Ceritasilat Novel Online

Samurai Pengembara I 1


Shugyosa Samurai Pengembara I Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara) Buku Kesatu oleh Salandra Cover oleh Tony G.

   Desain sampul oleh M.

   Soetrisno Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994 Kutulis untuk Kissumi CATATAN UNTUK PEMBACA JEPANG di pertengahan abad keenam belas, sesudah keshogunan Ashikaga runtuh, terjadilah pertarungan dan perebutan kekuasaan di antara para jenderal dan para daimyo.

   Oda Nobunaga, penguasa wilayah Owari, mengerahkan ribuan samurai untuk menaklukkan musuh-musuhnya.

   Termasuk melakukan pengejaran terhadap putra Ashikaga yang berhasil diselamatkan panglima perangnya -Saburo Mishima.

   Nobunaga, shogun yang terkenal brutal, bodoh, dan bengis ini hidup di tengah jerat nafsu serta ambisi kekuasaan gundiknya -Naoko.

   Seks telah membuat No-bunaga kehilangan pikiran waras, sehingga ia menjadi brutal dan tidak berperadaban.

   Ia mulai menyerbu Im-agawa, penguasa Suruga.

   Lalu Tokugawa Ieyasu, pen-guasa Mikawa.

   Penaklukan terus berusaha dilakukan untuk memperluas wilayahnya.

   Dalam masa penuh pergolakan itulah, kisah ini ter-jadi.

   Kisah tentang putra Ashikaga yang ingin kembali berkuasa, seorang samurai yang siap menempuh jalan pedang dengan kesetiaan sampai mati, ambisi kekua-saan seorang shogun yang ingin memiliki kekuasaan mutlak, gundik yang sanggup menggunakan gelora seks untuk meraih kekuasaan, selir yang disingkirkan, serta cinta seorang wanita yang tulus suci, dan keari-fan pendeta yang tiada batas.

   Novel Shugyosa penuh intrik, ambisi kekuasaan, pertarungan, tipu muslihat, balas dendam, seks, cinta, dan ajaran hidup tentang kesetiaan, cita-cita, serta ke-arifan.

   Sebuah novel yang mengungkap sisi lain yang tak ditulis Eiji Yoshikawa dalam novel Musashi atau-pun Taiko, atau sisi lain yang tak ditulis James Clavell dalam Shogun.

   Novel yang lain daripada yang lain, dan mempesona dari awal sampai akhir.

   Barang siapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah.

   Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas segalanya.

   SOEN-TZU Buku Kesatu PEMBANTAIAN SABURO MISHIMA menarik tali kekang kudanya.

   Ia menatap pasukan musuh yang kian dekat.

   Lebih dari tiga ratus samurai telah dikirim Nobunaga.

   Rupanya lelaki ambisius itu mengerahkan seluruh pasukannya untuk menggempur Ashikaga.

   Angin bertiup kencang di Lembah Aga.

   Jejak-jejak kaki prajurit mengakibatkan debu tipis beterbangan di udara.

   Matahari persis di puncak kulminasi, sehingga panasnya menyengat kulit.

   Tanah-tanah karang yang menjadi dinding lembah tersebut, tampak memerah, mirip batu terbakar.

   Namun cuaca yang menyakitkan itu tidak mempengaruhi semangat prajurit Nobunaga.

   Mereka terus melangkah dengan tegap, seakan keme-nangan telah berada dalam genggamannya.

   Saburo Mishima mengawasi gerakan musuh dari persembunyiannya.

   Matanya yang setajam mata elang, mengikuti gerak-gerik musuh dengan penuh kewaspa-daan.

   "Ini adalah pertempuran hidup dan mati,"

   Teriak Mi-shima pada tentaranya.

   "Shogun Ashikaga tidak menginginkan kita kembali dengan kekalahan. Kita akan sambut kedatangan musuh dengan keberanian atau kematian!"

   Semua prajurit menatap Saburo dengan diam.

   Se-mua seakan penuh tekad menyerahkan jiwa raga me-reka bagi pertarungan yang bakal terjadi.

   Mishima memacu kudanya.

   Sekali lagi ia ingin me-mastikan bahwa semuanya telah siap.

   Ini merupakan pertempuran paling berat yang pernah ia hadapi.

   Menurut berita, sejumlah daimyo (tuan tanah) telah bergabung dengan Nobunaga.

   Bahkan Konishiwa Hi-deaki, daimyo Kiyoto, telah berkhianat.

   Ia kini menjadi sekutu musuh.

   Bila ini benar, keadaan memang ru-nyam.

   Nobunaga dapat melakukan pengepungan dari segala penjuru.

   Istana Kamakura sulit diselamatkan.

   Saburo, seorang panglima perang Shogun Ashikaga.

   Perawakannya kekar dengan raut muka berbentuk oval.

   Ia seorang samurai keturunan Akamatsu yang sangat tersohor di Jepang.

   Kini ia duduk di atas pelana kudanya, lengkap dengan pakaian perang.

   Sebagaimana layaknya seorang panglima perang, ia mengenakan kimono dari kain brokat bergambar matahari, dan baju bersirip besi yang didesain sangat indah.

   Di pinggangnya terdapat naginata (sebuah pedang berbilah panjang), dan pedang pendek yang gagangnya berlapis pe-rak.

   Takeshi memacu kudanya, mendekati Saburo Mi-shima.

   "Saburo, mereka sudah memasuki jarak perlawa-nan."

   "Siapkan panah!"

   "Mereka tinggal menunggu aba-aba."

   "Tunggu dulu, aku ingin memastikan dapat meng-hancurkan mereka."

   "Kita harus melakukan dengan cepat, sebelum me-reka sampai di celah bukit, sehingga dengan mudah mereka menemukan tempat berlindung."

   "Sebentar lagi kita akan hancurkan mereka."

   "Kami semua menunggu perintahmu."

   Saburo Mishima tetap diam, menunggu.

   Ia berpe-gang teguh pada ajaran Soen Tzu.

   Panglima perang yang memenangkan pertempuran adalah dia yang membuat banyak perencanaan sebelum peperangan dimulai.

   Panglima perang yang kalah adalah dia yang sedikit membuat perencanaan.

   Membuat rencana dan strategi adalah kekuatan menuju ke kemenangan sejati.

   Takeshi memutar balik kudanya.

   Ia memacu bina-tang itu menuju tempat perlindungan pasukan panah.

   Ada sekitar enam puluh pasukan panah di balik Lem-bah Aga.

   Mereka telah siap dengan memasang anak panah di busurnya.

   Pasukan Saburo kini berada di atas bukit yang ter-lindungi hutan azaela.

   Posisi ini sangat menguntungkan, karena dengan mudah mereka mengamati mu-suhnya.

   Pasukan Nobunaga sendiri, sekarang bergerak me-masuki celah bukit.

   Mereka berada dalam posisi terje-pit oleh lereng bukit dan hutan azaela.

   Bagi seorang ahli perang, biasanya akan menghindari tempat-tempat seperti ini, karena mereka seperti memasuki pe-rangkap musuh.

   Namun Nobunaga tahu tentara Ashi-kaga tinggal sedikit.

   Jumlah mereka tak mungkin da-pat menghancurkan tentaranya.

   Karena itu tanpa pe-rasaan takut, Nobunaga memerintahkan penyerbuan ke Istana Kamakura.

   Kekuatan pasukannya tak akan mudah ditaklukkan oleh medan perang yang tidak menguntungkan.

   Saburo Mishima kini duduk tegak di atas pelana.

   Pandangannya lurus ke arah pasukan musuh yang bergerak mendekat.

   Bendera-bendera warna merah dan biru berkibaran tertiup angin.

   Gerakan mereka mirip segerombolan binatang yang menderap ke depan.

   Sinar mata mereka mirip mata serigala haus darah.

   Tiba-tiba terlintas di pelupuk mata Mishima, wajah istri dan anaknya -Itzumi dan Kojiro.

   Mereka kini berada di tengah keluarga istana, menanti kabar tentang pertempuran ini.

   Bila pertempuran kali ini berhasil dimenangkan, bukan mustahil Ashikaga akan meng-angkatnya sebagai daimyo -bangsawan Jepang yang sangat terhormat.

   Ia akan memiliki istana sendiri, pe-ngawal sendiri, dan wilayah kekuasaan yang luas.

   Ju-ga tanah pertanian yang akan memberinya kemakmu-ran.

   Tetapi sebaliknya, bila kali ini ia kalah, per-tempuran ini akan menjadi jalan baginya untuk mati.

   Mati sebagai seorang pengawal Ashikaga tentu bukan hal yang remeh, apalagi memalukan.

   Hampir sepuluh tahun Saburo Mishima menjadi pengawal istana.

   Ia hidup di tengah kebahagiaan ber-sama anak dan isterinya.

   Itzumi, seorang wanita asal Kiyoto, telah memberinya seorang anak laki-laki bernama Kojiro.

   Selama ini ia hidup untuk tiga orang.

   Ashikaga, Itzumi, dan Kojiro.

   Serbuan Nobunaga akan menjadi ujian bagi Saburo Mishima dalam melindungi orang-orang yang ia cintai.

   Nyawaku kupertaruhkan untuk ketiganya.

   "Sebaiknya sekarang kita menyerang,"

   Tiba-tiba Ta-keshi menyadarkan Saburo Mishima dari lamunan.

   "Apabila mereka melewati celah itu, kita akan sulit menekan pertahanannya."

   "Baiklah. Mari kita hancurkan mereka."

   "Saya akan menggerakkan pasukan dari belakang."

   "Terobos langsung ke jantung pertahanan mereka,"

   Kata Saburo mengingatkan.

   "Hanya satu cara yang akan membuat kita memenangkan pertarungan ini. Buat mereka terpisah-pisah."

   "Saya akan mencoba membuat mereka kocar-kacir."

   "Kita akan bersandar pada Soen Tzu untuk meng-hancurkan musuh."

   Saburo mengenakan topi baja, ia mengikat talinya di bawah dagu. Kemudian mencabut pedangnya. Ca-haya matahari berpendar berkilauan di bilah pedang Akamatsu itu. Kini Saburo melihat pasukan Nobunaga memasuki lembah.

   "Apakah sudah ada berita dari Selatan?"

   "Belum,"

   Jawab Takeshi.

   "Seharusnya sudah ada kurir yang kemari."

   "Aku khawatir Takeda mengalami kesulitan."

   "Kita tidak harus memikirkan mereka. Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana caranya meng-hancurkan musuh di depan kita."

   Saburo Mishima melirik Takeshi, ia merasa tersindir dengan ucapan lelaki itu. Karena itu ia segera meng-angkat pedang, lalu berteriak memberi komando.

   "Seraaaang!"

   Ratusan anak panah beterbangan menghujani pa-sukan Nobunaga.

   Anak panah itu mirip hujan deras.

   Jerit kematian segera terdengar.

   Tubuh-tubuh berge-limpangan dengan erangan sekarat yang memilukan.

   Sergapan tak terduga itu telah menimbulkan kepani-kan pada musuh.

   Kesempatan ini tak ingin disia-sia-kan oleh Mishima.

   Ia segera memerintahkan pasukan berkuda yang berada di belakang untuk menyerang.

   "Hancurkan mereka!"

   Maka dengan teriakan penuh semangat membunuh, ratusan pasukan berkuda merangsak maju.

   Pertempu-ran dahsyat pun terjadi.

   Pedang-pedang berkelebat seiring dengan jeritan kematian yang mendirikan bulu roma.

   Pasukan Nobunaga yang menang dalam jumlah, segera membentuk benteng pertahanan dengan perisai dan tombak.

   Namun tentara Ashikaga menyerbu bagai air bah sehingga pertahanan itu berantakan.

   Saburo Mishima membabat ke kanan ke kiri dari punggung kudanya.

   Sabetan pedangnya membuat be-berapa samurai langsung tersungkur dengan luka me-nganga.

   Darah musuh muncrat ke tubuhnya, namun lelaki itu tak mempedulikannya.

   Di dalam benaknya menggelegak semangat peperangan yang mengerikan.

   Pedang Akamatsu di tangannya berkelebat ke segala penjuru, merenggut nyawa samurai di dekatnya.

   Lima orang samurai menghadang Mishima, mereka mengepung dengan tekad untuk membunuhnya.

   Meng-hadapi kelima musuh itu, Mishima hanya beberapa de-tik memikirkan bagaimana cara mengalahkan mu-suhnya.

