Expected One 2
Kathleen Mcgowan The Expected One Bagian 2
Ia jauh lebih tertarik dengan bukubuku yang telah diceritakan Rachel.
Rak-rak buku tampaknya disusun menurut topik, Maureen menelusurinya dengan cepat.
Ada bukubuku tentang Penduduk Asli Amerika, ada pula seksi Celtici yang mungkin akan diamatinya lain hari, dan ada seksi malaikat sesuatu yang banyak terlihat di ruangan ini.
Di sebelah kanan seksi ini adalah bukubuku tentang pemikiran Kristen.
Aha, aku pasti sudah dekat.
Maureen terus mencari dan berhenti tibatiba.
Di sana ada sebuah buku besar warna putih dengan huruf tebal hitam MAGDALENA.
"Tampaknya kau sudah berhasil menemukannya tanpa bantuanku!"
Maureen melonjak kaget, tak mendengar kedatangan Rachel dari belakangnya.
Pelanggan muda itu membuat lonceng pintu berbunyi saat ia keluar dari toko, 1 Rumpun bahasa yang digunakan penduduk Inggris, Wales, Irlandia barat, dan Dataran tinggi Skotlandia.
tangannya menggenggam tas kecil warna biru dan putih berisi kristal pilihannya.
"Ini salah satu di antara bukubuku yang aku ceritakan padamu. Bukubuku lainnya lebih tipis. Ini, menurutku kau harus melihat yang satu ini."
Rachel mengambil sebuah buku tipis, tidak lebih tebal dibandingkan sebuah pamflet, dari lemari setinggi mata. Sampulnya merah muda dan kelihatannya dicetak dengan komputer rumahan. Mary in McLean, judulnya, tertulis dalam Times New Roman, 24 poin.
"Maria yang mana ini?"
Tanya Maureen. Saat menulis bukunya, ia telah menelusuri sejumlah publikasi yang ternyata merujuk ke Bunda Maria, bukan Magdalena.
"Mariamu,"
Kata Rachel sambil tersenyum penuh arti. Maureen setengah tersenyum ke perempuan itu. Memang, Mariaku, la mulai merasa seperti itu.
"Tak perlu dijelaskan lagi, karena ditulis oleh seorang penduduk lokal. Komunitas spiritual di Mclean tahu buku ini tentang Maria Magdalena. Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, dia memiliki pengikutnya sendiri di sini."
Rachel kemudian menjelaskan bahwa selama beberapa generasi, penduduk kota kecil di Virginia ini telah melaporkan visivisi spiritual.
"Yesus terlihat di sini dalam hampir seratus kejadian yang terdokumentasi pada abad terakhir. Anehnya, Ia sering terlihat berdiri di sisi jalan jalan utama yang kau lalui untuk sampai ke sini. Beberapa di antara visi itu berupa Yesus yang mengemban salib, juga terlihat di jalan utama. Ada juga yang mengatakan visi itu berupa Yesus yang berjalan dengan seorang perempuan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa perempuan itu bertubuh mungil dan berambut panjang."
Rachel membolak-balik buku itu, menunjukkan berbagai bab.
"Visi pertama didokumentasikan pada awal abad ke-20. Perempuan yang melihat visi itu adalah Gwendolyn Maddox. Peristiwa itu terjadi di halaman belakangnya, di antara tempat tempat lain. Ia yakin bahwa perempuan yang bersama Kristus adalah Maria Magdalena, sementara pendeta gerejanya besikeras bahwa perempuan itu adalah Perawan Maria. Memang, kita akan mendapat nilai lebih dari Vatikankalau kita melihat Dia. Tapi Gwen tua itu berkeras bahwa yang dilihatnya itu Maria Magdalena. Ia mengatakan tak tahu bagaimana ia tahu, ia tahu saja. Dan Gwen juga mengatakan bahwa visi itu telah menyembuhkannya dari penyakit artritis rematoid yang parah. Itulah sebabnya ia membuat tempat persembahan dan membuka halamannya untuk publik. Sampai hari ini, penduduk lokal berdoa kepada Maria Magdalena untuk mendapat kesembuhan.
"Yang juga menarik, tak ada keturunan Gwen yang menderita artritis rematoid, padahal sepengetahuanku penyakit itu menurun. Aku merasa sangat bersyukur, sama seperti ibu dan nenekku. Aku adalah cicit Gwen dolyn."
Maureen melihat buku di tangannya. Ia tidak membaca tulisan kecil di bagian bawah pamflet itu tadi. Oleh. Rachel Maddox Martel. Rachel menyerahkan buku itu ke Maureen.
"Hadiah untukmu. Tulisan ini menceritakan kisah Gwen, dan beberapa uraian tentang visivisi itu. Sekarang buku yang satu ini"
Rachel menunjuk buku besar warna putih dengan judul tebal warna hitam MAGDALENA"\n\ juga ditulis oleh penduduk McLean.
Penulisnya cukup banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari visivisi Maria Magdalena di wilayah ini.
Selain itu ia juga banyak melakukan riset.
Buku ini membahas teoriteori tentang Magdalena.
Jika boleh aku katakan, beberapa di antaranya terlalu aneh, bahkan bagiku sendiri.
Tapi bacaan ini menakjubkan, kau tak akan menemukannya di tempat lain karena buku ini tidak disebarluaskan."
"Akan aku ambil, pasti,"
Maureen sedikit melamun. Pikirannya melayang ke tempat lain secara bersamaan.
"Menurutmu, kenapa McLean? Maksudku, di antara semua tempat di Amerika, kenapa ia datang ke sini?"
Rachel tersenyum dan mengangkat bahunya sedikit.
"Aku tidak mempunyai jawaban untuk itu. Barangkali peristiwa seperti ini juga terjadi di tempattempat lain di Amerika, tapi mereka hanya menyimpannya. Atau mungkin tempat ini memiliki keistimewaan. Yang aku tahu, orangorang yang memiliki minat spiritual terhadap kehidupan Maria Magdalena cepat atau lambat cenderung datang ke McLean. Tak bisa aku katakan, betapa banyak orang yang datang ke toko ini mencari bukubuku khusus tentang dia. Dan sepertimu, sebelumnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang mereka sadari tentang keterkaitan Magdalena di kota ini. Tak mungkin hanya kebetulan, bukan? Aku percaya Maria menarik\ pengikutnya ke sini, ke McLean."
Maureen memikirkan hal itu sejenak sebelum menjawab.
"Kautahu...,"
Ia memulai perlahan, masih mengatur pikirannya.
"Saat merencanakan perjalanan ini, semula aku berniat menginap di D.C. Ada seorang teman baik di sana, dan lebih mudah berkendara ke McLean untuk penandatanganan buku dari sana. Urusan penerbangan pun membuatku memilih D.C, tapi pada menit terakhir, aku memutuskan untuk menginap di sini."
Rachel tersenyum selama mendengarkan Maureen menjelaskan perubahan rencana perjalanannya.
"Lihat. Maria membawamu ke sini. Berjanjilah padaku, jika kau melihatnya saat mengemudikan mobil di McLean ini, jangan lupa menelepon dan menceritakannya padaku."
"Apakah kau pernah melihatnya?"
Maureen harus tahu. Rachel mengetuk buku tipis merah muda di tangan Maureen dengan ujung kukunya.
"Ya, dan buku ini sebenarnya adalah sebuah penjelasan bagaimana visivisi itu diturunkan dalam keluargaku,"
Jelasnya dengan nada yang begitu wajar.
"Yang pertama kali, aku masih sangat muda. Empat atau lima tahun, mungkin. Di kebun nenekku, di tempat pemujaan itu. Maria sedang sendiri pertama kali aku melihatnya. Visi kedua terjadi saat aku remaja. Di suatu 'pinggiran jalan,' itu julukan yang kami berikan. Dan Maria terlihat bersama Yesus. Sangat aneh. Aku berada dalam mobil yang penuh dengan anakanak perempuan, kami dalam perjalanan pulang dari pertandingan sepak bola sekolah. Waktu itu Jumat malam. Kakak perempuanku, Judith, yang mengemudikan mobil. Di belokan, kami melihat seorang lelaki dan perempuan berjalan ke arah kami. Judy memperlambat mobil untuk melihat apakah mereka memerlukan bantuan. Saat itulah kami sadar siapa mereka sebenarnya. Mereka hanya berdiri di sana, membeku dalam waktu, tapi ada seberkas sinar yang mengelilingi mereka.
"Judy sangat tersentuh dengan pemandangan ini dan mulai menangis. Lalu anak perempuan yang di duduk di sampingnya, di kursi depan, menanyakan mengapa kami berhenti. Ternyata tak ada yang melihat mereka selain aku dan kakakku.
"Sudah lama aku bertanya-tanya apakah genetika ada hubungannya dengan visivisi itu. Banyak anggota keluargaku yang mengalaminya. Aku sendiri memiliki bukti nyata bahwa kami dapat melihat visi yang tidak dilihat orang lain. Tapi aku masih belum tahu apa sebabnya, sungguh. Tentu ada juga orang orang di McLean sini yang tidak memiliki hubungan darah denganku, yang juga mengalami visivisi itu."
"Apakah semua visi itu dilihat oleh perempuan?"
"Oh, ya, aku lupa bagian itu. Sepengetahuanku, kapan pun Maria terlihat sendiri, ia terlihat oleh seorang perempuan. Jika ia muncul bersama Yesus, ia terlihat baik oleh lelaki maupun perempuan. Tapi tetap saja, perempuan yang lebih sering melihatnya. Atau barangkali lelaki melihatnya, tapi mereka cenderung tidak menceritakannya."
"Begitu."
Maureen mengangguk.
"Rachel, seberapa jelaskah kau melihat Maria? Maksudku, dapatkah kau menjelaskan bagaimana wajahnya secara mendetail?"
Rachel terus tersenyum penuh arti yang secara a-neh membuat Maureen merasa nyaman.
Berbincang-bincang tentang visi seolah itu adalah hal paling lumrah di dunia membuat Maureen merasa sangat aman.
Setidaknya jika ia ternyata gila, ia bersama seorang teman yang menyenangkan.
"Aku bisa lebih dari sekadar menjelaskan. Mari ke sini."
Rachel menggandeng tangan Maureen dengan lembut dan menuntunnya ke belakang toko.
Ia menunjuk ke dinding di belakang mesin kasir, tapi mata Maureen sudah menemukan potret itu lebih dulu.
Sebuah lukisan minyak, fokusnya adalah seorang perempuan berambut merah -kecokelatan dengan wajah yang sangat indah dan mata cokelat yang paling luar biasa.
Rachel mengamati reaksi Maureen dengan seksama, dan menantinya berbicara.
Ia harus menunggu lama.
Maureen membisu.
Rachel menggumam perlahan.
"Aku tahu, kalian berdua telah bertemu sebelumnya."
F Seterkesimanya Maureen melihat wajah dalam pigura itu, ia lebih kaget lagi dengan peristiwa yang terjadi selanjutnya.
Setelah keterkejutan pertama ini, ia mulai gemetar sebelum isaknya pecah Ia berdiri di sana dan menangis selama satu menit, mungkin dua.
Isakan itu mengguncang tubuh mungilnya selama beberapa detik sebelum menjadi tangisan pelan.
Ia merasakan sebuah kesedihan yang sangat buruk, sebuah penderitaan yang sangat dalam dan menyakitkan, tapi ia tak yakin bahwa kesedihan itu adalah miliknya sendiri.
Seolah ia sedang mengalami penderitaan perempuan di dalam potret itu.
Namun kepedihan itu lalu berganti.
Setelah reaksi awal, tangisan Maureen lebih merupakan tangisan lega, dan ia pasrah di dalamnya.
Lukisan minyak itu mencerminkan sebuah validasi, membuat perempuan dalam mimpi itu menjadi nyata.
Perempuan dalam mimpi, yang ternyata adalah Maria Magdalena.
f Rachel berbaik hati dengan merebuskan teh herbal di ruang belakang toko.
Ia membiarkan Maureen duduk di gudang kecil untuk memberikan privasi.
Sepasang muda-mudi memasuki toko untuk mencari bukubuku astrologi, dan Rachel meninggalkan Maureen untuk membantu mereka.
Maureen duduk di sebuah meja kecil di belakang, menyesap teh kamomil, dan berharap pernyataan di kotak teh.
"menenangkan saraf, bukan sekadar tipuan iklan. Selesai dengan transaksi di toko depan, Rachel kembali ke belakang untuk menengok Maureen.
"Apakah kau baikbaik saja?"
Maureen mengangguk dan kembali menyesap teh.
"Sekarang baik, terima kasih. Rachel, aku sungguh minta maaf atas kelakuanku, aku cuma, ...apakah kau yang melukis itu?"
Rachel mengangguk.
"Bakat seni mengalir dalam keluargaku. Nenekku seorang pematung. Ia telah membuat beberapa patung Maria Magdalena menggunakan tanah liat. Aku sering bertanya apakah karena itu Maria muncul kepada kami karena kami memiliki suatu cara untuk mengekspresikannya?"
"Atau mungkin karena orangorang seni lebih terbuka,"
Maureen menyuarakan pikirannya.
"Karena otak kanan?"
"Mungkin saja. Kupikir setidaknya kombinasi keduanya. Tapi ada satu lagi yang ingin aku ceritakan. Aku percaya sepenuh hati bahwa Maria ingin didengar. Jumlah peristiwa penampakannya meningkat di McLean ini selama satu dasawarsa terakhir. Ia menghantuiku selama setahun belakangan, dan aku tahu bahwa aku harus melukisnya agar bisa menemukan kedamaian. Setelah potret itu selesai dan dipajang, aku bisa tidur lagi. Bahkan sejak itu aku belum pernah melihatnya lagi."
F Kembali ke kamar hotelnya malam itu, Maureen mengaduk anggur merah di gelasnya, matanya menerawang.
Ia melirik ke televisi, memilih saluran kabel, berusaha keras tidak membiarkan pembawa acara bincang-bincang yang sangat konservatif itu memengaruhinya.
Meski dari luar terlihat kuat, Maureen membenci konfrontasi.
Bahkan memikirkan kemungkinan mereka sedang membicarakan karyanya saja sudah menyakitkan.
Menyaksikan acara seperti itu seolah sedang menonton kecelakaan mobil yang menyedihkan ia tak bisa mengalihkan pandangan, betapapun tak menyenangkannya pemandangan di hadapannya.
Pembawa acara mengenalkan tamu-tamu terhormatnya, dilanjutkan dengan pertanyaan.
"Bukankah ini hanya satu lagi serangan di antara deretan panjang serangan terhadap Gereja?"
Teks Uskup Magnus O'Connor muncul di bawah sebuah wajah tua seorang pendeta yang marah saat ia menjawab dalam aksen yang tak salah lagi adalah Irlandia.
"Tentu saja. Selama berabadabad, kami telah melewati berbagai serangan dari orangorang sesat yang berusaha merusak keyakinan jutaan umat demi kepentingan pribadi mereka. Para ekstremis feminis ini harus menerima kenyataan bahwa semua rasul yang diakui adalah lelaki."
Maureen menyerah.
Ia tidak memiliki energi untuk melayani urusan ini sekarang ia baru saja menjalani hari yang sangat panjang dan emosional.
Maureen membungkam pejabat gereja itu dengan menekan salah satu tombol remote control, sambil berkhayal seandainya saja ia bisa melakukan tindakan yang sangat mudah itu dalam kehidupan nyata.
"Masa bodoh, Yang Mulia,"
Gerutunya, sambil berjalan ke tempat tidur.
f Seberkas cahaya dari luar kamar hotel menyinari meja kecil di samping tempat tidur.
Cahaya itu juga menerangi pernak-pernik tidur Maureen .
segelas anggur merah separuh kosong dan sekotak pil tidur yang dijual bebas.
Sebuah asbak kristal kecil di samping meja lampu berisi cincin tembaga kuno dari Yerusalem.
Maureen bolak-balik dengan gelisah di ranjangnya.
Usahanya untuk tidur pulas tidak berhasil kendati ia telah meminum obat.
Lalu mimpi itu datang, begitu bersikukuhnya walau tak diundang.
Awalnya selalu sama keributan, keringat, kerumunan.
Tapi Maureen tidak sampai ke bagian tempat pada mimpi sebelumnya ia melihat seorang perempuan.
Lalu semuanya hitam.
Maureen terjerumus ke dalam suatu kehampaan selama waktu yang tak diketahui.
Kemudian, mimpi itu berubah.
f Pada suatu hari yang tenang, di tepi pantai Galilea, seorang bocah lelaki berlari-lari di depan ibundanya yang cantik.
Bocah itu tidak memiliki mata cokelat yang tajam dan rambut merah seperti yang dimiliki ibunya.
Tapi adik perempuannya mewarisi keduanya.
Penampilan anak lelaki itu berbeda, matanya hitam dan tegas.
Dan untuk ukuran anak kecil, ia sangat lincah.
Sambil berlari-lari di tepian pantai, ia memungut sebongkah batu yang menarik lalu mengangkatnya untuk dimain-mainkan di bawah sinar matahari.
Sang ibu memperingatkan agar ia tak terlalu jauh ke air.
Perempuan itu tidak mengenakan selubung formalnya hari ini.
Rambut panjangnya tak diikat, terurai di sekeliling wajahnya saat ia meraih tangan gadis cilik yang wajahnya persis seperti dirinya.
Suara seorang lelaki mengekspresikan peringatan serupa, tapi dengan cara yang halus, kepada gadis cilik yang telah terlepas dari tangan ibunya itu dan kini berlari mendekati kakaknya.
Anak itu tampaknya tak mau menurut, tapi ibundanya hanya tertawa, lalu melirik lewat bahunya dan tersenyum kepada lelaki yang berjalan di belakangnya.
Dalam acara santai bersama keluarga kecilnya, lelaki itu tidak mengenakan pakaian putih dan tidak berikat pinggang.
Pakaian yang ia kenakan berbeda dengan jubah putih sederhana yang biasa ia kenakan saat bertemu dengan jemaat.
Ia mengibaskan rambut panjangnya yang berwarna kastanye, sama seperti bola matanya, dan membalas senyuman perempuan itu.
Ekspresinya penuh kehangatan dan ketenangan.
f Maureen didorong dengan kasar ke dalam kondisi terjaga, seolah tubuhnya dilempar dari mimpi itu hingga kembali ke kamar hotelnya.
Ia gemetar.
Mimpi itu selalu mengganggunya.
Tapi kali ini bahkan lebih meresahkan.
Ia merasa seperti anak busur yang melaju dengan cepat melewati ruang dan waktu.
Maureen tersengal-sengal dan berusaha keras menyeimbangkan diri dan bernapas dengan lebih santai.
Ia baru mulai memperoleh kembali keseimbangannya ketika ia sadar ada sesuatu yang berkelebat di kamarnya, di luar pintunya.
Ia yakin ada gemerisik, tapi ia lebih merasa alih-alih melihat sosok yang tampaknya ada di lorong depan kamarnya.
Yang sesungguhnya ia lihat, tak bisa didefinisikan suatu bentuk, suatu sosok, suatu gerakan.
Itu tidak penting.
Maureen tahu siapa itu.
Sama seperti ia tahu bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Itu adalah Dia.
Wanita itu ada di sini, di kamar Maureen.
Maureen menelan ludah.
Mulutnya kering lantaran terkejut dan takut.
Ia tahu, sosok di luar pintu itu bukan sosok yang nyata.
Tapi ia belum yakin apakah itu membuatnya lega.
Ia mengerahkan seluruh keberaniannya dan berhasil berbisik kepada sosok di luar pintu kamarnya.
"Apa...katakanlah bagaimana aku membantumu. Kumohon."
Selintas cahaya muncul sebagai jawaban, suatu kibasan selubung atau gerakan dedaunan yang tertiup angin musim semi.
Lalu hening.
Sosok itu menghilang dengan cepat, secepat kemunculannya.
f Maureen melompat dari tempat tidur dan menghidupkan lampu jam digitalnya menunjukkan angka 4.10 pagi.
Di sini lebih dulu tiga jam dibandingkan di Los Angeles.
Maafkan aku, Bapa, pikir Maureen sambil meraih gagang telepon dari meja kecil lalu menekan angka secepat yang bisa ia lakukan dengan jemarinya yang gemetar.
Ia membutuhkan sahabat saat ini dan barangkali, barangkali, ia membutuhkan seorang pendeta.
Suara Peter yang meyakinkan, dengan aksen Irlandianya yang menenangkan, membuat Maureen kembali ke bumi.
"Pengalaman-pengalaman seperti...hmm...visi ini sangat penting diingat. Kuharap kau mencatat semuanya?"
"Visi? Jangan berceramah tentang segala sesuatu yang berbau Vatikan padaku, Pete."
Maureen mengerang keras.
"Aku sudah mati sebelum menjadi orang aneh yang menghebohkan sehingga menyebabkan inkuisisi Roma."
"Huu, Maureen. Aku tak akan berbuat seperti itu padamu. Tapi bagaimana seandainya yang kau alami itu memang visi? Kau tidak bisa meremehkan begitu saja, karena yang ditunjukkan kepadamu itu mungkin saja penting."
"Pertamatama, hanya ada dua hal yang kita katakan saja visi. Selebihnya hanya mimpi. Mimpi yang sangat gamblang dan kuat. Tapi tetap saja mimpi. Barangkali ini kegilaan genetik. Menurun dari keluarga, kautahu."
Maureen menghela napas.
"Sialan, aku benarbenar takut. Harusnya kau membuatku tenang."
"Maaf. Kau benar, dan aku mau menolongmu. Tapi kau harus berjanji untuk mencatat tanggal dan waktu kedatangan vis eh, mimpimu itu. Cuma untuk pekerjaan kita saja. Kau seorang sejarawan dan jurnalis. Di antara semua orang, harusnya kaulah yang paling tahu mencatat data itu penting."
Maureen tertawa mendengar ucapan ini.
"Oh ya, dan ini tentu data yang bersejarah."
Ia menghela napas lagi.
"Oke, akan aku lakukan. Barangkali akan menjadikan semuanya jelas suatu hari. Aku hanya merasa banyak yang terjadi di bawah permukaan, dan semua itu sepenuhnya di luar kendaliku." ... A fiu harus menulis lebih ban yak leniang Nathaniel, yang kami panggil Bartolomeus. karena aku sangat terharu dengan pengabdiannya. Bartolomeus sudah beranjak dewasa ketika pertama bergabung dengan kami di Galilea. Dan meskipun ia diusir dari rumah ayahnyayang terhormat To/ma dari Canae. begitu bertemu dengannya aku mtrasa yakin balnya dia bukan pemuda yang berwatak kasar. Tentulah patriarkhi yang kejam dan tidak bijaksana telah salah menilai keluhuran dan tekad seoraiig putra tampan yang begitu berharga dan memiliki jina yang istinrwa. Easa pun melihat karakter ini. dalam sekejap mata. Bartolomeus bisa dipahami lewat tatap matanya. Selain Easa dan putriku, aku belum pernah menyaksikan kemurnian dan kebajikan lewat sepasang mata. Kesucian hati mencuat dari dalam diri merekasuatu jiwa yang murni dan bersih. Pada hari ketlatangannya di rumahku di Magdak. putra kecilku naik ke pangkuannya dan tidak t mm sepanjang senja itu. Anakanak adalah hakim yang baik. Easa dan aku saling tersenyum dari seberang meja menyaksikan Yohants kecil bersama sahabat bartmya. Yohanes memperkuat keyakinan yang kami dapat begitu melihat Bartolomeusbahwa ia bagian keluarga kami. untuk selamanya. INJIL ARQUES MARIA MACDALENA KITAB PARA MURID Lima Los Angeles April 2005 Maureen kelelahan saat membawa mobilnya ke tempat pelayanan parkir di luar gedung kondominium kelas atas yang ia tempati, di Wilshire Boulevard. Ia membiarkan Andre, petugas gedung itu, memarkirkan mobil dan memintanya membawakan tas ke lantai atas. Penerbangan dari Dulles yang tertunda, ditambah kurang tidur semalam, membuat sarafnya tegang. Hal terakhir yang ia harapkan atau butuhkan adalah kejutan. Tapi itulah yang ia dapatkan begitu memasuki lobi.
"Nona Paschal, selamat sore."
Laurence, manajer penerima tamu, menyapa. Lelaki berperawakan kecil dan terkesan teliti itu terburu-buru keluar dari balik meja untuk mengejar Maureen.
"Maafkan saya, saya harus memasukkan barang Anda sore ini. Kiriman itu terlalu besar untuk ditaruh di lobi. Seharusnya Anda memberitahu kami jika sedang menunggu kiriman dengan ukuran sebesar itu."
"Kiriman? Kiriman apa? Saya tidakmenunggu kiriman apa pun."
"Yah, tidak ragu lagi kiriman itu untuk Anda. Barangkali dari pengagum berat Anda."
Merasa bingung, Maureen berterima kasih pada Laurence lalu masuk lift menuju lantai sebelas.
Saat pintu lift terbuka, ia dikejutkan dengan aroma bebungaan yang menusuk hidung.
Keharuman itu bertambah sepuluh kali lipat saat Maureen membuka pintu kondonya, ia terperangah.
Maureen tidak bisa melihat ruang tamunya lantaran bunga yang begitu banyak.
Rangkaian bunga yang indah ada di mana-mana.
Sebagian tinggi, sebagian disusun pada tangkai-tangkai, sebagian dalam vas kristal di atas meja.
Seluruh rangkaian itu memiliki tema yang sama mawar merah tua, lili calla, lili hijau, dan lili Casablanca putih.
Bunga-bunga lili yang sudah mekar sempurna inilah sumber aroma yang memabukkan di ruangan itu.
Maureen tidak perlu mencari kartu.
Benda itu sudah menunjukkan dirinya sendiri, terpampang di dinding ujung ruangan tamu, dalam suatu lukisan besar berbingkai logam keemasan yang menggambarkan suatu pemandangan pastoral klasik.
Tiga orang gembala, berbaju sederhana, bermahkota daun salam, mengelilingi sebuah batu besar yang tampaknya sebuah kuburan yang tersendiri.
Mereka sedang menunjuk ke sebuah tulisan.
Titik sentral dalam lukisan itu adalah seorang perempuan gembala berambut merah yang kelihatannya adalah pemimpin mereka.
Anehnya, wajah perempuan itu mirip dengan Maureen.
f Les Bergers d'Arcadie.
Peter membaca tulisan pada pelat perunggu di bahwa bingkai.
Ia terkesan dengan duplikat lukisan yang berdiri di ruang tamu Maureen.
"Karya Nicolas Poussin, suhu aliran Barok Prancis. Aku sudah melihat lukisan aslinya, di Louvre."
Maureen mendengarkan Peter melanjutkan penjelasannya. Ia lega karena sepupunya datang segera.
"Terjemahan judul lukisan itu Para Gembala Arcadia."
"Aku tidak yakin apakah seharusnya merasa tersanjung atau takut. Katakan padaku bahwa perempuan gembala dalam lukisan asli tidak mirip denganku."
Peter tertawa kecil.
"Tidak, tidak. Yang itu sepertinya dibuat sendiri oleh seniman yang menduplikasi lukisan itu, atau si pengirim. Siapa dia?"
Maureen menggeleng dan menyerahkan amplop besar.
"Dikirimkan oleh seseorang bernama...Sinclair atau apalah. Sama sekali tak kenal dengan dia."
"Penggemar? Seorang fanatik? Orang gila yang merangkak dari lemari setelah membaca bukumu? Maureen tertawa, agak gugup.
"Bisa jadi. Penerbitku menyampaikan beberapa surat aneh padaku selama beberapa bulan terakhir."
"Surat pujian atau kecaman?"
"Dua-duanya."
Peter mengeluarkan surat dari amplop besar itu.
Tulisannya sangat rapi dan menggunakan alat tulis yang mewah.
Fleurde-lis, simbol kebesaran Eropa selama berabadabad, terukir dan mendominasi halaman kertas.
Di bagian bawah surat berbingkai keemasan itu tertera nama sang penulis, Berenger Sinclair.
Peter membuka kacamata bacanya dan membaca keraskeras.
Yth.
Nn.
Paschal.
Maafkan aku atas gangguan ini.
Tapi aku percaya, aku memiliki jawaban yang kaucari dan kau memiliki sebagian jawaban yang aku cari.
Jika kau berani mempertahankan keyakinanmu dan mengambil bagian dalam suatu ekspedisi mengagumkan untuk menyibakkan kebenaran, kuharap kau bersedia bertemu denganku di Paris pada summer solsticei.
Sang Magdalena sendiri yang mengharapkan kehadiranmu.
Janganlah mengecewakannya.
Barangkali lukisan ini bisa menstimulasi alam bawah sadarmu.
Anggaplah lukisan itu sebagai peta yang lain daripada yang lain suatu peta masa depanmu dan barangkali masa /alumu.
Aku yakin kau akan menghormati nama besarmu, Paschal, seperti ayahmu.
Salam hormat, Berenger Sinclair "Nama besar Paschal? Ayahmu?"
Peter penasaran.
"Kau bisa mengira apa maksudnya?"
"Tidak sama sekali."
Maureen berusaha memproses semua itu. Penyebutan ayahnya membuat dirinya resah, tapi ia tak mau Peter tahu. Ia membalikkan persoalan.
"Kau 'kan tahu keluarga ayahku. Dari desa dan daerah rawa Lousiana. Tak ada yang bisa dibanggakan, kecuali jika tidak waras itu hebat."
Peter tidak mengatakan apa-apa, hanya menunggu Maureen melanjutkan.
Maureen jarang berbicara dengan ayahnya, dan Peter penasaran apa lagi yang akan dikemukakan gadis itu lebih lanjut.
Tapi Peter harus kecewa karena Maureen menyudahi topik itu begitu saja.
Maureen mengambil surat dari tangan Peter dan membaca lagi.
"Aneh. Kaupikir, jawaban apa yang ia 1 Titik balik matahari yang terjadi pada musim semi, jatuh sekitar tanggal 21 Juni. maksud? Ia tak mungkin tahu tentang mimpiku. Tak ada yang tahu selain kau dan aku."
Maureen menelusuri surat itu dengan jarinya sambil termenung. Peter melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan bunga dan karya seni.
"Siapa pun dia, skenario ini berpusat pada dua hal kefanatikan dan uang dalam jumlah besar. Berdasarkan pengalamanku, itu kombinasi buruk."
Maureen hanya separuh mendengarkan.
"Lihatlah kualitas surat ini, sangat mewah. Sangat Prancis. Dan pola timbul di sudut ini...apa ya? Anggur?"
Pola pada kertas itu menarik perhatian Maureen.
"Apel biru?"
Sambil memberbaiki letak kacamata di hidungnya, Peter menatap bagian bawah surat.
"Apel biru? Hmmm, mungkin kau benar. Lihat ini. Ada alamat di bawah sini. Le Chateau des Pommes Bleues."
"Bahasa Prancisku kurang baik, tapi bukankah artinya apel biru?"
Peter mengangguk.
"Puri atau rumah Apel Biru. Kau pernah mendengarnya?"
Maureen mengangguk pelan, berpikir.
"Sialan, dasar pelupa. Aku tahu pernah membaca referensi tentang apel biru saat melakukan riset. Rasanya itu semacam kode. Ada hubungannya dengan kelompok keagamaan di Prancis yang memuja Maria Magdalena."
"Kelompok yang percaya bahwa Maria pergi ke Prancis setelah penyaliban?"
Maureen mengangguk.
"Gereja menganggap mereka pelaku bidah karena mengklaim ajaranajaran mereka bersumber langsung dari Kristus. Mereka terpaksa melakukan kegiatan secara diamdiam dan berkembang menjadi perkumpulan rahasia. Salah satu perkumpulan itu mengambil simbol apel biru."
"Oke, tapi mengapa apel biru?"
"Aku tidak ingat."
Maureen berpikir keras, tapi tak mendapat jawabannya.
"Tapi aku tahu orang yang memiliki jawabannya."
Marina del Rey, California April 2005 Maureen menyusuri tepi pelabuhan di Marina del Rey.
Kapal kapal siar yang mewah, bukti kemakmuran Hollywood, bersinar diterangi matahari California selatan.
Seorang peselancar mengenakan T-shirt buntung bertuliskan "Satu Lagi Hari Sialan di Surga"
Melambai pada Maureen dari dek sebuah kapal layar kecil.
Kulitnya memerah dan rambutnya kusam karena sinar matahari yang menyorot tanpa lelah.
Maureen tidak mengenal lelaki itu, tapi senyuman sumringah dan botol bir di tangan lelaki itu menunjukkan suasana hatinya sedang senang.
Maureen membalas lambaiannya dan terus berjalan menuju sebuah kompleks restoran dan butik untuk wisatawan.
Ia masuk ke El Burito, restoran Meksiko dengan selasar menjorok ke laut.
"Reenie! Aku di sini!"
Maureen mendengar suara Tammy sebelum ia melihatnya, selalu seperti itu jika ia bertemu temannya yang satu ini.
Ia berpaling ke sumber suara dan mendapati temannya sedang meneguk mango margarita di meja yang di letakkan di luar ruangan.
Tamara Wisdom berbeda jauh dari Maureen Paschal.
Dengan tubuh yang tinggi langsing dan kulit kuning langsat, gadis ini sangat eksotis.
Rambutnya hitam lurus hingga ke pinggang, diselingi warna-warna mencolok yang mengikuti suasana hatinya.
Hari ini ia memakai warna ungu mengilap.
Hidungnya ditindik dan dihias dengan berlian yang sangat besar hadiah dari mantan pacarnya yang kebetulan seorang sutradara film independen yang sukses.
Ada banyak lubang tindikan di telinganya yang masingmasing dipasangkan perhiasan hasil desain sendiri, berpadu dengan atasan tanpa lengan bertali hitam.
Usia Tammy hampir empat puluh, tapi ia tampak sepuluh tahun lebih muda.
Tammy lebih terkesan flamboyan, sementara Maureen konservatif.
Ia banyak bicara dan keras kepala sedangkan Maureen pendiam dan berhati-hati.
Kehidupan dan pekerjaan mereka pun jauh berbeda, tapi sikap mereka yang saling menghormati membuat mereka cocok satu sama lain.
"Terima kasih kau mau menemuiku meski aku mengabarimu secara mendadak, Tammy."
Maureen duduk dan memesan teh. Tammy memutar matanya, tapi terlalu bersemangat dengan alasan pertemuan itu untuk mengomentari pilihan minuman Maureen yang konsevatif.
"Yang benar saja. Berenger Sinclair mengikuti setiap langkahmu dan kaupikir aku tidak ingin mendengar setiap detailnya?"
"Yah, kau sangat tertutup padaku di telepon, jadi lebih baik kau berterus terang. Aku tidak percaya kau mengenal pria ini."
"Justru aku yang heran kau tidak kenal. Ya, Tuhan kau sudah menerbitkan buku yang melibatkan Maria Magdalena tanpa melakukan riset ke Prancis? Kau 'kan seorang jurnalis."
"Aku memang seorang jurnalis. Itu juga alasannya mengapa aku tidak pergi ke sana. Aku tidak tertarik dengan perkumpulan rahasia. Itu bagianmu, bukan aku. Aku berangkat ke Israel untuk melakukan riset tentang abad pertama."
Kejujuran adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam persahabatan mereka.
Maureen bertemu Tammy pertama kali saat melakukan riset.
Seorang teman memperkenalkan mereka setelah tahu Maureen tengah melakukan penelitian tentang kehidupan Maria Magdalena untuk penulisan bukunya.
Tammy telah menerbitkan beberapa buku alternatif tentang perkumpulan rahasia dan alkemi.
Sebuah dokumentasi karyanya tentang tradisi spiritual bawah tanah yang mengangkat pemujaan Magdalena telah memperoleh pengakuan di lingkup festival.
Maureen terkejut dengan eratnya kerja sama para peneliti esoteris, karena Tammy tampaknya mengenal semua orang.
Dan meski Maureen dengan cepat tahu bahwa pendekatan alternatif Tammy dalam mendapatkan sumber materi terpercaya berbeda dengannya, Maureen juga menyadari kecerdasan di balik riasan mata yang tebal itu, hakikat di balik penampilan luar.
Maureen kagum pada keberanian Tammy dan sikapnya yang terus terang.
Bahkan jika ia menemui jalan buntu.
Tammy merogoh tas besar warna oranye dan mengeluarkan sebuah amplop surat yang menawan.
Ia melambai-lambaikan amplop itu di depan hidung Maureen sebelum menggesernya ke tangan Maureen di atas meja.
"Ini, aku ingin menunjukkannya secara langsung padamu."
Maureen mengangkat alis matanya kepada sang teman saat melihat desain fleurde-lis , yang kini tak asing lagi baginya, berpadu dengan pola apel biru yang aneh. Ia mengeluarkan undangan dengan tulisan timbul dan membacanya.
"Ini undangan untuk ke pesta kostum tahunan yang diadakan Sinclair. Sangat eksklusif. Tampaknya aku berhasil menjadi orang top. Kau menerima undangan juga?"
Maureen menggeleng.
"Tidak. Cuma pesan aneh untuk bertemu saat summer solstice. Bagaimana kau mendapat undangan ini?"
"Aku bertemu dengannya saat melakukan risetku di Prancis,"
Katanya menekankan.
"Aku meminta bantuan dana untuk menyelesaikan proyek dokumentasi terbaruku. Ia berminat untuk membuat film dokumentasi juga, jadi kami bernegosiasi kautahu, aku akan membuatnya senang jika ia membuatku senang."
"Kau sedang menggarap film baru? Kenapa tidak cerita?"
"Kau jarang beredar belakangan ini, ya 'kan?"
Maureen tampak malu. Ia telah mengabaikan teman temannya karena kesibukan selama beberapa bulan terakhir.
"Maaf. Dan jangan terlalu puas begitu dong. Apa lagi yang tidak aku ketahui? Kautahu banyak tentang Sinclair? Tentang...ia membuntuti aku?"
"Tidak, tidak sama sekali. Aku hanya bertemu dengannya sekali. Sialan, kenapa bukan aku yang ia buntuti. Ia keren sekali keren dengan K besar dan mengasyikkan. Kautahu, Reenie, ini kesempatan baik. Kapan terakhir kali kaukencan?"
"Tidak ada hubungannya."
"Barangkali ada."
Maureen menolak topik pembicaraan itu, berusaha menahan rasa kesalnya.
"Aku tak punya waktu untuk menjalin hubungan. Lagi pula aku tidak melihat isyarat bahwa ia mengajak kencan."
"Sayang sekali. Tak ada tempat yang lebih romantis di planet ini."
"Jadi itu sebabnya kau berlama-lama di Prancis belakangan ini?"
Tammy tertawa.
"Tidak, tidak. Hanya saja Prancis itu titik sentral esoterika Barat dan kubah bidah. Aku bisa menulis ratusan buku tentang topik ini atau membuat film sebanyak mungkin, dan itu semua baru kulitnya saja."
Maureen merasa sulit berkonsentrasi.
"Menurutmu, apa yang diinginkan Sinclair dariku?"
"Siapa yang tahu? Ia terkenal sebagai orang yang eksentrik dan luar biasa. Terlalu banyak waktu dan terlalu banyak uang. Kurasa ada sesuatu dalam bukumu yang menarik perhatiannya dan ia ingin menambahkan tulisanmu itu ke dalam koleksinya. Tapi aku tak punya gambaran apa itu. Karyamu itu sepertinya bukan seleranya."
"Apa maksudmu?"
Maureen merasa sedikit defensif.
"Mengapa bukan seleranya."
"Terlalu mengikuti mainstream, dan terlalu akademis. Ayolah, Maureen. Ketika menulis bab tentang Maria Magdalena, kau terlalu berhati-hati. Jadi bolehlah jika aku berpendapat begitu. Maria Magdalena mungkin memiliki hubungan dengan Yesus tapi tak ada bukti, bla, bla, bla...blaah. Kau terlalu ingin aman. Percayalah padaku, tak ada yang aman jika menyangkut keyakinan Sinclair. Karena itulah aku menyukainya."
Maureen melontarkan komentar yang lebih pedas dibandingkan yang ia niatkan.
"Kau mengambil jalur meluruskan sejarah berdasarkan keyakinan pribadi. Aku tidak."
Tammy memang sudah keterlaluan, tapi ia menolak mundur, malah terus memburu Maureen.
"Dan apa keyakinanmu? Sepertinya kau bahkan tak tahu. Begini, kau sahabat baikku dan aku bukannya tidak menghormatimu, jadi jangan marah. Tapi seperti aku, kautahu ada bukti bahwa Maria Magdalena menjalin hubungan dengan Yesus dan mereka memiliki anak. Mengapa kau begitu takut dengan kemungkinan itu? Kau bahkan bukan orang yang religius. Gambaran itu tak akan mengancammu."
"Memang bukan ancaman. Aku hanya tidak mau mengambil jalur itu. Aku takut tulisanku selebihnya menjadi tercoreng. Standar 'bukti' yang kau pegang berbeda denganku. Aku menghabiskan nyaris seluruh masa dewasaku untuk melakukan riset demi buku itu dan aku tidak akan menjerumuskannya begitu saja dengan teori separuh matang dan tidak mendasar yang bahkan tidak pernah aku tengok sedikit pun."
Tammy terpukul.
"Teori separuh matang itu tentang penyatuan ilahiah gagasan bahwa dua orang saling menghormati dalam suatu hubungan sakral adalah ekspresi terbesar Tuhan di bumi ini. Barangkali kau harus berpikir untuk menengok gagasan ini."
Maureen memotong, mengalihkan topik secara mendadak.
"Kau berjanji akan bercerita padaku tentang apel biru."
"Yah, tapi maaf saja teoriku yang separuh matang dan tidak substansial...,"
Katanya memulai.
"Maaf."
Maureen tampak benarbenar menyesal, sehingga Tammy tertawa.
"Tidak apa-apa, aku pernah mendapat julukan yang lebih buruk. Oke, yang aku ketahui tentang apel biru adalah bahwa itu simbol garis darah ya, garis keturunan itu. Garis darah yang kau dan temanteman akademismu berlagak tidak tahu keberadaannya. Garis darah Yesus Kristus dan Maria Magdalena yang berlanjut ke keturunan-keturunan mereka. Berbagai perkumpulan rahasia menggunakan simbol yang berbeda-beda untuk garis darah itu."
"Dan mengapa apel biru?"
"Masih diperdebatkan, tapi ada keyakinan umum bahwa itu mengacu pada anggur. Wilayah penghasil anggur di Prancis selatan terkenal dengan anggurnya yang besar-besar, yang bisa disimbolkan dengan apel biru. Kita akan melompat sekarang. anakanak Yesus sama dengan buah penghasil minuman, yakni anggur, yakni apel biru."
Maureen mengangguk.
"Jadi itu sebabnya Sinclair terlibat dalam salah satu perkumpulan rahasia ini?"
"Sinclair itulah perkumpulan rahasianya sendiri."
Tammy tertawa.
"Ia seperti dewa saja di sana. Tak ada yang terjadi tanpa sepengetahuan atau persetujuannya. Dan ia seperti gudang uang yang membiayai berbagai riset. Termasuk risetku."
Tammy mengangkat gelasnya dengan lagak mengejek kedermawanan Sinclair. Maureen meneguk tehnya dan memikirkan amplop di tangannya.
"Menurutmu, ia tidak berbahaya?"
"Ya, Tuhan, tidak. Ia terlalu ningrat untuk hal semacam itu meskipun ia jelas mempunyai uang dan pengaruh untuk menyembunyikan mayat. Aku bercanda, jadi jangan pucat begitu dong! Dan kemungkinan ia adalah pakar tertinggi sedunia tentang topik Maria Magdalena. Akan menjadi pengalaman yang sangat menarik jika kau memilih membuka pikiranmu sedikit."
"Jadi, kau akan datang ke pesta itu?"
"Apakah kau gila? Tentu saja aku akan datang. Aku telah mendapat tiket. Dan pestanya tanggal 24 Juni, jadi tiga hari setelah summer solstice. Hmmm..."
"Apa?"
"Ia memiliki rencana tertentu, tapi aku tidak tahu apa itu. Ia mengundangmu ke Paris tanggal 21 Juni, dan pesta diadakan pada tanggal 24 tepat pertengahan musim panas menurut kalender kuno, tapi juga bertepatan dengan hari peringatan Yohanes Pembaptis. Sangat menarik. Aku rasa ini bukan kebetulan. Ia ingin bertemu denganmu di mana?"
Maureen mengeluarkan surat itu dari tasnya, berikut peta Prancis yang terlampir dengan surat itu. Ia menyerahkan keduanya pada Tammy.
"Lihatlah,"
Maureen menunjuk.
"Ada garis merah yang ditarik dari Paris ke Prancis selatan."
"Itu garis Meridian Paris. Garis itu tepat melewati jantung teritori Maria Magdalena dan tanah milik Sinclair, sehubungan dengan persoalan ini."
Tammy membalik peta untuk melihat daerah lain, kali ini Paris. Ia menelusuri peta dengan jarinya yang berkuteks merah menyala dan tertawa keras saat melihat simbol Tepian Kiri2 dilingkari tinta merah.
"Ya, ampun. Apa maksudmu, Sinclair?"
Tammy menunjukkan peta Paris itu.
"Gereja Saint-Sulpice. Di tempat ini ia ingin bertemu denganmu?"
Maureen mengangguk.
"Kautahu tempat itu?"
"Tentu saja. Gereja yang sangat besar. Terbesar kedua di Paris setelah Notre Dame, kadang disebut Katedral Tepian Kiri. Tempat itu menjadi situs perkumpulan rahasia setidaknya sejak abad 16. Andai saja aku mengetahui rencana ini lebih awal. Aku akan mengubah jadwal ke Paris agar sampai beberapa hari sebelumnya. Aku rela melakukan apa saja agar bisa menyaksikan pertemuanmu dengan sang dewa."
"Aku belum mengatakan akan pergi. Sepertinya semua ini gila. Aku tidak tahu bagaimana menghubunginya. Aku tidak punya nomor teleponnya, emailnya. Ia tidak memintaku untuk memberi kabar jika aku akan datang. Sepertinya ia berpikir aku akan datang."
"Dia lelaki yang terbiasa mendapatkan segala yang ia inginkan. Dengan alasan yang sama, aku rasa ia menginginkanmu. Tapi jika kau ingin terlibat dengan mereka, jangan samakan mereka dengan perkumpulan yang biasa. Mereka tidak berbahaya, hanya sangat eksentrik. Mereka senang membuat orang bingung, dan kau harus memecahkan sejumlah teka-teki untuk membuktikan dirimu pantas masuk ke lingkaran dalam."
"Aku tidak yakin apakah aku ingin menjadi bagian lingkaran dalam."
Tammy menyesap sisa margarita di gelasnya.
"Itu terserah padamu. Kalau terserah padaku, aku tak akan menyia-nyiakan undangan seperti ini untuk apa pun. Kupikir ini kesempatan besar bagimu. Pergilah sebagai seorang jurnalis, pergilah untuk meneliti. Tapi ingat, begitu kau melangkahkan kaki ke dalam misteri ini, kau akan merasa seperti berjalan dengan kaca pembesar dan terjerumus ke dalam lubang kelinci.
"Jadi hati-hatilah. Dan berpeganglah pada realitasmu, 2 Distrik bohemia di Paris. sobatku Alice yang konservatif."
Los Angetes April 2005 Perdebatan dengan Peter berjalan lebih panas dibandingkan yang Maureen duga.
Ia tahu, Peter akan menentang keputusannya bertemu dengan Sinclair di Prancis.
Tapi ia tidak siap dengan sikap Peter yang begitu keras mempertahankan pendiriannya.
"Tamara Wisdom itu gila. Aku tak percaya kau mau dibujuknya. Ia tidak bisa dijadikan sumber informasi mengenai Sinclair."
Pertengkaran itu berkobar nyaris hingga makan malam berakhir. Peter bersikap seperti seorang kakak dan pelindung yang mencemaskan keselamatan Maureen. Maureen berusaha membuat Peter memahami keputusannya.
"Pete, kautahu aku bukan orang yang suka mengambil risiko. Aku senang keteraturan dan aku senang jika aku bisa mengendalikan hidupku. Dan aku berbohong jika mengatakan semua ini tidak menakutkan."
"Lalu mengapa kau mau pergi?"
"Karena mimpimimpi dan kebetulan-kebetulan itu lebih menakutkan lagi. Aku tidak bisa mengendalikannya, dan semua itu semakin buruk karena semakin sering dan semakin hebat. Aku merasa seolah harus mengikuti jalan ini dan melihat ke mana aku dibawa. Sinclair memiliki jawaban yang aku cari, seperti yang ia katakan. Jika dialah orang yang paling banyak tahu tentang Maria Magdalena, barangkali ia tahu arti semua kejadian ini. Inilah satusatunya cara agar aku bisa memahami persoalan ini."
Di akhir perdebatan yang melelahkan itu, Peter mengalah.
"Aku akan menemanimu,"
Katanya.
Dan itulah keputusan akhirnya.
f Maureen menekan speed dial untuk menghubungi Peter dengan telepon genggamnya setelah ia keluar dari Westwood Travel Agency, keesokan Sabtu pagi.
Ia belum menceritakan semuanya pada Peter.
Kadang sepupunya itu memperlakukannya seperti anak kecil dan ia adalah pelindungnya.
Meski Maureen menghargai perhatiannya, ia adalah wanita dewasa yang perlu mengambil keputusan penting di persimpangan hidupnya.
Sekarang, dengan keputusan yang telah diambil dan tiket di tangan, adalah saat yang tepat untuk mengatakan padanya.
"Hai. Semuanya sudah siap. Aku sudah mendapat tiket. Pete, aku membuat keputusan mendadak untuk mampir ke New Orleans dulu sebelum kita pergi ke Prancis."
Peter terdiam sesaat, kaget.
"New Orleans? Baiklah. Apakah kita ke Paris dari sana?"
Ini bagian terberat.
"Tidak. Aku berangkat ke New Orleans sendirian."
Maureen buru-buru mengatakan kalimat berikutnya sebelum Peter memotong.
"Ini sesuatu yang harus aku lakukan sendiri, Pete. Aku akan menemuimu di JFK keesokan harinya dan kita pergi ke Paris bersamasama dari sana."
Peter tercenung sesaat lalu menjawab singkat.
"Oke."
Maureen merasa bersalah karena tidak berterus terang.
"Pete, aku di Westwood sekarang, baru keluar dari biro berjalanan. Bisakah kita makan siang bersama. Terserah kau di mana, aku traktir."
"Aku tidak bisa. Aku harus memberi kuliah pada mahasiswa tingkat satu untuk persiapan ujian akhir di Loyola hari ini."
"Ayolah, kau 'kan bisa mencari orang lain untuk mengajarkan bahasa Latin selama beberapa jam?"
"Kalau Latin, ya. Tapi aku satusatunya dosen bahasa Yunani di sini, jadi tidak ada pengganti."
"Oke. Mungkin suatu hari kau akan menjelaskan padaku mengapa remaja abad dua satu perlu mempelajari bahasa yang membosankan."
Peter tahu Maureen hanya bercanda. Gadis itu sangat menghargai pengetahuan Peter dan kemampuan bahasanya yang luar biasa.
"Untuk alasan yang sama mengapa aku perlu mempelajari bahasa membosankan, dan kakekku juga. Bemanfaat untuk kita, bukan?"
Maureen tidak bisa membantah, bahkan dengan lelucon.
Kakek Peter, Dr.
Cormac Healy yang terpandang, masuk ke dalam suatu komite di Yerusalem yang mempelajari dan memberikan jasa penerjemahan untuk perpustakaan Nag Hammadi yang mengagumkan.
Minat Peter terhadap manuskrip kuno telah tumbuh sejak remaja, saat ia menghabiskan musim panas di Israel bersama kakeknya.
Saat magang, Peter berpartisipasi dalam suatu penggalian di Scriptorium di Qumran, tempat Naskah Laut Mati dituliskan.
Selama bertahuntahun, ia menyimpan serpihan batu dari dinding Scriptorium dalam suatu kotak museum yang diletakkan di mejanya.
Tapi saat melihat sepupunya sangat tertarik dan membutuhkan untuk pekerjaannya sebagai penulis, Peter merasa pantas menghadiahkannya sebagai sumber inspirasi.
Maureen memasukkan serpihan batu itu ke dalam kantong kulit yang ia kalungkan di lehernya setiap saat ia bersemangat untuk menulis.
Selama musim panas di Israel itulah, Peter muda menyadari panggilan jiwanya, baik sebagai seorang cendekiawan maupun pendeta.
Ia berkunjung ke situs-situs suci agama Kristen bersama kelompok Yesuit.
Pengalaman itu sangat berpengaruh terhadap idealisme Irlandianya.
Kelompok Yesuit terbukti cocok untuk Peter.
Ia bisa memuaskan hasrat religius dan keilmuannya.
Maureen berencana bertemu dengannya minggu ini.
Saat menutup telepon selulernya, ia sadar, sekarang perasaannya lebih lega dibandingkan beberapa bulan ini.
Tapi Bapa Peter Healy tidak.
f Pesisir Barat AS memiliki banyak gedung bersejarah, terutama gereja-gereja kecil di California.
Didirikan pada abad 18 oleh seorang rohaniwan Fransiskan yang sangat giat, Bapa Junipero Serra, sisa-sisa arsitektur Spanyol itu umumnya diberkati dengan kebun yang indah atau lokasinya yang menawan.
Peter sangat tertarik dengan ordo Fransiskan dan bertekad mengunjungi semua lokasi gereja kecil di California sejak ia menginjakkan kaki di Amerika.
Gereja-gereja itu memadukan sejarah dan iman, suatu kombinasi yang menggetarkan hati dan jiwa Peter.
Saat membutuhkan waktu dan tempat untuk merenung, tidak jarang ia pergi ke salah satu gereja kecil yang mudah dicapai.
Tiap gereja memiliki pesona dan mencerminkan oasis yang tenang, pelabuhan yang ramah bagi gaya hidup Los Angeles-nya yang sibuk.
Peter memilih San Fernando Mission hari ini karena lokasinya yang dekat dengan rumah temannya, Bapa Brian Rourke.
Ia pemimpin ordo Yesuit yang berbasis di wilayah pinggiran San Fernando Valley.
Hubungan Peter dan Bapa Brian telah terjalin sejak ia masih di tingkat pertama seminari.
Ketika itu, Bapa Brian adalah mentornya.
Sekarang Peter membutuhkan seorang teman yang ia percayai.
Ia mencari suatu tempat pengungsian bahkan dari gereja yang ia cintai dan patuhi.
Bapa Brian setuju untuk bertemu meski Peter memberitahu secara mendadak, ia menangkap sedikit kepanikan dalam nada bicara Peter.
"Sepupumu itu, apakah ia seorang Katolik?"
Tanya Bapa Brian sambil berjalan di kebun gereja bersama Peter. Siang itu matahari bersinar terik, Peter menyeka peluh dengan punggung tangannya.
"Tidak jelas. Tapi ia sangat taat saat masih kecil. Kami berdua sangat taat."
Bapa Rourke mengangguk.
"Ada kejadian yang membuatnya menjauhi gereja?"
Peter ragu-ragu.
"Persoalan keluarga. Lebih baik tidak kuceritakan secara panjang lebar."
Ia sudah merasa bahwa mengungkapkan visi Maureen tanpa izin adalah pengkhianatan.
Ia juga tak mau membuka rahasia keluarga Maureen Setidaknya, belum mau.
Tapi Peter tak tahu langkah selanjutnya yang harus ia tempuh, dan ia membutuhkan saran seseorang dari struktur Gereja yang ia percayai.
Pendeta tua itu mengangguk maklum dengan persoalan yang tertutup itu.
"Visivisi ketuhanan memang sangat jarang diperhatikan. Kadang mereka menganggapnya mimpi, atau delusi masa kecil. Barangkali tak ada yang harus dikhawatirkan. Kau akan ikut dengannya ke Prancis?"
"Ya. Aku selalu menjadi penasihat spiritualnya, dan kemungkinan akulah satusatunya orang yang ia percayai."
"Bagus. Kau bisa terus mengawasinya. Hubungi aku secepatnya jika kau merasa gadis ini membahayakan dirinya.
"Aku yakin tak sampai sejauh itu."
Peter tersenyum dan berterima kasih pada temannya.
Percakapan beralih ke perbandingan antara panas membakar di California dengan kesejukan musim panas di kampung halaman mereka, Irlandia.
Mereka asyik berbincang tentang teman lama dan mantan guru dan teman sekampung halaman yang kini telah menjadi uskup di suatu tempat di wilayah tenggara Amerika.
Saat tiba waktunya undur diri, Peter meyakinkan temannya bahwa ia merasa lebih lega setelah berbincang-bincang dengannya.
Ia berbohong.
f New Orleans Juni 2005 Maureen mengemudikan mobil sewaannya melewati pinggiran kota New Orleans.
Sebuah peta wilayah itu terhampar di kursi sebelahnya.
Ia memperlambat mobil dan menepikannya ke pinggir jalan.
Matanya menatap peta untuk memastikan bahwa ia tidak salah jalan.
Merasa puas, Maureen menjalankan mobilnya kembali.
Saat ia berbelok pada tikungan berikutnya, tampaklah kuburan dan monumen sarkofagus yang adalah bagian dari pemakaman New Orleans, berdiri pada suatu ketinggian.
Maureen memarkir mobilnya lalu mengambil tas tangan dan bunga yang ia beli dari kios jalanan, di kursi belakang.
Ia melangkah keluar mobil, berhati-hati agar tidak menginjak kubangan lumpur sisa-sisa badai pramusim panas yang datang lebih awal, lalu masuk ke pemakaman yang tertata rapi.
Nisan yang indah dan rangkaian bunga terhampar seluas mata memandang.
Menarik napas dalam-dalam, Maureen berjalan menuju pintu kuburan sambil membawa bunga.
Ia berhenti di jalan masuk utama dan mendongak, tapi tibatiba berbelok ke kiri tanpa memasuki kuburan itu.
Maureen berjalan melewati gerbang, menyisir pagar pemakaman, hingga sampai di area pemakaman yang lain.
Kuburan-kuburan di sini ditumbuhi lumut dan rumput liar, terabaikan dan tampak menyedihkan.
Pemakaman ini tidak tertata rapi.
Maureen berjalan perlahan, hatihati, dan khidmat.
Ia melawan air mata saat menanjak menuju kuburan-kuburan yang terlupakan.
Kuburan orangorang yang diabaikan, bahkan setelah mereka meninggal.
Lain kali ia akan membawa bunga lebih banyak, untuk mereka semua.
Sambil berjongkok, ditepiskannya rumput liar yang menutupi nisan kuburan yang sudah usang.
Nama itu terlihat, EDOUARD PAUL PASCHAL.
Menggunakan tangannya, Maureen mencabuti tetumbuhan yang mengganggu.
Debu beterbangan saat ia membersihkan tempat itu, belum lagi tanah dan lumpur yang menggumpal di bawah kukunya dan mengotori pakaiannya.
Ia merapikan tempat itu dengan tangannya dan menggosok nisan agar tulisan nama penghuni kubur tampak jelas.
Setelah puas membersihkan semampunya, Maureen meletakkan bunga di atas kuburan itu.
Dikeluarkannnya bingkai foto dari tasnya dan dipandanginya gambar itu sesaat.
Air matanya mengalir.
Gambar itu mengingatkan Maureen saat masih kecil, saat usianya tak lebih dari lima atau enam tahun, duduk di pangkuan seorang lelaki yang membacakan dongeng untuknya.
Mereka saling tersenyum bahagia, tak memerhatikan kamera yang mengabadikan peristiwa itu.
"Hai, Ayah,"
Bisiknya lembut pada foto itu, sebelum ia letakkan di hadapan batu nisan.
Maureen diam sesaat, matanya terpejam, hanyut da-lam usahanya mengenang setiap detail bersama sang ayah.
Di luar foto itu, ia tidak memiliki banyak kenangan tentang sang ayah.
Selepas kematian beliau, ibunya melarang Maureen membicarakan lelaki itu atau perannya dalam kehidupan Maureen.
Ia dihilangkan begitu saja dari kehidupan mereka, begitu juga keluarganya.
Maureen dan ibunya pindah ke Irlandia tak lama setelah peristiwa itu.
Masa lalunya di Lousiana berubah menjadi kenangan suram seorang anak yang trauma dan tidak bahagia.
Tadi pagi, Maureen menelusuri buku telepon New Orleans, mencari penduduk bernama Paschal.
Ada beberapa, sebagian sepertinya tidak asing.
Tapi Maureen cepatcepat menutup buku itu.
Ia tidak benarbenar berniat mengontak salah seorang yang kemungkinan adalah kerabatnya.
Tidak setelah semua kejadian ini, dan pastinya tidak sekarang.
Pengalaman itu pasti lebih dari sekadar latihan mengingat.
Maureen mengusap foto itu sebagai tanda perpisahan, kemudian menyapu air mata dengan tangannya yang kotor hingga meninggalkan bekas di wajahnya.
Ia tidak peduli.
Ia berdiri dan berjalan tanpa menengok ke belakang, lalu berhenti di luar gerbang masuk utama.
Di dalam area pemakaman itu, berdiri sebuah kapel putih sederhana.
Salib perunggu yang menjadi mahkota gedung itu berkilau ditimpa matahari selatan.
Mauren memandang gereja itu lewat jeruji pagar, seperti orang asing menatap ke dalam.
Ia melindungi matanya dari kilauan cahaya salib perunggu lalu membalikkan badan dari gereja dan melangkah pergi.
Kota Vatikan Juni 2005 Tomas Cardinal DeCaro berdiri dari kursi kerjanya dan menatap ke halaman terbuka di luar jendela.
Matanya yang sudah berumur bukan satusatunya hal yang perlu diistarahatkan dari kertas kuning di atas mejanya.
Pikirannya perlu rehat untuk kemudian merenungkan informasi yang baru ia terima pagi ini.
Terjadi gempa bumi.
Itu yang pasti.
Yang belum ia ketahui adalah seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan musibah ini dan siapa orang yang menjadi korban.
DeCaro membuka laci paling atas untuk melihat barang yang memberinya kekuatan di saat-saat seperti ini.
Potret Paus Yohanes XXIII Yang Diberkati di bahwa tajuk Vatican Secundum Vatican II.
Di bawah potret itu tertulis kutipan dari seorang pemimpin besar dan visioner yang telah banyak berkorban demi mengangkat Gereja yang ia cintai ke dunia kontemporer.
Meski DeCaro telah hapal kutipan itu, ia masih takut membacanya.
"Bukanlah injil yang telah berubah. Akan tetapi kita yang mulai memahaminya lebih baik. Sudah tiba waktu untuk merenungkan isyarat-isyarat masa, untuk merebut kesempatan, dan berpandangan jauh ke depan."
Di luar, musim panas tengah menjelang, menjanjikan hari yang indah di Roma.
DeCaro memutuskan absen beberapa jam untuk berjalan-jalan menelusuri Kota Abadi kesayangannya.
Ia perlu berjalan-jalan, ia perlu merenung, dan lebih dari semua itu, ia perlu berdoa untuk mendapatkan bimbingan.
Barangkali roh Paus Yohanes yang baik berkenan membantunya menemukan jalan untuk melewati krisis yang menghadang.
...
Bartolomeusdalangkepada kami lenai Filipus.
seorang lagi kalangan kami yaig disalahpahanadan aku akan mengaku sekarang bahwa pada analnya aku salah menilainya.
Dulu ia adalah pengikut Yohanes.
sang Umbaptis.
dan aku mengena/ dirinya lenaihubungan ifu.
Karenanya, buluh waktu cukup lama sebelum aku belaiar untuk memercavai Fib'ous.
Filipus adalah k lak i misterius.
Ia seorang yang praktis dan terpelajar.
Dengann ya, aku bisa berbkara dalam bahasa Heknis bahasa yangjuga aku pe/ajari.
la berasal dari keluarga terliormat.
dilahirkan di Bethsakla.
Namun sejak lama ia memilih hidup dalam kesedarhanaan, menghindari jebakan dalam kehidupan terhormat.
Karakter ini iapelajaripertama kali dari Yohanes.
Darihiar.
Filipus terkesan keras kepala dan senang menantang, tapi di balik itu ia ringan hati dan berbudi baik.
Tak ada sesuatu pun dalam diri Filipus yang akan mencelakakan makhluk hidup la terutama sangat ketat dalam kebiasaan makan dan tak akan mengonsumsi makanan yang membuathenan menderita.
Meskikalangan kami'hanya menyantap ikan.
Filipus tidak bisa mendengarnya.
Ia tak sanggup mendengar perkataan bahwa mulut yang lembut itu dirobek dengan kail.
dan ia merasa tersiksa jika membayangkan ikan menggelepar di dalam jaring.
Ia kerap beringkar dengan Pelrus dan Andreas mengenai dikma ini! Aku sering memikirkannya.
Barangkali ia benar, dan komitmennya pada keyakinan ini hanya satu di antara sekian banyak alasan mengapa aku mengaguminya.
Kadang aku merasa Bh'pus memiliki kemiripan dengan hewan-hewan yang sangat ia kasihi, hewan-hewan yang melindungi diri dengan duriatau kulit keras, agar tak ada yang mampu menembus sosok embut di balik itu.
Namun ia nrmasukkan Bartolomeus ke dalam perlindungannya saat ia mendapati lelaki itu di jalanan, tanpa rumah tujuan, la melihat kebaikan dalam diri Barto oaieus.
dan menghadirkan kebaikan itu kepada kami.
Usai Masa Kegelapan.
Filipus dan Bartolomevs m-n/adi sumber penghiburanku yang ulama.
Merekalali yangmempersiapkan segala sesuatunya dengan cepat bersama Yusuf demi keberangkatanku ke Akxandria, tempat aman yang jauhdarikampung halaman kami sendiri.
Bartolomeus berperan pen ting bagi anakanak.
sebagaimana juga bagi kaum perempuan.
Dan ia menjadi teman kesukaan Yolianes kecil, yang mencintai semua k/aki ini.
Tapi Sarah-Tamar juga )a.
kedua lelaki ini lava k mendapat tempat di surga yang dipenuhi cahaya dan kesempurnaan untuk selama-lamanya.
Kepedulian utama Filipus adalah mehitdungi kami dan berharap kami sampai dengan selamat di terapat tujuan.
Aku pikir ia akan memenuhi segalanya, apa pun yang kuminta.
Seandainya kukatakan pada Filipus bahu a tujuan kami adahh bidan, ia pasti mengerahkan si luruh k kualami ya agar kami sampai di sana.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA.
KITAB PARA MURID Enam Paris 19 Juni 2005 Matahari menimbulkan percikan cahaya di permukaan Seine saat Maureen dan Peter menyusuri tepiannya.
Paris bermandikan cahaya hangat di awal musim panas, dan mereka berdua bersantai dan menikmati pemandangan kota tercantik sedunia itu.
Masih cukup banyak waktu untuk mencemaskan pertemuan dengan Sinclair dalam dua hari ini.
Mereka tengah menikmati es krim horn, menyantap cepatcepat sebelum es itu meleleh terkena sinar matahari dan meninggalkan sisa yang lengket.
"Mmm, kau benar, Pete. Berthillon memang es krim paling lezat di seluruh dunia. Luar biasa."
"Es krimmu rasa apa?"
Maureen ingin mempraktikkan bahasa Prancisnya.
"Poivre."
"Lada?"
Tawa Peter meledak.
"Es krimmu rasa lada?"
Wajah Maureen memerah lantaran malu, tapi ia mencoba lagi.
"Pauvre?"
"Miskin? Kau memilih rasa miskin?"
"Oke, aku menyerah. Jangan menyiksaku lagi. Ini rasa pir."
"Poire. Poire adalah pir. Maaf, seharusnya aku tidak mengolok-olokmu."
"Yah, sudah jelas sekarang, siapa yang mewarisi bakat bahasa di keluarga kita."
"Itu tidak benar. Bahasa Inggrismu sangat baik."
Mereka berdua tertawa, menikmati keceriaan momen dan keindahan hari itu.
f Bangunan Notre-Dame yang megah dan bergaya Gotik mendominasi lie de la Cite sebagaimana yang telah berlangsung selama 300 tahun.
Ketika mereka mendekati katedral itu, Peter menatap bagian luar bangunan itu yang menjelas di hadapannya, berikut perpaduan orangorang suci dan patung-patung.
"Pertama kali melihat bangunan ini, aku berkata, 'Tuhan tinggal di sini.' Mau masuk?"
"Tidak. Lebih baik aku di luar saja bersama patung patung, di dalam bukan tempatku."
"Ini bangunan Gotik paling terkenal dan simbol kota Paris. Sebagai turis, kau berkewajiban masuk. Lagi pula, jendela kacanya sangat mengagumkan, dan kau harus melihat jendela bulat yang berornamen garis-garis saat diterangi matahari siang."
Maureen ragu-ragu, tapi Peter meraih tangannya dan menariknya.
"Ayolah. Aku janji dindingnya tidak akan runtuh saat kau masuk."
F Sinar matahari menembus jendela bulat yang sangat terkenal itu, menerangi Peter dan Maureen dengan cahaya biru langit bergaris-garis merah keunguan.
Peter berkeliling, wajahnya mendongak ke jendela, perasaannya sangat tenteram.
Maureen berjalan pelan di belakangnya, berusaha mencamkan bahwa ia berada dalam bangunan bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tinggi, bukan sekadar gereja yang lain.
Seorang pendeta Prancis berjalan melewati mereka, memberi salam dengan menganggukkan kepala.
Maureen sedikit terpeleset saat ia lewat.
Pendeta itu berhenti dan mengulurkan tangan untuk berjaga-jaga seandainya Maureen jatuh.
Ia menyatakan perhatiannya menyangkut keadaan Maureen dalam bahasa Prancis.
Maureen tersenyum dan mengangkat tangan, sebagai isyarat bahwa ia baikbaik saja.
Peter berbalik ke samping Maureen, sementara pendeta Prancis itu melanjutkan perjalanannya.
"Kau tidak apa-apa?"
"Yah, tibatiba agak pusing. Jet lag, barangkali."
"Kau kurang tidur beberapa hari terakhir ini."
"Aku yakin itu juga berpengaruh."
Maureen menunjuk ke salah satu bangku kayu yang sejajar dengan jendela bulat itu.
"Aku akan duduk saja di situ sebentar dan menikmati keindahan jendela kaca. Kau pergilah melihat-lihat."
Peter tampak cemas, tapi Maureen menenangkannya.
"Aku baikbaik saja. Pergilah. Aku di sini saja."
Peter mengangguk lalu pergi mengelilingi katedral.
Maureen duduk di bangku, berusaha menyeimbangkan diri.
Ia tidak mau mengaku pada Peter bahwa ia merasa sangat limbung.
Ini terjadi sangat cepat, dan ia tahu jika tidak segera duduk, ia pasti jatuh.
Tapi ia tidak mau mengatakan pada Peter.
Barangkali ini hanya akibat jet lag bercampur kelelahan.
Maureen mengusap wajahnya, berusaha mengusir rasa pusing.
Pantulan sinar warnawarni yang berubah-ubah dari jendela bulat menerangi altar, juga salib besar berpatung Yesus.
Maureen mengedipkan mata keraskeras.
Salib itu tampak semakin besar, dan semakin besar dalam pandangannya.
Ia mencengkeram kepalanya erat-erat karena pusing yang sangat dan visi itu pun muncul.
f Petir menyambar di langit yang gelap secara tidak wajar pada Jumat siang yang paling nestapa.
Perempuan berselubung merah berjuang keras mendaki bukit untuk mencapai puncaknya.
Goresan dan luka terlihat di tubuhnya dan pakaiannya robek.
Hanya satu tujuannya, mendekati Dia.
Bunyi palu menghantam paku logam menempa logam bergema di udara, menyayat hati.
Perempuan itu akhirnya tak tahan, ia menjerit pedih, jeritan kesengsaraan manusia yang tiada tara.
Perempuan itu sampai di kaki salib, tepat ketika hujan mulai turun.
Ia mendongak kepadaNya, dan tetesan darahNya memercik ke wajah yang penuh dukacita itu, bercampur dengan air hujan yang tak mau berhenti.
f Larut dalam visi, Maureen tidak sadar di mana ia berada.
Jeritannya, gema kepedihan Maria Magdalena, memantul ke seisi katedral Notre-Dame, membuat para turis ketakutan dan membuat Peter berlari cepat ke arahnya f "Kita ada di mana?"
Maureen tersadar di atas sofa dalam ruangan bersekat kayu. Wajah Peter yang cemas ada di atas wajah Maureen ketika ia menjawab.
"Di salah satu kantor katedral."
Peter mengangguk ke pendeta Prancis yang bertemu dengan mereka tadi. Ia masuk dari pintu yang disamarkan di belakang ruangan itu, wajahnya cemas.
"Bapa Marcellah yang membantuku membawamu ke sini. Kau tidak boleh ke mana-mana dulu."
Bapa Marcel maju dan menyerahkan segelas air putih. Maureen meminumnya dengan perasaan bersyukur.
"Merci,"
Katanya pada pendeta itu, yang mengangguk tanpa berkata-kata lalu kembali ke belakang ruangan untuk menunggu sekiranya mereka membutuhkan bantuannya lagi.
"Maafkan aku,"
Kata Maureen lemah.
"Jangan berkata begitu. Ini di luar kendalimu. Kau i-ngin menceritakan apa yang kau lihat?"
Maureen mengungkapkan visi itu. Wajah Peter kian pucat dengan setiap kata. Setelah selesai, Peter memandang Maureen dengan sangat serius.
"Maureen, aku tahu kau tak mau mendengar ucapanku ini, tapi kupikir kau mengalami visi ilahiah."
"Jadi mungkin aku harus berkonsultasi dengan seorang pendeta?"
Gurau Maureen.
"Aku serius. Persoalan ini di luar lingkup pengalamanku. Tapi aku bisa menghubungi orang yang mengetahui hal-hal semacam ini. Bicaralah dengannya, hanya itu. Barangkali akan membantu."
"Tidak usah."
Maureen berkukuh dan bangkit dari sofa.
"Kita kembali saja ke hotel agar aku bisa beristirahat. Setelah tidur, pasti aku akan baikbaik saja."
F Maureen mampu menyingkirkan visi itu dan berjalan sendiri meninggalkan lingkungan katedral.
Ia merasa lega karena bisa keluar dari samping sehingga tidak berpapasan lagi dengan interior bangunan tempat ikon besar Kristiani itu berada.
Setelah Maureen berbaring di kamarnya, Peter kembali ke kamarnya sendiri.
Ia duduk sebentar, memikirkan apakah ia harus menghubungi seseorang sekarang.
Masih terlalu pagi untuk menelepon ke Amerika.
Peter berjalan-jalan sebentar dan kembali setelah saatnya lebih pantas untuk menelepon.
f Di ujung sungai Seine, Bapa Marcel berjalan kembali dalam interior katedral yang temaram.
Ia diikuti seorang rohaniwan Irlandia, Uskup O'Connor, yang berusaha mengajukan pertanyaan dalam bahasa Prancis yang berantakan.
Bapa Marcel membawanya ke sebuah bangku tempat Maureen mengalami visi, lalu memberi penjelasan secara perlahan.
Ia berusaha menjembatani kesenjangan bahasa di antara mereka.
Meski usahanya itu tulus, tapi pendeta Prancis itu terlihat seperti sedang berbicara pada seorang idiot.
O'Connor menyudahi percakapan itu dengan kibasan tangan tidak sabar, duduk diam di bangku itu, dan menatap salib besar di altar dengan penuh konsentrasi.
Pan's 19 Juni 2005 Gua Musketeer tidak terlalu suram di siang hari, lantaran diterangi bola lampu mahaterang yang tak kenal ampun.
Penghuninya mengenakan pakaian kasual dan tanpa pita merah aneh terikat di leher yang menandakan mereka sebagai anggota Persekutuan Keadilan.
Sebuah replika lukisan Yohanes Pembaptis karya Leonardo da Vinci tergantung di dinding belakang, terpisah satu blok saja dari versi orisinilnya yang tersimpan di Louvre.
Dalam lukisan tersohor ini, Yohanes menatap dari kanvas dengan senyum penuh makna.
Tangannya diangkat, jari telunjuk dan ibu jari kanannya menunjuk ke langit.
Leonardo melukis Yohanes dalam pose yang sering disebut sebagai pose "Ingat Yohanes"
Ini, pada beberapa kesempatan. Makna posisi tangan itu mengundang perdebatan selama berabadabad. Lelaki Inggris itu duduk di kursi ujung meja seperti biasa. Punggungnya menghadap lukisan. Seorang lelaki Amerika dan Prancis duduk di kanan dan kirinya.
"Aku tak mengerti maksudnya,"
Kata si Inggris itu gusar. Diangkatnya buku besampul tebal dari meja dan digoyanggoyangkannya ke dua lelaki itu.
"Aku sudah membaca dua kali. Tak ada yang baru, tak ada yang menarik perhatian kita. Atau dia. Lalu apa? Apakah kalian memikirkan persoalan ini? Atau aku hanya berbicara sendirian?"
Ia melempar buku itu ke atas meja dengan muak. Si Amerika mengambil buku itu lalu membuka-buka lembarannya tanpa perhatian. Ia berhenti pada sampul lipatan dalam dan melihat foto penulisnya.
"Cantik. Mungkin itu sebabnya."
Si Inggris itu mengejek.
Dasar Yankee goblok, tidak bisa mengambil kesimpulan.
Ia selalu keberatan jika orang Amerika menjadi anggota Persekutuan.
Tapi si idiot ini dari keluarga kaya raya dan berhubungan erat dengan pusaka mereka, jadi mereka tak bisa mendepaknya.
"Dengan uang dan kekuasaannya, Sinclair bisa memperoleh lebih dari sekadar 'cantik1 dengan sekali menjentikkan jari, setiap saat selama dua puluh empat jam sehari. Gayanya yang playboy sudah terkenal di Inggris dan Amerika. Tidak, pasti ada sesuatu yang lebih besar dibandingkan sekadar ingin iseng-iseng saja dengan gadis ini, dan kuharap kalian mendapat jawabannya. Segera."
"Aku hampir yakin bahwa dalam pandangan Sinclair, gadis itu adalah sang Gembala. Tapi aku akan segera memastikannya,"
Tutur si Prancis.
"Aku akan berangkat ke Languedoc minggu ini."
"Minggu ini sudah sangat terlambat,"
Bentak si Inggris "Pergi paling lambat besok. Hari ini lebih baik. Kita dikejar waktu, kalian tahu itu."
"Rambutnya merah,"
Komentar si Amerika. Si Inggris menggeram.
"Dengan uang dua puluh euro dan kemauan, pelacur manapun bisa berambut merah. Pergi dan selidiki mengapa gadis itu penting. Cepat. Karena jika Sinclair mendapatkan yang ia cari sebelum kita..."
Ia tak menyelesaikan kalimatnya, memang tidak perlu.
Mereka tahu persis apa yang akan terjadi.
Mereka sudah belajar dari peristiwa terakhir ketika seseorang dari kubu yang salah, masuk terlalu jauh.
Raut tersinggung tampak jelas di wajah si Amerika, dan khayalan tentang penulis berambut merah tanpa kepala membuatnya sangat tidak nyaman.
Lelaki Amerika itu mengangkat buku karya Maureen dari meja, mengepit di ketiaknya, lalu berjalan mengikuti teman Prancisnya menuju teriknya Paris.
f Setelah kedua bawahannya pergi, si lelaki Inggris, yang dibaptis dengan nama John Simmon Cromwell, berdiri dan berjalan ke bagian belakang lantai dasar itu.
Di suatu sudut yang tidak terlihat dari ruang utama, terdapat ruang beratap rendah yang menjorok ke dalam.
Di sana terdapat sebuah lemari besar dari kayu hitam.
Sebuah altar kecil berdiri di sebelah kanan lemari.
Di hadapannya terdapat sebuah kayu kecil untuk bersimpuh memanjatkan doa.
Ada besi tempa yang tergantung di lemari itu, dan laci bawahnya dikunci dengan sebuah gembok yang menyeramkan.
Orang Inggris itu memasukkan tangan ke dalam kemejanya untuk mengambil kunci yang tergantung di lehernya.
Sambil berjongkok, ia memasukkan kunci itu ke gembok dan membuka laci bawah.
Dikeluarkannya dua benda.
Pertama, botol yang seperinya berisi air suci.
Air itu ia siramkan ke tulisan keemasan yang tertera di altar.
Selanjutnya ia mengeluarkan sebuah relik kecil tapi indah.
Perlahan, Cromwell meletakkan relik di atas altar dan mencelupkan tangannya ke dalam air.
Ia membasuhkan air itu ke lehernya dengan kedua telapak tangannya sambil mengucapkan doa.
Kemudian ia mengangkat relik itu setinggi mata.
Lewat sebuah jendela mungil dalam wadah yang sedianya kotak emas yang kokoh itu, sekilas tampak sesuatu yang mirip gading gajah.
Tulang manusia yang panjang, pipih, dan tidak rata, berkeretak saat Cromwell mengintip peti pusaka itu.
Didekapnya tulang itu lalu ia membaca doa dengan khusyuk.
"Oh Guru Keadilan yang agung, ketahuilah aku tak akan mengecewakanmu. Namun kami memohon bantuanmu. Tolonglah kami yang mencari kebenaran. Bantulah kami yang hidup hanya untuk menjaga nama besarmu.
"Lebih dari segalanya, bantulah kami agar pelacur itu tetap pada tempatnya."
F Si Amerika, sekarang sendirian, melintasi rue de Rivoli dan berteriak di telepon genggamnya karena lalu lintas Paris yang bising.
"Kami tak bisa menunggu lebih lama. Ia benarbenar pemberontak, benarbenar tidak dapat dikendalikan."
Suara di ujung lain juga beraksen Amerika terpelajar, bergaya timur laut, dan samasama marah.
"Tetap pada rencana semula. Kita harus mencapai tujuan dengan cara yang rapi dan sempurna. Lagi pula rencana itu dibuat oleh orangorang yang jauh lebih bijaksana dibandingkan kamu,"
Bentak suara seseorang yang lebih tua, bermil-mil dari Paris.
"Orangorang bijak itu tidak ada di sini,"
Balas lelaki muda itu di telepon.
"Mereka tidak melihat apa yang kulihat. Berengsek, Ayah, kapan kau akan memberi aku kepercayaan?"
"Nanti, kalau kau sudah pantas menerimanya. Sementara ini, aku melarangmu melakukan sesuatu yang sembrono."
Pemuda Amerika itu menutup teleponnya dengan kasar sambil menyumpah-nyumpah.
Ia membelok di tikungan depan Hotel Regina, memotong lewat lokasi des Pyramides.
Ia mengangkat pandangan pada waktu yang tepat sehingga tidak bertabrakan dengan patung Joan of Arc yang berkilau, mahakarya Fremiet.
"Sundal,"
Makinya pada pahlawan Prancis itu, dan berhenti cukup lama untuk meludah ke patung itu tanpa menghiraukan tatapan orang.
Pan's 20 Juni 2005 Piramida kaca I.M.
Pei berkilau di pagi hari musim panas yang cerah di Prancis.
Maureen dan Peter, samasama merasa bugar setelah tidur nyenyak semalam, mengantri bersama turis-turis lain untuk memasuki Louvre.
Peter menatap para pemandu museum di sekelilingnya yang menunggu di antrean panjang, menggenggam buku panduan.
"Aku tidak mengerti, mengapa banyak orang meributkan Mona Lisa. Lukisan paling top di jagad ini."
"Setuju. Tapi sementara orang lain pergi kesana-ke-mari untuk melihatnya, kita akan mendapat balkon Richelieu untuk kita sendiri."
F Maureen dan Peter membeli tiket dan memeriksa peta lantai Louvre.
"Bagian mana yang akan kita kunjungi lebih dulu?"
Maureen menjawab.
"Nicolas Poussin. Aku ingin melihat Gembala Arcadia secara langsung sebelum kita melihat yang lain."
Mereka berjalan menelusuri sayap bangunan yang berisi karya-karya besar Prancis, memerhatikan dinding-dinding untuk menikmati mahakarya Poussin yang penuh teka-teki. Maureen menjelaskan.
"Tammy mengatakan bahwa lukisan ini menjadi pusat kontroversi selama berabad abad. Louis XIV berjuang selama dua dasawarsa untuk memilikinya. Ketika akhirnya lukisan itu ia dapatkan, ia menyimpannya di lantai dasar Versaille agar orang lain tak bisa melihatnya. Aneh, bukan? Menurutmu, mengapa raja Prancis itu berjuang keras untuk mendapatkan karya seni yang penting lalu menyembunyikannya?"
"Itu menambah deretan misteri kita."
Peter memeriksa nomor-nomor dalam buku panduan sambil mendengarkan.
"Menurut buku ini, lukisan itu seharusnya..."
"Di sini!"
Pekik Maureen. Peter menyusulnya dan mereka menatap lukisan itu tanpa berkata-kata. Maureen memecah kebisuan, ia menoleh ke Peter.
"Aku merasa sangat bodoh. Aku seperti menunggu lukisan ini memberitahukan sesuatu."
Maureen menatap lukisan itu kembali.
"Apakah kau ingin mengatakan sesuatu, Perempuan Gembala?"
Peter tersentak dengan sebuah pikiran.
"Aku tak percaya, mengapa tak terpikir olehku sebelumnya."
"Terpikir apa?"
"Ide tentang seorang perempuan gembala. Yesus ada lah Gembala Yang Baik. Barangkali Poussin atau setidaknya Sinclair mengisyaratkan Perempuan Gembala Yang Baik?"
"Ya!"
Teriak Maureen, terlalu keras mengekspresikan kegembiraannya.
"Barangkali Poussin ingin menunjukkan Maria Magdalena sebagai Perempuan Gembala, pemimpin jemaat. Pemimpin gerejanya sendiri!"
Peter meringis.
"Yah, aku tidak persis mengatakan begitu..."
"Kau tak perlu mengatakannya. Tapi lihatlah, ada tulisan Latin pada kuburan di lukisan ini."
"E t in Arcadia ego,"
Peter membaca keraskeras.
"Hmm. Tak masuk akal."
"Bagaimana terjemahannya?"
"Tak tahu. Tata bahasanya kacau."
"Kemungkinan bahasa Latin ini sangat buruk atau ini semacam kode. Terjemahan harfiahnya adalah kalimat yang tidak lengkap, 'Dan di Arcadia aku...' tak ada artinya."
Maureen berusaha mendengarkan, tapi suara seorang wanita yang memanggil-manggil seseorang dari seberang museum membuyarkan konsentrasinya.
"Sandro! Sandro!"
Ia melihat ke seliling, mencari sumber suara itu sebelum meminta maaf pada Peter.
"Maaf, tapi suara wanita itu sangat mengganggu."
Suara itu memanggil-manggil lagi, lebih keras dibandingkan sebelumnya, mengusik Maureen.
"Siapa itu?"
Peter menatap Maureen, bingung.
"Siapa apa?"
"Wanita itu memanggil..."
"Sandro! Sandro!"
Maureen menatap Peter sementara suara itu semakin nyaring.
Peter sama sekali tidak mendengarnya.
Maureen menoleh untuk melihat turis dan mahasiswa lain yang tengah khusyuk menikmati karya seni bernilai tinggi.
Tampaknya tak seorang pun mendengar suara yang memanggil dengan penuh harap itu.
"Oh, Tuhan. Kau tidak mendengar, ya? Tak ada yang mendengar kecuali aku."
Peter tampak tak berdaya.
"Mendengar apa?"
"Ada seorang wanita memanggil dari suatu tempat di museum ini. 'Sandro! Sandro! Ayolah!"
Maureen menarik lengan baju Peter dan berlari ke arah sumber suara.
"Ke mana kita?"
"Mengikuti suara itu. Sumbernya dari arah ini."
Mereka berlari melewati lorong-lorong museum, Maureen meminta maaf sambil berlari ketika ia menabrak beberapa pemandu museum.
Suara itu berubah menjadi bisikan yang memohon dengan sangat, tapi tetap mengajaknya ke suatu tempat.
Maureen berkeras mengikutinya.
Mereka berlari kembali melewati sayap Richelieu, tidak menghiraukan tatapan penjaga museum yang jengkel, lalu menuruni beberapa anak tangga dan masuk ke koridor lain, melewati papan petunjuk bertuliskan sayap Denon.
"Sandro...Sandro...Sandro...!"
Suara itu mendadak berhenti saat Maureen dan Peter sampai di tangga yang mewah melewati patung dewi Nike dengan segala kejayaannya.Setelah sampai di atas tangga, mereka berbelok ke kanan dan berhadap-hadapan dengan dua mahakarya Renaisans Italia yang kurang terkenal.
Peter yang pertama berkomentar.
"Lukisan frescoi Botticelli."
Suatu pengetahuan muncul di kepala mereka secara berbarengan.
"Sandro. Alessandro Botticelli."
Peter memandang fresco itu lalu menoleh pada Maureen.
"Wow, bagaimana kau melakukannya?"
Maureen gemetar.
"Aku tidak tahu. Aku hanya mendengarkan dan mengikuti."
Mereka mengalihkan perhatian ke sosok yang nyaris berukuran seperti aslinya dalam lukisan-lukisan fresco yang berjejer. Peter menerjemahkan tulisan pada plakat.
"Fresco pertama ini diberi judul Venus dan Tiga Dewi mempersembahkan hadiah kepada seorang perempuan muda. Yang kedua diberi judul Seorang Pemuda Bersama Venus ?Menghadap Seniseni Libera/. Fresco yang dibuat untuk pernikahan Lorenzo Tornabuoni dan Giovanna Albizzi."
"Ya, tapi mengapa ada tanda tanya setelah Venus?"
Maureen bertanya. Peter menggeleng.
"Mereka pasti tidak yakin bahwa ia subjeknya."
Lukisan itu tampak elegan tapi merupakan gambaran aneh seorang pemuda yang memegang tangan seorang perempuan berbalut jubah merah.
Mereka berhadapan dengan tujuh perempuan, tiga di antara mereka memegang objek yang tidak lazim dan ganjil; seorang menggenggam kalajengking hitam yang sangat besar dan tampak ganas, sedangkan perempuan di sebelahnya memegang busur.
Perempuan lainnya memegang alat 1 Teknik melukis pada medium gips basah atau kering yang kemudian dipecah menjadi sejumlah bagian, mengikuti kontur objek yang dilukis.
arsitek dalam posisi yang canggung.
Peter mengungkapkan isi pikirannya.
"Tujuh seni liberal. Ranah pembelajaran tingkat tinggi. Lukisan ini menyampaikan bahwa pemuda ini berpendidikan tinggi?"
"Tujuh seni liberal itu apa?"
Sambil memejamkan mata untuk mengingat mata kuliah klasiknya, Peter mengutip.
"Trivium, atau tiga jalur ilmu utama, adalah tata bahasa, retorika, dan logika. Yang empat lagi, quadrivium, adalah matematika, geometri, musik, dan kosmologi. Semua ini diilhami oleh Pytha goras dan perspektifnya bahwa semua angka mencerminkan ilmu pola berdasarkan waktu dan ruang."
Maureen tersenyum padanya.
"Sangat mengesankan. Sekarang bagaimana?"
Peter mengangkat bahu.
"Aku tidak tahu bagaimana hal ini masuk ke dalam puzzle kita yang kian besar."
Maureen menunjuk kalajengking itu.
"Mengapa sebuah lukisan pernikahan menggambarkan seorang perempuan memegang serangga besar yang sangat beracun? Ini lambang seni liberal yang mana?"
"Aku tidak tahu pasti."
Peter melangkah sedekat mungkin ke lukisan fresco yang dipisahkan dengan pembatas lalu menjorokkan badannya.
"Tapi lihatlah lebih dekat. Kalajengking itu lebih hitam dan lebih jelas dibandingkan bagian lukisan lainnya. Lebih jelas dibandingkan semua objek yang dipegang perempuanperempuan ini. Sepertinya kalajengking itu..."
Maureen menyelesaikan ucapan Peter.
"Ditambahkan belakangan."
"Tapi oleh siapa? Sandro sendiri? Atau seseorang yang ingin merusak fresco mahakarya ini?"
Maureen menggeleng, bingung dengan penemuan mereka f Setelah membeli kopi krim di kedai kopi Louvre, Maureen berbelanja bersama Peter.
Ia memilih duplikat lukisan lukisan yang telah mereka amati, juga sebuah buku tentang kehidupan dan karya Botticelli.
"Aku berharap bisa tahu lebih banyak tentang asal-usul fresco itu."
"Aku lebih tertarik untuk mengetahui asal-usul suara yang mengarahkanmu ke fresco itu."
Maureen meneguk kopinya sebelum menjawab.
"Apa, ya? Alam bawah sadar? Petunjuk Tuhan? Kegilaan? Hantu Louvre?"
"Seandainya saja aku bisa menjawab, tapi aku tidak bisa."
"Katanya kau ini penasihat spiritual,"
Gurau Maureen, lalu mengalihkan perhatian ke duplikat lukisan Botticelli yang telah ia keluarkan dari bungkusnya. Ketika cahaya yang terpantul dari piramida kaca menerpa kertas itu, Maureen mendapat ilham.
"Tunggu sebentar. Bukankah kau tadi mengatakan bahwa kosmologi adalah salah satu seni liberal?"
Maureen menunduk ke cincin tembaga yang ia kenakan. Peter mengangguk.
"Astronomi, kosmologi. Ilmu bintang. Kenapa?"
"Cincinku. Orang di Yerusalem yang memberikannya mengatakan bahwa ini adalah cincin seorang kosmolog."
Peter menutup wajahnya dengan tangan seolah dengan melakukannya ia bisa memperoleh jawaban.
"Jadi apa hubungannya? Apakah kita harus melihat ke bintangbintang untuk mendapatkan jawaban?"
Maureen mengangkat jarinya ke perempuan misterius yang memegang serangga hitam yang sangat besar. Ia nyaris melompat dari kursinya saat berteriak.
"Scorpio!"
"Apa?"
"Ini simbol astrologis untuk Scorpio. Dan perempuan di sebelahnya memegang busur. Simbol Sagitarius. Dalam zodiak, letak Scorpio dan Sagitarius bersebelahan."
"Jadi menurutmu ada semacam kode dalam fresco itu yang berhubungan dengan astronomi?"
Maureen mengangguk pelan.
"Paling tidak, gambaran itu adalah langkah awal untuk memecahkan misteri kita."
F Cahaya Paris menembus jendela kamar hotel Maureen, menerpa barangbarang yang terletak di sampingnya, di atas tempat tidur.
Ia tertidur ketika membaca buku Botticelli, dan lukisan Poussin tergeletak di samping yang lain.
Maureen tidak menyadari keberadaan barangbarang itu.
Sekali lagi, ia hanyut dalam sebuah mimpi.
f Dalam kamar berdinding batu, temaram dengan lentera minyak, seorang perempuan tua menghampiri meja.
Kerudung merah pucat menutupi rambut panjangnya yang kelabu.
Tangannya yang terserang rematik menggerakkan pena bulu ayam dengan hatihati di atas sehelai kertas.
Peti kayu besar adalah satusatunya ornamen dalam ruangan itu.
Perempuan tua itu berhenti menulis, berdiri dari kursinya, dan berjalan perlahan menuju peti.
Dengan sendi yang sudah rapuh, ia membungkuk hatihati dan membuka penutupnya yang berat.
Sambil menoleh dari bahunya, senyum tulus dan penuh makna tampak di wajahnya.
Ia menoleh pada Maureen dan mengajaknya mendekat, Paris 21 Juni 2005 Sebagai penghormatan yang manis terhadap keeksentrikan Gaul, jembatan tertua di Paris, Pont Neuf, kerap disebut sebagai "Jembatan Baru".
Jembatan ini menjadi nadi utama kehidupan Paris, membelah Seine untuk menghubungkan Kota Administratif Pertama dengan jantung Tepian Kiri.
Peter dan Maureen melewati patung Henri IV, salah seorang raja Prancis yang paling dicintai, di atas jembatan.
Sarana transportasi ini selesai dibangun pada tahun 16D6, ketika sang raja memerintah dengan penuh toleransi.
Pagi itu sangat indah, penuh dengan percik percik pesona yang menjadi ciri khas Kota Cahaya yang tiada banding ini.
Namun, meski pemandangan di sekelilingnya sempurna, Maureen merasa gugup.
"Jam berapa sekarang?"
"Bertambah lima menit dari saat terakhir kau bertanya,"
Jawab Peter tersenyum.
"Maaf. Aku mulai merasa gelisah."
"Di surat itu ia mengatakan akan bertemu di gereja pada tengah hari, Sekarang baru jam sebelas. Masih banyak waktu."
Mereka menyeberangi Seine dan mengikuti peta, menuju jalanjalan Tepian Kiri yang berkelok-kelok.
Dari Pont Neuf mereka masuk ke rue Dauphine, melewati stasiun kota Odeon lalu ke rue Saint-Sulpice, dan berakhir di taman yang bak lukisan dengan nama yang sama.
Menara lonceng gereja yang sangat besar dan tidak serasi mendominasi taman, memayungi air mancur terkenal yang dibangun oleh Visconti pada 1844.
Ketika Maureen dan Peter memasuki pintu masuk yang kelewat besar, Peter merasakan keragu-raguan sepupunya.
"Kali ini aku tak akan meninggalkanmu."
Peter menggenggam tangan Maureen untuk membesarkan hatinya lalu membuka pintu gereja yang megah.
f Mereka masuk dengan membisu.
Ada sekelompok turis di kapel pertama di sebelah kanan.
Kelihatannya mereka adalah mahasiswa seni dari Inggris.
Dengan suara pelan, dosen mereka memberi kuliah tentang tiga mahakarya Delacroix yang menghiasi tempat itu.
Yakub Berdebat dengan Malaikat, Heliodorus Diusir dari Rumah Tuhan, dan Santo Mikael Mengalahkan Setan, Pada kesempatan lain, Maureen pasti tertarik untuk memandang karya seni terkenal dan menguping kuliah dalam bahasa Inggris itu, tapi sekarang pikirannya tertuju pada hal lain.
Mereka melewati mahasiswa Inggris itu dan terus menuju perut gedung.
Keduanya terpesona dengan bangunan bersejarah yang luar biasa megah itu.
Nyaris secara naluriah, Maureen mendekati altar yang dibatasi sepasang lukisan besar.
Tinggi masingmasing lukisan itu sekitar tiga puluh kaki.
Yang pertama menggambarkan dua orang perempuan seorang mengenakan jubah biru, dan satunya lagi merah.
"Maria Magdalena dan Bunda Perawan?"
Tebak Maureen.
"Dari warna pakaiannya sepertinya begitu. Vatikan mengeluarkan dekrit bahwa Bunda Maria hanya digambarkan dalam pakaian biru atau putih."
"Dan Magdalena selalu dalam pakaian merah."
Maureen pindah ke lukisan lain yang juga mengapit altar.
"Lihat yang ini..."
Lukisan itu mengambarkan Yesus yang terbaring di malamnya, sementara Maria Magdalena tampaknya sedang mempersiapkan penguburan jasadNya. Bunda Maria dan dua perempuan lain menangis di sudut lukisan itu.
"Maria Magdalena mempersiapkan penguburan jasad Kristus? Ini tidak disebutkan dalam Injil, bukankah begitu?"
"Markus lima belas dan enam belas menyebutkan bahwa Magdalena dan perempuanperempuan lain membawa rempahrempah ke makam yang barangkali mereka gunakan untuk mengurapi Kristus. Tapi kitab itu tidak menggambarkan prosesi ini secara khusus."
"Hmm,"
Maureen berpikir.
"Dan di gambar ini Maria Magdalena sedang melakukannya. Bukankah dalam tradisi Ibrani, pengurapan jasad untuk dimakamkan hanya boleh dilakukan oleh..."
"Istri,"
Jawab suatu suara pria bangsawan dengan aksen Skotlandia yang kental.
Maureen dan Peter langsung menoleh ke lelaki yang muncul dari belakang mereka secara tibatiba.
Kehadirannya menyedot perhatian mereka.
Ia luar biasa tampan, pakaiannya necis.
Namun meski busana dan pembawaannya menunjukkan keningratan, ia tidak terkesan mem bosankan.
Bahkan sebenarnya, segala sesuatu mengenai Berenger Sinclair tidak terlalu konvensional, benarbenar orisinil.
Pangkasan rambutnya sempurna, meski agak terlalu panjang untuk diterima di House of Lords.
Ia mengenakan kemeja sutra Versace, alih-alih Savile Row.
Arogansi alamiah disertai keistimewaan luar biasa diimbangi dengan humor senyuman penggoda dan nyaris kekanakkanakan selalu siap muncul saat ia berbicara.
Maureen langsung terpesona, merasa takjub saat ia menyimak kelanjutan penjelasannya.
"Hanya seorang istri yang diizinkan mempersiapkan jasad suaminya untuk dikuburkan. Kecuali jika ia tidak menikah, dalam kasus ini ibunyalah yang mendapat kehormatan itu. Seperti yang kalian lihat dalam lukisan ini, ibunda Yesus hadir, tapi jelas bukan ia yang melakukan tugas itu. Sehingga hanya ada satu kesimpulan."
Maureen menatap lukisan itu, lalu kembali ke lelaki karismatik yang berdiri di depannya.
"Maria Magdalena adalah istriNya,"
Tutur Maureen menuntaskan.
"Bravo, Nona Paschal."
Lelaki Skotlandia itu membungkuk seperti di panggung teater.
"Tapi maafkan aku karena sudah bersikap tidak sopan. Lord Berenger Sinclair, siap membantu Anda."
Maureen melangkah maju untuk menyambut tangannya, tapi Sinclair mengejutkannya dengan menggenggam tangan Maureen cukup lama.
Ia tidak langsung melepaskan, malah membalikkan tangan mungil Maureen ke atas tangannya yang besar.
Lalu jarinya menyentuh cincin Maureen.
Ia tersenyum kembali pada Maureen, sedikit nakal, dan mengedipkan mata.
Maureen tidak bisa berkonsentrasi.
Sebenarnya, ia sudah berkali-kali bertanya dalam hati, lelaki seperti apa Lord Sinclair ini.
Apa pun yang ia bayangkan, tidak seperti yang ia lihat sekarang.
Maureen berusaha tidak terbata-bata saat berbicara.
"Kau sudah kenal aku."
Lalu ia mengenalkan Peter.
"Ini..."
Sinclair memotong.
"Bapa Peter Healy, tentu saja. Sepupumu, jika aku tidak salah? Kau sudah pernah ke sini tentunya."
Ia melirik jam tangan Swissnya yang trendi dan luar biasa mahal.
"Kita tidak punya waktu banyak. Ayolah, ada beberapa benda yang kupikir menarik dilihat."
Sinclair berbicara lewat bahunya sambil berjalan cepat cepat melintasi gereja.
"Sambil lalu saja, tak usah repot-repot melihat buku panduan yang dijual di sini. Lima puluh halaman tanpa menyebutkan Maria Magdalena sama sekali. Seolah dengan mengabaikannya, ia akan hilang begitu saja."
Maureen mengikuti langkahnya yang cepat, dan berhenti di sebelahnya ketika sampai di depan altar samping lain yang berukuran kecil.
"Seperti yang akan kalian lihat, ia digambarkan dalam beberapa bagian gereja ini, tapi dengan sengaja diabaikan. Ini salah satu contoh yang bagus."
Sinclair memimpin mereka ke sebuah patung marmer yang besar dan elegan. Sebuah Pieta, patung klasik Bunda Maria memangku tubuh Kristus yang terluka parah. Di sebelah kanannya, berdiri Maria Magdalena yang menyandarkan kepalanya ke bahu Bunda Maria.
"Buku panduan hanya menyebutkan patung ini dengan 'Pieta, abad 18 Italia'. Tentu saja, Pieta tradisional menunjukkan Bunda Maria memangku putranya setelah penyaliban. Penyertaan Maria Magdalena dalam karya ini sangat tidak ortodoks, tapi...diabaikan secara sengaja."
Sinclair mendesah dan menggelenggelengkan kepala lantaran ketidakadilan ini.
"Lalu, apa teorimu?"
Tanya Peter, sedikit lebih pedas dibandingkan yang ia niatkan. Sesuatu dalam kearogansian Sinclair membuatnya gusar.
"Apakah ada konspirasi Gereja untuk menghilangkan Maria Magdalena?"
"Silakan menyimpulkan sendiri, Bapa. Tapi aku akan bercerita pada kalian bahwa di Prancis, jumlah gereja yang dipersembahkan kepada Maria Magdalena lebih banyak dibandingkan yang dipersembahkan kepada orang suci lainnya, termasuk Bunda Maria. Bahkan ada satu wilayah di Paris yang mengambil nama beliau aku rasa kalian pernah ke Madeleine?"
Maureen tibatiba tersadar.
"Baru terpikir olehku, Madeleine adalah sebutan Prancis untuk Magdalena, bukan?"
"Tepat. Pernahkah kalian ke gerejanya yang berada di Madeleine? Sebuah bangunan yang sangat megah, benarbenar didedikasikan kepadanya. Tapi pada awalnya tak satu pun karya seni dan dekorasi di sana yang menggambarkan Maria Magdalena. Tidak satu pun. Aneh, bukan? Mereka menambahkan pahatan Marochetti di atas altar. Konon nama aslinya Asumsi Bunda Maria, lalu diubah menjadi Asumsi Maria Magdalena karena tekanan...yah, mereka yang peduli pada kebenaran."
"Aku rasa kau akan mengatakan bahwa Marcel Proust juga menamakan kuenya Magdalena,"
Sindir Peter. Berlawanan dengan Maureen yang langsung terpesona, ia merasa jengkel dengan keyakinan Sinclair yang kurang sopan.
"Yah, mereka membuat bentuk seperti cangkang kerang karena suatu alasan."
Sinclair mengangkat bahu, membiarkan Peter memikirkan sendiri ucapannya sementara ia berjalan mendekati Maureen ke depan Pieta.
"Hampir seakan-akan mereka berusaha menghilangkan dia,"
Komentar Maureen.
"Ya, Nona Paschal. Banyak orang yang berusaha membuat kita melupakan warisan Magdalena. Tapi kehadirannya begitu kuat. Dan seperti yang telah kaulihat, ia tidak akan dilupakan, terutama..."
Lonceng gereja berdentang pada jam dua belas siang, memotong jawaban Sinclair.
Lelaki itu malah mengajak mereka untuk cepatcepat ke bagian gereja yang lain.
Ia menunjuk suatu garis meridian tipis dari perunggu yang menempel di lantai gereja, memanjang dari utara ke selatan.
Garis itu berakhir di sebuah tugu marmer bergaya Mesir, disertai sebuah bola bumi keemasan dan salib di atasnya.
"Ayo, cepat. Sekarang sudah tengah hari, kalian harus melihatnya. Perisitiwa ini hanya terjadi setahun sekali."
Maureen menunjuk garis perunggu.
"Itu apa?"
"Meridian Paris. Membelah Prancis secara menarik. Tapi coba lihat di atas sana."
Sinclair menunjuk sebuah jendela di atas dinding seberang mereka.
Ketika mereka menengadah, sebersit cahaya matahari bersinar melalui jendela dan menukik ke bawah menerangi garis perunggu yang menempel di batu itu.
Mereka menyaksikan cahaya itu menari di lantai gereja, mengikuti garis perunggu.
Cahaya itu naik ke tugu hingga mencapai bola bumi dan menerangi salib keemasan yang bermandikan cahaya.
"Indah, bukan? Posisi gereja ini disesuaikan untuk menandai titik balik matahari dengan sempurna."
"Indah sekali,"
Kata Peter sepakat.
"Sebenarnya aku tidak suka menentang ocehanmu, Lord Sinclair, tapi ada alasan religius yang absah untuk peristiwa ini. Paskah ditandai pada hari Minggu setelah bulan purnama pasca-terjadinya ekuinoks musim semi.z Menciptakan sesuatu untuk mengidentifikasi ekuinoks dan titik balik matahari tidak lazim dilakukan gereja."
Sinclair mengangkat bahu dan menoleh pada Maureen.
"Dia benar juga."
"Tapi ada hal lain berkenaan dengan Meridian Paris ini, bukan?"
"Sebagian orang menyebutnya Garis Magdalena. Garis itu sama dengan garis di peta yang aku kirimkan padamu. Garis itu bermula di Amiens dan berakhir di Montserrat. Jika kau ingin tahu apa sebabnya, temui aku di rumahku di Languedoc dua hari lagi. Aku akan menunjukkan alasannya, dan lebih banyak lagi. Oh, aku hampir lupa."
Sinclair mengeluarkan satu amplop mewah berwarna krem dari saku bagian dalam.
"Aku tahu kalian kenal dengan seorang pembuat film yang menyenangkan, Tamara Wisdom. Ia akan datang ke pesta kostum kami di akhir minggu. Aku harap kalian mau bergabung. Dan aku juga sangat berharap kalian mau menginap sebagai tamu di chateauku."
Roro Centil Tiga Paderi Pemetik Bunga Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Taji Iblis Rajawali Emas Raja Lihai Langit Bumi