Delapan Sabda Dewa 2
Wiro Sableng Delapan Sabda Dewa Bagian 2
Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali.
"Menurut pesan Eyang Ismoyo manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku cabut. Derajatmu sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak terbukti bahwa memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka aku akan memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu kembali!"
Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu.
"Kanjeng!"
Panggil Cagak Guntoro.
"Kau keliru Kanjeng. Aku bersumpah bahwa aku tidak...."
Ageng Musalamat tidak perduli.
Dia melangkah terus dan akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar.
Di tangga yang menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura.
Anak muridnya ini segera ditariknya ke salah satu sudut di bawah tangga.
"Aku perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!"
Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun Munding Sura menjawab juga.
"Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak kau tanyakan?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa "Sewaktu kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak dikatakannya.
Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku.
Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara.
Lalu kalian berdua cepat-cepat meninggalkan kamarku.
Aku yakin ada sesuatu yang kalian tidak mau mengatakan!"
"Kanjeng...."
"Aku menunggu Munding Sura. Katakan cepat!"
"Waktu kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau pingsan. Cuma kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya...."
"Maksudmu?"
Tanya Ageng Musalamat.
"Muka Kanjeng tidak seperti muka manusia...."
"Munding Sura!"
Bentak Ageng Musalamat.
"Jangan kau bicara ngelantur..."
"Saya tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi muka seekor harimau putih..."
Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak demikian terkejutnya Ageng Musalamat.
"Mukaku berubah menjadi muka seekor harimau putih katamu?!"
Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan kepala.
Ageng Musalamat tegak tak bergerak.
Ingatannya kembali pada apa yang terjadi di kamarnya.
Muncul sosok Datuk Rao dan seekor harimau putih.
Lalu harimau putih itu mendekatinya dan membuka mulut lebar-lebar.
Sewaktu binatang ini memasukkan kepalanya ke dalam mulutnya, dia jatuh pingsan.
"Orang ini tidak berdusta,"
Membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk Rao.
"Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya... Kau akan kami berikan satu jurus Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri..."
"Berarti...."
Ageng Musalamat usap-usap dagunya.
"Datuk Rao memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau Dewa..." --== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa SEMBILAN KEDATANGAN rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow. Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia sengaja mengirimkan orang-orang seagama untuk menyambut kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan. Seorang penterjemah yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak akan mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi. Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak lelaki kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau. Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum. Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.
"Ah, rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun belakangan ini aku berusaha mengurangi merokok karena kurang baik untuk kesehatan. Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?"
Kanjeng Sri Ageng Musalamat tertawa lebar. Diusapnya kepala anak lelaki itu berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya tinggi-tinggi ke udara.
"Terima kasih... terima kasih..."
Kata Ageng Musalamat berulang kali seraya membungkuk. Dia berpaling pada anak lelaki yang barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah lama diharapkannya.
"Anak ini walau kurus tapi memiliki bentuk tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang bola Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa matanya jernih dan pandangannya mencerrninkan satu kekuatan yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan yang seperti dia...."
Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya.
"Anak gagah, siapa namamu?"
Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si penterjemah apa yang ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak dan suara lantang menjawab.
"Nama saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa Chungwei!"
"Anak hebat!"
Memuji Ageng Musalamat.
"Orang tuamu pasti bangga punya anak sepertimu..."
Setelah Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu membungkuk.
"Orang tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu waktu terjadi air bah besar di pantai timur!"
"Ah..."
Ageng Musalamat manggut-manggut terharu. Namun dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.
"Anak ini mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan senyum menghias bibir...."
Ageng Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui.
"Aku menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama. Aku juga seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat sekuat batu karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang pelabuhan Seochow!"
Ki Hok Kui kembali tersenyum.
"Saya memang sudah pernah mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu...."
Anak ini menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang ada di sekitar situ juga terheran-heran mendengar ucapan anak itu.
"Ki Hok Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Kapan... di mana? Padahal kita baru saja saling bertemu saat ini."
"Dalam mimpi,"
Jawab Ki Hok Kui pula.
"Satu tahun lalu saya pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu. Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jieng lah orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada saya...."
Sesaat Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si anak. Begitu juga anggota rombongan yang lain.
"Ternyata anak ini punya daya ingat yang kuat...."
Kata Ageng Musalamat dalam hati.
"Aku yang baru berusia empat puluh tahunan terkadang sering-sering lupa pada hal-hal yang belum lama terjadi. Hemm....
"
Ageng Musalamat tertawa lebar.
"Apakah kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota ini?"
Ki Hok Kui menggeleng.
"Saya tidak punya saudara tidak punya sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?"
Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak.
"Gurumu itu pasti ulama hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini...."
Ageng Musalamat tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui.
"Anak gagah, apakah kau akan menyertai rombongan kami ke Kotaraja?"
Si anak mengangguk.
"Kalau begitu kita berangkat sekarang...."
"Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan. Nanti saya menyusul...."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa "Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?"
Tanya Ageng Musalamat pula. Si anak menunjuk ke langit.
"Matahari sudah tinggi Kan-jieng.... Saya belum sembahyang Zuhur."
Ageng Musalamat terkejut.
"Astagfirullah, semoga Tuhan mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar.... Hok Kui, apakah ada mesjid di sekitar sini?"
"Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya banyak untuk wudhu...."
"Kalau begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang berjamaah di tempat yang kau katakan itu."
Ki Hok Kui membungkuk.
Lalu tanpa sungkan-sungkan dipegangnya lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah bangunan besar yang terletak tak jauh dari sana.
* * * Walaupun rombongan mengendarai beberapa kereta dan gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca yang buruk membuat mereka tidak bisa bergerak cepat.
Satu hari menjelang sampai di Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di dekat sebuah telaga kecil.
Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta dan gerobak serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari suntuk berjalan terus menerus.
Di dalam kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas sehelai tikar permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan.
Tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.
Ageng Musalamat yang satu kemah dengan penterjemah Bu Tjeng segera keluar dari dalam kemah.
Ketika sampai di luar dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang kuda.
Selain mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang kuda ini juga memakai kain hitam penutup wajah masing-masing.
Di belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung gagang pedang.
Mereka memiliki rambut hitam lebat.
yang dikuncir di atas kepala.
Anehnya rambut di sebelah atas ikatan kuncir berwarna kuning ke-emasan.
"Kami datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari seberang!"
Penunggang kuda di sebelah kiri depan berseru.
Tidak seperti enam temannya, dia satu-satunya yang mengenakan mantel merah.
Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak dikenal itu.
Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang diucapkan orang itu.
"Ini aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya mencariku?"
Bisik Ageng Musalamat.
"Sebentar lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan utusan Raja tengah melangkah ke hadapan penunggang kuda bermantel merah itu,"
Kata Bu Tjeng berikan jawaban. Lu Liong Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si mantel merah.
"Aku Lu Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika kau ada keperluan harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa kalian adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara denganku!"
Orang bermantel terdengar mendengus.
"Lu Liong Ong!"
Orang ini keluarkan suara lantang.
"Kami tahu kau pejabat tinggi salah satu orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang Kerajaan!"
"Aku minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk melakukan hal yang sama!"
Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam penutup mukanya.
Dia memandang berkeliling pada enam orang anak buahnya.
Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan mantel merahnya ke kiri.
Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong membuatnya agak sempoyongan.
Cepat orang ini kerahkan tenaga dan atur kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh sambaran angin mantel yang hebat itu! Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari punggung kudanya.
Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang dulu ke atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak tanah tidak sedikit suarapun terdengar.
Rupanya orang ini sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang di-ketahuinya memiliki kepandaian tinggi.
"Hemm.... Orang ini sengaja memamerkan ginkang nya ,"
Membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan tubuh) Enam penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun dari tunggangan masing-masing. Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata.
"Sekarang katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah dengan kain bukan tindakan orang-orang bermaksud baik!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa "Menurut aturan kami tidak layak memberitahu siapa kami adanya.
Tapi mengingat kau adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit berlaku murah.
Kalau kami sudah memberitahu harap kau jangan banyak cingcong lagi!"
"Katakan saja langsung siapa kalian!"
Kata Lu Liong O.ng menahan jengkel.
"Kami utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas. Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang yang datang dari Jawa..." (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai besar di daratan Tiongkok) Terkejutlah semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu. Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku tenang namun wajahnya jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada penterjemah Bu Tjeng.
"Orang-orang itu bermaksud menjemputmu... Itu istilah halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara paksa...."
"Mau menculikku?!" --== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa SEPULUH SI PENERJEMAH, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan.
"Tapi mengapa? Siapa mereka sebenarnya?"
Tanya Ageng Musalamat.
"Selama beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun dan mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama Perkumpulan Kuncir Emas.
"Dari satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka sering melakukan perampokan dan pembunuhan walau yang mereka rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau pejabat-pejabat yang diketahui melakukan korupsi."
Lu Liong Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu bertanya.
"Apakah Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa maksudnya menjemput tamu kami yang datang dari Jawa itu?"
Lelaki bermantel merah kembali tertawa pendek.
"Kami bukan anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal yang tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami datang untuk menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia keluar!"
"Selama orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja maka tidak ada satu orang lainpun boleh memintanya! Aku sudah tahu apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian sebenarnya Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau menculik tamu Raja!"
"Kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan orang itu pada kami?!"
"Aku perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan tempat ini!"
Bentak Lu Liong Ong.
"Lu Liong Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan tidak ingin mencari urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam Tojin maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau bayar dengan mahal!"
Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi dirangkapkan di depan dada.
"Kami memang sudah lama mendengar dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik. Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada Lo Sam Tojin. Jika dia tidak segera membubarkan perkumpulannya maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada satu putusan pengadilan baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!"
Orang bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya ikut-ikutan tertawa.
"Lu Liong Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau menuduh kami ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap kami?!"
Ditantang seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong tetap tenang.
"Saatnya akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih untung saat ini kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat angkat kaki!"
Orang bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada enam anak buahnya dan berkata.
"Kawan-kawan, percuma bicara dengan manusia satu ini! Bereskan dia!"
Mendengar kata-kata pimpinan mereka enam orang berseragam hitam melompat ke depan.
Mereka menebar demikian rupa hingga Lu Liong Ong terkurung di tengah-tengah.
Melihat kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah.
Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki Hok Kui.
Anak ini mengatakan sesuatu cepat sekali.
Ageng Musalamat berpaling pada Bu Tjeng.
Orang ini segera memberitahu.
"Hok Kui mengkhawatirkan keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah karena orang itu datang hendak menculikmu."
Ageng Musalamat tersenyum.
"Anak baik! Kau tak usah mengkhawatirkan keselamatanku... Kalau ada orang hendak berbuat jahat terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rom-bongan tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja."
"Kalau Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang. Berarti kita akan menonton satu perkelahian seru!"
Kata Ki Hok Kui pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat.
Sementara itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang Lu Liong Ong.
Mereka memiliki kepandaian tidak rendah.
Namun yang diserang adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah membekal diri dengan ilmu silat tangan kosong.
Enam penyerang terkejut ketika gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh lawan.
Keenamnya cepat menyerbu kembali.
Perkelahian berlangsung hebat.
Saat itulah Ageng Musalamat berteriak pada beberapa orang anak buahnya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Lima anak murid Ageng Musalamat, yang memiliki kepandaian tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian.
Melihat ini Lu Liong Ong berteriak.
Bu Tjeng cepat mendekati Ageng Musalamat dan berkata.
"Pimpinan kami meminta agar kau menyuruh mundur lima orang itu!"
"Tapi dia dikeroyok secara curang!"
Jawab Ageng Musalamat.
"Tak usah khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi mereka. Lagipula beberapa orang anggota prajurit Kerajaan yang ada di antara kami akan membantu!"
Mendengar ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa menyuruh murid-muridnya mundur.
Bersamaan dengan mundurnya mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah ka-langan.
Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka kini keadaan jadi terbalik.
Mereka yang jadi sasaran keroyokan.
Perkelahian tangan kosong berjalan seru.
Walau dikeroyok begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu bertahan bahkan dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan serangan-serangan balasan.
Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak.
Dua orang tergelimpang muntah darah akibat dimakan tendangan lawan.
Lu Liong Ong kertakan rahang.