   Tanpa gentar sedikit pun, ia menyongsong sa-lah seorang samurai itu.

   Sambil memiringkan badan, ia menyabetkan pedang secara horisontal, tak ayal lagi, kepala samurai di depannya terpenggal lepas dari badannya.

   Darah menyembur dari urat lehernya.

   Tubuh itu ambruk ke tanah, berkelojotan, lalu mati.

   Empat samurai yang lain segera memburu.

   Dengan gesit Mishima menarik kekang kudanya, ia segera me-laju ke arah musuhnya.

   Salah seorang samurai me-nyabetkan pedang, dengan cekatan ditangkis, dan se-belum musuhnya berbalik, Mishima telah memutar kudanya kemudian mengayunkan pedang sekuat tena-ga, terdengar suara menjerit ketika tubuh musuhnya ambruk ke tanah.

   Samurai yang ketiga menghadang dengan tombak, Mishima berkelit ke kanan, di saat bersamaan ia me-nikam samurai itu dengan kekuatan penuh.

   Terdengar lengkingan menyayat ketika mata pedang Mishima menembus leher musuhnya.

   Saat pedang dicabut, da-rah menyembur keluar bagai anak sungai.

   Sedetik be-rikutnya, tubuh samurai itu roboh ke tanah.

   Saburo Mishima memutar kembali kudanya, kemu-dian seperti angin taufan, ia menyerbu ke arah musuh-musuhnya.

   Dengan tebasan yang sangat kuat, tombak samurai yang menghadangnya patah dua.

   Samurai itu langsung mencabut pedang, namun di saat bersamaan Mishima telah menebas dari samping.

   Sabetan itu de-mikian kuat, sehingga musuhnya tak dapat merasakan pedang tersebut telah merobek perutnya.

   Ketika ia mengerahkan tenaga untuk menyerbu, tiba-tiba usus-nya terburai keluar, tubuhnya lemah, kemudian ia ru-buh ke tanah.

   Samurai kelima mengangkat kedua tangannya ting-gi-tinggi sambil menggenggam gagang pedangnya, ke-mudian dengan teriakan nyaring, ia menyerbu ke arah Saburo Mishima.

   Ini adalah salah satu jurus aliran 'Yagyu' yang sangat berbahaya.

   Sabetan vertikal itu sangat kuat, sehingga dapat mematahkan pedang mu-suh, sekaligus membelah tubuh lawan.

   Itulah jurus 'Pedang Menebas Angkasa', salah satu jurus yang membuat 'Yagyu' ditakuti di seluruh Jepang.

   Saburo Mishima menyadari bahaya itu, namun dengan penuh ketetapan hati, ia menyongsong lawan dengan tubuh tegak.

   Tangan kanannya menggenggam pedang secara horisontal.

   Keduanya bergerak seperti dua hembusan angin yang saling berhadapan.

   Hanya dalam hitungan detik, Mishima dengan cepat memiringkan tubuhnya, sabetan pedang itu hanya beberapa inci dari wajahnya.

   Di saat musuhnya masih limbung ke depan, Mishima menebaskan pedang ke belakang, seketika terdengar jeritan menyayat ketika samurai itu merasakan pung-gungnya robek.

   Saburo Mishima menarik kekang kuda, ia siap menghadapi musuh berikutnya.

   Pertempuran di seki-tarnya masih berlangsung dengan sengit.

   Suara geme-rincing pedang diiringi jerit kematian terdengar di ma-na-mana.

   Tanah kering di Lembah Aga kini berwarna merah.

   Mayat-mayat bergelimpangan bagai setumpuk bangkai binatang tak berharga.

   Entah sudah berapa puluh samurai terkapar di tanah.

   Namun pertempuran belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.

   Kedua be-lah pihak seakan ingin meyakinkan kemenangannya.

   Baru saja Saburo Mishima menebas lawannya, ia melihat Takeshi mendekatinya.

   "Seorang kurir baru saja datang,"

   Kata Takeshi sambil menghentikan kudanya. Debu-debu bercampur darah berkepul di kaki kudanya.

   "Sektor selatan telah kalah. Kini Konishiwa Hideaki memimpin penyerbuan ke istana."

   "Bagaimana kekuatan kita di sana?"

   "Tidak akan mampu menahan serbuan Hideaki."

   "Siapa yang memimpin pertahanan?"

   "Ishida Mitsunari."

   "Ishida?"

   "Ya."

   "Dia adalah ipar Hideaki."

   Takeshi tidak sempat menjawab, ia harus memutar kudanya sambil menyabetkan pedang ke arah samurai yang menyerangnya. Samurai itu menjerit ketika pe-dang Takeshi merobek lehernya. Saburo Mishima berteriak pada Takeshi.

   "Kau pim-pin pertahanan di sini. Aku akan kembali ke istana untuk menyelamatkan mereka!"

   "Baiklah. Segeralah kamu ke sana, nanti aku akan menyusul."

   "Kau harus tahan musuh di sini,"

   Ujar Saburo sam-bil memutar kudanya.

   "Aku membutuhkan waktu un-tuk menguasai keadaan di istana."

   "Jangan khawatir, aku akan pertaruhkan kepalaku untuk pertempuran ini."

   "Kuharap kita masih bisa bertemu, Takeshi."

   "Aku pun berharap demikian. Sekarang pergilah."

   Saburo Mishima memutar kekang kuda, kemudian menggebrak punggung binatang itu agar lari menuju istana.

   Ketika sampai di atas bukit, Saburo Mishima meng-hentikan kudanya.

   Ia menoleh ke belakang, dilihatnya debu pertempuran masih berkepul di sela gemerincing suara pedang beradu dan jerit lengking kematian.

   Ke-mudian ia menatap ke arah utara, tampak kepulan asap di atas Istana Kamakura.

   Musuh tampaknya sudah tak tertahankan.

   Mereka telah berhasil menembus pertahanan Ishida.

   Atau justru sebaliknya, dia yang memimpin penyerbuan itu? Kalau Ishida berkhianat, aku bersumpah untuk memenggal kepalanya! Saburo Mishima sekali lagi menoleh pada ratusan tentaranya yang sedang menyabung nyawa, lalu de-ngan pancaran mata berapi-api, ia memacu kuda me-nuju istana.

   Ia harus tiba di sana secepatnya.

   Selain Shogun Ashikaga, di sana ada anak dan isterinya.

   *** PENYELAMATAN SHOGUN ASHIKAGA bersimpuh di atas zabuton (kasur tipis yang diletakkan di lantai).

   Kedua tangannya berada di paha.

   Ashikaga, seorang laki-laki bertubuh gemuk, de-ngan kepala bulat seperti jeruk.

   Rambutnya disisir ke belakang, dikuncir persis di atas kepalanya.

   Kedua matanya tajam menikam, pancaran kewibawaan dan keteguhan hati.

   Cara bicaranya cepat, penuh tekanan-tekanan intonasi, suatu gaya milik orang-orang yang menggenggam kekuasaan.

   Di belakang Ashikaga, kira-kira tiga meter di arah samping kanan, tampak isterinya -Omiko, duduk sambil memegangi pundak Natane Yoshioka, anak me-reka.

   Omiko, seorang wanita berumur tiga puluh tahun.

   Wajahnya berbentuk lonjong, kurus, seperti umumnya perempuan Jepang.

   Rambutnya digelung ke belakang, dilengkapi sebuah tusuk konde emas.

   Omiko memakai kimono furisode (kimono wanita berlengan panjang) berwarna kuning.

   Seperti biasa, ia duduk membeku, seakan tengah berjuang menyembunyikan perasaan-nya.

   Di samping Omiko, duduk Natane Yoshioka, seo-rang anak laki-laki berumur sebelas tahun yang tam-pak cerdas dan pemberani.

   Meskipun masih sangat muda, namun dari sikapnya, tampak bahwa ia mewa-risi darah seorang penguasa.

   Sinar matanya tajam, memantulkan keteguhan hati yang memukau.

   Seperti ayahnya, ia mengenakan hakama (pakaian tradisional Jepang yang dipakai kaum laki-laki di atas kimono) warna merah, lengkap dengan heko obi (ikat pinggang laki-laki) bersulamkan emas.

   Sebagaimana keturunan seorang samurai, meski masih sangat muda, Natane Yoshioka telah diizinkan membawa daisho (pedang panjang dan pedang pendek) simbol bahwa dirinya seorang samurai.

   Di belakang Omiko terlihat istri Saburo Mishima dan anaknya.

   Itzumi, seorang wanita sederhana, de-ngan dandanan rambut sederhana pula.

   Namun dari pancaran sinar matanya, tampak kecantikan luar bi-asa.

   Bukan saja kecantikan, namun juga pesona ke-pribadian yang memukau.

   Meskipun ia hanya mema-kai kimono sederhana, namun dari obi densu (ikat pinggang sutera) yang dikenakan, siapa pun mengetahui bahwa Itzumi istri seorang pembesar istana.

   Kojiro, berumur sebelas tahun, sebaya dengan Na-tane Yoshioka.

   Perawakannya lebih kecil, namun kebe-ranian dan keteguhan hatinya dapat dirasakan hanya dengan sekali memandang raut wajahnya.

   Ia menge-nakan kimono sutera berwarna coklat.

   Berbeda dengan Yoshioka, rambut Kojiro dikuncir tergerai ke belakang.

   Ruangan hening.

   Pertemuan terasa mencekam.

   Pandangan Shogun Ashikaga lurus ke depan, mena-tap Ishida Mitsunari, seorang samurai kepercayaan-nya, yang baru saja kembali dari medan perang.

   "Jadi mereka telah menaklukkan Saburo?"

   Shogun Ashikaga bertanya. Suaranya keras, berwibawa.

   "Demikianlah berita yang saya terima. Tiga ratus pasukan Saburo berhasil dipukul oleh musuh. Tak seorang pun dibiarkan selamat. Mereka tidak saja me-numpas kekuatan kita, tetapi juga mempermalukan kehormatan kita. Saya dengar, kepala Saburo telah dipenggal, dan ditancapkan di ujung tombak, dijadikan lambang kemenangan mereka."

   Itzumi menoleh cepat, namun wanita itu bertahan untuk tidak menangis.

   "Apabila pasukan Saburo telah berhasil mereka tumpas, tidak ada lagi kekuatan yang dapat memper-tahankan istana ini,"

   Kata Ashikaga bergetar.

   "Saburo memimpin prajurit-prajurit terbaikku, kekalahannya menyebabkan kita tidak memiliki lagi kesempatan un-tuk menang."

   "Cepat atau lambat mereka akan sampai kemari."

   "Bagaimana dengan Takeshi?"

   "Dia saat ini sudah dikepung hampir empat ratus tentara Nobunaga. Rasanya sulit diharapkan Takeshi dapat memenangkan pertarungan itu. Sebab kecuali dua ratus samurai mengepungnya, Nobunaga memiliki dua ratus senapan arquebuses bikinan Portugis yang dapat membunuh tentara Takeshi. Sejak pertama, saya telah mengatakan, Takeshi dan Saburo tidak pan-tas menghadang pasukan Nobunaga. Mereka bukan seorang panglima yang pandai mengatur taktik per-tempuran."

   "Dia seorang panglima perang yang dapat diandal-kan. Sudah sepuluh tahun ia membuktikan kemahi-rannya."

   "Kenyataannya, dia kini tak berdaya menghadapi musuh."

   Ashikaga terdiam sesaat.

   Sebenarnya ia tak menyu-kai kata-kata Ishida Mitsunari, tetapi pada saat ini hanya lelaki itu yang dapat dimintai pertimbangan.

   Sejak dulu ia mengetahui terjadi persaingan antara Mitsunari dengan Mishima untuk mendekatinya, namun se-mua masih dapat dimengerti.

   Beruntung selama ini ia dapat bertindak bijaksana, sehingga kedua orang itu tidak pernah terlibat pertikaian yang dapat merugikannya.

   "Bila Saburo telah tewas,"

   Kata Ashikaga lirih.

   "tidak seorang pun dapat menghalangi Nobunaga masuk ke dalam istana."

   Samar-samar Shogun Ashikaga mendengar suara gemerincing pedang serta jerit kematian di luar istana.

   Menurut Ishida Mitsunari musuh telah mengepung is-tana.

   Mereka terus menekan pertahanannya.

   Pertem-puran tampaknya akan segera berakhir dengan keka-lahannya.

   Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkan-nya.

   Pertikaian panjang dengan Nobunaga akan segera mengakhiri kekuasaannya.

   Tetapi Ashikaga tak mau kalah dan dipermalukan.

   Nobunaga akan kubuat memenangkan pertempuran ini dengan penyesalan.

   Sejak dulu ia menginginkan istana ini, saatnya istana ini kuberikan, namun dalam keadaan hancur dan terbakar.

   Tiba-tiba seorang samurai menerobos masuk, laki-laki itu terhuyung-huyung di depan pintu, lalu ambruk ke lantai.

   Di punggungnya tertancap sebilah naginata (pedang berbilah panjang) yang berlumur darah.

   "Tuanku...,"

   Rintihnya.

   Lalu mati.

   Semua orang yang berada di ruangan itu terkesiap, dari pakaiannya dapat diketahui samurai itu adalah salah seorang pengawal Istana Dalam Kamakura.

   Ini merupakan pertanda musuh telah berhasil menerobos ke dalam.

   Mitsunari segera membungkuk sehingga ia bicara dengan penuh tekanan.

   "Tuanku harus segera meng-ambil keputusan. Jangan membiarkan mereka menda-patkan kemenangan mutlak."

   "Aku tahu apa yang harus kulakukan,"

   Jawab Ashi-kaga dengan suara bergetar.

   "Aku akan melakukan seppuku."

   "Itulah keputusan seorang ksatria. Saya akan bang-ga mati dengan mengenangkan kebesaran jiwa Tuan-ku,"

   Kata Ishida sambil membungkukkan badan hing-ga kepalanya menyentuh lantai.

   "Hanya kematian yang dapat melindungi kehorma-tanku,"

   Kata Ashikaga lagi.

   "Aku akan menjemputnya dengan bangga."

   Semua orang membungkukkan badan hingga ke-pala mereka menyentuh lantai.

   Suatu lambang peng-hormatan bagi seorang ksatria.

   Seppuku (bunuh diri dengan merobek perut) jelas merupakan keputusan terbaik bagi Ashikaga.

   Ia tak akan memberi kesempa-tan bagi musuh untuk memenggal kepalanya dan me-mamerkan ke rakyat sebagai bagian kemenangan me-reka.

   Shogun Ashikaga menoleh pada isterinya.

   "Isteriku,"

   Katanya dengan suara berat.

   "aku telah mengambil keputusan untuk melakukan seppuku. Aku tak sanggup menanggungkan perasaan malu di hada-pan Nobunaga. Keputusan ini kurasakan sangat berat, karena itu aku tak ingin mempengaruhi dirimu...."

   "Saya akan ikut melakukan seppuku,"

   Tukas istri Ashikaga sambil membungkukkan kepala.

   "Tidak ada lagi yang kupertahankan. Karena itu saya mohon izin untuk mengikuti langkah Tuanku."

   "Bagaimana dengan putramu?"

   "Dia putramu. Biarkan dia juga melakukan seppu-ku."

   Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka. Anak berumur sebelas tahun itu membungkukkan badan dalam-dalam.

   "Izinkan saya melakukan seppuku, Ayah."

   "Kau tidak boleh mati!"

   Terdengar suara Ashikaga menggeledek dalam ruangan itu. Kata-katanya menge-jutkan semua orang yang berada di tempat itu.

   "Kau adalah satu-satunya putraku. Kau yang akan memba-laskan kekalahan ini. Kuperintahkan padamu untuk menanggungkan malu orang tuamu, dan suatu saat, menebusnya kembali dengan kemenangan."

   "Ayah, saya memilih melakukan seppuku,"

   Kata Yo-shioka dengan suara bergetar.

   "Maafkan saya dengan keputusan ini. Bukan maksud saya menentang perin-tah Ayah, tetapi saya merasa tak sanggup menang-gungkan malu."

   "Kau harus sanggup,"

   Potong Ashikaga tegas.

   "Ha-rus ada salah satu keluargaku yang hidup. Kau masih muda, masih banyak yang dapat kaulakukan. Kecuali itu, Nobunaga tidak akan membuang-buang waktu un-tuk mengejarmu."

   Sekali lagi Yoshioka membungkukkan badan.

   "Apa yang dapat saya lakukan?"

   "Mitsunari,"

   Kata Ashikaga sambil menoleh pada samurai kepercayaannya.

   "kuberikan perintah padamu untuk menyelamatkan putraku. Bawa dia meninggal-kan istana secepatnya, lindungilah dengan nyawamu."

   "Haik! "

   Jawab Mitsunari sambil membungkukkan badan.

   "Tidak ada apa pun yang lebih berharga dibanding putraku, karena itu kuminta engkau menjaga kesela-matannya. Bila kau gagal, segeralah penggal kepalanya agar Nobunaga tak sempat mempermalukan keluarga-ku."

   "Baik!"

   Sekonyong-konyong dari luar berlompatan sejumlah samurai Nobunaga. Seluruh pakaian mereka berwarna hitam, bahkan kepala dan wajahnya tertutup rapat, hanya menyisakan lubang mata.

   "Ninja! "

   Desis Ashikaga sambil berdiri untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ia menoleh pada Mitsuna-ri.

   "Rupanya Nobunaga menggunakan pembunuh-pembunuh bayaran untuk melawanku. Mitsunari, ha-dapi mereka!"

   "Baik."

   Mitsunari segera mencabut pedang, kemudian mu-lai menyerang ninja-ninja itu. Sabetan pedangnya membuat seorang ninja terguling dengan leher menganga. Darah muncrat mewarnai dinding istana.

   "Lakukan seppuku, Tuanku,"

   Kata Mitsunari pada Ashikaga.

   "Biar saya yang menghadapi mereka."

   Shogun Ashikaga yang telah mencabut pedangnya, segera menyarungkan kembali, kemudian ia bergegas meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam bilik ista-na.

   Istri dan anaknya mengikuti dari belakang.

   Juga Itzumi dan Kojiro.

   Pertempuran sengit terjadi di ruangan istana.

   Ada dua puluh ninja melakukan penyerbuan.

   Rupanya No-bunaga tahu betapa sulit menembus pertahanan apa-bila hanya mengandalkan tentaranya.

   Ia menggunakan ninja untuk melakukan penyusupan.

   Bagi para pem-bunuh bayaran itu, tidak ada medan yang tak dapat ditembus.

   Benteng istana yang setinggi dua puluh me-ter, dengan sangat mudah mereka daki, menggunakan tali dan shuko (cakar pemanjat yang sekaligus berfungsi sebagai senjata).

   Selain itu, serbuan mereka tidak menimbulkan suara, karena para pembunuh terla-tih itu dapat berlari seperti angin.

   Kaki-kaki mereka seakan tak menyentuh tanah.

   Mitsunari membabat ke kanan ke kiri, tebasannya menimbulkan suara angin mendesis.

   Ia kini mengha-dapi tiga orang ninja, mereka menyerbu dari tiga jurusan, namun dengan ilmu pedang Yagyu, Mitsunari berhasil menangkis secara bersamaan, lalu menya-betkan pedang dengan ayunan melengkung.

   Suara te-basan itu mendesis ketika salah seorang ninja itu menjerit dengan tubuh robek.

   Melihat kawannya ambruk, salah seorang ninja melempar tombak, Mitsunari ber-kelit ke kiri, mata tombak itu hanya setengah inci dari dadanya.

   Tanpa membuang waktu Mitsunari berguling mendekati ninja tersebut, dan dalam kecepatan yang sukar dibayangkan, pedangnya telah menembus tubuh musuhnya.

   Ninja ketiga segera mengayunkan rantai berujung pisau ke arah Mitsunari, namun dengan si-gap lelaki tersebut mengeluarkan pedang pendek di pinggangnya untuk menangkis serangan itu.

   Rantai itu membelit pedang tersebut, kemudian dengan kekuatan penuh, Mitsunari menarik rantai tersebut.

   Ninja tersebut mengubah taktik, ia mengikuti tarikan tersebut sambil mencabut belati di pinggangnya untuk meni-kam, tetapi pada saat tubuhnya melambung, Mitsunari telah menyongsongnya ke depan sambil membabatkan pedang panjangnya.

   Terdengar suara menjerit ketika pedang itu merobek dada lawan.

   Mitsunari segera berbalik, ia melangkah mundur, membentengi jalan menuju bilik istana.

   Ada tiga ninja yang mencoba menerobos pertahanannya, namun dengan bengis Mitsunari membabat tubuh mereka satu per satu.

   Ketika ketiga ninja itu roboh, sejumlah samurai mengepung Mitsunari.

   Laki-laki itu tiba-tiba mengi-baskan pedangnya untuk membersihkan darah pada pedang itu.

   "Saya Ishida Mitsunari,"

   Katanya lantang.

   "Kalian jangan bodoh! Saya yang memimpin penyerbuan di si-ni!" *** Di pinggiran Kota Kamakura, Saburo Mishima terus memacu kudanya. Pakaian kebesarannya yang berupa bilah-bilah besi gemerincing ditiup angin. Tangan kirinya dipakai mengendalikan kuda, sementara tangan kanannya masih menggenggam pedang panjang. Ia memacu kudanya dengan cepat. Dada lelaki itu berde-bar-debar. Sejumlah bangunan di pinggir istana telah terbakar. Asap mengepul dari balik benteng. Terbayang di benak Saburo, penyerbuan di dalam istana. Di beberapa tempat masih terjadi pertempuran. Pa-sukan Nobunaga rupanya telah menerobos masuk ke halaman istana. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan, sementara rintihan dan lengking jerit kematian terdengar di mana-mana. Mudah-mudahan aku belum terlambat. Kalau benar Mitsunari telah berkhianat, sukar mengharap keluarga shogun dapat diselamatkan. Bangsat itu berada di dalam istana! Seorang tentara musuh menghadang di jalan de-ngan tombak, tanpa menghiraukan keselamatannya, Mishima menyongsong serangan itu. Ketika jarak ting-gal satu meter, ia mengayunkan pedang menyilang, sehingga tombak itu patah menjadi dua. Dan sebelum penyerang tersebut menyadari apa yang terjadi, Mi-shima telah menebas lehernya. Pintu gerbang Istana Kamakura telah terbuka, ratu-san pasukan Nobunaga tengah mengamuk. Tetapi me-reka memperoleh perlawanan sengit dari samurai ista-na. Meskipun tampak kekuatan tidak seimbang, na-mun para samurai istana tidak mau menyerah. De-ngan semangat bushido (semangat ksatria pantang menyerah) mereka melakukan perlawanan hidup dan mati. Kepulan asap membubung tinggi, panah-panah api bertebaran di mana-mana, mayat bergelimpangan, dan pertempuran sengit masih terus berlangsung. *** Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka, laki-laki itu mencoba tidak menangis. Ia tak ingin memperli-hatkan kepedihannya di depan anaknya. Pelan-pelan ia mengambil pedang miliknya, lalu mengulurkannya pada Yoshioka.

   "Yoshioka-san, kuberikan pedang ini padamu,"

   Kata Ashikaga dengan suara penuh tekanan.

   "Pedang Mu-ramasa, lambang kekuasaan Ashikaga. Pertahankan pedang ini dengan nyawamu."

   "Baik, Ayah!"

   "Pedang Muramasa adalah pedang keramat keluar-ga Ashikaga. Ini merupakan lambang kekuasaan di Is-tana Kamakura. Selama pedang ini berada di tangan kita, Nobunaga hanya menguasai bangunan-bangunan istana ini, tetapi tidak jiwanya. Karena itu pertahankan pedang ini apa pun yang terjadi."

   "Saya akan menjaganya dengan nyawa saya, Ayah."

   "Itzumi,"

   Ashikaga memanggil istri Saburo Mishima.

   "Kau kuperintahkan melindungi putraku keluar istana. Lindungi dia dengan jiwamu."

   Itzumi membungkukkan badan dalam-dalam.

   "Baik, Yang Mulia!"

   "Apabila kau dapat menyelamatkan putraku, aku akan mengangkat anakmu Kojiro menjadi daimyo. Jan-jiku akan kutulis sebagai sumpah keluarga Ashikaga."

   "Tanpa janji itu pun, saya akan melaksanakan apa pun perintah Yang Mulia."

   Shogun Ashikaga tidak menanggapi ucapan perem-puan itu, ia mengambil kertas kemudian menulis sum-pahnya dengan huruf kanji. Ketika selesai menulis, ia membubuhkan sidik jarinya di kertas itu.

