Samurai Pengembara I 2
Shugyosa Samurai Pengembara I Bagian 2
Pada festival Koguryo, berdatangan pesumo dari seluruh Jepang.
Mereka mengadu kekuatan untuk membuktikan siapa yang terbaik di antara mereka.
Dan kini, telah tiga tahun Takinada membuktikan dirinya sebagai pesumo terbaik.
"Aku ingin didirikan sebuah tempat pertarungan sumo secara tetap di Kamakura,"
Kata Nobunaga pada Konishiwa yang duduk di sebelahnya.
"Kita dapat men-datangkan pesumo-pesumo dari Koguryo atau Kiyoto untuk meramaikan pertunjukan ini."
"Koguryo memang tempat kelahiran pesumo yang hebat, Yang Mulia."
"Itu sebabnya kuminta kau mencari pesumo dari sana."
"Baik. Saya akan melaksanakan perintah, Yang Mu-lia."
"Jangan lupa, cari pula penari-penari dari Izu agar pertunjukan tambah meriah."
"Saya rasa itu gagasan yang menarik."
"Bagaimana menurut pendapatmu, Naoko-san?"
Naoko mengerling pada Nobunaga dengan manja.
"Sepanjang mereka memang penari, saya rasa tidak apa-apa."
"Apa maksudmu dengan mengatakan 'memang pe-nari'?"
"Siapa tahu Konishiwa justru membawa para geisha."
Nobunaga tertawa terbahak-bahak, kemudian de-ngan ujung jarinya ia menjentik dagu Naoko.
"Rupanya kau cemburu, Naoko-san."
"Apakah saya tidak boleh cemburu?"
"Tentu boleh. Tetapi jangan sekali-kali kau perli-hatkan di depan Konishiwa-san. Dia akan tahu kele-mahanku... ha... ha... ha."
Tiba-tiba seorang samurai datang. Laki-laki itu membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh lantai.
"Ishida Mitsunari telah menghadap,"
Kata samurai itu tanpa mengangkat kepala.
"Dia saat ini berada di Istana Dalam ingin bertemu Yang Mulia."
Nobunaga menoleh pada Konishiwa, kemudian ber-kata dalam irama stakato yang cepat.
"Saya akan menemuinya. Suruh dia menunggu."
"Haik!" *** Di Istana Dalam, Ishida Mitsunari bersimpuh di atas tatami. Laki-laki itu mengenakan pakaian serba putih, lengkap dengan ikat kepala warna putih. Di depannya tampak samurai yang diletakkan melintang. Di sisi pedang itu, terdapat pedang pendek, dan satu cangkir sake. Suatu tanda bahwa Mitsunari ingin melakukan seppuku. Nobunaga muncul dari belakang, diiringi Konishiwa, dan sejumlah pengawalnya. Ketika lelaki tersebut muncul, semua orang di dalam ruangan itu serentak mem-bungkukkan badan hingga kepala mereka menyentuh lantai.
"Ishida Mitsunari!"
"Haik, Yang Mulia."
"Engkau telah gagal menjalankan kewajibanmu se-hingga anak Ashikaga lolos dan Pedang Muramasa le-nyap."
"Benar, Yang Mulia."
"Kau tidak pantas memperoleh penghormatan seba-gai seorang samurai. Satu-satunya tebusan untuk ke-gagalan adalah kematian. Tetapi kegagalanmu kali ini jauh lebih buruk dari kegagalan apa pun juga. Lolosnya Yoshioka menjadi benih bahaya yang tak dapat di-cegah. Karena itu aku akan menghukummu."
Mitsunari membungkukkan badan penuh hormat.
"Saya minta diizinkan untuk melakukan seppuku."
"Seppuku?"
"Benar, Yang Mulia. Rasanya saya tak sanggup me-nanggungkan rasa malu. Telah menjadi kewajiban saya sebagai seorang samurai untuk menebus kegaga-lan ini dengan nyawa."
"Seorang samurai pantang melakukan kegagalan,"
Kata Nobunaga dalam nada tinggi.
"Kau tidak pantas menjadi samurai."
"Yang Mulia!"
Mitsunari mengangkat kepala.
Ia sa-ngat kaget mendengar pernyataan Nobunaga.
Kata-kata Nobunaga memberi isyarat bahwa ia tak diizinkan melakukan seppuku.
Ini berarti ia akan menanggungkan penghinaan seumur hidupnya.
Bila dugaan ini be-nar, berarti Nobunaga telah mencampakkan dirinya dengan penuh kehinaan.
Nobunaga berkata.
"Engkau tidak kuizinkan mela-kukan seppuku. Kau harus menjalani hukuman karena kegagalanmu. Hari ini juga, kau harus meninggalkan Kamakura. Kau tidak kuizinkan memasuki wilayah ke-kuasaanku sebelum kau berhasil membawa kepala Yo-shioka dan menyerahkan Pedang Muramasa padaku. Hanya itu penebusan yang dapat kau lakukan."
"Saya memohon ampun, Yang Mulia,"
Kata Mitsuna-ri sambil menahan isak tangis.
Pengusiran terhadap-nya benar-benar merupakan hukuman yang sangat mengerikan.
Lebih dari itu, dengan kaki yang hanya tinggal sebelah, bagaimana mungkin ia akan menga-lahkan Saburo Mishima? "Rasanya saya tidak sanggup menanggungkan hukuman itu, izinkan saya melaku-kan seppuku saat ini juga."
"Tidak!"
Jawab Nobunaga tegas. Suaranya menggun-tur hingga membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkesima.
"Aku sudah mengatakan keputusanku. Tak seorang pun kubiarkan mengubahnya. Hari ini, kau akan diantar keluar dari Kamakura, sesudah itu carilah orang-orang yang sudah kaubiarkan selamat dari pengepungan. Hanya dengan membawa kepala Yoshioka dan Pedang Muramasa, namamu akan kupu-lihkan sebagai seorang samurai, dan janjiku akan ku-penuhi untuk mengangkatmu sebagai seorang da-imyo."
Seusai berkata begitu, Nobunaga bangkit berdiri, la-lu tanpa berpaling lelaki itu bergegas pergi.
Semua orang yang ada di ruangan itu membungkukkan badan dengan penuh hormat.
*** Senja merah.
Matahari mulai terbenam.
Langit di atas Kota Kamakura seperti hamparan darah.
Sejauh mata memandang, hanya warna merah yang tampak.
Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda tua keluar dari gerbang istana.
Kecuali seorang lelaki tua, enam orang samurai berjalan di sisi kanan dan sisi kiri gerobak itu.
Mereka mengenakan topi tikar berbentuk bu-lat, tatapan mereka lurus ke depan.
Selama perja-lanan, tak seorang pun membuka percakapan.
Semua membisu seakan menyembunyikan suatu rahasia.
Di dalam gerobak itu, Ishida Mitsunari duduk sam-bil menahan kepedihan.
Ini merupakan penghinaan tak terperikan.
Pengusiran kali ini telah menghancurkan seluruh impiannya.
Angan-angan menjadi daimyo, kini menjadi berantakan.
Kekalahannya melawan Sa-buro telah menjadi malapetaka dahsyat dalam hidup-nya.
Semua ini memang kesalahannya, ia terlalu me-remehkan Saburo.
Dalam pertempuran di Bukit Huy, ia terlanjur membayangkan Saburo pasti tewas, se-hingga dengan mudah ia memenggal kepala Ashikaga, menumpas seluruh keluarganya, dan merebut Pedang Muramasa.
Ternyata apa yang dikhayalkan tidak men-jadi kenyataan.
Ia tidak menduga sama sekali, Saburo akan kembali ke istana untuk menyelamatkan Yoshioka.
Selama ini ia tahu, Saburo memang seorang samu-rai yang hebat.
Karena itu Ishida Mitsunari mencoba bersiasat dengan mengirimnya ke medan pertempuran, tak terbayangkan sedikit pun kalau akhirnya lelaki tersebut mengetahui siasatnya.
Dan celakanya, dalam pertarungan di lorong rahasia itu, Mishima berhasil mengalahkannya.
Sebenarnya persoalan akan selesai apabila Saburo membunuhnya.
Ternyata tidak, lelaki yang telah ber-hasil memotong kakinya itu, membiarkan Mitsunari te-tap hidup.
Saburo tahu, dengan cara itu, Mitsunari justru akan mengalami penghinaan paling keji bagi se-orang samurai.
Dia sengaja tidak membunuhku, karena ingin melihat aku mengalami penghinaan ini.
Bangsat! Kesedihan tiba-tiba mendidihkan darah dalam tu-buh Mitsunari.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya.
Rasa terhina, menyesal, kecewa, marah, dan api kebencian membangkitkan daya hidup lelaki itu.
Ia menyadari, satu-satunya cara untuk membersihkan namanya, hanya dengan membunuh Saburo, memeng-gal kepala Yoshioka, dan merebut kembali Pedang Mu-ramasa.
Hanya dengan cara itu ia dapat menghapus penghinaan ini.
Bisa saja ia sekarang melakukan bunuh diri, tetapi namanya akan tetap tercemar selamanya.
Ia tak ingin hal itu terjadi.
Karenanya, pilihan satu-satunya adalah mencari Saburo untuk melaksanakan pembalasan dendam, sekaligus pembersihan namanya.
Ishida Mitsunari mengangkat kepala, matanya me-mancarkan hawa pembunuhan yang mengerikan.
Ke-dua gerahamnya saling beradu, dan tubuhnya bergetar hebat.
Api dendam telah menguasai setiap pori-pori tubuhnya.
Ketika matanya menatap pada kakinya yang terpenggal, seluruh hawa kemarahan dalam dirinya tak terbendung lagi.
"Turunkan aku di sini!"
Teriaknya lantang. Keenam samurai yang mengawalnya tak bereaksi. Menimpali pun tidak. Mereka seakan tidak mendengar teriakan itu.
"Hei, turunkan aku di sini!"
Sekali lagi Mitsunari berteriak.
"Aku akan mencari Saburo!"
Salah seorang samurai menoleh, ketika matanya bertatapan dengan Ishida, ia segera membuang muka.
Sikap samurai itu jelas merupakan penghinaan bagi Ishida.
Belum pernah selama ini ia diperlakukan se-perti itu.
Kemarahannya benar-benar sampai ubun-ubun.
Karena itu ia berteriak sekali lagi.
"Hentikan gerobak ini. Biar aku turun di sini!"
Tidak seorang pun menggubris teriakannya.
Ishida Mitsunari meraih pedangnya kemudian menebas tali-tali pengikat gerobak itu, seketika gerobak itu terbuka.
Pada saat keenam samurai masih terperanjat menyak-sikan tindakannya, Mitsunari telah berguling, menja-tuhkan diri dari dalam gerobak.
Ia langsung memasang kuda-kuda dengan bersimpuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
Keenam samurai yang mengawal gerobak itu lang-sung mengepungnya.
"Kalian sebaiknya tinggalkan aku di sini,"
Kata Ishi-da dengan suara bergetar karena marah.
"Katakan pa-da Shogun Nobunaga, saya telah meninggalkan wila-yahnya. Saya akan memburu Saburo untuk merebut Pedang Muramasa!"
Reaksi keenam samurai itu adalah menyerang seca-ra bersamaan.
Bagi mereka tak ada pilihan lain.
Kegagalan mengawal Ishida hingga keluar wilayah Kamaku-ra, sama dengan hukuman mati.
Mereka tak ingin mengalami kegagalan itu.
Dua orang samurai bergerak serentak, mereka me-nebaskan pedang secara vertikal, Ishida menangkis dengan gerakan jurus 'Mengoyak Rembulan'.
Terde-ngar gemerincing pedang beradu, dan sebelum kedua samurai itu hilang rasa kagetnya, Ishida telah menebas dengan ayunan pedang berputar seperti baling-baling.
Kedua tubuh samurai itu ambruk dengan darah me-ngucur dari luka mereka.
Begitu temannya ambruk, dua orang lagi menye-rang, Ishida segera berbalik, dan berguling menyong-song serangan itu sambil membabatkan pedangnya.
Sabetan itu demikian kuat, sehingga kedua lengan pe-nyerangnya langsung terpenggal.
Terdengar jeritan melengking samurai itu, sebelum akhirnya ia rubuh ke tanah setelah Ishida menikamnya dari belakang.
Samurai berikutnya menyerang serentak dari tiga jurusan, namun dengan gesit Ishida berguling ke ka-nan sembari menebas ke bawah.
Saat ia berguling, ke-tiga samurai itu serempak mengayunkan pedang ke arah kepala.
Ishida berhasil menangkis, kemudian mengirim sabetan ke perut lawannya.
Ketiga samurai tersebut meloncat ke belakang.
Mereka kemudian kembali bersiaga untuk menyerang.
Ketiga samurai itu mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepala, rupanya mereka akan menyerang de-ngan jurus 'Pedang Membelah Awan'.
Ishida segera menarik pedangnya rapat di bahu, matanya menatap tajam gerak-gerik ketiga musuhnya.
"Pergunakan jurus 'Membelah Awan',"
Kata Ishida menggeram.
"Kalian akan merasakan kehebatan jurus pedang 'Menepis Halilintar'."
Secara serempak ketiga samurai itu menyerbu, te-riakan mereka sesungguhnya sangat menggetarkan.
Namun Ishida telah siap, ia tetap diam, membiarkan lawan mendekatinya, satu detik sebelum ayunan pe-dang musuh menyentuh tubuhnya, Mitsunari bergul-ing ke depan sambil menebaskan pedang ke perut la-wannya.
Ketiga samurai itu menjerit sambil mendekap luka menganga di perutnya.
Mereka ambruk ke tanah.
Mati.
Laki-laki tua penarik gerobak gemetaran menyaksi-kan pembantaian di depannya.
Seluruh tubuhnya se-rasa membeku.
Tatapannya nanar.
Rasa takut yang luar biasa, membuat lelaki tersebut tak mampu meng-gerakkan badannya.
Kebekuan itu mencair ketika Ishi-da membabatkan pedang ke wajahnya.
Ia merasakan darah mengucur deras dari batok kepala hingga dada-nya.
Seluruh tubuhnya dirasakan lumpuh, kemudian melayang ambruk ke tanah.
Lalu semuanya gelap guli-ta.
Ishida Mitsunari memutar pedangnya, kemudian memasukkan pedang tersebut ke dalam sarungnya.
"Kalian sudah kuperingatkan,"
Kata Mitsunari di-ngin.
"Bila pedangku sudah tercabut dari sarungnya, aku pantang memasukkan kembali tanpa membunuh musuhku."
Mitsunari mengambil topi pandan milik musuhnya.
Sesudah mengenakan di kepalanya, ia berjalan terta-tih-tatih meninggalkan tempat itu.
Saatnya aku memburu Yoshioka dan Saburo Mi-shima! *** JALAN PEDANG MUSIM semi menampilkan pemandangan yang sangat indah.
Bunga-bunga sakura bermekaran, sementara daun-daunnya menampilkan pesona keindahan yang menawan.
Kabut transparan yang menyelimuti lereng bukit, tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka, tampak seperti kelambu tipis.
Gubuk itu berada di lereng bukit, diapit dua buah sungai yang berair jernih.
Bagi Saburo, letak gubuk itu sangat menguntungkan.
Kedua sungai tersebut dapat dianggap sebagai parit pertahanan yang baik.
Selain itu, sungai tersebut memberikan ikan untuk mereka makan.
Pada sore hari, bila tidak sedang latihan, Saburo tak jarang mengajak Yoshioka dan Kojiro mencari ikan.
Kedua anak itu dengan wajah ceria membuka ba-tu-batu di sungai tersebut untuk menangkap ikan.
Hampir sebulan mereka bersembunyi, belum per-nah sekali pun mereka bertemu dengan orang lain.
Gubuk itu seakan ditinggalkan oleh pemiliknya.
Di senja hari yang cerah itu, tampak Kojiro dan Yo-shioka tengah berlatih kendo.
Saburo telah membua-tkan mereka pedang kayu dari pohon ek.
Dengan pe-nuh semangat, kedua anak sebaya itu memutar-mu-tarkan pedang, kemudian sesekali menebas sambil berteriak nyaring.
Saburo memperhatikan setiap gerak kedua anak itu dengan seksama, dan ia menyadari keduanya adalah calon samurai berbakat.
Yoshioka yang kini memiliki tubuh kecil, memiliki otot lentur, dan gerakan yang luwes.
Ia memiliki kelincahan luar biasa.
Permainan pedangnya sangat berba-haya.
Berbeda dengan Yoshioka, Kojiro memiliki tubuh tegap dan otot yang kuat.
Meskipun tidak begitu lincah, ia mempunyai kekuatan yang sangat mengagum-kan.
Sabetan pedangnya, kelak bisa sangat berbahaya.
Satu hal yang menggembirakan Saburo, kedua anak itu mau menjalankan latihan secara keras dan tanpa banyak bertanya.
Secara diam-diam semangat bushido mengaliri darah Yoshioka maupun Kojiro.
"Kalian harus memulai dari ryo-kuruma, sabetan pedang Sepasang Roda,"
Kata Saburo memberikan pene-gasan pada Yoshioka dan Kojiro.
"Sabetan ini menjadi dasar setiap serangan. Tanpa penguasaan yang baik atas jurus 'Sepasang Roda', kalian akan gagal menguasai jurus lainnya.
"Saya tidak akan gagal, Sensei,"
Sahut Yoshioka te-gas.
"Saya juga tidak akan gagal,"
Sambung Kojiro.
"Jurus 'Sepasang Roda' merupakan tebasan melin-tang di arah pinggul musuh,"
Kata Saburo menje-laskan.
"Ini merupakan ujian pertama permainan pe-dang setiap samurai."
Yoshioka dan Kojiro segera melaksanakan perintah Saburo. Mereka menebas dengan gesit. Berulang-ulang kedua anak itu menebas, sampai akhirnya Saburo meng-hentikannya.
"Dalam permainan pedang, sabetan harus tepat, ti-dak boleh bergeser seinci pun,"
Kata Saburo memberi penjelasan.
"Setiap inci perbedaan, akan mengubah jurus yang dilakukan. Ada enam belas tebasan yang ha-rus dikuasai oleh setiap samurai."
"Ajarkan pada kami, Sensei,"
Kata Yoshioka berse-mangat.
"Benar. Biarkan kami mempelajarinya."
"Ryo-kuruma, tebasan pedang pada pinggul. Tai-tai, sabetan pedang pada garis bahu. Sabetan ini hanya memiliki selisih satu inci dari batas leher, karena itu tak seorang samurai pun boleh meleset melakukan tebasannya."
Yoshioka berkata.
"Kedengarannya rumit sekali."
"Di istana tidak ada pelajaran seperti itu,"
Kojiro menimpali.
"Ini adalah pelajaran seorang samurai untuk me-nempuh Jalan Pedang. Permainan kendo tidak dibu-tuhkan lagi saat ini. Setiap saat kita dapat menghadapi musuh. Mereka memiliki ilmu silat yang dapat membunuh kita, bukan permainan pura-pura di dalam do-jo. Karena itu, kita pun akan menghadapi dengan jurus pedang yang mematikan. Kita berada dalam kea-daan tanpa pilihan, hidup atau mati."
Pada malam harinya, Saburo menjelaskan ilmu pe-dang dengan menggambar tubuh manusia.
Dia mene-rangkan empat tebasan pedang seorang samurai.
Sesudah ryo-kuruma dan tai-tai, Saburo menje-laskan karigane, ilmu 'Pedang Angsa Liar'.
Sabetan pedang persis di atas dada secara horisontal.
Kemudian chiwari, ilmu 'Pedang Membelah Dada', sabetan ini hanya satu inchi di bawah karigane.
Namun karena chiwari melewati tulang dada, tebasan ini lebih sulit dilakukan dibanding karigane.
Kecuali itu, sasarannya pun lebih luas.
"Empat tebasan pedang itu harus dikuasai secara baik oleh seorang samurai,"
Kata Saburo.
"Kalian ha-rus melatihnya tanpa salah. Bila kalian masih salah melakukannya, kalian tak mungkin mempelajari ilmu pedang berikutnya."
Esoknya Yoshioka dan Kojiro mulai melatih keem-pat ilmu pedang itu.
Mereka melakukannya dengan penuh semangat.
Bahkan hingga siang hari, mereka terus menjalani latihan tanpa merasa lelah.
Dengan teliti Saburo mengawasi latihan itu.
Setiap kali ada yang melakukan kekeliruan, dengan penuh kesabaran lelaki itu membetulkannya.
Hampir empat hari Yoshioka dan Kojiro mempelajari keempat ilmu pedang itu.
Pada hari berikutnya, Sabu-ro mengajak mereka kembali menghadapi gambar tu-buh manusia.
"Ini adalah o-kesa, ilmu 'Pedang Jubah Pendeta',"
Kata Saburo menjelaskan.
"Jubah pendeta?"
Yoshioka bertanya heran.
"Ya."
"Kenapa disebut demikian?"
"Sabetan pedang ini dilakukan miring dari leher ke arah bawah ketiak, persis garis pembuka jubah pende-ta."
"Oh."
"Sabetan ini sangat mematikan, karena itu kalian harus bersikap hati-hati bila menghadapi musuh yang mengangkat pedangnya ke samping. Tebasannya sulit dihindari, dan sangat mematikan."
O-kesa terbukti sebuah jurus pedang yang tidak se-derhana.
Berulang kali Yoshioka dan Kojiro mencoba melakukannya, namun selalu keliru.
Kadang terlalu rendah, sehingga mengenai bahu.
Kadang terlalu ting-gi, hingga mengenai leher.
Namun dengan ketekunan luar biasa, akhirnya mereka berhasil menguasai ilmu pedang itu.
Saburo merasa puas.
"Saya merasa bangga dengan kemampuan kalian menguasai ilmu pedang yang kuberikan,"
Kata Saburo.
"Namun ilmu pedang saja tidak cukup untuk melawan musuh. Di dalam semangat bushido, kalian harus me-ningkatkan keberanian."
Yoshioka berkata.
"Kami memiliki keberanian itu."
"Saya tidak takut pada siapa pun,"
Lanjut Kojiro bangga.
"Justru keberanian yang kalian miliki saat ini me-rupakan kelemahan yang harus dihindari."
"Maksudnya?"
"Keberanian berbeda dengan sikap tak punya rasa takut. Keberanian adalah sikap yang bersumber pada keyakinan, bahwa kalian akan memenangkan suatu pertarungan. Seorang samurai harus yakin akan me-nang, ia harus berani menumpas rasa takut di dalam jiwanya, untuk menghadapi kematian. Keyakinan bah-wa kematiannya merupakan wujud kewajiban seorang samurai adalah inti keberanian."
Yoshioka dan Kojiro mengerutkan dahi, dengan ke-terbatasan pikirannya, mereka mencoba memahami ucapan Saburo.
"Kalian harus berani menyongsong kematian,"
Lan-jut Saburo datar.
"Hanya dengan sikap itulah kalian dapat memiliki keberanian untuk bertarung. Kebera-nian untuk mati adalah dasar memerangi rasa takut."
"Kenapa seorang samurai tidak boleh takut?"
"Karena ketakutan akan membuat jiwa gemetar, dan melenyapkan keyakinannya untuk menang."
"Bagaimana kalau perasaan itu tak dapat dihilang-kan?"
"Hindarilah pertarungan itu. Hanya dengan meng-hindar kalian dapat memupuk kembali keberanian yang hilang."
"Tetapi bukankah seorang samurai dilarang bersi-kap pengecut?"
"Menghindar bukanlah sikap pengecut. Menghindar merupakan bagian dari siasat pertarungan. Di saat badai menghempasmu, apakah engkau harus terus berlayar?"
"Tidak."
"Itulah hakikat penghindaran. Jangan menentang badai. Biarkan ia reda, dan kalian dapat kembali berlayar. Keberhasilan pelayaran adalah inti kemenangan."
Kojiro berkata.
"Kedengarannya sangat rumit."
"Itu bagian dari ilmu pedang yang harus kalian pe-lajari."
"Sepertinya itu bukan ilmu pedang...."
"Ilmu pedang bukan hanya bagaimana cara meng-gunakan pedang, tetapi bagaimana cara memenangkan suatu pertarungan."
Pada malam hari, sambil berbaring di atas jerami, Saburo Mishima memberikan pengetahuan lain ten-tang taktik dan kehidupan. Seperti biasa, Saburo se-nang menceritakan tentang Soen Tzu. Tulisan Soen Tzu mengenai "Seni Berperang"
Me-narik perhatian Raja Ho Lu, dari negara Wu. Ketika Soen Tzu menghadap raja tersebut, Raja Ho Lu berka-ta.
"Saya telah membaca dengan penuh perhatian bu-ku Anda yang terdiri dari tiga belas bab itu. Dapatkah saya menguji teori Anda?"
Soen Tzu menjawab.
"Silakan, Yang Mulia."
Ho Lu bertanya lagi.
"Untuk mengujinya, dapatkah digunakan wanita?"
"Dapat."
Kemudian dipanggillah 180 orang dayang-dayang istana dan dibagi dalam dua kelompok.
Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang selir kesayangan raja.
Soen Tzu minta agar perempuan-perempuan itu di-lengkapi tombak dan perisai.
Setelah itu berkatalah Soen Tzu kepada perempuan-perempuan tersebut.
"Saya kira kalian telah mengetahui perbedaan an-tara depan dan belakang, tangan kiri dan tangan ka-nan."
Para wanita itu menjawab serentak.
"Ya."
"Jika saya katakan 'Pandangan ke depan', kalian harus menghadap lurus ke depan. Jika saya katakan 'Menghadap ke kiri' kalian harus berputar menghadap ke kiri. Demikian pula jika saya berkata 'Balik kanan' atau 'Balik kiri' kalian harus melakukannya. Apakah kalian mengerti?"
Para wanita itu menjawab.
"Mengerti!"
Latihan pun dimulai. Dengan diiringi bunyi gende-rang, Soen Tzu mulai memberikan aba-aba.
"Balik ka-nan!"
Wanita-wanita itu justru meledak tertawa. Soen Tzu berkata.
"Jika ucapan tidak jelas, bila pe-rintah yang dikeluarkan tidak dipahami, panglimanya yang salah. Mengerti?"
"Mengerti!"
Latihan pun dimulai lagi. Kali ini perintahnya.
"Ha-dap kiri!"
Sekali lagi wanita-wanita itu tertawa. Soen Tzu berkata.
"Jika kata-kata yang diucapkan tidak jelas, bila perintah yang diberikan tidak dipahami, panglimanya yang salah. Tetapi jika perintah yang dikeluarkan jelas dan tidak dipatuhi, maka itu meru-pakan kesalahan perwiranya. Oleh karena itu perwi-ranya harus dihukum dan pancunglah pimpinan pa-sukannya."
Soen Tzu segera memberikan perintah lagi, namun kedua pasukan wanita itu masih juga tertawa.
Tanpa kebimbangan sedikit pun, Soen Tzu segera memerin-tahkan algojo memancung kepala kedua pimpinan ke-lompok itu.
Raja Ho Lu yang menyaksikan dari tribun dan meli-hat kedua dayang kesayangannya dijatuhi hukuman pancung, segera mengirim pesan.
"Kami sangat puas dengan kemampuan jenderal mengendalikan pasukan. Jika Anda menghukum mati kedua wanita itu, maka kami akan kehilangan selera makan dan minum. Kami minta agar keduanya tidak perlu dipancung."
Soen Tzu menjawab.
"Sekali saya memperoleh pe-nugasan dari raja untuk menjadi panglima pasukan, maka ada perintah tertentu yang tak dapat kami lak-sanakan sesuai dengan kedudukan saya."
Maka kedua wanita itu pun dipenggal kepalanya dan kedudukannya sebagai pemimpin pasukan diganti dengan perempuan lain.
Sesudah hukuman mati dijalankan, genderang di-tabuh.
Gadis-gadis itu pun berlatih dengan sungguh-sungguh.
Cara berbaris mereka benar seperti yang di-perintahkan, tanpa ketawa sedikit pun.
Melihat kenyataan itu, Raja Ho Lu sangat terkesan, akhirnya ia mengangkat Soen Tzu menjadi panglima besar tentaranya.
Di tangan jenderal itulah Kerajaan Wu mengalami kejayaan.
Ke arah barat, mereka menaklukkan Kerajaan Ch'u dengan menduduki Ying, ibu kota kerajaan tersebut.
Ke utara ia mengalahkan Nega-ra Ch'i dan Chin.
Kemenangan-kemenangan itu mem-peroleh sambutan serta kekaguman bangsawan-bangsawan Cina lainnya.
Kerajaan Wu semasa pasu-kannya dipimpin Soen Tzu menjadi salah satu kera-jaan terbesar di seluruh daratan Cina.
Yoshioka dan Kojiro mendengarkan cerita itu de-ngan penuh minat.
"Apakah kalian tahu kenapa Soen Tzu memperoleh kemasyhuran?"
Tanya Saburo pada kedua anak itu.
"Karena dia seorang ahli strategi perang,"
Jawab Yo-shioka.
"Bukan itu maksud saya."
Kojiro, sambil menahan kantuk, menjawab.
"Karena dia ahli pedang."
"Bukan."
"Karena apa, Sensei?"
"Karena dia adalah orang yang berani melaksana-kan keyakinannya." *** PENGEJARAN SHOGUN Nobunaga sedang menciumi Naoko, salah se-orang geisha kesayangannya. Wanita itu tergial sambil mendesah manja. Wajahnya yang berbentuk oval dengan garis mata yang mencuat ke atas, mempertegas garis kecantikannya. Rambutnya yang hitam lebat dis-anggul tinggi di atas kepalanya. Gerak-geriknya yang gemulai menampilkan sensualitas yang menggiurkan. Payudaranya besar di atas pinggang yang kecil dan pinggul yang besar memang sangat menggairahkan. Naoko termasuk geisha dari Fujiwara yang sangat dis-ayangi oleh Nobunaga. Bahkan menurut desas-desus, wanita itu berperan dalam pengambilan-pengambilan keputusan politik Nobunaga. Termasuk di antaranya, penaklukan Shogun Ashikaga. Menurut kabar angin, kecuali ambisi Nobunaga menjadi satu-satunya shogun di Jepang, penaklukan itu didorong oleh permintaan Naoko yang ingin tinggal di Istana Kamakura. Menurut sejumlah sumber, sebelum menjadi kekasih Nobunaga, Naoko pernah menja-lin cinta dengan Shogun Ashikaga. Mereka bertemu di Fujiwara, kota kecil di pinggir Kamakura yang dijadikan pusat pelacuran. Mereka memadu cinta hampir setiap minggu. Selain memiliki kecantikan luar biasa, Naoko, seorang geisha yang memiliki daya pikat tersendiri. Ia pandai menari dan memainkan shamizen (alat musik yang baru saja ditemukan di Edo). Pada malam bulan purnama, Shogun Ashikaga da-tang ke Fujiwara. Ia berbaring polos di kolam mem-biarkan seluruh tubuhnya dimandikan oleh kekasih-nya. Sesudah itu, ia akan duduk menikmati sake sam-bil mendengarkan permainan shamizen geisha kesa-yangannya. Barulah setelah larut malam, mereka menghabiskan waktu dengan bercinta. Di atas ranjang, Naoko adalah seorang pecinta yang hebat. Ia memberikan pelayanan terhadap Ashikaga dengan sepenuh hati. Mempraktekkan berbagai posisi, semata-mata untuk memuaskan kekasihnya. Buku seks Jepang Kuno, Kagemusha, yang selalu dipraktekkan Naoko, menjadikan Ashikaga tergila-gila pada wa-nita itu. Sampai suatu hari shogun tersebut berjanji untuk mengawininya. Naoko tersenyum penuh rasa bahagia. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia benar-benar merasa men-dapatkan karunia.
"Benarkah Yang Mulia akan membawa saya ke ista-na?"
Naoko bertanya dengan manja.
"Kau akan tinggal di Istana Kamakura bersamaku,"
Kata Ashikaga sambil menciumi tubuh Naoko.
"Aku tak ingin berpisah denganmu."
"Bagaimana dengan istri Anda, Yang Mulia?"
"Dia akan tetap menjadi isteriku. Tetapi engkau menjadi istri kesayanganku."
"Kalau benar ucapan itu, saya akan bersikap setia dan mengabdikan seluruh hidup saya hanya untuk Anda."
"Aku bersumpah."
Sumpah itu terbukti tidak dilaksanakan.
Hubungan cinta itu terputus ketika istri Ashikaga melahirkan Natane Yoshioka.
Kelahiran Natane membuat shogun me-lupakan janji-janjinya.
Bahkan ia kemudian melupa-kan Naoko karena terlampau bahagia mendapatkan seorang anak laki-laki.
Natane menghapus segala mim-pi serta impiannya terhadap Naoko.
Sejak kelahiran anaknya, Ashikaga tidak pernah la-gi menemui Naoko.
Peristiwa itu menumbuhkan sebatang dendam da-lam jiwa Naoko.
Diam-diam ia merintis jalan untuk membalas dendam.
Maka ketika suatu hari Shogun Nobunaga bertemu dengannya, Naoko bersumpah un-tuk melampiaskan dendam dengan menggunakan ke-kejaman lelaki tersebut.
Ia beruntung.
Nobunaga, sa-ma dengan Ashikaga, seorang laki-laki tua yang haus seks dan kekuasaan.
Penyerahan diri Naoko pada lela-ki tersebut membuatnya lupa daratan.
Di saat mereka bercumbu, dan Naoko mempraktekkan ilmu seks Ka-gemusha, Nobunaga langsung tergila-gila padanya.
Le-bih-lebih setelah shogun itu mendengarkan permainan shamizen serta tarian yang dibawakannya, tak ada lagi yang dapat menghalangi kegilaan Nobunaga.
Setiap kali sehabis bercinta, Nobunaga berkata pa-da geisha itu.
"Mintalah sesuatu, aku ingin memberikan apa pun untukmu sebagai imbalan pelayananmu."
Naoko selalu menjawab.
"Saya tidak meminta imba-lan apa pun untuk pelayanan itu. Saya seorang geisha, akan saya lakukan apa pun yang Anda minta."
Jawaban itu membuat Nobunaga semakin tergila-gila. Pada pertemuan berikutnya, seusai mereka ber-cinta sepanjang malam, Nobunaga kembali bertanya.
"Tidakkah kau ingin sesuatu dariku?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Aku dapat memberikan apa pun yang kau minta. Kau berhak meminta imbalan, karena aku merasa puas dengan pelayananmu."
"Tidak ada imbalan yang sepadan dengan kasih sayang Anda. Karena itu tak pantas saya meminta se-suatu sebagai imbalan pelayanan yang Anda terima."
"Benarkah?"
"Dengan setulusnya."
Nobunaga semakin tergila-gila.
Ia lebih sering datang ke Fujiwara, khusus untuk menjumpai geisha kesayangannya.
Mereka bercinta seperti dua ekor ular naga, saling membelit, melampiaskan gairah penuh gelora.
Sebagaimana orang Jepang yang memiliki cita rasa tinggi, Nobunaga menulis haiku (puisi pendek) untuk Naoko.
Dengan munculnya bunga sakura Musim semi jadi pesona Fujiwara Tanah kering menjadi subur berbunga azaela Sungai diairi selendang pelangi Aku disergap kerinduan seorang geisha Naoko Yoritomo namanya Naoko membalas puisi itu dengan menari di depan Nobunaga, suatu tarian gemulai yang sangat indah.
Dengan penuh muslihat, Naoko melepas pakaiannya satu per satu.
Semua dilakukan menurut irama sha-mizen.
Tubuhnya yang mulus, dengan kulit putih ber-sih, membuat Nobunaga kian terpesona.
Laki-laki itu berkali-kali menghela napas panjang, sebelum akhir-nya tak kuat menahan rangsangan seksual dalam di-rinya.
Ia menarik Naoko ke dalam dekapannya.
Dengan liar, Nobunaga menciumi seluruh tubuh wanita itu.
Tidak seinci pun dibiarkan tak tersentuh bibirnya.
Naoko sendiri membalas sentuhan serta ciuman Nobunaga dengan cara-cara yang penuh imaji-nasi.
Dengan penuh kemesraan ia menciumi seluruh permukaan tubuh lelaki gemuk itu.
"Kau sangat pintar, Naoko-san."
"Nikmati saja, Yang Mulia. Saya akan membuat Yang Mulia bahagia."
"Naoko-san, aku tidak kuat lagi,"
Desis Nobunaga gemetar.
"Saya senang bermain-main,"
Jawab Naoko tenang. Kemudian ia mulai bermain-main lagi. Nobunaga me-rasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dan akhir-nya ia terkulai lemas sambil mendekap kepala Naoko erat-erat.
"Oh, luar biasa, Naoko-san."
Nobunaga memejamkan matanya. Dengan letih ia berbaring sambil memeluk kekasihnya. Setengah jam kemudian, Nobunaga bertanya.
"Se-karang mintalah sesuatu padaku, aku bersumpah un-tuk mengabulkannya. Sudah begitu banyak yang kau berikan padaku, sementara belum ada yang kuberikan padamu. Maka saat ini, mintalah sesuatu...."
"Benarkah Anda akan mengabulkan apa pun per-mintaan saya?"
"Ini sumpahku. Katakan permintaanmu."
"Istana Kamakura."
Nobunaga terperanjat.
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin tinggal di istana itu sebagai wanita yang Anda cintai."
Kini semua sudah terlaksana.
Sumpah Nobunaga benar-benar dilaksanakan.
Dendam Naoko pun telah terbalas.
Bagi Naoko, sesungguhnya pelampiasan den-dam terhadap Ashikaga, jauh lebih memuaskan diban-dingkan apa saja.
Namun, api dendam dalam dirinya belum seluruhnya padam, lolosnya Natane Yoshioka membuat pembalasan itu tidak sempurna.
Karena itu ia akan terus menghasut Nobunaga untuk menun-taskan pembalasan dendamnya.
Di luar dinding kamar, tiba-tiba terdengar derap kaki mendekat.
Shogun Nobunaga mendorong tubuh telanjang Naoko, kemudian meraih pedang di sisi ranjang.
"Siapa di situ?"
Teriaknya lantang. Orang-orang di luar dinding kamar terdengar ber-simpuh.
"Saya Konishiwa, Yang Mulia."
"Konishiwa-san, ada apa?"
"Saya ingin melaporkan peristiwa yang baru saja terjadi di pinggir kota."
"Peristiwa apa?"
Nada suara Nobunaga terdengar ti-dak sabar.
"Ishida Mitsunari melakukan pembelotan. Dia telah melawan perintah Anda."
Nobunaga terdengar mendengus. Ia merasa lega. Tadinya ia menduga ada pemberontakan yang berba-haya.
"Kalau begitu gantung mayatnya di pinggir jalan agar semua orang tahu risiko melawanku."
"Ishida Mitsunari telah membunuh ketujuh samurai yang mengawalnya, Yang Mulia. Dia kemudian meng-hilang entah ke mana."
Nobunaga bertanya menggeram.
"Enam orang sa-murai yang kau andalkan tewas di tangan seorang la-ki-laki yang tidak punya kaki?"
"Benar, Yang Mulia."
"Bodoh! Kalian samurai-samurai bodoh! Kerahkan seratus samurai, kejar laki-laki itu. Tangkap dia hidup atau mati!"
Konishiwa membungkukkan badan.
"Bagaimana de-ngan Saburo? Bagaimana dengan Yoshioka? Bagaima-na dengan Pedang Muramasa?"
Nobunaga meledak karena marah.
"Kerahkan seribu samurai untuk mengejar mereka! Geledah semua ru-mah di Kamakura, cari sampai ketemu, penggal kepala mereka untukku!"
"Baik, Yang Mulia. Saya akan segera jalankan perin-tah Anda."
Konishiwa mundur, bangkit berdiri, kemudian ber-gegas meninggalkan tempat itu.
Dua puluh samurai di belakangnya segera mengikutinya.
Udara malam yang dingin tidak membuat Konishiwa membeku.
Sesungguhnya ia tidak menyukai perintah itu, betapa pun Ishida Mitsunari adalah kakak iparnya.
Namun sebagai seorang samurai, ia terikat tradisi kesetiaan pada shogun.
Karena itu apa pun risikonya, ia harus mengejar Ishida dan memenggal kepalanya.
Tidak ada pilihan lain untukku.
Nobunaga duduk di tepi ranjang dengan tubuh ge-metar.
Jantungnya serasa berdetak kencang.
Ia tak menduga Ishida akan melawannya.
Perlawanan itu be-rarti perongrongan terhadap kewibawaannya.
Keku-asaannya! Belum usai satu persoalan, kini telah muncul satu persoalan baru.
Apa pun alasannya, pembelotan Ishida Mitsunari tetap menjadi benih yang berbahaya.
Kalau sekarang dengan kaki terpenggal, lelaki itu dapat membunuh enam samurai pilihan, tak dapat disangkal kelak ia dapat membunuh lebih banyak lagi.
Ia bisa lebih berbahaya dibanding Saburo.
Naoko tahu bagaimana gejolak hati Nobunaga.
Ka-rena itu dengan lembut ia memeluk lelaki itu dari belakang.
Buah dadanya menempel lekat ke punggung Nobunaga.
Kedua tangan geisha tersebut mulai mem-belai-belai dadanya.
Ia mulai merangsangnya.
Nobunaga memegang jemari Naoko, menarik wajah wanita itu, kemudian mencium bibirnya dengan penuh nafsu.
Hisapan itu demikian kuat hingga membuat Na-oko hampir tercekik.
Sesaat ketika Nobunaga menghentikan ciumannya, lelaki itu bertanya.
"Perlukah kita terus mengejar Yoshioka?"
Naoko kaget mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa Anda bertanya begitu?"
"Bukankah dia hanya seorang anak yang belum da-pat berbuat apa-apa?"
"Dia bukan seorang anak yang tidak dapat berbuat apa-apa,"
Tukas Naoko dengan nada penuh kebencian.
"Dia adalah benih yang berbahaya. Bila tidak dibunuh saat ini, kelak dia dapat menjadi samurai yang meng-ancam kekuasaan Anda. Selain itu, jangan Anda re-mehkan, Yoshioka kini bersama Saburo Mishima."
"Dapatkah dia melawan seribu tentaraku seorang diri?"
"Kita tidak dapat menduganya. Tetapi sejarah sering membuktikan, banyak kekuasaan hancur karena ke-kuatan yang tidak terduga." *** Pagi hari. Udara dingin membekukan pori-pori kulit. Angin menemperas masuk lewat celah-celah gubuk. Natane Yoshioka, Kojiro, dan Saburo masih tidur nye-nyak. Tiba-tiba pintu dibuka dengan keras dari luar. Saburo langsung mencabut pedang. Cahaya matahari yang menerobos masuk membuatnya matanya silau. Sepintas ia melihat sesosok gadis kecil menatapnya, kemudian gadis itu berlari ketakutan. Hanya sejenak Saburo menoleh pada Yoshioka, lalu segera melompat mengejar gadis itu.
"Tunggu! jangan lari!"
Teriak Saburo mencoba meng-hentikan gadis itu.
Tetapi kata-katanya tak didengarkan, gadis itu te-rus berlari ke arah sungai.
Tanpa pikir panjang, Sabu-ro berlari lebih kencang untuk mengejar gadis itu.
Betapa pun kehadiran gadis tersebut dapat membahaya-kan jiwa mereka.
Hampir seratus meter gadis itu lari, akhirnya Sabu-ro berhasil menangkap pergelangan tangannya.
Saat disentakkan, gadis tersebut akan berteriak, dengan si-gap Saburo membekap mulutnya.
"Jangan berteriak,"
Desis Saburo sambil terengah-engah.
"Kami bukan orang jahat."
Gadis itu sangat ketakutan.
Matanya melotot, wa-jahnya jadi pucat.
Ia mencoba meronta, tetapi Saburo mendekapnya dengan kuat.
Apa pun alasannya, Saburo tidak ingin lengah.
Ia harus dapat meyakinkan bah-wa gadis itu tidak akan membuka rahasia.
Ketika gadis itu masih meronta-ronta, Natane dan Kojiro sampai di tempat itu.
"Hei, kenapa Sensei menyakitinya?"
Tanya Yoshioka tak menyetujui perbuatan Saburo.
"Saya sebenarnya tidak ingin menyakitinya, tetapi saya mempunyai alasan untuk membuatnya tidak ber-teriak."
"Dia masih kecil. Dia pasti sangat ketakutan."
Saburo berkata pada gadis kecil itu.
"Saya akan me-lepasmu, tetapi kau harus berjanji tidak akan berte-riak."
Gadis itu menatap Yoshioka dan Kojiro, anak-anak yang sebaya dengannya itu menatapnya tanpa ekspre-si.
"Ayahku akan melepasmu,"
Kata Kojiro sambil men-dekati gadis itu.
"Tetapi engkau jangan menjerit atau berteriak. Teriakanmu dapat membahayakan kami. Percayalah, kami bukan orang jahat."
Yoshioka turut bicara.
"Kalau engkau berjanji tidak menjerit, kami akan membebaskan dirimu. Aku bah-kan akan memberimu hadiah."
Gadis itu menatap bimbang pada Yoshioka. Lalu de-ngan ragu-ragu ia mencoba menganggukkan kepala.
"Jangan menjerit,"
Bisik Saburo lembut.
"Karena ka-lau engkau menjerit, kami terpaksa menyakitimu."
Gadis itu menganggukkan kepala.
"Lepaskan dia, Sensei,"
Kata Yoshioka pada Saburo.
"Kita telah membuatnya sangat ketakutan."
Pelan-pelan Saburo melepaskan gadis itu.
"Siapa namamu?"
Yoshioka mencoba bertanya.
"Miyagi."
"Saya Natane. Natane Yoshioka."
Gadis itu menatap Kojiro.
"Saya Kojiro,"
Kata Kojiro tanpa tekanan. Kemudian dia menunjuk Saburo.
"Dia ayahku. Saburo Mishima."
"Kenapa kalian tidur di gubukku?"
Gadis itu mulai berani bertanya. Yoshioka dan Kojiro menatap Saburo. Mereka tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
"Kami kemalaman,"
Jawab Saburo datar.
"Karena itu kami terpaksa bermalam di gubukmu."
"Apakah kalian tidak memiliki tempat tinggal?"
"Ya, kami memang pengembara."
"Kenapa kalian membawa pedang? Apakah kalian samurai?"
"Kami shugyosa, samurai pengembara,"
Jawab Saburo sekenanya.
"Kami biasa bermalam di mana saja. Kebetulan malam ini kami berada di sini."
Miyagi menatap Saburo, matanya nanar, seakan in-gin mempercayai ucapan lelaki di depannya.
"Apakah engkau tinggal di sekitar tempat ini?"
Sa-buro kembali bertanya. Ia harus tahu pasti siapa-siapa yang tinggal bersama gadis itu.
"Ya,"
Jawab Miyagi datar.
"Saya tinggal bersama ayah dan ibu. Rumah kami tak jauh dari sini, di lembah."
"Apakah ini gubuk orang tuamu?"
"Benar. Ayah dan ibu baru saja kembali dari hutan mencari mugwort, kami biasa membuat moxa di sini."
Pantas selama ini mereka tak pernah kelihatan.
"Di mana orang tuamu sekarang?"
"Di rumah. Mereka lelah setelah seharian melaku-kan perjalanan. Kini mereka sedang tidur. Apakah ka-lian ingin bertemu dengan mereka?"
"Katakan pada orang tuamu, kami ingin bertemu. Kami ingin minta maaf telah menggunakan gubukmu tanpa izin."
"Baiklah, saya akan memanggil mereka."
Miyagi berlari menuju ke rumahnya.
Rambut gadis itu berkibar diterpa angin.
Saburo diam.
Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Kini mereka berada dalam situasi yang kurang mengun-tungkan.
Saat ini sebenarnya lebih baik tidak berhu-bungan dengan orang lain, karena dengan begitu, se-mua rahasia tersimpan baik.
Saburo yakin, pertemuan ini akan berbuntut panjang.
Natane Yoshioka dan Kojiro sekarang duduk di atas rumput.
Masih berembun.
Mereka tak peduli.
Kedua anak itu sama-sama diliputi ketegangan.
Hampir dua bulan mereka tak bertemu orang lain.
Sekarang me-reka bertemu, justru dalam suasana yang tidak menye-nangkan.
Hampir lima belas menit mereka menunggu, sampai akhirnya terdengar ranting kering terinjak kaki.
Sabu-ro Mishima segera mendorong pedangnya keluar, sua-tu tindakan berjaga-jaga.
Ia tidak mau mati konyol.
Beberapa menit kemudian muncul dua orang laki-laki, seorang perempuan, dan Miyagi.
Kedua laki-laki itu masing-masing membawa tombak.
Tetapi melihat cara menggenggam senjata itu, Saburo yakin mereka hanya petani biasa.
Karena itu ia merasa lega.
Kedua laki-laki itu berjalan mendekat.
Ketika jarak mereka hanya tinggal lima meter, salah seorang di antara mereka bertanya.
"Siapa kalian?"
Saburo mendekati Natane Yoshioka, dengan cara itu ia ingin menguji apakah para petani itu berada di pihak mana.
Dugaan Saburo menjadi kenyataan, ketika kedua lelaki itu melihat pakaian Yoshioka, mereka terlihat terperanjat, saling pandang, kemudian tanpa di-perintah, serentak bersujud di tanah.
"Yang Mulia Natane Yoshioka! *** KUIL MURO KUIL Muro terletak di lereng Gunung Muro, sebuah kuil yang didirikan pada zaman Heian. Dahulu kuil ini di-pergunakan Puak Taira untuk berlatih meditasi dan Seni Perang. Hal itu berlangsung sesudah perlawatan Puak Taira ke Cina. Mereka mendapatkan buku Seni Perang buah karya Soen-Tzu. Tak mengherankan bila di kuil ini terdapat banyak kata-kata bijaksana pening-galan jenderal Cina itu. Soen-Tzu menulis.
"Inilah yang penting diketahui tentang medan perang Ada yang dapat menerobos. Ada yang membatasi Ada bagian yang terpencil. Ada yang memungkinkan gerak laju. Ada jarak yang harus diperhitungkan.
"
Ishida Mitsunari termangu, mencoba merenungkan kata-kata itu.
Di bagian dinding lain, ada tulisan Soen-Tzu.
Barang siapa mengenal seni perang, tak akan seram-pangan ia dalam gerakannya.
Ia kaya akan gagasan, dan membatasi nafsu.
Namun demikian, barang siapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah.
Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia senantiasa menang atas segalanya.
Ishida mencoba menerka-nerka, apa yang dimak-sudkan oleh Soen-Tzu.
Namun kenyataannya, Seni Perang Soen-tzu tidak berhasil menyelamatkan Kuil Muro.
Ketika terjadi pertempuran antara Puak Taira dan Minamoto, tentara Mi-namoto berhasil menghancurkan musuhnya.
Dengan cerdik ia kemudian menghancurkan Kuil Muro untuk mencegah musuhnya mempergunakan kuil ini untuk kembali membangun kekuatan.
Shogun Minamoto mengeluarkan larangan bagi siapa pun untuk datang ke Kuil Muro.
Bagi yang melanggar larangan ini, Sho-gun menjatuhi hukuman mati.
Itu sebabnya kuil ini tak terjamah oleh manusia.
Bangunan utamanya telah runtuh, patung-patung-nya berserakan.
Kesunyian di tengah kuil itu menum-buhkan suasana angker yang mencekam.
Tidak seo-rang pun pernah mendatangi tempat itu.
Kecuali se-jumlah kera dan babi hutan, hanya burung dan kele-lawar yang menghuni tempat tersebut.
Kesunyian itu sangat cocok untuk tempat persem-bunyian.
Ishida Mitsunari pernah sampai di kuil Muro, ketika menemani Shogun Ashikaga berburu babi hu-tan.
Pada waktu itu ia hanya lewat.
Tapi kini, ketika membutuhkan persembunyian, tiba-tiba Ishida teringat kuil tersebut.
Tak seorang pun akan menduga ia berada di tempat itu.
Sehabis membunuh ketujuh orang yang mengawal-nya, Ishida Mitsunari telah bertekad melakukan pem-balasan dendam.
Ia bersumpah untuk membunuh Sa-buro Mishima, untuk membersihkan namanya.
Karena itu, untuk melaksanakannya, ia perlu menyempurna-kan ilmu pedangnya.
Tempat terbaik untuk itu adalah Kuil Muro.
Enam hari enam malam Ishida berjalan kaki, me-nembus hutan dan mendaki bukit.
Akhirnya ia sampai di tempat yang ia tuju.
Ketika menatap reruntuhan Kuil Muro, Ishida tersenyum lebar.
Ia merasa menda-patkan tempat yang sangat baik untuk berlatih.
Selain sejumlah babi hutan, di sekitar tempat itu banyak terdapat pohon buah-buahan.
Aku tidak akan kelaparan di sini.
Kurasa tidak ada tempat yang lebih baik dibanding kuil ini.
Mulailah Ishida menjalani pengasingan.
Pada ma-lam hari ia melakukan meditasi.
Sesekali dengan nyala api buah kenari, ia membuat lukisan di lantai dengan arang.
Ia mencoba menggambarkan gerakan silat yang telah ia pelajari.
Di siang hari, tanpa mengenal lelah, Ishida menyempurnakan ilmu pedangnya.
Ia melatih gerakan-gerakan tangannya, sambil membayangkan ilmu pedang Saburo Mishima.
Masih terbayang di pe-lupuk matanya, bagaimana lelaki itu memenggal kaki-nya.
Senyum kemenangan Saburo setiap hari melintas di dalam tidurnya.
Aku harus mengalahkannya.
Hanya dengan mem-bunuh Saburo dendamku terlampiaskan.
Dendam kesumat itu sering muncul dalam tidur-nya.
Berganti-ganti dengan ekspresi kemarahan Sho-gun Nobunaga.
Masih terbayang jelas di matanya, ba-gaimana shogun itu mengusir dan mencacinya.
Peng-usiran itu benar-benar merupakan penistaan terhadap dirinya.
Bila mengenang hal itu, tumbuh dendam baru di dalam dirinya.
Ia menyadari, musuhnya bukan ha-nya Saburo, tetapi juga shogun Nobunaga.
Betapa menyenangkan bila aku dapat membunuh mereka berdua.
Kedua orang itu telah menghancurkan hidupku.
Mereka harus menerima balasan yang setimpal.
Satu-satunya hambatan yang merisaukan Ishida adalah kaki kirinya yang terpenggal.
Cacat itu mengu-rangi kelincahan gerakannya.
Tebasan pedang yang kuat, membutuhkan perimbangan gerakan pada kaki.
Ilmu pedang membutuhkan kegesitan sekaligus kelin-cahan.
Kenyataan itu lama-kelamaan menumbuhkan perasaan frustrasi pada dirinya.
Namun sebaliknya, rasa frustrasi tersebut, semakin mempertebal dendam-nya terhadap Saburo.
Dendam itu membangkitkan se-mangat hidupnya.
"Aku harus mengatasinya,"
Kata Ishida meyakinkan dirinya.
"Apa pun yang terjadi, kakiku tidak akan ter-pulihkan. Tapi aku harus menemukan jalan untuk me-lampiaskan dendam."
Pada hari ketiga puluh tujuh, Ishida Mitsunari te-ngah menggambarkan gerakan kaki pada ayunan pe-dang 'Dewa Membelah Lautan', tiba-tiba kesadarannya muncul, ia tak mungkin melakukan ayunan itu dengan sempurna apabila kedua kakinya tidak menapak ta-nah.
Dengan arang, ia mencoret-coret bagian gambar kaki yang cacat.
Tiba-tiba coretan itu memberikan in-spirasi baru! "Aku dapat melengkapi kakiku dengan kayu!"
Seru-nya dalam hati.
"Bila panjang kayu itu sama dengan kakiku, tak ada bedanya aku memiliki kaki atau kayu!"
Esoknya Ishida membuat sambungan kaki dari ka-yu ek.
Pada sore hari, ia telah dapat berdiri tegak.
Kaki itu terbukti sangat membantu gerakannya.
Bahkan in-spirasinya bertambah, ia ingin melapisi ujung kakinya dengan mata lembing, sehingga kaki tersebut dapat di-pergunakan sebagai senjata.
"Aku memerlukan bantuan seseorang."
Paginya, dengan menyamar, Ishida Mitsunari turun ke desa terdekat. Ia menjumpai seorang pandai besi.
"Buatkan saya kaki lembing untuk melapisi kaki kayu ini,"
Katanya menerangkan.
"Kenapa tidak menggunakan bahan dari karet saja?"
"Saya ingin dibuat dari baja terbaik sehingga tidak mudah rusak. Kecuali itu, buatkan pula lapisan run-cing di penyangga tubuhku."
"Empat puluh real."
"Tiga puluh."
"Saya lebih baik membuat pedang bila tidak dibayar empat puluh."
"Baiklah. Saya akan membayarnya jika sudah sele-sai."
"Tiga hari lagi Tuan dapat kemari."
"Terima kasih."
Ketika akan kembali ke Kuil Muro, Ishida melihat orang-orang berkerumun di depan sebatang pohon kering.
Ia mendekat, ingin melihat ada peristiwa apa sehingga menarik perhatian begitu banyak orang.
Dahinya seketika berkerut ketika melihat apa yang membuat orang-orang berkerumun.
Tak lain, plakat Shogun Nobunaga tentang sayembara perburuan Sa-buro dan dirinya dengan hadiah seribu real.
Ketika Ishida mendekat, beberapa orang pergi dari tempat itu sambil menatapnya penuh selidik.
Satu hal yang menyelamatkan Ishida, ia kini membiarkan rambutnya te-rurai panjang.
Juga kumis serta jenggotnya.
Penyama-ran itu terbukti berhasil.
Meskipun pada plakat itu terdapat gambar dirinya, namun tak seorang pun me-ngenalinya.
Bangsat! Rupanya Nobunaga memberi harga seribu real untuk kepalaku.
Akan kubuat kepalanya tak berharga.
"Aku akan mencarinya ke Edo,"
Kata seorang samu-rai yang berdiri di dekat Ishida pada temannya.
"Ishida seorang laki-laki kaya. Dia tidak akan tahan hidup di hutan atau desa-desa. Satu-satunya kota yang mungkin ia tuju hanya Edo. Di sana keluarganya berada."
"Apakah kau yakin dia menuju Edo?"
Temannya ber-tanya.
"Ya. Di Edo ia memiliki sejumlah teman. Kau sendiri akan ke mana?"
"Aku akan menuju Izu. Siapa tahu dia bersembunyi di sana."
"Baiklah kalau begitu kita berpisah, mudah-mudah-an kita dapat menemukan mereka."
Kedua samurai itu saling berjabat tangan, kemu-dian berjalan meninggalkan tempat itu. Ishida mena-tap mereka sambil menghela napas panjang. Kelak aku akan membunuh mereka. Tiga hari kemudian, Ishida menemui pandai besi.
"Sudah saya selesaikan semua,"
Kata pandai besi itu sambil memperlihatkan pesanan Ishida.
"Sekarang berikan dulu uangnya, baru saya berikan pesanan ini."
Secepat kilat Ishida mencabut pedang lalu menebas tubuh pandai besi itu.
Laki-laki tersebut tidak pernah menduga akan mendapat serangan seperti itu.
Ia tetap berdiri membeku ketika merasakan cairan hangat berwarna merah membanjiri tubuhnya.
Sabetan pedang itu demikian hebat sehingga pandai besi itu tak dapat merasakan apa-apa.
Saat kesadarannya pulih, tubuhnya telah merosot, lalu terjungkal di tanah.
Saat itu is-tri pandai besi tersebut muncul dari rumahnya.
Ketika melihat tubuh suaminya terbaring berlumur darah, ia menjerit histeris.
Tetapi sebelum jeritan itu didengar orang lain, Ishida telah menebas tubuh wanita itu dari belakang.
"Maafkan saya,"
Kata Ishida Mitsunari sambil me-masukkan pedangnya.
"Saya terpaksa membunuh ka-lian agar tidak ada yang tahu mengenai diriku."
Dengan tertatih-tatih, Ishida kemudian meninggal-kan tempat itu.
Di kuil, Ishida tersenyum lebar, bangga terhadap di-rinya.
Ia kini memiliki tiga senjata yang sangat mematikan.
Pedang panjang di tangan kanan, penyangga kaki yang dapat berfungsi sebagai tombak, dan kaki yang tajam mematikan.
Hujan deras mengguyur Kuil Muro, namun Ishida tidak peduli.
Kegembiraan telah mengalahkan keleti-hannya.
Ia terus berlatih, mencoba menggunakan se-gala kemungkinan dengan kaki kirinya.
Tak seorang pun menduga, cacat itu akhirnya justru menjadi keku-atan yang tak terduga.
Rasa frustasinya seketika le-nyap, pikirannya kini dipenuhi luapan kegembiraan tak terkatakan.
Ia gembira karena akan dapat melaku-kan pembalasan dendam pada Saburo, dan Nobunaga! "Aku bersumpah, akan memasuki jalan iblis untuk membalas dendam.
Akan kutumpas semua musuhku hingga anak cucunya.
Mereka akan menyadari kesala-hannya, akan kubuat mereka meratap meminta kema-tiannya!" *** PENGKHIANATAN BUKIT tempat persembunyian Saburo tampak lebih hi-tam dibanding pernis yang paling hitam, sementara gunung di kejauhan terlihat pucat seperti mika.
Musim semi masih menebarkan bau harum dan hangat.
Bambu kuning dan tumbuhan wistaria menjerat kabut transparan.
Pondok bambu di lereng bukit itu terasa hangat.
Te-rutama bagi Yoshioka dan Kojiro.
Kedua anak itu me-rasa terlepas dari kesunyian.
Keluarga Miyagi meneri-ma mereka dengan penuh hormat.
Mereka menanak nasi kemudian mencarikan sayur-mayur untuk lauk.
Lelaki itu menangkap ikan dari kolam, lalu menghi-dangkan sebagai ikan bakar yang lezat.
Natane Yoshioka dan Kojiro makan dengan lahap.
Selama ini mereka hanya makan buah-buahan dan ikan segar, karena itu suguhan keluarga Miyagi mem-buat mereka merasakan kenikmatan yang berlipat ganda.
Hanya Saburo yang mencoba menekan rasa la-par dalam dirinya.
Sebagai seorang samurai, ia tetap bersikap waspada.
Betapa pun, mereka belum tahu banyak tentang keluarga Miyagi, termasuk kesetiaannya pada Shogun Ashikaga.
Dari keluarga itu pula, mereka mengetahui Shogun Nobunaga telah mengeluarkan perintah pengejaran terhadap mereka, dan Ishida Mitsunari.
Pembelotan Ishida menyebabkan Nobunaga murka, dan dia telah memerintahkan seratus orang samurai mengejar lelaki berkaki satu itu.
Nobunaga telah menyebar plakat-plakat di seluruh wilayah kekuasaannya berisi sayem-bara menangkap Ishida dan Yoshioka.
"Shogun menyediakan hadiah seribu real untuk ke-pala Yang Mulia,"
Kata Miyazawa pada Saburo.
"Bah-kan bagi orang yang dapat memberitahukan tempat persembunyian Anda, shogun tetap akan memberikan hadiah itu."
"Kalau begitu kepalaku cukup berharga,"
Seloroh Yoshioka sambil tersenyum.
"Saya mendengar perburuan itu dilakukan sebenar-nya karena hasutan geisha simpanan shogun Nobuna-ga."
"Siapa?"
"Kalau tidak salah namanya Naoko Yoritomo. Seo-rang geisha dari Fujiwara yang memiliki dendam pada Yang Mulia Ashikaga."
Yoshioka terpaksa menanggungkan dosa ayahnya.
Ia menjadi buronan karena dendam seorang geisha.
Pada saat mereka menyantap hidangan, seluruh ke-luarga Miyagi duduk di atas tatami, lima meter dari meja makan.
Mereka menatap ketiga tamunya dengan tatapan nanar.
Tak pernah mereka bayangkan sebe-lumnya, suatu saat bakal menjamu putra shogun Ashi-kaga di rumahnya.
"Siapakah yang menanak nasi ini?"
Natane Yoshi-oka bertanya.
"Miyagi,"
Jawab lelaki itu bimbang.
"Mohon dimaaf-kan bila ternyata kurang enak."
"Justru saya ingin mengatakan nasi ini sangat enak. Rasanya belum pernah saya makan nasi seenak ini."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Apakah beras ini hasil panen sendiri?"
"Benar, Yang Mulia. Kami memiliki beberapa petak sawah yang cukup subur."
"Sayur ini?"
"Demikian pula dengan sayur-sayuran itu. Kami menanamnya sendiri di ladang."
"Ikan ini?"
"Kami memiliki kolam di belakang rumah. Bila Yang Mulia menghendaki, kami dapat menangkap lagi."
"Apakah engkau ingin tambah ikannya?"
Yoshioka bertanya pada Kojiro.
"Tidak. Saya sudah kekenyangan. Rasanya tak ada tempat lagi di perutku."
"Bagaimana kalau kita bawa pulang?"
"Ke mana?"
Yoshioka terdiam.
Ia bingung menjawabnya.
Sesu-dah pertemuan dengan keluarga Miyagi, rasanya me-reka tidak bebas lagi menggunakan gubuk di atas bu-kit sebagai tempat persembunyian.
Yoshioka kemudian menoleh pada Saburo.
Tetapi lelaki itu tak mem-pedulikannya.
"Apabila Yang Mulia berkenan, saya persilakan menginap di sini. Kami masih memiliki dua buah ka-mar yang kosong."
"Terima kasih, saya rasa...."
"Tidak perlu,"
Potong Saburo cepat.
"Apabila Anda mengizinkan, kami akan berterima kasih sekali bila dibiarkan menggunakan gubuk itu untuk sementara waktu."
"Saya merasa tidak pantas bila membiarkan Yang Mulia tidur di gubuk itu."
"Jangan terlalu dipikirkan. Buktinya kami telah tinggal di sana lewat satu bulan."
Ayah Miyagi membungkukkan badan hingga kepa-lanya menyentuh lantai.
"Kalau begitu, saya tak dapat menghalanginya."
Ayah Miyagi bernama Miyazawa, seorang pandai be-si.
Sudah hampir dua puluh tahun lelaki itu membuat pedang untuk kaum samurai.
Ia bekerja dibantu oleh adiknya, Takezo, seorang lelaki bertubuh tegap dengan sinar mata mengandung keculasan.
Saat pertama ber-temu di atas bukit, naluri Saburo mengatakan harus bersikap hati-hati pada Takezo.
Laki-laki tersebut tidak dapat dipercaya.
Sikap pendiamnya sangat mencuriga-kan.
Karena itulah, Saburo terus bersikap waspada.
Beberapa kali Saburo melihat Takezo menatap Pedang Muramasa di tangannya.
Sebagai seorang pandai besi, Takezo pasti tahu nilai Pedang Muramasa, karena itu tatapan lelaki tersebut (bagi Saburo) mengandung ma-rabahaya.
Di depan rumah Miyazawa, terdapat tempat pembu-atan pedang.
Saburo membiarkan Yoshioka dan Kojiro melihat bagaimana cara membuat naginata.
Sebagai calon samurai kedua anak itu memang harus me-ngetahui rahasia di balik pedang mereka.
Kedua anak itu terheran-heran menyaksikan proses pembuatan naginata.
Pedang itu ternyata tidak dibuat dari baja yang kemudian ditempa tipis, tetapi sekumpulan bilah-bilah baja dari berbagai tingkat ukuran yang kemudian ditempa menjadi satu.
"Dahulu kami memang membuat pedang dari baja tebal yang ditempa,"
Kata Miyazawa menjelaskan.
"Te-tapi cara itu hanya dapat menghasilkan pedang kuali-tas nomor dua. Meskipun ketajamannya tak perlu dira-gukan, namun pedang jenis itu mudah patah. Pernah pula kami coba mempergunakan baja lunak, tidak mudah patah, namun jenis itu kehilangan ketajaman-nya. Baru sesudah bertahun-tahun kami mencoba, akhirnya menemukan cara pembuatan pedang seperti yang sekarang kami lakukan."
Lapisan-lapisan baja dengan pelbagai tingkat keras lunaknya ditempa bersama supaya bersatu menjadi li-patan-lipatan logam.
Lipatan itu kemudian dipa-naskan, dilipat lagi, lalu ditempa lagi tipis-tipis.
Sesudah diulang kira-kira dua belas kali, baja itu menjadi ribuan lapisan logam keras dan lunak yang masing-masing hanya setebal kertas.
Bila salah satu sisinya diasah menjadi sisi yang tajam, baja yang keras me-nyembul, oleh karenanya pedang itu tak mudah tum-pul.
Sedang akibat adanya baja lunak, kelenturan pe-dang tersebut sangat luar biasa.
Ia tidak mudah patah dan memiliki ketajaman seperti pisau cukur.
"Bolehkah saya mencobanya?"
Yoshioka bertanya pada Miyazawa ketika lelaki itu menyelesaikan sebuah naginata.
"Silakan, Yang Mulia."
Yoshioka mengambil pedang itu, menimang-ni-mangnya dengan riang.
Belum pernah ia memegang pedang sungguhan.
Selama ini Saburo hanya membe-rikan pedang kayu padanya.
Pedang itulah yang mere-ka gunakan untuk berlatih.
Tapi kini, ketika ta-ngannya menggenggam pedang sungguhan, tiba-tiba daya hidupnya deras mengalir dalam dirinya.
Yoshioka bertanya lagi.
"Dapatkah saya mencoba ketajamannya?"
"Di belakang rumah, terdapat sebatang pohon yang biasa kami gunakan untuk menguji pedang buatan kami. Bila Yang Mulia berkenan, silakan mencobanya di sana."
"Di mana?"
Mereka berjalan memutari rumah itu.
Di belakang rumah tersebut memang terdapat beberapa batang po-hon penuh luka.
Natane Yoshioka mendekati sebatang pohon yang cukup besar, kemudian ia menggenggam gagang pedang itu selama beberapa saat, lalu dengan menjerit, ia menebas pohon itu dengan ayunan melin-tang.
Seketika pohon itu terpotong menjadi dua.
"Benar-benar luar biasa,"
Puji Yoshioka pada Miya-zawa.
"Bolehkah aku memilikinya?"
"Silakan bila Yang Mulia menghendakinya."
"Bolehkah saya memilikinya, Sensei?"
Yoshioka ber-tanya pada Saburo.
"Sesungguhnya belum saatnya,"
Jawab Saburo.
"Kenapa?"
"Setiap pedang memiliki garis takdirnya sendiri. Se-tiap samurai harus mengenal pedangnya seperti ia me-ngenal dirinya sendiri. Karena itu saat ini lupakan lebih dulu keinginan itu, bila nanti sudah saatnya, akan saya carikan pedang yang sesuai dengan jiwamu."
"Berapa lama saya harus menunggu?"
"Tergantung berapa lama kematangan jiwamu."
Yoshioka menyerahkan kembali pedang itu pada Miyazawa.
"Saya sesungguhnya ingin memiliki pedang itu, na-mun karena Sensei berpandangan demikian, saya kem-balikan pedang ini."
Miyazawa kemudian memperlihatkan cara menguji ketajaman pedangnya. Ia mengambil sebuah ember kayu yang cukup besar di halaman rumahnya, meng-isinya dengan air, kemudian meletakkan pedang bua-tannya tegak lurus di tengah ember itu.
"Untuk apa?"
Yoshioka bertanya.
"Yang Mulia dapat melihat seberapa tajam pedang buatan kami."
Takezo diminta mengambil daun pohon sakura, lalu menebarkan di dalam ember itu.
Pada awalnya, baik Yoshioka maupun Kojiro tidak mengetahui maksud Miyazawa.
Namun semenit berikutnya, mereka me-mandang pedang tersebut dengan perasaan takjub.
Be-tapa tidak, angin yang berhembus menggerakkan daun sakura menyentuh sisi tajam pedang itu, daun-daun tersebut terbelah menjadi dua.
Natane Yoshioka berseru takjub.
"Wow, luar biasa!"
"Benar-benar setajam pisau cukur,"
Sahut Kojiro pula.
"Apa jadinya bagi tubuh samurai yang tertebas pe-dang ini?"
"Dia akan terbelah dua, Yang Mulia,"
Kata Takezo bangga.
"Sangat mengerikan!"
Saburo hanya membisu. Ia membiarkan kedua anak itu mengagumi pedang Miyazawa.
"Apakah aku tetap belum boleh memilikinya?"
Yo-shioka bertanya pada Saburo.
"Sekarang belum saatnya."
"Bukankah seorang samurai lebih baik memiliki pe-dang sejak dini?"
"Tidak harus demikian. Pedang, seperti juga senjata lain, sesungguhnya bermakna ganda. Dapat menjadi suatu alat bela diri atau sebaliknya menjadi alat keja-hatan. Karena itu seorang samurai harus memahami lebih dulu filosofi kehidupannya sebelum dia memba-wa pedang di pinggangnya."
"Apakah saya belum mengerti filosofi itu?"
"Masih dibutuhkan waktu untuk menyempurnakan-nya."
"Saya merasa sudah tidak sabar untuk segera me-milikinya."
"Ingatlah, kesabaran adalah titik awal dari setiap kemenangan. Bukankah Soen Tzu mengatakan begi-tu?"
Yoshioka mendengus.
"Percayalah, Yoshioka-san, akan tiba saatnya bagi-mu memiliki sebuah pedang yang baik."
Natane Yoshioka agak kesal, namun ia tidak ingin memaksakan kehendaknya.
Sesudah dua bulan hidup bersama Saburo dan Kojiro, dalam dirinya tumbuh penghargaan yang tinggi terhadap samurai itu.
Meski-pun kadang bersikap kasar, namun Yoshioka tahu hati lelaki tersebut baik.
Lebih dari itu ia selalu bersikap tulus terhadapnya.
Karena itu Yoshioka mencoba menghargainya.
Pada sore hari, menjelang matahari terbenam, Sa-buro mengajak Yoshioka dan Kojiro naik ke atas.
Dia merasa lebih aman tinggal di gubuk kosong itu.
Miya-zawa dan isterinya mencoba mencegah, namun Saburo tetap pada pendiriannya.
"Biarkan mereka belajar hidup sebagai shugyosa,"
Kata Saburo pada Miyazawa.
"Karena itulah garis hidup mereka. *** Malam harinya, ketika tinggal berdua, Takezo berkata pada Miyazawa.
"Bagaimana kalau kita bunuh mereka?"
"Kau gila! Samurai itu telah mengalahkan Ishida Mi-tsunari, kita bukan tandingannya."
"Lalu?"
"Bertarung dengannya sama dengan membiarkan diri mati konyol."
"Apa sebaiknya kulaporkan pada Shogun Nobuna-ga? Kalau mereka berhasil disergap, kita akan mempe-roleh hadiah besar. Seribu real akan membuat kita kaya raya."
"Bagaimana kalau pasukan Nobunaga gagal me-nyergap mereka?"
"Itu bukan urusan kita."
"Samurai itu pasti akan kembali untuk memenggal kepala kita."
Takezo terdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kata-kata Miyazawa benar, kalau sampai ketiga orang itu lolos dari penyergapan, bukan mustahil mereka akan kembali untuk membalas dendam. Tetapi hadiah seribu real terus mengganggunya.
"Mereka sekarang berada di atas bukit,"
Akhirnya Takezo berkata penuh tekanan.
"Jika tentara Nobuna-ga mengepung dari tiga penjuru, mereka tak mungkin lolos. Di belakang mereka hanya ada jurang. Kukira pengepungan itu pasti berhasil."
"Bagaimana kalau gagal?"
"Tidak akan gagal."
"Belum tentu. Buktinya selama ini hampir seribu samurai mengejar mereka, tetapi tak seorang pun ber-hasil menemukan tempat persembunyiannya."
"Justru itulah, kita harus melaporkannya. Kalau ti-dak, kita dapat disalahkan oleh Shogun Nobunaga. Ka-lau kita dituduh menyembunyikan ketiga orang itu, matilah kita."
"Kita tidak menyembunyikannya."
"Tetapi gubuk itu milik kita. Kita tak mungkin me-nolak tuduhan mereka."
Ganti Miyazawa yang terdiam.
Ia menyadari kebena-ran kata-kata adiknya.
Tiba-tiba ia merasa bimbang.
Bila ia tidak melaporkan, seluruh keluarganya dapat ditumpas oleh Nobunaga jika ketahuan Saburo ber-sembunyi di rumahnya.
Tetapi bila pengepungan itu gagal, ia yakin Saburo akan datang untuk memenggal kepalanya.
Keduanya adalah dilema.
Sulit memilih sa-lah satu tanpa menghadapi risiko.
Ketika melihat kakaknya gelisah, Takezo segera ber-kata.
"Serahkan semua padaku. Biar aku yang berang-kat ke Kamakura. Aku akan mencoba meyakinkan Shogun, agar mengirimkan pasukan sebanyak-banyak-nya. Penyergapan itu, bagaimana pun, tak boleh gag-al."
"Kau berani menanggungkan risikonya?"
"Kenapa tidak? Hidup ini memang penuh risiko, ke-napa aku harus takut menghadapinya?"
"Aku takut...."
"Kenapa mesti takut, kita berada di wilayah Kama-kura, demikian banyak samurai di sekeliling kita. Mereka semua mencari Saburo. Hanya dengan secuil in-formasi, mereka pasti akan membantu kita. Kecuali itu, seribu real bukan jumlah sedikit. Kita dapat membeli rumah di Kamakura, atau pindah ke Edo. Di sana kita dapat hidup aman."
"Saburo Mishima bukan samurai sembarangan. Dia dulu seorang panglima perang...."
"Apa artinya seorang panglima perang dibanding se-ribu samurai bersenjata. Tidak ada kemungkinan dia dapat menang."
"Kau yakin?"
"Yakin seyakin-yakinnya."
"Terserah kalau begitu. Kapan kau akan berang-kat?"
"Malam ini juga. Semakin cepat aku sampai di Ka-makura, kurasa akan semakin baik. Besok aku akan kembali dengan pasukan Nobunaga." *** PENGEPUNGAN SABURO MISHIMA tersentak bangun. Tiba-tiba naluri-nya yang tajam mengisyaratkan adanya bahaya. Seba-gai samurai ia sangat terlatih. Indra keenamnya selalu memberi firasat bila sesuatu akan terjadi. Dan biasanya, firasat itu selalu terjadi. Sejak pertemuannya dengan Miyagi, naluri Saburo mengatakan akan adanya bahaya. Keluarga pandai be-si itu tidak dapat dipercaya, terutama Takezo. Sorot mata lelaki tersebut mengisyaratkan kelicikan. Saburo melihat Natane Yoshioka dan Kojiro masih lelap. Dengan hati-hati ia berdiri sembari mengambil pedangnya. Ia melangkah pelan-pelan. Lewat celah dinding gubuk itu, Saburo mengintai keluar. Tidak ada siapa-siapa. Di luar tetap sepi. Malam masih gelap. Keadaan di luar hanya diterangi cahaya rembulan. Sa-buro mencoba mempertajam pendengarannya. Dalam suasana gelap, ia terbiasa mengandalkan telinganya. Saburo meletakkan pedangnya, kemudian mem-bungkuk, menempelkan telinganya di tanah. Dadanya seketika berdebar-debar. Detak jantungnya serasa berhenti berdenyut. Ia mendengar derap kaki ratusan jumlahnya. Tanpa berpikir panjang lagi ia memba-ngunkan Yoshioka dan Kojiro.
"Bangun. Kalian harus bangun!"
Saburo berbisik sambil menggoyang tubuh keduanya.
"Ada apa?"
Natane Yoshioka bertanya sambil me-ngerjap-ngerjapkan mata.
"Saya masih mengantuk,"
Sambung Kojiro karena tidurnya merasa terganggu.
"Seseorang mengkhianati kita,"
Kata Saburo berbi-sik.
"Mereka sekarang mengepung kita."
"Siapa?"
"Tentara Nobunaga."
Yoshioka kaget.
"Nobunaga?"
"Ya. Mereka sekarang sedang bergerak kemari. Ada kira-kira tiga ratus prajurit sedang mendaki bukit ini."
"Tiga ratus? Bagaimana Sensei tahu?"
"Dari langkah mereka yang terdengar."
Kojiro bertanya.
"Siapa yang mengkhianati kita?"
"Satu di antara dua pandai besi itu."
"Pasti Takezo,"
Kata Kojiro geram.
"Saya tidak me-nyukainya sejak pertama kali bertemu."
"Soal siapa yang mengkhianati kita, tak usah dibi-carakan sekarang,"
Kata Saburo.
"Sekarang yang pen-ting kita mencari jalan keluar untuk lolos dari kepungan mereka."
"Bagaimana caranya?"
"Saya akan menuruni bukit untuk mengetahui se-berapa besar kekuatan mereka. Kalian tunggu di sini. Nanti setelah tahu jumlah musuh, kita baru bisa me-mastikan harus berbuat apa."
"Baiklah, kami akan menunggu."
Saburo Mishima pelan-pelan berdiri. Ia berbalik, la-lu bergegas pergi. Natane Yoshioka berpaling pada Kojiro, keduanya tampak tegang.
"Akan kupenggal kepala Takezo kalau kita dapat lo-los dari pengepungan ini,"
Kata Yoshioka penuh kebencian.
"Sejak awal aku sudah tidak menyukainya,"
Sahut Kojiro geram.
"Benar-benar kurang ajar!"
"Akan kubunuh seluruh keluarganya kalau terbukti mereka berkhianat."
"Kenapa seluruh keluarganya?"
"Mereka harus menanggungkan semua akibat pengkhianatannya."
"Bagaimana kalau hanya Takezo yang mengkhianati kita?"
"Aku tidak peduli. Akan kupenggal kepala mereka sebagai contoh bagi orang yang mengkhianati Ashika-ga."
"Juga Miyagi?"
Yoshioka seketika berpaling pada Kojiro.
"Kenapa dengan Miyagi?"
"Dia tak mungkin mengkhianati kita."
"Bagaimana kau tahu?"
"Dia gadis yang baik."
"Kau jatuh cinta padanya?"
Kojiro gelagepan untuk menjawab.
"Kau pasti sedang jatuh cinta,"
Kata Yoshioka meng-goda.
Kojiro memerah wajahnya.
Ia lalu bergegas mengin-tip keadaan di luar lewat lubang pada dinding.
Yoshi-oka tersenyum mengerti.
Saburo berlari menuruni bukit.
Ia mencari tempat yang dapat untuk melihat hutan di bawahnya.
Seketi-ka hatinya terkesiap, pada jarak kira-kira tujuh ratus meter di bawahnya, ia melihat ratusan tentara Nobunaga tengah mendaki bukit itu.
Puluhan orang di antaranya membawa obor, sehingga tempat di sekitarnya terang benderang.
Api obor itu bergerak-gerak tertiup angin, mirip lidah ular naga.
Setiap pembawa obor, di punggungnya terdapat bendera warna merah, lambang keshogunan Nobunaga.
Derap kaki tentara itu terasa menggetarkan tanah di sekitarnya.
Mereka mendaki bukit dalam formasi yang sangat rapat, sehingga mustahil Saburo dapat bersembunyi.
"Gila!"
Desis Saburo marah.
"Rupanya Nobunaga ti-dak ingin memberi kesempatan padaku."
Seorang laki-laki yang memimpin penyergapan itu berteriak-teriak memberi aba-aba.
Pakaiannya yang berlapis besi berkilauan tertimpa sinar rembulan.
Saburo tak ingin membuang waktu, ia segera berlari ke arah utara, mencari jalan untuk lolos.
Harapannya sia-sia.
Di lereng bukit sebelah utara, tampak ratusan tentara panah tengah merayap mendaki bukit.
Obor yang dibawa untuk menerangi jalan menjadikan lereng bukit itu seperti hutan terbakar.
"Sial!"
Saburo mengumpat.
Menurut perkiraannya, ada sekitar dua ratus tenta-ra panah memenuhi lereng bukit itu.
Mereka terus bergerak seperti semut api.
Meskipun formasi mereka tidak serapat tentara yang mendaki lereng bukit dari arah Barat, tetapi seperti biasa, pasukan panah ini bergerak berlapis-lapis.
Rasanya sangat mustahil da-pat menembus pertahanan mereka.
Saburo menyesal, kenapa membiarkan dirinya ter-perangkap seperti saat ini.
Coba seandainya ia mengikuti nalurinya yang memberi isyarat bahaya ketika melihat sinar mata Takezo, mereka tak akan terperangkap dalam bahaya.
Seperti seekor harimau dikepung pemburu, Saburo menggeram, menyesali kebodohannya.
Ia kemudian berlari ke arah Selatan, mencoba mencari kemungki-nan untuk meloloskan diri.
Kenyataannya justru lebih buruk.
Di sebelah selatan, ratusan samurai bergerak mendaki bukit dengan pedang terhunus.
Meskipun jumlah mereka tidak sebanyak tentara panah, tetapi Saburo tahu kaum samurai itu jauh lebih berbahaya dibanding yang lain.
Mereka adalah pendekar-pen-dekar pedang Yagyu yang menjadi kekuatan utama tentara Nobunaga.
Saburo mendesis.
Dadanya tambah berdebar-debar.
Ia kemudian berlari kembali ke gubuk.
Natane Yoshi-oka dan Kojiro sudah menunggunya dengan harap-harap cemas.
"Bagaimana keadaannya?"
Yoshioka bertanya tak sabar.
"Sangat buruk,"
Jawab Saburo.
"Mereka telah me-ngepung bukit ini. Barisan mereka sangat rapat, se-hingga mustahil kita dapat menerobos kepungan me-reka. Sepertinya tidak ada peluang untuk meloloskan diri."
Kojiro berkata.
"Kalau begitu kita lawan mereka...."
"Ada hampir empat ratus tentara di sana,"
Kata Sa-buro sambil menunjuk hutan di bawahnya.
"Kita ha-nya bertiga, rasanya tak mungkin melawan mereka."
"Lantas?"
"Kita harus tetap mencari jalan keluar."
"Bagaimana caranya?"
Saburo diam.
Otaknya berpikir keras.
Satu-satunya jalan hanya berlari ke arah Timur.
Meskipun ia tahu akan berhadapan dengan jurang menganga, tetapi itu merupakan satu-satunya pilihan.
Dalam hati Saburo berpikir, sambil mundur ia akan mencari jalan keluar.
Sesungguhnya keadaan tidak akan serumit saat ini bila saja ia sendirian.
Tetapi kini ada dua anak yang harus ia lindungi.
Satu di antaranya putra shogun yang harus ia bela meski nyawa taruhannya.
"Kita lari ke Timur,"
Katanya pada Yoshioka dan Ko-jiro. Yoshioka meragukan keputusan Saburo.
"Di bela-kang kita hanya ada jurang."
"Barangkali itu satu-satunya jalan keluar."
"Saya lebih baik mati karena melawan mereka di-banding harus lari sebagai seorang pengecut."
"Kita menghadapi lawan yang tak seimbang, lari me-rupakan salah satu siasat untuk memenangkan per-tempuran. Saya memang belum tahu apakah dengan lari kita dapat selamat, tetapi paling tidak, itulah jalan satu-satunya yang dapat kita tempuh. Kalian masih ingat ajaran Soen Tzu?"
Kojiro berkata.
"Bila kita tidak mungkin menang, ki-ta harus menghindari pertarungan."
"Benar. Itu satu-satunya jalan."
Natane Yoshioka menatap tajam mata Saburo.
Mes-kipun sebenarnya ia tidak menyetujui jalan pikiran-nya, namun ia tak ingin melawan kemauan lelaki itu.
Saburo berpaling pada Kojiro, kemudian muncul se-buah gagasan yang samar-samar, namun memberi ce-lah untuk kemungkinan menyelamatkan Yoshioka.
Apa pun risikonya, ia harus menempuh jalan samurai, jalan pengorbanan untuk keselamatan Natane Yoshi-oka.
Apa pun wujud pengorbanan itu.
"Kojiro,"
Suaranya mantap, meski sedikit bergetar.
"Saatnya engkau tunjukkan kesediaanmu berkorban bagi Yoshioka-san. Maukah engkau mempertaruhkan nyawamu untuk Yoshioka-san?"
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Nyawamu."
"Bagaimana caranya?"
Saburo menoleh pada Natane Yoshioka.
"Yoshioka-san, saya minta engkau melepas pakaian kebesaran-mu, dan biarkan Kojiro memakainya."
"Kenapa?"
"Saat ini, tentara Nobunaga sedang mengejar diri-mu. Tetapi sesungguhnya, mereka tidak mengetahui wajahmu secara pasti. Karena itu biarkan Kojiro me-ngenakan pakaianmu. Bila sesuatu yang buruk terjadi, mereka akan memenggal kepala Kojiro, bukan dirimu."
"Tetapi...."
"Saat ini kita tidak perlu berdebat,"
Potong Saburo tegas. Suaranya tegas dan bergetar.
"Ada empat ratus tentara Nobunaga mengejar kita, sebaiknya kita tak perlu saling berbantah."
Saburo kemudian berpaling pada anaknya.
"Kojiro, sadarilah bahwa engkau seo-rang samurai sejati. Pertaruhkan nyawamu untuk ke-selamatan Yoshioka-san. Apabila engkau tertangkap, mengakulah bahwa dirimu adalah Natane Yoshioka. Mereka akan memenggal kepalamu. Tetapi jangan gen-tar, jiwamu akan masuk ke dalam sorga."
Kojiro menatap ayahnya.
"Saya siap melakukan-nya."
Tanpa banyak bicara, Saburo melepas pakaian Na-tane Yoshioka, kemudian mengenakan pada anaknya. Sebaliknya Yoshioka mengenakan pakaian Kojiro. Ketika sudah selesai, Saburo memberikan Pedang Muramasa pada anaknya.
"Bawa pedang ini sebagai bukti bahwa engkau ada-lah Natane Yoshioka. Jangan lepaskan pedang ini, meskipun tebusannya adalah nyawamu."
"Saya berjanji tidak akan melepaskannya."
Saburo berpaling pada Yoshioka.
"Mulai hari ini, engkau harus mengaku sebagai Kojiro, apa pun yang terjadi."
"Saya berjanji."
Saburo merangkul kedua anak itu, lalu berkata dengan suara bergetar.
"Sekarang kita siap menghada-pi mereka."
Derap kaki tentara Nobunaga semakin dekat.
Ter-dengar gemerisik pepohonan yang diinjak kaki.
Juga suara desah napas mengandung hawa nafsu membu-nuh.
Kepungan itu semakin rapat.
Tak memberi celah sedikit pun bagi ketiga orang itu untuk meloloskan di-ri.
Matahari mulai merambat ke kaki langit.
Cahayanya merayap di perbukitan itu.
Mereka seperti sekumpulan pemburu yang tengah mengepung binatang buruan.
Barisan terus menerus dirapatkan, tidak membiarkan satu celah pun yang memberi kemungkinan lolos bina-tang buruan mereka.
Suasana terasa semakin menekan.
Ketegangan ada di mana-mana.
Suasana pagi yang lembut, perlahan-lahan berubah menjadi padang perburuan yang sangat mencekam.
Tentara Nobunaga terus mendaki bukit.
Anak pa-nah mulai dipasang di tali busurnya.
Tombak-tombak disiagakan.
Sementara para samurai mencabut pe-dang.
Bilah-bilah pedang itu berkilat berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Sinar mata mereka seakan membeku, membangkitkan nuansa pembunuhan yang mengerikan.
(Bersambung ke buku kedua.) Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline CATATAN UNTUK PEMBACA PEMBANTAIAN *** PENYELAMATAN *** *** *** *** PENGORBANAN *** *** TERKEPUNG DI BUKIT *** NOBUNAGA *** *** *** PENGUSIRAN *** *** *** JALAN PEDANG *** PENGEJARAN *** *** KUIL MURO *** PENGKHIANATAN *** *** PENGEPUNGAN
Pendekar Bayangan Sukma Undangan Berdarah Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario Pendekar Mabuk Perawan Sesat