biasa. Aku rasa kata-kata sungkan juga tak perlu diutarakan lagi. Terus terangnya saja kukatakan, aku selalu mengkuatirkan kelicikan, kebuasan serta kebuasan orang-orang Mokauw. Sedang Jiko adalah seorang kuncu, seorang lelaki sejati yang jujur dan polos. Kuatirnya jika kau bertindak sedikit gegabah, yaa.... akibatnya kau akan menyesal sepanjang jaman!"

   Hoa In-liong tertawa tergelak.

   "Haa.... haa.... Selama hidup siau-heng belum pernah menjumpai kejadian yang membuat hatiku menyesal harap saudara Cwan bersedia melegakan hatimu"

   "Tapi lebih berhati-hati toh ada baiknya juga?"

   "Terima kasih banyak atas perhatian saudara Cwan. Siau-heng akan mengingat pesanmu itu"

   Sahut Hoa In-liong sambil mengangguk berulang kali. Begitulah, mereka berdua sambil berjalan sambil berbicara, siapapun tidak menyinggung katakata "selamat tinggal"

   Atau "tak usah dihantar lebih jauh".

   Meski hanya berpisah untuk sementara waktu, namun perasaan berat hati yang terpancar diwajah kedua belah pihak terlihat amat tebal, cuma rasa berat hatinya itu tidak sampai diutarakan keluar lewat kata-kata.

   Sesaat kemudian mereka sudah tiba diluar pintu gerbang rumah makan Cwan-seng-lo, Leng-ji rada tidak sabaran lagi, tiba-tiba selanya.

   "Ji-kongcu, harap kau kembali! Daripada menghantar terus menerus, kenapa tidak melakukan perjalanan bersama-sama saja?"

   Dengan wajah tertegun Hoa In-liong menghentikan langkahnya, kemudian tertawa terbahakbahak.

   "Haa. Haa.... haa.... Baik.... Baik.... Tidak akan menghantar lagi.... Tidak akan menghantar lagi. Baik-baik dijalan saudara Cwan, jaga diri baik-baik!"

   Dengan agak tersipu Cwan Wi melambaikan tangannya sambil berbisik.

   "Selamat tinggal!"

   Kemudian dengan langkah lebar ia berlalu dari kota Ci-tin tersebut.

   Sepeninggal Cwan Wi berdua, Hoa In-liong menengadah memandang cuaca.

   Ia lihat sang surya sudah tenggelam dibalik bukit, senjapun telah menjelang tiba, maka ia naik kembali keloteng dan buru buru bersantap untuk mengisi perut.

   Selesai membereskan rekening pemuda inipun berangkat meninggalkan kota Ci-tin.

   Disuatu tempat yang sepi dihukit utara gunung Yan-san, anak muda itu duduk bersemedi untuk menyusun kembali kekuatannya.

   Tatkala hari sudah gelap, ia baru melakukan perjalanan cepat mendaki bukit Yan-san....

   Bekas markas Tong thian-kau tempo dulu letaknya berdekatan dengan puncak bukit.

   Hoa Inliong membutuhkan waktu selama satu setengah jam untuk mencapai tempat tersebut.

   Markas itu boleh disebut luas dan lebar.

   Tapi lantaran sudah banyak tahun tidak dihuni manusia, sebagian besar bangunan itu sudah roboh dan berubah jadi puing-puing yang berserakan.

   Apalagi bila malam menjelang tiba, tikus berlarian ke sana kemari mencari makanan.

   Suasana yang sepi, dan gelap itu mendatangkan perasaan yang seram bagi siapapun yang melihatnya, bahkan bulu romapun tanpa terasa ikut berdiri tegak.

   Semula Hoa In-liong menduga Hong Seng sekalian pasti bercokol dibekas markas itu untuk melepaskan lelahnya.

   Siapa tahu meski puing-puing bekas gedung itu sudah diperiksa beberapa kali dengan hati-hati, tak sesuatu apapun berhasil ditemukan.

   Bahkan bekas pernah disinggahi orang pun tidak nampak.

   Oleh sebab itu, ia mulai sangsi dan ragu-ragu....

   Waktu itu, ia berdiri ditengah sebuah ruangan kuil yang atapnya telah ambruk.

   Sambil memandang puncak bukit yang gelap nun jauh diujung sana, diam-diam anak muda itu berpikir.

   "Masa mereka tidak datang kemari? Atau mungkin akulah yang salah datang....? Kalau tidak, tentulah Wan Hong-giok bertindak sangat cermat dan rahasia, karena itu dia sudah mengatur segala sesuatunya hinga tempat ini sunyi senyap....?"

   Pelbagai kecurigaan dan rasa sangsi berkecamuk dalam benaknya, ia kuatir kalau salah tempat.

   Sebentar dia berharap Hong Seng sekalian tidak mengetahui kejadian ini, sehingga Wan Hong giok dengan leluasa dapat meloloskan diri dari pengawasan mereka dan seorang diri datang memenuhi janjinya dengan dia.

   Bahkan dia pun menaruh curiga bahwa Wan Hong-giok sudah tertimpa nasib malang hingga tak dapat memenuhi janjinya lagi.

   Puncak bukit yang gelap di ujung depan sana seakan akan berubah jadi sebuah pintu besi dari sebuah kurungan yang siap menanti kedatangannya untuk masuk jebakan.

   Berpikir sejenak kemudian, tiba-tiba ia bergumam seorang diri.

   "Aaaai....perduli amat! Kalau itu rejeki sudah pasti bukan bencana, kalau itu bencana dihindar, juga tak mungkin bisa...."

   Gumamnya terpotong setengah jalan, secepat sambaran petir ia meluncur maju ke depan.

   Bagaimanapun juga Hoa In-liong adalah seorang keturunan pendekar besar.

   Seorang laki laki yang tidak mengenal arti takut.

   Seorang pemuda yang tidak mengenal jiwa pengecut.

   Akhirnya dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia meluncur ke arah puncak bukit.

   Meski demikian, pemuda itu tidak bertindak gegabah.

   Ia sama sekali tidak mengurangi rasa waswasnya meski benaknya dipenuhi oleh keraguan dan kecurigaan.

   Waktu itu tengah malam baru saja lewat, ia manfaatkan sisa waktu yang masih tersedia untuk melakukan pemeriksaan yang seksama dengan menelusuri sekitar tanah perbukitan tersebut.

   Makin lama puncak bukit itu semakin dekat, akkhirnya sampailah pemuda itu di puncak tersebut, Tempat itu adalah sebuah tanah berumput yang datar, rumputnya amat jarang sehingga susah bagi seseorang untuk menyembunyikan diri dibalik semak belukar tersebut.

   Meski begitu bayangan tubuh dari Hong Seng sekalian masih belum juga kelihatan, apalagi bayangan tubuh dari Wan Hong-giok.

   Kembali pemuda itu menelusuri tanah lapang itu dengan penuh kesabaran sambil melakukan pemeriksaan pikirnya.

   "Tiada kesempatan untuk melepaskan diri ataukah ia sudah ketahuan jejaknya sehingga ditahan mereka? Kalau tidak begitu kenapa belum tampak juga bayangan tubuhnya disekitar sini?"

   Pikir punya dikir, tiba-tiba satu ingatan yang sangat menakutkan melintas dalam benaknya, tak kuasa lagi dia menjerit kaget.

   "Aduuh celaka!"

   Dengan suatu gerakan tuhan yang cekatan ia memutar tubuhnya ke belakang dan siap melayang pergi dari situ.

   Sayang seribu kali sayang, meskipun Hoa In-liong cekatan dan pintar, tindaknya ini dilakukan selangkah lebih terlambat.

   Terdengarlah suara tertawa seram yang mengerikan berkumandang silih berganti dari sekeliling tempat itu.

   Suara tersebut keras dan memekakkan telinga ini membuat Hoa In-liong berpaling ke empat penjuru dengan hati yang bergetar keras.

   Delapan-sembilan sosok bayangan manusia pelan-pelan munculkan diri dari tepi tanah lapang berumput itu.

   Kebetulan pula waktu itu tengah malam baru menjelang, lagipula tanggal sembilan belas, rembulan yang purnama baru saja muncul dari arah timur dan menerangi seluruh jagad, ia terjebak....

   Diantara delapan-sembilan orang itu, tiga orang diantaranya adalah orang tionggoan.

   Siau Khi-gi adalah salah satu diantara ketiga orang itu.

   Sisanya adalah laki-laki yang berdandan pendeta bukan pendeta, imam bukan imam dengan jubah lebar warna kuning.

   Mereka semua adalah orang-orang Mo-kauw.

   Hong Seng berada disudut paling barat.

   Siang tadi Hoa In-liong pernah berkata.

   "Selama hidup tak pernah merasakan menyesal". Meski sekarang dia rada kaget dengan kejadian yang dihadapinya, tidak berarti dia menyesal. Diapun tidak menunjukkan rasa gugup atau kelabakan. Setelah mengamati keadaan yang sebenarnya, diam-diam ia mempertimbangkan situasi dan mengambil keputusan. Ia tahu saat itu Hoa Seng sudah bukan menjadi pemimpin dari rombongan itu. Pemimpin rombongan yang sekarang adalah kakek jangkung, kurus dan bermuka menyeramkan itu, sebab ikat pinggang yang dikenakan kakek itu paling istimewa. Bentuknya berbeda sekali jika dibandingkan ikat pinggang orang lain. Ia memakai sebuah ikat pinggang perak yang berukiran seekor naga perkasa. Bukan panik atau bingung, pemuda itu merasakan suatu ketenangan yang luar biasa, pikirnya dalam hati.

   "Ya, sekarang aku tahu, semula mereka terdiri dari tiga rombongan. Tapi untuk menghadapi diriku, disaat terakhir telah bergabung jadi satu dengan kakek berwajah seram ini memang pucuk pimpinan. Kalau begitu ilmu silat yang dimiliki kakek itu pasti jauh lebih lihay jika di bandingkan Hong Seng sekalian. Kali ini aku tak boleh bertindak gegabah sehingga kena dipecundangi mereka!"

   Berpikir sampai disitu, rombongan musuh sudah makin dekat menghampiri dirinya. Mereka membentuk posisi mengurung dan ia sebagai sasaran pengepungan tersebut. Hong Seng tertawa seram, tampak sambil menyeringai dia mengejsk sinis.

   "Hee.... hee.... hee.... Hoa kongcu konon aku dengar engkau adalah seorang pemuda yang romantis, dimana saja menaburkan bibit cinta. Setelah kubuktikan sendiri, ternyata memang kuakui bahwa kabar tersebut bukan kabar kosong belaka"

   Laki-laki berjubah kuning yang pernah dikutungi pergelangan tangannya berseru pula dengan penuh kebencian.

   "Hmm....! Sayang datangnya gampang perginya susah. Sekalipun mempunyai birahi cinta setinggi bukit juga tak ada gunanya, buat apa musti diributkan lagi?"

   Siau Khi-gi memutar biji matanya yang licik dan ikut menimbrung dari samping.

   "Itulah yang disebut orang mampus dibawah bunga Botan, jadi setanpun setan romantis. Sepanjang hidup bermain cinta terus, jadi setanpun watak itu tak akan berubah"

   Ejekan demi ejekan yang dilontarkan tiga orang musuhnya itu sama sekali tak digubris Hoa Inliong. Ia malah berpaling kearah kakek bermuka seram itu dan memberi hormat kepadanya.

   "Boleh aku tahu siapakah nama saudara?"

   Sapanya.

   "Aku adalah Hu-yan Kiong!"

   Hoa In-liong manggut-manggut.

   "Tolong tanya, Wan Hong-giok sekarang berada dimana?"

   Seperti juga tampang wajahnya yang sinis, jawaban Hu-yan Kiong tak sedap didengar.

   "Untuk sementara waktu, jiwanya tak sampai kabur ke akhirat!"

   Diam-diam tercekat juga hati Hoa In-liong sehabis mendengar jawaban tersebut, segera pikirnya.

   "Orang ini betul-betul seorang musuh yang hebat dan lihay. Yaa, tampaknya pertempuran sengit tak dapat kuhindari lagi"

   Dalam hatu berpikir demikian, diluar katanya "Dapatkah aku berjumpa, muka dengan dirinya? Hu-yan Kiong tidak menjawab, ia cuma bertepuk tangan tiga kali.

   Tiba-tiba dari balik tanah lapang muncul dua orang manusia.

   Kedua orang itu menggotong sebuah tandu.

   Diatas tandu berbaringlah seseorang yang tubuhnya ditutupi secarik kain hitam segingga kelihatanlah rambutnya yang awut-awutan.

   Ketika diamati lebih seksama, ternyata orang itu adalah Wanggiok.

   "Letakkan keatas tanah dan singkirkan kain hitam yang menutupi badannya"

   Perintah Hu-yan Kiong tengah membentak.

   Dua orang itu segera membaringkan tandu itu ke tanah dan menyingkap kain hitam yang menutupi diatasnya.

   Begitu kain hitam tersingkap.

   Hoa In-liong amat terkejut sehingga hampir saja menjerit kaget Ternyata Wan Hong-giok berbaring diatas tandu dengar mata terpejam rapat, muka pucat pias.

   Tubuhnya hanya mengerakan kutang merah dan cawat kecil menutupi bagian kewanitaannya.

   Tubuh yang dulunya begitu putih, begitu montok sekarang tinggal kulit pembungkus tulang.

   Bahkan diatas dada dan pahanya ditempeli makhluk-makhluk beracun seperti ular, kalajengking, kelabang, laba-laba dan aneka macam makhluk lain yang bentuknya aneh dan tak diketahui apa namanya.

   Yang pasti semuanya berbentuk aneh, berbentuk seram dan bikin bulu roma pada bangun berdiri.

   Hal ini benar-benar suatu kejadian yang mengerikan, suatu siksaan kejam yang tak mengenal peri kemanusiaan.

   Merah berapi-api sepasang mata Hoa In-liong menyaksikan kejadian itu.

   Darah panas serasa mendidih dalam tubuhnya.

   Begitu gusarnya pemuda itu sehingga dia menengadah dan tertawa seram.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suaranya bergetar sampai ke ujung langit, tapi suara itu lebih mirip kalau dikatakan sebagai suara tangisan yang memilukan hati.

   Hu-yan Kiong segera mendengus dingin.

   "Hmmmm! Engkau tak usah jual lagak lagi dihadapanku, mau apa tertawa terus macam orang edan?"

   "Sungguh keji hati kalian semua! Sungguh buas dan busuk hati kamu semua! Siksaan semacam ini suatu ketika pasti akan kalian alami sendiri"

   Teriak Hoa In-liong dengan nada yang memilukan hati.

   "Wan Hong-giok sudah kenyang disiksa dan dihina, masih belum cukupkah penderitaan yang harus dia alami? Kenapa kalian tidak mengenal peri kemanusiaan? Kenapa kalian hukum dirinya dengan cara yang begitu kejam?"

   Hu-yan Kiong mengejek dingin.

   "Hmmm.... Perempuan ini pura-pura takluk kepada kami, tapi nyatanya ia jadi mata-mata. Ia menyelidiki rahasia perkumpulan kami jangan kau anggap "Pekseng-siau-goan" (seratus malaikat menyembah yang mulia) adalah siksaan kejam. Perkumpulan kami, masih mempunyai siksaan lain yang jauh lebih keji dari itu. Lebih baik engkau sedikit tahu diri dan segera menyerahkan diri. Ikutilah lohu berkunjung ke Seng-sut-hay.... Ketahuilah jika engkau tak tahu diri, maka siksaan kejam yang kau saksikan itu akan segera menimpa dirimu"

   Setajam sembilu Hoa In-liong menatap wajah lawannya, kembali ia menjerit.

   "Ayohlah, lakukan padaku! Kau anggap aku orang she Hoa takut? Sudah lama aku orang she Hoa mendengar tentang ilmu Hiat-teng-toh-hoat mu itu, ayohlah! Lakukan kepadaku"

   Hu-yan Kiong tertawa angkuh.

   "Yaa memang hiat-teng-toh-hun adalah ilmu maha sakti dari perkumpulan kami. Tapi dengan kepandaian yang kau miliki, rasanya kepandaian tersebut tak perlu kulakukan atas dirimu"

   Sementara itu Hoa In-liong telah sadar.

   Setelah ia terjatuh ke dalam perangkap lawan, untuk suatu penyelesaian secara damai jelas tak mungkin.

   Dalam keadaan demikian, satu- satunya jalan yang dapat ditempuhnya adalah mengandalkan ilmu silat masing masing untuk menentukan siapa lebih tangguh.

   Sebagaimana lazimnya, dengan cepat pemuda itu mengambil keputusan, katanya dengan suara berat.

   "Bila aku orang she Hoa suruh kalian menarik kembali makhluk-makhluk beracun dan lepaskan Wan Hong-giok, keadaan tersebut ibaratnya aku sedang berbicara dengan kerbau, sama sekali tak ada gunanya. lebih baik turun tangan saja cepat-cepat!"

   Tak dapat diragukan lagi Hu-yan Kiong adalah seorang manusia yang angkuh dan tinggi hati. Mendengar jawaban tersebut, dia lantas berpaling dan ulapkan tangannya kepada Hoag Seng seraya berseru.

   "Tangkap dia!"

   Hong Seng mengiakan, ia lantas melepaskan ikat pinggangnya dan maju kedepan dengan langkah lebar, katanya.

   "Tempo hari kau berhasil kabur lantaran Wan Hong-giok telah membantu dirimu. Tapi kali ini kau tidak akan memperoleh kesempatan macam seperti itu lagi. Berhatihatilah, daripada lengan dan tulang kakimu jadi luka"

   Dalam pada itu Hoa In-liong sendiri telah mengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan itu dengan suatu pertempuran kilat.

   Ia sendiripun segan banyak bicara.

   Pedang yang tersoren dipinggang segera dicabut keluar.

   Kemudian sambil melangkah maju, pedangnya berputar kesamping kiri dan menusuk ke depan.

   Serangan tersebut mantap dan berat.

   Jurus yang digunakan adalah salah satu dari Hoa-si ciongkiam-cap-lak-sin-cau (enam belas jurus sakti pedang berat keluarga Hoa).

   Desingan angin serangannya tajam, kuat dan menggetarkan sukma.

   Hong Seng tak berani berayal, seketika itu juga dia membalas membentak.

   Ikat pinggangnya digetlarkan sekeras tongkat, kemudian membacok ke muka melepaskan serangkaian serangan balasan.

   Hong Seng adalah saudara kandung dari Hong Liong, murid tertua dari Tang Kwik- siu itu cikal bakal dari Mo-kauw.

   Meski demikian, ilmu silatnya juga hasil didikan langsung dari Tang Kwik-siu pribadi.

   Sejak pertarungannya dikuil Cing-siu-koan tempo hari itu, dimana nyaris dia dikalahkan oleh Hoa In-liong, sampai sekarang rasa dendam dan gusarnya masih belum lenyap.

   Maka ketika mendapat perintah untuk melenyapkan Hoa In-liong dalam pertarungan saat ini, selain melaksanakan tugasnya, diapun hendak membentak musuhnya untuk dibikin perhitungan.

   Tak heran kalau begitu terjun kedalam gelanggang dia lantas melakukan serangan dengan jurus serangan terampuh dan terdahsyat.

   Pertarungan antara jago-jago tangguh biasanya berlangsung dengan kecepatan luar biasa.

   Dalam waktu singkat kedua belah pihak telah saling bergebrak sebanyak belasan jurus.

   Sekalipun baru belasan gebrakan, tapi menang kalah dengan cepat dapat terlihat dengan jelas.

   Haruslah diketahui, ilmu Hoa-si-ciong-kiam-cap lak-sin-cau tersebut merupakan seatu hasil ciptaan ilmu pedang tinggi dari Hoa Thian-hong setelah ia berhasil melebur isi dari kiam keng suatu kitab pedang yang luar biasa saktinya dengan rumus kiam-keng-bu-kui.

   Hoa In-liong berniat melangsungkan pertarungan cepat, maka begitu turun tangan ia gunakan ilmu pedang yang paling sakti dan paling ampuh untuk meneter musuhnya.

   Hong Seng sendiri, walaupun dia adalah murid Tang Kwik-siu.

   Walaupun ia berjuang dengan segala kemampuan yang dimilikinya, tapi waktu itu tampaklah jelas betapa terdesaknya dia di bawah serangan musuh.

   Dia kelihatan keteter hebat dan repot untuk menangkisi setiap serangan yang ditujukan kearahnya....

   Hu-yan Kiong berdiri di tepi gelanggang sambil mengikuti jalannya pertarungan itu, ketika disaksikan bagaimana lihaynya Hoa In-liong melancarkan serangannya dengan tenaga dalam yang sempurna, hingga membuat mata serasa berkunang-kunang, hatinya jadi tercekat dan bergidik keras....

   Lain halnya dengan jalan pikiran Hoa In-liong ketika itu.

   Sembari melepaskan serangkaian serangan yang gennesr, dia mulai berpikir dalam hati.

   "Mereka berjumlah banyak, jika aku harus melayani belasan jurus untuk setiap orangnya, sampai kapan pertempuran ini baru selesai?"

   Berpikir demikian, serangan pedangnya tiba-tiba dikendorkan, sengaja ia tunjukkan titik kelemahannya dan membiarkan musuh manfaatkan kesempatan tersebut.

   Waktu itu Hong Seng sedang terdesak hebat dan cuma bisa bergerak kekiri dan kanan untuk menghindarkan diri.

   Menyaksikan kejadian tersebut ia jadi terkejut bercampur gembira, segera bentaknya.

   "Kena!"

   Ikat pinggangnya diputar kencang lalu menyapu ke depan, langsung membacok dada Hoa Inliong.

   Hu-yan Kiong yang menjumpai keadaan tersebut jadi tercekat hatinya, ia menjerit kaget, lalu secepat sambaran petir menerjang masuk kedalam arena.

   Maksudnya dia mau menyelamatkan jiwa Hong Seng.

   Apa mau dibilang perubahan itu terjadinya sangat mendadak, apalagi gerakan pedang dari Hoa In-liong melintas dengan kecepatan luar biasa, jelas usahanya itu tak sempat lagi.

   Terdengar Hong Seng menjerit ngeri, darah segar berhamburan memenuhi seluruh udara.

   Tahutahu batok kepalanya sudah berpisah dari tengkuknya dan menggelinding jauh sekali dari arena.

   Diiringi semburan darah segar tewaslah iblis tersebut.

   Sebetulnya Hoa In-liong tidak berniat membunuh orang, ia kuatir perbuatannya akan merupakan "memukul rumput mengejutkan ular"

   Dan membangkitkan sifat buas dari orang-orang Mo-kauw akan mengakibatkan terciptanya badai pembunuhan yang jauh lebih keji.

   Tapi setelah kenyataan berada didepan mata, ia tak dapat mengendalikan perasaannya lagi.

   Akhirnya ia bunuh juga tokoh sakit dari perkumpulan Mo-kauw itu, Baru pertama kali ini dia membunuh orang sejak dilahirkan didunia.

   Jeritan lengking yang menyayatkan hati itu seketika membuat dia jadi tertegun dan berdiri melongo.

   Pada hakekatnya siksaan keji yang dialami Wan Hong-giok lah yang membangkitkan rasa dendamnya itu.

   Coba sekujur badan gadis itu tidak dirambati oleh pelbagai jenis makhluk bercampur hingga membuat keadaannya betul-betul mengerikan, mungkin ia tak sampai metigambil tindakan tersebut.

   Waktu itu kebetulan Hu-yan Kiong yang sedang berusaha menyelamatkan jiwa rekannya menerkam datang.

   Menyaksikan kejadian itu darah panas, kembali bergolak dalam benak anak muda kita.

   Pedangnya segera diayun ke atas menyongsong datangnya serudukan tersebut.

   Semenjak dilarikan didunia, belum pernah Hoa In-liong menjadi gusar dan kalap seperti apa yang dialaminya sekarang.

   Waktu itu dia hanya merasa hawa amarah bergolak dalam benaknya.

   Darah dalam tubuhnya serasa mendidih, sambil putar pedangnya ia membentak lagi.

   "Mampus kau manusia terkutuk!"

   Bacokan tersebut menggunakan jurus Lek-pit-hoa-san (membacok gugur bukit Hoa- san).

   Walau hanya satu jurus serangan biasa, tapi hawa pedang yang terpancar keluar ibaratnya cahaya kilat yang menyambar-nyambar, begitu cepat, begitu berat bikin hati orang mengkirik.

   Hu-yan Kiong cukup mengetahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki musuhnya amat lihay, apalagi setelah menyaksikan bacokan pedangnya yang begitu bertenaga, ia semakin sadar bahwa kepandaian yang dimiliki anak muda itu tak boleh dianggap enteng.

   Dalam gugupnya, ikat pinggang berwarna perak itu dilontarkan kemuka untuk menghalau datangnya ancaman tersebut.

   "Criiing....!"

   Ditengah dentingan nyaring yang memekakkan telinga, pedang dan ikat pinggang itu saling membentur satu sama lainnya hingga menimbulkan percikan bunga api.

   Kedua orang itu samasama bergetar keras dan masing-masing mundur satu langkah lebar ke belakang.

   Dalam gusar dan mendongkolnya, kecerdikan otak Hoa In-liong tidak menjadi berkurang.

   Ia sudah berpikir, kematian Hong Seng berarti membuat ikatan dendam diantara mereka semakin dalam atau mungkin keadaannya sudah mencapai ibaratnya api dan air yang tak mungkin bisa akur Maka setelah berpikir sebentar, ia merasa keadaan tersebut harus diatasi dengan siasat "membasmi bajingan, bekuk pemimpinnya lebih dulu."

   Bukannya mundur ke belakang, dia malah menerjang maju lebih ke depan, sekali lagi ia lancarkan sebuah bacokan maut.

   "Mampus kau! Mampus kau! Mampus kau!"

   "Criing! Criiing! Criiing!"

   Secara beruntun benturan demi benturan nyaring berkumandang memekakkan telinga.

   Suatu benturan itu bergabung dengan suara bentakan demi bentakan macam orang kalap itu mencabik-cabik keheningan malam yang mencekam bukit itu.

   Suaranya betul-betul mengerikan hati, membuat perasaan orang bergetar keras.

   Serangkaian serangan berantai yang mendesak secara beruntun ini seketika itu juga mendesak Hu-yan Kiong sampai mundur berulang kali dengan bulu kuduk pada bangun berdiri.

   Berbicara soal tenaga dalam, mungkin Hoa In-liong masih bukan tandingannya.

   Tapi bacokan demi bacokan pedangnya yang dilancarkan secara beruntun membuat dia kehilangan posisi yang baik.

   Ini menyebabkan ia kehilangan sama sekali daya kemampuannya untuk melancarkan serangan balasan.

   Tiba-tiba kakinya tergaet oleh sepotong batu gunung yang mengakibatkan tubuhnya terjengkang dan robob terlentang diatas tanah.

   Hoa In-liong maju kemuka seraya melepaskan sebuah bacokan lagi.

   Ini membuat hatinya jadi ketakutan setengah mati, cepat-cepat ia menggelinding kesamping untuk menghindarkan diri.

   "Tahan!"

   Bentaknya keras-keras.

   Bentakan tersebut diutarakan dengan suara yang nyaring bagaikan guntur membelah bumi disiang hari bolong.

   Seketika itu juga Hoa In-liong dibikin tertegun dan menarik kembali pedang antiknya.

   Keadaan Hu-yan Kiong betul-betul mengenaskan sekali.

   Mukanya menyeringai seram, matanya melotot sebesar gundu dengan sinar buas yang bikin orang berkidik, kembali bentaknya.

   "Lohu toh tidak bermaksud membunuh engkau kenapa kau begitu nekad untuk bikin susah diriku? Memangnya kau sudah bosan hidup di dunia ini?". Hoa In-liong sudah bermandi peluh, tapi sahutnya juga dengan nada berat.

   "Mati atau bidup manusia berada ditangan Thian, kenapa aku musti takut mati? Tarik kembali semua makhlukmakhluk beracunmu, lepaskan Wan Hong-giok, akupun akan biarkan kau pergi dari sini. Tapi kalau kau menampik, terpaksa aku orang she Hoa harus pertaruhkan selembar nyawaku untuk mencabut jiwa anjingmu"

   Hu-yan Kiong menyeringai makin seram bentaknya.

   "Engkau sendiri yang mencari penyakit, jangan salahkan lohu bertindak keji, lihat serangan!"

   Telapak tangan kanannya segera di ayun ke muka, seakan-akan ada senjata rahasia sedang ditimpuk ke arahnya.

   Hoa In-liong terkesiap, diamatinya serangan musuh dengan seksama, namun tak sesuatu apapun yang tampak.

   Mula-mula dia agak tertegun, menyusul kemudian sambil tertawa tergelak dia berkata.

   "Haa.... haa.... haa.... Tampangnya saja sudah tua, tak tahunya berhati kekanak kanakan, main tipu juga seperti bocah"

   Tapi sebelum kata-kata itu sempat di utarakan sampai selesai, ia sudah menguap beberapa kali. Ketika dilihatnya pemuda itu menguap beberapa kali, Hu-yan Kiong menyeringai makin seram, pelan-pelan dia menuju ke depan sambil katanya kembali.

   "Bocah muda, kau terlampau binal dan sukar diatur. Lohu segan untuk bertarung melawan dirimu, ayoh ikuti lohu dengan tenang!"

   Hoa In-liong kembali menguap beberapa kali, tiba-tiba ia merasa dadanyaamat sakit, menyusul kemudian kepalanya pusing tujuh keliling, hampir saja roboh terjengkang.

   Keyataan ini membuat anak muda tersebut merasa amat terperanjat, dengan gusar teriaknya.

   "Kau.... kau.... Permainan gila apa yang telah kau lakukan terhadap diriku?"

   Hu-yan kiong tertawa dingin.

   "Itulah siksaan Sin-hui-sim (ular sakti menggigit) perkumpulan kami. Jika engkau tak mau ikuti lohu dengan rela, maka kau akan merasakan suatu penderitaan yang luar biasa hebatnya"

   Hoa In-liong betul-betul naik darah.

   Pedangnya langsung diayunkan kemuka melancarkan sebuah bacokan maut.

   Siapa tahu sebelum serangan tersebut mencapai pada sasarannya, ia merasakan datangnya teramat sakit sehingga badannya jadi sempoyongan.

   Akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi dan roboh tak sadarkan diri diatas tanah.

   Hu-yan Kiong tertawa seram, ia maju ke muka, lengan kanannya digetarkan ke depan mencengkeram pada anak muda itu.

   Tampaknya anak muda tersebut segera akan terjatuh ke tangan musuh....

   Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring yang penuh dengan kegusaran berkumandang datang dari tengah udara.

   "Tahan!"

   Bersamaan dengan menggelegarnya bentakan itu, seorang sastrawan muda berbaju putih melayang turun di atas puncak itu dengan kecepatan luar biasa, ia langsung menerjang diri Huyan Kiong.

   Sastrawan muda berbaju putih itu bukan lain adalah Cwan Wi yang telah berpisah di rumah makan dalam kota Kim-leng siang tadi.

   Bukankah Cwan Wi telah berpamitan akan pulang ke kota Kim-leng? Mengapa dia bisa muncul kembali dipuncak bukit Yan-san? Duri sini dapatlah kita ketahui bahwa kepergiannya tadi hanya sebagai alasan belaka.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nyatanya secara diam-diam ia telah menguntil terus dibelakang pemuda kita.

   Kemunculannya benar-benar dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa.

   Kecepatan tersebut jarang dijumpai dalam dunia persilatan dewasa ini.

   Ketika Hu-yan Kiong menyadari akan datangnya sergapan tersebut, tahu-tahu segulung angin pukulan yang maha dahsyat telah tiba dibelakang punggungnya.

   oooOOOooo HU-YAN KIONG betul-betul terperanjat oleh datangnya ancaman tersebut.

   Tak sempat berpaling lagi, cepat-cepat ia menutul permukaan tanah dan kabur ke muka untuk menghindarkan diri dari serangan tersebut, kemudian bentaknya.

   "Siapa disitu?"

   Cwan Wi tidak menggubris teguran tadi, diapun tidak menyusul musuhnya, tapi segera menubruk diri Hoa In-liong sambil panggilnya dengan nada kuatir.

   "Ji-ko"

   Mendengar panggilan itu, diam-diam Hu-yan Kiong merasa terperanjat, cepat pikirnya.

   "Masa ilmu silat dari putra putri keluarga Hoa rata rata sudah mencapai taraf yang demikian tingginya?"

   Berpikir sampai disitu, dia lantas putar badan sambil menyeringai seram.

   "Hee.... he.... hee.... Lohu masih mengira jago lihay dari manakah yang telah berkunjung kemari. Huuuh....! Tak tahunya engkau juga kurcaci dari keluarga Hoa. Bagus sekali! Apakah engkau juga hendak ikut lohu pulang?"

   Baru saja kata-kata tersebut selesai diutarakan tiba-tiba suara seorang bocah berkumandang kembali dari belakang setelah mendengus dingin.

   "Hmmmm....! Makhluk tua, angin gunung berhembus kencang sekali, kau tidak takut lidahmu kena tersambar sampai putus?"

   Sekali lagi Hu-yan Kiong merasa hatinya terperanjat, untuk kesekian kalinya dia menghindar sejauh delapan depa dari tempat semula, kemudian baru putar badan sambil memandang kearah mana berasalnya suara itu dengan pandangan seram.

   Namun apa yang kemudian terlihat, seketika membuat paras mukanya berubah jadi merah padam seperti babi panggang.

   Ia betul-betul ketenggor batunya sampai-sampai mau menangis sungkan mau tertawapun susah.

   Kiranya kecepatan langkah Leng-ji masih kalah jauh dari Cwan Wi, maka ia sampai ditempat tujuan selangkah lebih terlambat.

   Sekalipun suaranya nyaring, tapi mukanya masih kekanakkanakan, apalagi waktu itu dia berdiri beberapa kaki jauhnya dari kalangan dengan mata melotot besar, hal ini semakin menunjukkan betapa masih kecilnya dia.

   Perlu diterangkan disini, Leng-ji adalah seorang bocah yang masih ingusan, sedang Hu-yan Kiong merupakan seorang jago tua yang sudah kawakan.

   Tapi kenyataannya ia sudah dibuat gugup dan buru buru menghindarkan diri dengan gelagapan, tentu saja hal ini sangat menurunkan gengsi sebagai seorang pemimpin.

   Tak heran kalau wajahnya kontan berubah jadi merah padam, sikapnya juga ikut tersipu-sipu.

   Sementara itu Cwan Wi telah berteriak lagi dengan cemas.

   "Leng-ji, cepat tanya kepadanya, dimana obat pemunah tersebut!"

   Dengan dahi berkerut Leng-ji segera berpaling ke arah Hu-yan Kiong, dan bentaknya kembali.

   "Sudah mendengar belum? Ayoh keluarkan obat pemunahnya dan serahkan kepadaku!"

   Perkataan kacung buku itu sungguh takabur dan besar nadanya. Sebagai seorang jago tua yang mempunyai kedudukan terhormat tentu saja Hu-yan Kiong tersinggung oleh ucapan tersebut. Ia tertawa dingin tiada hentinya.

   "Mau obat pemunah? Obat itu berada dalam sakuku, apa salahnya jika engkoh cilik mengambilnya sendiri?"

   "Huuh....! Memangnya kau anggap aku takut untuk mengambilnya sendiri?"

   Jengek Leng-ji ketus.

   Jilid 20 SAMBIL berseru, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya ia menerjang maju ke muka, telapak tangan kanannya langsung mencengkeram dada Hu-yan Kiong.

   "Bangsat yang tak tahu diri, rupanya kau ingin mampus!"

   Bentak Hu-yan Kiong sangat gusar.

   Telapak tangan kanannya segera diputar, kemudian membacok urat nadi diatas pergelangan tangan Leng-ji dengan serangan dahsyat.

   Ternyata gerakan tubuh Leng-ji cukup lincah, ketika serangan tersebut hampir mengena di atas pergelangan tangannya, dengan cekatan dia berputar ke belakang punggung Hu-yan Kiong, kemudian teriaknya dengan nada lengking.

   "Bagus.... Bagus sekali! Engkau berani membokongi aku....? Kurang ajar!"

   Gerak serangannya segera dirubah, kali ini ia menonjok iga kiri musuhnya.

   Jelas dalam serangannya kali ini, Leng- ji sudah berniat melukai musuhnya di bawah serangan tersebut.

   Begitu serangan dilancarkan, terasalah desingan tajam sebagai ujung tombak menerjang ke luar dan langsung menusuk jalan darah Ki bun hiat di tubuh Hu-yan Kiong.

   Cepat dan tajam serangan itu, tampaknya segera akan bersarang di tubuh lawan.

   Para anak buah Hu yan Kiong yang menyaksikan kejadian itu sama sama berteriak kaget, mereka masing-masing pada menyerbu ke muka siap memberikan pertolongan.

   Padahal orang-orang itu bersikap terlalu berlebihan.

   Sikap tegang merekapun sebetulnya tak berarti apa-apa.

   Sebab bila Hu-yan Kiong tidak memiliki serangkaian ilmu silat yang maha dahsyat, apakah Mo-kauw kaucu tega melimpahkan tugas berat ini di atas pundaknya? Apakah ia legakan hati membiarkan dia yang memimpin "rombongan penyelidik"

   Itu menuju daratan Tionggoan? Sementara kawanan jago itu siap menubruk kedepan untuk memberikan pertolongannya, serangan yang dilancarkan Leng-ji sudah bersarang telak pada sasarannya.

   Akan tetapi, meskipun pukulan itu bersarang telak, Hu-yan Kiong sedikitpun tidik menderita cedera barang sedikitpun jua.

   Sebaliknya Leng-ji yang menjerit kesakitan, menyusul kemudian secara beruntun dia mundur tujuh delapan langkah dengan sempoyongan.

   Akhirnya bocah itu tak sanggup berdiri tegak, ia jatuh terduduk diatas tanah tak mampu bergerak lagi.

   Ternyata Hu-yan Kiong pernah mendapat warisan ilmu silat yang sangat lihay dari seorang tokoh silat maha sakti dan ilmu tersebut khusus digunakan untuk melindungi keselamatan jiwa dari ancaman musuh yang datang secara tiba-tiba.

   Ilmu melindungi badan itu disebut Gi hiat ki-khi-ceng-han (menggeser kedudukan jalan darah, menghimpun kekuatan menggetarkan ancaman).

   Bukan saja dalam waktu singkat ia dapat menggeser kedudukan jalan darahnya yang terancam, secara otomatis hawa murninya dapat dihimpun pula untuk menggetarkan serangan musuh.

   Atau dengan perkataan lain semakin besar tenaga serangan yang dilancarkan musuh, semakin besar pula tenaga pantulan yang dihasilkan oleh serangan tersebut.

   Sebaliknya makin lambat pukulan yang menyerang makin enteng pula tenaga pantulan yang dihasilkan.

   Untunglah Leng-ji yang masih kecil memiliki tenaga pukulan yang tidak terlampau berat.

   Kalau tidak, penderitaan yang diperoleh dari serangan tersebut mungkin bukan hanya tergetar mundur belaka.

   Sementara itu Cwan Wi sedang berusaha dengan sepenuh tenaga untuk menguruti jalan darah di tubuh Hoa In-liong, saking gelisahnya peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi sekujur tubuhnya.

   Ketika secara tiba-tiba mendengar jeritan ngeri dari Leng-ji, ia tampak terkejut dan cepat cepat berpaling.

   Tampaknya waktu itu Hu-yan Kiong sedang memandang kearahnya sambil tertawa dingin.

   Tangannya diulapkan memberi Komando seraya serunya dengan nyaring.

   "Tawan sekalian orang itu dan kita gusur mereka semua dari sini!". Perkataan itu sombong lagi pula dingin, seakan akan Cwan Wi sekalian sudah mencari burung dalam sangkar, kura-kura dalam tempurung. Seolah-olah mereka tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan dan bakal menjadi tawanan mereka. Leng-ji adalah kacung Cwan Wi yang bergaul akrab semenjak kecil. Hubungan mereka boleh dibilang lebih akrab dari saudara kandung sendiri. Tak terkirakan gusar Cwan Wi ketika dilihatnya kacung bukunya terluka ditangan orang. Tapi lantaran Hoa In-liong masih tak sadarkan diri lagi pula bantuan yang diberikan sedang mencapai puncak yang paling penting, untuk sesaat dia tak dapat berbuat apa-apa. Dan sekarang, setelah ia dengar kata-kata Hu-yan Kiong yang begitu tak sedap didengar, amarah yang ditahan-tahannya selama ini tak terkendali. Pada saat yang bersamaan dikala ia bangkit secara di luar dugaan Hoa In-liong telah sadar pula dari pingsannya, hanya Cwan Wi sama sekali tidak merasakan hal itu. Cwan Wi telah berpikir keras dalam benaknya. Ia merasa daripada mencurahkan segenap perhatian dan tenaganya untuk menolong Hoa In-liong, lebih baik menguasai Hu-yan Kiong lebih dulu kemudian baru menyelesaikan soal-soal lain. Pertama dengan perbuatannya ini dia dapat membebaskan Leng-ji dari ancaman bahaya maut. Kedua diapun dapat memaksa Hu-yan Kiong untuk menyerahkan obat penawar racun kepadanya. Ia merasa mempunyai kepercayaan penuh untuk menaklukkan Hu-yan Kiong. Jika pemimpinnya gampang ditaklukkan, otomatis anak buahnya tidak terlampau merisaukan hatinya lagi, dia yakin sekali diserang mereka pasti akan kocar-kacir. Demikianlah, dengan suatu gerakan yang lebih cepat dari sambaran angin puyuh ia menerkam ke muka dengan hebatnya. Kemarahan dan rasa dendam telah menyelimuti benaknya. Ini membuat wajahnya yang tampan segera dilapisi hawa pembunuh yang betul-betul mengerikan. Waktu itu, anak buah Hu-yan Kiong sedang bergerak maju ke depan menghampiri Leng-ji yang masih tertuduk di tanah. Tiba-tiba....salah seorang diantara rombongan kaum iblis itu.... Laki-laki berjubah kuning yang memelihara jenggot pendek telah menjumpai kehadiran Cwan Wi telah menggetarkan hatinya. Tak kuasa lagi dia menjerit kaget dan segera menghentikan langkah kakinya. Jeritan kagetnya itu segera menggetarkan hati rekan-rekan lainnya, juga mengejutkan Hu-yan Kiong pribadi. Dengan gerakan tubuh yang enteng Cwan Wi melayang turun di samping Leng-ji, lalu dengan gerakan yang tenang dan kalem dia membantu Leng ji untuk menyambung kembali tulang persendian tangan kanannya yang terlepas. Setelah itu baru berpaling ke arah Hu- yan Kiong.

   "Kau munafik!. Kau manusia rendah yang tak tahu malu. Bukan cari kemenangan dengan mengandalkan ilmu silat, khusus melukai orang dengan siasat busuk. Hmmm! Jika tahu diri, cepat persembahkan obat penawar kepadaku, mungkin aku bisa mengampuni jiwa kalian dan membiarkan engkau pergi bersama anak buahmu, tapi kalau menampik.... Hmmm....!"

   Setelah mendengus dingin ia hentikan kata-katanya.

   Sekalipun tidak diberi penjelasan lebih jauh, namun siapapun tahu apa yang dimaksudkan.

   Apalagi setelah menyaksikan sepasang sinar matanya yang lebih tajam dari sembilu itu menatap wajah musuhnya tanpa berkedip.

   Orang lain tidak butuh penjelasan, cukup memandang tatapan matanya yang menggidikkan hati segera akan memahami makna yang sebenarnya dari musuhnya itu.

   Pada hakekatnya kawanan jago dari Mo-kauw itu sudah dibuat keder oleh kelihayan serta ketenangan sikap Cwan Wi.

   Setelah menyaksikan sikapnya yang menggidikkan hati itu, mereka hanya bisa saling berpandangan dengan perasaan tercekat Bagaimanapun juga, jelek-jelek Hu-yan Kiong adalah seorang pemimpin rombongan.

   Sekalipun ia rada keder oleh kegagahan musuhnya, perasaan keder itu tidak sampai diperlihatkan dihadapan anak buahnya.

   Setelah merenung sebentar, akhirnya ia tertawa seram sambil menegur kembali.

   "Dalam urusan nomor berapa engkau dalam keluarga Hoa? Siapa namamu....?"

   Cwan Wi menjengek dingin, dengan suara sekeras geledek ia membentaknya nyaring.

   "Kau tak usah banyak omong! Mau bertempur atau berdamai, ayoh cepat mengambil keputusan!"

   Keadaan semacam ini membuat Hu-Yan Kiong ibaratnya duduk dipunggung harimau, mau turun sungkan tidak turun takut, tapi untuk menjaga gengsi ia lantas mendengus.

   "Huh....! Jika bertarung lantas bagaimana?"

   Cwan Wi kontan maju selangkah kedepan, ia maju lima depa lebih dekat dengan lawannya, lalu membentak dengan suara dalam.

   "Rupanya sebelum sampai disungai Huang-ho engkau tak akan matikan perasaanmu. Jika tidak kuberi sedikit pelajaran yang setimpal, engkau tak akan memparsembahkan obat penawarnya dengan suka rela Hmm.... Baiklah!"

   Ia berhenti sebentar untuk mendengus dingin, kemudian bentaknya kembali.

   "Cabut senjatamu! Akan kubikin engkau takluk dengan hati yang rela dan puas!"

   Ucapan tersebut diutarakan secara langsung dan tanpa tedeng aling aling sedikitpun tiada tanda untuk memberi muka kepada musuhnya untuk membela diri. Dari mendongkol bercampur malu Hu yan Ki-ong jadi naik pitam, tiba-tiba ia tertawa seram.

   "Haa.... haa.... haa.... Baik.... Baik! Akan lohu saksikan sampai dimanakah kelihayan ilmu silat keluarga Hoa kalian!"

   "Weesss!"

   Sabuk naga perak putihnya dengan membawa tenaga serangan yang maha dahsyat segera menyambar ke muka dengan jurus It-cu-keng-thian (sebuah tongkat menyungging langit).

   "Tunggu sebentar!"

   Tiba-tiba suara bentakan dari Hoa In-liong berkumandang kembali ke udara.

   Baik Hu-yan Kiong maupun Cwan Wi sama-sama tertegun dan alihkan pandangan matanya kearah mana berasalnya suara itu.

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Anak Naga -- Chin Yung Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung

Cari Blog Ini