   "Yoshioka-san,"

   Panggil Ashikaga.

   "Ini adalah sum-pahku pada Itzumi. Bila engkau selamat dan berhasil merebut kembali istana ini, sebagai putraku, kau ha-rus menjalankan sumpah ini."

   "Baik, Ayah."

   "Bersumpahlah demi aku dan ibumu."

   "Saya bersumpah untuk melaksanakannya."

   "Sekarang kalian pergi, tinggalkan istana ini sece-patnya. Biarkan aku dan isteriku menyongsong ajal di sini."

   Natane Yoshioka membungkukkan badan. Pelan-pelan ia beranjak untuk memeluk kedua orang tuanya. Betapa pun mereka menahan kepedihan, namun per-pisahan itu tak mampu membendung air mata. Omiko mendekap Yoshioka dengan berurai air mata.

   "Jaga dirimu baik-baik,"

   Bisik Omiko bergetar.

   "Baik, Ibu."

   Kemudian Yoshioka memeluk ayahnya. Ashikaga mendekap anaknya sambil menghela napas panjang. Mata lelaki itu berkaca-kaca.

   "Selamatkan dirimu, juga Pedang Muramasa,"

   Kata Ashikaga dengan suara datar.

   "Pedang Muramasa ada-lah kehormatanmu. Kau harus mempertahankannya sampai mati."

   "Baik, Ayah."

   "Sekarang pergi secepatnya."

   Kemudian tanpa menoleh, Yoshioka melangkah per-gi.

   Itzumi dan anaknya membuntuti dari belakang.

   Me-reka memasuki lorong rahasia di belakang bilik itu.

   Ashikaga memejamkan mata.

   Pelan-pelan ia mem-buka pakaiannya.

   Isterinya dengan penuh penghaya-tan melipat kembali pakaian suaminya.

   Dengan te-nang, Ashikaga membiarkan isterinya membelitkan kain putih di seputar perutnya.

   Mereka melakukan rangkaian upacara seppuku dengan tenang, tanpa ter-buru-buru, seakan semua memberikan rasa damai yang abadi.

   Sesudah kain putih membungkus perutnya, Ashi-kaga mengambil sake kemudian minum seteguk.

   Ketenangan itu tiba-tiba terganggu, ketika pintu bi-lik tiba-tiba didobrak dari luar.

   Terdengar suara hiruk-pikuk berselang-seling dengan suara gemerincing pe-dang beradu.

   Ashikaga memejamkan mata.

   Mencoba menyalur-kan seluruh enerji di dalam tubuhnya menyatu di da-lam perut.

   Ia menghela napas panjang.

   Ia merasakan kehangatan menjalari jiwanya.

   Ketika semua sudah menyatu dengan kedamaian di dalam dirinya, lelaki itu mengulurkan tangan.

   Isterinya sambil membungkukkan badan, memberikan pisau kepada suaminya.

   Sambil menahan napas, Shogun Ashikaga meng-hunjamkan pisau itu ke perutnya, lalu dengan mena-hankan rasa sakit yang luar biasa, ia menggerakkan ujung pisau itu ke atas, ke bawah, ke samping kanan, dan ke samping kiri, membelah perutnya dengan penuh penghayatan.

   Darah menyembur, membasahi tu-buhnya.

   Laki-laki itu tetap memejamkan mata, sampai kekuatannya melemah, dan tubuhnya terguling ke lan-tai.

   Ia sekarat.

   Lalu mati.

   Omiko membungkukkan badan, memberikan peng-hormatan terakhir pada suaminya.

   Sesudah itu ia mengambil pisau yang masih tertancap di perut sua-minya, kemudian menikam lehernya sendiri.

   Bertepatan dengan hunjaman itu, pintu berhasil di-dobrak dari luar.

   Ishida Mitsunari masuk ke dalam di-ikuti sejumlah pengawalnya.

   "Terlambat!"

   Rutuknya geram. Ia melihat Omiko se-karat meregang nyawa, namun lelaki tersebut tidak peduli.

   "Kita harus segera mengejarnya,"

   Kata Mitsuna-ri sambil menerobos lorong rahasia di belakang bilik itu.

   "Yoshioka membawa Pedang Muramasa."

   Ishida Mitsunari beserta pengawalnya bergegas me-ngejar Yoshioka.

   *** Satu menit sesudah Mitsunari meninggalkan bilik itu, Saburo Mishima tiba di tempat itu.

   Laki-laki tersebut terpana menyaksikan tubuh Ashikaga dan isterinya yang terkapar tanpa nyawa.

   Rupanya mereka telah memilih jalan kematian yang suci.

   Nobunaga tak berhasil meraih seluruh kemenangan dalam penaklukan ini.

   Dengan khidmat Saburo Mishima membungkukkan badan, memberikan penghormatan terakhir pada je-nazah Ashikaga dan isterinya.

   Di mana Natane Yoshioka? Dia tidak berada di sini, berarti anak itu masih hidup.

   Selain itu, saya tak melihat Pedang Muramasa di sini.

   Tidak bisa lain, hal itu sebagai pertanda shogun telah mengusahakan pe-nyelamatan terhadap putranya.

   Tetapi siapa yang mengawal dia? Bagaimana pula dengan istri dan anakku? Mishima melihat pintu di belakang bilik itu terbuka, tanpa membuang waktu ia berlari menerobos lorong itu.

   *** PENGORBANAN NATANE YOSHIOKA berjalan bergegas, setengah berla-ri menyusuri lorong rahasia itu.

   Di belakangnya tam-pak tujuh orang pengawal istana, Itzumi, dan Kojiro.

   Lorong itu terasa pengap, dindingnya lembab ka-rena berada di bawah tanah.

   Bahkan di beberapa tem-pat tampak bocoran air mengalir deras.

   Rupanya din-dingnya mulai rusak, sehingga aliran Sungai Muro di sisi istana merembes ke bawah.

   Maklumlah, lorong itu telah berusia hampir seratus tahun, karena dibangun ketika Shogun Yoritomo berkuasa.

   Meskipun sudah tua, namun hanya tempat perlin-dungan itulah yang dapat menyelamatkan Natane Yoshi-oka.

   Hanya beberapa pengawal istana yang mengetahui adanya lorong tersebut.

   Selain Saburo Mishima, hanya Ishida Mitsunari yang pernah memasuki lorong itu.

   Karena merasa aman, Natane Yoshioka berhenti.

   "Bagaimana kalau kita beristirahat dulu?"

   "Terserah Yang Mulia Yoshioka,"

   Jawab salah seo-rang pengawalnya.

   "Aku capek."

   Itzumi segera mendekati Yoshioka.

   "Sebaiknya kita jangan berhenti, Yang Mulia. Sesudah menemukan je-nazah Shogun Ashikaga, bukan mustahil mereka me-nemukan pintu lorong ini. Mereka bisa saja berada di belakang kita."

   "Berapa jauh kita akan keluar dari lorong ini?"

   "Masih jauh."

   "Berapa kira-kira jauhnya?"

   "Apa bedanya bagi Yang Mulia?"

   "Saya ingin mengetahuinya."

   "Suami saya pernah menceritakan mengenai lorong ini, jauhnya kira-kira tiga puluh mil...."

   Yoshioka menukas karena terkejut.

   "Tiga puluh mil?"

   "Benar."

   "Saya harus berjalan kaki sejauh tiga puluh mil?"

   "Tidak ada pilihan lain. Ini satu-satunya jalan ke-luar bila Yang Mulia ingin selamat."

   "Saya lebih suka melakukan seppuku."

   Samar-samar terdengar langkah kaki di belakang mereka. Derap kaki bergegas mengejar mereka. Suara itu bergema, kian lama kian keras. Itzumi menoleh pada Natane Yoshioka.

   "Kita telah membuang-buang waktu. Kalau tidak cepat mereka pasti akan segera menyusul kita. Tak ada waktu lagi untuk berdebat, kita harus segera pergi."

   Salah seorang pengawalnya berkata.

   "Biarkan saya di sini, Yang Mulia. Saya akan berusaha menghambat mereka."

   Natane menatap pengawal itu dengan penuh rasa hormat, lalu bergegas ia meninggalkan tempat itu.

   Sepuluh menit kemudian Ishida Mitsunari sampai di tempat itu.

   Meskipun keadaan agak gelap dan ia sedang terburu-buru, namun lelaki itu tidak kehilangan kewaspadaan.

   Ia melihat kilauan pedang terayun ke arahnya, secara refleks ia berkelit ke kanan, kemudian menebaskan pedang ke perut penyerangnya.

   Terdengar jeritan melengking ketika pengawal Yoshioka merasa-kan perutnya robek.

   Ketika tubuhnya rubuh di tanah, Mitsunari kembali menikam punggung lelaki itu.

   "Mereka tidak jauh dari kita,"

   Kata Ishida Mitsunari bengis.

   "Kejar mereka!" *** Natane Yoshioka berhenti ketika mendengar lengkingan kematian pengawalnya. Dadanya menjadi berdebar-debar. Meskipun sudah terlatih sebagai seorang samu-rai, namun di dalam hatinya muncul pula sedikit rasa takut. Dengan bimbang ia menatap Itzumi, ingin mendapatkan pegangan moral.

   "Mereka telah membunuhnya,"

   Kata Yoshioka lirih.

   "Jangan dihiraukan, Yang Mulia,"

   Kata Itzumi pe-nuh tekanan.

   "Kematian bisa terjadi di mana-mana. Sekarang kita harus lari lebih cepat."

   "Kenapa kita harus lari?"

   "Kita tak mungkin melawan mereka. Untuk kesela-matan Yang Mulia, kita harus lari."

   Yoshioka membantah ketus.

   "Lari hanya untuk orang-orang pengecut."

   "Kita lari karena menjalankan perintah Shogun Ashi-kaga. Tidak seorang pun ingin disebut sebagai pe-ngecut. Tetapi lari karena menjalankan perintah sho-gun, sama mulianya dengan melakukan seppuku."

   Natane Yoshioka terdiam. Ia membenarkan ucapan Itzumi. Karena itu ia berkata.

   "Kita akan lari, tetapi harus ada yang menghambat mereka."

   "Biarkan saya menghambat mereka,"

   Jawab dua orang pengawal secara bersamaan.

   "Baiklah. Hati-hatilah kalian menghadapi mereka."

   "Nyawa kami taruhannya, Yang Mulia."

   Sesudah diam sejurus, Natane Yoshioka berbalik, lalu kembali berlari.

   Baru lima menit ia meninggalkan tempat itu, Mitsunari muncul.

   Pertarungan pun terjadi.

   Dua pengawal itu dikepung enam orang pengawal Mitsunari.

   Suara pedang beradu terdengar bergema di dalam lorong itu, namun tidak berlangsung lama, kee-nam samurai yang mengawal Mitsunari dengan mudah merobohkan lawan mereka.

   "Saya pastikan mereka tidak jauh dari sini,"

   Kata Mitsunari pada pengawalnya.

   "Dapatkan mereka sece-patnya. Aku ingin menyambut kedatangan Shogun No-bunaga lengkap dengan kepala Yoshioka dan Pedang Muramasa!"

   Kejar-kejaran itu terjadi dengan penuh ketegangan.

   Sampai akhirnya Natane Yoshioka ambruk di tanah karena kelelahan.

   Anak itu terengah-engah.

   Seluruh tubuhnya berkeringat.

   Napasnya serasa mau putus.

   Mereka kini sampai di sebuah ruangan yang cukup luas, dengan sebuah patung Budha di tengahnya.

   Ini tentu kuil di dalam lorong itu.

   Ada dua buah lubang angin di langit-langit sehingga cahaya matahari masuk ke dalam.

   Ruangan itu menjadi agak terang.

   "Saya... tidak kuat lagi,"

   Kata Yoshioka terengah-engah sambil duduk di sebuah batu hitam. Itzumi menukas.

   "Itu bukan ucapan seorang samu-rai. Semangat bushido adalah pantang menyerah."

   "Aku akan menghadapi mereka."

   "Itu namanya bunuh diri."

   "Apa bedanya dengan seppuku?"

   "Sangat berbeda. Seppuku dilakukan untuk menjaga kehormatan ketika kita berada dalam ancaman. Tetapi perlawanan yang akan Yang Mulia lakukan, tak lebih bunuh diri secara konyol, karena kita tahu Yang Mulia tak mungkin menang. Kecuali itu, saat ini Yang Mulia menanggungkan kewajiban untuk menyelamatkan diri. Kewajiban itu sama harganya dengan seppuku."

   Natane Yoshioka menghela napas panjang.

   Ia mena-tap Kojiro, anak Itzumi yang juga berusia sebelas tahun, sama dengannya.

   Anak itu sejak awal melakukan pelarian, tidak pernah mengeluh.

   Wajahnya membeku, menahankan rasa lelah yang sudah pasti menggerogoti kekuatannya.

   Ia seorang calon samurai sejati.

   "Baiklah, mari kita berangkat...."

   "Terlambat!"

   Tiba-tiba terdengar suara Ishida Mitsu-nari. Laki-laki itu muncul diiringi pengawalnya. Mereka langsung melakukan pengepungan. Natane berdiri dengan terperanjat. Ia melangkah mundur, sementara Itzumi maju untuk melindunginya.

   "Ishida Mitsunari, apa yang engkau lakukan dengan pengepungan ini?"

   Itzumi bertanya heran.

   "Bukankah Shogun Ashikaga memerintahkan engkau melindungi putranya?"

   "Saya akan segera mengirimnya ke sorga,"

   Kata Mit-sunari dingin.

   "Setelah kedua orang tuanya, hanya tinggal dia yang menjadi ancaman Shogun Nobunaga, aku akan melengkapi kemenangannya dengan memper-sembahkan kepala Yoshioka dan Pedang Muramasa."

   "Pengkhianat!"

   Desis Itzumi geram, serta merta ia mencabut pisau di pinggangnya.

   "Kau tak lebih samu-rai bayaran. Tak punya kehormatan!"

   "Kehormatanku adalah pangkat sebagai seorang daimyo,"

   Kata Mitsunari sambil tersenyum sinis.

   "Nobunaga telah menjanjikan apabila aku berhasil mem-bantunya merebut Istana Kamakura, dia akan meng-angkatku sebagai daimyo di sini. Aku tidak sebodoh suamimu yang seumur hidup bersedia menjadi budak Ashikaga. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang daimyo yang kaya raya."

   "Dia lebih terhormat dibanding dirimu."

   "Apa artinya kehormatan dibanding kekuasaan yang bakal kuperoleh?"

   "Tak ada artinya karena engkau memang tidak pan-tas menyandang kehormatan sebagai seorang samurai. Kau tak lebih begundal busuk tanpa martabat!"

   Seusai berkata begitu, Itzumi memerintahkan pe-ngawalnya mulai menyerang.

   Pertempuran pun terjadi.

   Kilatan-kilatan pedang menimbulkan suara berden-ting.

   Bunga api berpijar setiap kali pedang mereka beradu.

   Namun dalam beberapa menit sudah terlihat sia-pa yang bakal memenangkan pertarungan itu.

   Penga-wal Natane Yoshioka satu per satu rubuh dengan luka menganga di tubuhnya.

   Ketika semua pengawalnya telah binasa, Itzumi ber-gerak mundur melindungi Natane Yoshioka dan anak-nya.

   "Kau harus membunuhku terlebih dulu sebelum membunuh mereka,"

   Kata Itzumi dengan api kemara-han meluap-luap. Ishida Mitsunari melangkah ke depan, mendesak mereka ke dinding. Sambil tersenyum, laki-laki itu berkata.

   "Apa susahnya membunuhmu?"

   "Kalau begitu lakukanlah!"

   "Aku akan menikmati kemenanganku. Sesudah mem-bunuhmu, aku akan membunuh anakmu. Baru sesu-dah itu aku akan memenggal kepala Yoshioka...."

   Belum selesai Mitsunari bicara, tiba-tiba Itzumi me-nyerang dengan pisau di tangannya.

   Laki-laki tersebut hanya sedikit berkelit, lalu dengan bengis mengayunkan pedang merobek punggung wanita itu.

   Itzumi me-rasakan kepedihan menyeruak ke dalam tubuhnya, ia berbalik, dan ia melihat Mitsunari kembali mengayun-kan pedang membelah tubuhnya.

   Ketika tubuh Itzumi melayang sebelum ambruk ke tanah, Saburo Mishima muncul dari lorong yang gelap.

   Hanya sekilas ia melihat tubuh isterinya bermandikan darah, karena saat itu para samurai di ruangan itu telah menyerangnya.

   "Kau benar-benar jahanam!"

   Teriak Mishima marah.

   "Kau telah mengkhianati Shogun Ashikaga."

   "Nobunaga akan mengangkatku sebagai daimyo Ka-makura."

   "Kau tak akan pernah mendapatkan kehormatan itu, kau terlalu rendah sebagai seorang samurai."

   "Bungkam mulutnya!"

   Pengawal Mitsunari segera bergerak menebas, tetapi kemarahan Mishima telah menjadikan kekuatannya berlipat ganda.

   Ia menangkis, kemudian berputar sam-bil menebas musuhnya.

   Seperti seekor banteng luka, lelaki itu menyerang musuhnya dengan penuh kema-rahan.

   Satu per satu musuhnya tumbang dengan luka yang sangat dalam.

   Tidak lebih sepuluh menit, seluruh pengawal Mitsunari telah berhasil dibinasakan.

   "Permainan pedangmu masih bagus,"

   Puji Mitsunari sambil berputar, siap menghadapi serangan.

   Saburo Mishima tidak menggubris pujian itu, ia kini menyilangkan pedangnya di depan mata secara hori-sontal, matanya yang tajam mengikuti setiap gerak ka-ki musuhnya.

   Ia tahu siapa yang tengah ia hadapi.

   Ishida Mitsunari adalah murid perguruan Yagyu yang sangat disegani.

   Dahulu lelaki itu hanya seorang shugyosa (samurai pengembara).

   Berkat permainan pedangnya ia akhirnya bisa menjadi pengawal Shogun Ashikaga.

   Tidak seorang pun meragukan kehebatan permainan pedangnya.

   Mitsunari menggenggam pedang dengan kedua ta-ngannya ke samping kanan, pelan-pelan ia menggeser kaki ke kiri.

   Kedua matanya menatap tajam pada mata lawannya.

   Jurus 'Sabetan Pedang Pelangi', kata Mishima dalam hati.

   Rupanya ia ingin menebas leherku dengan jurus terhebat 'Yagyu'.

   Saburo segera mengubah posisi, ia menggenggam pedang lurus di atas kepala.

   Ini adalah jurus 'Pedang Halilintar'.

   Bila Sabetan Pedang Pelangi menguta-makan kecepatan, sebaliknya, jurus Pedang Halilintar mempertaruhkan semua pada kekuatannya.

   Mereka bergerak perlahan, menghitung setiap inci gerakan lawan dengan teliti.

   Ketegangan kian memun-cak.

   Natane Yoshioka dan Kojiro memperhatikan perta-rungan itu dengan berdebar-debar.

   Tiba-tiba dengan raungan panjang, Mitsunari me-nyerbu lawan.

   Ia menebas leher Saburo, tetapi sebe-lum pedang mengenai sasaran, pedang Saburo telah menghantamnya, bunga api berpijar.

   Mitsunari berba-lik sambil menebas perut lawan, kali ini Saburo mun-dur dua langkah, kemudian melompat ke kanan sam-bil mengirimkan tikaman.

   Sekali lagi terdengar suara pedang beradu, kemudian mereka kembali memasang kuda-kuda.

   Kini Saburo Mishima yang menyerang, ia menikam dada musuh dengan kedua tangannya, Mitsunari ber-kelit sambil menebaskan pedang ke pinggang lawan.

   Mishima mencabut pisau kecil di pinggang untuk me-nangkis serangan itu.

   Lalu dengan kekuatan penuh ia membabat kepala musuhnya.

   Dengan kecepatan se-persepuluh detik Mitsunari menyadari serangan itu, namun ia terlambat menghindar, sabetan pedang Mi-shima mengenai wajahnya.

   Mata lelaki itu mengucur-kan darah dengan luka memanjang hingga ke pipi.

   Pandangan Mitsunari menjadi kabur.

   Kecuali hanya mata sebelah kanan yang berfungsi, darah, dan rasa pedih membuat lelaki itu sangat terganggu.

   "Jahanam,"

   Rutuk Mitsunari menggeram.

   Dengan amarah meluap-luap lelaki itu kembali me-nyerang.

   Ia menyabetkan pedang dengan penuh nafsu.

   Serbuan itu membabi buta, sabetan pedangnya bagai taufan yang memburu ke mana pun musuh menghin-dar.

   Saburo Mishima menyadari ia tidak boleh lengah.

   Sedetik saja ia lengah, maut akan menyergapnya.

   Meski telah terluka, namun serangan Mitsunari tetap berbahaya.

   Ingatannya melayang kembali ke pergu-ruannya, saat itu ia menghadapi musuh yang sangat bernafsu mengalahkannya.

   "Nafsu hanya dapat dikalahkan oleh kesabaran,"

   Kata gurunya ketika itu.

   "Kau harus sabar menemukan titik lemah lawan. Hanya dengan kesabaran, jalan ke-menangan akan terbuka...."

   Saburo Mishima menghindar, melompat ke belakang, sementara Mitsunari terus memburunya.

   Lelaki terse-but seakan ingin segera menyudahi pertarungan itu.

   Saat Saburo berada di belakang tiang gua, Mitsunari menebas sekuat tenaga, tiang bambu itu terpotong menjadi dua.

   Karena kehilangan tiang penyangga, tanah di atasnya berguguran ke bawah, Mitsunari menutup mata, kesempatan yang hanya sepersekian detik itu tak disia-siakan oleh Saburo, ia bergulingan sambil menebas kaki musuhnya.

   Terdengar jeritan melengking keti-ka Mitsunari roboh ke tanah.

   Kaki kirinya putus.

   Ketika kesadaran Mitsunari mulai pulih, ia merasa-kan ujung pedang Mishima menempel di lehernya.

   "Kau kalah,"

   Kata Saburo Mishima dengan bibir ge-metar.

   "Bunuhlah aku,"

   Kata Mitsunari sambil merintih.

   "Lengkapi kemenanganmu dengan kematianku."

   "Kau bukan seorang samurai. Aku tidak akan mem-bunuhmu karena tidak ada harganya."

   "Jangan membuatku merasa terhina."

   "Kau memang hina,"

   Tukas Mishima dingin.

   "Tidak ada yang lebih hina dibanding seorang samurai yang berkhianat. Kau lebih nista dibanding shugyosa. Aku akan membiarkan dirimu tetap hidup agar kau me-ngerti arti kehinaan dirimu."

   Saburo menarik pedangnya.

   "Kenapa kau tidak membunuhnya?"

   Tiba-tiba Na-tane Yoshioka bertanya.

   "Dia seorang pengkhianat."

   Saburo membungkuk hormat. Kemudian menjawab.

   "Dia telah kehilangan sebuah mata dan satu kakinya, ia tak akan pernah lagi hidup sebagai seorang samu-rai, lebih-lebih menjadi daimyo seperti keinginannya. Dia akan menanggungkan penghinaan seumur hidup-nya. Kematian hanya akan membuatnya senang, ka-rena tak harus merasakan penderitaan."

   "Tetapi dia masih dapat melakukan seppuku."

   "Itu tidak akan dilakukannya, karena sebagai samu-rai ia sudah tidak berhak melakukannya. Ia tahu, de-ngan bunuh diri, jiwanya tidak akan diterima di sorga."

   "Bunuhlah aku, Saburo,"

   Terdengar Mitsunari me-rintih.

   "Jangan biarkan aku menanggungkan malu."

   "Engkau tidak akan mendapatkan kematianmu dari tanganku."

   "Lakukanlah. Sebagai sahabat, kumohon kau mau melakukannya, Saburo."

   "Kau sudah bukan sahabatku, Mitsunari. Musuh pun kau musuh yang paling hina."

   "Saburo... penggallah kepalaku... kumohon...."

   Saburo Mishima menatap dingin.

   Kemudian pelan-pelan ia mendekati jenazah isterinya.

   Dengan perasaan sedih ia mendekap wanita itu.

   Ia benamkan kepala isterinya ke dalam pelukannya.

   Ia merasakan seluruh tu-buhnya bergetaran.

   Napasnya memburu.

   Jiwanya bergo-lak.

   Penuh berisi kepedihan, kemarahan, dan keharuan sekaligus.

   Ia tak menyangka isterinya berani menebus kesetiaannya kepada Ashikaga dengan nyawanya.

   "Apa yang sekarang akan kita lakukan?"

   Yoshioka tiba-tiba bertanya. Saburo Mishima tersadar. Dia menoleh pada Yoshi-oka dengan perasaan malu karena tak dapat menahan perasaan. Ketika mengangkat muka, ia melihat tatapan polos anak itu.

   "Sebaiknya kita segera berangkat,"

   Kata Mishima kemudian.

   "Orang-orang Nobunaga masih terus me-ngejar kita." *** TERKEPUNG DI BUKIT ANGIN lembut bertiup dari Tenggara, membawa bau tanah, air, dan bunga sakura. Saat itu telah memasuki musim semi, namun udara dingin masih terasa membekukan pori-pori kulit. Salju tipis masih terlihat menyapu ujung daun dan pepohonan, juga pada kuntum-kuntum bunga sakura yang pucuk-pucuknya mulai mekar. Saburo Mishima menancapkan kayu di atas kubur isterinya. Ia jongkok di depan makam itu sambil ber-doa. Dada laki-laki itu penuh pergolakan; kepedihan, kemarahan, kekecewaan, dan hasrat pembalasan dendam berbaur menjadi satu. Semua seakan lava gunung yang siap meledak. Namun sebagai seorang samurai sejati, ia diam. Meredam gelombang di dalam dirinya hingga tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali itu, ia sendiri tak ingin memperlihatkan kepedihan pada Yoshioka dan Kojiro. Selintas kenangan muncul, saat-saat ia pertama kali memasuki Kamakura, setelah selama bertahun-tahun menekuni ilmu pedang di Gunung Fuji. Pada waktu itu Shogun Ashikaga tengah mencari pengawal istana, karena wilayah Kamakura sering diserang para ronin (kaum samurai liar). Hampir setiap hari terjadi perampokan di wilayahnya. Lumbung padi dan rumah-rumah di pinggir kota, setiap saat didatangi perampok yang bertindak kejam. Kadang bukan hanya harta yang dirampas, tetapi mereka juga memperkosa para wanita. Saburo bertugas di Desa Oji, sepuluh kilometer dari Kamakura. Ia menjaga kampung itu bersama Ishida Mitsunari. Suatu malam mereka mendengar jeritan da-ri pinggiran desa, enam perampok telah menguras isi rumah itu. Ketika meninggalkan rumah tersebut, me-reka membawa serta anak perempuan pemilik rumah. Saburo dan Mitsunari segera bertindak. Dalam sebuah pertarungan, mereka berhasil membunuh keenam pe-rampok itu. Ketika para penjahat sudah tewas, Saburo melihat seorang gadis kecil, kira-kira berusia enam belas tahun, menatapnya dengan penuh kekaguman.

   "Arigato gozaimasu.

   "

   Gadis itu berterima kasih sambil membungkukkan badan.

   "Gozaimasuka,"

   Balas Saburo dengan sikap yang sama.

   Itulah pertemuan pertama dengan Itzumi.

   Enam bu-lan kemudian Saburo meminang gadis tersebut sebagai isterinya.

   Sesungguhnya Ishida Mitsunari juga jatuh hati pada Itzumi, namun lelaki tersebut berusaha tidak memperlihatkan perasaannya.

   Sebagai seorang istri, Itzumi sangat membahagia-kan.

   Ia memberikan segala-galanya pada Saburo; kese-tiaan, cinta, pelayanan seks, pengertian, dan seorang anak laki-laki.

   Mereka menamakan anak itu Kojiro.

   Anak itu tumbuh dengan cepat.

   Ia memiliki enerji yang seakan tak pernah habis, dan otot-otot yang kuat.

   "Dia kelak akan menjadi seorang samurai yang he-bat,"

   Kata Saburo pada isterinya. Itzumi tersenyum.

   "Aku sudah dapat merasakannya sejak ia ada dalam kandungan. Gerakan kaki dan ta-ngannya terlampau kuat untuk seorang bayi."

   "Mungkin ia sudah belajar silat di dalam perutmu."

   "Mungkin,"

   Jawab Itzumi sambil tersenyum.

   "Seperti ayahnya."

   Saburo Mishima tersenyum, kemudian mendekap isterinya dengan mesra.

   Ia mencium bibir wanita itu dengan gemas.

   Mereka berpelukan, lalu bergulingan di atas futon (kasur tipis yang digelar di lantai).

   Itulah saat-saat bahagia yang tak terlupakan.

   Ketika akhirnya Saburo Mishima diangkat sebagai pengawal istana, isterinya menjadi teman istri Shogun Ashikaga.

   Mereka bersahabat, karena keduanya memiliki anak yang sebaya.

   Natane Yoshioka sering berlatih kendo (ilmu pedang) dengan Kojiro.

   Mereka mengisi hari-hari kosong, dengan belajar ilmu pedang di sebuah dojo (tempat berlatih bela diri) yang berada di lingkungan istana.

   Saburo melatih mereka bagaimana cara memegang pedang, dan menggunakannya untuk menyerang atau menangkis.

   Pada saat-saat seperti itu, Itzumi sering datang membawakan makanan untuk mereka.

   Seusai berlatih kendo, biasanya mereka mi-num sake dan menikmati dengaku (makanan khas Jepang yang dibuat dari tahu yang dipanggang kemudian ditaburi taocho).

   Perkembangan pelajaran kendo yang diberikan Sa-buro, sangat dihargai oleh Shogun Ashikaga, karena itu ia kemudian diangkat sebagai guru resmi Natane Yoshioka.

   Sejak saat itu, Ashikaga menyuruh Natane memanggil Saburo dengan sebutan sensei atau guru.

   Pada mulanya Saburo agak keberatan, namun sebagai seorang samurai, ia pantang membantah permintaan shogun.

   "Shogun Ashikaga telah memberikan pada kita se-mua yang tidak terduga,"

   Kata Itzumi suatu hari ketika mereka berbaring di kamar hanya berdua.

   "Aku sendiri tidak pernah membayangkan suatu saat akan tinggal di dalam lingkungan istana."

   "Aku pun tidak pernah menduganya."

   "Karunia ini harus kita balas."

   "Dengan apa?"

   "Kesetiaan."

   "Aku setia padanya."

   "Aku pun demikian."

   "Bagaimana denganku, apakah engkau tidak akan setia padaku?"

   Itzumi tersenyum, ia mengecup bibir suaminya de-ngan mesra.

   "Jangan khawatir,"

   Bisiknya lirih.

   "Aku akan setia padamu melebihi kesetiaanku pada siapa pun juga."

   "Juga dengan kesetiaanmu pada Shogun Ashikaga?"

   "Kesetiaanku padamu berbeda dengan kesetiaanku padanya,"

   Kata Itzumi tanpa tekanan.

   "Tetapi sama he-batnya."

   Tak pernah diduga, kesetiaan pada keluarga Ashi-kaga, harus ditebus oleh Itzumi dengan nyawanya.

   Sa-tu hal yang membuat kemarahan Saburo seperti tak tertahankan, ternyata kematian isterinya justru di tangan Ishida Mitsunari! "Berapa lama kita akan berada di sini, Sensei?"

   Ti-ba-tiba Natane Yoshioka bertanya pada Saburo.

   "Kita harus menunggu sampai keadaan benar-benar aman. Nobunaga saat ini pasti terus melakukan pen-carian. Dia tidak akan berhenti sebelum berhasil me-menggal kepala Anda."

   "Kita benar-benar seperti penjahat yang dikejar-kejar pemburu."

   "Hidup Anda merupakan ancaman baginya. Karena itu Nobunaga pasti bersedia membayar berapa pun un-tuk memastikan kematian Anda."

   Natane Yoshioka terdiam.

   Pandangannya menyapu panorama di sekitarnya.

   Dari tempat mereka berdiri, tampak keindahan Kota Kamakura.

   Kecuali dua sungai yang mengapit istana, terlihat desa-desa di sekitarnya.

   Lalu jauh di belakang, tampak menjulang Gunung Fuji dengan salju abadinya.

   Kabut transparan yang menyelimuti bukit itu, tak menutupi panorama indah bunga-bunga sakura yang mulai bermekaran.

   Warna kuning dan merah menjadi-kan titik pandang yang menawan.

   Telah tiga hari mereka bersembunyi di bukit itu.

   Se-tiap hari hanya makan buah-buahan dan membakar ikan yang dapat mereka tangkap di sungai yang meng-alir di bawah bukit tersebut.

   Biasanya Saburo menu-runi bukit menjelang fajar, ia akan kembali sesaat sebelum matahari terbit.

   Biasanya ia membawa beberapa ikan yang berhasil ditangkap dengan tombaknya.

   Dua kali ia hampir kepergok patroli pasukan Nobu-naga, karena itu Saburo kemudian bersikap lebih hati-hati.

   Bila tidak perlu sekali, ia tidak menuruni bukit.

   Bagi Saburo, sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit untuk meninggalkan bukit itu, tetapi dua anak terse-but merupakan persoalan tersendiri.

   Lebih-lebih Na-tane Yoshioka yang masih mengenakan pakaian ista-na.

   Anak itu dengan mudah menarik perhatian orang yang melihatnya.

   "Kita harus keluar dari sini,"

   Kata Natane Yoshioka tanpa berpaling pada Saburo.

   Ini sikap yang sangat khas pada keturunan Ashikaga itu.

   Meskipun usianya baru sebelas tahun, namun sikap dan perilakunya mem-perlihatkan kharisma seorang shogun.

   Sikap tersebut mengandung sedikit kesombongan, sekaligus pancaran benih-benih kekuasaan.

   "Cepat atau lambat, pasukan Nobunaga akan sampai di sini. Bila mereka berhasil menemukan persembunyian kita, rasanya kita tak mungkin memiliki kesempatan untuk meloloskan diri. Bagaimana pun kita harus mencari jalan keluar, Sen-sei."

   "Semua jalan telah dikepung. Bahkan Nobunaga me-nempatkan tentaranya di setiap jarak dua ratus meter. Ia benar-benar tak membiarkan kita keluar dari tempat ini."

   "Bila dia mempersempit pengepungannya, kita pasti tertangkap."

   "Itulah yang sekarang sedang saya pikirkan."

   "Tidak adakah penduduk di sekitar tempat ini yang dapat menolong...."

   "Sekarang bukan saatnya untuk mengharapkan pertolongan orang lain,"

   Tukas Saburo cepat.

   "Kita tidak tahu apa-apa. Dalam keadaan seperti saat ini, setiap orang dapat menjadi pengkhianat untuk kesela-matan dirinya. Jangan mempercayai siapa pun."

   "Menurut Sensei, berapa lama kita dapat bertahan di sini?"

   "Tidak akan lama lagi."

   "Lalu ke mana kita akan pergi?"

   "Itulah yang sedang saya pikirkan."

   "Bagaimana kalau kita ke Edo?"

   "Ke Edo atau ke mana pun sama saja. Persoalannya adalah bagaimana cara keluar dari kepungan tentara Nobunaga. Mereka sekarang berada di mana-mana. Sepertinya tidak ada tempat yang tidak dijaga."

   "Tidak mungkinkah di antara mereka ada yang ma-sih setia pada ayahku?"

   "Mungkin ada. Mungkin tidak. Kita tidak dapat me-ngetahuinya."

   "Bagaimana cara terbaik untuk mengetahuinya?"

   "Turun ke desa terdekat."

   "Itu gagasan bagus!"

   "Tetapi cara itu mengandung risiko."

   "Apa risikonya?"

   "Bila mereka berpihak pada Nobunaga, dalam wak-tu singkat kita akan menghadapi bahaya besar. Me-reka akan membongkar seluruh bukit ini untuk me-nemukan Anda."

   "Itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini seperti orang terpenjara."

   Saburo Mishima membungkukkan badan.

   "Boleh-kah saya mencegah Anda?"

   "Sebaiknya tidak,"

   Jawab Natane Yoshioka enteng.

   "Saya ingin membuktikan seberapa besar kesetiaan rakyat pada ayahku. Besok, menjelang fajar menying-sing, saya akan turun ke desa terdekat. Kita akan tahu seberapa besar sesungguhnya bahaya yang kita hadapi."

   "Apakah tidak berbahaya?"

   "Saat ini tidak ada yang tidak berbahaya. Apa pun risikonya, kita harus berani menghadapinya."

   "Pernahkah saya mengajarkan pada Anda, Yoshio-ka-san, tentang ajaran Soen Tzu mengenai sebuah pe-ngepungan?"

   "Rasanya belum."

   "Maukah Anda mendengarkannya?"

   "Coba katakan."

   "Soen Tzu adalah seorang panglima perang Cina yang sangat terkenal. Pada lima ratus tahun sebelum Masehi, ia telah menuangkan buah pikirannya menge-nai strategi militer dalam buku yang diberi judul Seni Berperang. Satu ajarannya mengatakan. Jika lawan kuat di segala posisi, bersiap-siaplah untuk menghadapinya. Jika lawan lebih kuat, menghindarlah! Kita sekarang tahu, pasukan Nobunaga jauh lebih kuat diban-ding kita bertiga, bukankah kita lebih baik menghinda-rinya saja?"

   "Kenapa kita harus berguru pada orang Cina?"

   "Kita dapat belajar tentang kebijaksanaan hidup da-ri siapa pun juga." *** NOBUNAGA KOTA Kamakura seketika senyap. Udara diliputi kete-gangan. Angin yang masih membawa bau anyir darah, bertiup sepoi-sepoi. Debu dan sampah beterbangan di jalan-jalan. Orang-orang berdiri di tepi jalan, mereka berkumpul untuk menyambut kedatangan Nobunaga. Dalam se-buah prosesi arak-arakan yang panjang, disertai iring-an suara genderang, Nobunaga memasuki Kamakura dengan penuh kemenangan. Iring-iringan itu hampir satu kilometer panjangnya, terdiri dari dua ribu pasukan dari berbagai jenis tentara. Dimulai dengan barisan genderang yang ditabuh lelaki-lelaki bertelanjang dada. Mereka mengenakan kain merah sebatas pinggang, dan ikat kepala warna putih. Suara genderang itu ditabuh bertalu-talu, sebagai isyarat agar penduduk membungkuk, memberikan hormat pada Shogun Nobunaga. Menurut kepercayaan mereka, suara gende-rang itu merupakan pengusir bala bagi mereka. Di belakang penabuh genderang, tampak seratus orang pasukan tombak yang membawa bendera warna merah dengan gambar naga, lambang kebesaran No-bunaga. Mereka melangkah tenang, namun waspada. Rambut mereka tersimpan dalam topi warna merah, sama dengan warna bendera. Di belakang pasukan pembawa tombak itulah, Sho-gun Nobunaga duduk di atas pelana seekor kuda war-na hitam, melenggang memasuki istana Kamakura de-ngan gagah. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian perang, kain brokat warna merah dengan hiasan gambar naga dari benang emas. Dari bahu, siku, pergelangan ta-ngan, lutut, dan betisnya dilindungi keping-keping besi pelindung bagian tubuh dalam pertempuran. Ia mengenakan sarung torso yang menutupi bagian dada hingga perut, berupa sisik-sisik besi berwarna emas. Lehernya ditutup kerah besi warna hitam, bahunya di-lindungi cukin terbuat dari baja, sementara kepalanya mengenakan pelindung terbuat dari bilah-bilah besi yang penuh hiasan. Di pinggangnya terselip pedang panjang dan pendek yang dilapisi emas. Tatapan ma-tanya tajam. Kumisnya yang panjang dan jenggotnya yang lebat mempertegas kewibawaan lelaki itu. Sinar matanya menyapu ke setiap lorong kota, seakan ingin mengatakan bahwa segalanya kini telah menjadi milik-nya. Nobunaga adalah seorang samurai sejati yang ber-hasil menjadi penguasa di Jepang. Ia lahir di Kiyoto, di sebuah dusun kecil tempat perguruan Yagyu didirikan. Ayahnya seorang samurai, sementara ibunya seorang petani yang mencari uang dengan membuat tatami. Sejak kecil, ayahnya memang mengharapkan anaknya menjadi samurai. Meskipun isterinya menentang kei-nginan itu, namun ayah Nobunaga tak peduli. Hampir setiap hari ia melatih anaknya bermain pedang. Kete-kunan ini akhirnya membuahkan hasil. Pada usia enam tahun, Nobunaga telah berhasil menguasai ilmu pedang ayahnya. Pada usia enam belas tahun, ayahnya memasukkan anaknya ke perguruan Yagyu, sebuah perguruan silat yang sangat termasyhur dengan permainan pedang-nya. Di sini bakat Nobunaga berkembang pesat. Per-mainan pedangnya tak terkalahkan oleh siapa pun. Bahkan ia berhasil menaklukkan dua belas samurai dalam sebuah pertarungan sengit. Disiplin yang dite-rapkan ayahnya sejak kecil, telah membentuk sema-ngat bushido dalam dirinya. Ia selalu pantang menye-rah. Tetapi kehebatan permainan pedang itu, tidak ber-pengaruh apa-apa dalam kehidupannya. Ia tetap hidup dalam kemiskinan. Para shogun dan daimyo (pengu-asa-penguasa wilayah) sebagian besar hanya memper-kaya diri sendiri. Mereka tidak memikirkan kehidupan kaum samurai yang sesungguhnya menjadi benteng pertahanan di wilayahnya. Hingga pada suatu hari, Nobunaga menjumpai ayahnya terluka parah karena melawan perampok. Daimyo Kawabata, tempat di mana ayahnya mengabdi, justru mempersalahkan ayahnya karena gagal mengusir perampok. Bahkan sehari se-sudah ayah Nobunaga meninggal, Kawabata mengusir keluarganya. Sejumlah samurai suruhan Kawabata, membakar rumah Nobunaga. Nobunaga marah. Sangat marah. Dengan pedang milik ayahnya, Nobunaga melabrak Daimyo Kawabata. Seorang diri ia menghadapi tiga puluh orang samurai. Sebuah pertarungan antara hidup dan mati terjadi. Dan Nobunaga keluar sebagai pemenang. Ia musnah-kan seluruh keluarga Kawabata, lalu mengangkat diri sebagai daimyo di wilayah itu. Itulah titik tolak kemasyhuran Nobunaga. Dengan memimpin para samurai yang berhasil ia kalahkan, sa-tu per satu wilayah di sekitarnya ia taklukkan. Kaisar Yoritomo, yang pada waktu itu berkuasa di Jepang, merasa gentar menghadapi Nobunaga. Karena itu ia segera mengirim utusan untuk mengangkat No-bunaga sebagai shogun. Dengan mengangkatnya seba-gai shogun, Kaisar berharap dapat menghentikan pere-butan kekuasaan di wilayahnya. Ternyata ia keliru. Nobunaga justru semakin bersemangat menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya.

   "Aku memimpikan hanya ada seorang shogun di ba-wah kaisar,"

   Kata Nobunaga suatu hari.

   "Karena hanya dengan penguasa tunggal, tahta dapat dipertahankan. Kekuasaan yang terbagi-bagi, merupakan benih perla-wanan yang berbahaya. Aku tidak menghendaki hal seperti itu terjadi. Bila hanya ada Shogun Nobunaga di Jepang, negeri ini pasti akan lebih menyenangkan. Tidak ada pertikaian atau pertempuran atau perebutan wilayah kekuasaan."

   Sikap itulah yang kini terpancar di sinar mata No-bunaga ketika ia menuju istana Kamakura.

   Di belakang Nobunaga, tampak tandu-tandu yang dipikul sejumlah orang, berisi para geisha (wanita peng-hibur) yang siap melayani Nobunaga.

   Meskipun me-reka tersembunyi dalam tandu, namun semua orang mengetahui, Nobunaga memiliki geisha-geisha yang terkenal kecantikannya.

   Bahkan satu di antaranya, menurut desas-desus, mempunyai kekuasaan melebihi istri Nobunaga sendiri.

   Naoko, salah seorang geisha berasal dari Fujiwara, memiliki kecantikan luar biasa.

   Di belakang geisha itu, berbaris lebih dari seribu pasukan, yang terdiri dari samurai-samurai sejati.

   Semua membawa dua pedang, sebagai pertanda bahwa mereka adalah samurai yang mengabdi pada pengu-asa.

   Meskipun pakaian mereka warna-warni, tak seo-rang pun memakai warna merah, warna yang hanya boleh dikenakan oleh Shogun Nobunaga.

   Rambut para samurai diikat di atas kepala, dengan rambut di dahi dicukur habis, hingga mempertegas garis keras pada wajah mereka.

   Celana dan lengan baju mereka yang besar, melambai-lambai tertiup angin seiring dengan langkah mereka.

   Penduduk Kamakura langsung membungkukkan kepala pada saat Nobunaga lewat di depan mereka.

   Suasananya terasa mencekam.

   Suasana itu semakin menekan perasaan, karena di kanan kiri jalan, atas pe-rintah Nobunaga, banyak berdiri tiang gantungan yang dipakai menggantung para samurai yang telah mereka kalahkan.

   Dalam jarak tiga kilometer dari gerbang istana, ada hampir lima ratus tubuh samurai yang di-gantung.

   Nobunaga tersenyum tipis menyaksikan ke-kejamannya.

   "Kekejaman ini akan membuat semua orang tak be-rani melawanku,"

   Kata Nobunaga pada Konishiwa -panglima perang Ashikaga yang telah memihak pada-nya.

   "Mereka akan mengetahui, aku tak segan melaku-kan penumpasan sekejam-kejamnya untuk memperta-hankan kekuasaanku."

   "Benar, Yang Mulia."

   "Kemenangan ini akan menjadi awal langkahku un-tuk menguasai seluruh Jepang. Aku ingin para daimyo di Hokaido, Kyiushu, Honshu, hingga Edo, memberi-kan pengakuan atas kekuasaanku."

   "Perintah itu akan segera kami laksanakan."

   "Satu hal yang membuat kemenanganku kali ini ti-dak lengkap, adalah lolosnya anak Ashikaga dan hi-langnya Pedang Muramasa."

   "Saya pun menyesalkan hal itu."

   "Itu adalah kesalahan Ishida Mitsunari. Dia yang harus bertanggung jawab atas hal itu."

   "Sebagai seorang samurai, dia telah gagal menja-lankan kewajibannya. Yang Mulia dapat menghukum-nya."

   "Apa hukuman yang harus kujatuhkan terhadap-nya?"

   "Perintahkan dia melakukan seppuku."

   Shogun Nobunaga menoleh pada Konishiwa, ia me-nyadari seppuku merupakan hukuman yang setimpal untuk menebus kegagalan Mitsunari.

   Tetapi cara itu akan membuat lelaki tersebut tetap terhormat.

   Bagi orang Jepang, kematian sebagai penebusan dosa ada-lah kehormatan terbesar.

   Di depan gerbang istana, Shogun Nobunaga mem-beri isyarat agar seluruh pasukannya berhenti.

   Ia melihat sebuah tiang besar telah ditancapkan di depan pintu, di atasnya tergantung kepala Shogun Ashikaga yang telah dipenggal.

   Kepala itu berwarna pucat dan dikerumuni lalat yang beterbangan di sekitarnya.

   "Sudah lama saya ingin memenggal kepalanya,"

   Ka-ta Nobunaga sambil tersenyum.

   "Tidak kusangka se-mua bisa terjadi jauh lebih mudah dibanding yang ku-perkirakan. Saya sangat menghargai bantuan Anda, Konishiwa."

   "Terima kasih, Yang Mulia."

   "Kita akan merayakan kemenangan ini dengan pes-ta tujuh hari tujuh malam, sekaligus sebagai perayaan kepindahanku ke istana Kamakura. Aku ingin Anda kumpulkan seluruh geisha di kota ini, juga panggil penari dari Fujiwara untuk memeriahkan pestaku. Ja-ngan dilupakan pertunjukan sumo terbaik dari negeri ini. Kukira semua prajurit perlu istirahat dan memperoleh hiburan."

   "Baik, Yang Mulia." *** Saburo Mishima melompati parit yang melintang di bawah pohon sakura, ia kemudian bergegas menuju gubuk tempat persembunyian mereka. Beberapa hari lalu, mereka menemukan sebuah gu-buk kosong, bekas tempat membuat moxa, sejenis obat yang dipakai untuk menghilangkan rasa sakit. Pembuatan moxa merupakan salah satu mata pencaharian penduduk setempat. Biasanya pada musim semi, pen-duduk mencari mugwort di sekitar Gunung Ibuki. Mugwort yang telah diperoleh, kemudian mereka ke-ringkan pada musim panas. Baru pada musim gugur dan musim panas, penduduk membuatnya menjadi moxa. Karena sekarang musim semi, gubuk-gubuk yang biasa dipakai membuat moxa banyak yang kosong, di-tinggalkan para petani untuk mencari bahan obat-obatan itu. Karena itu, ketika menemukan gubuk ter-sebut, Saburo menganggap Tuhan berniat menyela-matkan mereka. Bukan saja karena gubuk tersebut dapat dipakai bersembunyi, tetapi sisa-sisa moxa yang ada di tempat itu, dapat mereka pergunakan untuk mengobati lukanya. Di dalam gubuk itu, Natane Yoshioka sedang duduk bersila sambil memegang pedangnya. Kojiro duduk di sampingnya sambil menahan kantuk. Ketika mende-ngar bunyi rumput ilalang terinjak kaki, kedua anak itu saling berpandangan. Secara refleks Yoshioka mendorong bilah Pedang Muramasa dari sarungnya. Mereka bernapas lega ketika melihat Saburo Mishi-ma yang datang.

   "Hari ini kita akan mengadakan pesta,"

   Kata Saburo sambil memperlihatkan seekor ayam di tangannya.

   "Ayam ini kuperoleh dari rumah petani di bawah sa-na."

   "Engkau mencurinya, Sensei?"

   Yoshioka bertanya.

   "Ya. Saya terpaksa mencuri karena pemiliknya tidak ada. Semua orang berangkat ke Kamakura untuk me-nyambut kedatangan Nobunaga."

   "Mereka sekarang telah memasuki istana?"

   "Tampaknya begitu. Saya sempat melihat iring-iringan mereka dari jauh."

   "Berapa banyak pasukannya?"

   "Saya tidak tahu pasti, tetapi saya kira tidak kurang dari dua ribu orang. Melihat rombongan itu, tampaknya Nobunaga akan memindahkan pusat pemerinta-han di Kamakura."

   "Dia merampas istana ayahku."

   "Itulah yang terjadi."

   "Dia telah membunuh kedua orang tuaku."

   "Dia juga membunuh ibuku,"

   Kojiro tiba-tiba berka-ta. Ini mengejutkan Mishima. Selama ini, Kojiro jarang mengungkapkan perasaannya.

   "Suatu saat saya akan membalas."

   "Saya pun akan membalas,"

   Sahut Yoshioka.

   "Me-reka telah merampas semua milikku."

   "Kita semua akan membalas,"

   Tukas Mishima de-ngan suara mengandung kemarahan.

   "Tetapi tidak se-karang. Kita harus mengumpulkan kekuatan terlebih dulu sebelum melawan Nobunaga. Kekuatannya tidak dapat kita anggap ringan. Dia memiliki samurai-sa-murai terbaik di daerah ini."

   "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

   "Kita harus membangun kekuatan terlebih dulu. Anda sendiri, harus mulai memperdalam ilmu pedang. Suatu saat Anda akan memerlukannya."

   "Baiklah. Saya akan mempelajarinya. Kapan engkau dapat mengajariku bermain pedang?"

   "Kita mulai besok pagi." *** Nobunaga berendam di kolam air hangat Istana Kama-kura. Ia membiarkan Naoko menyabuni seluruh tubuh-nya. Air hangat itu meresap ke dalam pori-pori kulitnya, membuat tubuhnya segar. Inilah yang sangat ia sukai dari Naoko, geisha tersebut mengetahui apa yang paling disukai seorang laki-laki. Suatu kemanjaan seksual yang penuh imajinasi. Sambil membiarkan geisha itu membersihkan tu-buhnya, Nobunaga memandangi tubuh polos wanita itu. Tubuhnya benar-benar menggiurkan. Meskipun kecil, seperti umumnya wanita Jepang, namun Naoko memiliki tubuh yang sempurna. Kulitnya halus seperti lilin, kuning langsat, payudaranya besar namun indah, pinggulnya juga besar dan sangat menggairahkan. Raut wajahnya yang oval, dilengkapi hidung bangir, dan bibir sensual, menyebabkan kecantikannya tak tertandingi. Lebih dari semua kecantikan fisik itu, Naoko selalu memiliki gaya bercinta yang memabukkan. Sebelum mereka bercinta, selalu diawali dengan mandi bersama. Geisha itu dengan penuh kemesraan membersihkan seluruh tubuh Nobunaga. Ia terus me-nyabuni tubuh lelaki tersebut, seluruhnya. Dari ujung kaki sampai leher Nobunaga. Semua itu merupakan awal permainan cinta yang penuh sensasi "Siapa yang disuruh memimpin perburuan anak Ashikaga?"

   Naoko bertanya sambil terus membelai tu-buh Nobunaga.

   "Aku telah memerintahkan Konishiwa mengepung seluruh wilayah Kamakura. Mereka tidak akan dapat lari."

   "Tidak perlukah dibuat pengumuman tentang pe-ngejaran itu?"

   "Maksudmu?"

   "Seperti sayembara dengan hadiah. Saya kira sema-kin cepat kita berhasil memenggal kepala Yoshioka, semakin baik. Jangan memberi kesempatan bagi me-reka untuk memperoleh sekutu."

   "Bagaimana caranya?"

   "Keluarkan dekrit untuk perburuan kepala mereka."

   Nobunaga diam. Ia menatap wajah Naoko dengan penuh rasa kagum.

   "Rupanya kau tidak hanya pintar bercinta,"

   Kata Nobunaga kemudian.

   "Tetapi juga bersiasat perang."

   "Bercinta dan berperang adalah sama saja,"

   Jawab Naoko manja.

   "Keduanya memerlukan seni dan kecer-dasan."

   Nobunaga hanya dapat mendesis ketika Naoko mu-lai membelai-belai pahanya.

   "Kau selalu berhasil merangsangku, Naoko-san."

   "Kalau begitu saya ingin membuktikannya."

   "Tanpa membuktikan pun, kau sudah mengetahui-nya."

   Naoko tersenyum, giginya yang putih bersih tampak mempesona.

   "Kemarilah, aku ingin menciummu,"

   Kata Nobunaga sambil mengulurkan tangan.

   "Benarkah hanya ingin menciumku?"

   "Aku tidak tahu."

   Dengan mesra Naoko mendekat, kemudian mereka berciuman dengan mesra.

   Lalu penuh nafsu.

   Gairah di dalam diri Nobunaga seakan tersulut api.

   Ia mendekap kekasihnya dengan erat, lalu menciuminya bertubi-tubi.

   Dimulai dari bibir, lalu turun ke leher, bahu, kemudian turun lagi ke bawah....

   Naoko memeluk erat lelaki itu.

   "Oh, nikmat sekali...."

   Nobunaga menarik pinggul Naoko ke pangkuannya, kemudian dengan hentakan lembut ia memeluk tubuh wanita itu.

   Terdengar desis mereka.

   Air hangat di kolam itu terus berasap, menciptakan sensasi kehanga-tan yang luar biasa.

   Setiap kali mereka bergerak, gelombang panas menyelimuti tubuh mereka.

   Naoko bergerak dengan lembut, membuat perasaan Nobunaga seakan melayang ke dunia lain....

   Mereka menyatu dalam irama yang menghempas-hempas, menciptakan gelombang kehangatan yang nikmat dan sensasional.

   Bagi Nobunaga sendiri, bercinta di kolam air hangat terasa sangat menyenangkan, enerjinya seakan berlipat ganda, sehingga ia dapat bercinta dalam waktu lama.

   Kehangatan yang berubah-ubah antara rasa nikmat dan air panas, menyebabkan konsentra-sinya tak hanya tercurah pada permainan cinta terse-but.

   Ketika mereka telah bercinta lebih dari setengah jam, Naoko berkata.

   "Nikmati, Yang Mulia. Nikmati!"

   Naoko kemudian bergerak lebih cepat.

   Lebih cepat.

   Tidak lagi lembut, tetapi kini liar dan sesekali kasar.

   Nobunaga memejamkan mata rapat-rapat, ia merasa-kan seluruh tubuhnya bergetaran dengan hebat, dan akhirnya laki-laki itu meraih tubuh Naoko dan men-dekapnya dengan erat.

   Sangat erat.

   Ia merasakan seluruh kelenjar dalam tubuhnya meledak dalam perasaan sensasional yang sangat nikmat.

   Setengah jam kemu-dian, Nobunaga membuka mata dengan rasa letih yang menggerogoti tubuhnya.

   Ia melihat Naoko telah berpa-kaian.

   "Hei, engkau mau ke mana?"

   "Menjumpai Konishiwa-san."

   "Untuk apa?"

   "Memberitahukan dekrit Anda; siapa pun yang da-pat memenggal kepala Yoshioka dan membawa Pedang Muramasa kemari, mereka akan memperoleh hadiah seribu real."

   Nobunaga terbelalak.

   "Seribu real?"

   "Ya,"

   Jawab Naoko mantap.

   "Apa artinya seribu real dibanding istana Kamakura ini. Saya akan menyuruh Konishiwa mengumumkannya." *** PENGUSIRAN KAKI gempal dan berotot, terangkat tinggi dan sebentar melayang-layang sebelum menghantam lantai dengan suara berdebum. Tangan yang kekar berubah menjadi tinju sebesar batu, menghunjam, dan membuat rua-ngan seketika bergetar. Dua petarung yang hampir te-lanjang, sama-sama siap melempar lawan keluar are-na. Ketegangan benar-benar memenuhi udara. Suasana sangat mencekam. Orang-orang di sekitar arena bersorak-sorak kegirangan untuk kedua pegulat di atas dohyo, ring sumo. Jeritan histeris dan teriakan tertuju pada kedua pesumo itu. Semua memberikan semangat bagi sumotori yang dijagoi.

   "Takinada!"

   Jerit seorang gadis jelita.

   "Rebut keme-nanganmu untukku!"

   "Aku sayang kamu!"

   Pekik seorang gadis lain.

   "Lem-par musuhmu ke luar arena!"

   Takinada melangkah ke dalam dohyo sambil mena-burkan segenggam garam (tatacara penyucian) ke uda-ra.

   Para penonton pria yang setengah mabuk, dan se-jumlah samurai, bersorak-sorak.

   Mereka benar-benar menikmati pertarungan itu.

   Kashima, dengan tubuh yang amat gemuk, mulai melancarkan pukulan ke dada Takinada.

   Ia mengga-saknya dengan dorongan tubuh, dan berusaha menja-tuhkan lawannya.

   Dalam seketika, mereka terlibat do-rong mendorong dengan seluruh kekuatan.

   Takinada terdesak di pinggir lingkaran kapur putih, ia berusaha bertahan sekuat tenaga.

   Napas Kashima mendengus, mata lelaki itu melotot seperti seekor banteng yang tengah marah.

   "Kau akan kulempar keluar arena,"

   Desis Kashima.

   Hanya sedetik Kashima mengucapkan kata-kata itu, tetapi itu sudah cukup menjadi peluang bagi Takinada untuk mencengkeram tali pinggangnya, kemudian dengan kekuatan penuh melemparkannya ke luar ring.

   Kashima jatuh menggelimpang di luar dohyo.

   Tepuk tangan terdengar gemuruh.

   "Hidup Takinada! Hidup Takinada!"

   Terdengar sorak sorai membahana.

   Sejumlah samurai beranjak ke doh-yo untuk mengangkat Takinada.

   Mereka menumpah-kan kegembiraan sambil minum sake.

   Kaum wanita mengelu-elukan sambil menari-nari.

   Shogun Nobunaga yang menyaksikan pertarungan itu dari tempat yang tinggi, turut bertepuk tangan.

   Sudah lama sejak terjadi pertikaian dengan Ashikaga, ia tidak menyaksikan sumo.

   Karena itu malam ini ia tampak mengumbar senyum ceria.

   Tiga orang geisha yang melayaninya turut tersenyum menyaksikan kegembi-raan Nobunaga.

   Sambil sesekali membelai tangan Nao-ko, lelaki itu tertawa-tawa gembira.

   Selain kendo, Nobunaga memang sangat menyukai sumo.

   Olah raga gulat khas Jepang ini telah berusia lebih dari dua ratus tahun, namun kian lama pertun-jukannya justru kian memikat.


Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Pendekar Rajawali Sakti Dendam Gadis Pertapa

Cari Blog Ini