Death Du Jour 5
Kathy Reichs Death Du Jour Bagian 5
Tempurung kepiting berwarna cokelat yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.
Seekor bintang laut, mata dan organnya digerogoti kepiting dan burung camar.
Aku berlari sampai paru-paruku serasa terbakar.
Kemudian, aku terus berlari lagi.
Saat tiba di jalan papan, kakiku yang gemetaran hampir tidak bisa mendaki tangga.
Tetapi, di dalam, aku merasa segar kembali.
Mungkin karena aroma ikan mati, atau bahkan kepiting itu.
Mungkin aku telah meningkatkan kadar endorfi n dalam darahku.
Yang jelas, aku tidak lagi murung menghadapi harihari di hadapanku.
Kematian terjadi setiap menit setiap hari di setiap tempat di dunia ini.
Itu adalah bagian dari daur kehidupan dan itu termasuk di Pulau Murtry.
Aku akan menggali mayat itu dan mengirimkannya ke pihak yang berwajib.
Itu adalah tugasku.
Saat aku masuk kembali ke kapal, Katy masih tidur.
Kuseduh kopi, mandi, berharap suara pompa tidak akan mengusiknya.
Saat sudah berpakaian, kupanggang dua muffi n Inggris, mengolesnya dengan mentega dan selai blackberry, dan membawanya ke ruangan tidur.
Teman-teman pernah mengatakan kepadaku bahwa pengerahan tenaga yang berlebihan akan meningkatkan depresi.
Tapi, tidak untukku.
Olahraga membuatku ingin memanjakan tubuhku dengan makanan.
Kuhidupkan TV, mengganti-ganti saluran, dan memilih salah satu dari sekian banyak saluran para penyebar agama yang sedang menyajikan ceramah Minggu.
Kudengarkan nasihat yang dilontarkan Pendeta Eugene Highwater saat Katy tersaruk-saruk masuk ruangan dan menghenyakkan dirinya di sofa.
Wajahnya tampak kusut dan tembam karena tidur, dan rambutnya mirip rumput laut yang kutemukan di pantai tadi.
Dia memakai kaus Hornets yang menggantung sampai ke lututnya.
"Selamat pagi. Kamu terlihat cantik hari ini."
Tidak ada tanggapan dari putriku.
"Kopi?"
Dia mengangguk, mata masih terpejam. Aku beranjak ke dapur, menuangkan secangkir dan membawanya untuk putriku. Katy bangkit dengan posisi setengah duduk, pelan-pelan membuka kelopak matanya dan meraih cangkir kopi itu.
"Aku terjaga sampai jam dua, membaca buku."
Dia menghirup, memegang cangkir itu saat berdiri dan melipat kedua kaki dan bersimpuh, gaya India. Matanya yang baru terbuka menatap Pendeta Highwater.
"Kenapa Mama mendengarkan ocehan itu?"
"Mama berusaha memahami isi ceramahnya."
"Kirim saja cek dan dia akan mengirimkan ceramahnya dengan lengkap kepada Mama."
Kebaikan hati bukanlah salah satu sifat yang dimiliki anakku di pagi hari.
"Siapa orang gila yang menelepon subuh tadi?"
Ataupun kesopanan.
"Sam."
"Oh. Dia perlu apa?"
"Katy, sesuatu telah terjadi kemarin yang belum Mama ceritakan kepadamu."
Matanya tampak bangun sepenuhnya dan menatapku.
Aku agak ragu, tetapi kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi kemarin.
Sambil menghindari hal-hal teperinci, kuceritakan kondisi mayat itu dan bagaimana 3-7 telah menuntun kami ke tempat itu, lalu menceritakan pula percakapan telepon dengan Sam.
"Jadi, Mama akan kembali ke sana hari ini?"
Dia mengangkat cangkir itu ke mulutnya.
"Ya. Dengan koroner dan tim dari kantor sheriff. Sam menjemput Mama nanti pukul sepuluh. Mama minta maaf karena harus membatalkan rencana kita hari ini. Tentu saja kamu boleh ikut dengan kami, tapi Mama mengerti kalau kamu tidak mau."
Untuk beberapa saat lamanya dia tidak berkata apa-apa. Pendeta di layar TV terus bicara tentang Yesus.
"Mereka sudah tahu siapa mayat itu?"
"Sheriff memperkirakan korban adalah anggota gembong narkoba. Gembong yang menggunakan sungai dan jalur di sini untuk menyelundupkan barangbarang itu. Dia memperkirakan ada transaksi yang gagal dan seseorang akhirnya terbunuh."
"Apa yang akan Mama lakukan di sana?"
"Kami akan menggali mayat itu, mengumpulkan contoh, dan memotretnya."
"Bukan, bukan, maksudku, jelaskan dengan teperinci apa yang akan Mama lakukan. Aku mungkin bisa menggunakannya dalam makalahku atau entah apa."
"Setiap langkahnya?"
Dia mengangguk dan bersandar ke bantalan sofa.
"Semuanya cukup rutin. Kami akan membersihkan tumbuhan di sekitarnya, kemudian menyiapkan petak-petak untuk gambar dan pengukuran."
Ruang bawah tanah di St-Jovite muncul di kepalaku.
"Sesudah selesai mengumpulkan contoh di permukaan tanah, Mama akan membuka kuburan itu. Tim penggalian akan menggali selapis demi selapis. Sepertinya penggalian seperti itu tidak akan dibutuhkan pada kasus ini. Kalau ada orang menggali sebuah lubang, menjatuhkan mayat, dan menutupinya, kemungkinan tidak akan ada lapisan tanah. Tapi, Mama akan menjaga satu sisi agar tetap bersih sehingga Mama akan mendapat profi Inya saat Mama turun ke lubang kuburan itu. Dengan begitu, Mama akan bisa melihat apakah ada bekas-bekas alat penggali di dalam tanah."
"Bekas-bekas alat penggali?"
"Sebuah sekop atau alat penyodok yang mungkin meninggalkan bekas di dalam tanah. Mama belum pernah melihatnya, tapi beberapa rekan Mama bersumpah pernah melihatnya. Katanya kita bisa melihat bekas itu, kemudian membuat cetakannya dan mencocokkannya dengan alat yang dicurigai. Yang pernah Mama lihat adalah bekas jejak kaki di dasar kuburan, khususnya bila banyak tanah liat dan endapan lumpur. Mama pasti akan mencari jejak seperti itu."
"Jejak orang yang menggali kuburan itu?"
"Ya. Saat lubang itu mencapai kedalaman tertentu, si penggali mungkin melompat ke dalamnya dan bekerja dari bawah sana. Bila demikian, dia akan meninggalkan jejak sepatu. Mama juga akan mengambil contoh tanah. Kadangkadang, tanah dari dalam kuburan bisa dicocokkan dengan kotoran yang ditemukan pada tersangka."
"Atau di lantai lemarinya."
"Tepat sekali. Dan Mama akan mengumpulkan serangga."
"Serangga?"
"Kuburan ini akan dipenuhi serangga. Pertama, kuburan itu terlalu dangkal dan burung pemakan bangkai serta rakun sudah menggali sebagian tubuh mayat itu. Lalat sekarang sedang berpesta di sana. Mereka akan berguna untuk menentukan PMI."
"PMI?"
"Postmortem interval. Selang waktu sejak orang itu meninggal."
"Bagaimana caranya?"
"Ahli entomologi telah meneliti serangga pemakan bangkai, kebanyakan lalat dan kumbang. Ter nyata spesies yang berbedabeda akan tiba pada mayat dalam urutan yang selalu sama, kemudian masing-masing akan melalui daur hidup yang sudah bisa diramalkan. Beberapa spesies lalat akan tiba dalam waktu beberapa menit. Yang lainnya akan muncul setelah itu. Lalat dewasa akan bertelur, kemudian telur itu akan menetas menjadi larva. Itulah yang disebut belatung, larva lalat."
Katy meringis.
"Setelah beberapa waktu lamanya, larva itu akan meninggalkan mayat tersebut dan menyelubungi dirinya dengan cangkang luarnya yang dinamakan kepompong atau pupa. Akhirnya, mereka akan menetas menjadi lalat dewasa dan terbang untuk memulai daur hidup itu kembali dari awal."
"Kenapa semua serangga itu tidak datang pada saat yang bersamaan?"
"Spesies yang berbeda memiliki aturan main yang berbeda. Ada serangga yang datang untuk mengunyah mayat. Serangga lainnya lebih suka makan telur lalat dan larva para pendahulunya."
"Jijik banget."
"Semua orang punya tugas sendiri-sendiri."
"Apa yang akan Mama lakukan dengan serangga itu?"
"Mama akan mengumpulkan contoh larva dan cangkang pupa, dan berusaha menangkap beberapa ekor serangga dewasa. Tergantung pada keawetan mayat itu, Mama juga mungkin akan menggunakan alat untuk mengukur suhunya. Saat belatung terbentuk, mereka bisa menaikkan suhu internal mayat dengan cukup berarti. Itu juga akan berguna untuk menentukan perkiraan PMI."
"Kemudian apa?"
"Mama akan menyimpan semua serangga dewasa dan sebagian dari larva di dalam cairan alkohol. Larva sisanya akan ditempatkan dalam sebuah kotak bersama hati dan vermikulit. Ahli entomologi akan mengembangbiakkan larva itu sehingga menetas dan mengidentifi kasi serangga jenis apakah mereka."
Aku bertanya dalam hati apakah Sam akan muncul dengan membawa jaring, wadah es krim, vermikulit, dan alat pengukur suhu di hari Minggu pagi seperti ini.
Belum lagi ayakan, sekop kecil, dan berbagai peralatan penggalian yang kuminta.
Tapi, itu urusannya.
"Bagaimana dengan mayatnya?"
"Tergantung kondisinya. Kalau masih utuh, Mama cukup mengangkatnya dan memasukkanya ke dalam kantong mayat. Kalau sudah tinggal tulang, agak susah karena Mama harus melakukan perhitungan tulang untuk memastikan bahwa semua tulangnya sudah terkumpul."
Dia memikirkan hal itu.
"Skenario yang paling bagus yang bagaimana?"
"Sehari penuh."
"Skenario yang paling buruk?"
"Lebih lama dari satu hari."
Dengan mengerutkan dahi, dia mengelus rambut dengan jari-jemarinya, kemudian mengikatnya di belakang leher.
"Mama pergi saja ke Murtry. Aku akan tinggal di sini, lalu minta dijemput untuk pergi ke Hilton Head."
"Temanmu tidak keberatan menjemput kamu lebih awal?"
"Tidak. Mereka sudah dijalan."
"Pilihan yang bagus."
Dan aku bersungguhsungguh.
Semuanya terjadi persis seperti apa yang kuungkapkan kepada Katy, tetapi dengan satu variasi besar.
Ternyata ada stratigrafi , lapisan tanah.
Di bawah mayat berwajah kepiting itu, dengan sangat terkejut kutemukan sesosok mayat lagi.
Ia tergeletak di lubang berukuran satu meter lebih, wajah menghadap ke bawah, lengan terlipat di ba-wah perutnya, dengan sudut dua puluh derajat dari mayat di atasnya.
Kedalaman memberikan keuntungan.
Walaupun mayat di atas telah meranggas menjadi tulang dan daging yang masih menempel, mayat yang di bawah masih mengandung cukup banyak daging dan isi perut yang sudah berupa cairan kental.
Aku bekerja sampai hari gelap, dengan berhatihati mengayak setiap partikel kotoran, meraih tanah, tumbuhan, dan contoh serangga, dan memindahkan mayat itu ke kantongnya.
Detektif dari kantor sheriff merekam semua itu dengan video serta mengambil foto.
Sam, Baxter Colker, dan Harley Baker mengamati dari kejauhan, sesekali memberi komentar atau melangkah maju untuk bisa melihat lebih jelas lagi.
Deputi memeriksa hutan di sekelilingnya dengan anjing dari Kantor Sheriff yang dilatih khusus untuk mengendus bau pembusukan.
Kim mencaricari bukti fi sik.
Semuanya nihil.
Kecuali kedua mayat itu, kami tidak menemukan apa-apa lagi.
Korban telah ditelanjangi dan dijatuhkan ke dalam lubang, semua barang yang bisa menjadi tanda pengenal telah direnggut.
Walaupun aku mengamati berbagai hal teperinci dengan sangat teliti, posisi tubuh atau apa pun yang kuteliti di dalam lubang kuburan itu tidak menunjukkan tanda apakah kedua mayat itu dikuburkan pada saat yang bersamaan atau mayat yang di atas dikuburkan beberapa saat setelah mayat yang di bawahnya.
Waktu menunjukkan hampir pukul delapan saat Baxter Colker membanting pintu mobil van pengangkut dan menguncinya.
Koroner, Sam, dan aku berkumpul di sisi jalan, di atas dermaga tempat kami menambatkan kapal.
Colker terlihat seperti boneka berdasi kupukupu dan jas yang rapi, celananya ditahan dengan sabuk yang dinaikkan jauh di atas pinggangnya.
Walaupun Sam telah mengingatkanku tentang betapa rapinya koroner Beaufort County, aku tidak siap menghadapi pakaian yang dikenakannya untuk acara penggalian itu.
Entah pakaian macam apa yang dikenakan orang itu kalau dia ke pesta makan malam.
"Nah, sekarang semua sudah beres,"
Ujarnya sambil mengelap tangannya dengan sapu tangan. Ratusan pembuluh darah kecil menonjol dan menyatu di pipinya, membuat wajahnya sedikit membiru. Dia menoleh kepadaku.
"Kita bertemu di rumah sakit besok?"
Terdengar lebih mirip dengan pernyataan daripada sebuah pertanyaan.
"Lho. Tunggu dulu. Bukankah semua kasus ini akan dilimpahkan kepada ahli patologi forensik di Charleston?"
"Ya, memang, aku bisa mengirimkan kasus ini ke departemen medis di kampus, Nyonya, tapi aku tahu apa yang akan dikatakan para pria terhormat di sana kepadaku."
Colker menyapaku dengan sebutan "nyonya"
Sepanjang hari.
"Axel Hardaway maksudmu?"
"Ya, Nyonya. Dan, Dr. Hardaway akan mengatakan kepadaku bahwa aku membutuhkan seorang ahli antropologi karena dia tidak tahu apa-apa tentang tulangbelulang. Itulah yang akan dikatakannya kepadaku. Dan menurut yang kutahu, Dr. Jaffer, ahli antropologi yang kami miliki, sedang berhalangan. Nah, mau dikemanakan lagi orangorang malang ini?"
Dia melayangkan tangannya yang kurus ke arah mobil jenazah.
"Tidak peduli siapa yang melakukan analisis tulang, kamu pasti ingin melakukan autopsi penuh atas mayat kedua."
Sesuatu bergerak di sungai, memecahkan cahaya bulan menjadi ribuan riak kecil.
Embusan angin semakin menguat dan aku bisa mencium bau hujan di udara.
Colker mengetuk sisi mobil van dan sebuah tangan muncul di jendela, melambaikannya, dan mobil itu pun melaju pergi.
Colker memerhatikannya untuk beberapa saat lamanya.
"Kedua mayat itu akan menginap di Beaufort Memorial malam ini karena ini hari Minggu. Sementara itu, aku akan menghubungi Dr. Hardaway dan menanyakan bagaimana pendapatnya. Bolehkah aku bertanya, Anda akan menginap di mana, Nyonya?"
Saat kukatakan di mana, sheriff menghampiri kami.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Anda, Dr. Brennan. Anda telah melakukan pekerjaan yang bagus tadi."
Baker sekitar 30 cm lebih tinggi dari si koroner, dan berat Sam serta Colker bila digabungkan masih tidak mampu mengalahkan berat tubuh si sheriff.
Di bawah kemeja seragamnya, dada dan lengan sheriff terlihat seakan terbuat dari besi.
Wajahnya tirus, kulitnya berwarna cokelat tua.
Harley Baker terlihat seperti seorang penantang juara dunia dan berbicara seperti lulusan Harvard.
"Terima kasih, Sheriff. Detektif dan deputi Anda sangat membantu."
Ketika kami berjabat tangan, tanganku terlihat lebih pucat dan ramping dalam genggamannya. Cengkeraman tangannya bisa menghancurkan batu granit.
"Terima kasih lagi. Aku akan bertemu dengan Anda dan Detektif Ryan besok. Dan, aku akan mengurus semua serangga Anda dengan baik."
Aku dan Baker telah mendiskusikan serangga itu dan aku memberikan nama ahli entomologi yang kukenal kepadanya.
Kujelaskan cara untuk mengirimkannya dan bagaimana cara menyimpan contoh tanah dan tumbuhannya.
Semuanya sekarang dalam perjalanan menuju kantor sheriff di bawah pengawasan detektif Kantor Sheriff.
Baker berjabat tangan dengan Colker dan menepuk bahu Sam dengan sikap bersahabat.
"Aku yakin akan melihat wajah jelekmu besok,"
Ujarnya kepada Sam saat berjalan pergi.
Satu menit kemudian, mobil patrolinya melewati kami menuju Beaufort.
Aku dan Sam mengendarai mobil menuju Melanie Tess, berhenti sejenak untuk membeli makanan di tengah perjalanan.
Kami tidak banyak bicara.
Aku bisa mencium aroma kematian di kemeja dan rambutku, dan ingin segera mandi, makan, dan terjatuh ke dalam kondisi koma selama delapan jam.
Sam mungkin ingin aku segera keluar dari mobilnya.
Pada pukul sembilan lewat empat puluh lima menit, rambutku sudah dibungkus handuk dan aku mencium wangi pelembap White Diamond.
Aku sedang mengangkat kotak makananku ketika Ryan me nelepon.
"Kamu di mana?"
Tanyaku, sambil memencet saus ke atas kentang gorengku.
"Di sebuah tempat kecil yang memesona bernama Lord Carteret."
"Ada yang salah dengan tempat itu?"
"Tidak ada lapangan golf."
"Kita akan bertemu di kantor sheriff jam sembilan besok."
Kucium bau kentang goreng itu.
"Jam nol sembilan ratus, Dr. Brennan. Kamu lagi makan apa?"
"Roti lapis salami."
"Jam sepuluh malam begini?"
"Hari ini benarbenar sibuk."
"Aku juga bukannya tidak ada kesibukan."
Kudengar suara korek api, kemudian embusan napas.
"Tiga penerbangan, kemudian mengemudi dari Savannah menuju Tara, dan aku bahkan tidak bisa menghubungi sheriff. Dia keluar sepanjang hari mengurus sesuatu dan tidak ada yang mau mengatakan di mana dia berada. Sangat rahasia. Dia dan Bibi Bee mungkin sedang menyamar untuk CIA."
"Sheriff Baker cukup baik."
Kuseruput kubis kuah.
"Kamu mengenalnya?"
"Aku bersamanya sepanjang hari ini."
Roti jagung.
"Suara kunyahanmu terdengar lain."
"Roti jagung."
"Apa maksudnya roti jagung?"
"Kalau kamu mau menyumbang uang, aku akan membelikannya untukmu besok."
"Asyik. Apa sih itu?"
"Makanan dari jagung yang dibakar."
"Apa yang kamu dan Baker lakukan sepanjang hari?"
Kuceritakan kegiatan penggalian mayat itu.
"Dan, Baker menduga ada keterlibatan geng narkoba?"
"Ya. Tapi, aku tidak sependapat dengannya."
"Kenapa tidak?"
"Ryan, aku lelah sekali dan Baker mengharapkan kedatangan kita pagi-pagi sekali. Aku akan bertemu denganmu besok. Apa kamu bisa menemukan sendiri Marina Pulau Lady?"
"Tebakanku yang pertama pasti marina itu ada di Pulau Lady 'kan?"
Kuberikan arahan kepadanya, lalu menutup gagang telepon.
Kemudian, kuselesaikan makan malamku dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidur, tanpa memakai piyama.
Aku tidur telanjang dan seperti batu cadas, tidak memimpikan sesuatu yang bisa kuingat, selama delapan jam.[] 18
".Pi Pada pukul delapan hari Senin pagi, lalu lintas c ukup padat di Jembatan Woods Memorial. Langit mendung, sungai tampak berombak hijau. Berita di radio mobil meramalkan hujan rintik-rintik dan suhu sekitar dua puluh dua derajat Celcius pada hari itu. Ryan terlihat aneh dengan celana dan jaket wolnya, seperti makhluk dari dunia es yang terempas ke daratan tropis. Dia sudah mulai berkeringat. Saat kami menyeberangi jembatan menuju Beaufort, kujelaskan yurisdiksi di county ini. Kujelaskan bahwa Kantor Kepolisian Beaufort hanya memiliki kewenangan di dalam batas kota, dan menceritakan tiga kotamadya lainnya, Port Royal, Bluffton, dan Hilton Head, masing-masing memiliki kantor polisi sendiri.
"Bagian Beaufort County yang lain tidak termasuk ke dalamnya, dan menjadi wilayah kewenangan Sheriff Baker,"
Ujarku menjelaskan.
"Departemennya juga menyediakan jasa ke Pulau Hilton Head. Misalnya penyediaan detektif."
"Seperti di Quebec,"
Ujar Ryan.
"Memang, hanya saja kita harus tahu sedang berada di daerah kewenangan siapa."
"Simonnet pernah menelepon ke Saint Helena. Jadi, itu wilayah Baker."
"Ya."
"Kamu bilang dia polisi yang baik."
"Silakan kamu menentukan pendapat sendiri."
"Bisa kamu ceritakan mayat yang kamu gali kemarin?"
Aku menceritakannya.
"Ya ampun, Brennan, mau-maunya kamu terlibat dalam masalah itu!"
"Itu tugasku, Ryan."
Pertanyaan itu terasa menyengat. Semua hal tentang Ryan membuatku tersengat akhir-akhir ini.
"Tapi, kamu 'kan sedang berlibur."
Ya. Di Murtry. Dengan putriku.
"Sepertinya itu lamunan kehidupanku yang selalu kudambakan,"
Tukasku dengan ketus.
"Aku memimpikan mayat, kemudian simsalabim, tiba-tiba saja mereka muncul di hadapanku. Aku memang menyukai semua itu."
Kugertakkan gerahamku dan mengamati tetesan air menyatu di kipas kaca depan. Kalau Ryan ingin bercakap-cakap, dia bisa ngobrol sendiri.
"Aku perlu sedikit petunjuk jalanan,"
Ujarnya saat kami melaju melewati kampus USC-Beaufort.
"Carteret akan membelok ke kiri dan masuk ke Boundary. Ikuti saja."
Kami melaju ke barat melewati kondominium di Pigeon Point, dan akhirnya melaju di antara dinding bata merah yang merupakan bagian dari National Cemetery di kedua sisi jalan.
Di Ribaut aku menyuruhnya belok ke kiri.
Ryan memberi tanda, kemudian mengarah ke selatan.
Di sebelah kiri, kami melewati Maryland Fried Chicken, stasiun pemadam kebakaran, dan Second Pilgrim Baptist Church.
Di sebelah kanan tampak beberapa gedung pemerintahan daerah.
Gedung yang berwarna putih menjadi kantor pemerintah daerah, pengadilan, kantor pengacara, berbagai badan penegak hukum, dan penjara.
Deretan pilar tiruan dan atap yang melengkung dimaksudkan untuk menciptakan cita rasa pedesaan, namun kompleks itu terlihat seperti sebuah mal kedokteran bergaya Art Deco yang sangat besar.
Di Ribaut dan Duke, kutunjuk gundukan pasir yang dibasuh bayang-bayang pohon ek dan lumut Spanyol.
Ryan berhenti dan memarkir mobil di antara jip Beaufort City Police dan trailer Haz Mat.
Sheriff Baker baru saja tiba dan sedang meraih sesuatu di bagian belakang jipnya.
Ketika melihatku, ia melambaikan tangannya, menutup bagasi, lalu menunggu kami untuk bergabung dengannya.
Kuperkenalkan mereka dan kedua lelaki itu berjabatan tangan.
Hujan telah membentuk kabut yang cukup tebal.
"Maaf karena telah merepotkan Anda,"
Kata Ryan.
"Aku yakin Anda sudah cukup sibuk tanpa diganggu oleh seorang pendatang."
"Tidak apa-apa,"
Ujar Baker.
"Kuharap kami bisa membantu Anda."
"Gedung yang hebat,"
Ujar Ryan sambil menganggukkan ke arah bangunan tempat kantor Sheriff. Saat kami berjalan menyeberangi Duke, sheriff memberikan penjelasan singkat tentang kompleks tersebut.
"Di awal sembilan belas sembilan puluhan, pemerintah daerah memutuskan untuk menempatkan semua lembaga di bawah satu atap, jadi mereka membangun tempat ini dengan biaya sekitar tiga puluh juta dolar. Kami mendapat tempat sendiri, begitu juga dengan kota Beaufort, tetapi kami menggunakan layanan yang sama seperti komunikasi, alat penghubung, dan arsip."
Sepasang deputi melewati kami menuju lapangan parkir.
Mereka melambaikan tangan dan Baker menganggukkan kepalanya, kemudian dia membukakan pintu kaca untuk kami.
Kantor Sheriff Beaufort County terletak di sebelah kanan, setelah melewati rak kaca yang berisi seragam dan plakat.
Kantor polisi kota terletak di sebelah kiri, melalui pintu bertanda HANYA YANG BERKEPENTINGAN.
Di sampingnya tampak sebuah rak dan di situ terpasang sepuluh foto penjahat yang sedang dicari FBI, foto orang hilang, dan poster dari Lembaga Anak Hilang dan Teraniaya.
Di depan tampak lorong yang melewati lift menuju bagian dalam gedung tersebut.
Kami memasuki koridor kantor sheriff dan melihat seorang wanita yang sedang menggantungkan payung di sebuah tiang.
Walaupun sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, dia terlihat seperti orang yang baru saja tampil dalam video Madonna.
Rambutnya panjang berwarna hitam kelam, dan dia memakai blus renda bertali di atas baju mini dengan jaket bolero ungu di atasnya.
Hak sepatu setinggi tujuh cm menambah tinggi tubuhnya.
Dia berbicara dengan sheriff.
"Pak Colker baru saja menelepon. Dan, beberapa detektif menelepon beberapa kali kemarin dengan tergesa-gesa tentang sesuatu. Ada di mejamu."
"Terima kasih, Ivy Lee. Ini Detektif Ryan."
Baker memperkenalkan kami.
"Dan Dr. Brennan. Kita akan membantu mereka dalam kasus ini."
Ivy Lee menatap kami berdua.
"Mau minum kopi, Pak?"
"Ya. Terima kasih."
"Tiga, kalau begitu?"
"Ya."
"Krim?"
Aku dan Ryan mengangguk. Kami masuk ke dalam kantor sheriff dan semuanya duduk. Baker melemparkan topinya ke atas lemari arsip di belakang mejanya.
"Ivy Lee memang bisa tampil penuh warna,"
Ujarnya sambil tersenyum.
"Dia pernah aktif dalam kesatuan Marinir selama dua puluh tahun, kemudian pulang dan bergabung dengan kami."
Dia berpikir sejenak.
"Sudah sekitar sembilan belas tahun lamanya. Wanita itu mengurus tempat ini dengan sangat efi sien. Sekarang dia sedang melakukan ..."
Dia mencaricari ungkapan yang tepat.
"... eksperimen mode."
Baker bersandar dan meletakkan jarinya di belakang kepalanya. Kursi kulitnya mendesis seperti sebuah bagpipe (alat musik tradisional dari Skotlandia).
"Jadi, Pak Ryan, bisa Anda ceritakan apa yang Anda butuhkan?"
Ryan menceritakan kematian di St-Jovite dan menjelaskan adanya beberapa kali panggilan telepon ke Saint Helena.
Dia baru saja mengungkapkan percakapannya dengan dokter kandungan Klinik Beaufort-Jasper dan orang tua Heidi Schneider ketika Ivy Lee mengetuk pintu.
Dia meletakkan cangkir di hadapan Baker, dan dua lainnya di meja antara aku dan Ryan, lalu meninggalkan ruangan tanpa berkata sepatah kata pun.
Kuhirup kopi seteguk.
Kemudian tegukan kedua.
"Dia yang menyeduh kopi ini?"
Tanyaku.
Memang bukan kopi terenak yang pernah kuminum, tetapi peringkatnya berada di dekat puncak daftar kopi terenak.
Baker mengangguk.
Kuseruput sekali lagi, dan mencoba mengenali rasa kopi itu.
Kudengar suara dering telepon di luar kantor sheriff, kemudian terdengar suara Ivy Lee.
"Ada apa di dalamnya?"
"Kami menganut kebijakan "jangan tanya dan jangan ceritakan"
Kalau berhubungan dengan kopi Ivy Lee. Aku memberinya uang setiap bulan dan dia yang membeli bahan-bahannya. Katanya tidak ada seorang pun yang mengetahui resepnya, kecuali kakak dan ibunya."
"Apa mereka bisa disogok?"
Sambil tertawa, Baker meletakkan lengannya di meja dan menyangga berat tubuhnya. Bahunya lebih lebar dari truk semen.
"Aku tidak mau mencoba membuat Ivy Lee tersinggung,"
Ujarnya.
"Dan pasti tidak mau menyinggung ibunya."
"Kebijakan bagus,"
Ujar Ryan.
"Jangan membuat nenek-nenek tersinggung."
Dia membuka amplop plastik cokelat yang dibawanya, mencaricari isinya, kemudian menarik selembar kertas.
"Ini nomor telepon yang dilacak dari St-Jovite ke Jalan Adler Lyons, nomor empattiga-lima."
"Benar, ini nomor Saint Helena,"
Ujar Baker. Dia memutar tubuh menghadap lemari, membuka salah satu lacinya, kemudian menarik sebuah map. Setelah meletakkannya di atas meja, dia membuka-buka dokumen di dalamnya.
"Kami sudah mencari alamat itu, tapi tidak menemukan arsip kepolisian. Bahkan tidak ada satu pun telepon ke tempat itu selama lima tahun terakhir."
"Itu rumah pribadi?"
Tanya Ryan.
"Mungkin. Bagian pulau itu kebanyakan diisi trailer atau rumah kecil. Aku bolakbalik tinggal di daerah itu sepanjang hidupku, tapi tetap saja harus menggunakan peta untuk bisa menemukan Adler Lyons. Beberapa jalan tanah di pulau itu hanya berupa jalan pribadi. Aku mungkin bisa mengenalnya kalau melihatnya langsung, tapi tidak selalu tahu namanya. Atau apakah jalanan itu punya nama atau tidak."
"Siapa pemilik properti itu?"
"Aku belum tahu, tapi kita bisa memeriksanya nanti. Sementara ini, kenapa kita tidak berkunjung ke sana saja?"
"Boleh saja,"
Ujar Ryan, meletakkan kertasnya dan menutup kembali amplop plastik itu.
"Dan kita bisa mampir di klinik kalau menurut Anda akan ada gunanya."
"Aku tidak mau merepotkan Anda dengan urusan ini. Aku tahu Anda sudah cukup sibuk,"
Ujar Ryan sambil berdiri.
"Bila Anda bisa menunjukkan arahnya, aku yakin kami bisa mencarinya sendiri."
"Tidak, tidak, aku berutang budi pada Dr. Brennan atas bantuannya kemarin. Dan aku yakin Baxter Colker belum selesai berurusan dengannya. Sebenarnya, bersediakah Anda menunggu sebentar sementara aku memeriksa sesuatu?"
Dia menghilang ke kantor sebelah, kembali dengan cepat sambil membawa secarik catatan pesan.
"Seperti yang kuduga, Colker menelepon lagi. Dia mengirimkan mayat itu ke Charleston, tapi dia ingin berbicara dengan Dr. Brennan."
Dia tersenyum kepadaku.
Tulang pipi dan alisnya terlihat sangat jelas, kulitnya tampak hitam berkilat, wajahnya terlihat seperti keramik di bawah terpaan cahaya terang ini.
Kutatap Ryan.
Dia mengangkat bahu dan duduk kembali.
Baker menekan nomor telepon, minta berbicara dengan Colker, kemudian menyerahkan telepon kepadaku.
Aku merasakan perasaan tidak enak.
Colker mengatakan persis seperti yang kuduga.
Axel Hardaway akan melakukan autopsi atas kedua mayat yang ditemukan di Murtry, tetapi menolak untuk melakukan analisis tulang.
Dan, Jaffer tidak bisa dihubungi.
Hardaway akan memproses jenazah itu di fasilitas sekolah kedokteran, mengikuti setiap protokol yang sudah kuberikan, kemudian Colker akan memindahkan tulangbelulang itu ke labku di Charlotte jika aku bersedia melakukan pemeriksaannya.
Dengan enggan, aku menyanggupinya, dan berjanji untuk berbicara langsung dengan Hardaway.
Colker memberikan nomor Hardaway, lalu kami menyudahi percakapan telepon itu.
"Allons-y,"
Ujarku kepada kedua orang di hadapanku.
"Allons-y,"
Ulang sheriff, meraih topi dan mengenakannya di kepalanya.
Kami mengambil Highway-21 untuk keluar dari Beaufort menuju Pulau Lady, menyeberangi Cowan's Creek menuju Saint Helena, dan terus berkendara sejauh beberapa kilometer lagi.
Di Jalan Eddings Point , kami membelok ke kiri dan melewati deretan rumah dan trailer yang sudah lapuk karena cuaca, yang terhampar sepanjang beberapa kilometer.
Lembaran plastik ditempelkan ke jendela dan beranda yang sudah reyot karena beratnya kursi malas yang sudah dimakan ngengat dan peralatan tua.
Di halaman, kulihat kerangka dan onderdil mobil tua, gubuk dan tangki septik yang sudah berkarat.
Di sana-sini tampak papan yang ditulis tangan menawarkan bayam, kacang panjang, atau kambing.
Tak lama kemudian, mobil membelok tajam ke kiri dan melaju di atas tanah berpasir, lalu membelok ke kanan.
Baker membelokkan mobil dan kami pun masuk ke lorong yang panjang dan rimbun.
Deretan pohon ek berjajar di sepanjang jalan, dedaunan yang rimbun, dahan yang melengkung di atas kami seperti kubah katedral hijau.
Di kedua sisi jalan tampak selokan kecil berisi air berbalut ganggang.
Ban mobil kami menyemburkan suara gemerisik saat kami melewati trailer dan rumah-rumah lapuk itu, beberapa halaman memiliki roda-putar dari plastik atau kayu, lainnya memiliki beberapa ekor ayam yang sedang mengais-ngais.
Selain mobil sedan dan mobil bak terbuka yang modelnya sudah tua, lapangan itu terlihat seakan tidak berubah sejak tahun sembilan belas tiga puluhan.
Atau empat puluhan.
Atau lima puluhan.
Sekitar setengah kilometer kemudian, Jalan Adler Lyons bergabung dengan kami dari sebelah kiri.
Baker membelok, melaju hampir sampai ke ujung, kemudian menghentikan mobilnya.
Di seberang jalan tampak batu nisan berlumut yang dinaungi pohon ek dan bunga magnolia.
Di sana-sini tampak salib kayu berkilat putih di bawah bayang-bayang yang kelam.
Di sebelah kanan tampak sepasang bangunan, yang besar merupakan rumah peternakan bertingkat dua dengan papan berwarna hijau tua, sedangkan bangunan yang lebih kecil adalah sebuah bungalow, dahulu berwarna putih, tapi sekarang catnya telah berubah abu-abu dan mulai mengelupas.
Di belakang rumah, tampak trailer dan ayunan.
Dinding yang rendah membatasi kedua bangunan itu dengan jalanan.
Dinding itu dibangun dari kayu cinder yang ditumpukkan menyamping sehingga tengahnya membentuk barisan dan lapisan lorong kecil.
Setiap lorong dipenuhi akar tumbuhan merambat dan wisteria ungu yang merambat di sepanjang dinding.
Di pintu masuk tampak sebuah tanda dari logam bertuliskan MILIK PRIBADI dengan huruf Jingga yang cerah.
Jalan itu memanjang sekitar tiga ratus meter melewati dinding, kemudian berakhir di padang rumput.
Di balik alang-alang tampak air berwarna kelam.
"Ini pasti rumah nomor empattiga-lima,"
Ujar Sheriff Baker, memarkir mobil dan menunjuk rumah yang besar.
"Beberapa tahun yang lalu, itu adalah gedung pemancingan."
Dia menganggukkan kepalanya ke sungai.
"Itu Eddings Point Creek. Mengalir ke lautan tak jauh dari sini. Aku sudah lupa tentang bangunan itu. Sudah ditelantarkan bertahuntahun yang lalu."
Kondisi tempat itu dahulu pasti lebih baik dari sekarang.
Dinding rumah peternakan dipenuhi tambalan dan ditutupi lumut.
Kusen yang dahulu berwarna putih, sekarang sudah terkelupas menampakkan lapisan bawahnya yang berwarna biru pucat.
Beranda yang ditutupi ram nyamuk memanjang di lantai pertama, dan jendela berjejer dari lantai ketiga, kusen atasnya disesuaikan dengan kemiringan atap.
Kami keluar, berjalan mengelilingi dinding, dan mengarah ke jalan di depan rumah.
Kabut menggantung di udara seperti asap.
Aku bisa mencium bau lumpur dan dedaunan yang membusuk, dan dari kejauhan, aroma api unggun.
Sheriff melangkah ke u ndakan, sementara aku dan Ryan menunggu di halaman.
Pintu dalam terbuka, tetapi terlalu gelap sehingga tidak akan bisa melihat melalui ram nyamuk itu.
Baker bergerak ke samping, lalu mengetukngetuk rangka pintu.
Di atas kepala, suara burung bercampur dengan suara daun pohon palem.
Dari dalam samar-samar kudengar suara tangisan bayi.
Baker mengetuk pintu lagi.
Beberapa saat kemudian, kami mendengar langkah kaki, lalu seorang lelaki muda muncul di pintu.
Wajahnya penuh bintik-bintik dan rambutnya ikal berwarna merah, dan dia memakai baju overall dengan kemeja kotak-kotak.
Aku merasa seakanakan kami akan mewawancarai boneka terkenal, Howdy Doody.
"Yeah?"
Ujarnya melalui ram itu, matanya menyapu ka-mi bertiga satu per satu.
"How are you doing?"
Tanya Baker, menyapanya dengan sapaan yang biasa dipakai orang Selatan untuk mengucapkan "halo".
"Baik."
"Bagus. Aku Harley Baker."
Seragamnya sudah jelas menunjukkan bahwa ini bukan kunjungan biasa.
"Boleh kami masuk?"
"Kenapa?"
"Kami hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan."
"Pertanyaan?"
"Kamu tinggal di sini?"
Howdy mengangguk.
"Boleh kami masuk?"
Ulang Baker.
"Bukankah kalian perlu membawa surat perintah atau semacamnya?"
"Tidak."
Aku mendengar suara dan Howdy berbalik dan berbicara kepada seseorang di belakangnya.
Dalam sekejap, muncul seorang wanita separuh baya berwajah lebar dan rambut keriting.
Dia memangku bayi di bahunya dan bergantian menepuk dan meng elus punggungnya.
Gelambir di lengannya bergetar mengiringi setiap gerakannya.
"Polisi,"
Kata lelaki itu kepadanya, lalu mundur dari ram nyamuk.
"Ya?"
Sementara aku dan Ryan mendengarkan, Baker dan wanita itu saling mengucapkan dialog fi Im picisan yang baru kami dengarkan sebelumnya. Kemudian.
"Tidak ada orang di sini sekarang. Kalian kembali lain kali saja."
"Anda ada di sini, Nyonya,"
Balas Baker.
"Kami sedang sibuk dengan bayibayi ini."
"Kami tidak akan pergi begitu saja, Nyonya,"
Kata sheriff Beaufort County itu.
Wanita itu mencibir, mengangkat bayi itu lebih tinggi di bahunya, dan mendorong pintu ram nyamuk itu sampai terbuka.
Sandal rumahnya mengeluarkan ketukan lembut saat kami mengikutinya menyeberangi beranda dan masuk ke ruangan kecil.
Rumah itu tampak kelam dan tercium sedikit asam seperti segelas susu yang dibiarkan terbuka semalaman.
Di depan, tampak tangga menuju lantai dua, di sebelah kanan dan kirinya tampak ruangan besar yang dipenuhi sofa dan kursi.
Wanita itu menuntun kami ke kamar di sebelah kiri dan menunjuk ke sekelompok kursi rotan.
Saat kami duduk, dia membisikkan sesuatu kepada Howdy dan lelaki itu menghilang naik ke tangga.
Kemudian, nyonya itu duduk bersama kami.
"Ya?"
Tanyanya pelan, menatap Baker lalu Ryan.
"Nama saya Harley Baker."
Dia meletakkan topi di atas meja dan mencondongkan tubuh ke arah wanita itu, tangan di pahanya, lengan dijulurkan.
"Nama Anda?"
Wanita itu meletakkan lengannya di punggung bayi, memegang kepalanya, kemudian menjulurkan tangannya yang lain kepada sheriff.
"Saya tidak bermaksud untuk tidak sopan, Sheriff, tapi saya ingin tahu apa yang Anda inginkan."
"Anda tinggal di sini, Nyonya?"
Dia terlihat ragu-ragu, kemudian mengangguk. Gorden bergerak di jendela di belakangku dan kurasakan embusan angin dingin di leher.
"Kami ingin bertanya tentang panggilan telepon yang ditujukan ke rumah ini,"
Lanjut Baker.
"Panggilan telepon?"
"Ya, Nyonya. Musim gugur yang lalu. Anda berada di sini pada waktu itu?"
"Di sini tidak ada telepon."
"Tidak ada?"
"Hanya ada telepon kantor. Bukan untuk keperluan pribadi."
"Oh begitu."
Baker menunggu.
"Kami tidak pernah mendapat panggilan telepon."
"Kami?"
"Ada sembilan orang yang tinggal di rumah ini, empat di rumah sebelah. Dan tentu saja trailer itu. Tapi, kami tidak pernah bicara lewat telepon. Kami tidak diizinkan."
Di atas, terdengar ada bayi lain yang menangis.
"Tidak diizinkan?"
"Kami ini sebuah komunitas. Kami hidup bersih dan tidak mengganggu orang lain. Tidak menggunakan obat terlarang, atau semacamnya. Kami hidup sendiri dan mengikuti kepercayaan kami. Tidak ada hukum yang melarang hal itu 'kan?"
"Tidak, Nyonya, memang tidak ada. Seberapa besar kelompok Anda ini?"
Dia berpikir sejenak.
"Ada dua puluh enam orang."
"Di mana yang lainnya?"
"Beberapa orang sedang pergi bekerja. Mereka yang berintegrasi dengan orang luar. Sisanya sedang menghadiri pertemuan pagi di rumah sebelah. Jerry dan aku yang mengurus bayi."
"Apa ini kelompok keagamaan?"
Tanya Ryan. Wanita itu menatapnya, kemudian menoleh kepada Baker.
"Siapa mereka?"
Tanyanya sambil mengarahkan dagunya kepada aku dan Ryan.
"Mereka detektif bagian pembunuhan."
Sheriff m-natapnya, wajahnya keras tanpa dihiasi senyuman.
"Kelompok macam apa yang kita bicarakan ini, Nyonya?"
Dia memainkan selimut bayinya. Di kejauhan kudengar anjing menyalak.
"Kami tidak mau ada masalah dengan pihak berwajib,"
Ujarnya.
"Anda bisa memercayai saya."
"Memangnya Anda menduga akan ada masalah?"
Tanya Ryan. Dia menatap Ryan dengan pandangan aneh, kemudian melirik jam tangannya.
"Kami warga yang ingin hidup damai dan sehat. Kami tidak pernah mengonsumsi obat terlarang atau melakukan kejahatan, jadi kami tinggal di sini. Kami tidak mau melukai siapa pun. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Kalian bisa bicara dengan Dom. Dia akan datang sebentar lagi."
"Dom?"
"Dia tahu apa yang harus dikatakan kepada kalian."
"Bagus."
Mata hitam Baker menatap wanita itu lagi dengan tatapan tajam.
"Aku tidak ingin semua orang di sini diharuskan datang beramai-ramai ke kota."
Saat itu aku mendengar beberapa suara dan mengamati lirikan mata wanita itu meluncur dari wajah Baker keluar jendela.
Kami semua menoleh.
Melalui ram nyamuk kulihat kegiatan di rumah sebelah.
Lima orang wanita berdiri di beranda, dua orang memegang anak kecil, yang ketiga membungkuk untuk meletakkan seorang anak ke tanah.
Anak itu berjalan dengan limbung dan wanita itu mengikutinya menyeberangi pekarangan.
Satu demi satu belasan orang dewasa muncul dan menghilang ke belakang rumah.
Beberapa detik kemudian, seorang lelaki muncul dan berjalan ke arah kami.
Nyonya rumah kami minta izin dan melangkah ke beranda depan.
Tak lama kemudian, kami mendengar pintu ram nyamuk bergerak dan terdengar orang mengobrol dengan suara perlahan.
Kulihat wanita itu menaiki tangga, kemudian lelaki dari rumah sebelah muncul di lorong.
Kurasa usianya sekitar empat puluh tahunan.
Rambutnya yang pirang mulai beruban, wajah dan lengannya tampak cokelat tersengat matahari.
Dia memakai celana khaki, kemeja golf berwarna kuning pucat, dan sepatu Topsider tanpa kaus kaki.
Dia terlihat seperti seorang anggota Kappa Sigma yang sudah tua.
"Maaf,"
Ujarnya.
"Aku tidak tahu bahwa kami kedatangan tamu."
Ryan dan Baker hendak bangkit.
"Tidak usah berdiri."
Dia berjalan menghampiri dan menjulurkan tangan.
"Namaku Dom."
Kami semua berjabat tangan dengannya dan Dom ikut duduk bersama kami di salah satu sofa.
"Anda ingin minum jus atau lemonade?"
Kami semua menolak dengan sopan.
"Jadi, Anda sudah berbicara dengan Helen. Dia mengatakan bahwa kalian punya pertanyaan tentang kelompok kami?"
Baker mengangguk sekali.
"Kami ini kelompok yang biasa disebut sebagai ko-mune."
Dia tertawa.
"Tapi, tidak sama dengan arti komune pada umumnya. Kami jauh berbeda dengan para hippies yang menentang budaya umum pada tahun enam puluhan. Kami menentang obat terlarang dan polusi kimia, dan ingin menjaga kesucian, kreativitas, dan pemahaman diri sendiri. Kami hidup dan bekerja bersama dalam suasana yang harmonis. Sebagai contoh, kami baru saja selesai menghadiri pertemuan pagi. Dalam pertemuan itu kami mendiskusikan agenda hari ini dan secara bersa-masama memutuskan apa yang harus dilakukan dan siapa yang akan melakukannya. Persiapan makanan, tugas bersih-bersih, pada umumnya tugas mengurus rumah."
Dia tersenyum.
"Hari Senin bisa menjadi hari yang panjang karena pada hari itu kami mengutarakan semua kekhawatiran kami."
Lelaki itu menyandarkan tubuhnya dan meletakkan tangan di pangkuannya.
"Helen mengatakan bahwa Anda menanyakan panggilan telepon yang masuk?"
Sheriff memperkenalkan dirinya.
"Dan nama Anda Dom ...?"
"Hanya Dom saja. Kami tidak menggunakan nama belakang."
"Kami menggunakan nama belakang,"
Ujar Baker, suaranya dingin. Hening beberapa saat lamanya. Kemudian.
"Owens. Tapi, sosok itu sudah lama mati. Aku sudah bertahuntahun tidak menggunakan nama Dominick Owens."
"Terima kasih, Pak Owens."
Baker mencatat sesuatu di buku kecilnya.
"Detektif Ryan sedang menyelidiki pembunuhan di Quebec dan memiliki alasan untuk mengatakan bahwa korban mengenal seseorang di alamat ini."
"Quebec?"
Mata Dom melebar, menunjukkan kerutan putih kecil di kulitnya yang cokelat.
"Kanada?"
"Panggilan telepon ditujukan ke nomor ini dari sebuah rumah di St-Jovite,"
Ujar Ryan.
"Sebuah desa di Pegunungan Laurentian di sebelah utara Montreal."
Dom mendengarkan, tampak kebingungan.
"Anda pernah mendengar nama Patrice Simonnet?"
Dia menggelengkan kepala.
"Heidi Schneider?"
Kembali gelengan kepala.
"Maaf."
Dom tersenyum dan mengangkat bahunya.
"Sudah kukatakan tadi. Kami tidak menggunakan nama belakang. Dan para anggota sering mengganti nama lahirnya. Dalam kelompok ini, siapa pun bebas memilih nama yang mereka sukai."
"Apa nama kelompok Anda ini?"
"Nama. Label. Gelar. The Church of Christ. The People's Temple. The Righteous Path. Semuanya egomania. Kami memilih untuk tidak menggunakan nama apa pun."
"Sudah berapa lama kelompok Anda tinggal di sini, Pak Owens?"
"Tolong panggil saya Dom."
Ryan menunggu.
"Hampir delapan tahun."
"Anda ada di sini musim panas dan musim gugur yang lalu?"
"Aku sering bepergian dan kembali lagi ke sini."
Ryan mengambil foto dari sakunya dan meletakkannya di atas meja.
"Kami sedang berusaha melacak wanita muda ini."
Dom mencondongkan tubuh ke depan dan memeriksa foto itu, jarinya menyentuh pinggiran foto. Jarinya tampak panjang dan lentik, dengan bulu berwarna emas di antara buku-buku jarinya.
"Wanita ini yang dibunuh?"
"Ya."
"Siapa lelaki ini?"
"Brian Gilbert."
Dom mempelajari kedua wajah itu untuk beberapa saat lamanya. Saat dia mendongak, matanya mengandung ekspresi yang tidak bisa kubaca.
"Aku benarbenar ingin bisa menolong Anda. Sungguh. Mungkin, aku bisa menanyakannya pada acara kelas pengalaman pada malam ini. Itu adalah saat kami menganjurkan eksplorasi diri dan pergerakan menuju pemahaman jati diri. Acara itu bisa menjadi tempat yang cocok untuk menanyakan hal ini."
Wajah Ryan tampak kaku saat matanya menatap mata Dom.
"Aku tidak tertarik pada suasana keagamaan, Pak Owens, dan aku sangat tidak tertarik pada apa yang menurut Anda waktu yang cocok. Ini fakta yang kuketahui. Aku tahu ada panggilan telepon masuk ke nomor rumah ini dari rumah tempat Heidi Schneider dibunuh. Aku tahu bahwa korban berada di Beaufort musim panas lalu. Aku akan menemukan hubungan semua fakta ini."
"Tentu saja. Sungguh mengerikan. Kekerasan semacam ini yang menyebabkan kami hidup seperti ini."
Dia memejamkan matanya, seakan sedang mencari tuntunan dari Yang Mahakuasa, kemudian membuka dan menatap tajam kami satu per satu.
"Mari kujelaskan. Kami menanam sayuran sendiri, beternak ayam untuk diambil telurnya, kami memancing, dan mengumpulkan kerang. Beberapa anggota bekerja di kota dan menyumbangkan gajinya. Kami memiliki keyakinan yang memaksa kami untuk menolak masyarakat, tapi kami tidak ingin mengganggu orang lain. Kami hidup sederhana dan dengan tenang."
Dia menarik napas panjang.
"Walaupun kami memiliki anggota yang sudah lama hidup bersama di tempat ini, banyak yang datang dan pergi. Cara hidup kami tidak cocok untuk semua orang. Mungkin wanita muda ini pernah mengunjungi kami, mungkin sewaktu aku sedang tidak berada di sini. Anda boleh percaya pada katakataku. Aku akan berbicara dengan anggota kami yang lainnya,"
Ujar Dom.
"Ya,"
Sahut Ryan.
"Begitu juga dengan kami."
"Tentu saja. Dan tolong beritahu aku sekiranya ada lagi yang bisa kulakukan."
Saat itu seorang wanita muda menembus pintu ram nyamuk, sambil memangku anak kecil di pinggangnya.
Dia tertawa dan menggelitik anak itu.
Si anak tertawa geli dan memukulnya dengan jari-jemarinya yang montok.
Tangan mungil Malachy yang pucat menyeruak dalam benakku.
Ketika dia melihat kami, wanita itu membungkuk dan meringis.
"Wah. Maaf."
Dia tertawa.
"Aku tidak tahu ada orang di sini."
Anak itu mengetuk kepalanya dan dia menggelitik perut anak itu. Si anak melenguh dan menendang-nendang dengan kakinya.
"Masuklah Kathyrn,"
Ujar Dom.
"Kurasa kami sudah selesai."
Dia mengajukan tatapan bertanya kepada Baker dan Ryan.
Sheriff meraih topinya dan kami semua bangkit.
Anak itu menoleh ke arah suara Dom, mengenalinya, dan mulai menggeliat-geliut.
Saat Kathryn menurunkannya, dia berjalan limbung menuju tangan Dom yang dibentangkan, Dom meraih anak itu.
Tangan nya terlihat putih susu di sekeliling leher Dom yang gelap terbakar matahari.
Kathryn menghampiri kami.
"Berapa umur bayimu?"
Tanyaku.
"Empat belas bulan. Ya 'kan, Carlie?"
Dia menjulurkan jarinya yang segera direnggut oleh Carlie, kemudian menjulurkan tangannya ke arah Kathryn. Dom mengembalikan bayi itu kepada ibunya.
"Maaf,"
Ujar Kathryn.
"Dia harus diganti popoknya."
"Sebelum Anda pergi, boleh saya mengajukan satu pertanyaan?"
Ryan mengeluarkan foto itu.
"Anda mengenal orangorang ini?"
Kathryn menatap foto itu, memegangnya sehingga tidak bisa diraih oleh Carlie. Kuamati wajah Dom. Ekspresi wajahnya tidak pernah berubah sedikit pun. Kathryn menggelengkan kepalanya, kemudian menyerahkan kembali foto itu.
"Tidak. Maaf."
Dia mencium udara, kemudian mengernyitkan hidungnya.
"Permisi dulu."
"Wanita itu hamil,"
Ujar Ryan.
"Maaf,"
Ujar Kathryn.
"Anakmu lucu,"
Komentarku.
"Terima kasih."
Dia tersenyum dan menghilang ke dalam rumah. Dom melirik jam tangannya.
"Kami akan menghubungi Anda lagi,"
Ujar Baker.
"Ya. Bagus. Dan semoga berhasil."
Di mobil, kami duduk dan mengawasi properti itu.
Kubuka jendela penumpang dan kabut mengembus dan menggantung di wajahku.
Kilatan wajah Malachy membuatku depresi, dan cuaca yang lembap dan kelam itu benarbenar mencerminkan perasaanku.
Kutatap kedua ujung jalan, kemudian menatap rumah itu lagi.
Bisa kulihat orangorang bekerja di halaman di belakang bungalow.
Beberapa kantong benih ditusukkan pada sebuah tongkat yang menandakan apa isi setiap kantong.
Selain itu, tidak ada tanda kehidupan lainnya.
"Bagaimana menurutmu?"
Tanyaku, tidak ditujukan kepada siapa pun.
"Kalau mereka telah tinggal di situ selama delapan tahun, mereka benarbenar tidak menonjolkan diri,"
Ujar Baker.
"Aku belum pernah mendengar cerita tentang mereka."
Kami mengamati Helen meninggalkan rumah hijau dan berjalan ke salah satu trailer.
"Tapi, sebentar lagi mereka akan dikenal,"
Tambahnya, lalu meraih kunci. Sepanjang beberapa kilometer tidak ada yang berbicara. Kami menyeberangi jembatan menuju Beaufort saat Ryan memecahkan keheningan.
"Pasti ada hubungannya. Tidak mungkin hanya kebetulan belaka."
"Kebetulan kadang-kadang terjadi,"
Ujar Baker.
"Ya."
"Satu hal yang menggangguku,"
Ujarku.
"Apa itu?"
"Heidi berhenti pergi ke klinik pada usia kehamilan enam bulan. Orangtuanya mengatakan bahwa dia muncul di Texas pada akhir Agustus. Va 'kan?"
"Yap."
"Tapi, telepon itu terus berlanjut ke nomor di sini sampai Desember."
"Ya,"
Ujar Ryan.
"Itulah masalahnya."[] r Kabut berubah menjadi hujan saat kami melaju menuju Beaufort-Jasper Comprehensive Health Clinic. Kabut menyebabkan batang pepohonan menjadi gelap, berkilauan, dan menyebabkan aspal berkilat. Ketika membuka jendela, aku bisa mencium bau rumput dan tanah yang basah. Kami berhasil menemukan dokter yang telah berbicara dengan Ryan dan segera menunjukkan foto Heidi kepadanya. Dia mengenali Heidi sebagai pasien yang dirawatnya pada musim panas yang lalu, tetapi tidak yakin benar. Kehamilannya normal. Dia menuliskan resep obat ibu hamil yang standar. Selain itu, dia tidak bisa memberikan informasi lain. Dia sama sekali tidak ingat pada Brian. Pada tengah hari, Sheriff Baker meninggalkan kami untuk menangani masalah rumah tangga di Pulau Lady, Kami sepakat untuk bertemu dengannya di kantornya pada pukul enam sore. Dan saat itu, kami berharap sudah mendapatkan informasi mengenai properti di Adler Lyons. Aku dan Ryan berhenti untuk makan barbecue di Sgt. White's Diner, kemudian menghabiskan sore hari itu dengan menunjukkan foto Heidi ke seluruh penjuru kota, dan mencari informasi tentang komune di Jalan Adler Lyons itu. Pada pukul empat, kami menarik dua kesimpulan. Tidak ada yang pernah mendengar tentang Dom Owens atau pengikutnya. Tidak ada yang ingat pada Heidi Schneider atau Brian Gilbert. Kami duduk di mobil sewaan Ryan dan melaju di Bay Street. Di sebelah kanan tampak para nasabah keluar-masuk Palmetto Federal Banking Center. Aku melihat ke seberang, ke deretan toko yang baru kami lewati. The Cat's Meow. Stones and Bones. In High Cotton. Ya. Beaufort membuka diri menyambut dunia turisme. Hujan telah berhenti, namun langit masih gelap dan kelam. Aku sudah lelah dan putus asa, dan tidak lagi yakin adanya hubungan antara Beaufort dan St-Jovite. Di luar pertokoan Lipsitz, seorang lelaki dengan rambut berminyak dan wajah seperti roti melambailambaikan kitab Injil dan berkhotbah tentang Sang Penebus. Maret adalah musim yang sepi untuk misi penyelamatan di trotoar, jadi dia memiliki seluruh panggung untuk dirinya sendiri. Sam pernah bercerita tentang perseteruannya dengan para pengkhotbah jalanan. Selama dua puluh tahun mereka telah datang ke Beaufort, masuk ke dalam kota seperti orangorang yang sedang naik haji. Pada tahun 1993, walikota memerintahkan penangkapan Pastor Isaac Abernathy karena mengganggu para wanita bercelana pendek, menyebut mereka pelacur, dan berteriak-teriak tentang pengutukan abadi. Tuntutan diajukan kepada walikota dan ACLU segera melahap kesempatan untuk membela sang penginjil, dengan mempermasalahkan hak First Ammendment. Kasusnya ditunda oleh Fourth Circuit Court of Appeals di Richmond, dan para pengkhotbah itu masih terus berdatangan ke kota. Kudengarkan lelaki itu mengoceh tentang Setan, orang kafi r, dan Yahudi, dan merasakan bulu kudukku merinding. Aku membenci orang yang menganggap dirinya sebagai juru bicara Tuhan dan kerabatnya, dan terganggu oleh orang yang menafsirkan ajaran Injil untuk keuntungan politiknya.
"Bagaimana menurutmu tentang peradaban Selatan?"
Tanyaku kepada Ryan, mataku tidak pernah berpaling dari si pengkhotbah.
"Sepertinya ide yang bagus."
"Wah, wah. Mencuri ucapan Gandhi,"
Ujarku sambil menoleh kepadanya dengan terkejut. Kalimat itu adalah salah satu kutipan Gandhi yang sangat kusukai.
"Ada juga detektif pembunuhan yang bisa membaca iho."
Ada tekanan dalam suaranya.
Kena kau, Brennan.
Rupanya pendeta itu bukanlah satu-satunya yang menjadi korban stereotipe kebudayaan.
Kuamati seorang wanita tua berjalan memutar untuk menghindari pengkhotbah itu dan bertanya dalam hati, penyelamatan seperti apa yang dijanjikan Dom Owens kepada para pengikutnya.
Kulirik jam tanganku.
"Sebentar lagi jam makan malam tiba,"
Ujarku.
"Waktu yang bagus untuk melihat orang menyiapkan burger tofu."
"Kita baru bisa bertemu dengan Baker Sembilan puluh menit lagi."
"Kamu siap melakukan kunjungan kejutan?"
"Daripada duduk-duduk di sini."
Ryan meraih kunci mobil saat tangannya berhenti.
Kuikuti pandangan matanya dan tampak Kathryn sedang berjalan di trotoar, Carlie di punggungnya.
Seorang wanita tua dengan rambut dikepang kecilkecil yang panjang berjalan di sebelahnya.
Embusan angin lembap meniup roknya ke belakang, melekatkan kain rok itu ke paha dan kakinya.
Mereka berhenti dan rekan Kathryn berbicara kepada si pengkhotbah, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan.
Aku dan Ryan bertukar pandang, kemudian keluardan menyeberangi jalan menghampiri kedua wanita itu.
Mereka berhenti berbicara saat kami mendekat dan Kathryn tersenyum kepadaku.
"Apa kabar?"
Tanyanya sambil menyisir helaian rambut ikalnya.
"Tidak begitu baik,"
Jawabku.
"Belum berhasil menemukan wanita yang hilang itu?"
"Tidak ada yang ingat akan dirinya. Aneh juga karena dia berada di sini paling sedikit tiga bulan."
Kuperhatikan apakah dia bereaksi, tetapi ekspresinya tidak berubah.
"Kalian bertanya kepada siapa saja?"
Carlie bergerak dan Kathryn meraih ke belakang untuk memperbaiki alat gendongnya.
"Toko, toko makanan, toko obat, pom bensin, restoran, perpustakaan. Kami bahkan mencoba bertanya ke Boombears."
"Ya. Itu ide yang bagus juga. Kalau dia sedang hamil, mungkin pergi ke toko mainan."
Bayi itu merengek, kemudian mengangkat tangan dan melentingkan tubuhnya ke belakang, menekankan kaki ke punggung ibunya.
"Siapa ini yang bangun?"
Ujar Kathryn sambil meraih ke belakang untuk menenangkan anaknya.
"Dan tidak ada yang mengenalnya dari foto itu?"
"Tidak seorang pun."
Rengekan Carlie semakin nyaring, dan wanita tua itu berjalan ke belakang Kathryn, lalu melepaskan bayi itu dari gendongan.
"Oh, maaf. Ini El."
Kathryn memperkenalkan temannya. Aku dan Ryan memperkenalkan diri. El mengangguk, tetapi tidak berkata apa-apa saat dia berusaha menenangkan Carlie.
"Apa kami boleh mengajak Anda berdua minum Coke atau kopi?"
Tanya Ryan.
"Tidak usah. Minuman seperti itu hanya akan menghancurkan potensi genetik kita."
Kathryn mengernyitkan hidungnya, kemudian tersenyum.
"Tapi, aku mau ditraktir minum jus. Begitu juga Carlie."
Dia memutar matanya dan menyentuh tangan bayinya.
"Dia bisa rewel sekali kalau sedang kesal. Dom baru akan menjemput kita empat puluh menit lagi 'kan, El?"
"Kita sebaiknya menunggu Dom,"
Wanita itu berbicara dengan lirih sehingga aku hampir tidak bias mendengar suaranya.
"Oh, El, kamu tahu 'kan, dia pasti terlambat. Kita minum jus dan duduk di luar saja. Aku tidak mau pulang ke rumah sambil Carlie rewel sepanjang jalan."
El membuka mulutnya, tetapi sebelum bisa berbicara, Carlie sudah menggeliat dan merengek lagi.
"Jus,"
Ujar Kathryn, mengambil bayi itu dan membiarkannya melompat-lompat di atas pahanya.
"Banyak pilihan di Blackstone. Aku sudah melihat menu mereka di jendela."
Kami masuk ke warung minum itu dan memesan Diet Coke.
Yang lain memesan jus, kemudian kami membawa minuman ke bangku di luar.
Kathryn menarik selimut kecil dari dalam tas bahunya, menghamparkannya di kaki bangku, lalu meletakkan Carlie di atasnya.
Kemudian, dia mengeluarkan sebotol air dan gelas kecil berwarna kuning.
Gelas itu memiliki bagian bawah yang bundar dan tutup yang bisa dibuka yang dilengkapi dengan lubang untuk minum.
Dia mengisi setengah gelas itu dengan Very Berry, menambahkan air, kemudian menyerahkannya kepada Carie.
Si anak langsung merenggut botolnya dengan kedua tangan dan mulai menyedot lubang air itu.
Aku memerhatikan, terkenang, dan sensasi yang kurasakan di pulau itu membasuh diriku kembali.
Aku merasa tidak sanggup mengikuti irama dunia ini.
Dua mayat di Murtry.
Mengingat Katy semasa bayi.
Ryan di Beaufort, dengan pistol, lencana, dan pidato Nova Scotia-nya.
Dunia di sekelilingku sepertinya aneh, tempat yang membuatku berpindah dari masa dan tempat lain, namun entah bagaimana ada di sini dan sangat nyata.
"Coba ceritakan tentang kelompokmu,"
Ujarku, memaksa pikiranku kembali ke saat sekarang. El menatapku, tetapi tidak menanggapi pertanyaan itu.
"Apa saja yang ingin kamu ketahui?"
Tanya Kathryn.
"Apa yang kamu yakini?"
"Mengenal pikiran dan tubuh kami. Menjaga energy kosmik dan molekul agar tetap bersih."
"Apa yang kalian lakukan?"
"Lakukan?"
Pertanyaan itu sepertinya membuatnya bingung.
"Kami menanam bahan makanan kami sendiri dan tidak makan apa pun yang menimbulkan polusi."
Dia mengangkat bahunya. Saat mendengarkan katakatanya, aku jadi teringat pada Harry. Penyucian melalui diet.
"... kami belajar. Kami bekerja. Kami menyanyi dan bermain. Kadang, kami mengundang pembicara. Dom benarbenar cerdas. Dia benarbenar-"
El menepuk lengannya dan menunjuk ke cangkir Carlie. Kathryn meraihnya, membersihkan lubang minum dengan roknya, lalu menyerahkannya kembali kepada anaknya. Bayi itu merenggut cangkir dan mengetukkan gelas itu ke kaki ibunya.
"Sudah berapa lama kamu tingal dengan kelompokmu?"
"Sembilan tahun."
"Berapa usiamu sekarang?"
Aku tidak bisa mencegah keheranan terucapkan dalam suaraku.
"Tujuh belas tahun. Orangtuaku bergabung saat aku berusia delapan tahun."
"Dan sebelum itu?"
Dia membungkuk dan mengarahkan gelas itu ke mulut Carlie.
"Aku ingat, dulu aku sering menangis. Aku sering sendirian. Aku selalu sakit. Orangtuaku bertengkar sepanjang waktu."
"Lalu?"
"Setelah mereka bergabung dengan kelompok ini, kami mengalami perubahan. Melalui penyucian."
"Kamu bahagia?"
"Tujuan hidup ini bukanlah kebahagiaan."
El berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya dalam dan berbisik, dengan aksen yang tidak bisa kukenali.
"Lalu apa?"
"Kedamaian, kesehatan, dan keharmonisan."
"Tidak bisakah semua itu diraih tanpa menjauh dari masyarakat?"
"Menurut kami tidak bisa."
Wajahnya tampak berwarna perunggu dan dipenuhi kerutan, matanya berwarna mahoni.
"Dalam masyarakat terlalu banyak hal yang bisa membuat kami tertarik untuk menyimpang. Obat terlarang. Televisi. Hak milik. Kerakusan. Keyakinan kami menentang semua itu."
"El lebih bisa mengungkapkan semua itu daripadaku,"
Ujar Kathryn.
"Tapi, kenapa harus membentuk komune?"
Tanya Ryan.
"Kenapa tidak melupakan saja semua itu dan masuk biara?"
Kathryn memberi tanda kepada El untuk "menerangkannya".
"Alam semesta ini adalah sebuah lubang organic yang terdiri atas berbagai unsur yang saling berkaitan. Setiap bagian tidak bisa dipisahkan dan berinteraksi dengan unsur lainnya. Walaupun kami hidup terpisah, kelompok kami adalah bagian kecil dari semua realitas tersebut."
"Anda bisa menjelaskan hal itu?"
Tanya Ryan.
"Dengan hidup terpisah dari dunia ini, kami menolak rumah jagal hewan, pabrik kimia, dan pengilanganminyak, kaleng bir, ban bekas, dan got. Dengan hidup bersama sebagai sebuah kelompok, kami saling memberikan dukungan, kami member makanan jiwa dan raga sekaligus."
"Semua untuk satu."
El tersenyum kepada Ryan.
"Semua mitos lama harus dihilangkan sebelum kesadaran sejati bias diraih."
"Semuanya?"
"Ya."
"Bahkan mitos orang itu juga?"
Ryan menganggukkan kepalanya ke arah si pengkhotbah.
"Semuanya."
Kuarahkan kembali percakapan itu ke jalurnya.
"Kathryn, kalau kamu ingin mendapatkan informasi tentang seseorang, kamu akan bertanya kepada siapa?"
"Begini saja,"
Ujarnya, tersenyum.
"kamu tidak akan menemukan wanita itu,"
Dia meraih gelas Carlie kembali.
"Dia mungkin sudah ada di Riviera sekarang, mengoleskan krim tabir surya kepada bayibayinya."
Aku menatapnya beberapa saat. Dia tidak tahu. Dom belum memberitahukan kepadanya. Dia tidak ikut percakapan awal kami dan tidak tahu mengapa kami menanyakan Heidi dan Brian. Aku menarik napas panjang.
"Heidi Schneider sudah meninggal, Kathryn. Begitu juga dengan Brian Gilbert."
Dia memandangku seakanakan aku sudah gila.
"Mati? Dia tidak mungkin sudah mati."
"Kathryn!"
Suara El terdengar tajam. Kathryn tidak mengacuhkan temannya.
"Maksudku, dia masih sangat muda. Dan dia sedang hamil."
Suaranya terdengar meratap, seperti anak kecil.
"Mereka semua dibunuh kurang dari tiga minggu yang lalu."
"Kalian ke sini bukan untuk membawa mereka pulang ke rumahnya?"
Matanya bergerak dari Ryan kepadaku. Aku bisa melihat bercak kuning kecil di irisnya yang berwarna hijau.
"Kalian bukan orangtuanya?"
"Bukan."
"Mereka sudah mati?"
"Ya."
"Kedua bayinya?"
Aku mengangguk. Tangannya menutup mulutnya, kemudian melayang turun ke pangkuannya, seperti kupukupu yang tidak yakin harus mendarat ke mana. Carlie menarik roknya, dan tangannya turun untuk mengelus kepala anaknya itu.
"Bagaimana orang bisa melakukan sesuatu seperti itu? Maksudku, aku tidak mengenal mereka, tapi bagaimana mungkin ada orang yang tega membunuh seluruh keluarga? Membunuh bayibayinya?"
"Kita semua juga akan mati pada akhirnya,"
Ujar El, meletakkan lengan di bahu wanita muda itu.
"Kematian hanyalah sebuah peralihan dalam proses pertumbuhan."
"Peralihan menjadi apa?"
Tidak ada jawaban.
Saat itu, sebuah mobil van putih membelok di hadapan People's Bank di ujung Bay Street.
El meremas bahu Kathryn dan mengangguk ke arah mobil itu.
Dia kemudian meraih Carlie, bangkit, dan menjulurkan tangannya.
Kathryn menyambutnya dan juga ikut bangkit.
"Semoga kalian baikbaik saja,"
Ujar El, dan kedua wanita itu berjalan menuju mobil van tersebut.
Kuamati mereka sejenak, kemudian meneguk Coke yang tersisa, Saat mencari keranjang sampah, sesuatu di bawah bangku tertangkap oleh mataku.
Tutup gelas Carlie.
Kucari sebuah kartu nama dari tasku, menuliskan sebuah nomor, kemudian meraih tutup itu.
Ryan tampak heran saat aku melompat dari bangku itu.
Kathryn baru saja hendak menaiki mobil van itu.
"Kathryn,"
Panggilku dari tengah jalan.
Dia menoleh dan kulambai-lambaikan tutup gelas itu.
Di belakangnya, jam di bank menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit.
Dia berbicara ke dalam van, kemudian berjalan mendekatiku.
Saat dia menjulurkan tangan, kuberikan tutup itu dengan diselipi kartu namaku di dalamnya.
Matanya bertemu dengan mataku.
"Telepon aku kalau kamu mau bicara."
Dia berbalik tanpa berkata apa-apa, berjalan kembali ke van itu, dan masuk.
Aku bisa melihat kepala Dom yang pirang di belakang kemudi saat mereka menghilang di ujung Bay Street.
Aku dan Ryan menunjukkan foto itu di toko obat lainnya dan beberapa restoran cepat saji, kemudian kami melaju ke kantor Sheriff Baker.
Ivy Lee mengatakan bahwa masalah rumah tangga itu ternyata berkembang menjadi penyanderaan.
Seorang pekerja kesehatan yang menganggur memasang barikade di dalam rumah, menyandera istri dan putrinya yang berusia tiga tahun, mengancam akan menembak mereka.
Baker tidak akan bisa menemani kami malam itu.
"Sekarang bagaimana?"
Tanyaku kepada Ryan. Kami berdiri lapangan parkir di Duke Street.
"Kurasa Heidi tidak suka berkeliaran di malam hari, jadi kita tidak akan mendapatkan informasi apa pun dengan pergi ke berbagai bar dan klub malam."
"Setuju."
"
"Kita sudahi saja. Aku akan mengantarmu ke Love Boat."
"Namanya Melartie Tes s."
"Tess. Bukankah itu sesuatu yang kita makan dengan roti jagung dan kacang polong?"
"Hern hocks dan kentang."
"Kamu mau kuantar?"
"Boleh."
Kami mengendarai mobil tanpa berkata apa-apa. Aku merasa Ryan sangat mengesalkan sepanjang hari tadi dan tidak sabar untuk segera lepas darinya. Kami sedang di atas jembatan saat dia memecahkan keheningan.
"Aku ragu apakah Heidi pernah pergi ke salon kecantikan atau salon pencokelatan kulit."
"Luar biasa. Aku tahu sekarang kenapa kamu jadi detektif."
"Mungkin kita harus memusatkan perhatian pada Brian. Mungkin dia pernah bekerja."
"Kamu 'kan sudah mengecek dia. Tidak ada catatan pajak tentang dia 'kan?"
"Tidak ada."
"Bisa saja gajinya dibayar tunai."
"Mempersempit kemungkinan."
Kami membelok di Ollie's.
"Jadi, kita ke mana sekarang?"
Tanyaku.
"Aku belum pernah merasakan roti jagung itu."
"Maksudku penyelidikannya. Kamu makan malam sendirian saja. Aku mau pulang ke rumah, mandi, dan membuat sepiring makaroni instan. Dalam urutan seperti itu,"
"Ya ampun, Brennan, makanan itu 'kan mengandung bahan pengawet lebih banyak dari mayat Lenin."
"Aku sudah baca labelnya."
"Sama saja dengan makan limbah industri. Kamu akan mengacaukan"
Dia menirukan Kathryn-"potensi genetikmu."
Kenangan yang sudah setengah terlupakan mulai merayap masuk kembali ke dalam benakku, tanpa bentuk, seperti kabut di pagi hari. Aku mencoba menariknya masuk, tetapi semakin keras aku berkonsentrasi, semakin cepat saja kenangan itu menghilang.
"
Owens lebih baik menjaga diri. Aku akan membuntutinya seperti lalat mengerubungi makanan terbuka di meja makan."
"Menurutmu, khotbah seperti apa yang diutarakannya?"
"Sepertinya kombinasi antara kiamat ekologi dan pengembangan diri melalui sereal gandum."
Ketika sudah berhenti di dermaga, langit mulai terlihat cerah di atas payau. Garis kekuningan menerangi cakrawala.
"Kathryn mengetahui sesuatu,"
Ujarku.
"Sama seperti kita semua."
"Kamu kadang-kadang memang menyebalkan, Ryan."
"Terima kasih karena sudah menyadarinya. Apa yang membuatmu mengira dia menyembunyikan sesuatu?"
"Dia menyebutkan bayibayi."
"Jadi?"
"Bayibayi."
Kulihat sebuah pikiran berkelebat di matanya. Kemudian.
"Sialan."
"Kita tidak pernah mengatakan kepadanya bahwa Heidi mengandung anak kembar."
Empat puluh menit kemudian, kudengar ketukan di pintu masuk anjungan.
Aku sudah memakai kemeja Hornets yang ditinggalkan Katy, tanpa celana dalam, dan handuk yang membentuk sebuah turban cantik.
Aku mengintip melalui kerai.
Ryan berdiri di dermaga sambil memegang dua dus minuman dan pizza berukuran raksasa.
Dia sudah melepaskan jaket dan dasinya, menggulung lengan bajunya tepat di bawah sikunya.
Sialan.
Kulepaskan kaitan pintu dan menariknya.
Aku bisa saja mematikan lampu dan menolak untuk membukakan pintu untuknya.
Aku bisa saja tidak mengacuhkannya.
Aku bisa saja menyuruhnya pergi.
Aku mengintip kembali dan ternyata langsung menatap mata Ryan.
"Aku tahu kamu belum tidur, Brennan. Aku 'kan detektif?"
Dia mengayunkan satu dus minuman di depan mukaku.
"Diet Coke."
Dasar.
Aku tidak membenci Ryan.
Sebenarnya, aku senang ditemaninya daripada ditemani orang lain.
Lebih dari yang bersedia kuakui.
Aku menyenangi komitmennya pada pekerjaannya, dan rasa simpati yang ditunjukkannya kepada para korban dan keluarganya.
Aku menyukai kecerdasan dan kejeliannya.
Dan aku senang mendengar kehidupan Ryan, seorang anak kampus yang menjadi liar, dipukuli jagoan sepeda motor, kemudian beralih ke sisi lainnya.
Anak jagoan menjadi polisi yang tangguh.
Sepertinya kesejajaran yang sangat puitis.
Aku benarbenar menyukai penampilannya, tetapi akal sehatku menasihatiku untuk tidak terlibat dengannya.
Ah, peduli amat.
Yang pasti lebih enak daripada mie dan keju sintetis.
Aku masuk ke dalam kamarku, meraih celana pendek dan menyisir rambutku.
Kunaikkan kerai dan menarik ram nyamuk untuk mengizinkan dia masuk.
Dia menyerahkan minuman dan pizza, kemudian membalikkan tubuh dan menuruni tangga.
"Aku punya Coke sendiri,"
Ujarku sambil menutup ram nyamuk.
"Tidak ada istilah kebanyakan Coke."
Aku menunjuk ke lorong dan dia meletakkan pizza di atas meja, membuka tutup sekaleng bir untuknya dan sekaleng Diet Coke untukku, kemudian meletakkan kaleng lainnya di dalam lemari es.
Kukeluarkan piring, serbet, dan pisau besar, sementara dia membuka kotak pizza.
"Menurutmu, makanan itu lebih bergizi daripada pasta?"
"Ini pizza veggie supreme, pizza sayuran."
"Apa itu?"
Tanyaku sambil menunjuk ke gundukan cokelat.
"Tambahan daging. Aku meminta semua kelompok makanan."
"Ayo kita bawa ke ruang makan,"
Ujarku.
Kami menghamparkan makanan di atas meja dan duduk di atas sofa.
Bau payau dan kayu basah melayang masuk dan bergabung dengan aroma saus tomat dan daun kemangi.
Kami makan dan membicarakan berbagai kasus pembunuhan, dan menimbang-nimbang kemungkinan bahwa para korban di St-Jovite memiliki hubungan dengan Dom Owens.
Akhirnya, obrolan menyambung ke masalah pribadi.
Kuceritakan Beaufort di masa kanak-kanakku, dan berbagi kenangan musim panasku di pantai.
Kubicarakan tentang Katy, dan bahwa aku berpisah dengan Pete.
Ryan menceritakan awal kehidupannya di Nova Scotia, dan mengungkapkan perasaannya tentang perpisahan yang baru dialaminya.
Percakapan itu terasa mengalir begitu saja dan alami, dan aku mengungkapkan lebih banyak tentang diriku dari yang pernah kubayangkan.
Dalam keheningan, kami mendengarkan suara air dan gemerisik rerumputan di payau.
Kulupakan kekerasan dan kematian dan melakukan sesuatu yang sudah lama tidak kulakukan.
Aku merasa santai.
"Wah, cukup mengherankan, aku sudah terlalu banyak bercerita,"
Ujarku, saat mulai membereskan pring dan serbet. Ryan meraih kaleng kosong.
"Mari kubantu."
Lengan kami bersinggungan dan aku merasakan kehangatan menyebar di permukaan kulitku.
Tanpa berkata apa-apa, kami membersihkan bekas makan malam dan membawanya ke dapur.
Saat kami kembali ke sofa, Ryan berdiri di hadapanku sejenak, kemudian duduk mendekat, meletakkan kedua tangan di bahuku dan membalikkan tubuhku, menjauhi tubuhnya.
Sewaktu aku hendak protes, dia mulai memijat otot di pangkal leherku, di bahuku, dan menuruni lenganku sampai ke siku.
Tangan nya menuruni punggungku, kemudian mengarah ke atas, setiap jempol bergerak memutar kecil di ujung tulang belikat.
Saat menyentuh ujung rambut, jari-jemarinya melakukan gerakan memutar yang sama di bawah batok kepalaku.
Mataku terpejam.
"Mmmmm."
"Otot-ototmu tegang sekali."
Semuanya terlalu indah untuk diganggu dengan pembicaraan.
Tangan Ryan menyentuh bagian bawah punggungku dan jempolnya memijat otot di tulang punggungku, menekan semakin tinggi, sejengkal demi sejengkal.
Napasku melambat dan aku merasakan diriku meleleh.
Lalu, aku ingat Harry.
Dan tubuhku yang tidak memakai pakaian dalam.
Kubalikkan tubuh menghadapnya, hendak menghentikan semuanya, dan mata kami bertatapan.
Ryan terlihat sedikit ragu, kemudian memegang wajahku dengan kedua tangannya, dan menempelkan bibirnya ke bibirku.
Jari-jemarinya membelai rahangku, ke belakang melalui rambutku, kemudian lengannya merangkul bahuku dan menarikku mendekat kepadanya.
Aku mulai mendorongnya, tapi kemudian berhenti, tanganku menyentuh dadanya.
Tegap dan tegang, ototnya menyatu dengan tulangnya.
Kurasakan panas tubuhnya dan mencium bau kulitnya, dan putingku menegang di bawah kemeja katunku yang tipis.
Tubuhku terjatuh ke dadanya, kupejamkan mata dan membalas ciumannya.
Dia memelukku erat-erat dan kami berciuman agak lama.
Saat lenganku mengelilingi lehernya, dia menyelipkan tangannya di bawah kemejaku dan jarinya menarinari di kulit tubuhku.
Sentuhannya terasa sangat lembut dan bulu kudukku berdiri di punggung sampai ke puncak kepalaku.
Tubuhku melenting di dadanya dan menciumnya dengan lebih bersemangat, membuka dan menutup mulutku mengikuti irama napasnya.
Dia menurunkan tangannya dan menelusuri pinggangku dengan jarinya sampai ke perutku, melingkari payudaraku dengan sentuhan lembutnya.
Putingku menegang dan api menjalari seluruh tubuhku.
Dia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku dan bibirku meraupnya.
Tangannya menutupi payudara kiriku, kemudian pelan-pelan membelainya.
Lalu, dia meremas puting dengan jempol dan jarinya, menekan dan melepaskannya seirama dengan ciuman bibir kami.
Jemariku menelusuri tulang punggungnya dan tangannya menjelajahi ke bawah menuju lekukan pinggangku.
Dia meremas perutku, melingkari pusarku, kemudian mengaitkan jarinya di dalam karet celana pendekku, Aliran listrik seakan menyebar di bagian bawah tubuhku.
Akhirnya, bibir kami terpisah dan Ryan menciumi wajahku dan memasukkan lidahnya ke dalam telingaku.
Kemudian, dia mendorongku ke bantalan sofa dan berbaring di sampingku, matanya yang biru menusuk tajam menatap mataku.
Dia bergerak menyamping, mengangkat pahaku dan menarikku kepadanya.
Aku bisa merasakan tonjolan keras dari balik celananya, dan kami berciuman kembali.
Sejenak kemudian dia melepaskan diri, membengkokkan lututnya dan menekan pahanya di antara kedua kakiku.
Aku merasakan ledakan di dalam perutku dan merasa sulit bernapas.
Sekali lagi Ryan meletakkan salah satu tangannya di bawah kemejaku dan menggeser ke atas menuju payudaraku.
Dia membuat gerekan memutar dengan telapak tangannya, kemudian jempolnya menyapu putingku.
Ku lentingkan tubuhku dan mengerang saat sensasinya membuat dunia di sekelilingku terasa lenyap.
Aku sudah tidak ingat waktu lagi.
Beberapa saat atau jam kemudian, tangannya merayap ke bawah dan aku merasakan tarikan di risletingku.
Kubenamkan hidungku di lehernya dan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanpa memedulikan Harry, aku tidak akan menolaknya.
Lalu, telepon berdering.
Tangan Ryan menutup telingaku dan mencium bibirku dengan penuh semangat.
Aku menanggapinya, merenggut rambut di belakang kepalanya, memaki Southern Bell.
Kami membiarkan telepon itu sampai deringan keempat.
Saat mesin penjawab menyala, terdengar suara lirih yang sulit didengar, seakan pemilik suara itu berbicara dari ujung lorong yang panjang.
Kami berdua meloncat, tetapi sudah terlambat.
Kathryn sudah menutup gagang telepon.[] Tidak ada gunanya memulihkan situasi itu setelah ada telepon dari Kathryn.
Walaupun Ryan bersedia untuk mencobanya kembali, tetapi pikiran rasional kami sudah kembali dan suasana hatiku tidak mendukung.
Bukan saja aku kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Kathryn, tetapi aku tahu bahwa sekarang mau tak mau aku harus menyadari adanya kekuatan seksual baru sang Detektif Jantan yang satu ini.
Walaupun orgasme sudah lama kudambakan dan pasti akan kusambut dengan senang hati, aku meramalkan bahwa akibat yang kuhadapi nanti cukup berat.
Kuusir Ryan dan kuempaskan tubuhku ke tempat tidur tanpa memedulikan kebersihan gigi dan rutinitas sebelum tidur.
Bayangan terakhir yang melintas di benakku sebelum jatuh tertidur berasal dari kelas tujuh.
Pelajaran Suster Luke tentang hukuman untuk setiap dosa.
Aku merasa bahwa perbuatanku dengan Ryan akan membuat hukuman yang kuterima semakin berat.
Aku bangun dengan wajah diterpa sinar matahari dan diiringi jeritan burung camar, dan pikiranku langsung teringat kembali pada kejadian di sofa tadi malam.
Aku meringis dan menutupi wajah dengan kedua tanganku, merasa seperti anak remaja yang menyerahkan keperawanannya di dalam mobil Pontiac.
Brennan, ke mana akal sehatmu tadi malam? Bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah apa yang sedang kupikirkan.
Edna St.
Vincent Millay pernah menulis sebuah puisi tentang hal itu, Apa namanya? "I Being Born a Woman and Distressed." (Aku dilahirkan sebagai wanita dan tertekan).
Sam menelepon jam delapan dan mengatakan bahwa kasus Murtry tidak mendapat kemajuan berarti.
Tidak ada seorang pun yang pernah melihat hal yang aneh.
Tidak pernah terlihat kapal tak dikenal yang mendekat atau meninggalkan pulau itu dalam beberapa minggu terakhir.
Dia ingin tahu apakah aku sudah mendengar kabar dari Hardaway.
Kujawab bahwa aku belum mendapat kabar apaapa.
Dia mengatakan akan ke Raleigh selama beberapa hari dan ingin memastikan bahwa semua keperluanku ada yang menangani.
Oh, tentu.
Dia menjelaskan bagaimana cara menutup kapal dan tempat meninggalkan kunci dan kami pun mengucapkan salam perpisahan.
Aku sedang mengerik sisasisa pizza dan membuangnya ke dalam tempat sampah ketika mendengar ketukan di pintu masuk di dermaga.
Aku sudah bias menebak siapa yang datang dan tidak mengacuhkannya.
Ketukan itu berlanjut, tidak menyerah seperti pengumpulan dana amal National Public Radio, dan beberapa saat kemudian aku tidak bisa bertahan lagi.
Kuangkat kerai dan tampak Ryan berdiri tepat di tempatnya seperti tadi malam.
"Selamat pagi."
Dia mengacungkan sekantong donat.
"Sudah berubah pekerjaan menjadi pengantar makanan?"
Kuturunkan ram nyamuk. Kalau dia berani melontarkan sindiran, aku tahu akan kurobek lehernya. Dia naik ke kapal, tertawa, dan menawarkan permen berkalori-tinggi bergizi-rendah.
"Cocok dengan kopi."
Aku berjalan ke anjungan, menuangkan dua cangkir kopi dan menambahkan susu ke cangkirku.
"Hari yang cerah."
Dia meraih kotak susu.
"Mmmm."
Kuraih donat berbalut cokelat dan bersandar di tempat cuci piring. Aku tidak berniat untuk duduk di sofa itu lagi.
"Aku sudah bicara dengan Baker,"
Ujar Ryan. Aku menunggu.
"Dia akan bertemu dengan kita jam tiga nanti."
"Aku sudah akan di jalanan pada jam tiga,"
Ujarku sambil meraih donat lainnya.
"Sepertinya kita harus ke sana lagi,"
Ujar Ryan.
"Ya."
"Mungkin kita bisa bicara sendiri dengan Kathryn."
"Itu sepertinya keahlianmu."
"Apa kita akan melakukan ini sepanjang hari?"
"Aku mungkin akan menyanyi saat di jalan nanti."
"Aku datang ke sini tidak dengan niat merayumu."
Hal itu malah membuatku semakin marah.
"Maksudmu aku tidak sekelas dengan adikku?"
"Apa?"
Kami minum tanpa berkata apa-apa, kemudian kupenuhi cangkirku kembali dan mengisi lagi teko kopi itu. Ryan mengamati, kemudian menyeberang menghampiri Mr. Coffee, dan menuangkan cangkir kedua untuknya.
"Menurutmu benarbenar ada yang akan disampaikan Kathryn kepada kita?"
Tanyanya.
"Dia mungkin menelepon hanya karena ingin mengundangku makan tuna caserole."
"Nah, sekarang siapa yang bersikap menyebalkan?"
"Terima kasih karena sudah menyadarinya."
Kubilas cangkirku dan meletakkannya terbalik di atas meja.
"Kalau kamu malu tentang tadi malam ...."
"Apa aku harus malu?"
"Tentu saja tidak."
"Sungguh melegakan."
"Brennan, aku tidak akan menggodamu di ruangan autopsi atau menggerayangimu saat sedang melakukan pengintaian. Hubungan pribadi kita tidak akan memengaruhi hubungan profesional kita."
"Aku ragu. Yang pasti hari ini aku memakai baju dalam."
"Oke."
Dia tertawa geli.
Aku segera mengumpulkan barang-barangku.
Setengah jam kemudian, kami sudah memarkir mobil di depan rumah peternakan itu.
Dom Owens duduk di beranda, berbicara dengan sekelompok orang.
Melalui ram nyamuk, kami tidak mungkin bisa mengenali orangorang itu, kecuali jenis kelaminnya.
Keempat orang itu lelaki semuanya.
Sekelompok orang sedang bekerja di taman di belakang bungalow putih, dan dua orang wanita mendorong anakanaknya main ayunan di dekat trailer, sementara beberapa orang lainnya menjemur cucian.
Sebuah van biru diparkir di halaman, tetapi aku tidak melihat keberadaan van putih.
Kuamati orangorang di tempat ayunan.
Aku tidak melihat Kathryn, walaupun kupikir salah satu bayi sepertinya mirip Carlie.
Kuamati seorang wanita yang memakai rok bunga-bunga membuai si bayi dengan gerakan lembut.
Aku dan Ryan berjalan ke pintu dan mengetuk.
Para lelaki itu berhenti berbicara dan membalikkan tubuh menghadap kami.
"Ada yang bisa kami bantu?"
Kata salah seorang dengan suara melengking. Owens mengangkat tangan.
"Tidak apa-apa, Jason."
Dia bangkit, menyeberangi beranda, dan medorong pintu ram nyamuk.
"Maaf, rasanya aku belum tahu nama kalian."
"Saya Detektif Ryan. Ini Dr. Brennan."
Owens tersenyum dan melangkah keluar. Aku mengangguk dan berjabat tangan dengannya. Para lelaki di beranda mengawasi tanpa berkata apa-apa.
"Apa yang bisa kubantu hari ini?"
"Kami masih ingin bisa menentukan di mana Heidi Schneider dan Brian Gilbert berada selama musim panas yang lalu. Anda sudah mengajukan pertanyaan itu selama acara jam keluarga?"
Suara Ryan terdengar tanpa kehangatan sama sekali. Owens tersenyum lagi.
"Acara kelas pengalaman. Ya, kami sudah mendiskusikannya. Sayangnya, tidak ada yang tahu apa-apa atau siapa kedua orang itu. Maaf. Tadinya aku berharap bisa memberi bantuan."
"Kami ingin berbicara dengan orang-orangmu, kalau diperbolehkan."
"Maaf, tetapi aku tidak bisa mengizinkannya."
"Kenapa tidak?"
"Anggota kami tinggal di sini karena mereka mencari kedamaian dan perlindungan. Banyak yang tidak ingin berhubungan dengan kekotoran dan kekerasan masyarakat modern. Anda, Detektif Ryan, mewakili dunia yang telah mereka tolak. Aku tidak bias menodai ketenangan mereka dengan meminta mereka untuk berbicara dengan Anda."
"Beberapa anggota kelompokmu bekerja di kota."
Owens memiringkan kepalanya dan menatap ke langit untuk memohon diberi kesabaran. Lalu, dia tersenyum kembali kepada Ryan.
"Salah satu keahlian yang kami kembangkan adalah perlindungan diri. Tidak semua orang diberi anugerah yang sama, tapi beberapa anggota kami belajar untuk bisa terlibat dalam dunia sekuler namun tetap menutup diri, tidak tersentuh oleh polusi moral dan fi sik."
Kembali senyuman yang sabar.
"Walaupun kami menolak perusakan kebudayaan kami, Pak Ryan, kami bukan orangorang bodoh. Kami tahu bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Kami juga butuh makanan."
Saat Owens berbicara, aku mengawasi orangorang yang sedang berkebun. Kathryn tidak terlihat.
"Apakah semua orang di sini bebas untuk dating dan pergi semaunya?"
Tanyaku, kembali mengalihkan perhatian kepada Owens.
"Tentu saja."
Dia tertawa.
"Bagaimana aku bias menghentikan mereka?"
"Apa yang terjadi kalau seseorang ingin pergi selamanya?"
"Mereka tinggal pergi begitu saja."
Dia mengangkat bahunya dan merentangkan tangannya. Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang berbicara. Suara derikan ayunan terdengar dari seberang pekarangan.
"Kalau tidak salah, pasangan muda yang kalian cari mungkin pernah tinggal beberapa waktu dengan kami, mungkin ketika aku sedang bepergian,"
Ujar Owens.
"Walaupun jarang, hal itu pernah terjadi. Tapi, sepertinya bukan begitu kejadiannya. Tidak ada seorang pun di sini yang ingat pada mereka berdua."
Saat itu, Howdy Doody muncul dari rumah sebelah. Ketika melihat kami, dia terlihat ragu-ragu, kemudian membalikkan tubuh dan bergegas menuju ke arah kedatangannya.
"Aku masih tetap ingin bicara dengan beberapa orang di sini,"
Ujar Ryan.
"Mungkin ada sesuatu yang diketahui seseorang yang mereka pikir tidak begitu penting. Itu sering terjadi."
"Pak Ryan, aku tidak akan mengizinkan orangorangku diganggu. Aku telah menanyakan tentang pasangan muda itu dan tidak ada yang mengenal mereka. Apa lagi yang hendak dicari? Kurasa aku tidak bisa mengizinkan Anda mengganggu rutinitas kami."
Ryan memiringkan kepalanya dan membuat suaranya tercekat.
"Kurasa kamu harus mengizinkannya, Dom."
"Dan kenapa harus begitu?"
"Karena aku tidak akan pergi. Aku punya teman bernama Baker. Kamu ingat dia? Dan dia memiliki teman yang bisa memberikan sesuatu yang disebut surat izin penggeledahan."
Owens dan Ryan saling beradu pandang, dan untuk sejenak tidak ada yang berbicara. Kudengar para lelaki di beranda bangkit dan di kejauhan anjing menyalak. Kemudian, Ownes tersenyum danmendehem.
"Jason, tolong ajak semua orang datang ke beranda."
Suaranya terdengar rendah dan datar.
Owens berdiri dan seorang lelaki yang mengenakan pakaian hangat berwarna merah berjalan melewatinya dan menuju kelompok perumahan.
Tubuhnyabergelambir dan gendut, dan agak mirip dengan Julia Child (koki AS yang terkenal).
Kulihat dia berhenti untuk mengelus seekor kucing, kemudian berjalan menuju kebun.
"Silakan masuk,"
Ujar Owens, membuka pintu ram nyamuk. Kami mengikutinya masuk ke ruangan yang kami duduki kemarin dan duduk di kursi rotan yang sama. Rumah itu sangat sunyi.
"Kalau boleh, aku akan pergi sebentar. Anda ingin minum sesuatu?"
Kami menolaknya dan dia meninggalkan ruangan.
Di atas kepala, sebuah kipas angin mendengung lembut.
Tak lama kemudian, kudengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa, kemudian pintu ram nyamuk terbuka.
Kelompok Owens masuk dan kuamati mereka satu demi satu.
Kurasakan Ryan melakukan hal yang sama.
Dalam beberapa menit ruangan itu sudah penuh dan aku bisa menyimpulkan satu hal.
Orangorang in terlihat biasa saja.
Mereka sama saja dengan kelompok kajian Baptist yang sedang mengadakan acara piknik bersama.
Mereka bergurau dan tertawa, tidak terlihat tertekan.
Tampak beberapa bayi, orang dewasa, dan sedikitnya satu orang lansia, tetapi tidak ada remaja atau anakanak.
Aku segera menghitung dengan cepat.
tujuh lelaki, tiga belas wanita, tiga anakanak.
Kata Helen ada dua puluh enam orang di komune tersebut.
Aku mengenali Howdy dan Helen.
Jason berdiri menyandar ke dinding.
El berdiri di dekat lengkungan.
Carlie duduk di pangkuannya.
Dia menatapku lekat-lekat.
Aku tersenyum, teringat pada pertemuan kami di Beaufort sore hari kemarin.
Ekspresinya tidak berubah.
Kutatap wajah-wajah lainnya.
Kathryn tidak ada.
Owens kembali dan ruangan langsung hening.
Dia memperkenalkan kami, kemudian menjelaskan alasan keberadaan kami.
Orangorang dewasa mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian menatap kami.
Ryan menyerahkan foto Brian dan Heidi kepada salah seorang lelaki paruh baya di sebelah kirinya, lalu memaparkan kasus dengan menghindari hal-hal teperinci yang tidak perlu disebarkan.
Lelaki itu menatap foto, kemudian memberikannya kepada orang di sebelahnya.
Saat foto itu diedarkan, kuamati setiap wajah, mengamati apakah ada perubahan ekspresi yang mungkin menandakan mereka mengenal pasangan muda ini.
Yang kulihat hanyalah kebingungan dan perasaan kasihan.
Setelah Ryan selesai bicara, Owens kembali menanyai para pengikutnya tentang pasangan itu atau telepon ke rumah ini.
Tidak ada yang berbicara.
"Pak Ryan dan Dr. Brennan telah meminta izin untuk mewawancarai kalian satu per satu."
Owens menatap wajah mereka satu per satu.
"Silakan berbicara dengan mereka. Bila ada sesuatu yang kalian pikirkan, ungkapkanlah dengan penuh kejujuran dan kasih sayang. Kita bukan orang yang menyebabkan tragedi ini, tapi kita bagian dari alam semesta dan harus bertindak sesuai dengan kekuatan yang kita miliki untuk meluruskan masalah ini. Lakukanlah demi keharmonisan."
Setiap mata memandangnya, dan aku merasakan ketegangan yang aneh di dalam ruangan itu.
"Mereka yang tidak bisa berbicara jangan merasa bersalah atau malu."
Dia bertepuk tangan.
"Sekarang. Bekerjalah! Penegasan holistik melalui tanggung jawab bersama!"
Ya ampun, pikirku. Saat mereka sudah pergi, Ryan berterima kasih kepadanya.
"Ini bukan Waco, Pak Ryan. Tidak ada yang Kami sembunyikan."
"Kami berharap bisa berbicara dengan wanita muda yang kami temui kemarin,"
Ujarku. Dia menatapku sejenak dan berkata.
"Wanita muda?"
"Ya. Dia datang dengan seorang anak. Carlie, kalau tidak salah?"
Dia menatapku beberapa saat lamanya sehingga kupikir dia tidak ingat. Kemudian, Owens tersenyum.
"Itu pasti Kathryn. Dia ada janji hari ini."
"Janji?"
"Kenapa Anda ingin berbicara dengan Kathryn?"
"Dia sepertinya seumur dengan Heidi. Kupikir mereka mungkin saling mengenal."
Aku merasa tidak perlu mendiskusikan pesta jus kami di Beaufort.
"Kathryn tidak ada di sini musim panas yang lalu. Dia sedang mengunjungi orang tuanya."
"Oh begitu. Kapan pulangnya?"
"Aku tidak tahu kapan persisnya."
Ram nyamuk terbuka dan seorang lelaki tinggi muncul di lorong.
Tubuhnya benarbenar kurus seperti pengusir burung, dan tampak seberkas rambut putih menutupi alis dan bulu mata sebelah kanan, membuatnya terlihat aneh.
Aku ingat siapa dia.
Selama pertemuan tadi, dia berdiri di dekat aula, bermain-main dengan salah seorang balita.
Owens mengacungkan satu jarinya dan si pengusir burung itu mengangguk dan menunjuk ke arah rumah.
Dia memakai cincin besar yang kelihatannya tidak pantas dipakai di jarinya yang kurus seperti tulang.
"Maaf, tetapi ada sesuatu yang harus kukerjakan,"
Ujar Owens.
"Bicaralah dengan siapa pun yang kalian inginkan, tapi harap hormati keinginan kami untuk menjaga keharmonisan."
Dia mengantar kami ke pintu dan menjulurkan tangannya.
Yang pasti, Dom orang yang hebat dalam berjabatan tangan.
Dia mengatakan senang menerima kunjungan kami dan semoga kami menemukan apa yang kami cari.
Kemudian, dia pergi.
Aku dan Ryan menghabiskan sisa pagi itu berbicara dengan para pengikutnya.
Mereka cukup baik, dan kooperatif, dan benarbenar harmonis.
Dan, mereka tidak tahu apa-apa.
Bahkan, tidak tahu di mana Kathryn berada.
Pada pukul setengah dua belas, kami kembali tanpa menemukan sesuatu yang baru.
"Ayo kita temui pendeta itu dan mengucapkan terima kasih,"
Ujar Ryan, meraih serangkaian kunci dari dalam sakunya. Semua kunci itu digantungkan pada sebuah cakram plastik besar, dan bukan kunci untuk mobil sewaan itu.
"Buat apa?"
Tanyaku. Aku lapar dan kepanasan, siap untuk pergi.
"
Hanya untuk kesopanan."
Aku mendelik, tetapi Ryan sudah setengah jalan menyeberangi pekarangan.
Kulihat dia mengetuk pintu ram nyamuk, kemudian berbicara dengan si lelaki beralis mata pucat.
Beberapa saat kemudian, Owens muncul.
Ryan mengatakan sesuatu dan menjulurkan tangannya dan seperti boneka kayu, ketiganya berjongkok, lalu bangkit dengan cepat.
Ryan berbicara lagi, membalikkan tubuh, dan berjalan menuju mobil.
etelah makan siang, kami berusaha mencari lagi di beberapa toko obat, lalu mengemudikan mobil menuju pusat pemerintahan.
Kutunjukkan kantor penyimpanan arsip kepada Ryan, kemudian kami me nyeberangi lapangan menuju kantor polisi.
Seorang lelaki berkulit hitam berkemeja kutung dan bertopi sedang mengendarai traktor kecil di lapangan rumput, tulangnya yang kurus dijulurkan seperti kaki jangkrik.
"Apa kabar?"
Tanyanya, sambil menyentuh pinggir topinya dengan jari.
"Baik."
Kuhirup bau rumput yang baru dipotong dan berharap keadaan memang baik seperti yang kukatakan kepadanya.
Baker sedang berbicara di telepon saat kami masuk ke kantornya.
Dia menunjuk ke kursinya, berbicara beberapa saat lagi, lalu menutup gagang telepon.
"Jadi, bagaimana perkembangannya?"
Tanyanya.
"Payah,"
Sahut Ryan.
"Tidak ada yang tahu apa-apa."
"Apa yang bisa kami bantu?"
Ryan mengangkat jaketnya, menarik sebuah kantong Ziploc (kantong plastik bertutup seperti risleting) dari dalam saku dan meletakkannya di atas meja Baker. Di dalamnya terlihat cakram plastic merah.
"Tolong diperiksa sidik jarinya."
Baker menatapnya.
"Aku tidak sengaja menjatuhkannya. Owens berbaik hati memungutkannya untukku."
Baker terlihat ragu sejenak, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Kalian tahu mungkin hal ini tidak ada gunanya 'kan?"
"Aku tahu. Tapi, mungkin bisa mengungkapkan siapa orang ini sebenarnya."
Baker meletakkan plastik itu ke samping.
"Ada lagi?"
"Bagaimana dengan alat penyadap?"
"Tidak mungkin. Kamu belum punya cukup bukti untuk melakukan itu."
"Surat penggeledahan?"
"Dengan alasan apa?"
"Telepon?"
"Tidak cukup."
"Menurutku juga begitu."
Ryan mengembuskan napas dan menjulurkan kaki.
"Kalau begitu, aku terpaksa harus melakukannya dengan cara yang lebih berbelit-belit. Aku akan memulainya dengan memeriksa surat tanah dan arsip pajak, memeriksa siapa pemilik padepokan di Adler Lyons itu. Aku akan memeriksa catatan listrik dan air, menemukan siapa yang membayar tagihannya. Aku akan bicara dengan kantor pos, memeriksa apakah ada orang yang memesan majalah Hustler atau memesan baju dari toko pakaian J. Crew. Aku akan memeriksa nomor Social Security Owens, bekas istrinya, hal-hal semacam itulah. Dia pasti punya SIM, jadi pasti akan tercatat. Kalau pendeta itu pernah kencing sembarangan pun, aku pasti akan mencecarnya. Mungkin aku akan mengintainya, mengamati mobil yang keluar masuk padepokan itu, mengecek nomor polisinya. Kuharap kamu tidak keberatan ka lau aku berkeliaran di kotamu ini untuk selama beberapa waktu."
"Silakan tinggal di Beaufort selama mungkin yang diperlukan, Pak Ryan. Aku akan menugasi seorang detektif untuk membantumu. Dan Dr. Brennan, apa rencanamu?"
"Aku akan berangkat sebentar lagi. Aku harus menyiapkan kuliah dan menangani kasus Pak Colker dari Murtry."
"Baxter pasti akan senang mendengarnya. Dia menelepon dan mengatakan bahwa Dr. Hardaway ingin berbicara denganmu secepatnya. Bahkan, dia telah menelepon kami tiga kali hari ini. Apa mau menggunakan teleponku?"
Aku yakin kami semua menangkap maksud tersiratnya.
"Boleh."
Baker meminta Ivy Lee untuk menelepon Hardaway.
Sejenak kemudian, telepon berdering dan aku segera mengangkatnya.
Ahli patologi itu sudah selesai melakukan semua hal yang bisa dilakukannya.
Dia dapat menentukan jenis kelamin mayat yang berada di bagian bawah kuburan, dan orang itu mungkin berkulit putih.
Menurut nya, korban meninggal akibat luka sayatan, tetapi tubuhnya sudah terlalu membusuk sehingga tidak dapat menentukan dengan pasti penyebab kematiannya.
Kuburan itu cukup dangkal sehingga serangga bisa masuk ke dasarnya, mungkin menggunakan mayat yang di atasnya sebagai perantaranya.
Luka yang terbuka juga memacu terbentuknya kolonisasi, Tengkorak dan dadanya dipenuhi gerombolan belatung terbesar yang pernah dilihatnya.
Wajah mayat sudah tidak mampu dikenali sehingga dia tidak mampu memperkirakan usianya.
Dia menduga masih bias menemukan sidik jari.
Di belakangku, Ryan dan Baker mendiskusikan Dom Owens.
Hardaway melanjutkan.
Yang tersisa dari bagian tubuh mayat yang di atas hanyalah tulangnya, walaupun beberapa jaringan otot yang melekat masih ada.
Dia tidak bisa menggunakannya untuk penelitian lebih lanjut dan memintaku untuk melakukan analisis lengkap.
Kukatakan agar mengirimkan tengkorak, tulang paha, tulang selangkangan, dan dada bawah mulai dari rusuk ketiga sampai kelima dari bawah, Aku memerlukan seluruh tulang dari korban yang ada di atas.
Aku juga minta dilakukan pemotretan sinar-X pada setiap korban, salinan laporan dia, dan fotofoto autopsi yang lengkap.
Terakhir, kujelaskan bagaimana aku menginginkan tulang itu diproses.
Hardaway sudah mengetahui prosedur itu dan mengatakan bahwa kedua jenazah itu serta semua dokumentasi akan sampai di labku di Charlotte pada hari Jumat.
Kututup gagang telepon dan melihat jam tangan.
Bila aku ingin menyelesaikan semuanya sebelum menghadiri konferensi di Oakland, aku harus segera bersiap-siap.
Aku dan Ryan menyeberangi lapangan parkir, tempatku meninggalkan mobilku pagi itu.
Matahari bersinar terik dan rasanya sejuk berdiri di bawah bayang-bayang gedung seperti ini.
Kubuka pintu dan meletakkan lenganku di atap mobil.
"Ayo kita makan malam,"
Ujar Ryan.
"Boleh saja. Lalu, aku akan melumuri diriku dengan kue pie dan kita berfoto untuk New York Times,"
"Brennan, sudah dua hari ini kamu memperlakukan aku seperti permen karet yang dibuang di jalanan. Sebenarnya, setelah kupikirkan lebih dalam lagi, kamu sudah terlihat gelisah selama beberapa minggu terakhir. Oke. Aku bisa menerimanya."
Dia meraih daguku dan menatap lurus ke mataku.
"Tapi, aku mau kamu tahu satu hal. Tadi malam bukan hanya masalah kebetulan saja. Aku menyukaimu dan sangat menikmati masamasa kita bersama.Aku tidak menyesal hal itu terjadi. Dan aku tidak bisa berjanji bahwa aku tidak akan berusaha melakukannya lagi. Ingat, aku mungkin menjadi anginnya, tapi kamu yang mengendalikan layang-layangnya. Hatihati dijalan."
Setelah mengatakan itu, dia melepaskan daguku dan berjalan ke mobilnya. Sambil membuka kunci mobil, dia melemparkan jaketnya ke kursi penumpang dan membalikkan tubuhnya menghadapku.
"Omong-omong, kamu tidak pernah mengatakan kenapa kamu meragukan bahwa korban di Murtry adalah pengedar narkoba."
Untuk beberapa saat aku hanya bisa menatapnya. Aku ingin tinggal di situ tetapi aku juga ingin menjauh darinya. Kemudian, pikiranku kembali dari lamunanku.
"Apa?"
"Kedua mayat di pulau itu. Kenapa kamu meragukan teori pembunuhan oleh gembong narkoba?"
"Karena keduanya perempuan."[] Selama perjalanan, kuputar beberapa kaset, tetapi berita dari Danau Wobegon tidak menarik perhatianku. Aku memiliki jutaan pertanyaan dan sangat sedikit jawaban. Apakah Anna Goyette sudah pulang ke rumahnya? Siapakah kedua wanita yang dikuburkan di Murtry Island? Apa yang akan diungkapkan tulangbelulangnya kepadaku? Siapa yang membunuh Heidi dan kedua bayinya? Apakah ada hubungan antara St-Jovite dan komune di Saint Helena? Siapakah Dom Owens? Ke mana perginya Kathryn? Ke mana perginya Harry? Kepalaku menyingkirkan pikiran tentang tugas apa saja yang harus kulakukan. Dan apa yang ingin kulakukan. Aku belum membaca sedikit pun tentang Elisabeth Nicolet sejak meninggalkan Montreal. Pada pukul setengah sembilan, aku sudah kembali ke Charlotte. Selama kepergianku, lingkungan di Sharon Hall telah menyelimuti dirinya dengan pakaian musim semi yang paling indah. Bunga azaleas dan dogwood telah mekar dengan sempurna dan beberapa bradford pears dan crabapples yang sudah berbunga masih terus tumbuh. Udara tercium seperti pohon pinus dan serpihan kulit pohon. Di dalam, kedatanganku ke Annex seperti mengulangi ke datanganku seminggu sebelumnya. Jam sedang berdetik. Lampu pesan di mesin penerima telepon berkedapkedip. Lemari es kosong. Mangkuk Birdie berada di tempatnya yang biasa di bawah jendela. Aneh juga, Pete belum mengosongkan mangkuk itu. Walaupun berantakan dalam hal lainnya, suamiku benarbenar teliti bila berhubungan dengan makanan. Kulakukan pemeriksaan sekilas untuk melihat apakah kucing itu sedang bersembunyi di bawah kursi atau lemari. Tidak tampak Bird. Kutelepon Pete, tetapi seperti sebelumnya, dia tidak ada di rumahnya. Begitu juga dengan Harry di apartemen di Montreal. Karena menduga dia mungkin sudah pulang ke rumahnya, aku mencoba menelepon rumahnya di Texas. Juga tidak ada jawaban. Setelah membongkar tas, aku membuat roti lapis tuna dan memakannya dengan acar dan keripik kentang sambil menonton akhir pertandingan basketHornets. Pada pukul sepuluh, kumatikan TV dan mencoba menghubungi Pete lagi. Masih tidak ada jawaban. Aku berpikir untuk mendatangi rumahnya untuk mengambil Birdie, tetapi memutuskan untuk menundanya sampai besok pagi. Aku mandi, kemudian berbaring di tempat tidur dengan memegang fotokopi Belanger dan tenggelam ke dunia abad sembilan belas di Montreal, Walaupun sudah beberapa hari tidak membaca jurnalnya, kisah Louis-Philippe tetap tidak bisa membuatku terjaga dan dalam waktu satu jam kelopak mataku sudah mulai menutup. Kumatikan lampu dan mengambil posisi tidur, berharap istirahat yang panjang akan membuat pikiranku teratur kembali. Dja jam kemudian, aku terduduk dari tidurku, jantungku berdegup kencang, otakku berusaha keras mencari alasannya. Kutarik selimutku sampai menutupi dadaku, hampir tidak bisa bernapas, berusaha mengenali ancaman yang telah membuatku terbangun. Hening. Satu-satunya cahaya di kamarku berasal dari jam di samping tempat tidur. Kemudian, suara pecahan kaca membuat bulu tengkukku berdiri. Adrenalinku langsung melonjak tinggi. Bayangan perampokan, mata seperti reptil, pisau berkilat terkena cahaya bulan, melintas di benakku lagi. Sebuah pikiran berderak-derak di kepalaku. Jangan sampai terjadi iagi! Gubrak! Gedubrak! Ya, terjadi iagi! Suara itu bukan dari luar! Tapi dari lantai bawah! Di dalam rumahku! Pikiranku dengan cepat mempertimbangkan beberapa pilihan. Mengunci kamar tidur. Memeriksa ke bawah. Menelepon polisi. Kemudian, tercium bau asap. Sialan! Kulemparkan selimut dan dengan tersaruk-saruk menyeberangi kamar, menyingkirkan kengerian yang menyeruak untuk mencari unsur pemikiran yang rasional. Senjata. Aku memerlukan senjata. Apa? Apa yang bisa kugunakan? Mengapa dulu aku menolak gagasan untuk menyimpan senjata di rumahku? Aku bergegas ke meja rias dan meraba-raba mencari kerang yang kubawa pulang dari Outer Banks. Kerang itu tidak bisa digunakan untuk membunuh, tetapi ujungnya bisa menembus kulit dan daging manusia. Sambil mengarahkan ujungnya yang tajam ke depan, kugenggam kerang itu dan kutekan jempolku di bagian luarnya. Sambil menahan napas, aku merayap mendekati pintu, tanganku yang bebas meraba dinding seakan sedang mencari titik-titik huruf Braille. Meja rias. Pegangan pintu. Lorong, Di puncak tangga, aku terpaku dan mengintip ke bawah ke kegelapan ruang duduk. Darah berdentum di telingaku saat aku menggenggam kerang itu dan menajamkan pendengaran. Tidak ada suara dari bawah. Kalau ada seseorang di bawah sana, aku seharusnya tetap di atas. Telepon. Kalau ada kebakaran di bawah, aku harus segera keluar. Kutarik napas dan kuletakkan salah satu kaki di undakan tangga, menunggu. Kemudian, undakan kedua. Ketiga. Lutut ditekuk, kerang dipegang setinggi dada, dan aku merayap menuju lantai bawah. Bau sangit itu semakin keras. Asap. Bensin. Dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang sudah akrab dengan indra penciumanku. Di undakan terbawah aku berhenti, pikiranku membayangkan kejadian yang terjadi di Montreal kurang dari setahun yang lalu. Saat itu dia, si pembunuh, sudah berada di dalam rumah, menunggu untuk menyerang. Ini tidak mungkin terjadi lagi! Telepon 921! Keluar! Kukelilingi sandaran tangga dan menatap ke ruangan makan. Gelap gulita. Aku segera mengundurkan diri ke kamar tamu. Gelap, tapi anehnya sedikit berubah. Ujung ruangan terlihat berwarna perunggu di tengah-tengah kegelapan. Perapian, kursi Queen Anne, semua perabotan dan lukisan tampak berkilauan dengan lembut, seperti barang yang terlihat dalam fatamorgana. Melalui pintu dapur, aku bisa melihat cahaya Jingga menarinari di depan lemari es. Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee! Dadaku terasa menegang saat keheningan dipecahkan oleh suara melengking tinggi. Tubuhku meregang dan kerang itu menghantam dinding. Dengan gemetar, kutempelkan punggungku ke dinding. Suara itu berasal dari alat pendeteksi kebakaran! Kuamati apakah ada gerakan di dalam ruangan. Tidak ada apa-apa, kecuali kegelapan dan kerlapkerlip cahaya yang mencekam. Rumah sedang terbakar. Cepat lari! Jantungku berdentam-dentum, napasku terengah-tengah, aku berlari menuju dapur. Api membara di tengah ruangan, memenuhi udara dengan asap dan api terlihat dipantulkan oleh setiap permukaan yang berkilau. Tanganku yang gemetaran menemukan tombol lampu dan aku menyalakannya. Mataku mencaricari ke kiri dan ke kanan. Lidah-lidah api tampak di tengah ruangan. Api belum menyebar. Kuletakkan kerang itu dan, sambil mengangkat ujung gaun tidurku menutupi mulut dan hidung, aku membungkuk dan bergerak ke lemari makanan. Kutarik alat pemadam kebakaran kecil dari bagian atas lemari. Paru-paruku menghirup asap dan air mata mengaburkan pandanganku, tetapi aku mampu memencet pegangannya. Alat itu hanya berdesis. Sialan! Sambil terbatuk-batuk dan tercekik, aku memencetnya kembali. Desisan kembali, kemudian karbon dioksida dan serbuk putih menyembur dari moncongnya. Yes! Kuarahkan moncongnya ke api dan dalam waktu kurang dari satu menit api sudah padam. Alarm masih menjerit-jerit, suaranya seperti kepingan logam yang menusuk-nusuk telinga dan menembus otakku. Kubuka pintu belakang dan jendela di atas tempat cuci piring, kemudian mendekati meja. Aku tidak perlu repot-repot membuka jendela di atas meja. Kusennya tampak rusak dan pecahan kaca serta serpihan kayu tampak memenuhi lantai. Embusan angin meniup gorden, menarik dan meniupnya dari lubang jendela. Sambil memutari pecahan kaca di lantai, kunyatakan kipas di langitlangit, meraih sebuah handuk dan mengusir asap dari dalam ruangan. Pelan-pelan ruangan mulai terlihat jelas kembali. Kuseka mataku dan berusaha mengendalikan napas. Terus kipaskan handuk! Alarm masih terus berbunyi. Aku berhenti mengipaskan handuk dan melihat ke sekeliling ruangan. Sebuah balok kayu tergeletak di bawah meja, lainnya terlihat di dekat lemari di bawah tempat cuci. Di antaranya tampak gumpalan kain hangus yang menjadi sumber api itu. Ruangan sekarang dipenuhi bau asap dan bensin. Dan bau lainnya yang kukenal. Dengan kaki gemetaran, aku melangkah menuju gundukan barang yang masih membara itu. Kutatap, tidak sepenuhnya mengerti, saat alarm berhenti berbunyi. Keheningan itu sepertinya tidak alami. Hubungi 911. Tidak perlu. Saat meraih telepon, di kejauhan kudengar suara sirine. Suaranya terdengar semakin nyaring, sangat nyaring, kemudian berhenti. Dalam beberapa saat, seorang petugas pemadam kebakaran muncul di pintu belakangku.
Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Pendekar Rajawali Sakti Iblis Penggali Kubur Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur