Pangeran Bunga Bangkai 2
Satria Lonceng Dewa Pangeran Bunga Bangkai Bagian 2
"Roh Agung. Hyang Jagat Bathara Dewa! Siapapun yang hadir di tempat ini secara gaib. Puteraku Nalapraya tidak berdosa! Aku mohon biar diriku yang menerima hukum kutukan! Jangan hukum kutukan dijatuhkan atas dirinya!"
Untuk kedua kalinya perempuan ini rubuh dan kali ini dia benar-benar pingsan.
Dengan menguatkan hati Pangeran Nalapraya tinggalkan ruangan sidang.
Setengah berlari dia pergi memasuki Hutan Raja yang terletak di pinggir selatan Kotaraja.
Beberapa orang mengikuti.
Kebanyakan dari mereka adalah para sahabat dan tetangga si pemuda.
Ketika sampai di dalam Hutan Raja orang-orang itu tidak berhasil menemui sang Pangeran.
Selain itu sebuah bunga besar yang disebut Bunga Bangkai dan selama ini terlihat tumbuh di dalam Hutan Raja dekat sebuah kolam, kini tidak kelihatan lagi.
Lenyap tidak diketahui kemana perginya.
Seekor burung gagak hitam berdiri di atas sebuah batu besar tak jauh dari tempat beradanya Bunga Bangkai.
Burung ini tiada henti mematuki batu keras itu hingga akhirnya berlubang.
Dari lubang itu mengucur keluar air sangat bening.
Seolah air mata yang meratapi nasib peruntungan malang pemuda bernama Nalapraya.
Sejak hari itu pula Pangeran Nalapraya tidak pernah terlihat lagi diTarumanegara.
PERNIKAHAN GAIB SATU purnama setelah peristiwa jatuhnya hukum kutukan atas dirinya, Nalapraya sampai di sebuah desa bernama Tegal rejo.
Karena tidak tahu mau pergi kemana atau menemui siapa akhirnya pemuda ini mencari satu tempat yang baik untuk beristirahat.
Nalapraya menemukan sebuah goa begitu sunyi, juga agaknya jarang orang mendatangi tempat itu.
Ditambah pula keadaan goa yang bersih dan sejuk serta tak jauh dari situ ada satu rimba belantara yang ditumbuhi banyak pohon bebuahan lalu terdapat pula sebuah telaga kecil maka pemuda ini memutuskan untuk menjadikan goa tersebut sebagai tempat kediaman sementara hingga dia menemukan tempat yang lebih baik.
Beberapa hari berada di goa ternyata Nalapraya merasa kerasan hingga akhirnya dia menjadikan goa itu sebagai tempat kediaman selamanya sekaligus menjadi tempat pertapaan sampai petunjukdari Yang Maha Kuasa datang.
Memasuki tahun kedua.pertapaannya di goa Tegalrejo itu, Nalapraya yang kepalanya masih berujud Bunga Bangkai, pada suatu malam ketika dia tengah khusuk bersemedi tiba-tiba ada seberkas cahaya putih berbentuk bola masuk ke dalam goa dan turun di atas pangkuannya.
Walau hati bergejolak namun Nalapraya berusaha bertahan agar tapa samadinya tidak terhenti.
Pada saat itu dia mendengar suara mengiang di telinganya kiri kanan.
"Anak perjaka pilihan Para Dewa. Sudahi tapa samadimu sekarang juga. Buka dua matamu dan lihat apa yang ada di pangkuanmu."
Nalapraya coba untuktidak mengambil perhatian dan tidak mengikuti perintah suara gaib itu.
Namun serta merta sekujur tubuhnya menjadi panas.
Kuncup hijau di kepalanya mengepulkan asap, bunga kuning berbintik coklat di atas bahu menciut mengeriput.
Getaran keras menyelimuti sekujur tubuh.
Tidak mampu bertahan akhirnya si pemuda membuka ke dua matanya.
"Nalapraya, katakan apa yang kau lihat berada di pangkuanmu?"
Suara mengiang bertanya.
"Siapa yang bertanya?"
Nalapraya balik bertanya.
"Tidak perlu balik bertanya. Jawab saja apa yang ditanya."
Si pemuda menatap ke arah pangkuannya lalu berkata.
"Saya melihat cahaya berbentuk bulat seperti bola."
"Sekarang dengar baik-baik. Cahaya itu akan menuntunmu ke suatu tempat yang sangat rahasia. Di tempat ini kau akan dipertemukan dengan seorang anak perawan berhati mulia. Di tempat ini kau akan dinikahkan dengan anak perawan itu. Kau boleh mengunjunginya sebanyak tujuh kali berturut-turut dan melakukan sebagai suami istri. Pada setiap pertemuan Para Dewa menurunkan berkah padamu hingga ujud kepalamu kembali ke bentuk asal. Setelah tujuh kali maka kau tidak akan bertemu lagi dengan anak perawan itu, kecuali Para Dewa menghendaki lain. Dari hasil hubungan kalian kelak istrimu akan melahirkan dua orang bayi laki-laki. Keduanya akan menjadi Kesatria sakti mandraguna andalan Kerajaan Bhumi Mataram. Sekarang bersiaplah untuk berangkat."
Nalapraya tidak segera bangkit berdiri tapi keluarkan ucapan.
"Suara gaib, siapapun kau adanya apakah saya boleh mengajukan pertanyaan?"
"Lakukan cepat. Waktumu tidak banyak"
"Saya ingin tahu dimana letak tempat sangat rahasia itu. Apakah tempat itu memiliki nama?"
"Sayang sekali, Para Dewa tidak akan memberi tahu nama atau letak tempat yang kau tanyakan itu."
Nalapraya terdiam sesaat lalu kembali bertanya.
"Siapakah nama anak perawan yang akan dinikahkan Dewa dengan saya itu?"
"Hal itupun tidak diperkenankan Para Dewa untuk kau ketahui."
Suara mengiang berikan jawaban.
"Jika ini benar-benar datang atas kemauan Para Dewa, maka saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya memilih meneruskan bertapa di goa ini. Saya harap siapapun adanya jangan mengganggu diriku lagi."
"Anak perjaka bernama Nalapraya. Sadar atau tidak kau telah terikat pada perjanjian dengan Para Dewa. Kau akan mendapatkan kesembuhan dari hukum kutukan bilamana mengikuti apa yang telah ditetapkan Para Dewa."
"Kalau begitu saya lebih memilih mati di tempat ini dari pada mengikuti satu kemauan yang dipaksakan dan sangat tidak adil. Silahkan Para Dewa mencabut nyawa saya saat ini juga!"
Lalu Nalapraya duduk bersila, pejamkan mata, dua tangan dirangkap di atas dada.
"Anak muda, mengapa bersikap bodoh. Ketidak adilan yang kau katakan itu justru mendatangkan rakhmat di masa datang. Bukankah kau berjanji pada Ibumu akan menemui perempuan itu. Bagaimana mungkin kau akan datang padanya dengan ujud kutukan seperti keadaanmu saat ini?"
"Hukum kutukan ini telah saya terima dengan pasrah. Mengapa masih ada tindakan yang saya rasakan sangat tidak adil dan ingin terus menerus memperalat saya?"
"Nalapraya, justru di dalam ketidak adilan itu kau kelak akan mendapatkan keadilan. Bilamana kau tetap menginginkan kematian maka kelak Bhumi Mataram akan dilanda kekacauan besar tanpa ada yang bisa mengendalikan dan memperbaiki."
"Saya orang Tarumanagara. Saya tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap Bhumi Mataram."
"Kau keliru anak muda. Tarumanagara dan Bhumi Mataram hanyalah sebagian kecil dari jagat ciptaan Yang Maha Kuasa. Dimanapun kau berada kau sebenarnya berada di alam yang sama. Jadi kau memiliki rasa tanggung jawab serta bakti yang sama pula. Kita semua adalah insan yang diciptakan untuk semua dan semua untuk kita."
Lama Nalapraya dudukterdiam.
Perlahan-lahan dia amudian berdiri.
Bola bercahaya di pangkuannya bergerak naik, melayang ke arah mulut goa.
Tanpa berkata apa-apa lagi Nalapraya melangkah mengikuti cahaya bundar itu.
Dia tidak menyadari kalau saat itu dia bukan melangkah biasa tapi melesat cepat laksana hembusan angin! MALAM itu di tempat kediamannya di dasar Sumur Api, yang terletak antara Prambanan dan Kali Dengkeng, selagi berada di atas pembaringan antara tertidur dan jaga Ananthawuri tiba-tiba mencium bau sangat busuk.
Kepalanya langsung pusing dan perut mual.
Anak perawan dari Desa Sorogedug ini berusaha agar tidak muntah.
Nafasnya mulai terasa lega ketika bau busuk lenyap dan kini berganti dengan bau wangi harum semerbak.
Saat itu dia dapatkan diri terbaring bukan di dalam kamar, namun di alam terbuka.
Dari arah langit kelihatan ada satu cahaya putih, mendatangi ke arahnya lalu menyelubungi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke ujung kaki.
Saat itu juga Ananthawuri merasakan ada kehangatan dalam tubuhnya.
Lalu ada hembusan nafas di permukaan wajahnya.
Si gadis membuka mata lebih besar.
Sesaat kemudian dia baru menyadari kalau ada satu sosok tubuh di dalam cahaya putih.
Sosoktubuh ini adalah sosok seorang pemuda berwajah gagah, mengenakan pakaian serba biru.
"Anak perawan, siapakah namamu?"
Pemuda gagah bertanya. Ananthawuri membuka mulut hendak menjawab. Namun tiada suara yang mampu diucapkannya. Dia hanya bisa mengedipkan mata dan tersenyum.
"Anak perawan, apakah kau sudah mengetahui kalau Para Dewa akan menikahkan kita?"
Kembali si pemuda berbaju biru yang bukan lain adalah Nalapraya berkata dan lagi-lagi Ananthawuri tak kuasa menjawab. Nalapraya muncul dan dengan kuasa Para Dewa, muncul dengan kepala utuh sebagaimana aslinya. Tiba-tiba ada suara gaib berkata.
"Nalapraya, Para Dewa bukan akan, tapi baru saja teiah menikahkan kalian secara gaib. Anak perawan itu sekarang syah menjadi istrimu. Perlakukan dia sebagai seorang istri sebagaimana mestinya."
Si pemuda memandang ke langit. Apa yang dikatakan suara gaib sewaktu di goa Tegalrejo kini agaknya akan menjadi kenyataan. Namun dalam diri anak muda berperilaku baik ini muncul perasaan bimbang.
"Apakah saya tidak menyalahi aturan adat dan agama jika saya menggauli anak perawan ini?"
"Para Dewa telah mengatur semuanya. Jangan ada perasaan bimbang apa lagi ragu !"
Terdengar jawab suara gaib.
"Ini adalah berkat Para Dewa paling besar untuk dirimu dan calon istrimu. Kalian berdua telah menjadi insan-insan terpilih."
Nalapraya menatap wajah cantik Ananthawuri beberapa ketika lalu bertanya.
"Anak perawan, apakah kau bersedia dan ikhlas dinikahkan Para Dewa dengan diriku?"
Jawaban tak terdengar meluncur dari mulut Ananthawuri.
"Mulutmu bergerak tapi suaramu sejak tadi tidak terdengar,"
Kata Nalapraya pula.
"Berikan tanda jika kau suka menikah denganku. Jika kau ikhlas mau menjadi istriku."
Ananthawuri tersenyum.
Kedipkan mata lalu anggukkan kepala.
Ketika si pemuda memeluk tubuhnya dia balas merangkul.
Dia telah lama menunggu hal ini terjadi.
Sejak mahluk Roh Agung memberi tahu.
Malam itu terjadilah hubungan suami istri antara kedua insan tersebut.
Ternyata atas kehendak Para Dewa Nalapraya tidak cuma datang malam itu.
Dia muncul tujuh malam berturut-turut.
Pada malam ke tujuh Nalapraya berkata pada Ananthawuri.
"Kekasihku istriku. Atas kehendak Para Dewa malam ini adalah malam terakhir aku mengunjungimu. Setelah itu semua kembali berpulang pada Yang Maha Kuasa. Mungkin kita akan bertemu lagi, mungkin juga tidak untuk selama-lamanya. Jika kelak dari hubungan kita selama tujuh malam kau mengandung dan melahirkan dua anak lelaki, pelihara mereka baik-baik. Berikan nama Mimba Purana pada anak kita yang bungsu dan Dirga Purana pada putera kita yang sulung. Berdoalah setiap malam tiba agar sewaktu-waktu kita bisa berkumpul kembali. Satu hal perlu aku beri tahu. Walau kita telah berhubungan dan kelak kau akan melahirkan, namun menurut suara gaib yang sering kudengar, kau akan tetap merupakan seorang gadis, seorang anak perawan. Karena Para Dewa telah memilih dirimu dan menyayangi dirimu."
Mendengar kata-kata Nalapraya, Ananthawuri kucurkan air mata.
Mulutnya bergerak.
Banyak kata-kata yang diucapkan.Tetapi seperti yang sudah-sudah suaranya tidak pernah keluar dan terdengar.
Nalapraya memeluk Ananthawuri erat-erat, mencium pipi dan keningnya berulang kali.
Si gadis kemudian keluarkan sehelai sapu tangan warna merah muda.
"Brettt!"
Ananthawuri robek sapu tangan itu tepat di bagian tengah. Potongan pertama diserahkan pada Nalapraya, potongan kedua disimpan di balik pakaian hijau yang dikenakannya.
"Kekasihku, istriku tercinta. Aku mengerti...aku mengerti apa maksudmu."
Nalapraya mengambil robekan sapu tangan, menciumnya berulang kali, menyimpan di balik pakaian lalu dia kembali memeluk Ananthawuri.
Cukup lama kedua insan itu saling berangkulan dengan saling mengucurkan air mata sampai akhirnya Ananthawuri menyadari bahwa saat itu sosok sang suami tidak ada lagi dalam pelukannya.
SEPERTI yang diriwayatkan dalam kisah sebelumnya dalam judul "Perawan Sumur Api"
Apa yang telah terjadi dengan dirinya diceritakan Ananthawuri pada Sukantili sang ibunda yang juga diam di dasar Sumur Api.
Hanya saja kepada sang ibu anak perawan ini mengatakan bahwa dia tidak mengalami secara sungguhan, tapi mengalami dalam mimpi.
Dan semua apa yang terjadi tidak dituturkan secara lengkap.
Karena bagaimanapun juga si gadis merasa malu.
Hari ke delapan sang pemuda memang tidak datang lagi.
Demikian juga hari-hari berikutnya.
Ananthawuri menunggu dengan penuh sabar dan penuh harapan.
Hingga pada suatu hari akhirnya anak perawan itu menemui ibunya, memberi tahu bahwa dia telah terlambat haid.
"Saya merasa ada kelainan pada tubuh saya."
"Kelainan bagaimana anakku?"
Tanya sang Ibu.
"Dada saya bu Tadi pagi saya memperhatikan dan meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu, jangan-jangan saya..."
Sukantili memeluk anaknya. Seminggu kemudian Sukantili melihat ada kelainan pada perut anaknya. Sang Ibu tidak bisa menduga lain. Anak perawannya memang benar-benar telah mengandung.
"Anakku, kalau bukan kehendak dan kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi."
Sukantili lalu memeluk anak gadisnya.
Saat itu tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai suara berdesir seolah-olah ada seorang berjubah panjang melintas di samping ibu dan anak itu.
Lalu terdengar suara tanpa ujud.
Dua insan yang tengah bersatu hati Di dunia ini tidak ada yang abadi Namun kehendak Yang Maha Kuasa adalah pasti Ananthawuri, takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi Kau hamil tapi dirimu tetap suci Setelah sembilan bulan sepuluh hari Kau akan melahirkan Namun kau tetap sebagai seorang perawan Karena keturunanmu sudah ditetapkan Menjadi Kesatria Bhumi Mataram 6 SEBAYANG KALIGANTHA TELAH lebih dua hari Ratu Dhika Gelang Gelang mendatangi hampir seluruh candi di dalam dan di luar batas Kerajaan Bhumi Mataram.
Namun orang yang dicari yaitu pemuda kekasihnya yang bernama Sebayang Kaligantha tidak kunjung ditemukan.
Dengan perasaan kawatir Ratu Dhika mendatangi rumah kediaman si pemuda di sebuah desa kecil di kaki persimpangan Kali Elo dan Kali Progo.
Ternyata rumah si pemuda kosong.
"Pus Meong Ragil Abang,"
Kata perempuan gemuk berkulit hitam itu pada kucing merah peliharaannya.
"Aku tidak tahu lagi kita mau mencari ke mana. Namun aku kawatir telah terjadi sesuatu dengan Sebayang Kaligantha. Sekarang aku perlu bantuanmu. Pergunakan kemampuan penciumanmu. Coba kau lacak dimana keberadaan pemuda itu."
Ratu Dhika lalu masuk kembali ke dalam rumah.
Turunkan kucing besar merah.
Binatang ini mengelilingi bagian dalam rumah sambil mengendus tiada henti.
Lalu keluar dan melanjutkan mencium jejak-jejak di tanah yang telah mulai pupus.Tak lama kemudian didahului suara mengeong panjang Ragil Abang melompat ke kiri dan selanjutnya lari ke arah timur.
Mengikuti sekitar sepeminuman teh ternyata kucing merah lari ke arah hutan jati yang sudah gersang, terus ke satu bukit kapur yang jarang didatangi manusia.
Di atas bukit kapur ini ada satu runtuhan candi.
Ragil Abang mengeong keras di depan tangga candi yang sudah hancur.
"Oala...Pertanda buruk! Pertanda buruk!"
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang.
Lalu sekali melesat perempuan gemuk ini melesat melewati tembok candi.
Sampai di bagian dalam candi, Ratu Dhika Gelang Gelang memekik keras.
Di atas satu gundukan batu rata terbujur tertelentang sosok seorang pemuda.
Dua mata terpejam.
Tubuh yang sebelumnya kekar berotot tampak lunglai tiada daya.
Jangankan bergerak, bemafaspun agaknya dilakukan dengan susah payah.
Pipi dan rongga matanya cekung membiru.
Karena hanya mengenakan celana maka di dadanya yang telanjang terlihat jelas satu robekan luka yang masih menganga sepanjang satu jengkal.
Dua kaki dan dua tangan terpentang diikat dengan rantai besi sebesar betis.
Ujung rantai besi dipendam ke dalam gundukan batu.
"Sebayang! Jahanam mana yang menyiksamu seperti ini! Akan kubunuh! Akan kuhabisi!"
Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang.Tangan kanan diangkat ke atas.Tangan itu serta merta pancarkan cahaya merah.
Begitu dihantamkan empat kali berturut-turut, empat rantai besi yang mengikat dua tangan dan dua kaki si pemuda tak ampun lagi hancur berkeping-keping.
Ratu Dhika Gelang Gelang cepat turunkan sosok pemuda dari atas gundukan batu rata, dibaringkan di lantai candi, kepala dipangku.
Sebelum kembali mengajukan pertanyaan perempuan ini cepat kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam, dimasukkan ke dalam tubuh si pemuda melalui ubun-ubun dan pusar.
Dada yang luka diusap dengan telapaktangan kiri.
Sepasang mata si pemuda terbuka sedikit.
Begitu terbuka dia langsung menjerit.
Wajahnya yang tidak berdarah menunjukkan rasa takut amat sangat.
Ratu Dhika tepuk-tepuk wajah pemuda itu.
"Sebayang, tenang! Tidak ada yang perlu kau takutkan. Lihat ini aku. Ratu Dhika Gelang Gelang, kekasihmu!"
Dua mata membuka lebih lebar. Si pemuda mengenali. Mulutnya berucap lirih.
"Ratu, syukur kau datang. Satu hari saja terlambat pasti aku sudah jadi mayat..."
"Katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Ada koyakan luka di dadamu. Seseorang telah mencuri sesuatu dari dalam tubuhmu!"
"Kau betul Ratu. Lima hari lalu ada tiga orang muncul di rumahku. Yang dua hanya sebagai pengiring. Yang satu orang pelakunya. Aku di bawa ke tempat ini. Dadaku dirobek. Orang itu mengambil jimat Mutiara Mahakam dari dalam rongga dadaku."
"Kurang ajar! Kau tahu, kau mengenali siapa manusianya?!"
Tanya Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Aku mengenali. Tapi agaknya dia bukan tokoh yang menjadi otak perbuatan keji itu. Dia hanya seorang yang disuruh diperalat..."
"Tidak perduli siapa dia. Yang penting lekas kau katakan siapa nama orang itu!"
"Dia orang dari selatan, Namanya....."
"Bett....bettt!"
Belum sempat Sebayang Kaligantha menyelesaikan ucapan memberi tahu nama si penjebol dadal pencuri jimat Mutiara Mahakam, tiba-tiba dua buah I benda hitam melesat di udara.
Benda pertama cepat I dihantam Ratu Dhika Gelang Gelang dengan pukulan tangan kosong tangan kiri hingga mental dani menancap di dinding lapuk candi.
Benda kedua tak mampu disingkirkan.
Benda ini dengan telaki menancap tembus ke dalam tenggorokan Sebayang Kaligantha.
Darah muncrat.
Dari mulut si pemuda keluar suara menggorok pendek lalu kepalanya terkulai.
Mata nyalang tak berkesip.
Tubuhnya mulai dari leher sampai kepala serta dari leher sampai separuh dada tampak membiru pertanda ada racun jahat yang mengidap.
"Ragil Abang! Kejar pembunuh jahanam itu!"
Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang pada kucing merah.
Dia memeriksa keadaan Sebayang Kaligantha sebentar.
Setelah memastikan bahwa pemuda itu tidak bernyawa lagi, perempuan ini menggerung keras.
Puas menangis mayat yang masih hangat itu dibaringkan di lantai candi.
Sepasang mata yang terbuka disapu dengan tangan agar tertutup.
Setelah lebih dulu menotok leher Sebayang Kaligantha, Ratu Dhika mencabut benda yang menancap di tenggorokan kekasihnya.
Ternyata sebuah besi pipih bulat yang pinggirannya bergerigi dan berwarna biru karena dilapisi racun jahat.
Ratu Dhika Gelang Gelang masukkan senjata rahasia itu ke balik pakaiannya lalu melompat ke arah melesatnya kucing merah.
Setelah mengejar cukup lama dia tidak mampu menyusul atau menemui si kucing merah.
Ratu Dhika Gelang Gelang hentikan pengejaran.
Dua tangan diangkat ke atas lalu digoyang-goyang hingga dua gelang yang digelantungi kerincingan mengeluarkan suara keras.
Dengan berbuat begitu perempuan ini berharap kucingnya akan mendengar dan datang ke arahnya.
Namun sampai dua tangan terasa letih binatang itu tidak kunjung muncul.
"Sesuatu telah terjadi dengan Ragil Abang! Jangan-jangan dia sudah menemui ajal pula. Dibunuh manusia jahat pembunuh Sebayang Kaligantha!"
DI LANGIT sang surya mulai menggelincir ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat.
Ratu Dhika Gelang Gelang cemas sekali dan juga jengkel.
Sampai saat itu dia belum mendapatkan jejak si kucing merah.
Apa lagi jejak pembunuh Sebayang Kaligantha.
Apa saja yang menghalangi jalannya seperti batu, semak belukar bahkan pohon habis dilabraknya dengan tendangan hingga mencelat hancur.
Tiba-tiba perempuan yang sebenarnya adalah puteri ke tiga dari Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu yang pernah memerintah Kerajaan Bhumi Mataram, hentikan langkah.
Kepala diputar, memandang berkeliling.
Dia tidak melihat sesuatu tapi dia bisa mencium.
"Bau busuk. Busuk bangkai. Apa ada mayat binatang atau manusia sekitar sini?"
Ratu Dhika berucap seorang diri.
Dia menghirup udara dalam-dalam.
Hampir muntah taktahan oleh bau busuk yang menyengat memasuki jalan pernafasan sampai di rongga dadanya.
Namun dengan cara begitu dia berhasil mengetahui dimana beradanya sumber bau busuk.
Begitu dia melompat ke balik serumpunan semak belukar, perempuan ini berteriak girang.
"Pus Meong Ragil Abang!"Ternyata kucing merah itu masih hidup. Namun bersamaan dengan itu Ratu Dhika Gelang Gelang tersurut mundur sampai tiga langkah. PEMBUNUH DARI SELATAN DI DEPAN semak belukar lebat, ber sandar ke sebuah batu hitam besar duduk men-jelepok di tanah satu mahluk yang seumur hidup baru kali itu dilihat Ratu Dhika Gelang Gelang. Jika manusia mana kepalanya. Kalau hantu mengapa tubuhnya utuh seperti seorang manusia? Dan Ragil Abang si kucing merah duduk jinak di pangkuan mahluk aneh itu tengah diusap-usap kepalanya! Orang yang dudukdi tanah bersandar ke batu itu mengenakan baju dan celana biru. Bahu baju sebelah kiri dalam keadaan robek.Tubuhnya mulai dari leher ke atas tidak memiliki kepala. Sebagai pengganti kepala ada sekuntum bunga luar biasa besar, berwarna kuning berbintikcoklat. Bunga ini dilapisi lendir. Pada bagian tengah bunga mencuat kuncup berwarna hijau setinggi tiga jengkal. Bunga aneh ini menebar bau busuknya bangkai yang membuat Ratu Dhika Gelang Gelang hampirtidaksanggup menahan muntah.
"Bunga Bangkai...."
Ucap Ratu Dhika Gelang Gelang. Lalu perempuan ini berteriak.
"Ragil Abang! Apa yang kau perbuat di situ! Lekas kesini!"
Kucing merah di atas pangkuan mahluk aneh lalu melompat dan lari ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang, langsung naik ke atas bahunya.
"Pemilik kucing merah telah datang. Aku gembira. Salam sejahtera untukmu..."
Ratu Dhika Gelang Gelang terbelalak. Mahluk yang punya kepala berbentuk Bunga Bangkai itu ternyata bisa bicara! "Mahluk aneh! Kau ini hantu atau manusia?!"
Membentak Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Aku adalah sebagaimana kau melihat diriku saat ini,"
Jawab mahluk yang ditanya yaitu Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai.
"Kau apakan kucingku?!"
"Tidak aku apa-apakan. Dia kucing baik. Aku tadi hanya mengelus-elusnya. Ternyata kucingmu itu punya kepandaian tinggi. Tadi dia tengah mengejar seseorang.
"Seseorang siapa?!"
Tanya Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Mana orangnya?!"
"Aku tidak tahu siapa orang itu.Tapi saat ini dia adi atas sana. Sudah-jadi mayat!"
Pangeran Bcnga Bangkai menunjuk ke atas pchon besar di belakang fatu Dhika Gelang Gelang.
Ketika perempuan ini erputar dan mendongak ke atas, dia melihat seorang tua bsrkumis dan berjanggut putih, berpakaian serba hitam, tergelimpang melintang di atas cabang pohon.
Ratu Dhika berpikir-pikir kalau kucingnya yang membunuh orang itu mengapa korban berada di atas cabang pohon? Lalu mengapa tidak ada tanda-tanda luka bekas cakaran atau gigitan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah orang itu yang telah membunuh Sebayang Kaligantha? Dari dalam saku pakaiannya mahluk tanpa kepala berpakaian serba biru keluarkan sebuah benda.
Kejut Ratu Dhika Gelang Gelang bukan kepalang ketika dia melihat benda apa yang ada di tangan mahluk aneh bau bangkai itu.
Benda tersebut adalah benda pipih bulat bergerigi dan berwarna biru seperti yang dipergunakan orang untuk membunuh Sebayang Kaligantha.
Untuk memastikan dia tidak keliru Ratu Dhika Gelang Gelang keluarkan benda yang disimpannya di balik pakaian, yang sebelumnya membunuh dan menancap di leher kekasihnya.
Sama! "Jahanam keparat! Jadi kau pembunuhnya!"
Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang. Wuttt! Dia lemparkan besi pipih bulat bergerigi dan mengandung racun itu ke arah mahluk berkepala Bunga Bangkai.
"Hyang Bathara Jagat! Tidak ada permusuhan mengapa kau menyerang dengan benda beracun! Siapa yang aku bunuh?!"
Nalapraya berseru sambil cepat melompat ke samping.
"Kau membunuh Sebayang Kaligantha!"
"Siapa itu Sebayang Kaligantha? Aku tidak kenal!"
Teriak Nalapraya. Saat itu besi bulat bergerigi yang dilemparkan ke arahnya walau bisa dielakkan namun masih sempat menyambar pucuk hijau yang menjadi kepalanya hingga tergores dan mengepulkan asap, membuat bau bangkai busuk semakin menjadi-jadi.
"Bagus! Mahluk iblis! Kau punya ilmu juga rupanya! Keluarkan semua ilmu kepandaianmu! Kalau kau tidak mampus dalam tiga jurus lebih baik aku bunuh diri!"
Tangan kanan Ratu Dhika Gelang Gelang berkelebat ke depan.
Bukan untuk melepaskan pukulan sakti tapi tangan itu justru berubah panjang.
Lima jari yang kini membentuk cakar besi lancip melesat ke dada Nalapraya.
Siap untuk menjebol dada dan menghancurkan jantung! Inilah serangan bernama Cakar Besi Penghancur Berhala! "Hai! Apa salahku kau menyerang seganas mi?!"
Kembali Pengeran Bunga Bangkai berteriak sambil melompat mundur.
Breettt!Tak urung dua ujung jari lancip yang sudah berubah menyerupai besi hitam legam masih sempat merobek dada pakaian birunya.
Melihat serangannya lagi-lagi tidak mampu mengenai sasaran Ratu Dhika Gelang Gelang menjadi Kalap.
Didahului teriakan dahsyat perempuan ini kembali menyerbu.
Dua tangan di pentangkan ke depan.
Sepuluh kerincingan yang tergantung di gelang emas keluarkan suara nyaring.
Bersamaan dengan itu sepuluh sinar kuning menyambar.
Pada saat itulah tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah yang berada di bahu kanan Ratu Dhika tegakkan ekor, mengeong keras lalu melompat dan mendekam di bahu kiri Nalapraya.
Binatang ini kembali mengeong sambil lidahnya menjilat-jilat bahu Pangeran Bunga Bangkai.
"Ragil Abang! Apa yang kau lakukan! Lekas menyingkir atau kau akan mati sekalian!"Teriak Ratu Dhika dalam amarahnya yang meledak karena terpaksa batalkan serangan maut.
"Kucingmu mau menunjukkan bahwa dia bersahabat dengan diriku. Jika kami bersahabat maka berarti kau juga adalah sahabatku!"
"Hantu kesasar! Enak saja kau bicara!"
Hardik Ratu Dhika Gelang Gelang begitu mendengar kata-kata Nalapraya Namun kalau tadi dia sangat marah melihat perbuatan Ragil Abang yang melompat ke bahu mahluktanpa kepala itu, kini amarahnya mengendur sedikit dan ini membuat dia mau berpikir lebih jernih.
"Ragil Abang memang menunjukkan sikap bersahabat dengan mahluk aneh kesasar itu. Mengapa?"
Ratu Dhika ingat pada mayat yang melintang di cabang pohon.
Perempuan ini angkat tangan kanannya.
Diarahkan pada mayat di atas pohon.
Lalu dia kerahkan ilmu bernama Selaksa Angin Menghisap Roh.
Begitu tangannya bergerak sedikit maka mayat 'di atas pohon tertarik keras ke bawah dan jatuh bergedebukdi tanah.
Dengan cepat Ratu Dhika Gelang Gelang memeriksa pakaian orang itu.
Dalam sebuah kantong kain berwarna hitam dia menemukan lima buah besi bulat pipih bergerigi berwarna biru.
"Kurang ajar!"
Rutuk Ratu Dhika.
"Tapi...."
Perempuan ini angkat kepala, memandang melotot pada Nalapraya.
"Mahluk aneh, katakan dengan jujur. Bagaimana kau juga memiliki benda pembunuh seperti ini?! Jangan-jangan kau menipuku. Bukan mustahil kau adalah kawan dari kakek ini!"
"Aku tidak memiliki benda pembunuh itu. Yang aku keluarkan dan aku perlihatkan padamu tadi adalah senjata rahasia yang dipergunakan kakek itu untuk menyerang kucing milikmu. Ketika aku berusaha menolong kucingmu, kakek yang aku tidak kenal itu berbalik menyerangku. Aku bermaksud hanya melumpuhkannya.Tapi dia malah semakin ganas. Aku terpaksa menendangnya hingga mencelat mental ke atas cabang pohon. Ketika terkapar di atas cabang sana, sebuah benda jatuh dari balik pakaiannya. Ternyata senjata rahasia berbentuk besi bulat biru dan bergerigi itu. Si kakek menemui kematian diatas pohon. Mungkin ada isi perutnya yang pecah. Aku menyesal, aku merasa berdosa. Seumur hidup baru hari ini aku membunuh orang..."
Mendengar ucapan Nalapraya Ratu Dhika Gelang Gelang tak urung jadi menganga tercengang. Kucing merah di atas bahu Nalapraya mengeong panjang lalu melompat kembali ke bahu tuannya.
"Kalau begitu aku telah kesalahan mengira,"
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Aku tengah mengejar seorang yang telah membunuh kekasihku dengan senjata berbentuk besi bulat bergerigi berwarna biru seperti ini. Aku yakin kakek ini pelakunya. Apa kau mengenal tua bangka jahanam ini?"
Sambil bertanya sambil kakinya bergerak menendang. Sosok mayat yang ditendang mencelat mental dengan pinggang hancur! Nalapraya gelengkan kepala.
"Aku harus mengurus jenazah Sebayang Kaligantha. Tapi ada beberapa hal perlu aku tanyakan padamu..."
"Soal jenazah kekasihmu itu, kau tak usah merisaukan. Para Dewa telah mengurusnya baik-baik."
Ratu Dhika Gelang Gelang kerenyitkan kening. Sepasang alis mata hitam kereng mencuat ke atas.
"Enaknya kau berkata begitu..."
"Aku tidak berdusta. Ada serombongan orang yang kebetulan lewat. Mereka menemukan jenazah kekasihmu. Mereka turun tangan membakar jenazah itu..."
"Aku tidak percaya ucapanmu. Kau berada di sini. Bagaimana kau bisa tahu. Apa kau bisa melihat? Matapun kau tak punya!"
"Sudahlah, nanti kau kembali saja pergi ke tempat dimana kekasihmu menemui kematian. Kau akan membuktikan sendiri apakah aku ini bohong atau bagaimana."
Ratu Dhika Gelang Gelang pandangi manusia berkepala Bunga Bangkai itu beberapa lama. Dalam hati dia mulai menduga-duga. Jangan-jangan mahluk ini adalah Dewa yang menjelma turun ke bumi. Maka selanjutnya perempuan ini bicara hati-hati.
"Sahabatku yang aku tak tahu namanya, pertanyaan apa yang hendak kau sampaikan padaku?"
Bertanya Nalapraya.
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat-mahluk sepertimu. Tubuh manusia, bisa bicara tapi kepala berupa Bunga Bangkai!"
"Aku insan yang malang. Kutukan Dewa jatuh atas diriku sebagai hukuman."
"Kalau dia dikutuk berarti dia bukan utusan atau penjelmaan Dewa..."
Pikir Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Hukuman apa? Kenapa kau sampai dikutuk begini rupa?"
Sang Ratu kemudian bertanya.
"Aku takbisa menceritakan padamu..."
"Kau tinggal sekitar sini?"
Tanya Ratu Dhika.
"Di sebuah goa tak jauh dari sini. Aku tinggal dan bertapa di sana."
"Kau tengah memperdalam ilmu kesaktian atau tengah berusaha menebus dosa agar ujudmu kembali ke bentuk semu la?"
Nalapraya tidak menjawab.
"Kau punya nama?"
"Maaf, aku tidak bisa memberitahu."
"Kau mahluk aneh. Lalu dari mana asal usulmu?"
"Aku bukan orang Bhumi Mataram. Aku berasal dari Kerajaan Tarumanagara."
"Kalau begitu agaknya kau tengah mencari atau ingin mendapatkan sesuatu..."
"Saat ini aku hanya ingin pengampunan dari Para Dewa. Agar kutukan ku bisadiakhiri lebih cepat..."
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa.
"Tidak, aku tidak percaya. Kau bertapa bukan hanya karena itu. Ada satu dorongan lain yang lebih kuat yang membuat kau datang jauh-jauh dari Tarumanagara. Kalau kau mau bersikap jujur padaku mungkin aku bisa menolong. Bukankah aku harus berterima kasih padamu karena kau telah menanam budi menyelamatkan kucing merahku?"
Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa.
"Sahabatku, berbuat baik menanam budi dengan mengharapkan pamrih bukanlah satu kebajikan tapi merupnknn kebijakan untuk mendapatkan sesuatu. Yang Maha Kuasa tidak suka pada orang-orang seperti itu."
Ratu Dhika Gelang Gelang kembali terkesiap mendengar ucapan orang. Nalapraya kemudian berkata lagi.
"Sahabat, dugaanmu memang benar. Kau mungkin bisa menolong jika kau ikhlas melakukan dan bukan aku yang meminta. Aku tengah mencari seseorang..."
Kata Nalapraya pula.
"Siapa?"
"Aku tengah mencari istriku."
Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut.
"Astaganaga! Kau tengah mencari istrimu katamu? Hik...hik! Tidak sangka kau punya seorang istri."
"Aku tidak bisa menceritakan bagaimana kejadiannya aku sampai punya istri. Semua sudah kehendak danTakdirYang Maha Kuasa. Semua serba gaib."
"Gaib?!"
Pengeran Bunga Bangkai mengangguk.
"Apakah istrimu minggat atau diculik orang, atau kabur bersama kekasih barunya?"
"Tidak satupun dugaanmu yang benar..."
"Lalu?"
"Kami berpisah setelah berkumpul selama satu minggu. Di satu tempat yang aku tidak tahu dimana..."
"Ceritamu semakin aneh. Bagaimana ciri-ciri istrimu? Apakah dia juga sepertimu. Berkepala bunga busuk begini rupa?"
"Istriku manusia biasa sepertimu. Tingginya hampir sama denganmu. Tapi kulitnya putih bersih tidak hitam sepertimu. Wajahnya cantik, tidak diberi dandanan mencolok sepertimu. Rambut hitam sepinggang..."
Ratu Dhika tersenyum.
"Di Bhumi Mataram ini ada puluhan perempuan seperti itu..."
"Itulah yang menyulitkan diriku dalam mencarinya. Apa lagi aku juga tidak tahu namanya."
Dua bola mata Ratu Dhika Gelang Gelang terbeliak.
"Kau bercanda!"
Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai gelengkan kepala.
"Apa katamu? Mana ada orang tidak tahu nama istrinya sendiri! Kucingku saja punya nama."
"Aku yakin istriku punya nama. Tapi aku tidak pernah tahu siapa namanya."
Dari pucuk hijau di atas tubuh Nalapraya terdengar tarikan nafas panjang.
"Sebelum berpisah istriku memberikan sehelai sapu tangan yang dipotong dua. Satu potongan diberikan padaku, satu potongan lagi ada padanya."
Dari balik pakaiannya Pangeran Bunga Bangkai kemudian keluarkan robekan sapu tangan merah muda yang diberikan Ananthawuri pada malam terakhir sebelum mereka berpisah lalu diserahkan pada Ratu Dhika.
Perempuan ini ambil potongan sapu tangan yang diberikan, diperhatikan dan dibolak balik lalu berkata.
"Sahabatku malang yang kehilangan istri. Aku tidak tahu.Tapi orang atau perempuan yang memiliki sapu tangan merah muda seperti ini sangat banyak di Bhumi Mataram. Aku sendiri punya lebih dan satu! Lalu dari balik kemben merah yang dikenakannya dia keluarkan lima helai sapu tangan merah muda! Setelah memasukkan lima sapu tangan ke balik pakaian, Ratu Dhika kembali meneliti potongan sapu tangan merah muda.
"Di sini sama sekali tidak ada sulaman atau tanda-tanda lain yang menyatakan siapa pemiliknya. Kurasa sangat sulit menjajagi dan mencari istrimu melalui potongan sapu tangan merah muda ini."
"Cobalah kau cium. Mungkin kau bisa mendapat petunjuk,"
Kata Nalapraya pula. Ratu Dhika tempelkan sapu tangan merah muda ke hidungnya lalu menghirup dalam-dalam. Dia mencium harum bunga melati.
"Aku mencium bau bunga melati. Segar sekali,"
Kata Ratu Dhika kemudian.
"Sudah berapa lama sapu tangan ini kau simpan?"
"Lebih dari delapan purnama."
"Adalah aneh kalau bau bunga yang ada masih melekat."
"Tubuh istriku seperti itu. Wangi seharum bunga melati."
Memberi tahu Nalapraya. Ratu Dhika tatap mahluk tanpa kepala itu dengan pandangan sayu sedih kemudian berkata.
"Aku akan berbuat sebisaku. Mudah-mudahan aku bisa menolong."
"Terima kasih. Lakukanlah dengan ikhlas. Sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas merupakan sebagian ibadah dan sudah merupakan sebagian keberhasilan."
"Ya...ya..."
Jawab Ratu Dhika beruiang ulang sambil anggukkan kepala dan penuh kagum atas ucapan orang. Lalu dia bertanya.
"Kau mau kemana sekarang?"
"Aku akan kembali ke pertapaan di Tegalrejo."
"Ada lagi yang mungkin akan kau sampaikan padaku?"
"Rasanya tidakada.Tapi....Memang ada satu hal. Istriku itu. Konon dia tengah mengandung. Mungkin akan segera melahirkan."
"Oala.....Dewa Maha Agung."
Ucap Ratu Dhika Gelang Gelang sambi tampungkan dua tangan ke atas dan mulut berkomat kamit seperti tengah memanjatkan doa. Ketika perempuan ini angkat kepala, sosok Pangeran Bunga Bangkai tak ada lagi di hadapannya.
"Hyang Jagat Batara."
Ucap Ratu Dhika."
Mahluk seperti itu bisa punya istri.
Dan sang istri mau melahirkan.
Hyang Jagat Dewa! Bagaimana kelak ujud bayi itu? Yang Maha Kuasa Dewa berbuat se-kehendakNya.
Wahai Para Dewa.
Aku tidaktahu siapa sebenarnya mahluk tadi.
Tapi aku mohon pada Para Dewa, kasihani dia dan tolong dia."
Lalu sambil mengusap Ragil Abang dia tinggalkan pula tempat Itu menuju bukit kapur dimana terletak bangunan candi runtuh tempat Sebayang Kaligantha menemui ajal dibunuh dengan senjata rahasia beracun.
SANG RATU DAN SANG PENGERAN TAK LAMA setelah Ratu Dhika Gelang Gelang meninggalkan candi runtuh di bukit kapur serombongan pemuda yang berburu rusa dan kelinci di hutan jati sampai di candi itu.
Mereka yang berjumlah delapan orang ini bermaksud istirahat sebelum kembali pulang setelah mendapatkan hasil buruan berupa tiga ekor rusa dan hampir selusin kelinci.
Begitu masuk ke dalam candi kaget para pemburu muda ini bukan alang kepalang.
Di lantai candi mereka melihat sesosoktubuh terbujur dengan leher koyak dan sebagian tubuh bergelimang darah.
Beberapa di antara pemuda itu lebih kaget lagi karena mengenali, sosok yang sudah jadi mayat itu bukan lain adalah Sebayang Kaligantha sahabat mereka.
Para pemuda itu lalu berunding, apa yang akan mereka lakukan dengan jenazah Sebayang Kaligantha.
Jika dibawa pulang kerumahnya di desa dekat Kaliprogo perjalanan cukup jauh.
Selain itu Sebayang Kaligantha adalah pemuda yang hidup sebatang kara, tidak punya orang tua ataupun saudara dan sanak keluarga.
Akhirnya diputuskan untuk membakar jenazah Sebayang Kaligantha.
Apa lagi diantara mereka ada seorang yang cukup punya pengetahuan di bidang keagamaan hingga jenazah pemuda itu bisa diurus sesuai dengan agama yang dianutnya.
Maka dikumpulkanlah kayu bakar sebanyak mungkin, ditumpukdi pelataran candi.
Hanya sesaat setelah kayu dibakar dan api mulai berkobartiba-tiba sosok Sebayang Kaligantha bergerak ke atas.
Semua orang yang ada di tempat itu bukan saja menjadi kaget tapi juga ketakutan.
Mereka yang tengah membaca doa, berucap terbata-bata akhirnya tak sanggup lagi melanjutkan doa.
Ketika jenazah yang naik ke atas berada sekitar dua jengkal dari atas tumpukan kayu api yang menyala mendadak ada cahaya tiga warna memancar keluar dari tubuh Sebayang Kaligantha.
Ketika cahaya tiga warna itu melesat ke langit, jenazah Sebayang Kaligantha juga melesat seolah mengikuti.
Di satu ketinggian cahaya tiga warna lenyap, tubuh Sebayang Kaligantha menebar seperti meledak lalu berubah menjadi asap hitam dan akhirnya lenyap dari pandangan mata semua orang yang ada di candi! "Dewa Jagat Bathara! Apa yang terjadi?!"
Seorang pemuda sahabat yang sangat dekat dengan Sebayang Kaligantha berseru keras. Tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak.
"Aku juga ingin tahu apa yang terjadi?!"
Lalu terdengar suara bergemerincing disusul suara kucing mengeong! Di lain kejap seorang perempuan gemuk berkulit hitam, mengenakan kemben merah dan berdandanan seronok berdiri di hadapan delapan pemuda.
Ratu Dhika Gelang Gelang! Mengenali siapa yang datang yaitu perempuan muda berkepandaian tinggi yang mereka ketahui adalah kekasih Sebayang Kaligantha delapan pemuda jadi timbul keberanian lalu menceritakan apa yang terjadi mulai dari awal sewaktu mereka menemukan mayat pemuda sahabat mereka itu dalam keadaan leher hampir putus, tubuh biru bersimbah darah.
"Aku berada di sini sewaktu Sebayang menemui ajal. Dibokong seseorang secara keji.Yang aku ingin tahu apa yang terjadi setelah kalian menemukan mayatnya."
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula. Seorang dari delapan pemuda memberi penjelasan.
"Kami mengumpulkan kayu api untuk menyempurnakan jenazah Sebayang menuju alam baka. Ketika api mulai menyala tiba-tiba tubuh Sebayang naik ke atas. Lalu kami lihat ada cahaya tiga warna, hitam, biru dan merah memancar keluar dari tubuh Sebayang. Cahaya itu melesat ke langit. Tubuh Sebayang mengikuti. Di atas sana tubuh Sebayang seperti meledak. Berubah menjadi kepulan asap lalu lenyap."
"Cahaya tiga warna. Hitam, merah dan biru."
Mengulang Ratu Dhika Gelang Gelang.
Dia ingat peristiwa sewaktu bersama Arwah Ketua diserang cahaya tiga warna dalam menghadapi Sri Sikaparwathi jejadian.
Ratu Dhika menatap ke langit."Tidak mustahil Sebayang Kaligantha sudah menjadi korban penggandaan pula.
Mudah-mudahan pemuda itu masih hidup.
Mungkin dalam keadaan sengsara bahkan bisa saja dalam keadaan sekarat.
Aku harus mencari tahu dimana tubuh aslinya berada."
Lalu Ratu Dhika ingat pada manusia aneh berkepala Bunga Bangkai.
"Jangan-jangan dia manusia pengendalinya. Bisa juga dia mata-mata pihak selatan. Aku mendengat kabar orang selatan telah mempersiapkan satu pasukan besar untuk menyerbu Bhumi Mataram. Apa yang harus aku lakukan?"
Sang Ratu berpikir sejenak.
"Aku harus mencari manusia Bunga Bangkai itu. Dia memberi keterangan setengah-setengah. Dia mengatakan kejadian ada orang yang turun tangan menolong membakar jenazah Sebayang.Tapi dia tidak menceritakan perihal cahaya tiga warna. Jika kutanya dia tidak mau memberi keterangan jelas biar aku bunuh saja!"
Setelah mengucapkan terima kasih pada delapan pemuda dan meminta mereka agar segera kembali pulang ke desa Ratu Dhika Gelang Gelang segera menuju desa Tegal rejo.
Menjelang tengah malam dia sampai di lereng bukit dimana terletak goa tempat kediaman dalam keadaan kosong.Takada tanda-tanda ada orang yang tinggal di dalam goa itu.
Tidak ada ranjang tidur, juga tidak ada sepotong perabotanpun.
Hal ini membuat Ratu Dhika Gelang Gelang merasa bahwa dia benar-benar telah ditipu orang.
Dalam marahnya Ratu Dhika Gelang Gelang kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan hingga tangan itu berpijar merah.Tidak bertemu orang yang dicari, menghancurkan goa itu sudah cukup membuat hatinya puas.
Tiba-tiba kucing merah di bahu Ratu Dhika Gelang Gelang merunduk dan mengeong keras.
Gerakan Ratu Dhika agak tersendat namun akhirnya pukulan sakti di tangan kanan dilepaskan juga ke dalam gua.
Pukulan bernama Langit Robek Bumi Terbongkar! Sinar merah berkiblat.
Di saat yang sama dinding sebelah dalam goa tiba-tiba bergerak membuka.
Dari balik dinding muncul keluar sosok Pangeran Bunga Bangkai.
Begitu melihat sinar merah melabrak ke arahnya Pangeran ini berteriak kaget dan cepat bertindak mundur.
"Sahabat! Mengapa...."
Ucapan Pangeran Bunga Bangkai hanya sampai di situ karena sinar merah telah lebih dulu menghantam tubuhnya sebelah depan.
Dia masih sempat melihat ada selarik sinar putih tipis turun dari atas atap goa seperti membuat tabir perlindungan bagi dirinya.
Namun begitu sinar merah menghantam tak ampun Pangeran Bunga Bangkai terpental.
Bagian dalam goa hancur berkeping-keping.
Ragil Abang kembali mengeong keras sementara Ratu Dhika Gelang Gelang terpental keluar dari goa yang sudah runtuh hancur, jatuh setengah berlutut dengan sekujur tubuh bergetar dan muka pucat.
"Apa yang terjadi. Apa yang sesungguhnya terjadi. Di balik dinding goa itu ternyata....Dewa Agung, apakah aku....Tapi aku bersyukur kalau si penipu jahat itu telah menemui ajal!"
Tiba-tiba ada kilatan cahaya putih disusul suara bergema.
"Kematian adalah bagian setiap manusia di dunia fana agar bisa sampai ke alam baka. Namun kematian manusia tidak ditentukan oleh manusia lainnya. Rah, Dhika Gelang Gelang. Kau telah bertindak diluar batas kewajaran. Kau telah mencelakai seseorang yang telah menjadi pilihan Para Dewa untuk ikut menyelamatkan Bhumi Mataram dari angkara murka...."
"Si..siapa yang bicara?"
Ratu Dhika tergagap] pucat.
"Roh Agung?"
"Ratu Dhika....."
"Tunggu! Siapa sebenarnya manusia berkepala Bunga Bangkai itu!"
"Ratu Dhika, kau tidak pantas memotong ucapanku. Pasang telinga dan dengarkan baik-baik. Atau kutukan atas diri orang itu akan berpindah pada dirimu!"
Mendengar kata-kata tanpa ujud itu Ratu Dhika Gelang Gelang kini sadar kalau dia bukan berhadapan dengan sembarang mahluk gaib.
"Hyang Jagat Batara Agung, saya yang hina ini mohon maafmu. Saya mengaku salah. Telah melepas tangan tanpa menyelidiki lebih dulu. Saya siap menerima hukuman."
Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak