Ceritasilat Novel Online

Kekayaan Yang Menyesatkan 4


Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 4



Ia heran karena gadis itu begitu bergairah, tapi ia maklum kalau gadis-gadis pun suka berciuman seperti laki-laki.

   Kegairahan gadis itu membuatnya lebih terangsang.

   Hugh membelai pipi dan lehernya, dan tangannya jatuh ke bahu Maisie.

   Hugh ingin menyentuh payudaranya, namun ia takut gadis itu tersinggung, karenanya ia ragu.

   Maisie menempelkan bibir ke telinganya, dan sambil mencium ia berbisik.

   "Kau boleh menyentuhnya."

   Hugh terkejut karena gadis itu bisa membaca pikir -annya, namun ajakan itu merangsangnya, nyaris tak tertahankan bukan hanya —karena gadis itu bersedia, tapi karena ia benar-benar mengucapkannya.

   Kau boleh menyentuhnya.

   Ujung jemarinya menyusuri bahu gadis itu, bergerak ke lehernya, turun ke payudaranya, dan ia menyentuh bagian yang membusung di atas garis leher gaunnya.

   Kulitnya lembut dan hangat.

   Ia tak yakin apa yang akan dilakukannya setelah ini.

   Haruskah ia mencoba memasukkan tangannya? Maisie menjawab pertanyaan tak terucapkan itu dengan mengambil tangan Hugh dan menekankannya ke bagian gaunnya di bawah garis leher.

   "Remaslah, tapi dengan lembut,"

   Bisiknya.

   Pemuda itu melakukannya.

   Rasanya tidak seperti otot atau tempurung lutut, tapi lebih lentur.

   Tangannya mengelus dan meremas bergantian.

   Napas Maisie panas mengenai lehernya.

   Hugh merasa sanggup melakukan ini semalaman, namun ia berhenti untuk mencium bibir Maisie lagi.

   Kali ini gadis itu menciumnya sebentar, kemudian melepaskan ciumannya, menciumnya, melepaskan lagi dan lagi, dan cara itu bahkan lebih menggairahkan.

   Hugh sadar, banyak cara untuk berciuman.

   Tiba-tiba gadis itu membeku.

   "Dengarkan,"

   Katanya. Samar-samar Hugh sadar bahwa taman itu menjadi ingar-bingar, dan kini ia mendengar teriakan serta benturan keras. Ketika mengarahkan pandang ke jalan setapak, ia melihat orang-orang berlarian ke sana kemari.

   "Pasti ada yang berkelahi lagi,"

   Katanya. Lalu ia mendengar bunyi peluit polisi.

   "Sialan,"

   Ujarnya.

   "Sekarang ada kesulitan."

   "Sebaiknya kita pergi,"

   Kata Maisie.

   "Mari kita cari arah jalan masuk ke King's Road, mungkin di sana kita bisa menemukan kereta sewaan."

   "Baik."

   Hugh agak ragu sebentar, segan untuk pergi.

   "Tapi, satu ciuman lagi."

   "Ya."

   Ia mencium Maisie yang menyambutnya dengan pelukan erat.

   "Hugh,"

   Ujar gadis itu.

   "terus terang aku senang bertemu denganmu."

   Ia merasa ucapan itu ucapan paling manis yang pernah ia peroleh.

   Mereka berjalan ke utara, terburu-buru.

   Sesaat kemudian muncul dua pria muda, yang satu mengejar yang lainnya.

   Pria pertama menabrak Hugh hingga terjatuh limbung.

   Ketika ia berdiri, kedua pria itu telah menghilang.

   Maisie khawatir dan bertanya.

   "Kau tidak apa-apa, Hugh?"

   Hugh membersihkan pakaiannya dan mengambil topinya dari jalan.

   "Tidak ada yang luka,"

   Katanya.

   "Tapi aku tidak mau hal itu terjadi padamu. Mari kita potong jalan ini saja, lewat taman itu... mungkin lebih aman."

   Saat mereka memotong kompas, lampu penerangan jalan mati.

   Mereka terus berjalan dalam gelap.

   Dari kejauhan terdengar suara ribut-ribut...

   teriakan wanita dan pria, disusul dengan peluit polisi.

   Tiba-tiba Hugh sadar bahwa dirinya bisa ikut tertangkap, lalu setiap orang akan tahu apa yang dilakukannya malam ini.

   Augusta pasti akan menyerang dirinya, mengatakan bahwa ia bukan pria yang bertanggung jawab untuk bekerja di bank keluarga.

   Hugh mendesah.

   Tapi begitu teringat kehangatan tubuh Maisie, ia bertekad akan mempersetankan apa yang akan dikatakan Augusta.

   Mereka menghindari jalan setapak dan lapangan terbuka, memilih masuk ke kelebatan pohon serta semak-semak bunga.

   Letak tanahnya agak tinggi di tepi sungai, jadi Hugh tahu bahwa mereka berada di jalur yang tepat, asalkan mereka terus mengambil arah mendaki ke atas bukit.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dari kejauhan ia melihat kelap-kelip lentera dan ia menuju ke arah tersebut.

   Tak lama kemudian mereka bersua dengan pasangan-pasangan lain yang rupanya juga berjalan di jalur yang sama.

   Hugh berharap segera bertemu lagi dengan pasangan lain yang tidak mabuk.

   Dengan berada di dalam kelompok orang-orang terhormat, ia berharap mereka tidak terlalu dicurigai polisi.

   Saat mereka mendekati pintu taman, sekitar empat puluh polisi memasuki gerbang.

   Tertahan oleh arus manusia yang bergerak keluar, mereka mulai memukuli siapa saja tanpa pandang bulu.

   Kerumunan orang itu berbalik dan berlarian kembali ke arah semula.

   Hugh memutuskan dengan cepat.

   "Biarkan aku menggendongmu,"

   Katanya pada Maisie. Maisie agak bingung, tapi segera menjawab.

   "Baik."

   Hugh membungkuk dan mengangkat tubuh Maisie.

   "Kau pura-pura pingsan,"

   Bisiknya. Maisie segera menutup kedua matanya dan pura-pura lemas. Hugh berjalan menuju pintu taman, menerobos kerumunan orang sambil berteriak dengan suara berwibawa.

   "Beri jalan! Beri jalan!"

   Melihat seorang wanita sakit sedang digendong, orang-orang yang berlainan itu membuka jalan. Akhirnya Hugh berada di depan para polisi yang sama paniknya.

   "Beri jalan, Pak Polisi! Biarkan wanita ini keluar!"

   Hugh berteriak pada salah satu polisi. Si polisi agak ragu, tampangnya terlihat sengit, dan sesaat Hugh mengira tipuannya akan ketahuan. Untungnya seorang sersan memberi perintah.

   "Beri dia jalan!"

   Hugh terus berjalan menerobos kerumunan polisi, dan tak lama ke-* mudian sudah berada di tepi jalan, tanpa ada gangguan.

   Maisie membuka kedua matanya dan Hugh tersenyum padanya.

   Ia senang bisa menggendong Maisie dan karenanya tidak terburu-buru menurunkannya.

   "Kau tidak apa-apa?"

   Maisie mengangguk. Ia menangis terharu.

   "Cukup, turunkan-aku."

   Hugh menurunkan Maisie perlahan-lahan, lalu memeluknya.

   "Jangan menangis,"

   Hiburnya.

   "Sekarang sudah tidak apa-apa."

   Maisie menggelengkan kepala.

   "Bukan... bukan ribut-ribut itu,"

   Bisiknya."

   Aku sudah pernah melihat orang berkelahi, tapi baru kali ini ada orang yang mau memperhatikan diriku. Sejak kecil aku selalu harus menjaga diriku sendiri. Sekarang aku merasakan pengalaman baru."

   Hugh tidak tahu harus menjawab apa. Semua wanita yang dikenalnya menganggap sudah tugas pria untuk menjaga wanita. Tapi dengan Maisie ia merasakan lain. Hugh mencari kereta sewaan, tapi sayangnya tak ada satu pun yang tampak.

   "Aku khawatir kita harus berjalan kaki."

   "Ketika usiaku baru sebelas tahun, aku harus berjalan selama empat hari untuk tiba di' Newcastle,"

   Kata Maisie.

   "Jadi, bukan masalah kalau hanya jalan dari Chelsea ke Soho." [in] MICKY MIRANDA mulai belajar menipu dalam bermain kartu sejak bersekolah di Windfield. Ia butuh uang tambahan, karena uang sakunya pas-pasan, Metoda tipuan kartu hasil temuannya waktu itu masih kasar sekali, tapi cukup untuk mengelabui anak-anak sekolah. Lalu, dalam perjalanan di atas kapal melintasi samudra Atlantik menuju Kordoba, ia pernah terkena batunya. Orang yang coba ditipunya ternyata seorang pemain profesional. Pria itu tidak marah, malah mengajari Micky dasar-dasar ilmu tipuan kartu. Sebenarnya melakukan tipuan kartu sangat berbahaya, apalagi jika jumlah taruhan sangat tinggi. Jika uang taruhan hanya beberapa penny, orang tidak akan curiga ada yang mau menipu. Tapi lain halnya jika jumlahnya makin besar. Malam ini jika tertangkap basah, bukan saja rencananya menghabisi Tonio akan kandas, tapi juga nama dan reputasinya akan hancur. Di Inggris, menipu dalam permainan kartu dianggap kejahatan tak terampuni. Ia akan diminta berhenti dari keanggotaan klubnya, teman-temannya akan menghindar kalau dikunjunginya, dan tak seorang pun sudi berbicara dengannya di jalan. Kendati sangat jarang, ia pernah mendengar cerita tentang para pria Inggris yang tertangkap melakukan tipuan kartu. Nasibnya akan berakhir dengan rasa malu dan terusir keluar dari Inggris. Mungkin di Malaya atau Hudson Bay. Kalau Micky, ia akan terusir kembali ke Kordoba, merasakan selamanya hinaan kakaknya dan melewatkan hari-harinya dengan beternak sapi. Memikirkannya saja sudah membuatnya merinding ngeri. Tapi jika rencananya malam ini berhasil, hasilnya akan sepadan dengan risikonya. Ia melakukan ini bukan sekadar untuk membuat Augusta senang. Augusta memang penting bagi Micky, karena melalui dia, Micky bisa masuk dan diterima di kalangan atas kota London. Tapi selain itu ia sangat menginginkan jabatan Tonio. Papa sudah mengatakan bahwa mulai sekarang Micky harus bisa menghidupi diri sendiri. Tidak akan ada lagi kiriman uang dari Kordoba ke London untuknya. Karena itu, ia butuh pekerjaan. Jabatan yang dipegang Tonio sangat ideal. Sebagai konselor Kordoba di Inggris, Micky tak perlu berkerja rutin dan berat, tapi punya penghasilan memadai dan posisi terhormat. Juga bisa naik pangkat. Suatu hari nanti mungkin ia bisa menjadi menteri di Kordoba. Dengan demikian ia akan dihormati di mana pun. Bahkan kakaknya sendiri takkan bisa mengejeknya lagi. Malam itu Micky, Edward, Solly dan Tonio makan malam lebih awal di Cowes, klub favorit mereka. Pada jam sepuluh malam, mereka berempat sudah masuk ke ruang permainan kartu. Di meja bakarat, dua orang bergabung. Kapten Carter dan Viscount Montagne. Montagne orang tolol, tapi rekannya, Carter, sangat tangguh. Micky tahu ia harus berhati-hati dengan orang itu. Di seputar meja, sekitar .10 inci dari tepinya, melintang sebuah garis putih. Setiap pemain memiliki setumpuk uang emas di depannya. Begitu diletakkan di dalam lingkaran putih, berarti uang itu dijadikan taruhan oleh pemiliknya. Sesuai rencana, Micky pura-pura banyak minum sejak siang. Sewaktu makan siang, ia membasahi bibirnya dengan sampanye dan sisanya sengaja ia buang diam-diam ke rumput. Di dalam kereta kembali ke London, ia pura-pura menerima minuman yang disodorkan Edward, padahal minuman itu tidak ditelannya. Sewaktu makan malam ia melakukan yang sama. Sekarang ia memesan bir jahe yang mirip dengan soda brendi. Ia tahu bahwa ia harus segar dan waras untuk melakukan tipuan kartu. Jika berhasil, ia akan bisa merebut pekerjaan Tonio Silva. Ia menjilat bibirnya dengan agak gugup, lalu tersadar dan berusaha tampak santai. Dari semua permainan kartu, bakarat-lah yang paling populer. Mungkin bakarat sengaja diciptakan untuk membuat orang yang cerdik bisa mencuri secara legal dari si kaya, pikir Micky. Dari segi teknik, bakarat adalah permainan untung-untungan. Tidak diperlukan strategi atau teknik jitu. Setiap pemain menerima dua kartu yang nilainya mesti dijumlahkan. Misalnya kartunya bernilai tiga dan empat, berarti nilai keseluruhannya tujuh; dua dan enam, nilainya delapan. Nilai tertinggi adalah sembilan. Seandainya total nilainya lebih dari sembilan, yang diperhitungkan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY adalah digit terakhir. Jadi, nilai lima belas dihitung lima, nilai dua puluh dihitung nol. Pemain dengan nilai kartu kecil bisa meminta kartu tambahan yang harus diletakkan secara terbuka di meja, jadi setiap orang bisa melihatnya. Bandar bakarat hanya melayani tiga pihak. sebelah kiri, sebelah kanan, dan dirinya sendiri. Para pemain hanya bermain di sisi kiri atau di sisi kanan. Bandar membayar siapa saja yang nilai kartunya lebih dari kartu miliknya. Keuntungan lain dari bakarat, khususnya dari sudut pandang seorang penipu, dalam sekali permainan digelar tiga kotak kartu yang masih baru. Ini berarti si penipu bisa memakai kartu tambahan yang ia sembunyikan tanpa perlu khawatir apakah ada pemain lain yang telah memegang kartu yang sama. Ketika para pemain lainnya sedang santai dan menyalakan cerutu, ia minta pelayan membawakan tiga kotak kartu baru. Ketika kembali, si pelayan otomatis menyerahkan kartu itu pada Micky. Untuk bisa mengendalikan permainan, pertama-tama Micky harus menjadi bandar. Untuk itu, ada dua hal yang mesti dilakukan. ia harus memanipulasi pembagian kartu dan mengubah kedudukan kartu. Tidak terlalu sulit sebenarnya, hanya saja kali ini ia tegang. Ini bisa mengacaukan manuver yang paling mudah sekalipun. Ia merobek bungkus kartu. Semua kartu selalu disusun sama, kartu Joker di atas dan kartu As sekop di bagian paling bawah, membuang kartu Joker dan mulai mengocok sambil menikmati licinnya kartu baru. Mudah sekali memindahkan kartu As dari tumpukan paling bawah ke paling atas, tapi ia harus menjaga jangan sampai kartu itu terambil oleh pemain lain yang akan memotong kartu. Ia menyodorkan kartu-kartu itu pada Solly, yang duduk di sisi kanannya. Saat meletakkan kartu di meja, Micky menahan kartu paling atas As sekop di telapak angannya yang lebar, — —hingga tersembunyi dari pandangan para pemain lain. Kemudian, dengan telapak tangan terus menghadap ke bawah. Micky menerima tumpukkan kartu dari Solly sambil meletakkan kartu As sekop itu di tumpukan paling atas. Ia berhasil memanipulasi kedudukan kartu.

   "Kartu paling tinggi menjadi bandar?"

   Tanyanya, pura-pura tak peduli mereka mengatakan ya atau tidak.

   Yang lain bergumam setuju.

   Sambil memegang kartu erat-erat, ia mengangkat sedikit kartu As sekop dan dengan kecepatan seorang pemain profesional mulai membagikan kartu kepada para pemain.

   Ketika tiba gilirannya, ia mengambil kartu As sekopnya.

   Dengan serentak mereka membalik kartu masing-masing, dan milik Micky ternyata paling tinggi.

   Otomatis ia menjadi bandar.

   Dengan senyum biasa ia berkata.

   "Kurasa aku akan beruntung malam ini."

   Tak ada yang berkomentar.

   Ia jadi lebih santai.

   Sambil menyembunyikan perasaan leganya, ia membagi kartu pertama.

   Tonio bermain di sisi kirinya, bersama Edward dan Viscount Montagne.

   Di sisi kanannya duduk Solly dan Kapten Carter.

   Micky tidak merencanakan untuk menang.

   Bukan itu tujuannya.

   Ia hanya ingin Tonio kalah habis-habisan.

   Selama beberapa saat, ia memainkan kartu dengan wajar, sedikit kehilangan uang milik Augusta.

   Yang lain mulai santai dan sudah minta disediakan minuman kedua.

   Ketika saatnya tiba, Micky menyalakan cerutunya.

   Di saku jasnya, di sisi kotak cerutunya, ia telah menyembunyikan beberapa pasang kartu yang dibelinya dari toko di St.

   James Street, tempat klubnya biasa memesan kartu, jadi tidak akan mencurigakan.

   Ia telah mengatur kartu-kartu itu menjadi pasangan-pasangan bernilai sembilan.

   lima dengan empat, sembilan dengan sepuluh, sembilan dengan jack, dan seterusnya.

   Sisa kartu lain ditinggal di rumah.

   Sambil memasukkan kembali kotak cerutunya, ia mengambil tumpukan kartu yang telah ia persiapkan itu.

   Ia lalu menyelipkan kartu-kartu barunya ke bagian bawah kartu lama.

   Ketika yang lain sedang mencampur brendi dengan air, ia mengocok kartu-kartu secara sistematis.

   satu kartu baru di atas, lalu dua kartu seadanya, lalu satu lagi yang baru, dua lagi seadanya.

   Lalu ia membagikan kartu ke sisi kiri, lalu ke sisi kanan, dan untuk dirinya sendiri ia memberikan pasangan kartu yang pasti menang.

   Pada kesempatan lain, ia memberikan kemenangan pada sisi Solly.

   Untuk sesaat ia melakukan hal yang sama, membuat Tonio selalu kalah dan Solly selalu menang.

   Uang yang ia menangkan dari sisi Tonio dibayarkan ke sisi Solly, sehingga tak ada yang curiga pada Micky, karena tumpukan uang di depannya tidak pernah berubah drastis.

   Tonio telah mempertaruhkan sebagian besar uang kemenangannya di pacuan kuda sekitar seratus pound.

   Ketika jumlahnya sudah menyusut jadi sekitar lima —puluh pound, ia berdiri dan berkata.

   "Sisi kiri sial terus, aku mau pindah ke dekat Solly."

   Ia pindah duduk ke sisi kanan meja.

   Tentu saja tidak ada gunanya, karena Micky tetap bisa mengatur pasangan kartu menangnya.

   Hanya saja ia gugup mendengar Tonio bicara tentang nasib sial.

   Ia ingin Tonio berpikir dirinya sedang di ambang keberuntungan, meski uangnya makin berkurang sedikit demi sedikit.

   Kadang-kadang Tonio bertaruh mulai dari lima sampai sepuluh mata uang emas sekali taruhan.

   Jika ia bertaruh sebesar itu, Micky akan memberinya keme -nangan.

   Tonio dengan gembira akan berteriak, '*Hari ini aku beruntung sekali, aku yakin ini."

   Padahal tumpukan uangnya makin lama makin menipis.

   Micky sudah lebih santai.

   Ia bisa menganalisis kondisi mental Tonio sementara memikirkan teknik memanipulasi yang lebih halus lagi.

   Ia merencanakan bahwa membuat Tonio bangkrut saja tidak cukup.

   Tonio harus dijerumuskan untuk berutang sebanyak mungkin sehingga dia tidak mampu untuk membayar kembali.

   Hanya dengan kondisi seperti itulah Tonio bisa dihabisi untuk selamanya.

   Micky dengan sabar memainkan kartunya, sampai Tonio terkuras habis dengan perlahan-lahan.

   Tonio sebenarnya tidak bodoh.

   Bisa saja sewaktu-waktu ia mundur dari meja judi, hingga terhindar dari kebangkrutan total.

   Ketika uang Tonio hampir ludes, Micky mengambil taktik lain.

   Ia mengambil kotak cerutu dari sakunya dan mengangsurkan sebatang pada Tonio.

   Katanya.

   "Tonio, cobalah ini... cerutu dari rumah."

   Dengan lega ia melihat Tonio mengambil cerutunya.

   Cerutu dari Kordoba berukuran panjang.

   Perlu sekitar setengah jam untuk menghabiskannya, dan Tonio tidak akan pulang sebelum mengisapnya sampai habis.

   Ketika ia menyulut cerutunya, Micky mengambil langkah terakhir yang mematikan.

   Beberapa putaran lagi, Tonio benar-benar terkuras habis.

   "Yah, habislah sudah uang kemenanganku di pacuan kuda siang tadi di Goodwood,"

   Keluhnya kesal.

   "Oh, kita perlu memberi kesempatan pada Tonio untuk meraih kembali kekalahannya malam ini,"

   Kata Micky.

   "Pilaster pasti mau memberimu utang seratus pound."

   Edward agak kaget mendengar tawaran Micky, tapi karena tumpukan uang di depannya cukup banyak, ia merasa tak pantas menolak.

   "Tentu, tentu saja."

   Solly berkomentar.

   "Mungkin sudah waktunya kau SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY mundur, Silva. Kau harus bersyukur, hari ini bisa main judi tanpa keluar modal sama sekali."

   Micky diam-diam mengutuk Solly yang selalu baik hati.

   Seandainya Tonio menerima saran Solly, habislah sudah rencana Micky malam ini.

   Tonio agak bimbang.

   Micky menahan napas.

   Hanya sebentar, karena bukan sifat Tonio untuk berjudi setengah-setengah.

   Persis seperti sudah diduga oleh Micky, Tonio menjawab.

   "Baiklah,"

   Katanya.

   "aku main sampai cerutu ini habis."

   Micky mendesah lega.

   Tonio memberi isyarat pada pelayan, minta dibawakan pena, kertas, dan tinta.

   Edward menghitung koin-koin emas senilai seratus pound dan Tonio menulis surat pengakuan utang.

   Micky tahu jika Tonio kalah lagi malam ini, ia takkan mampu membayar utangnya.

   Permainan berlanjut.

   Micky mulai berkeringat sambil terus berusaha mengendalikan permainan.

   Kadang ia memberi kemenangan sedikit pada Tonio untuk membuatnya tetap optimis, tapi secara sistematis membuatnya kalah dengan perlahan tapi pasti.

   Ketika sudah kalah lima puluh pound, dengan geram Tonio berkata.

   "Aku hanya menang jika bertaruh tinggi. Kupertaruhkan se-.rnua uangku ini."

   Jumlah itu sangat besar, meski untuk ukuran Klub Cowes.

   Jika Tonio kalah, berarti habislah ia.

   Satu atau dua anggota klub yang melihat jumlah taruhan itu datang mendekat untuk ikut menonton.

   Micky membagikan kartu.

   Ia melihat ke arah Edward di sisi kirinya.

   Edward menggelengkan kepala, tanda tidak menginginkan kartu tambahan.

   Di sisi kanan, Solly juga menggelengkan kepala Micky membalik kedua kartunya, satu As dan satu angka delapan.

   Jumlah sembilan.

   Edward juga membalik kartunya.

   Micky tidak tahu berapa jumlahnya, karena ia hanya mengatur jumlah kartu di tangannya.

   Yang lain diberi secara acak.

   Ternyata Edward memiliki lima dan dua, berarti nilai tujuh.

   Ia dan Kapten Carter kalah.

   Solly membalikkan kartunya kartu yang menentukan nasib Tonio.—Ternyata ia punya kartu senilai sembilan dan sepuluh.

   Jumlahnya sembilan belas, atau dihitung sembilan.

   Ini berarti sama dengan nilai kartu bandar.

   Jadi seri, tidak ada yang memang atau yang kalah.

   Tonio tetap memiliki lima puluh pound-nya.

   Micky mengumpat dalam hati.

   Ia ingin Tonio kalah total malam ini.

   Dengan cepat ia mengumpulkan semua kartu di meja, dan dengan nada sedikit meremehkan ia bertanya.

   "Mau mengurangi jumlah taruhanmu, Silva?"

   "Sudah pasti tidak,"

   Jawab Tonio.

   "Bagikan kartu."

   Micky berterima kasih pada nasib baiknya.

   Ia mulai membagi kartu dengan memberi kartu senilai sembilan pada dirinya sendiri.

   Kali ini ia melihat Edward mengetuk-ngetuk kartunya, berarti minta tambahan kartu ketiga.

   Micky memberinya kartu klaver, senilai empat dan memandang ke arah Solly.

   Solly lewat.

   Micky membalik kartunya dan memiliki nilai lima dengan empat.

   Sedangkan Edward punya kartu senilai empat, kartu Raja, dan kartu empat lagi.

   Jumlahnya delapan.

   Ia kalah.

   Solly membalikkan kartunya, senilai enam.

   Satu empat dan satu dua.

   Sisi kanan juga kalah dengan bandar.

   Dan Tonio bangkrut total.

   Ia jadi pucat dan dalam sekejap tampak sakit.

   Mengumpat sesuatu dalam bahasa Spanyol.

   Micky menekan senyum kemenangannya dan mulai mengumpulkan koin-koin miliknya lalu ia melihat se -—199suatu yang membuat napasnya tercekat dan jantungnya seolah berhenti.

   Di meja ada empat kartu senilai empat, semuanya kartu klaver.

   Malam itu mereka main dengan tiga kotak kartu baru, berarti mestinya hanya ada tiga kartu klaver senilai empat.

   Siapa pun yang melihat bahwa ada empat kartu senilai empat bergambar sama, akan tahu bahwa ada yang menambahkan satu kartu ekstra.

   Itulah risiko menggunakan tipuan seperti ini, dan peluang terjadinya hanya satu dari seratus ribu.

   Jika penipuan itu terbongkar, Mickylah yang akan babak belur, bukan Tonio.

   Sejauh ini tidak ada yang memperhatikan kelainan pada empat kartu klaver itu.

   Dalam bakarat, kartu yang seragam tidak terlalu menarik perhatian.

   Dengan gaya setenang mungkin Micky meraup semua kartu di meja.

   Jantungnya berdebar keras.

   Baru saja ia akan menarik napas lega, Edward menceletuk.

   "Hei... tunggu! Kulihat ada empat kartu klaver senilai empat."

   Dalam hati Micky mengutuk ketololan Edward. Tapi Edward sekadar bicara tanpa pikir, sebab ia tidak tahu rencana Micky. 'Tidak mungkin,"

   Komentar Viscount Montagne.

   "Kita main dengan tiga pasang kartu, jadia hanya ada tiga pasang kartu senilai empat dengan gambar yang sama."

   "Tepat,"

   Jawab Edward. Micky mengembuskan asap cerutunya.

   "Kau mabuk, Pilaster. Salah satu kartu itu bergambar sekop."

   "Oh, maaf."

   Viscount Montagne berkata.

   "Pada malam seperti ini, siapa yang bisa membedakan kartu klaver dengan kartu sekop?"

   Sekali lagi Micky menghela napas lega, berpikir ia sudah lepas dari kemungkinan tertangkap basah tapi ia salah, terlalu cepat merasa lega.—200 Tonio berkata dengan nada penasaran.

   "Coba kita lihat kartu-kartunya."

   Jantung Micky serasa berhenti.

   Kartu-kartu terakhir yang dimainkan sudah dikumpulkan menjadi satu tumpukan dan dikocok, untuk digunakan lagi dalam permainan selanjutnya.

   Jika tumpukan kartu itu dibongkar, akan terlihat memang ada empat kartu klaver senilai empat.

   Dan habislah untuk Micky selamanya di London.

   Dengan putus asa ia berkata.

   "Kuharap kau tidak mempertanyakan ucapanku."

   Dalam klub para gentlemen, pertanyaan seperti itu bersifat tantangan mengenai integritas seseorang; pertanyaan seperti itu bisa berkembang menjadi duel.

   Orang-orang di meja lain mulai memperhatikan meja Micky.

   Semua melihat ke arah Tonio sambil menunggu jawabannya.

   Micky berpikir cepat.

   Jika berhasil membuktikan bahwa dari tumpukan kartu bekas pakai tadi ada kartu sekop senilai empat, berarti ucapannya benar.

   Sisa kartu yang lain tidak akan dipertanyakan lagi.

   Tapi sekarang ia harus menemukan dulu kartu sekop senilai empat, Ada tiga kartu senilai itu.

   Dua kartu mungkin ada di tumpukan kartu bekas pakai, dan ada kemungkinan yang satu lagi ada di tumpukan kartu bekas mereka gunakan.

   Dan tumpukan itu masih dipegang Micky.

   Hanya itu kesempatan yang ia miliki.

   Ketika semua pandangan terarah pada Tonio, Micky membalik kartunya hingga menghadap ke arahnya.

   Dengan gerakan ibu jarinya yang terlatih, ia menguak sudut atas kartu-kartu baru.

   Dari luar terlihat matanya masih mengarah pada Tonio, namun ia tetap bisa melihat nilai dan gambar masing-masing kartu yang sengaja ia tempatkan dalam bidang penglihatan.

   Tonio menjawab dengan keras kepala.

   "Mari kita lihat kartu bekas pakai itu."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Yang lain menatap Micky.

   Sambil menguatkan hati, Micky berdoa semoga ia menemukan kartu sekop senilai empat.

   Dalam ketegangan ini, tak ada yang memperhatikan tangan Micky yang masih memegang kartu baru.

   Kartu-kartu yang dipermasalahkan ada dalam tumpukan di meja, jadi rasanya tidak penting apa yang dilakukan Micky dengan kartu-kartu di tangannfa.

   Tapi ia harus bertindak cepat, tak bisa terlalu lama bersitegang soal kehormatan diri.

   Sebentar lagi pasti ada yang tidak sabar dan tanpa peduli tata krama lagi, akan memeriksa kartu bekas pakai di depannya.

   Untuk mengulur perhatian mereka, ia berkata.

   "Kalau tidak bisa menerima kekalahan dengan jantan, kau tidak ikut main."

   Peluh mulai membasahi dahinya. Ia khawatir,-jangan-jangan karena tergesa-gesa ia luput memperhatikan kartu sekop empat. Dengan tenang Solly berkata.

   "Tidak ada salahnya kalau melihat saja, bukan?"

   Solly sialan, selalu menggunakan akal sehat yang menyebalkan, umpat Micky putus asa. Tiba-tiba ia melihat kartu yang diinginkannya. Ia menyembunyikannya di telapak tangannya.

   "Baiklah,"

   Jawabnya, berlagak tak acuh, padahal hatinya menjerit senang.

   Semua yang hadir di meja itu diam menanti.

   Micky meletakkan kartu-kartu yang dipegangnya sambil tetap menggenggam kartu sekop empat di telapak tangannya.

   Lalu ia mengambil tumpukan kartu bekas pakai di meja, sambil menjatuhkan kartu sekop empat ke tumpukan paling atas.

   Didorongnya tumpukan itu ke hadapan Solly.

   "Kujamin ada kartu sekop empat di situ,'! katanya. Solly membalikan kartu paling atas, dan semuanya melihat ucapan Micky memang benar. Suara bisik-bisik lega terdengar di ruangan itu. Micky masih khawatir seseorang akan membalikkan semua kartu dan menemukan ternyata memang ada empat kartu klaver senilai empat. Viscount Montagne berkata.

   "Kukira masalahnya sudah selesai, dan bicara atas nama diriku sendiri, Miranda, aku hanya bisa minta maaf kalau tadi ada sedikit keraguan atas ucapanmu."

   "Kuterima,"

   Jawab Micky santai. Mereka sekarang memandang ke arah Tonio. Ia berdiri, wajahnya masih tegang.

   "Sialan kalian semua,"

   Umpatnya sambil berjalan keluar ruangan. Micky meraup semua kartu di meja. Sekarang tak seorang pun akan tahu apa yang telah ia lakukan. Kedua telapak tangannya masih berkeringat. Ia menyekanya di celananya.

   "Maaf atas kelakuan teman senegaraku tadi.

   "katanya penuh simpati.

   "Jika ada sesuatu yang kubenci, tak lain adalah teman yang tidak bisa main kartu seperti layaknya seorang gentleman" [IV] MENJELANG dini hari Maisie dan Hugh masih berjalan ke arah utara melalui kawasan pinggiran kota, Fulham-dan South Kensington. Udara makin panas dan bintang-bintang mulai menghilang. Mereka bergandengan tangan, kendati telapak tangan masing-masing basah oleh keringat. Maisie masih agak bingung campur bahagia. Malam ini sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Ia tak mengerti, tapi menyukainya. Dulu, ketika pria mencium dan meraba dadanya, ia merasa itu hanya semacam transaksi antara apa yang ia berikan dengan apa yang-ia butuhkan dari mereka. Tapi malam ini berbeda sekali. Justru dialah yang menginginkan Hugh menyentuhnya—" 203 hanya saja pemuda ini terlalu sopan untuk melakukan apa pun, tanpa lebih dahulu diminta oleh Maisie! Semuanya bermula ketika mereka berdansa. Waktu itu ia belum sadar bahwa Hugh berbeda dari semua pria muda kelas atas yang pernah menghabiskan malam bersamanya. Hugh memang lebih menarik dan terlihat tampan dengan kemeja putih dan dasi sutra. Tapi perilakunya tetap memperlihatkan bahwa ia masih naif dengan wanita. Lalu, di lantai dansa, Maisie mulai membayangkan betapa senangnya mencium Hugh. Perasaan ini makin kuat ketika mereka keluar ke taman dan melihat pasangan lain saling bercumbu. Sikap ragu Hugh sangat memikat. Pria-pria lain menganggap acara makan malam dan bercakap-cakap sebagai pembukaan yang menjengkelkan. Mereka selalu tak sabar ingin mengajaknya ke tempat gelap, lalu mulai meraba-raba. Tapi Hugh malah malu-malu. Padahal dalam kejadian lain. seperti tadi di tempat keributan, Hugh cepat bertindak seperti layaknya seorang ksatria. Juga setelah ia tertubruk seseorang dan terjatuh, yang dipikirkannya adalah jangan sampai hal yang sama terjadi pada diri Maisie. Ada sesuatu yang membuat Hugh berbeda dari pria lain yang pernah dikenal Maisie. Ketika akhirnya ia bisa membuat Hugh sadar bahwa dirinya ingin dicium, ternyata ciuman Hugh begitu menyenangkan, tidak seperti yang pernah dirasakan Maisie sebelumnya. Padahal Hugh bukan pria berpengalaman, malah sebaliknya. naif dan tidak yakin akan dirinya. Jadi, kenapa Maisie merasa senang dan menikmatinya? Dan kenapa tiba-tiba ia menginginkan tangan Hugh meraba dadanya? Ia tidak merasa tersiksa dengan pertanyaan ini, hanya ingin tahu. Ia sudah senang bisa pulang bersama Hugh, di bawah gelapnya langit. Sesekali titik-titik hujan jatuh membasahinya, tapi awan gelap itu belum menumpahkan hujan. Maisie membayangkan alangkah nikmatnya jika Hugh mau secepatnya menciumnya lagi. Mereka mencapai kawasan Kensington Grove, lalu berbelok ke kanan, menyusuri sisi selatan taman, menuju pusat kota tempat pondokan Masie. Hugh berhenti sebentar di depan sebuah rumah besar dengan dua lampu gas di depannya. Ia merangkul pundak Maisie.

   "Ini rumah Bibi Augusta-ku,"

   Katanya.

   "Aku juga tinggal di situ."

   Maisie merangkul pinggang Hugh sambil memandang rumah besar di depannya, membayangkan rasanya tinggal di rumah seperti istana itu.

   Ia sukar membayangkan, untuk apa kamar sebanyak itu.

   Bukankah cukup jika punya kamar untuk tidur, dapur untuk memasak, dan mungkin satu kamar lain untuk tamu? Lalu apa lagi yang dibutuhkan? Tak ada manfaatnya punya dapur dua dan dua ruang keluarga.

   orang hanya bisa hadir di satu tempat pada satu waktu tertentu.

   Kenyataan ini mengingatkannya pada jarak yang terbentang antara dirinya dengan Hugh terpisah oleh lautan uang dan kemudahan hidup.

   Pikiran ini mengganggu benaknya.

   Mendadak ia berkata.

   "Aku dilahirkan dalam gubuk berkamar satu."

   "Di timur laut Inggris?"

   "Tidak, di Rusia."

   "O, ya? Nama Maisie Robinson tidak cocok untuk nama Rusia."

   "Aku dilahirkan dengan nama Miriam Rabinowicz. Kami semua berganti nama ketika tiba di Inggris."

   "Miriam,"

   Bisiknya lembut.

   "Aku senang nama itu."

   Ia menarik Maisie dan menciumnya lembut.

   Maisie terlena oleh ciuman Hugh.

   Kali ini Hugh tidak ragu-ragu lagi; ia tahu apa yang ia inginkan.

   Maisie membalas ciumannya dengan antusias, seperti orang meminta segelas air sejuk di hari yang amat terik.

   Dan ia berharap Hugh menyentuh dadanya lagi.

   Ternyata harapannya terpenuhi.

   Sesaat kemudian ia merasakan salah satu tangan Hugh mulai menjelajahi dadanya.

   Sesaat ia malu karena gairahnya begitu kentara, tapi itu malah membuat Hugh makin bersemangat.

   Tak lama kemudian ia juga ingin merasakan tubuh Hugh.

   Tangannya masuk ke dalam jas Hugh dan mulai meraba punggungnya, merasakan kulit Hugh yang panas melalui baju katun tipis yang dikenakan pemuda itu.

   Tingkahku seperti laki-laki saja, pikir Maisie.

   Mungkinkah Hugh keberatan? Tapi ia sangat senang melakukan ini dan tak bisa menghentikannya.

   Lalu hujan mulai turun.

   Tidak secara bertahap, tapi sekaligus, bagai dituang dari langit.

   Kilat dan geledek saling bersahutan dan air mengucur makin deras.

   Saat mereka berhenti berciuman, wajah mereka sudah basah kuyup.

   Hugh menggandeng tangan Maisie dan menariknya.

   "Mari kita berteduh sebentar di dalam rumah."

   Mereka lari menyeberangi jalan.

   Hugh menuntunnya menuruni anak tangga, melewati palang bertulisan PINTU MASUK PARA PEDAGANG, ke ruang bawah tanah.

   Tiba di depan pintu, pakaian Maisie sudah basah kuyup semuanya.

   Hugh membuka pintu dengan kunci sambil menempelkan jari ke bibir lalu menuntun Maisie masuk.

   Mulanya Maisie agak ragu, ingin menanyakan apa yang ada dalam pikiran Hugh saat ini, tapi kemudian ia melangkah maSuk.

   Mereka berjingkat melalui ruang dapur yang besarnya tidak kalah dengan kapel, menuju sebuah tangga sempit.

   Hugh berbisikkan di telinga Maisie.

   "Di atas ada handuk kering. Kita masuk lewat tangga belakang."

   Maisie mengikuti Hugh melewati tiga tangga panjang, lalu masuk ke sebuah pintu dan muncul di sebuah ruangan. Hugh menunjuk ke sebuah kamar tidur dengan pintu terbuka dan lampu menyala di dalamnya. Dengan pelan Hugh berkata.

   "Edward belum pulang. Tidak ada orang lain yang tinggal di ruangan ini. Bibi dan Paman tidur di kamar bawah dan para pembantu di lantai atas. Mari."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia menuntun Maise ke kamar tidurnya, lalu menyalakan lampu gas.

   "Akan kuambilkan handuk kering,"

   Katanya, lalu keluar dari kamar.

   Maisie melepaskan topinya dan melihat ke sekeliling kamar.

   Ternyata kamar Hugh kecil, dengan perabotan sederhana.

   Hanya ada sebuah tempat tidur kecil, lemari rendah, lemari pakaian sederhana, dan meja kecil.

   Semula ia membayangkan akan melihat sebuah kamar yang mewah, tapi ia segera ingat bahwa Hugh hanya kerabat yang miskin, jadi sudah tentu kamarnya pun sederhana.

   Ia melihat-lihat isi kamar dengan penuh minat.

   Ada sepasang sikat rambut perak berinisial T.P.

   di gagangnya barang peninggalan almarhum ayahnya.

   Juga ada —buku.

   Rupanya ia sedang membaca The Handbook of Good Commercial Practice.

   Di meja"

   Ada foto seorang wanita dengan anak kecil berusia sekitar enam tahun.

   Maisie membuka laci meja di samping ranjang.

   Ada Alkitab dan sebuah buku lain di bawahnya.

   Ia memindahkan Alkitab dan membaca judul buku di bawahnya.

   The Duchess of Sodom.

   Tiba-tiba ia sadar sudah bertindak terlalu jauh, menyelidiki isi kamar orang lain.

   Dengan perasaan bersalah ia cepat-cepat menutup laci meja.

   Hugh kembali dengan membawa setumpuk handuk kering.

   Maisie mengambil satu.

   Masih terasa hangatnya lipatan dari dalam laci pakaian.

   Dengan rasa nyaman ia mengeringkan wajahnya.

   Beginilah rasanya menjadi orang kaya, pikirnya; handuk hangat kapan saja ia membutuhkannya.

   Ia mulai mengeringkan kedua tangannya dan bagian dada.

   "Siapa di potret itu?"

   Tanyanya.

   "Ibu dan adik perempuanku. Dia dilahirkan setelah ayahku meninggal."

   "Siapa namanya?"

   "Dorothy. Panggilannya Dotty. Aku sangat sayang padanya."

   "Di mana mereka tinggal sekarang."

   "Di Folkestone, dekat laut."

   Maisie bertanya-tanya apakah ia akan punya kesempatan bertemu mereka.

   Hugh menarik kursi dari depan meja tulis kecil dan mempersilakan Maisie duduk.

   Ia berlutut di depan gadis itu, mencopot sepatunya dan mengeringkan telapak kakinya dengan handuk kering.

   Maisie memejamkan kedua matanya.

   usapan lembut handuk kering di telapak kakinya memberikan rasa nyaman yang luar biasa.

   Pakaiannya masih basah kuyup, dan ia mulai menggigil.

   Hugh melepaskan jas luar dan sepatu botnya.

   Maisie tahu pakaiannya tidak bisa kering tanpa dilepaskan lebih dahulu.

   Untung pakaian dalamnya cukup pan1 tas dipandang.

   Ia memang tidak mengenakan knickers, karena hanya wanita kaya yang mampu membelinya.

   Ia hanya memakai petticoat panjang dan chemise.

   Tiba-tiba ia berdiri, lalu membelakangi Hugh dan berkata.

   "Maukah kau membantu melepaskan pakaianku?"

   Ia merasakan jemari Hugh yang agak gemetar mencoba melepaskan kaitan gaunnya.

   Ia sendiri agak gugup, tapi sekarang sudah terlambat untuk mundur.

   Setelah Hugh selesai, Maisie mengucapkan terima kasih dan menanggalkan pakaiannya.

   Ia lalu membalikkan tubuh.

   Hugh menatap dengan ekspresi bercampur gairah.

   Ia berdiri terpaku seperti Ali Baba ketika melihat harta karun di sarang penyamun.

   Sebenarnya Maisie hanya ingin membuka gaunnya, mengeringkan tubuhnya yang basah dengan handuk, lalu mengenakan kembali pakaiannya sesudah kering.

   Tapi sekarang ia menyadari bahwa rencananya berubah.

   Dan ia merasa senang.

   Maisie meletakkan kedua tangannya di pipi Hugh, menarik kepalanya ke bawah, dan mulai menciumnya.

   Kali ini ia mencium dengan kedua bibir terbuka, berharap Hugh juga melakukan hal yang sama.

   Semula Hugh masih malu dan kaku.

   Maisie tahu Hugh belum pernah melakukan ciuman seperti itu.

   Ia mengambil inisiatif dengan memainkan ujung lidahnya di kedua bibir Hugh.

   Ia bisa merasakan Hugh mulai tergelitik, lalu memberikan respons.

   Napasnya makin memburu.

   Sesaat kemudian Hugh menghentikan ciuman, menggapai bagian atas baju dalam Maisie, mencoba melepasnya.

   Maisie juga sangat hanyut.

   Di dalam tubuhnya serasa ada bola panas yang mendidih, meleleh, menyusup ke seluruh urat nadinya.

   Ia ingin lebih dari itu, sekarang dan untuk seterusnya.

   "Maisie,"

   Desah Hugh. Ia memandang Hugh.

   "Aku ingin..."

   Maisie mendesah.

   "Aku juga."

   Setelah kata-kata itu keluar, Maisie heran bagaimana ia bicara begitu. Tapi ia tidak menyesal. Ia. memang menginginkan Hugh lebih dari siapa pun dan apa pun. Hugh membelai rambut Maisie.

   "Aku belum pernah melakukan sebelumnya,"

   Katanya.

   "Aku juga belum pernah."

   Hugh memandangnya kaget.

   "Tapi kupikir kau..."

   Hugh berhenti. Maisie nyaris marah, tapi bisa mengendalikan diri. Bukan salah Hugh jika ia menganggap dirinya sudah sering melakukan hubungan intim.

   "Mari kita berbaring,"

   Ajak Maisie. Hugh mendesah senang, lalu berkata.

   "Kau yakin?"

   "Yakinkah aku?"

   Ia nyaris tak percaya Hugh bertanya demikian. Selama ini belum pernah ada pria yang menanyakan hal itu. Mereka tak peduli apa yang dirasakannya. Ia meraih tangan Hugh dan mencium telapaknya.

   "Jika tadi aku masih agak ragu, sekarang sudah tidak lagi."

   Ia merebahkan diri di ranjang kecil Hugh. Kasurnya keras, tapi seprainya dan besinya terasa dingin. Hugh menyusul di sebelahnya, lalu berkata.

   "Sekarang apa?"

   Mereka berdua tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Maisie berbisik polos.

   "Peluk aku."

   Hugh memeluknya.

   Terhalang pakaian dalam, Maisie tiba-tiba tak sabar.

   Ia melepaskan sendiri sisa pakaiannya.

   Hugh mencium wajahnya.

   Napasnya makin panas.

   Maisie tahu mestinya ia takut hamil, tapi ia sudah lepas kendali.

   Ia tahu, apa yang ia inginkan selanjutnya.

   Ia menempelkan kedua bibinya ke telinga Hugh dan berbisik.

   "Lakukanlah."

   Hugh agak ragu sesaat.

   "Maisie,"

   Desahnya.

   "apakah ini mimpi?"

   "Jika memang mimpi, sebaiknya jangan terbangun dulu."

   Tiba-tiba Hugh mulai menggerang.

   Samar-samar, di luar suara erangan Hugh, ia mendengar suara pintu dibuka.

   Ia begitu terbuai oleh perasaan dan dekapan Hugh, sehingga segera melupakan suara pintu itu.

   Tiba-tiba sebuah suara parau dan keras memenuhi kamar, seperti sebutir batu yang memecahkan kaca jendela.

   "Wah, wah, Hugh, apa yang sedang kaulakukan?"

   Maisie mendadak tegang. Bertepatan dengan itu mendesah keras, lalu terkapar lemas. Maisie ingin menangis rasanya. Suara parau itu terdengar lagi.

   "Kalian anggap apa rumah ini, tempat pelacuran?"

   Maisie berbisik.

   "Hugh... bangun."

   Hugh berguling ke sisi tubuh Maisie.

   Segera Maisie melihat siapa pemilik suara parau tadi.

   Edward sedang berdiri di pintu kamar dengan cerutu di bibirnya, memandang tajam ke arah mereka.

   Cepat-cepat Hugh menyambar sehelai handuk lebar dan menutupi tubuh Maisie.

   Maisie duduk tegak dan menarik hantuk itu ke lehernya.

   Edward menyeringai jahat.

   "Hmm, kalau kau sudah selesai, sekarang giliranku."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Hugh membalut tubuhnya dari batas pinggang ke bawah dengan .handuk. Sambil menahan amarahnya ia berkata.

   "Kau sedang mabuk, Edward pergilah ke kamarmu —sendiri, sebelum kau mengatakan sesuatu yang tak termaafkan."

   Edward mengabaikan peringatan Hugh, malah mendekati ranjang.

   "Hmm... rupanya pacar si Solly Greenbourne! Tapi aku tidak akan mengadu asal kau bersikap manis padaku."

   Maisie tahu Edward bicara serius, dan tiba-tiba ia menggigil jijik. Ia pernah mendengar ada pria yang baru bangkit nafsunya bila melihat wanita yang baru bersama pria lain.

   "Kue berminyak", menurut istilah April. Dan ia tahu bahwa Edward adalah tipe pria yang gemar "kue berminyak". Hugh meledak.

   "Keluar dari sini, tolol!"

   Bentaknya pada Edward.

   "Ayolah,"

   Desak Edward.

   "Dia kan hanya pelacur murahan."

   Lalu dengan cepat ia merenggut handuk pembalut tubuh Maisie.

   Maisie melompat turun dari ranjang, mencoba menutupi dadanya dengan kedua tangan.

   Tapi tidak diperlukan lagi.

   Hugh sudah melompat ke arah Edward dan melontarkan pukulan keras ke hidungnya.

   Darah muncrat dan Edward berteriakan kesakitan.

   Edward langsung menyerah, tapi Hugh belum puas.

   Ia melayangkan sebuah pukulan lagi.

   Edward berteriak kesakitan campur ketakutan, menghambur ke arah pintu.

   Hugh berlari mengejar, sambil menghantam bagian belakang kepala Edward.

   Edward mulai berteriak kears.

   "Lepaskan aku, hentikan, kumohon...."

   Ia terjatuh di ambang pintu. Maisie ikut lari keluar. Edward tertelungkup di lantai diduduki Hugh yang masih terus menghajarnya. Maisie berseru.

   "Hugh, berhenti... cukup! Dia bisa mati!"

   Ia berusaha meraih lengan Hugh, tapi percuma karena Hugh masih sangat marah dan sukar dikendalikan.

   Sesaat kemudian, dari sudut matanya Maisie melihat bayangan seseorang datang mendekat.

   Ia mendongak dan melihat bibi Hugh, Augusta, sudah berdiri di tangga dalam pakaian tidur sutra hitam, melotot ke arahnya.

   Dalam cahaya lampu gas sosoknya tampak seperti hantu.

   Sorot mata Augusta tampak aneh.

   Mulanya Maisie tidak mengerti makna tatapan itu; beberapa detik kemudian, ia baru menyadarinya dan ketakutan..Sorot mata Augusta membiaskan kemenangan.

   [V] BEGITU melihat gadis yang telanjang itu, Augusta merasa sekaranglah saatnya menyingkirkan Hugh untuk selamanya.

   Dan ia kenal gadis itu.

   Si penunggang kuda yang pernah menghinanya di taman, yang dijuluki Singa Betina.

   Pada waktu itu pun ia sudah menduga bahwa gadis seperti ini akan menjerumuskan Hugh dalam kesulitan.

   Ada kesan pongah dan tidak kenal takut dalam caranya menegakkan kepala serta sinar matanya.

   Bahkan sekarang, dalam keadaan telanjang, ia masih bisa berdiri tegak, memandang Augusta dengan dingin tanpa gentar sedikit pun.

   Padahal seharusnya ia merasa malu.

   Augusta mengakui bahwa ia memiliki tubuh indah, kecil namun seksi, dengan payudara menantang dan kaki bagus.

   Penampilannya begitu angkuh, hingga Augusta merasa seperti tamu tak diundang.

   Tapi melalui dia, Hugh akan jatuh untuk selamanya.

   Sebuah rencana mulai terbentuk di kepala Augusta, tapi tiba-tiba ia menyaksikan putra tersayangnya roboh di lantai dengan wajah berlumuran darah.

   Rasa kalutnya memuncak, persis seperti dua puluh tiga tahun yang lalu, ketika putranya yang masih bayi nyaris mati.

   "Teddy!"

   Ia berteriak histeris.

   "Apa yang terjadi pada Teddy-ku?"

   Ia berlutut di samping tubuh putranya.

   "Bicara padaku, Nak... bicaralah."

   Rasa takut yang amat sangat menyerangnya, seperti dulu, ketika Teddy makin hari makin kurus dan dokter-dokter sudah menyerah. Tiba-tiba Edward duduk dan mengerang kesakitan.

   "Bicaralah!"

   Pinta Augusta.

   "Jangan panggil aku Teddy,"

   Kata Edward. Rasa panik Augusta berkurang sedikit. Ternyata Teddy-nya masih sadar dan bisa bicara. Hanya suaranya masih parau serta hidungnya tidak keruan bentuknya.

   "Apa yang terjadi?"

   Tanyanya.

   "Aku menangkap basah Hugh dengan pelacur itur dan dia jadi berang,"

   Kata Edward membela diri.

   Sambil mencoba menekan rasa marah dan takutnya, Augusta mengulurkan tangan, membelai hidung putranya.

   Edward berteriak kesakitan, tapi tidak menepiskan tangan ibunya.

   Ternyata tidak ada yang patah; pikir Augusta, mungkin hanya bengkak.

   Tiba-tiba ia mendengar suara suaminya.

   "Ada apa ribut-ribut di sini?"

   Augusta berdiri.

   "Hugh telah menyerang Edward,"

   Katanya.

   "Apa dia baik-baik saja?"

   "Ya, kukira begitu."

   Joseph menatap Hugh.

   "Nah, Sir, apa maksudmu melakukan ini?"

   "Si tolol itu yang meminta,"

   Kata Hugh tanpa gentar.

   Bagus, Hugh, buat dirimu makin terjerumus, pikir Augusta.

   Apa pun yang kaulakukan, jangan minta maaf.

   Aku ingin pamanmu makin marah padamu.

   Kendati penasaran, perhatian Joseph terbagi antara Hugh dan tubuh polos Maisie.

   Matanya tidak hanya sekali melirik gadis itu.

   Melihat tingkah suaminya, Augusta mendadak merasa iri.

   Tapi ia bisa segera menguasai emosinya.

   Perasaannya kembali tenang.

   Tidak ada masalah dengan keadaan Edward.

   Ia berpikir cepat, apa sebaiknya yang ia lakukan untuk memanfaatkan situasi ini.

   Saat ini Hugh benar-benar tak berdaya.

   Augusta bisa melakukan apa pun terhadapnya.

   Micky pernah memberi saran bahwa Hugh harus dibungkam selamanya karena ia tahu terlalu banyak tentang kematian Peter Middleton.

   Nah, sekaranglah saatnya untuk bertindak.

   Pertama-tama, ia harus memisahkan Hugh dari gadis ini.

   Beberapa pelayan sekarang ikut keluar menyaksikan apa yang terjadi pada majikan muda mereka.

   Mereka kaget campur senang karena bisa ikut menikmati pemandangan di depan kamar.

   Augusta melihat kepala pelayannya, Hastead, dalam pakaian tidur sutra warna kuning bekas Joseph beberapa tahun yang lalu, dan Williams si kurir dalam piyama bergaris-garis.

   "Hastead dan Williams, bantu Mr. Edward ke tempat tidurnya?"

   Keduanya .segera lari mendekat dan membantu Teddy berdiri. Lalu Augusta memberi perintah pada pengurus rumah tangganya.

   "Mrs. Merton, tutupi orang itu dengan seprai atau apa saja, dan bawa dia ke kamarku untuk berpakaian."

   Mrs. Merton melepaskan mantel tidurnya sendiri dan menyelimutkannya ke bahu Maisie. Maisie merapatkan mantel itu, tapi tidak mau beranjak dari tempatnya. Augusta memberi perintah lagi.

   "Hugh, pergilah ke rumah Dr. Humbold di Church Street. Minta dia memeriksa kondisi hidung Edward yang malang."

   "Saya tidak mau meninggalkan Maisie,"

   Jawab Hugh. Augusta membentak jengkel.

   "Karena kau yang me-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY nyebabkan ini semua, paling tidak kau yang harus memanggil dokter!"

   Maisie berkata.

   "Tidak apa-apa, Hugh. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini."

   Hugh belum juga beranjak. Mrs. Merton mengajak Maisie.

   "Lewat sini, silakan,"

   Sambil menunjuk ke anak tangga belakang.

   "Oh, kukira kita akan pakai tangga utama,"

   Kata Maisie. Lalu ia berjalan dengan kepala tegak dan pandangan ke depan, seperti seorang ratu, pergi ke ruang bawah. Mrs. Merton mengikuti dari belakang. Augusta memandang ke arah Hugh.

   "Hugh?"

   Hugh diam saja, kelihatannya masih ragu untuk pergi. Augusta bisa merasakan ini. Tapi, tak lama kemudian, Hugh berkata.

   "Baiklah, aku mau pakai sepatu dulu."

   Rupanya ia tidak punya alasan yang tepat untuk menolak permintaan Augusta.

   Augusta menjadi lega.

   Ia telah berhasil memisahkan Hugh dari wanita muda itu.

   Sekarang, jika keberuntungan masih berada di pihaknya, ia akan berhasil menentukan nasib Hugh selanjutnya.

   Ia berbalik ke arah suaminya.

   "Mari kita bahas masalah ini di kamarmu."

   Mereka pergi ke lantai bawah dan masuk ke kamar tidur Joseph.

   Begitu pintu kamar tertutup, Joseph meraih tubuh istrinya dan mulai menciuminya.

   Augusta tahu suaminya mengajaknya bercinta.

   Ini tidak seperti biasanya.

   Mereka bercinta sekali atau dua kali seminggu, tapi selalu atas inisiatif Augusta.

   Dialah yang akan pergi ke kamar suaminya dan naik ke tempat tidurnya.

   Baginya, sudah kewajiban seorang istri untuk memuaskan suaminya.

   Tapi ia senang menjadi pihak yang memegang kendali, jadi ia tidak mengizinkan suaminya masuk ke kamarnya.

   Pada awal perkawinan mereka, Joseph lebih sulit dikendalikan.

   Ia bersikeras mendatangi istrinya kapan saja.

   Untuk beberapa lama.

   Augusta mengalah, tapi lama-kelamaan ia bisa mengubah pola bercinta suaminya.

   Lalu pernah *ada periode ketika Joseph ingin menerapkan gaya aneh-aneh, namun Augusta dengan tegas menolak, dan akhirnya Joseph tidak lagi mengganggunya dengan hal-hal semacam itu.

   Tapi sekarang suaminya mengubah pola mereka.

   Augusta tahu alasannya.

   Suaminya terangsang setelah melihat tubuh polos Maisie.

   Pikiran itu membuatnya mual, maka ditolaknya ajakan suaminya.

   Suaminya tampak kesal.

   Augusta ingin Joseph marah pada Hugh, bukan pada dirinya.

   Jadi, ia mengelus tangannya, sambil berbisik mesra.

   "Nanti... sebentar lagi. Aku akan datang ke kamarmu."

   Suaminya mau mengerti.

   "Hugh punya sifat jelek,"

   Komentar Joseph.

   "Dia mewarisinya dari ayahnya."

   "Yang pasti, setelah peristiwa tadi, dia tidak bisa terus tinggal di rumah ini,"

   Sahut Augusta dengan nada tidak mau dibantah. Joseph tidak menyangkal istrinya.

   "Ya, kau benar."

   "Kau juga harus mengeluarkan dia dari bank,"

   Lanjut Augusta. Joseph tampak tak senang.

   "Kuharap kau tidak ikut campur urusan bank."

   "Joseph."

   Protes Augusta.

   "dia telah menghinamu dengan membawa masuk seorang gadis sembarangan."

   Ia memakai istilah halus untuk menyebut pelacur. Joseph pergi ke meja tulisnya dan duduk.

   "Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Aku hanya minta kau memisahkan urusan rumah tangga dengan urusan bank."

   Augusta memutuskan untuk mengalah sedikit.

   "Baiklah. Aku yakin kau tahu yang terbaik."

   Hati suaminya selalu luluh jika istrinya mengalah secara tak terduga.

   "Ya, kukira ada benarnya juga jika dia kupecat dari bank,"

   Katanya setelah merenung se bentar.

   "Kurasa dia akan pulang ke rumah ibunya di Folkestone."

   Kini giliran Augusta yang berpikir keras. Ia belum siap dengan strateginya jika Hugh benar-benar dipecat dari bank.

   "Lalu, apa yang akan dia kerjakan?"

   Tanyanya.

   "Aku tidak tahu."

   Augusta tiba-tiba sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal.

   Hugh bisa lebih berbahaya jika menjadi penganggur, masih menyimpan dendam dann keluyuran tak menentu.

   David Middleton memang belum menemuinya.

   Mungkin David belum mendengar bahwa Hugh juga berada di kolam ketika adiknya, Peter Middleton, terbunuh.

   Tapi cepat atau lambat, ia akan mendatangi Hugh.

   Augusta jadi menyesal.

   Seharusnya ia berpikir sebelum membujuk suaminya untuk memecat Hugh.

   Ia memaki dirinya sebagai orang tolol.

   Bisakah ia mengubah pendirian suaminya? Apa salahnya mencoba.

   "Mungkin kita terlalu keras pada Hugh,"

   Katanya. Alis Joseph naik mendengar perubahan sikap istrinya yang mendadak penuh perhatian akan nasib orang lain. Augusta melanjutkan.

   "Begini, kau sering bilang Hugh punya bakat besar sebagai bankir. Jadi, mungkin kurang bijak jika kita menyia-nyiakan bakat itu."

   Joseph sekarang benar-benar jengkel.

   "Augusta, apu sebenarnya yang kauinginkan?"

   Augusta duduk di kursi rendah di dekat meja tulis suaminya.

   Sengaja ia membiarkan baju tidurnya tersingkap.

   Betisnya masih indah untuk wanita seusianya.

   Melihat kemulusan kaki istrinya, Joseph melunak kembali.

   Sementara perhatian Joseph teralihkan, Augusta memutar otak.

   Tiba-tiba ia mendapat ide.

   "Bagaimana jika kita kirim dia ke luar negeri saja?"

   "Eh?"

   Ya, makin lama memikirkan ide ini, makin senang hatinya. Dengan dikirim ke luar negeri, Hugh akan dijauhkan dari David Middleton. tapi masih berada dalam jang -kauan tangan Augusta.

   "Mungkin ke Timur Jauh, atau Amerika Selatan,"

   Lanjutnya dengan antusias.

   "Di mana saja. asalkan perilaku buruknya tidak langsung terasa di rumah ini."

   Joseph langsung lupa dengan kejengkelannya.

   "Boleh juga gagasanmu. Memang ada pembukaan cabang baru di Amerika Serikat. Manajer bank di kantor Boston memerlukan asisten."

   Amerika tempat yang tepat, pikir Augusta. Ia memuji pemikirannya sendiri yang brilian. Tapi saat ini Joseph baru mengungkapkan niat, belum rencana pasti. Ia ingin kepastian dan komitmen dari suaminya.

   "Sebaiknya Hugh cepat dikirim saja,"

   Katanya.

   "Aku tidak mau dia berada di dalam rumah ini sehari pun."

   "Ya, dia bisa memesan tempat di kapal besok pagi,"

   Kata Joseph.

   "Apalagi dia tidak punya alasan untuk tinggal di London. Sambil menunggu kapal berangkat, dia bisa tinggal di Folkstone bersama ibunya... sekalian berpamitan."

   Ya, dan dia tidak akan bertemu dengan David Middleton selama bertahun-tahun, pikir Augusta puas.

   "Bagus. Sudah beres soal dia."

   Oh, ya.

   Masih ada satu soal lagi.

   Ia ingat Maisie.

   Apakah Hugh sayang padanya? Kelihatannya tidak, tapi siapa tahu, segalanya mungkin saja terjadi.

   Ia bisa menolak dipisahkan dengan gadis itu.

   Hmm, benar-benar pelik, pikir Augusta khawatir.

   Hugh tak mungkin membawa gadis itu ke Boston bersamanya, dan ia bisa saja menolak meninggalkan London tanpanya.

   Augusta akan mencoba menghentikan percintaan kedua orang itu sebelum berkembang lebih jauh, sekadar berjaga-jaga.

   Ia berdiri dan melangkah ke pintu yang menghubungkan dengan kamar tidurnya.

   Joseph kelihatan kecewa ditinggal istrinya.

   "Aku harus menyingkirkan gadis itu,"

   Kata Augusta. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ada yang bisa kubantu?"

   Pertanyaan itu membuat Augusta heran. Bukan kebiasaan suaminya menawarkan bantuan. Dia bukan ingin membantu, tapi ingin melihat lagi kemolekan gadis itu, pikirnya getir. Ia menggelengkan kepala.

   "Aku akan cepat kembali. Tunggulah di tempat tidur."

   "Baiklah,"

   Kata suaminya dengan enggan. Augusta pergi ke kamarnya dan menutup pintu dengan rapat. Maisie sudah berpakaian dan sedang mengenakan topinya. Mrs. Merton sedang melipat sebuah gaun warna biru-hijau manyala dan memasukannya ke dalam tas murahan.

   "Saya meminjami dia gaun saya karena miliknya masih basah,"

   Jelasnya.

   Oh, jadi itu jawabannya, pikir Augusta dalam hati.

   Ia sudah menduga, tak mungkin Hugh bisa sebodoh itu membawa seorang pelacur jalanan ke rumah bibinya.

   Rupanya mereka terjebak dalam hujan, lalu Hugh membawanya ke dalam rumah untuk berteduh, mengeringkan tubuhnya, dan terjadilah semua itu.

   "Siapa namamu?"

   Tanyanya pada si gadis.

   "Maisie Robinson. Aku tahu namamu."

   Augusta merasa membenci Maisie Robinson. Ia sendiri tidak tahu sebabnya. Gadis itu sebenarnya-tidak cukup berharga untuk dibenci. Mungkin karena penampilannya ketika telanjang. begitu angkuh, menantang, dan bebas.

   "Kurasa kau menginginkan uang,"

   Kata Augusta dengan nada menghina.

   "Perempuan munafik,"

   Sambar Maisie.

   "Kau sendiri mau kawin dengan orang sejelek suamimu karena dia sangat kaya... bukan karena cinta."

   Memang itulah kenyataannya, dan ucapan itu membuat Augusta tersentak.

   Ia terlalu menganggap enteng gadis ini.

   Ia telah salah memulai, jadi sekarang ia harus mencari jalan keluar.

   Mulai sekarang ia harus ekstra hati-hati menangani Maisie.

   Kesempatan ini tak boleh terbuang begitu saja.

   Dengan susah payah ia berhasil mengendalikan emosinya.

   Katanya dengan nada senetral mungkin.

   "Apa kau bersedia duduk dulu... sebentar saja?"

   Ia menunjuk ke sebuah kursi.

   Maisie agak kaget, tapi setelah ragu sejenak, ia duduk.

   Augusta duduk di hadapannya.

   Gadis ini harus dibuat melepaskan Hugh.

   Ketika ditawari kompensasi, ia marah, karena itu Augusta tidak mau mengulangi tawarannya.

   Ia merasa uang ternyata bukan segalanya bagi gadis ini.

   Tapi ia juga bukan tipe yang bisa digertak atau diancam.

   Augusta harus berusaha menyakinkan Maisie bahwa perpisahan adalah jalan keluar terbaik bagi Hugh dan dirinya sendiri.

   Lebih baik lagi jika Maisie menganggap berpisah dari Hugh adalah idenya sendiri.

   Dan itu hanya bisa dicapai jika Augusta memakai taktik hendak mempersatukan Maisie dengan Hugh.

   Augusta memulai taktiknya.

   "Kalau kau memang ingin menikah dengan Hugh, aku tak bisa mencegah."

   Maisie tampak terkejut, dan diam-diam Augusta memberi selamat pada dirinya sendiri.

   "Kenapa kau mengira aku mau kawin dengan Hugh?"

   Tanya'Maisie. Augusta hampir saja tergelak. Ia ingin berkata. Karena kau adalah perempuan mata duitan. Tapi ia malah berkata.

   "Gadis mana yang tidak mau menikah dengan Hugh? Dia tampan, ramah, dan lahir dari keluarga terhormat. Dia memang tidak punya uang, tapi punya masa depan cerah."

   Sambil menyipitkan kedua matanya, Maisie menjawab.

   "Kedengarannya seolah kau ingin aku kawin dengan Hugh,"

   Augusta memang ingin memberi kesan seperti itu, hanya saja ia harus ekstra hati-hati. Maisie bisa cepat curiga dan juga terlalu pintar untuk dikendalikan secara terang-terangan.

   "Ayolah, Maisie... jangan terlalu munafik,"

   Katanya.

   "Terus terang, tak ada wanita dari golonganku yang akan mengizinkan salah satu anggota keluarganya menikah dengan wanita dari golongan jauh di bawahnya."

   "Bisa saja, asalkan dia cukup membenci si anggota keluarganya itu."

   Jawab Maisie dengan ringan. Merasa mendapat angin, Augusta melanjutkan pancingannya.

   "Ya, tapi aku tidak pernah membenci Hugh. Bagaimana kau bisa mendapat gagasan seperti itu?"

   "Dia yang mengatakan padaku. Kau memperlakukan dia sebagai kerabat yang miskin dan memerintahkan yang lain melakukan hal yang sama."

   "Oh, betapa tidak tahu terima kasihnya manusia. Tapi kenapa kau juga menganggap aku ingin menghancurkan kariernya?"

   "Karena dia bisa mengalahkan anakmu yang tak ada gunanya, Edward."

   Gelombang amarah menerkam Augusta. Sekali lagi Maisie telah mengungkapkan kebenaran yang bisa memerahkan daun telinga Augusta. Memang, Edward tidak sepintar Hugh, tapi dia anak penurut dan manis, sedangkan Hugh tak punya sopan santun.

   "Kuminta kau tidak menyinggung-nyinggung nama anakku,"

   Kata Augusta pelan. Maisie menyeringai.

   "Rupanya aku sudah menyentuh subjek yang peka."

   Tiba-tiba ia kembali muram.

   "Jadi, itulah permainanmu. Kalau begitu, aku tidak mau ikut-ikutan."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Augusta. Dengan berlinang air mata, Maisie menjawab.

   "Aku terlalu menyukai Hugh, dan tidak akan mau menghancurkannya."

   Augusta heran sekaligus senang mengetahui perasaan Maisie. Semuanya berjalan lancar, kendati awalnya tadi agak tersendat.

   "Apa yang akan kaulakukan sekarang?"

   Tanya Augusta. Maisie berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.

   "Aku tidak akan menemui dia lagi. Kau bisa menghancurkannya, tapi aku tidak mau terlibat di dalamnya."

   "Tapi dia bisa mencarimu."

   "Aku akan menghilang. Dia tidak tahu di mana aku tinggal. Aku juga akan menjauhi tempat-tempat yang mungkin didatanginya untuk mencariku."

   Rencana bagus, pikir Augusta; toh hanya sebentar, karena Hugh sudah akan dikirim ke Amerika selama bertahun-tahun, atau mungkin untuk selama-lamanya.

   Tapi sudah tentu ia diam saja.

   Ia telah berhasil menuntun Maisie sesuai rencana briliannya, dan sekarang gadis ini tidak perlu dipancing lagi.

   Maisie menyeka air matanya dengan ujung lengan baju.

   "Sebaiknya aku pergi sekarang, sebelum dia kembali bersama dokter."

   La berdiri.

   "Terima kasih telah meminjamkan gaun Anda, Mrs. Merton."

   Si pengurus rumah tangga membukakan pintu.

   "Akan kuantar kau keluar."

   "Kali ini kita ambil anak tangga belakang saja,"

   Pinta Maisie.

   "Aku tidak mau..."

   La tampak menahan gejolak hatinya, dan berkata setengah berbisik.

   "Aku tidak mau bertemu Hugh lagi."

   Lalu ia melangkah keluar.

   Mrs.

   Merton mengikuti dari belakang sambil menutup pintu kamar.

   Augusta menghela napas panjang, la telah berhasil melakukan rencananya.

   Menghambat karier Hugh, menetralisir peran Maisie Robinson, dan memperkecil peluang David Middleton, semuanya dalam waktu satu malam.

   Mulanya Maisie tampak sebagai pesaing yang berbahaya, tapi rupanya ia hanya seorang gadis yang terlalu emosional.

   Ia menikmati kemenangannya sebentar, lalu pergi ke kamar Edward.

   Edward tersayang sedang duduk di pinggir ranjang, menikmati brendi dari gelas besar berbentuk piala.

   Hidungnya bengkak dan di sekelilingnya masih ada bekas-bekas darah kering.

   Ia tampak kusut dan muram, menyesali dirinya sendiri.

   "Oh, anakku yang malang,"

   Bisik Augusta. Ia mengambil handuk dari tempat gantungan pakaian, membasahi ujungnya, lalu duduk di pinggir ranjang dan menyeka bekas darah di bibir atas Edward. Pemuda itu menyeringai kesakitan.

   "Oops, maaf."

   Kata ibunya. Edward tersenyum.

   "Tidak apa-apa, Bu,"

   Katanya.

   "Teruskan. Sangat mengurangi rasa sakitku."

   Ketika Augusta masih membasuh luka Edward, Dokter Humbold masuk dengan diiringi Hugh di belakangnya. Sang dokter menyapa dengan ceria.

   "Kamu baru saja berkelahi, anak muda?"

   Augusta tersinggung mendengarnya.

   "Tentu tidak,"

   Katanya ketus.

   "Dia diserang oleh seseorang."

   Dokter Humbold agak terperangah.

   "Oh, begitu-begitu."

   Tiba-tiba Hugh menyela.

   "Di mana Maisie?"

   Augusta tidak mau membicarakan soal Maisie di depan dokternya. Ia berdiri dan menggamit Hugh keluar kamar.

   "Dia sudah pergi."

   "Bibi mengusirnya?"

   Desak Hugh.

   Augusta hampir saja membentak keponakannya agar bersikap sopan padanya, tapi segera mengurungan niatnya karena nasib Hugh sudah seratus persen berada di tangannya.

   Tak ada gunanya membuang-buang energi dengan amarah.

   Dengan nada datar ia menjawab.

   "Kalau benar dia kuusir, apa kaukira dia tidak akan menunggumu di jalan untuk mengadu? Tidak, dia pergi atas kehendaknya sendiri, dan katanya besok dia akan menulis surat padamu."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Tapi dia berjanji akan tetap di sini menunggu saya, sampai saya kembali dengan dokter."

   "Dia berubah pikiran. Apa kau tidak pernah dengar gadis-gadis seusianya gampang mengubah niat?"

   Hugh tampak bingung, tidak tahu apa yang mesti ia katakan lagi. Augusta menambahkan.

   "Lagi pula, tentunya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari situasi memalukan malam ini... semua karena ulahmu."

   Hugh bisa menerima penjelasan ini.

   "Saya rasa Bibi membuatnya merasa sangat malu, sehingga dia tidak tahan."

   "Cukup!"

   Tukas Augusta dengan jengkel.

   "Aku tidak mau dengar lagi pendapatmu. Pamanmu Jospeh akan menemuimu besok pagi, sebelum kau pergi ke bank. Sekarang, selamat malam."

   Sesaat Hugh masih ingin mendebat lebih jauh, tapi tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan.

   "Baik, kalau begitu,"

   Gumamnya. Ia berbalik masuk ke kamarnya sendiri. Augusta kembali ke kamar Edward. Dokter sudah menutup tasnya.

   "Tidak ada yang serius,"

   Katanya.

   "Hidungnya akan terasa sakit selama beberapa hari, matanya juga akan membiru besok, tapi dia masih muda, jadi akan cepat sembuh."

   "Terima kasih, Dokter. Hastead akan mengantar Anda keluar."

   "Selamat malam."

   Augusta membungkuk dan mencium dahi Edward.

   "Selamat malam, Teddy sayang. Tidurlah sekarang."

   "Baik, Ibu sayang. Selamat malam."

   Ia masih punya satu tugas lagi malam ini.

   Ia pergi ke lantai bawah dan masuk ke kamar Joseph.

   Ia berharap suaminya sudah terlena karena terlalu lama menunggu kedatangannya, tapi Joseph masih duduk di ranjang, membaca Pall Mall Gazette.

   Dengan segera ia meletakkan bacaannya di samping ranjang dan membuka selimut untuk tubuh istrinya.

   Di ranjang, ia segera memeluk Augusta.

   Augusta tiba-tiba sadar bahwa saat itu sudah menjelang fajar; remang-remang sinar matahari mulai masuk ke dalam kamar.

   Ia menutup matanya.

   Joseph mulai beraksi.

   Augusta merangkulkan kedua lengannya di leher suaminya, sambil membayangkan dirinya pada usia enam belas tahun, sedang berbaring di tepi sungai dengan gaun merah muda dan topi lebar, pasrah dalam pelukan Earl of Strang; namun dalam bayangannya ia tidak hanya dipeluk dan dicium, tapi juga dicumbu oleh idaman hatinya.

   Lalu gaunnya disingkapkan ke atas, dan mereka bercinta dalam kehangatan matahari siang, sementara ujung jemari mereka tersapu lidah-lidah nakal air sungai yang dingin menyegarkan.

   Setelah selesai, ia berbaring sebentar di sisi suaminya sambil merenungkan kemenangannya tadi malam.

   "Benar-benar malam yang istimewa,"

   Gumam Joseph kelelahan.

   "Ya,"

   Jawabnya.

   "Gadis liar itu."

   "Mmmm,"

   Gumam Joseph.

   "Sangat memesona... ada kepongahan tersembunyi dan berkemauan keras... pikirnya dia sama baiknya dengan orang lain... tubuhnya indah... persis seperti milikmu ketika kau masih muda."

   Augusta tersinggung.

   "Joseph!"

   Protesnya.

   "Bagaimana kau bisa membandingkan aku dengan dia?"

   Suaminya diam saja, ternyata sudah mendengkur pulas.

   Dengan berang ia menyingkap selimut di atas tubuhnya, turun dari ranjang, dan kembali ke kamarnya sendiri.

   Hanya saja ia tak bisa tidur lagi.

   [VI] TEMPAT tinggal Micky Miranda di daerah pinggiran Camberwell terdiri atas dua kamar di sebuah rumah berteras, milik seorang janda dengan seorang putra yang menanjak dewasa.

   Tak satu pun teman-temannya yang berasal dari kelas atas pernah mampir ke rumah ini, bahkan Edward sendiri tidak tahu.

   Micky berhasil memainkan perannya sebagai pemuda golongan elite, kendati keuangannya pas-pasan.

   Karena itu, akomodasi yang berkelas masih jauh dari jangkauannya.

   Pada jam sembilan setiap pagi, nyonya rumah akan membawakan kopi dan roti gulung hangat untuk Micky dan ayahnya.

   Sambil sarapan, Micky menjelaskan pada ayahnya bagaimana ia berhasil mempecundangi Tonio sehingga kalah main kartu sebesar seratus pound.

   Ia tidak mengharapkan pujian dari ayahnya, hanya mengharap anggukan setuju.

   Tapi ayahnya sama sekali tidak terkesan.

   Ia hanya meniup kopi panasnya, lalu mence-rucupnya dengan suara keras.

   "Jadi, dia sudah pulang ke Kordoba?"

   "Belum, tapi saya harap sesegera mungkin."

   "Jadi, baru mau. Sudah bersusah payah, tapi kau hanya mengharap dia akan pulang."

   Micky agak tersinggung.

   "Akan saya tentukan nasibnya hari ini,"

   Ujarnya dengan nada protes.

   "Ketika aku seumurmu...

   "

   "Ya, Papa akan menggorok lehernya, saya tahu. Tapi ini London, bukan Provinsi Santamaria, dan kalau saya sembarangan menggorok leher orang, saya akan segera berakhir di tiang gantungan."

   "Ada kalanya kau harus berani melakukannya, karena tidak ada pilihan lagi."

   "Tapi di sini lebih tepat kalau kita melakukannya secara halus, Papa. Coba pikirkan soal Samuel Pilaster dan penolakannya ikut dalam bisnis senjata. Bukankah dengan cara saya dia bisa kita taklukkan?"

   Sebenarnya bukan Micky, tapi Augusta-lah yang paling berjasa. Tapi sudah tentu Micky tidak memberitahukan ini pada ayahnya.

   "Hmmm... entahlah,"

   Jawab ayahnya keras kepala.

   "Kapan aku bisa memperoleh senjatanya?"

   Benar-benar masalah yang menjengkelkan.

   Si tua Seth masih hidup, masih menjabat Mitra Senior Pilasters Bank.

   Sekarang bulan Agustus.

   Dalam bulan September, salju akan mulai mencair di pegunungan Santamaria.

   Papa ingin pulang dengan —seluruh senjatanya.

   Begitu Joseph menjadi Mitra Senior, Edward akan menyelesaikan bisnis senjata ini.

   Tapi sampai sekarang si tua Seth masih hidup dan bertahan dengan kedudukannya.

   "Papa akan segera mendapatkan senjata itu,"

   Kata Micky.

   "Seth tidak akan bertahan lama."

   "Bagus,"

   Komentar Papa dengan ekspresi seorang pemenang.

   Micky memoles rotinya dengan mentega.

   Selalu saja begini.

   Ia tak pernah bisa menyenangkan hati ayahnya, walau pun sudah berusaha keras.

   Ia mulai kembali ke rencananya hari ini.

   Sekaranglah waktunya untuk membuat kesulitan Tonio menjadi skandal.

   Ia tahu Tonio tidak akan mampu membayar utangnya.

   Ia ingin Edward menagihnya di depan umum, lalu disusul dengan ribut-ribut.

   Seandainya ini terjadi, Tonio akan kehilangan muka karena berita tentang ia tak bisa membayar utangnya akan segera tersebar luas; ia akan malu, lalu mengundurkan diri sebagai diplomat dan pulang ke Kordoba.

   Dengan demikian, David Middleton takkan bisa mendekatinya.

   Micky ingin melakukan ini tanpa membuat Tonio menjadi musuhnya.

   Sebab ia punya tujuan lain.

   Ia menginginkan pekerjaan Tonio.

   Tonio bisa menyulitkannya SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kalau merasa ditipu, dengan menjelek-jelekkan Micky di depan Menteri.

   Micky ingin Tonio melicinkan jalan baginya.

   Ini tidak mudah, karena sejak di sekolah dulu Tonio sudah membencinya.

   Baru akhir-akhir ini Tonio kagum padanya.

   Micky menjadi teman baik Tonio sekaligus menghancurkan hidupnya.—Ketika ia sedang memikirkan jalan keluar terbaik, terdengar ketukan di pintu dan si pemilik rumah memberitahukan ada tamu bagi Micky.

   Lalu muncul Tonio.

   Kebetulan sekali, pikir Micky.

   Sebenarnya ia sudah merencanakan akan menemui Tonio setelah sarapan ini.

   Ia tidak perlu repot-repot sekarang.

   "Silakan duduk, Tonio, minum kopi dulu,"

   Sambut Micky dengan riang.

   "Benar-benar nasib buruk tadi malam! Tapi jangan dipikirkan, begitulah judi... ada menang, ada kalah."

   Tonio membungkuk ke arah Papa, lalu duduk. Wajahnya kuyu, seakan ia tidak tidur semalaman.

   "Aku sudah kalah di luar kemampuanku untuk membayarnya,"

   Katanya.

   Papa mendengus jengkel.

   Ia tak sabar melihat orang yang mengasihani diri sendiri, dan lebih dari itu ia benci pada keluarga Silva yang hidup bagai parasit menjilat para petinggi pemerintah dan melakukan kolusi serta korupsi.

   —Micky pura-pura simpati dan menjawab dengan sendu.

   "Aku ikut sedih mendengar masalahmu."

   "Kau tahu apa artinya ini. Di negara ini, pria yang tidak bisa membayar utang judinya dianggap sebagai penyakit sampar. Dan dia sudah pasti tidak pantas menjadi diplomat. Aku harus mengundurkan diri dan pulang kembali ke rumah."

   Itulah yang kuinginkan, pikir Micky, tapi ia tetap berpura-pura ikut sedih.

   "Ya, aku bisa memahami masalahmu."

   Tonio melanjutkan.

   "Kau tahu orang-orang itu kalau — kau tidak membayar lunas dalam waktu sehari, kau akan dicurigai. Padahal untuk membayar semua, aku butuh waktu bertahun-tahun. Karena itulah aku men-datangimu."

   "Aku tidak paham maksudmu,"

   Jawab Micky pura-pura, kendati sebenarnya ia sudah mengerti maksudnya.

   "Bersediakah kau meminjami aku uang untuk membayarnya?"

   Tanya Tonio mengiba.

   "Kau sama denganku, orang Kordoba. Tidak sama dengan orang-orang Inggris; kita tidak menghukum orang karena satu kesalahan. Nanti akan kubayar lunas semuanya."

   "Jika aku punya uang, pasti akan kupinjami,"

   Jawab Micky.

   "Kalau saja aku sekaya itu untuk membantumu."

   Tonio memandang Papa, yang balas menatapnya dengan dingin. Jawabnya pendek, 'Tidak."

   Tonio menunduk sedih.

   "Aku benar-benar bodoh, berjudi seperti itu,"

   Keluhnya dengan nada kosong.

   "Sekarang aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Jika pulang ke Kordoba, aku pasti jadi orang hina dan tidak akan punya muka untuk menghadapi keluargaku."

   Micky pura-pura ikut memikirkan nasib Tonio.

   "Mungkin aku bisa menolongmu."

   Tonio jadi bersemangat kembali.

   "Oh... apa saja, tolonglah aku."

   "Edward sahabat karibku. Aku akan mencoba bicara dengannya atas namamu, mencoba menjelaskan masalahmu, dan minta dia memberi waktu untukmu demi persahabatanku —dengannya."

   "Kau bersedia?"

   Tanya Tonio penuh harap.

   "Aku akan minta dia bersabar dan tidak memberitahu siapa pun. Tapi aku tak bisa menjanjikan dia akan membantumu. Keluarga Pilasters memang kaya, tapi kalau soal uang, mereka penuh perhitungan. Walaupun begitu, aku akan coba."

   Tonio menggenggam tangan Micky dengan erat.

   "Aku tidak akan melupakan ini, dan aku tidak tahu bagaimana bisa berterima kasih padamu."

   "Jangan terlalu berharap."

   "Aku tak bisa tidak mengharap. Aku benar-benar sudah putus asa, tapi sekarang aku jadi punya alasan untuk hidup kembali."

   Tonio tampak malu, lalu menambahkan.

   "Tadi pagi aku sudah berniat bunuh diri. Aku berjalan melintasi London Bridge dan ingin terjun ke sungai."

   Papa mengeluarkan geraman jengkel. Mungkin dia pikir memang sebaiknya Tonio bunuh diri saja. Micky dengan cepat berkata.

   "Untung kau mengubah pikiranmu. Sekarang, sebaiknya aku pergi ke Pilasters Bank dan bicara dengan Edward."

   "Kapan aku bisa ketemu kau?"

   "Kau bisa datang ke klub waktu makan siang nanti?"

   "Tentu, tentu bisa kalau kaukehendaki begitu."

   "Kalau begitu, temui aku di sana nanti."

   "Baik."

   Tonio berdiri.

   "Aku pergi dulu... sebaiknya kauhabiskan makan pagimu. Dan..."

   "Jangan berterima kasih padaku,"

   Sambar Micky sambil mengangkat tangan agar Tonio diam dulu.

   "Itu bisa membawa sial. Sebaiknya tunggu saja sambil berharap."

   "Ya, benar."

   Tonio membungkuk ke arah Papa.

   "Sampai jumpa, Senor Miranda."

   Ia keluar.

   "Anak bodoh,"

   Gumam Papa.

   "Benar-benar tolol,"

   Jawab Micky setuju.

   Micky pergi ke kamar sebelah dan berdandan untuk pergi keluar.

   Ia memakai kemeja putih dengan kerah tegak yang kaku, manset yang dikanji, celana cokelat kekuningan, dasi satin hitam, dan jas panjang.

   Sepatunya mengilat, begitu juga rambutnya.

   Ia selalu berpakaian elegan, tapi tetap konservatif.

   Ia tak pernah mau memakai kerah model kemeja yang merupakan model baru, atau membawa-bawa monocle seperti pesolek.

   Orang Inggris selalu menganggap orang asing punya bakat untuk tampil norak, jadi Micky senantiasa menjaga penampilannya.

   Setelah berpamitan pada Papa yang sudah mempunyai acara sendiri untuk hari ini, Micky pergi menyeberangi jembatan, masuk ke kawasan pusat keuangan yang dikenal dengan nama the City, karena daerah ini mengelilingi bekas kota kuno peninggalan bangsa Romawi.

   Lalu lintas di sekitar Katedral St.

   Paul macet total.

   Kereta kuda, kereta sewaan, gerobak minuman, gerobak dorong, dan kereta-kereta orang kaya berebut mencari jalan di antara rombongan domba yang sedang digiring ke arah pasar daging Smithfield.

   Pilasters Bank merupakan bangunan baru yang besar, dengan pintu gerbang masuk yang panjang dan disangga pilar-pilar tinggi meyakinkan.

   Sudah beberapa menit lewat tengah hari ketika Micky masuk ke pintu ganda di aula bank.

   Kendati Edward jarang masuk kantor sebelum jam sepuluh pagi, ia biasanya mau saja diajak makan siang oleh Micky.

   Kapan saja, asalkan setelah lewat jam dua belas.

   Micky mendekati opas kantor dan berkata.

   "Mohon memberitahu Mr. Edward Pilaster bahwa Mr. Miranda datang untuk menemuinya."

   "Baik, Tuan."

   Untuk kesekian kalinya, Micky merasa iri terhadap kekayaan keluarga Pilaster.

   Setiap bagian dari bangunan bank itu mencerminkan kekayaan dan kekuasaan mereka.

   Mulai dari lantai marmer, panel dinding yang mewah, suara dan bisik sopan para pegawai, goresan pena di buku neraca, dan mungkin dari penampilan para petugas bank yang tampak mekmur dan gagah.

   Secara umum mereka dipekerjakan bank untuk mencatat, mendata, dan menghitung mengontrol uang keluarga Pilaster.

   Tidak satu pun yang memelihara sapi, menambang nitrat, atau membangun rel kereta api.

   pekerjaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang lain di suatu tempat jauh di SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY luar Inggris.

   Keluarga Pilaster hanya mengawasi uang mereka berlipat setiap waktu.

   Bagi Micky, cara bekerja seperti inilah yang paling ideal, setelah perbudakan dihapuskan.

   Selain itu, ada suasana kepalsuan di sini.

   Segala sesuatu tampak serius dan anggun, seperti di dalam gereja, istana, atau museum.

   Mereka sebenarnya tukang riba uang, tapi bersikap seolah-olah menarik bunga adalah panggilan jiwa yang mulia.

   Beberapa menit kemudian, Edward datang dengan mata masih kehitaman dan hidung bengkak.

   Alis mata Micky terangkat heran.

   "Oh, sahabat karibku, apa yang terjadi padamu?"

   "Aku baru saja berkelahi dengan Hugh."

   "Soal apa?"' "Kuminta dia membawa keluar pelacur yang dibawanya ke rumah tadi malam, dan dia jadi mata gelap."

   Micky menduga soal ini akan memberi peluang emas bagi Augusta untuk mencampakkan Hugh dari rumah.

   "Lalu, bagaimana dengan Hugh?"

   "Kau tidak akan melihat dia untuk waktu lama sekali. Dia sudah dikirim ke Boston."

   Bagus sekali, Augusta, pikir Micky. Akan sangat menguntungkan jika Hugh dan Tonio dapat disingkirkan dalam waktu yang sama. Ia berkata.

   "Kau layak mendapatkan sebotol sampanye dan makan siang enak hari ini."

   "Ya, gagasan bagus."

   Mereka keluar dari bank dan berjalan kaki ke arah barat.

   Dalam suasana macet seperti sekarang, dengan jalanan dipenuhi domba dan kereta yang tumpah ruah mencari jalan, tidak ada gunanya naik kereta kuda.

   Mereka melewati pasar daging, lalu rumah potong hewan yang baunya menyengat hidung; domba-domba itu dilemparkan dari jalan ke tempat persinggahan akhir mereka di bawah tanah, lewat sebuah pintu penghubung.

   Edward menutup hidungnya dengan sapu tangan sambil bergumam.

   "Huh, sangat menjijikkan... bisa membuatmu anti makan daging domba seumur hidup."

   Ah, pikir Micky, kalau hanya pemandangan seperti ini tidak akan membuat Edward kehilangan nafsu makannya.

   Setelah lewat dari kawasan the City, mereka memanggil taksi kereta kuda untuk menuju Pall Mali.

   Begitu sudah di dalam kereta, Micky mulai mempersiapkan jebakannya.

   "Aku benci orang yang suka menyebarkan tentang perangai buruk orang lain."

   "Ya,"

   Jawab Edward tak acuh.

   "Tapi jika ini menyangkut seorang teman, aku berkewajiban untuk berbuat sesuatu."

   "Mmmm."

   Edward belum juga paham arah omongan Micky.

   "Dan aku juga tidak mau kau menganggap aku diam karena si penyebar omong kosong itu teman senegaraku."

   Untuk sesaat tidak ada yang bicara, lalu Edward berkata.

   "Aku tidak tahu apa maksud omonganmu."

   "Aku membicarakan Tonio Silva."

   "Ah, dia. Aku yakin dia tidak mampu membayar utang judinya padaku."

   "Omong kosong. Aku kenal keluarganya. Mereka sama kayanya dengan keluargamu."

   Micky berani menceritakan kebohongan besar seperti ini karena orang London tidak tahu ukuran kekayaan di Kordoba. Edward agak heran.

   "Astaga. Kukira malah sebaliknya."

   "Tidak, kau keliru. Dia bisa membayarnya dengan mudah. Yang kusayangkan adalah omong besarnya."

   "Apa? Omong besar apa?"

   Micky mendesah sedikit.

   "Aku khawatir dia tidak punya niat untuk membayarmu. Dan dia telah menyebarkan omongan bahwa kau tidak akan berani menagih utang itu."

   Wajah Edward memerah.

   "Oh, begitu! Aku tidak berani katanya? Kita lihat saja!"

   "Aku sudah menasihati dia agar tidak meremehkannya. Kukatakan kau tidak akan mentolerir hinaan seperti itu. Tapi dia mengabaikan^ nasihatku."

   "Bajingan tengik! Baiklah, jika dia tidak sudi mendengar nasihat baikmu, berarti dia memilih cara kekerasan."

   "Benar-benar memalukan si Tonio itu."

   Komentar Micky.

   Edward diam dengan wajah membeku, memendam emosi.

   Micky ikut diam.

   Duduknya jadi tidak tenang.

   Sementara taksi mereka maju dengan sangat lamban di kawasan Strand.

   Tonio pasti sudah menanti di klub saat ini.

   Edward sedang terbakar emosi.

   Saat yang tepat, jangan sampai gagal.

   Akhirnya taksi mereka sampai juga di depan klub.

   Micky menunggu sampai Edward selesai membayar taksi, lalu mengikutinya masuk ke dalam klub.

   Di ruang mantel, di antara orang-orang yang sedang menggantung topi, mereka bertemu Tonio.

   Micky tegang.

   Ia telah mengatur pertemuan ini, sekarang ia hanya bisa berharap agar drama yang akan berlangsung sesuai dengan skenarionya.

   Tonio menatap Edward dengan agak canggung dan memberanikan berkata.

   "Ah, kebetulan... selamat siang, kalian berdua."

   Micky melirik Edward. Wajah Edward jadi merah muda dan matanya melotot.

   "Apa maumu, Silva?"

   Tonio menantap Edward dengan wajah takut.

   "Ada apa. Pilaster?"

   Edward berteriak.

   "Soal utangmu yang seratus pound itu!"

   Ruangan jadi hening.

   Beberapa orang menoleh dan dua pria yang hendak keluar jadi berhenti untuk menonton.

   Mereka semua tahu, pria terhormat tidak akan membicarakan utang orang lain di tempat umum, kecuali keadaan sudah benar-benar kritis.

   Mereka juga tabu bahwa Edward Pilaster punya kekayaan yang tidak akan habis seumur hidupnya, jadi jelas ia punya motif tertentu dengan menagih utang Tonio di depan orang lain.

   Tonio jadi pucat pasi.

   "Ya?"

   Edward dengan brutal berkata.

   "Kutunggu hari ini, utangmu harus lunas."

   Benih tantangan telah ditebar.

   Semua orang tahu, soal utang Tonio Silva bukan sekadar gurauan belaka.

   Sebagai pria terhormat, Tonio hanya punya satu pilihan.

   Ia harus berkata, Pasti.

   Jika memang itu maumu, sekarang juga kubayar lunas.

   Mari kita ke lantai atas, akan kutuliskan selembar cek untukmu atau kita keluar—sebentar ke bank, menyelesaikan ini? Jika Tonio tidak mengatakan itu, semua orang akan tahu ia tidak mampu membayar utangnya, dan ia akan mendapat malu.

   Micky mengawasi dengan berdebar-debar.

   Mulanya Tonio tampak panik.

   Sesaat Micky khawatir Tonio jadi kalap.

   Lalu kepanikan itu berubah jadi amarah, dan ia membuka mulutnya untuk memprotes, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

   Ia malah merentangkan tangan dengan sikap memohon, tapi hanya sejenak.

   Akhirnya wajahnya berubah kuyu seperti anak kecil akan menangis.

   Tiba-tiba ia berbalik, lari keluar dari ruangan.

   Kedua pria yang akan keluar menyingkir memberi jalan.

   Ia lari terus melewati lobi, ke jalanan, tanpa mengambil topinya.

   Micky nyaris berteriak gembira karena rencana liciknya berhasil dengan sempurna.

   Para anggota klub yang menyaksikan adegan tadi saling berdeham untuk menyembunyikan rasa kikuk mereka.

   Salah satu anggota yang lebih tua berkomentar.

   "Kau terlalu keras padanya, Pilaster."

   Micky dengan cepat menjawab.

   "Dia pantas menerima perlakuan begitu."

   "Benar, benar sekali,"

   Kata pria itu. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Edward berkata.

   "Aku ingin minum."

   Micky berkata.

   "Tolong sekalian pesankan aku brendi. Aku akan mengejar Silva dulu... takut dia bunuh diri."

   Lalu ia bergegas keluar.

   Sekarang tiba bagian paling sulit dari rencananya.

   Ia harus meyakinkan Tonio, pria yang baru saja ia hancurkan namanya*, bahwa hanya dialah teman sejatinya.

   Ia melihat Tonio masih berlari ke arah St.

   James; tidak memperhatikan kiri-kanan.

   Setelah berhasil menyusul.

   Micky berkata.

   "Silva, maaf, aku gagal membantumu."

   Tonio berhenti. Di pipinya terlihat air mata.

   "Aku' sudah tamat,"

   Katanya.

   "Semuanya sudah selesai."

   "Pilaster tidak menghiraukan permintaanku,"

   Kata Micky.

   "Aku telah berusaha semampuku...."

   "Aku tahu. Terima kasih atas bantuanmu."

   "Jangan berterima kasih begitu. Aku telah gagal."

   "Tapi paling tidak kau sudah berusaha. Kuharap ada yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan budimu."

   Micky agak ragu sebentar. Apakah aku punya cukup keberanian untuk meminta pekerjaannya sekarang juga ? Micky lalu mengeraskan hatinya dan berkata.

   "Memang ada, tapi nanti saja kita bicara di lain kesempatan."

   "Jangan, katakan sekarang juga."

   "Aku jadi merasa tidak enak. Nanti saja... lain kesempatan."

   "Aku tidak tahu apakah aku masih di London besok. Apa permintaanmu?"

   "Begini..."

   Micky pura-pura malu.

   "Kukira Menteri Luar Negeri Kordoba akan segera mencari pejabat lain untuk menggantimu."

   "Ya, dia akan butuh seseorang secepatnya."

   Tiba-tiba wajah Tonio berubah. Ia tahu maksud temannya.

   "Tentu... tentu kau cocok dengan tugas ini! Cocok sekali!"

   "Seandainya saja kau mau merekomendasikan..."

   "Oh, tentu... bahkan lebih dari itu. Akan kukatakan padanya betapa banyak pertolongan yang telah kau-berikan padaku, terutama usahamu untuk menolongku dari kekacauan ini. Aku yakin dia akan menunjukmu secepatnya."

   "Kuharap kau tidak menyangka aku sedang memanfaatkan dirimu yang sedang dalam kesulitan, Tonio. Aku... aku merasa seperti seekor tikus got."

   "Oh, tidak sama sekali."

   Tonio menggenggam kedua tangan Micky.

   "Kau benar-benar sahabat sejati."

   Di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh II Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya BAB LIMA September in ADIK Hugh, Dorothy, membantu menata pakaian di dalam koper.

   Caranya menata salah dan tidak rapi.

   Hugh akan menatanya lagi nanti, tapi untuk tidak mengecewakan adiknya, ia berulang kali memujinya.

   "Ceritakan kembali soal Amerika,"

   Pinta adiknya.

   "Amerika sangat jauh, sehingga matahari pagi butuh empat jam untuk tiba di sana."

   "Kalau begitu, mereka tidur sepanjang pagi?"

   "Ya, dan waktu kita makan siang, mereka baru makan pagi."

   Adiknya tertawa geli.

   "Mereka malas, ya."

   "Tidak juga. Kau tahu, pada waktu di sini sudah tengah malam, mereka masih bekerja."

   "Kalau begitu, mereka semua tidur terlambat! Aku senang tidur larut malam. Aku senang Amerika. Kenapa aku tidak boleh pergi denganmu?"

   "Yah, kalau saja aku bisa mengajakmu, Dotty."

   Hugh agak sedih.

   Ia tidak akan melihat adik kecilnya selama bertahun-tahun, dan Dotty pasti sudah besar kalau ia kembali nanti.

   Anak itu akan mengerti soal perbedaan waktu antara Amerika dengan Inggris.

   t Hujan bulan September membasahi jendela, dan deru ombak yang memecah pantai terdengar sayup-sayup.

   Rumah ini terasa hangat oleh perapian kecil di dalamnya dan permadani tua di lantai.

   Hugh memasukkan buku-bukunya.

   Modern Business Methods, The Successful Commercial Clerk, The Wealth of Nations, Robinson Crusoe.

   Rekan-rekan di bank mengatakan pengalaman adalah buku terbaik di dunia.

   Hugh kurang setuju karena melalui buku, ia bisa lebih cepat mempelajari cara operasi setiap departemen dalam Pilasters Bank.

   Selain itu, ia juga cepat tahu praktek-praktek yang baik dan yang buruk dalam bisnis.

   Ia pergi ke Amerika dalam waktu yang tidak tepat.

   Awal tahun 1870-an, Amerika sedang mengalami krisis ekonomi.

   Beberapa bank besar telah memberi pinjaman besar untuk pembelian saham-saham perusahaan kereta api yang bersifat spekulatif, dan pada pertengahan 1873, ketika perusahan kereta api mengalami kesukaran, bank-bank itu ikut terseret ke dalamnya.

   Beberapa hari yang lalu.

   Jay Cooke & Co., agen pemerintah Amerika, dinyatakan bangkrut dengan menyeret First National Bank of Washington; berita ini masuk ke Inggris pada hari yang sama melalui telegram kabel transatlantik.

   Akibatnya lima bank di New York berhenti beroperasi, termasuk di dalamnya sebuah bank utama, Union Trust Company.

   Juga sebuah bank tua dan ternama, Mechanics' Banking Association.

   Bursa Saham juga ikut menutup pintunya, Hugh tahu akibatnya akan meluas.

   Banyak bisnis akan ikut bangkrut.

   Pengangguran akan merebak.

   Perdagangan akan menderita, dan Pilasters Bank cabang Amerika akan makin berhati-hati dalam memberikan kredit, jadi akan sukar bagi Hugh untuk membuat prestasi di sana dalam keadaan seperti sekarang.

   Sejauh ini, dampak krisis tersebut tidak sampai ke London.

   Tingkat suku bunga bank naik satu point, menjadi empat persen setahun, dan sebuah bank kecil yang berafiliasi dengan Amerika jatuh bangkrut.

   Tapi tidak ada kepanikan.

   Namun seperti biasa, si tua Seth selalu mengatakan krisis di Amerika harus senantiasa diwaspadai.

   Sekarang Seth sudah sangat lemah, tapi pikirannya masih cemerlang.

   Ia sudah pindah ke rumah Augusta, dan melewatkan hari-harinya di tempat tidur.

   Namun ia tetap tidak bersedia melepaskan jabatannya, sampai krisis perekonomian ini lewat.

   Hugh mulai melipat pakaiannya yang lain.

   Dua setelan baru yang dibelikan oleh bank; ia curiga ibunya telah membujuk kakeknya untuk bermurah hati.

   Seth sangat kikir, seperti para anggota keluarga Pilaster lainnya, namun ia sayang pada ibu Hugh.

   Selama ini ibu Hugh mengandalkan uang tunjangan kecil dari Seth untuk hidupnya.

   Ibunya jugalah yang minta bank mengizinkan Hugh tinggal bersama keluarganya selama beberapa minggu sebelum pergi ke Amerika.

   Selama Hugh bekerja di London, ia jarang pulang ke Folkestone, karena harus menghemat ongkos kereta api dari London ke rumah ibunya.

   Jadi, dalam bulan Agustus Hugh melewatkan waktu bersama ibu dan adiknya di tepi pantai, sedangkan Augusta dan keluarga berlibur di Skotlandia.

   Sekarang musim libur sudah usai dan sudah tiba waktunya bagi Hugh untuk pergi ke Boston.

   Ia mesti berpamitan pada ibunya.

   Ketika ia sedang memikirkan keluarganya, ibunya masuk ke kamar.

   Ia sudah delapan tahun menjanda, tapi masih saja berkabung.

   Tampaknya ia tak ingin menikah lagi, kendati bisa melakukannya dengan mudah.

   Wajahnya masih cantik, dengan mata biru dan rambut pirang tebal.

   Hugh bisa merasakan bahwa ibunya sedih karena ia akan pergi lama.

   Tapi ia tak pernah menyinggung tentang kesedihannya.

   Ia malah bersikap gembira karena peluang putranya di negara yang masih asing dan baru sama sekali.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Dorothy, sudah waktunya tidur,"

   Katanya.

   "Pakai baju tidurmu."

   Begitu Dotty keluar dari kamar, ibunya mulai melipat ulang pakaian Hugh di dalam koper.

   Sebenarnya Hugh ingin membicarakan soal Maisie, tapi ia malu.

   Augusta pasti sudah menulis surat pada ibunya.

   Mungkin juga ibunya sudah mendengar dari anggota keluarga lainnya, atau bertemu salah satu dari mereka ketika pergi berbelanja ke London; cerita yang didengarnya mungkin jauh dari kebenaran.

   Akhirnya Hugh berkata.

   "Ibu...."

   "Ada apa, Sayang?"

   "Bibi Augusta tidak selalu mengatakan yang benar."

   "Ah, tidak perlu basa-basi begitu,"

   Jawab ibunya dengan senyuman getir.

   "Dia selalu mengatakan hal-hal yang tidak benar tentang ayahmu... selama bertahun-tahun."

   Hugh agak tertegun dengan keterusterangan ibunya.

   "Jadi, dia yang mengatakan pada ayah Florence Stalworthy bahwa ayah seorang penjudi?"

   "Ya, pasti dia."

   "Kenapa dia bersikap begitu?"

   Ibunya meletakkan baju yang sedang dilipatnya di dalam koper dan berpikir sebentar.

   "Dulu Augusta sangat cantik. Dia dan keluarganya pergi ke gereja Metodis di Kensington. Di gereja itulah kami mengenalnya. Dia anak tunggal, keras kepala dan manja. Orangtuanya biasa-biasa saja. ayahnya mulai bekerja sebagai asisten toko, lalu merintis usaha sendiri sampai punya tiga toko grosir di daerah pinggiran barat London. Sejak kecil tampaknya Augusta bercita-cita muluk dan juga dididik untuk berselera tinggi."

   Ibunya berhenti sebentar, pergi ke jendela yang masih dibasahi air hujan, menatap ke arah badai ombak di Selat Inggris, namun pikirannya dipenuhi kenangan masa lalu.

   "Ketika dia berusia tujuh belas tahun, seorang putra bangsawan jatuh cinta padanya. Earl of Strang merupakan pemuda tampan, kaya, dan baik hati. Melihat hubungan putranya dengan putri seorang pemilik toko grosir, orangtua Strang jadi panik. Tapi Augusta sangat cantik dan bisa membawa diri sebagai seorang calon menantu bangsawan."

   "Lalu, apakah mereka bertunangan?"

   Tanya Hugh.

   "Tidak secara formal. Tapi setiap orang menduga hubungan mereka akan berakhir di pelaminan. Beberapa waktu kemudian, terjadi skandal. Ayah Augusta diadukan oleh bekas karyawannya yang baru dipecat kepada Dewan Perniagaan. Tuduhannya adalah menipu timbangan barang, bahkan sampai bobot daun teh yang dibeli gereja setiap Selasa untuk kelompok studi Alkitab pun dia tipu. Ada kemungkinan dia akan masuk penjara. Sudah tentu dia mati-matian membantah, dan karena tidak ada bukti, akhirnya dia bebas. Hanya saja Strang tidak mau bertemu Augusta lagi."

   "Augusta pasti patah hati."

   "Tidak sama sekali, Kebalikannya, dia jadi sangat marah. Selama hidupnya dia selalu bisa memperoleh semua keinginannya, hanya yang satu ini dia gagal. Dia jadi lebih bernafsu lagi ingin memiliki Strang, tapi tak bisa."

   "Dan dia mau menikah dengan Paman Joseph hanya untuk membalas dendam, seperti kata orang-orang."

   "Menurut Ibu, dia menikah dengan pamanmu dalam keadaan sangat marah. Dia lebih muda tujuh tahun, dan perbedaan usia itu cukup besar bagi gadis berusia tujuh belas tahun seperti dia. Selain itu, pamanmu tentu kalah jauh dari segi panampilan dan rupa. Hanya saja pamanmu jauh lebih kaya dibandingkan Strang. Sebagai istri, Augusta berusaha menjadi yang terbaik bagi pamanmu, hanya saja sebagai wanita, dia masih menyimpan dendam membara."

   "Apa yang terjadi pada Strang?"

   "Oh, dia menikah dengan seorang putri bangsawan Prancis dan kudengar dia meninggal dalam kecelakaan berburu."

   "Kasihan Augusta. Aku nyaris bersimpati padanya."

   "Ya, hanya saja dia jadi sangat materialistis. Dia selalu ingin lebih. uang lebih, posisi sosial lebih, pekerjaan yang lebih bagi suaminya. Alasannya dia begitu ambisius bagi dirinya, suaminya, dan anaknya Edward adalah karena dia ingin memperoleh semacam ganti rugi atas hilangnya peluangnya, menikah dengan seorang bangsawan kaya. Dia menginginkan gelar, rumah warisan, hidup nyaman, warisan berlimpah. Tapi sebenarnya bukan itu yang ditawarkan Strang, melainkan cinta yang tulus. Dan itu tak dapat digantikan dengan apa pun."

   Selama ini Hugh belum pernah berbicara seintim ini dengan ibunya. Sekaranglah saatnya ia mau membuka diri.

   "Ibu,"

   Ia memulai.

   "Tentang Maisie...

   "

   Ibunya tampak bingung.

   "Maisie?"

   "Gadis... yang menjadi penyebab kepindahanku ke Boston. Maisie Robinson."

   Wajah ibunya kembali tenang.

   "Oh, dia. Augusta tidak pernah menyebutkan namanya."

   Hugh masih ragu, tapi lalu mengeraskan hati.

   "Dia... dia bukan gadis sembarangan, Bu."

   Ibunya agak jengah; pria tidak pernah menyebut soal pelacur di depan ibu mereka.

   "Oh, begitu,"

   Jawabnya singkat, sambil memalingkan wajahnya. Hugh menambahkan.

   "Dia memang berasal dari kelas bawah. Dan orang Yahudi."

   Ia melihat wajah ibunya kembali berubah, kaget, tapi tidak marah.

   "Sebenarnya dia bukan wanita sembarangan. Dia bahkan..."

   Hugh kembali ragu meneruskan.

   "Ya, kenapa?"

   Tanya ibunya.

   "Dia bahkan masih perawan."

   Wajah ibunya memerah.

   "Maaf aku bicara begitu, Bu,"

   Kata Hugh.

   "Aku hanya ingin memberi gambaran dari versiku, bukan hanya versi Augusta."

   Ibunya bertanya dengan lembut.

   "Apakah kau senang padanya, Hugh?"

   "Ya, kurang-lebih begitu,"

   Ia lalu merasa air mata mulai membasahi kedua kelopak matanya.

   "Aku tidak mengerti kenapa dia menghilang begitu saja. Aku tidak tahu ke mana dia pergi. Aku sudah mencoba menanyakannya di istal kuda tempatnya bekerja, juga di Argyll, tempat kami bertemu. Juga Solly Greenbourne yang menyukainya, tapi tidak tahu ke mana ia menghilang. Tonio Silva kenal temannya, April, tapi sayang Tonio sudah kembali ke Amerika Selatan, dan April ikut lenyap."

   "Misterius sekali."

   "Ya, kukira ini pasti ulah Augusta."

   "Tidak kuragukan hal itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana dia mengatur semua ini, tapi mengingat ke-licikannya, semua pasti bisa dia kerjakan. Sekarang, yang penting bagimu adalah melihat ke masa depan, Hugh. Boston adalah peluang bagimu. Kau harus bekerja keras dan penuh waspada."

   "Dia benar-benar wanita istimewa, Bu."

   Hugh bisa melihat bahwa ibunya kurang percaya omongannya.

   "Ya, tapi kau akan melupakan dia, Hugh."

   "Mungkinkah?"

   Ibunya mencium dahinya.

   "Pasti bisa. Aku percaya itu." [II] DI kamar loteng yang disewa Maisie bersama April hanya ada satu gambar. sebuah poster sirkus yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY memperlihatkan Maisie dalam pakaian ketat sedang berdiri di punggung kuda putih yang berlari. Di bagian bawah poster tertulis MAISIE YANG MENAKJUBKAN. Sebenarnya gambar itu terlalu dilebih-lebihkan, karena kenyataannya sirkus itu tidak punya kuda putih dan kaki Maisie tidak sepanjang poster. Tapi tetap saja Maisie senang menyimpan gambar itu, karena hanya itu kenangan yang ia miliki. Di kamar itu hanya ada sebuah ranjang sempit, wastafel, sebuah kursi, dan sebuah bangku kaki tiga. Pakaian mereka digantung di beberapa paku di dinding. Jendelanya tanpa tirai, sebagai gantinya adalah debu yang menebal. Mereka sudah berupaya selalu membersihkan kamar, tapi sia-sia. Setiap saat jelaga perapian jatuh bertebaran, tikus keluar-masuk dari lubang-lubang di lantai, sedangkan debu dan serangga merayap masuk dari dinding bata dan celah-celah sempit kamar. Hari ini hujan, dan air pun tak mau kalah menambah semarak isi kamar, menetes dari tepi jendela dan atap yang bocor. Maisie sudah berpakaian rapi. Hari ini hari suci Rosh Hashanah, saatnya buku kehidupan dibuka. Maisie mencoba menduga-duga, apa dan bagaimana nasibnya pada tahun yang akan datang. Ia sebenarnya tidak pernah berdoa, hanya berharap diberi nasib baik pada hari suci ini. April sedang membuat teh di dapur umum. Ketika kembali, dengan gembira ia menunjukkan selembar koran.

   "Ada berita untukmu, Maisie, untukmu."

   "Apa?"

   "Di iklan pribadi Lloyd's Weekly News. Coba dengar ini, 'Miss Maisie Robinson, dulu dikenal sebagai Miriam Rabinowicz. Se'andainya Miss Robinson bersedia mengontak kantor pengacara Goldman & Jay di Gray's Inn, baginya ada berita yang menguntungkan.' Benar kan, ini pasti kau!"

   Jantung Masie berdebar makin keras, tapi ia bisa menyembunyikannya. Dengan nada dingin ia berkomentar.

   "Ini pasti Hugh. Aku tidak akan pergi ke sana."

   April tampak kecewa.

   "Tapi itu bisa saja dipanggil untuk menerima warisan dari sanak keluarga jauh."

   "Huh, aku mungkin Ratu Mongolia, tapi aku tetap tidak mau pergi ke Gray's Inn."

   Ia berhasil membuat suaranya terdengar acuh, tapi hatinya pedih.

   Setiap detik, siang-malam, ia masih memikirkan Hugh, dan ini membuatnya sengsara.

   Sebenarnya ia belum kenal betul siapa Hugh, tapi ia tak bisa melupakannya.

   Namun ia bersikeras ingin melupakan Hugh.

   Ia tahu selama ini Hugh berusaha mencarinya.

   Hampir setiap malam ia berada di Argyll, menemui Sammies si pemilik istal kuda, juga tidak putus asa mencari di setiap pondokan murahan di seluruh penjuru London.

   Kemudian pencarian itu berhenti.

   Mungkin ia sudah menyerah.

   Atau sudah mengganti taktiknya, seperti memasang iklan panggilan itu.

   Maisie merasa tak bisa selamanya bersembunyi, karena Hugh begitu ingin menemukannya dan ia sendiri ingin bertemu pemuda itu.

   Tapi dia sudah memutuskan untuk tidak menemui Hugh lagi.

   Ia begitu mencintai Hugh, hingga tak sampai hati meruntuhkan kariernya.

   Ia mengenakan korsetnya.

   "Tolong bantu aku mengikatnya,"

   Katanya pada April. April mulai menarik tali-temali korset.

   "Aku belum pernah masuk koran,"

   Katanya iri.

   "Kau sudah dua kali, sekarang dan dulu, sebagai Si Singa Betina."

   "Dan kau tahu apa akibatnya. Astaga, aku jadi makin gemuk."

   April selesai mengikat korset, lalu membantunya mengenakan gaun.

   Mereka akan pergi malam ini.

   April punya kekasih baru, seorang editor majalah setengah baya yang punya istri dan enam anak di Clapham.

   Malam ini ia dan rekannya akan membawa April dan Maisie berdansa di gedung musik.

   Mereka merencanakan akan jalan-jalan di sepanjang Bond Street sambil melihat-lihat etalase toko-toko.

   Tapi mereka tidak akan membeli apa-apa.

   Agar tidak bertemu Hugh lagi, selama dua bulan ini Maisie tidak bekerja lagi pada Sammies, padahal ia dinilai sangat berhasil dalam penjualan kuda.

   Selama beberapa bulan ia bekerja, sudah lima kuda dan beberapa anak kuda terjual.

   Sekarang uang simpanannya makin menipis.

   Hari ini mereka tetap mesti keluar rumah, meski cuaca buruk.


Satria Gendeng Geger Pesisir Jawa Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Satria Gendeng Tabib Sakti Pulau Dedemit

Cari Blog Ini