Da Vinci Code 8
Dan Brown The Da Vinci Code Bagian 8
Langdon mendesah perlahan.
"Kukira Fache masih menganggap aku buronannya."
"Harus itu,"
Kata Sophie.
"atau dia terlanjur mendakwa dengan serius sehingga tidak dapat mengakui kesalahannya."
Teabing tidak mendengarkan mereka. Tanpa menghiraukan apa yang dipikirkan oleh Fache, dia harus bertindak cepat. Jangan sampai kehilangan arah ke tujuan utama. Grail sudah sangat dekat. Roda pendaratan turun dengan mengeluarkan suara berdentum.
"Leigh,"
Kata Langdon dengan suara sangat menyesal.
"Aku harus menyerahkan diri dan menyelesaikan ini secara hukum, kau tidak boleh terlibat."
"Ya, ampun, Robert!"
Teabing menggelengkan tangannya.
"Kaupikir mereka akan membiarkan yang lainnya pergi begitu saja? Aku baru saja membawa kalian secara tidak sah. Nona Neveu menolongmu lari dari Louvre, dan kita membawa seorang yang terikat di bagian belakang pesawat. Sekarang, kita semua terlibat dalam kasus ini."
"Mungkin kita bisa mendarat di lapangan udara lainnya?"
Tanya Sophie. Teabing menggelengkan kepalanya.
"Jika kita terbang lagi, begitu mereka tahu kita ke mana, mereka akan menyambut dengan tank tentara."
Sophie melorot dalam duduknya. Teabing merasa bahwa jika mereka harus menunda berkonflik dengan polisi Inggris sampai cukup lama hingga mereka menemukan Grail, maka tindakan berani harus diambil.
"Beri aku waktu sebentar,"
Katanya sambil terpincang-pincang menuju kokpit.
"Apa yang akan kaulakukan?"
Tanya Langdon.
"Rapat penjualan,"
Kata Teabing, sambil bertanya-tanya berapa dia harus membayar untuk membujuk pilot itu supaya mau melakukan manufer yang sangat tidak biasa.
PESAWAT HAWKER siap mendarat.
Simon Edwards -Petugas Pelayanan Eksekutif di lapangan udara Biggin Hill -melangkah bolak-balik di menara pengawas, menoleh gugup ke landasan pacu yang basah oleh hujan.
Simon tidak pernah senang dibangunkan di pagi buta di hari Sabtu, namun ini lebih menjengkelkan karena dia dibangunkan untuk mengawasi penangkapan salah satu kliennya yang paling menguntungkan.
Sir Leigh Teabing membayar Biggin Hill tidak saja untuk sebuah hanggar pribadi, tetapi juga "biaya setiap kali pendaratan"
Bagi keberangkatan dan kedarangannya yang sering terjadi itu.
Biasanya, lapangan udara itu mendapatkan pemberitahuan sebelumnya tentang jadwal Leigh dan dapat menerapkan protokol yang benar bagi kedatangannya.
Teabing menyenangi hal apa adanya.
Sebuah limusin Jaguar panjang yang dibuat menurut pesanan menunggu di hanggar pribadi itu.
Simon menjaganya supaya tangki bensinnya selalu penuh, bodinya mengilap, dan majalah terbaru Time selalu tersedia di bangku belakang.
Seorang petugas bea cukai menunggu di hanggar, siap memeriksa dokumen-dokumen wajib dan barang bawaan.
Kadang-kadang petugas bea cukai menerima persenan yang besar dari Teabing atas tutup matanya dari barang bawaan terlarang tapi tak berbahaya -biasanya makanan mewah.
Bagaimanapun, banyak peraturan bea cukai yang aneh, dan jika Biggin Hill tidak menampung keinginan pelanggannya, lapangan udara pesaing mereka tentu akan menampungnya.
Teabing mendapatkan apa yang dibutuhkannya di Biggin Hill, dan para pegawainya menuai keuntungan.
Syaraf Edward terasa seperti tercabik ketika dia melihat jet itu muncul.
Dia bertanya-tanya, apakah kegemaran Teabing menyebArkan kekayaannya telah membuatnya mendapat kesulitan; polisi Prancis tampak sangat serius untuk menahan pelanggannya ini.
Edward belum diberi tahu apa kesalahan klien Inggrisnya itu, namun mereka jelas sangat serius.
Atas permintaan Prancis, kepolisian Kent telah memerintahkan menara pengawas Biggin Hill untuk meminta pilot langsung menghentikan pesawatnya di depan terminal, bukan di hanggar pribadi kliennya.
Pilot itu telah setuju, tampaknya karena dia percaya akan cerita tentang tumpahan minyak di dekat hanggar pribadi itu.
Walau polisi Inggris umumnya tidak membawa senjata, keadaan ini ternyata telah membuat sebuah tim bersenjata bersiaga di sana.
Sekarang, delapan orang polisi berpistol berdiri di depan gedung terminal, menunggu saat pesawat menghentikan mesinnya.
Begitu mesin mati, petugas landasan pacu akan meletakkan pengganjal di bawah roda pesawat sehingga pesawat itu tidak dapat bergerak lagi.
Lalu polisi akan muncul dan menahan para penumpang untuk tidak turun dari pesawat sampai polisi Prancis tiba dan menangani masalah ini.
Hawker itu sekarang sudah semakin rendah, tampak hampir menyentuh ujung-ujung pepohonan di sebelah kanan mereka.
Simon Edwards turun ke bawah untuk melihat pendaratan itu dari landasan pacu.
Polisi Kent tenang, tidak mencolok, dan petugas landasan sudah siap dengan pengganjal ban.
Jauh di ujung landasan menyentuh landasan pacu, hidung Hawker sehingga menimbulkan mendongak, dan gumpalan asap.
ban-bannya Pesawat itu bersiap mengurangi kecepatan, bergeser dari kanan ke kiri di depan terminal.
Badannya yang putih tampak berkilau di udara basah.
Tetapi bukannya berhenti dan berbelok ke terminal, jet itu meluncur dengan tenang melewati jalan masuk dan melanjutkan ke arah hanggar pribadi Teabing di kejauhan.
Semua polisi berputar dan menatap Edwards.
"Kupikir kau tadi bilang bahwa pilot itu setuju untuk berhenti di terminal!"
Edward bingung.
"Dia memang setuju!"
Beberapa detik kemudian, Edwards sudah berada di dalam mobil polisi dan meluncur melintasi landasan pacu ke hanggar pribadi Teabing yang jauh dari situ.
Ketika konvoi polisi itu masih berjarak lima ratus yard dari hangar, Hawker Teabing berjalan perlahan memasuki hanggar pribadinya dan tak terlihat lagi.
Ketika mobil-mobil polisi itu akhirnya tiba dan mengerem keras di luar pintu hanggar, polisi menghambur keluar dengan senjata terhunus.
Edwards juga meloncat keluar.
Suara ribut di dalam memekakkan telinga.
Mesin Hawker masih menderum ketika jet itu selesai berputar seperti biasa di dalam hanggar, menempatkan hidungnya terarah ke depan sebagai persiapan penerbangan selanjutnya.
Ketika pesawat itu telah betul-betul berputar 180 derajat dan menghad.ap ke arah depan hanggar, Edwards dapat melihat wajah sang pilot, yang tentu saja tampak bingung dan takut melihat barikade mobil polisi.
Akhirnya pilot itu menghentikan pesawat dan mematikan mesinnya.
Polisi bergerak masuk, mengambil posisi mengurung jet itu.
Edwards bergabung dengan inspektur polisi Kent, yang bergerak waspada ke arah lubang palka pesawat.
Setelah beberapa detik, pintu pada perut pesawat terbuka.
Leigh Teabing muncul di ambang pintu ketika tangga listrik pesawat itu turun perlahan.
Ketika Leigh melihat begitu banyak senjata mengarah padanya, dia bersandar pada tongkatnya dan menggaruk kepalanya.
"Simon, apakah aku memenangkan lotere polisi ketika aku pergi?"
Suara Teabing lebih terdengar bingung daripada takut. Simon Edwards melangkah ke depan, mendegut dengan sukar seperti menelan seekor katak.
"Selamat pagi, Pak. Saya mohon maaf karena kebingungan ini. Kami ada kebocoran bahan bakar dan pilot Anda telah setuju untuk menghentikan pesawat di terminal."
"Ya, ya, tetapi aku memintanya untuk langsung kesini. Aku sudah terlambat untuk sebuah janji. Aku menyewa hanggar ini, dan omong kosong tentang menghindari kebocoran bahan bakar itu terlalu berlebihan."
"Saya menyesal kedatangan Anda begitu mendadak, Pak."
"Aku tahu. Aku datang tidak sesuai dengan jadwa1ku, memang. Pengobatan baruku membuatku tidak nyaman. Karena itu aku datang untuk mengatasi hal itu."
Para polisi saling berpandangan. Edwards mengedipkan matanya.
"Baiklah, Pak."
"Pak,"
Inspektur kepala kepolisian Kent berkata sambil melangkah maju.
"Saya harus meminta Anda untuk tetap berada didalam selama setengah jam atau lebih."
Teabing tampak tidak senang ketika dia menuruni tangga tertatih-tatih.
"Aku rasa itu tidak mungkin. Aku ada janji pengobatan."
Teabing mencapai landasan.
"Aku tidak mungkin melewatkannya."
Inspektur kepala itu pesawat.
"Saya di sini menghalangi jalan Teabing untuk menjauh dari atas permintaan Polisi Judisial Prancis. Mereka mengatakan Anda membawa kabur buronan dalam pesawat ini."
Teabing menatap inspektur kepala itu lama, dan tiba-tiba tertawa terbahak.
"Apakah ini semacam acara 'kamera tersembunyi'? Bagus sekali!"
Inspektur itu bergeming.
"ini serius, Pak. Polisi Prancis juga mengatakan bahwa mungkin Anda pun membawa seorang sandera di dalam pesawat."
Pelayan Teabing muncul di ambang pintu, di puncak tangga.
"Aku merasa seperti seorang sandera bekerja pada Sir Leigh, tetapi beliau meyakinkan aku bahwa aku boleh pergi kapan saja."
REmy melihat jam tangannya.
"Pak, kita betul-betul terlambat."
Kemudian dia mengangguk ke arah sebuah limusin Jaguar panjang yang terparkir jauh di sudut hanggar. Mobil besar itu berwarna hitam dengan kaca jendela gelap dan beroda putih.
"Aku akan mengambil mobil itu,"
Kata REmy. Lalu dia mulai menuruni tangga.
"Saya menyesal kami tidak dapat membiarkan Anda pergi;"
Kata inspektur kepala itu.
"Harap kembali ke dalam pesawat Anda. Anda berdua. Wakil dari polisi Prancis akan segera mendarat."
Teabing menatap Simon Edwards.
"Simon, demi Tuhan, ini keterlaluan! Kami tidak punya siapa-siapa lagi di dalam pesawat. Hanya yang biasanya saja -REmy, pilot kami, dan aku. Mungkin kau dapat bertindak sebagai perantara? Masuklah dan lihat sendiri di dalam pesawat, dan buktikan bahwa pesawat itu kosong."
Edwards tahu, dia terjebak.
"Baik, Pak. Saya dapat memeriksanya."
Inspektur kepala polisi itu tampaknya tahu betul tentang laparigan udara eksekutif sehingga dia curiga Simon Edwards sangat mungkin akan berbohong tentang penumpang pesawat itu demi menjaga hubungan kerjanya dengan Teabing di Biggin Hills.
"Aku yang akan memeriksanya sendiri."
Teabing menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak bisa, Inspektur. Pesawat ini milik pribadi, dan sampai kau memegang surat izin penggeledahan, kau tidak bisa mendekati pesawatku. Aku memberimu pilihan masuk akal di sini. Tuan Edwards dapat melakukan pemeriksaan."
"Tidak."
Sikap Teabing menjadi dingin sekali.
"Inspektur, menyesal sekali aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu. Aku terlambat, dan aku pergi sekarang. Jika kau ingin menghentikanku, kau harus menembakku."
Teabing dan Remy berjalan melewati inspektur kepala dan menuju ke sudut tempat limusin itu diparkir.
Inspektur kepala kepolisian Kent merasa sangat benci kepada Teabing ketika orang ini begitu saja melewatinya dengan terpincang-pincang.
Orang-orang dengan hak-hak istimewa selalu merasa berada di atas hukum.
Mereka tidak berada di atas hukum.
Inspektur kepala itu memutar tubuhnya dan membidikkan pistolnya ke punggung Teabing.
"Berhenti! Aku akan menembak!"
"Silakan,"
Kata Teabing tanpa menghentikan langkahnya ataupun melihat ke belakang.
"Pengacara-pengacaraku akan merajang buah pelirmu untuk sarapannya. Dan jika kau berani memasuki pesawatku tanpa surat izin pengge1edahan, limpamu akan menyusul."
Terbiasa dengan gertak seperti itu, inspektur itu tidak takut.
Secara teknis, Teabing benar dan polisi memang memerlukan surat izin untuk masuk kE pesawatnya.
Tetapi karena penerbangan itu berasal dari Prancis, dan karena Bezu Fache yang itu berkuasa memberinya otoritas, inspektur kepala Kent merasa yakin kariernya akan menjadi jauh lebih baik dengan menemukan sesuatu yang tampaknya sangat disembunyikan oleh Teabing di dalam jetnya.
"Hentikan mereka,"
Perintah inspektur itu.
"Aku akan memeriksa pesawat itu."
Para anggotanya segera berlarian dengan senjata terhunus. Mereka menghalangi Teabing dan pelayannya dengan menggunakan tubuh mereka. Sekarang Teabing menoleh.
"Inspektur, ini peringatan terakhir bagimu. Jangan berpikir kaudapat memasuki pesawat itu. Kau akan menyesal."
Inspektur itu mengabaikan ancaman itu.
Dengan menggenggam pistol, dia berjalan menuju pesawat itu.
Setibanya di palka pesawat, dia melongok ke dalam.
Sesaat kemudian dia melangkah masuk ke kabin.Apa-apaanini? Kecuali pilot yang duduk ketakutan di kokpitnya, pesawat itu memang kosong.
Betul-betul tidak ada makhluk hidup satu pun.
Dengan cepat dia memeriksa kamar kecil, kursi-kursi, dan area barang muatan.
Tidak ada seorang pun yang bersembunyi...apalagi beberapa orang.
Apa sih yang dipikirkan Bezu Fache? Tampaknya Leigh Teabing telah mengatakan yang sebenarnya.
Inspektur kepala berdiri sendirian di dalam pesawat yang tak berpenumpang itu dan mendegut susah payah.Brengsek.
Wajahnya memerah.
Dia mundur ke gang sempit, menatap ke hanggar pada Leigh Teabing dan pelayannya, yang sekarang sedang ditodong di dekat limusinnya.
"Lepaskan mereka,"
Perintah inspektur itu.
"Kita menerima petunjuk yang salah."
Mata Teabing mendelik penuh ancaman ke seberang hanggar.
"Kau boleh menantikan telepon dari pengacara-pengacaraku. Dan lain kali ingat, polisi Prancis tidak dapat dipercaya."
Bersamaan dengan itu, pelayan Teabing membukakan pintu di bagian belakang dari limusin panjang itu dan menolong majikan pincangnya masuk ke dalam mobil di bangku belakang.
Kemudian pelayan itu berjalan di sepanjang mobil itu, masuk ke belakang kemudi, dan menyalakan mesinnya.
Polisi bercerai berai ketika Jaguar itu meninggalkan hanggar.
"Kau memainkannya dengan baik, hebat,"
Seru Teabing dari bangku belakang ketika limusin itu melaju cepat keluar dari lapangan udara. Lalu matanya beralih ke ruang luas remang-remang di bagian depan.
"Semua nyaman?"
Langdon mengangguk lemah.
Dia dan Sophie masih berjongkok di lantai mobil bersama dengan biarawan albino yang tersumbat mulutnya.
Beberapa saat sebelumnya, ketika pesawat Hawker berjalan perlahan memasuki hanggar pribadi yang sepi itu, Remy telah membuka pintu lambung pesawat saat pesawat itu berhenti di separuh jalan selama ia berputar.
Dengan polisi yang bergerak cepat mendekati hanggar, Langdon dan Sophie turun menyeret si biarawan, kemudian bersembunyi di belakang limusin.
Mesin jet lalu menderu lagi, untuk memutar pesawat dan menyempurnakan posisi parkirnya ketika mobil-mobil polisi berdatangan, meluncur masuk ke hanggar.
Sekarang, ketika limusin itu melesat ke arah Kent, Langdon dan Sophie merangkak dan duduk di dalam limo yang panjang, meninggalkan biarawan itu tetap tergolek di lantai.
Mereka duduk berhadapan dengan Teabing.
Lelaki Inggris itu tersenyum nakal kepada kedua temannya itu, lalu membuka tempat penyimpanan pada bar di dalam limo itu.
"Aku boleh menawari kalian minuman? Cemilan? Keripik? Kacang? Seltzer?"
Sophie dan Langdon sama-sama menggelengkan kepala. Teabing menyeringai dan menutup lemari itu lagi.
"Jadi, tentang makam kesatria itu ..."
"JALAN FLEET?"
Tanya Langdon sambil menatap Teabing di dalam limo itu. AdasebuahmakamdibawahtanahdiJalanFleet? Sejauh ini, Leigh dengan cerdik bermain-main tentang di mana ia pikir mereka bisa menemukan "makam kesatria"
Itu yang, menurut puisi tadi, dapat memberikan password untuk membukacryptex yang lebih kecil. Teabing menyeringai dan menoleh pada Sophie.
"Nona Neveu, coba perdengarkan sekali lagi pada anak Harvard ini bait yang tadi. Mau?"
Sophie merogoh sakunya dan menarik keluar cryptex hitam, yang terbungkus di dalam lembaran kulit binatang.
Semuanya telah memutuskan untuk meninggalkan kotak kayu mawar dancryptex yang lebih besar di dalam kotak kuat di dalam pesawat, dan membawa apa yang mereka butuhkan saja, yaitucryptex hitam yang lebih mudah dibawa.
Sophie membuka bungkusan itu dan menyerahkan lembaran kulit itu kepada Langdon.
Walau Langdon telah membaca puisi itu tadi beberapa kali di dalam pesawat jet, dia tidak dapat menarik inti yang mengatakan tentang di mana letak makam itu.
Sekarang, saat membaca kata-kata itu lagi, dia merenungkannya perlahan-lahan dan berhati-hati, dengan harapan sajak bersuku lima itu akan mengungkap arti yang lebih jelas.
In London lies a knight a Pope interred.
His labour's fruit a Holy wrath incurred.
You seek the orb that ought be on his tomb.
It speaks of Rosy flesh and seeded womb.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan.
BuahperbuatannyakemarahanSucimuncul.
Kaumencaribolayangseharusnyaadadiatasmakamnya.
ItumenyatakanragaRosydanrahimyangterbuahi.
Bahasanya tampak cukup sederhana.
Ada seorang kesatria dimakamkan di London.
Seorang kesatria yang telah melakukan sesuatu yang membuat marah Gereja.
Seorang kesatria yang makamnya tidak memiliki sebuah bola yang seharusnya ada.
Baris terakhir -raga Rosy dan rahim yang terbuahi -jelas sebuah kiasan bagi Maria Magdalena, Sang Mawar yang mengandung benih Yesus.
Walau bait itu tampak berterus terang, Langdon masih tidak tahu siapa kesatria itu atau di mana dia dikuburkan.
Lagi pula, begitu mereka menemukan makam itu, tampaknya mereka masih harus, mencari sesuatu yang hilang dari makam itu.
Bolayangseharusnyaadadiatasmakamnya? "Tidak ada gagasan?"
Tanya Teabing sambil tertawa kecewa. Namun Langdon merasa, sejarawan bangsawan itu merasa senang karena hanya dia yang tahu.
"Nona Neveu?"
Sophie menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kalian berdua dapat lakukan tanpa aku?"
Kata Teabing.
"Baiklah, aku akan mengantar kalian ke sana. Seharusnya sangat sederhana. Baris pertama adalah kuncinya. Bisa tolong dibaca?"
Langdon membacanya dengan keras.
"Di London terbaring seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan."
"Tepat. Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan."
Lalu Teabing menatap Langdon.
"Apa artinnya itu bagimu?"
Langdon menggerakkan bahunya.
"Seorang kesatria yang dikuburkan oleh seorang Paus? Seorang kesatria yang penguburannya dipimpin oleh seorang Paus?"
Teabing tertawa keras.
"Oh, ini bagus sekali. Selalu optimistis, Robert. Lalu lihat baris kedua. Kesatria ini jelas melakukan sesuatu yang membuat marah Gereja. Pikirkan lagi. Pertimbangkan dinamika antara Gereja dan Templar. Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan?"
"Seorang kesatria yang seorang Pausbunuh?"
Tanya Sophie. Teabing tersenyum dan menepuk lutut Sophie.
"Bagus sekali, Nona. Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan. Atau bunuh."
Langdon mengingat pengumpulan para Templar yang terkenal pada tahun 1307 -Jumat tanggal 13 yang sial -ketika Paus Clement membunuh dan menguburkan ratusan kesatria Templar.
"Tetapi, itu berarti ada banyak sekali makam 'para kesatria yang dibunuh oleh para paus'."
"Aha, tidak begitu!"
Kata Teabing.
"Banyak dari mereka yang dibakar pada kayu pancang dan dilempar tanpa upacara penghormatan ke Sungai Tiberias. Tetapi puisi ini menunjuk ke sebuah makam. Sebuah makam di London. Dan hanya ada beberapa kesatria yang dikuburkan di London."
Teabing terhenti, menatap Langdon seolah menunggu matahari terbit. Akhirnya dia gusar.
"Robert, demi Tuhan! Gereja yang dibangun di London oleh angkatan bersenjata Biarawan Sion -Knights Templar sendiri!"
"Gereja Kuil?"
Tanya Langdon sambil menarik napas penuh keheranan.
"Dalam gereja itu ada makam dalam tanah?"
"Sepuluh dari makam-makam paling mengerikan yang pernah kau lihat."
Langdon belum pernah mengunjungi Gereja Kuil, walau dia mendapat banyak petunjuk saat melakukan penelitian tentang Biarawan Sion.
Dulu pernah menjadi pusat kegiatan semua Templar / Biarawan di Inggris Raya, Gereja Kuil disebut demikian untuk menghormati Kuil Salomo, tempat para Templar mengambil gelar mereka sendiri, seperti juga dokumen-dokumen Sangreal yang menganugerahi mereka semua pengaruh mereka terhadap Roma.
Banyak dongeng menceritakan ritual-ritual rahasia dan aneh yang dilakukan para kesatria itu di dalam Gereja Kuil.
"Gereja Kuil ada di Jalan Fleet?"
"Sebenarnya, di pinggir Jalan Fleet, di Jalan Inner Temple tepatnya."
Teabing tampak nakal.
"Aku ingin melihat kalian berkeringat sedikit lagi sebelum aku beri tahu."
"Terima kasih."
"Tidak satu pun di antara kalian yang pernah ke sana?"
Sophie dan Langdon menggelengkan kepala.
"Aku tidak heran,"
Kata Teabing.
"Sekarang gereja itu tersembunyi di belakang gedung-gedung yang lebih besar. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa ada gereja di sana. Tempat kuno yang menakutkan. Arsitekturnya betulbetul pagan."
Sophie tampak heran.
"Pagan?"
"Pagan secara panteonis!"
Seru Teabing.
"Gereja itu bulat. Para kesatria Templar mengabaikan layout berbentuk salib dari gereja-gereja tradisional, dan membangun gereja yang benar-benar bulat untuk penghormatan kepada matahari."
Alis Teabing bergerak-gerak seperti tarian setan.
"Tentu saja itu tidak menyenangkan pihak Roma. Mungkin saja mereka juga mendirikan Stonehenge di tengah London."
Sophie menatap Teabing.
"Bagaimana dengan baris puisi yang lainnya?"
Kegembiraan sejarawan itu memudar.
"Aku tidak yakin. Itu membingungkan. Kita harus memeriksa setiap makam dari sepuluh makam di sana dengan saksama. Jika beruntung, kita dapat menemukan satu yang tak punya bola."
Langdon tahu, mereka sudah sangat dekat.
Jika bola yang hilang itu mengungkap kata kunci, mereka akan dapat membukacryptex kedua.
Langdon kesulitan untuk membayangkan apa yang akan mereka temukan di dalamnya.
Langdon menatap puisi itu lagi.
Ini seperti teka-teki silang kuno.
Sebuah kata terdiri atas lima huruf yang mengatakan tentang Grail? Ketika di pesawat tadi, mereka telah mencoba segala kata kunci yang jelas -GRAIL, GRAAL, GREAL, VENUS, MARIA, JESUS, SARAH -namun silinder itu tidak berputar.
Tampaknya ada juga kata-kata lima huruf lainnya yang mengacu ke rahim Rose yang terbuahi.
Kenyataan bahwa kata itu luput dari pengamatan ahli seperti Leigh Teabing menunjukkan kepada Langdon bahwa itu bukanlah petunjuk Grail yang biasa.
"Sir Leigh?"
REmy memanggil melalui bahunya. Sambil mengemudi, REmy melihat mereka dari kaca spion melintasi kaca pembatas yang terbuka.
"Anda tadi mengatakan Jalan Fleet dekat Jembatan Blackftiars?"
"Ya, lewat Tanggul Victoria."
"Maaf. Saya tidak yakin di mana itu. Biasanya kita ke London hanya pergi ke rumah sakit."
Teabing menaikkan matanya ke Langdon dan Sophie, kemudian menggerutu.
"Sumpah, aku kadang-kadang merasa sedang mengasuh anak kecil. Sebentar, ya. Silakan mengambil sendiri minuman dan makanan kecil."
Lalu Teabing merangkak dengan kikuk ke arah pemisah yang terbuka untuk berbicara dengan REmy. Sophie menoleh kepada Langdon, suaranya tenang.
"Robert, tidak ada yang tahu kau dan aku ada di Inggris."
Langdon tahu, Sophie benar. Polisi Kent akan mengatakan kepada Fache bahwa pesawat itu kosong, dan Fache akan menyimpulkan bahwa mereka masih di Prancis.Kitatidakterlihat. Keberanian Leigh memberi mereka banyak waktu.
"Fache tidak akan menyerah dengan mudah,"
Kata Sophie.
"Sekarang dia sudah berkorban terlalu banyak untuk menangkap kita."
Langdon berusaha untuk tidak memikirkan Fache.
Sophie telah berjanji bahwa dia akan melakukan segalanya, dengan kekuatan yang ia miliki, untuk membebaskan Langdon dari tuduhan begitu semua ini berakhir.
Namun, Langdon mulai khawAtir jangan-jangan usaha Sophie tidak berguna.
Fache mungkinsaja menjadibagiandarikomplotanini.
Walau Langdon tidak dapat membayangkan apa kaitannya Polisi Judisial dengan Holy Grail, dia merasa pada malam itu terlalu banyak kejadian kebetulan, untuk tidak menganggap Fache sebagai kaki tangan dari kelompok yang menginginkan Grail juga.
Facheseorangyangberagama.dandiasangatberusahauntukmendakwakan pembunuhan ini padaku.
Sophie lagi-lagi membantah Langdon.
Menurutnya mungkin saja Fache sekadar bersemangat untuk melakukan penangkapan.
Lagi pula, bukti yang memberatkan Langdon sangat jelas.
Selain namanya tertulis di atas lantai Louvre dan dalam buku agenda SauniEre, Langdon juga ternyata telah berbohong tentang naskahnya dan kemudian melarikan diri.Atasusulan Sophie.
"Robert, aku menyesal telah melibatkanmu begitu jauh,"
Ujar Sophie, sambil meletakkan tangannya di atas lutut Langdon.
"tetapi aku senang kau ada di sini."
Kata-kata Sophie terdengar lebih pragmatis daripada romantis. Walau begitu, tanpa diduganya, Langdon merasakan ada secercah ketertarikan satu sama lain dalam diri mereka. Langdon tersenyum letih pada Sophie.
"Aku akan merasa lebih senang jika aku sudah tidur."
Sophie terdiam beberapa detik.
"Kakekku memintaku untuk memercayaimu. Aku senang akhirnya aku mematuhinya."
"Kakekmu tidak mengenalku sama sekali."
"Walau begitu, aku hanya dapat berpikir bahwa kau telah melakukan segala yang diinginkan Kakek padaku. Kau menolongku menemukan batu kunci, menjelaskan tentang Sangreal, menceritakan tentang ritual bawah tanah itu."
Sophie terdiam. Lalu.
"Entah bagaimana aku merasa lebih dekat dengan kakekku malam ini dibandingkan dengan beberapa tahun yang tahu. Aku tahu dia akan bahagia karenanya."
Di kejauhan, garis langit London mulai tampak menembus gerimis pagi.
Dulu, langit London pernah didominasi oleh Big Ben dan Tower Bridge, sekarang horizon itu membungkuk pada Millenium Eye -sebuah roda Ferris ultramodern yang sangat besar yang menjulang setinggi lima ratus kaki dan menyajikan pemandangan kota yang mengagumkan.
Langdon pernah berniat menaikinya, tetapi "kapsul untuk menonton"-nya mengingatkan dirinya pada peti mayat dari batu yang tersegel, lalu dia memilih untuk tetap menjejakkan kakinya di tanah dan menikmati pemandangan dari tepi Sungai Thames yang berudara segar.
Langdon merasakan ada usapan pada lututnya, sehingga dia terbangun dari lamunannya.
Dia melihat mata hijau Sophie sedang menatapnya.
Langdon tahu, tadi Sophie sedang berbicara dengannya.
"Apa yang harus kita lakukan pada dokumen-dokumen Sangreal itu jika sudah kita dapatkan, Robert?"
Bisik Sophie.
"Apa yang kupikirkan adalah sesuatu yang tidak nyata,"
Kata Langdon.
"Kakekmu memberikan cryptex itu padamu, dan kau harus melakukan sesuai nalurimu apa yang kiranya diharapkan oleh kakekmu."
"Aku meminta pendapatmu. Kau pasti telah menulis sesuatu di dalam naskahmu sehingga kakekku mempercayai penilaianmu. Dia menjadwalkan pertemuan pribadi denganmu. Itu aneh."
"Mungkin saja dia hanya ingin mengatakan bahwa tulisanku semua salah."
"Mengapa dia menyuruhku mencarimu gagasanmu? Dalam naskahmu, apakah kau jika dia tidak menyukai mendukung gagasan bahwa dokumen Sangreal harus disebarluaskan atau lebih mendukung jika dokumen itu terkubur saja?"
"Tidak keduanya. Aku tidak membuat penilaian pada kedua gagasan itu. Naskah itu berisi ulasan simbologi perempuan suci -menelusuri ikonografinya sepanjang sejarah. Aku betul-betul tidak rnerasa tahu di mana Grail itu disembunyikan atau apakah itu harus diungkapkan."
"Namun kau menulis buku tentang Grail, jadi jelas kau menganggap bahwa informasi itu harus disebarkan."
"Ada perbedaan besar antara mendiskusikan secara hipotetis sebuah sejarah alternatif tentang Kristus, dan ...,"
Langdon terdiam.
"Dan apa?"
Desak Sophie.
"Dan menyajikan kepada dunia ribuan dokumen kuno sebagai bukti ilmiah bahwa Perjanjian Baru merupakan kesaksian palsu."
"Tetapi kau pernah bilang bahwa Perjanjian Baru merupakan hasil buatan manusia."
Langdon tersenyum.
"Sophie, setiap keyakinan di dunia ini berdasarkan pada apa yang dibuat. Itu adalah definisi darikeyakinan -menerima apa yang kita bayangkan itu benar, yang sebenarnya tidak dapat kita buktikan. Setiap agama menggambarkan Tuhan melalui metafora, perumpamaan, dan dibesarbesarkan, sejak zaman Mesir kuno hingga sekolah Minggu sekarang. Metafora adalah cara untuk membantu pikiran kita memproses segala yang tak dapat diproses. Masalah timbul ketika kita mulai sangat percaya pada metafora kita sendiri."
"Jadi kau lebih suka jika dokumen-dokumen Sangreal terkubur selamanya?"
"Aku seorang sejarawan. Aku anti perusakan dokumen, dan aku akan senang melihat para ilmuwan agama memiliki informasi lebih untuk merenungkan kehidupan Yesus Kristus yang luar biasa itu."
"Kau membantah kedua sisi dari pertanyaanku."
"Masa? Alkitab menyajikan sebuah tonggak yang fundamental bagi jutaan orang di planet ini, dengan cara yang sangat sama dengan Quran, Taurat, dan Kitab Pali dalam memberikan petunjuk kepada pemeluk agama lainnya. Jika kau dan aku dapat menemukan dokumentasi yang berlawanan dengan cerita suci yang dipercayai dalam Islam, Yahudi, Budha, dan pagan, apakah kita juga harus mengungkapkannya? Haruskah kita mengatakan kepada penganut agama Budha bahwa kita punya bukti kalau Budha tidak dilahirkan oleh bunga teratai? Atau Yesus tidak dilahirkan oleh seorang perempuan yang betul-betul perawan? Orang-orang yang sungguh-sungguh mengerti keyakinan mereka, juga mengerti bahwa cerita-cerita itu merupakan metafora."
Sophie tampak ragu.
"Teman-temanku yang beragama Kristen betul-betul percaya bahwa Kristus memang bisa berjalan diatas air, memang mampu mengubah air menjadi anggur, dan dilahirkan oleh perempuan yang memang masih perawan."
"Intinya adalah,"
Kata Langdon.
"Perumpaman agama telah menjadi bagian dari realitas yang dibuat. Dan, hidup di dalam realitas itu menolong jutaan orang untuk bertahan dan menjadi orang yang lebih baik."
"Tetapi, tampaknya realitas mereka itu palsu."
Langdon rertawa.
"Tidak lebih palsu dari ahli kriptografi matematika yang percaya pada angka imajiner 'i', karena angka itu menolongnya membuka kode itu."
Sophie mengerutkan keningnya.
"Itu tidak adil."
Sesaat berlalu. 'Apa pertanyaanmu tadi?"
Tanya Langdon.
"Aku tidak ingat."
JAM TANGAN Mickey Mouse Langdon menunjukkan pukul 7.30 ketika Langdon keluar dari limusin Jaguar dan memasuki Jalan Inner Temple bersama Sophie dan Teabing.
Ketiganya berjalan berkelok-kelok melintasi berbagai gedung ke sebuah halaman kecil di luar Gereja Kuil.
Batu yang ditatah kasar berkilauan ditimpa hujan, dan burung-burung dara berkukuk di atas gedung itu.
Gereja Kuil tua di London itu keseluruhannya dibangun dengan menggunakan batu dari Caen.
Berbentuk bulat dengan bagian muka yang menakutkan, menara ditengah dan bagian tengah yang menonjol keluar ke satu sisi, gereja itu lebih mirip kubu militer daripada tempat pemujaan.
Diresmikan pada tanggal 10 Februari tahun 1185 oleh Heraclius, Kepala Keluarga Jerusalem, Gereja Kuil bertahan selama delapan abad dari huru-hara politik, Kebakaran Besar London, dan Perang Dunia Pertama; hanya mengalami kerusakan berat karena bom-bom pembakar rumah dari Luftwaffe pada tahun 1940.
Setelah perang itu, gereja ini dibangun kembali seperti bentuk aslinya, megah dan dingin.
Kesederhanaan lingkaran, pikir Langdon, sambil mengagumi gedung itu untuk pertama kalinya.
Arsitekturnya mengingatkan kepada Puri Sant'Angelo sederhana dan kasar, lebih yang kasar di Roma daripada Pantheon yang halus.
Ruang tambahan yang kotak menonjol keluar ke arah kanan terlihat tidak menyenangkan, walau itu sedikit menyembunyikan bentuk pagan asli dari bangunan utamanya.
"Ini hari Sabtu pagi,"
Kata Teabing, sambil terpincang-pincang ke arah pintu masuk.
"jadi kukira kita tidak akan berurusan dengan misa."
Jalan masuk gereja itu merupakan batu ceruk menjorok ke dalam tempat berdirinya pintu kayu besar.
Di sebelah kiri pintu itu, tampak tidak sesuai penempatannya, tergantung papan buletin berisi pengumuman jadwal konser dan misa agama.
Teabing mengerutkan keningnya ketika membaca papan itu.
"Mereka tidak membuka bagi umum di luar jam-jam misa."
Dia bergerak ke arah pintu dan mencobanya. Pintu itu tidak bergerak. Lalu Teabing menempelkan telinganya pada daun pintu itu, mendengarkan. Setelah sesaat, dia menarik diri. Wajahnya tampak penuh rencana ketika dia menunjuk pada papan buletin.
"Robert, bisa tolong periksa jadwal misa? Siapa yang memimpin misa minggu ini?"
Di dalam gereja, seorang lelaki muda pembersih altar hampir selesai memvacum tempat berlutut para penerima komuni ketika dia mendengar ketukan pada pintu gereja.
Dia mengabaikannya.
Pendeta Harvey Knowles mempunyai kuncinya sendiri dan baru akan datang dua jam lagi.
Si pengetuk pintu mungkin hanya seorang turis yang ingin tahu atau seorang pengemis.
Petugas altar melanjutkan pekerjaannya, tetapi ketukan di pintu berlanjut.Apa dia tidak bisa membaca jadwal? Tanda di pintu dengan jelas menyatakan bahwa gereja tidak akan dibuka sebelum pukul 9.30 pada hari Sabtu.
Petugas altar itu terus melakukan tugasnya.
Tiba-tiba, ketukan pada pintu itu berubah menjadi gedoran kuat, seolah orang itu memukuli pintu dengan tongkat metal.
Lelaki muda itu mematikan alat penyedot debunya dan berjalan dengan marah ke arah pintu.
Tanpa membuka pengait rantai pengamannya dari dalam, dia membuka pintu itu sedikit.
Tiga orang berdiri di ambang pintu.
Turis, dia menggerutu.
"Kami buka pukul 9.30."
Lelaki gemuk, yang tampil sebagai pemimpin mereka, melangkah ke depan, menggunakan tongkat metalnya.
"Saya Sir Leigh Teabing,"
Katanya, aksennya menunjukkan banwa dia orang Inggris yang bermartabat tinggi.
"Seperti yang pasti anda lihat, saya sedang mengantar Bapak dan Ibu Christopher Wren Keempat."
Lalu lelaki gemuk itu bergeser sedikit, mengayunkan tangannya ke arah pasangan pria-wanita di belakangnya.
Yang perempuan berpenampilan lembut, dengan rambut merah yang lebat; lelaki di sampingnya jangkung, berambut gelap dan tampak seperti tidak asing.
Petugas altar itu tidak tahu bagaimana merespon mereka.
Christopher Wren adalah penderma terbesar bagi Gereja Kuil.
Dialah yang memungkinkan terlaksananya restorasi gereja ini setelah peristiwa Kebakaran Besar.
Dia juga telah meninggal dunia sejak awal abad ke-18.
"Mmm ... saya merasa terhormat bertemu dengan Anda."
Lelaki bertongkat itu mengerutkan dahinya.
"Untung saja kau tidak bekerja di bagian pemasaran, anak muda. Kau tidak begitu meyakinkan. Di mana Pendeta Knowles?"
"Ini hari Sabtu. Beliau baru akan datang nanti."
Lelaki pincang itu menggerutu perlahan.
"Terima kasih banyak. Padahal beliau sudah meyakinkan kami, beliau akan menunggu di sini, tetapi tampaknya kami harus me1akukannya tanpa beliau. Tidak akan lama."
Petugas altar itu tetap menghalangi di ambang pintu.
"Maaf, apa yang tidak akan lama?"
Mata tamu itu sekarang menajam. Ia mencondongkan tubuhnya sambil berbisik, seolah tidak mau mempermalukan seseorang.
"Anak muda, kau orang baru di sini. Setiap tahun keturunan Sir Christopher Wren selalu membawa sejumput abu orang itu ke dekat altar di gereja ini. Itu bagian dari pesan terakhir dari surat wasiatnya. Tidak seorang pun senang melakukan perjalanan ke sini, tetapi apa boleh buat."
Petugas altar itu telah bekerja di sini selama dua tahun, namun dia tidak pernah mendengar kebiasaan itu.
"Lebih baik jika Anda menunggu hingga pukul 9.30. Gereja ini belum buka, dan saya belum selesai bersih-bersih."
Lelaki bertongkat itu mendelik marah.
"Anak muda, satu-satunya sebab masih adanya benda-benda di sini untuk kaubersihkan adalah karena lelaki baik hati yang sekarang ada di dalam kantong perempuan itu."
"Maaf?"
"Ibu Wren,"
Lelaki bertongkat itu berkata.
"maukah Anda berbaik hati memperlihatkan ke anak muda yang tidak sopan ini sisa abu itu?"
Perempuan itu tampak ragu sesaat lalu, seolah terbangun dari ketidaksadaran, dia merogoh saku sweternya dan menarik keluar sebuah silinder kecil yang terbungkus oleh bahan pelindung.
"Nah, kau lihat?"
Bentak lelaki bertongkat itu.
"Sekarang kau bisa menghormati permintaan terakhir orang itu dan membiarkan kami menebarkan abunya di altar doa, atau akan kukatakan kepada Pendeta Knowles bagaimana kami diperlakukan."
Petugas altar itu ragu-ragu, dia sangat mengerti akan ketaatan Pendeta Knowles dalam menjalankan tradisi gereja ....
MungkinPak Knowles sekadar lupa saja tentang kedatangan anggota keluarga ini.
Jika demikian, akan lebih sedikit risikonya jika dia membiarkan mereka masuk daripada mengusir mereka pulang.Lagipulamerekatadimengatakanhanyaakansebentar.Apa ruginya? Ketika petugas altar itu menggeser tubuhnya untuk membiarkan ketiga orang itu lewat, dia dapat bersumpah, Pak dan Bu Wren betul-betul tampak sama bingungnya seperti dirinya juga.
Dengan tidak yakin, petugas yang masih muda itu melanjutkan tugasnya, sambil melihat mereka dengan sudut matanya.
Langdon tak dapat menahan senyumnya ketika mereka bertiga berjalan lebih jauh ke dalam gereja itu.
"Leigh,"
Dia berbisik.
"kau berbohong dengan sangat balk."
Mata Teabing bersinar.
"Kelompok Teater Oxford. Mereka masih terus membicarakan aktingku sebagai Julius Caesar. Aku yakin, belum ada yang memerankannya pada babak pertama dari Act Three dengan penjiwaan yang lebih baik."
Langdon menatapnya.
"Kupikir Caesarmati pada babak itu."
Teabing menyeringai.
"Ya, tetapi togaku robek terbuka ketika aku jatuh, dan aku harus berbaring di atas panggung selama setengah jam dengantodgerku tergantung keluar. Walau begitu, aku tetap tidak bergerak sama sekali. Aku sangat pandai, asal tahu saja."
Langdon tampak ngeri.Sayangsekaliakutidakmelihatnya.
Ketika mereka berjalan melalui ruang tambahan segi empat ke arah pintu lengkung yang membawa mereka ke ruang utama gereja, Langdon heran melihat kekosongan ruangan itu.
Walau akarnya tampak seperti yang biasa terdapat pada kapel Kristen lainnya, perabotan lainnya begitu kaku dan dingin, bahkan tidak terlihat hiasan tradisional sekalipun.
"Pucat,"
Bisiknya. Teabing tertawa.
"Gereja Inggris. Anglikan melaksanakan agamanya dengan kaku. Tidak ada yang bisa mengalihkan mereka dari kesengsaraan."
Sophie menunjuk ke arah ruang terbuka yang luas yang mengarah ke bagian bundar gereja itu.
"Kelihatannya seperti sebuah benteng di sana,"
Dia berbisik. Langdon setuju. tampak kasar.
"Para kesatria Bahkan dari tempatnya berdiri, dinding ruangan itu Templar adalah pah1awan."
Teabing mengingatkan, sementara suara penunjang kaki dari aluminiumnya bergema di ruangan yang menggaung itu.
"Sebuah perkumpulan militer yang beragama. Gereja mereka merupakan benteng pertahanan mereka dan juga bank mereka."
"Bank?"
Tanya Sophie sambil menatap Leigh.
"Oh ampun, ya. Templar menemukan konsep bank modern. Bagi para bangsawan Eropa, melakukan penjalanan dengan membawa emas sangat berbahaya. Maka, Templar membolehkan para bangsawan itu menyimpan emasnya di Gereja Kuil yang terdekat dan dapat menariknya lagi dari Gereja Kuil mana pun di seluruh Eropa. Yang mereka perlukan hanyalah dokumentasi yang lengkap. Dia mengedipkan matanya.
"Dan sedikit komisi. Mereka merupakan ATM asli."
Teabing menunjuk ke jendela berkaca ornamen warnawarni. Dari situ sinar matahari memantul pada kaca yang menggambarkan seorang kesatria berpakaian putih sedang menunggang seekor kuda berwarna merah muda.
"Alanus Marcel,"
Kata Teabing.
"Pimpinan Kuil pada awal tahun 1200. Dia dan penerusnya sesungguhnya memimpin kursi Parlemen Primus Baro Angiae."
Langdon terkejut.
"Baron pertama dari Realm?"
Teabing mengangguk.
"Beberapa orang mengakui, Pimpinan Kuil mempunyai pengaruh lebih besar daripada raja sendiri."
Ketika mereka tiba di luar ruangan bundar, Teabing mengerling pada petugas altar yang masih memvacum ruang gereja di kejauhan.
"Kau tahu,"
Bisik Teabing pada Sophie.
"Holy Grail katanya pernah mampir di gereja ini semalam saat Templar memindahkannya dari tempat kaubayangkan keempat peti persembunyiannya ke tempat lain. Bisakah yang berisi dokumen-dokumen Sangreal ditempatkan di sini bersama peti mati Maria Magdalena? Aku jadi merinding."
Langdon juga merasa merinding ketika mereka melangkah ke ruangan bundar itu.
Matanya mengikuti lengkungan batas pinggir ruangan yang terbuat dari batu berwarna pucat, lalu melihat ukiran-ukiran pada dindingnya yang berupa patung kepala hewan, iblis, monster, wajah manusia yang disakiti, semuanya menatap dalam ruangan.
Di bawah ukiran-ukiran itu terletak bangku batu tunggal melingkari sekeliling ruangan.
"Teater bundar,"
Bisik Langdon.
Teabing menaikkan satu tongkatnya, menunjuk ke arah kiri jauh ruangan itu, lalu ke arah kanan jauh.
Langdon sudah melihatnya.
Sepuluhkesatriabatu.
Limadikiri,limadikanan.
Para kesatria itu terukir terlentang di atas lantai, seukuran dengan manusia, dalam pose yang damai.
Mereka digambarkan mengenakan pakaian besi lengkap, tameng, dan pedang.
Makam patung itu membuat Langdon merasa tidak nyaman, seolah pada zaman itu seseorang telah menyelinap masuk dan menuangkan adukan semen ke atas para kesatria yang sedang tidur.
Kesepuluh figur itu rusak berat, namun masing-masing sangat unik---perlengkapan pakaian, posisi kaki dan tangan, ciri pada wajah, dan tanda pada tameng yang berbeda-beda.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan.
Langdon merasa gemetar ketika dia masuk lebih dalam ke ruang bulat itu.
Pasti inilah tempat itu.
Di GANG yang kotor oleh sampah yang sangat dekat dengan Gereja Kuil, Remy Legaludec menghentikan limusin Jaguar panjangnya di belakang sederetan tong sampah industri.
Dia mematikan mesinnya dan memeriksa daerah sekitarnya.
Sepi.
Dia keluar dari mobil, berjalan ke bagian belakang, dan masuk ke kabin utama limusin itu, tempat si biarawan meringkuk.
Merasakan kehadiran REmy, Silas tersadar dari kerasukannya dalam doa.
Mata merahnya lebih tampak ingin tahu daripada takut.
Sepanjang malam itu, REmy telah merasa kagum pada kemampuan tahanan ini untuk bersikap tenang.
Setelah pergulatan pertama di Range Rover, biarawan itu tampak menerima keadaannya yang tidak menyenangkan dan menyerahkan nasibnya pada kekuasaan yang lebih tinggi.
REmy mengendurkan dasi kupu-kupunya, melepas kancing kerahnya yang tinggi, kaku, dan bersayap, dan merasa seolah dia baru dapat bemapas untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun.
Dia membuka lemari minuman di dalam limusin itu dan menuangkan vodka Smirnoff bagi dirinya sendiri.
Dia meminumnya dengan sekali teguk, diikuti dengan gelas kedua.
Taklamalagiakuakanmenjadilelakiyanghidupenak.
Setelah mencari-cari di dalam bar, REmy menemukan pembuka botol anggur yang biasa, lalu membuka mata pisaunya yang tajam.
Pisau itu biasanya digunakan untuk memotong kertas timah dari tutup botol anggur, namun pagi ini alat itu akan digunakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar.
REmy menoleh pada Silas sambil memegang silet berkilauan itu.
Sekarang mata merah itu berkilat ketakutan.
Remy tersenyum dan bergerak ke belakang limusin.
Biarawan itu tersentak dan memberontak berusaha melepaskan diri.
"Tenanglah,"
Bisik Remy sambil mengangkat pisau itu.
Silas tidak dapat percaya bahwa Tuhan telah meninnggalkan dirinya.
Bahkan rasa sakit pada tubuhnya karena diikat telah dianggapnya sebagai latihan spiritual, dengan memohon supaya denyut sakit pada otot-ototnya yang kekurangan aliran darah itu menjadikan dia ingat pada penderitaan Kristus.
Aku sudah berdoa sepanjang malam memohon kebebasan.
Sekarang, ketika pisau itu turun, Silas mengatupkan matanya rapat-rapat.
Rasa sakit seperti memotong tulang belikatnya.
Dia berteriak, tidak percaya bahwa dia akan mati di sini, di bagian belakang sebuah limnusin, tanpa mampu membela diri.
Aku mengerjakan pekerjaan Tuhan.
Guru mengatakan akan melindungiku.
Silas merasa kehangatan menusuk melebar melintasi punggung dan bahunya.
Dia dapat membayangkan darahnya sendiri, memancar keluar dari dagingnya.
Sekarang rasa sakit yang menusuk memotong melalui pahanya, dan dia merasakan serangan arus bawah seperti yang sudah biasa dirasakannya -cara tubuh bertahan terhadap rasa sakit.
Ketika rasa sakit yang menusuk itu terasa merobek seluruh ototnya, Silas mengatupkan matanya lebih rapat, dan memutuskan bahwa gambaran akhir hidupnya bukanlah ditentukan oleh pembunuhnya.
Lalu dia membayangkan seorang Uskup Aringarosa ketika masih lebih muda, berdiri di depan gereja kecil di Spanyol...
gereja yang dibangun dengan tangannya dan Silas.Awalkehidupanku.
Silas merasa tubuhnya terbakar.
"Minumlah,"
Bisik lelaki bertuksedo itu. Aksennya Prancis.
"Akan membantu melancarkan aliran darahmu."
Mata Silas terbuka heran. Sesosok bayangan kabur membungkuk padanya, menawarkan segelas cairan. Seonggok pita berperekat yang sudah sobek-sobek tergeletak di lantai di samping pisau sialan itu.
"Minum ini,"
Lelaki itu mengulangi.
"Rasa sakit yang kaurasakan itu hanya aliran darah yang memasuki otot-ototmu."
Silas merasakan denyut panas sekarang berganti menjadi tusukan-tusukan kecil.
Vodka itu terasa tidak enak tetapi dia meminumnya juga, merasa bersyukur.
Nasibnya malam ini tidak bagus, tapi Tuhan menyelesaikan semuanya dengan sebuah pergantian yang ajaib.
Tuhantidakmeninggalkanaku.
Silas tahu apa yang akan disebut Uskup Aringarosa tentang ini semua.
CampurtanganTuhan.
"Aku sudah ingin membebaskanmu lebih awal,"
Kata pelayan itu meminta maaf "tetapi tidak mungkin. Dengan polisi yang datang ke Puri Villette, kemudian polisi di lapangan udara Biggin Hill, ini merupakan kesempatan pertama yang memungkinkan. Kau mengerti, bukan, Silas?"
Silas tersentak heran.
"Kautahu namaku?"
Pelayan itu tersenyum. Sekarang Silas duduk, menggosok-gosok otot-ototnya yang kaku. Perasaannya menyemburkan ketidakpercayaan, penghargaan, dan kebingungan.
"Apakah kau ... Guru?"
Remy menggelengkan kepalanya, menertawakan kesalahan itu.
"Kuharap aku punya kekuasaan itu. Bukan, aku bukan Guru. Seperti kau juga, aku melayaninya. Tetapi Guru selalu memujimu. Namaku Remy."
Silas kagum.
"Aku tidak mengerti. Jika kau bekerja pada Guru, mengapa Langdon membawa batu kunci itu ke rumahmu?"
"Bukan rumahku. Itu rumah seorang sejarawan Grail yang paling terkenal, Sir Leigh Teabing."
"Tetapi kautinggal di sana. Anehnya ..."
REmy tersenyum, tampaknya dia tidak heran dengan kebetulan yang terjadi -Langdon memilih rumah itu sebagai tempat pelariannya.
"Itu semua sangat dapat diduga. Robert Langdon memegang batu kunci, dan dia membutuhkan bantuan. Tempat mana lagi yang mungkin dipikirkannya selain rumah Leigh Teabing? Karena kebetulan aku tinggal di sana juga, maka Guru menghubungiku lebih dulu."
Dia terdiam sesaat.
"Menurutmu, bagaimana Guru bisa tahu begitu banyak tentang Grail?"
Fajar menyingsing sekarang, dan Silas terpaku. Guru telah menempatkan seorang pelayan yang mempunyai akses ke semua yang diselidiki Teabing. Sangat cemerlang.
"Ada banyak yang harus kukatakan padamu,"
Kata Remy sambil menyerahkan pistol Heckler Koch yang berisi peluru. Kemudian, melalui partisi yang terbuka, REmy meraih dan mengeluarkan sepucuk revolver kecil seukuran telapak tangan dari kotak penyimpanan sarung tangan.
"Tetapi pertama-tama, kau dan aku punya tugas yang harus dikerjakan."
Kapten Fache turun dari pesawat yang membawanya ke Biggin Hill dan mendengarkan dengan tidak percaya cerita Inspektur kepala Kent tentang apa yang terjadi di hanggar pribadi pribadi Teabing.
"Aku memeriksa pesawat itu sendiri,"
Tegas inspektut itu.
"dan tidak ada seorang pun di dalam."
Nadanya meninnggi "Dan aku harus menambahkan bahwa jika Sir Leigh Teabing menuntutku, aku akan ...."
"Apakah kau menginterogasi pilotnya?"
"Tentu saja tidak. Dia orang Prancis, dan yurisdiksi kami memerlukan..."
"Bawa aku ke pesawat itu."
Tiba di hanggar itu, Fache hanya memerlukan enam puluh menit untuk menemukan ceceran darah pada lantai hanggar dekat tempat limusin diparkir tadi. Fache berjalan ke arah pesawat dan berteriak keras sambil menghadap ke badan pesawat.
"Ini kapten Polisi Judisial Prancis. Buka pintu!"
Pilot yang ketakutan itu membuka pintu dan menurunkan tangganya.
Fache naik.
Tiga menit kemudian, dengan bantuan pistolnya, dia sudah mendapatkan gambaran tentang biarawan albino yang diikat.
Dan sebagai tambahan, pilot itu melihat Sophie dan Langdon telah meninggalkan sesuatu di tempat penyimpanan Teabing di belakang, sebuah kotak kayu atau sejenisnya.
Walaupun meyangkal bahwa dia tahu apa isi kotak itu, si pilot mengaku bahwa kotak itu telah menjadi pusat perhatian Langdon selama penerbangan ke London.
"Buka lemari itu."
Fache meminta. Pilot itu tampak ketakutan.
"Aku tidak tahu kombinasinya!"
"Sayang sekali. Aku baru saja mau menawarkan agar kau tetap mempunyai izin terbang."
Pilot itu meremas-remas tangannya.
"Aku kenal beberapa orang di bagian pemeliharaan di sini. Mungkin mereka bisa mengebornya?"
"Kau punya waktu setengah jam."
Pilot itu loncat menyambar radionya.
Fache berjalan ke belakang pesawat dan menuang minuman keras untuknya sendiri.
Ini masih terlalu pagi, tetapi dia belum tidur ....
Sambil duduk di kursi yang sangat lunak, Fache menutup matanya, mencoba membayangkan apa yang terjadi.
Kegagalan Polisi Kent dapat sangat merugikanku.
Sekarang semua orang sedang mencari limusin Jaguar hitam.
Telepon Fache berdering, padahal dia mengharapkan kedamaian sesaat saja."Allo?"
"Aku dalam perjalanan ke London."
Itu Uskup Aringarosa.
"Aku akan tiba dalam satu jam."
Fache duduk tegak.
"Kupikir kau akan terbang ke Paris."
"Aku sangat khawatir. Aku mengubah rencana."
"Kau tidak boleh begitu."
"Kau sudah bertemu Silas?"
"Tidak. Penangkapnya berhasil lolos dari polisi Kent sebelum aku mendarat."
Kemarahan Aringarosa berdering tajam.
"Kau meyakinkan aku bahwa kau akan menghentikan pesawat itu!"
Fache merendahkan suaranya.
"Uskup, mengingat keadaanmu, aku sarankan kau jangan menguji kesabaranku hari ini. Aku akan menemukan Silas dan yang lainnya secepat mungkin. Kau akan mendarat di mana?"
"Sebentar."
Aringarosa menahan teleponnya, lalu menyambungnya lagi.
"Pilot mengatakan dia akan mencoba mendarat di Heathrow. Aku satu-satunya penumpangnya, tetapi tujuan baru kami tidak terdaftarkan."
"Katakan kepada pilot itu untuk mendarat di lapangan terbang eksekutif Biggin Hill di Kent. Aku akan mintakan izin untukmu."
"Terima kasih."
"Seperti yang kunyatakan ketika kita pertama kali berbicara, Uskup, kau harus mengingatnya baik-baik, bahwa kau bukanlah satu-satunya orang yang berisiko kehilangan segalanya."
KAUMENCARIbolayangseharusnyaadadimakamitu.
Setiap pahatan kesatria di Gereja Kuil itu berbaring terlentang, dengan kepala mereka terletak pada sebuah bantal batu segi empat.
Sophie merasa ngeri.
Kata bola dalam puisi itu membangkitkan ingatan Sophie pada perstiwa di ruang bawah-tanah puri kakeknya.
HierosGamos.Bola.
Sophie bertanya-tanya apakah ritual itu pernah dilakukan di gereja ini.
Ruang bundar itu tampak dibuat sesuai dengan pesanan untuk melakukan ritual pagan semacam itu.
Sebuah bangku dari batu mengelilingi area kosong di tengah-tengah.Sebuahteaterbundar, seperti yang disebut Robert tadi.
Sophie membayangkan ruangan ini pada maalam hari penuh dengan orang-orang bertopeng, menyanyi di bawah sinar obor, semua menyaksikan "penyatuan suci"
Di tengah-tengah ruangan.
Sophie berusaha menghilangkan pikiran itu dari benaknya.
Dia lalu mendahului Langdon dan Teabing menuju ke kelompok makam kesatria yang pertama.
Walau Teabing berkeras bahwa penyelidikan mereka harus dilakukan dengan sangat cermat, Sophie merasa bersemangat dan bergegas mendahului mereka, berjalan memintas ke arah lima makam patung kesatria di sebelah kiri.
Sophie meneliti kelompok makam pertama ini.
Dia melihat kesamaan dan perbedaan di antara kelimanya.
Setiap kesatria berbaring terlentang, tetapi tiga dari lima kesatria kakinya terjulur lurus, sedangkan yang dua lainnya bersilang.
Keanehan itu tampaknya tidak ada hubungannya dengan bola yang hilang.
Sophie lalu meneliti pakaian mereka.
Dia menemukan bahwa dua dari kesatria itu mengenakan tunik di atas baju besi mereka, sedangkan yang tiga lainnya mengenakan jubah panjang semata kaki.
Lagi, ini sama sekali tidak ada gunanya.
Kemudian Sophie mengalihkan perhatiannya pada perbedaan yang jelas -posisi tangan mereka.
Dua orang kesatria memegang pedang, dua lagi berdoa, dan yang satu meletakkan lengannya di sisi tubuhnya.
Setelah lama melihat tangan-tangan itu, Sophie menggerakkan bahunya.
Dia tidak melihat petunjuk yang jelas tentang bola yang hilang itu.
Karena merasa beban cryptex di dalam sakunya, Sophie lalu melirik pada Langdon dan Teabing.
Kedua lelaki itu bergerak lambat, masih berada pada kesatria ketiga, tampaknya juga tidak beruntung.
Sophie tidak ingin menunggu.
Dia berpaling dari mereka lalu bergerak ke kelompok makampatung kedua.
Ketika dia melintasi ruangan terbuka, perlahan dia mengucapkan puisi yang tadi dibacanya, beberapa kali sehingga dia hafal sekarang.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangPauskuburkan.
BuahperbuatannyakemarahanSucimuncul.
Kaumencaribolayangseharusnyaadadiatasmakamnya.
ItumenyatakanragaRosi danrahimyangterbuahi Ketika Sophie tiba pada kelompok kedua, dia melihat kelompok ini sama dengan kelompok pertama.
Semuanya terbaring dengan posisi tubuh yang berbeda, mengenakan pakaian besi dan pedang.
Itu sudah semuanya, kecuali makam kesepuluh, terakhir.
Sophie bergegas ke sana, lalu menatap ke bawah.
Tidakadabantal.
Tidakadabajubesi.Tidakadatunik.Tidakadapedang.
"Robert? Leigh?"
Panggil Sophie, suaranya menggema di sekitar ruangan itu.
"Ada yang hilang di sini."
Kedua lelaki itu menoleh dan segera melintasi ruangan menuju ke Sophie.
"Sebuah bola?"
Seru Teabing gembira. Penopang kaki metalnya berklikklik dengan cepat seperti staccato dalam musik ketika lelaki gemuk itu melintasi ruangan.
"Kita kehilangan sebuah bola?"
"Tidak seperti itu,"
Kata Sophie, mengerutkan dahinya pada makam kesepuluh.
"Tampaknya kita kehilangan keseluruhan kesatria kesepuluh ini."
Ketika Teabing dan Langdon tiba di samping Sophie, mereka berdua menatap ke bawah dengan bingung pada makam kesepuluh itu.
Tidak ada kesatria yang terbaring, tapi hanya sebuah peti mati dari batu yang tersegel.
Peti mati itu berbentuk trapesium, menyempit pada bagian kaki dan melebar pada bagian kepala, dengan penutup yang runcing ke atas.
"Mengapa kesatria yang ini tidak diperlihatkan?"
Tanya Langdon.
"Menarik,"
Kata Teabing, sambil mengusap-usap dagunya.
"Aku sudah lupa tentang keanehan ini. Aku sudah bertahun-tahun tidak ke sini."
"Peti mati ini,"
Kata Sophie.
"tampaknya diukir pada waktu yang sama oleh pemahat yang sama seperti halnya kesembilan makam itu. Jadi, mengapa kesatria ini terbungkus dalam peti mati, tidak terbuka?"
Teabing menggelengkan kepalanya.
"Salah satu misteri gereja ini. Sejauh yang kutahu, tidak ada yang dapat menjelaskan hal ini."
"Halo?"
Seru petugas altar tadi, sambil mendekat dengan wajah gelisah.
"Maafkan saya jika ini tampak tidak sopan. Tadi Anda bilang ingin menebarkan abu, tetapi Anda kelihatannya hanya melihat-lihat."
Teabing cemberut pada anak muda itu dan menoleh pada Langdon.
"Pak Wren, tampaknya kedermawanan keluarga anda tidak lagi dapat memberi Anda waktu seperti dulu lagi. Jadi mungkin kita harus mengeluarkan abu itu dan segera melakukannya."
Teabing menoleh pada Sophie.
"Ibu Wren?"
Sophie ikut berpura-pura, sambil mengeluarkan cryptex yang terbungkus kulit kambing dari sakunya.
"Sekarang,"
Teabing membentak pemuda itu.
"bisa beri kami privasi?"
Petugas altar itu tidak bergerak. Dia sedang menatap Langdon dengan cermat sekarang.
"Anda seperti pernah kulihat."
Teabing marah.
"Mungkin itu karena Pak Wren datang ke sini setiap tahun!"
Atau mungkin, Sophie sekarang merAsa takut, karena pemuda tiu melihat LangdonditelevisiketikaLangdonberadadiVatikan tahunlalu.
"Aku belum pernah bertemu dengan Pak Wren,"
Jelas petugas altar itu.
"Anda salah,"
Langdon berkata dengan sopan.
"Saya percaya Anda dan saya bertemu tahun lalu. Pak Knowles memang tidak memperkenalkan kita dengan resmi, tetapi saya mengenali wajah Anda ketika kami masuk tadi. Sekarang saya merasa sudah mengganggu, tetapi bisakah Anda dapat memberikan waktu beberapa menit lagi kepada saya? Saya datang dari jauh hanya untuk menyebar abu di antara makam-makam ini."
Langdon mengucapkan bagiannya dengan gaya yang meyakinkan seperti Teabing. Tarikan wajah petugas altar itu bahkan berubah lebih meragukan mereka.
"Ini semua bukanmakam."
"Maaf?"
Kata Langdon.
"Tentu saja ini semua makam,"
Kata Teabing. Petugas altar itu menggelengkan kepalanya.
"Makam selalu berisi jenazah. Ini semua hanya patung. Penghormatan orang-orang yang nyata. Tidak ada satu jasad pun di bawah figur-figur ini."
"Ini makam!"
Kata Teabing.
"Hanya dalam buku-buku sejarah yang sudah ketinggalan zaman. Ini memang dulu dipercaya merupakan makam di gereja, tetapi itu ternyata tidak berisi apa pun dan itu diketahui pada waktu renovasi gereja ini pada tahun 1950."
Dia menoleh lagi pada Langdon.
"Dan saya heran juga, seharusnya Pak Wren tahu itu, mengingat yang mengetahui hal itu adalah keluarga Anda sendiri."
Kesunyian yang tidak menyenangkan terjadi. Namun segera terusik oleh suara pintu terbanting di ruang tambahan gereja.
"Itu mungkin Pak Knowles,"
Kata Teabing.
"Mungkin Anda harus pergi dan melihatnya?"
Petugas altar itu tampak ragu, tetapi dia pergi juga ke ruang tambahan itu, meninggalkan Langdon, Sophie, dan Teabing yang saling bertukar pandang dengan muram.
"Leigh,"
Bisik Langdon.
"Tidak ada jenazahnya? Apa maksud pemuda itu?"
Teabing tampak putus asa.
"Aku tidak tahu. Aku selalu berpikir ... tentu saja ini pastilah tempat itu. Aku tidak dapat membayangkan pemuda itu tahu apa yang dikatakannya tadi. Itu tidak mungkin!"
"Aku boleh melihat puisi itu lagi?"
Kata Langdon. Sophie mengeluarkan cryptex itu dari sakunya dan dengan hati-hati memberikannya kepada Langdon. Langdon membuka bungkus kulit kambingnya, memegang Cryptex pada tangannya sambil memeriksa puisi itu.
"Ya, puisi ini menyatakan tentang sebuah makam. Bukan sebuah patung."
"Mungkinkah puisi itu salah?"
Tanya Teabing.
"Mungkinkah Jacques Sauniere membuat kesalahan seperti yang baru kulakukan?"
Langdon mempertimbangkannya dan menggelengkan kepalanya.
"Leigh, kau tadi mengatakannya sendiri. Gereja ini di bangun oleh Templar, miiter bersenjata dari Biarawan Sion. Aku punya firasat bahwa Mahaguru Biarawan memiliki gagasan yang bagus jika para kesatrianya terkubur di sini."
Teabing tampak sangat heran.
"Tetapi tempat ini sempurna."
Dia berjalan kembali ke arah kesatria-kesatria itu.
"Kita pasti tElah rnelewatkan sesuatu!"
Ketika petugas altar memasuki ruang tambahan itu, dia heran karena ruangan itu ternyata kosong.
"Pak Knowles?"
Aku yakin mendengar suara pintu, pikirnya, sambil bergerak ke depan sampai dia melihat pintu masuk.
Seorang lelaki kurus mengenakan tuksedo berdiri di dekat pintu masuk, sambil rnenggaruk-garuk kepalanya dan tampak bingung karena tersesat.
Petugas altar itu marah pada dirinya karena dia telah lupa mengunci kembali pintu itu ketika dia membiarkan ketiga orang tadi masuk.
Sekarang seorang kerempeng yang menyedihkan telah memasuki gereja dari jalanan.
Jika dilihat dari penampilannya, orang ini pastilah sedang mencari upacara pernikahan.
"Maaf,"
Seru petugas altar itu, sambil melewati sebuah pilar besar.
"kami tutup."
Suara kebutan kain bergemerisik di belakangnya, dan sebelum ia dapat menoleh, kepalanya ditarik ke belakang.
Sebuah tangan kuat membekap keras mulutnya dari belakang, membungkus teriakannya.
Tangan yang membekap mulut pemuda itu seputih saiju, dan dia berbau alkohol.
Lelaki yang bertuksedo dengan tenang mengeluarkan revolver kecil, yang langsung diarahkannya ke kepala pemuda itu.
Petugas altar itu merasa selangkangannya menjadi panas dan sadar bahwa dia telah mengompol.
"Dengarkan baik-baik,"
Bisik lelaki bertuksedo.
"Kau harus keluar dari gereja ini tanpa ribut. Kau harus berlari. Tanpa henti. Jelas?"
Pemuda itu mengangguk sedalam-dalamnya dengan tangan putih masih membekap mulutnya.
"Jika kau memanggil polisi ...,"
Lelaki bertuksedo itu menekankan pistolnya pada kulit pemuda itu.
"aku akan mencari dan menemukanmu."
Setelah itu, pemuda itu berlari sekencang-kencangnya melintasi halaman, tanpa keinginan untuk berhenti sampai kakinya tidak kuat lagi berlari.
SEPERTI hantu, Silas melayang tanpa suara dibelakang mangsanya.
Sophie Neveu terlambat merasakan kehadirannya.
Sebelum Sophie sempat menoleh, Silas sudah menekankan pistolnya pada tulang belakangnya dan melingkan tangan kuatnya pada dada Sophie, lalu menariknya hingga punggung Sophie menempel pada tubuh kekarnya.
Sophie berteriak kaget.
Teabing dan Langdon menoleh, ekspresi mereka tercengang dan takut.
"Apa ...?"
Teabing seperti tercekik.
"Apa yang kaulakukan pada REmy?"
"Yang harus kaupikirkan hanyalah,"
Kata Silas tenang.
"aku akan pergi dari sini dengan membawa batu kunci."
Misi penyelamatan kembali ini, seperti yang tadi digambarkan Remy, harus bersih dan sederhana.
Masuk Gereja, ambilbatukunci,danpergi;tidakadapembunuhan, tidakadaperkelahian.
Sambil memegang Sophie dengan kuat, Silas menurunkan tangannya dari dada Sophie ke pinggang perempuan itu, dan menyelipkan tangannya ke dalam saku sweternya, meraba-raba.
Silas dapat mencium harum lembut rambut Sophie.
"Di mana batu kunci itu?"
Silas berbisik.Batukunciituadadidalam sakusweaternyatadi.Jadidimanasekarang? "Di sini,"
Suara dalam Langdon bergema di ruangan itu. Silas menoleh dan melihat Langdon memegangcryptex hitam di depannya. mengayun-ayunkannya ke depan dan ke belakang seperti seorang matador menggoda hewan bodoh.
"Letakkan di bawah,"
Perintah Silas.
"Biarkan Sophie dan Leigh meninggalkan gereja ini,"
Jawab Langdon.
"Kau dan aku dapat mengurus ini."
Silas mendorong Sophie menjauh darinya dan mengarahkan pistolnya pada Langdon, sambil bergerak mendekatinya.
"Jangan mendekat satu langkah pun,"
Kata Langdon.
"Jangan, sebelum mereka meninggalkan gedung ini."
"Kau tidak dapat memerintahku."
"Aku tidak sependapat."
Lalu Langdon mengangkat cryptex itu tinggi di atas kepalanya.
"Aku tidak akan ragu membanting ini di atas lantai dan sehingga botol kecil di dalamnya juga pecah."
Walau Silas menggeram keras dari tenggorokannya, dia merasa takut juga. Ini tidak diduganya. Dia mengarahkan pistoinya pada kepala Langdon dan menjaga suaranya agar tetap tenang seperti tangannya yang tak gemetar.
"Kau tidak akan memecahkan batu kunci itu. Kau sangat ingin menemukan Grail seperti juga aku."
"Kau salah. Kau menginginkan ini lebih dariku. Kau telah membuktikannya dengan membunuh orang untuk mendapatkannya."
Empat puluh kaki jauhnya dari kejadian itu, Remy muncul dari bangku gereja di ruang tambahan di dekat pintu lengkung.
Remy Legaludec mulai merasa khawatir.
Usaha itu tidak berjalan seperti yang telah mereka rencanakan, dan bahkan dari sini, dia dapat melihat Silas tampak tidak yakin mengatasi keadaan itu.
Atas perintah Guru, REmy telah melarang Silas untuk menembakkan senjatanya.
"Biarkan mereka pergi,"
Kata Langdon lagi, sambil tetap memegangi cryptex itu tinggi-tinggi melebihi kepalanya dan menatap pistol Silas.
Mata merah biarawan itu penuh ketakutan dan keputusasaan dan REmy tegang karena mungkin saja Silas akan menembak Langdon ketika lelaki jangkung itu masih memegangiCryptex.Cryptexitutidakbolehjatuh! Cryptex itu akan menjadi tiket kebebasan dan kemakmuran REmy.
Kirakira lebih dari setahun yang lalu, REmy adalah seorang pelayan berusia 55 tahun yang tinggal di dalam dinding Puri Villette, melayani keanehan yang tak tertahankan dari Sir Leigh Teabing yang cacat.
Lalu dia dibujuk dengan sebuah tawaran yang luar biasa.
Hubungan REmy dengan Sir Leigh Teabing--seorang sejarawan Grail yang sangat terkemuka di bumi ini---akan memberikan kepada REmy segala yang pernah diimpikannya dalam hidup ini.
Sejak itu, setiap saat yang dijalaninya di dalam Puri Villette telah membawanya ke arah itu lebih cepat lagi.
Aku sudah begitu dekat, kata REmy pada dirinya sendiri, sambil menatap ke ruang di dekat altar Gereja Kuil dan pada batu kunci di tangan Robert Langdon.
Jika Langdon menjatuhkannya, segalanya akan hilang.
Apakah aku akan memperlihatkan wajahku? Guru telah melarangnya dengan keras untuk itu.
REmy adalah satu-satunya yang mengenali identitas Guru.
"Kauyakin Silas yang harus melakukan tugas ini?"
Tanya Remy kepada Guru kurang dari setengah jam yang lalu, saat menerima perintah untuk mencuri batu kunci itu.
"Aku sendiri mampu."
Guru memastikan.
"Silas telah melakukan tugasnya dengan baik dengan membunuh empat anggota Biarawan. Dia akan menyelamatkan batu kunci itu. Kau harus tetap tak dikenal. Jika ada yang melihatmu, mereka harus mati juga. Jangan ada pembunuhan lagi. Jangan perlihatkan wajahmu."
Wajahku dapat diubah, pikir REmy.
Dengan bayaran yang kaujanjikan kepadaku, aku akan menjadi orang yang sama sekali baru.
Operasi bahkan dapat mengubah sidik jari, Guru pernah mengatakan itu kepadanya.
Dia akan bebas segera -seraut wajah tak dikenali, berkeringat di bawah matahari pantai.
"Aku mengerti"
Kata REmy.
"Aku akan membantu Silas dan balik kegelapan."
"Ini untuk kauketahui sendiri, REmy,"
Kata Guru.
"makam yang dicari tidak berada di Gereja Kuil. Jadi, jangan takut. Mereka mencari di tempat yang salah."
REmy terpaku.
"Dan kautahu di mana makam itu?"
"Tentu saja. Nanti aku akan mengatakannya padamu. Untuk saat ini, kau harus bertindak cepat. Jika mereka tahu tempat makam yang sesungguhnya, dan meninggalkan gereja sebelum kau membawa cryptex itu, kita dapat kehilangan Grail selamanya."
REmy tidak peduli pada Grail, namun Guru tidak akan membayarnya sebelum dia menemukan Grail itu.
REmy merasa pening setiap kali mengingat sejumlah uang yang akan diterimanya segera.
Sepertiga dari 20 juta euro.Cukupbanyakuntukmenghilangselamanya.
REmy telah membayangkan kota pantai COte d'Azur, tempat dia merencanakan untuk menghabiskan hari-harinya dengan berjemur di bawah matahari sambil dilayani oleh orang lain.
Sekarang REmy sudah berada di Gereja Kuil, tetapi dengan Langdon yang mengancam akan memecahkan cryptex itu, masa depannya masih berada dalam bahaya.
Karena tidak tahan membayangkan akan kehilangan segalanya padahal sudah begitu dekat, REmy memutuskan untuk bertindak keras.
Pistol di tangannya merupakan senjata yang dapat disembunyikan, kaliber kecil, Jframe Medusa, tetapi sangat mampu membunuh dari jarak dekat.
Remy keluar dari persembunyiannya, lalu berjalan memasuki ruang bundar dan mengarahkan pisol itu tepat pada kepala Teabing.
"Orang tua, aku sudah menunggu lama sekali untuk melakukan ini."
Jantung Sir Leigh Teabing betul-betul berhenti melihat REmy mengarahkan sepucuk pistol padanya.
Apa yang dilakukannya? Teabing mengenali Medusa kecil itu sebagai miliknya, yang disimpannya di tempat penyimpanan sarung tangan yang terkunci di limosinnya, untuk keamanannya.
"REmy?"
Teabing terbatuk karena sangat terkejut.
"Ada apa ini?"
Langdon dan Sophie tampak sama tercengangnya. REmy memutar di belakang Teabing dan menyodokkan laras pistolnya ke punggung majikannya, tepat di belakang jantung. Teabing merasa otot-ototnya tercekam karena takut.
"Remy, aku tidak -"
"Akan kujelaskan dengan sederhana,"
Sergah REmy, sambil menatap Langdon melalui bahu Teabing.
"Letakkan batu kunci itu, atau akan kutarik pelatuk pistol ini."
Langdon tampak lumpuh sesaat.
"Batu kunci ini tidak ada artinya untukmu,"
Bentak Langdon.
"Kau tidak mungkin membukanya."
"Orang sombong yang tolol,"
Desis REmy.
"Apakah kau tidak tahu, aku mendengarkan semalam suntuk diskusi kalian tentang puisi itu? Aku mendengar segalanya, dan aku telah membagi formasi itu dengan orang lain. Mereka tahu lebih banyak dari kalian. Kalian bahkan tidak mencarinya di tempat yang benar. Makam yang kalian cari berada di tempat lain!"
Teabing merasa panikApamaksudnya? "Mengapa kau menginginkan Grail?"
Tanya Langdon.
"Untuk menghancurkannya? Sebelum Hari Akhir?"
REmy berseru pada si biarawan.
"Silas, ambil batu kunci dari Pak Langdon."
Bagitu biarawan albino itu bergerak maju, Langdon melangkah mundur, menaikkan batu kunci itu, tampak siap membantingnya ke lantai.
"Aku lebih senang menghancurkannya,"
Kata Langdon.
"Daripada melihatnya berada di tangan yang salah."
Sekarang Teabing merasa sangat ketakutan. Dia dapat melihat pekerjaan yang sudah dilakukan seumur hidupnya menguap begitu saja di depan matanya. Semua mimpinya akan berantakan.
"Robert, jangan!"
Seru Teabing.
"jangan! Yang kau pegang itu Grail! REmy tidak akan menembakku. Kami telah saling mengenal selama sepuluh..."
REmy mengarahkan pistolnya ke langit-langit dan menembakkan Medusanya. Suara ledakannya sangat keras bagi pistol sekecil itu. Suaranya bergema seperti guntur di dalam ruangan batu itu. Semua orang membeku.
"Aku tidak sedang main-main,"
Kata REmy.
"Tembakan berikutnya adalah pada punggungnya. Berikan batu kunci itu pada Silas."
Dengan enggan Langdon mengulurkan cryptex itu.
Silas melangkah maju dan mengambilnya; Mata merahnya berkilauan karena merasa puas akan pembalasannya.
Lalu dia menyimpan cryptex itu di dalam saku jubahnya, kemudian mundur, masih tetap menodong Langdon dan Sophie dengan pistolnya.
Teabing merasa tangan REmy menjepit di sekitar lehernya ketika pelayannya itu mulai melangkah mundur menuju keluar gedung dengan menyeret tuannya.
Pistol REmy masih menempel pada punggung Teabing.
"Lepaskan dia,"
Pinta Langdon.
"Kami bawa Pak Teabing berjalan-jalan,"
Kata REmy, masih berjalan mundur.
"Jika kau menelepon polisi, dia akan mati. Jika ikut carnpur, dia akan mati. Jelas?"
"Bawa aku saja,"
Pinta Langdon lagi. Suaranya serak karena emosi.
"Lepaskan Leigh."
REmy tertawa.
"Aku rasa tidak. Dia dan aku memiliki sejarah yang manis. Lagi pula, mungkin saja dia masih berguna."
Silas juga mundur sekarang, dengan tetap menodongkan pistolnya pada Langdon dan Sophie. Ketika REmy menyeret Teabing ke arah pintu, tongkatnya juga terseret mengikutinya. Suara Sophie tidak bergetar.
"Kau bekerja untuk siapa?"
Pertanyaan itu membuat REmy menyeringai.
"Kau akan terkejut, Mademoiselle Neveu."
Perapian diruang tamu Puri Villete sudah padam, namun Collet masih saja jalan hilir-mudik didepannya begitu dia membaca faks dari Interpol.
Sama sekali tidak seperti yang diharapkannya.
Andre Vernet, menurut catatan resmi adalah seorang warga terhormat.
Tidak punya catatan kejahatan, bahkan tidak pernah menerima tilang parker.
Belajar di sekolah terkemuka dan di Sorbonne, dia lulus dengan cum laude dari fakultas ilmu keuangan internasional.
Interpol mengatakan, nama Vernet sering muncul di media massa, tetapi selalu dalam pemberitaan yang positif.
Tampaknya lelaki itu telah menolong merancang parameter keamanan yang membuat Bank Penyimpanan Zurich menjadi yang terdepan dalam pengamanan elektronik ultramodern.
Pemakaian kartu kredit Vernet menunjukkan minat tingginya pada buku-buku seni, anggur mahal, dan CD musik klasik -paling banyak Brahm---yang dinikmatinya dengan menggunakan sistem stereoHighend yang dibelinya beberapa tahun lalu.
Nol, Collet mendesah.
Satu-satunya bendera merah malam ini dari interpol adalah sekumpulan sidik jari yang tampaknya milik pelayan Teabing.
Kepala penyelidikan PTS membaca laporan itu sambil duduk di kursi nyaman di ruangan itu juga.
Collet menatapnya.
"Ada?"
Penyelidik itu menggerakkan bahunya.
"Sidik jari itu milik REmy Legaludec. Diburu karena kejahatan kecil. Tidak ada yang serius. Tampaknya dia pernah dikeluarkan dari sebuah universitas karena mengakali telepon umum untuk mendapatkan sambungan gratis ... setelah itu dia mencuri kecilkecilan. Pernah melarikan diri dari tagihan rumah sakit untuk perawatan tracheotomy di unit gawat darurat."
Lalu dia menatap Collet sambil tertawa.
"Alergi kacang."
Collet mengangguk.
Ia mengingat sebuah penyelidikan polisi di sebuah restoran yang lupa mencatat pada menunya bahwa resep sambalnya mengandung minyak kacang.
Seorang pelanggan secara tak disangka-sangka telah meninggal dunia karena anaphylactic shock begitu dia menyantap sesendok makanan itu.
"Legaludec mungkin saja tinggal di sini untuk menghindari penangkapan itu."
Penyelidik itu tampak senang.
"Malam keberuntungannya"
Collet mendesah.
"Baiklah, kau sebaiknya mengirimkan ini kepada Kapten Fache."
Penyelidik itu pergi tepat ketika agen PTS lainnya masuk dengan tergesa ke ruangan itu.
"Letnan, aku menemukan sesuatu di gudang."
Dari wajah yang tampak cemas itu, Collet hanya dapat menerka.
"Mayat?"
"Bukan, Pak. Sesuatu yang lebih ..."
Dia ragu.
"Tidak terduga."
Sambil menggosok matanya, Collet mengikuti agen itu keluar menuju gudang.
Ketika mereka memasuki ruangan yang pengap dan tinggi itu, si agen menunjuk pada pusat ruangan.
Disana sekarang tampak ada tangga kayu yang menanjak tinggi ke kasok, menyandar pada birai loteng jerami yang tergantung tinggi di atas mereka.
"Tangga itu tidak ada di sana tadi,"
Kata Collet.
"Memang tidak, Pak. Aku yang memasangnya. Saat kami sedang memeriksa sidik jari di dekat Rolls, aku melihat tangga itu tergeletak di lantai. Aku tidak akan tertarik kalau saja anak tangganya tidak tampak baru terpakai dan berlumpur. Tangga ini kelihatannya sering dipakai. Ketinggian loteng jerami itu sesuai dengan panjang tangga ini, jadi kutegakkan dan kupanjati untuk memeriksa di atas sana."
Mata Collet memanjati anak tangga itu sampai ke loteng jerami.
Ada orang yang ke atas sana secara teratur? Dari bawah sini loteng itu tampak seperti landasan tidak terpakai, namun semua yang ada di sana memang tidak dapat terlihat dari bawah sini.
Seorang agen PTS senior muncul pada puncak anak tangga dan melihat ke bawah.
"Kau pasti ingin melihat ini, Letnan,"
Katanya sambil melambai pada Collet dengan tangannya yang bersarung tangan karet, mengajak Collet untuk ke atas dan melihat.
Collet mengangguk letih, lalu berjalan ke anak tangga terbawah dari tangga tua itu dan mencengkeram anak tangganya.
Tangga itu melancip ke atas; semakin Collet memanjat, semakin menyempit tangga itu.
Ketika dia hampir tiba di puncak, Collet hampir kehilangan pijakannya pada anak tangga yang tipis.
Gudang di bawahnya seperti berputar.
Dia segera memusatkan perhatiannya, lalu melanjutkan panjatannya, sampai akhirnya tiba di atas.
Agen di atasnya mengulurkan tangannya, menawarkan pergelangan tangannya untuk diraih.
Collet meraihnya dan memanjat ke loteng itu dengan kikuk.
"Di sebelah sana,"
Agen PTS itu berkata, sambil menunjuk pada area yang sangat bersih.
"Hanya satu set sidik jari yang ada di sini. Kita akan mendapatkan identitasnya segera."
Collet mempertajam pandangannya melewati area remang-remang ke arah dinding.
Apa-apaan ini? Pada dinding yang jauh dari tempatnya berdiri, terpasang satu set komputer yang besar -dua CPU, video monitor berlayar datar dengan pengeras suara, sederetan hard drive, dan audio console multi saluran yang tampaknya memiliki catu dayanya sendiri.
Mengapa adaorang mau bekerja di tempat yang sangatterpencilseperti ini? Collet bergerak ke peralatan itu.
"Kau sudah memeriksa sistemnya?"
"lni pos mendengarkan."
Collet berputar.
"Penyadapan?"
Agen itu mengangguk.
"Penyadapan yang sangat canggih."
Lalu dia menunjuk pada meja proyek panjang yang tertimbun oleh komponenkomponen eletronik, manual, peralatan, kabel, solder listrik, dan komponen elektronik lainnya.
"Orang ini jelas tahu apa yang dikerjakannya. Banyak dari peralatan ini sama canggihnya dengan peralatan kita juga. Mikrofon mini, selular recharging untuk foto elektrik, chip-chip RAM yang berkapasitas tinggi. Bahkan, dia juga punyahanddrive baru."
Collet kagum.
"Inilah sistem lengkapnya,"
Kata agen itu, sambil memberikan kepada Collet sebuah instalasi yang tak lebih besar daripada sebuah kalkulator kantong.
Kabel sepanjang sepuluh kaki dengan sepotong kertas timah bekas pembungkus wafer yang menempel pada ujungnya tergantung pada alat itu.
"Basisnya merupakan sistem perekaman audio hard disk berkapasitas tinggi dengan batere yang dapat diisi ulang. Sobekan kertas timah pada ujung kabel itu merupakan kombinasi dari microfon dan foto elektrik selular yang dapat diisi ulang."
Collet tahu tentang itu semua.
Mikrofon foto selular yang seperti timah itu telah merupakan terobosan hebat selama beberapa tahun terakhir ini.
Sekarang, sebuah perekam hard disk dapat dilekatkan di belakang sebuah lampu, misalnya, dengan mikrofon timahnya tercetak pada permukaan dasar dan ditata agar sesuai dengan bentuk permukaan itu.
Selama mikrofon itu ditempatkan sedemikian rupa sehingga menerima sinar matahari beberapa jam setiap hari, sel-sel foto akan terus mengisi sistem itu.
Alat penyadap seperti ini dapat mendengarkan selama jangka waktu tak terbatas.
"Metode penerimaan?"
Tanya Collet. Agen itu memberi tanda pada sebuah kabel berpenyekat yang keluar dari komputer, yang menempel pada dinding, melalui lubang di atap gudang.
"Gelombang radio yang sederhana. Antena kecil di atap."
Collet tahu, sistem perekaman seperti ini umumnya ditempatkan di kantor, diaktifkan oleh suara untuk menghemat ruang hard disk, dan merekam percakapan sehari penuh, serta mentransmisikan terpadatkan pada malam hari untuk ditransmisikan, hard drive menghapus semuanya lagi keesokan harinya.
menghindari diri sendiri fail-fail audio yang pendeteksian.
Setelah dan siap melakukan Tatapan Collet bergerak ke rak tempat beberapa kaset audio diletakkan, semuanya diberi catatan tanggal dan nomor.Orang inisangatsibukrupanya.
Lalu Collet menoleh kembali pada agen tadi.
"Kautahu target penyadapannya?"
"Letnan,"
Kata si agen sambil berjalan ke komputer itu dan menampilkan sepotongsoftware.
"ini hal paling aneh."
LANGDON MERASA sangat letih ketika dia dan Sophie melintasi pintu putar di stasiun bawah tanah Gereja Kuil dan bergegas memasuki Labirin terowongan yang jorok dan peron-peron.
Perasaan bersalah merobek-robek Langdon.
AkumelibatkanLeigh,dansekarangdiadalambahayabesar.
Keterlibatan REmy sangat mengejutkan, namun masuk akal.
Siapa pun yang memburu Grail telah mempekerjakan orang dalam.REmypergikerumah Teabinguntukalasanyangsamadengandiriku.
Sepanjang sejarah, siapa yang punya pengetahuan tentang Grail selalu menjadi incaran pencuni dan sekaligus ilmuwan.
Kenyataan bahwa Teabing memang sudah lama menjadi sasaran membuat Langdon merasa tidak terlalu bersalah karena telah melibatkan Teabing.
KitaharusmenemukanLeigh.Segera.
Langdon mengikuti Sophie ke peron di sebelah barat.
Di sana Sophie bergegas menelepon polisi.
Ia mengabaikan peringatan REmy.
Langdon duduk di bangku di dekatnya, merasa sangat menyesal.
"Cara terbaik untuk menolong Leigh,"
Pendapatnya sambil memutar nomor.
"adalah kata Sophie mengulangi melibatkan polisi London segera. Percayalah padaku."
Pada awalnya Langdon tidak setuju pada gagasan ini, tetapi setelah mereka mengatur rencana, pemikiran Sophie mulai tampak masuk akal.
Pada saat sekarang ini, Teabing masih aman.
Walau REmy dan yang lainnya tahu di mana letak makam kesatria itu, mereka mungkin saja membutuhkan pertolongan Teabing untuk memecahkan petunjuk tentang bola itu.
Yang dikhawatirkan Langdon adalah apa yang mungkin terjadi setelah peta Grail ditemukan.
Leighakanmenjadisangattakberdaya.
Jika Langdon ingin mempunyai kesempatan untuk menolong Leigh, atau untuk melihat batu kunci lagi, maka sangat penting untuk menemukan makam itu dulu.CelakanyaREmysudahjauh lebihdulumemulai.
Memperlambat REmy adalah tugas Sophie.
Menemukan makam yang benar adalah bagian Langdon.
Sophie akan membuat REmy dan Silas menjadi buronan polisi London, yang akan memaksa mereka untuk bersembunyi.
Lebih baik lagi, polisi menangkap mereka.
Rencana Langdon sendiri tampak kurang meyakinkan -naik kereta api ke dekat King's College, yang diketahui memiliki database teologi elektronik.
Perlengkapan penelitian mutakhir, begitu Langdon pernah mendengar.
Jawaban cepat pada pertanyaan-pertanyaan sejarah segala agama.
Langdon bertanya-tanya apa yang akan dinyatakan oleh database itu tentang "seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan."
Langdon berdiri dan berjalan hilir mudik, berharap hujan akan segera berhenti. Akhirnya Sophie dapat terhubung dengan polisi London.
"Divisi Snow Hill,"
Kata operator itu.
"Bisa dibantu?"
"Aku melaporkan sebuah penculikan."
Sophie tahu dia harus berbicara singkat.
"Nama?"
Sophie terdiam sejenak.
"Agen Sophie Neveu, Polisi Judisial Prancis."
Tite1 itu langsung berdampak.
"Segera, Bu. Saya akan memanggil seorang detektif untuk berbicara dengan Anda."
Saat sedang menunggu, Sophie mulai bertanya-tanya apakah polisi akan mempercayai penjelasannya tentang penculik-penculik Teabing.
Seorang lelakimengenakantuksedo.
Seberapa mudah mengenali si tersangka? Bahkan jika REmy berganti pakaian, dia ditemani oleh seorang biarawan albino.Tidak mungkin untuk lolos.
Lagi pula, mereka mempunyai sandera dan tidak dapat menggunakan transportasi umum.
Dia juga bertanya-tanya berapa banyak limusin Jaguar panjang yang ada di London.
Sambungan kepada detektif itu terasa sangat lama.
Ayo! Sophie dapat mendengar sambungan itu bersuara klik-klik dan berdesis, seolah sedang dipindahkan.
Lima belas detik berlalu.
Akhirnya seorang lelaki berkata.
"Agen Neveu?"
Sophie terpaku. Dia segera mengenali suara serak itu.
"Agen Neveu,"
Bezu Fache bertanya.
"Kau di mana?"
Sophie tak dapat berkata-kata. Tampaknya Kapten Fache telah meminta operator kepolisian London untuk memberitahunya jika Sophie menelepon.
"Dengar,"
Kata Fache kepada Sophie, dalam bahasa Prancis.
"Aku telah membuat kesalahan besar tadi malam. Robert Langdon tidak bersalah. Segala tuntutan pada dirinya dicabut. Walaupun begitu, kau berada dalam bahaya. Kau harus datang padaku."
Sophie ternganga. Dia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Fache bukanlah jenis orang yang suka meminta maaf untuk apa pun.
"Kau tidak mengatakan padaku,"
Fache melanjutkan.
"bahwa Jacques SauniEre adalah kakekmu. Aku berusaha memaafkan ketidakpatuhanmu, dan kondisi yang pasti sangat menekanmu. Pada saat ini, bagaimanapun juga, kau dan Langdon harus pergi ke polisi London terdekat untuk perlindungan."
Dia tahu aku di London? Apa lagi yang diketahui Fache? Sophie mendengar suara bor atau mesin lainnya pada latar belakang. Dia juga mendengar suara klik-klik yang aneh pada saluran telepon.
"Apakah kau melacak telepon ini, Kapten?"
Suara Fache terdengar tegas sekarang.
"Kau dan aku harus bekerja sama, Agen Neveu. Kita berdua banyak kehilangan dalam kasus ini. Aku membuat kesalahan penilaian tadi malam, dan jika kesalahan itu menyebabkan kematian seorang profesor Amerika dan seorang kriptolog DCPJ, karierku akan berakhir. Aku sudah berusaha untuk menarikmu kembali sejak beberapa jam yang lalu. Sebuah tiupan angin hangat berlalu melintasi stasiun ketika sebuah kereta api mendekat dengan sedikit gemuruh. Sophie sangat ingin menumpang kereta api itu. Langdon juga berpendapat demikian; dia sekarang mulai bersiap-siap dan mendekati Sophie.
"Orang yang harus kaucari adalah REmy Lega1udec,"
Kata Sophie.
"Dia pelayan Teabing. Dia baru saja menculik Teabing di dalam Gereja Kuil dan..."
"Agen Neveu!"
Fache berteriak ketika kereta api itu menggemuruh memasuki stasiun.
"Ini tidak dapat dibicarakan dalam telepon umum. Kau dan Langdon harus datang sekarang. Demi keselamatanmu sendiri. Ini perintah langsung!"
Sophie menutup telepon dan bergegas bersama Langdon memasuki kereta api.
CABIN PESAWAT Hawker milik Teabing yang mewah itu sekarang tertutup dengan serutan besi dan tercium bau udara yang mampat dan bau bensin.
Bezu Fache telah mengusir semua orang dan sekarang dia duduk sendirian dengan minumannya dan kotak kayu berat yang ditemukannya dalam lemari besi Teabing.
Fache mengusap-usap ukiran Mawar dengan jemarinya, lalu mengangkat tutup kotak berhias itu.
Di dalamnya dia menemukan sebuah silinder dari batu dengan lempengan-lempengan berhuruf.
Kelima lempengan itu diatur menyusun kata Sofia.
mengangkat silinder itu Fache menatap lama pada kata itu, kemudian dari tempat penyimpanannya yang berlapis dan memeriksanya inci per inci.
Lalu, sambil menarik kedua ujungnya perlahanlahan, Fache membuka salah satu tutupnya.
Silinder itu kosong.
Fache meletakkan silinder itu kembali pada kotaknya.
Dari jendela jet dalam hanggar itu, dia menatap kosong ke luar.
Dia merenungkan percakapan singkatnya dengan Sophie, juga informasi yang didapatnya dari PTS di Puri Villette.
Suara teleponnya mengejutkannya dari lamunannya.
Itu dari operator DCPJ.
Petugas itu meminta maaf.
Presiden Bank Penyimpanan Zurich telah menelponnya berulang-ulang, dan walaupun dia sudah diberi tahu beberapa kali bahwa Kapten sedang berada di London untuk urusan pekerjaan, presiden itu tetap menelepon.
Dengan ketus, Fache mengatakan kepada si petugas untuk menyambungkannya dengan presiden itu.
"Monsieur Vernet,"
Kata Fache, sebelum presiden itu berbicara.
"Saya minta maaf karena tidak menelepon Anda lebih awal. Saya sangat sibuk. Seperti janji saya, nama bank Anda tidak muncul di media. Jadi, apa tepatnya yang Anda khawatirkan?"
Suara Vernet terdengar cemas saat dia menceritakan kepada Fache bagaimana Langdon dan Sophie Neveu telah mengeluarkan sebuah kotak kayu dari bank dan membujuk Vernet untuk membantu mereka melarikan diri.
"Lalu ketika saya mendengar di radio bahwa mereka adalah penjahat,"
Kata Vernet.
"saya berhenti dan meminta kotak kayu itu kembali, tetapi mereka menyerang saya dan mencuri truk itu."
"Anda mengkhawatirkan kotak kayu itu,"
Kata Fache, sambil menatap ukiran Mawar di atas tutupnya dan sekali lagi dengan lembut membuka tutup kotak itu untuk mengeluarkan silinder putih di dalamnya.
"Dapat Anda katakan apa isi kotak itu?"
"Isinya tidak penting,"
Seru Vernet.
"Saya hanya mengkhawatirkan reputasi bank saya. Kami belum pernah dirampok. Itu juga akan menghancurkan kami jika saya tidak dapat mengembalikan kotak itu atas nama klien saya."
"Anda mengatakan bahwa Agen Neveu dan Robert Langdon memiliki password dan juga kuncinya. Apa yang membuat anda menyebut mereka mencuri kotak itu?"
"Mereka membunuh orang tadi malam. Termasuk kakek Sophie Neveu. Kunci dan kata kunci itu pastilah telah mereka rampas dari pemiliknya."
"Pak Vernet, orang-orang saya telah memeriksa latar berlakang Anda dan minat Anda. Anda jelas seorang yang bermartabat dan berbudi. Saya dapat bayangkan, Anda adalah orang terhormat, seperti juga saya. Saya berjanji sebagai perugas Polisi Judisial, bahwa kotak Anda, bersama dengan reputasi bank Anda, berada dalam tangan teraman."
TINGGI DI atas loteng jerami di Puri Villette, Collet menatap komputer itu dengan kagum.
"Sistem ini menyadap semua percakapan di seluruh tempat ini?"
"Ya,"
Kata Agen itu.
"Tampaknya data-data telah dikumpulkan selama lebih dari setahun ini."
Tanpa berkata-kata, Collet membaca daftar itu lagi.
COLBERT SOSTAQUE -Kepala Penasihat Konstitusional JEAN CHAFFEE -Kurator, Museum Jeu de Paume EDOUARD DESROCHERS -Pengarsip Senior, Perpustakaan Mitterrand JACQUES SAUNIERE -Kurator, Museum Louvre MICHEL BRETON -Kepala DAS (Badan Intelijen Prancis) Agen itu menunjuk pada layar monitor.
"Nomor empat merupakan yang jelas harus kita perhatikan."
Collet mengangguk dengan kosong. Dia telah langsung melihatnya. Jacques Sauniere telah disadap. Dia melihat sisa daftar itu lagi. Bagaimana orang dapat menyadap orang-orang penting ini? "Pernah dengar soal fail audio?"
"Beberapa. Ini yang terbaru."
Agen itu kemudian mengklik beberapa tombol komputer. Pengeras suaranya gemerisik hidup. Lalu terdengar suara.
"Kapten, seorang agen dari Departemen Kriptografi tiba."
Collet tidak dapat mempercayai telinganya.
"Itu aku! Itu suaraku"
Collet teringat, ketika itu dia duduk di meja kerja SauniEre dan menghubungi Fache di Galeri Agung untuk memperingatkan akan datangnya Sophie Neveu. Agen itu mengangguk.
"Banyak dari penyelidikan kita di Louvre malam itu akan terdengar jika ada seseorang yang tertarik juga."
"Kau sudah mengirim orang untuk membersihkan penyadapan ini?"
"Tidak perlu. Aku tahu persisnya di mana."
Agen itu pergi ke sebuah tumpukan catatan lama dan cetak biru di atas meja kerja. Dia memilih selembar dan memberikannya kepada Collet.
"Tampak pernah melihat?"
Collet kagum.
Dia sedang memegang selembar fotokopi dari sehelai diagram skematis kuno, yang digambar oleh sebuah mesin kuno.
Dia tidak dapat membaca tulisan tangan bahasa Italia, namun dia tahu apa yang sedang dilihatnya.
Sebuah model untuk sebuah patung kesatria Prancis zaman abad pertengahan yang dapat berbicara.
KesatriayangberdiridiatasmejakerjaSauniEre! Mata Collet bergerak ke arah tepi.
Di situ seseorang telah menuliskan catatan pada foto kopi dengan tinta merah.
Catatan itu dalam bahasa Prancis dan tampaknya merupakan gagasan kasar tentang cara terbaik untuk menyisipkan alat sadap ke dalam patung kesatria itu.
SILAS DUDUK di bangku penumpang didalam limusin Jaguar yang diparkir di dekat Gereja Kuil.
Tangannya terasa lembab pada batu kunci yang dipegangnya saat dia menunggu Remy selesai mengikat dan menyumbat Teabing di bagian belakang mobil dengan tali yang ditemukannya di bagasi.
Akhirnya, REmy keluar dari bagian belakang mobil.
Ia berjalan mengitari limo itu dan masuk ke bangku pengemudi di samping Silas.
"Aman?"
Tanya Silas. REmy tertawa. Dia menggoyangkan kepalanya untuk mengusir air hujan dari rambutnya dan melihat dari bahunya, melalui partisi yang terbuka, pada Leigh Teabing yang meringkuk di bagian belakang mobil, hampir tidak tampak di kegelapan.
"Dia tidak akan pergi ke mana-mana."
Silas dapat mendengar teriakan tersumbat Teabing dan dia kemudian sadar bahwa Remy menggunakan pita berperekat yang digunakan untuk menyumbat mulutnya semalam.
"Ferme ta gueule!"
Teriak REmy melewati bahunya, menyuruh Teabing untuk diam.
Tangannya meraih sebuah panel pengendali pada dasbor yang mewah itu, lalu dia menekan sebuah tombol.
Sebuah partisi kaca tak tembus cahaya naik di belakang mereka, menutup bagian belakang mobil.
Teabing menghilang, dan suaranya juga tak terdengar lagi.
REmy mengerling pada Silas.
"Aku sudah mendengar rengekan seperti itu cukup lama."
Beberapa menit kemudian, ketika limo Jaguar yang panjang itu meluncur dengan cepat di jalan, ponsel Silas bedering. Guru.Dia menjawabnya dengan gembira.
"Halo?"
"Silas,"
Aksen Prancis Guru yang akrab di telinganya berkata.
"Aku senang mendengar suaramu. Ini artinya kau selamat."
Silas juga sama nyamannya mendengar suara Guru. Sudah berjam-jam, dan operasi itu telah melenceng dengan liar tentu saja. Sekarang, tampaknya operasi itu sudah kembali ke jalurnya lagi.
"Aku mendapatkan batu kunci itu."
"Ini berita besar,"
Kata Guru kepada Silas.
"REmy bersamamu?"
Silas heran mendengar Guru menggunakan nama Remy.
"Ya, Remy membebaskan aku."
"Seperti yang kuperintahkan kepadanya. Aku minta maaf karena kau harus menderita terlalu lama akibat penangkapan itu."
"Ketidaknyamanan jasmani tidak ada artinya. Yang penting batu kunci itu milik kita sekarang."
"Ya. Aku membutuhkannya untuk segera diantar. Waktu adalah intinya."
Silas sangat senang bisa bertatap muka dengan Guru akhirnya.
"Ya, Pak, aku akan merasa terhormat."
"Silas, aku ingin REmy yang mengantarkannya padaku."
REmy? Silas tertunduk. Setelah segala yang dia kerjakan untuk Guru, dia percaya bahwa dialah yang akan menyerahkan batu kunci itu. Guru lebih menyukaiREmy? "Aku merasakan kekecewaanmu,"
Kata Guru.
"Itu berarti kau tidak mengerti maksudku."
Guru merendahkan suaranya menjadi bisikan.
"Kau harus percaya bahwa aku sesungguhnya lebih suka menerima batu kunci darimu -seorang lelaki pengikut Tuhan, bukan seorang kriminal -tetapi REmy harus dilibatkan. Dia telah membangkang kepadaku dan membuat kesalahan besar sehingga membahayakan misi kita."
Silas merasa tenang dan mengerling pada REmy. Menculik Teabing bukanlah bagian dari rencana, dan memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap Teabing merupakan masalah baru.
"Kau dan aku adalah pengikut Tuhan,"
Bisik Guru.
"tujuan kita harus terlaksana."
Lalu Guru terdiam, lama.
"Hanya karena alasan inilah aku meminta Remy untuk mengantarkan batu kunci kepadaku. Kau mengerti?"
Silas merasakan kemarahan Guru dalam suaranya dan heran juga kenapa Guru tidak mengerti.REmyterpaksamemperlihatkanwajahnya, Silas berpikir. Dia melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia menyelamatkan batu kunci.
"Aku mengerti.
"
Akhirnya Silas mengatakannya.
"Bagus. Demi keselamatanmu sendiri, kau harus menghindar dari jalanan, segera. Polisi akan segera mencari limusin itu, dan aku tidak mau kau tertangkap. Opus Dei mempunyai tempat tinggal di London, bukan?"
"Tentu saja."
"Kau akan diterima dengan baik di sana?"
"Seperti saudara."
"Kalau begitu, pergilah ke sana dan bersembunyi. Aku akan meneleponmu begitu aku telah memiliki batu kunci dan telah mengatasi masalah baruku."
"Guru ada di London?"
"Kerjakan apa yang kukatakan, dan segalanya akan beres."
"Ya, Pak."
Guru mendesah, seolah sangat menyesali apa yang harus dia kerjakan sekarang.
"Waktunya aku berbicara dengan REmy."
Silas menyerahkan ponselnya kepada REmy, dan merasa ini adalah telepon terakhir yang akan diterima REmy.
Begitu REmy menerima telepon itu, dia tahu bahwa biarawan malang dan sinting ini tidak tahu sama sekali nasib apa yang menunggunya sekarang sehingga dia mau melaksanakan tugasnya.
Gurumemanfaatkanmu,Silas.
Danuskupmumerupakanbidak.
REmy masih mengagumi kemampuan Guru membujuk orang lain.
Uskup Aringarosa telah mempercayakan segalanya kepadanya.
Uskup telah dibutakan oleh keputusasaannya sendiri.
Aringarosa terlalu bersemangat untuk mempercayai Guru.
Walau REmy tidak terlalu menyukai Guru, dia merasa bangga karena mendapatkan kepercayaan dari Guru dan menjadi orang penting yang dapat menolongnya.Akusekarangberhakmendapatkanupahku.
"Dengarkan baik-baik,"
Kata Guru.
"Antarkan Silas ke rumah tinggal Opus Dei. Turunkan dia dari mobil beberapa blok dari situ. Lalu pergi ke taman St. James's. Tepat di depan Gedung Parlemen dan Big Ben. Kau dapat memarkir limusin itu di Horse Guards Parade. Kita akan bicara di sana."
Dan komunikasi pun terputus.
KING'S COLLEGE, didirikan oleh Raja George IV pada tahun 1829, menempatkan Fakultas Teologi dan Studi Keagamaannya berhadapan dengan Parlemen di atas tanah pemberian Raja.
Departemen Agama King's College bangga bukan hanya karena memiliki pengalaman pengajaran dan penelitian selama 150 tahun, namun juga karena mendirikan Institut Penelitian dalam Teologi Sistematis pada tahun 1982, yang memiliki perpustakaan elektronik yang terlengkap dan terdepan di dunia untuk penelitian keagamaan.
Langdon masih merasa gemetar ketika dia dan Sophie datang di saat hujan dan masuk ke perpustakaan.
Seperti dijelaskan oleh Teabing, ruang penelitian utama merupakan ruang segi delapan yang besar dan didominasi oleh meja bundar raksasa yang dulu pernah digunakan dengan nyaman oleb Raja Arthur bersama kesatria-kesatrianya.
Namun sekarang meja bundar itu ditimbuni oleh dua belas monitor-komputer datar.
Di ujung ruangan, seorang petugas perpustakaan baru saja menuangkan teh dari tekonya dan bersiap menjalankan tugasnya hari ini.
"Selamat pagi,"
Kata petugas perpustakaan itu dengan ceria, sambil meninggalkan tehnya dan berjalan menyambut Sophie dan Langdon.
Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Roro Centil Dendam Dan Cinta Gila Seorang Pendekar Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat