Ceritasilat Novel Online

Samurai Pengembara II 1


Shugyosa Samurai Pengembara II Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara) Buku Kedua oleh Salandra Cover oleh Tony G.

   Desain sampul oleh M.

   Soetrisno Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994 Buku Kedua MENJADIKAN ALAM SEBAGAI SEKUTU PENGEPUNGAN semakin ketat.

   Kaki-kaki pasukan No-bunaga terus berderap ke arah gubuk persembunyian Saburo Mishima.

   Angin membuat bendera-bendera ber-kibar.

   Rumput serta dedaunan berdesir tertiup angin.

   Senjata-senjata sudah dihunus dari sarungnya, bilah-bilah pedang berpendar seperti lempengan kaca.

   Kojiro berlari menuruni lembah, mengikuti jalan se-tapak menuju ke arah sungai kecil yang mengalir di bawah bukit itu.

   Beberapa kali ia terpaksa berhenti untuk mengikat pakaiannya.

   Kimono yang kini dikenakan sebenarnya amat merepotkan.

   Selain penuh de-ngan hiasan, kimono itu berlapis-lapis sehingga me-ngurangi keleluasaannya untuk bergerak.

   Aku bisa mati hanya karena kimono ini, Kojiro berkata dalam hati.

   Kalau itu sampai terjadi, aku akan me-ngutuk Natane Yoshioka.

   "Lihaat! Dia di sana!"

   Tiba-tiba terdengar salah seorang pengintai berteriak.

   "Dia ada di sana!"

   Kojiro berhenti.

   Untuk beberapa saat ia terpaku menatap ratusan pasukan Nobunaga yang sudah me-ngetahui tempatnya.

   Suasana jadi hiruk pikuk.

   Para samurai itu berdesakan maju untuk meyakinkan pan-dangan mereka.

   Seorang laki-laki berpakaian serba bi-ru menyeruak ke depan.

   "Siapa yang kalian lihat?"

   Ia bertanya. Pengintai tadi menjawab.

   "Yoshioka. Natane Yoshi-oka!"

   "Mana dia?"

   "Lihat dia berada di sana! Dekat pohon sakura!"

   Pimpinan pasukan itu mendongak. Ia melihat Kojiro berdiri di samping sebatang pohon sakura kering.

   "Natane Yoshioka,"

   Kata lelaki tersebut menggeram.

   Matanya berbinar-binar melihat Pedang Muramasa di tangan Kojiro.

   Kojiro sendiri termangu.

   Seperti seekor kelinci di depan sekumpulan serigala, untuk beberapa saat ia tak mengerti harus berbuat apa.

   Jantungnya berdetak kencang.

   Secara manusiawi rasa takut menggeliat dalam dirinya.

   Para samurai itu kira-kira tiga ratus meter di bawah Kojiro.

   Meskipun pohon-pohon azaela tumbuh subur di tempat itu, namun ratusan samurai akan dengan mudah menangkap Kojiro.

   Tak ada jalan untuk lari.

   Beberapa saat suasana pagi itu dicekam kesunyian, sampai akhirnya pemimpin pasukan itu berteriak nya-ring.

   "Apa yang kalian tunggu, tangkap anak itu hidup-hidup!"

   Sedetik berikutnya kesunyian berubah menjadi hu-ru-hara.

   Para samurai itu bergerak serentak mengejar Kojiro.

   Dengan teriakan membahana mereka berlari menerobos hutan azaela.

   Derap kaki mereka mengge-tarkan tanah, mirip suara ribuan kerbau gila.

   Sinar mata mereka memancarkan kebuasan dan nafsu membunuh yang sangat mengerikan.

   Kojiro tersadar, kemudian berlari kembali mendaki bukit.

   Tiga ratus meter di belakangnya, ratusan samurai mengejarnya dengan buas.

   Suasana pagi tiba-tiba berubah mirip medan pe-rang.

   Dengan napas terengah-engah Kojiro lari.

   Beberapa kali ia jatuh bangun.

   Namun dengan sekuat tena-ga ia berusaha menjauhi musuh-musuhnya.

   Rasa ta-kut mulai menguasai dirinya, sehingga keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya.

   Lebih-lebih ki-mono yang dikenakannya berlapis-lapis, sehingga membuatnya seperti diperam di atas sekam.

   Sambil berlari, Kojiro menoleh, ia melihat para pe-ngejarnya semakin dekat.

   "Hei, berhenti kamu anak manis!"

   Seorang penge-jarnya berteriak.

   "Biarkan kami memenggal kepalamu!"

   "Benar, berhenti kamu, Anak Bengal!"

   Kojiro terus berlari tanpa menghiraukan teriakan-teriakan itu.

   Ia berlari menerobos hutan azaela, mendaki bukit, terus masuk ke dalam hutan pinus.

   Pohon-pohon di hutan itu sudah berusia ratusan tahun, sehingga kecuali menjulang seperti kaki raksasa, hutan itu sangat lebat.

   Dengan penuh tekad, Kojiro mencabut Pedang Muramasa, kemudian mulai membabat pohon-pohon perdu di depannya.

   Inilah saat pertama kali Kojiro menggunakan pedang sungguhan, ia demikian terpesona dengan kehebatan dirinya.

   Setiap kali ia menebas, perdu-perdu di depannya terpangkas habis dan meninggalkan tonggak-tonggak runcing.

   Kenyataan itu memberikan ide di kepalanya.

   Ia sekarang berlari sambil menebaskan pedangnya ke kanan ke kiri.

   Tonggak-tonggak yang ditinggalkan, untuk sementara, merepotkan para pengejarnya.

   Bahkan seorang samurai yang terpeleset jatuh dengan tubuh menghunjam di atas tonggak-tonggak runcing itu.

   Samurai itu menjerit sekarat.

   Kojiro menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum puas.

   Sambil mencoba menolong temannya, seorang sa-murai berteriak.

   "Hei, berhenti kau, Bangsat!"

   Samurai lain menatap temannya, kemudian berkata geram.

   "Akan kupenggal kepala anak jahanam itu!"

   Sekali lagi Kojiro menoleh, pada saat itu kakinya te-rantuk batu, tubuhnya kehilangan keseimbangan, lalu jatuh terperosok ke semak belukar.

   Saat ia bangun, di depannya telah berdiri lima orang samurai yang tersenyum lebar.

   Mereka menyeringai dengan penuh keme-nangan.

   "Mau lari ke mana lagi, Yoshioka-san!"

   Kata salah seorang samurai sambil tersenyum lebar.

   "Lebih baik kau menyerah,"

   Kata yang lainnya.

   "Kami akan membawamu kepada Shogun Nobuna-ga."

   Suara hiruk-pikuk terdengar di belakang mereka.

   Teriakan-teriakan kejam mirip lengkingan setan.

   Kojiro kini telah terpojok, tak mungkin menghindar.

   Pilihan satu-satunya hanya menyerah untuk dipenggal kepalanya, atau melawan dengan resiko menyongsong ke-matiannya.

   Tanpa berpikir panjang, Kojiro mengayun-kan pedang menyerang kelima samurai di depannya.

   Sabetan pertama hanya mengenai angin, tetapi mem-buat terkejut para samurai itu.

   Mereka tak menduga anak kecil di depannya memiliki keberanian untuk melawan.

   "Lebih baik saya mati!"

   Kata Kojiro menggeram. Se-kali lagi ia menebaskan pedang, tetapi sekali lagi tebasan itu hanya mengenai angin. Kelima samurai itu tertawa. Salah seorang di anta-ranya kemudian mulai memasang kuda-kuda untuk menyerang.

   "Maafkan saya, Yoshioka-san,"

   Kata samurai itu sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

   Ia akan menebas dengan jurus 'Jubah Pendeta'.

   Kojiro mundur, seluruh tubuhnya tiba-tiba gemetar.

   Ia dapat membayangkan betapa hebatnya tebasan itu sehingga tubuhnya pasti akan terbelah menjadi dua.

   Ra-sa ngeri itu membuat Kojiro mundur.

   Tetapi gerakan ini justru membuat dirinya tersudut di salah satu pohon besar di tempat itu.

   Sementara samurai yang akan mem-bunuhnya terus mendekat.

   Kedua kakinya bergerak zig-zag dalam posisi siap mengayunkan pedangnya.

   "Kau akan membunuhnya?"

   Tanya salah seorang sa-murai di dekatnya.

   "Panglima Konishiwa memerintah-kan kita menangkapnya hidup-hidup."

   "Akan kukatakan dia melawan kita."

   "Sebaiknya kita menunggu Panglima Konishiwa...."

   "Aku tidak...."

   Dengan kecepatan sepersepuluh detik, tiba-tiba Ko-jiro maju ke depan sambil menebaskan pedang. Samu-rai itu menjerit ketika merasakan perutnya robek. Ia menjerit, kedua tangannya mendekap perutnya, matanya membara karena marah.

   "Bangsaat!"

   Rutuk samurai yang terluka itu geram.

   Keempat temannya meloncat mundur ketika Kojiro mulai menyerang.

   Mereka tak menduga sama sekali Kojiro akan berani melawan meski sudah dalam kea-daan terjepit.

   Sekarang dengan membabi buta, anak itu menebaskan pedangnya ke kanan ke kiri.

   "Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuh-mu!"

   Desis samurai yang terluka, kemudian dengan penuh dendam ia mengangkat pedang, lalu mulai me-nyerbu untuk memenggal tubuh Kojiro.

   Di saat kritis itu, tiba-tiba samurai tersebut menjerit, tubuhnya terdorong ke depan beberapa langkah, lalu terhempas ke tanah dengan punggung tertancap ranting azaela.

   Belum habis rasa terkejutnya, keempat samurai itu menjerit sekarat ketika leher mereka ter-tembus ranting azaela.

   Jeritan mereka menyayat hati, kemudian tubuh mereka terguling tanpa nyawa.

   Kojiro masih tertegun menyaksikan pemandangan itu, ketika tiba-tiba ia melihat seberkas bayangan kuning turun merosot dari ketinggian pohon pinus.

   Kojiro belum dapat melihat dengan jelas sosok bayangan itu ketika ia merasakan tubuhnya dicengkeram, lalu dibawa terbang.

   Setengah menit berikutnya, ratusan samurai tiba di tempat itu, namun mereka hanya menemukan kelima mayat temannya terbujur tanpa nyawa.

   *** Di salah satu sudut bukit itu, Saburo Mishima dan Na-tane sedang berdiri di atas tebing curam.

   Di depan mereka menghampar jurang sedalam dua ratus meter.

   Jurang tersebut mengapit sungai yang mengalir deras ke arah Kamakura.

   Air sungai itu tampak kebiruan.

   Jurang itu dibentuk oleh dinding batu karang yang terjal.

   Tidak ada akar atau tempat yang dapat dipakai sebagai panjatan bila mereka ingin menuruninya.

   Saburo menatap sungai di bawah dengan dahi berkerut.

   Tubuh siapa pun akan remuk bila jatuh di atas batu-batu karang yang bertonjolan di sungai di bawahnya.

   Tampaknya tidak ada jalan untuk mundur.

   Saburo menoleh ke kanan ke kiri, mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri, namun gerakan kaum sa-murai dan pasukan Nobunaga telah membentuk taktik jepit udang, sehingga Saburo dan Yoshioka terkepung dari segala penjuru.

   Saburo memeras otak untuk keluar dari kepungan itu, namun sampai dahinya ber-kerut, tak satu jalan keluar pun ia dapatkan.

   Yoshioka tiba-tiba berkata.

   "Tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Kita sebaiknya melawan mereka."

   "Tidak ada gunanya,"

   Jawab Saburo sambil menatap ke bawah. Dari ketinggian ia dapat melihat gerakan maju pasukan musuh. Bendera-bendera yang dibawa di punggung para pembawa obor tampak seperti ta-ngan raksasa melambai-lambai.

   "Kekuatan kita tidak sebanding. Perlawanan kita tidak ada gunanya."

   "Apakah kita akan menyerah, Sensei?"

   "Tidak. Kita sebaiknya mempersiapkan diri untuk mati."

   "Maukah Sensei mati tanpa mengadakan perlawa-nan?"

   "Tak ada jalan lain. Kita harus melawan mereka."

   "Saya sudah siap mati,"

   Kata Yoshioka tegar.

   "Mu-dah-mudahan ayahku memaafkan kegagalan ini."

   Saburo mendekati sebuah batu di atas tebing itu, tampak di bawahnya, kita-kira seratus meter, ratusan samurai bergerak mendekatinya dengan pedang telan-jang.

   Tampaknya musuh sudah mengetahui di mana posisi Saburo, sehingga mereka bergerak mendekat dengan hati-hati.

   Betapapun tidak seorang pun ingin mati konyol.

   Saburo terkenal sebagai panglima Ashikaga, bukan mustahil ia telah membangun jebakan-jebakan untuk melindungi diri.

   Tetapi ketika tidak satu jebakan pun mereka hadapi, kaum samurai itu mulai melangkah bergegas, tetap dalam formasi pengepu-ngan yang teramat rapat.

   "Berikan pedang padaku,"

   Kata Yoshioka dengan suara tenang.

   "Aku akan melawan mereka."

   Saburo menoleh.

   "Bukankah sudah kukatakan eng-kau belum saatnya memegang pedang...."

   "Apa bedanya, kalau sebentar lagi kita akan mati."

   "Tetap ada bedanya. Kalau saat ini engkau mati, ji-wamu masih suci. Belum terkotori nafsu membunuh seorang samurai."

   "Aku lebih suka bila diberi pedang dan mati sebagai seorang samurai."

   Saburo diam.

   Suara gemerincing pedang mulai ter-dengar.

   Musuh semakin dekat.

   Siapa pun mengetahui, dalam perbandingan seperti itu, tak akan ada perta-rungan apa pun.

   Ratusan pasukan Nobunaga akan dengan mudah membantai Saburo dan Yoshioka.

   Matahari mulai terbit.

   Cahayanya yang bening me-nembusi perdu dan hutan di bukit itu.

   Capung dan burung mulai tampak beterbangan.

   Sementara kabut mengambang seperti bulan transparan.

   "Kurasa sebaiknya kita melawan mereka,"

   Kata Yo-shioka sambil mendekati Saburo.

   "Diam dulu. Saya sedang berpikir,"

   Saburo menja-wab dengan nada marah.

   "Tidak ada yang harus dipikirkan. Sebentar lagi kita akan mati."

   "Belum tentu. Kalau kita dapat mencari jalan ke-luar."

   "Jalan keluar macam apa?"

   Saburo terdiam.

   Ya, jalan keluar macam apa? Dari balik dedaunan dan kabut, sosok-sosok pasu-kan Nobunaga mulai tampak.

   Mereka seakan muncul dari balik awan.

   Wajah mereka membeku, memancar-kan nafsu membunuh.

   Melihat musuh-musuhnya sudah tampak di depan mata, seluruh tubuh Yoshioka bergetar hebat.

   Jiwa ke-satriaannya bangkit.

   "Berikan pedang padaku,"

   Kata Yoshioka tak sabar. Saburo menoleh cepat.

   "Ulurkan tanganmu pada-ku,"

   Katanya penuh tekanan.

   "Saya butuh pedang untuk melawan mereka."

   "Saya butuh tanganmu untuk melawan mereka...."

   "Apa maksud...."

   "Cepat! Ulurkan tanganmu!"

   Natane Yoshioka dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya.

   Pada saat itu pasukan Nobunaga menjerit untuk menyerang.

   Bagai tiupan angin puyuh, ratusan samurai itu mulai menyerbu.

   Langkah kaki mereka ba-gai hempasan gempa yang mengerikan.

   Dalam waktu bersamaan, Saburo Mishima meraih tangan Yoshioka, kemudian menariknya menuju ke jurang.

   Dalam sekali hentakan, kedua tubuh itu melayang ke jurang.

   *** BAPA LAO POHON seperti berlari ke belakang.

   Angin terasa tajam menyayat-nyayat kulit Kojiro.

   Seluruh keadaan di sekelilingnya seakan diputar dengan cepat, sehingga membuat kepalanya berkunang-kunang.

   Namun sosok berpakaian serba kuning itu tak menghiraukan kea-daan Kojiro.

   Ia terus melesat seperti angin menerobos hutan pinus, hutan azaela, dan terus menuruni bukit tersebut.

   Kecepatan larinya sangat tidak masuk akal.

   Karena cepatnya, kedua kaki sosok itu seakan tidak menjejak tanah.

   Ia bagai terbang di atas pucuk-pucuk rumput dan perdu.

   Sesekali Kojiro terpaksa memejamkan mata, sebab pohon-pohon di depannya seakan bergerak hendak membentur kepalanya.

   Juga batu-batu karang dan ba-tang pohon kering.

   Semua melesat ke arahnya dengan kecepatan bagai mata taufan.

   Aku tidak tahu siapa sosok misterius ini.

   Tetapi yang pasti ia sudah menyelamatkan diriku.

   Entah apa pun maksud dia menolongku, jelas dia di pihak Shogun Ashikaga.

   Lebih dari itu, sosok ini pasti berilmu tinggi.

   Gerakannya benar-benar seperti angin.

   Bahkan mataku tak dapat menangkap wujudnya.

   Kojiro tidak tahu lagi, berapa lama ia dibawa lari sosok berpakaian kuning itu, sampai akhirnya mereka berhenti, persis di depan sebuah kuil Budha.

   "Engkau sekarang sudah aman,"

   Kata sosok kuning itu sambil menurunkan Kojiro dari pundaknya.

   "Kita bisa beristirahat di sini."

   Mata Kojiro berkunang-kunang. Kakinya goyah ke-tika ia mencoba berdiri. Untuk beberapa saat ia ter-huyung-huyung. Kojiro berusaha bertahan agar tidak jatuh. Ia akan malu sekali kalau ketahuan dirinya merasa pusing.

   "Cobalah berdiri tegak seperti laki-laki,"

   Terdengar sosok berpakaian kuning itu datar.

   "Jangan berdiri ter-huyung-huyung seperti orang mabuk."

   Kojiro mengedip-ngedipkan matanya.

   Ia kini dapat menatap jelas sosok berpakaian kuning itu.

   Kojiro melihat seorang laki-laki berkepala gundul dengan se-buah kalung buah kenari di lehernya.

   Tubuhnya hanya ditutup kain kuning yang membelit dari bahu hingga ke mata kaki.

   Matanya besar serasi dengan kedua pi-pinya yang gembul.

   Kain kuning yang membelit tubuh lelaki tersebut terjurai hingga mata kaki, sementara di bagian pinggang, diikat kain warna merah dari sutera.

   Kedua kakinya memakai zori (sandal yang terbuat dari jerami).

   Di pergelangan tangannya terdapat dua gelang perak yang cukup besar.

   Dari pakaiannya, Kojiro mengetahui lelaki tersebut adalah seorang pendeta.

   "Benarkah engkau seorang pendeta?"

   Kojiro berta-nya dengan penuh rasa ingin tahu.

   "Bagaimana engkau tahu?"

   "Pakaianmu."

   Pendeta itu tersenyum tipis, lalu menjawab.

   "Pa-kaian seringkali menipu. Tak dapat dipercaya. Demi-kian banyak perampok dan pembunuh yang berpa-kaian tidak seperti yang engkau kira."

   "Tetapi kalau engkau bukan pendeta, kenapa ka-lung buah kenari serta pakaianmu seperti itu?"

   "Aku menyukainya. Bau buah kenari sangat harum. Selain itu tak seorang pun dapat melarangku mema-kainya, bukan?"

   "Apakah engkau tinggal di hutan itu?"

   "Aku tinggal di mana saja. Di bawah langit, di atas bumi. Bebas seperti binatang. Tidak seorang pun dapat melarangku mengembara."

   "Bolehkah aku tahu namamu?"

   Laki-laki tua itu menatap Kojiro dengan pandangan menyelidik, namun dengan tulus ia menjawab.

   "Saya Lao Tze. Orang memanggilku Bapa Lao."

   "Aku mengucapkan terima kasih, engkau telah me-nyelamatkan diriku."

   "Seharusnya engkau mengatakan hal itu sebelum kau menanyakan berbagai hal tadi."

   "Maaf. Tadi aku terlanjur ingin mengetahui siapa dirimu."

   Bapa Lao menghela napas panjang.

   Matanya mena-tap jauh ke pemandangan di sekelilingnya.

   Gunung Fuji tampak menjulang di kejauhan dengan salju abadi menutupi puncaknya.

   Awan tampak mengambang di sekitarnya.

   Sinar matahari yang mulai menerangi hu-tan serta lembah, menampakkan panorama yang sa-ngat indah.

   Hutan azaela serta pinus di kejauhan, terlihat samar-samar.

   Kojiro yang ikut-ikutan menatap pemandangan itu, terkenang kejadian mengerikan yang baru saja ia ala-mi.

   Bagaimana ratusan samurai siap membantainya.

   Bila tidak muncul lelaki misterius yang kini berdiri di depannya, ia pasti sudah mati.

   Paling tidak, saat ini ia sedang diseret ke Kamakura untuk dihadapkan pada Shogun Nobunaga.

   Kemudian esok atau lusa, seorang algojo akan memenggal kepalanya..

   Bagaimana dengan Yoshioka dan ayahnya? Kojiro menoleh pada lelaki tua di sebelahnya, lalu bertanya.

   "Apakah engkau juga mengetahui seorang laki-laki dan seorang anak yang juga sedang dikejar-kejar pasukan Nobunaga di hutan itu?"

   Bapa Lao menoleh, matanya menatap Kojiro.

   "Siapa?"

   "Panglima Saburo Mishima dan... Ko-ji-ro."

   "Mereka juga terkepung?"

   "Ya."

   "Mudah-mudahan ada mukjizat yang dapat menye-lamatkan mereka."

   "Jadi kau tidak melihat mereka?"

   "Tidak."

   Kojiro terdiam. Tampak kekecewaan di wajahnya. Bapa Lao menatap Kojiro. Lelaki itu seperti turut merasakan kepedihan hatinya. Lalu ia bertanya.

   "Ke-napa kalian dikejar-kejar pasukan Nobunaga?"

   "Tampaknya Shogun Nobunaga ingin memusnah-kan seluruh keluarga Ashikaga."

   "Siapa engkau sebenarnya sehingga mereka begitu bernafsu untuk membunuhmu?"

   "Aku...,"

   Kojiro ragu-ragu menjawab. Ingatannya melayang pada ayahnya. Ia menatap Bapa Lao, tetapi lelaki itu menampakkan ketulusan, sehingga akhirnya Kojiro melanjutkan.

   "Aku... Natane Yoshioka."

   "Yoshioka, nama yang bagus."

   Pada awalnya Kojiro menganggap lelaki tersebut akan kaget mendengar namanya, ternyata dugaannya keliru, Bapa Lao seperti tak terpengaruh oleh nama yang ia sebutkan. Karena itu ia melanjutkan.

   "Aku putra Shogun Ashikaga."

   Dugaan Kojiro kali ini pun meleset. Lelaki itu tetap diam. Tidak bereaksi. Wajahnya tidak menyiratkan emosi apa pun.

   "Apakah engkau tidak terkejut setelah mengetahui aku putra Shogun Ashikaga?"

   Kojiro bertanya penasa-ran melihat Bapa Lao tidak memberikan reaksi seperti yang ia harapkan. Bapa Lao menjawab datar.

   "Tidak."

   "Apakah engkau juga musuh ayahku?"

   "Tidak juga."

   "Jadi kenapa engkau seakan tidak menghormati ayahku?"

   Bapa Lao menoleh pada Kojiro, lalu berkata dengan nada datar.

   "Lihatlah,"

   Katanya sambil menunjuk pe-mandangan di sekelilingnya.

   "Alam ini diciptakan begitu indah oleh Tuhan. Gunung, bukit, lembah, sungai, dan hutan, serta segala isi panorama itu demikian elok. Segalanya seakan hidup di dalam harmoni. Bila kita menatap semua itu dengan jiwa jernih, kita dapat merasakan betapa indahnya kehidupan. Tetapi karena keserakahan manusia, ambisi kekuasaan, kehidupan menjadi rusak. Manusia membunuh sesama. Seakan hanya dengan pembunuhan hidup ini menjadi sem-purna. Padahal tidak. Semua terjadi justru sebaliknya. Tanpa kekuasaan, manusia sesungguhnya dapat hi-dup tenang dan damai menikmati keindahan kehidu-pan."

   Bapa Lao diam sejurus. Ia menoleh pada Kojiro, seakan ingin mengetahui apakah anak tersebut dapat mencerna ucapannya. Ketika Kojiro tetap diam, ia meneruskan.

   "Kau tahu maksudku?"

   Kojiro menatap Bapa Lao, lalu mengangguk.

   "Manusia tidak berarti karena nama serta keturu-nannya, tetapi karena perbuatannya sendiri. Akhlak-nya. Itu sebabnya aku tidak merasa terkejut apakah engkau keturunan Shogun Ashikaga atau Shogun No-bunaga sekalipun. Engkau tidak berarti apa-apa ka-rena keturunan seorang bangsawan atau petani. Arti dirimu ditentukan oleh dirimu sendiri."

   Kojiro diam. Sebenarnya ia merasa kecewa mengha-dapi reaksi dingin Bapa Lao, namun ucapan lelaki itu berhasil menghilangkan kekecewaannya.

   "Tampaknya engkau sangat bangga sebagai putra Ashikaga,"

   Kata Bapa Lao lagi. Kojiro menjawab.

   "Aku memang bangga."

   "Apa arti kebanggaanmu saat ini setelah kepala a-yahmu dipenggal?"

   Kojiro sekali lagi terdiam.

   Ingin rasanya ia menca-but Pedang Muramasa kemudian menebas tubuh lelaki di hadapannya.

   Namun entah kenapa, pengaruh keha-diran lelaki itu membuat dirinya tak berdaya.

   Ia hanya dapat berdiri, menatap lelaki tersebut dengan membi-su.

   "Sesudah orang mati, ia tak akan dapat lagi melakukan sesuatu pun untuk keluarganya. Termasuk me-nyelamatkan dirimu dari kejaran pasukan Nobunaga. Orang mati hanya meninggalkan kenangan. Bisa bu-ruk atau baik."

   "Saya capek, saya ingin istirahat,"

   Potong Kojiro. Ia tak ingin mendengarkan omongan lelaki tersebut lebih lama lagi.

   "Kalau ada, saya ingin makan."

   "Belajarlah menahan lapar. Kelaparan akan mem-buatmu dapat lebih menghargai kemiskinan. Kalau orang hanya menomorsatukan perut, dia akan kehi-langan ketabahan."

   "Apakah aku kurang tabah...."

   "Engkau sudah tabah,"

   Tukas Bapa Lao cepat. Ke-mudian dilanjutkan dengan suara lemah.

   "Tapi masih perlu ditingkatkan lagi."

   "Aku yakin engkau seorang pendeta."

   "Bukankah sudah kukatakan, pakaian dapat meni-pu dirimu?"

   "Aku yakin bukan karena pakaianmu."

   "Karena apa?"

   "Kata-katamu."

   Bapa Lao menghela napas panjang, lalu berkata tanpa menoleh, tanpa tekanan.

   "Jangan terlalu yakin dengan ucapan seseorang. Kata-katanya sering tidak menggambarkan isi hatinya."

   Kojiro kembali terdiam.

   Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa.

   Ucapan Bapa Lao membuat Kojiro malu, bingung, dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Ak-hirnya ia hanya diam.

   Bapa Lao pun diam.

   Seakan menunggu Kojiro bica-ra.

   Laki-laki itu memain-mainkan kalung buah kenari di dadanya.

   Pandangannya tetap lurus ke arah Gunung Fuji di kejauhan.

   Matahari yang mulai merayap ke langit membuat panorama di bawah bukit itu sema-kin mempesona.

   Kabut mulai menghilang digantikan warna hijau pepohonan dan warna kuning daun padi.

   Ketika Kojiro tetap diam, akhirnya Bapa Lao ber-tanya.

   "Engkau lapar, bukan?"

   "Ya,"

   Jawab Kojiro terus terang.

   "Kalau begitu, mari kita makan." *** KEMARAHAN KONISHIWA BYURR! Saburo Mishima dan Natane Yoshioka terce-bur ke dalam sungai yang berarus deras. Untuk bebe-rapa saat mereka tenggelam. Pada saat bersamaan pa-sukan Nobunaga melempari mereka dengan tombak, beberapa di antaranya melepaskan anak panah. Pulu-han anak panah dan tombak menembusi sungai hing-ga ke dasar, namun tak satu pun berhasil mengenai Saburo maupun Yoshioka. Yoshioka merasakan dadanya akan meledak, ka-rena itu ia berniat naik ke permukaan, tetapi dengan keras Saburo menarik kakinya kembali sehingga tubuh anak itu tetap di dalam air. Tangan serta kakinya menggapai-gapai, berusaha mencari jalan untuk naik, namun Saburo tetap menggenggam erat. Yoshioka megap-megap. Di atas tebing, Konishiwa tampak marah. Wajahnya merah padam.

   "Hujani mereka dengan panah!"

   Teriaknya geram.

   "Rejam tubuhnya dengan tombak."

   Pasukan panah segera merentang busur, lalu meng-hujani Saburo dan Yoshioka dengan panah.

   "Kalian semua ceroboh!"

   Kata Konishiwa marah.

   "Se-harusnya dua bangsat itu dapat kita tangkap!"

   "Mereka beruntung jatuh di air,"

   Kata seorang sa-murai dengan polos.

   "Tolol!"

   Bentak Konishiwa uring-uringan.

   "Kalau bu-kan karena ketololan kalian tak mungkin mereka lolos!"

   "Apa yang sekarang sebaiknya kita lakukan, Koni-shiwa-san?"

   "Goblok! Cari jalan lain agar kita dapat membekuk dua bangsat itu!"

   Konishiwa berbalik, lalu berjalan bergegas ke arah kudanya.

   Cukup lama Saburo menahan Yoshioka di dalam air sambil membiarkan tubuh mereka terseret arus deras sungai itu.

   Dengan mata terbuka, Saburo melihat pu-luhan anak panah menembus air, juga tombak dan ba-tu.

   Baru setelah agak jauh dari tempat mereka jatuh, Saburo menarik Yoshioka ke permukaan.

   Kepalanya muncul dengan mulut terbuka, sambil melepaskan hempasan napas panjang.

   Matanya menatap ke seke-liling dengan waspada.

   Ia lega sesudah mengetahui tempatnya sekarang jauh dari musuh-musuhnya.

   "Mudah-mudahan mereka tidak mengejar kita,"

   Ka-ta Saburo sambil menatap bukit tempat ratusan pa-sukan Nobunaga berdiri sambil berteriak-teriak marah.

   "Kita selamat."

   Saburo menoleh dan ia melihat kepala Yoshioka terkulai.

   Anak itu ternyata pingsan.

   Dengan cepat Saburo berenang ke tepi sungai, dengan susah payah ia menyeret tubuh Yoshioka ke atas tanah rumput.

   Dengan tenang ia beri bantuan pernapasan sehingga Yo-shioka tersedak dan memuntahkan kembali air yang telah ditelannya.

   Beberapa kali anak itu mengeluarkan air dari mulutnya.

   "Syukurlah kau siuman,"

   Kata Saburo tersenyum.

   "Kita selamat."

   Yoshioka berkata marah.

   "Engkau hampir membu-nuhku, Sensei."

   Saburo menjawab tenang.

   "Kenyataannya tidak. Aku justru menyelamatkan dirimu."

   "Untung paru-paruku tidak pecah."

   "Mereka menghujani kita dengan tombak dan pa-nah, karena itu kutahan dirimu agar tetap di dalam air."

   Yoshioka menggeliat. Lalu duduk. Wajahnya masih tampak pucat.

   "Di mana kita?"

   "Tidak tahu. Tetapi yang jelas berada di tepi sungai yang menuju ke Kamakura. Kita masih berada di tempat yang berbahaya dan penuh ancaman."

   "Apakah mereka masih mengejar kita?"

   "Kurasa pengejaran akan terus mereka lakukan. Bagaimanapun mereka harus menaati perintah Nobu-naga. Karena itu sebaiknya kita tidak lama-lama du-duk di sini. Satu jam lagi mereka pasti sudah mengepung tepi sungai ini. Kita sebaiknya segera pergi."

   "Aku lelah sekali."

   "Terserah padamu. Membiarkan tubuh kita istirahat tetapi kemudian dipenggal kepalanya, atau memaksa tubuh kita yang letih untuk terus berjalan. Kalau musuh sampai di sini, kita harus sudah jauh dari tempat ini."

   Saburo berdiri, kemudian berjalan menuju ke tepi sungai.

   Dia berdiri di sana untuk memeriksa keadaan sekeliling mereka.

   Ternyata sekarang mereka berada di tepi sebuah hutan yang memiliki pohon-pohon tinggi menjulang.

   Tidak ada jalan di dekat tempat itu, jadi kalau mau pergi hanya ada dua pilihan.

   Pertama me-nyusuri tepi sungai atau membuat jalan sendiri ke dalam hutan.

   Saburo diam beberapa saat, memikirkan jalan terbaik yang harus mereka ambil.

   "Apa yang sedang engkau pikirkan, Sensei?"

   Tiba-tiba Natane Yoshioka bertanya sambil berjalan men-dekati Saburo.

   "Kau memikirkan Kojiro?"

   "Tidak,"

   Jawab Saburo spontan.

   "Saya sedang men-cari jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Kita harus mampu menerobos kepungan mereka apabila mau selamat."

   "Sensei tidak memikirkan Kojiro?"

   "Tidak. Kojiro telah memilih jalan samurai. Dia ha-rus menjalani takdirnya sebagai seorang samurai. Tewas dalam pertarungan atau berjuang untuk menda-patkan keselamatan."

   "Tidakkah terpikir oleh Sensei bahwa dia kini sudah tewas dibantai tentara Nobunaga?"

   "Mungkin."

   "Bagaimana kalau dia memang benar-benar sudah tewas...."

   "Saya akan bangga kalau Kojiro memang tewas da-lam pertarungan. Itu akan membuktikan bahwa dia memang seorang samurai sejati."

   "Sensei tidak menyesal telah mengirim Kojiro me-nyongsong kematiannya?"

   "Itu adalah jalan hidupnya. Takdirnya."

   "Bukankah Kojiro anakmu satu-satunya?"

   "Apa pun yang terjadi dengan Kojiro, aku merasa puas, karena dia berani mengambil resiko untuk keselamatan putra Ashikaga. Arwahnya akan tenang di alam baka."

   Yoshioka menghela napas panjang.

   Terbayang di pe-lupuk matanya ketika ia berlatih kendo dengan Kojiro.

   Siapa pun tahu, Kojiro memiliki bakat besar sebagai seorang samurai.

   Permainan kendonya amat lincah dan kuat.

   Bahkan berkali-kali Kojiro mengalahkan dirinya.

   Juga ketika di bukit persembunyian, sewaktu Saburo mulai melatih mereka bermain pedang, Kojiro memperlihatkan kemahirannya memainkan pedang.

   Tetapi Bagaimanapun hebatnya anak itu, tak mungkin ia melawan ratusan samurai seorang diri.

   Tak mung-kin! Di kepala Yoshioka muncul saat-saat yang mengeri-kan ketika tentara Nobunaga merencah tubuh Kojiro.

   Bayangan itu membuat Yoshioka menoleh pada Sabu-ro.

   "Mudah-mudahan dia dapat meloloskan diri. Saya berdoa mudah-mudahan dia selamat."

   "Baik sekali engkau berkata begitu,"

   Kata Saburo sambil menepuk bahu Yoshioka.

   "Dia satu-satunya temanku,"

   Kata Yoshioka mu-rung.

   "Kecuali itu, Kojiro telah mempertaruhkan nyawanya semata-mata untuk menyelamatkan diriku. Aku sangat menghargai pengorbanannya."

   Saburo menarik napas panjang.

   Tiba-tiba ia diter-kam kesedihan.

   Rasa pedih seorang ayah yang kehi-langan anak satu-satunya.

   Mata Saburo berkaca-kaca.

   Sesudah istrinya, kini anaknya, keduanya tewas dalam membela kehormatan Shogun Ashikaga.

   Sebagai seorang samurai, Saburo tahu, kesedihan dapat mempe-ngaruhi kejernihan pikirannya.

   Ia tak ingin merasakan sedih secara berlarut-larut.

   Karena itu ia berkata.

   "Mari kita pergi, jangan sampai pasukan Nobunaga sempat mengejar kita."

   Natane Yoshioka bertanya kritis.

   "Kita akan ke mana?"

   "Tidak tahu. Ke mana saja."

   Natane Yoshioka menatap Saburo. Tetapi ia lihat si-nar mata lelaki tersebut memancarkan kesungguhan.

   "Apakah kita akan menyusuri sungai?"

   "Tidak. Kita akan memasuki hutan."

   Berkata begitu Saburo Mishima kemudian mulai berjalan masuk ke dalam hutan.

   *** Ketika sampai di bawah, Konishiwa hanya menjumpai tempat kosong.

   Ia memerintahkan pasukannya men-dirikan tenda untuk beristirahat, lalu menyuruh pasukannya yang lain untuk melakukan pengejaran di hu-tan.

   Hampir dua ratus samurai bergerak menyisir hu-tan di tepi sungai itu, terus masuk sejauh sepuluh kilometer.

   Namun mereka tak menemukan Saburo mau-pun Yoshioka.

   Hutan itu sepi, hanya sejumlah bina-tang bercericit ketakutan ketika menyaksikan ratusan orang mengobrak-abrik hutan.

   Berkali-kali Konishiwa mengepal-ngepalkan tangan-nya.

   Ia tampak sangat marah dan terpukul.

   Betapa tidak, hanya tinggal selangkah dia dapat memenggal kepala Saburo dan Yoshioka, sesudah itu semua akan beres.

   Shogun Nobunaga telah menjanjikan gelar da-imyo untuknya.

   Ia akan diberi puri yang indah di Edo, wilayah kekuasaan yang besar, dan kehidupan mewah yang telah lama ia idam-idamkan.

   Satu hal lagi, ia be-bas memiliki gundik berapa banyak ia mau, karena dia seorang daimyo.

   Kenyataan menyenangkan itu gagal karena ketolo-lan samurai yang mendukungnya.

   "Dasar bodoh!"

   Rutuknya geram.

   "Hanya tinggal se-lompatan kepala bangsat itu dapat kupenggal, nyata-nya gagal. Awas! Kalau berhasil kutangkap, akan ku-sayat-sayat wajahnya sebelum kupenggal. Biar dia merasakan kesakitan luar biasa sebelum mati. Akan ku-kencingi mulutnya agar dia tahu arti penghinaan."

   Tetapi apa pun yang terjadi, Konishiwa tak mungkin kembali ke istana dengan tangan kosong.

   Kehormatan dirinya terlalu mahal untuk sebuah kegagalan sema-cam itu.

   Karena itu dia berpikir keras untuk menyelamatkan mukanya di depan Nobunaga.

   Harus ada yang dikorbankan untuk kehormatanku.

   Kegagalan ini dapat mencoreng wajahku.

   Aku tak ingin mengalami nasib seperti Ishida Mitsunari yang tolol itu.

   Sesudah berpikir sejurus, akhirnya ia mempunyai gagasan yang dirasa sangat brilian.

   Konishiwa me-manggil seorang pengawal andalannya yang bernama Seichi Okawa.

   "Okawa-san!"

   "Ya, Tuan."

   "Di mana pandai besi yang memberikan informasi tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka?"

   "Dia ada di belakang, sedang menanak nasi untuk Anda."

   "Sekarang seret kemari, penggal kepalanya untuk kupersembahkan pada Tuanku Nobunaga!"

   Takezo kaget ketika tiga orang samurai mencengke-ram lengannya kemudian menyeretnya ke depan Koni-shiwa.

   "Engkau yang memberikan informasi tentang per-sembunyian Saburo Mishima?"

   "Benar, Tuan."

   "Rumah yang digunakan mereka bersembunyi juga milikmu?"

   "Benar, Tuan. Mereka telah tinggal di sana selama sebulan tanpa saya ketahui."

   "Kau tahu, sekarang aku gagal menangkapnya."

   "Ya, Tuan. Mudah-mudahan mereka akan kembali lagi sehingga saya dapat memberitahu Tuan."

   "Kau tahu, aku tidak mungkin menghadap ke istana dengan tangan hampa. Kehormatanku sebagai pang-lima perang akan tercemar. Karena itu kuminta kau berkorban untuk menyelamatkan nama baikku. Biar-kan aku memenggal kepalamu untuk kupersembahkan pada Tuanku Nobunaga."

   "Tuan...."

   Hanya sepatah ucapan itu yang keluar dari mulut Takezo, sesudah itu seperti anjing terluka, ia melolong panjang minta diampuni.

   Tetapi keputusan sudah diambil.

   Konishiwa segera memerintahkan Seichi Okawa memenggal kepala Takezo.

   *** TEKAD SEORANG GEISHA KONISHIWA menghadap Shogun Nobunaga, ia membe-rikan laporan tentang kegagalan penyergapan itu.

   Kemudian dengan panjang lebar, ia menceritakan bahwa kegagalan tersebut disebabkan pengkhianatan Takezo, seorang pandai besi yang selama ini menyembunyikan Saburo dan Yoshioka.

   Sesudah bersujud, Konishiwa segera memberikan nampan yang ditutup kain sutera merah ke hadapan Nobunaga.

   "Demi kewibawaan Tuanku Nobunaga, saya persem-bahkan kepala pandai besi itu untuk Anda. Hal ini agar menjadi pelajaran siapa pun yang mencoba me-lindungi Saburo dan Yoshioka."

   Shogun Nobunaga menyuruh samurai pengawalnya membuka kain itu. Tampak di atas nampan itu, kepala Takezo yang mulai kering.

   "Baiklah,"

   Kata Nobunaga sambil memberi isyarat agar kepala Takezo dibawa pergi.

   "Letakkan kepala itu di tengah Kamakura, sehingga semua orang mengetahui apa resikonya bila melindungi Saburo dan Yoshi-oka."

   "Baik, Tuanku."

   "Untuk sementara istirahatkan pasukanmu, namun jangan sampai mereka kehilangan kewaspadaan."

   "Baik."

   "Saat ini aku telah memerintahkan Hosokawa-san untuk menjumpai Yagyu. Kuharap Yagyu bersedia me-ngirimkan murid terbaik perguruan itu untuk mem-bantu kita mengejar Saburo dan Yoshioka. Mudah-mu-dahan harapanku dapat dikabulkan guru besar pergu-ruan Yagyu."

   Konishiwa sekali lagi membungkukkan badan un-tuk menyatakan persetujuannya.

   "Biarkan pasukanmu bersenang-senang,"

   Kata No-bunaga lagi.

   "Kita akan membuat pesta dengan me-manggil rombongan kabuki untuk menghibur para sa-murai. Mudah-mudahan mereka gembira." *** Istana Kamakura tampak gemerlapan. Cahaya lampion warna-warni menghiasi setiap sudut halaman istana. Angin yang bertiup lemah membuat api di dalam lam-pion bergoyang ke kanan ke kiri. Di tengah halaman istana, ratusan samurai duduk sambil menikmati maka-nan. Berbagai makanan khas yang sangat lezat dihi-dangkan oleh lima puluh pelayan wanita yang menge-nakan kimono warna-warni. Cara mereka melangkah menimbulkan pesona tersendiri. Shogun Nobunaga duduk di atas zabuton sambil memeluk Naoko. Tiga orang pelayan mengipasi kedua orang itu dengan kipas akar wangi. Aroma harum ki-pas itu menguap ke segenap ruangan. Di depan Nobunaga tampak sebuah panggung besar tempat drama kabuki. Atas permintaan Naoko, sebuah kelompok kabuki dari Horasawa, sebuah dusun kecil dua puluh kilometer di selatan Kamakura, didatang-kan untuk merayakan musim panen. Di sekeliling panggung itu, ratusan samurai bersu-ka-ria dengan para geisha yang sengaja didatangkan ke Kamakura. Tambur ditabuh ketika pertunjukan kabuki dimu-lai. Seorang laki-laki berwajah putih muncul mengenakan kimono warna merah bergambar harimau. Ia me-lenggang ke tengah panggung sambil memainkan payung kertas di tangannya. Cara berjalannya yang mirip perempuan membuat penonton tertawa terping-kal-pingkal. Rambutnya dicukur hingga cuma menyi-sakan kuncir di atas kepalanya.

   "Selamat malam,"

   Kata lelaki tersebut sambil mem-bungkuk ke arah Nobunaga.

   "Malam ini, kita akan bersuka-ria. Kami akan menyuguhkan sebuah kisah cinta yang sangat indah -Pangeran Genji."

   Saat lelaki tersebut membungkukkan badannya ke lantai, bermunculan enam gadis penari dari kanan kiri panggung.

   Di tubuh mereka terdapat sayap dari kertas yang dapat digerak-gerakkan dengan tangan.

   Mereka menari melingkar-lingkar sebagai kupu-kupu beter-bangan.

   Pakaian warna-warni yang dikenakan mem-buat para penonton terpesona.

   Shogun Nobunaga tersenyum menyaksikan awal pertunjukan itu.

   Sejak dulu, semasa ia kecil, pertunjukan Pangeran Genji amat disukainya.

   Legenda tersebut tetap menjadi pertunjukan kegemarannya hingga kini.

   Untuk mengisi jam-jam yang membosankan pada sela-sela upacara istana, seorang dayang maharani Jepang pada abad kesebelas mulai menulis kisah cinta.

   Ia menulis dengan huruf kanji sebanyak kira-kira 630.000 kata di atas kertas tentang Hikayat Genji.

   Cerita petualangan Pangeran Genji dan keturunannya ini ternyata mampu menggambarkan kebesaran istana Jepang pada zaman Heian.

   Bangsawan Heian selalu asyik mengejar kenikmatan dan pesona cinta.

   Namun percintaan itu kadang mem-buahkan tragedi.

   Kisah ini dihiasi lukisan-lukisan di atas kertas yang sangat indah.

   Pangeran Genji merupakan model khas bangsawan zaman Heian.

   Walaupun putra seorang kaisar, ia me-nawan hati semua orang berkat bakat alam untuk menggubah puisi -suatu bakat yang sangat dihormati di istana.

   Di dalam istana setiap ucapan selalu dibum-bui dengan syair.

   Pangeran Genji memiliki beberapa istri.

   Namun ia memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya.

   Tetapi pada suatu hari, sewaktu Genji sedang tidak di istana, seorang warga istananya yang dimabuk as-mara memperkosa istri termuda pangeran itu, yakni Nyosan, putri bekas kaisar Jepang.

   Wanita itu me-ngandung.

   Dengan hati hancur karena perasaan ber-salah, Nyosan menyimpan diri di kamar serta menya-takan diri akan menjadi bikuni.

   Ayahnya mencoba me-nyadarkan agar Nyosan membatalkan niatnya.

   Meski-pun ayahnya seorang biksu yang telah mengucapkan kaul biara, namun ia tak rela anaknya menanggungkan penderitaan sebagai seorang pendeta.

   Karena dengan menjadi bikuni, berarti Nyosan untuk selamanya melepaskan kesenangan istana, lomba puisi, pesta anggur, dan beraneka upacara yang penuh suka-ria.

   Untuk menghindari aib, Genji mengakui Kaoru, anak haram istrinya, sebagai anaknya sendiri.

   Dengan me-nekan perasaan, ia menjalani segala macam upacara yang biasa dilaksanakan sesudah kelahiran seorang putra bangsawan.

   Ia mengenakan pakaian berlapis-lapis yang sangat mewah.

   Meskipun keadaan sekelilingnya penuh suasana ba-hagia, Genji selalu menunduk karena kepedihannya.

   Pangeran tersebut merasakan ironi pahit dalam pelak-sanaan upacara itu, karena sesungguhnya, Genji telah menghasilkan seorang anak haram dengan salah seo-rang gundik ayahnya! Suatu dosa yang terus menerus menghantui hatinya.

   Sesudah Kaoru tumbuh dewasa, ia diterima sebagai putra Genji sendiri tanpa ada yang mempertanyakan-nya.

   Ternyata Kaoru sangat cakap.

   Ia dapat memain-kan seruling seperti seorang yang ahli, juga samishen, dan pintar menggubah puisi haiku (puisi pendek yang sangat indah).

   Karena kulit tubuhnya cemerlang dan berbau harum, ia memperoleh julukan sebagai "Pa-ngeran yang harum".

   Meskipun memiliki daya tarik bagi kaum wanita, Kaoru tidak menunjukkan minat pada soal cinta.

   Si-kap menjauhi wanita dalam diri Kaoru, sesungguhnya berasal dari dasar sikapnya yang pendiam, bahkan melankolis.

   Hal ini diakibatkan suasana aneh yang melingkungi kehidupannya.

   Sering ia bertanya.

   "Kena-pa Ibu tiba-tiba menjadi bikuni setelah melahirkan diriku?"

   Ayahnya menjawab.

   "Tidak ada yang memaksanya. Namun panggilan hatinya memang demikian. Ia mera-sa bahagia sebagai bikuni."

   Tetapi pada suatu malam, ketika Kaoru mengun-jungi rumah sahabatnya, ia mendengar alunan musik yang menembus kabut malam.

   Ia berpikir, mungkin-kah putri sahabatnya? Ia kemudian mengintai dari sudut kebun melalui pagar bambu, dan ia melihat seo-rang gadis cantik jelita sedang memainkan biwa (kecapi Jepang) ditemani dua orang dayang.

   Seketika pijar-pijar cinta meletup dalam dirinya.

   Pertama kali ia merasa jatuh cinta pada Origami.

   Namun cinta ternyata hanya membawa kedukaan bagi Kaoru.

   Origami ternyata menolak cintanya.

   Mes-kipun demikian, Kaoru tidak mudah menyerah.

   Ia te-rus mencoba mendekati Origami.

   Namun gadis ter-sebut tetap pada pendiriannya.

   Bahkan ketika ayahnya meninggal, gadis tersebut melakukan seppuku.

   Di atas panggung istana Kamakura, seorang lelaki muda yang memainkan peran Kaoru, membungkuk pedih.

   Ia meratap karena kematian Origami.

   Sampai akhirnya seorang kaisar di Jepang menawarkan pu-trinya untuk dinikahi Kaoru.

   Tawaran kaisar itu diberikan dengan cara paling ha-lus, ia mengajak Kaoru bermain Go (suatu permainan tradisional Jepang mirip catur).

   "Jika Anda menang,"

   Kata pemeran kaisar sambil membelai kumisnya.

   "Anda akan mendapat hadiah is-timewa."

   "Apakah hadiah itu kalau saya boleh tahu?"

   "Gadis cantik jelita."

   "Siapa?"

   "Putriku."

   Mereka berhadapan di atas tatami, kemudian me-mainkan go dengan penuh minat. Kaisar sendiri ber-main santai sehingga akhirnya ia kalah.

   "Anda memang luar biasa,"

   Kata kaisar diplomatis.

   "Rasanya saya tidak menyesal menyerahkan putriku pada Anda."

   Pemeran Kaoru segera berdiri, lalu mencabut bunga krisan di tepi panggung. Dengan hormat, bunga itu diberikan pada kaisar sambil membawakan syair secara spontan.

   "Andaikan bunga ini tumbuh di pagar biasa, maka akan aku pandangi setiap hari sepuas-puasnya."

   Putri kaisar muncul, kemudian bergenggaman ta-ngan dengan Kaoru.

   Mereka resmi menjadi suami istri.

   Dan itulah awal Kaoru menjadi kaisar yang sangat ter-masyhur semasa dinasti Heian.

   Pertunjukan usai.

   Semua penonton bertepuk ta-ngan riuh rendah.

   Nobunaga tersenyum puas.

   Ia menganggukkan ke-pala ketika seluruh pemain membungkukkan badan ke arahnya.

   "Luar biasa, aku menyukainya,"

   Kata Nobunaga sambil bertepuk tangan.

   "Permainan mereka benar-benar mempesona. Kurasa mereka pemain kabuki ter-baik di negeri ini."

   "Engkau menyukai pertunjukan itu atau para pe-mainnya yang cantik-cantik?"

   Naoko bertanya genit penuh muslihat. Nobunaga menoleh cepat, lalu tertawa.

   "Engkau cemburu?"

   "Saya merasa cemburu."

   "Tidak usah engkau cemburu, tidak seorang pun yang mampu mengalahkan kecantikanmu."

   "Tetapi engkau sangat terpikat dengan permainan mereka."

   "Hanya permainan mereka,"

   Kata Nobunaga sambil menjentik dagu Naoko dengan mesra.

   "Hanya permai-nan mereka. Tidak lebih. Percayalah."

   Naoko tersenyum, lalu berdiri sambil menarik ta-ngan Nobunaga.

   "Kalau begitu saya ingin tahu bagai-mana penilaianmu pada permainanku."

   Nobunaga membelalakkan mata dengan senang, la-lu seperti memendam sesuatu yang ingin ia lam-piaskan, lelaki tersebut berdiri kemudian bergegas mengikuti Naoko.

   Para samurai masih bersuka-ria di halaman istana ketika Nobunaga dan Naoko menghilang di balik soji (pintu kertas) istana itu.

   *** Naoko menciumi Nobunaga.

   Napasnya terengah-engah, sesekali mulutnya mendesah, merasakan kenikmatan menyeruak-nyeruak ke dalam tubuhnya.

   Sesekali tubuh mereka berguling di atas tatami.

   Gairah telah memba-kar mereka menjadi satu.

   Nobunaga berbaring menikmati permainan Naoko.

   Tangannya mengusap-usap tubuh perempuan itu de-ngan rasa penuh kekaguman.

   Belum pernah ia melihat tubuh perempuan seindah milik Naoko.

   Putih dan mu-lus, sehingga memberikan pesona yang abadi.

   "Luar biasa!"

   Desis Nobunaga sambil menahan na-pas.

   Naoko memang luar biasa.

   Wanita itu seorang ahli dalam bermain cinta.

   Bagi Nobunaga, wanita adalah deret ukur panjang dalam kehidupannya.

   Sebagai seo-rang bangsawan, ia pernah memiliki wanita simpanan lebih dari seratus orang.

   Gadis-gadis itu diambil dari seluruh desa di wilayahnya, rata-rata berusia belasan tahun.

   Bahkan pernah ada yang masih berusia tiga belas tahun.

   Mereka semua hidup di istananya, khusus untuk melayani kebutuhan seks Nobunaga.

   Dengan seratus perempuan itu, hampir setiap hari Nobunaga melampiaskan kebutuhan seksnya.

   Setiap hari! Seks buatnya seperti layaknya orang makan.

   tiga kali sehari pada pagi, siang, dan malam.

   Namun kebiasaan itu berhenti sesudah ia menemukan Naoko.

   Berbeda de-ngan wanita-wanita lain yang bercinta dengan sikap melayani, Naoko bersikap agresif dan penuh imajinasi.

   Bila wanita-wanita lain diibaratkan cahaya lampu mi-nyak yang berkedip-kedip, Naoko adalah halilintar yang meledak dan berpijar.

   Sejak bertemu gadis itu, shogun tersebut selalu mengalami permainan cinta yang berubah-ubah, sangat imajinatif.

   Permainan itu kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi sangat menyenangkan.

   "Oh..., rasanya aku akan meledak,"


Pendekar Naga Putih Dedemit Bukit Iblis Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Raja Petir Empat Setan Goa Mayat

Cari Blog Ini