Otaknya yang cerdik serta matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu.
Dia melesat ke salah satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan.
Lawan pertama terkapar di tanah dengan leher patah akibat hantaman pinggiran tangannya yang sekeras besi.
Sesaat kemudian korban kedua menyusul.
Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan lelaki bermantel.
Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak tak berkutik lagi.
Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat tendangan kaki kanan Lu Liong Ong.
Prajurit-prajurit Kerajaan.
pengawal rombongan yang mendapat semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Kuncir Emas.
Dua orang yang masih tinggal walau kini menghadapi lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi takut.
Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya menyongsong serangan lawan.
Orang bermantel merah yang tak mau melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan melompat ke tengah kalanggn perkelahian.
Dia sempat merobohkan dua prajurit yang menyerang anak buahnya hingga mencelat mental dan menemui ajal dengan kepala pecah! "Tahan! Lu Liong Ong aku lawanmu!"
Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.
"Korban sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan lekas menyerah dan berlutut!"
"Pejabat jahanam! Makan dulu tanganku ini!"
Bentak si mantel merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau pukulan. Tangan kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya.
"Wussss!"
Mantel itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu Liong Ong.
"Orang itu memiliki tenaga dalam tinggi,"
Membatin Ageng Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian dan melihat bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan lancarkan satu jotosan ke pelipis kirinya! Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis.
"Bukkkk!"
Dua lengan saling beradu.
Entah karena kedudukan kedua kaki Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan tubuhnya yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat, beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu terjatuh Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa keras ke tanah.
Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang rusuknya.
Lu Liong Ong berteriak keras.
Hanya setengah jengkal lagi tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu Liong Ong, gulingkan tubuhnya.
Si mantel merah tersaruk ke depan namun cepat menguasai diri.
Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong membuat gerakan aneh.
Setelah beberapa kali berguling tubuh itu melesat ke atas.
Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong berkelebat ke arah si mantel merah.
Inilah jurus silat bernama soan hong liap in yang berarti "angin berpusing mengejar awan."
Orang bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki kanan lawan menderu ke arah lehernya.
Ini benar-benar merupakan serangan mematikan.
Dia cepat melompat hindarkan diri.
Meski serangan mematikan.
Meski lehernya selamat tapi dia masih kurang cepat.
Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya.
Tubuhnya mencelat sampai dua tombak lalu tergelimpang di tanah.
Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si mantel merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri.
Namun apa yang terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si kuncir emas itu.
Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang ini melompat bangkit.
Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika melihat lawannya tidak cidera malah masih sanggup berdiri dan melangkah ke arahnya.
"Lu Liong Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!"
"Manusia sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu kemari untuk mencari mati!"
Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor.
Lalu didahului bentakan keras tubuhnya berkelebat.
Sinar merah mantelnya bertabur.
Lu Liong Ong merasa kedua matanya perih.
Ada hawa aneh keluar dari bawah mantel.
Sesaat dia tidak dapat melihat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa apa-apa.
Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya serangan.
Dengan cepat dia melompat ke kiri.
"Bukkkkk!"
Lu Liong Ong mengeluh tinggi.
Mantel merah menghantam punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini terpental ke depan.
Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak hingga tak sampai jatuh ke tanah.
Namun baru saja dia membalikkan badan, satu tendangan menghajar dadanya.
Lu Liong Ong tersandar ke badan gerobak.
Dadanya seolah remuk.
Napasnya sesak.
Sewaktu dia coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya.
Beberapa orang anak buahnya berseru kaget melihat kejadian ini.
Saat itu si mantel merah sudah berkelebat lag!.
Tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong.
Tangan kirinya menelikung leher si pejabat.
Sekali dua tangan itu bergerak pasti patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!.
Ketika si mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di udara malam, melewati kepala beberapa orang yang ada di tempat itu, melesat satu bayangan putih.
Tahu-tahu si mantel merah merasakan ada satu tangan memegang bahu kirinya.
Mendadak sontak tangan kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi.
Bersamaan dengan itu di belakangnya ada satu suara menegur dalam bahasa yang tidak dimengertinya.
"Orang gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada untungnya bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong...."
Si mantel merah berpaling. Pandangannya membentur wajah Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya.
"Kau pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu..."
Ageng Musalamat masih tersenyum.
Tidak menjawab karena memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah.
Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi diucapkan Ageng Musalamat.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng.
Anak ini cepat berkata.
"Paman Bu Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak mengerti satu sama lain!"
"Kau benar!"
Kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih mencekal si pejabat tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu.
Ageng Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel merah.
Bu Tjeng cepat menterjemahkan.
"Orang ini memintamu agar melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin hingga kau diutus untuk menjemputnya?"
Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan mengendur amarahnya.
Sepasang pandangan mata lembut Ageng Musalamat membuat dia merasa kecut.
Cekalan dan jambakannya pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah setengah sadar setengah pingsan.
Beberapa orang prajurit segera menggotongnya ke tempat aman.
"Orang asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia mengutusku untuk menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat kediamannya."
"Ah, Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang ke tempatnya. Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku sedang menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi izin aku akan datang sendiri menyambanginya di lembah itu..."
Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk memberi hormat. Ketika dia hendak membalikkan badan si mantel merah berseru.
"Orang asing! Tunggu!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng Musalamat.
"Peraturan di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras. Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan tidak berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan me-misahkan kepalaku dari tubuhku!"
Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika dia mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng.
"Jika kau tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan, mengapa tidak keluar saja?"
"Itu lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan seluruh keluargaku!"
"Ah... Rupanya susah juga hidup ini bagimu..."
Kata Ageng Musalamat sambil usap-usap dagunya.
"Sebelum pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku..."
"Hemmm, aku ingin mendengarkan...."
"Katanya, jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris emas yang hendak kau persembahkan pada Raja...."
Ageng Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku membawa keris itu, pikirnya.
"Rupanya kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa sebilah keris emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri."
Beberapa orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan pimpinan mereka, serentak menegur keras menyatakan ketidak senangan mereka.
Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar setengah pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa yang hendak dilakukan Ageng Musalamat.
"Tamu terhormat Kanjeng...! Jika kau serahkan keris itu padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja dan rakyat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Tiongkok!"
Kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan jatuh terduduk di tanah.
"Sahabatku pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir... Lihat saja apa yang akan terjadi,"
Kata Ageng Musalamat sambil tersenyum dan kedipkan matanya.
Ageng Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah mengikutinya.
Lalu dia melangkah menuju kemah.
Hampir semua orang yang ada di tempat itu mengikuti.
Sampai di dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas tumpukan barang.
"Buka penutup peti dan lihat isinya..."
Ageng Musalamat berkata pada si mantel merah.
Bu Tjeng cepat menterjemahkan ucapan Ageng Musalamat.
Si mantel merah tampak ragu.
Agaknya dia khawatir orang akan menjebaknya.
Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati peti kayu jati berukir itu.
Dia ulurkan tangan membuka penutup peti.
Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar.
Si mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak tangan kiri.
"Apakah benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?"
Tanya Ageng Musalamat. Si mantel merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng kembali menterjemah.
"Kau boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin."
"Ah.... Terima kasih... terima kasih..."
Kata si mantel merah sambil membungkuk berulang kali.
Dia tidak menyangka kalau orang akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya.
Peti kayu cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat peti dari tumpukan barang.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel merah yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit.
Tubuhnya terhuyung ke depan.
Peti kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit itu seperti berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga tetap saja dia tak sanggup bertahan.
Kedua bahunya membuyut ke bawah.
Dan tangannya menjadi panjang.
Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia kerahkan tenaga daiam.
"Krakk! Kraaak!"
Si mantel merah menjerit keras.
Sambungan tulang bahunya kiri kanan tanggal dari persendian.
Peti kayu lepas dari pegangannya dan bukkk! Peti jatuh menimpa kakinya.
Kasut yang melindungi kakinya berlubang besar.
Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak merah tanda kakinya cidera berat dan berdarah.
Si mantel merah menjerit berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.
Ageng Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi keris sakti.
Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya bahu si mantel merah.
"Katakan pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata ini tidak berjodoh dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang..."
Si mantel merah hendak berteriak marah.
Tapi ketika dilihatnya orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada sinar aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa banyak bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah.
--== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa SEBELAS MALAM pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng Musalamat dibawa ke istana Raja.
Sebelum jamuan makan malam yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada Raja.
Sebagai balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang terbuat dari batu giok berwarna hijau pekat.
Tasbih itu bukan tasbih biasa karena mampu menolak racun serta memiliki kekuatan besar.
Perjamuan itu menjadi semarak karena dipertunjukkan berbagai tarian dari beberapa propinsi.
Menjelang tengah malam, perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana.
Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa tempat berpemandangan indah.
Pada malam ketiga sesuai yang telah diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk perunjukan kepandaian silat.
Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja, tapi beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan Pengawal Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir.
Lu Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya masih dalam perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo hari.
Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan akrobat.
Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti memperlihatkan kebolehan mereka.
Bagian ketiga yang merupakan bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa.
Agaknya dalam rangka persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa berani menurunkan tangan keras.
Walau begitu pertandingan itu berjalan cukup seru dan tidak henti-hentinya mendapatkan sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir.
Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara malam itu tiba-tiba sebuah benda kuning melesat di udara lalu menancap di atas panggung.
Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak yang pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning.
Pada bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar berupa kunciran rambut.
"Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!"
Seru semua orang yang mengenali.
Tempat itupun menjadi gempar.
Belum berhenti getaran besi bendera yang menancap di lantai panggungm belum reda suara gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang.
Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelap-kelip.
"Braakk!"
Loteng di atas panggung ambruk. Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak tepat di samping kanan bendera kuning.
"Lo Sam Tojin!"
Beberapa orang yang duduk di barisan depan sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking kagetnya.
Ageng Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja merasa berdebar.
Kedua matanya memandang tak berkesip pada orang yang di atas panggung.
Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam.
Mukanya berwarna kuning muda.
Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk dipandang.
Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna kuning.
"Apakah kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan masing-masing?!"
Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh.
"Tak ada yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari kebodohan masing-masing!"
Seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa bergelak-gelak. Seseorang berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang ini adalah Suma Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana.
"Lo Sam Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas turun dari panggung dan tinggalkan tempat ini!"
"Ah...! Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh semua!"
Lo Sam Tojin menjawab.
"Apa maksudmu?!"
Sentak Suma Tiang Bun dengan mata mendelik.
"Beberapa hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong sesumbar jual omongan besar mau menyerbu kediamanku di lembah Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu itu? Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal bernama Suma Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk berlalu. Ha... ha... ha...!"
Merah padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu.
Dia cepat memandang berkelliling dan siap berteriak pada para pengawal untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo Sam Tojin tapi alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun anggota pengawal ada di ruangan itu.
Malah seputar dinding ruangan kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala! Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali tertawa mengekeh.
"Jenderal Suma!,"
Teriak Lo Sam Tojin.
"kau tak usah khawatir. Semua anak buahmu berada di gudang belakang. Semua tertidur pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha... ha... ha...!"
Terkejutlah Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki gemuk pendek yang tegak di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala Balatentara Daerah Timur.
"Jenderal, aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan. Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di tempat ini. Aku akan menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!"
Jenderal Tjia mengangguk.
"Hati-hati Jenderal Suma. Lo Sam Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung membantumu begitu selesai menyusun kekuatan!"
Begitu Jenderal Tjia bergerak. Suma Tiang Bun berkelebat ke atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan.
"Ha... ha...! Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku Cuma memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh, pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha... ha... ha..!"
"Tojin sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!"
"Ho... ho! Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang itu jangan harapa aku akan minggat dari sini!"
"Kau akan menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal bisa keluar hidup-hidup dari sini!"
"Heemm... begitu?!"
Dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan jelalatan kian kemari.
"mari kita main-main sebentar. Sudah lama Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang Jenderal sepertimu!"
"Kalau kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak akan sungkan-sungkan lagi!"
Kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke depan melancarkan serangan.
"Ha... ha! Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!"
Ejek Lo Sam Tojin.
Lalu sapukan tongkat besinya ke depan.
(Ouw liong cut tong = Naga hitam keluar goa).
Jenderal Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang dilancarkannya.
Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan.
Jenderal Suma dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan Kun Lun Pay.
Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh itu.
Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai.
"Jenderal Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi Kepala Barisan Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu dengan jurus yang sama!"
Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan tongkat besi kuningnya. Ketika serangan lawan berupa jotosan keras siap melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras.
"Jurus ouw liong cut tong sejati!"
Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan paderi melancarkan serangan tahu-tahu...
"Buukkk!"
Jenderal Suma terpental satu tombak ke belakang.
Dari mulutnya terdengar erang kesakitan.
Ketika dia memperhatikan tangan kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah.
Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah tak mampu dibendungnya.
Didahului bentakan dahsyat dia Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa melompat ke depan.
Kini terjadi perkelahian seru.
Lima jurus Jenderal Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan serangan-serangan ganas.
Tapi Lo Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang.
Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh kepandaiannya.
Tenaga dalam dikerahkan penuh.
Tubuhnya yang besar berkelebat mengeluarkan deru angin kencang.
Lo Sam Tojin berseru keras ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan serangan lawan.
Kini dia tidak menyerang dengan sepasang tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut gempuran lawan.
"Wuuss...! Wuuss...!"
Dua larik sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah hitam sang paderi.
Sinar di sebelah kanan berhasil dielakkan Jenderal Suma.
Namun sinar yang menyambar dari arah kiri menghantam dadanya dengan telak.
Untuk kedua kalinya orang ini terpental.
Mukanya tampak pucat.
Kedua kakinya kelihatan bergetar keras.
Dari mulutnya ada darah meleleh.
Sang Jenderal menderita luka dalam yang cukup parah.
"Paderi keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik ini juga!"
Kertak Suma Tiang Bun.
"Srett!"
Dia cabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur menyambar ke leher Lo Sam Tojin. Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke pinggang. Selarik sinar kuning berkiblat.
"Traangg!"
Bunga api memercik di atas panggung ketika pedang Suma Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam Tojin.
Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka genggamannya pada gagang pedang tidak teguh.
Akibatnya begitu bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Di atas pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke udara.
Semua orang terkesiap ketika melihat bagaimana pedang Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot, melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning.
Dengan cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu.
Lalu dia tertawa mengekeh.
"Jenderal Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa Giam lo ong! Ha... ha... ha...!" (Giam lo ong = malaikat maut). Jenderal Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang dengan melompat ke belakang. Dia menyambar sebuah jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat dia menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat dari porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam Tojin menderu dari atas ke bawah, mengarah batok kepala Jenderal Suma. Rupanya tojin ini benar-benar hendak membuktikan kata-katanya yaitu ingin membelah tubuh sang Jenderal! Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan Kerajaan yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua puluh orang anak buah Lo Sam Tojin. Walau mereka berjumlah lebih sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi dalam waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut mengancam Jenderal Suma segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya melayang di udara dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Lo Sam Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning bertabur. Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia. Orang gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin tahu-tahu melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi menancap di ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar. Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di tangan Lo Sam Tojin siap pula membelah kepala Jenderal Suma! --== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa DUA BELAS SESAAT lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari barisan kursi paling depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih sanggup meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset jauh, tak dapat membelah kepala Jenderal Suma melainkan hanya membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin. Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak buah Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama hentikan pertempuran dan memandang ke atas panggung. Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia memegang seuntai tasbih.
"Tamu asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!"
Seseorang berseru.
Suasana menjadi gempar sesaat namun segera sirap.
Semua mata ditujukan ke atas panggung.
Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa diam kini terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri Agengn Musalamat.
Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya ke dagu.
Pedang di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah hingga menancap di lantai panggung.
"Dicari susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha... ha... ha!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Karena tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk.
Sang paderi makin keras tawanya.
Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan pedang yang menancap di lantai panggung.
"Desss!"
"Wuuut!"
Pedang yang menancap melesat ke atas, berputar laksana baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat.
Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang tasbih.
Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari Raja Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang diberikannya pada Raja.
"Tring.. tring... tring!"
Terdengar suara berdentringan beberapa kali.
Bunga api memijar enam kali berturut-turut.
Ageng Musalamat terkejut dan cepat melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih seperti ditusuk puluhan jarum.
Sebaliknya Ketua Perkumpulan Kuncir Emas tak kalah kagetnya.
Hantaman tasbih di tangan Ageng Musalamat walau ditujukan pada pedang yang berputar namun ada hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur terhuyung-huyung.
Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih jatuh berdentrangan di bawah panggung.
"Orang asing, aku mengagumi kehebatanmu!"
Kata Lo Sam Tojin seraya membungkuk. Ageng Musalamat balas menghormat.
"Aku tak punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku perlukan untuk bantu membangun Partai Kuncir Emas..."
Lalu Lo Sam Tojin berikan tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat mengikutinya.
Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya.
Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin.
Ke dua tangannya Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa didorongkan ke muka.
Gerakannya perlahan saja.
Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan.
Dari ujung dua lengan jubahnya melesat angin sederas topan.
Panggung bergoncang.
Tirai-tirai tebal bergoyang keras bahkan ada yang robek.
Di atas panggung tubuh Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat.
"Jatuh!"
Teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga dalamnya.
Mukanya yang kuning kelihatan seperti mengkerut.
Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat.
Jubah putihnya tampak robek di beberapa bagian.
Dia bertahan sambil membungkuk dan mengepalkan tinju.
Tasbih di tangan kanannya ber-putar-putar kian kemari.
"Jatuh!"
Teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi.
Ageng Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh.
Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia menginjak bara api! "Kalau aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!"
Ageng Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri.
Mulutnya dikatupkan rapat-rapat.
Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan.
Tiba-tiba kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung.
Laksana senjata rahasia, puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin.
Selagi Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya.
Pecahan porselen ini menancap demikian rupa laksana disisipkan dengan hati-hati dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka ataupun tergores! Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat kuning maka semua orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah sepucat mayat! Kakek ini menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan pecahan porselen itu.
"Orang asing..."
Kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar.
"Aku menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku tidak bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan saat ini cukup membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu..."
Lo Sam Tojin membungkuk berulang kali. Ageng Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan! "Kanjeng guru! Awas!"
Seseorang berteriak dari bawah panggung.
Ageng Musalamat cepat mengangkat kepalanya.
Sebenarnya tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu datang dari depan.
Ketika melihat ke depan terkejutlah dia! Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan di badan melesat ke arahnya.
"Ular iblis pencabut nyawa!"
Teriak beberapa orang di bawah panggung. Ular terbang yang diberi julukan.
"ular iblis pencabut nyawa"
Itu adalah senjata rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo Sam Tojin.
Di tempat penyimpanannya di dalam sebuah kantong di balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu kaku.
Tapi begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan.
Melesat dengan membuka mulut lebar-lebar.
Siap untuk mematuk sasaran! Ageng Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas lantai panggung.
Tasbih di tangan kanan diputar sebat.
Tiga ular beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung.
Dua lainnya dihantam hancur dengan tasbih.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Lo Sam Tojin menggereng marah.
Dia menerjang ke depan, menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh.
Lima jari tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah menjadi cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu musuhpun sanggup menghadapinya.
Orang banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi yang tahu betul akan keganasan ilmu yang dimiliki Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat.
Mereka tidak bisa menduga lain.
Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya secara tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan.
Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng Musalamat berubah menjadi kepala seekor harimau putih.
Selagi dia tertegun kecut lawan telah melompat ke hadapannya.
Ageng Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya.
Sepasang tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya.
Tasbih dalam genggamannya menderu menabur sinar angker.
Dia mendengar suara bergedebukan berulang kali.
Lalu...
"Praaakkk!"
Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk.
Tubuhnya terpelanting namun sungguh hebat.
Mukanya yang kuning babak belur.
Sepasang matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan darah.
Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi hebatnya kakek ini masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan miring.
Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng Musalamat hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda merah.
Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya.
Tapi sikapnya tetap tenang.
Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan menderu ke depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin.
Ketika paderi ini terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di dagunya.
Darah menyembur.
Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke bawah panggung, jatuh di antara orang banyak.
Tidak berkutik lagi, tidak bernapas lagi! "Lo Sam Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!"
Teriak beberapa orang.
Tempat itu menjadi gempar.
Beberapa orang anggota Kuncir Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah seribu menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang.
Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah.
Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak sempat melihat datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di bawah sana berteriak mengingatkannya.
"Kanjeng guru! Awas!"
Dia kenal suara itu. Dia merasa telah ditolong dan diselamatkan. Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro, murid yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit.
"Berarti... Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan hukuman,"
Kata Ageng Musalamat dalam hati.
--== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa TIGA BELAS KEMATIAN Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur.
Di pegunungan Kun Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu.
Lima orang utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Mereka membawa hadiah-hadiah besar dan menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka berkunjung ke markas mereka.
Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak menerima hadiah itu.
Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun.
Namun utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musa-lamat mau menerima hadiah itu.
Setelah saling bersitegang akhirnya Ageng Musalamat mengalah.
Namun semua hadiah kemudian disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuh-an di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui tinggal.
Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja meminta Ageng Musalamat datang.
Kepadanya Raja menghadiahkan satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang.
Di situ dibangun belasan rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya selama mereka suka.
Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi Ageng Musalamat namun dengan halus kedudukan bagus itu ditolaknya.
Lama kelamaan tempat kediaman Ageng Musalamat semakin berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir semua penduduknya adalah orang-orang Muslim.
Dalam rimba persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu nama besar.
Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa pandai bahkan pihak Kerajaan yang mampu mengalahkan atau menangkap Lo Sam Tojin.
Ageng Musalamat disejajarkan ketinggian ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada masa itu.
(kang-ouw = dunia persilatan) Diam-diam beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini mengajarkan kepandaiannya pada mereka.
Namun Ageng Musalamat lebih suka memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya.
Di sini dia membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu bertambah.
Ki Hok Kui termasuk salah seorang murid yang paling disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Anak yang cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu, tapi juga dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa.
Sampai dua tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih tetap lowong.
Untuk sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
Namun entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja akan mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur itu.
Tanpa melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahan-kannya.
Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu demi satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat yang bagaimanapun juga adalah orang asing.
Tindakan Jenderal Suma tidak sampai disitu saja.
Dia berkali-kali menghadap Raja untuk memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng Musalamat.
Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak orang-orang tertentu tidak suka padanya.
Namun dia tidak ambil perduli.
Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasa-Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa biasa saja.
Dia lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya yang melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang.
Akhirnya keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang.
Setelah bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa.
Bahkan akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli seagama.
Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak buahnya.
Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat lagi dikatakan kota kecil.
Sebagian penduduknya hidup dari bertani dan sebagian lainnya mencoba berdagang.
Nama kota Hsin Yang menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Jumlah pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya ratusan tapi sampai ribu-ribuan.
Cagak Guntoro yang telah dibebaskan dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup berbahagia dengan seorang istri dan dua anak.
Munding Sura menempuh jalan berbeda.
Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering mengelana sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat pada penduduk setempat.
Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat laun membuat para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak.
Ketidak enakan ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
TANPA terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat bermukim di Tiongkok.
Selama berumah tangga sayangnya dia tidak dikarunia anak.
Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui.
Boleh dikatakan selama dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan.
Pada saat dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng Musalamat berhasil diserapnya.
Bahasa Jawanyapun tak kalah medok dengan orang-orang yang datang dari tanah Jawa itu.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja.
Suatu hari dia dipanggil ke istana.
Ternyata satu pertemuan penting yang diha-diri oleh pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah diatur.
Dalam pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng Musalamat diangkat menjadi Tikoan berkedudukan di Hsin Yang dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya.
Sekali ini Ageng Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu.
(Tikoan = jabatan sederajat Bupati) Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang yang tidak menyukainya.
Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang pernah diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat maka disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan baru itu.
"Heran,"
Kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya.
"Ilmu pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali memberi tahu Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya menjadi Tikoan...."
Seorang perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma. Dia adalah salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma Tiang Bun ke dalam kelompoknya.
"Untuk menjatuhkan batu karang, ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan banyaknya itu bersumpah untuk membalas dendam kematian Ketua mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar yang bisa kita jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat orang Jawa anak murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?"
"Hemmm.... Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu Louw Bin Nio?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Perempuan separuh baya itu tersenyum dan kedipkan matanya dengan genit.
"Jika kau ingin tahu bukan di sini tempatnya,"
Jawab Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada di situ. Mendengar ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio semua orang yang ada di situ menjadi maklum. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
"Ikuti aku,"
Kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan pinggulnya yang besar.
Perempuan ini adalah seorang tokoh silat istana yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi kekasih gelap Jenderal Suma.
Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah kamar.
Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.
"Sudah berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang Bun..."
"Hampir dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak sekali akhir-akhir ini...."
"Sekarang lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!"
Lalu jari-jari tangan Louw Bin Nio bergerak.
Dia bukan membuka pakaian Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu.
Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa memuaskannya dengan hubungan badan yang aneh-aneh sementara istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan sosok dingin sedingin salju di puncak Thay San.
--== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa EMPAT BELAS SALAH satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan untuk bertahan terhadap godaan.
Sejak Adam tergoda oleh setan hing-ga memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari Taman Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi manusia, menggoda agar melakukan kesesatan.
Hal ini yang terjadi dengan diri Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana.
Malam itu entah mengapa, sewaktu hasutan setan menghantuinya, dia tidak berdaya melawan.
Semakin dilawan semakin keras dorongan untuk ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di halaman ke lima dan halaman berikut kitab sakti itu.
Dalam keadaan bimbang akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri.
Dari balik jubah putihnya dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat Dewa.
Dadanya berdebar keras, tangannya gemetar.
Tengkuknya mendadak merasa dingin.
Kitab yang hendak dibukanya ditutupnya kembali.
Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya.
"Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki gunung batu membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau menjadi penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi sekarang kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin dia mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima kitab sakti itu, dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak akan memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu..."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Ageng Musalamat menggigit bibirnya sendiri.
Berkali-kali dia menarik napas dalam.
Akhirnya keputusannya bulat.
Tangan kanannya walaupun masih gemetar bergerak membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa! Begitu halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka, terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Ternyata halaman itu kosong! Tak ada gambar tak ada tulisan.
Dibaliknya halaman-halaman berikutnya.
Sama! Kosong! "Orang menipuku..."
Kata Ageng Musalamat terperangah.
"Datuk Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan halaman lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di kejauhan. Suaranya mengalun lembut berhiba-hiba lalu menderam suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat. Parasnya menjadi pucat pasi.
"Datuk Rao..."
Desisnya.
Baru saja dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua kepulan asap putih yang dengan cepat berubah membentuk sosok tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau.
Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada Ageng Musalamat.
Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao.
Tapi orang tua itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin.
"Sayang sekali... Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau telah mengulang berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca Sabda dewa ke tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak berpikir mencari manfaat dari pada kualat?!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa "Maafkan diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa menebus dosa kesalahanku!"
Kata Ageng Musalamat setengah meratap.
"Mengapa kau tergoda melanggar pantangan, Ageng Musalamat?"
"Aku terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apa-apanya. Halaman itu kosong!"
Datuk Rao tersenyum.
"Matamu tidak seperti mata malaikat. Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!"
Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak dan wajahnya seputih kain kafan.
"Aku mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku..."
"Kesalahan telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama hati-hatilah. Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!"
Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu mulai meniup.
Suara seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba.
Datuk Rao Bamato Hijau membuka mulut keluarkan suara auman.
Bersamaan dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah sosok asap ke dua makhluk itu.
* * * Sepanjang malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa memicingkan mata.
Menjelang pagi ketika sepasang matanya sempat hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa menyusul suara pintu digedor.
Beberapa orang yang bertugas sebagai pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.
"Tikoan! Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!"
Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang. Telinganya dipasang kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.
"Tikoan Musalamat! Buka pintu! Cepat!"
"Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur..."
Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang itu cepat-cepat turun ke bawah. Begitu pintu dibuka masuklah muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang pengawal.
"Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?"
Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro. Muridnya yang satu ini juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.
"Lekas tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus diberitahu agar segera mengungsi!"
Kata Ki Hok Kui yang kini telah menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa.
"Tinggalkan kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis minum-minum dan mabok?!"
Ujar Ageng Musalamat.
"Demi Tuhan, Kan-jieng...."
"Katakan ada apa?!"
Ageng Musalamat membentak.
"Pasukan Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua! Hsin Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!"
Paras Ageng Musalamat jadi berubah.
"Bicara yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru..."
Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan.
"Raja menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa berserikat dengan orang-orang Mongol untuk meruntuhkan takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan serta siasat penyerbuannya ke Kotaraja...."
"Fitnah!"
Teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan dikepal.
"Kan-jieng tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah dua ribu orang akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kan-jieng mencari jalan selamat..."
Ageng Musalamat gelengkan kepala.
"Bahaya sebesar apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak Guntoro lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas itu!"
"Tapi Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat golongan hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada yang melihat Munding Sura bersama Jenderal Suma!"
Terkejutlah Ageng Musalamat.
Dia sudah lama mendengar hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio.
Perempuan satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana! Lain dari itu dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang dulu begitu dipercayanya ternyata adalah seorang pengkhianat.
"Seribu Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin Nio boleh unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak akan meninggalkan Hsin Yang!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan Kitab Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui. Ternyata muridnya inilah orang yang paling dipercayanya.
"Hok Kui, selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat ini!"
"Kan-jieng!"
Seru Ki Hok Kui.
"Saya tidak akan pergi! Saya siap bertempur bersama Kan-jieng!"
"Jangan berani membangkang Hok Kui!"
"Saya ingin mati bersama Kan-jieng!"
Teriak Ki Hok Kui.
"Plaaaakkkk!"
Satu tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui.
Tamparan yang dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang rahang manusia.
Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou atau Harimau Kepala Besi.
"Hok Kui! Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan kubunuh kau saat ini juga!"
Teriak Ageng Musalamat. Ki Hok Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke dalam baju muridnya itu.
"Kitab itu lebih berharga dari nyawaku! Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!"
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara menderu seperti air bah mendatangi. Menyusul suara tiupan terompet. Paras Ki Hok Kui berubah.
"Astaga! Saya tidak menyangka balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat....
"
"Lekas pergi dari sini Kui Hok!"
Bentak Ageng Musalamat. Dia berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata.
"Bangunkan istri dan para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh mungkin dari Hsin Yang."
Ketika Ageng Musalamat melihat Hok Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah.
"Kau tunggu apa lagi?!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya air mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum berkelebat dia berkata.
"Kan jieng guruku tercinta, saya berdoa untuk keselamatanmu!" --== 0O0 == --Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa LIMA BELAS PERAHU kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya tinggal ku!it pembalut tulang, mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya yang tadi putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari. Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya menunggu hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid terpandai dan paling dipercaya Ageng Musalamat. Setelah mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan membantai setiap orang yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok Kui lalu menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat amanat sang guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini dia mendapat beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Dia sudah selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau dibawa akan dibawa kemana, kalau diserahkan akan diserahkan pada siapa? Seperti mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau berada dalam keadaan sangat lemah duduk di lantai perahu. Dua matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.
"Pulau.."
Desisnya.
Digosoknya dua matanya dengan rasa tidak percaya.
Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah? Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di belakangnya.
Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan.
Pucatlah paras cekung Ki Hok Kui.
"Astaga! Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di sini!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Ratusan tombak di belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan sebuah kapal layar besar.
Dari bendera yang berkibar di tiang utama jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok.
Apa sebenarnya yang telah terjadi? Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak diketahui seluk beluknya.
Sewaktu Ki Hok Kui sampai di Nanchang, Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui diduga masih hidup.
Selain itu sewaktu tempat kediaman dan mayat Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan.
Munding Sura yakin kitab itu teiah diserahkan oleh Ageng Musalamat kepada Hok Kui untuk diselamatkan.
Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat itu dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow.
Tujuan sang Jenderal bukan saja untuk mengikis habis semua anak murid Ageng Musalamat tapi juga untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa.
Maka pengejaranpun diteruskan sampai di Seochow.
Di sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya.
Namun Munding Sura mempunyai dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma Tiang Bun.
Menurut pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui melarikan diri menuju tanah Jawa.
Pemburuan di lautpun dilakukan.
Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak begitu memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru mereka berhasil mengejar perahu Kui Hok.
Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan.
Di kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya.
Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan.
Masing-masing perahu berisi tiga penumpang.
Perahu terdepan ditumpangi Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa istana.
Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat golongan hitam.
Tiga perahu lainnya masing-masing berisi seorang perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat.
Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera terkejar.
Lima perahu besar mengurungnya.
Lima belas orang berkepandaian tinggi langsung menyerang.
Ada dengan tangan kosong dan ada pula dengan senjata.
Malah beberapa orang sengaja melepaskan senjata rahasia secara licik.
Iblis Terbang Pencabut Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lihay melancarkan serangan laksana terbang.
Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan sebilah golok panjang.
Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang hebat tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri.
Apalagi keadaannya saat itu sangat lemah pula.
Jenderal Suma berulang kali berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada bajunya.
Tapi Hok Kui pantang menyerah.
"Louw Bin Nio!"
Teriak Jenderal Suma yang sudah tidak sabaran.
"Bunuh bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!"
"Dengan senang hati kekasihku!"
Jawab Iblis Terbang Pencabut nyawa.
"Tapi biar kupesiangi dulu tubuhnya!"
Habis berkata begitu perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui. Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.
"Crass! Craass! Crass! Craass!"
Jeritan-setinggi langit menggelegar keluar dari mulut Hok Kui.
Golok Louw Bin Nio ternyata telah membabat buntung dua tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal paha! Darah membanjiri lantai perahu.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa panjang.
Ketika dia hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok Kui, murid Ageng Musalamat ini perlaku nekad.
Dengan sisa tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan tubuh, mencebur masuk ke dalam laut! "Munding Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik bajunya!"
Teriak Jenderal Suma.
Tidak pikir panjang lagi si pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut.
Justru pada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi.
Di atas lima perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat ketika melihat air laut mendadak berwarna merah.
Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras.
Tiga belas orang lainnya sama tersentak kaget.
Ternyata di sekitar perahu mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.
"Kembali ke kapal!"
Teriak Jenderal Suma Tiang Bun.
Empat perahu cepat dikayuh kembali ke kapal.
Malang bagi perahu yang ditumpangi Jenderal Suma.
Dua ekor ikan hiu besar menabrak perahunya hingga terbalik.
Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu! Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan setan.
Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut menyusul Suma Tiang Bun.
* * * Di atas batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak.
Sekujur badannya dibungkus hawa aneh sedingin es.
Sepasang matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa.
Tiba-tiba "Wusss!"
Sekujur tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu me-ngeluarkan cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi terdengar suara.
"Wusss!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Dari kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar terang.
Benda ini melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa dan akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam.
Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak menggeliat lalu bergerak duduk.
Dia memandang celingak-celinguk terheran-heran.
Kepalanya dipegang berulang kali.
Akhirnya murid Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.
"Aneh, barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat seorang bernama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Aku melihat Kitab Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor bergelar Tjui-bihun... Tjui... Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya dalam bahasa Cina!"
Wiro kembali garuk-garuk kepala.
"Ki Hok Kui... Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi dia kecebur masuk ke dalam laut!"
Wiro garuk-garuk kepala lagi dan kembali memandang berkeliling. Lalu dia ingat pada Delapan Sabda Dewa. Dan bicara seorang diri.
"Delapan Sabda Dewa... Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu... Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!"
Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi.
Laut Selatan tak pernah tenang Gelombang selalu datang menantang Ribuan pagi ribuan petang Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan Yang menunggu tua renta malang Yang ditunggu budak malang Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta.
"Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,"
Kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu dan melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi.
T A M A T Serial selanjutnya.
MUSLIHAT PARA IBLIS Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Delapan Sabda Dewa Salam 212 SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK ALMARHUM BASTIAN TITO Diketik ulang oleh Kailani Sekali Hanya untuk para pendekar semua pecinta Wiro Sableng Saran dan kritik kirim ke.
kucinglistrik@gmail.com Atau tulis aja langsung di thread Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 di forum kaskus.us\education\book review\ J Buat pendekar mercenary_007, mohon maaf membajak jatahnya .p Ga ada maksud apa-apa, Cuma mo ngebantu aja...
J
Rajawali Emas Geger Batu Bintang Wiro Sableng Maut Bernyanyi di Pajajaran Roro Centil Duel Dan Kemelut Di Cipatujah