Kekayaan Yang Menyesatkan 10
Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 10
"Kau tahu malam ini kita diundang makan di rumah Marquis of Hocastle."
"Lho, bukan malam ini kan?"
"Kau tahu malam ini."
"Kalau begitu, aku tidak ikut."
"Kau harus ikut!" 'Tapi baru kemarin malam aku datang ke jamuan makan dengan Emily." 'Tak ada salahnya malam ini ada lagi jamuan makan."
"Sialan! Kenapa kita ikut diundang mereka?"
"Jangan sekali-sekali menyumpah begitu di depan ibumu! Kita diundang karena mereka teman Emily."
"Emily bisa pergi sen..."
Ia berhenti bicara karena melihat wajah cemberut ibunya.
"Katakan pada mereka aku tiba-tiba sakit."
"Jangan seperti anak kecil begitu!"
"Aku berhak pergi ke mana pun aku suka, Ibu!"
"Kau tidak boleh menyinggung perasaan bangsawan, Edward!"
"Masa bodoh, pokoknya aku tetap ingin pergi ke tinju malam ini!"
"Tidak bisa, tetap tidak bisa!"
Emily masuk. Melihat suasana perdebatan itu, ia bertanya.
"Ada apa?"
Edward menjawab jengkel.
"Naik lagi ke atas dan ambil kertas sialanmu itu!"
"Apa maksudmu?"
Hardik Augusta kaget.
"Kertas apa?"
"Kertas persetujuanku untuk cerai dengannya,"
Jawab Edward.
Augusta ketakutan setengah mati, juga sangat marah ketika menyadari bahwa malam ini memang sudah direncanakan oleh Emily.
Sasarannya adalah membuat Edward jengkel, tak tahan lagi dengan kehadirannya, sehingga mau melakukan apa saja asalkan Emily pergi dari sisinya.
Augusta merasa seperti orang tolol karena tanpa sadar ikut membantu Emily.
Sekarang Emily berada di ambang kemenangan.
Dengan berang ia mencoba mencegah.
"Emily! Tetap tinggal di tempatmu!"
Emily hanya tersenyum manis, lalu keluar dari kamar tamu. Augusta berbalik ke anaknya.
"Kau tidak boleh menceraikan dia!"
"Ibu, usiaku sudah empat puluh tahun! Aku tinggal di rumahku sendiri, dan aku berhak melakukan apa saja. Jangan mengatakan apa yang bisa dan tidak bisa kulakukan!"
Wajah Edward tampak keras dan kaku. Untuk pertama kali Augusta merasa ia akan kehilangan kendali atas diri anaknya. Ia merasa ngeri.
"Duduk dulu di sini, Teddy,"
Panggilnya sambil menepuk sofa di sisinya. Dengan enggan Edward duduk di sisi ibunya. Augusta mengelus pipi putra tunggalnya, tapi Edward mengelak.
"Kau tidak bisa mengatur hidupmu sendirian, Teddy,"
Tegas Augusta.
"Justru karena itulah aku dan Micky selalu siap membantumu, bahkan sejak kau masih di sekolah!"
Dengan wajah kaku Edward menjawab.
"Mungkin sudah saatnya Ibu berhenti mencampuri hidupku!"
Rasa panik merayapi hati Augusta.
Ia seperti kehilangan pegangan.
Sebelum ia bisa menjawab sanggahan anaknya, Emily sudah masuk dengan membawa berkas surat di tangannya, yang lalu dibentangkannya di meja tulis.
Di dekatnya sudah tersedia pena dan botol tinta.
Augusta mencoba mempelajari wajah anaknya.
Mungkinkah ia lebih takut pada istrinya ketimbang pada ibunya? Augusta berpikir apakah tidak sebaiknya ia merebut dokumen itu dan membakarnya? Ia berusaha menahan diri.
Mungkin lebih baik ia membuang niatnya dan berusaha menampilkan wajah tak peduli.
Tapi percuma saja kepura-puraannya.
Semua orang akan tahu ia sudah dikalahkan.
"Edward,"
Katanya.
"jika kautandatangani dokumen itu, berarti kau harus mundur dari bank."
"Aku tidak melihat kaitannya, apalagi ini bukan perceraian langsung, hanya pernyataan pembatalan perkawinan!"
Emily berkata.
"Gereja tidak berkeberatan atas proses pembatalan perkawinan jika dasar alasannya kuat."
Kalimat itu kedengarannya seperti kalimat dalam kaidah Gereja yang sudah pasti dikutip langsung oleh Emily dari sumbernya. Edward duduk di kursi dan memilih pena, lalu mencelupkannya di botol perak berisi tinta. Augusta masih mencoba mencegahnya.
"Edward!"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY bentaknya keras.
"Jika kautandatangani dokumen itu, jangan harap aku mau bicara lagi denganmu!"
Edward ragu sesaat, tapi tangannya segera diangkat di atas kertas dokumen. Semuanya terdiam menunggu. Terdengar suara goretan pena, bagaikan halilintar di musim kemarau. Setelah selesai, pena ia letakkan kembali di tempatnya.
"Kenapa kau memperlakukan ibumu seperti ini?"
Isak Augusta.
Emily mengeringkan tanda tangan Edward dengan ulasan alat pengering dan mengambil dokumen itu.
Augusta berdiri di depan pintu keluar, menghalangi Emily.
Edward dan Micky terpana sesaat menyaksikan dua wanita itu saling berhadapan dengan wajah penuh kebencian.
"Berikan dokumen itu!"
Bentak Augusta.
Emily maju lebih dekat, diam sejenak, lalu melayangkan tamparan ke wajah Augusta.
Suara tamparan itu terdengar nyaring.
Augusta menjerit kaget dan kesakitan.
Tubuhnya limbung.
Emily melangkah cepat melewatinya, membuka pintu kamar, dan keluar dengan gesit.
Tangannya masih memegang berkas dokumen.
Augusta terduduk di kursi terdekat dan mulai menangis terisak-isak.
Ia mendengar putranya dan Micky keluar ruangan Ia merasa kalah.
Kesepian dan merana.
[III] PENERBITAN obligasi dua juta pound atas proyek pelabuhan Santamaria gagal, bahkan lebih jelek dari yang diperkirakan oleh Hugh Pilaster.
Pada batas akhir tanggal, Pilasters Bank hanya berhasil menjual obligasi senilai empat ratus ribu pound dan pada hari berikutnya nilai nominal obligasi merosot terus.
Hugh merasa lega karena ia telah memaksa Edward dan mitra lainnya menerbitkan atas dasar komisi, bukan atas dasar penanggungan penuh.
Dengan dasar komisi, Pilasters Bank tak perlu menanggung risiko penuh atas jumlah nilai obligasi yang belum terjual.
Di hari Senin berikutnya, kepala administrasi bank Jonas Mulberry membawakan ringkasan neraca keuangan bisnis yang dilakukan para mitra selama seminggu sebelumnya.
Sebelum ia meninggalkan ruangan, Hugh melihat ada keganjilan dalam angka neraca.
"Tunggu sebentar, Mulberry,"
Perintahnya.
"Ada keganjilan dalam angka-angka ini. Ada tarikan dana yang sangat besar dari kas bank, lebih dari sejuta pound. Apakah ada deposan yang menarik deposito mereka dengan tiba-tiba?"
"Kurasa tidak ada, Mr. Hugh,"
Jawab Mulberry mantap. Hugh melihat ke sekeliling ruangan. Para mitra telah hadir semua, kecuali Edward. Tanyanya.
"Apakah ada yang ingat penarikan dana deposito secara besar-besaran minggu lalu?"
Tidak ada yang ingat. Hugh berdiri dan berkata kepada Mulberry.
"Mari kita periksa di bagian pembukuan."
Mereka segera pergi ke lantai atas, tempat pusat pembukuan bank.
Yang mereka cari adalah catatan penarikan dana bank sebesar sejuta pound lebih.
Ke mana, oleh siapa, dan kapan.
Metodenya pasti metode transaksi antarbank, mengingat jumlahnya yang luar biasa besar.
Hugh ingat sewaktu ia masih menjadi petugas pembukuan bank, ada semacam jurnal harian yang mencatat transaksi antarbank yang dikerjakan setiap hari.
Ia duduk dan minta kepada Mulberry.
"Tolong carikan jurnal harian transaksi antarbank."
Mulberry menarik sebuah buku besar dari laci dan membukanya di depan Hugh. Seorang petugas datang dan bertanya dengan wajah ketakutan.
"Ada yang bisa saya bantu, Mr. Hugh? Saya yang mengerjakan jurnal itu."
Ia khawatir membuat kesalahan fatal. Hugh bertanya.
"Kau Clemmow, bukan?"
"Ya, Sir."
"Apakah minggu lalu ada penarikan dana besar sekitar sejuta pound atau lebih?"
"Ada, hanya satu kali,"
Jawab si petugas cepat.
"Perusahaan pelabuhan Santamaria menarik satu kali sejumlah satu juta delapan ratus ribu pound jumlah yang sama dengan nilai total obligasinya, dikurangi komisi bank."
Hugh mendadak berdiri.
"Tapi mereka tidak berhak menarik sejumlah itu. Mereka hanya berhak menarik empat ratus ribu pound, sesuai nilai laku jual obligasi mereka!"
Clemmow pucat pasi.
"Nilai kontraknya dua juta pound, obligasi pertanggungan penuh."
"Tapi ini bukan pertanggungan penuh, melainkan kontrak komisi belaka!"
"Saya sudah berulang kali memeriksa jumlahnya ditarik satu juta delapan ratus ribu pound.'"' "Sialan!"
Teriak Hugh. Seluruh petugas pembukuan menengok ke arahnya.
"Tunjukkan jurnal lengkapnya!"
Seorang petugas lain datang membawa buku tebal dan besar, membukanya di depan Hugh, di halaman dengan tanda Proyek Pelabuhan Santamaria.
Tercatat tiga masukan.
kredit sejumlah dua juta pound, debet sejumlah dua ratus ribu pound disertai catatan.
Komisi bank, dan transfer ke bank lain sejumlah sejuta delapan ratus ribu pound.
Imbang dan tidak ada keganjilan dalam angka jurnal.
Hugh terkesima, tak bisa berkata apa-apa.
Uangnya sudah tertransfer ke bank lain.
Jika hanya kesalahan catat, bisa dengan mudah dikoreksi.
Tapi sekarang sudah terlambat.
Ini berarti ada persekongkolan tingkat tinggi dalam bank.
"Oh, Tuhan, ini akan diurus oleh yang berwajib, untuk itu harus ada yang masuk ke penjara,"
Desahnya berang.
"Siapa yang membuat catatan ini?"
"Saya, Sir,"
Jawab si petugas yang membawakan buku besar. Nadanya ketakutan, dan tangannya gemetar. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Atas instruksi siapa?"
"Atas dasar kontrak resmi, sesuai prosedur seperti biasanya."
"Dari mana datangnya?"
"Dari meja Mr. Oliver, Sir."
Simon Oliver adalah staf bank yang lahir di Kordoba dan masih sepupu Micky Miranda.
Hugh langsung curiga.
Ia memutuskan akan melanjutkan penyelidikannya di ruang para mitra saja.
Sebenarnya ia menyesal sudah membuka kasus ini di depan dua puluh petugas pembukuan, tapi siapa sangka kasus ini bukan sekadar kesalahan catat belaka, tapi merupakan hasil sebuah komplotan besar? "Bawa Mr.
Oliver ke ruang para mitra sekarang,"
Perintahnya kepada Mulberry". Ia akan melanjutkan penyelidikannya di depan para mitra lainnya, karena Oliver adalah staf Edward Pilaster, mitra senior bank.
"Baik, segera, Mr. Hugh,"
Jawab Mulberry tangkas. Sebelum meninggalkan ruangan, ia memberi perintah kepada semua petugas.
"Kalian semua kembali bekerja!"
Saat ia dan Hugh sudah keluar ruangan, segera terdengar dengung suara gaduh di ruang pembukuan. Begitu tiba di ruang mitra, Hugh berkata.
"Aku baru saja menemukan sebuah persekongkolan besar, menyangkut obligasi pelabuhan Santamaria yang ternyata telah dibayar penuh oleh bank kita, padahal kita hanya berhasil menjual senilai empat ratus ribu pound."
Para mitra terkejut.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
Tanya Young William.
"Jumlah sejuta delapan ratus ribu pound dikreditkan ke rekening mereka, lalu ditransfer ke bank lain."
"Siapa yang bertangung jawab?"
"Kukira ini dilakukan oleh Simon Oliver, staf administrasi Edward. Sudah kuperintahkan Mulberry mencari dan menemukannya, tapi kukira dia sudah berada di kapal yang berlayar menuju Kordoba saat ini."
Sir Harry bertanya.
"Kita tidak bisa menarik kembali uang itu?"
"Tidak tahu. Kukira mereka sudah memindahkan uangnya keluar negeri sekarang ini."
"Mereka tidak bisa membangun sebuah proyek pelabuhan dengan uang curian, bukan?"
"Kukira proyek pelabuhan itu memang tidak ada. Tujuan mereka adalah mencuri uang kita."
"Oh, Tuhan."
Mulberry datang dan herannya ia datang bersama Simon Oliver yang membawa seberkas tebal kontrak bank.
Hugh heran.
Jika Oliver tidak lari, berarti tidak ada penipuan uang bank.
Oliver berdiri gemetar dengan ketakutan.
Mungkin ia sudah mendengar ancaman Hugh soal penjara atas orang yang bertanggung jawab.
Tanpa basa-basi lagi Oliver berkata.
"Sesuai kontraknya, penerbitan obligasi Santamaria dijamin sepenuhnya oleh Pilasters Bank."
Ia menyerahkan berkas kontraknya pada Hugh. Hugh menjawab tegas.
"Keputusan para mitra bukan pertanggungan penuh, tapi komisi saja."
"Mr. Edward yang memerintahkan saya untuk membuat kontrak pertanggungan penuh."
"Kau punya bukti?"
"Ya!"
Ia memberikan pada Hugh secarik kertas bertulisan tangan.
Isinya ringkasan kontrak penerbitan obligasi secara pertanggungan penuh dari bank.
Tulisannya tulisan tangan Edward.
Jelas dan gamblang perintah itu datang darinya.
Sekarang semuanya jelas.
Edward yang harus bertanggung jawab.
Tak ada penipuan, hanya persengkongkolan langsung dari mitra senior sendiri.
Uangnya sudah tak mungkin ditarik kembali.
Transaksinya sah dan sesuai prosedur perbankan.
Hugh sangat kecewa dan marah.
"Baiklah, Oliver, kau boleh meninggalkan ruangan ini."
Hugh memberi perintah singkat. Oliver, masih berdiri gemetaran, bertanya.
"Apakah ini berarti saya tidak tersangkut dengan masalah ini, Mr. Hugh?" * "Tidak, selama kau mengikuti perintah Mr. Edward, kau tidak salah sama sekali."
"Terima kasih, Mr. Hugh."
Ia beranjak keluar ruangan. Hugh memandang para mitra. Komentarnya singkat dan dingin, tanpa emosi, tapi menyimpan rasa sesal mendalam.
"Edward telah melangkahi keputusan kolektif kita. Dia sendiri yang mengganti kontrak obligasi dengan pertanggungan penuh. Sekarang bank harus menanggung biaya sejuta empat ratus ribu pounds Sunyi, tak ada suara sedikit pun. Masing-masing mencoba mencerna akibat tindakan Edward, mitra senior mereka. Akhirnya Samuel yang berkomentar getir, 'Betapa menyakitkan."
Sir Harry dan Mayor Hartshorn tetap membisu. William bertanya.
"Kita akan bangkrut?"
Hugh sadar pertanyaan William ditujukan pada dirinya. Benarkah mereka akan bangkrut? Belum terpikirkan. Ia mencoba mengevaluasi untuk sesaat, lalu menjawab.
"Secara teknis, tidak. Kendati cadangan kas kita mengalami defisit sejumlah satu juta empat ratus ribu pound, dan ini masih diimbangi dengan jumlah obligasi yang belum terjual. Dalam neraca bank, kita masih imbang karena aktiva sama jumlahnya dengan passiva. Aset kita masih imbang dengan kewajiban kita. Solvabilitas Pilasters Bank positif."
Samuel menambahkan.
"Sepanjang nilai obligasi pelabuhan Santamaria tidak ambruk."
"Persis,"
Kata Hugh.
"Tapi jika sampai terjadi sesuatu yang menyebabkan nilai obligasi itu ambruk, tamatlah riwayat kita."
Memikirkan kemungkinan ini. Hugh jadi sedih campur berang terhadap Edward yang telah membuat bank keluarga yang telah berdiri selama tiga generasi berada dalam posisi amat lemah. Akhirnya Sir Harry bertanya.
"Bisakah kita merahasiakan semua ini?"
"Aku ragu,"
Jawab Hugh,"
Aku khawatir sekarang pun kabar ini sudah beredar dari para staf kita sendiri, sebab mereka mendengar semuanya ketika aku mengusut di ruang pembukuan tadi."
Jonas Mulberry bertanya.
"Bagaimana dengan likuiditas kita, Mr. Hugh?"
Pertanyaan yang amat praktis.
"Kita membutuhkan cadangan dana yang besar dalam minggu ini, untuk memenuhi penarikan uang nasabah secara rutin. Kita pasti tidak bisa menjual semua obligasi ini, harganya pasti akan jatuh sekali."
Pertanyaan yang harus segera dipecahkan. Hugh berpikir sejenak.
"Aku bisa meminjam sejuta pound dari Colonial Bank. Si tua Cunliffe akan merahasiakan ini, kujamin. Kita juga harus bersikap diam."
Ia melihat ke para mitra lainnya, lalu lanjutnya.
"Dan melakukan penghematan luar biasa atas pengeluaran pribadi, karena pinjaman dari Cunfille hanya untuk sementara dan darurat. Posisi defisit kita harus secepatnya ditanggulangi. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan menimpa bank ini."
William melontarkan pertanyaan.
"Bagaimana dengan Edward sendiri?"
Hugh tahu satu hal yang mesti dilakukan Edward. mundur! Tapi ia tidak mau pendapat ini keluar dari dirinya. Akhirnya Samuel yang berkata.
"Dia harus mundur dari bank. Kita sudah tak bisa percaya lagi padanya... tidak akan pernah bisa."
William bertanya lagi.
"Tapi dia bisa menarik modalnya?"
"Tidak mungkin bisa,"
Jawab Hugh.
"Bank tidak punya dana lagi. Ancaman itu sudah tidak ada artinya."
"Ya, benar."
William berkomentar.
"Tidak terpikir olehku."
"Lalu siapa yang menjadi mitra senior bank?"
Tanya Harry Sir. Tak ada yang menjawab. Samuel yang menjawab dengan nada sinis.
"Ya Tuhan, kenapa mesti ada pertanyaan itu? Siapa yang membongkar pengkhianatan Edward? Siapa yang menangani krisis ini? Siapa yang kalian jadikan panutan dalam krisis ini? Selama beberapa jam ini, hanya satu orang yang membuat keputusan penting bagi nasib bank ini. Kita semua hanya bertanya dan tidak berdaya. Kalian pasti tahu siapa yang pantas menjadi mitra senior bank kita!"
Hugh jadi terpana.
Sejak tadi di benaknya hanya ada satu masalah.
bagaimana menyelamatkan bank keluarganya.
Tak sedetik pun ia memikirkan siapa yang harus menjadi mitra senior.
Sekarang Samuel telah dengan gamblang mengemukakan hal itu, dan ia benar.
Sejak tadi Hugh bertindak sebagai penjabat mitra senior dan hanya dialah yang bisa mengupayakan penyelamatan Pilasters Bank.
Perlahan-lahan ia menyadari bahwa ia hampir mencapai ambisi hidupnya selama ini.
Ia melihat ke arah William, Harry, dan George.
Semuanya bermuka jengah dan kikuk.
Mereka yang menjadi sponsor utama sehingga Edward bisa diangkat menjadi mitra senior.
Hugh bisa membaca apa kira-kira yang mereka pikirkan saat ini.
mereka menyesal tidak mendengarkan nasihat Hugh! Tapi mereka tidak bisa diam begitu saja, pikir Hugh.
Mereka harus mengatakan persetujuan sekarang juga.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia memancing William dengan bertanya.
"Bagaimana menurut pendapat Paman, sebagai mitra paling lama setelah Paman Samuel?"
William agak malu sejenak, lalu berkata tegas,"
Kau harus menerima jabatan sebagai mitra senior, Hugh."
"Mayor Hartshorn?"
"Setuju sekali."
"Sir Harry?"
"Pasti setuju, dan kuharap kau mau menerimanya."
Selesai sudah. Hugh hampir tak percaya mendengarnya. Ia menarik napas panjang.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kalian berikan padaku. Akan kuterima jabatan ini. Kuharap aku bisa mengatasi krisis ini dan menjaga reputasi terhormat serta harta bank kita."
Bertepatan dengan itu Edward masuk.
Suasana seketika jadi senyap.
Baru saja mereka membicarakan dirinya, dengan menganggap seolah ia sudah mati.
Sekarang tiba-tiba ia masuk sungguh mengejutkan.
Edward yang tidak sadar dengan suasana sebenarnya, bertanya.
"Tempat ini kacau-balau. Tidak ada yang bekerja. Mereka saling bisik dan berbincang di koridor. Ada apa sebenarnya?"
Tidak ada yang bicara. Wajah Edward jadi memerah, lalu rasa bersalah merayapinya.
"Ada apa?"
Tanyanya ke arah Hugh.
"Sebaiknya katakan terus terang, bukankah aku mitra senior di sini?"
"Tidak lagi!"
Tegas Hugh.
"Aku yang mitra senior sekarang."
BAB TIGA JVorember DOROTHY PILASTER menikah dengan Viscount Nicholas Ipswich di Kensington Methodist Hall pada pagi bulan November yang dingin dan cerah.
Acaranya sederhana, tapi upacara gerejanya cukup panjang.
Setelah itu disusul makan siang dengan menu khas Inggris bersama tiga ratus tamu di bawah tenda yang diberi penghangat ruangan di kebun rumah Hugh Pilaster.
Hugh sangat bahagia.
Adik perempuannya tampak sangat cantik dan suaminya juga tampak serasi di sampingnya.
Mereka sedang beramah-tamah dengan para tamu.
Tapi orang yang paling berbahagia pagi ini adalah ibu Hugh.
Ia duduk dengan senyuman anggunnya di samping Duke of Norwich.
Untuk pertama kali dalam dua puluh empat tahun ia tidak berbusana hitam lagi, melainkan bergaun kasmir abu-abu kebiruan, cocok sekali dengan warna rambutnya yang beruban dan tebal.
Hidupnya pernah kelabu oleh tragedi bunuh diri suaminya, dan selama bertahun-tahun ia hidup dalam kekurangan, namun sekarang dalam usia enam puluhan ia memiliki segala yang didambakannya.
Putrinya menikah dan menjadi Duchess of Norwich, dan putranya menjadi mitra senior Pilasters Bank dengan kondisi ekonomi berkecukupan.
"Aku dulu mengira hidupku adalah serentetan nasib buruk,"
Bisiknya pada Hugh. -"Ternyata aku salah.
"Ia menangkupkan tangan ke tangan Hugh sebagai tanda kasih sayang seorang ibu. Hugh hampir menangis karena haru. Para tamu wanita berpakaian aneka warna, kecuali putih (khawatir dianggap menyaingi pengantin putri) dan hitam (warna khusus untuk berkabung). Warna pakaian mereka bercorak meriah, agar kontras dengan cuaca dingin di akhir musim gugur. oranye terang, kuning matang, merah rasberi, dan merah jambu matang. Sedangkan pakaian pria serba formal. jas hitam, putih, atau abu-abu. Hugh memakai jas hitam berleher tinggi dan dasi sutra biru. Ia benar-benar merasa sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarganya, bahkan keluarga besar Pilaster. Ia jadi teringat ketika dirinya dianggap sebagai kambing hitam seluruh keluarga. Ia menghirup anggur merah favoritnya, Chateau Margaux. Ia merasa agak jengah menyelenggarakan pesta pernikahan mewah begini, apalagi di tengah suasana prihatin Pilasters Bank. Memang mereka masih memiliki obligasi pelabuhan Santamaria senilai sejuta empat ratus ribu pound, dan obligasi-obligasi Kordoba lainnya senilai sejuta pound; hanya sayangnya mereka tak bisa menjualnya sekaligus karena akan mengakibatkan harga jatuh, satu-satunya hal yang paling dikhawatirkan Hugh. Dengan keadaan seperti ini, menurut perhitungan Hugh, neraca Pilasters Bank akan kembali normal dalam setahun. Krisis dana kontan telah ia selesaikan dengan pinjaman dari Colonial Bank, jadi jika ada nasabah yang akan menarik dananya, Pilasters Bank tidak akan menolaknya. Biang keladi krisis, Edward Pilaster, sudah tidak pernah datang ke bank lagi, kendati secara formal ia masih berstatus mitra sampai akhir tahun fiskal. Secara umum kedudukan Pilasters Bank akan aman, kecuali jika ada kejadian-kejadian yang tak diinginkan seperti. peperangan, gempa bumi atau wabah penyakit menular di Kordoba. Jadi, dengan situasi seperti ini ia merasa cukup adil memberikan pesta mewah bagi adik satu-satunya. Selain itu pesta mewah seperti ini juga bagus untuk reputasi Pilasters Bank. Kalangan keuangan di Inggris tahu bahwa Pilasters Bank menderita kekurangan dana sejuta pound lebih dari penerbitan obligasi pelabuhan Santamaria di Kordoba. Dengan menyelengarakan pesta mewah ini, mereka akan yakin kembali bahwa keluarga Pilaster masih kaya. Pesta murahan malah akan membuat orang curiga. Hugh telah menyediakan maskawin sebesar seratus ribu pound untuk kedua mempelai. Dana itu disimpan di bank dengan bunga lima persen setahun. Nick, suami Dotty, bisa saja menarik dana itu setiap saat, tapi ia lebih memilih menariknya secara bertahap, sesuai jadwal pembayaran utang ayahnya, serta sekalian mengelola tanah pertanian milik keluarga. Hugh senang dengan keputusan Nick, karena dengan menarik sekaligus dana itu akan membuat bank mengalami kesulitan likuiditas. Setiap orang sudah tahu soal maskawin Dotty. Kendati Hugh dan Nick sudah berusaha merahasiakannya, berita itu tetap saja menyebar. Sekarang hal ini sudah menjadi topik pembicaraan di setiap pesta, acara makan malam, dan gosip-gosip di setiap rumah. Dengan rasa puas Hugh melihat ke sekeliling ruang pesta, dan matanya tertuju ke salah satu tamunya yang berwajah muram bagai nenek tua kehilangan pegangan hidup. Augusta "Masyarakat London sudah benar-benar menurun kualitas hidupnya,"
Kata Augusta kepada Kolonel Mudeford, pria tua yang duduk di sebelahnya.
"Aku khawatir Anda memang benar. Lady Whitehaven,"
Sambut si kolonel dengan lirih dan sopan.
"Orang bisa menjadi bangsawan dengan mudah,"
Sambung Augusta.
"Dan orang Yahudi bisa masuk ke mana pun yang mereka senangi."
"Benar."
"Aku adalah Countess of Whitehaven yang pertama, tapi keluarga Pilaster adalah keluarga terpandang selama satu abad sebelum dianugerahi gelar bangsawan ini. Sedangkan sekarang, pria yang ayahnya hanya pedagang biasa bisa memperoleh gelar bangsawan cuma karena dia berhasil kaya raya dengan menjual sosis."
"Persis,"
Sahut Kolonel Mudeford yang lalu berbalik ke wanita di sebelahnya sambil menawarkan sesuatu.
"Mrs. Telston, bolehkah saya mengambilkan saus manis itu lagi?"
Augusta jadi kehilangan minat bercakap-cakap dengan si kolonel.
Darahnya menggelegak menyaksikan pemandangan di sekitarnya.
Hugh Pilaster, putra Tobias Pilaster yang bunuh diri karena bangkrut, sanggup menyelenggarakan pesta perkawinan adiknya dengan menyediakan makanan berlimpah dan anggur Chateau Margaux untuk tiga ratus tamu; Lydia Pilaster, janda Tobias, duduk di samping Duke of Norwich; Dorothy Pilaster, putri Tobias, menikah dengan Viscount Ipswich dengan maskawin begitu besar.
Sedangkan putra tersayang Augusta, Teddy, anak Joseph Pilaster almarhum bankir terkaya di London, baru saja dipecat dari jabatannya sebagai mitra senior bank keluarganya sendiri dan istrinya juga menuntut pembatalan pernikahan.
Sudah tidak ada tata krama lagi di dunia ini! Siapa saja bisa masuk dan diterima di kalangan atas.
Seakan membuktikan kekesalannya, ia melihat di antara tamu, duduk di sebelah Gubernur Bank of England, Maisie Greenbourne alias nyonya almarhum Solly Greenbourne! Betapa menyakitkan mata melihat wanita murahan yang seluruh hidupnya dipenuhi skandal itu diundang ke pesta salah satu anggota keluarga Pilaster.
Apalagi tam-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY paknya Gubernur menikmati obrolan dengan perempuan itu.
Mungkin saja ia sedang membicarakan para wanita yang mengandung tanpa ayah, yang saat ini dirawat di rumah sakitnya.
Tragisnya, Gubernur mau mendengarkan! "Coba bayangkan Anda menjadi seorang wanita pelayan yang mengandung tanpa suami,"
Bisik Maisie kepada Gubernur. Yang diajak bicara tanpa terperanjat.
"Bayangkan akibatnya jika Anda menjadi ibu, tanpa pekerjaan, tanpa tempat bernaung, tanpa ada yang mendukung, dan tanpa suami. Apakah Anda lantas akan berpikir. Ah, aku toh bisa melahirkan di rumah sakit Mrs. Greenbourne yang nyaman itu, jadi nanti aku bebas berbuat lagi dengan siapa pun. Itu salah besar! Aku hanya menyediakan fasilitas bagi para wanita itu agar tidak melahirkan di selokan."
Dan Robinson, kakak Maisie, ikut bicara.
"Menyelamatkan masyarakat kecil... ya, sama dengan usulanku ke Parlemen untuk segera mengeluarkan Undang-Undang Perbankan yang di salah satu pasalnya akan mewajibkan para bankir mengasuransikan tabungan dan deposito milik masyarakat kecil."
"Aku sudah dengar itu,"
Komentar Gubernur. Dan melanjutkan.
"Beberapa kritikus mengatakan pasal ini malah akan mendorong bank mudah menyatakan bangkrut karena sudah ada asuransinya. Tapi menurutku itu omong kosong belaka. Mana ada bankir yang senang bangkrut, dalam kondisi seperti apa pun."
"Benar."
"Saat seorang bankir melakukan bisnisnya, tak mungkin dia berpikir akan melumat uang nasabahnya dengan membuat dia bangkrut. Dia pasti berpikir tentang bagaimana agar dirinya dan banknya bertambah kaya. Sama halnya membuat para anak hasil hubungan gelap menderita, takkan membuat para hidung belang berhenti ^ menggoda para pembantu wanita yang belia dan penuh mimpi romantis."
"Oh, aku mengerti. Sungguh suatu persamaan yang orisinal,"
Komentar Gubernur Bank of England dengan wajah kecut. Maisie memutuskan sudah cukup menggelitik Gubernur dengan komentar-komentar skeptis darinya dan kakaknya. Ia menggamit lengan kakaknya untuk beranjak ke tempat lain. Dan berkomentar.
"Kaulihat, gelar bangsawan selalu jatuh ke orang yang keliru. Misalnya Hugh dan sepupunya Edward. Hugh jujur, pandai, pekerja keras, sedangkan Edward pemalas, tolol, dan tak bernilai sama sekali sebagai laki-laki. Tapi Edward adalah Earl of Whitehaven, sedangkan Hugh hanya Mr. Pilaster, orang biasa."
Maisie diam saja, tanpa komentar.
Ia berusaha tidak memandang ke arah Hugh.
Ia tidak tahan melihat Hugh di tengah kerumunan keluarganya.
istri, anak, ibu, adik sementara dirinya berada jauh di luar lingkaran itu.
Ia tahu perkawinan Hugh dengan Nora sama sekali tidak bahagia dari cara mereka bertukar pandang, bercakap, dan bersanding.
Tak pernah terpancar kasih sayang dan kebahagiaan di antara mereka berdua.
Tapi ini bukan alasan, biar bagaimanapun mereka adalah suami-istri yang sah, sedangkan Maisie hanya orang luar.
Ia menyesal datang ke resepsi pernikahan ini.
Seorang penjaga pintu datang mendekati Hugh dan berbisik.
"Ada telepon penting dari bank untuk Anda, Sir."
"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang,"
Sahut Hugh. Beberapa menit kemudian, kepala pelayan yang datang.
"Mr. Mulberry dari bank di telepon. Sir, ingin bicara dengan Anda."
"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang,"
Sahut Hugh, terganggu.
"Baiklah, Sir."
Ia membalikkan badan.
"Tunggu,"
Tukas Hugh tiba-tiba. Jika sampai Mulberry yang menelpon dan bersikeras mau bicara dengan Hugh sendiri, padahal ia tahu Hugh sedang di pesta perkawinan, pasti ada yang penting sekali. Moga-moga bukan kabar buruk! Hugh tiba-tiba merasa dingin.
"Sebaiknya kujawab dia,"
Katanya. Ia berdiri, berkata.
"Maaf sebentar, Ibu, Yang Mulia, ada sesuatu yang harus kutangani."
Ia bergegas keluar dari tenda pesta, menyeberangi lapangan rumput, dan masuk ke dalam rumah. Pesawat telepon terletak di perpustakaan. Ia mengangkat pesawatnya dan berkata.
"Hugh Pilaster bicara."
Ia mendengar suara kepala administrasi bank.
"Mulberry, Sir. Maaf saya..."
"Apa yang terjadi?"
"Telegram dari New York. Terjadi perang di Kordoba."
"Oh, tidak!"
Ini kabar mematikan bagi Hugh, keluarganya, dan Pilasters Bank. Tak ada kabar lain yang melebihi ini.
"Perang saudara, tepatnya,"
Lanjut Mulberry.
"Pemberontakan. Keluarga Miranda telah menyerang ibukota. Palma."
Jantung Hugh berdenyut keras.
"Ada kabar tentang kekuatan mereka?"
Jika pemberontakan bisa cepat ditumpas, masih ada harapan baginya.
"Presiden Garcia melarikan diri."
"Sialan."
Ini berarti sangat serius. Ia mengutuki Micky dan Edward dengan sengit.
"Ada kabar lainnya?"
"Ada lagi telegram lain dari kantor kita di Kordoba. Sekarang sedang dipecahkan kode pesannya."
"Hubungi aku lagi secepatnya."
"Baik, Sir."
Hugh menutup telepon, minta disambungkan oleh operator pusat ke kantor pialang saham Pilasters Bank. Ketika sudah disambung, ia bertanya.
"Danby, ini Hugh Pilaster. Bagaimana kabarnya obligasi Kordoba?"
"Sudah kami tawarkan sampai setengah harga nominal, tapi tidak ada yang membeli."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Setengah harga, pikir Hugh pedih. Keluarga Pilaster sudah bangkrut total. Kekecewaan merayap di hatinya.
"Apakah harganya akan jatuh lagi?"
"Akan jatuh sampai nol, kukira. Takkan ada yang bersedia membeli obligasi dari pemerintah yang sedang mengalami perang saudara."
Nol. Keluarga Pilaster rugi dua setengah juta pound. Tak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menyehatkan neraca bank. Dengan memegang erat boks telepon, ia bertanya.
"Misalnya saja para pemberontak bisa ditumpas dalam beberapa jam ini, apa yang akan terjadi dengan obligasi Kordoba itu?"
"Tetap saja takkan ada investor yang mau membelinya. Mereka akan menunggu. Biasanya akan makan waktu sekitar lima sampai enam minggu sebelum kepercayaan pulih seperti sediakala."
"Ya, aku mengerti."
Hugh tahu Danby benar. Ia hanya ingin menguji keyakinan perhitungannya.
"Pilasters Bank akan tetap tegak kan?"
Tanya Danby cemas.
"Kalian pasti masih menyimpan obligasi obligasi pelabuhan Santamaria. Menurut isu yang beredar, kalian gagal menjualnya."
Hugh ragu berterus terang. Sebenarnya ia benci berbohong, tapi demi nasib Pilasters Bank ia menjawab.
"Memang benar kami punya banyak obligasi Kordoba, melebihi yang kita butuhkan, tapi aset kami juga cukup banyak."
"Bagus."
"Maaf, aku harus kembali menemani tamu-tamuku."
Hugh berusaha terdengar setenang mungkin. Ia tidak mau memberi kesan panik atau khawatir.
"Siang ini aku sedang menjamu tiga ratus tamu. Pernikahan adik perempuanku."
"Ya, aku dengar. Selamat."
"Sampai nanti."
Sebelum Hugh minta disambungkan ke nomor lain, masuk telepon dari Mulberry. Suaranya terdengar panik.
"Mr. Hugh, baru saja.Mr. Cunliffe dari Colonial Bank datang. Dia akan menarik pinjamannya pada bank kita."
"Sialan,"
Umpat Hugh pelan.
Pilasters Bank telah meminjam sejuta pound dari Colonial Bank untuk mengatasi defisit dana kontan beberapa minggu yang lalu.
Syaratnya, harus dikembalikan kapan saja dibutuhkan pemiliknya.
Sekarang Cunliffe pasti sudah mendengar tentang perang saudara di Kordoba, dan merasa khawatir dengan nasib uangnya.
Jelas ia ingin menyelamatkan uangnya sebelum Pilasters Bank dinyatakan bangkrut.
Dan ia baru yang pertama.
Besok akan ada nasabah lainnya, lainnya, dan antrean panjang! Semuanya akan menarik dana kontan mereka.
Dan Hugh tak mampu membayar mereka.
"Apakah kita punya dana kontan sejuta pound, Mulberry?" 'Tidak ada. Sir."
Hugh langsung lemas. Inilah akhir dari Pilasters Bank. Situasi seperti ini yang paling ditakuti para bankir. nasabah datang menarik uangnya, bank tidak mampu membayarnya. Dan sekarang ini sedang dialami oleh Hugh Pilaster.
"Katakan pada Mr. Cunliffe Anda belum berhasil mendapatkan tandatangan para mitra yang saat ini sedang berada di pesta perkawinan adikku,"
Perintahnya.
"Baik, Mr. Hugh."
"Lalu..."
"Ya?"
Hugh berhenti sebentar. Ia tahu, tak ada pilihan lain, namun ia masih ragu memberi perintah yang satu ini. Dengan memejamkan mata ia memutuskan lebih baik melakukannya sekarang juga.
"Lalu, Mulberry, tutuplah segera semua pintu luar bank, sekarang juga."
"Oh, Mr. Hugh."
"Maaf, Mulberry."
Hugh mendengar isak tangis tertahan dari kepala administrasi itu, orang yang telah puluhan tahun mengabdikan diri di Pilasters Bank.
Hugh menutup telepon.
Matanya menatap deretan buku di ruang perpustakaannya, tapi yang tampak justru tiang-tiang besar dan anggun di gedung bank yang makin lama makin mengecil, dan akhirnya lenyap.
Terbayang olehnya pintu-pintu gedung bank yang megah itu tertutup.
Para pejalan kaki akan terheran-heran melihatnya.
Lalu orang-orang mulai berkerumun, menunjuk-nunjuk pintu yang tertutup itu sambil berbicara dengan tegang.
Berita tentang kebangkrutan Pilasters Bank akan merambat lebih cepat daripada rayapan api di genangan bensin.
Pilasters Bank telah tamat.
Hugh menutup wajahnya dengan kedua tangan.
[Ill ITA semua jatuh bangkrut,"
Kata Hugh dengan tenang.
Mereka terkesima, tidak memahami makna pengumuman itu.
Ia tahu dari pancaran wajah mereka.
Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang duduk rumah Hugh.
Ruangan yang ramai dengan dekorasi dan perabot berukir.
Semuanya pilihan Nora.
Para tamu lain telah pulang, tinggal keluarga dekat saja.
Tadi Hugh belum memberitahu mereka tentang pecahnya perang saudara di Kordoba.
Tampak Augusta duduk berdekatan dengan Edward, keduanya memasang wajah tak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Paman Samuel duduk di dekat Hugh.
Mitra lainnya, Young William, Mayor Hartshorn, dan Sir Harry, berdiri di belakang sofa yang ditempati para istri mereka.
Beatrice, Madeleine, dan Clementine.
Nora yang sedikit pusing karena terlalu banyak meneguk sampanye duduk di kursi favoritnya, dekat perapian menyala.
Pasangan pengantin, Dotty dan Nick, saling berpegangan tangan, tampak ketakutan.
Hugh merasa kasihan atas nasib pengantin baru itu.
"Uang maskawin kalian lenyap, Nick. Maafkan aku, rencana kita jadi percuma."
Bibi Madeleine menukas pedas.
"Kau adalah mitra senior bank, jadi kaulah yang harus bertanggung jawab!"
Wanita tua yang tolol dan serakah. Kendati reaksinya sudah bisa diperkirakan sebelumnya, tetap saja hati Hugh tergores. Sungguh tidak adil jika ia sampai dipersalahkan atas tragedi ini. Tiba-tiba William menyela.
"Jangan bicara tolol, Madeleine. Edward yang menipu kita semua dan membebani bank dengan obligasi Kordoba yang sekarang tidak punya nilai sama sekali."
Hugh merasa bersyukur karena ada juga yang membelanya. Lanjut William.
"Kesalahan utamanya terletak pada diri kita sendiri yang memberikan suara pada Edward untuk menjadi mitra senior."
Ia memandang Augusta dengan sinis. Nora tampak masih bingung.
"Kita tak mungkin jatuh miskin."
"Kenapa tidak?"
Tukas Hugh dengan sabar.
"Semua uang kita disimpan di bank, dan banknya sudah bangkrut."
Ia maklum atas kenaifan istrinya tentang perbankan.
Nora tidak dibesarkan di keluarga bankir.
Augusta tampak gelisah.
Ia berdiri dan pergi ke dekat perapian.
Hugh bertanya-tanya apakah ia akan mencoba membela anaknya.
Ternyata tidak.
Ia hanya berkata tegas.
"Tidak perlu dicari siapa yang harus dipersalahkan. Sekarang kita harus segera mengambil uang kontan dan emas yang tersedia di bank, sebelum para kreditor datang merampok semuanya. Lalu..."
Hugh menyela.
"Kita tidak akan melakukan itu. Uang itu bukan milik kita."
"Sudah tentu itu uang kita!"
Teriak Augusta berang.
"Tutup mulut dan duduk, Augusta, atau kupanggil pelayan untuk mengusirmu."
Ia diam. tapi tetap berdiri. Hugh melanjutkan.
"Memang ada dana kontan dalam bank. Saat ini kita belum dinyatakan bangkrut, jadi kita masih boleh menarik sesuai kebutuhan. Kita semua harus segera mengeluarkan para pelayan; aku akan membayar mereka sesuai dengan catatan yang kalian berikan. Juga akan kubayar semua tagihan toko sampai batas hari ini saja. Mulai besok, semua utang yang kalian buat tidak akan kubayar."
"Memangnya kau ini siapa, berani memerintahkan aku mengeluarkan para pelayanku?"
Sanggah Augusta tolol. Hugh sebenarnya kasihan pada seluruh anggota keluarga Pilaster yang harus menderita karena pengkhianatan satu anggota keluarga; tapi sanggahan-sanggahan yang tolol dan egois membuatnya jengkel, jadi ia menukas pedas.
"Kalaupun tidak diberhentikan, pada akhirnya mereka akan pergi juga karena bank tidak akan membayar gaji mereka. Bibi Augusta, cobalah mengerti, Bibi sudah tidak punya uang Iagi"
"Huh, lucu sekali!"
Desis Augusta. Nora menyela.
"Aku tidak mungkin merumahkan para pelayan di rumah sebesar ini."
"Tidak perlu repot-repot,"
Jawab Hugh sabar.
"Kita tidak akan tinggal di rumah ini lagi. Begitu juga kalian semua. Kita harus menjual rumah, perabotan, kikisan, perhiasan, dan lain-lainnya."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Sungguh tidak masuk akal!"
Bantah Ausguta.
"Begitulah hukumnya,"
Sela Hugh cepat. Nadanya jengkel.
"Setiap mitra harus bertanggung jawab secara pribadi atas semua utang bank."
"Aku bukan mitra,"
Bantah Augusta.
"Ya, tapi Edward adalah mitra. Dia memang mundur sebagai mitra senior, tapi dia tetap mitra, paling tidak secara hukum. Dan dia memiliki rumahmu Joseph mewariskannya padanya."
Nora bicara lagi.
"Tapi kita harus punya tempat tinggal."
"Besok kita harus mencari rumah kecil dengan sewa semurah mungkin. Jika kalian memilih yang sedikit mewah saja, kalian akan dituntut oleh para kreditur bank. Itu berarti kalian harus mencari lagi rumah lain yang lebih kecil dan murah."
Dengan berang Augusta melengking lagi.
"Aku sama sekali tidak punya niat untuk pindah dari rumahku, titik. Dan kukira yang lain juga punya pendapat serupa."
Ia melirik ke arah saudara iparnya.
"Madeleine?"
"Benar sekali, Augusta,"
Sambut Madeleine hangat.
"George dan aku akan tetap tinggal di rumah kami. Semuanya ini omong kosong Hugh saja. Tak mungkin kita bangkrut total."
Hugh benci pada mereka.
Pada saat-saat seperti ini, kepongahan mereka tetap tidak berkurang.
Sikap yang membuat mereka tidak mau mengakui kenyataan hidup.
Pada akhirnya merekalah yang akan malu dan menderita karena ingin mempertahankan kekayaan yang sebenarnya bukan milik mereka lagi.
Selain itu, mereka bukan saja akan menghancurkan reputasi keluarga, tetapi juga harta dan martabat.
Ia bertekad akan membuat mereka melangkah dalam kejujuran, baik dalam keadaan miskin sekalipun.
Memang akan sangat berat, tapi tidak berarti ia akan menyerah begitu saja.
Augusta berpaling ke putrinya.
"Clementine, aku ya -kin kau dan Harry akan mengambil sikap yang sama denganku dan Madeleine serta George."
"Tidak, Bu,"
Jawab Clementine tegas. Augusta terpana. Begitu pula Hugh. Tidak biasanya saudara sepupunya membantah ibunya. Paling tidak, ada seorang anggota keluarga yang bernalar sehat, pikit Hugh lega. Lanjut Clementine.
"Semua ini karena ulah Ibu. Jika saja kita waktu itu memilih Hugh sebagai mitra senior, bukan Edward, kita semua akan tetap kaya bagai si raja emas, Croesus."
Hugh merasa senang. Ada juga anggota keluarga Pilaster yang mau mengerti apa yang telah ia lakukan selama ini. Clementine meneruskan.
"Ibu salah besar, dan Ibu telah menhancurkan kita semua. Aku tidak mau menuruti nasihat Ibu lagi, tidak akan pernah. Hugh ternyata benar, dan biarlah dia yang memimpin kita semua dalam krisis ini."
William menyela.
"Kau benar, Clementine. Kita harus melakukan apa yang dikatakan Hugh."
Garis peperangan jadi makin jelas.
Di satu sisi, ada Hugh, William, Samuel, dan Clementine yang menguasai suaminya, Sir Harry.
Di sisi lainnya ada Augusta, Edward, dan Madeleine yang bicara atas nama suaminya, Mayor Hartshorn.
Mereka akan merebut apa saja yang masih tersisa dan membiarkan reputasi keluarga besar Pilaster hancur lebur.
Lalu Nora berkata dengan nada berang.
"Kau harus menyeretku dari rumah ini kalau ingin menyuruhku pindah!"
Hugh merasa getir. Istrinya sendiri ternyata berpihak kepada musuhnya.
"Kau satu-satunya orang di ruangan ini yang menentang pasangan hidupnya sendiri,"
Komentar Hugh dengan sedih.
"Apakah kau tidak lagi memiliki kesetiaan?"
Sambil menyibakkan rambutnya dia Nora menjawab.
"Aku menikah denganmu bukan untuk hidup dalam kemiskinan."
"Oh, begitu? Sama saja, kau harus meninggalkan rumah ini,"
Sela Hugh dengan sedih. Lalu ia berpaling lagi ke para penentangnya.
"Juga kalian, pada akhirnya. Tinggal memilih saja, pergi dengan rela dan terhormat, atau pergi karena dipaksa oleh hukum, dengan disaksikan para wartawan dan sejumlah kreditur yang marah. Belum lagi dikejar oleh para pelayan kalian yang belum terbayar."
"Kita lihat saja nanti,"
Kata Augusta ketus.
Ketika semua sudah pulang, Hugh menatap ke perapian, memutar otak, mencari cara untuk membayar para kreditur.
Ia berketetapan tidak akan membiarkan banknya dinyatakan bangkrut secara formal.
Ia masih trauma dengan nasib yang diderita almarhum ayahnya.
Seluruh hidupnya ia curahkan agar tidak mengalami hal yang sama dengan ayahnya.
Seandainya, seandainya saja ia mengalami hal seperti itu, kemungkinan besar ia juga akan bunuh diri.
Pilaster memang sudah tamat riwayatnya sebagai bank.
Bank itu telah menutup pintunya dan ini berarti akhir dari usahanya.
Tetapi para nasabah dan kreditur lainnya akan tetap menerima bagian uang mereka, apalagi jika para mitra bersedia menjual semua aset mereka.
Saat matahari mulai meredup di ufuk barat, ia sudah mendapatkan jawaban terbaik.
Masih ada harapan, walau hanya secercah.
Pada jam enam sore ia pergi ke rumah Ben Greenbourne.
Usia Ben sudah tujuh puluh tahun, tapi ia masih sehat dan kuat, terutama dalam melakukan bisnis perbankannya.
Selain Solly, ia masih punya seorang putri, Kate Greenbourne.
Ia belum mau pensiun karena belum rela menyerahkan bisnisnya kepada para keponakan.
Hugh tiba di rumahnya di kompleks Piccadilly.
Sebuah istana yang tidak hanya mencerminkan kekayaan, tapi juga harta yang tak terbatas jumlahnya.
Setiap jam yang ada bertatahkan berlian, setiap panel dinding diukir halus dengan tangan ahli, setiap karpet dipesan khusus dengan anyaman tangan para pakar terbaik di bidangnya.
Hugh diantar oleh kepala pelayan ke ruang perpustakaan yang dipenuhi buku dan nyala perapian yang berderak-derak dan memancarkan kehangatan.
Sambil memeriksa judul rangkaian buku, Hugh mencoba menganalisis, benarkah buku-buku ini dibaca atau sekadar pajangan belaka? Tapi setelah melihat kebanyakan buku ditulis dalam aneka bahasa Eropa daratan, ia jadi yakin anggota keluarga Greenbourne memang pembaca yang selektif.
Ben datang lima belas menit kemudian.
Ia berkata dengan sopan.
"Maaf, kau sampai menunggu lama. Ada masalah rumah yang harus kuselesaikan dulu."
Nada bicaranya khas orang Prussia, padahal keluarganya sama sekali bukan keturunan Prussia.
Mereka hanya menirukan aksen bicara kalangan atas Jerman.
Walau sudah tinggal ratusan tahun di Inggris, mereka masih mempertahankan aksen ini.
Di mata Hugh, Ben masih saja sigap seperti dulu, hanya tampak sedikit gelisah dan capek.
Mungkin karena masalah rumah tangga yang ia sebutkan tadi.
Hugh tidak berani menanyakan.
Hugh memulai percakapan.
"Anda tahu bahwa obligasi pemerintah Kordoba jatuh hari ini."
"Ya."
"Dan mungkin Anda sudah mendengar bahwa bank kami terpaksa tutup."
"Ya, aku ikut prihatin."
"Ini terjadi lagi setelah dua puluh empat tahun sebuah bank Inggris jatuh bangkrut."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Bank Overend and Gurney. Aku ingat sekali haL itu."
"Begitu juga aku. Almarhum ayahku ikut terseret bangkrut, sampai menggantung diri di kantornya di Leadenhall Street."
Greenbourne menjadi jengah.
"Oh, maafkan aku, Pilaster. Fakta itu luput dari ingatanku tadi."
"Memang banyak perusahaan ikut bangkrut waktu itu. Juga besok pagi."
Hugh mulai masuk ke dalam inti pembicaraan.
"Dalam jangka waktu seperempat abad ini, bisnis di London telah meningkat sepuluh kali lipat. Dan perbankan, karena sistem dan peralatan yang sudah makin modern, bisa dikatakan menjadi saling kait satu dengan lainnya. Beberapa pengusaha yang terseret bangkrut besok pagi, mungkin juga akan gagal membayar utangnya pada bank lain. Dan ini akan terus berlanjut. Minggu depan akan lebih banyak lagi bank yang menyusul bangkrut. Ribuan orang akan ikut menderita miskin, kecuali kalau kita melakukan sesuatu untuk mencegahnya."
"Sesuatu? Kita?"
Tanya Ben Greenbourne agak tersinggung.
"Cuma satu yang harus kalian lakukan. membayar kewajiban kalian. Jika kalian tak mampu, kalian bisa dikatakan tak berdaya."
"Tak berdaya, mungkin, jika kami bertindak sendirian. Tapi kuharap masyarakat perbankan ikut membantu kami."
"Maksudmu para bankir harus ikut membayar utang-utang kalian? Kenapa mesti mereka?"
Nada Ben mulai marah.
"Jika Anda setuju, Sir, hal ini akan berakibat positif bagi semua bank di London. Semua kreditor kami terbayar dan tidak ada yang terseret ke bawah."
"Ya, jelas sekali."
"Begini, Mr. Greenbourne. Misalnya saja dibentuk sindikat bankir untuk mengambil alih aset dan kewajiban keluarga Pilaster. Sindikat ini yang akan menjamin semua kreditur memperoleh uang mereka, kapan saja mereka butuhkan. Pada saat yang sama, kita jual semua aset keluarga Pilaster secara tertib dan sesuai dengan harga pasar."
Tiba-tiba Greenbourne jadi tertarik; emosinya mulai mereda dengan bentuk usulan baru ini.
"Ya, jika para anggota sindikat merupakan bankir terhormat, dan jaminan mereka cukup dihargai dan dipercaya, para nasabah akan tenang dan tidak terburu-buru menarik dana mereka. Ini berarti arus kas kita akan positif, apalagi ditunjang dengan hasil penjualan aset keluarga kalian. Dengan nasib baik, pengeluaran kita bisa ditekan sesedikit mungkin."
"Dan krisis keuangan dapat dihindari."
Greenbourne menggelengkan kepala.
"Tapi pada akhirnya para anggota sindikat akan merugi, karena aset kalian lebih sedikit nilainya dibanding nilai kewajiban kalian."
"Tidak perlu begitu."
"Bagaimana bisa?"
"Kami memiliki obligasi pemerintah Kordoba dengan nilai lebih dari dua juta pound, walau hari ini tak ada nilainya sama sekali. Dari kalkulasiku, dengan hasil penjualan rumah dan aset lainnya milik keluarga besar Pilaster, jika sesuai harga pasaran, defisit kita hanya sekitar satu juta pound."
"Jadi, sindikat harus memperhitungkan risiko rugi satu juta pound?"
"Ya, kemungkinan itu ada. Hanya perlu dicatat bahwa nilai obligasi Kordoba tidak akan nol terus. Para pemberontak akan dikalahkan. Pemerintah yang baru akan menjamin ulang pembayaran bunga obligasi, dan pada titik tertentu, nilai obligasi akan kembali ke nilai semula, bahkan mungkin lebih."
"Ya, itu juga baru kemungkinan."
"Jika nilainya bisa naik setengah harga saja, sindikat sudah memperoleh kembali modal mereka. Jika lebih tinggi sedikit saja, para anggota sindikat akan memetik sedikit laba."
Greenbourne tetap menggelengkan kepala.
"Rencana itu mungkin berhasil, kecuali untuk nilai obligasi pelabuhan Santamaria itu. Duta besar Kordoba, Micky Miranda itu, di mataku tak lebih dari pencuri kerah putih; lebih-lebih ayahnya, pemimpin pemberontakan yang kejam. Kuperkirakan dua juta pound yang mereka peroleh dari bank kalian sudah habis dipakai membeli senjata, amunisi, dan perbekalan untuk pemberontak. Para investor tidak akan memperoleh satu sen pun dari uang mereka."
Si tua Ben masih saja tajam dan lihai dalam kalkulasi bisnis, pikir Hugh kagum; ia sendiri terus terang juga punya rasa takut yang sama.
"Ya, aku juga sama khawatirnya dengan Anda. Hanya saja, kedua sisi tetap sama risikonya. Membiarkan kami bangkrut, kalian pasti terseret juga."
"Rencanamu memang orisinal dan bagus sekaji. Kau memang generasi muda Pilaster yang terpandai."
"Hanya saja rencana ini tergantung dari Anda."
"Ah."
"Jika Anda setuju menjadi kepala sindikat, semua bankir akan setuju ikut. Jika Anda menolak, tidak akan ada kreditur kami yang percaya."
"Ya, kuakui itu,"
Komentar Ben tanpa malu-malu, karena ia memang bukan tipe orang yang senang merendah.
"Bersediakah Anda?"
Tanya Hugh sambil menahan napas. Ben Greenbourne merenung sejenak, lalu menjawab dengan mantap, 'Tidak, aku tidak bersedia!"
Hugh lemas di tempat duduknya. Upaya terakhirnya hancur berantakan. Ia merasa jadi tua mendadak dan seluruh hidupnya telah berakhir. Greenbourne menukas lagi.
"Sepanjang hidupku, aku selalu melakukan bisnis dengan hati-hati. Sedangkan pamanmu Joseph bertindak penuh risiko, dengan marjin laba yang tinggi tentunya. Ini bukan berarti aku tidak melihat peluang berlaba tinggi; aku melihat, tapi karena risikonya terlalu besar aku mundur. Pamanmu Joseph tidak seperti aku. Dia berani mengambil risiko tinggi. Putranya, Edward, lebih buruk lagi. Sedangkan kau belum bisa ditebak karena kau baru saja mengambil alih manajemen bank kalian. Nah, menurutku keluarga Pilaster sudah saatnya belajar melihat kenyataan. Kalian telah bertahun-tahun menikmati laba tinggi, sedangkan aku tidak, lalu kenapa aku harus ikut menanggung bebannya? Selain itu, jika aku sekarang menolong menyelamatkan kalian, berarti aku memberikan pelajaran tak adil bagi para investor yang hati-hati. Aku pilih kasih dengan membantu para investor yang senang mengambil risiko tinggi, yang ingin cepat kaya, yang senang mengambil jalan pintas. Kalau dunia perbankan dijalankan secara demikian, bisa-bisa tak ada lagi orang yang hati-hati. Semua orang akan berani mengambil risiko, sebab bank yang bangkrut akan selalu dibantu oleh bank lain. Padahal risiko itu selalu ada. Juga kejatuhan. Itu berguna untuk mengingatkan kepada para investor bahwa yang hati-hati akhirnya yang selamat, karena risiko adalah fakta, realitas kehidupan."
Sebelum datang ke rumah Ben, sebenarnya Hugh juga sedang memikirkan apakah sebaiknya ia memberitahukan bahwa Mickylah orang yang mendorong Solly ke depan kereta.
Sekarang ia memikirkan kembali, cerita atau tidak? Ia memutuskan sebaiknya tidak, karena melihat kondisi Ben yang tampak lelah.
Ia mulai memikirkan, apa lagi yang bisa ia katakan untuk mengubah keputusan Ben Greenbourne.
Tiba-tiba kepala pelayan datang dan berkata.
"Maafkan saya, Mr. Greenbourne, tadi Anda memerintahkan untuk segera memberitahukan jika detektif sudah datang."
Ben segera berdiri, terlihat gelisah, tapi ia tidak lupa berpamitan pada Hugh.
"Maaf, Pilaster, aku harus meninggalkanmu. Cucuku Rebecca... hilang... dan kami semua khawatir sekali."
"Oh, maafkan aku. Aku ikut prihatin,"
Jawab Hugh tulus. Ia kenal saudara perempuan Solly, Kate Greenbourne, dan putrinya yang samar-samar ia ingat sebagai gadis kecil cantik berambut hitam.
"Kuharap dia kembali dengan selamat, Sir."
"Ya, kami percaya dia tidak mengalami suatu tindak kejahatan. Dia hanya lari bersama seorang pemuda. Tapi itu sudah cukup buruk. Maafkan aku."
"Ya, tidak apa-apa."
Hugh tinggal sendirian dengan hati dan harapan hancur.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MAISIE kadang berpikir, kenapa orang bisa melahirkan dalam waktu berdekatan.
Ia sering mengalami hal ini.
seorang wanita di satu ranjang siap melahirkan, lalu wanita di dekatnya ikut-ikutan siap pula, disusul dengan wanita di ranjang lainnya.
Itulah yang terjadi hari ini.
Semuanya dimulai pada jam empat pagi, dan mereka semua melahirkan anak hampir bersamaan waktu.
Para bidan dan perawat sibuk sekali, sampai Rachel dan Maisie harus ikut turun tangan membantu mereka.
Pada jam tujuh pagi, semuanya berhasil melahirkan dengan selamat.
Maisie, Rachel, dan Dan Robinson duduk di kantor, merayakan dengan minum teh hangat.
Bertepatan dengan itu, Hugh datang.
Wajahnya kuyu, dan ia berkata lirih.
"Aku khawatir aku membawa kabar buruk pada kalian."
Maisie yang sedang menuangkan teh terenyak mendengar nada suara Hugh yang begitu memelas. Ia menduga mungkin seseorang telah meninggal mendadak.
"Hugh, apa yang terjadi?"
"Kukira kalian menyimpan semua uang rumah sakit ini di bank kami, benar bukan?"
Oh, soal uang, pikir Maisie lega. Kalau begitu, tidak serius sekali. Rachel yang menjawab.
"Ya, ayahku yang menangani keuangan kami. Karena dia juga pengacara bankmu, dia menyimpan semua uang, baik pribadi maupun uang rumah sakit di tempatmu."
"Dan dia ikut investasi di obligasi Kordoba."
"O ya?"
Maisie langsung tanggap.
"Apa yang salah, Hugh? Demi Tuhan, cepat katakan!"
"Pilasters Bank telah jatuh."
Maisie meneteskan air mata, bukan untuk uangnya, tapi untuk Hugh.
"Oh, Hugh!"
Isaknya.
Ia tahu betapa menderitanya pria yang ia cintai ini.
Bagi Hugh, ini seperti kehilangan orang yang paling dicintainya di dunia.
Ia telah menggantungkan harapan, mimpi, dan masa depannya serta keluarganya di bank itu.
Ingin rasanya Maisie mengambil alih sebagian dari kesedihan Hugh, agar deritanya berkurang.
Dan berkomentar.
"Oh, Tuhan, akan terjadi kepanikan.
"Semua uang kalian telah hilang,"
Kata Hugh.
"Kalian mungkin terpaksa menutup rumah sakit ini. Tak bisa kukatakan betapa prihatinnya aku atas kejadian ini."
Rachel yang pucat pasi bertanya panik.
"Bagaimana bisa terjadi? Itu tak mungkin!"
Dan yang menjawab.
"Mungkin saja. Bank tidak bisa lagi membayar utang-utangnya. Itulah artinya bangkrut. Artinya tak mampu lagi membayar utang kepada orang-orang yang berpiutang."
Dalam benak Maisie terbayang betapa kuyu wajah ayahnya ketika pulang siang itu, dengan mengatakan hal yang kurang-lebih sama dengan yang baru saja dikatakan Dan.
"Mungkin sudah waktunya kau mendesak Parlemen segera menelurkan undang-undang perlindungan bagi nasabah kecil bank,"
Kata Maisie. Rachel bertanya lagi.
"Hugh, sebenarnya apa yang kaulakukan atas uang kami?"
Hugh mendesah.
"Sumbernya adalah kesalahan yang dilakukan Edward ketika dia masih menjadi mitra senior. Dia melakukan kesalahan fatal, sehingga bank menderita kerugian sampai sejuta pound lebih. Sejak itu, aku dipilih menggantikan dia sebagai mitra senior, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk menormalkan kembali Pilasters Bank, tetapi sayang hari ini aku gagal."
"Aku tetap tak mengerti bagaimana ini sampai terjadi!"
Sanggah Rachel sekali lagi. Hugh menjawab.
"Bagaimanapun kalian tetap akan memperoleh uang kalian, tapi waktunya lama, mungkin setahun lagi, bahkan bisa lebih."
Dan merangkul Rachel, tapi ia mengelak, masih emosi.
"Lalu bagaimana nasib semua wanita malang di rumah sakit ini?"
Hugh tampak sedih sekali, sehingga Maisie ingin menyuruh Rachel diam, tapi Hugh sudah berkata.
"Aku pribadi ingin sekali memberikan uangku, jika ada. Masalahnya uangku juga ikut hilang."
"Tapi pasti ada yang bisa dilakukan, Hugh?"
Kata Rachel bersikeras.
"Sudah kucoba. Aku baru saja menemui rumah Ben Greenbourne tadi malam. Aku mohon padanya untuk menyelamatkan Pilasters Bank dengan membentuk .sin -dikat untuk membayar semua kreditur kami, tapi dia menolak mentah-mentah. Aku bisa mengerti alasannya. Dia sendiri sedang mengalami masalah berat di dalam keluarganya. Cucunya, Rebecca, lari dengan pacarnya. Yah, tanpa bantuan Ben, aku tidak bisa apa-apa."
Rachel berdiri.
"Mungkin sebaiknya aku menemui ayahku."
"Aku juga harus segera pergi ke House of Commons,"
Kata Dan.
Mereka berdua pergi.
Maisie amat sedih memikirkan tutupnya rumah sakit yang dibinanya.
Segalanya akan musnah dalam sekejap.
Tapi terutama ia berduka bagi Hugh.
Ia ingat malam tujuh belas tahun yang lalu, di pacuan kuda Goodwood.
Dengan antusias dan penuh semangat Hugh menceritakan bagaimana ia belajar dari kebangkrutan ayahnya.
Ia akan menjadi bankir paling andal, paling konservatif, dan paling kaya di seluruh dunia.
Dan cita-cita itu hampir saja terlaksana, tinggal satu langkah lagi.
Kini semuanya hancur berantakan, dan penyebabnya bukan diri Hugh sendiri.
Hugh mengalami apa yang diderita oleh almarhum ayahnya.
Maisie menatap Hugh dengan penuh haru.
Mata mereka bertemu.
Maisie berdiri dan mendekat, lalu menarik kepala Hugh ke dadanya, mengelus rambutnya.
Sesaat Hugh agak ragu, tapi segera merangkul pinggang wanita yang paling dikasihinya ini, mendekapnya erat, lalu ia meneteskan air mata.
Ketika Hugh sudah pulang, Maisie berkeliling di kamar-kamar pasiennya.
Sekarang ia melihat semuanya dengan sudut pandang berbeda.
dinding-dinding yang baru saja mereka cat sendiri, ranjang-ranjang rumah sakit yang mereka beli di toko loak, kain tirai yang dijahit sendiri oleh ibu Rachel.
Ia ingat perjuangan dirinya dan Rachel yang mahaberat ketika akan membuka rumah sakit ini.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY perdebatan dan pertengkaran dengan para pejabat kesehatan dan dewan kota, taktik-taktik halus yang harus mereka lakukan untuk menenangkan para pemuka gereja dan lingkungan sekitar.
Dan semuanya ini akan segera berakhir.
Ia mencoba menghibur diri.
dua belas tahun sudah ia baktikan bagi rumafi sakit ini.
Ya, tapi cita-citanya untuk mengembangkan tempat ini menjadi rumah sakit besar khusus wanita sekarang musnah.
Ia mencoba bicara dan menghibur para wanita yang baru saja melahirkan pagi tadi.
Semuanya sehat dan tidak ada masalah.
Tapi ia cemas terhadap gadis misterius yang tak mau memberikan jati dirinya itu.
Tubuhnya kurus dan bayinya juga kecil.
Mungkin akibat upayanya menutup-nutupi kandungannya dari mata umum dan orangtuanya.
Maisie heran betapa hebatnya daya tahan wanita dalam derita seperti itu.
la sendiri tak mampu menyembunyikan kehamilannya dalam usia kandungan limabulan, perutnya sudah membesar luar biasa.
Ia duduk di tepi ranjang gadis misterius itu.
Si ibu baru sedang menyusui bayi perempuannya.
"Dia cantik, bukan?"
Tanyanya pada Maisie dengan bangga. Maisie mengangguk setuju.
"Ya, rambutnya hitam seperti rambutmu."
"Ya, rambut ibuku juga sama... hitam."
Maisie membelai lembut kepala sang bayi, rambutnya masih halus sekali. Seperti semua bayi. wajahnya bulat seperti wajah almarhum suaminya, Solly. Dan tiba-tiba... Ia kaget, seolah baru menyadari sesuatu.
"Oh, Tuhan! Aku tahu siapa kau,"
Katanya. Gadis itu terpana.
"Kau cucu Ben Greenbourne... Rebecca, benar kan? Kau berusaha menutupi kehamilanmu, lalu lari ke sini menjelang saat melahirkan."
Gadis itu terbelalak kaget.
"Bagaimana kau bisa tahu? Kau tidak pernah bertemu aku lagi sejak usiaku enam tahun!"
"Ya, tapi aku kenal betul ibumu. Bukankah aku menikah dengan pamanmu? Ibumu selalu bersikap baik padaku kalau ayahnya sedang tidak ada. Dan aku ingat ketika kau masih bayi. Rambutmu juga hitam seperti rambut anakmu sekarang."
Rebecca tampak ketakutan.
"Janji kau tidak akan melaporkan pada mereka?"
"Aku janji tidak akan melakukan apa-apa sebelum kauizinkan. Tapi kupikir kau harus memberitahu keluargamu. Mereka sedang kebingungan saat ini, khususnya kakekmu. Dia yang paling khawatir."
"Tapi justru dia yang paling kutakuti."
Maisie mengangguk.
"Ya, aku bisa mengerti. Dia sekeras batu karang, karena aku sendiri pernah mengalami. Tapi jika kauizinkan aku bicara dengannya, kujamin dia mau mengerti. Bagaimana?"
"Kau bersedia?"
Tanya Rebecca penuh harap.
"Kau benar-benar bersedia melakukan itu untukku?"
"Ya, kenapa tidak?"
Jawab Maisie tulus.
"Dan aku janji tidak akan memberitahukan di mana kau berada jika dia tak mau berjanji akan bersikap baik padamu."
Rebecca melirik putrinya yang tidur pulas setelah kenyang menyusu.
"Dia tidur,"
Bisik Rebecca. Maisie tersenyum.
"Kau sudah memilih nama untuknya?"
"Oh, ya... namanya Maisie."
Wajah Ben Greenbourne basah oleh air mata begitu keluar dari kamar cucunya.
"Kutinggal dia sebentar dengan Kate,"
Bisiknya kepada Maisie. Ia mengelap kedua matanya dengan sapu tangan. Maisie belum pernah melihat mertuanya menangis di depan umum seperti sore hari ini. Ben tampak menyedihkan; mungkin ini bagus untuk pelajaran, pikir Maisie.
"Mari kita duduk dulu di kantorku,"
Ajak Maisie.
"Akan kubuatkan teh hangat."
"Terima kasih."
Di dalam kantor, Ben disilakan duduk. Ia pria kedua yang duduk di kursi itu dan menangis malam ini, pikir Maisie.
"Semua wanita muda itu,"
Kata Ben.
"apakah mereka, sama menderitanya dengan Rebecca?"
"Menderita ya, tapi kasusnya berbeda,"
Jawab Maisie.
"Ada yang janda. Ada yang ditelantarkan oleh suami. Beberapa ada yang lari dari suaminya karena sering disiksa. Seorang wanita bisa tahan walau disiksa suaminya, tapi begitu mereka mengandung, mereka tidak akan rela karena khawatir akan nasib bayi mereka. Tapi sebagian besar pasien di sini adalah gadis-gadis belia seperti Rebecca yang berbuat ketololan dalam hidup mereka."
"Selama ini kukira tak ada lagi yang bisa kupelajari dari hidup ini,"
Kata Ben.
"Sekarang baru kusadari, betapa egois dan bodohnya aku selama ini."
Maisie mengulurkan secangkir teh kepadanya.
"Terima kasih,"
Kata Ben.
"Kau selalu baik padaku, padahal selama ini aku tak pernah bersikap baik padamu."
"Kita semua pernah berbuat salah,"
Kata Maisie.."Apa yang kalian lakukan di sini sangat mulia. Tanpa ini semua, ke mana gadis-gadis malang ini akan pergi?"
"Mereka akan melahirkan di mana saja, di ganggang atau di kamar hotel murahan,"
Jawab Maisie getir.
"Dan, itu bisa terjadi pada diri cucuku, Rebecca."
"Sayangnya kami harus menutup rumah sakit ini,"
Sela Maisie.
"Kenapa?"
Ia menatap langsung kedua mata Ben dan berkata.
"Semua uang simpanan kami ada di Pilasters Bank, dan sekarang kami ikut bangkrut bersama bank itu."
"Oh, begitu?"
Tanya Ben, dan ia langsung tampak termenung serius.
*** Malam harinya Hugh tak bisa memejamkan mata sedikit pun, jadi ia duduk dalam baju tidurnya di depan perapian kamar, menatap api yang menjilat-jilat bagai tarian liar.
Ia berpikir keras, bagaimana cara terbaik untuk keluar dari kemelut keuangan bank ini.
Semua jalan serasa buntu, tapi ia tetap tak mau menyerah, terus berpikir dan berpikir.
Pada tengah malam sayup-sayup ia mendengar ketukan pintu.
Dengan pakaian tidur ia turun ke bawah.
Sebuah kereta berdiri di tepi jalan dan seorang pengawal berseragam.
Agak di depan pintu, berkata.
"Maafkan saya datang mengganggu pada malam larut ini, Sir. Saya diperintahkan untuk menyampaikan surat ini, malam ini juga."
Ia mengangsurkan amplok surat, lalu berpamitan. Setelah menutup pintu, Hugh mendengar kepala pelayannya datang.
"Apakah tidak ada masalah, Sir?"
Tanyanya khawatir.
"Hanya pengantar surat,"
Jawab Hugh.
"Kau boleh pergi tidur lagi."
"Terima kasih, Sir."
Hugh membuka amplop surat dan mengambil secarik kertas bertulisan tangan yang rapi, khas tulisan orang tua yang teliti.
Isinya membuat Hugh hampir melompat karena gembiranya.
12 Piccadilly London, S.W.
ť 23 November 1890 Yth.
Pilaster, Setelah memikirkan lebih jauh, kuputuskan untuk menerima usulanmu Hormatku, B.
Greenbourne.
Hugh mengangkat kepala dan menatap"tembok kosong di depannya sambil bergumam.
"Wah wah wah,"
Nadanya gembira dan penuh optimisme.
"Kira-kira apa yang membuat si tua Ben mengubah pendiriannya?" [IV] AUGUSTA duduk di ruang khusus di bagian belakang toko permata termahal di Bond Street. Lampu gas menyala terang di dalam ruangan, membuat perhiasan-perhiasan berkilat gemerlapan di kotak kaca. Seluruh dinding ruangan ditutup cermin. Di depan Augusta tergeletak sebuah kalung emas bertatahkan berlian. Manajer toko berdiri di sampingnya.
"Berapa ini?"
Tanya Augusta.
"Sembilan ribu pound, Lady Whitehaven,"
Jawabnya dengan santun sekali, seakan sedang mengucapkan sebuah mantera suci.
Kalungnya sendiri berbentuk sederhana, rantai emas dengan gemerlapan berlian-berlian berbentuk segi empat.
Jika dipakai dengan gaun hitam, akan tampak sangat serasi dan anggun.
Tapi kali ini Augusta member] tidak untuk dipakai.
"Kalung ini benar-benar sebuah mahakarya, bahkan bisa kami katakan yang terindah di toko ini,"
Kata si manajer penuh harap.
"Sabar, jangan memaksaku,"
Kata Augusta.
* Ini merupakan upaya terakhirnya untuk memperoleh uang kontan.
Ia sudah mencoba datang ke bank, terang-terangan ingin menarik uang kontan seratus pound dalam bentuk koin emas, tapi ditolak oleh seorang pegawai yang galak bernama Mulberry.
Ia bahkan berusaha mengganti kepemilikan rumah atas namanya, tapi juga gagal.
Semuanya harus diperiksa dulu oleh si tua Bodwin, SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pengacara bank, lalu disetujui oleh Hugh, si sialan itu! Dengan putus asa ia mencoba membeli kalung ini secara kredit, untuk dijual lagi secara kontan.
Yang lebih menyakitkan adalah ketika ia datang ke Edward minta pertolongan.
Apa jawaban anaknya? "Apa yang dilakukan Hugh adalah demi kebaikan kita semua.
Jika sampai terdengar kabar para anggota keluarga Pilaster masih hidup royal, sindikat akan mundur.
Mereka mempertaruhkan uang mereka untuk menanggulangi krisis keuangan bank, bukan untuk menyokong hidup mewah anggota keluarga Pilaster."
Sungguh sebuah khotbah panjang.
Jika mengingat bagaimana Edward begitu penurut setahun yang lalu, kemudian berubah total sejak peristiwa di malam pertandingan tinju itu, ia jadi sangat sakit hati.
Bahkan putrinya sendiri, Clementine, ikut menyalahkannya.
Tunggu balasanku, pikir Augusta.
Ia menatap si manajer, lalu berkata tegas.
"Baiklah, akan kuambil kalung ini."
"Pilihan yang tepat sekali, Yang Mulia."
"Kirimkan tagihannya ke bank."
"Baiklah, Yang Mulia. Kami akan mengirim kalungnya ke rumah Whitehaven."
"Akan kubawa sekarang, karena sore ini akan kupakai pesta."
Si manajer pucat pasi dan serba kikuk.
"Anda menyudutkan saya, Yang Mulia."
"Omong kosong apa itu! Cepat bungkus kalungnya!"
"Saya khawatir hal itu tidak mungkin, sampai pembayaran dilunasi dulu!"
"Jangan macam-macam! Kau tahu siapa aku?"
"Ya, tapi koran mengabarkan bank Anda sudah ditutup."
"Ini benar-benar penghinaan."
"Maafkan, maafkan saya."
Augusta berdiri dan menyambar kalungnya.
"Aku menolak mendengarkan omong kosong seperti itu. Akan kubawa kalung ini!"
Dengan berkeringat dingin, si manajer berlari menghalangi di depan pintu keluar.
"Saya minta jangan Aqda lakukan itu!"
Augusta belum mau menyerah, berusaha menerobos terus.
"Minggir!"
Lengkingnya nyaring. Tak mau kalah si manajer mengancam.
"Kalau terpaksa, akan saya tutup pintu toko dan saya panggil polisi."
Augusta jadi mundur terkesima.
Ia tahu kendati si manajer takut padanya, ancaman itu pasti akan dilakukan, sebab ia harus mempertanggungjawabkan kalung senilai sembilan ribu pound.
Dengan rasa kesal dan berang, Augusta membuang kalungnya di lantai, lalu bergegas keluar menuju kereta kudanya.
Si manajer tanpa ragu dan basa-basi memungut kalung itu dan mengembuskan napas panjang.
Augusta berjalan ke kereta dengan kepala tegak.
Ia sangat marah, hampir ditangkap karena tuduhan mencuri kalung, dan di telinganya berbisik suara.
"Kau memang bermaksud mencuri kalung itu... akui saja, Augusta."
Tapi ia tak mau mengakuinya. Dengan membara ia pulang. Begitu ia masuk ke rumahnya, si kepala pelayan Hastead sedang menungu. Tanpa memberi kesempatan padanya untuk bicara, ia langsung berkata.
"Ambilkan aku susu hangat."
Perutnya terasa nyeri.
Ia pergi ke kamarnya.
Duduk di depan meja rias, ia membuka kotak perhiasannya.
Isinya sangat sedikit dan nilainya hanya beberapa ratus pound.
Ia membuka kotak paling bawah dan mengambil sebutir cincin berbentuk ular.
Cincin emas yang ia peroleh dari Strang.
Dengan lembut diciumnya cincin kenangan masa mudanya itu.
Sampai mati ia tidak akan menjual cincin ini.
Seandainya saja aku dulu menikah dengan Strang, keadaannya tidak akan begini memelas seperti sekarang.
Sesaat ia serasa ingin menangis.
Kemudian ia mendengar suara-suara yang asing, sepertinya suara beberapa pria dan wanita.
Jelas bukan suara para pelayan, karena mereka tidak akan berani berisik di dekat kamar majikan.
Ia keluar kamar.
Rupanya suara-suara itu datang dari kamar mendiang suaminya yang pintunya setengah terbuka.
Ketika ia masuk, hatinya tersentak melihat seorang anak muda berpakaian rapi dan sepasang suami-istri berpakaian bagus yang belum dikenalnya sama sekali.
"Siapa kamu?"
Tanyanya. Si pemuda menjawab dengan nada datar.
"Stoddart, dari agen pemasaran rumah, Yang Mulia. Mr. de Graaf dan nyonya sangat tertarik untuk membeli rumah Anda yang indah ini."
"Keluar!"
Kata Augusta. Suara si pemuda meninggi.
"Tapi kami diberi instruksi untuk memasarkan rumah ini."
"Keluar segera dari rumahku! Rumahku tidak untuk dijual!"
"Tapi saya sudah bicara sendiri..."
Mr. de Graaf menyentuh tangan Stoddart dan membujuknya untuk diam.
"Kesalahan yang memalukan, Mr. Stoddart,"
Katanya sopan. Ia berbalik ke istrinya dan berkata.
"Mari kita meninggalkan rumah ini, Sayang."
Keduanya segera berjalan keluar kamar tanpa menoleh lagi.
Stoddart mengikuti dari belakang, juga tanpa pamit.
Augusta merasa terhina dan terpojok sendirian.
Hugh harus bertanggung jawab atas semua ini.
Dia yang memberi izin kepada sindikat untuk menjual rumahnya.
Beberapa waktu yang lalu, Augusta sudah diberitahu bahwa sewaktu-waktu akan datang calon pembeli untuk melihat-lihat kondisi rumahnya.
Tapi ia tetap tak mau pindah.
Ia mencoba beristirahat di kursi Joseph.
Kepala pela -yannya datang membawa susu hangat.
Kata Augusta.
"Jangan mengizinkan masuk orang-orang seperti tadi, Hastead. Rumah ini tidak untuk dijual. Jelas?"
"Jelas, Yang Mulia."
Ia meletakkan gelas susu di meja dan tetap berdiri menunggu.
"Ada lainnya?"
Tanya Augusta.
"Tukang daging datang pagi ini, minta dibayar."
"Katakan padanya aku akan membayar kapan aku mau, bukan sesuai kemauannya."
"Baik, Yang Mulia. Dan kedua pelayan juga keluar hari ini."
"Mereka memberitahumu?"
"Tidak, langsung pergi begitu saja."
"Orang tak tahu budi."
"Yang Mulia, staf lainnya bertanya-tanya kapan akan menerima bayaran."
"Ada lainnya?"
Hastead tampak bingung.
"Tapi... tapi saya harus menjawab bagaimana?"
"Katakan pada mereka aku tidak memberi jawaban apa-apa."
"Baiklah."
Ia tampak masih ragu untuk pergi, lalu berkata.
"Saya perlu memberitahu bahwa akhir minggu ini saya akan keluar."
"Kenapa?"
"Seluruh staf rupiah tangga keluarga Pilaster sudah diberitahu untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Mr. Hugh juga mengatakan pembayaran hanya akan diberikan sampai hari Jumat, tak peduli berapa lama kami bertahan sesudahnya."
"Pergi dari kamar ini, pengkhianat."
"Baiklah, Yang Mulia."
Augusta terus terang merasa senang tidak akan melihat Hastead lagi.
Sejak dulu ia tak suka melihat matanya yang tak pernah langsung menatap lawan bicara, tapi bergerak-gerak ke tempat lain.
Biarlah para pelayan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY keparat itu pergi semuanya, seperti tikus-tikus yang lari dari kapal yang mulai karam.
Ia menikmati susu hangatnya.
Perutnya masih terasa nyeri.
Ia memandang sekeliling ruang kamar.
Masih tetap seperti dulu, tahun 1873.
Joseph tak pernah mengizinkan ia mendekorasi ulang kamarnya.
Kertas dindingnya masih sama, dan tirainya masih brokat tebal.
Koleksi kotak tembakau kesayangan mendiang suaminya masih ada, ditata di lemari pajang.
Kamar itu terasa mati seperti bekas penghuninya.
Ia berharap suaminya masih mendampingi dirinya saat ini.
Semua ini tak akan terjadi jika Joseph masih hidup.
Dalam bayangannya ia melihat suaminya sedang berdiri di dekat jendela kamar, menikmati kotak tembakau koleksinya.
Augusta menggelengkan kepala untuk menghilangkan bayangan itu.
Tak lama lagi kamar ini akan ditempati penghuni baru.
Semua dekorasi kunonya akan diganti dengan yang lebih cerah, mungkin dengan panel kayu dan kursi model baru.
Mau tak mau ia harus pergi dari rumah ini.
Ia memang sudah menyerah, hanya tidak tahu harus ke mana.
Yang jelas, ia tidak sudi pindah ke rumah-rumah modern yang dikemas dalam corak dan model sama seperti di St.
John's Wood atau Clapham.
Kalau Madeleine dan Clementine mau, silakan saja, tapi jangan mimpi mengajaknya.
Tinggal di lingkungan seperti itu akan membuat musuh-musuhnya senang dan ganti mengejeknya.
Ia ingin pergi dari Inggris.
la memang sudah mempertimbangkan hal ini.
Calais didengarnya cukup bagus dan murah, tapi terlalu dekat dengan London.
Paris kota yang indah, tapi ia merasa sudah terlalu tua untuk memulai lagi kehidupan sosial kelas atas di tempat asing.
Ia pernah mendengar orang-orang membicarakan Nice, kota pantai di Prancis.
Di sana banyak orang Inggris seusianya menikmati masa tua dengan biaya hidup murah dan cuaca pantai yang hangat sepanjang tahun.
Tapi ia hidup dengan apa di Nice? Ia harus punya cukup uang untuk menyewa rumah besar, membayar pegawai, dan kereta kuda.
Ia tak punya banyak uang tunai, hanya lima puluh pound.
Karena itulah ia tadi nekat membawa kalung seharga sembilan ribu pound itu.
Seandainya berhasil, ia akan punya cukup uang untuk hidup selama beberapa tahun di Nice.
Ia sadar dirinya merusak rencana Hugh.
Apa yang dikatakan Edward memang benar.
Sukses tidaknya sindikat penyelamat Pilasters Bank tergantung pada niat tulus para mitra dalam melepas aset mereka.
Jika sampai ketahuan ia lari ke Nice dengan membawa emas berlian, pasti sindikat akan tersinggung.
Tapi biar saja.
Biar Hugh yang mengalami kesulitan.
Biar tahu rasa.
Tapi sekali lagi ia harus punya uang tunai atau perhiasan berharga untuk dijual.
Yang lain mudah diatur.
Ia akan memesan karcis kapal, lalu pergi ke stasiun dengan diam-diam pada pagi hari.
Persetan dengan keluarga Pilaster.
Ya, rencana bagus, tapi harus dibayar dengan apa? Saat melihat"
Ke sekeliling kamar suaminya, tampak olehnya sebuah buku catatan kecil.
Dipenuhi rasa ingin tahu, ia membaca isinya.
Tulisan tangan agen pemasaran rumah, mungkin si pemuda sialan tadi.
Emosinya meluap melihat isi catatan.
Nilai-nilai barang yang ada di dalam rumahnya.
meja makan Ł 9; penyekat Mesir 30 Sen; potret seorang wanita karya Joshua Reynolds Ł 100.
Lukisan-lukisan di dalam rumah pasti bernilai ribuan pound, hanya sayangnya ia tak mungkin membawanya dalam koper.
Ia membalik halaman lain dan membaca.
65 kotak tembakau lihat ke kolom perhiasan.
Ia melihat ke lemari yang dibelinya tujuh belas tahun yang lalu.
di dalam lemari itu terletak satu-satunya harapannya.
Nilai .
total koleksi kotak tembakau Joseph bisa mencapai seratus ribu pound.
Ia bisa mengepak rapi semuanya di dalam koper, tanpa terlihat oleh orang lain apalagi bentuk kotaknya kecil-kecil, sengaja dibuat sepraktis mungkin agar bisa dimasukkan ke saku jas.
Dan yang terpenting, bisa dijual satu demi satu kapan saja ia membutuhkan dana kontan.
Jantungnya berdebar keras.
Inilah jawaban atas doanya.
Ia mencoba membuka pintu lemari.
Ternyata dikunci rapat.
Rasa panik merayapinya sesaat.
Ia tidak yakin bisa memaksa buka pintu itu.
Daun pintunya tebal dan kaca depannya terlalu kecil.
Ia menenangkan diri.
Di mana kuncinya disimpan? Mungkin di laci meja kerja Joseph.
Ia pergi ke meja itu dan membuka lacinya.
Di dalamnya ada buku berjudul The Duchess of Sodom, yang dengan gemas ia sisihkan ke samping; di bawahnya ada kunci kecil berwarna perak.
Disambarnya.
Dengan tangan gemetar dia mencoba membuka lemari suaminya.
Terdengar suara klik, dan hopla.
pintu lemari terbuka lebar.
Augusta menarik napas panjang dan menunggu sampai tangannya berhenti gemetaran.
Lalu ia mulai memindahkan kotak-kotak tembakau mendiang suaminya.
, di scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya BAB EMPAT Desember [i] KEJATUHAN Pilasters Bank menjadi topik pembicaraan masyarakat.
Koran gosip memberitakan setiap perkembangan, lengkap dengan bumbu-bumbunya.
Penjualan gedung Kensington, lelang lukisan, perabot antik, dan berpeti-peti botol anggur simpanan khusus, pembatalan bulan madu Nick dan Dotty yang direncanakan selama enam bulan di Eropa, dan rumah-rumah sederhana yang disewa oleh anggota keluarga Pilaster betapa mereka sekarang harus bekerja sendiri di dapur, merawat rumah, mencuci pakaian, dan bepergian naik kereta umum.
Hugh dan Nora menyewa rumah kecil dengan kebun di pedesaan Chingford, sekitar sembilan roil dari London.
Mereka pindah dari rumah besar mereka di pusat kota tanpa membawa barisan pelayan lama.
Sekarang hanya ada satu pelayan, gadis kecil usia empat belas tahun dari daerah pertanian sekitar rumah.
Tugasnya mengepel dan mengelap jendela.
Nora, yang sudah lama tidak pernah memegang peralatan rumah tangga, sekarang terpaksa harus memasak, mencuci, merawat anak-anak.
Semuanya ia kerjakan dengan omelan dan caci maki.
Tapi anak-anak lebih senang tinggal di tempat baru ini, karena sekarang mereka bisa bebas bermain di hutan kawasan.
Hugh setiap hari masih pergi ke bank dengan naik kereta api.
Tugas utamanya, menjual aset keluarga satu demi satu untuk diserahkan kepada sindikat.
Setiap bulan para mitra masih menerima tunjangan bulanan secukupnya untuk biaya hidup.
Para anggota sindikat yang semuanya dari kalangan bankir tidaklah sekejam seperti gambaran koran.
Mereka berpedoman.
Kalau bukan karena belas kasihan Tuhan, aku pun bisa jadi korban.
Selain itu, kerja sama para mitra Pilasters Bank juga sangat membantu mereka melakukan tugas.
Hugh mengikuti perkembangan perang saudara di Kordoba dengan waswas.
Hasil akhir peperangan akan sangat mempengaruhi nasib sindikat.
Ia berusaha sekeras mungkin untuk tidak merugikan mereka, dan kalau bisa memberi laba kepada masing-masing anggotanya.
Terlebih penting lagi, ia ingin mengusahakan agar setiap orang tidak mengalami kehilangan uang dalam tragedi jatuhnya Pilasters Bank.
Tapi sejauh ini kemungkinan untuk itu kecil sekali.
Pada awal peperangan, keluarga Miranda memperoleh kemajuan pesat.
Mereka rupanya telah mempersiapkan segalanya dengan teliti dan hati-hati.
Presiden Garcia dan keluarga terpaksa lari ke daerah asal mereka, Cam-panario.
Jika sampai keluarga Miranda memenangkan perang, mereka akan memerintah negara dengan seenaknya.
Takkan ada demokrasi dan takkan ada pengakuan atas obligasi yang diterbitkan Pilasters Bank di Inggris.
Ini berarti tamatlah riwayat Hugh dan sindikat.
Tapi kemudian ada perkembangan lain yang menggembirakan.
Keluarga Silva yang selama bertahun-tahun selalu menjadi pihak oposisi dan pusat gerakan demokrasi, memutuskan untuk berperang di pihak Presiden Garcia, dengan imbalan janji Presiden akan terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, pembagian tanah kepada rakyat, dan pemerintahan yang tidak otoriter.
Harapan Hugh timbul kembali.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Peperangan jadi imbang sekarang.
Pasukan Presiden bisa menahan gerakan para pemberontak.
Sumber dana peperangan kedua pihak sudah terkuras habis.
Mustahil mencari sumber dana pinjaman dari luar negeri.
Keluarga Miranda yang paling menderita.
Tambang nitrat mereka di sebelah utara negeri tidak bisa berfungsi karena ekspor tidak jalan.
Juga tambang perak di selatan negeri, milik pemerintah.
Tak ada satu bank pun yang bersedia melakukan transaksi keuangan dalam situasi kacau seperti ini.
Kedua pihak sekarang menggantungkan harapan akhir mereka pada pengakuan Pemerintah Inggris.
Kuncinya adalah pengakuan dunia internasional.
Siapa yang berhak memerintah Kordoba.
Micky Miranda, yang secara resmi masih menjabat duta besar Kordoba, berusaha mati-matian memperoleh pengakuan Inggris pada Papa Miranda.
Ia melobi Parlemen, Kementerian Luar Negeri, dan semua departemen yang ada.
Sejauh ini hasilnya nihil, karena Perdana Menteri, Lord Salisbury, masih menolak untuk memihak siapa pun.
Lalu tibalah Tonio Silva di London.
Ia datang ke rumah kecil Hugh menjelang Natal.
Hugh masih di dapur, menyiapkan susu panas dan roti panggang mentega untuk anak-anaknya.
Nora sedang berdandan kerena akan pergi belanja Natal di London, kendati uangnya tidak banyak.
Hugh sudah setuju untuk tinggal di rumah menjaga anak-anak; hari ini tidak ada yang penting di bank.
Hugh sendiri yang membukakan pintu, kebiasaan yang ia lakukan sewaktu masih tinggal bersama ibunya di Folkestone.
Tonio sekarang memelihara kumis dan janggut, memenuhi setengah wajahnya, untuk menutupi bekas luka dua belas tahun lalu, ketika ia dipukuli oleh para preman bayaran Micky.
Hugh masih bisa mengenalinya dari seringainya dan warna rambutnya yang terang.
Bahu mantel dan topinya tampak putih oleh serpih-serpih salju.
Hugh membawa Tonio ke dapur dan memberinya teh.
"Bagaimana kau bisa menemukan aku?"
Tanyanya.
"Tidak mudah,"
Jawab Tonio.
"Mula-mula aku pergi ke alamatmu di London. Tidak ada seorang pun di situ, bank juga tutup. Lalu aku pergi ke rumah Whitehaven, hanya bertemu Augusta, bibimu. Dia tidak berubah. Dia tidak tahu alamatmu, hanya menyebut nama daerahnya, Chingford, dan cara menyebutnya seperti menyebut nama kamp penjara saja." -Hugh berkata sambil tersenyum.
"Ya, inilah aku. Lumayan di sini, terutama anak-anak senang dengan situasi pedesaan. Hanya Nora yang masih susah menyesuaikan diri."
"Augusta belum pindah."
"Ya, dia satu-satunya anggota keluarga yang tidak mau mengakui kenyataan, padahal dialah penyebab semua ini. Dia mestinya tahu, masih banyak tempat yang lebih jelek daripada Chingford."
"Ya, misalnya saja Kordoba "
"Bagaimana kabarnya?"
"Kakakku terbunuh dalam perang."
"Oh, aku ikut prihatin."
"Perang saat ini sudah mencapai titik kulminasi. Siapa yang mendapat pengakuan pemerintah Inggris, berarti akan memenangkan perang. Dia akan segera menerima pinjaman luar negeri, suplai senjata baru, dan pasti akan segera mengalahkan pihak musuh. Untuk itulah aku sekarang di sini."
"Apa kau diutus oleh Presiden Garcia?"
"Lebih dari itu. Sekarang aku sah diangkat menjadi duta besar Kordoba untuk Inggris. Miranda sudah dipecat.""
"Bagus sekali,"
Komentar Hugh spontan, la senang karena selama ini Micky seperti tidak pernah bersalah.
Ia telah mencuri uang bank dua juta pound dan masih bersikap seperti biasa, seolah tak bersalah pada keluarga Pilaster.
pesta-pesta, klub, undangan, teater semuanya ia hadiri dengan gayanya yang perlente.
Lanjut Tonio.
"Aku juga membawa Surat Pengangkatan Sah untuk diserahkan pada Menteri Luar Negeri."
"Dan kau berharap bisa membujuk Perdana Menteri untuk memberi pengakuan pada pihakmu?"
"Ya."
Hugh menatap temannya penuh tanda tanya.
"Bagaimana?"
"Garcia masih presiden sah. Pemerintah Inggris seharusnya menghormati asas legalitas."
Argumentasinya terlalu lemah, pikir Hugh.
"Dan bagaimana kau bisa meyakinkan beliau?"
"Akan kukatakan pada Perdana Menteri, begitulah seharusnya."
"Lord Salisbury sekarang sedang disibukkan dengan pergolakan di Irlandia. Mana mungkin dia punya waktu untuk memperhatikan masalah perang saudara di Kordoba?"
Hugh mengatakan hal ini dengan terus terang, tanpa berniat menyudutkan atau mengecilkan upaya Tonio. Tonio bertanya dengan nada kecewa,"
Kalau begitu, bagaimana menurutmu sebagai orang Inggris yang pasti tahu pola pikir beliau? Masalahnya, tugas utamaku adalah membujuk beliau untuk memberikan sedikit perhatian pada masalah di Kordoba."
Tonio mengatakan kalimat terakhir dengan nada pesimis, karena ia sadar caranya mengandung banyak kelemahan. Tiba-tiba Hugh mendapat gagasan cemerlang.
"Begini, kau bisa menjanjikan akan melindungi hak-hak para investor Inggris. Beliau pasti akan memikirkan masalah Kordoba dengan serius."
"Hmmm, kau benar, tapi bagaimana caranya?"
"Tunggu, akan kupikirkan."
Hugh menggeser kur -sinya. Sol kecil sedang membangun istana kecil dari potongan kayu. Sungguh ironis, membahas masa depan sebuah negara di dapur kecil sebuah rumah murah di pinggiran London. Akhirnya Hugh menemukan jawabannya.
"Begini... para investor Inggris telah menanamkan sekitar dua juta pound untuk membeli obligasi pelabuhan Santamaria. Semua anggota direksi proyek itu dari anggota keluarga Miranda. Aku yakin semua uang itu sudah habis untuk belanja senjata dan perbekalan perang. Nah, sekarang kita harus mengatur strategi bagaimana mendapatkan uang itu kembali."
"Tapi semua uang itu sudah dibelanjakan senjata."
"Memang. Tapi keluarga Miranda pasti punya aset bernilai jutaan."
"Ya, mereka punya tambang nitrat yang amat besar."
"Nah, sekarang bagaimana mengusahakan agar pihak pemerintah memenangkan perang. Hanya masalahnya bisakah kita mempercayai Presiden Garcia untuk menyerahkan tambang nitrat itu ke pihak Inggris? Jika bisa, nilai obligasi akan naik kembali sesuai pasar."
Tonio menjawab tegas.
"Presiden Garcia memberiku wewenang untuk melakukan dan berjanji apa pun demi pengakuan pemerintah Inggris."
Hugh merasa bergairah mendengarnya. Tiba-tiba prospek memperoleh kembali hak-hak Pilasters Bank jadi makin positif. Jari-jarinya mengetuk meja, berpikir keras.
"Kalau begitu, aku akan pergi menemui Ben Greenbourne agar membujuk Perdana Menteri demi kepentingan para investor Inggris untuk segera mengakui pemerintah yang sah di Kordoba. Kau segera melicinkan prosedurnya di Kementerian Luar Negeri. Bagaimana dengan pihak Oposisi di Parlemen? Hmm, aku bisa minta tolong Dan Robinson untuk mendukung rencana ini. Sejak awal dia sudah mendukung rencana sindikat menyelamatkan uang para nasabah Pilasters Bank. Rencana ini pasti berhasil. Ya, kita harus segera bertindak."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, kita harus bertindak cepat,"
Jawab Tonio antusias.
"Kita pergi ke London sekarang juga. Ben Greenbourne pasti ada di rumah pedesaannya. Akan kutelepon dia dari Bank. Sedangkan Dan tinggal dengan Maisie di selatan London."
Ia berdiri dan berkata.
"Aku pamitan dulu dengan Nora."
Nora belum selesai berdandan, sedang mematut-matut topi di depan kaca.
"Maaf, Nora, aku harus ke London sekarang juga,"
Pamit Hugh sambil memakai kemeja serta memasang dasi.
"Lalu siapa yang akan menjaga anak-anak?"
Tanya Nora ketus.
"Kau, tolong kali ini saja."
"Tidak sudi!"
Lengking Nora.
"Aku akan pergi belanja."
"Maaf, Nora, kumohon, masalah ini penting sekali."
"Aku juga penting!"
"Tentu kau juga penting, tapi aku harus bicara dengan Ben Greenbourne hari ini juga."
"Dengar, aku sudah muak dengan semua ini,"
Tiba-tiba Nora berkata dengan dingin, tanpa emosi.
"Muak dengan rumah, dengan lingkungan, dengan anak-anak, dan terutama muak denganmu!"
Ia berhenti sebentar, matanya menyorotkan kebencian.
"Bahkan ayahku bisa hidup lebih layak daripada kita."
Ayah Nora membuka bar dengan pinjaman dari Pilasters Bank. Usahanya maju.
"Mestinya aku bekerja di bar ayahku saja, lebih enak daripada hidup macam gelandangan begini!"
Hugh tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tiba-tiba ia sadar bahwa perkawinannya tak akan bisa dipertahankan lebih lama lagi. Untuk terakhir kali ia masih mencoba membujuk Nora.
"Nora, kumohon kau tinggal kali ini saja dan menjaga anak-anak kita."
Tanpa menunggu jawaban dan tanpa menengok lagi ia meninggalkan istrinya, keluar dari kamar.
Tonio sedang menunggu di dekat pintu.
Gelisah dan mondar-mandir di ruangan sempit.
Hugh mencium anak-anaknya dan memakai topinya, lalu keluar bersama Tonio.
Katanya.
"Ada kereta api ke London, sebentar lagi berangkat."
Sambil memakai mantel, ia berjalan cepat menyusuri jalan setapak di depan rumah. Salju turun dengan deras, membentuk lapisan tebal di jalanan kompleks. Rumah Hugh modelnya sama dengan sekitar dua puluhan rumah dalam kompleks.
"Kita akan bicara dulu dengan Dan Robinson, lalu dengan Ben Greenbourne sambil meyakinkan dia bahwa pihak Oposisi sudah memberikan dukungan. Dengar!"
"Apa?"
"Suara kereta kita. Sebaiknya kita bergegas ke stasiun."
Mereka mempercepat langkah.
Untungnya letak stasiun dekat dengan rumah.
Kereta api mulai terlihat dari jauh, sedang melewati jembatan sungai.
Seorang pria terlihat berdiri di tiang stasiun, menghadap ke jurusan datanganya kereta api.
Ketika Hugh dan Tonio melewati pria itu, Hugh segera mengenali siapa dia.
Micky Miranda! Dan ia membawa sepucuk pistol di tangannya.
Setelahnya, segala sesuatunya terjadi dengan sangat cepat.
Hugh menjerit keras.
Percuma.
Suaranya tertelan oleh lengking peluit kerata dan deru mesin lokomotifnya.
Micky mengarahkan pistolnya ke Tonio dan menembak, Tonio terhuyung-huyung, lalu jatuh ke tanah dingin bersalju.
Lalu Micky mengarahkan pistolnya ke dada Hugh.
Bertepatan dengan itu, lokomotif kereta sudah berada di sisi Micky.
Uap dan asapnya membuat kedua orang itu buta sesaat.
Uap kereta sangat tebal, menutupi pandangan mereka.
Secara refleks Hugh merebahkan diri ke salju dan berguling menjauh.
Sayup-sayup ia mendengar letusan pistol dua kali tapi tidak merasakan apa-apa.
Ia bangkit berdiri, diselimuti asap tebal lokomotif campur kabut pagi.
Ketika asap dan kabut pelan-pelan menghilang, Hugh melihat tubuh seorang pria di depannya.
Dengan cekatan ia menubruk orang itu.
Micky jatuh, pistolnya terlempar dari tangan, mendarat di tengah rel.
Hugh menerkamnya.
Mereka bergelut, sekaligus berusaha berdiri untuk mendapatkan posisi terbaik agar bisa menendang lawan.
Micky yang berhasil berdiri dulu, berusaha memukul Hugh dengan tongkat miliknya.
Hugh menyergapnya lagi dan menjatuhkannya, tapi Micky berhasil mempertahankan tongkatnya.
Sementara Micky berusaha berdiri, Hugh menyerangnya.
Tapi Hugh dua puluh tahun tidak pernah melayangkan tinjunya lagi, jadi pukulannya meleset.
Micky memukul kepalanya dengan tongkat.
Sakit sekali.
Micky memukulnya lagi.
Hugh menjadi mata gelap.
Ia berteriak marah, menyerbu ke arah Micky, dan menghajar wajahnya.
Mereka berdua terhuyung-huyung dan terengah-engah.
Tiba-tiba terdengar suara peluit kondektur, menandakan kereta akan berangkat ke London.
Micky tertegun sejenak.
Hugh segera menduga musuhnya merencanakan lari dengan kereta itu.
Tepat sekali.
Micky segera membalikkan badan, berlari menuju stasiun.
Hugh mengejar di belakangnya.
Micky bukan pelari yang gesit.
Kehidupan malam telah merusak stamina dan kondisi fisiknya; sama saja dengan Hugh yang sepanjang kariernya selalu duduk di belakang meja.
Keduanya terengah-engah menarik napas.
Ketika keduanya menerobos masuk ke peron, seorang petugas stasiun berseru.
"Hei, mana karcis kalian?"
Hugh menjawab dengan berteriak parau, 'Tangkap pembunuh itu!"
Terlambat.
Micky sudah menggapai ujung kerangka gerbong akhir kereta.
Hugh belum mau menyerah.
Terus mengejar, diikuti oleh si petugas stasiun di belakangnya.
Kereta mulai berangkat.
Dengan putus asa Hugh mencoba merenggut kaki Micky.
Berhasil, tapi kemudian cengkeramannya lepas.
Ia jatuh, disusul oleh tubuh petugas stasiun yang menimpa bagian belakang tubuh Hugh.
Ketika Hugh berhasil bangun, dari jauh ia melihat Micky sedang membuka pintu belakang gerbong kereta dan melangkah masuk dengan tenang.
Si petugas stasiun juga berhasil bangun.
Sambil menyeka wajahnya yang kena salju, ia bertanya.
"Ada apa ini sebenarnya?"
Hugh terduduk di peron, napasnya masih berat. Terlalu lemah untuk menjawab. Akhirnya ia menjawab juga.
"Seorang pria baru saja ditembak."
Dengan menunjuk ke arah tubuh Tonio, ia berdiri dan menggamit lengan si petugas menuju lokasi kejahatan.
Dekat jembatan kereta di atas sungai.
Hugh berlutut di dekat jenazah sahabatnya.
Wajah Tonio hancur karena peluru pistol yang kena tepat di antara kedua matanya.
"Oh, Tuhan!"
Komentar si petugas dengan kaget.
Hugh, sambil menelan ludah, mencoba memeriksa denyut jantung sobatnya.
Tangannya meraba di balik jas.
Tak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun.
Ia teringat ketika Tonio riang bermain perang air dengannya di tengah danau, dua puluh empat tahun yang lalu, di Bishop's Wood.
Tak terasa air matanya menetes.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Duduk di samping jenazah sobatnya, Hugh mencoba menganalisis tragedi pagi ini.
Jelas Micky tahu kedatangan Tonio di London.
Mata-matanya di Kementerian Luar Negeri pasti sudah membisikkan bahwa Tonio telah menyerahkan surat kuasa sebagai duta besar pengganti Micky.
Ini berarti hari-harinya sebagai duta besar Kordoba tinggal satu atau paling lama dua hari.
Merasa putus asa, ia merencanakan membunuh Tonio.
Jika berhasil, Presiden Garcia tidak akan punya wakil untuk memperjuangkan kepentingannya di Inggris.
Micky jadi bebas mewakili Papa, tetap sebagai duta besar Kordoba.
Merasa ketakutan, ia mencoba mencari jejak Tonio.
Mungkin ia mengupah seseorang untuk mengikuti jejak Tonio atau ia diberitahu oleh Augusta.
Yang jelas, ia tahu Tonio pergi ke rumah Hugh di kawasan Chingford.
Untuk menyusul ke rumah Hugh pasti berbahaya.
Terlalu banyak saksi mata.
Maka, dengan keyakinan bahwa ke mana pun Tonio pergi ia pasti kembali ke London dengan kereta api, Micky menunggu di stasiun dengan sabar.
Micky selalu bertindak nekat jika sudah terdesak.
Dan ia nyaris berhasil.
Selain harus membunuh Tonio, ia juga mesti menyingkirkan Hugh.
Kalau semuanya berjalan lancar, tak seorang pun akan mengetahui perbuatannya.
Kawasan Chingford tidak punya telegram atau telepon, dan sarana transportasi tercepat adalah kereta api, jadi ia bisa kembali ke London sebelum Śperistiwa itu dilaporkan.
Salah satu staf setianya sudah siap dengan alibi kepada pihak berwajib.
Tapi rencana tinggal rencana.
Tuhan menetapkan lain.
Hugh selamat dan menjadi saksi hidup.
Dan secara teknis, Micky bukan lagi diplomat yang kebal hukum.
Ia bisa digantung karena perbuatannya.
Hugh juga tahu soal ini.
Dengan tegas ia berkata.
"Kita harus segera melaporkan pembunuhan brutal ini ke pihak berwajib!"
"Ya, benar,"
Komentar si petugas stasiun.
"Ada pos polisi di Walthamstow, beberapa ratus meter dari sini."
"Kapan ada kereta lagi?"
Si petugas mengambil jam saku ukuran besar dan menjawab.
"Empat puluh tujuh menit lagi."
"Kita harus segera bertindak. Anda ke polisi dan aku ke London, melaporkan keScotland yard."
"Wah, aku tidak bisa. Tidak ada petugas lain di stasiun. Ini kan malam Natal."
"Aku yakin-atasan Anda akan mengerti jika Anda bertindak sebagai pelayan masyarakat."
"Ya, Anda benar. Terima kasih telah mengingatkan akan tugas mulia ini."
"Sekarang kita pindahkan dulu tubuh temanku ini. Ada tempat di stasiun?" .
"Hanya di ruang tunggu."
"Oke, kita letakkan dulu di sana. Tolong bantu aku mengangkat kakinya."
Mereka berdua mengangkat mayat Tonio Silva ke ruang tunggu stasiun.
Mereka membaringkannya di bangku.
Sambil menunggu kedatangan kereta, dan karena tidak ada yang harus dikerjakan, Hugh hanya mondar-mandir di dekat jenazah Tonio.
Si petugas sebentar memandang jenazah, sebentar memandang Hugh yang sedang memegang-megang belakang kepalanya yang sakit terkena pukulan tongkat Micky.
[II] MICKY pergi menyelamatkan diri.
Nasib baik mulai meninggalkan dirinya.
Selama dua puluh lima tahun ini ia sudah mencabut empat nyawa, dan yang terakhir ini, ada saksi mata hidup.
Hugh Pilaster.
Saksi mata yang menyaksikan bagaimana ia menembak kepala Tonio Silva di pagi cerah.
Ia harus segera meninggalkan Inggris, kalau tidak mau mati di tiang gantungan.
Sekarang ia menjadi buronan.
Dicari pihak berwajib di seluruh penjuru London yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama seperempat abad.
Di Stasiun Liverpool ia bergegas sambil menghindari polisi.
Napasnya sesak dan jantungnya berdebar.
Cepat-cepat ia naik ke sebuah kereta sewaan.
Ia langsung menuju Gold Coast & Mexico Steamship Company, agen pelayaran Eropa-Amerika Latin.
Tempat itu penuh sesak dengan orang-orang Amerika Latin.
Ada yang mau membeli tiket kapal ke Kordoba, ada yang mau menjemput sanak saudara, ada juga yang hanya mau menanyakan kabar.
Dengan susah payah akhirnya ia bisa juga sampai di depan loket tiket.
Pakaiannya yang mahal dan rapi menarik perhatian penjual tiket.
"Aku akan beli tiket kapal ke Kordoba, malam ini juga"
"Tak ada kapal ke sana, ada perang,"
Tukas si penjual.
"Tapi kalian kan tidak menghentikan semua kapal?"
Tanya Micky sinis.
"Kami jual tiket ke Lima, Peru. Kapalnya akan berangkat ke Palma kalau situasi politik sudah aman. Keputusan pergi ke sana akan dilakukan di Lima nanti."
Tidak apa, Lima juga oke. Yang penting ia bisa keluar dari Inggris secepatnya.
"Kapan berangkatnya?"
"Empat minggu lagi."
Jantungnya serasa berhenti.
"Wah, terlalu lama. Aku perlu pergi secepatnya."
"Ada kapal dari Southampton malam ini, jika Anda benar-benar tergesa-gesa harus pergi."
Terima kasih, Tuhan! Nasib baiknya ternyata belum lenyap sama sekali.
"Baik, aku beli kelas terbaik yang masih ada."
"Baik. Boleh kucatat nama Anda?"
"Miranda."
"Maaf, siapa?"
Orang Inggris tuli jika sudah menyangkut nama asing. Micky segera mengganti nama.
"Andrews, M.R. Andrews."
Baru saja terlintas di benaknya kalau dia memakai nama asli, pasti Scotland Yard akan mudah melacaknya degan memeriksa daftar nama penumpang kereta api dan kapal.
Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Pengemis Binal Bidadari Lentera Merah Pendekar Rajawali Sakti Ratu Bukit Brambang