Ceritasilat Novel Online

Samurai Pengembara III 2


Shugyosa Samurai Pengembara III Bagian 2



Kemudian beralih pada Yoshioka yang menatap-nya nanar.

   Dari tatapan polos anak itu, tumbuh sentuhan di hatinya.

   Ia teringat anak lelakinya yang telah meninggal karena kolera.

   Kalau anaknya masih hidup tentu sebesar anak shugyosa tersebut.

   Tanpa disadari wanita tersebut membuka pintu.

   "Masuklah, kalau hanya sebentar,"

   Katanya sambil membiarkan Saburo dan Yoshioka masuk.

   "Kalian dari mana?"

   "Kami dari Kamakura."

   "Mau pergi ke mana?"

   "Secara pasti kami tidak mempunyai tujuan, tetapi saat ini kami sedang menuju ke Suruga."

   Yoshioka bertanya.

   "Apakah Suruga dari sini masih jauh?"

   "Ya,"

   Jawab wanita itu.

   "Kira-kira sepuluh mil."

   Yoshioka tampak menghela napas panjang.

   Ia mem-bayangkan perjalanan sejauh sepuluh mil yang akan membuat kakinya lecet.

   Rumah tersebut tampak diatur dengan rapi.

   Biar-pun tidak ada barang berharga di dalamnya, tetapi karena cara penataannya cukup berselera, pemandangan di dalamnya terasa menyenangkan.

   Pada dinding ruang tengah tampak tiga buah topeng digantung, persis di atas sebilah pedang panjang.

   Karena melihat pedang tersebut, Saburo menduga suami wanita tersebut tentulah seorang samurai.

   Perempuan itu menarik zabuton, lalu meletakkan di depan Saburo.

   "Ayako!"

   Suara perempuan itu memecah keheni-ngan.

   "Kemari, bawakan tamu kita air minum."

   Dari balik pintu kemudian muncul gadis berkimono biru itu. Sekilas ia memandang Saburo dan Yoshioka, lalu cepat-cepat menundukkan kepala. Ia menghidang-kan air minum dalam cangkir tanpa mengangkat ke-pala.

   "Dia anakku, namanya Ayako,"

   Kata wanita tersebut memperkenalkan anaknya.

   "Ibu sendiri?"

   "Orang-orang memanggilku Yuriko-san."

   Sambil minum, Saburo bertanya.

   "Apakah keadaan di sini tidak aman sehingga Anda tadi tidak bersedia menerima kami?"

   "Dapat dikatakan begitu. Semenjak Nobunaga ber-kuasa, di sini selalu terjadi kerusuhan. Terutama soal pajak. Untuk membiayai ribuan prajuritnya, Nobunaga dan para daimyo menarik pajak dari rakyat secara se-wenang-wenang. Akibatnya banyak orang seperti saya jatuh miskin. Saya dengar saat ini Nobunaga tengah menghimpun kekuatan bersenjata yang sangat besar. Entah untuk apa. Dari desas-desus yang kudengar, katanya dia tengah mempersiapkan diri untuk menye-rang Imagawa."

   Saburo mengerutkan kening.

   "Nobunaga akan me-nyerang Imagawa?"

   "Entahlah. Saya hanya mendengar dari samurai-sa-murai yang kebetulan lewat di sini."

   "Apakah banyak samurai yang lewat sini?"

   "Lebih banyak dari biasa."

   "Ke mana tujuan mereka?"

   "Mengejar Saburo Mishima dan Ishida Mitsunari."

   Yoshioka tersedak. Air yang sedang diminum masuk ke rongga hidungnya. Ia batuk-batuk sambil member-sihkan air di wajahnya. Perempuan itu menatap anak itu dengan iba.

   "Apakah kalian punya tujuan sama dengan me-reka?"

   Wanita tersebut bertanya.

   "Tidak,"

   Jawab Saburo sembari menggelengkan ke-pala.

   "Kami hanya pengembara biasa."

   "Syukurlah. Jangan ikut-ikutan dengan mereka. Kudengar sudah beberapa puluh samurai mencoba menangkap Saburo Mishima, tetapi semua terbunuh. Bahkan tidak seorang pun berhasil melukainya. Beberapa waktu lalu tiga samurai ditemukan telah me-ninggal di hutan pinus, katanya Saburo yang membu-nuh mereka."

   Saburo terpaksa hanya diam, mendengarkan kata-kata wanita itu.

   Ia hanya sesekali berkomentar, itupun dilakukan dengan sangat hati-hati.

   Pembicaraan itu tidak terasa sampai larut malam, sehingga Saburo terpaksa minta izin untuk menginap.

   Pada mulanya wani-ta itu bimbang, namun setelah diyakinkan bahwa me-reka hanyalah samurai pengembara biasa, wanita tersebut mau menerima.

   Saburo dan Yoshioka tidur di ruang tengah.

   Yoshioka berbaring di atas zabuton, sedang Saburo menggunakan tatami.

   Karena lelah, me-reka terlelap.

   Menjelang pagi, Saburo terbangun ketika telinganya mendengar suara berisik di samping rumah.

   Rumah itu sepi.

   Tampaknya kedua penghuninya sedang pergi.

   Saburo melihat Yoshioka sudah bangun.

   Anak itu berbaring sambil menatap Saburo.

   Sinar matanya bersi-nar-sinar waspada.

   Rupanya ia pun mendengar kega-duhan di samping rumah.

   "Apakah mereka dapat dipercaya?"

   Yoshioka ber-tanya berbisik.

   "Bagaimana kalau mereka melaporkan kedatangan kita pada pasukan Nobunaga?"

   "Mudah-mudahan tidak. Tetapi apa pun yang terja-di, kita harus mengucapkan terima kasih karena telah diberi tempat istirahat."

   "Kalau begitu kita harus segera pergi."

   "Tidak perlu tergesa-gesa. Kita masih punya banyak waktu untuk meneruskan perjalanan. Kecuali itu, aku mempercayai cerita perempuan itu. Tampaknya dia tidak berdusta."

   "Kita dulu keliru menilai Takezo."

   "Tidak. Aku tidak keliru. Hanya saja kita sangat terlambat bereaksi."

   Dari samping rumah terdengar suara wanita itu menjerit, lalu diikuti suara seorang laki-laki memaki-maki. Dari nada suaranya yang menggeram, Saburo dapat membayangkan bagaimana bentuk fisik lelaki tersebut. Ia tentu tinggi, gemuk, dan kejam.

   "Dasar sundal!"

   Suara lelaki itu terdengar meleng-king.

   "Sudah kukatakan kau harus segera mengirim anakmu ke Kamakura. Dia akan hidup senang di sana. Sebagai seorang penari, Ayako punya banyak kesem-patan bertemu Tuanku Nobunaga. Siapa tahu di sana, Ayako akan dipilih menjadi istrinya."

   "Jangan mimpi!"

   "Siapa yang mimpi? Aku justru sedang mengatakan kebenaran. Anakmu tidak akan menjadi apa-apa di si-ni. Dia tak lebih penari jalanan yang miskin. Tetapi dengan menari di Kamakura, aku yakin dia dapat meno-long dirinya sendiri."

   "Aku tidak akan pernah menyuruh anakku pergi ke Kamakura."

   "Sundal busuk!"

   Raung laki-laki itu. Kemudian de-ngan kemarahan berapi-api, ia mulai memukul dan menjambak rambut wanita itu.

   "Kau perempuan sun-dal tidak tahu diri. Kalau saja aku tidak mengeluarkan dirimu dari Asakusa, kau akan terus jadi pelacur!"

   Dari lubang jendela, Saburo melongok keluar, dan ia melihat seorang laki-laki gemuk, persis dugaannya, tengah menghajar wanita itu.

   Yuriko hanya mendekap wajahnya, berusaha melindungi diri dari serangan lelaki itu.

   Namun lelaki itu seperti tak peduli.

   Ia terus saja memukul.

   Saburo sesungguhnya merasa kasihan, bahkan ta-ngannya sudah meraba hulu pedangnya.

   Namun ia te-tap diam, karena tidak mengetahui sebab-sebab per-tengkaran tersebut.

   Sesudah puas memukuli Yuriko, lelaki bertubuh gempal itu terseok-seok pergi.

   Paginya Saburo tidak melihat Yuriko di rumah.

   Rupanya sejak pagi wanita itu telah pergi.

   Di belakang rumah, Saburo menjumpai Ayako sedang menjemur pakaian.

   Dengan hati-hati ia mendekati gadis itu.

   Sesudah berbasa-basi sejenak, Saburo bertanya.

   "Semalam saya melihat seorang laki-laki memukuli ibumu."

   "Itu sudah biasa terjadi."

   "Siapakah laki-laki itu?"

   "Namanya Denchiro, penguasa di wilayah ini."

   "Kenapa dia memukuli ibumu?"

   "Sudah sebulan dia membujuk ibuku agar mengirim diriku ke Kamakura dalam rombongan penari Asakusa, tetapi ibu menolak. Akibatnya Denchiro selalu memukuli ibuku."

   "Kenapa dia memaksa dirimu ke Kamakura?"

   "Sebelum tinggal di sini, saya seorang penari di Asakusa. Tetapi kehidupan sebagai penari terpaksa saya tinggalkan sewaktu ayah meninggal. Dia seorang samurai dan tewas dalam pertempuran ketika Shogun Nobunaga menyerang Ashikaga. Ibu menginginkan saya membantunya di sini. Tetapi kepulangan saya justru menimbulkan kesulitan besar, karena Denchiro mengetahui bahwa dalam pertempuran yang lalu ayah berpihak pada Nobunaga. Denchiro menggunakan hal itu untuk menekan dan memeras ibuku. Sesudah har-ta benda kami terkuras, dia sekarang menginginkan ibu menjual diriku pada Nobunaga."

   "Apakah di daerah ini tidak ada yang berani mela-wan lelaki itu?"

   "Tak seorang pun. Dia jago pedang yang sangat di-takuti."

   Siang itu Saburo duduk di tepi kolam sambil berpi-kir.

   Ia merasa harus melakukan sesuatu.

   Sebagai seorang samurai, Saburo paling benci pada lelaki yang menggunakan kedudukannya untuk memeras.

   Lebih-lebih yang diperas adalah kaum wanita.

   Ia marah dan ingin melampiaskan kemarahan itu dengan menantang Denchiro.

   Tetapi satu hal yang juga dipikirkan Saburo, dia harus melakukan hal itu tanpa menimbulkan resiko bagi Yuriko maupun anaknya.

   Yoshioka siang itu menunggui Ayako bekerja di de-kat gudang.

   Gadis tersebut membelah daun pandan, untuk dibuat tatami.

   Dengan tekun Ayako menganyam daun itu.

   Yoshioka yang belum pernah menyaksikan orang membuat tikar, kagum pada kecepatan Ayako menganyam.

   Sesekali ia bertanya tentang pekerjaan itu.

   "Berapa tikar yang bisa diselesaikan dalam waktu sebulan?"

   Yoshioka bertanya.

   "Kira-kira dua puluh."

   "Setelah itu dijual ke kota?"

   "Ya. Ibuku yang menjual ke sana."

   "Pantas sejak pagi ibumu tidak kulihat. Rupanya dia berangkat pagi-pagi sekali."

   "Benar. Kalau tidak pagi-pagi sekali, dia sampai ko-ta sudah tengah hari sehingga semakin sulit menjual tatami."

   "Kenapa engkau tidak meneruskan menjadi penari saja?"

   "Ibuku membutuhkan bantuanku di sini. Sebenar-nya saya lebih senang menjadi penari, tetapi kehi-dupan penari selalu berpindah-pindah, tergantung di mana kota yang ramai untuk disinggahi. Akibatnya ibu tidak tahu secara persis di mana saya sedang berada. Karena itu dia memintaku keluar untuk membantunya membuat tatami."

   "Jadi ketika kami pertama kali melihatmu di tepi sungai, kau sedang mengumpulkan daun pandan un-tuk tatami?"

   "Benar."

   Setelah puas berbincang-bincang dengan Ayako, Yo-shioka mencari Saburo.

   Dia melihat lelaki tersebut duduk di bawah pohon kriptomeria sambil memandang ke kejauhan.

   Tampak sedang memikirkan sesuatu.

   Yo-shioka melepas sandal jeraminya, lalu menggunakan-nya sebagai alas untuk duduk.

   "Kenapa kita tidak meneruskan perjalanan?"

   Ia ber-tanya pada Saburo.

   "Kita akan pergi besok,"

   Jawab Saburo.

   "Kenapa mesti besok?"

   "Malam ini ada yang harus kita lakukan." *** Malamnya, udara dingin. Angin bertiup kencang me-nerpa pepohonan. Desaunya mirip siulan iblis yang tidak kelihatan. Sejak sore hari Saburo duduk diam. Ia mencoba memusatkan pikiran ke alam sekitarnya. Ia menunggu kedatangan Denchiro. Tetapi sampai larut malam, laki-laki yang dinantikan tidak juga muncul batang hidungnya. Akhirnya lewat tengah malam, Saburo tertidur. Saburo terbangun ketika pagi harinya mendengar ri-but-ribut. Terdengar suara Yuriko meratap dan me-raung. Samar-samar terdengar tangis Ayako yang memilukan. Saburo mencoba mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi berisi sekitar delapan gadis-gadis cilik. Satu di antaranya adalah Ayako. Di dekat gerobak itu tampak empat orang samurai yang bertindak sebagai pengawal. Ketika itu Yuriko tampak meratap sambil memegangi kaki Denchiro.

   "Jangaan!"

   Ratap Yuriko putus asa.

   "Jangan bawa anakku! Biarkan dia tetap di sini!"

   "Dasar sundal busuk!"

   Bentak Denchiro geram.

   "Kau tidak bisa memberi apa-apa lagi padaku. Tinggal anakmu!"

   "Tetapi dia masih terlalu kecil...."

   "Bukan kau yang berhak menilai,"

   Kata lelaki gem-pal itu sambil mengibaskan kakinya.

   Yuriko terpelanting ke belakang.

   Tubuhnya membentur pagar bambu rumahnya.

   Saburo segera mengambil pedangnya, kemudian lari menerobos keluar.

   Denchiro kaget ketika melihat seo-rang samurai keluar dari rumah itu diikuti seorang anak kecil.

   Keempat pengawalnya segera bergerak melindungi Denchiro.

   "Oh, rupanya begundal ini yang membuatmu berani melawanku,"

   Denchiro berkata menyeringai pada Yuri-ko.

   "Apa kaupikir dapat menakut-nakutiku dengan seorang samurai jalanan?"

   "Sebaiknya kaulepaskan anaknya,"

   Kata Saburo pa-da Denchiro.

   "Kalau ibunya tidak merelakan anaknya pergi, kau tidak berhak memaksanya."

   "Bedebah! Siapa kamu hingga berani bersikap ku-rang ajar pada Denchiro?"

   "Saya hanya seorang shugyosa yang kebetulan lewat di sini."

   "Kalau begitu jangan turut campur dengan urusan-ku."

   "Saya hanya ingin membalas budi karena telah di-beri tempat istirahat dan bermalam."

   "Sekali lagi kuperingatkan, jangan mencampuri urusanku. Tetapi kalau kau tidak bisa kuperingatkan, aku dengan senang hati menebas tubuhmu."

   Seusai berkata begitu, Denchiro memberikan isyarat pada anak buahnya untuk mengepung Saburo.

   Keempat orang itu mencabut pedang sambil berteriak-teriak mengancam.

   Dari cara mereka mengepung, Saburo ta-hu keempat orang itu bukan lawannya.

   Mereka tak lebih ronin yang tidak berbahaya.

   Ketegangan menyelimuti tempat itu.

   Cahaya mata-hari menerobos di sela-sela rumpun bambu.

   Saburo melangkah ke depan sambil mempersiapkan diri se-baik-baiknya.

   Ia menggeser sarung pedangnya ke de-pan, siap menantikan serangan.

   Suasana tegang itu tak berlangsung lama, serentak keempat samurai itu menyerbu, dan pada detik bersamaan Saburo merunduk sambil menebaskan pedangnya.

   Terdengar jerit memanjang ketika keempat samurai itu merasakan tu-buhnya tertebas.

   Kemudian satu per satu ambruk ke tanah untuk selamanya.

   Denchiro kaget.

   Ia tak menduga akan melihat ke-nyataan itu.

   Lelaki di depannya ternyata tak selemah yang ia bayangkan.

   Dalam sekali gebrak, lelaki tersebut berhasil menjatuhkan keempat anak buahnya.

   Je-las dia bukan samurai sembarangan.

   Dengan marah, Denchiro mencabut pedangnya, ke-mudian mulai menyerang.

   Tubuhnya yang gempal membuat terjangannya demikian hebat, sehingga Sa-buro sempat terkejut memperoleh tekanannya.

   Dari cara menebas dan mengayunkan pedangnya, dapat di-ketahui kehebatan permainan Denchiro.

   Tubuhnya yang gempal tidak membuat lelaki itu lamban.

   Justru sebaliknya, Denchiro berhasil menggunakan kelebihan berat badannya untuk menghimpun kekuatan.

   Ia kini menerjang bagai seekor banteng terluka.

   Ia terus mengejar ke mana pun Saburo mengelak.

   Sebuah tiang rumah yang menyangga atap jerami terpotong jadi dua oleh sabetan Denchiro.

   Saburo me-lompati pagar, tetapi Denchiro terus menerjang.

   Bahkan seperti orang kalap, lelaki tersebut terus memburu sambil menebaskan pedang seakan tidak sabar untuk memenggal tubuh lawannya.

   Gadis-gadis di dalam gerobak sudah turun.

   Seka-rang mereka menyaksikan pertarungan itu dengan ke-takutan.

   Yuriko memeluk anaknya.

   Tatapannya terus mengikuti jalannya pertarungan.

   Yoshioka sekarang bergabung dengan perempuan-perempuan itu menon-ton Saburo bertarung.

   Saburo sendiri tidak menduga Denchiro ternyata sehebat itu.

   Laki-laki tersebut bergerak seperti seekor banteng, mengejar ke mana pun ia menghindar.

   Debu berkepul ke udara, juga pasir dan jerami bertebaran terkena terjangan mereka.

   Sebuah tebasan menyilang hampir saja membelah kepala Saburo, untung dia berhasil mengelak.

   Mata pedang Denchiro hanya setengah inci dari kulit wajahnya.

   Harus ada yang menghambat terjangannya, kata Saburo.

   Sesuatu yang akan membuatnya lamban bergerak.

   Saburo berlari ke arah kolam, kemudian ketika Den-chiro menebas, ia menghindar dengan mencebur ke kolam.

   Tanpa berpikir panjang Denchiro turut masuk ke kolam.

   Tubuhnya yang gempal melesak, kakinya terbenam di lumpur sehingga mengurangi kemampuannya bergerak.

   Mereka berdiri saling menatap, mengukur posisi, dan menakar jarak.

   Saburo meletakkan pedangnya persis di depan hidung secara tegak lurus.

   Kakinya bergeser ke kanan, bergerak mendekat ke arah lawan.

   Sementara Denchiro hanya diam di tempat.

   Lumpur dan air dingin kolam itu rupanya sangat berpengaruh pada dirinya.

   Diam-diam lelaki tersebut menyadari, ia telah masuk ke dalam perangkap Saburo, tetapi semua sudah terlambat.

   Tak ada lagi waktu untuk keluar dari kolam, kecuali ia memenangkan pertarungan.

   Maka dengan raungan panjang, Denchiro menerjang musuhnya.

   Tetapi air kolam itu telah menahan gera-kannya.

   Di saat bersamaan, Saburo menerobos celah pertahanannya.

   Terdengar suara berderak ketika pe-dang Saburo menetak kepala lawan.

   Ayunan pedang itu telah membelah tubuh Denchiro dari ubun-ubun hingga ke dada.

   Tubuh gempal itu terjungkal di air kolam hingga menimbulkan gelombang air bercampur darah.

   Esoknya Saburo dan Yoshioka berangkat menuju Suruga.

   Ketika akan berpisah, Ayako memberikan salah satu topeng miliknya pada Yoshioka.

   Tentu saja anak itu bersorak kegirangan.

   Sejak menginap di rumah Ayako, ia memang mengagumi topeng yang digantung di dinding.

   Topeng itu, selain halus sekali buatannya, memancarkan daya hidup yang sukar dipahami.

   "Ini adalah topeng buatan ayahku,"

   Kata Ayako men-jelaskan.

   "Dulu sebelum menjadi samurai, ayahku seorang pembuat topeng untuk para penari no di Suruga."

   "Oh, ya?"

   "Dia dulu yang mengajarku menari."

   "Apakah ayahmu seorang penari?"

   "Karena dia membuat topeng, dia pun belajar me-nari. Katanya sebuah topeng haruslah memantulkan watak penarinya. Karena itu ayahku belajar menari ketika di Suruga muncul penari-penari dalam pertunjukan No."

   Yoshioka mengenakan topeng pemberian Ayako, ke-mudian mulai berlagak sebagai penari. Saburo yang sudah berdiri menunggu, berkata pada Yoshioka.

   "Sebaiknya kau tak usah membawa topeng itu."

   "Kenapa?"

   "Nanti hanya akan menjadi beban."

   "Tidak. Aku akan membawanya sendiri. Lagi pula aku tidak mau mengecewakan orang yang memberi." *** BEBAN SEBUAH NAMA KOJIRO menaiki anak tangga yang menuju kuil itu. Sebenarnya ia dapat berlari dengan mudah, tetapi karena hatinya sarat dengan kegembiraan, ia menapaki selangkah demi selangkah, lambat-lambat seolah-olah ingin menikmati tiap langkah yang ia lakukan. Baru saja ia menyaksikan upacara toda-maru, upacara yang dilakukan para petani sebelum musim pa-nen tiba. Hari itu dilakukan arak-arakan menuju ke sawah, kemudian para petani melakukan pesta makan di tengah sawah. Pada peristiwa ini puluhan anak-anak bergembira karena dapat makan enak. Bahkan sejumlah ronin, pengemis, dan para pendeta ikut bergabung merayakan toda-maru. Kojiro yang diberitahu Bapa Lao tentang upacara itu, segera berangkat. Sejak kecil belum pernah ia turut dalam acara semacam itu. Ketika arak-arakan berlangsung, suara musik dita-buh riuh-rendah. Seorang pendeta memimpin jalannya upacara. Kojiro mengikuti seluruh prosesi itu dengan takjub. Kaum wanita membagi-bagikan makanan dengan senyum riang. Anak-anak berlari-larian saling berebut buah. Kojiro diberi sebungkus nasi berisi telur dan daging ayam, juga buah-buahan yang segar. Ia makan dengan lahap. Itulah saat pertama ia makan enak sejak meninggalkan Kamakura.

   "Kapan pesta seperti ini dilakukan lagi?"

   Kojiro me-nyempatkan bertanya pada seorang anak perempuan yang duduk di sampingnya.

   "Enam bulan lagi."

   "Lama amat?"

   "Ya, kami mengadakannya setahun dua kali. Tetapi kecuali toda-maru kami juga mengadakan upacara Na-ra dan Hatakena."

   "Semua dengan makan-makan seperti ini?"

   "Ya. Bahkan upacara hatakena selalu diselenggara-kan secara besar-besaran. Kecuali dipakai sebagai upacara menutup tahun, hatakena digunakan pula untuk menyambut musim tanam padi."

   "Kapan pesta itu diadakan?"

   "Dua bulan yang akan datang."

   "Aku akan datang."

   "Siapa namamu?"

   "Yoshioka. Natane Yoshioka."

   "Kalau nanti pesta diselenggarakan, aku akan me-ngatakan pada ayahku untuk mengundangmu."

   "Terima kasih."

   Sepanjang jalan menuju kuil, Kojiro membayangkan pesta itu.

   Di benaknya terbayang makan enak tanpa bayar.

   Betapa nikmatnya! Selama berbulan-bulan Kojiro hidup kesepian di kuil.

   Setiap hari dia hanya bekerja untuk Bapa Lao.

   Tiap pagi ia membersihkan kuil, menyapu lantainya, memunguti daun-daunan yang mengotori kuil, dan turun ke air terjun menemani Bapa Lao mandi.

   Pada saat pendeta tersebut berendam di air, Kojiro disuruh mencuci dan mencari ikan untuk lauk-pauk.

   Semua ber-langsung terus, setiap hari, sehingga Kojiro merasakan kehidupan sangat membosankan.

   Karena itu ketika ti-ba-tiba Bapa Lao menyuruh Kojiro turun ke desa, me-nonton upacara, sambil mencari makanan, anak itu gembira bukan main.

   Sekarang ia kembali sambil membawa sejumlah makanan serta buah-buahan.

   Bagi Ko-jiro hari ini menjadi sangat istimewa.

   Alam bagaikan tersenyum padanya.

   Ketika ia tiba di ujung anak tangga, Kojiro berbalik dan memandang ke arah desa tempat pesta toda-maru diadakan.

   Langit sore ditaburi bintang, awan hanya tampak beberapa potong melayang rendah.

   Karena Kojiro diliputi perasaan bahagia, ia bertepuk tangan, gemanya terdengar menjauh dan meluas.

   "Ada apa, Yoshioka?"

   Terdengar suara Bapa Lao dari arah belakang. Kojiro berbalik, lalu tersenyum.

   "Bapa Lao, saya bawakan buah-buahan untukmu."

   "Terima kasih. Kelihatannya hari ini kau sangat bahagia. Habis pesta besar?"

   "Ya. Dua bulan lagi juga akan ada pesta di sana. Mereka juga mengundangku."

   "Bersyukurlah kau bisa menikmati pesta seperti itu."

   Kojiro memberikan buah-buahan yang ia bawa pada Bapa Lao. Kemudian mereka duduk sambil makan buah-buahan itu. Tetapi baru beberapa gigitan, tiba-tiba Bapa Lao memegang tangan Kojiro untuk meng-hentikan anak itu mengunyah apel.

   "Ada apa?"

   "Ada orang datang."

   "Aku tidak mendengar apa-apa."

   Bapa Lao memasang telinganya. Ia mendengarkan dengan seksama. Kemudian berbisik pada Kojiro.

   "Rupanya ada tiga orang tamu. Sebaiknya kita menyambut kedatangan mereka dengan sebaik-baiknya."

   Di dalam keremangan cahaya matahari, tampak tiga orang samurai muncul dari balik torri.

   Tampaknya mereka bukan ronin dan juga bukan samurai pengemba-ra.

   Dari pakaiannya yang bersih dan rapi, dapat dipas-tikan mereka adalah anggota pasukan Nobunaga.

   Keti-ga orang itu melangkah dengan tegap mendekati Bapa Lao dan Kojiro.

   "Rupanya di sini kalian bersembunyi,"

   Kata salah seorang samurai itu sambil menuding Bapa Lao de-ngan marah.

   "Kau tidak mungkin bisa lari."

   Bapa Lao menatap ketiga samurai itu, lalu berkata.

   "Saya merasa tidak pernah bersembunyi. Sejak dulu saya memang tinggal di kuil ini. Dan saya akan tetap di sini selamanya. Saya tak pernah berpikir untuk lari."

   "Kalau begitu serahkan anak itu."

   "Kenapa saya harus menyerahkannya?"

   "Kami tahu anak itu adalah Natane Yoshioka, putra Ashikaga."

   "Dari mana Anda tahu?"

   "Dia telah mengatakan sendiri pada anak-anak yang turut merayakan pesta toda-maru."

   Bapa Lao menoleh pada Kojiro, anak itu mena-tapnya dengan perasaan bersalah. Sesudah diam sejurus, pendeta itu akhirnya berkata.

   "Anak ini tidak be-rarti apa-apa. Dia hanya seorang budak yang mengu-rus kebutuhan saya. Dialah yang sekarang merawat kuil ini, menyapu, membersihkan daun-daunan, dan mengisi kolam untuk mandi. Jadi saya akan merasa sangat kehilangan kalau kalian membawanya pergi. Padahal dia tak akan berguna bagi Shogun Nobunaga."

   "Kami tidak akan membawanya pergi, kami akan memenggal kepalanya!"

   "Lebih-lebih. Sedang berbadan lengkap saja dia ti-dak berguna, apalagi tinggal kepalanya. Paling Shogun Nobunaga akan membuangnya ke selokan."

   "Dibuang di mana itu bukan urusanmu, kami ha-nya menjalankan tugas untuk memotong kepalanya."

   Bapa Lao langsung berdiri.

   Ketiga samurai itu ham-pir-hampir meloncat ke belakang.

   Entah kenapa me-reka merasakan pengaruh yang begitu kuat pada diri pendeta itu.

   Kharisma di dalam dirinya memancar sedemikian rupa, sehingga ketiga samurai itu (belum apa-apa) sudah merasakan hawa serangan.

   Mereka se-gera mencabut pedang dan mulai mengepung.

   Bapa Lao melangkah ke tengah.

   Kedua tangannya tetap berada dalam posisi di depan dada.

   "Sebaiknya kalian urungkan niat,"

   Kata Bapa Lao datar.

   "Tidak ada gunanya mengejar-ngejar anak ini. Dia benar-benar anak tak berguna. Karena itu saya memeliharanya sekadar untuk mengurus kuil ini."

   Samurai itu rupanya sudah kehilangan kesabaran, mereka serentak menerjang ke arah Bapa Lao sambil menebaskan pedang.

   Tetapi secara tak terduga, pende-ta itu hanya menggeser kaki kanannya untuk berkelit, dan ia terlepas dari tebasan itu.

   Ketika menyadari serangannya gagal, ketiga samurai tersebut kemudian menyerang secara bertubi-tubi.

   Mereka menebas, mengayun, dan menikam dengan penuh nafsu.

   Namun de-ngan tenang, Bapa Lao menghindari semua serangan tersebut dengan berkelit ke kanan dan ke kiri.

   Gerakannya lentur seperti karet, bahkan sesekali terayun mirip sebatang rotan.

   Tangan kirinya tetap di depan dada, seakan ucapan maaf bagi para samurai itu karena dia telah menggagalkan seluruh serangan me-reka.

   Karena semua serangan mereka kandas, ketiga sa-murai tersebut semakin bernafsu.

   Mereka menerjang dengan rapat, dan menebas secara membabi buta.

   Pa-da saat itulah, tiba-tiba Bapa Lao bergerak berputar sambil mengirimkan pukulan dari jarak jauh.

   Terdengar suara keras, mirip benturan dua kekuatan yang saling berlawanan.

   Ketiga samurai tersebut terpental ke belakang, tubuhnya ambruk tanpa nyawa.

   Kojiro terperangah menyaksikan kejadian itu.

   Ia melihat dengan mata kepala sendiri, Bapa Lao tidak menyentuh ketiga samurai tersebut, tetapi angin yang ditimbulkan oleh pukulan tangannya telah membinasa-kan ketiga samurai tersebut.

   "Benar-benar luar biasa!"

   Seru Kojiro penuh ke-kaguman.

   "Bagaimana Bapa dapat melakukannya?"

   Pendeta tersebut tidak menggubris pertanyaan Koji-ro. Dia tengah memeriksa detak napas ketiga musuh-nya. Sesudah yakin ketiganya meninggal, ia berpaling pada Kojiro.

   "Kuburkan mereka segera."

   "Kenapa tidak dibiarkan saja agar tubuh mereka ja-di makanan gagak?"

   "Kita harus menghormati jasad mereka."

   "Tetapi dia tadi hampir membunuh kita."

   "Kita harus menghormati mereka karena telah men-jalankan kewajiban sebagai samurai. Mereka harus memperoleh penguburan sewajarnya para pahlawan."

   Ketika Kojiro menggali lubang untuk mengubur ke-tiga samurai itu, Bapa Lao melangsungkan upacara. Dengan khusuk ia berdoa untuk arwah ketiga samurai tersebut.

   "Sesungguhnya aku bisa tidak membunuhnya,"

   Kata Bapa Lao ketika selesai mengubur ketiga samurai itu.

   "Tetapi aku menghadapi keadaan yang tak terhindar-kan. Bila aku tidak membunuhnya, mereka akan me-laporkan pada Nobunaga tentang kita. Bila hal itu terjadi, keadaan akan semakin buruk. Bukan hanya ke-palamu yang dipenggal, tetapi mungkin juga kepalaku. Padahal aku masih senang punya kepala. Jadi terpak-sa aku membunuh mereka."

   Kojiro menatap pendeta di depannya, ia mengerti bagaimana terbelahnya hati pendeta itu.

   "Apakah kau dapat belajar sesuatu dari kejadian ini?"

   Tanya Bapa Lao pada Kojiro.

   "Pukulan Bapa Lao benar-benar menakjubkan!"

   "Bukan itu maksudku."

   "Lalu?"

   "Kau jangan mudah mengatakan namamu pada orang lain. Namamu berbau pembunuhan."

   "Aku tidak mengerti."

   "Seandainya kau tidak menyebutkan namamu pada orang lain, tidak akan ada samurai yang mengikutimu kemari. Dan aku tak perlu membunuh mereka. Karena itu sebagai hukumanmu, kau tidak lagi kuizinkan turun ke desa."

   "Bagaimana dengan upacara hatakena?"

   "Lupakan saja."

   Kojiro terdiam.

   Jiwanya berontak.

   *** IMAGAWA IMAGAWA duduk di sebuah panggung yang berada di tengah ruangan.

   Tubuhnya pendek, namun ia terlihat sangat berwibawa.

   Ia bersimpuh rapi, tumitnya terlipat rapi di bawahnya.

   Dia didampingi empat orang pengawal yang berpakaian serba putih.

   Mereka semua mengenakan kimono sutera dan jubah luarnya penuh hiasan dengan ikat pinggang lebar.

   Pada bagian bahunya, kimono itu melebar dan berkanji, sehingga me-nampilkan kesan gagah bagi pemakainya.

   Di bawah ikat pinggang, mereka mengenakan hakama (pakaian tradisional yang dikenakan di bagian luar kimono).

   Mereka bersimpuh santai.

   Wajah Imagawa yang berben-tuk oval dihiasi kumis tipis di atas bibirnya.

   Matanya yang setajam mata elang menatap tajam pada orang-orang di sekelilingnya.

   Imagawa mulai berkuasa sejak lima tahun lalu, setelah orang tuanya meninggal.

   Ayahnya, Yoshimasa, merupakan contoh penguasa yang tidak becus; ia hampir tidak melakukan sesuatu pun kecuali mengeluarkan dekrit-dekrit secara serampangan, sehingga banyak di-tentang oleh penguasa propinsi lain.

   Caranya meme-rintah banyak dipengaruhi istri dan selirnya yang tidak terhitung jumlahnya.

   Salah seorang selirnya yang sangat berkuasa adalah Tazumi, wanita serakah yang membuat Yoshimasa mengalami keruntuhan.

   Sebagai istri shogun, ia justru memainkan pasaran beras dan menerima suap dari para bangsawan di wilayahnya.

   Yoshimasa tidak dapat berbuat apa-apa ketika Tazumi memungut pajak yang tidak sah dari rakyatnya, bahkan dengan cara-cara penuh ancaman, ia menarik pembayaran dari rakyat untuk membangun puri Ta-zumi di sebelah utara Suruga.

   Perubahan terjadi ketika Yoshimasa meninggal, dan Imagawa menggantikannya.

   Berbeda dengan ayahnya, Imagawa seorang lelaki terpelajar.

   Dia mulai membe-nahi puing-puing kekuasaan ayahnya dengan meng-hapus pesta-pesta yang dulu diadakan hampir setiap hari.

   Tazumi, diasingkan ke purinya, sehingga tak memiliki kekuasaan apa pun untuk mengumbar kesera-kahannya.

   Dalam waktu tiga tahun, Imagawa telah menjadi shogun yang sangat disegani.

   Ia bukan saja ahli kendo, tetapi juga pengayom agung upacara minum teh.

   Kecuali itu ia juga seorang penulis puisi yang pandai.

   Suatu seni penting yang berkembang di bawah per-lindungan Imagawa adalah lukisan tinta, yakni peng-gambaran sangat bersahaja dengan cat air dan garis-garis transparan yang dianggap prestasi tertinggi seni lukis Jepang.

   Lukisan-lukisan yang biasanya merupakan gambar pemandangan, kuda berpacu, kehidupan petani, dan lukisan kuil, berkembang pesat.

   Jenis kesenian lainnya yang muncul di Suruga ada-lah drama khas Jepang yang disebut No, suatu bentuk pertunjukan tradisional yang berisi nyanyian dan tarian.

   Di bawah perlindungan Imagawa, pertunjukan ini jadi hiburan istana yang halus dan bergaya.

   Bila dulu No menampilkan kehidupan petani, kini mementaskan roman besar sekitar kehidupan istana sehingga peng-gemarnya pun kian bertambah.

   Tarian serta musik yang diiringi genderang serta seruling, semakin sema-rak ketika Imagawa menambahkan unsur topeng bagi para pemainnya.

   Terbukti kemudian, cara tersebut memacu kerajinan topeng di Suruga.

   Bahkan topeng-topeng yang dipakai menari, kadang merupakan hasil karya seniman yang bernilai seni sangat tinggi.

   Di akhir tahun, biasanya Imagawa mengadakan pesta pertunjukan No selama seminggu penuh, dengan cerita yang berbeda setiap harinya.

   Pada acara terse-but, biasanya para daimyo, shogun, serta bangsawan istana di sekitar Suruga berdatangan untuk menyaksikan pertunjukan itu.

   Mereka semua terpesona dengan cara-cara yang dilakukan Imagawa dalam menyuguh-kan teh.

   Tak mengherankan banyak orang mengagu-minya, tak terkecuali pendeta-pendeta penganut Zen yang sesungguhnya menjadi cikal bakal lahirnya upacara minum teh.

   Laki-laki yang menjadi pelindung kesenian, penyair, pelukis, dan ahli kendo itulah yang kini duduk bersimpuh di depan sejumlah pembantunya.

   Di belakang keempat pengawal yang berpakaian serba putih, berbaris dengan rapi sekitar lima puluh samurai berpakaian coklat.

   Semua bersimpuh diam dalam formasi yang rapat.

   Kepala mereka yang ber-kuncir tampak berkilauan tertimpa sinar matahari.

   Memagari ruang pertemuan itu, enam belas samurai prajurit yang berjaga dengan sikap waspada.

   Mereka berdiri dalam jarak lima meter, lengkap dengan samurai di pinggang serta sebatang tombak di tangannya.

   Istri Imagawa, seorang wanita yang cantik, berumur sekitar dua puluh enam tahun, duduk di sebelah kanan panggung.

   Persis di belakang pedang Imagawa yang diletakkan pada sebuah meja kecil berlapis emas.

   Di belakang istri Imagawa, terlihat empat dayang-dayang yang terus menerus mengipasi wanita tersebut.

   Ruang pertemuan itu senyap, sampai akhirnya Ho-sokawa muncul diiringi sepuluh pengawalnya.

   Mereka adalah utusan Nobunaga untuk menyampaikan hadiah serta untaian bunga sebagai tanda persahabatan.

   Selain itu, Nobunaga juga mengirimkan ajakan untuk berburu babi hutan di Sekigahara.

   Imagawa menerima kehadiran Hosokawa dengan senang hati.

   Dan seperti umumnya pergaulan di istana, utusan itu diminta tinggal beberapa hari sambil menunggu jawaban tuan ru-mah.

   Mereka dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, serta tari-tarian khas daerah Suruga.

   Sudah tiga hari tiga malam Hosokawa menginap, sekarang mereka akan kembali ke Kamakura.

   Hosokawa dan para pengawalnya melangkah de-ngan tegap ke ruang pertemuan itu.

   Dalam sikap pe-nuh hormat, mereka bersimpuh, lalu membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh lantai.

   "Hosokawa-san,"

   Imagawa berkata dengan suara tinggi.

   "Bagaimana, apakah engkau dapat istirahat enak di istanaku?"

   "Kami semua dapat istirahat tanpa kurang suatu apa, Tuanku."

   "Syukurlah. Karena aku khawatir udara di Suruga tidak cocok dengan dirimu."

   "Kami semua dapat tidur nyenyak seperti di rumah sendiri."

   "Aku gembira mendengarnya,"

   Kata Imagawa sambil tersenyum.

   "Sebagai tuan rumah sudah sepantasnya aku meminta maaf padamu apabila cara-cara kami menerimamu kurang pada tempatnya."

   "Tidak ada yang kurang. Bahkan kami semua mera-sa sangat puas atas semua jamuan yang kami terima."

   "Aku pun sudah mempertimbangkan dengan sung-guh-sungguh undangan Shogun Nobunaga, dan kuha-rapkan engkau dapat menyampaikan padanya bahwa aku bersedia datang ke Kamakura. Mengenai wak-tunya, bila tidak ada aral melintang, aku akan datang pada tanggal kamariah awal tahun nanti. Mudah-mudahan tidak merepotkan Shogun Nobunaga."

   "Tentu Tuanku Nobunaga akan bersuka cita men-dengar kabar ini,"

   Sahut Hosokawa sambil membung-kukkan badan.

   "Kalau begitu izinkan saya mohon diri, untuk dapat segera menyampaikan jawaban pada Tuanku Nobunaga."

   "Berangkatlah hari ini. Dan sampaikan juga bingki-sanku padanya."

   Hosokawa membungkukkan badan, kemudian be-ranjak meninggalkan ruang pertemuan itu. Imagawa menatap kepergian kesebelas orang itu dengan pan-dangan puas. Sesudah Hosokawa tidak kelihatan, Imagawa berka-ta.

   "Mayeda!"

   Panglima perang Suruga membungkukkan badan.

   "Ya, Tuanku."

   "Bagaimana menurut pemikiranmu undangan No-bunaga itu?"

   "Tuanku,"

   Jawab Mayeda penuh tekanan.

   "Tampak-nya undangan itu mengandung maksud baik. Namun sebelum Tuanku memenuhi undangan tersebut, biar-lah saya menyelidiki lebih dulu apa maksud dan tu-juan Shogun Nobunaga."

   "Apakah engkau berpikir bahwa dia akan menje-bakku?"

   "Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada."

   "Baiklah. Coba kaukirimkan orang untuk menyeli-diki kemungkinan itu. Tetapi seperti sudah kukatakan, kalau tidak ada aral melintang, aku ingin mengunjungi Nobunaga pada awal tahun nanti." *** Tazumi duduk tenang sambil menuang air ke cangkir yang berisi teh hijau. Kimononya yang berwarna me-rah, dihias obi yang dasarnya berwarna kuning dengan bertaburan gambar yotsudake. Tamoto kimononya yang panjang dan terbuat dari sutera tiruan terben-tang di atas tatami. Gincunya yang berwarna merah tua tampak mempertegas garis ketuaannya. Tazumi berusia lima puluh tiga tahun berdasarkan perhitungan kazoe. Dengan lembut ia mengambil sendok kayu, kemu-dian mulai mengaduk air teh di dalam cangkir. Setelah selesai, dengan kedua tangannya wanita itu mendorong cangkir ke arah Mayeda. Dengan perasaan bang-ga karena dilayani oleh Tazumi, Mayeda mengangkat cangkir tersebut dan meminum isinya. Rasa sake yang pahit menerobos kerongkongannya, membangkitkan kesegaran alami.

   "Jadi Nobunaga mengundang Imagawa ke Kama-kura?"

   Terdengar suara Tazumi bergetar.

   "Benar. Bahkan dia juga ingin mengajak Tuanku Imagawa untuk berburu babi hutan di Sekigahara."

   "Apakah undangan itu akan dipenuhi?"

   "Tampaknya demikian. Tadi pagi, Tuanku Imagawa telah mengirim pesan lewat Hosokawa-san untuk di-sampaikan pada Nobunaga. Dia akan datang ke Ka-makura pada minggu pertama tahun yang akan da-tang."

   "Siapakah yang akan mengawalnya ke Kamakura?"

   "Tentu saja saya."

   "Baiklah kalau begitu. Sebaiknya segera dipikirkan bagaimana cara untuk melicinkan rencana kita. Sesungguhnya aku sudah tidak sabar untuk bertindak, merebut kekuasaan Imagawa. Anak itu hanya pandai menulis puisi dan melukis, tetapi tidak dapat memimpin negara. Kurasa, aku lebih pantas dibanding Im-agawa untuk memimpin Suruga."

   "Cepat atau lambat, cita-cita itu pasti terlaksana."

   Tazumi mendekati Mayeda, kemudian dengan ke-dua tangannya, wanita itu membelai wajah samurai di depannya.

   Sinar matanya meredup, seperti tengah meredam hasrat birahi di dalam dirinya.

   Sambil menatap ketampanan lelaki di depannya, Tazumi berkata lembut.

   "Kita akan menggulingkan Imagawa bersama-sa-ma. Kita akan memerintah Suruga dengan kebesaran dan kemuliaan."

   Mayeda mengangkat wajah, kemudian seperti tersi-hir, lelaki itu diam saja ketika Tazumi merundukkan kepala untuk mencium bibirnya.

   Mereka berciuman seperti dua kekasih yang telah lama tak bertemu.

   Sen-tuhan lidah wanita itu seakan membakar rongga mulut Mayeda, membuat ia tenggelam dalam kumparan nafsu.

   Dengan liar, lelaki itu pun segera membalas ciuman Tazumi.

   Mereka kemudian berguling-guling di lantai kayu sambil melepaskan pakaian satu per satu.

   Kimono, obi, dan yukata yang mereka pakai, berceceran di lantai.

   Tubuh Mayeda yang kuat dengan enerji tak pernah padam, merenggut tubuh Tazumi.

   Akibatnya tubuh wanita tersebut menggeletar sedemikian rupa, seperti senar kecapi yang dipetik tanpa irama.

   Tazumi mendesis, merasakan kenikmatan yang menggeletarkan seluruh kelenjar dalam dirinya.

   Belum pernah ia merasakan bermain cinta demikian memuaskan, seperti kalau bercinta dengan Mayeda.

   Mayeda Toyotomi, seorang samurai berumur tiga puluh tahun.

   Ia seorang samurai asal Uta-Jima.

   Se-buah pulau yang dikenal sebagai Pulau Nyanyian.

   Pulau Uta-Jima terkenal dengan kuil Ise, karena terletak di Teluk Ise, tempat para samurai belajar ilmu pedang dari pendeta Ise.

   Di pulau inilah Mayeda menimba il-mu pedang, kemudian mengembara ke Osaka, Nara, Owari, hingga Suruga.

   Ketika sampai di wilayah kekuasaan Yoshimasa, ia masih berusia dua puluh tiga tahun.

   Seorang samurai yang gagah berani.

   Maka ketika Yoshimasa ingin memperkuat pasukannya, Mayeda Toyotomi mendaf-tar.

   Ia lolos seleksi sesudah mengalahkan tujuh orang samurai dalam sebuah pertarungan hidup dan mati.

   Karena kemampuannya memainkan pedang, karier-nya melesat seperti anak panah.

   Tak seorang pun dapat membayangkan, bagaimana Mayeda dapat melewa-ti sejumlah samurai kepercayaan Yoshimasa untuk kemudian menjadi komandan pengawal istana.

   Hanya Tazumi yang mengetahui rahasia itu.

   Pada suatu malam, ketika hujan deras menggempur Suruga, Yoshimasa sedang berburu rusa di hutan.

   Mayeda tengah berjaga ketika Tazumi memanggil na-manya.

   "Mayeda, kemarilah!"

   Dengan kepatuhan seorang samurai, ia mengham-piri suara itu. Ternyata yang memanggil adalah Tazu-mi. Perempuan itu berdiri di belakang soji meminta Mayeda masuk ke kamarnya.

   "Adakah yang dapat saya lakukan untuk Anda?"

   Mayeda bertanya dengan hormat.

   "Ada,"

   Jawab Tazumi.

   "Masuklah."

   Dengan ragu-ragu Mayeda masuk. Seketika itu Ta-zumi memegang lengannya kemudian menariknya ke tempat tidur.

   "Aku kedinginan,"

   Kata Tazumi merayu.

   "Sebaiknya kau menemaniku tidur."

   Tanpa basa-basi, Tazumi segera membuka pakaian, kemudian mulai menciumi tubuh di depannya.

   Mayeda berontak.

   Antara kaget dan takut, ia berusaha me-nolak kemauan wanita itu.

   Dengan sekuat tenaga ia melawan.

   Sampai akhirnya Tazumi merasa lelah dan melepaskan genggamannya.

   Mayeda langsung bersu-jud, sementara Tazumi berdiri polos di hadapannya.

   Tubuh wanita itu sangat menggiurkan.

   Meskipun usianya sudah cukup tua, namun payudaranya masih ken-cang, pinggulnya sangat menggairahkan, dan kulitnya halus seperti pualam.

   Pameran kecantikan itu terjadi beberapa saat, sampai akhirnya Mayeda berbalik untuk pergi.

   "Engkau tidak punya pilihan,"

   Kata wanita itu pe-nuh nada ancaman. Mayeda terpaksa membeku di tempatnya.

   "Kalau engkau tidak mau menemaniku ti-dur, aku akan mengatakan pada Yoshimasa bahwa engkau menerobos masuk ke dalam kamarku dan bermaksud memperkosaku."

   "Jangan,"

   Kata Mayeda sambil bersujud.

   "Tuanku Yoshimasa akan memenggal kepalaku bila Anda me-ngatakan hal itu."

   "Aku pasti akan mengatakannya. Kecuali...."

   Tazumi mendekati Mayeda Toyotomi.

   Perempuan itu dengan penuh gairah memeluk Mayeda, menghimpit-nya kuat-kuat, sehingga pemuda itu pun merasa nik-mat.

   Ketika semua berakhir, tampak wajah Tazumi berseri-seri.

   Sinar matanya begitu hidup memandang Mayeda yang terbaring di sampingnya.

   Masih dengan perasaan bersalah, Mayeda menge-nakan kembali pakaiannya.

   Sementara Tazumi hanya duduk sambil memandangi lelaki di depannya dengan perasaan puas.

   Belum pernah ia merasakan kepuasan bercinta sehebat saat itu.

   Yoshimasa sudah terlalu tua.

   Sebagai laki-laki ia memang berkuasa, tetapi kekuasaannya tidak berarti apa-apa di atas ranjang.

   Berbeda sekali dengan Mayeda.

   Ketika lelaki tersebut hendak pergi, Tazumi berkata.

   "Besok kuminta kau kemari lagi."

   Hubungan itu terus berlanjut.

   Hingga kini.

   Maka ketika terjadi pergantian kekuasaan, dari Yoshimasa ke Imagawa, dan Tazumi diusir dari istana Suruga, mereka membulatkan tekad untuk merebut kekuasaan Imagawa.

   Mereka menyusun rencana, mematangkan persekongkolan, dan siap melaksanakannya -apa pun resikonya.

   Bagi Tazumi, Mayeda Toyotomi bukan hanya seo-rang lelaki yang mampu memberinya kepuasan sek-sual, tetapi juga harapan di masa depan.

   Dengan tangan Mayeda ia ingin melaksanakan pembalasan den-dam terhadap Imagawa, dan menjadi penguasa tunggal propinsi Suruga.

   Sedang bagi Mayeda, Tazumi adalah sumber inspirasi untuk merebut hari depan.

   Tazumi berguling ke sisi Mayeda dengan tubuh bermandikan keringat, mirip lilin meleleh dari ba-tangnya.

   Napas perempuan itu terengah-engah, seperti seekor kuda yang baru saja berlari seratus mil jauh-nya.

   Mereka berbaring sambil menatap langit-langit kamar.

   Masih dalam desah napas yang tersengal, Tazumi mencari-cari tangan Mayeda.

   Ia kemudian menggeng-gamnya dengan erat.

   Dalam desis napas yang berat, ia berkata.

   "Rasakan pembalasanku, Imagawa. Aku akan rebut kekuasaanmu!" *** PEMANDIAN SHUZENJI MATAHARI seperti kepompong lusuh. Merambat perla-han ke kaki langit. Udara ditaburi hujan gerimis sehingga mencegah orang-orang keluar dari rumah. Pe-mandian air panas Shuzenji yang biasanya dipenuhi laki-laki yang ingin berendam, saat ini tampak sepi. Bahkan kecuali tiga orang wanita tidak ada lagi orang lain di tempat itu. Ishida Mitsunari membayar pada penjaga, kemu-dian berjalan tertatih-tatih menuju ke pemandian itu. Sudah tiga hari ia tidak mandi, rasa gerah, dan bau keringat membuat lelaki tersebut tidak sabar lagi menikmati air hangat dari Gunung Amagi itu. Ia melepas pakaian, kemudian masuk ke dalam kolam. Dengan cermat ia meletakkan pedang di dekat tempatnya be-rendam. Kebiasaannya sebagai samurai, di mana pun selalu bersikap waspada. Rasa panas menyengat, sementara bau belerang menguap di tempat itu. Mitsunari tidak peduli. Ia membiarkan tubuhnya terendam hingga dada. Gadis-gadis yang saat itu tengah membersihkan badan, tampak acuh tak acuh padanya. Sambil memejamkan mata, Mitsunari membayang-kan masa-masa indah ketika ia masih menjadi pang-lima Ashikaga. Di rumahnya, ia biasa berendam di kolam air hangat, sementara istrinya dengan penuh kasih sayang menggosok punggungnya. Biasanya, sesam-painya di rumah ia akan berendam selama satu atau dua jam, sambil berbincang-bincang dengan istrinya. Sesudah itu, mereka akan melanjutkan perbincangan di kamar, sambil bercinta. Kenangan itu benar-benar indah. Tak seorang pun akan membayangkan kehidupan yang begitu mapan tiba-tiba hancur beranta-kan. Seluruh kesetiaan dan perjuangannya terhadap Shogun Nobunaga, tidak berarti apa-apa. Bahkan is-trinya yang cantik, dijual sebagai pelacur untuk melayani samurai-samurai rendahan. Mitsunari memejamkan mata. Mencoba mengenyah-kan kenangan buruk itu. Matanya terbuka ketika didengarnya langkah kaki mendekati pemandian tersebut. Ia melihat lima orang samurai berjalan menuju pe-mandian. Mitsunari bersikap acuh tak acuh. Ia tak ingin kehadirannya menarik perhatian para samurai itu. Meskipun demikian, ia bergeser selangkah, mendekati pedangnya. Setelah melepas pakaian, kelima samurai tersebut mencebur ke dalam kolam.


Raja Naga Misteri Menara Berkabut Raja Petir Pencuri Kitab kitab Pusaka Pendekar Mabuk Pusaka Tuak Setan

Cari Blog Ini