Kekayaan Yang Menyesatkan 2
Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 2
Augusta tak ingin Samuel mengambil alih.
Ia menginginkan pekerjaan itu bagi suaminya, Joseph, yang dari garis keturunan adalah keponakan Seth.
Ia melihat sekilas melalui jendela ruang duduk.
Empat mitra Pilasters Bank sedang berkumpul di teras.
Tiga orang dari keluarga Pilaster.
Seth, Samuel, dan Joseph penganut Methodist pada awal abad kesembilan belas, senang memakai nama-nama dari Alkitab.
Old Seth yang tampak seperti orang jompo, tengah duduk dengan selembar selimut di atas lututnya.
Hidupnya tampak tak lagi berguna.
Di sampingnya adalah putranya.
Samuel tidak menonjol seperti ayahnya.
Ia memiliki hidung betet yang sama, namun bentuk mulutnya agak lembut, dengan gigi jelek.
Menurut tradisi, ia lebih pantas menjadi pengganti Mitra Senior, karena ia mitra tertua setelah Seth.
Suami Augusta, Joseph, tengah berbicara, menyampaikan buah pikirannya pada paman dan sepupunya dengan gerakan-gerakan pendek tangannya yang menggambarkan ketidaksabaran.
Joseph juga memiliki hidung betet Pilaster, namun ciri-ciri fisik lainnya agak kurang serasi, apalagi rambutnya tampak semakin menipis.
Mitra keempat berdiri di belakang, asyik mendengarkan dengan lengan terlipat.
Ia adalah Mayor George Hartshorn, suami adik Joseph, Madeleine.
Sebagai mantan perwira Angkatan Darat, ia mempunyai parut yang menonjol di dahinya, akibat luka yang dideritanya dua puluh tahun silam dalam Perang Krim.
Namun, ia bukan pahlawan.
kudanya ketakutan melihat mesin uap, perwira itu jatuh, dan kepalanya membentur roda gerbong dapur.
Ia telah pensiun dari Angkatan Darat dan ikut bekerja di bank keluarga itu ketika mengawini Madeleine.
Ia orang yang ramah dan mengikuti saja pendapat orang lain, dan ia tidak cukup pintar untuk mengurus bank keluarga; lagi pula mereka belum pernah mempunyai Mitra Senior yang namanya bukan Pilaster.
Jadi, sekarang, calon-calon serius tinggal Samuel dan Joseph.
Secara teknis, keputusan diambil melalui pemungutan suara di antara para mitra.
Secara tradisi, keluarga itu biasanya mencapai konsensus.
Dalam kenyataan, Augusta bertekad untuk menggunakan caranya sendiri.
Tapi jelas hal itu tidak mudah.
Mitra Senior Bank Pilaster adalah salah satu dari orang paling penting di dunia.
Keputusannya untuk memberikan pinjaman bisa menyelamatkan sebuah monarki; penolakannya dapat menyulut suatu revolusi.
Bersama-sama dengan sekelompok lainnya J.P.
Morgan, keluarga Rothschild, Ben Greenbourne ia menggenggam kemakmuran bangsa-bangsa dalam tangannya.
Para kepala negara menyanjungnya, para perdana menteri berkonsultasi dengannya, para diplomat mengunjunginya, dan mereka semua mencoba mengambil hati istrinya.
Joseph mengincar pekerjaan itu, namun tak mampu menyamarkan keinginannya.
Augusta takut suaminya, akan membiarkan peluang itu lepas begitu saja.
Jika dibiarkan bertindak sendiri, akan mengatakan terus terang keinginannya menjadi mitra senior, lalu membiarkan yang lain memutuskan.
Tak pernah terlintas dalam kepalanya untuk melakukan kecurangan terse-lubung, misalnya dengan mencoba menjatuhkan pamor atau nama baik pesaingnya.
Augusta mesti menemukan cara untuk melakukan itu demi kepentingan suaminya.
-Tidak sulit baginya mengenali kelemahan Samuel.
Pada usia lima puluh tiga, ia masih lajang, dan tinggal dengan seorang pemuda yang disebutnya "sekretaris"-nya.
Sampai sekarang keluarga besar itu tidak menaruh perhatian pada urusan mmah tangga Samuel, namun Augusta masih bertanya-tanya, apakah ia dapat mengubah itu semua.
Samuel mesti ditangani dengan cermat.
Pria itu cerewet.
Ia akan mengganti semua pakaiannya kalau ada setetes anggur^ mengotori celananya; tapi ia tidak lemah dan tak bisa diintimidasi.
Serangan langsung bukanlah cara yang tepat untuk menjatuhkannya.
Augusta tidak menyesal jika harus merusak nama Jbaik Samuel.
Ia tak pernah menyukai lelaki tua lajang itu.
Samuel kadang-kadang-seolah meremehkannya, dan memiliki cara untuk menolak menanggapinya dengan serius.
Hal itu membuat Augusta kesal.
Sementara mondar-mandir di antara para tamunya, Augusta mencoba melupakan kejengkelannya pada keponakannya, Hugh, yang tak mau dijodohkan dengan gadis yang cocok baginya.
Anggota keluarga Pilaster yang satu ini memang menjengkelkan, Augusta tak akan membiarkan hal itu mengalihkannya dari masalah yang lebih penting menangani Samuel.Dari jauh ia melihat ipar perempuannya, Madeleine Hartshorn, di aula.
Madeleine yang malang, orang bisa langsung tahu bahwa ia saudara perempuan Joseph, m sebab ia memiliki hidung Pilaster.
Pada sebagian laki-laki dalam keluarga Pilaster, hidung semacam itu bisa membuat mereka tampak menonjol, namun di wajah seorang wanita, hidung betet seperti itu membuatnya kelihatan lucu dan kaku.
Dulu Madeleine dan Augusta bersaing.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika Augusta baru menikah dengan Joseph, Madeleine kesal karena perhatian keluarga mulai tertuju pada Augusta, apalagi Madeleine sendiri tidak memiliki daya tarik atau kemampuan seperti Augusta mengatur perkawinan dan pemakaman, menjadi perantara, menjadi juru damai sengketa, dan mengorganisasikan santunan bagi yang sakit, ibu-ibu yang hamil, dan bagi yang berkabung.
Sikap Madeleine nyaris menimbulkan perpecahan dalam keluarga.
Kemudian ia jatuh menjadi mangsa Augusta.
Pada suatu siang, Augusta masuk ke sebuah-toko eksklusif yang menjual barang-barang perak di Bond Street dan memergoki Madeleine menyelinap ke belakang toko.
Augusta sengaja berlama-lama, pura-pura agak ragu memilih perlengkapan pembakar roti, hingga ia melihat seorang pemuda tampan menempuh rute yang sama.
Ia pernah mendengar kamar-kamar di atas toko semacam ini digunakan untuk pertemuan romantis, dan kini ia hampir yakin bahwa Madeleine terlibat dalam suatu hubungan cinta.
Selembar uang kertas lima poundsterling berhasil membujuk pemilik toko yang bernama Mrs.
Baxter untuk mengungkapkan nama pemuda itu, Viscount Tremain.
Augusta benar-benar shock, tapi yang mula-mula terlintas dalam pikirannya adalah apa yang mungkin dilakukan oleh Madeleine dengan Viscount Tremain bukan tak mungkin dilakukan Augusta dengan Micky Miranda.
Nnmun itu tentu saja mustahil.
Selain itu, seandainya Madeleine ketahuan, hal yang sama mungkin juga terjadi atas Augusta.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dari segi sosial, kejadian itu bisa menghancurkan nama baik Madeleine.
Laki-laki yang terlibat dalam skandal cinta dianggap keji, namun romantis, tapi wanita yang melakukan hal serupa akan dicap sebagai pelacur.
Kalau rahasianya terbongkar, ia akan dikucilkan masyarakat dan keluarganya akan menanggung malu.
Mula-mula Augusta berniat memanfaatkan rahasianya untuk mengendalikan Madeleine dengan mengancam akan membeberkan skandalnya.
Namun itu akan membual Madeleine memusuhinya untuk selamanya.
Tindakan bodoh menambah musuh tanpa ada perlunya.
Mesti ada jalan untuk membuat Madeleine tak berdaya, sekaligus menjadikannya sekutu.
Setelah berpikir panjang, ia menyusun suatu strategi.
Daripada mengintimidasi Madeleine dengan informasi itu, Augusta pura-pura berpihak kepadanya.
Dalam sebuah kesempatan berduaan, ia membisiki Madeleine.
"Pesan bagi orang bijak, Madeleine yang baik,"
Katanya.
"Mrs. Baxter tak bisa dipercaya. Bilang pada viscount-mu untuk mencari tempat pertemuan yang lebih aman."
Madeleine memohon padanya agar merahasiakan hal itu dan sangat berterima kasih ketika Augusta dengan ikhlas berjanji akan tutup mulut untuk selamanya.
Semenjak kejadian itu, tak ada lagi persaingan di antara mereka.
Kini Augusta memegang tangan Madeleine sambil berkata.
"Ayo melihat-lihat kamarku. Kurasa kau akan menyukainya."
Di lantai pertama rumah itu terdapat kamar tidur dan kamar rias Augusta, kamar tidur dan kamar rias Joseph, serta sebuah kamar kerja.
Ia menuntun Madeleine ke kamar tidurnya, menutup pintu, dan menunggu reaksinya.
Augusta telah mengisi kamar itu dengan seperangkat perabot gaya Jepang, dengan kursi-kursi berukir, kertas pelapis dinding bermotif bulu merak, dan seperangkat barang dari porselen di atas rak perapian.
Ada sebuah lemari besar berlukiskan motif Jepang, dan kursi dekat jendela di ceruk kamar yang sebagian terlindung oleh tirai bermotif capung.
"Augusta, tata ruang kamar ini berani sekali!"
Ujar Madeleine.
"Terima kasih."
Augusta sangat puas dengan interior kamarnya.
"Ada bahan tirai yang lebih baik sebenarnya, tapi toko Liberty sudah kehabisan stok. Ayo kita melihat-lihat kamar Joseph."
Ia membawa Madeleine melalui pintu penghubung.
Kamar tidur Joseph diisi dengan versi yang lebih moderat, meski gayanya sama, dengan kertas kulit warna gelap di dinding dan tirai brokat.
Augusta terutama bangga akan lemari peraga mengilat yang berisi koleksi suaminya kotak-kotak bubuk tembakau bertatah permata."Joseph itu eksentrik sekali,"
Ujar Madeleine sambil melihat kotak-kotak itu.
-Augusta tersenyum.
Suaminya sama sekali tidak eksentrik, tapi memang aneh juga bagi seorang pengusaha bijak penganut Methodist untuk mengoleksi benda yang tidak begitu penting dan indah, hingga seluruh keluarga merasa lucu melihatnya.
"Kata Joseph, benda-benda itu merupakan investasi,"
Kata Augusta. Sebenarnya seuntai kalung berlian untuk dirinya juga bisa dianggap investasi yang bagus, tapi suaminya tak pernah membelikannya barang-barang seperti itu, karena kaum Methodist menganggap perhiasan sebagai kemewahan yang mubazir.
"Laki-laki harus punya hobi,"
Kata Madeleine.
"Hal itu akan melepaskannya dari keisengan yang merusak hubungan suami-istri."
Keisengan yang membawanya keluar-masuk rumah-rumah bordil.
Ini yang dimaksud Madeleine.
Sindiran itu mengingatkan Augusta akan maksudnya.
Dengan lembut sekali ia mulai menjalankan taktik liciknya.
'"Madeleine yang baik, apa yang akan kita lakukan terhadap sepupu kita Samuel dan "sekretaris"-nya?"
Madeleine tampak bingung.
"Haruskah kita melakukan sesuatu?"
"Harus, kalau Samuel akan menjadi Mitra Senior."
"Mengapa?"
"Sayangku, Mitra Senior Pilasters Bank harus bertemu dengan para duta besar, kepala negara, bahkan kerabat raja. Kehidupan pribadinya harus sangat, sangat tidak tercela."
Madeleine mulai mengerti dan ia tersipu.
"Tentunya kau tidak menyiratkan bahwa Samuel dalam satu segi... bejat?"
Justru itulah yang disiratkan oleh Augusta, tapi ia tak mau mengatakannya terang-terangan, takut akan mendorong Madeleine untuk membela sepupunya.
"Rasanya aku tidak akan pernah tahu,"
Katanya, mencoba menyembunyikan sesuatu.
"Yang penting adalah pendapat orang lain."
Madeleine tidak yakin. '"Kau benar-benar mengira orang menganggap dia... seperti itu?"
Augusta memaksakan diri bersabar menghadapi kepekaan Madeleine.
"Sayangku, kita berdua sudah menikah, dan kita tahu seperti apa laki-laki itu. Mereka memiliki selera hewan. Dunia beranggapan sangat tidak pantas seorang lelaki lajang berusia lima puluh tiga tahun tinggal dengan seorang pemuda ganteng, dan Tuhan tahu bahwa dalam banyak hal, anggapan dunia itu mungkin ada benarnya."
Madeleine mengerutkan keningnya, tampak cemas. Sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, terdengar ketukan di pintu dan Edward masuk.
"Ada apa, Ibu?"
Tanyanya. Augusta kesal oleh interupsi itu dan tidak mengerti maksud Edward.
"Apa maksudmu?"
"Ibu memanggilku."
"Aku tidak memanggilmu. Tadi kau kusuruh mengantar Lady Florence melihat-lihat taman."
Edward tampak tersinggung.
"Kata Hugh tadi, Ibu ingin bertemu aku!"
Augusta mengerti sekarang.
"Kata dia? Kukira dia sedang mengantar Lady Florence melihat-lihat taman sekarang?"
Edward mengerti apa yang dimaksudkan ibunya.
"Aku yakin begitulah,"
Katanya, dan ia tampak tersinggung.
"Harap Ibu jangan marah padaku."
Hati Augusta luluh seketika.
"Jangan cemas. Teddy sayang,"
Katanya.
"Hugh memang licik."
Tapi kalau ia mengira dapat membodohi Bibi Augusta-nya, Hugh juga tolol.
Interupsi ini mengesalkannya, tapi ia sudah cukup banyak bicara pada Madeleine tentang sepupunya Samuel.
Pada tahap ini, ia hanya ingin menanamkan benih keraguan.
kalau lebih dari itu, mungkin terlalu keras akibatnya.
Ia memutuskan untuk membiarkannya mengambang dulu.
la mengantar ipar dan anaknya keluar dari kamar sambil berkata.
"Sekarang aku harus kembali pada tamu-tamuku."
Mereka berjalan menuruni tangga.
Pesta itu berjalan lancar, kalau dilihat dari ingar-bingar percakapan, derai tawa, dan denting sendok teh perak di pirjng porselen kecil.
Augusta memeriksa ruang makan sebentar, tempat para pelayan menyiapkan salad udang galah, kue-kue, dan minuman dingin.
Kemudian ia melintasi aula.
berbicara sedikit pada setiap tamu yang menarik perhatiannya, namun matanya mencari seseorang...
ibu Florence, Lady Stalworthy.
Ia cemas akan kemungkinan Hugh mengawini Florence.
Prestasi kerja Hugh di Bank sudah sangat bagus.
Ia memiliki otak bisnis cemerlang dan keahlian memikat nasabah.
Bahkan Joseph sendiri pernah mengatakan bahwa Hugh memang sangat berbakat menjadi bankir, seakan ia lupa bahwa Hugh bisa menjadi ancaman bagi anaknya sendiri, Edward.
Perkawinan dengan putri seorang earl akan memberikan status sosial pada Hugh.
Sudah tentu ia akan menjadi pesaing yang sangat berbahaya bagi Edward.
Teddy tercinta tidak memiliki daya tarik seperti Hugh atau kepintaran mengolah angka-angka, jadi Edward membutuhkan semua pertolongan yang dapat diberikan Augusta padanya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia menemukan Lady Stalworthy sedang berdiri dekat jendela ceruk ruang duduk.
Ia seorang wanita cantik setengah baya, mengenakan gaun merah muda dan topi jerami kecil yang ditaburi bunga sutra.
Augusta bertanya-tanya dalam hati dengan cemas, bagaimana perasaan wanita ini tentang Hugh dan Florence.
Hugh bukanlah tangkapan besar, tapi dari sudut pandang Lady Stalworthy, pemuda itu bukan bencana.
Florence adalah putri bungsunya.
Kedua anak perempuannya yang lain sudah berkeluarga dengan pria-pria kaya, karenanya Lady Stalworthy mungkin agak memanjakan putri bungsunya.
Augusta harus mencegah hal itu.
Tapi bagaimana? Ia berdiri di samping Lady Stalworthy dan melihat wanita ini tengah memperhatikan Hugh dan Florence di taman.
Hugh sedang menerangkan sesuatu dan mata Florence tampak berkilau senang.
"Anak-anak muda itu tampaknya bahagia sekali,"
Kata Augusta.
"Hugh kelihatannya baik,"
Kata Lady Stalworthy.
Augusta menatap wanita itu sesaat.
Lady Stalworthy memperlihatkan senyum manis di wajahnya.
Dulu ia pasti secantik putrinya, demikian dugaan Augusta.
Kini ia mungkin tengah asyik mengenang masa mudanya sendiri.
Wanita ini perlu disadarkan dari mimpinya dengan suatu pukulan telak, pikir Augusta.
"Cepat sekali berlalu, hari-hari yang bebas dari rasa cemas."
"Tapi hari-hari itu indah sekali."
Sekaranglah waktunya menuangkan racun.
"Ayah Hugh meninggal dunia, seperti telah Anda ketahui,"
Kata Augusta.
"Dan ibunya hidup dengan tenang di Folkestone, karenanya Joseph dan saya merasa wajib menjadi orangtua asuhnya."
Ia diam sejenak.
"Saya rasa tak perlu mengatakan bahwa pertalian dengan keluarga Anda akan merupakan kemenangan luar biasa bagi Hugh."
"Baik sekali Anda, berkata begitu,"
Kata Lady Stalworthy, seakan-akan ia telah dipuji.
"Keluarga Pilaster sendiri adalah keluarga terpandang."
"Terima kasih. Kalau Hugh bekerja keras, suatu hari nanti dia akan hidup enak."
Lady Stalworthy agak terkejut.
"Kalau begitu, ayahnya tidak meninggalkan apa-apa?"
"Tidak."
Augusta merasa perlu memberitahu wanita itu bahwa Hugh tidak akan memperoleh uang dari paman-pamannya bila ia menikah nanti. Katanya lagi.
"Dia harus bekerja keras meniti jenjang kariernya di bank keluarga ini dan hidup dari gajinya."
"Ah, begitu?"
Kata Lady Stalworthy, wajahnya menunjukkan kekecewaan.
"Untunglah Florence memiliki sedikit simpanan."
Augusta terenyak.
Jadi, Florence mempunyai uang sendiri.
Celaka.
Augusta bertanya dalam hati, berapa banyak uang simpanannya.
Keluarga Stalworthy tidaklah sekaya keluarga Pilaster sedikit sekali orang yang sekaya keluarga ini namun mereka hidup nyaman, Augusta percaya itu.
Selain itu, kemiskinan Hugh tidak cukup untuk membuat Lady Stalworthy berbalik menentang pemuda itu.
Augusta harus mengambil tindakan yang lebih keras.
"Florence akan banyak menolong Hugh... dalam memberikan pengaruh yang baik, saya yakin."
"Ya,"
Kata Lady Stalworthy. Karena tidak begitu mengerti, ia mengerutkan keningnya.
"Memberikan pengaruh baik? Maksud Anda?" ť Augusta ragu-ragu. Hal semacam ini berbahaya, namun risiko harus diambil.
"Saya tak pernah mendengarkan gosip, dan saya yakin Anda pun demikian,"
Katanya.
"Tobias bernasib malang, itu tidak diragukan lagi, tapi Hugh hampir tidak menunjukkan tanda bahwa dia mewarisi kelemahan itu."
"Syukurlah,"
Kata Lady Stalworthy, namun wajahnya memperlihatkan rasa prihatin yang dalam.
"Tapi Joseph dan saya akan merasa bahagia sekali melihatnya menikah dengan gadis yang pintar seperti Florence. Dia akan bersikap tegas pada Hugh kalau..."
Suara Augusta semakin pelan.
"Saya..."
Lady Stalworthy menelan air liurnya.
"Tampaknya saya tak bisa mengingat, apa kelemahan ayahnya."
"Sebenarnya itu tidak benar."
"Tentu saja rahasia ini hanya antara Anda dan saya."
"Sebenarnya saya tidak patut mengungkit masalah ini."
"Tapi saya mesti tahu segalanya, demi kepentingan putri saya. Saya yakin Anda bisa mengerti."
"Berjudi,"
Kata Augusta dengan suara direndahkan. Ia tak ingin hal ini sampai terdengar orang lain, di sini pasti ada yang tahu bahwa ia berbohong.
"Itulah yang menyebabkannya bunuh diri. Memalukan sekali."
Semoga keluarga Stalworthy tidak akan merepotkan diri mengecek kebenaran kisah ini, batinnya dengan seius.
"Saya kira bisnisnya gagal."
"Itu juga."
"Tragis sekali."
"Kami akui Joseph harus membayar utang Hugh sekali dua kali, tapi dia telah berbicara dengan tegas pada anak itu, dan kami yakin hal itu tak akan ulang lagi."
"Sungguh melegakan,"
Ujar Lady Stalworthy, namun ekspresi wajahnya menunjukkan cerita lain.
Augusta merasa ia sudah cukup banyak berbicara.
# Kepura-puraan bahwa ia mendukung pasangan itu jadi agak kentara.
Ia menatap lagi ke luar jendela.
Florence tengah menertawakan sesuatu yang diucapkan Hugh, melemparkan kepalanya ke belakang dan memperlihatkan giginya dengan cara agak...
tidak pantas.
Mata Hugh seakan-sckan mau menelan gadis itu.
Setiap orang di pesta itu dapat menyaksikan bahwa mereka saling tertarik.
"Kurasa tak lama lagi persoalan pemuda itu harus diselesaikan,"
Kata Augusta.
"Barangkali mereka sudah cukup lama berbicara sehari ini,"
Kata Lady Stalworthy dengan risau.
"Saya lebih baik campur tangan. Permisi."
"Silakan."
Lady Stalworthy bergegas ke taman.
Augusta merasa lega.
Ia telah berhasil melakukan suatu taktik beracun yang peka.
Pertama soal Samuel, lalu soal Hugh.
Lady Stalworthy sudah curiga pada Hugh sekarang, dan begitu seorang ibu merasa cemas menghadapi seorang pemuda, kemungkinan besar ia tidak akan menyetujui perkawinan dengan putrinya.
Augusta memandang ke sekeliling dan melihat Beatrice Pilaster, iparnya yang lain.
Joseph mempunyai dua saudara laki-laki.
yang satu Tobias, ayah Hugh, dan satunya lagi William, yang digelari Young William karena ia lahir dua puluh tiga tahun sesudah Joseph.
William kini berusia dua puluh lima tahun dan belum lagi menjadi mitra dalam bank keluarga itu.
Beatrice adalah istrinya.
Ia bagaikan seekor anak anjing besar, bahagia, kikuk, dan ingin menjadi teman setiap orang.
Augusta memutuskan untuk berbicara padanya tentang Samuel dan sekretarisnya.
Augusta mendatanginya dan berkala.
"Beatrice sayang, maukah kau melihat-lihat kamar tidurku?"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY [IV] MICKY dan ayahnya meninggalkan pesta dan berjalan kembali ke penginapan mereka di Camberwell.
Rute yang mereka tempuh seluruhnya melewati beberapa taman, mula-mula Hyde Park, kemudian Green Park, dan St.
James Park, hingga mereka mencapai sungai.
Mereka berhenti di tengah Westminster Bridge untuk beristirahat sejenak dan menikmati pemandangan.
Di pantai utara sungai terletak kota terbesar di dunia.
Ke hulu adalah gedung-gedung Parlemen yang dibangun meniru Westminster Abbey abad ketiga belas.
Letaknya saling berdekatan.
Ke hilir mereka bisa melihat taman-taman Whitehall, puri Duke Buccleuch, dan stasiun kereta api baru Charing Cross yang berupa bangunan besar dari batu bata .
Galangan-galangan kapal tidak terlihat, dan tak ada kapal-kapal besar yang bersandar saat ini, tapi sungai ramai dengan kapal-kapal kecil, tongkang, dan kapal pesiar; benar-benar suatu pemandangan menarik di bawah sinar matahari senja.
Pantai selatan mungkin merupakan pemandangan tersendiri.
Di situ terdapat tempat industri keramik, dan di lapangan-lapangan berlumpur banyak terdapat bengkel sederhana; kerumunan lelaki dengan wajah kelabu dan wanita-wanita berpakaian lusuh masih bekerja merebus tulang, memilah sampah, menyalakan tungku, dan menuangkan pasta ke dalam tuangan untuk membuat pipa saluran pembuangan dan cerobong yang dibutuhkan oleh kota yang berkembang pesat.
Baunya kuat menusuk hidung, bahkan sampai ke jembatan ini, seperempat mil jauhnya.
Gubuk-gubuk reyot tempat para pekerja itu tinggal memenuhi tempat di sekitar tembok-tembok puri Lambeth, tempat tinggal Uskup Agung Canterbury di London, bagaikan kotoran yang ditinggalkan air pasang tinggi pada kawasan pasang surut yang berlumpur.
Kendati dekat dengan puri Uskup Agung, daerah itu dikenal sebagai Kawasan Setan, mungkin karena api dan asap, para pekerja yang mondar-mandir, dan bau busuk itu mengingatkan orang akan neraka.
Tempat tinggal Micky berada di Camberwell, daerah pinggiran kota bergengsi di luar batas kawasan pembuatan keramik; namun ia dan ayahnya merasa ragu di jembatan itu, ragu untuk masuk ke Kawasan Setan.
Micky masih mengutuki si tua Seth Pilaster yang mengacaukan rencananya membeli senjata.
"Kita akan memecahkan masalah tentang pengapalan senapan itu, Papa,"
Katanya.
"Jangan cemaskan hal itu."
Papa angkat bahu.
"Siapa yang menghalangi kita?"
Tanyanya.
Pertanyaan sederhana, namun mempunyai makna dalam di kalangan keluarga Miranda.
Apabila menghadapi suatu problem yang tak dapat dipecahkan, mereka bertanya.
Siapa yang menghalangi kita? Arti sebenarnya adalah.
Siapa yang harus kita bunuh agar rencana kita terlaksana? Hal ini mengingatkan Micky pada semua kebiadaban hidup di Provinsi San'tamaria, pada semua legenda berlumur darah yang lebih suka dilupakannya.
cerita tentang bagaimana Papa menghukum wanita simpanannya yang tidak setia kepadanya dengan menodongkan senapan dan menarik pelatuknya; cerita tentang sebuah keluarga Yahudi yang membuka toko di sebelah toko Papa di ibu kota provinsi.
Papa membakar toko orang Yahudi itu hingga si pemilik toko, istri, dan anak-anaknya mati terbakar hidup-hidup; cerita tentang seorang kerdil yang berpakaian mirip Papa ketika ada karnaval dan membuat setiap orang tertawa dengan meniru cara berjalan Papa Papa mendatangi orang kerdil itu, mencabut pistol, dan menembak kepalanya.
Di Kordoba sekalipun hal ini tidaklah lazim, namun kebrutalan Papa yang nekat telah menjadikannya orang yang ditakuti.
Di Inggris, perbuatan seperti itu akan menjebloskannya ke penjara.
"Saya rasa kita tidak perlu melakukan tindakan drastis."
Kata Micky, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya dengan pura-pura setenang mungkin.
"Sekarang tidak perlu buru-buru."
Kata Papa.
"Musim dingin baru saja mulai. Tidak akan terjadi pertempuran hingga musim panas."
Ia memberikan tatapan keras pada Micky.
"Tapi aku harus mendapatkan senapan itu pada akhir bulan Oktober."
Tatapan itu membuat lutut Micky lemah lunglai. Ia bersandar pada tembok jembatan untuk memantapkan dirinya.
"Saya akan mengurusnya, Papa, jangan khawatir,"
Katanya cemas. Papa mengangguk, seolah-olah tak ada keraguan. Mereka diam sesaat. Di luar dugaan, Papa berkata.
"Aku ingin kau tinggal di London."
Micky lemas oleh kelegaan. Itulah yang diharapkannya. Berarti, ia telah melakukan sesuatu dengan benar.
"Saya rasa itu gagasan yang baik, Papa,"
Katanya, mencoba menyembunyikan rasa senangnya. Kemudian Papa menjatuhkan bomnya.
"Tapi aku tidak akan memberimu uang belanja lagi."
"Apa?"
"Keluarga tidak bisa menanggung biaya hidupmu. Kau harus mencarinya sendiri."
Micky terkejut.
Kekikiran Papa sama legendarisnya dengan kekerasannya, tapi hal satu ini benar-benar di luar dugaan.
Keluarga Miranda kaya.
Papa memiliki ribuan ekor sapi, memonopoli semua transaksi kuda di wilayah yang sangat luas.
menyewakan tanah pada petani-petani kecil, dan memiliki sebagian besar toko di Provinsi Santamaria.
Benar, tidak banyak yang bisa dibeli di Inggris dengan uang mereka.
Di negara mereka, satu dolar perak Kordoba cukup untuk membeli makanan enak dalam jumlah besar, sebotol rum, dan menghabiskan malam dengan seorang WTS; di Inggris, uang sejumlah itu hampir tidak cukup untuk menikmati makanan murah dan segelas bir kelas ringan.
Perkataan Papa benar-benar sebuah pukulan bagi Micky.
Kiriman uang keluarganya ketika dia menuntut ilmu di Windfield saja sudah pas-pasan sekali.
Hanya saja ketika itu ia berhasil menutupi belanjanya dengan bermain kartu, tapi sulit baginya menutup biaya hidup sehari-hari, sampai dia berteman dengan Edward.
Bahkan sekarang Edward masih membayar hiburan mahal yang mereka nikmati bersama.
pertunjukan opera, kunjungan ke gelanggang pacuan kuda, berburu, dan main dengan WTS.
Meskipun demikian, Micky masih memerlukan penghasilan pokok untuk membayar sewa tempat tinggal, pakaian, iuran klub yang merupakan unsur esensial kehidupan kota London, dan tip untuk para pelayan.
Bagaimana Papa mengharapkannya mendapatkan semua itu? Bekerja? Gagasan itu mengejutkan.
Tak ada anggota keluarga Miranda yang bekerja demi upah atau gaji.
Ia ingin bertanya, bagaimana ia diharapkan bertahan hidup tanpa uang kiriman, ketika Papa tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan dan berkata.
"Aku mau mengatakan padamu, untuk apa senapan itu. Kita akan merebut padang pasir."
Micky tidak mengerti.
Tanah keluarga Miranda mencakup suatu daerah luas Provinsi Santamaria.
Berbatasan dengan tanah mereka adalah lahan yang lebih kecil milik keluarga Delabarca.
Di utara kedua lahan itu ada tanah yang begitu gersang, sehingga baik Papa maupun tetangganya tak pernah merepotkan diri untuk mengklaimnya.
"Mengapa kita mengincar padang pasir itu?"
Tanya Micky.
"Di bawah pasir itu ada mineral yang disebut nitrat. Zat ini digunakan sebagai pupuk, jauh lebih baik ketimbang pupuk kotoran hewan. Nitrat ini bisa dikirim ke seluruh dunia dan dijual dengan harga tinggi. Aku ingin kau tinggal di London agar kau bisa mengurus penjualannya."
"Bagaimana kita tahu zat itu ada di situ?"
"Delabarca telah mulai menambangnya. Bahan pupuk ini telah membuat keluarganya kaya raya."
Micky merasa bersemangat. Hal ini bisa mengubah masa depan keluarga. Tentu saja tidak seketika; tidak cukup cepat untuk menyelesaikan problem bagaimana ia akan bertahan hidup tanpa uang belanja. Tapi dalam jangka panjang...
"Kita harus bertindak cepat,"
Kata Papa.
"Kekayaan berarti kekuasaan, dan keluarga Delabarca akan segera menjadi lebih kuat daripada kita. Sebelum itu terjadi, kita harus menghancurkan mereka."
BAB DUA SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Whitehaven House Kensington Gore London, S.W.
2 Juni 1873 Florence sayang, Di mana kau? Aku berharap dapat bertemu denganmu di pesta Mrs.
Bridewell, lalu di Richmond, kemudian di Muncasters' pada hari Sabtu...
namun kau tak ada di salah satu tempat itu pun! Tulislah surat padaku dan katakan kau masih hidup.
Yang sangat mencintaimu, Hugh Pilaster.
Park Lane No.
23 London, W.
3 Juni 1873 Kepada Yth.
Sdr.
Hugh Pilaster, Dengan hormat, Saya minta saudara berjanji untuk tidak berhubungan lagi dengan anak saya dalam keadaan apa pun.
Stalworthy.
Whitehaven House Kensington Gore London, S.W.
6 Juni 1873 Florence sayang.
Akhirnya kudapatkan kurir rahasia untuk menyelundupkan suratku untukmu.
Mengapa kau bersembunyi dariku? Apakah aku telah menghina kedua orangtuamu? Atau semoga tidak demikian menghinamu? Sepupumu Jane akan mengantarkan surat jawabanmu padaku.
Balaslah segera! Salam hangat, Hugh.
Stalworthy Manor Stalworthy Buckinghamshire 7 Juni 1873 Hugh sayang.
Aku dilarang menemuimu karena kau adalah penjudi seperti ayahmu.
Aku sungguh menyesal, tapi aku harus percaya bahwa orangtuaku tahu apa yang terbaik untukku.
Dengan sangat menyesal, Florence.
Whitehaven House Kensington Gore London, S.W.
8 Juni 1873 Ibunda sayang, Seorang gadis baru saja menolak cintaku karena Ayah adalah penjudi.
Benarkah itu? Mohon Ibu jawab segera.
Ananda harus tahu! Ananda tercinta, Hugh.
Wellington Villas 2 Folkestone Kent 9 Juni 1873 Anakku tersayang, Ayahmu bukan penjudi.
Ibu tak bisa membayangkan siapa yang mengatakan hal keji tentang mendiang ayahmu.
Uangnya ludes karena bisnisnya bangkrut, sebagaimana selalu diceritakan padamu.
Tak ada sebab lain.
Ibu berharap kau selalu sehat dan bahagia, sayangku, dan kekasihmu akan menerimamu.
Ibu tetap seperti dulu.
Adikmu Dorothy kirim salam.
Ibumu, Whitehaven House Kensington Gore London, S.W.
10 Juni 1873 Florence sayang, Aku yakin seseorang telah menceritakan hal yang salah padamu tentang ayahku.
Bisnisnya bangkrut, itu benar.
Bukan kesalahannya sendiri.
sebuah perusahaan besar bernama Overend & Gurney jatuh pailit dengan utang sebesar lima juta pound, dan sebagian besar kreditur mereka ambruk.
Beliau bunuh diri pada hari itu juga.
Tapi beliau tak pernah berjudi; begitu juga aku.
Kalau kaujelaskan hal ini pada ayahmu yang terhormat, persoalan akan menjadi beres.
Salam, Hugh.
Stalworthy Manor Stalworthy Bucking hams h ire 11 Juni 1873 Hugh, Tak ada gunanya menulis tentang kebohongan padaku.
Kini aku tahu pasti nasihat orangtuaku padaku benar, dan aku harus melupakanmu.
Florence.
Whitehaven House Kensington Gore London, S.W.
12 Juni 1873 Florence sayang, Kau harus mempercayaiku! Mungkin aku belum diceritai hal yang sebenarnya tentang ayahku, walaupun aku dengan tulus tak dapat meragukan ucapan ibuku, tapi sehubungan dengan diriku sendiri, aku tahu yang sebenarnya! Ketika berusia empat belas tahun, aku bertaruh satu shilling untuk kemenangan Derby dan aku kalah, dan sejak itu aku tidak pernah berjudi.
Kalau bertemu denganmu, akan mengucapkan sumpah.
Dengan penuh harapHugh.
FOLJAMBE & MERRIWEATHER, PENGACARA G R AYS'S INN LONDON, W.C.
13 Juni, 1873 Kepada Yth.
Mr.
Hugh Pilaster, Dengan hormat, Kami diperintahkan oleh klien kami Earl Stalworthy untuk mengharuskan Anda tidak lagi berhubungan dengan putrinya.
Dengan ini kami beritahukan bahwa yang mulia earl akan mengambil semua langkah yang diperlukan, termasuk perintah Pengadilan Tinggi untuk memberlakukan keinginannya dalam masalah ini, kecuali kalau Anda dengan segera tidak lagi melakukan hal tersebut.' Atas nam'a Foljambe & Merriweather, Albert C.
Merriweather.
Hugh, Dia memperlihatkan surat terakhirmu pada bibiku, ibunya.
Mereka telah membawanya ke Paris hingga akhir Musim London, kemudian mereka pergi ke Yorkshire.
Tak ada gunanya, dia tak lagi menyayangimu.
Maaf.
Jane.
[II] ARGYLL ROOMS adalah tempat hiburan paling populer di London, namun Hugh belum pernah pergi ke sana.
Belum pernah terlintas dalam benaknya untuk mendatangi tempat seperti itu.
kendati sebenarnya bukan rumah bordil, tempat itu mempunyai reputasi rendah.
Meskipun demikian, beberapa hari setelah Florence Stalworthy menolaknya, Edward secara tidak resmi mengundangnya untuk bergabung dengannya dan Micky, untuk menghadiri suatu malam pesta gila-gilaan, dan ia menerimanya.
Hugh tidak banyak menghabiskan waktunya dengan sepupunya.
Edward sejak dulu manja, suka mengacau, dan selalu lari dari tanggung jawab, menyuruh orang lain melakukan pekerjaannya.
Sejak dulu Hugh dijadikan kambing hitam dalam keluarga, persis seperti yang dialami almarhum ayahnya.
Mereka tidak banyak memiliki persamaan.
Kendati demikian, Hugh memutuskan untuk mencoba mencicipi kenikmatan yang berbahaya.
Tempat-tempat maksiat dan para wanita nakal merupakan gaya hidup ribuan orang Inggris kelas atas.
Barangkali mereka paling tahu.
mungkin inilah, jalan menuju kebahagiaan, bukannya cinta sejati.
Sesungguhnya ia tidak yakin apakah ia benar-benar mencintai Florence.
Ia marah karena orangtua gadis itu telah membuatnya tidak lagi mencintai Hugh, apa lagi karena alasannya adalah kebohongan keji tentang ayahnya.
Namun dengan agak malu ia menyadari bahwa ia tidak patah hati.
Ia acap kali memikirkan Florence, namun ia tetap bisa tidur nyenyak, makan lahap, dan memusatkan perhatian pada pekerjaannya tanpa kesulitan.
Apakah itu berarti ia tak pernah mencintai Florence? Gadis yang paling disukainya di dunia ini, selain adik perempuannya yang berumur enam tahun Dotty, SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY adalah Rachel Bodwin, dan Hugh pernah berpikir untuk mengawininya.
Apakah cinta itu? Ia tidak tahu.
Barangkali ia terlalu muda untuk mengerti cinta.
Atau mungkin ia belum mengalami mencintai seseorang.
Argyll Rooms terletak di sebelah gereja di Great Windmill Street, tak jauh dari Piccadilly Circus.
Edward membayar tiket masuk sebesar satu shilling per orang untuk mereka bertiga, dan mereka masuk ke dalam tempat hiburan itu.
Ketiganya mengenakan pakaian malam.
jas ekor warna hitam dengan lapel sutra, celana hitam bertepi sutra, rompi putih berpotongan rendah, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu putih.
Setelan Edward baru dan mahal.
yang dikenakan Micky agak lebih murah, tapi potongannya mengikuti mode; dan kepunyaan Hugh adalah pakaian peninggalan ayahnya.
Ruang dansa itu merupakan gelanggang.yang terang-benderang oleh lampu.
Cermin-cermin besar berlapis emas menambah semarakrtya cahaya lampu.
Lantai dansa penuh sesak dengan pasangan-pasangan, dan di belakang sekat keemasan berpola rumit, sebuah orkes yang setengah terlindung sedang memainkan irama palka yang bersemangat.
Beberapa pria mengenakan pakaian malam, yang menandakan mereka orang kelas atas yang sedang menghibur diri; namun sebagian besar memakai setelan siang hari berwarna hitam, yang menunjukkan mereka pegawai dan pengusaha kecil.
Di atas ruang dansa ada sebuah galeri remang-remang.
Edward menunjuk ke arah itu dan berkata pada Hugh.
"Kalau kau berkenalan dengan seorang gadis di sini, kau bisa membayar satu shilling lagi dan membawanya ke atas sana. tempat duduk mewah, lampu remang-remang, dan pelayan yang akan tutup mata."
Hugh merasa pusing, bukan saja karena lampu-lampu itu, tapi juga karena beberapa kemungkinan yang menggiurkan.
Di sekelilingnya adalah gadis-gadis yang datang ke sini semata-mata untuk mencari teman kencan! Sebagian datang dengan teman pria, namun yang lain datang sendiri, dengan niat berdansa dengan lelaki yang sama sekali belum mereka kenal.
Dan mereka semua mengenakan busana terbaik, gaun malam dengan kerangka penyangga, kebanyakan berpotongan leher sangat rendah, juga topi-topi paling menakjubkan.
Tapi Hugh melihat di lantai dansa mereka semua mengenakan jubah yang tidak mencolok.
Micky dan Edward telah meyakinkannya bahwa mereka bukanlah pelacur, tapi gadis-gadis biasa, pelayan tokot pelayan rumah, dan penjahit pakaian.
"Bagaimana kau berkenalan dengan mereka?"
Tanya Hugh.
"Tentu kau tidak sekadar menyapa mereka seperti perempuan jalanan?"
Edward menjawabnya dengan menunjuk seorang lelaki jangkung yang tampak menonjol dengan jas ekor dan dasi putih, la mengenakan semacam lencana dan tampak mengawasi jalannya acara dansa.
"Itu pembawa acara. Dia akan mengenalkanmu dengan seseorang kalau kau memberinya tip."
Suasana di situ aneh, tapi menggairahkan, campuran antara kesopanan dan kebebasan, demikian pendapat Hugh. Musik dansa polka berakhir dan sebagian dari mereka yang berdansa kembali ke meja. Edward menunjuk seseorang dan berseru.
"Sialan, itu Fatty Greenbourne!"
Hugh mengikuti jari telunjuk Edward dan melihat teman sekolah mereka dulu.
Tubuhnya yang tambun membuat rompi putih yang dikenakannya tampak sesak.
Dia menggamit seorang gadis yang sangat cantik.
Fatty dan teman gadisnya duduk dan Micky berkata perlahan.
"Mengapa kita tidak bergabung dengan mereka sebentar?"
Hugh ingin melihat gadis itu lebih dekat, jadi ia dengan sigap memberikan persetujuannya. Ketiga pemuda itu menerobos kerumunan, melintasi meja-meja.
"Selamat sore, Fatty!"
Ujar Edward dengan riang.
"Halo, sobat,"
Sahut Fatty.
"Orang memanggilku Solly sekarang,"
Ia menambahkan dengan ramah.
Hugh kadang-kadang melihat Solly di City, kawasan finansial London.
Sudah beberapa tahun Solly bekerja di kantor pusat bank keluarganya, yang tidak begitu jauh dari bank keluarga Pilaster.
Berbeda dengan Hugh, Edward baru bekerja beberapa minggu di City.
Itulah sebabnya ia belum pernah bertemu dengan Solly.
"Kami pikir-pikir ingin bergabung denganmu,"
Kata Edward santai, dan melemparkan pandang ingin tahu ke arah gadis itu. Solly berpaling pada teman gadisnya.
"Miss Robinson, kenalkan teman-teman sekolahku dulu. Edward Pilaster, Hugh Pilaster, dan Micky Miranda."
Reaksi Miss Robinson mengejutkan sekali. Wajahnya menjadi pucat pasi di balik pemerah pipinya dan ia berkata.
"Pilaster? Bukan satu keluarga dengan Tobias Pilaster?"
"Tobias Pilaster itu ayahku,"
Kata Hugh.
"Bagaimana Anda bisa tahu nama itu?"
Gadis itu dengan cepat menenangkan dirinya.
"Ayahku dulu bekerja di perusahaan Tobias Pilaster & Co. Waktu masih kecil, aku sering bertanya dalam hati, siapa Co itu."
Mereka tertawa, dan saat tegang pun berlalu. Ia menambahkan.
"Silakan duduk."
Ada sebotol sampanye di meja. Solly menuangkan sedikit untuk Miss Robinson dan meminta beberapa gelas kosong lagi.
"Wah, ini betul-betul reuni teman-teman lama di Windfield,"
Katanya.
"Tebak siapa lagi yang ada di sini. Tonio Silva."
"Di mana?"
Tanya Micky dengan cepat. Ia kelihatan tak senang mendengar Tonio ada di sini, dan Hugh bertanya dalam hati, mengapa. Di sekolah Tonio selalu takut pada Micky, ia ingat itu.
"Dia sedang berdansa,"
Kata Solly.
"Dia bersama teman Miss Robinson, Miss April Tilsley."
Miss Robinson berkata.
"Panggil aku Maisie. Aku bukan gadis yang formal."
Dan dia melemparkan kedipan menggoda pada Solly. Seorang pelayan membawa sepinggan udang galah dan meletakkannya di hadapan Solly. Solly melipat selembar serbet ke kerah kemejanya dan mulai makan.
"Kukira pemuda Yahudi tidak boleh makan udang,"
Ujar Micky santai dengan nada mengejek. Solly seperti biasa tidak mempan terhadap ucapan seperti itu.
"Aku makan makanan yang dihalalkan untuk orang Yahudi hanya kalau aku di rumah,"
Katanya. Maisie Robinson melemparkan tatapan marah ke arah Micky.
"Kami gadis Yahudi makan apa yang kami suka,"
Katanya, dan mengambil sepotong kecil lauk dari piring Solly.
Hugh heran bahwa gadis itu Yahudi, selama ini ia mengira orang Yahudi berkulit gelap.
Ia mengamati gadis itu.
Tubuhnya sangat pendek, tapi ia tampak lebih tinggi sekitar satu kaki karena rambutnya yang berwarna kuning kecokelatan ditata menjadi sanggul tinggi dan ditutupi topi besar yang dihiasi daun dan buah tiruan.
Di bawah topi besar itu, wajahnya yang kecil tampak lancang dan kedipan matanya yang hijau terkesan usil.
Belahan gaunnya yang berwarna cokelat kemerahan memperlihatkan bintik-bintik noda matahari di dadanya.
Umumnya noda bintik matahari tidak dianggap menarik, tapi entah kenapa mata Hugh nyaris tak bisa lepas dari pemandangan itu.
Setelah beberapa saat, Maisie merasakan tatapan mata pemuda itu dan membalasnya.
Hugh berpaling dengan senyum meminta maaf.
Hugh mengalihkan pikirannya dari dada berbintik itu dengan memperhatikan teman-temannya.
Banyak terjadi perubahan pada diri mereka dalam tujuh tahun terakhir ini.
Solly Greenbourne telah menjadi dewasa.
Kendati masih gemuk dan masih mudah tersenyum seperti dulu, sosoknya memancarkan kesan berwibawa dalam usianya yang sekitar dua puluh limaan.
Mungkin karena ia begitu kaya tapi Edward yang juga kaya tidak memiliki wibawa seperti dia.
Sollydisegani di pusat keuangan kota London; memang tidak sukar memperoleh rasa hormat apabila Anda merupakan ahli waris Greenbournes Bank.
Namun kalau si ahli waris adalah orang tolol, di belakangnya ia tetap saja akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Edward juga telah lebih tua, namun berbeda dengan Solly, ia belum matang.
Ia seperti anak kecil, selalu mencari kesenangan.
Ia tidak bodoh, tapi merasa sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya di bank, karena pikirannya menerawang ke acara berdansa, menenggak minuman keras, dan bermain judi.
Micky telah tumbuh menjadi pria tampan.
Matanya gelap, alisnya hitam, dan-rambut ikalnya dibiarkan agak panjang.
Pakaian malamnya bagus, tapi agak berani.
kerah dan ujung lengan jasnya terbuat dari beludru dan tepi kemejanya diberi renda.
Hugh melihat beberapa gadis yang duduk dekat mereka melemparkan lirikan kagum dan pandangan menggoda ke arah Micky.
Namun Maisie Robinson tidak senang padanya, dan menurut dugaan Hugh, itu bukan hanya karena pendapat Micky tentang pemuda Yahudi.
Ada kesan jahat pada diri Micky.
Sikap diamnya menimbulkan rasa takut.
Ia selalu waspada dan mampu menahan diri.
Ia tidak terbuka, jarang menunjukkan sikap ragu, ketidakpastian, atau kelemahan.
Tak pernah ia mengungkapkan perasaan hatinya kalau ia punya hati.
Hugh tidak percaya pada orang semacam Micky.
Dansa berikutnya berakhir.
Tonio Silva melangkah ke meja dengan Miss April Tilsley.
Hugh sudah beberapa kali bertemu dengan Tonio sejak mereka meninggalkan bangku sekolah, tapi kalaupun bertahun-tahun tidak ber-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY temu, ia dapat mengenali Tonio dengan seketika dari rambutnya yang berwarna wortel.
Mereka berdua kawan fkrab hingga hari yang menakutkan pada tahun 1866 itu, tatkala ibu Hugh datang memberitahukan bahwa ayahnya meninggal dunia, dan membawanya pergi dari sekolah.
Mereka adalah anak-anak nakal dari kelas empat, yang selalu berkelahi, tapi mereka masih bisa menikmati hidup, meskipun sering dihukum.
Hugh acap kali bertanya-tanya, selama bertahun-tahun, apa sebenarnya yang terjadi pada hari itu di tempat berenang di tambang batu dan pasir.
Ia tak pernah percaya cerita koran mengenai Edward yang mencoba menyelamatkan Peter Middleton, Edward tak punya nyali.
Tapi Tonio masih tidak mau membicarakan kejadian itu, dan satu-satunya saksi lain, Albert "Hump"
Cammel, telah pergi ke Cape Colony. Hugh mengamati wajah Tonio ketika ia berjabat tangan dengan Micky. Tonio kelihatan masih menyimpan rasa takut pada Micky.
"Apa kabar, Miranda?"
Katanya dengan suara biasa-biasa saja, namun ekspresinya memperlihatkan campuran rasa takut dan kagum.
Begitulah sikap yang mungkin ditunjukkan seseorang pada jagoan yang terkenal cepat naik darah.
Hugh menilai teman gadis Tonio, April, sedikit lebih tua daripada temannya, Maisie.
Ia tampak kurang ceria dan karenanya kurang menarik; namun Tonio tampak senang bersamanya.
Ia menyentuh lengan April, membisikkan sesuatu, dan membuatnya tertawa.
Hugh berpaling pada Maisie.
Gadis itu suka bicara dan periang.
Nada suaranya menunjukkan ciri aksen Inggris timur laut, tempat gudang milik Tobias Pilaster dulu berada.
Ekspresi gadis itu sangat memesona ketika ia tersenyum, merengut, mencibir, mengerutkan hidungnya yang mencuat ke atas, dan menggerakkan matanya.
Hugh memperhatikan, alis matanya tidak begitu hitam, dan ada bintik-bintik noda matahari di hidungnya.
Ke-96 cantikannya agak lain, tapi tak seorang pun memungkiri bahwa dialah gadis tercantik di ruang dansa itu.
Hugh terobsesi oleh pemikiran bahwa karena gadis itu berada di Argyll Rooms, mungkin ia mau berciuman, bercumbu, dan malah barangkali bercinta malam ini dengan salah satu pemuda yang mengelilingi meja ini.
Hugh berkhayal tentang berhubungan seksual dengan hampir setiap gadis yang ditemuinya.
Ia malu kalau mengingat sampai di mana dan berapa kali ia memikirkan hal itu.
Ia tahu bahwa bercinta hanya pantas dilakukan setelah menikah.
Padahal Maisie mungkin mau melakukannya malam ini! Gadis itu memergoki lagi mata Hugh yang sedikit liar, dan muncul perasaan kikuk dalam diri Hugh seperti kadang-kadang timbul bila ia sedang bersama Rachel.
Ia merasa Maisie bisa menebak apa yang ada dalam benaknya.
Hugh berpikir keras, mencari bahan pembicaraan, dan akhirnya bertanya.
"Apakah Anda sudah lama tinggal di London, Miss Robinson?"
"Baru tiga hari,"
Kata Maisie. Pertanyaanku terlalu umum, pikirnya, namun setidak-tidaknya mereka bicara.
"Belum lama!"
Katanya.
"Sebelumnya di mana?"
"Berkeliling,"
Kata Maisie, dan berpaling karena hendak berbicara dengan Solly.
"Ah,"
Hugh menggumam. Ucapannya itu tampaknya mengakhiri percakapan mereka, dan Hugh merasa kecewa. Sikap Maisie seolah-olah menunjukkan ia tidak senang pada Hugh. Namun April merasa iba padanya dan menjelaskan.
"Maisie ikut rombongan sirkus selama tiga tahun."
"Ya Tuhan! Kerja apa?"
Maisie berpaling lagi ke arah Hugh.
"Naik kuda tanpa pelana,"
Katanya.
"Berdiri di punggung kuda. meloncat dari satu kuda ke kuda lain. Melakukan semua trik menunggang kuda."
April menambahkan.
"Tentu memakai celana ketat."
Mengkhayalkan Maisie mengenakan celana ketat merupakan godaan yang tak bisa dilawan. Hugh menyilangkan kaki dan berkata.
"Bagaimana Anda sampai melakukan pekerjaan seperti itu?"
Maisie ragu, kemudian tampaknya membulatkan pikirannya. Ia duduk menghadap Hugh, dan di matanya terlihat kilatan berbahaya.
"Kejadiannya seperti ini,"
Katanya.
"Ayahku bekerja di perusahaan Tobias Pilaster and Co. Ayahmu menipu ayahku sebesar gaji satu ming-gu. Waktu itu ibuku sakit. Tanpa uang gaji itu, tidak ada pilihan lain. aku kelaparan atau ibuku meninggal. Jadi, aku kabur dari rumah. Umurku sebelas tahun waktu itu."
Hugh merasa wajahnya memerah.
"Aku tak percaya ayahku menipu orang,"
Katanya.
"Lagi pula kalau umurmu waktu itu sebelas tahun, mungkin kau belum mengerti apa yang terjadi."
"Aku mengerti perasaan lapar dan dingin!"
"Barangkali ayahmu salah,"
Hugh bersikeras, meski ia tahu hal itu tidak bijaksana.
"Mestinya ayahmu jangan punya anak kalau tidak bisa memberi makan mereka."
"Dia bisa memberi makan anak-anaknya!"
Ucap Maisie dengan marah.
"Dia bekerja seperti budak... lalu ayahmu mencuri uangnya!"
"Ayahku bangkrut, tapi dia tidak pernah mencuri."
"Sama saja kalau kau jadi pecundang! "Tentu saja lain. Kau tolol dan kurang ajar, menganggapnya sama."
Yang lain merasa Hugh sudah keterlaluan, dan beberapa orang mulai berbicara bersamaan. Tonio berkata.
"Jangan bertengkar tentang hal yang sudah lama terjadi."
Hugh sadar ia harus berhenti, namun ia masih marah.
"Sejak umur tiga belas, aku sudah kenyang mendengar keluarga Pilaster merendahkan ayahku, tapi aku tak bisa menerima penghinaan dari seorang pemain sirkus."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Maisie bangkit, matanya berkilat bagaikan permata zamrud yang diasah. Sesaat Hugh menyangka gadis itu akan menamparnya. Kemudian gadis itu berkata.
"Mari berdansa, Solly. Barangkali temanmu yang kasar sudah pergi waktu musik berakhir." [III] PERTENGKARAN Hugh dengan Maisie mengakhiri pesta mereka. Solly dan Maisie memisahkan diri, dan yang lain memutuskan untuk menonton pertandingan anjing lawan tikus. Acara itu sebenarnya melawan hukum, tapi ada enam tempat tetap yang jauhnya lima menit berjalan kaki dari Piccadilly Circus. Micky Miranda tahu semua tempat itu. Sudah gelap ketika mereka keluar dari Argyll Rooms, menuju kawasan London yang dikenal sebagai Babylon. Di sini, tak terlihat dari puri-puri Mayfair, namun cukup dekat dengan klub untuk laki-laki St. James's ada sekumpulan jalan sempit tempat berlangsungnya perjudian, olahraga berdarah, tempat orang mengisap candu, pornografi, dan yang paling menonjol... pelacuran. Malam sangat panas. Udara penuh dengan bau masakan, bir, dan saluran pembuangan. Micky dan teman-temannya berjalan perlahan menyusuri bagian tengah jalan yang penuh sesak. Tak lama kemudian, seorang tua dengan topi tinggi lusuh menawarkan buku syair porno, seorang pemuda dengan pipi diberi pemerah mengedipkan mata padanya, seorang wanita sebayanya yang berpakaian bagus membuka jaketnya dengan cepat, memperlihatkan sekilas payudaranya yang indah, dan seorang wanita yang lebih tua dengan pakaian lusuh menawarkan seorang gadis berwajah bidadari yang berumur sekitar 99sepuluh tahun. Gedung-gedung itu, kebanyakan pub tempat dansa, rumah bordil, dan penginapan murah, memiliki tembok kusam dan jendela kecil yang kotor. Melalui jendela itu kadang-kadang orang bisa menjenguk sekilas pesta-pesta yang diterangi lampu gas. Di jalan itu berlalu-1 alang orang-orang yang mengenakan rompi putih seperti Micky, kerani bertopi bowler, pelayan toko, para petani yang terbelalak, prajurit dengan seragam tidak dikancing, pelaut dengan kantong penuh uang untuk sementara, dan pasangan kelas menengah yang kelihatan terhormat, yang berjalan bergandengan. Mengherankan karena jumlah pasangan itu cukup banyak. Micky menikmati kesenangan ini. Setelah beberapa minggu, ia berhasil menjauh dari Papa. Mereka menunggu ajal Seth Pilaster, agar mereka dapat menutup transaksi senjata, namun orang tua itu ternyata bertahan hidup, bagaikan kerang laut yang menempel di batu karang. Mengunjungi pertunjukan musik dan rumah bordil bersama Papa tidaklah menyenangkan; selain itu, Papa memperlakukannya seperti pelayan, kadang-kadang bahkan menyuruhnya menunggu di luar sementara Papa bersenang-senang dengan wanita jalang. Malam ini ia bebas dari kekangan itu. Ia senang bertemu lagi dengan Solly Greenbourne. Keluarga Greenbourne bahkan lebih kaya daripada keluarga Pilaster, dan suatu hari nanti Solly mungkin bisa diperalatnya. la tidak senang berjumpa dengan Tonio Silva. Tonio terlalu banyak tahu mengenai kematian Peter Middleton tujuh tahun yang lalu. Dulu Tonio takut sekali pada Micky. Tonio memang masih berhati-hati dan masih menghormati Micky, namun itu tidak sama dengan merasa takut. Micky gelisah memikirkan Tonio, tapi pada saat itu ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia membelok dari Windmill Street, memasuki sebuah lorong sempit. Mata beberapa ekor kucing berkedip ke arahnya dari tumpukan sampah. Setelah yakin yang lainnya ada di belakangnya, ia memasuki sebuah pub kotor dan kusam, berjalan melewati bar, dan keluar melalui pintu belakang, melintasi sebuah halaman. Seorang pelacur tengah berlutut di depan pelanggannya di bawah cahaya bulan. Micky membuka pintu sebuah bangunan kayu yang reyot seperti kandang kuda. Seorang lelaki bermuka kotor yang mengenakan pakaian luar panjang yang lusuh meminta empat pence sebagai karcis masuk. Edward membayar dan mereka masuk. Tempat itu terang dan penuh asap tembakau; ada bau darah dan tinja yang menusuk. Empat puluh atau lima puluh orang laki-laki dan beberapa wanita berdiri mengitari sebuah lubang berbentuk lingkaran. Para laki-laki itu berasal dari berbagai kelas masyarakat, sebagian mengenakan setelan wol berat dan syal berbintik-bintik, yang lain mengenakan pakaian luar sebatas lutut atau pakaian malam; tetapi semua wanitanya kira-kira merupakan tipe kurang terhormat seperti April. Beberapa lelaki membawa anjing yang mereka peluk atau ikatkan ke kaki kursi. Micky menunjuk ke arah seorang lelaki bercambang dan bertopi wol. Lelaki itu membawa seekor anjing yang diikat dengan seutas rantai berat. Mulut anjing itu diberi selongsong. Beberapa penonton memeriksa anjing itu dengan cermat. Hewan itu pendek lan berotot; kepalanya besar dan rahangnya kuat. Anjing itu kelihatan marah dan gelisah.
"Berikutnya dia,"
Kata Micky.
Edward pergi untuk membeli minuman dari seorang wanita yang membawa baki.
Micky berpaling ke arah Tonio dan menyapanya dalam bahasa Spanyol.
Memang tidak pantas melakukan hal ini di hadapan Hugh dan April yang tidak paham; tapi Hugh tidak penting, apalagi April, jadi tidak masalah.
"Apa kerjamu sekarang?"
Tanya Micky.
"Aku atase Duta Besar Kordoba di London,"
Jawab Tonio.
"Benar?"
Micky menjadi penasaran.
Sebagian besar negara Amerika Latin tidak menganggap perlu menugasi seorang duta besar di London, tapi Kordoba telah menempatkan seorang duta selama sepuluh tahun ini.
Tidak disangsikan lagi, Tonio memegang jabatan itu karena keluarganya, mempunyai koneksi di ibu kota Kordoba, Palma.
Sebaliknya Papa Micky adalah seorang baron provinsi dan tidak bisa menggunakan pengaruhnya.
"Apa .tugasmu?"
"Aku membalas surat-surat dari perusahaan-perusahaan Inggris yang ingin melakukan bisnis di Kordoba. Mereka menanyakan iklim, mata uang, transportasi dalam negeri, hotel, pokoknya segala macam hal."
"Kau kerja seharian?" 'Tidak sering."
Tonio merendahkan suaranya.
"Jangan bilang siapa-siapa, tapi aku hanya menulis dua atau tiga surat sehari. Sering begitu."
"Kau digaji?"
Sebagian besar diplomat adalah orang yang banyak uang dan bekerja tanpa mengharapkan gaji-"Tidak. Tapi aku mendapat kamar di kediaman Duta Besar, dan makan ditanggung; plus tunjangan pakaian. Mereka juga membayar iuran klub."
Micky terkesan.
Pekerjaan macam itulah yang sesuai untuknya.
Ia merasa iri.
Makan dan tempat tinggal, serta pengeluaran pokok untuk keperluan bersosialisai ditanggung, sebagai imbalan untuk satu jam kerja setiap pagi.
Micky bertanya dalam hati, adakah jalan untuk menggeser Tonio dari jabatan itu.
Edward kembali dengan lima gelas kecil brendi dan membagikan minuman itu pada mereka.
Micky menenggak brendinya sekaligus.
Minuman murah dan keras.
Sekonyong-konyong anjing tadi menggeram dan mulai berlari berputar-putar dengan galak, menarik-narik ran -tainya, bulu lehernya berdiri.
Micky melihat ke sekeliling * dan melihat dua orang masuk membawa sebuah sangkar berisi tikus-tikus besar.
Tikus-tikus itu bahkan lebih liar dari anjing itu, berlari simpang siur dan mencicit ketakutan.
Semua anjing di ruangan itu mulai menyalak, dan selama beberapa saat terdengar suara ingar-bingar hebat ketika para pemilik anjing menyuruh hewan-hewan itu diam.
Pintu masuk dikunci dan dipalang dari dalam, dan lelaki berpakaian lusuh itu mulai mengumpulkan uang taruhan.
Hugh Pilaster berkata.
"Uh, baru sekarang kulihat tikus sebesar ini. Di mana mereka mendapatkannya?"
Edward menjawab.
"Tikus-tikus itu sengaja dikembangbiakkan untuk keperluan ini."
Lalu ia dan berpaling pada salah satu pawangnya.
"Berapa ekor untuk pertandingan ini? "Enam lusin,"
Jawab lelaki itu. Edward memberikan penjelasan.
"Berarti mereka akan memasukkan tujuh puluh dua ekor tikus ke dalam lubang."
Tonio berkata.
"Bagaimana cara taruhannya?' "Kau bisa pasang taruhan untuk anjing atau tikus-tikus itu. Kalau menurutmu tikus yang bakal menang, kau bisa pasang berapa sisa tikus yang masih hidup bila anjing itu mati."
Lelaki kotor itu meneriakkan angka taruhan yang akan dipasang dan memungut uang yang ditukar dengan lembaran-lembaran kertas berisi angka-angka yang ditulis dengan pensil tebal.
Edward memasang taruhan satu poundsterling untuk anjing itu, dan Micky memasang satu shilling untuk enam ekor tikus yang lolos dari pembantaian.
Untuk itu, pasaran taruhan adalah lima banding satu.
Hugh tidak mau ikut bertaruh.
Ia tidak bergairah untuk kesenangan semacam itu.
Lubang tanding itu mempunyai kedalaman sekitar SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY empat kaki, dan dikelilingi oleh pagar kayu yang tingginya juga empat kaki.
Beberapa lilin pada tempat lilin kasar dipasang berselang-seling di sekeliling pagar, memberikan penerangan cukup ke dalam lubang.
Penutup moncong dilepaskan dari mulut anjing itu.
Hewan itu dimasukkan ke dalam lubang melalui pintu kayu yang kemudian ditutup kembali rapat-rapat.
Anjing itu tegak dengan kaki kaku, bulu kuduknya berdiri, melihat ke atas, menunggu tikus-tikus lawannya.
Para pawang tikus mengangkat sangkar.
Hening sesaat.
Tiba-tiba Tonio berkata.
"Sepuluh guinea untuk kemenangan anjing."
Micky heran.
Tonio baru saja berbicara tentang pekerjaannya dan tunjangan yang diperolehnya, seakan-akan ia harus berhati-hati sekali dalam membelanjakan uangnya.
Apakah itu hanya kedok? Ataukah ia memaksakan diri memasang taruhan? Bandar taruhan itu ragu.
Nilai taruhan itu juga besar baginya.
Meskipun demikian, setelah sesaat "bandar itu menuliskan sesuatu pada selembar kertas, menyerahkannya, dan memasukkan uang Tonio ke dalam sakunya.
Para pawang mengayunkan sangkar tikus ke belakang, kemudian ke depan, seolah-olah ingin melemparkan sangkar ke dalam lubang; kemudian, pada menit terakhir, pintu kecil pada salah satu ujung sangkar terbuka, dan tikus-tikus itu terlempar dari sangkar sambil mengeluarkan lengkingan ketakutan.
April menjerit dan Micky tergelak senang.
Anjing itu bergerak dengan konsentrasi mematikan.
Pada waktu tikus-tikus jatuh beruntun ke atas tubuhnya, rahangnya menyambar dengan buasnya.
Semua anjing di ruangan menggonggong sengit, dan teriakan penonton menambah hiruk-pikuk para wanita yang menjerit-jerit dan laki-laki yang berteriak-teriak memberi semangat.
Micky terus tertawa senang.
Setelah beberapa lama, kumpulan tikus itu sadar telah terjebak di dalam lubang.
Ada yang berlari mengelilingi tepi lubang, mencari jalan keluar; yang lain meloncat, mencoba bergayut pada sisi yang nyaris tegak lurus; yang lain lagi membentuk gundukan.
Selama beberapa saat anjing itu menikmati keunggulannya, dan membunuh lebih dari dua belas ekor lagi.
Tapi sekonyong-konyong tikus-tikus itu berbalik sekaligus, seakan-akan mendengar suatu isyarat.
Mereka mulai menyerang anjing itu.
Selama beberapa waktu, si anjing masih beraksi.
Tapi kemudian ia mulai lelah.
Separuh dari tikus-tikus itu sudah mati, namun yang lain terus menyerang.
Orang-orang yang memasang angka tiga puluh enam dan tidak mungkin lagi menang, kini merobek-robek kertas taruhan mereka, tapi yang memasang angka lebih rendah bersorak lebih nyaring.
Begitu mengendus kelelahan anjing itu, para tikus menjadi lebih berani.
Kaki si anjing mulai lunglai dan tiba-tiba ia terhuyung-huyung pada tiga kali.
Tikus-tikus tinggal dua belas ekor serentak menyerang bagian belakangnya.
Dengan lunglai anjing itu menyambar dan mencengkeram, namun ia sudah lelah dan tak dapat bertahan lebih lama lagi.
Micky berpikir ia telah bertaruh dengan bijaksana, dan nanti tinggal enam ekor tikus ketika si anjing mati.
Dengan tenaga terakhirnya, anjing itu membunuh empat ekor tikus lagi dalam waktu empat detik.
Setelah itu ia jatuh dan tidak bangun lagi.
Tikus-tikus itu mulai berpesta pora.
Micky menghitung, tinggal enam tikus lagi.
Ia memandang teman-temannya.
Hugh tampak mual.
Edward be/kata.
"Perutmu tidak tahan, ya?"
"Anjing dan tikus-tikus itu bertindak menurut naluri,"
Ucap Hugh.
"Manusialah yang membuatku muak."
Edward menggerutu dan pergi untuk membeli minuman lagi.
Mata April berkilat ketika menatap Tonio.
Pikirnya, laki-laki ini berani kalah sepuluh guinea dalam sekali taruhan.
Micky menatap Tonio dengan lebih cermat dan melihat kesan kepanikan di wajahnya.
Aku tak percaya dia sanggup menanggung kekalahan sepuluh guinea, pikir Micky.
Micky mengumpulkan kemenangannya dari bandar.
lima shilling.
Ia sudah memperoleh keuntungan malam itu.
Namun ia merasa apa yang telah diketahuinya tentang Tonio pada akhirnya bisa bernilai lebih besar lagi.
[IV] MICKY-lah yang paling membuat Hugh muak.
Dari awal hingga akhir pertandingan, Micky bisa tetap tertawa dengan tenangnya, bahkan kadang sedikit histeris.
Mula-mula Hugh tak habis pikir mengapa tawa yang mendirikan bulu roma itu terdengar tak asing.
Lalu ia ingat, Micky tertawa persis seperti itu ketika Edward melemparkan pakaian Peter Middleton ke dalam air.
Dengan cara yang tidak menyenangkan, tawa itu mengingatkannya pada suatu kenangan pahit.
Edward kembali dengan membawa minuman dan berkata.
"Mari kita pergi ke Nellie's."
Mereka menenggak brendi sampai habis, lalu melangkah ke luar.
Di jalan, Tonio dan April berpamitan dan menyelinap ke dalam sebuah gedung yang mirip hotel murahan.
Hugh menduga mereka akan menyewa kamar satu jam, atau mungkin satu malam, ia bertanya dalam hati, apakah ia akan terus bersama-sama Edward dan Micky.
Ia tidak begitu menikmati malam ini, namun ia ingin tahu ada apa di Nellie's.
Ia telah memutuskan mencoba ikut pesta gila-gilaan malam ini sampai tuntas, karena itu ia berketetapan untuk tidak berhenti di tengah jalan.
Nellie's terletak di Prince Street, tak jauh dari Leicester Square.
Dua penjaga pintu berseragam berdiri di depan pintu.
Saat ketiga pemuda itu sampai, kedua penjaga pintu itu tengah mengusir seorang lelaki setengah baya bertopi bowler.
"Hanya untuk yang memakai pakaian malam,"
Kata salah seorang penjaga pintu itu tanpa menghiraukan protes si lelaki.
Mereka tampaknya mengenal Edward dan Micky, karena salah seorang menyentuh topinya memberi hormat dan yang satunya membukakan pintu.
Mereka berjalan menyusuri sebuah lorong panjang, menuju sebuah pintu.
Mereka diperiksa melalui lubang intip, kemudian pintu terbuka.
Memasuki ruangan itu rasanya seperti berjalan ke dalam ruang duduk sebuah rumah besar di London.
Api menyala di dua perapian besar.
Ada sofa, kursi, dan meja kecil di sana-sini; ruangan itu penuh dengan laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian malam.
Meskipun demikian, sebentar saja orang maklum bahwa itu bukanlah ruang duduk biasa.
Kebanyakan laki-laki mengenakan topi mereka.
Setengahnya merokok, padahal ini tidak akan diperkenankan dalam ruang duduk yang sopan, dan sebagian lagi melepaskan jas serta ikatan dasi mereka.
Sebagian besar wanita di situ berpakaian lengkap, tapi beberapa tampaknya hanya mengenakan pakaian dalam.
Beberapa orang duduk di pangkuan lelaki, yang lain mencium para lelaki itu, dan satu-dua orang membiarkan diri mereka dicumbu dengan intim.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hugh berada di rumah bordil.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ruangan itu bising.
Para lelaki meneriakkan lelucon, wanita-wanita tertawa, dan seorang pemain biola memainkan musik waltz di suatu tempat dalam ruangan itu.
Hugh mengikuti Micky dan Edward menyusuri ruangan itu.
Dinding-dindingnya digantungi gambar-gambar wanita telanjang dan pasangan yang sedang bercinta, dan Hugh mulai terangsang.
Di ujung ruangan, di bawah sebuah lukisan cat minyak besar yang menggambarkan pesta pora rumit yang berlangsung di alam terbuka, duduk seorang wanita paling gemuk yang baru pernah dilihat Hugh, wanita itu berpayudara besar, dengan rias muka tebal, mengenakan gaun sutra bagaikan sebuah kemah ungu.
Ia duduk di sebuah kursi bak tahta, dikelilingi gadis-gadis.
Di belakangnya ada sebuah tangga lebar berlapis karpet merah yang mungkin menuju ke sekumpulan kamar tidur.
Edward dan Micky mendekati tahta itu dan membungkukkan badan.
Hugh meniru mereka.
Edward berkata.
"Nell sayang, aku ingin mengenalkan sepupuku Mr. Hugh Pilaster."
"Selamat datang, anak-anak,"
Ujar Nell.
"Ayo, hiburlah gadis-gadis rupawan ini."
"Sebentar, Nell. Adakah permainan judi malam ini?"
"Selalu ada permainan judi di Nellie's,"
Ucapnya, dan menunjuk ke satu pintu di satu sisi ruangan. Edward membungkuk lagi dan berkata.
"Kami kembali nanti."
"Jangan mengecewakanku, anak-anak!"
Mereka pergi.
"Tingkahnya seperti bangsawan saja!"
Gumam Hugh. Edward tertawa.
"Ini rumah bordil nomor satu di London. Sebagian dari mereka yang membungkuk hormat padanya malam ini akan memberi hormat pada Ratu besok paginya."
Mereka masuk ke ruangan berikutnya.
Dua sampai lima belas laki-laki sedang duduk mengelilingi meja-meja baccarat.
Setiap meja mempunyai sebuah garis putih yang digoreskan sekitar satu kaki dari tepinya, dan para pemainnya mendorong koin-koin plastik sebagai pengganti uang tunai dalam perjudian.
Koin-koin itu beraneka warna saling melintasi batas garis tempat taruhan.
Di samping para pemain tersedia aneka minuman alkohol, dan udara dipenuhi asap cerutu.
Ada beberapa kursi kosong di salah satu meja; Edward dan Micky segera duduk.
Seorang pelayan membawakan mereka beberapa buah koin, dan mereka masing-masing menandatangani sehelai tanda terima.
Hugh berkata perlahan pada Edward.
"Berapa taruhannya?"
"Paling sedikit satu pound."
Terlintas dalam benak Hugh.
kalau ia main dan menang, ia dapat bercinta dengan salah seorang wanita di ruangan sebelah.
Sesungguhnya uang di sakunya tidak sampai satu pound, namun jelas Edward punya nama baik di sini.
Kemudian ia ingat Tonio yang kalah sepuluh guinea pada pertandingan anjing-tikus.
"Aku tak mau main,"
Ucapnya. Micky berkata lunak.
"Kami sudah tahu kau tidak akan mau."
Hugh merasa kikuk.
Ia bertanya dalam hati, apakah akan meminta pelayan membawakannya minuman; kemudian ia berpikir bahwa harga minuman yang harus dibayarnya mungkin sama dengan gajinya seminggu.
Bandar judi membagikan kartu.
Micky dan Edward memasang taruhan mereka.
Hugh memutuskan untuk keluar.
Ia kembali ke ruang duduk utama.
Setelah diperhatikan dari dekat, ia melihat perabot di situ, ternyata barang murahan, ada noda pada kain beludru penutup kursi, bekas-bekas terbakar pada kayu yang disemir, karpetnya sudah tua dan robek di sana-sini.
Di sebelahnya, seorang yang mabuk berlutut sambil bernyanyi ' untuk seorang pelacur, sementara dua temannya tertawa terbahak-bahak.
Di tempat duduk di sebelahnya, sepasang pria dan wanita saling berciuman dengan mulut terbuka penuh.
Hugh sudah pernah mendengar orang melakukannya, tapi ia belum pernah melihat langsung.
Ia memperhatikan, terpukau, ketika lelaki itu membuka kancing bagian depan pakaian wanita itu dan mulai mengelus payudaranya.
Seluruh adegan itu merangsang, sekaligus membuatnya mual.
Wanita itu melemparkan pandangan di atas kepala lelaki itu, bertatapan dengan Hugh, dan mengedipkan matanya.
Sebuah suara berkata di telinga Hugh.
"Kau boleh melakukannya padaku, kalau mau."
Ia berpaling, merasa bersalah, seolah-olah ia dipergoki tengah melakukan sesuatu yang memalukan.
Di sampingnya adalah seorang gadis berambut hitam, kurang-lebih sebaya dengannya, dengan pemerah pipi tebal.
Ia tak dapat menahan diri untuk tidak melihat sekilas payudaranya, lalu berpaling lagi dengan cepat, karena merasa kikuk.
"Jangan malu-malu,"
Kata gadis itu.
"Lihatlah sepuas hatimu. Kau boleh menikmatinya."
Hugh ketakutan ketika merasa tangan gadis itu merabanya.
Pikiran Hugh kalut sekali.
Ia merasa dirinya akan meledak.
Gadis itu memiringkan kepala dan mencium bibir Hugh.
Keadaan ini sudah tak tertahankan lagi, dan Hugh beraksi.
Gadis itu merasakannya.
Sesaat ia tampak keheranan, lalu tawanya meledak.
"Ya Tuhan, kau belum berpengalaman!"
Katanya lantang. Hugh merasa dipermalukan. Gadis itu melihat ke sekeliling dan berujar pada pelacur yang paling dekat dengannya.
"Baru kusentuh, dia sudah bersin!"
Beberapa orang tertawa.
Hugh berpaling dan bergegas menuju pintu keluar.
Tawa itu terdengar mengikutinya sepanjang ruangan.
Ia harus menahan diri jangan sampai lari.
Akhirnya ia sampai di pintu.
Sesaat kemudian ia telah berada di jalan.
Udara sudah agak sejuk, dan ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Seandainya semua ini merupakan pencarian kenikmatan yang mengundang bahaya, ia tak menyukainya.
Maisie telah bersikap kasar padanya berkenaan dengan ayahnya; pertandingan tikus dan anjing telah membuatnya mual; pelacur-pelacur itu telah menertawakannya.
Semuanya jadi berantakan.
Seorang penjaga pintu melemparkan tatapan simpati padanya.
"Mau buru-buru pulang, Sir?"
"Bagus sekali gagasan itu,"
Kata Hugh, dan melangkahkan kaki. Di ruang judi, Micky kalah. Ia bisa menipu dalam permainan baccarat seandainya ia memiliki cadangan uang judi, namun malam ini cadangan itu tidak berpihak padanya. Diam-diam ia merasa lega ketika Edward berkata.
"Mari kita cari sepasang gadis."
"Kau saja,"
Ucapnya, pura-pura tak acuh.
"Aku mau terus main."
Sekilas kepanikan terlihat di mata Edward.
"Malam sudah larut."
"Aku mencoba memenangkan kembali kekalahanku,"
Micky bersikeras. Edward merendahkan suaranya.
"Aku ganti pasangan taruhanmu."
Micky pura-pura ragu, kemudian mengalah.
"Hm, baiklah."
Edward tersenyum.
Ia menyelesaikan kewajibannya dengan bandar judi, lalu mereka masuk ke ruang utama.
Dengan segera seorang gadis berambut pirang mendatangi Edward.
Edward melingkarkan lengan di bahunya yang terbuka, dan gadis itu menekankan dadanya ke dada pemuda itu.
Micky memperhatikan gadis-gadis itu satu per satu.
Seorang wanita yang sedikit lebih tua dengan tatapan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY menggoda menarik perhatiannya.
Ia tersenyum dan wanita itu menghampiri.
Wanita itu meletakkan tangan di bagian depan kemejanya, membenamkan kuku ke dadanya, berdiri berjingkat, dan dengan lembut menggigit bibir bawahnya.
Ia melihat Edward memperhatikannya, wajahnya merah.
Micky mulai bergairah.
Ia memandang wanita itu.
"Siapa namamu?"
Katanya.
"Alice."
"Ayo kita ke atas, Alice,"
Ujarnya.
Mereka menaiki tangga bersama-sama.
Di puncak anak tangga ada sebuah patung centaur yang diusap oleh Alice ketika mereka berlalu.
Di sebelahnya ada pasangan tengah berasyik-masyuk tanpa menyadari seorang lelaki mabuk yang duduk di lantai, memperhatikan mereka.
Kedua wanita itu menuju kamar-kamar tersendiri, tapi Edward menggiring mereka ke kamar yang sama.
"Semuanya sama-sama malam ini?"
Ucap Alice.
"Kami menghemat uang,"
Kata Micky, dan Edward tertawa.
"Di sekolah sama-sama, ya?"
Ujar wanita itu dengan cerdik, ketika menutup pintu.
"Dulu biasa saling meran-cap?"
"Diam kau,"
Kata Micky sambil memeluknya. Sementara Micky mencium Alice, Edward melangkah ke belakang wanita itu dan melingkarkan tangan ke badannya. Alice tampak agak heran, namun tidak menunjukkan keberatan. x Setelah sesaat, gadis satunya berkata.
"Apa yang harus kulakukan? Aku merasa tidak diajak."
"Tunggu saja,"
Kata Edward.
"Kau berikutnya."
BAB TIGA Juli [I] KETIKA masih kecil, Hugh pernah mengira Pilas ters Bank dimiliki oleh para pesuruh yang bekerja di bank itu.
Mereka sebenarnya kurir rendahan, namun semua bertubuh tegap,-memakai pakaian kerja necis dengan jam rantai perak melintang di atas rompi mereka yang besar, dan mereka mondar-mandir di bank dengan langkah-langkah berat yang berwibawa, sehingga bagi seorang anak kecil, mereka tampak sebagai orang-orang paling penting di situ.
Hugh pernah dibawa ke sini pada usia sepuluh tahun oleh kakeknya, saudara laki-laki Old Seth.
Ruang utama bank berdinding marmer di lantai dasar tampak seperti gereja.
besar, anggun, sepi, tempat upacara yang tak bisa dimengerti dilakukan oleh sekelompok pendeta elite untuk mengabdi pada tuhan yang disebut Uang.
Kakek telah mengantarnya melihat-lihat bangunan bank ini.
suasana hening di lantai pertama yang berlapis karpet.
Lantai ini ditempati oleh para mitra dan karyawan bagian surat-menyurat.
Hugh disuguhi segelas sherry dan sepiring biskuit di Ruang Mitra.
Karyawan-karyawan senior bagian administrasi bekerja di lantai dua, mengenakan kacamata dan penuh gairah kerja, dikelilingi bundel dokumen yang diikat dengan pita seperti kado.
Para karyawan junior berada di lantai paling atas, duduk menghadapi meja kerja mereka yang tinggi, berjajar seperti serdadu mainan kepunyaan Hugh, mencatat di buku besar dengan jari berlepotan tinta.
Tapi yang paling menarik bagi Hugh adalah ruang bawah tanah.
Di sini perjanjian-perjanjian yang bahkan lebih tua daripada Kakek diamankan dalam kamar penyimpanan.
Ribuan prangko ada di sini, menunggu digunakan, dan ada satu kamar penuh dengan stoples kaca besar berisi tinta.
Hugh terkagum-kagum memikirkan proses yang berlangsung di sini.
Tinta diantar ke bank, digunakan di atas kertas oleh karyawan administrasi, kemudian lembaran-lembaran kertas itu dikembalikan ke ruang bawah tanah untuk disimpan selama-lamanya; dan proses ini menghasilkan uang.
Misteri itu sirna sekarang.
Ia tahu bahwa buku-buku besar yang di
Jilid dengan kulit itu bukanlah teks misterius, tapi hanya daftar sederhana transaksi keuangan yang dihimpun dengan susah payah dan diperbarui dengan cermat.
Jari-jarinya sendiri menjadi kaku dan berlepotan tinta setelah berhari-hari melakukan pencatatan.
Wesel tagih dan surat pengakuan utang tidak lagi merupakan mantra, tapi sekadar janji untuk membayar sejumlah uang pada suatu tanggal yang akan datang, yang ditulis di sehelai kertas dan dijamin oleh suatu bank.
Pemberian diskonto, yang dulu dikiranya pasti berarti menghitung mundur dari seratus sampai satu, ternyata tidak lain daripada praktik membeli wesel tagih sebelum jatuh tempo dengan harga sedikit di bawah nilai nominalnya, menyimpannya hingga jatuh tempo, kemudian menguangkannya dengan memperoleh sedikit keuntungan.
Hugh adalah asisten umum Jonas Mulberry, kepala bagian administrasi.
Mulberry, seorang lelaki botak berusia sekitar empat puluh tahun, baik hati namun kurang ramah.
Ia selalu meluangkan waktunya untuk mem -berikan penjelasan pada Hugh, tapi ia cepat melontarkan keluhan apabila Hugh sedikit saja gegabah atau tidak hati-hati.
Hugh telah bekerja di bawah pimpinannya sejak tahun lalu, dan kemarin ia melakukan kesalahan berat.
Ia kehilangan konosemen pengiriman tekstil Bradford dengan tujuan New York.
Wakil dari pabrik tekstil Bradford berada di bawah, di ruang utama bank, menanyakan uang perusahaan, tapi Mulberry perlu mengecek konosemennya sebelum memberikan wewenang untuk melakukan pembayaran, dan Hugh tidak dapat menemukan dokumen tersebut.
Mereka terpaksa meminta orang itu kembali pagi ini.
Akhirnya Hugh menemukan konosemen itu, tetapi hampir semalaman waktunya habis mencemaskan soal hilangnya dokumen itu, jadi pagi ini dia telah merancang suatu sistem baru untuk menangani dokumen bagi Mulberry.
Di meja di depannya ada dua baki kayu murahan, dua kartu empat persegi panjang, setangkai pena bulu burung, dan sebuah tempat tinta cair.
Ditulisnya dengan perlahan-lahan dan rapi pada satu kartu.
Untuk perhatian Kepala Bagian Administrasi Pada kartu kedua ditulisnya.
Telah ditangani oleh Kepala Bagian Administrasi Dengan hati-hati ia mengeringkan tulisannya, lalu memasang satu kartu pada setiap baki surat dengan paku payung.
Ia meletakkan baki-baki tersebut di meja Jonas Mulberry dan melangkah mundur untuk mengamati hasil kerjanya.
Pada saat itu Mr.
Mulberry masuk.
"Selamat pagi, Mr. Hugh,"
Ujarnya. Semua anggota keluarga disapa dengan cara demikian di bank tersebut, sebab kalau tidak akan timbul kebingungan di kalangan semua Mr. Pilaster yang berbeda-beda itu.
"Selamat pagi, Mr. Mulberry."
"Dan apa ini?"
Ucap Mulberry, tersinggung melihat baki-baki surat itu.
"Begini,"
Hugh mulai menjelaskan.
"Saya sudah menemukan konosemen itu."
"Di mana?' "Tercampur dengan surat-surat yang sudah Anda tanda tangani."
Mulberry menyipitkan matanya.
"Maksud Anda, ini akibat kesalahan saya?"
"Bukan,"
Kata Hugh dengan sigap.
"Saya bertanggung jawab menangani surat-surat Anda. Itulah sebabnya saya mulai memberlakukan sistem baki surat, untuk memisahkan dokumen yang telah Anda tangani dari dokumen yang belum Anda baca."
Mulberry menggerutu tidak jelas. Ia menggantungkan topi bowler-nya di sangkutan di belakang pintu dan duduk menghadap meja kerjanya. Akhirnya ia berkata.
"Kita coba saja, mungkin cukup efektif. Tapi lain kali cobalah berkonsultasi dengan saya sebelum melaksanakan gagasan Anda yang jitu itu. Walau bagaimanapun, ini kamar kerja saya, dan saya kepala bagian administrasi."
"Tentu,"
Kata Hugh.
"Saya minta maaf."
Ia sadar seharusnya meminta izin Mulberry, namun ia begitu bersemangat melaksanakan gagasan barunya, sehingga tidak sabar menunggu. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Penawaran Pinjaman Rusia ditutup kemarin,"
Mulberry melanjutkan pembicaraannya.
"Anda pergi ke kamar pos dan aturlah penghitungan permohonan."
"Baik."
Bank tersebut mencarikan pinjaman sebesar dua juta pound untuk pemerintah Rusia.
Bank ini telah mengeluarkan obligasi 100 poundsterling dengan suku bunga 5 poundsterling per tahun; tapi mereka menjual obligasinya seharga 93 poundsterling, dengan demikian suku bunga yang sesungguhnya lebih dari lima tiga per delapan.
Sebagian besar obligasi tersebut telah dibeli oleh sejumlah bank lain di London dan Paris, tapi sebagian ditawarkan pada masyarakat umum, dan sekarang permohonannya harus dihitung.
"Mudah-mudahan permohonan yang masuk lebih banyak daripada yang dapat kita penuhi,"
Kata Mulberry.
"Mengapa?"
"Dengan demikian, pemohon yang kurang mujur akan mencoba membeli obligasi besok di pasar bebas, dan itu akan meningkat harga obligasi, mungkin sampai 95 poundsterling, dan semua pelanggan kita akan merasa mereka telah membeli obligasi dengan harga murah."
Hugh mengangguk.
"Dan bagaimana kalau permohonan yang masuk terlalu sedikit?"
"Kalau demikian, bank sebagai penjamin emisi harus membeli kelebihannya dengan harga 93 poundsterling. Dan besok harganya mungkin turun sampai 92 atau 91 poundsterling. Itu berarti kita rugi."
"Saya mengerti."
"Pergilah ke kamar pos."
Hugh meninggalkan ruang kantor Mulberry yang berada di lantai kedua dan berlari menuruni tangga.
Ia senang Mulberry menerima gagasan tentang baki suratnya dan lega karena ia tidak lagi menghadapi kesulitan yang lebih parah akibat hilangnya konosemen tadi.
Di lantai pertama, tempat Ruang Mitra, ia bertemu dengan Samuel Pilaster, yang tampak rapi dengan setelan warna abu-abu perak dan dasi satin biru tua.
"Selamat pagi, Paman Samuel,"
Hugh menyapa.
"Pagi, Hugh. Cari apa?"
Ia lebih menunjukkan perhatian pada Hugh ketimbang mitra-mitra lainnya.
"Mau menghitung permohonan untuk pinjaman pemerintah Rusia."
Samuel tersenyum, memperlihatkan giginya yang tidak rata.
"Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu gembira menghadapi hari ini!"
Hugh terus menuruni tangga.
Di lingkungan keluarganya, orang mulai berkasak-kusuk tentang Paman Samuel dan sekretarisnya.
Bagi Hugh tidaklah mengejutkan kalau orang mencap Samuel agak keperempuan-perempuanan.
Wanita dan pendeta mungkin berpura-pura bahwa hubungan seks antara sesama lelaki adalah perbuatan menyimpang, namun hal itu terus berlangsung di sekolah-sekolah seperti Windfield dan tak pernah mencelakakan orang.
Ia sampai di lantai dasar dan memasuki ruang utama bank yang megah itu.
Baru jam sembilan tiga puluh pagi.
Puluhan karyawan bagian administrasi yang bekerja di Pilasters Bank "masih beriringan memasuki pintu depan yang megah, menguarkan bau sarapan pagi daging asap dan aroma kereta bawah tanah.
Hugh mengangguk pada Miss Greengrass, satu-satunya karyawan wanita bagian administrasi.
Setahun yang lalu, ketika gadis itu mulai bekerja, terjadi perdebatan sengit di lingkungan bank mengenai apakah seorang wanita dapat melakukan pekerjaan tersebut.
Miss Greengrass memecahkan persoalan dengan membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan tinggi.
Hugh menduga di masa depan akan lebih banyak karyawan wanita.
Lewat tangga belakang, ia turun ke ruang bawah tanah, masuk ke kamar pos.
Dua orang kurir sedang menyortir surat, dan permohonan untuk Pinjaman Pemerintah Rusia sudah ada sekarung besar.
Hugh memutuskan menyuruh dua karyawan junior untuk menghitung * jumlah permohonan, dan ia akan mengecek hitungan mereka.
Pekerjaan itu menyita sebagian besar waktu kerja hari itu.
Beberapa menit menjelang jam empat, barulah ia mengecek ulang bundel terakhir dan menjumlahkan kolom terakhir angka-angka.
Jumlah permohonan lebih kecil daripada jumlah obligasi yang ditawarkan.
sekitar seratus ribu poundsterling obligasi belum terjual.
Kekurangannya tidak begitu besar jika dibandingkan dengan penerbitan obligasi senilai dua juta poundsterling, namun terdapat perbedaan psikologis yang besar antara jumlah permohonan lebih kecil dan jumlah permohonan lebih besar daripada jumlah obligasi yang ditawarkan, dan para mitra bank jelas akan kecewa.
Ia menuliskan angka-angka itu di sehelai kertas bersih, lalu pergi untuk menemui Mulberry.
Ruang utama bank sudah sepi.
Beberapa pelanggan berdiri di depan counter panjang yang dipelitur.
Di belakang counter, para karyawan sibuk menata dokumen dan buku-buku ke rak.
Pilasters Bank tidak banyak memiliki rekening pribadi.
Bank ini adalah bank dagang yang meminjamkan uang pada para pedagang guna mendanai usaha mereka.
Sebagaimana dikatakan Old Seth, Pilasters Bank tidak berminat menghitung mata uang berlumur gemuk perolehan pedagang kelontong atau uang kertas kotor dan lusuh yang disetorkan oleh seorang penjahit keuntungannyatidak memadai.
Namun seluruh anggota keluarga memiliki rekening di bank tersebut, dan fasilitas itu diberikan pada segelintir klien yang sangat kaya.
Hugh melihat salah seorang dari mereka sekarang.
Sir John Cammel.
Hugh mengenal anaknya di Windfield.
Sir John, seorang lelaki kurus berkepala botak, memperoleh penghasilan melimpah dari tambang batu bara dan galangan kapal di tanahnya di Yorkshire.
Kini ia mondar-mandir di lantai marmer, tampak tidak sabar dan marah.
Hugh menyapa.
"Selamat siang, Sir John. Saya harap Anda mendapatkan pelayanan yang baik."
"Tidak, anak muda. Apakah tidak ada orang yang bekerja di tempat ini?"
Hugh melihat ke sekelilingnya dengan cepat. Tak terlihat satu pun mitra atau karyawan senior, la memutuskan untuk menggunakan inisiatifnya.
"Bolehkah saya mengantar Anda ke Ruang Mitra, Sir? Saya yakin mereka ingin bertemu dengan Anda."
"Baiklah."
Hugh mengantarnya ke atas.
Semua mitra bekerja bersama-sama di satu ruangan, menurut tradisi, sehingga mereka dapat saling mengawasi.
Ruangan itu diisi de -ngan perabot seperti kamar baca dalam sebuah klub pria, dengan sofa kulit, tempat buku, dan satu meja sentral dengan koran-koran.
Dalam potret berbingkai di dinding, nenek moyang keluarga Pilaster memandang keturunannya dari atas hidung betet mereka.
Ruangan itu kosong.
"Salah seorang akan segera kembali, saya yakin,"
Kata Hugh.
"Bolehkah saya menawarkan segelas anggur madeiraT Ia pergi ke lemari setinggi pinggang dan menuangkan segelas anggur, sementara Sir John duduk di kursi kulit.
"Perkenalkan, saya Hugh Pilaster."
"O ya?"
Sir John agak reda marahnya setelah mengetahui bahwa ia berbicara dengan seorang keluarga Pilaster, bukan pesuruh kantor biasa.
"Apakah dulu kau bersekolah di Windfield?"
"Ya, Sir. Satu sekolah dengan putra Anda, Albert. Kami menjulukinya Hump."
"Semua anggota keluarga Cammel dijuluki Hump."
"Saya tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak... sejak itu."
"Dia pergi ke Cape Colony dan senang sekali tinggal -di sana, sampai-sampai dia tidak berniat kembali kemari. Dia beternak kuda sekarang."
Albert Cammel berada di kolam renang itu pada hari naas tahun 1866 dulu. Hugh tidak pernah mendengar cerita versi pemuda itu tentang bagaimana Peter Middleton mati tenggelam.
"Saya ingin menyuratinya,"
Kata Hugh.
"Mungkin dia senang menerima surat dari teman sekolahnya dulu. Akan kuberikan alamatnya padamu."
Sir John melangkah ke meja, mencelupkan pena ke dalam tempat tinta, dan menulis di sehelai kertas.
"Ini alamatnya."
"Terima kasih."
Hilang sudah kemarahan Sir John. Hugh merasa puas.
"Apakah ada lagi yang bisa saya bantu sementara Anda menunggu?' SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Begini, barangkali kau bisa menangani ini."
Ia mengeluarkan selembar cek dari sakunya. Hugh memeriksa cek tersebut. Besarnya seratus sepuluh ribu pound, cek pribadi paling besar nilainya yang pernah ditangani Hugh.
"Aku baru saja menjual sebuah tambang batu bara pada tetanggaku,"
Sir John memberikan penjelasan.
"Tentu saya bisa mendepositokannya untuk Anda."
"Berapa bunga yang akan kuperoleh?"
"Empat persen sekarang."
"Baiklah kalau begitu."
Hugh ragu.
Terlintas dalam benaknya bahwa seandainya Sir John dapat dibujuk untuk membeli obligasi pemerintah Rusia, penawaran pinjaman obligasi itu akan berubah dari sedikit kurang permintaan menjadi sedikit kelebihan permintaan.
Haruskah ia menyinggung masalah itu? Ia sudah bertindak melampaui wewenangnya dengan membawa masuk seorang tamu ke Ruang Mitra.
Ia mencoba meraih peluang.
"Anda bisa mendapat lima tiga per-delapan dengan membeli obligasi pemerintah Rusia."
Sir John menyipitkan matanya.
"Bisakah sekarang?"
"Ya. Sebenarnya pengajuan permohonannya ditutup kemarin, tapi untuk Anda...."
"Aman?"
"Seaman pemerintah Rusia sendiri."
"Aku akan pikir-pikir dulu."
Semangat Hugh bangkit dan ia ingin menutup transaksi penjualan itu.
"Tingkat suku bunganya mungkin tidak sama besok, seperti Anda maklumi. Jika obligasi tersebut dijual di pasar bebas, harganya mungkin naik-turun."
Lalu ia merasa terlalu terburu nafsu, karenanya ia menahan diri.
"Saya akan segera memasukkan cek ini ke rekening Anda dan jika bersedia, silakan Anda berunding dengan salah seorang paman saya tentang obligasi itu."
"Baiklah, Pilaster muda. Kau boleh pergi."
Hugh keluar dan bertemu dengan Paman Samuel di ruang utama.
"Sir John Cammel ada di sini, Paman,"
Katanya.
"Saya bertemu dengan beliau di ruang utama dalam keadaan marah, jadi saya beri dia segelas anggur madeira. Saya harap apa yang saya lakukan tidak salah."
"Aku yakin tidak,"
Ujar Samuel.
"Aku akan melayaninya."
"Dia membawa cek ini. Besarnya seratus sepuluh ribu. Saya menyinggung soal Pinjaman Pemerintah Rusia. Seperti Paman ketahui, penawaran obligasi ini kekurangan permintaan sebesar seratus ribu."
Alis mata Samuel terangkat.
"Kau mempunyai pandangan jauh ke depan."
"Saya hanya mengatakan padanya mungkin dia bisa berunding dengan salah seorang mitra tentang obligasi itu, kalau dia menginginkan tingkat suku bunga lebih tinggi."
"Baiklah. Gagasan itu bagus juga."
Hugh kembali ke ruang utama bank, mengambil buku besar Sir John, dan memasukkan deposito itu, kemudian membawa cek itu ke karyawan bagian kliring.
Sesudah itu ia naik ke ruang kantor Mulberry.
Ia menyerahkan catatan obligasi Rusia, menyinggung kemungkinan Sir John Cammel akan membeli sisanya, lalu duduk menghadap meja kerjanya sendiri.
Seorang pesuruh masuk membawa teh, roti, dan mentega di baki.
Makanan ringan ini dihidangkan pada semua karyawan yang masih bekerja sesudah jam empat tiga puluh.
Kalau pekerjaan sedikit, sebagian besar karyawan pulang kerja pada jam empat.
Staf bank adalah golongan elite di kalangan karyawan administrasi; karyawan administrasi di perusahaan dagang, perusahaan pelayaran, yang sering bekerja hingga larut malam dan kadang-kadang sampai pagi, sangat iri pada mereka.
Tak lama kemudian, Samuel masuk dan menyerahkan beberapa dokumen pada Mulberry.
"Sir John membeli obligasi pemerintah Rusia,"
Katanya pada Hugh.
"Pekerjaanmu bagus, kau pintar meraih peluang."
"Terima kasih."
Samuel melihat baki surat berlabel di meja Mulberry.
"Apa ini?"
Tanyanya dengan nada senang.
"Untuk perhatian Kepala Bagian Administrasi. Telah ditangani oleh Kepala Bagian Administrasi."
Mulberry memberikan penjelasan.
"Maksudnya untuk memisahkan dokumen masuk dan keluar. Supaya orang tidak bingung."
"Rancangan ini bagus sekali. Mungkin aku akan melakukannya juga."
"Sebenarnya, Mr. Samuel, ini gagasan Mr. Hugh."
Samuel melemparkan pandangan senang pada Hugh.
"Apa kubilang, kau memang jeli, Nak."
Hugh kadang-kadang dianggap terlalu sombong, karenanya sekarang ia berpura-pura rendah hati.
"Saya sadar saya masih harus banyak belajar."
"Jangan terlalu merendah. Katakan padaku, kalau kau tidak ingin lagi bekerja sebagai bawahan Mr. Mulberry, pekerjaan apa yang ingin kaulakukan sesudah ini?"
Hugh tak perlu memikirkan jawabannya.
Pekerjaan yang paling didambakan orang adalah pekerjaan karyawan bagian surat-menyurat.
Sebagian besar karyawan hanya melihat sebagian transaksi bagian yang mereka catat tapi karyawan bagian surat-menyurat, yang menyusun konsep surat pada klien, mengetahui seluruh transaksi.
Ini merupakan jabatan terbaik tempat menimba ilmu, dan batu loncatan terbaik untuk naik pangkat.
Dan karyawan bagian surat-menyurat bawahan Paman Samuel, Bill Rose, tak lama lagi pensiun.
Tanpa ragu-ragu Hugh berkata.
"Saya ingin menjadi karyawan bagian surat-menyurat bawahan Paman."
"Sekarang? Kau baru satu tahun bekerja di bank ini."
"Pada waktu Mr. Rose menjalani pensiun, masa kerja saya mencapai delapan belas bulan."
"Delapan belas bulan."
Samuel masih tampak, tapi ia belum berkata tidak.
"Kita lihat nanti,"
Katanya, dan ia melangkah ke luar. Mulberry berkata pada Hugh.
"Apakah Anda memberi advis pada Sir John Cammel untuk membeli surplus obligasi pemerintah Rusia?"
"Saya hanya menyinggung soal itu,"
Ucap Hugh.
"Ya,"
Ujar Mulberry.
"Ya."
Dan ia duduk menatap Hugh secara spekulatif selama beberapa menit lagi.
MINGGU siang yang cerah.
Semua penduduk Lon don keluar rumah berjalan-jalan, mengenakan busana terbaik mereka.
Piccadilly bebas dari keramaian lalu lintas, karena hanya orang cacat yang mau bepergian dengan kereta kuda pada hari Sabbath.
Maisie Robinson dan April Tilsley sedang menyusuri jalan lebar, memandangi puri-puri orang kaya, dan mencoba mencari kenalan pria.
Mereka tinggal di Soho, berbagi kamar di sebuah rumah kumuh di Carnaby Street, dekat St James Workhouse.
Mereka biasa bangun sekitar tengah hari, berdandan dengan hati-hati, lalu keluar rumah.
Senja hari mereka biasanya sudah menemukan sepasang laki-laki yang mau membayar makan malam mereka; kalau tidak, mereka menahan lapar.
Mereka nyaris tak punya uang, tapi kebutuhan mereka tidak banyak.
Apabila sewa kamar jatuh tempo, April biasanya "pinjam uang"
Pada seorang teman laki-laki.
Maisie selalu memakai pakaian yang itu-itu juga dan mencuci pakaian dalamnya setiap malam.
Tak lama lagi seseorang mungkin akan membelikannya SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sehelai gaun baru.
Ia berharap, cepat atau lambat, salah seorang laki-laki yang membelikan makan malamnya akan mengawininya atau menjadikannya wanita simpanan.
April masih terpesona pada pemuda Amerika Selatan yang baru dikenalnya, Tonio Silva.
"Coba pikir, dia sanggup menanggung kekalahan sepuluh guinea dalam satu kali taruhan!"
Ujarnya.
"Dan aku dari dulu senang rambut merah."
"Aku tak senang pada pemuda Amerika Selatan yang satunya, yang berkulit gelap,"
Kata Maisie.
"Micky? Dia tampan sekali."
"Ya, tapi kurasa orangnya licik."
April menunjuk ke arah sebuah rumah besar.
"Itu rumah ayah Solly."
Rumah itu terletak jauh dari jalan raya, dengan halaman setengah lingkaran di depannya.
Rumah itu mirip sebuah kuil Yunani, dengan sebaris pilar melintang di bagian depan, yang menjangkau sampai ke atap.
Di pintu depan yang besar terdapat pengetuk pintu berkilau dan jendela-jendelanya dihiasi tirai beludru merah.
April berkata.
"Coba pikir, kau bisa tinggal di sana suatu hari nanti."
Maisie menggelengkan kepala.
"Bukan aku."
"Itu pernah terjadi,"
Kata April.
"Kau harus lebih berani daripada gadis-gadis kelas atas, dan itu tidak sulit. Setelah kawin, kau bisa belajar meniru aksen dan tata krama mereka dalam waktu singkat. Cara bicaramu sudah bagus, kecuali kalau kau sedang marah. Dan Solly itu anak baik."
"Pemuda gendut yang baik,"
Ucap Maisie kesal.
"Tapi kaya sekali! Kata orang, ayahnya punya orkes simfoni di rumahnya di pedalaman, kalau-kalau dia ingin menikmati musik sesudah makan malam!"
Maisie meparik napas panjang. Ia tak ingin memikirkan Solly.
"Ke mana yang lainnya pergi setelah aku meneriaki si Hugh itu?"
"Menonton pertandingan anjing lawan tikus. Lalu aku dan Tonio pergi ke Batt's Hotel."
"Kau 'ehm-ehm' dengan dia?"
"Tentu, dong! Kaupikir untuk apa kami ke Batt's?"
"Main kartu?"
Mereka tertawa cekikikan. April kelihatan curiga.
"Kau juga begitu dengan Solly, bukan?"
"Aku membuatnya bahagia,"
Ujar Maisie.
"Maksudmu?"
Maisie membuat gerakan dengan tangannya, dan mereka tertawa cekikikan lagi. April berkata.
"Cuma begitu? Kenapa?"
Maisie angkat bahu.
"Ya, mungkin kau benar,"
Ucap April.
"Kadang-kadang paling baik kalau kita tidak langsung memberi hati pada mereka. Kalau diberi sedikit demi sedikit, mereka akan tambah kepingin."
Maisie mengalihkan pembicaraan.
"Berkenalan dengan orang-orang bermarga Pilaster membangkitkan kenangan buruk,"
Katanya. April mengangguk.
"Bos-bos, aku benci kelancangan mereka,"
Ucapnya dengan rasa benci yang muncul tiba-tiba. Cara bicara April bahkan lebih kasar daripada yang biasa digunakan Maisie di lingkungan rombongan sirkus.
"Aku tak mau kerja untuk orang lain. Itulah sebabnya aku melakukan ini. Aku pasang harga sendiri dan minta dibayar di muka."
"Kakakku dan aku meninggalkan rumah pada hari Tobias Pilaster jatuh bangkrut,"
Kata Maisie. Senyumnya menunjukkan penyesalan.
"Boleh dikatakan karena keluarga Pilaster-Iah aku ada di sini hari ini."
"Apa yang kaulakukan setelah pergi dari rumah? Langsung ikut rombongan sirkus?"
"Tidak,"
Maisie merasakan tarikan kuat di hatinya saat mengenang betapa ia ketakutan dan kesepian.
"Kakakku menjadi penumpang gelap di kapal yang berlayar ke Boston. Aku tak pernah melihat dan mendengar kabar darinya sejak itu. Aku tidur di tempat pembuangan sampah selama seminggu. Syukurlah cuaca cukup baik waktu itu bulan Mei. Cuma satu malam turun hujan. Aku menutupi tubuhku dengan kain bekas dan badanku jadi berkutu selama beberapa tahun kemudian.... Aku ingat pemakaman itu."
"Siapa yang dimakamkan?"
"Tobias Pilaster. Iring-iringannya melewati jalan. Dia orang terpandang di kota. Aku ingat seorang anak laki-laki kecil, sedikit lebih tua dariku, mengenakan pakaian hitam dan topi tinggi, menggandeng tangan ibunya Pasti Hugh."
"Bisa kubayangkan,"
Kata April.
"Sesudah itu aku berjalan ke Newcastle. Aku berpakaian seperti anak laki-laki dan bekerja di kandang kuda. Membantu apa saja. Mereka membolehkan aku tidur di atas jerami pada malam hari, di samping kuda. Aku tinggal di situ selama tiga tahun."
"Mengapa kau berhenti kerja?"
"Ini tambah besar,"
Ucap Maisie, menggerakkan payudaranya ke kiri-kanan. Seorang lelaki setengah baya yang berjalan melewati mereka melihatnya, dan matanya nyaris keluar.
"Ketika kepala pengurus istal menyadari aku seorang gadis, dia mencoba memperkosaku. Aku menghantam mukanya dengan cemeti kuda, dan tamatlah pekerjaanku."
"Kuharap kau mencederainya,"
Kata April.
"Yang jelas, aku berhasil meredakan nafsunya."
"Seharusnya kauhantam saja alat vitalnya."
"Kalau dia suka, bagaimana."
"Kau pergi ke mana setelah berhenti kerja di istal kuda itu?"
"Pada waktu itulah aku ikut rombongan sirkus. Aku mulai sebagai pekerja istal kuda, dan akhirnya jadi salah seorang penunggang kuda."
Ia menarik napas panjang penuh nostalgia.
"Aku suka rombongan sirkus itu. Orang-orangnya ramah."
"Terlalu ramah, kurasa."
Maisie mengangguk.
"Aku tidak pernah akur dengan kepala arena, dan ketika dia memintaku melakukan seks oral padanya, kurasa sudah waktunya aku berhenti kerja di situ. Aku bertekad kalau aku cari uang dengan cara begitu, aku akan minta dibayar lebih tinggi. Jadi, di sinilah aku."
Maisie mudah meniru cara bicara orang dan ia telah menerapkan kosa kata April yang ceplas-ceplos. April menatapnya tajam.
"Sudah berapa kali kau melakukan seks oral sejak itu?"
"Belum pernah, aku tidak bohong."
Maisie merasa kikuk. -"Aku tak bisa bohong padamu, April. Aku tidak yakin aku cocok untuk pekerjaan ini."
"Kau sempurna untuk pekerjaan ini!"
Protes April.
"Kedipan matamu itu tak bisa dilawan oleh laki-laki. Dengar. Teruskan hubunganmu dengan Solly Greenbourne. Beri dia sedikit-sedikit setiap kali. Biarkan dia menyentuh tubuhmu suatu hari, biarkan dia melihatmu telanjang pada kesempatan berikutnya. Dalam waktu tiga minggu gairahnya tidak akan tertahan. Pada suatu malam, bila kau sedang bersamanya, bilang, 'Kalau kaubelikan aku rumah kecil di Chelsea, kau bisa lakukan ini kapan saja kau mau.' Aku berani sumpah, Maisie, kalau Solly bilang tidak, aku akan jadi biarawati."
Maisie tahu temannya benar, namun jiwanya berontak terhadap hal ini.
Ia tidak yakin mengapa.
Sebagian karena ia tidak tertarik pada Solly.
Alasan lain, pemuda itu begitu baik.
Ia tidak sampai hati memanipulasinya dengan kejam.
Namun yang paling buruk, ia merasa akan mengakhiri semua harapan untuk mendapatkan cinta sejati perkawinan sejati dengan pria idamannya.
Tapi sebaliknya, ia harushidup, dan ia bertekad tidak mau hidup seperti orangtuanya, menunggu uang yang jumlahnya tidak seberapa selama seminggu penuh pada hari gajian, dan selama-lamanya menghadapi risiko kehilangan pekerjaan karena suatu krisis keuangan yang terjadi ratusan mil jauhnya.
April berkata.
"Bagaimana dengan salah satu dari yang lainnya? Kau bisa menentukan pilihanmu."
"Aku menyukai Hugh, tapi aku telah melukai perasaannya."
Goosebumps Napas Vampir Satria Gendeng Kail Naga Samudera Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut