Kekayaan Yang Menyesatkan 5
Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 5
Terlalu pengap berdiam diri di kamar.
Gaun yang dipakai Maisie tampak terlalu kekecilan di bagian dada dan pinggang.
April memeriksa sebentar sambil berpikir, lalu bertanya.
"Apakah payudaramu tampak meradang akhir-akhir ini?"
"Ya, kedua-duanya aku tidak tahu kenapa.""Maisie,"
Tanya April khawatir.
"kapan terakhir kamu menstruasi?"
"Aku tidak pernah-menghitung."
Setelah berpikir sejenak, ia berkata dengan nada takut.
"Oh, tidak!"
"Kapan?" -"Kukira sekitar beberapa hari sebelum pacuan kuda di Goodwood. Menurutmu apakah aku sekarang hamil?"
"Ya, pasti! Payudaramu meradang dan kau tidak menstruasi selama dua bulan,"
Kata April dengan kesal.
"Aku heran kau bisa begitu bodoh. Siapa yang bertanggung jawab?" .
"Sudah tentu Hugh. Tapi kami hanya melakukan sekali. Bagaimana bisa hamil jika hanya sekali?"
"Kau selalu hamil jika sekali bercinta saja."
"Oh, Tuhan,"
Keluh Maisie. Kepalanya serasa kena palu. Tubuhnya lemas. Lututnya gemetar. Ia terduduk di pinggir ranjang dan mulai menangis.
"Apa yang harus kuperbuat sekarang?"
Tanyanya putus asa.
"Sebaiknya kita segera pergi ke pengacara yang memuat iklan ini." *** Tiba-tiba segalanya berubah. Semula Maisie masih takut dan marah. Lalu ia menyadari bahwa sekarang ia harus bertemu dengan Hugh, demi anak yang dikandungnya. Dan ketika ia menerima kenyataan ini, ia tidak lagi takut, malah senang. Sebenarnya ia sangat rindu pada Hugh. Semula ia yakin, tak perlu menemui Hugh lagi, tapi sekarang ia mengalah, la wajib menghubungi Hugh, dan ini membuatnya berdebar campur lega. Begitulah perasaannya ketika ia dan April menapaki tangga kantor di Gray's Inn. Iklan itu bisa saja bukan dari Hugh, la tidak akan heran jika Hugh telah menghentikan pencarian. Maisie sama sekali tidak memberi peluang, dan pria tentunya takkan mau menunggu selamanya. Mungkin iklan itu dari kedua orangtuanya, kalau mereka masih hidup. Mereka mungkin sudah punya uang untuk mencarinya. Bagaimana jika memang mereka? Ada saat-saat ia merindukan kedua orangtuanya, tapi ia takut mereka akan malu jika mengetahui cara hidupnya sekarang. Mereka tiba di puncak anak tangga dan masuk ke sebuah kantor. Di bagian depan kantor, seorang petugas muda melemparkan senyum ramahnya. Meski kedua gadis itu basah kuyup dan lusuh, ia tetap mengeluarkan rayuannya.
"Nona-nona, bagaimana bisa dua bidadari jelita datang ke kantor Goldman and Jay? Apa yang bisa kulakukan untuk membantu kalian berdua?"
April langsung menjawab.
"Pertama, lepaskan jasmu... warnanya menyakitkan mata."
Maisie lebih tidak sabar lagi.
"Namaku Maisie Robinson,"
Katanya langsung ke sasaran.
"Aha! Iklan itu. Kebetulan sekali, pria pemasangnya sekarang sedang bicara dengan Mr. Jay."
Maisie serasa akan pingsan karena ragu campur takut.
"Coba katakan,"
Tanyanya agak ragu.
"Pria pemasang iklan itu... apakah Mr. Hugh Pilaster?"
Si petugas menjawab tanpa melihat wajah Maisie.
"Astaga, bukan dia!"
Harapan Maisie kembali lenyap. Ia terduduk di ujung bangku kayu di dekat pintu masuk, berusaha untuk tidak menangis.
"Bukan dia."
"Ya, bukan dia,"
Jawab si petugas.
"Kebetulan aku kenal Hugh Pilaster. Dulu kami satu sekolah di Folkestone. Dia sudah pergi ke Amerika."
Maisie sangat kaget.
"Amerika?"
Tanyanya berbisik.
"Boston, Massachusetts. Naik kapal beberapa minggu yang lalu. Kau kenal dia, ya?"
Maisie tidak menghiraukan pertanyaan itu. Hatinya mengeras seperti batu, dingin dan membeku. Sudah pergi ke Amerika. Dan ia mengandung anaknya. Ia terlalu terkejut untuk menangis. Dengan agresif April bertanya.
"Kalau begitu, siapa pemasang iklan itu?"
Si petugas tiba-tiba sadar bahwa ia kalah wibawa di depan dua gadis itu. Dengan gugup ia berkata.
"Sebaiknya kuminta si pemasang iklan mengenalkan dirinya pada kalian berdua. Permisi sebentar."
Ia menghilang ke pintu dalam.
Maisie menatap kosong judul-judul beberapa boks berkas perkara yang ditumpuk rapi di depan dinding.
Blenkinsop Estate, Regina lawan Para Penggiling Gandum Wiltshire, Mrs.
Stanley Evans (almarhumah).
Perkara yang ditangani kantor pengacara ini kebanyakan mencakup tragedi kehidupan.
kebangkrutan, kematian, perceraian, penuntutan perkara.
Ketika pintu dibuka kembali, seorang pria lain muncul.
Penampilannya meyakinkan.
Usianya tidak beda jauh dengan Maisie.
Wajahnya mirip wajah nabi-nabi di Alkitab.
Kedua matanya yang gelap tampak tajam di bawah alis tebal dan hitam.
Hidungnya besar, dengan cuping lubangnya melebar.
Janggutnya juga lebat.
Tampangnya serasa tidak asing lagi bagi Maisie, dan untuk SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sesaat ia jadi ingat wajah ayahnya, kendati ayahnya tidak seberingas laki-laki itu.
"Maisie?"
Tanyanya langsung.
"Maisie Robinson?"
Pakaian yang dikenakannya agak aneh, seakan baru dibeli dari luar negeri, dan aksennya kental aksen Amerika.
"Ya, saya Maisie Robinson,"
Jawab Maisie.
"Siapa kau?"
"Apa kau tidak mengenali aku?"
Tiba-tiba Maisie ingat seorang anak laki kecil, kurus, telanjang kaki, dan berpakaian compang-camping, dengan kumis tipis mulai membayang di atas bibirnya serta sorot mata nekat.
"Oh, tidak... Tuhan!"
Ia berseru.
"Danny!"
Untuk sesaat ia lupa masalahnya sendiri dan ia lari ke pelukan pria itu.
"Danny, kaukah ini?"
Danny memeluk adiknya begitu erat, sehingga Maisie merasa sakit.
"Ya, ini aku."
"Siapa?"
Sela April.
"Siapa dia?"
"Kakakku!"
Jawab Maisie.
"Yang dulu lari ke Amerika! Dia sekarang kembali!"
Danny melepas pelukannya dan menatap adiknya lama.
"Bagaimana kau bisa begitu cantik?"
Tanyanya.
"Kau dulu begitu kurus!"
Maisie menyentuh janggut Danny.
"Aku tadi pasti lebih cepat mengenalimu jika tidak ada janggut ini."
Tiba-tiba di belakang Danny terdengar suara dehaman kecil. Maisie melihat seorang pria setengah tua berdiri di depan pintu dengan tatapan sedikit mencemooh.
"Rupanya kami telah berhasil menemukan yang dicari."
Katanya. Danny berkata.
"Mr. Jay, perkenankan aku memperkenalkan adikku, Miss Maisie Robinson."
"Senang bertemu Anda, Miss Robinson. Bolehkah saya memberikan saran?"
"Kenapa tidak?"
Jawab Danny.
"Di Theobalds Road ada kedai kopi, tidak jauh dari tempat ini. Di tempat itu kalian bebas melepas rindu."
Mr. Jay jelas menunjukkan ia ingin mereka pergi dari kantornya, tapi Danny tidak begitu peduli, la menanyakan dulu kesediaan adiknya dan April.
"Bagaimana, kalian ingin di mana? Di kedai kopi atau di sini saja?"
"Di sana saja,"
Jawab Maisie. Mr. Jay cepat-cepat menukas.
"Dan mungkin Anda bersedia kembali ke sini nanti untuk menyelesaikan rekening Anda, Mr. Robinson?"
"Aku tidak mungkin lupa itu. Mari kita pergi."
Mereka meninggalkan kantor dan turun ke lantai bawah. Banyak sekali yang ingin ditanyakan Maisie, ia mengendalikan rasa ingin tahunya. Begitu mereka duduk di dalam kedai kopi, ia langsung bertanya.
"Apa saja yang kaulakukan selama tujuh tahun terakhir ini?"
"Ikut membangun jaringan rel kereta api. Aku datang ke Amerika pada saat yang tepat. Perang saudara baru saja selesai dan pembangunan rel kereta api besar-besaran baru mulai. Mereka butuh pekerja, sampai-sampai mengimpor dari Eropa. Bahkan anak usia empat belas yang kurus kecil seperti diriku juga laku kerja. Jadi. aku mulai bekerja, pertama di St. Louis, membangun jalan kereta api di atas jembatan Sungai Mississippi, lalu pindah ke Utah, ikut perusahaan Union Pacific Railroad. Pada usia sembilan belas tahun, aku sudah tumbuh besar karena biasa mengerjakan tugas orang dewasa. Aku ikut bergabung dalam serikat buruh, dan tak lama kemudian memimpin pemogokan."
"Lalu kenapa kau kembali ke sini?"
"Pasar modal di Amerika ambruk. Perusahaan kereta api ikut kena getahnya. Juga bank yang biasa membiayai mereka. Terjadi pengangguran besar-besaran. Ribuan orang mencari pekerjaan. Jadi kuputuskan kembali ke Inggris, untuk memulai hidup baru."
"Apa yang akan kaulakukan di sini? Membangun rel kereta api?"
Ia menggelengkan kepala.
"Tidak, aku punya gagasan baru. Dua kali hidupku dilanda kesialan gara-gara ambruknya pasar modal. Sekarang aku jadi yakin bahwa para bankir adalah manusia paling dungu di dunia. Mereka tidak pernah belajar dari pengalaman, akibatnya mereka selalu melakukan kesalahan yang sama, berulang kali. Dan siapa yang paling menderita? Para pekerja. Tak seorang pun akan membantu kita, tak seorang pun yang bersedia. Jadi, sesama pekerja harus saling membantu."
April memberi komentar.
"Kau salah. Tidak ada orang yang mau membantu orang lain di dunia ini. Kau harus selalu siap bagi dirimu sendiri."
April memang sering berkata begitu, batin Maisie, padahal kenyataannya ia pemurah dan siap melakukan apa saja demi temannya. Danny menjawab.
"Aku akan mendirikan organisasi khusus bagi para pekerja. Setiap minggu, masing-masing membayar iuran sebanyak enam penny. Jika mereka sedang tidak punya pekerjaan, organisasi akan menanggung sebesar satu pound seminggu selama dia mencari pekerjaan baru."
Maisie memandang kakaknya dengan kagum.
Rencana yang ambisius tapi ia ingat kata-kata kakaknya ketika masih berusia empat belas tahun.
Di pelabuhan ada kapal yang akan berangkat ke Boston besok fajar.
Aku akan memanjat naik ke dalamnya dan bersembunyi di salah satu sekoci di atas dek.
Ia tak pernah mundur dari apa yang ia rencanakan, apalagi sekarang.
Ia berkata pernah memimpin pemogokan.
Rupanya ia memang berbakat menjadi pemimpin.
"Tapi bagaimana kabar Papa dan Mama?"
Tanya Danny.
"Kau pernah berhubungan dengan mereka?"
Maisie menggeleng dan mulai menangis. Tiba-tiba ia merasakan pedih karena kehilangan keluarganya, rasa sakit yang selama bertahun-tahun ia coba campakkan dari hatinya. Danny merangkul bahu adiknya.
"Aku akan coba menelusuri mereka."
"Kuharap kau bisa menemukan mereka."
Pinta Maisie.
"Aku benar-benar kehilangan mereka."
Ia melihat tatapan April yang penuh keterkejutan.
"Aku khawatir mereka akan malu jika melihat diriku."
"Kenapa?"
Tanya Danny.
"Aku sedang hamil."
Wajah kakaknya memerah.
"Dan belum menikah?"
"Belum."
"Akan menikah segera?"
"Tidak."
Danny marah.
"Siapa bedebah itu?"
Maisie tiba-tiba jadi marah.
"Tak perlu marah seperti itu!"
"Akan kupatahkan lehernya."
"Tutup mulutmu, Danny! Tujuh tahun yang lalu kau meninggalkan aku. Sekarang tiba-tiba kau muncul dan bersikap seakan aku ini milikmu."
Danny terkesima, dan Maisie jadi agak tenang.
"Tak apalah. Dia akan mengawini aku kapan saja aku mau, hanya aku tidak bersedia, jadi lupakan saja soal dia. Lagi pula dia sudah pergi ke Amerika!"
Danny ikut tenang.
"Jika aku bukan kakakmu sendiri, aku pasti mau mengawinimu. Kau begitu cantik! Tapi sudahlah. Akan kuberikan semua simpanan uangku padamu."
"Tidak, aku tidak memerlukannya."
Maisie tahu ia terdengar pongah, tapi tak bisa mencegahnya.
"Aku tidak butuh uangmu, Danny. Pakai saja untuk mendirikan organisasimu. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jika pada umur sebelas tahun aku bisa, kenapa sekarang tidak?"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MICKY MIRANDA dan Papa melewatkan makan siang di sebuah restoran kecil di Soho, menikmati kerang rebus makanan paling murah dalam daftar menu dan minum bir paling keras.
Restoran ini terletak di dekat Perwakilan Kordoba di Portland Place, tempat Micky sekarang bekerja selama sejam dua jam setiap hari, mensortir surat-surat untuk duta besarnya.
Hari ini ia sudah bebas tugas dan menemani Papa makan siang.
Mereka duduk berhadapan di bangku kayu yang keras.
Lantai di situ penuh debu dan langit-langitnya yang rendah sangat kotor.
Sebenarnya Micky benci makan di tempat seperti ini, tapi demi penghematan ia tak punya pilihan lain.
Ia makan di Klub Cowes hanya jika ditraktir Edward.
Selain itu, mengajak Papa makan di Klub Cowes akan mengundang malu.
Siapa tahu Papa meludah seenaknya, atau menyumpah serapah, dan bisa juga mencabut pistol.
Papa menyelesaikan sisa lauk terakhir di mangkuknya dengan potongan roti, lalu menyingkirkan mangkuk di depannya.
"Aku harus menjelaskan sesuatu padamu,"
Katanya. Micky meletakkan sendoknya. Papa berkata.
"Aku butuh senapan-senapan itu untuk menyerang keluarga Delabarca. Jika mereka sudah kuhancurkan, akan kukuasai tambang nitrat mereka. Keluarga kita akan jadi kaya sekali."
Micky mengangguk pelan. Ia sudah pernah mendengar rencana ini, tapi tidak berani mengatakannya.
"Tambang nitrat hanya untuk sementara, langkah kita yang pertama,"
Papa melanjutkan dengan mantap.
"Jika sudah punya uang banyak, kita beli senapan lebih banyak lagi. Selain itu, kerabat kita akan kuatur agar punya jabatan penting di provinsi."
Micky agak tertarik, karena hal ini baru baginya.
"Sepupumu Jorge akan jadi kolonel di Angkatan Darat. Kakakmu Paulo akan jadi kepala polisi di Provinsi Santa Maria."
Jadi, dia bisa secara legal melanjutkan hobinya menyiksa orang, pikir Micky.
"Lalu aku akan mengangkat dirku sendiri jadi gubernur provinsi."
Gubernur! Tak disangka Papa punya ambisi setinggi ini. Tapi Papa belum selesai.
"Jika sudah menguasai provinsi, kita akan melangkah lebih jauh lagi seluruh negara.Mulanya kita akan berpura-pura jadi pengikut setia Presiden Garcia. Kau akan menjadi duta besarnya di London. Saudaramu akan jadi menteri kehakiman, mungkin. Paman-pamanmu akan jadi jenderal. Saudara tirimu, Dominic, si pastor itu akan jadi uskup Palma."
Micky kaget. Ia tak pernah tahu kalau ia punya saudara tiri. Dan ia tak menyangka ayahnya punya pandangan sejauh itu. Tapi ia diam saja, tidak mau menyela cerita Papa.
"Dan kelak, jika waktunya sudah tepat, kita akan menyingkirkan keluarga Garcia."
"Maksud Papa, menjatuhkan pemerintahan sekarang?"
Tanya Micky kaget. Kedua matanya terbelalak. Ia terpesona oleh keberanian dan rasa percaya diri ayahnya.
"Ya. Dalam waktu dua puluh tahun lagi, anakku, kalau bukan aku pasti kau yang akan menjadi presiden Kordoba."
Micky mencoba mencerna rencana ayahnya.
Kordoba mempunyai landasan undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis, tapi hal itu tak pernah terselenggara.
Presiden Garcia merebut kekuasaan sepuluh tahun yang lalu, ketika ia menjadi panglima angkatan bersenjata, orang kepercayaan Presiden Lopez yang memimpin pemberontakan melawan penjajah Spanyol.
Pada waktu itu, ayah Micky juga ikut berperang bersama koboi-koboinya.
Papa benar-benar membuat Micky terkejut dengan strateginya yang licik.
pura-pura menjadi pengikut setia penguasa yang sekarang, dan kelak, jika si penguasa sedang lengah, Papa akan memberontak.
Tapi apa peran Micky? Ia harus menjadi duta besar Kordoba di London.
Ia sudah berhasil menyingkirkan Tonio Silva secara licik.
Ia mesti melakukan hal yang sama pada Duta Besar.
Jika ayahnya berhasil jadi presiden, ia akan menjadi menteri luar negeri, dan bisa keliling dunia sebagai wakil negaranya.
Tapi bukankah tadi Papa mengatakan bahwa Micky bisa saja jadi presiden? Bukan Paulo, bukan pamannya Rico, tapi Micky.
Apakah mungkin? Kenapa tidak? Micky cerdik, kejam, dan punya relasi hebat di London.
apa lagi yang dibutuhkan? Bayangan bisa memimpin seluruh negara membuatnya sangat bergairah.
Bayangkan, setiap orang akan membungkuk hormat padanya, dan para wanita tercantik di seluruh Kordoba akan berada dalam kekuasaannya, baik secara sukarela atau paksaan.
Dan ia juga-akan sangat kaya, setara dengan keluarga Pilaster.
'"Presiden? Hmmm...
saya sangat senang mendengarnya."
Tanpa sadar ia bergumam penuh impian.
Tiba-tiba Papa berdiri dan menampar pipi Micky.
Kendati sudah tua, Papa masih sangat kuat, apalagi telapak tangannya besar dan kasar.
Micky menjerit kesakitan, kaget.
Ia berdiri sambil menyeka darah di bibirnya.
Restoran itu jadi senyap.
Semua orang menanti apa yang akan terjadi.
"Duduk!"
Perintah ayahnya dengan tegas. Dengan ragu dan enggan Micky duduk kembali di kursinya. Papa mencondongkan tubuh dan menyambar leher baju Micky. Dengan geram ia berkata.
"Seluruh rencana hebat ini terancam gagal karena kau tak bisa melaksanakan satu tugas kecil... tugas sederhana yang dibebankan padamu!"
Micky ketakutan dengan reaksi ayahnya yang tiba-tiba bengis.
"Papa, Papa pasti akan memperoleh senapan-senapan itu."
"Satu bulan lagi musim semi akan tiba di Kordoba. Tahun ini juga kita sudah harus mengambil alih tambang Delabarca tahun depan sudah terlambat. Aku sudah pesan tempat di kapal yang akan menuju Panama. Kaptennya sudah kusogok untuk menurunkan senapan-senapan itu di pantai Santamaria."
Tiba-tiba Papa berdiri sambil menyeret Micky. Wajahnya merah padam menahan marah.
"Kapal itu akan berlayar lima hari lagi,"
Tekanan suaranya membuat nyali Micky terbang.
"Sekarang kau keluar dari tempat ini dan segera beli senapan itu!"
Kepala pelayan Augusta, Hastead, mengambil jas Micky yang basah dan menggantungkannya di dinding dekat perapian.
Micky tidak mengucap terima kasih.
Mereka sejak lama saling membenci.
Hastead cemburu pada semua orang yang bisa menarik perhatian Augusta, sedangkan Micky muak dengan sikap menjilat Hastead.
Selain itu, Micky tak pernah bisa menebak ke arah mana sebenarnya tatapan mata Hastead.
Ini membuatnya tidak tenang.
Micky masuk ke ruang duduk dan mendapati Augusta sedang duduk sendirian.
Ia tampak senang melihat kedatangan Micky.
Ia meraih kedua tangan Micky dan berkata.
"Tanganmu dingin sekali."
"Saya tadi berjalan kaki melintasi taman."
"Oh, kasihan. Kau seharusnya naik kereta."
Augusta tidak tahu Micky tak mampu menyewa kereta kuda.
Ditekankannya kedua tangan Micky -ke dadanya, seperti SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY isyarat mengundang, tapi ia pura-pura hanya ingin menghangatkan tangan Micky.
Augusta memang sering bersikap mengundang jika mereka hanya berdua, dan Micky menikmatinya.
Ia pun dengan sengaja menyentuh bahu Augusta, atau memandang langsung ke kedua matanya dalam-dalam, dan mereka akan bicara perlahan-lahan seperti sepasang kekasih.
Tapi hari ini Micky sedang gundah, sehingga ia tidak menyambut permainan Augusta.
Dengan gugup ia bertanya.
"Bagaimana kabar Old Seth?"
Ia berharap jawabannya buruk. Augusta bisa merasakan suasana Micky. Dengan kecewa ia melepaskan kedua tangannya.
"Mendekatlah ke perapian,"
Katanya. Ia mengambil tempat di sofa dan menepuk-nepuk kursi di sampingnya, menyuruh Micky duduk.
"Seth jauh lebih sehat."
Micky terenyak. Augusta melanjutkan.
"Dia mungkin bisa bertahan beberapa tahun lagi."
Nadanya jengkel. Jelas ia tak sabar lagi menunggu suaminya naik menjadi Mitra Senior.
"Kau tahu dia sekarang tinggal di sini. Kau bisa menengoknya setelah minum teh nanti."
"Dia tentu akan pensiun secepatnya?"
Tanya Micky.
"Sayangnya belum ada tanda-tanda ke arah itu. Baru pagi tadi dia menolak saham jalan kereta api Rusia."
Augusta menepuk lutut Micky.
"Sabar. Papamu pasti akan memperoleh senapan-senapannya."
"Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi,"
Jawab Micky penuh cemas.
"Lagi pula dia akan pulang minggu depan."
"Oh, jadi itu sebabnya kau tampak tegang sejak tadi,"
Komentar Augusta penuh simpati.
"Kasihan. Kuharap aku bisa membantumu."
"Anda tidak kenal ayah saya,"
Jawab Micky putus asa.
"Dia bisa bersandiwara sebagai pria berbudaya, tapi sebenarnya dia liar. Tuhan tahu apa yang akan dia perbuat jika saya gagal memenuhi tugasnya."
Dari ruang depan terdengar suara ramai. Dengan tergesa-gesa Augusta berkata.
"Ada yang perlu kuberitahukan kepadamu sebelum mereka datang ke sini. Akhirnya aku bertemu juga dengan Mr. David Middleton."
Micky mengangguk.
"Apa katanya?"
"Dia sopan, tapi terus terang. Katanya dia tetap tak percaya tentang kematian adiknya di kolam itu. Dia tetap minta alamat Hugh dan tetap akan mencari di mana Tonio Silva sekarang berada. Kukatakan mereka sekarang sudah berada di luar negeri, jadi dia cuma buang-buang waktu mencari mereka."
"Kalau saja kita bisa memecahkan masalah Old Seth secepat masalah David ini,"
Kata Micky.
Pintu kamar terbuka.
Ternyata yang datang Edward dan adiknya, Clementine yang wajahnya serupa ibunya, hanya minus daya sensualitasnya.
Augusta menuangkan teh.
Micky membicarakan acara sore nanti dengan Edward.
Di bulan September, suasana London kurang semarak.
Para bangsawan masih berlibur di luar London sampai bulan Desember.
Hanya para politisi yang masih ada.
Untuk hiburan kelas menengah tentu masih ada, hanya pesta-pesta megah yang menghilang.
Edward sudah membeli dua tiket teater untuk mereka berdua.
Micky pura-pura sangat berminat, walau sebenarnya pikirannya masih tersita soal Old Seth.
Hastead masuk membawa kue lapis mentega yang masih hangat.
Edward makan beberapa potong, tapi Micky sama sekali tidak bernafsu.
Lalu masuk anggota keluarga yang lain.
Young William, saudara lelaki Joseph; Madeleine si buruk rupa, saudari Joseph; suami Madeleine, Mayor Harstshorn yang berparut bekas luka di dahinya.
Topik sore ini.
krisis keuangan di dunia, namun menurut Micky sama sekali tidak ada nada khawatir dalam pembicaraan mereka.
Semua ini berkat Old Seth yang telah memprediksi jauh sebelumnya soal krisis ini.
Saham-saham dan obligasi pemerintah Inggris dan bisnis jaringan kereta api dalam negeri tidak terlalu terpengaruh, tapi saham dan obligasi pemerintah Mesir, Peru, atau Turki telah kehilangan nilainya sama sekali.
Lalu satu demi satu naik ke kamar Seth; lalu turun sambil berkomentar betapa sehatnya ia.
Lalu tiba giliran terakhir, Micky.
Tepat jam setengah enam sore ia naik ke kamar Seth.
Seth memakai kamar bekas Hugh.
Seorang perawat selalu siap menjaga di depan pintu kamar untuk melayani kebutuhannya.
Micky masuk dan menutup pintu.
Seth duduk bersandarkan bantal di ranjang, sedang membaca The Economist.
Dengan sopan Micky mengucapkan.
"Selamat sore, Mr. Pilaster. Bagaimana kesehatan Anda?"
Seth meletakkan bacaannya dengan enggan.
"Baik, terima kasih. Bagaimana kabar ayahmu?"
"Sudah tak sabar ingin pulang ke rumah."
Micky memperhatikan betapa rapuhnya keadaan orang tua ini.
Kulit wajahnya tampak transparan, hidung betetnya lebih tajam.
Hanya sorot matanya yang masih terlihat cerdas.
Kelihatannya ia masih bisa bertahan memimpin banknya sampai bertahun-tahun yang akan datang.
Micky seakan mendengar suara bentakan ayahnya di telinga, Siapa yang menghalangi rencana kita? Seth tampak renta dan tak berdaya, dan di dalam kamar hanya ada Micky.
Perawat berada di luar kamar.
Micky tiba-tiba sadar bahwa ia harus menyingkirkan Seth.
Suara ayahnya kembali terdengar.
Lakukan sekarang juga! Micky tahu ia bisa membekap Seth dengan bantal sampai mati.
Tidak ada bukti dan saksi.
Setiap orang akan menyangka ia mati karena usia tua.
Hati Micky tiba-tiba dipenuhi rasa muak, campur kebencian yang luar biasa.
"Kenapa kau?"
Tanya Seth tiba-tiba.
"Kau tampak lebih sakit daripada aku?"
"Apakah posisi Anda cukup nyaman. Mr. Pilaster?"
Tanya Micky.
"Biarkan saya menata bantal Anda."
"Tidak perlu, semuanya sudah nyaman."
Jawab Seth, tapi Micky tetap saja meraih bantal di belakang kepala Seth.
Micky memandang wajah Seth dan tampak agak ragu.
Dari mata Seth terpancar rasa takut yang luar biasa, bibirnya bergetar akan memanggil seseorang.
Sebelum ia sempat berteriak, Micky dengan cepat menutup wajahnya dengan bantal besar di tangan dan mendorong kepalanya ke belakang.
Tapi lengan Seth masih bebas.
Ia menyambar lengan Micky sekuat tenaga.
Micky terbelalak ngeri melihat tangan kurus itu mencengkeram lengan bajunya, namun tidak muncur.
Seth mencakar-cakar lengan Micky dengan putus asa, namun sia-sia.
Micky terlalu kuat baginya.
Akhirnya Seth mulai menendang dan meliuk, namun tetap tak bisa melepaskan diri dari Micky.
Ranjang Hugh ikut berderak.
Micky panik, khawatir suara derak itu terdengar oleh si perawat di depan kamar.
Satu-satunya jalan adalah menindih tubuh Seth.
Sambil tetap membekap wajah Seth dengan bantal, ia naik ke atas tubuh renta Seth yang bergerak-gerak putus asa.
Ini mirip dengan adegan laki-laki yang memaksa seorang wanita untuk tidur bersamanya, pikir Micky, dan ia cuma berusaha menahan tawa histeris yang nyaris keluar tak tertahan.
Seth masih bergerak-gerak, namun gerakannya tertahan oleh berat badan Micky dan ranjang Hugh tidak berderak lagi.
Micky tetap bertahan.
Sesaat kemudian, Seth diam tak bergerak lagi.
Micky menunggu sesaat, lalu dengan hati-hati mengangkat bantalnya.
Di depannya tampak wajah putih pucat Seth.
Kedua matanya tertutup rapat.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Micky sadar ia harus segera memastikan apakah masih ada detak jantung.
Dengan perlahan dan takut ia menempelkan telinganya di dada tubuh tua di bawahnya, Tiba-tiba kedua mata Seth terbuka membelalak, dan ia menarik napas berat dengan susah payah.
Micky hampir saja berteriak ketakutan.
Tapi ia segera sadar dan bantal membekap wajah Seth dengan bantal.
Micky gemetar ketakutan dan lemas, rasanya ingin muntah; tapi kali ini tidak ada perlawanan lagi dari Seth.
Micky tahu ia harus tetap membekap wajah Seth selama beberapa menit lagi, untuk memastikan ia benar-benar mati.
Tapi ia ingat bahwa si perawat bisa saja tiba-tiba masuk, ingin tahu kenapa tidak ada suara dari dalam kamar.
Micky harus pura-pura bicara dengan Seth.
Apa saja, asalkan terdengar suara dari dalam kamar.
Ia bingung, apa yang harus dikatakan pada orang yang sudah mati.
Apa saja, tolol, asalkan terdengar suara.
Apa saja.
"Saya baik-baik saja, Mr. Pilaster."
Gumamnya putus asa.
"Baik-baik saja. Dan bagaimana dengan Anda sendiri? Ya, saya senang mendengar Anda sudah lebih baik."
Oh, Tuhan, aku tak sanggup lagi.
"Tentu... tentu akan saya doakan semoga tetap sehat. Tentu... bagus... bagus sekali...."
Micky tidak tahan lagi.
Ia mengendurkan tekanan bantalnya.
Dengan jijik ia mengangkat tangannya dari bantal dan meraba dada kiri Seth.
Kulit si tua tampak putih dengan bulu-bulu halus.
Masih terasa hangat di balik piamanya, hanya saja kali ini tidak ada denyut kehidupan lagi.
Apa kau benar-benar sudah mati kali ini? pikir Micky cemas.
Dan tiba-tiba ia seakan mendengar suara ayahnya kembali, marah dan tak sabar.
Ya, tolol! Dia sudah mati, sekarang cepat keluar dari kamar ini! Tanpa memindahkan bantal dari wajah Seth, Micky beranjak turun dari tubuh Seth dan berdiri.
Rasa mualnya menyelimuti dirinya.
Ia merasa lemas dan lunglai; digapainya tiang ranjang untuk menopang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tubuhnya agar tidak jatuh.
Aku telah membunuhnya! Membunuh si tua Pilaster! Dari luar kamar terdengar langkah seseorang.
Micky menatap tubuh kaku di ranjang.
Bantalnya masih berada di atas wajah Seth.
Ia menyambarnya secepatnya.
Sekarang kedua mata Seth tampak membelalak.
Melotot.
Pintu kamar terbuka.
Augusta masuk.
Ia berdiri sesaat di ambang pintu, memandangi ranjang yang awut-awutan, wajah Seth yang kaku membelalak, tangan Micky yang masih memegang bantal.
Seketika wajah Augusta memucat.
Micky hanya terpana diam, memandang pasrah ke arah Augusta.
Augusta juga diam menatap pemandangan di depannya, lalu ke wajah Micky, lalu kembali lagi ke tubuh Seth.
Lalu dengan perlahan Augusta menutup pintu kamar.
Ia mengambil bantal dari tangan Micky, mengangkat kepala Seth, dan meletakkan bantal itu di bawah kepalanya, lalu merapikan seprainya.
The Economist yang terjatuh di lantai ia raih, diletakkan di Ťtas dada Seth, lalu kedua tangan Seth ditatanya di atas majalah.
Sekarang Seth tampak seperti tertidur sewaktu membaca.
Kemudian ia mengatupkan kedua kelopak mata Seth.
Ia menghampiri Micky.
"Kau gemetar,"
Bisiknya.
Diraihnya wajah pemuda itu dengan kedua tangannya, lalu diciumnya bibirnya.
Sesaat Micky tidak memberikan reaksi apa pun.
Ia masih terlalu gemetar untuk merasakan apa-apa.
Lalu dengan cepat ketakutannya berubah menjadi gairah.
Ditariknya tubuh Augusta, dipeluknya.
Dadanya bisa merasakan payudara Agusta yang menekan.
Augusta kembali menciuminya dan Micky membalasnya.
Selama beberapa saat mereka lupa akan keadaan sekitar.
Augusta yang lebih dulu sadar.
Dengan cepat ia melepaskan dekapannya.
"Aku akan kembali ke kamarku,"
Bisiknya.
"Kau secepatnya meninggalkan rumah ini."
"Augusta..."
"Panggil aku Mrs. Pilaster!"
"Baiklah..."
"Dan perbuatan kita tadi tak pernah terjadi,"
Bisik Augusta dengan sengit.
"Kau paham itu? Tidak ada apa pun yang terjadi di kamar ini!"
"Baiklah,"
Jawab Micky pelan.
Augusta merapikan gaunnya, menata rambutnya.
Micky masih terpana oleh kekuatan wanita itu.
Augusta pergi meninggalkan kamar.
Secara otomatis Micky mengekor di belakangnya.
Si perawat memandang mereka.
Augusta meletakkan telunjuk di bibirnya sambil berbisik.
"Sst... dia baru saja tertidur nyenyak."
Micky sangat terkesima atas sikap Augusta yang begitu dingin dan tenang.
"Syukur,"
Jawab si perawat."
Tidur akan sangat baik bagi kesehatannya. Aku. akan membiarkan dia istirahat sepuasnya."
Augusta mengangguk setuju.
"Ya, aku juga begitu jika aku jadi kau. Percayalah, dia sekarang benar-benar tenang beristirahat."
Di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh O IB II Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya BAB SATU [U HUGH kembali ke London enam tahun kemudian.
Selama masa itu, kekayaan keluarga Pilaster sudah berlipat ganda dan sebagian karena jasa Hugh.Prestasinya di Boston sangat luar biasa, melebihi yang ia bayangkan semula.
Setelah Amerika pulih dari perang saudara, perniagaan antara Eropa dan Amerika berkembang pesat.
Hugh memastikan Pilasters Bank benar-benar ikut aktif dalam perkembangan ekonomi ini.
Setelah perang, pemerintah dan dunia bisnis selalu membutuhkan uang kontan dan hanya pihak banklah yang bisa menyediakannya.
Hugh menasihati mereka untuk menerbitkan obligasi dan saham yang sehat.
Dan Pilasters Bank yang menjadi penyangga sekaligus penyedia dananya.
Selain itu, Hugh telah mengasah dirinya menjadi ahli dalam memanfaatkan pasar saham perusahaan rel kereta api yang sedang mengalami kekalutan.
Ia bisa merekomendasikan perusahaan mana yang akan menguntungkan, dan mana yang tidak akan berkembang ke puncak.
Mulanya Paman Joseph agak cemas, karena masih traumatis atas kebangkrutan pasal modal New York pada tahun 1873, tapi Hugh yang telah mewarisi sikap hati-hati nenek moyang Pilasternya dalam memutar uang, dikombinasi dengan intuisi yang tajam, hanya menanam modal pada saham berkualitas prima.
Terbukti semua perhitungannya selalu tepat dan menguntungkan.
Saat ini Pilasters Bank dikenal sebagai bank utama yang mampu menyediakan modal bagi perkembangan industri di belahan Amerika Utara.
Gaji Hugh sendiri sudah meningkat menjadi seribu pound per tahun, dan ia tahu nilai keahliannya sebenarnya jauh di atas jumlah itu.
Ketika kapalnya merapat di Liverpool, ia dijemput oleh kepala klerk cabang lokal Pilasters Bank, orang yang selama ini sering berhubungan lewat telegram dengannya.
Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, jadi ketika masing-masing memperkenalkan diri, klerk itu berkata.
"Astaga, tidak saya sangka Anda masih begitu muda. Sir!"
Hugh merasa tersanjung, sebab di rambutnya mulai tumbuh beberapa helai uban putih.
Padahal usianya baru dua puluh enam tahun.
Ia lalu naik kereta api ke Folkestone, tidak berhenti dulu di London.
Para mitra di Pilasters Bank tentu kurang senang dengan tindakannya ini, tapi ia tak peduli.
Bukankah ia berhak bertemu dulu dengan ibu dan adiknya setelah berpisah selama enam tahun? Ia berutang pada mereka, kendati hanya satu hari.
Ia melihat ibunya masih tetap cantik, meski pakaiannya masih serba hitam sebagai kenangan atas almarhum ayahnya.
Adiknya, Dotty, sekarang sudah berusia dua belas tahun.
Karena sudah lama tidak bertemu, ia masih malu-malu, sampai Hugh berhasil mengingatkan betapa dulu ia berupaya keras melipat baju-bajunya ketika Hugh pergi ke Amerika.
Hugh memohon agar ibunya mau pindah ke rumah yang lebih besar.
Hugh mengatakan ia sekaxang sudah sanggup membayar sewanya.
Ibunya menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa Hugh lebih memerlukan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY uang untuk disimpan sebagai modal.
Akhirnya Hugh hanya berhasil membujuk ibunya untuk mengambil pelayan yang lebih muda untuk membantu pelayan setianya yang sudah lanjut usia, Mrs.
Builth.
Keesokan harinya ia pergi ke London dengan kereta api London, Chatham dan Dover.
Ia turun di Stasiun Holborn Viaduct.
Di depan stasiun telah dibangun hotel baru oleh investor yang memperhitungkan bahwa Holborn segera akan menjadi tempat transit mereka yang akan bepergian ke Nice atau St.
Petersburg.
Hugh sendiri tidak akan menanam modal di tempat ini, karena yang akan turun di stasiun ini paling banyak adalah para pekerja di London yang kebetulan tinggal di pinggiran kota.
Pagi yang cerah ketika ia berjalan kaki menuju Pilasters Bank.
Ia sudah lupa aroma udara London yang basah, lebih jelek daripada udara Boston dan New York.
Setibanya di luar gedung, ia menatap sesaat kemegahan bangunan bank yang pongah dan megah.
Sebelum berangkat ke London, ia telah melaporkan maksud kedatangannya.
menjenguk ibu dan adiknya.
Tapi maksud sebenarnya lebih dari itu.
Sebentar lagi ia akan menjatuhkan bom kejutan.
Di benaknya tersimpan sebuah usulan merger antara Pilasters Bank divisi Amerika Utara dengan Bank Madler & Bell di New York.
Hasil merger akan berupa bank raksasa dengan nama Madler, Bell & Pilaster.
Bank gabungan yang akan menghasilkan laba sangat besar; karya puncaknya selama enam tahun bertugas di Boston yang akan memberi jalan baginya untuk kembali ke London sebagai salah satu pengambil keputusan-kepu-tusan penting, bukan sekadar tenaga operasional biasa.
Dan ini juga berarti akhir masa pembuangannya dari Inggris.
Dengan gugup ia merapikan dasinya, lalu masuk ke dalam gedung.
Lobi bank yang beberapa tahun lalu membuatnya terkagum-kagum karena begitu mewah, sekarang tampak biasa-biasa saja.
Ketika menaiki tangga, ia bertemu Jonas Mulberry, mantan-supervisor-nya.
Mulberry kaget campur senang bisa bertemu Hugh.
"Mr. Hugh!"
Sapanya sambil menyalam tangan Hugh dengan erat.
"Apakah Anda kembali secara tetap di sini?"
"Kuharap begitu. Bagaimana Mrs. Mulberry?"
"Baik, baik sekali... terima kasih."
"Sampaikan salamku. Dan bagaimana dengan ketiga anak itu?"
"Lima sekarang. Semuanya sehat, puji syukur pada Tuhan."
Tiba-tiba Hugh berpikir bahwa Mulberry, sebagai kepala klerk di Bank, mungkin tahu jawaban pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.
"Mulberry, apakah Anda ada di sini ketika Mr. Joseph ditetapkan sebagai mitra bank?"
"Ya. waktu itu aku baru berpangkat junior. Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu... bulan Juni yang akan datang."
"Jadi. usia Mr. Joseph sekitar..."
"Dua puluh sembilan tahun."
"Terima kasih."
Hugh naik ke Ruang Para Mitra, mengetuk pintu, dan masuk.
Di dalam hadir semua mitra bank.
Paman Joseph, duduk di belakang meja Mitra Senior, tampak makin tua dan botak, mirip almarhum Seth; suami Bibi Madeleine, Mayor Hartshorn.
Hidungnya tampak makin merah, cocok dengan bekas luka di dahinya.
Ia tampak asyik membaca koran The Times di sebelah perapian; Paman Samuel, seperti biasa berpakaian perlente dengan jas kelabu gelap berkancing ganda dan ikat pinggang kelabu mutiara.
Ia sedang asyik mempelajari sebuah kontrak.
Juga ada mitra termuda.
Young William yang saat ini usianya sudah tiga puluh satu tahun.
Ia sedang menulis sesuatu di meja kerjanya.
Samuel yang pertama memberi salam pada Hugh.
"Ah, anakku!"
Sapanya hangat, berdiri dan menyalami dengan erat.
"Betapa hebat penampilanmu!"
Hugh memberi salam pada semua yang hadir dan menerima segelas sherry. Ia memandang potret-potret para Mitra Senior yang terpajang di dinding.
"Enam tahun yang lalu, di ruangan ini saya menjual obligasi pemerintah Rusia senilai seratus ribu pound pada Lord Liversedge,"
Kenangnya.
"Ya, memang,"
Tukas Samuel.
"Komisi untuk bank sebesar lima persen, jumlahnya melebihi seluruh gaji yang saya terima selama delapan tahun ini,"
Ujarnya dengan tersenyum. Joseph menukas ketus.
"Kuharap kau tidak ke sini untuk minta kenaikan gaji. Kail sudah menerima gaji paling tinggi dari seluruh pegawai bank ini."
"Ya, kecuali para mitra."
"Sewajarnya,"
Sambar Joseph jengkel. Hugh segera sadar bahwa ia salah langkah. Terlalu bersemangat, katanya pada diri sendiri. Tenanglah.
"Saya tidak datang untuk minta kenaikan gaji. Saya datang membawa usulan bisnis kepada para mitra."
Samuel berkata.
"Sebaiknya kau duduk dulu dan ceritakan pada kami semua."
Hugh meletakkan gelas sherry-nya yang masih penuh, lalu mulai berkonsentrasi.
Ia benar-benar ingin para mitra menyetujui usulannya.
Sebuah rencana yang berupa puncak pengakuan atas prestasinya dan akan memberikan keuntungan jauh lebih besar dengan sekali pukul, daripada yang bisa dihasilkan sebagian besar mitra dalam setahun.
Kalau mereka setuju, mau tak mau mereka akan mengangkatnya menjadi mitra pula.
"Boston bukan lagi pusat keuangan Amerika Serikat,"
Ia memulai presentasinya.
"New York-lah penggantinya. Karena itu, bank kita harus segera memindahkan aktivitasnya di sana. Dan saya telah merintisnya jauh-jauh hari sebelumnya. Selama enam tahun di Amerika, saya telah banyak melakukan kerja sama dengan Madler & Bell di New York. Sidney Madler banyak membimbing saya di sana. Jika kita pindah ke New York, berarti Pilasters Bank akan menjadi pesaing Madler & Bell Bank."
"Tidak ada salahnya berkompetisi jika memang harus begitu.,"
Tukas Mayor Hartshorn tiba-tiba. Ia memang biasa menukas tanpa bobot.
"Mungkin. Tapi saya punya gagasan yang lebih baik. Kenapa tidak melakukan merger saja dengan Madler & Bell untuk wilayah Amerika Utara?"
"Merger? Apa maksudmu?"
Tanya Hartshorn.
"Penggabungan usaha. Sebuah bank dengan nama Madler, Bell & Pilaster. Kantornya ada di Boston dan New York."
"Bagaimana operasinya nanti?"
"Bank yang baru ini akan mengelola semua pembiayaan transaksi ekspor-impor yang saat ini ditangani secara terpisah oleh masing-masing bank, dan keuntungannya akan dibagi dua. Pilasters Bank juga akan diikutsertakan menjadi emiten dari penerbitan saham dan obligasi baru yang dipasarkan Madler & Bell. Saya akan mengendalikan semua aktivitas bank baru ini dari London."
"Kedengarannya tidak begitu menarik,"
Tukas Joseph.
"Ini sama saja dengan menyerahkan bisnis kita pada orang lain."
"Tapi Paman belum mendengar bagian paling menarik dari skema ini,"
Jawab Hugh cepat.
"Mereka bersedia menyerahkan semua aktivitas bisnisnya di Eropa untuk kita tangani. Sekarang mereka mempercayakannya kepada beberapa bank yang tersebar di beberapa negara Eropa."
"Dan ini akan memberi hasil sekitar..."
Kata Joseph penuh semangat. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Lebih dari lima puluh ribu pound setahun... dari komisi saja."
Hartshorn menceletuk kagum.
"Ya Tuhan."
Semua mitra yang hadir ikut kagum.
Mereka belum pernah melakukan merger dan tidak pernah memikirkan ada yang akan menelurkan gagasan seperti ini.
Selain itu, prospek menerima komisi sebesar lima puluh ribu pound setahun juga sangat menggoda.
Samuel berkata.
"Kau tentunya sudah bicara dengan mereka?"
"Ya. Madler sangat senang dengan gagasan ini, juga mitranya, John James Bell."
Young William berkata.
"Dan kau akan mengawasi merger ini dari London."
Hugh segera bisa merasakan bahwa Young William menganggap ia akan menjadi pesaing berbahaya jika berkantor di London.
"Kenapa tidak?"
Tanyanya menantang.
"Bukankah London akan menjadi pusat aktivitas merger ini?"
"Dan apa statusmu nanti?"
Pertanyaan itu yang sebenarnya tidak diharapkan datang secepat ini oleh Hugh. William jelas mengangkat pertanyaan ini untuk mempermalukan Hugh. Sekarang atau tidak sama sekali, pikir Hugh.
"Kukira Mr. Madler dan Mr. Bell hanya mau berurusan dengan seorang mitra Pilaster."
"Kau terlalu muda untuk menjadi mitra,"
Tukas Joseph tiba-tiba.
"Saya sudah dua puluh enam tahun, Paman.
"jawab* Hugh cepat.
"Paman menjadi mitra ketika berusia dua puluh sembilan tahun."
"Waktu tiga tahun cukup lama."
"Dan lima puluh ribu pound juga bukan uang yang sedikit."
Tiba-tiba Hugh menyesal mengatakan ini. Ia sadar dia terlalu menantang, jadi sekarang ia harus mundur sedikit. Jika tidak, mereka mungkin akan me -nolak gagasan merger ini, dengan alasan mesti berhati-hati.
"Tapi gagasan ini tidak bisa diputuskan seketika. Mungkin Anda semua ingin membicarakan ini, jadi sebaiknya saya keluar dulu."
Samuel memberi anggukan pelan tanda setuju. Samuel berkata.
"Apakah diterima atau tidak, Hugh, kau pantas diberi selamat atas gagasan hebat ini aku yakin kita semua setuju untuk hal satu itu."Ia melihat ke arah para mitranya. Mereka memberikan anggukan. Joseph berkata lirih.
"Ya, benar... benar."
Hugh tidak tahu harus gembira atau frustrasi, karena belum ada yang menolak maupun menyetujui gagasannya. Ia merasa sudah mencapai titik kilas, jadi ia tak mau mengatakan apa-apa lagi.
"Terima kasih,"
Ucapnya sopan, lalu melangkah keluar ruangan.
Pada pukul empat sore itu ia berdiri di luar rumah Augusta yang besar dan megah di Kensington Gore.
Lengas kota London .yang menerpa selama bertahun-tahun telah mengusamkan bata merah dan melumuri batu putihnya, namun rumah masih memiliki patung-patung burung dan satwa di tembok rumah yang bertingkat-tingkat itu, dengan perahu dan layarnya terkembang penuh di puncak atap.
Dan mereka bilang orang Amerika suka pamer! pikir Hugh.
Ia tahu dari surat-surat ibunya bahwa Joseph dan Augusta telah membeli dua rumah lagi sebuah puri di Skotlandia dan sebuah rumah besar di Buckinghamshire.
-Augusta ingin menjual rumah di Kensington itu dan membeli sebuah rumah di Mayfair, namun Joseph melarangnya dengan kukuh.
ia suka tinggal di sini.
Rumah itu masih relatif baru ketika Hugh berangkat, tapi tetap saja menyimpan banyak kenangan baginya.
Di sini ia telah menanggung penghinaan Augusta, mendekati Florence Stalworthy, menjotos hidung Edward, dan bercinta dengan Maisie Robinson.
Kenangan ter -hadap Maisie menimbulkan keperihan paling dalam di hatinya.
Bukanlah penistaan martabat dan penghinaan yang dikenangnya betul, tetapi lebih tentang peristiwanya dengan Maisie.
Ia belum pernah melihat atau mendengar kabar tentang Maisie sejak malam itu, namun ia masih memikirkan gadis itu setiap hari dalam hidupnya.
Keluarga besar itu akan mengingat skandal dulu sebagaimana disebarkan oleh Augusta., bagaimana putra bejat keturunan Tobias Pilaster telah membawa seorang pelacur ke rumah dan ketika dipergoki, dengan keji menyerang Edward yang tidak bersalah.
Biarlah.
Mereka boleh berpikir sesukanya, namun mereka harus tetap mengakuinya sebagai seorang Pilaster dan bankir, dan kalau ia mujur, mereka akan mengangkatnya menjadi mitra.
Ia bertanya-tanya, bagaimana perubahan keluarga itu dalam enam tahun ini.
Ibunya selalu memberitahukan kabar di rumah melalui surat-surat bulanannya.
Sepupunya, Clementine, telah bertunangan; Edward masih lajang, kendati Augusta telah berusaha keras mencarikan jodoh; Young William dan Beatrice telah dikaruniai seorang bayi perempuan.
Namun ibunya tidak bercerita tentang perubahan-perubahan yang mendasar.
Apakah Paman Samuel masih tinggal serumah dengan "sekretarisnya"? Apakah Augusta masih sejahat dulu, atau telah lebih lunak dengan bertambahnya usia? Apakah Edward tidak lagi mabuk-mabukan dan sudah hidup tenang? Apakah Micky Miranda akhirnya mengawini salah satu gadis yang jatuh cinta padanya di setiap musim? Sekaranglah waktunya mengetahui itu semua.
Ia menyeberangi jalan dan mengetuk pintu.
Pintu dibuka oleh Hastead, kepala pelayan Augusta yang penjilat.
Ia tampak tidak berubah, matanya masih .
melihat ke arah yang berbeda.
"Selamat siang, Mr. Hugh,"
Ujarnya, namun aksen Welsh-nya masih tetap bernada tak senang.
Sambutan Hastead biasanya bisa dijadikan ukuran bagaimana suasana hati nyonya rumahnya.
Hugh melewati lobi dan melangkah ke ruang utama.
Di situ, bagaikan sebuah panitia penerima tamu, berdiri tiga wanita dengki dalam keluarga Pilaster.
Augusta, iparnya Madeleine, dan putrinya Clementine.
Augusta pada usia empat puluh tujuh masih mengesankan seperti dulu; ia masih memiliki wajah klasik dengan alis hitam dan air muka angkuh, dan meski ia sedikit lebih gemuk daripada enam tahun yang lalu, penampilannya masih bagus karena tubuhnya yang tinggi.
Clementine merupakan duplikat ibunya, hanya lebih ramping dan tidak memiliki pembawaan menguasai seperti ibunya, juga tidak cantik.
Bibi Madeleine dari ujung kuku sampai ujung rambut adalah sosok Pilaster, dari hidungnya yang bengkok ke sosok tubuhnya yang persegi, hingga tepi renda mahal yang mengelilingi gaunnya yang biru berkilau.
Hugh mengenakkan gigi dan mencium mereka semua.
Augusta berkata.
"Hugh, aku percaya pengalamanmu selama di luar negeri telah menjadikanmu lebih bijak ketimbang dulu?"
Rupanya wanita itu tak akan membiarkan siapa pun lupa bahwa dulu Hugh pergi dari rumah ini dengan membawa masalah pribadi yang memalukan. Hugh menjawab.
"Saya percaya kita semua menjadi lebih bijak dengan bertambahnya umur, bibiku sayang."
Melihat wajah bibinya yang seketika berubah gelap, Hugh merasakan kepuasan tersendiri.
"Memang!"
Sahut Augusta dingin. Clementine berkata.
"Hugh, perkenalkan tunanganku Sir Harry Tonks."
Hugh menjabat tangan pemuda itu. Harry terlalu muda untuk memiliki gelar ksatria, jadi pasti gelar "Sir"
Itu berarti ia seorang baronet, semacam aristokrat kelas dua. Hugh tidak iri pemuda itu akan kawin dengan Clementine. Gadis itu tidak seburuk ibunya, namun juga punya sifat jahat. Harry bertanya pada Hugh.
"Bagaimana pelayaran Anda?"
"Semuanya berlangsung sangat cepat,"
Kata Hugh.
"Aku menumpang salah satu kapal uap model baru. Perjalanan hanya memakan waktu tujuh hari."
"Astaga! Hebat."
"Dari daerah Inggris mana asal Anda, Sir Harry?"
Tanya Hugh, ingin menyelidiki latar belakang pemuda itu.
"Aku punya tempat di Dorsetshire. Sebagian besar penyewa tanahku menanam hop."
"Bangsawan pemilik tanah, demikian kesimpulan Hugh; seandainya indranya tajam, ia akan menjual ladang-ladangnya dan menanamkan uangnya di Pilasters Bank. Harry tidak tampak cemerlang, namun ia mungkin bisa diajak kompromi. Para wanita keluarga Pilaster suka kawin dengan lelaki penurut. Harry kelihat-aannya juga bertipe begitu; ia versi yang lebih muda dari suami Madeleine, Kapten George. Jika sudah tua, biasanya mereka jadi cerewet tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Mari kita ke ruang duduk."
Perintah Augusta.
"Semua orang menanti kedatanganmu."
Hugh mengikutinya masuk ke ruang duduk, namun berhenti tiba-tiba di ambang pintu.
Ruang luas yang dulu begitu dikenalnya, dengan perapian besar di kedua ujung kamar dan jendela kaca yang menuju taman yang panjang benar-benar telah diubah.
Seluruh perabot dan dekorasi ala Jepang telah lenyap, dan ruangan itu telah didekorasi ulang dengan pola warna yang beragam dan berani.
Setelah lebih dekat, Hugh melihat bahwa semua pola itu berupa bunga-bunga.
bunga daisi kuning yang besar di karpet, mawar yang merambat di kertas dinding, bunga popi di tirai, dan bunga krisan merah muda dalam bahan sutra yang membungkus kaki kursi, cermin, meja-meja, dan piano.
"Bibi telah mengubah kamar ini,"
Katanya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Clementine berkomentar.
"Semua itu dibeli di toko William Morris yang baru dibuka di Oxford Street, modelnya mutakhir semua."
Augusta berkata,"
Ya, tapi karpetnya masih perlu diganti, warnanya tidak sesuai."
Wanita ini tak pernah puas, pikir Hugh.
"Sebagian besar keluarga Pilaster berada di sini. Mereka semua ingin tahu tentang Hugh. Ia telah pergi dengan penuh aib, dan mungkin mereka mengira takkan pernah melihatnya lagi mereka terlalu meremehkannya. Kini ia kembali sebagai seorang pahlawan penakluk. Dan mereka semua ingin mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Orang pertama yang dijabatnya adalah sepupunya Edward. Edward berusia 29 tahun, namun kelihatan lebih tua; badannya tambun dan wajahnya khas wajah orang rakus.
"Jadi. kau kembali juga."
Katanya.
Ia mencoba tersenyum, namun senyum itu berubah menjadi seringai cemooh.
Hugh nyaris tak bisa menyalahkannya.
Mereka selalu dibandingkan satu sama lain.
Sekarang keberhasilan Hugh menimbulkan rasa-iri Edward yang tidak meraih prestasi apa pun di bank keluarga mereka.
Micky Miranda berdiri di samping Edward.
Masih tampan dan necis, bahkan lebih ramping dan percaya diri.
Hugh berkata.
"Halo. Miranda, apa kau masih bekerja pada Duta Besar Kordoba?"
"Akulah duta besar Kordoba,"
Jawab Micky. Hugh sama sekali tidak heran. Ia senang melihat teman lamanya, Rachel Bod win.
"Halo, Rachel, apa kabar?"
Sapanya. Gadis itu tidak cantik, namun telah menjadi wanita yang menarik. Wajahnya persegi dan sepasang matanya terlalu berdekatan, namun apa yang tampak biasa saja enam tahun lalu kini benar-benar memikat.
"Apa saja yang kaulakukan selama ini?"
"Berjuang untuk memperbarui undang-undang tentang hak milik kaum wanita,"
Katanya. Lalu ia tersenyum dan menambahkan.
"Apa yang kulakukan membuat kedua orangtuaku serba salah. Mereka lebih suka kalau aku berjuang mendapatkan suami."
Sikapnya yang blak-blakan selalu mengejutkan, kenang Hugh.
Itulah daya tarik gadis itu baginya, tapi ia dapat membayangkan banyak pria lajang akan takut dibuatnya.
Laki-laki menyukai wanita yang sedikit pemalu dan tidak terlalu pintar.
Ketika berbincang-bincang tentang hal-hal kecil dengan gadis itu, Hugh bertanya dalam hati, apakah Augusta masih ingin menjodohkan mereka.
Hal itu nyaris tak ada artinya.
satu-satunya lelaki yang benar-benar diminati Rachel adalah Micky Miranda.
Bahkan ia bersusah payah menyinggung Micky dalam percakapannya dengan Hugh.
Pemuda itu tak habis mengerti mengapa gadis-gadis tak mampu melawan daya pikat Micky, dan lebih mengherankan lagi karena Rachel cukup cerdas untuk menyadari bahwa Micky seorang penggoda; tapi tampaknya justru sifat buruk itulah yang menjadi pesona utama Micky.
Hugh terus melangkah dan menjabat tangan Young Willam serta istrinya.
Beatrice memberi salam dengan hangat, dan Hugh berkesimpulan bahwa wanita itu tidak terpengaruh oleh Augusta, tidak seperti para wanita lain dalam keluarga besar Pilaster.
Hastead datang menyampaikan sebuah amplop pada Hugh.
"Surat ini baru saja disampaikan oleh kurir,"
Katanya.
Apa yang tertera dalam surat itu kelihatannya seperti tulisan tangan seorang sekretaris.
123, Piccadilly London, W Selasa Mrs.
Solomon Greenbourne memohon kesediaan Anda menghadiri acara makan pada malam ini.
Di bawahnya tergores coretan yang tak asing lagi.
Selamat datang! Solly.
Hugh merasa senang.
Solly selalu ramah dan santai.
Mengapa keluarga Pilaster tidak bisa sesantai itu, pikirnya.
Apakah pengikut Methodist memang lebih tegang daripada orang Yahudi? Namun barangkali saja ada ketegangan yang tak diketahuinya di lingkungan keluarga Greenbourne.
Kata Hastead.
"Kurir menunggu jawaban Anda, Mr. Hugh."
Hugh berkata.
"Sampaikan salamku pada Mrs. Greenbourne, dan dengan senang hati aku akan menghadiri acara makan malam mereka."
Hastead membungkuk dan mohon diri. Kata Beatrice.
"Hebat, apakah kau akan makan malam dengan keluarga Solomon Greenbourne? Hebat sekali!"
Hugh merasa heran.
"Kurasa hal itu biasa saja,"
Ujarnya.
"Aku satu sekolah dengan Solly dan aku selalu menyukainya, tapi kurasa undangan makan malam darinya bukanlah hal istimewa."
"Sekarang istimewa,"
Kata Beatrice.
"Solly menikah dengan wanita yang energik,"
William menjelaskan.
"Mrs. Greenbourne suka menjamu orang, dan pesta-pesta yang diadakannya adalah yang terbaik di London."
"Mereka bagian dari Kalangan Marlborough,"
Kata Beatrice.
"Mereka juga teman Pangeran Wales."
Tunangan Clementine, Harry, kebetulan mendengarnya dan berkata dengan nada kesal.
"Aku tak mengerti, akan seperti apa jadinya masyarakat Inggris ini kalau ahli waris kerajaan lebih menyukai orang Yahudi daripada orang Kristen."
"Benar?"
Tanya Hugh.
"Kuakui aku tak habis pikir mengapa kita tidak menyukai orang Yahudi."
"Aku sendiri tidak tahan menghadapi mereka,"
Kata Harry.
"Kau akan kawin dengan keluarga bankir, jadi mau tak mau kau akan berhadapan dengan lebih banyak orang Yahudi nanti."
Harry tampak agak tersinggung. William berkata.
"Augusta tidak senang pada seluruh Kalangan Marlborough, orang Yahudi, dan yang lainnya. Kelihatannya moral mereka tidaklah seperti semestinya."
Hugh berkata.
"Dan kurasa mereka tak akan mengundang Augusta untuk menghadiri pesta mereka."
Beatrice tertawa cekikikan memikirkan hal itu dan William berujar.
"Tentu saja tidak!"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Baiklah,"
Kata Hugh.
"Aku tak sabar lagi ingin menemui Mrs. Greenbourne."
Piccadilly adalah jalan tempat berdirinya istana-istana orang kaya.
Pada jam delapan, di senja yang dingin di bulan Januari, tempat itu ramai.
Jalanannya yang lebar penuh dengan pelbagai jenis kereta kuda.
Trotoar pejalan kaki yang diterangi lampu gas penuk sesak dengan laki-laki yang berpakaian seperti Hugh bersetelan jas ekor dengan dasi putih para wanita yang mengenakan jubah beludru dan kerah bulu binatang, serta pelacur perempuan dan laki-laki dengan rias muka tebal.
Hugh berjalan sambil merenung.
Augusta masih bersikap memusuhinya seperti dulu.
Sebenarnya Hugh berharap wanita itu akan lebih lunak, namun ternyata tidak.
Dan ia masih berperan sebagai kepala keluarga besar Pilaster.
Karenanya, menjadi musuhnya sama saja dengan memusuhi seluruh keluarga besar Pilaster.
Situasi di bank lebih baik.
Bisnis perbankan mengharuskan keluarga bersikap lebih objektif.
Augusta jelas akan mencoba menghalangi kariernya di situ, namun Hugh mempunyai peluang lebih besar untuk mempertahankan diri dalam hal itu.
Augusta tahu bagaimana mempengaruhi orang, tapi ia buta tentang seluk-beluk perbankan.
Kalau dihitung-hitung, hari ini tidak terlalu buruk, dan sekarang Hugh berharap bisa menikmati malam yang santai dengan teman-temannya.
Ketika Hugh bertolak ke Amerika, Solly Greenbourne masih tinggal bersama ayahnya, Ben, di sebuah rumah besar yang menghadap ke Green Park.
Sekarang Solly mempunyai rumah sendiri, tidak jauh dari rumah ayahnya dan tidak kalah besarnya.
Hugh masuk melalui pintu yang mengagumkan, ke sebuah aula besar dengan tepi marmer hijau, dan berhenti untuk menatap tangga marmer hitam dan Jingga yang mewah.
Rupanya Mrs.
Greenbourne memiliki kesamaan dengan Augusta Pilaster.
keduanya menyukai warna-warna mencolok untuk mengekspresikan diri.
Seorang kepala pelayan dan dua orang bawahannya berada di ruang besar itu.
Kepala pelayan mengambil topi Hugh, lagi menyerahkan lagi kepada bawahannya; lalu pelayan kedua mengantarnya ke atas.
Di puncak tangga ia melongok sekilas melalui sebuah pintu terbuka dan melihat sebuah ruang dansa dengan lantai berpoles tanpa alas dan sederetan jendela bertirai; kemudian ia diantar masuk ke ruang duduk.
Hugh bukan ahli dalam soal dekorasi, tapi ia dengan segera mengenali gaya Louis XVI yang megah dan mewah.
Langit-langit terbuat dari papan hias berplester, dindingnya dilapis panel kertas dinding, semua meja dan kursi bertumpu pada kaki ramping bersepuh yang tampak rapuh.
Warna-warnanya kuning, Jingga, bercampur merah, keemasan, dan hijau.
Hugh dengan mudah bisa membayangkan bagaimana orang-orang yang kaku akan mengatakan dekorasi ruangan ini norak, sambil menyembunyikan rasa iri mereka.
Padahal dekorasi itu sangat sensual, mencerminkan betapa orang-orang yang luar biasa kaya bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Beberapa tamu lain sudah tiba, berdiri sambil minum sampanye dan merokok.
Ini hal baru bagi Hugh; ia tak pernah melihat orang merokok di ruang duduk.
Solly melihatnya dan memisahkan diri dari kelompok tamunya yang tengah tertawa, dan mendatangi Hugh.
"Pilaster, kau baik sekali mau datang ke sini! Apa kabar?"
Hugh melihat Solly sudah lebih ekstrovert. Ia masih gemuk dan berkaca mata, dan belum apa-apa sudah ada noda di rompi putihnya, namun ia lebih ceria dari biasanya dan, Hugh dengan serta-merta merasa, lebih bahagia juga.
"Baik, terima kasih, Greenbourne,"
Ujar Hugh.
"Aku tahu! Aku sudah lama memperhatikan kemajuanmu. Aku ingin bank kami punya orang seperti kau di Amerika. Kuharap keluarga besar Pilaster memberimu gaji besar. Kau layak mendapatkannya."
"Dan kau telah menjadi penjamu pesta nomor wahid di London, kata orang." * _ "Bukan aku, tapi istriku. Aku sudah kawin."
Ia berpaling dan menepuk bahu putih terbuka seorang wanita pendek yang mengenakan gaun hijau muda.
Wanita itu tengah membelakangi mereka, namun punggungnya tak asing lagi dan suatu perasaan aneh meliputi Hugh, membuatnya sangat sedih.
Solly berkata pada wanita itu.
"Sayang, kau masih ingat teman lamaku Hugh Pilaster?"
Wanita itu diam sesaat, menyelesaikan apa yang sedang diucapkannya kepada teman-temannya, dan Hugh berpikir.
Mengapa aku merasa tersentak melihatnya? Kemudian wanita itu berpaling perlahan, seperti sebuah pintu yang membuka ke masa lalu, dan jantung Hugh seakan berhenti berdetak ketika ia melihat wajah wanita itu.
"Tentu aku ingat dia,"
Kata Mrs. Greenbourne.
"Apa kabar, Mr. Pilaster?"
Hugh menatap tak bersuara pada wanita yang telah menjadi Mrs.
Solomon Greenbourne.
Wanita itu tak lain dari Maisie.
[II] AUGUSTA duduk menghadapi meja riasnya dan mengenakan seuntai kalung mutiara yang selalu dipakainya pada acara makan malam.
Itulah perhiasan yang termahal.
Jemaat Methodist merasa tidak ada manfaatnya mengenakan perhiasan mahal, dan Joseph yang pelit menggunakan itu sebagai dalih untuk tidak membelikannya permata.
Joseph juga tak senang ia mendekorasi ulang rumah mereka begitu sering, namun Augusta melakukannya tanpa minta izin.
Kalau mengikuti kemauan Joseph, mereka mungkin hidup tidak lebih nyaman daripada karyawannya.
Akhirnya Joseph menerima dekorasi ulang rumahnya dengan kesal, hanya bersikeras bahwa istrinya tak boleh mengotak-atik kamar tidurnya.
Dari kotak perhiasannya yang terbuka, Augusta mengambil cincin pemberian Strang tiga puluh tahun yang lalu.
Cincin itu berbentuk seekor ular emas dengan kepala berlian dan mata mirah delima.
Ia mengenakannya di jarinya dan, seperti telah dilakukannya seribu kali sebelumnya, menyapukan kepala ular yang tengadah itu ke bibirnya, sambil mengenang.
Ibunya pernah berkata.
"Kembalikan cincinnya, dan cobalah melupakannya."
Augusta yang ketika itu berusia tujuh belas tahun berkata.
"Sudah kukembalikan, dan aku akan melupakannya,"
Namun itu bohong.
Ia menyembunyikan cincin itu di Alkitabnya, dan ia tak pernah melupakan Strang.
Seandainya ia tak bisa mendapatkan cinta laki-laki itu, ia bersumpah, segala hal lain yang mungkin diberikan Strang akan menjadi miliknya juga, pada suatu saat.
Ia tidak akan pernah menjadi Countess of Strang, ia telah menerima kenyataan itu lama berselang.
Namun ia bertekad untuk memiliki sebuah gelar.
Dan karena Joseph tidak memilikinya, ia harus mendapatkan satu gelar untuknya.
Ia telah memikirkan masalah itu selama bertahun-tahun, sambil mempelajari mekanisme yang dapat digunakan untuk mendapatkan gelar bangsawan, dan beberapa malam ia tak bisa tidur karena asyik menyusun rencana dan terobsesi oleh keinginan satu itu.
Sekaranglah waktu yang paling tepat, dan ia sudah siap.
Ia akan memulai kampanyenya malam ini, pada acara makan malam.
Di antara tamu-tamunya ada tiga orang yang akan memainkan peranan menentukan dalam upaya menjadikan Joseph seorang earl.
Suaminya bisa memakai gelar Earl of Whitehaven, pikirnya.
Whitehaven adalah pelabuhan tempat keluarga besar Pilaster memulai bisnisnya, empat generasi yang lalu.
Nenek moyang Joseph yang bernama Amos Pilaster mendapatkan kekayaan melalui suatu taruhan yang legendaris, dengan jalan menanamkan semua uangya pada sebuah kapal pengangkut budak.
Namun kemudian ia terjun ke bisnis yang lebih aman.
membeli kain serge dan kaliko dari pabrik-pabrik tekstil di Lancashire dan mengirimkannya ke Amerika.
Rumah mereka di London sudah disebut Whitehaven House untuk mengingat tempat cikal-bakal bisnisnya.
Augusta akan menyandang gelar Countess of Whitehaven jika rencananya berhasil.
Ia mengkhayalkan dirinya dan Joseph memasuki sebuah ruang duduk yang megah sementara seorang kepala pelayan mengumumkan.
"Earl dan Countess of Whitehaven."
Memikirkan hal itu membuatnya tersenyum.
Ia membayangkan Joseph menyampaikan pidato pertamanya di Majelis Rendah tentang topik yang berkaitan dengan keuangan tingkat tinggi, dan rekan-rekan sejawat lainnya mendengarkan dengan penuh hormat.
Para pengurus toko akan menyapanya "Lady Whitehaven"
Dengan nada nyaring, dan orang akan menoleh untuk mengetahui siapa wanita itu.
Selain itu, ia juga menginginkan gelar ini bagi Edward.
Suatu hari nanti putranya akan mewarisi gelar ayahnya, dan sementara itu Edward dapat mencantumkan "Yang Mulia Edward Pilaster"
Di kartu namanya. Ia tahu benar apa yang mesti dilakukannya, tapi ia tetap merasa gelisah. Mendapatkan gelar ningrat tidaklah seperti membeli permadani; orang tidak bisa mendatangi penjual dan berkata.
"Saya ingin membeli yang itu. Berapa harganya?"
Segala sesuatunya harus dilakukan sehalus mungkin.
Ia perlu merasa yakin benar.
Kalau ia salah langkah, rencana yang cermat akan berantakan.
Jika ia salah menilai orang-orangnya, habislah dia.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Seorang pelayan mengetuk pintu dan berkata.
"Mr. Hobbes sudah datang. Madam."
Kelak dia harus memanggilku "My Lady", pikir Augusta.
Ia meletakkan cincin Strang, bangkit dari depan meja riasnya, dan keluar melalui pintu penghubung ke kamar Joseph.
Suaminya sudah berpakaian untuk makan malam, ia sedang duduk menghadapi lemari tempatnya menyimpan koleksi kotak tembakau bertatahkan permata, sambil memandang salah satunya di bawah penerangan lampu gas.
Augusta bertanya dalam hati, apakah ia harus mengungkit masalah tentang Hugh sekarang.
Hugh selalu menjadi biang keladi.
Enam tahun yang lalu wanita itu mengira dapat melumpuhkannya untuk selama-lamanya, namun kini pemuda itu sekali lagi mengancam kehidupan Edward.
Ada selentingan pembicaraan bahwa ia akan menjadi mitra.
Augusta tidak akan membiarkan hal itu.
Ia bertekad bahwa Edward akan menjadi Mitra Senior suatu hari nanti, dan ia tak akan membiarkan Hugh menikmati keberhasilannya.
Patutkah ia begitu cemas? Barangkali tak ada salahnya membiarkan Hugh menjalankan bisnis.
Edward bisa melakukan hal lain.
terjun ke dunia politik misalnya.
Namun bisnis perbankan adalah jantung keluarga ini.
Me -reka yang angkat kaki seperti ayah Hugh selalu gagal pada akhirnya.
Di bank itulah mereka menghasilkan uang dan menjalankan kekuasaan.
Keluarga besar Pilaster bisa meruntuhkan seorang raja dengan menolak memberikan pinjaman; tak banyak politisi yang memiliki kemampuan seperti itu.
Menakutkan sekali memikirkan Hugh akan menjadi Mitra Senior, menjamu para duta besar, minum kopi dengan Menteri Keuangan, dan menduduki tempat pertama dalam pertemuan keluarga, lebih berkuasa daripada Augusta dan pihak keluarganya.
Namun sulit menyingkirkan Hugh kali ini.
Hugh sudah lebih tua dan lebih bijaksana, dan ia telah memegang jabatan yang mapan di bank keluarga.
Pemuda sialan itu telah bekerja keras dan tabah selama enam tahun, guna memulihkan reputasinya.
Mampukah Augusta membuyarkan semua itu? Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan Hugh dengan Joseph.
Ia ingin suaminya tenang menikmati acara makan malam.
"Tinggallah di sini beberapa menit lagi, kalau kau mau,"
Katanya pada suaminya.
"Baru Arnold Hobbes yang datang".
"Baiklah, kalau kau tidak berkeberatan,"
Kata Joseph.
Pas sekali menemui Hobbes seorang diri selama beberapa menit sebelum yang lainnya datang.
Hobbes adalah editor sebuah jurnal politik bernama The Forum.
Jurnal ini umumnya berpihak pada golongan Konservatif yang mewakili kaum aristokrat dan Gereja, dan menentang kaum Liberal, partai kelompok pengusaha dan jemaat Methodist.
Keluarga Pilaster adalah orang bisnis dan pengikut Methodist, namun saat ini kekuasaan berada di tangan kaum Konservatif.
Augusta baru satu-dua kali bertemu dengan Hobbes, dan menurut dugaannya laki-laki itu mungkin heran menerima undangannya.
Namun ia yakin Hobbes akan menerimanya.
Ia tak akan banyak menerima undangan untuk mengunjungi rumah milik orang sekaya Augusta Pilaster.
Hobbes berada dalam posisi yang ganjil.
Ia berkuasa karena jurnalnya dibaca luas dan disegani; meskipun demikian, ia miskin, karena jurnalnya tidak menghasilkan banyak uang.
Kombinasi itu janggal baginya, tapi sesuai sekali dengan rencana Augusta.
Hobbes memiliki kekuasaan untuk menolongnya, dan mungkin ia bisa dibeli.
Mungkin cuma ada satu ganjalan.
Augusta berharap Hobbes tidak menjunjung prinsip tinggi; itu bisa menghancurkan kegunaannya.
Namun seandainya penilaiannya benar, laki-laki itu pasti bisa juga korup.
Augusta merasa gugup dan cemas.
Ia berdiri di luar pintu ruang duduk sejenak, sambil berkata dalam hati.
Santai, Mrs.
Pilaster, kau ahlinya dalam soal ini.
Setelah sesaat, ia merasa lebih tenang dan masuk ke ruang duduk.
Hobbes bangkit dengan penuh semangat untuk menyambutnya.
Ia seorang lelaki penggugup dan cepat menguasai keadaan, gerakannya seperti burung.
Setelannya paling tidak sudah berusia sepuluh tahun, pikir Augusta.
Ia membawa Hobbes ke kursi dekat jendela agar percakapan mereka terkesan akrab, walaupun mereka bukan teman lama.
"Coba ceritakan, apa yang Anda kecam hari ini,"
Katanya bercanda.
"Mencecar Mr. Gladstone? Mengkritik kebijakan kita tentang India? Menyoroti kaum Katolik?"
Hobbes menatapnya melalui kacamatanya yang kusam.
"Saya telah menulis tentang City of Glasgow Bank,"
Ungkapnya. Augusta mengerutkan dahi.
"Bank yang ambruk beberapa tahun yang lalu."
"Tepat sekali. Banyak serikat pekerja Skotlandia yang ikut ambruk."
"Rasa-rasanya saya.ingat pernah mendengar orang membicarakannya,"
Katanya.
"Kata suami saya, City of Glasgow sudah bertahun-tahun dikenal sebagai bank yang tidak sehat."
"Saya tidak memahaminya,"
Kata lelaki itu dengan bersemangat.
"Orang sudah tahu ada bank yang buruk, tapi masih saja dibolehkan meneruskan bisnisnya hingga ambruk, dan ribuan orang kehilangan tabungan yang mereka kumpulkan selama hidupnya!"
Augusta juga tak mengerti. Ia tak tahu apa-apa tentang bisnis, namun sekarang ia melihat peluang untuk menuntun percakapan itu ke arah yang diinginkannya.
"Barangkali dunia dagang dan dunia pemerintah sudah seperti bumi dan langit,"
Ujarnya.
"Pasti begitu. Komunikasi yang lebih lancar antara orang bisnis dan negarawan mungkin bisa mencegah bencana semacam itu."
"Saya tak habis pikir...."
Augusta ragu, seakan-akan tengah mempertimbangkan suatu gagasan yang baru saja melintas di benaknya.
"Saya jadi bertanya-tanya, apakah seseorang seperti Anda sendiri berminat menjadi direktur satu atau dua perusahaan."
Hobbes kaget.
"Memang, mungkin saja."
"Anda tahu... pengalaman pertama ikut memimpin sebuah perusahaan mungkin bisa membantu ketika Anda menulis komentar dalam jurnal Anda, tentang dunia usaha."
"Saya yakin memang demikian."
"Imbalannya tidak besar... seratus atau dua ratus setahun paling banyak."
Augusta melihat mata Hobbes berbinar-binar. Uang sejumlah itu sangat banyak baginya.
"Tapi kewajibannya kecil."
"Gagasan yang sangat menarik,"
Kata laki-laki itu. Ia berusaha menyembunyikan gejolak perasaannya, pikir Augusta.
"Suami saya bisa mengaturnya, kalau Anda berminat. Dia selalu merekomendasikan direktur utama untuk Dewan Direksi perusahaan yang diminatinya. Pikirkanlah lagi dan beritahu saya jika Anda ingin saya menyampaikannya pada suami saya."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Baik, saya akan memikirkannya."
Sejauh ini tak ada masalah, pikir Augusta. Namun mengiming-iminginya dengan umpan adalah bagian yang mudah. Sekarang ia harus berupaya agar laki-laki itu menyambar mata kailnya. Augusta berkata dengan sungguh-sungguh.
"Dan tentu saja dunia usaha harus mengambil tindakan balasan. Saya rasa perlu lebih banyak orang bisnis mengabdi di Majelis Rendah."
Mata lelaki itu agak menyipit, dan Augusta menduga pikirannya yang cerdas mulai memahami penawaran yang diajukannya.
"Tidak diragukan lagi,"
Kata Hobbes datar. Augusta mengembangkan pokok percakapannya.
"Kedua Majelis Parlemen akan mendapatkan manfaat dari pengetahuan dan kebijaksanaan pengusaha senior, khususnya pada waktu berdebat mengenai keuangan negara. Meskipun demikian, masih ada prasangka terhadap orang bisnis yang dianugerahi gelar ningrat."
"Memang masih ada, dan hal itu tidak rasional,"
Kata Hobbes.
"Pedagang, pemilik pabrik, dan bankir bertanggung jawab atas kemakmuran bangsa kita, lebih dari tuan tanah dan golongan gereja; namun para tuan tanah dan kaum gereja inilah yang dianugerahi gelar atas pengabdian mereka pada negara, sedangkan mereka yang benar-benar telah memakmurkan bangsa diabaikan."
"Anda harus menulis artikel tentang masalah itu. Tujuan itulah yang telah diperjuangkan jurnal Anda di masa lalu. modernisasi terhadap lembaga-lembaga kita yang sudah kuno."
Agusta memberikan senyumnya yang paling hangat pada Hobbes.
Kartu-kartunya telah digelar sekarang.
Hobbes tak mungkin gagal memahami bahwa inilah harga yang harus dibayarnya demi jabatan direktur perusahaan yang ditawarkan Augusta.
Apakah ia akan bersikeras, tersinggung, dan menentang? Apakah ia akan keluar dengan marah? Apakah ia akan tersenyum dan menolak tawaran itu dengan halus? Kalau ia melakukan salah satunya, berarti Augusta harus mulai lagi dari awal dengan orang lain.
Suasana hening berlangsung cukup lama, kemudian Hobbes berkata.
"Barangkali Anda benar."
Augusta merasa lega.
"Mungkin kita harus memulainya,"
Sambungnya.
"Hubungan lebih akrab antara dunia usaha dan pemerintah."
"Gelar bangsawan untuk pengusaha,"
Kata Augusta.
"Dan jabatan direktur untuk wartawan,"
Tambah laki-laki itu.
Augusta merasa mereka sudah cukup saling terbuka dan sudah waktunya menghentikannya.
Jika terlalu kentara ingin menyogoknya, laki-laki itu mungkin merasa direndahkan dan menolaknya.
Augusta merasa puas dengan apa yang telah dicapainya dan ketika ia hendak mengubah pokok percakapan, para tamu lain berdatangan; ia lolos dari kesulitan^ itu.
Para tamu tiba berkelompok dan Joseph muncul pada saat yang sama.
Tak lama kemudian Hastead masuk dan berkata.
"Makanan sudah dihidangkan, Sir,"
Dan Augusta ingin kelak Hastead menyapa suaminya dengan My Lord sebagai ganti Sir.
Mereka melangkah ke ruang makan.
Iring-iringan yang agak pendek itu mengganggu Augusta.
Di rumah kaum aristokrat, iring-iringan tersebut acap kali panjang dan sangat anggun menuju ruang makan, dan hal itu penting sekali dalam ritual acara makan malam.
Keluarga Pilaster secara tradisional merasa hina untuk meniru tata krama kelas atas, namun Augusta lain.
Baginya rumah ini terlalu biasa.
Namun ia gagal membujuk Joseph untuk pindah.
Malam ini ia telah menyusun rencana untuk mempertemukan Edward dengan Emily Maple, seorang gadis cantik dan pemalu yang berusia sembilan belas tahun, dan malam itu datang bersama ibu dan ayahnya, seorang pendeta Methodist.
Mereka kelihatan sekali terpesona menyaksikan rumah Augusta dan para tamu lainnya.
Mereka sebenarnya tidak cocok berada di sini, namun Augusta sudah putus asa mencari calon untuk Edward.
Anak itu kini berusia dua puluh sembilan tahun dan belum pernah menunjukkan minat sedikit pun pada gadis-gadis untuk memenuhi keinginan ibunya.
Augusta merasa frustrasi.
Tak mungkin Edward tidak melihat kecantikan Emily.
sepasang matanya biru besar dan senyumnya memikat.
Orangtuanya akan senang dengan perjodohan ini dan gadis itu tentu harus menuruti apa yang diperintah padanya.
Namun Edward mungkin perlu dipaksa.
Masalahnya, ia tidak merasa perlu menikah.
Ia menikmati hidupnya dengan teman-teman prianya, pergi ke klub dan berfoya-foya dalam kehidupan malam.
Memasuki kehidupan perkawinan tidak terlalu menarik baginya.
Selama beberapa waktu Augusta beranggapan hal itu normal saja, tapi hal ini telah berlangsung terlalu lama dan akhir-akhir ini ia merasa cemas apakah putranya mampu meninggalkan kehidupan yang penuh hura-hura itu.
Ia harus mendesak anaknya.
Di meja, di sebelah kirinya, Augusta menempatkan Michael Fortescue, seorang pria muda yang menarik dengan cita-cita politik.
Konon ia dekat dengan Perdana Menteri Benjamin Disraeli yang telah dianugerahi gelar bangsawan dan kini menjadi Lord Beaconsfield.
Fortescue adalah orang kedua dari tiga orang yang bantuannya dibutuhkan Augusta agar Joseph mendapatkan gelar kebangsawanan.
Ia tidak sepintar Hobbes, namun lebih canggih dan percaya diri.
Augusta telah berhasil memukau Hobbes, tapi kali ini ia harus menarik perhatian Fortescue.
Mr.
Maple mengucapkan doa dan Hastead menuangkan anggur.
Joseph dan Augusta tidak biasa minum anggur, tapi mereka menawarkannya kepada para tamu.
Ketika sup dihidangkan, Augusta tersenyum hangat pada Fortescue dan berkata dengan suara rendah dan akrab.
"Kapan kami melihat Anda di Parlemen?"
"Kalau saja saya tahu,"
Sahut Fortescue.
"Setiap orang membicarakan Anda sebagai orang muda yang cemerlang. Anda pasti sudah tahu."
Pria itu merasa senang, namun kikuk oleh san-jungannya.
"Saya tidak yakin."
"Dan Anda juga tampan sekali terus terang saja."Fortescue tampak agak terkejut. Ia tidak mengharapkan Augusta akan bermain api, namun ia tidak menolaknya.
"Anda seharusnya tidak menunggu pemilihan umum,"
Augusta melanjutkan.
"Mengapa Anda tidak ikut dalam pemilihan khusus? Cukup mudah mengaturnya. Kata orang, Perdana Menteri menghargai gagasan Anda."
"Anda baik sekali, tapi pemilihan khusus itu mahal, Mrs. Pilaster."
Itulah jawaban yang diharapkan Augusta, namun ia tak mau terlalu kentara. ."Mahal?"
Tanyanya, pura-pura heran.
"Dan saya bukan orang kaya."
"Saya tidak tahu,"
Augusta berbohong.
"Anda harus mencari sponsor."
"Bankir, barangkali?"
Kata pria itu dengan nada setengah bercanda."
"Hal itu bukan mustahil. Mr. Pilaster ingin sekali mengambil bagian yang lebih aktif dalam pemerintahan."
Memang, jika ditawari gelar kehormatan.
"Dan dia tidak mengerti mengapa orang bisnis harus merasa wajib menjadi kaum Liberal. Ini rahasia antara Anda dan saya, dia sering merasa lebih cocok dengan golongan konservatif yang lebih muda."
Nadanya yang meyakinkan mendorong Fortescue untuk bersikap terbuka, persis seperti yang dirancang Augusta, dan sekarang pria itu berkata terang-terangan.
"Dengan cara apa Mr. Pilaster ingin mengabdi kepada negara, selain menjadi sponsor calon pemilihan khusus."
Ini merupakan tantangan. Haruskah ia menjawabnya atau terus saja mengambil jalan memutar? Augusta memutuskan untuk mengimbangi sikap terbuka itu.
"Barangkali di Majelis Rendah. Menurut Anda, mungkinkah itu?"
Augusta menikmati lakon ini... demikian juga Fortescue.
"Mungkinkah? Tentu saja. Apakah hal itu akan terjadi, itu soal lain lagi. Haruskah saya tanyakan?"
Ini lebih sederhana daripada yang diantisipasi Augusta.
"Dapatkah Anda melakukannya dengan bijak?"
Fortescue bimbang.
"Saya yakin bisa."
"Itu sangat baik,"
Kata Augusta dengan puas. Ia telah menyeret pria ini menjadi sekutunya.
"Saya akan memberitahu Anda apa yang saya ketahui."
"Dan jika suatu pemilihan khusus harus diadakan..."
"Anda baik sekali."
Augusta menyentuh lengannya. Pria ini sangat menawan, pikirnya. Augusta senang berkomplot dengannya.
"Saya percaya kita berdua benar-benar saling memahami,"
Gumamnya.
Ia melihat Fortescue memiliki tangan berukuran besar yang tidak biasa.
Augusta memegang lengannya lebih lama, sambil menatap matanya dalam-dalam, kemudian ia berbalik.
Ia merasa nyaman.
Ia telah menangani dua dari tiga orang utama dan ia belum meleset.
Selama acara berikutnya, ia berbincang-bincang dengan Lord Morte yang duduk di sebelah kanannya.
Dengan pria itu ia melakukan pembicaraan yang sopan, tanpa menyinggung masalah tertentu; sebenarnya istri pria itulah yang ingin dipengaruhinya, dan karenanya ia harus menunggu sampai acara makan malam selesai.
Setelah makan, para tamu pria tinggal di ruang makan untuk merokok; Augusta dan para istri lain menaiki tangga ke kamar tidurnya.
Di situ ia menahan Lady Morte selama beberapa menit.
Harriet Morte lima belas SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tahun lebih tua dari Augusta; ia adalah pelayan pribadi Ratu Victoria.
Rambutmya berwarna abu-abu besi dan perilakunya angkuh sekali.
Seperti Arnold Hobbes dan Michael Fortescue, wanita ini mempunyai pengaruh dan Augusta berharap bahwa, seperti kedua pria lainnya, wanita itu bisa korup juga.
Hobbes dan Fortescue rawan terhadap godaan karena mereka miskin.
Lord dan Lady Morte tidak begitu miskin, namun mereka pemboros.
Gaun-gaun Lady Morte mahal sekali, begitu pula perhiasannya, dan Lord Morte penggemar judi pacuan kuda.
Augusta lebih gugup menghadapi Lady Morte daripada para pria tadi.
Wanita biasanya lebih sulit.
Mereka tidak mau menerima sesuatu berdasarkan nilai luarnya saja dan mereka tahu kalau dipengaruhi.
Tiga puluh tahun sebagai pelayan Ratu tentunya telah menajamkan perasaan Lady Morte; takkan ada yang lolos dari perhatiannya.
Augusta memulai dengan sanjungan.
"Mr. Pilaster dan saya sangat mengagumi Ratu tercinta."
Lady Morte mengangguk, seakan-akan mengatakan Tentu saja.
Padahal tidak ada ungkapan Tentu saja sehubungan dengan pujian itu.
Ratu Victoria tidak disukai oleh sebagian besar rakyatnya karena ia pendiam, terlalu menjaga jarak, dan kaku.
Augusta melanjutkan.
"Kalau ada yang dapat kami lakukan untuk menolong Anda melakukan kewajiban Anda yang mulia, kami akan bangga sekali."
"Anda baik sekali."
Lady Morte tampak agak bingung. Ia bimbang, kemudian memutuskan untuk bertanya.
"Tapi apa yang bisa Anda lakukan."
"Apa yang dilakukan oleh para bankir? Mereka meminjamkan uang."
Augusta merendahkan suaranya.
"Saya rasa kehidupan di istana pasti sangat mahal."
Lady Morte tersentak. Pantang sekali membicarakan uang bagi orang setingkat dirinya, dan Augusta melanggarnya terang-terangan. Namun Augusta terus menjajaki.
"Apabila Anda ber -maksud membuka rekening di Pilasters Bank, takkan ada masalah soal batas kredit penggunaannya."
Lady Morte merasa tersinggung, tapi sebaliknya ia memperoleh tawaran hak-hak istimewa yang luar biasa, berupa kredit tanpa batas di salah satu bank terbesar di dunia.
Nalurinya berbisik untuk bersikap kasar terhadap Augusta, namun ketamakan menghalanginya.
Augusta bisa membaca perang batin itu di wajahnya.
Augusta sama sekali tidak memberinya waktu untuk memikirkannya.
"Maafkan saya karena terlalu blak-blakan,"
Sambung Augusta.
"Itu karena saya ingin membantu Anda."
Lady Morte tidak mempercayainya, namun menurutnya Augusta hanya ingin mengambil hati kerabat Ratu.
Ia tak akan mencari motif yang lebih khusus, dan tentu saja Augusta tidak akan memberinya peluang untuk malam ini.
Lady Morte bimbang sesaat, kemudian berkata.
"Terima kasih. Anda baik sekali."
Mrs.
Maple, ibu Emily, kembali dari kamar mandi, dan kini giliran Lady Morte.
Ia keluar dengan ekspresi agak kikuk di wajahnya.
Augusta tahu wanita ini dan suaminya, Lord Morte, akan sependapat dalam perjalanan pulang bahwa kalangan pengusaha memang vulgar dan tidak tahu tata krama.
Namun, pada suatu saat mereka akan kekurangan uang.
Misalnya saja, suaminya kalah bertaruh pacuan kuda sebesar 1.000 guinea, dan penjahit Lady Morte menagih bayaran rekening yang sudah berumur enam bulan sebesar 300 pound, dan keduanya akan ingat pada tawaran Augusta, lalu baru menyadari bahwa apa yang pernah ditawarkan si pengusaha kasar ternyata ada juga manfaatnya.
Augusta telah membereskan hambatan ketiga.
Jika ia benar dalam menilai wanita itu, Lady Morte akan berutang pada Pilasters Bank tidak sampai enam bulan lagi.
Kemudian ia akan mengetahui apa yang diinginkan Augusta darinya.
Para wanita itu berkumpul di ruang duduk lantai dasar dan menikmati kopi.
Lady Morte masih kaku, tapi tidak lagi bersikap kasar.
Para pria bergabung dengan mereka beberapa saat kemudian.
Joseph membawa Mr.
Maple ke atas untuk menunjukkan koleksi kotak tembakaunya.
Augusta merasa senang.
Joseph melakukan hal itu hanya jika ia menyukai seseorang.
Emily memainkan piano.
Mrs.
Maple memintanya menyanyi, tapi gadis itu menolak dengan alasan pilek, dan bertahan kendati ibunya telah membujuknya.
Augusta jadi berpikir dengan waswas, jangan-jangan gadis itu tidaklah se-penurut yang dikiranya.
Augusta telah melakukan tugasnya malam itu; ia ingin mereka semua pulang sekarang, sehingga ia bisa melewatkan malam sendirian, sambil menilai sejauh mana ia telah meraih keberhasilan dalam rencananya.
Sebenarnya ia sama sekali tidak menyukai mereka semua, kecuali Michael Fortescue.
Namun ia memaksakan diri untuk berbincang-bincang.
Hobbes sudah terkena pancingnya, pikirnya; Fortescue telah membuat perjanjian dan akan menepatinya.
Lady Morte telah diberi umpan yang menggiurkan dan tinggal soal waktu saja sebelum ia terjerat.
Augusta merasa lega dan puas.
Setelah para tamu pulang, Edward bersiap-siap pergi ke klub.
"Duduklah dulu dan dengarkan sebentar,"
Kata ibunya dengan tegas."
Aku ingin bicara dengan kau dan ayahmu."
Joseph yang ingin tidur, duduk kembali. Augusta bertanya pada suaminya.
"Kapan kau mengangkat Edward sebagai mitra di bank kita?"
Joseph tampak marah.
"Kalau usianya sudah lebih tua."
"Tapi kudengar Hugh mungkin diangkat sebagai mitra, padahal dia tiga tahun lebih muda dari Edward."
Kendati tidak tahu bagaimana memperoleh uang, Augusta senantiasa tahu apa yang terjadi di bank keluarga fc mereka dari segi kemajuan pribadi seorang kerabat atau sebaliknya.
Para pria tidak biasanya membicarakan bisnis di hadapan istri-istri mereka, namun Augusta berhasil memperoleh informasi dari mereka pada acara minum teh bersama.
"Senioritas hanyalah salah satu prasyarat untuk bisa diangkat sebagai mitra,"
Kata Joseph jengkel.
"Syarat lainnya adalah kemampuannya untuk mendatangkan bisnis. Sejauh ini Hugh memiliki kemampuan yang belum pernah kulihat pada orang semuda dia. Kualifikasi lainnya adalah orang itu harus menanamkan modal besar di bank kita, memiliki status sosial tinggi, atau wibawa politik. Dan sampai sekarang Edward belum memiliki salah satu pun."
"Tapi dia anakmu."
"Bank adalah suatu bisnis, bukan sekadar acara makan malam,"
Ucap Joseph lebih marah lagi. Ia sangat benci jika beradu mulut dengan istrinya, apalagi jika menyangkut pekerjaan. Sambungnya.
"Jabatan bukanlah sekadar soal pangkat atau siapa yang bekerja lebih dahulu. Kemampuan menghasilkan bisnis yang menguntungkan adalah batu ujian yang harus ditempuhnya."
Augusta ragu sesaat.
Haruskah ia memaksakan kemajuan Edward kalau anak itu sebenarnya tak mampu? Tapi hal itu tidak masuk akal.
Edward tampak baik-baik saja.
Ia mungkin tidak bisa menjumlahkan sebaris angka secepat Hugh, tapi kalau mau berpikir ia akan mampu juga.
Augusta berkata.
"Edward bisa memiliki investasi modal yang besar di bank kita kalau kau menghendakinya. Kau bisa memberi uang padanya kapan saja."
Wajah Joseph jadi kelihatan keras. Ekspresi ini dikenal betul oleh Augusta, seperti ketika ia menolak pindah rumah atau melarang Augusta mendekorasi kamar tidurnya.
"Tidak, tidak akan kalau anak itu belum menikah juga!"
Katanya, dan setelah itu ia meninggalkan kamar. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Edward berkata.
"Ibu membuatnya berang".
"Ini demi kau juga, Teddy sayang."
"Tapi Ibu telah memperburuk keadaan!"
"Tidak."
Agusta menghela napas panjang.
"Kadang-kadang pandanganmu yang polos menghalangimu melihat apa yang terjadi. Ayahmu mungkin percaya dia telah menunjukkan pendirian yang gigih, tapi kalau kau memikirkan ucapannya, kau akan menyadari bahwa-dia telah berjanji akan memberikan sejumlah besar uang padamu dan menjadikanmu mitra segera setelah kau kawin."
"Astaga! Benar juga,"
Kata Edward heran.
"Itu tidak terpikir olehku."
"Itulah kesulitanmu. Sayang. Kau tidak licik seperti Hugh."
"Hugh sangat mujur di Amerika."
"Tentu saja dia mujur. Kau mau kawin bukan?"
Edward duduk di samping ibunya dan memegang tangannya.
"Mengapa aku harus kawin, bila ada Ibu untuk mengurusku?"
"Tapi siapa yang akan mengurusmu kalau aku mati? Apakah kau menyukai Emily Maple yang mungil itu? Kurasa dia menarik."
"Menarik? Menurut dia, berburu rubah sangat kejam,"
Komentar Edward dengan nada menghina.
"Coba renungkan, ayahmu akan memberimu sekurang-kurangnya seratus ribu pound... barangkali lebih, mungkin seperempat juta." . Edward tidak terkesan.
"Aku memiliki semua yang kuinginkan dan aku senang tinggal bersama Ibu,"
Ujarnya.
"Aku juga senang kau ada di dekatku. Tapi aku ingin melihatmu hidup berumah tangga dengan seorang istri cantik, punya harta sendiri, dan kemitraan di bank keluarga. Katakanlah kau mau memikirkannya."
"Aku akan memikirkannya."
Ia mencium pipi ibunya. 299"Dan sekarang aku benar-benar harus pergi, Ibu. Aku sudah janji bertemu dengan teman-teman setengah jam yang lalu."
"Pergilah kalau begitu."
Edward bangkit dan melangkah ke pintu.
"Selamat malam, Ibu."
"Selamat malam,"
Sahut ibunya.
"Pikirkanlah Emily!" [Ill] KINGSBRIDGE MANOR adalah salah satu rumah terbesar di Inggris. Maisie pernah tinggal di sana tiga atau empat kali, tapi belum juga menyaksikan setengahnya. Rumah itu memiliki dua puluh kamar tidur utama, belum terhitung kamar-kamar untuk lima puluh pembantu atau lebih. Rumah itu dipanaskan dengan api batubara dan diterangi lilin-lilin. Cuma ada satu kamar mandi. Meski tidak memiliki kenyamanan modern, rumah ini menyediakan kemewahan model lama. ranjang bertiang empat dengan kelambu sutra berat, anggur tua yang lezat dari ruang bawah tanah, kuda, senjata api, buku-buku, dan hiburan tanpa akhir. Duke muda dari Kingsbridge dulu memiliki seratus ribu ekar tanah pertanian terbaik di Wiltshire, tapi atas nasihat Solly ia menjual setengahnya dan membeli sebagian besar Kensington Selatan dengan uang penjualan itu. Maka depresi pertanian yang telah menyengsarakan banyak keluarga bangsawan tidak menyentuh kekayaan "Kingo", karena itu ia masih mampu menjamu teman-temannya dengan gaya megah. Pangeran Wales telah menghabiskan minggu pertama bersama mereka. Solly, Kingo, dan sang pangeran senang bercanda habis-habisan, dan Maisie ikut membantu. Ia telah meletakkan buih sabun sebagai ganti krim kocok di hidangan penutup untuk Kingo; ia telah melepaskan kancing bretel Solly yang waktu itu tertidur di perpustakaan, sehingga celananya melorot ketika ia berdiri; dan ia telah mengelem halaman koran The Times sehingga tak bisa dibuka. Secara kebetulan, Pangeran sendiri yang pertama mengambil koran itu. Ketika ia mencoba membalik halaman-halamannya, setiap orang merasa tegang dan bertanya-tanya bagaimana reaksinya, karena, kendati pewaris takhta itu menyukai lelucon, ia tak pernah menjadi korban. Namun kemudian ia mulai tertawa ketika menyadari apa yang telah terjadi, dan yang lainnya ikut tertawa terbahak-bahak karena lega dan gembira. Pangeran telah pergi dan Hugh Pilaster telah tiba, dan mulailah kesulitan itu. Solly-lah yang punya gagasan untuk mengundang Hugh ke sini. Solly menyukai Hugh. Maisie tak bisa mencari dalih yang tepat untuk mengajukan keberatan. Juga Solly-lah yang meminta Hugh ikut makan malam di London. Hugh dapat menguasai diri dengan cepat pada malam itu dan membuktikan dirinya benar-benar memenuhi syarat sebagai tamu acara makan malam. Barangkali tata kramanya tidak akan sehalus seandainya ia menghabiskan enam tahunnya di ruang duduk di London, bukannya di gudang Boston, namun pesona alaminya bisa menutupi kekurangannya. Dalam dua hari kunjungan di Kingsbridge ia telah menghibur mereka dengan segala kisah hidup di Amerika, tempat yang belum pernah mereka lihat. Ironis bahwa Maisie menganggap tata krama Hugh agak kasar. Enam tahun yang lalu malah sebaliknya. Namun wanita muda itu cepat belajar. Ia telah menguasai aksen golongan atas tanpa kesulitan, meski untuk mempelajari tata bahasa ia perlu waktu lebih lama. Namun yang paling sulit adalah mempelajari kehalusan perilaku dan superioritas sosial. cara berjalan melalui pintu, berbicara dengan anjing peliharaan, mengubah pokok pembicaraan, tidak mengacuhkan orang mabuk. Namun ia telah belajar dengan tekun dan kini semuanya menjadi sebuah kewajaran baginya. Hugh telah pulih dari keterkejutan yang diakibatkan oleh pertemuan mereka, namun Maisie belum. Ia tak akan melupakan ekspresi Hugh ketika pertama kali melihatnya. Maisie telah mempersiapkan diri, namun bagi Hugh pertemuan itu benar-benar merupakan kejutan. Karena itu, ia tak bisa menyembunyikan perasaannya, dan Maisie sedih melihat ekspresi terluka di matanya. Ia telah sangat melukai perasaan Hugh enam tahun yang lalu, dan pemuda itu belum mampu mengatasinya. Sejak itu wajah Hugh menghantuinya. Ia kaget ketika mengetahui Hugh akan datang ke sini. Ia tak ingin menemui Hugh, tak ingin masa silam dihadirkan kembali. Ia telah menikah dengan Solly yang baik dan tak sampai hati melukai perasaannya. Apalagi sekarang ada Bertie, putranya, buah hatinya yang membuat ia bersemangat untuk hidup. Anak mereka dinama Hubert, tapi mereka memanggilnya Bertie, yang juga nama Pangeran Wales. Bertie Greenbourne akan berusia lima tahun pada tanggal 1 Mei, namun itu rahasia; ulang tahunnya dirayakan pada bulan September untuk menyembunyikan fakta bahwa anak itu lahir hanya enam bulan setelah perkawinan. Keluarga Solly tahu fakta sebenarnya, namun tak ada orang lain yang tahu. Bertie lahir di Swiss dalam perjalanan bulan madu mereka keliling Eropa selama dua belas bulan. Semenjak itu, Maisie merasa bahagia. Orangtua Solly tidak menerima kehadiran Maisie. Mereka adalah Yahudi Jerman yang kaku dan sangat mementingkan status sosial. Mereka telah menetap di Inggris selama beberapa generasi dan meremehkan Yahudi Rusia SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY berbahasa Yiddish yang baru turun dari perahu. Bahwa wanita muda itu mengandung anak orang lain mengukuhkan prasangka mereka dan memberi dalih untuk tidak menerimanya. Meskipun demikian, adik perempuan Solly, Kate, yang sebaya dengan Maisie dan mempunyai putri berumur enam tahun, tetap bersikap baik pada Maisie jika orangtuanya tidak berada di rumah. Solly mencintai Maisie dan Bertie, walaupun ia tidak tahu siapa sebenarnya ayah anak itu, dan ini sudah cukup bagi Maisie... sampai Hugh muncul kembali di London. Maisie bangun pagi-pagi seperti biasa, dan melangkah ke kamar anak-anak rumah besar itu. Bertie sedang makan pagi di ruang makan dengan anak-anak Kingo, Anne dan Alfred, diawasi tiga pengasuh bayi. Ia mencium wajah Bertie yang berkeringat dan berkata.
"Makan apa kau?"
"Bubur dengan madii,"
Kata anak itu dengan aksen khas golongan atas, aksen yang dengan susah payah dipelajari Maisie, dan ia kadang-kadang masih juga keseleo lidah.
"Enak?"
"Madunya enak."
"Aku ingin mencoba sedikit,"
Kata Maisie sambil duduk.
Madu lebih mudah dicerna daripada ikan herring asin dan ginjal dengan kuah pedas yang biasa, disantap orang dewasa di pagi hari.
Bertie tidak mirip Hugh.
Semasa bayi, ia menyerupai Solly, karena semua bayi kelihatan seperti Solly, dan sekarang anak itu semakin mirip ayah Maisie, dengan rambut hitam dan mata cokelat.
Maisie kadang-kadang bisa melihat sesuatu yang mirip Hugh dalam dirinya, terutama ketika anak itu menyunggingkan senyum nakal; tapi untunglah tidak ada kemiripan yang jelas.
Seorang pengasuh bayi membawakan Maisie sepiring bubur dengan madu dan Maisie mencicipinya.
"Mama suka?"
Tanya Bertie. Anne berkata.
"Kalau sedang makan, jangan bicara, Bertie."
Anne Kingsbridge berusia tujuh tahun dan ia menguasai Bertie dan adiknya, Freddy.
"Enak,"
Kata Maisie. Seorang pelayan lain bertanya.
"Apakah kalian mau roti bakar dioles mentega, anak-anak?"
Serentak mereka semua menjawab riang.
Mula-mula Maisie merasa tidak lazim seorang anak tumbuh besar dikelilingi oleh pelayan, dan ia takut Bertie dilindungi secara berlebihan; namun akhirnya ia tahu bahwa anak orang kaya juga bermain di tempat kotor, memanjat tembok, dan berkelahi, sama seperti anak orang miskin; perbedaan utamanya adalah mereka punya pelayan untuk memandikan mereka.
Maisie sebenarnya ingin memiliki banyak anak, yaitu anak-anak Solly, namun ada gangguan dalam tubuhnya ketika Bertie lahir dan para dokter Swiss mengatakan ia tak akan bisa hamil lagi.
Ucapan para dokter itu terbukti benar, karena ia telah menikah dengan Solly selama lima tahun dan tak pernah tidak mengalami menstruasi.
Bertielah anaknya satu-satunya.
Ia kasihan sekali pada Solly yang tak akan mempunyai anak sendiri, kendati ia berkata telah mengecap kebahagiaan lebih besar dibandingkan yang layak diperoleh laki-laki mana pun.
Istri Kingo, sang duchess, yang dikenal teman-temannya sebagai Liz, ikut bergabung pada acara makan pagi di kamar anak-anak.
Ketika sedang membasuh tangan dan wajah anak mereka, Liz berkata.
"Ibuku tidak akan mau mengerjakan ini. Dia hanya menemui kami ketika kami sudah dimandikan dan berpakaian rapi. Sangat tidak alami."
Maisie tersenyum.
Liz merasa dirinya seorang ibu yang sangat praktis, karena ia membasuh sendiri wajah anak-anaknya.
Mereka tinggal di kamar anak-anak sampai jam se -puluh, ketika pengasuh anak tiba dan menyuruh anak-anak itu menggambar dan melukis.
Maisie dan Liz kembali ke kamar mereka.
Hari ini sepi, tak ada perburuan.
Sebagian dari para laki-laki pergi memancing dan yang lainnya berjalan-jalan di hutan dengan satu atau dua anjing sambil menembaki kelinci.
Para wanita, dan laki-laki yang lebih menyukai wanita daripada anjing, meluangkan waktu dengan berjalan-jalan di taman sebelum makan siang.
* Solly sudah sarapan pagi dan bersiap-siap untuk keluar.
Ia mengenakan setelan wol berwarna cokelat dengan jas pendek.
Maisie menciumnya dan membantu mengenakan sepatu botnya.
seandainya Maisie tidak ada di sini, suaminya akan memanggil pelayannya karena ia tak dapat menunduk cukup jauh untuk mengikat sendiri tali sepatunya.
Maisie memakai mantel bulu dan topi, sedangkan Solly mengenakan mantel wol Inverness yang berat dengan jubah dan~ topi bowler yang serasi, kemudian mereka pergi ke ruang utama yang dingin untuk menemui yang lainnya.
Pagi itu cerah dan dingin, sangat menyenangkan kalau orang mengenakan mantel bulu, tapi akan menyiksa jika tinggal di rumah kumuh dengan kaki telanjang.
Maisie kadang masih membandingkan keberuntungan dirinya sekarang dengan kemiskinannya semasa kecil.
Jika sudah begini, ia akan merasa sangat bahagia karena bisa menikah dengan salah satu pria terkaya di dunia.
Maisie berjalan dengan diapit Kingo dan Solly.
Hugh berada di belakang dengan Liz.
Meski tak bisa melihat Hugh, Maisie tetap bisa merasakan kehadirannya, mendengarnya berbincang-bincang dengan Liz dan membuat wanita itu tertawa cekikikan, serta membayangkan kilau di mata birunya.
Setelah kurang-lebih setengah mil, mereka sampai ke gerbang utama.
Pada waktu mereka membelok untuk berjalan-jalan melalui kebun buah, Maisie melihat sesosok tubuh jangkung dengan cambang hitam yang tidak asing lagi, mendekat dari arah pedesaan.
Sesaat ia mengira itu sosok ayahnya, tapi kemudian ia bisa mengenali.
kakaknya, Danny.
Danny telah kembali ke kota kelahiran mereka enam tahun yang lalu dan mendapati orangtua mereka tidak lagi tinggal di rumah tua sewaan itu, dan mereka tidak meninggalkan alamat baru.
Karena kecewa, ia pergi ke utara, ke Glasgow, dan mendirikan Asosiasi Kesejahteraan Pekerja, yang tidak hariya mengasuransikan para pekerja yang sedang menganggur, namun juga berkampanye demi keselamatan kerja di pabrik-pabrik, hak untuk masuk serikat pekerja, dan peraturan perusahaan yang berkaitan dengan aturan keselamatan kerja.
Namanya mulai muncul di koran-koran Dan Robinson, bukan Danny, karena ia terlalu perkasa untuk menjadi seorang Danny sekarang.
Papa membaca berita itu dan datang ke kantornya, maka berlangsung reuni penuh kegembiraan.
Ternyata Papa dan Mama akhirnya bertemu dengan orang-orang Yahudi lainnya, tak lama sesudah Maisie dan Danny meninggalkan rumah.
Mereka meminjam uang untuk pindah ke Manchester.
Di sini Papa mendapat pekerjaan lain, dan mereka tak pernah kekurangan lagi.
Mama sanggup bertahan melawan penyakitnya dan kini cukup sehat.
Maisie sudah menikah dengan Solly ketika keluarganya bisa berkumpul kembali.
Solly ingin membelikan ayah Maisie sebuah rumah dan uang pensiun untuk seumur hidup, tapi ia menolak dengan halus, la hanya meminta pinjaman uang untuk membuka toko.
Sekarang Papa dan Mama memiliki toko yang menjuaj^ kaviar dan penganan mahal lainnya pada orang kaya kota Manchester.
Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Pendekar Rajawali Sakti Istana Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu