Expected One 8
Kathleen Mcgowan The Expected One Bagian 8
Perintah ini dijalankan Andreas. Keranjang berisi roti dan ikan diletakkan di hadapan Easa. Easa mengucapkan doa syukur atas keberlimpahan makanan kemudian mengembalikan keranjang itu ke Andreas.
"Mulailah dengan keranjang ini dan edarkan di antara para tamu. Kumpulkan semua serpihan yang tercecer agar tidak ada yang hilang. Lalu masukkan serpihan itu ke keranjang baru dan edarkan di antara para tamu seperti keranjang pertama."
Andreas mengikuti petunjuk itu, dibantu Petrus dan yang lain.
Beberapa serpihan saja berubah menjadi tumpukan roti.
Dalam waktu singkat, tersedia dua belas keranjang besar yang penuh dengan makanan.
Keranjang ini diedarkan kepada kerumunan tamu hingga tiap orang yang hadir mendapat bagian.
Semua yang hadir di pantai Tabga hari itu menjadi yakin tanpa keraguan sedikit pun bahwa Easa adalah mesias sejati yang diturunkan Tuhan.
Reputasinya sebagai orang yang memiliki mukjizat dan seorang penyembuh cepat tersiar, dan pengikutnya bertambah banyak.
Orangorang yang menerima Maria pun semakin banyak.
Jika ia adalah seorang perempuan yang dipilih oleh seorang rasul besar, tentulah ia seorang yang pantas.
Kedudukan Maria dan derajatnya menimbulkan masalah, yakni namanya.
Pada masa itu, nama seorang perempuan ditentukan oleh hubungannya dengan pria.
Bagi Maria, ini problematis dan secara politis sulit dilakukan.
Menyebutnya sebagai janda Yohanes sepertinya tidak pantas, begitu juga jika ia hanya disebut sebagai istri Easa.
Pada masa itu, Maria dikenal dengan namanya sendiri, sebagai seorang perempuan yang memiliki kepemimpinan.
Selamanya ia adalah Putri Sion, Menara Jemaatnya sang Migdal-Eder.
Namanya saja sudah mencerminkan seorang ratu.
Maka umat memanggilnya dengan.
Maria Magdalena.
f Periode pelayanan keirnaman sesudah mukjizat pemberian makanan kepada ribuan orang di Tabga inilah yang disebut Maria Magdalena sebagai Masa Besar.
Tak lama usai pernikahan, kaum Nasrani bersamasama Maria yang kini menjadi bagiannya, berangkat ke Siria.
Dalam perjalanan ini, Easa menyembuhkan banyak orang yang sakit.
Ia menghabiskan masa pengajaran di sinagoge dan menyampaikan ajaran JalanNya ke orangorang yang belum pernah mendengarnya.
Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke Galilee.
Maria Magdalena hamil, dan Easa ingin anak mereka lahir di tempat yang paling nyaman bagi Maria di rumahnya.
Seorang bayi perempuan mungil lahir dengan sempurna sekembalinya Maria dan Easa ke Galilee.
Mereka memberi dua nama bagi sang putri, Sarah-Tamar.
Sarah diambil dari nama seorang perempuan Ibrani terhormat yang tercantum dalam Alkitab, yakni istri Ibrahim.
Sedangkan Tamar adalah nama Galilee dan mengacu pada pepohonan kurma yang tumbuh subur di wilayah ini.
Dari generasi ke generasi, nama ini kerap digunakan oleh keluarga terhormat sebagai nama kesayangan bagi anak perempuan.
Keluarga agung itu bertambah anggota, pelayanan keirnaman mereka berkembang, dan anakanak Israel merasakan masa depan mereka penuh harapan.
Tepatlah jika periode ini disebut Masa Besar.
Delapan Belas Chateau des Pommes Bfeues 29 Juni 2005 Tidak ada yang segera bicara setelah Peter membacakan terjemahan kitab pertama.
Mereka semua duduk terdiam selama beberapa saat.
Masingmasing menyerap dalamnya informasi dengan caranya sendiri.
Pada bagianbagian tertentu, saat terjemahan itu dibacakan, mereka menangis.
Yang lelaki tidak terlalu kentara, yang perempuan terisak tanpa ditahan.
Akhirnya Sinclair memecah keheningan.
"Kapan kita mulai?"
Maureen menggelengkan kepala.
"Aku bahkan tak tahu harus memulai dari mana."
Ia memandang Peter untuk mengetahui perasaannya terhadap kisah ini. Peter terlihat luar biasa tenang, bahkan tersenyum saat mata mereka bertemu.
"Apakah kau baikbaik saja?"
Tanya Maureen. Peter mengangguk.
"Tak pernah sebaik ini. Memang sangat aneh, tapi aku tidak merasa terkejut atau khawatir atau prihatin, aku cuma merasa...puas. Tak bisa kujelaskan, tapi itulah yang kurasakan."
"Kau tampak letih,"
Komentar Tammy.
"Tapi pekerjaanmu luar biasa."
Sinclair dan Roland menyatakan setuju, masingmasing berterima kasih kepada Peter karena telah menerjemahkan kitab itu tanpa kenal lelah.
"Bagaimana kalau kau beristirahat dulu, lalu menerjemahkan kitab yang lainnya besok,"
Saran Maureen dengan lembut.
"Aku serius, Pete, kau perlu beristirahat."
Peter menggelengkan kepala, tidak bisa dibujuk.
"Tidak bisa, masih ada dua kitab lagi. Kitab Para Murid dan satunya lagi yang ia sebut Kitab Masa Kegelapan. Kurasa kita pasti berasumsi bahwa isinya adalah kesaksian peristiwa penyaliban, dan aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum menyelesaikannya."
Saat mereka sadar bahwa keputusan Peter tidak bisa ditawar-tawar lagi, Sinclair menyuruh pelayan membawakan teh.
Sang pendeta masih belum mau makan.
Ia yakin bahwa ia harus berpuasa selama proses penerjemahan.
Jadi mereka meninggalkannya sendirian.
Sinclair, Maureen, dan Tammy bergabung di ruang makan untuk menyantap makan malam.
Roland diajak bergabung, tapi ia menolak dengan sopan karena masih ada hal lain yang harus ia kerjakan.
Ia beradu pandang dengan Tammy di ujung ruangan, lalu pergi.
Makan malam berlangsung singkat karena tidak seorang pun merasa berselera.
Mereka masih sulit menerjemahkan reaksi terhadap kitab pertama itu ke dalam katakata.
Tammy akhirnya berkomentar tentang riwayat Yohanes.
"Setelah seharian bersama dengan Derek, semuanya menjadi lebih jelas. Sekarang aku tahu, mengapa pengikut Persekutuan Yohanes sangat membenci Maria dan Salome. Tapi sikap itu tidak adil."
Maureen bingung. Ia belum paham dengan ucapan Tammy.
"Apa maksudmu? Apakah merekalah orangorang yang menyerangku?"
Tammy mengungkapkan semua yang didengarnya dari mulut Derek saat kunjungan menakutkan ke Carcasonne. Maureen mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tercengang.
"Tapi, kalian sudah tahu bahwa Maria memiliki putra dari Yohanes Pembaptis?"
Ia menujukan kalimat itu ke mereka berdua.
"Karena ini sangat mengejutkan bagiku. Benarbenar mengejutkan."
Sinclair mengangguk.
"Kebanyakan orang juga akan terkejut. Itulah keterangan yang kami ketahui. Tapi di luar sekte bidah kami, tak banyak yang tahu. Ada suatu usaha terorganisasi untuk menghilangkan bagian sejarah itu di kedua pihak. Agaknya pengikut Yesus tidak mau informasi tentang Yohanes membayangi kisah Yesus, jadi bagian itu diungkapkan oleh para penulis Injil dengan hatihati dan dengan cara yang cerdas."
Tammy menyela.
"Para pengikut Yohanes tidak membicarakan uraian itu karena mereka membenci Maria Magdalena. Aku membacanya lewat dokumendokumen Persekutuan mereka yang disebut True Book of the Holy Grail. Mereka memberi judul itu karena merasa yakin bahwa satusatunya darah yang suci adalah lewat Yohanes dan putranya. Itulah yang membuat garis darah mereka sebagai Holy Grail yang sejati, saluran darah suci yang sejati. Dan jika ada kesempatan, mereka akan menyingkirkan semua uraian tentang Maria Magdalena. Tidak hanya dari Alkitab, tetapi juga sejarah. Dalam Persekutuan, ada larangan menyebut nama Magdalena tanpa menambahkan gelar pelacur."
"Tidak masuk akal,"
Kata Maureen.
"Dialah ibu bagi putranya, dan mereka sendiri mengakui kebenarannya. Lalu mengapa mereka masih membenci Maria Magdalena?"
"Karena dalam pemahaman mereka, dia dan Salomelah yang merencanakan kematian Vohanes agar Maria bisa menikah dengan YesusEasadan agar Yesus bisa menduduki posisi sebagai orang yang terpilih. Dengan demikian ia bisa merebut kedudukan sebagai ayah bagi putra Yohanes dan mendidiknya dengan cara Nasrani. Sebenarnya, menolak Kristus dengan meludahi salib dan menjulukinya Perampas telah menjadi bagian ritual mereka."
Maureen menatap mereka berdua.
"Aku ragu-ragu mengatakan ini, tapi sulit untuk percaya bahwa Jean-Claude adalah bagian dari mereka."
"Maksudmu Jean-Baptiste."
Tammy menyebut nama itu dengan muak.
"Ketika kami di Montsegur...ia tahu banyak tentang orangorang Cathar. Tidak hanya itu, ia begitu kagum, begitu hormat pada mereka. Apakah semua itu hanya pura-pura?"
Sinclair menghela napas dan mengusap wajahnya.
"Ya, dan menurutku itu hanya sebagian kecil dari permainan besar. Roland menemukan bahwa Jean-Claude telah dididik sejak kecil untuk menyusup ke dalam organisasi kami. Keluarganya kaya raya. Dan dengan sumber daya dari Persekutuan, ia mampu merekayasa identitas ini. Karena semuanya berjalan mulus, belakangan ia menambahkan namanya dengan embel-embel Paschal. Ini membuatku curiga, tapi aku tidak punya alasan untuk tidak percaya. Faktanya ia seorang yang terpelajar dan sejarawan, bahkan pakar di bidang sejarah kita. Tapi ternyata gelarnya itu bukan saja demi mendapatkan penghormatan, tetapi lebih untuk memperjelas ungkapan "Kenali musuhmu.1"
"Sudah berapa lama terjadi? Permusuhan ini?"
"Dua ribu tahun,"
Jawab Sinclair.
"Tapi hanya satu pihak. Kalangan kami tidak dendam terhadap Yohanes dan selalu menerima keturunan sang Pembaptis sebagai saudara. Lagi pula, kita semua adalah anakanak Maria Magdalena, bukankah begitu? Begitulah sikap kami, dan selalu begitu."
"Pihak keluarga merekalah yang pengacau,"
Gurau Tammy. Sinclair menyela.
"Tapi tidak semua pengikut sang Pembaptis adalah ekstremis. Ini penting diingat. Orangorang fanatik dalam Persekutuan hanyalah minoritas. Mereka memang kelompok radikal yang menakutkan dan luar biasa kuat. Tapi tetap saja mereka adalah kelompok minoritas. Ayo kita keluar, aku ingin menunjukkan sesuatu."
Mereka bertiga beranjak dari meja, dan Tammy memohon diri. Ia meminta Maureen untuk bergabung dengannya nanti di ruang media.
"Setelah kita sampai sejauh ini, aku ingin menunjukkan berapa hal lagi yang kutemukan saat melakukan riset."
Maureen setuju untuk bertemu Tammy satu jam lagi, kemudian ia keluar mengikuti Sinclair. Langit sore masih terang dengan sisa cahaya matahari musim panas ketika mereka menuju gerbang masuk Taman Trinitas.
"Masih ingat taman ketiga? Taman yang belum kau lihat hari itu? Ayo, akan aku tunjukkan sekarang."
Sinclair meraih tangan Maureen dan memimpinnya mengelilingi pancuran Maria Magdalena dan melewati belokan pertama di sebelah kiri. Jalan setapak yang terbuat dari marmer membawa mereka ke suatu taman indah yang menyerupai daerah vila di Italia.
"Taman ini terkesan sangat...Romawi,"
Komentar Maureen.
"Ya. Kita tidak tahu banyak tentang pemuda ini, Yohanes-Yusuf. Sepengetahuanku, tidak ada tulisan tentang dia atau setidaknya belum ada hingga kini. Yang ada hanya cerita tradisional dan legenda yang disampaikan secara turun temurun."
"Dan apa yang kauketahui?"
"Hanya bahwa anak ini bukan putra Yesus, melainkan putra Yohanes. Namanya benar, Yohanes-Yusuf, meskipun sebagian legenda menyebutnya Yohanes-Yeshua, bahkan Yohanes-Markus. Legenda mengatakan bahwa pada usia tertentu ia berangkat ke Roma, meninggalkan ibu dan dua adiknya di Prancis. Apakah kepergiannya itu atas keinginan sendiri atau bagian suatu rencana besar atau tidak, hanyalah spekulasi. Kita pun tidak tahu bagaimana akhir hidupnya. Ada dua mazhab pemikiran". Sinclair membimbing Maureen menuju patung marmer seorang pemuda dalam gaya Renaisans. Ia berdiri di depan sebuah salib besar, tapi salah satu tangannya memegang tengkorak kepala.
"Ia dibesarkan oleh Yesus, jadi tidak mustahil ia tetap menjadi bagian komunitas Kristen yang sedang berkembang di Roma. Jika benar begitu, kemungkinan hidupnya berakhir tragis seperti kebanyakan pemimpin gereja di masa awal, dibunuh oleh Nero. Sejarawan Roma, Tacitus, mengatakan bahwa Nero 'menghukum kelompok Kristen, yang umumnya dikenal sebagai kelompok yang merusak akhlak, dengan cara yang sangat kejam1. Dan lewat kisah kematian Petrus, kita tahu bahwa pernyataan itu kemungkinan benar."
"Jadi menurutmu ia menjadi martir?"
"Kemungkinan besar. Barangkali bahkan disalib bersama Petrus. Susah dibayangkan, seseorang dari garis keturunan seperti dia tidak menjadi seorang pemimpin. Dan semua pemimpin pada masa itu dihukum mati. Tapi ada pandangan lain."
Sinclair menunjuk ke tengkorak marmer di tangan Yohanes Yusuf.
"Ada kemungkinan lain. Salah satu legenda mengatakan bahwa pengikut Yohanes yang lebih fanatik berjuang mencari keturunannya di Roma. Mereka meyakinkan putra sang rasul bahwa umat Kristen telah merebut posisinya yang sah. Bahwa Yohanes adalah satusatunya mesias sejati. Dan sebagai putra satusatunya, Yohanes-Yusuflah yang menjadi pewaris singgasananya sebagai orang yang terpilih. Sebagian orang mengatakan bahwa Yohanes-Yusuf mengajak ibu dan keluarganya untuk mengembangkan ajaran para pengikut ayahnya. Kita tidak tahu bagaimana akhir kisahnya. Yang kita ketahui bahwa ada sekte pemuja Yohanes di Iran dan Irak, namanya Mandaean. Mereka orangorang yang cinta damai, tapi sangat ketat dalam menerapkan hukum dan memegang keyakinan bahwa Yohanes adalah satusatunya mesias sejati. Boleh jadi mereka adalah keturunan langsung, dan kemungkinan Yohanes-Yusuf atau keturunannya pergi ke timur jauh mengikuti suatu pecahan umat Kristen awal. Dan tentunya sekarang kau sudah tahu tentang Persekutuan Keadilan yang mengklaim sebagai keturunan garis darah yang sejati di wilayah Barat ini."
Maureen menatap tengkorak itu sambil mendengarkan Sinclair. Suatu pikiran melintas di kepalanya, ia berteriak.
"Itu Yohanes! Tengkorak itu ada di semua ikon dan lukisan Maria Magdalena. Ia selalu muncul dengan tengkorak, tapi tak seorang pun bisa memberi penjelasan yang memuaskan. Selalu hanya referensi samar ke sikap bertobat. Tengkorak itu mencerminkan pertobatan. Tapi mengapa? Sekarang aku tahu jawabannya. Lukisan Maria disertai tengkorak karena ia sedang melakukan pertobatan untuk Yohanes secara harfiah dengan tengkorak Yohanes."
Sinclair mengangguk.
"Ya. Dan buku. Ia selalu muncul dengan sebuah buku."
"Tapi barangkali itu Alkitab,"
Kata Maria.
"Bisa saja, tapi ternyata bukan. Maria muncul dengan buku karena itu adalah bukunya sendiri, pesan yang ia tinggalkan untuk kita temukan. Dan kuharap buku itu akan memberi kita wawasan tentang misteri putra sulungnya dan bagaimana akhir hidup putranya. Karena sampai sekarang kita belum tahu. Mudah-mudahan buku Magdalena sendiri yang akan menyibakkan misteri itu untuk kita semua."
Mereka berjalan menelusuri taman tanpa bicara. Langit senja menebarkan titik-titik bintang pertama di atas mereka. Akhirnya Maureen memecah kebisuan.
"Kau mengatakan ada yang lain, pengikut Yohanes yang tidak fanatik."
"Tentu saja. Jumlah mereka jutaan orang. Mereka disebut umat Kristiani."
Maureen mengira Sinclair bergurau, tapi ia melanjutkan penjelasannya.
"Aku serius. Perhatikanlah negaramu sendiri. Berapa banyak gereja yang memakai nama gereja Baptis? Mereka adalah umat Kristiani yang telah mengintegrasikan gagasan bahwa Yohanes adalah seorang rasul berdasarkan pemahamannya sendiri. Sebagian orang menyebutnya sang Pendahulu dan memandangnya sebagai figur yang mengumumkan kedatangan Yesus. Di Eropa, ada sejumlah keluarga dari garis darah campuran antara darah sang Pembaptis dengan darah Nazaret. Yang paling terkenal adalah dinasti Medici. Para pemuja Yohanes dan Yesus ini menyatu. Dan tokoh kita, Sandro Botticelli, adalah salah satu di antara mereka."
Maureen terkejut.
"Botticelli keturunan kedua garis darah itu?"
Sinclair mengangguk.
"Jika kita kembali ke rumah nanti, perhatikanlah lukisan Phmavera karya Sandro. Di ujung sebelah kiri kau akan melihat sosok Hermes, sang alkemis, mengangkat simbol kedokteran. Tangannya membuat tanda 'Ingatlah Yohanes' seperti yang diceritakan Tammy. Dalam perumpamaan Maria Magdalena dan kekuatan kelahiran kembali ini, Sandro menyampaikan pesan bahwa kita harus mengakui Yohanes. Alkemi itu menjadi suatu bentuk penyatuan. Dan penyatuan tidak menyisakan ruang untuk sikap keras kepala dan mau menang sendiri."
Maureen memandang Sinclair dengan penuh perhatian.
Dalam hatinya tumbuh rasa kagum terhadap lelaki yang awalnya penuh misteri ini.
Sinclair adalah seorang mistikus dan penyair dengan caranya sendiri, seorang pengejar kebenaran spiritual.
Lebih dari itu, ia lelaki yang baikhangat, perhatian, dan tentu sangat setia.
Maureen tidak cukup tinggi menilainya, ini semakin terbukti kala ia mendengar ucapan terakhir Sinclair.
"Menurutku, sikap memaafkan dan tepa selira adalah tonggak keimanan sejati. Dalam empat puluh delapan jam terakhir, aku menjadi lebih yakin akan hal ini dibandingkan sebelumnya."
Maureen tersenyum dan memasrahkan tangannya dalam genggaman Sinclair.
Mereka berjalan meninggalkan taman.
Bersamasama.
Kota Vatikan, Roma 29 Juni 2005 Kardinal DeCaro menyudahi pembicaraan lewat telepon di kantornya ketika pintu mendadak dibuka.
Pejabat tinggi gereja ini heran, mengapa Uskup O'Connor belum paham juga bahwa kedudukannya di Roma ini sangat penting.
Tapi lelaki itu tampaknya tidak sadar.
DeCaro masih belum pasti apakah ini karena ambisi murni semata ataukah karena O'Connor kurang cerdas.
Barangkali dua-duanya.
Sang Kardinal berpura-pura sabar dan memasang tampang kaget saat lelaki itu berceloteh tentang suatu penemuan di Prancis.
Tapi kemudian O'Connor mengatakan sesuatu yang membuat punggung DeCaro menjadi kaku.
Penjelasan itu adalah informasi rahasia.
Tidak seorang pun pada level ini yang boleh tahu tentang keberadaan gulungan naskah itu apalagi isinya.
"Siapa yang memberi informasi ini kepadamu?"
Tanya Kardinal, dengan nada yang dibuat santai. O'Connor mencoba berkelit. Ia belum siap mengungkapkan sumbernya.
"Dia sangat terpercaya. Sangat."
"Rasanya, aku tidak bisa menganggap persoalan ini serius jika kau tidak bersedia atau tidak bisa memberi penjelasan lebih lengkap, Magnus. Kau harus paham, banyak sekali informasi palsu yang masuk ke sini. Kita tidak sanggup meneliti semuanya."
Uskup Magnus O'Connor menggeser posisi duduknya dengan kikuk.
Ia tidak berani mengungkapkan sumbernya, belum berani.
Informasi itu adalah kartu kunci baginya.
Jika ia memberitahukan nama orang itu, sudah pasti mereka akan langsung menemuinya sehingga O'Connor tidak memiliki kekuatan atau tidak dilibatkan dalam situasi bersejarah yang mahapenting ini.
Di samping itu, ada beberapa orang lagi yang harus dihadapinya selain DeCaro dan Dewan Vatikan.
"Aku akan bertanya pada sumberku dulu, apakah aku bisa memberitahukan identitasnya pada Anda,"
Usul O'Connor. Kardinal DeCaro mengangkat bahu, membuat O'Connor jengkel. Sikap DeCaro yang sepertinya tak acuh mendengar berita dahsyat itu, sungguh tidak ia inginkan atau tidak ia duga.
"Baiklah. Terima kasih atas informasinya,"
Kata pejabat yang lebih tua itu menyudahi percakapan.
"Silakan mengerjakan tugas-tugasmu."
"Tapi, Yang Mulia, tidakkah Anda ingin tahu apa persisnya penemuan mereka?"
Kardinal DeCaro melirik dari kacamata bacanya kepada rohaniwan Irlandia ini.
"Aku tidak tertarik pada informasi yang tidak jelas sumbernya. Selamat malam. Semoga Tuhan memberkati dan menjagamu."
Kardinal itu membalikkan badan dan mengangkat setumpuk kertas, kemudian memilah-milah kertas itu seolah sang Uskup baru saja memberitahukan sesuatu yang biasa seperti matahari terbit pagi hari dan tenggelam malam hari.
Apa istimewanya? Apa yang perlu diprihatinkan? Apa yang perlu dirayakan? Dibakar rasa marah, Uskup O'Connor menggumam dan melangkah lunglai keluar pintu.
Selesai sudah misinya di Roma untuk saat ini.
Ia akan berangkat ke Prancis.
Lalu ia akan menunjukkan pada mereka.
Chateau des Pommes Bleues 29 Juni 2005 Sesuai janji, Maureen menemui Tammy di ruang media setelah berjalan-jalan di taman bersama Sinclair.
Sebelum ke sana, ia melongok ke ruang kerja untuk menengok Peter yang tengah larut dalam tugasnya menerjemahkan kitab kedua.
Sepupunya itu balas menatap dengan pandangan yang sulit diartikan karena terlalu serius dengan pekerjaannya.
Maureen sadar, sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyapa lelaki itu, jadi ia pergi menemui Tammy.
Di luar ruang kerja, terdengar suara orang berlari dengan penuh semangat, menimbulkan kesan sejarah dan kegembiraan.
Maureen bertanya-tanya, seberapa jauh yang di ketahui pelayan.
Tapi ia menduga mereka orang yang bisa dipercaya dan sangat setia.
Roland dan Sinclair bertemu untuk membahas segi keamanan sampai seluruh injil Maria selesai diterjemahkan.
Mereka memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat.
Tidak ada yang membicarakan masalah ini secara terbuka sehingga Maureen sangat penasaran apa kiranya rencana Sinclair dan kapan rencana itu dilaksanakan.
"Masuklah, masuklah."
Tammy memberi isyarat saat melihat Maureen di pintu. Maureen menjatuhkan tubuhnya di sofa di sebelah Tammy, mendongakkan kepalanya sambil menggerutu.
"Loh, ada apa?"
Maureen tersenyum.
"Oh, aku hanya sedang berpikir, apakah hidupku akan sama seperti dulu?"
Tammy menjawab dengan tawa keras.
"Tidak. Jadi sebaiknya kau membiasakan diri mulai dari sekarang."
Tammy memegang erat tangan Maureen. Kali ini, ia berbicara dengan lebih simpatis.
"Dengarlah, aku tahu kebanyakan keterangan ini masih baru untukmu. Dan kau memproses banyak informasi dalam waktu singkat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau adalah pahlawanku, oke? Juga Peter, persoalan ini."
"Terima kasih,"
Maureen menarik napas.
"Tapi apakah kau benarbenar berpendapat bahwa dunia sudah siap dengan guncangan sistem kepercayaan ini? Karena menurutku belum."
"Aku tidak setuju,"
Kata Tammy dengan yakin.
"Kupikir sekaranglah waktu yang paling tepat. Sekarang abad 21. Kita tidak lagi membakar orang lantaran mereka melakukan bidah."
"Ya, kita cuma menghantam kepalanya saja,"
Kata Maureen sambil meraba belakang kepalanya untuk menegaskan.
"Benar juga. Maaf."
"Tidak, aku mendramatisir. Aku baikbaik saja, sungguh."
Maureen menunjuk televisi layar lebar.
"Kau sedang mengerjakan apa?"
"Kemarin malam perhatian kita teralihkan dan aku tidak sempat menunjukkan semua ini padamu. Aku pikir, kau akan merasa tertarik sekarang, lebih dari sebelumnya."
Tammy memegang remote yang kemudian ia arahkan ke monitor televisi.
"Kita akan melihat foto-foto garis darah Yesus, masih ingat?"
Tammy melepas tombol pause dan foto-foto memenuhi layar.
"Raja Ferdinand dari Spanyol. Lucrezia Borgia. Mary, Ratu Skotlandia. Bonnie Prince Charlie. Permaisuri Maria Theresa dari Austria dan putrinya yang lebih terkenal, Marie Antoinette. Sir Isaac Newton."
Ia berhenti pada gambar beberapa presiden Amerika.
"Dan sekarang kita sampai ke Amerika. Dimulai dengan Thomas Jefferson. Lalu perlahan bergeser ke masa modern."
Sebuah foto modern yang menunjukkan sekumpulan keluarga besar Amerika muncul di layar.
"Siapa mereka?"
"Keluarga Stewart di Cherry Hill, New Jersey. Aku mengambil potret ini tahun lalu. Dan yang ini juga. Mereka terlihat seperti masyarakat biasa di lokasi biasa, tapi semuanya dari garis darah itu."
Sebuah pikiran menyentak Maureen.
"Pernahkah kau ke McLean, Virginia?"
Tammy tampak bingung.
"Belum. Kenapa?"
Maureen menceritakan pengalamannya yang aneh di McLean, juga pertemuannya dengan seorang pemilik toko buku yang cantik di sana.
"Namanya Rachel Martel, dan..."
Tammy memotong ucapannya.
"Martel? Martel katamu?"
Maureen mengangguk dan tawa Tammy meledak.
"Yah, tak heran ia mengalami visi,"
Kata Tammy.
"Martel termasuk salah satu nama garis darah tertua. Charles Martel, dari garis Charlemagne. Jika kau meneliti wilayah Virginia, aku berani bertaruh kau akan menemukan konsentrasi besar keluarga dari garis darahYesus. Kemungkinan datang untuk mencari perlindungan semasa Pemerintahan Teror. Itulah umumnya yang menjadi alasan keluarga Prancis terhormat pindah ke Amerika. Banyak juga yang tinggal di Pennsylvania. Maureen tertawa.
"Jadi itu sebabnya banyak orang yang memiliki penglihatan gaib di sana. Aku akan menelepon Rachel dan memberitahunya jika aku kembali ke Amerika."
Mereka kembali memerhatikan layar yang memunculkan foto keluarga lain dan Tammy memberi penjelasan.
"Ini reuni keluarga St. Clair di Baton Rouge musim panas kemarin. Konsentrasi tertinggi keluarga dari garis darah itu berada di Lousiana karena warisan Prancis di sana. Kau sudah tahu sekarang karena kau tinggal di sana. Lihat orang ini?"
Tammy mengklik tombol pause pada foto seorang musisi jalanan muda berambut panjang yang sedang memainkan saksofon di French Quarter. Ia melepas tombol itu dan terdengarlah musik saksofon yang indah sampai ia menghentikannya lagi.
"Namanya James St. Clair. Tunawisma. Mencari nafkah dengan menjadi copet jalanan di New Orleans, tapi permainan saksofonnya bisa membuatmu menangis. Aku duduk di sudut jalan dan berbincang-bincang dengannya selama tiga jam. Seorang lelaki tampan yang sangat cerdas."
"Apakah orangorang ini tahu bahwa mereka dari garis darah itu?"
"Tentu saja tidak. Itulah indahnya, dan itu pula yang menjadi benang merah filmku. Dalam rentang sejarah dan evolusi selama dua ribu tahun, kemungkinan ada hampir sejuta orang di bumi ini yang mewarisi darah Yesus Kristus. Barangkali lebih. Tidak ada batasan dan kekhususan. Mereka bisa saja lelaki yang membawakan tas belanjaanmu atau pegawai bank. Atau tunawisma yang membuatmu terharu dengan permainan saksofonnya."
Chateau des Pommes Bleues 2 Juli 2005 Peter bekerja tanpa kenal lelah.
Tapi perfeksionisme menguasai dirinya hingga baru dua hari kemudian ia siap membacakan terjemahan gulungan naskah terakhir, Kitab Masa Kegelapan.
Maureen tertidur di sofa pada siang hari kedua itu, merasa tenang di dalam pelukan injil Magdalena yang telah diterjemahkan.
Isak tangis Peter membangunkannya.
Maureen mendongak untuk melihat sepupunya, tangannya menutupi kepala, pasrah pada keletihan dan emosi yang merasuk dirinya.
Tapi Maureen tidak bisa langsung memastikan emosi apakah itu.
Apakah kepedihan atau kebahagiaan? Kegembiraan atau penderitaan? Maureen menatap Sinclair yang duduk di seberang Peter.
Ia menggelengkan kepala.
Sama seperti Maureen, ia tidak tahu apa sebabnya Peter bereaksi seperti ini.
Maureen menghampiri Peter dan menyentuh lembut bahunya.
"Pete? Ada apa?"
Peter menyeka air mata dari wajahnya dan menatap sepupunya.
"Lebih baik dia yang bercerita padamu,"
Bisiknya, menunjuk terjemahan di hadapannya.
"Maukah kau memanggil yang lainnya?"
F Tammy dan Roland cepatcepat ke ruang kerja Sinclair.
Mereka mudah ditemukan karena sekarang tidak menutupnutupi lagi kebersamaan mereka.
Selain itu, mereka tidak pernah pergi seolah tidak ingin berjauhan dengan naskah itu lantaran takut tertinggal.
Setelah masuk, keduanya menyadari wajah Peter yang memerah.
Roland memanggil seorang pelayan untuk membawakan teh.
Begitu ia keluar ruangan dan pintu ditutup, Peter melanjutkan ucapannya.
"Dia menamakan naskah ini Kitab Masa Kegelapan,"
Kata Peter.
"Isinya menggambarkan minggu terakhir kehidupan Kristus."
Sinclair hendak mengajukan pertanyaan, tapi Peter memotongnya.
"Dia akan menceritakannya lebih baik dibandingkan aku."
Dan Peter mulai membaca.
...Adalah penting untuk mengetahui siapa Yudas Ťsungguhnya agar bisa memahami hubungannya dengan aku.
dengan Easa.
dan dengan ajaran JalanNya.
Sebagaimana Simon, ia so rang Ztlot dan sangat bersemangat mengusir orangorang Romawi dari pantai kami.
Ia telah membunuh demi keyakinan ini dan tidak ragu-ragu untuk melakukaimya lagi Hingga Simon membawanya ke hadapan Easa.
Yudas kiah memekik JalanNya.
tapiperubahann ya tidaklah cepat ataupun mudah.
Yudas berasal dari garis keturunan Earisi.
Pandangan hukumnya sangat ketat.
Selagi belia, ia menjadi pengikut Yohanes dan merasa curiga deigan segala yang ia dengar tentang aku.
Dengan berjalannya waktu, kami menjadi teman, bersaudara dalam JalanNyaberkat Easa.
yang adalah penyatu yang hebat.
Tapi ada saat-saat kala Yudas dan gaya lamanya muncul kembali.
Jika demikian, akan terjadi ketegangan di antara para pengkiku!, la seorang pemimpin alamiah dan diamdiam memegang kekuasaan.
Easa mengagumi kemanfuannya ini.
tapi sebagian pengikut tidak.
Tapi aku memahami Yudas.
Seperti aku.
adalah takdirnya menjadi seorang yang disalahpahami.
Yudas percaya bahwa kami harus meraih setiap kesempatan untuk melebatkan sayap dan balmu kami harus melakukaimya dengan bersedekah pada kaum miskin.
Easa mengangkat Yudas sebagai pengumpul dana.
Ia bertanggung jawab nvngumpulkan uang yang akan dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan.
Berkenaan dengan tugas ini.
ia adalali lelaki yang u in dan bijaksana.
Tapi ia juga tidak mengenal kompromi Perselisihan besar terjadi di malam saat aku mengurapi Easa di Bethany, tepatnya di rumah Simon.
Aku membawa sebuah toples putih yang tertutup rapat yang dikirimkan untuk kami dari A kxandria.
Isinya campuran pakis dan getah nryrrh yang mahal dan harum.
Aku membuka tutup toples dan mengolesi kepala dan kaki Easa dengan balsem itu.
nrnyatakannya sebagai mesias kami untuk menjaga tradisi dan Song of Songs seperti yang dipersembahkan Solomon untuk kami.
Itulah momen spiritual bagi kami semua, momen yang penuh dengan harapan dan perhmbang.
Tapi Yudas tidak setuju.
Ia marah dan mencela aku di hadapan orang dengan mengatakan.
'Balsem itu sangat berharga.
Tutup Jika dijual akan mahal harganya dan kita bisa memperoleh uang untuk menambah dana bagi kalangan naskin.
"
Aku tidakpfhi membela diri.
karena Easa telah melakukannya untukku Ia menegur Yudas.
'Kau akan selaki bisa nrnyantuni orang miskin, tapi kau tidak akan mendapatiku selamanya.
Dan biarkanlah aku mengatakan lebih jauhdi mana pun amal hidupku disampaikan di seluruh duma.
demikian pula nama wanita ini akan menyrrtai namaku.
Biar/ah ini terlaksana sebagai peringatan atas dirinya dan baktinya kepada kita semua."
Momen ku menunjukkan bahwa Yudas belum sepenuhnya memahami ritual suri JalanNya.
Dalam momen itu.
sebagian pengikut merasa marahsebagian bahkan tidak lagi percaya pada Yudas.
Seperti yang telah aku katakan, aku tidak memendam kemarahan padanya karena tindakan itu atau tindakan yang lain.
Yudas tidak mampu membohongi dirinya, dan ia selalu mendengar Aku masih berduka untuknya.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA.
KITAB MASA KEGELAPAN Sembilan Belas Yerusalem 33 M Hari itu tak akan dilupakan oleh orang Nasrani.
Ketika Easa tiba di Yerusalem, masyarakat yang telah mengetahui kedatangannya menyambut dengan hangat.
Tentu saja, penerimaan serupa ini di luar dugaan.
Ketika para pengikut diminta untuk mempelajari Doa Jalan Terang kini Easa menyebutnya Doa Bapa Kami lokasi di gunung Zaitun menjadi terlalu sempit.
Para pengikut yang ingin mendengarkan khotbah Easa memenuhi gunung itu, menanti giliran untuk berada di dekat orang terpilih ini, mesias mereka, agar ia juga bisa mengajarkan mereka bagaimana berdoa.
Easa tidak meninggalkan tempat sampai semua lelaki, perempuan, dan anakanak merasa puas karena telah mengetahui dan memahami doa ini, dan menghayatinya dalam hati.
Saat menuruni gunung dan menuju kota, langkah kaum Nasrani dihentikan oleh sepasang senturion Romawi.
Mereka adalah penjaga gerbang timur kota, gerbang terdekat ke kediaman Pilatus di Benteng Antonia.
Keduanya menjegal kelompok itu dengan ucapan kasar dalam bahasa Semit.
Easa maju dan membuat mereka terkejut dengan bahasa Yunaninya yang sempurna.
Ia menatap salah seorang senturion yang tangannya dibebat pembalut.
"Apa yang terjadi denganmu?"
Tanya Easa. Senturion itu tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, tapi ia menjawab dengan nada datar.
"Aku terjatuh ke bebatuan saat bertugas malam."
"Terlalu banyak minum anggur,"
Cela temannya, wajahnya sangar dan ada bekas luka melintang di pipi kirinya. Senturion yang terluka itu memelototi temannya lalu berkata.
"Jangan dengarkan ucapan Longinus. Aku kehilangan keseimbangan."
Easa berkata singkat.
"Pasti sangat sakit."
Senturion itu mengangguk.
"Rasanya tulangku patah, tapi aku tidak mendapat kesempatan untuk pergi ke tabib. Kami harus menyebar di antara kerumunan orang yang memperingati Paskahi."
"Boleh kulihat?"
Tanya Easa.
Lelaki itu mengulurkan tangannya yang dibalut, posisi tulangnya telah bergeser dari pergelangan tangan.
Dengan halus, Easa meletakkan salah satu tangannya di atas tangan senturion itu dan satunya lagi di bawahnya.
Sambil memejamkan mata, ia mengucapkan doa sementara tangannya menangkup tangan senturion itu dengan lembut tapi kuat.
Mata lelaki Romawi yang terluka itu membelalak sementara kerumunan orang Nazaet menyaksikan proses kesembuhan.
Bahkan senturion dengan luka di pipi pun tampak seperti dihipnotis.
1 Passover.
Hari Raya Paskah.
hari raya Vahudi mulai pada tanggal 14 Nisan untuk memperingati pembebasan orang Ibrani dari Perbudakan Mesir.
Easa membuka mata dan memandang orang Romawi itu.
"Mestinya kau sudah merasa lebih baik sekarang."
Begitu ia melepaskan tangannya, jelaslah bagi semua yang menyaksikan bahwa tangan senturion itu kini lurus dan kuat.
Orang Romawi itu terperangah, tak mampu bicara.
Ia malah membuka pembalut di tangannya lalu menggerak-gerakkan jemarinya.
Matanya yang biru langit memburam karena air mata yang tertahan saat ia memandang Easa.
Ia tidak berani bicara karena takut kehilangan muka di antara sesama serdadu.
Easa paham, ia menyelamatkan lelaki itu dari rasa malu.
"Kerajaan Tuhan menjadi milik mereka yang mau mengikutinya. Sampaikanlah kabar baik ini kepada yang lain,"
Kata Easa lalu meneruskan perjalanan menuju kota, diikuti Maria, anakanak, dan umat terpilih.
f Maria kelelahan, tapi ia tidak mengeluh.
Beban putra yang digendongnya sedikit memperlambat langkahnya.
Tapi ia merasa gembira hingga tak pernah mengeluh.
Mereka menginap di rumah paman Easa, Yusuf, seorang lelaki kaya raya dan berpengaruh yang memiliki tanah tepat di luar kota.
Maria bersyukur karena Yohanes kecil dan Tamar tertidur.
Perjalanan hari itu juga membuat mereka kelelahan.
Maria mendapat kesempatan untuk merenungkan kemampuan Easa menyembuhkan orang, saat duduk di taman Yusuf yang sejuk dan teduh.
Easa sedang bersama pamannya dan beberapa orang pengikut pria.
Mereka menyusun rencana untuk berkunjung ke Rumah Tuhan besok.
Maria memilih tidak bergabung mengikuti pembicaraan itu, melongok anakanak di pembaringan, lalu memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan berdoa.
Maria-Maria lain dan pengikut perempuan berkumpul malam ini untuk berdoa.
Maria sendiri memilih tidak ikut.
Belakangan ini, ia jarang bisa menyendiri dan ia bersyukur karena bisa melakukannya sekarang.
Namun, saat Maria Magdalena mengenang kejadian penyembuhan serdadu Romawi tadi, ia merasa tidak nyaman dan gundah.
Maria tidak bisa mengidentifikasi perasaan itu, pun tidak tahu apa sebabnya.
Senturion itu sendiri seorang lelaki yang baik bagi seorang serdadu Romawi, bahkan hampir menyenangkan.
Dan Maria bisa merasakan penderitaan lelaki itu, seperti juga Easa, saat ia hampir menitikkan air mata melihat mukjizat penyembuhan.
Tapi serdadu yang satunya jauh berbeda.
Ia keras dan kasar, seperti yang mereka semua bayangkan dari seorang yang dibayar untuk menumpahkan begitu banyak darah orang Yahudi.
Lelaki dengan luka di pipi ini, namanya Longinus, terkejut dengan kesembuhan itu.
Tapi ia tidak mau menunjukkannya.
Ia terlalu berkulit tebal untuk memperlihatkan emosi.
Tapi lelaki bermata biru itu tidak hanya sembuh, tetapi juga berubah.
Maria bisa melihat dari sorot matanya.
Saat Maria membayangkan peristiwa itu, ia merasa aliran listrik menjalar di tubuhnya, suatu perasaan aneh yang menjadi bagian nubuat, yang selalu mengingatkannya akan peristiwa yang kelak terjadi.
Maria memejamkan mata dan berusaha menangkap bayangan itu, tapi tidak berhasil.
Ia terlalu letih, atau barangkali tidak ditakdirkan untuk melihat bayangan itu.
Apakah gerangan? Maria bertanya-tanya.
Reputasi Easa sebagai seorang penyembuh yang hebat menyebar ke seluruh Israel selama tiga tahun terakhir.
Ia menjadi terkenal dan dihormati masyarakat.
Dan belakangan, proses penyembuhan itu tampaknya berjalan begitu saja tanpa harus bersusah payah.
Kekuatan penyembuhan yang dianugerahkan Tuhan lewat Easa dengan begitu mudah adalah sesuatu yang patut disyukuri.
Bukankah Easa telah menyembuhkan kakaknya sendiri ketika dokter-dokter di Bethany menyatakan bahwa ia telah mati? Tahun lalu, Maria dan Easa berangkat dengan tergesagesa dari Galilee setelah mendapat kabar dari Martha bahwa Lazarus sakit keras.
Tapi perjalanan itu memakan waktu lebih lama dibandingkan yang mereka perkirakan.
Ketika mereka sampai, tubuh Lazarus telah menyebarkan bau kematian.
Semuanya sudah sangat terlambat, pikir mereka.
Meski kemampuan menyembuhkan Easa luar biasa, ia tidak pernah membangunkan seseorang dari kematian.
Rasanya kemampuan itu terlalu besar bagi seorang manusia, terlepas apakah ia mesias atau bukan.
Namun, bersamasama Maria, Easa masuk ke rumah Martha dan meminta kedua wanita itu berdoa dengan iman yang kuat bersamanya.
Lalu ia masuk ke kamar Lazarus dan berdoa di hadapan jasad lelaki itu.
Easa keluar dari kamar dan menatap wajah pucat Maria dan Martha.
Ia tersenyum untuk menenangkan mereka sebelum berbalik ke arah kamar.
"Lazarus, Saudaraku, berdirilah dari ranjangmu dan berterima kasihlah kepada istri dan adikmu yang telah berdoa dengan penuh kasih agar kau kembali kepada kami."
Martha dan Maria terkejut melihat Lazarus berjalan pelan melewati pintu.
Tubuhnya masih pucat dan lemah, tapi ia hidup.
Masyarakat Bethany menyambut gembira kabar bangkitnya Lazarus dari kematian.
Barisan pengikut Nasrani membengkak karena pengabdian Easa telah melegenda di seluruh wilayah.
Easa meneruskan pengabdiannya menyembuhkan orang, ia juga berhenti di Sungai Yordania dekat Jericho untuk membaptis pengikut-pengikut baru dengan cara yang diajarkan Yohanes.
Kerumunan orang yang ingin dibaptis melimpah ruah sehingga kelompok Nasrani ini mesti tinggal di tepi Yordania lebih lama dibandingkan yang mereka rencanakan.
Fakta bahwa Easa mengambil jubah Yohanes menjadi populer di kalangan moderat yang berdoa bahwa dia benarbenar mesias mereka.
Herod Antipas sendiri telah menyatakan bahwa ia melihat jiwa sang Pembaptis hidup kembali dalam diri Easa.
Tapi tidak semuanya senang dengan perkembangan ini.
Pujian Herod terhadap Easa tidak diterima dengan baik oleh para pengikut Yohanes yang lebih kuat, juga kebanyakan kelompok pertapa Eseni yang ekstrem.
Diamdiam mereka mengutuk Easa karena dianggap merebut posisi Yohanes.
Tapi panah paling mematikan tidak diarahkan kepada lelaki Nasrani itu, melainkan yang perempuan.
Keesokan harinya di tepi sungai, Maria Magdalena tersungkur ke tanah sambil memegang perut.
Segera saja ia sakit keras hingga beberapa pengikutnya berkumpul di dekatnya.
Begitu mendengar kabar ini, Easa segera berlari ke samping istrinya.
Maria Agung yang ketika itu bersamanya, juga ikut.
Ia memandang menantu perempuannya dengan seksama, memeriksa gejala kesehatannya, dan merawatnya dengan lembut.
Kemudian ia menghampiri putranya.
"Aku pernah melihat keadaan seperti ini sebelumnya,"
Katanya serius.
"Ini bukan penyakit yang wajar."
Easa mengangguk paham.
"Racun."
Maria Agung menguatkan kesimpulan putranya dan menambahkan.
"Bukan racun biasa. Lihat kakinya menjadi lumpuh? Ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah, dan isi perutnya keluar bersama muntah. Ini racun dari Timur, namanya racun tujuh setan. Dinamakan begitu karena dibuat dari tujuh bahan yang mematikan. Racun ini mematikan secara perlahan dan menyakitkan. Belum ada penawarnya. Kau harus bekerja bersama dengan Tuhan untuk menyelamatkan istrimu, Putraku."
Maria Agung mengosongkan tempat agar Easa bisa mengusahakan penyembuhan istrinya dengan tenang, tanpa ada orang lain.
Easa berdoa hingga ia merasa racun menguap dari tubuh Maria dan rona kesehatan kembali kepadanya.
Sementara Easa melaksanakan pekerjaan Tuhan, murid-muridnya berusaha mencari tahu siapa yang telah meracuni Maria Magdalena.
Biang keladinya tidak pernah ditemukan.
Mereka menduga ia seorang pengikut fanatik Yohanes yang datang ke Yordania dengan menyamar sebagai orang yang beralih ke ajaran Easa.
Dialah yang diduga telah memberi racun mematikan kepada Maria yang tidak curiga.
Sejak hari itu, Maria Magdalena berhati-hati.
Ia tidak minum atau makan di luar kecuali ia tahu persis sumber makanan itu.
Sepanjang sisa hidupnya, ia mengalami berbagai serangan dari orang yang benci atau dengki padanya.
Kesembuhan Maria Magdalena dari racun tujuh setan menjadi salah satu legenda besar dalam kependetaan Nasrani.
Seperti berbagai fragmen dalam sejarah Maria Magdalena, peristiwa ini pun disalahpahami dan dimanfaatkan untuk menyerangnya.
f Lamunan Maria terusik dengan suatu teriakan dari halaman rumah.
Itu suara Yudas.
Ia mencari Easa dengan sikap putus asa.
Maria berlari menghampirinya.
"Ada apa?"
"Keponakanku, anak perempuan Jairus."
Yudas terengahengah dan kehabisan napas. Ia berlarian dari batas timur untuk menemui Easa.
"Barangkali sudah terlambat, tapi aku membutuhkan dia. Di mana dia?"
Maria mengantar Yudas menuju tempat pertemuan di rumah Yusuf.
Easa melihat kegelisahan di wajah Yudas dan langsung berdiri menyambutnya.
Dengan terengahengah, Yudas menjelaskan bahwa keponakannya terserang demam yang mewabah di kalangan anakanak Yerusalem dan sekitarnya.
Banyak di antara mereka yang meninggal.
Ketika Yudas mendengar kabar itu dan berangkat ke rumah Jairus, para dokter telah angkat tangan.
Berkat kedudukannya di Rumah Tuhan dan hubungan akrabnya dengan Pontius Pilatus, Jairus memiliki akses ke dokter-dokter hebat.
Yudas tahu, jika dokter-dokter ini saja sudah menyerah maka kemungkinan gadis cilik itu sudah meninggal sekarang.
Betapapun, ia harus berusaha.
Hati Yudas sesungguhnya lembut, tapi ia tidak membiarkan orang lain melihatnya.
Dan sebagai lelaki yang menolak hidup berkeluarga demi menempuh jalan revolusioner, cinta kasihnya tertumpah kepada para keponakannya.
Dan Smedia yang berusia dua belas tahun, gadis cilik yang sakit itu, adalah kesayangannya.
Easa bisa melihat raut takut dan cemas akan kehilangan anak itu di wajah Yudas, ia memandang Maria Magdalena.
"Apakah kau sanggup bepergian malam ini?"
Maria mengangguk. Tentu ia akan pergi. Ada seorang ibu yang berduka di rumah itu, dan Maria akan berusaha memberi dukungan sebisa mungkin.
"Kita berangkat sekarang,"
Kata Easa singkat.
Ia tidak pernah ragu-ragu, Maria sangat mengetahuinya.
Tidak peduli jam berapa pun, tidak peduli selelah apa pun, Easa tidak pernah menolak seseorang yang sangat membutuhkannya.
Yudas berjalan di belakang mereka.
Lewat tatapan matanya, ia menyatakan terima kasih kepada Maria.
Dan Maria merasa hangat melihat sorot mata itu.
Barangkali Yudas akan lebih sempurna menghayati JalanNya malam ini, pikir Maria.
Harapan itu melekat kuat dalam jiwanya.
f Kedudukan Jairus di tengah-tengah masyarakat cukup unik.
Ia seorang Farisi dan pemimpin di Rumah Tuhan.
Tapi ia juga seorang perwakilan khusus penguasa.
Karena jabatan itu, setiap minggu ia bertemu dengan Pontius Pilatus untuk membahas berbagai urusan Roma karena mereka menjalin hubungan baik dan damai dengan Rumah Tuhan dan kalangan Yahudi di Yerusalem.
Hubungan Jairus dan Pilatus cukup akrab.
Keduanya kerap berdiskusi tentang masalah politik selama berjamjam.
Rachel, istri Jairus, menemaninya ke Benteng Antonia dan menghabiskan waktu berjamjam bersama istri Pilatus, Claudia Procula.
Persahabatan Rachel dan Claudia semakin dekat meski antara keduanya terdapat perbedaan besar.
Claudia seorang perempuan Romawi yang memiliki status tinggi.
Ia tidak hanya istri penguasa Palestina, tetapi juga cucu salah seorang Caesar dan putri asuh kesayangan Caesar yang lain.
Di ujung lainnya, Rachel adalah perempuan Yahudi dari salah satu keluarga Israel yang terhormat.
Meski latar belakang mereka berbeda, kedua perempuan ini kompak lantaran samasama menjadi istri lelaki yang berkuasa, dan yang paling penting, samasama seorang ibu.
Anak perempuan Rachel, Smedia, sering kali datang ke Benteng Antonia bersama ibunya.
Smedia senang bermain di dalam kamar yang indah.
Dan dengan usianya yang beranjak remaja, Claudia mengizinkannya menggunakan losion dan kosmetiknya.
Di usia dua belas, Smedia tumbuh menjadi gadis muda yang cantik.
Claudia mencurahkan perhatian istimewa pada Smedia karena gadis ini adalah teman main putranya sendiri.
Pilo, putra Pontius Pilatus dan Claudia, yang berusia tujuh tahun, adalah misteri bagi kebanyakan penduduk Yerusalem.
Tidak banyak yang tahu bahwa Pilatus memiliki seorang putra.
Pilo mengalami kelainan, kakinya bengkok sehingga aktivitasnya terbatas dan ia tidak pernah meninggalkan benteng.
Pilatus tidak mengenalkan putranya karena ia tahu, anak ini tak akan pernah menjadi seorang prajurit.
Ia tidak akan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang penguasa Roma.
Seorang anak yang lahir dengan kemurkaan tuhan seperti itu adalah pertanda buruk.
Tapi Claudia melihat sisi lain dari pribadi Pilatus yang tidak dilihat orang lain.
Ia tahu, suaminya kerap menangis mengingat putranya di malam hari ketika ia pikir tidak ada orang yang melihat atau mendengarnya.
Pilatus telah mengeluarkan separuh harta mereka untuk membayar sejumlah dokter dari Yunani, ahli tulang dari India, dan berbagai ahli pengobatan lain.
Tapi semuanya tidak membuahkan hasil apa pun kecuali tangis Pilo yang merasa kesakitan dan frustrasi.
Claudia mendekap anak yang menangis itu hingga ia tertidur.
Sedangkan sang ayah keluar dari benteng selama berjamjam dan menjauhi diri dari mereka berdua setiap kali peristiwa ini terjadi.
Smedia kecil memiliki kesabaran yang luar biasa terhadap anak itu.
Ia biasa duduk bersamanya selama berjamjam, menceritakan dongeng, dan bernyanyi untuknya.
Claudia tersenyum sendiri menyaksikan mereka berdua dengan sudut matanya sementara ia menyulam bersama Rachel.
Apa yang akan dikatakan Pilatus jika ia mendengar putranya menyanyikan lagu Ibrani? Tapi Pilatus jarang berada di rumah, dan Claudia tahu ia tidak perlu khawatir.
Dalam salah satu pertemuan inilah Claudia Procula untuk pertama kalinya mendengar tentang Easa.
Rachel menyanjung tokoh ini dan pengabdiannya.
Kepada Claudia, ia mengungkapkan kisahkisah penyembuhan yang dilakukan Easa dan mukjizatnya.
Suami Rachel, Jairus, sebenarnya tidak mengizinkannya bercerita tentang orang Nasrani ini.
Jairus mendengar saran Jonathan Annas dan Caiaphas yang menganggap Easa seorang pengkhianat yang tidak menghormati wewenang Rumah Tuhan.
Dan Jairus tidak boleh terlihat memiliki hubungan apa pun dengan lelaki ini.
Namun sepupu Jairus, Yudas, sekarang menjadi salah satu pengikut terpilih Easa.
Kadang-kadang Jairus menjadi canggung lantaran masalah ini.
Tapi sampai sekarang ia mampu menyeimbangkannya dengan baik.
Sementara Rachel merasa gembira karena sekarang ia bisa mengetahui kisah mukjizat lelaki Nasrani ini secara lebih langsung.
"Kau harus membawa Pilo menemui Easa,"
Kata Rachel suatu hari. Mata Claudia menjadi suram dengan penyesalan.
"Bagaimana bisa? Suamiku tidak akan mengizinkan aku berada di dekat seorang imam Nasrani. Rasanya itu mustahil."
Rachel tidak menyebut masalah sensitif itu lagi kepada temannya.
Tapi Claudia tidak berhenti memikirkannya.
Lalu Smedia terserang demam parah, dan hanya beberapa hari berselang Pilo juga jatuh sakit.
f Kerumunan orang yang turut berduka berdatangan dari seluruh sudut kota ke rumah Jairus.
Keluarga-keluarga yang terkait dengan Rumah Tuhan dan banyak penduduk Yerusalem yang tersentuh dengan musibah yang menimpa Jairus dan Rachel, datang untuk menunjukkan dukungan.
Smedia, putri kesayangan mereka, meninggal.
Yudas menerobos kerumunan orang yang memenuhi rumah sepupunya.
Easa dan Maria mengikuti, tidak jauh di belakangnya.
Easa mencengkeram tangan Maria kuat-kuat agar tidak kehilangan istrinya yang mungil itu di tengah-tengah barisan orang.
Andreas dan Petrus juga mengikuti di belakang mereka untuk memberi perlindungan ekstra.
Nyatalah bagi kelompok Nasrani ini bahwa putri Jairus terserang demam, tapi mereka tidak takut.
Mereka mendesak dan masuk ke rumah Jairus.
f Di Benteng Antonia, Pontius Pilatus dan Claudia Procula baru saja mendengar putusan kematian bagi putra semata wayang mereka.
Para dokter sudah menyerah.
Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.
Lagi pula, bukankah anak ini sudah lemah sedari mula? Pontius Pilatus meninggalkan ruangan dengan membisu.
Sepanjang sisa malam ia menyendiri bersama filsuf stoiknya.
Ia harus menerima kehilangan ini dengan cara Romawinya sendiri.
Tinggallah Claudia bersama Pilo yang sekarat.
Ia memeluk putranya di ranjang dan menangis pelan meratapi putranya yang tampan dan tegar.
Saat itulah seorang budak Yunani masuk menemui majikannya di kamar.
"Putraku yang malang akan meninggalkan kita,"
Kata Claudia pelan.
"Apa yang akan kita lakukan? Apa yang bisa aku lakukan jika ia pergi?"
Budak itu mendekati Claudia.
"Nyonya, aku datang untuk menyampaikan kabar dari rumah Rachel dan Jairus. Kejadiankejadian ini sangat menyedihkan, tapi barangkali mereka memiliki harapan yang lebih besar. Smedia yang cantik telah meninggal."
"Tidak!"
Pekik Claudia.
Ia tidak sanggup menanggung semua ini.
Di manakah keadilan jika gadis cantik seperti putri Rachel meninggalkan dunia, barangkali di malam yang sama dengan putra kesayangannya? "Tunggu dulu, Nyonya, aku belum selesai.
Rachel meminta aku menyampaikan bahwa sang penyembuh dari Nazaret, Easa, akan datang ke rumah mereka malam ini.
Meski barangkali sudah terlambat bagi Smedia, mungkin belum bagi Pilo."
Claudia tidak punya banyak waktu untuk memikirkan konsekuensi tindakannya. Kondisi Pilo sudah sedemkian kritis.
"Selimuti dia. Mari kita bawa dia dengan kereta kuda. Cepat, ayo, cepat pergi."
Lelaki Yunani itu, yang juga pembimbing Pilo dan sangat menyayangi anak itu, membungkus Pilo dengan selimut lalu menggendongnya menuju kereta kuda.
Claudia berlari di belakang mereka.
Ia tidak meluangkan waktu untuk meninggalkan pesan bagi Pilatus.
Tapi ia tidak berpikir suaminya itu akan tahu bahwa ia pergi.
Lagi pula, ia sendiri memiliki hak untuk mengambil keputusan penting sendiri.
Bukankah ia cucu seorang Caesar? f Pilo bertahan.
Ia masih bernapas saat lelaki Yunani dan ibunya menggendongnya.
Claudia mengenakan selubung tebal.
Ia tidak mau orangorang melihatnya datang ke rumah sebuah keluarga Yahudi dalam keadaan berduka.
Sang budak Yunani membawa kereta kuda sejauh mungkin menerobos kerumunan orang, lalu meninggalkannya untuk membantu majikannya dan Pilo melewati kerumunan orang.
Usaha itu tidak mudah.
Di antara mereka yang turut berduka cita, telah tersiar kabar bahwa sang mesias pemegang mukjizat sudah berada di dalam.
Jalanjalan penuh dengan orang yang ingin tahu, juga orang yang telah percaya.
Tapi kelompok kecil dari Benteng Antonia mendesak, dan mendorong hingga mereka sampai ke pintu.
"Kami ingin menemui Rachel, istri Jairus,"
Kata sang budak Yunani.
"Tolong sampaikan kepada Rachel bahwa yang datang adalah temannya, Claudia."
Pintu dibuka, tapi mereka tidak segera dipersilakan masuk.
Yudas menjaga pintu dari dalam.
Ia memberitahu penjaga luar untuk melarang pengunjung masuk sampai Easa pergi.
Yudas tidak ingin ada orang yang menyaksikan proses penyembuhan.
Ini demi melindungi Easa.
Jairus seorang Farisi, dan ada orang lain dari Rumah Tuhan yang datang dan menunggu di dekat rumah untuk melihat kejadian yang berlangsung mereka tidak terlalu bersahabat dengan misi Nasrani.
Seandainya Easa tidak mampu menghidupkan Smedia, mereka akan mencelanya sebagai seorang penipu.
Dan jika ia berhasil, mereka bisa saja menuduh Easa seorang tukang sihir atau sebangsanya.
Tuduhan ini tidak saja akan merusak nama Easa, tetapi juga Jairus.
Dan laporan saksi mata dari seorang Farisi yang memiliki agenda tersembunyi bisa menjerumuskan sang tertuduh ke dalam hukuman mati.
Tindakan yang paling aman adalah melarang orang memasuki ruangan, kecuali keluarga dekat.
Claudia Procula hanya mendengar instruksi tegas Yudas "Tidak boleh ada tamu dulu".
Tapi begitu pintu terbuka, ia mengintip aktivitas dalam ruangan itu.
Ia melihat Smedia terbaring di ranjang kematian, putih dan tidak bernyawa di tengah kabut dupa.
Rachel duduk di sampingnya, terus memegang tangan putrinya, kepalanya tertunduk pasrah dalam dukacita yang sangat hebat.
Seorang imam perempuan Nasrani yang mengenakan selubung merah berdiri di samping Rachel.
Ia tampak seperti menara kekuatan dan kasih sayang dalam suasana tragis itu.
Jairus, yang Claudia kenal sebagai lelaki kuat dan percaya diri, bersimpuh di lantai dekat kaki Easa.
Ia memohon agar lelaki Nasrani itu menyembuhkan putrinya.
Belakangan, setelah suasana malam itu menjadi tenang, Claudia berkomentar tentang pertemuan pertamanya dengan Easa.
"Aku belum pernah merasa seperti itu sebelumnya,"
Katanya.
"Memandangnya saja membuat diriku merasa tenang, seolah aku tengah dikelilingi cinta dan cahaya itu sendiri. Bahkan dalam momen yang singkat itu, aku tahu siapa dia bahwa dia lebih dari seorang manusia, bahwa kami semua diberkati selamanya karena melihat kehadirannya, meski hanya beberapa detik."
Pintu tidak tertutup seperti yang diduga Claudia.
Yudas mendekati Jairus yang dikuasai duka, dan penjaga luar terlalu terpesona dengan peristiwa itu hingga agak lalai.
Claudia menyaksikan dengan takjub saat Easa bergeser ke samping ranjang.
Ia menatap perempuan berselubung merah, yang belakangan Claudia ketahui adalah istrinya, Maria Magdalena.
Kemudian Easa menyentuh bahu Rachel.
Ia membisikkan sesuatu ke telinganya, tidak seorang pun bisa mendengar.
Tapi untuk kali pertama, Rachel mengangkat kepalanya.
Lalu Easa membungkuk pada anak itu dan mencium keningnya.
Ia menggenggam tangan Smedia dengan kedua tangannya lalu memejamkan mata untuk berdoa.
Setelah beberapa saat hening, dan semua orang menahan napas, Easa menatap Smedia dan berkata.
"Bangunlah, Anakku."
Claudia tidak ingat kejadian selanjutnya.
Peristiwa itu bagaikan mimpi aneh yang tidak bisa diingat kembali secara persis.
Anak itu, Smedia, mula-mula bergerak perlahan, tapi kemudian ia duduk dan memanggil ibunya.
Rachel dan Jairus menjerit dan berlari memeluk putri mereka.
Dalam tahap tertentu, Claudia terjatuh akibat desakan kerumunan orang.
Terjadi kericuhan di sekitar rumah.
Dan terdengar teriakan gembira dari para pengikut Easa dan temanteman keluarga itu yang merayakan mukjizat kembali hidupnya Smedia.
Namun terdengar pula cemoohan dan celaan dari orangorang Farisi dan penentang ajaran Nasrani yang mengutuk Easa dan menjulukinya ahli ilmu hitam.
Claudia panik.
Ia dan lelaki Yunani itu terdorong dari pintu masuk dan terbawa kerumunan orang yang berdesak-desakan.
Pilo tengah sakit keras, dan ia tahu putranya bisa mati di tangga rumah Jairus ini.
Terlalu berisiko, bahkan kejam, membawa Pilo ke sini sementara ia bisa mengembuskan napas terakhir dengan tenang di ranjangnya sendiri.
Dan kini usahanya tampak siasia.
Lelaki Nasrani itu dikerumuni para pengikutnya, Claudia tidak bisa mendekatinya.
Namun, ketika harapannya nyaris musnah, Claudia melihat Maria Magdalena berhenti di tengah kerumunan orang.
Sesuatu terjadi antara mereka berdua.
Semacam komunikasi mistis antara sesama ibu dalam masa yang sulit.
Mata mereka saling menatap selama beberapa saat.
Kemudian pandangan Maria beralih ke anak dalam gendongan lelaki Yunani itu.
Tanpa berbicara, Maria menyentuh bahu Easa.
Easa menoleh untuk mengetahui apa yang Maria inginkan.
Sesaat, mata Easa bertemu pandang dengan Claudia, kemudian ia tersenyum padanya.
Suatu ekspresi harapan dan cahaya murni.
Claudia tidak tahu berapa lama peristiwa itu berlangsung.
Perhatiannya beralih karena suara putranya memanggil.
"Mama! Mama!"
Pilo menggeliat dalam gendongan budak Yunani.
"Turunkan aku!"
Claudia bisa melihat, wajah putranya tidak lagi pucat.
Ia tampak sehat dan kuat kembali.
Dalam sekejap, Pilo yang sekarat telah pulih sepenuhnya.
Dan tidak hanya itu.
Saat kaki Pilo menjejak tanah, tampaklah kakinya tidak lagi bengkok.
Ia bisa berjalan menuju Claudia, kedua kakinya lurus dan kuat.
"Lihat, Mama! Aku bisa berjalan!"
Claudia memeluk putranya yang tampan sembari melihat sang sosok penyembuh dan istrinya yang mungil menghilang dalam kerumunan orang Yerusalem.
"Terima kasih,"
Bisiknya.
Dan anehnya, meski mereka sudah sangat jauh, Claudia tahu mereka mendengar.
f Kesembuhan Pilo bagaikan pedang bermata dua bagi Pontius Pilatus.
Ia bahagia melihat putranya pulih dan sehat seutuhnya.
Kondisi bocah itu sempurna, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan baik oleh Pilatus maupun Claudia.
Sekarang, Pilo adalah penerus pusaka Romawi yang layak.
Ia seorang putra yang bisa menjadi seorang lelaki sejati dan seorang prajurit.
Tapi metode penyembuhannya itulah yang membuat Pilatus resah.
Lebih buruk lagi, Claudia dan Pilo menyaksikan sendiri kemampuan lelaki Nasrani itu.
Lelaki yang dianggap duri dalam kubu penguasa Romawi maupun para imam Rumah Tuhan.
Atas permintaan Caiaphas dan Annas, Pilatus telah bertemu keduanya beberapa waktu lalu untuk membahas peristiwa menghebohkan di perbatasan timur.
Orang Nasrani itu tiba dengan mengendarai keledai seperti yang diprediksikan salah seorang rasul Yahudi mereka.
Para imam menjadi jengkel dengan peristiwa yang mereka pandang sebagai deklarasi penegasan posisi Easa sebagai mesias.
Meski percekcokan agama di kalangan Yahudi bukan persoalan Pilatus langsung, ada kabar burung bahwa lelaki Nasrani itu akan mengumumkan diri sebagai raja Yahudi.
Jelas ini adalah tantangan bagi Caesar.
Pilatus merasa ditekan untuk bertindak jika Easa melakukan satu gerakan kontroversial lagi di Yerusalem saat peringatan Paskah.
Untuk memperunyam persoalan, Herod, penguasa Galilee, telah mengeluarkan pesan secara pribadi kepada Pilatus.
"Aku mendapat informasi bahwa lelaki itu akan menjadikan dirinya sendiri raja bagi seluruh orang Yahudi. Ia sosok yang berbahaya bagiku, bagimu, dan bagi Roma."
Itulah persoalan logis Pilatus.
Isu filosofis adalah persoalan lain baginya.
Kekuatan apakah yang dikendalikan atau diarahkan lelaki Nasrani ini hingga ia bisa melakukan halhal seperti menghidupkan anak yang telah mati? Jika saja bukan Pilo yang disembuhkan, Pilatus akan menganggap mukjizat Easa hanyalah tipuan semata, sesuai dengan tuduhan orang Farisi bahwa ia seorang penista agama.
Tapi lebih dari orang lain, Pilatus tahu penyakit dan kelumpuhan Pilo adalah riil.
Setidaknya dulu.
Sekarang, kedua persoalan itu lenyap tanpa bekas.
Ada sesuatu dalam situasi ini yang perlu dijernihkan.
Otak Romawinya menuntut sebuah jawaban.
Sebuah pemahaman tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi.
Pontius Pilatus merasa sangat frustrasi karena tidak mendapat satu jawaban pun.
Tapi istrinya tidak perlu diyakinkan lagi.
Ia menyaksikan sendiri dua keajaiban besar itu.
Dan ia sendiri diliputi kehadiran dan kejayaan lelaki Nasrani itu dan Tuhannya.
Claudia Procula langsung beralih keyakinan.
Kesal dan kecewa merasuk dirinya ketika sang suami melarangnya mendengarkan khotbah Easa di Yerusalem.
Ia ingin mengajak Pilo bertemu lelaki Nasrani mengagumkan yang lebih dari sekadar manusia biasa itu.
Namun Pilatus melarang dengan tegas.
Pengusasa Romawi itu seorang lelaki yang kompleks, penuh dengan rasa ragu, takut, dan ambisi.
Tragedi Pontius Pilatus terjadi ketika semua hal ini membayangi apa pun yang pernah ia miliki dengan penuh cinta, kekuatan, atau rasa syukur.
f Hari sudah larut malam ketika orangorang Nasrani tiba di rumah Yusuf.
Seperti biasa, Easa masih terjaga dan tengah membuat persiapan untuk satu pertemuan lagi bersama pengikut terdekatnya sebelum tidur.
Mereka tengah membahas pilihanpilihan yang akan dilakukan di Yerusalem besok.
Maria ikut mendengarkan diskusi mereka untuk mendapat petunjuk tentang kegiatan besok.
Peristiwa di rumah Jairus menunjukkan bahwa masyarakat Yerusalem terbagi-bagi dalam menyikapi isu Easa sebagai mesias.
Jumlah pendukung lebih banyak dibandingkan penentang.
Tapi mereka beranggapan bahwa kelompok penentang terdiri dari orangorang berkuasa yang terkait dengan Rumah Tuhan.
Yudas berbicara kepada kelompok yang tengah berdiskusi itu.
Ia tampak letih, tapi kegembiraan lantaran peristiwa yang ia saksikan di ranjang kematian Smedia membuatnya kuat.
"Jairus berbicara empat mata denganku sebelum kita pergi,"
Katanya.
"Ia semakin cenderung mendukung kita setelah menyaksikan sendiri bahwa Easa benarbenar seorang mesias. Ia juga memperingatkan kita bahwa dewan Farisi dan Saduki terganggu dengan gerombolan pendukung Nasrani yang memasuki kota. Dari segi kuantitas, kita lebih kuat dibandingkan yang mereka bayangkan. Mereka merasa khawatir dan kemungkinan akan bertindak jika mereka rasa kita mengancam mereka atau mengancam ketenangan Rumah Tuhan selama Paskah."
Petrus membuang ludah karena jijiknya.
"Kita semua tahu apa sebabnya. Paskah adalah hari yang paling menguntungkan. Pada saat itu, persembahan di Rumah Tuhan mencapai puncaknya, begitu juga pengumpulan uang."
"Itulah masa panen bagi para pedagang dan lintah darat,"
Imbuh saudaranya, Andreas.
"Dan yang mendapat keuntungan paling besar adalah Jonathan Annas dan menantunya."
Yudas mengiakan.
"Tidak mengherankan jika keduanya adalah biang propaganda yang menyudutkan kita. Kita harus berhati-hati atau mereka akan mendesak Pilatus untuk menangkap Easa."
Easa mengangkat tangan sementara lelaki itu saling berbicara dengan marah.
"Tenang, Saudarasaudaraku,"
Katanya.
"Besok kita ke Rumah Tuhan. Akan kita tunjukkan kepada saudara kita, Annas dan Caiaphas, bahwa kita tidak berniat menantang mereka. Kita bisa berjalan berdampingan tanpa perlu menyingkirkan satu sama lain. Kita akan pergi sebagai orang yang merayakan pekan suci, bersamasama saudara Nasrani. Mereka tidak bisa melarang kehadiran kita, dan barangkali mereka akan menghentikan permusuhan."
Yudas tidak yakin.
"Aku pikir, kau tidak akan memperoleh perdamaian dari Annas. Ia membenci kita dan segala ajaran kita. Hal terakhir yang diinginkan Annas dan Caiphas adalah orang menjadi percaya bahwa mereka tidak membutuhkan Rumah Tuhan untuk mendekati Tuhan."
Maria berdiri dan tersenyum hangat pada Easa di seberang ruangan.
Ia menangkap sorot mata istrinya dan membalas ekspresi itu sebelum istrinya berbalik untuk meninggalkan ruangan lewat pintu belakang.
Maria merasa terlalu letih untuk mendengarkan mereka membahas strategi.
Lagi pula, jika Easa mengambil keputusan untuk datang ke Rumah Tuhan besok, Maria merasa yakin bahwa mereka semua perlu beristirahat.
Maria tidur satu kamar bersama anakanaknya, seperti yang selalu ia lakukan saat mereka bepergian.
Ia percaya, ini bisa memberi rasa aman pada anakanak, suatu unsur yang penting bagi anakanak yang sering berpindah tempat.
Mereka tampak seperti malaikat saat tidur.
Yohanes-Yusuf dengan bulu matanya yang hitam lentik, menempel di pipinya yang berwarna seperti buah zaitun.
Dan Sarah-Tamar tenggelam dalam rambutnya yang merah mengilap.
Ibu mereka menahan diri untuk mencium mereka.
Ta-mar khususnya, mudah terbangun, dan Maria tidak ingin membangunkan mereka.
Anakanak harus berisitirahat jika ingin ikut ke Yerusalem besok.
Mereka beranggapan kota itu menarik dan berwarna-warni.
Sepanjang situasinya aman, Maria mengizinkan putraputrinya ikut.
Tapi jika terjadi kerusuhan, ia harus membawa anakanak menjauh dari kota itu.
Seandainya situasinya sangat buruk, bahkan rumah Yusuf pun tidak aman, Maria akan membawa mereka ke Bethany, ke rumah Martha dan Lazarus.
Akhirnya Maria berbaring di ranjangnya sendiri dan memejamkan mata di penghujung hari yang monumental itu.
Tapi ia tidak bisa segera tidur, meski sangat ingin dan sangat membutuhkan.
Terlalu banyak pikiran dan bayangan berkecamuk dalam kepalanya.
Dalam penglihatan benaknya, ia melihat perempuan berselubung tebal itu, perempuan yang menggendong anak di luar rumah Jairus.
Maria segera menangkap dua hal dari wajah perempuan itu.
Pertama, ia bukan orang Yahudi dan bukan orang biasa.
Ada sesuatu dalam caranya membawa diri dan dalam bentuk selubung yang sepertinya dimaksudkan untuk membuatnya sama dengan masyarakat biasa.
Dan Maria tahu saat seorang perempuan berusaha menyamar.
Bukankah ia sendiri telah melakukannya beberapa kali jika situasi memaksa? Kedua, Maria tahu perempuan itu merasakan penderitaan hebat.
Ia bisa merasakan kepedihan mengalir dari perempuan itu, nyaris seolah kepedihan itu sendiri yang berteriak meminta pertolongan Easa.
Ketika Maria menatap wajah perempuan itu, ia mendapat kesan kehilangan yang sama seperti yang dirasakan seorang ibu saat tidak berdaya untuk menyelamatkan anaknya.
Kepedihan itu tidak mengenal ras, kredo, atau status.
Suatu kepedihan yang hanya dirasakan oleh orangtua yang menderita.
Selama tiga tahun terakhir pelayanan keirnaman mereka, Maria sering melihat wajah semacam itu.
Tapi tidak jarang pula ia menyaksikan kepedihan di wajah itu berubah menjadi kegembiraan.
Easa telah menyelamatkan banyak anak Israel.
Dan kini, sepertinya, ia telah menyelamatkan seorang anak Romawi.
f Sesuai rencana, keesokan harinya Easa dan para pengikutnya pergi ke Rumah Tuhan.
Maria membawa anakanaknya ke Yerusalem bersamanya.
Mereka berhenti untuk menyaksikan aktivitas dan debat yang berlangsung di luar dinding-dinding yang suci.
Easa berada di tengah kerumunan orang yang semakin banyak, berkhotbah tentang kerajaan Tuhan.
Beberapa lelaki di antara kerumunan itu menantangnya dan mengajukan pertanyaan.
Semuanya dijawab dengan tenang sebagaimana biasa.
Jawaban-jawaban Easa demikian dalam dan sejalan dengan ajaran Alkitab.
Tidak butuh waktu lama, menjadi jelaslah bahwa pengetahuan hukumnya tak tertandingi.
Belakangan, lewat informasi dari Jairus, mereka tahu bahwa Annas dan Caiaphas telah menugaskan orangorang mereka untuk hadir dalam pertemuan itu.
Mereka memang diperintahkan untuk mengajukan pertanyaan yang menantang.
Seandainya jawaban Easa bisa ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap agama, apalagi ketika itu ia berada sangat dekat dengan Rumah Tuhan dan dengan banyak saksi, maka imam-imam besar itu akan mendapat bukti lebih jauh yang akan digunakan untuk menyerang Easa.
Salah seorang lelaki maju dan mengajukan pertanyaan tentang pernikahan.
Yudas mengenali lelaki itu.
Ia membisikkan Easa bahwa lelaki itu seorang Farisi yang telah menceraikan istrinya yang sudah tua untuk menikah lagi dengan yang lebih muda.
"Katakan, Rabi,"
Kata lelaki itu.
"apakah seorang lelaki boleh menceraikan istrinya karena alasan tertentu? Aku pernah mendengar kau mengatakan tidak boleh, sementara hukum yang dibawa Musa mengatakan sebaliknya. Musa menulis surat perceraian."
Easa berbicara lantang agar suaranya terdengar jelas di antara kerumunan orang. Jawabannya tegas karena ia sudah tahu pelanggaran yang dilakukan lelaki itu.
"Musa menulis peraturan itu karena kekerasan hatimu."
Kerumunan orang yang hadir utamanya terdiri dari para lelaki Yerusalem yang mengenal orang Farisi itu.
Terdengar ucapan-ucapan protes karena jawaban yang dianggap menghina itu.
Tapi Easa belum selesai.
Ia sudah lelah dengan orangorang Farisi tak bermoral yang hidup seperti raja, hanya ongkang-ongkang kaki menerima sumbangan dari kaum miskin dan orangorang Yahudi yang saleh.
Easa memandang barisan imam ini, lelaki-lelaki yang bertugas menegakkan hukum dengan kejujuran tinggi, sebagai orang munafik.
Mereka berkhotbah tentang kehidupan yang suci, tapi tidak menjalaninya.
Selama tahuntahun terakhir pengabdiannya, Easa akhirnya sadar bahwa penduduk Yerusalem dipecundangi orangorang itu.
Mereka takut terhadap kekuasaan Farisi sebagaimana juga kekuasaan Roma.
Dalam banyak hal, orangorang Rumah Tuhan ini sama berbahayanya bagi rakyat Yahudi dengan orangorang Romawi.
Pasalnya, mereka memiliki wewenang untuk memengaruhi cara hidup sehari-hari orang Yahudi dengan banyak cara.
"Apakah kau tidak membaca Alkitab?"
Pertanyaan Easa ini merupakan hinaan lain terhadap lelaki yang ia ketahui menjabat sebagai imam. Lalu Easa beralih ke kerumunan.
"Dia yang menciptakan mereka pada permulaan menjadikan mereka lelaki dan perempuan, dan berkata, 'Karena sebab ini seorang lelaki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan berpasangan dengan istrinya, dan keduanya akan menjadi satu tubuh, mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Sesuatu yang telah disatukan Tuhan, tak seorang pun dapat memisahkannya.1 Dan aku berkata kepada siapa pun yang menceraikan istrinya, selain untuk berzina, berarti melakukan zina itu sendiri."
"Jika begitu, barangkali menikah tidak baik,"
Canda seorang lelaki. Easa tidak tertawa. Sakramen pernikahan dan pentingnya hidup berkeluarga adalah batu landasan ajaran Nasrani. Ia menjawab gagasan itu.
"Sebagian lelaki terlahir sebagai orang yang dikebiri dan sebagian lainnya menjadikan dirinya orang yang dikebiri. Bagi lelaki seperti itu, pernikahan tidak bisa diterima. Biarkanlah seluruh lelaki yang mampu menerima sakramen pernikahan untuk menerimanya, karena itulah kehendak Tuhan Bapa kita. Dan biarlah dia menyatu dengan istrinya hingga maut memisahkan."
Merasa terpukul, lelaki Farisi itu melawan.
"Dan bagaimana denganmu, Orang Nazaret? Hukum Musa mengatakan bahwa siapa pun lelaki yang akan dipilih harus menikah dengan seorang perawan, bukan pelacur atau bahkan janda."
Serangan telak itu ditujukan kepada Maria Magdalena, yang berdiri di bagian belakang kerumunan bersama anakanaknya.
Maria memilih mengenakan busana sederhana agar bisa berbaur dengan kerumunan.
Ia tidak mengenakan selubung merah yang menunjukkan statusnya.
Maria bersyukur dengan keputusannya itu saat menunggu jawaban Easa.
Jawaban Easa adalah satu pertanyaan lagi bagi o-rang Farisi itu.
"Apakah aku seorang (keturunan) Daud?"
Lelaki itu mengangguk.
"Kau tidak menjawab."
"Dan bukankah Daud adalah raja besar dan orang yang dipilih untuk kita?"
Orang Farisi itu mengiayakan, sadar bahwa ia tengah diarahkan ke dalam perangkap tapi tidak tahu bagaimana menghindarinya.
"Tidakkah kau berpikir bahwa aku meneladani Daud jika aku akan menjadi penerusnya? Siapakah yang tidak berpendapat bahwa mengikuti langkah Daud adalah sesuatu yang baik dan terpuji?"
Pertanyaan Easa bergema di antara kerumunan, yang mengakui dengan anggukan dan isyarat bahwa tentulah meneladani Singa Besar Yehuda adalah sesuatu yang baik.
"Karena itulah yang aku lakukan. Seperti Daud yang menikahi seorang janda, Abigail, putri Israel terhormat dari keturunan mulia, demikian pula aku menikah dengan seorang janda dari keturunan mulia."
Orang Farisi itu tahu, ia telah masuk ke dalam perangkapnya sendiri dan melangkah kembali ke tengah kerumunan.
Tapi lelaki dari struktur kekuasaan Rumah Tuhan tidak mudah digoyahkan.
Saat pertanyaanpertanyaan dilancarkan, jawaban Easa menjadi panah-panah tajam yang berbalik ke orangorang Farisi.
Seorang lelaki lain, yang ini jelas mengenakan jubah imam, menghampiri Easa dengan serangan terbuka.
"Kudengar kau dan murid-muridmu melanggar tradisi para tetua. Mengapa mereka tidak mencuci tangan ketika memakan roti?"
Kerumunan orang terperangah mendengar pertanyaan terakhir ini.
Suasana menjadi ricuh, Easa tahu bahwa ia harus menegaskan pendiriannya.
Orangorang Yerusalem berbeda dengan orang Galilee dan wilayah luar.
Di kota ini, orangorang menuntut aksi.
Mereka akan mengikuti seorang raja yang bisa membawa mereka keluar dari tekanan, tapi ia harus membuktikan kekuatan dan kelayakannya dulu.
Suara berat Easa bergema, lebih terasa sebagai kecaman terhadap para imam dibandingkan pembelaan seorang Nasrani.
"Mengapa kalian melanggar perintah Tuhan dengan tradisi kalian, Orangorang munafik?"
Hinaan terang-terangan ini bergaung di dinding-dinding batu Rumah Tuhan.
"Sepupuku, Yohanes, menyebut kalian ular berbisa, dan ia benar."
Menghubungkan sang Pembaptis adalah cara cerdas untuk meraih dukungan orangorang yang lebih konservatif.
"Yohanes dikenal sebagai inkarnasi Yesaya. Dan Yesayalah yang berkata, 'Orangorang ini menghormatiku dengan bibir mereka, tapi hati mereka jauh dariku.' Sekarang bisa kulihat bahwa kalian, orangorang Farisi, dari luar terlihat bersih, tapi di dalam kalian penuh dengan kerakusan dan kejahatan. Bukankah Tuhan menjadikan sesuatu yang tampak di luar juga menjadikan sesuatu yang berada di dalam?"
Easa mengeraskan suaranya untuk melontarkan ucap an pamungkas.
"Dan inilah perbedaan antara orangorang Nazaretku dengan imam-imam ini,"
Katanya.
"Kami memerhatikan kebersihan jiwa, hingga kami menjaga kerajaan Tuhan di bumi sebagaimana di surga."
"Ini penghinaan terhadap Rumah Tuhan!"
Teriak seorang lelaki dari tengah-tengah kerumunan.
Lalu terdengar gelombang suara sebagian setuju, sebagian menentang.
Gemuruh suara ini memuncak.
Menyaksikan dari tempat tinggi di atas dinding-dinding Rumah Tuhan, Maria pada awalnya berpikir bahwa ini hanya reaksi terhadap ucapan Easa yang berani.
Dan memang, kebanyakan tanggapan orang Yerusalem berakar dari hal itu.
Tapi beberapa murid Nasrani menerobos gerombolan orang untuk menghampiri Easa.
Di belakang mereka, kelompok lelaki dan perempuan yang telah mendengar penyembuhan mukjizatnya.
Mereka adalah orangorang yang dikucilkan, orangorang yang dihinakan lantaran buta atau lumpuh.
Para lintah darat dan pedagang mengajukan keberatan kala kelompok ini menerobos kompleks Rumah Tuhan.
Sekarang adalah pekan paling menguntungkan bagi mereka, dan sekarang gerombolan itu menggerecoki kegiatan di Rumah Tuhan.
Ketika seorang lelaki buta jatuh ke meja seorang pedagang dan mencaricari tongkatnya, meledaklah kemarahannya.
Pedagang itu menghampiri si buta dengan membawa tongkat, berteriak-teriak menghina orang malang itu dan kaum Nasrani.
Easa datang untuk membantu si lelaki buta.
Ia membantunya berdiri dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Kemudian ia memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk membawa lelaki itu menepi.
Easa berjalan ke meja milik pedagang kejam tadi dan berteriak keras hingga mengalahkan gemuruh suara kerumunan orang.
"Telah tertulis bahwa Rumah Tuhan seharusnya menjadi rumah doa. Kalian telah menjadikannya sarang pencuri."
Pedagang lain balas berteriak sambil menerobos kompleks Rumah Tuhan.
Kericuhan memuncak menjadi huru hara hingga Easa mengangkat tangan dan meminta murid-muridnya mengikutinya ke depan kompleks Rumah Tuhan.
Di sini, orangorang malang yang miskin, menderita penyakit, dan lumpuh diajak maju.
Dimulai dengan lelaki buta tadi, Easa menyembuhkan semuanya.
Kerumunan orang kian melimpah.
Di luar katakata pedas Easa, atau barangkali karena katakata itu, lelaki dan perempuan Yerusalem sangat tertarik dengan lelaki dari Nazaret ini, lelaki yang menyembuhkan berbagai penyakit dalam hitungan detik.
Maria tidak lagi bisa melihat suaminya dari lokasi ia berdiri.
Selain itu, Tamar dan Yohanes yang masih kecil menjadi gelisah di tengah lingkungan yang hiruk pikuk.
Maria menyingkir dari keramaian dan membawa kedua anaknya ke pasar.
Saat mereka melewati jalan berkerikil, Maria melihat jubah hitam dua orang Farisi di depannya.
Ia yakin mendengar nama Easa disebutkan.
Maria menarik selubungnya untuk menutupi sebagian besar wajahnya.
Ia menjaga langkah agar tetap dapat mengikuti mereka, anaknya berjalan di depan.
Kedua lelaki itu berbicara dengan leluasa, tapi dalam bahasa Yunani.
Kemungkinan karena mereka tahu rata-rata orang tidak memahami bahasa itu.
Tapi Maria seorang perempuan terhormat dan terpelajar.
Ia mampu berbahasa Yunani dengan fasih.
Maria paham benar ketika salah seorang di antara mereka menoleh kepada temannya dan berkata.
"Sepanjang orang Nasrani itu hidup, kita tidak akan tenang. Akan kita singkirkan dia secepatnya, demi kebaikan kita semua."
F Maria bertemu Bartolomeus di pasar.
Ia diminta membelikan makanan untuk murid-murid lain.
Maria menyuruhnya kembali ke Easa dan menyampaikan pesan agar Easa dan pengikutnya meninggalkan rumah Yusuf malam ini juga.
Mereka harus keluar dari Yerusalem demi keselamatan Easa.
Maria percaya, rumah yang ditinggalinya dulu bersama Lazarus dan Martha adalah pilihan terbaik.
Jarak rumah itu cukup jauh dari Yerusalem, tapi tidak terlalu jauh untuk kembali ke sana atau keluar dengan cepat.
f Easa bertemu dengan Maria dan anakanak di Bethany malam harinya.
Sebagian murid menginap bersama mereka di rumah Lazarus, sementara yang lainnya menginap di rumah Simon, teman kepercayaan mereka, yang letaknya berdekatan.
Di rumah Simonlah, beberapa tahun lalu Maria melanggar perintah Lazarus dan Yohanes hingga menimbulkan konsekuensi besar.
Para murid berkumpul malam ini untuk membahas kejadiankejadian hari itu dan membuat rencana untuk menghadapi peristiwa yang telah menanti mereka.
Maria merasa cemas.
Ia menangkap bahwa opini penduduk Yerusalem terpecah.
Separuh mendukung insan Nasrani istimewa yang memiliki mukjizat dan menyayangi kaum miskin ini, dan separuh lagi menentang lantaran khayalan mereka sendiri bahwa Easa akan menantang Rumah Tuhan dan tradisi mereka tanpa kenal ampun.
Maria menceritakan pembicaraan dua imam yang ia dengar saat berjalan ke pasar tadi.
Saat ia bercerita, Yudas datang dari rumah Jairus, membawa kabar lain.
"Dia benar. Situasi Yerusalem semakin berbahaya bagimu,"
Katanya pada Easa.
"Jairus mengatakan bahwa Caiaphas dan Annas menuntut hukuman mati terhadapmu dengan tuduhan menodai agama. Petrus merasa muak.
"Dasar sampah,"
Serapahnya.
"Easa tidak pernah menyampaikan ajaran yang menentang agama, dan kalaupun ingin, ia tidak sanggup melakukannya. Merekalah orangorang yang menodai agama, ular-ular itu."
Tidak tampak raut cemas di wajah Easa.
"Tidak jadi soal, Petrus. Imam-imam ini tidak memiliki wewenang untuk menghukum mati seseorang,"
Kata Easa, ucapannya menunjukkan pengetahuan hukumnya yang luas.
"Hanya Roma yang bisa melakukan hal itu. Dan orang Romawi tidak menganggapku melanggar hukum Yahudi."
Hingga larut malam mereka mendiskusikan tindakan yang harus dilakukan besok.
Maria ingin Easa menjauhi Yerusalem hingga kota itu kembali tenang.
Tapi Easa tidak mengindahkannya.
Orang yang berdatangan besok akan semakin banyak karena berita tentang ajaran yang disampaikan Easa dengan berani, selain kemampuannya menyembuhkan telah menyebar ke seluruh kota.
Ia tidak ingin mengecewakan orang yang jauh-jauh datang ke Yerusalem untuk melihatnya.
Pun ia tidak ingin tunduk pada tekanan para imam.
Lebih dari sebelumnya, kini ia perlu menjadi seorang pemimpin.
Kebesokannya, Maria memilih untuk tetap di Bethany bersama anakanak dan Martha.
Beban kehamilan semakin terasa berat baginya, dan perjalanan kembali ke Bethany dengan kecepatan seperti itu membuatnya letih.
Maria menjaga anakanaknya yang bermain di rumah sambil berusaha menjauhkan pikirannya dari bahaya yang mungkin dihadapi Easa di kota.
Maria sedang duduk di kebun depan sambil mengawasi Tamar yang bermain di rumput ketika seorang perempuan mendekatinya.
Ia mengenakan selubung tebal warna hitam.
Wajah dan rambutnya ditutup, mustahil mengetahui apakah ia seorang tamu yang sudah dikenal atau bukan.
Barangkali ia seorang tetangga baru yang belum Maria kenal? Perempuan itu semakin dekat, Maria bisa mendengar tawa tertahannya.
"Ada apa, Saudaraku? Kau tidak mengenaliku setelah kita berteman sekian lama?"
Selubung diturunkan, ternyata ia Salome, putri Herodian.
Wajahnya tidak lagi bulat seperti waktu ia kecil.
Ia telah mekar menjadi seorang wanita dewasa sekarang.
Maria berlari menyambutnya, cukup lama mereka saling berpelukan.
Setelah kematian Yohanes, terlalu berbahaya bagi Salome untuk terlihat bersamasama dengan orang Nasrani.
Kehadirannya juga berbahaya bagi Easa.
Jika pendukungnya ingin menang dari pengikut Yohanes, mereka tidak boleh terlihat berteman dengan perempuan yang dikutuk karena menyebabkan penahanan Yohanes, jika bukan kematiannya.
Perpisahan yang terpaksa dilakukan itu terasa berat bagi Maria dan Salome.
Salome merasa hancur karena tidak diizinkan menyelesaikan pendidikannya sebagai imam dan karena dipisahkan dari orangorang yang lebih ia cintai dibandingkan keluarganya sendiri.
Bagi Maria, perpisahan itu adalah efek menyedihkan lainnya dari keputusan yang tidak adil bagi mereka berdua setelah eksekusi Yohanes.
Salome memekik ketika melihat Tamar kecil.
"Lihatlah dia! Dia seperti kembaranmu!"
Maria mengangguk, tersenyum.
"Dari luar. Dari dalam, ia sudah menumbuhkan citra ayahnya."
Maria menceritakan beberapa kejadian yang dialami Tamar dan bagaimana putrinya itu telah memiliki keistimewaan sejak ia mulai berjalan.
Tamar telah menyembuhkan seekor kambing yang jatuh ke dalam parit di Magdala, hanya dengan sentuhan tangannya yang mungil.
Sekarang usianya tiga tahun, tapi kemampuan bicaranya sungguh luar biasa ia bisa berbicara dalam bahasa Yunani dan Aram.
"Ia sungguh beruntung memiliki sepasang orangtua seperti kalian,"
Kata Salome, wajahnya menjadi suram.
"Dan kita harus menjaga keamanan kalian. Karena itulah aku datang ke sini, Maria. Aku mendengar kabar dari istana. Easa dalam bahaya besar."
"Mari masuk. Di dalam tidak ada yang melihat, dan tidak ada yang mendengar kecuali telinga kecil ini"
Kata Maria menunjuk pada Tamar-"jika tidak dibuat sibuk."
Maria bangkit untuk mengangkat Tamar. Tapi perutnya yang sudah membesar membuatnya sulit membungkuk. Salome merentangkan tangannya.
"Ayo ke kakakmu Salome,"
Katanya.
Tamar ragu-ragu, ia memandang wajah perempuan yang belum dikenalnya lalu wajah ibunya untuk mendapatkan persetujuan.
Senyum lebar menghiasi wajah Tamar saat ia melompat ke gendongan sang putri Herodian.
Setelah mereka masuk ke rumah, Maria memberi isyarat pada Martha untuk membawa Tamar.
Martha mengambil Tamar dari gendongan Salome.
"Ayo, Putri Kecil, kita cari kakakmu."
Yohanes sedang berjalan-jalan bersama Lazarus. Martha mengatakan bahwa ia akan membawa keponakannya keluar agar Salome bisa berbicara empat mata dengan Maria. Setelah mereka keluar, Salome meraih tangan Maria.
"Dengarkan aku, masalahnya sangat genting. Ayah tiriku hari ini berada di rumah Pontius Pilatus di Yerusalem, dan aku ikut bersamanya. Dua hari lagi Pilatus akan berangkat ke Roma untuk menemui kaisar dan ia harus memberikan laporan lengkap. Aku menggunakan dalih ingin bertemu dengan Claudia Procula, istri Pilatus, agar boleh pergi bersamanya. Claudia adalah cucu Caesar Augustus, jadi aku tahu ayah tiriku tentu tidak akan menolak. Tapi tentu saja, bukan karena itu aku ingin ikut. Aku tahu kau, Easa, dan yang lainnya ada di sini. Di mana Maria Agung?"
"Ada di sini,"
Jawab Maria.
"Ia menginap di keluarga Yusuf malam ini bersama dengan wanita lain. Aku akan mengantarmu ke sana besok, jika kau mau."
Salome mengangguk dan melanjutkan kisahnya.
"Aku berdalih ingin bertemu Claudia untuk mendengar kabar tentang orangorang Nasrani yang tengah berada di Yerusalem. Tak kukira, Claudia mau bercerita banyak! Maria, bukankah ini mengagumkan?"
Maria tidak mengerti maksud Salome.
"Apa?"
Bola mata Salome yang hitam dan eksotis membelalak.
"Kau tidak tahu? Oh, Maria, ini berita besar. Di malam Easa menghidupkan putri Jairus, tidakkah kau melihat seorang perempuan di tengah kerumunan saat kau akan pergi? Dia bersama orang Yunani yang menggendong anak sakit, anak laki-laki."
Peristiwa itu terbayang kembali dalam kepala Maria. Dua malam terakhir, sebelum tidur, ia selalu terbayang wajah perempuan itu.
"Ya,"
Jawab Maria.
"Aku memberitahu Easa, lalu ia menoleh ke perempuan itu untuk menyembuhkan anaknya. Aku merasa yakin akan hal ini, selain perempuan itu tidak tampak seperti rakyat biasa atau seorang Yahudi."
Salome tertawa lepas.
"Maria, perempuan itulah Claudia Procula. Easa telah menyembuhkan putra semata wayang Pontius Pilatus."
Maria terkejut. Sekarang semuanya menjadi jelas firasat itu, perasaan mengetahui ada sesuatu yang terjadi di luar penyembuhan itu.
"Siapa saja yang mengetahui hal ini, Salome?"
"Tidak ada kecuali Claudia, Pilatus, dan budak Yunani itu. Pilatus melarang istrinya menceritakan peristiwa itu. Ia justru diperintahkan untuk mengatakan bahwa penyembuhan itu adalah kehendak dewa-dewa Yunani jika ada orang yang bertanya". Salome mencibir untuk menunjukkan rasa muaknya.
"Claudia yang malang tidak tahan untuk tidak menceritakannya, dan ia tahu bahwa dulu aku seorang Nasrani."
"Kau masih seorang Nasrani,"
Kata Maria dengan ramah sambil berdiri agar bayi dalam perutnya bisa menyesuaikan posisi.
Ia perlu merenungkan informasi penting ini.
Ini kabar yang menggembirakan, tapi ia belum berani untuk terlalu senang.
Tentulah, peristiwa itu bagian dari rencana Tuhan untuk Easa.
Apakah Ia menghadirkan Claudia dan putranya yang sakit agar Easa bisa menyembuhkannya dan membuktikan kerasulannya kepada Pilatus? Dan seandainya nasib Easa berakhir di tangan Pontius Pilatus, tentulah ia tidak akan memberikan hukuman kepada orang yang telah menyembuhkan putranya sendiri? "Tapi ada lagi, Saudaraku,"
Wajah Salome kembali muram.
"Ketika aku di sana, Jonathan Annas dan iparnya yang kejam datang mengunjungi Pilatus dan ayah tiriku. Mereka mengajukan tuntutan terhadap Easa."
Salome tersenyum getir.
"Aku mendengar kedatangan mereka, maka kemudian aku memohon pada Claudia untuk memberitahukan tempat yang paling aman untuk bersembunyi agar aku bisa menguping."
Maria tersenyum pada Salome, yang selalu banyak akal.
"Pilatus tidak mau mendengarkan dan berusaha mengenyampingkannya sebagai sesuatu yang tidak penting agar ia bisa menyudahi pertemuannya dengan Herod. Yang penting bagi Pilatus, Roma mendapat laporan baik tentang kemampuannya selaku gubernur. Ia mengincar posisi di Mesir."
Maria mendengarkan dengan sabar, jantungnya berdegup keras saat Salome melanjutkan.
"Tapi ayah tiriku si Herod yang sombong berpihak pada imam-imam goblok itu. Mereka mempermainkannya dengan mengatakan bahwa Easa menyebut dirinya raja Yahudi dan ingin menggeser Herod dari singgasananya. Maria menggelenggelengkan kepala. Tentu saja, itu tidak masuk akal. Easa tidak memiliki hasrat untuk duduk di atas singgasana duniawi. Ia adalah raja yang bertahta di dalam hati jemaat, raja yang menyampaikan kerajaan Tuhan pada mereka. Untuk itu ia tidak memerlukan istana atau singgasana. Tapi Herod yang gelisah merasa terancam lantaran manipulasi Annas dan Caiaphas.
"Kudengar Pilatus menemui Claudia tak lama sesudah itu ia tidak melihat tempat persembunyiankudan berkata, 'Sayangku, aku khawatir nasib tidak berpihak pada Easa. Para imam menuntut agar ia dihukum mati. Dan mereka ingin Easa ditahan sebelum Paskah.' Lalu Claudia berkata, 'Tapi tentunya kau tidak akan membiarkan ia dihukum.' Pilatus tidak menjawab, lalu kudengar Claudia bertanya lagi, 'Bukankah begitu?' Kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi hingga Pilatus keluar dari ruangan. Saat aku yakin ia sudah pergi, aku keluar dan menemui Claudia dalam kondisi gemetar. Ia berkata bahwa suaminya tidak berani menatap matanya saat ia keluar. Oh, Maria, dia sangat mencemaskan kejadian yang akan menimpa Easa. Aku juga merasa cemas. Kau harus mengajaknya keluar dari Yerusalem."
"Apakah ayah tirimu tahu di mana kau sekarang?"
Salome mengangkat bahu.
"Aku memberitahu bahwa aku akan berbelanja kain sutra. Ia terlalu sibuk dengan rencana keberangkatannya ke Roma hingga tidak tahu atau tidak peduli di mana aku menginap malam ini. Dia asyik dengan dirinya sendiri."
Maria berusaha memikirkan strategi.
Ia harus menung gu sampai Easa pulang malam ini, baru kemudian menceritakan segalanya, tentu saja.
Maria tahu, ia perlu sedikit membujuk Salome agar mau menginap dan menceritakan semuanya dengan rinci.
Salome menginap, dan merasa sangat gembira ketika Maria Agung datang siang harinya.
Ibunda Easa yang bijak itu datang bersama Maria-Maria lain yang lebih tua saudaranya, Maria Yakobus, dan sepupu mereka, Maria Salome.
Yang terakhir ini adalah ibunda dua pengikut Easa yang paling setia.
Salome merasa mendapat kehormatan karena berada di dekat wanitawanita bijaksana ini, mereka adalah pemimpin tradisi Nasrani yang kuat, meski tidak banyak berbicara.
Tapi kegembiraan Salome menguap, seperti juga Maria Magdalena.
"Aku melihat kegelapan besar di cakrawala, Putri-pu-triku."
Kata Maria Agung.
"Aku datang untuk bertemu dengan putraku. Kita semua harus bersiap menghadapi ujian kekuatan dan keimanan pada peringatan Paskah ini."
F Kabar dari Yerusalem memang menciutkan hati.
Kerumunan orang yang lebih besar lagi menyambut kedatangan Easa dan orangorang Nasrani di gerbang kota pagi itu, membuat penjaga Romawi tidak tenang.
Kaum Nasrani telah menyiapkan lokasi di luar Rumah Tuhan, tempat Easa berkhotbah dan menjawab pertanyaan serta tantangan yang dilancarkan kepadanya.
Seperti kemarin, para perwakilan imam besar dan Rumah Tuhan telah menempatkan orangorang mereka di tengah kerumunan.
Keributan meningkat ketika pedagang dan lintah darat yang kemarin memaki-maki, maju untuk memprotes kehadiran orang Nasrani.
Akhirnya, untuk menenangkan situasi dan mencegah pertumpahan darah, Easa meninggalkan tempat itu bersama para pengikutnya yang paling setia.
Malam harinya di Bethany, campuran antara observasi Salome, kecerdasan Jairus, dan nubuat Maria Agung menciptakan atmosfer yang mencekam.
Hanya Easa yang kelihatannya tidak terpengaruh dengan situasi yang kian menegangkan.
Dengan tenang, ia menyusun rencana untuk besok.
Simon dan Yudas, yang siang harinya berjumpa dengan orangorang Zelot, memiliki rencana sendiri.
"Jumlah kita cukup banyak untuk menghadapi siapa pun yang ingin mencelakakanmu,"
Kata Simon.
"Jumlah orang yang datang ke Rumah Tuhan besok akan membludak. Jika kau menekankan pada mereka bahwa kerajaan Tuhan akan membebaskan orang Yahudi dari penindasan, seperti yang kita ketahui, maka mereka akan mengikutimu."
"Sampai ke mana?"
Tanya Easa tenang.
"Tindakan itu mungkin akan mengorbankan darah orang Yahudi yang tidak berdosa. Itu bukan JalanNya. Tidak, Simon. Aku tidak akan memancing kericuhan yang hanya akan mengakibatkan pertumpahan darah di hari yang suci. Bagaimana aku bisa menunjukkan kerajaan Tuhan bersemayam dalam tiap diri manusia, lelaki maupun perempuan, jika aku meminta mereka berdarah-darah dan mati karenanya? Kau salah memaknai JalanNya, Saudaraku."
"Tapi tanpamu tidak ada JalanNya,"
Geram Petrus. Ketegangan selama beberapa hari terakhir tampak jelas pada Petrus, lebih dari murid-murid lainnya. Ia telah mengorbankan segalanya demi keyakinannya pada Easa dan JalanNya. Ia tidak sanggup membayangkan akhir yang tragis.
"Kau keliru, Saudaraku,"
Kata Easa. Tak ada nada marah dalam ucapannya pada Petrus, Easa melanjutkan dengan suara yang hangat.
"Petrus, aku sudah pernah mengatakan saat kita masih kecil. Kau adalah batu tempat berkembangnya pelayanan kita. Pusakamu akan hidup sebagaimana pusakaku."
Petrus masih resah, begitupun murid-murid lainnya. Easa menangkap perasaan ini, ia mengangkat tangan.
"Saudarasaudaraku, dengarkan aku. Ingatlah segala yang telah aku sampaikan. Dan ingatlah bahwa kerajaan Tuhan hidup di dalam diri kalian, tak ada penindas mana pun yang bisa merebutnya. Jika kebenaran itu kalian simpan dalam hati, kalian tidak akan pernah merasa sedih atau takut."
Kemudian Easa mengangkat tangan kepada murid muridnya dan memimpin Doa Bapa Kami. f Malam itu, Easa meninggalkan pengikutnya untuk berbicara empat mata dengan Maria Agung. Setelah itu, ia mengucapkan selamat malam dan menemui istrinya.
"Kau tidak boleh takut, Merpati Kecil,"
Katanya lembut.
Maria berusaha membaca mata Easa.
Tidak jarang, Easa menyembunyikan visi yang diterimanya dari para pengikutnya.
Tapi ia jarang melakukan hal itu terhadap istrinya.
Hanya kepada Maria, Easa mencurahkan hampir segalanya.
Tapi malam ini, Maria merasa Easa menahan sesuatu.
"Apa yang kau lihat, Easa?"
Tanyanya pelan.
"Aku melihat bapaku di surga telah menghamparkan rencana besar dan kita harus mengikutinya."
"Memenuhi nubuat?"
"Jika itu yang ia kehendaki."
Maria terdiam sejenak. Bunyi nubuat sangat jelas bahwa sang mesias harus mengakhiri hidupnya di tangan orangorangnya sendiri.
"Bagaimana dengan Pontius Pilatus?"
Tanya Maria dengan secercah harapan.
"Kau adalah orang yang diutus untuk menyembuhkan putranya. Jadi dia telah menyaksikan sendiri siapa engkau sesungguhnya. Tidakkah itu bagian dari rencana Tuhan?"
"Maria, dengarkan aku baikbaik. Yang akan kusampaikan ini adalah intisari ajaran Nasrani. Tuhan membuat rencana, dan Ia menempatkan lelaki dan perempuan pada tempatnya masingmasing. Tapi ia tidak memaksa mereka untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang ayah yang baik, Tuhan membimbing anakanaknya, juga memberi mereka kesempatan untuk menentukan pilihan."
Roro Centil Rahasia Kitab Ular Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat