Ceritasilat Novel Online

Kekayaan Yang Menyesatkan 6


Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 6



Ketika datang menengok, Maisie melepaskan semua perhiasan berlian miliknya, mengenakan celemek, lalu membantu menjaga toko di belakang meja layan.

   Ia yakin para orang kaya dari kalangan Malborough tidak akan berbelanja sendiri ke toko ayahnya.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Melihat Danny datang, Maisie merasa khawatir.

   Jangan-jangan ada sesuatu yang buruk menimpa orangtuanya.

   Ia berlari menyongsong Danny dengan hati berdebar dan langsung bertanya.

   "Danny! Apa yang terjadi? Apa Mama sakit?"

   "Papa dan Mama sehat-sehat saja, juga yang lainnya,"

   Sahut Danny dengan aksen Amerika yang kental.

   "Oh, terima kasih, Tuhan. Bagaimana kau tahu aku ada di tempat ini?"

   "Kan, kau menulis surat untukku?"

   "Oh ya."

   Danny tampak seperti seorang pejuang Turki dengan matanya yang tajam, jenggot ikal, pakaian sederhana warna hitam, dan topi bowler.

   Kelihatannya ia baru saja berjalan jauh, kentara dari sepatu botnya yang berlumpur dan kelelahan di wajahnya.

   Kingo tidak menghiraukan kehadirannya, tapi Solly seperti biasa menyambutnya dengan hangat.

   Ia menyalami Danny.

   "Bagaimana kabarmu, Robinson? Kenalkan temanku, Duke of Kingsbridge. Kingo, perkenankan aku memperkenalkan kakak iparku, Dan Robinson, sekretaris umum Asosiasi Kesejahteraan Pekerja."

   Bagi kebanyakan orang, diperkenalkan dengan seorang bangsawan akan membuatnya gugup dan serba canggung. Tapi tidak bagi Danny. Dengan sopan dan santai ia menyapa.

   "Apa kabar, Duke?"

   Kingo menyambut uluran tangan Danny dengan sikap hambar. Maisie menduga Kingo berpendapat boleh saja bersikap sopan pada orang dari kelas yang lebih rendah, tapi tak perlu berlebihan. Lalu Solly menyambung lagi.

   "Dan perkenalkan teman kami Hugh Pilaster."

   Maisie menjadi tegang.

   Karena mencemaskan Mama dan Papa, ia lupa bahwa Hugh berada di belakangnya.

   Danny tahu rahasia Hugh yang belum pernah dibeberkan Maisie pada suaminya.

   Ia tahu Hugh adalah ayah Bertie.

   Danny pernah ingin mematahkan leher Hugh.

   Mereka belum pernah bertemu, namun Danny tidak lupa sedikit pun.

   Apa yang akan dilakukannya? Tapi sekarang kakaknya sudah bertambah tua enam tahun.

   Tatapannya terhadap Hugh dingin, namun jabatan tangannya tetap sopan.

   Hugh yang tidak tahu bahwa ia sudah menjadi seorang ayah, berbicara pada Danny dengan ramah.

   "Apakah Anda kakak yang dulu lari dari rumah dan pergi ke Boston?" Ś "Ya, akulah orangnya."

   Kata Solly.

   "Hebat sekali Hugh tahu hal itu!"

   Solly tidak tahu sampai sejauh mana Hugh dan Maisie saling mengetahui latar belakang mereka.

   Ia tidak tahu bahwa mereka pernah melewatkan satu malam berduaan sambil bercerita tentang kisah hidup mereka.

   Maisie merasa cemas dengan percakapan itu.

   Pembicaraan mereka banyak menyinggung setumpuk rahasia, dan tabir yang menutupinya demikian tipis.

   Ia lekas-lekas berusaha menguatkan hatinya.

   "Danny, mengapa kau ada di sini?"

   Wajah Danny yang tampak lelah memperlihatkan kepahitan.

   "Aku tidak lagi menjadi sekretaris Asosiasi Kesejahteraan Pekerja,"

   Katanya.

   "Tamat riwayatku sekarang, untuk ketiga kalinya selama hidupku, gara-gara bankir-bankir yang tidak becus."

   "Danny, jangan!"

   Maisie memprotes. Ia tahu betul bahwa baik Solly maupun Hugh adalah bankir. Tapi Hugh berkata.

   "Jangan cemas! Kami juga benci kepada para bankir yang tidak becus. Mereka merupakan ancaman bagi siapa saja. Tapi apa yang telah terjadi, Mr. Robinson?"

   "Aku menghabiskan waktu lima tahun untuk membangun Asosiasi Kesejahteraan itu,"

   Ungkap Danny.

   "Ini betul-betul sukses besar. Kami mengeluarkan ratusan pound setiap minggu, berupa tunjangan, dan menerima iuran ribuan pound. Tapi akan kami apakan kelebihannya?"

   Solly berkata.

   "Menurut dugaanku, kau menyisihkannya untuk menghadapi kemungkinan tahun yang buruk."

   "Dan menurut pikiranmu, di mana kami menanamkannya?"

   "Di bank, kurasa."

   "Di City of Glasgow, tepatnya."

   "Astaga,"

   Kata Solly.

   "Aku tidak paham,"

   Sela Maisie. Solly menjelaskan.

   "City of Glasgow Bank jatuh bangkrut."

   "Oh, tidak!"

   Maisie menjerit. Berita itu membuatnya ingin menangis. Danny mengangguk.

   "Setiap sen yang disetorkan oleh para pekerja yang bekerja keras hilang lenyap begitu saja gara-gara ulah orang-orang tolol bertopi tinggi. Dan kau heran mengapa kaum pekerja itu membincangkan revolusi."

   Ia menghela napas panjang.

   "Aku sudah berusaha sebisanya menyelamatkan asosiasi sejak terjadi kebangkrutan itu, tapi tugas yang kuemban tak punya harapan, dan aku sudah menyerah."

   Kingo berkata tiba-tiba.

   "Mr. Robinson, aku turut simpati atas nasib yang menimpa Anda dan para anggota Asosiasi. Apakah Anda ingin menikmati sedikit makanan kecil? Anda pasti sudah berjalan kaki sejauh tujuh mil, kalau Anda datang dari stasiun kereta api."

   "Dengan senang hati dan terima kasih."

   Ujar Maisie.

   "Aku akan membawa Danny ke rumah. Teruskanlah perjalanan kalian."

   Maisie bisa merasakan betapa terpukul hati kakaknya. Ia ingin Danny bisa mengeluarkan kegalauan hatinya padanya. Yang lain ikut merasakan tragedi itu. Kingo berkata.

   "Maukah Anda menginap malam ini, Mr. Robinson?"

   Maisie bergidik.

   Kingo kali ini pemurah sekali.

   Cukup mudah bersikap sopan terhadap Danny selama beberapa menit di taman ini, tapi kalau ia menginap, Kingo dan teman-temannya yang kaya akan segera kewalahan dengan pakaian Danny yang kasar dan pikiran-pikirannya yang selalu menyangkut kaum pekerja.

   Kemudian mereka akan merendahkannya dan Danny akan tersinggung.

   Tapi Danny berkata.

   "Aku harus pergi ke London malam ini juga. Aku datang hanya untuk bertemu dengan adikku selama beberapa jam."

   Ujar Kingo.

   "Kalau begitu biar kuantar Anda ke stasiun dengan keretaku kapan saja Anda siap."

   "Anda sangat baik."

   Maisie menggamit lengan kakaknya.

   "Mari kita pergi. Akan kusiapkan makan siang untukmu."

   Setelah Danny berangkat ke London, Maisie dan Solly tidur siang. Solly berbaring di tempat tidur, mengenakan mantel kamar sutra merah dan memperhatikan istrinya menanggalkan pakaian.

   "Aku tak berdaya menyelamatkan Asosiasi Kesejahteraan pimpinan Danny,"

   Katanya.

   "Walau seandainya hal ini mempunyai makna finansial —yang sebenarnya tidak aku takkan bisa mengimbau para mitra lainnya." —Maisie sekonyong-konyong merasakan gejolak kasih sayang terhadapnya. Ia belum meminta Solly untuk menolong Danny.

   "Kau baik sekali,"

   Ucapnya. Ia menanggalkan mantel suaminya dan mencium perutnya yang gendut.

   "Kau telah begitu banyak menolong keluargaku, kau tak perlu meminta maaf. Lagi pula Danny tidak akan menerima apa pun darimu... dia terlalu angkuh."

   "Tapi apa yang akan dilakukannya?"

   Maisie melepaskan rok dalamnya dan menggulung stoeking-nya.

   "Besok Danny akan menemui Serikat Gabungan Insinyur. Dia ingin menjadi Anggota Parlemen dan berharap mereka akan menjadi sponsornya."

   "Dan kukira dia akan berkampanye agar pemerintah menyusun peraturan perbankan yang lebih ketat."

   "Apa kau akan menentangnya?"

   "Kami tak pernah menghendaki pemerintah mengatur kami. Memang benar, banyak bank yang bangkrut, tapi mungkin akan lebih banyak lagi yang ambruk kalau para politikus ikut mengelola bank."

   Ia memiringkan tubuh dan menyangga kepalanya dengan sikunya, agar lebih mudah mengamati istrinya menanggalkan pakaian.

   "Sebenarnya aku tak ingin meninggalkanmu malam ini."

   Keinginan Maisie sama. Sebagian dirinya berdebar membayangkan ia bersama Hugh sementara Solly pergi, namun hal itu malah membuatnya makin merasa berdosa.

   "Aku tidak keberatan,"

   Kata wanita itu. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Aku malu sekali atas sikap keluargaku."

   "Kenapa harus malu?"

   Hari itu hari Paskah Yahudi dan Solly bermaksud merayakan upacara seder dengan orangtuanya.

   Maisie tidak diundang.

   Ia mengerti bahwa Ben Greenbourne tidak menyukainya, dan setengah merasa bahwa ia layak diperlakukan seperti itu oleh mertuanya, namun Solly berang sekali oleh perlakuan ini.

   Ia akan bertengkar dengan ayahnya seandainya Maisie membiarkannya, tapi Maisie tidak menghendakinya, dan ia bersikeras bahwa suaminya harus tetap mengunjungi orangtuanya, seperti biasa.

   "Kau yakin tidak keberatan?"

   Tanya Solly penasaran.

   "Aku yakin. Coba dengar, seandainya aku kesepian, aku akan pergi ke Glasgow dan melewatkan Paskah dengan orangtuaku sendiri."

   Ia merenung.

   "Aku tak pernah merasa sebagai bagian dari orang-orang Yahudi, tidak sejak kami meninggalkan Rusia. Ketika kami tiba di Inggris, tak ada satu pun orang Yahudi di kota kami. Lalu orang-orang sirkus yang menampungku kebanyakan juga tidak punya agama. Bahkan ketika aku menikah denganmu, keluargamu tidak mau menerimaku. Jadi, sejak kecil aku sudah ditakdirkan untuk menjadi orang luar, dan terus terang aku tidak keberatan dengan perlakuan seperti ini. Lagi pula, Tuhan tidak pernah memberiku apa pun."

   Lalu ia tersenyum.

   "Kata Mama, Tuhan mengaruniakan kau padaku, tapi itu omong kosong. Aku mendapatkanmu dengan usahaku sendiri."

   Suaminya merasa yakin kembali.

   "Aku akan rindu padamu malam ini."

   Maisie duduk di tepi tempat tidur dan memiringkan tubuh di atas suaminya.

   "Aku juga."

   "Mmm."

   Setelah sesaat, mereka berbaring berdampingan. Tak lama kemudian, keduanya tertidur. Para pengelola City of Glasgow Bank harus dijebloskan ke penjara,"

   Tukas Maisie sebelum makan malam. -"Itu agak kejam,"

   Jawab Hugh. Tanggapan itu terdengar sok bagi Maisie.

   "Kejam?"

   Tanyanya.

   "Lebih kejam mana dibandingkan apa yang menimpa kaum pekerja yang kehilangan uang?"

   "Tapi tak ada manusia yang sempurna, tidak juga kaum pekerja itu,"

   Hugh bersikeras.

   "Kalau seorang tukang kayu melakukan kesalahan, dan rumah yang dibangunnya runtuh, haruskah dia dipenjarakan?"

   "Itu tidak sama!"

   "Mengapa tidak?"

   "Karena tukang bangunan itu dibayar tiga puluh shilling seminggu dan wajib mematuhi perintah mandor, sedangkan bankir mendapat ribuan, dan membenarkan tindakannya dengan berkata bahwa dia memikul tanggung jawab."

   "Semua benar. Tapi bankir itu juga manusia, dan punya anak-istri yang harus ditanggungnya."

   "Pembunuh juga punya keluarga, tapi kita menggantung mereka tanpa memandang anak-anak yang akan menjadi yatim-piatu."

   "Tapi kalau seseorang membunuh dengan tidak sengaja, misalnya sedang membidik kelinci, lalu tak sengaja menewaskan seseorang di balik semak-semak, kita malah tidak menjebloskannya ke penjara. Jadi, mengapa kita harus memenjarakan bankir yang menghilangkan uang orang lain?"

   "Supaya para bankir lain berhati-hati!"

   "Dan dengan logika yang sama, kita bisa saja menggantung orang yang membidik kelinci agar para penembak lain lebih berhati-hati."

   "Hugh, kau selalu tak mau kalah."

   "Bukan, bukan begitu. Mengapa kita memperlakukan para bankir yang sembrono lebih keras daripada penembak kelinci yang tidak hati-hati?"

   "Bedanya adalah tembakan yang sembarangan tidak membuat ribuan kaum pekerja jatuh ke lembah kemiskinan setiap beberapa tahun, lain halnya dengan para bankir yang tidak hati-hati melaksanakan tanggung jawabnya."

   Sampai di sini, Kingo berseru lembut.

   "Aku dengar-dengar para direktur City of Glasgow kemungkinan akan masuk penjara; Manajernya juga."

   Hugh berkata.

   "Aku yakin begitu."

   Maisie merasa ingin menjerit karena frustrasi.

   "Lalu mengapa kau selalu membantah ucapanku?"

   Hugh tersenyum.

   "Untuk mengetahui apakah kau bisa bersikap adil pada dirimu sendiri."

   Maisie ingat bahwa sejak dulu Hugh memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini padanya; dengan jengkel ia menggigit ujung lidahnya sendiri.

   Pribadinya yang meledak-ledak adalah bagian dari daya tariknya terhadap Kelompok Marlborough; itu sebabnya mereka menerimanya, meski latar belakangnya berbeda; tapi mereka akan bosan kalau ia meluapkan amarahnya terlalu lama.

   Suasana hatinya langsung berubah.

   "Tuan, Anda telah menghinaku,"

   Teriaknya. Kutantang Anda berduel!"

   "Dengan senjata apa wanita berduel?"

   Hugh tertawa.

   "Dengan jarum renda di waktu subuh."

   Mereka semua tertawa, kemudian seorang pelayan datang memberitahukan bahwa makan malam telah siap.

   Selalu ada delapan belas atau dua puluh orang yang mengitari meja makan panjang itu.

   Maisie sangat menyukai taplak meja yang mulus dan peralatan minum dari porselen, ratusan lilin yang tercermin pada gelas-gelas berkilauan, pakaian malam hitam putih yang rapi yang dikenakan para pria dan warna-warni berani serta perhiasan bernilai tinggi para wanitanya.

   Sampanye dihidangkan setiap malam, tapi minuman itu membuat Maisie cepat gemuk, jadi ia hanya mencicipi segelas dua gelas saja.

   Maisie duduk di sebelah Hugh.

   Sang duchess biasanya menempatkannya di sebelah Kingo, karena Kingo senang dengan wanita cantik, dan duchess itu tidak keberatan; tapi malam ini ternyata ia memutuskan untuk me-ragamkan susunan yang biasa.

   Tak seorang pun mengucapkan doa karena di lingkungan kelompok ini, agama dicadangkan untuk hari Minggu saja.

   Sup dihidangkan dan Maisie berbincang-bincang ceria dengan pria-pria di kiri-kanannya.

   Meskipun demikian, pikirannya menerawang kepada kakaknya.

   Danny yang malang! Begitu pintar, begitu besar rasa pengabdiannya, seorang pemimpin besar dan...

   begitu malang.

   Ia bertanya dalam hati, apakah kakaknya akan berhasil meraih ambisi baru untuk menjadi anggota Parlemen.

   Ia berharap demikian.

   Papa pasti bangga sekali.

   Hari ini, tidak seperti biasanya, latar belakangnya telah menerobos dengan jelas ke dalam hidup barunya.

   Mengherankan bila mengingat betapa kecil perbedaannya.

   Seperti dirinya, Danny kelihatannya tidak termasuk dalam masyarakat kelas tertentu.

   Danny mewakili kaum pekerja, pakaiannya seperti yang dikenakan golongan menengah, namun perilakunya hampir sama dengan Kingo dan teman-temannya; penuh percaya diri dan sedikit sombong.

   Mereka tidak bisa dengan mudah membedakan apakah sebenarnya ia anak muda dari golongan atas yang mengabdi bagi para pekerja, ataukah ia me-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY mang anak dari kalangan pekerja yang telah meningkatkan status sosialnya.

   Begitu pula dengan Maisie.

   Orang yang tidak terlalu tajam nalurinya dalam menentukan perbedaan kelas pun bisa melihat bahwa ia bukan berasal dari kalangan atas.

   Meskipun demikian, ia bisa memainkan peran itu dengan sangat baik; selain itu ia begitu cantik dan menawan, sehingga mereka tak bisa percaya desas-desus bahwa Solly mengambilnya dari sebuah ruang dansa.

   Kalau ada pertanyaan mengenai apakah ia bisa diterima oleh masyarakat London, hal itu telah terjawab ketika pangeran Wales, putra Ratu Victoria yang juga calon raja, mengakui dirinya "terpikat"

   Oleh Maisie dan mengiriminya sebuah kotak rokok dari emas dengan jepitan berlian.

   Pada waktu makanan dihidangkan silih berganti, Maisie semakin merasakan kehadiran Hugh di sisinya.

   Ia berusaha agar percakapan mereka ringan saja, dan dengan hati-hati ia berbicara paling tidak sama banyaknya dengan pria di sisi satunya; namun masa silam tampaknya bergayut di bahunya, menanti pengakuan, seperti pemohon doa yang lelah dan tabah.

   Ia dan Hugh telah bertemu tiga atau empat kali sejak pemuda itu pergi ke London, dan kini mereka telah bersama-sama selama dua hari di bawah atap yang sama, tapi belum membicarakan apa yang terjadi enam tahun yang lalu di kamar Hugh.

   Yang diingat Hugh adalah Maisie menghilang tanpa jejak, lalu muncul lagi sebagai Mrs.

   Solomon Greenbourne.

   Cepat atau lambat Maisie harus memberikan penjelasan pada Hugh.

   Ia khawatir jika mengungkit masa lalu, perasaan lama mereka akan bangkit kembali.

   Tapi kenyataan tetap harus diungkapkan, dan mungkin malam ini merupakan kesempatan terbaik, apalagi Solly sedang tidak ada di rumah.

   Ketika beberapa orang di sekitar mereka sedang berbicara riuh rendah.

   Maisie memutuskan bahwa ia harus berbicara sekarang.

   Ia berpaling ke arah Hugh dan tiba-tiba dikuasai oleh emosi.

   Ia mulai berbicara tiga atau empat kali dan tak mampu melanjutkan.

   Akhirnya ia berhasil melontarkan beberapa patah kata.

   "Aku... bisa menghancurkan kariermu."

   Kemudian ia berusaha keras tidak menangis, sehingga tak mampu lagi berkata-kata. Pemuda itu segera mengerti apa yang dibicarakannya.

   "Siapa yang mengatakan padamu bahwa kau bisa menghancurkan karierku?"

   Seandainya Hugh menaruh simpati, mungkin Maisie akan ambruk, namun untunglah ia agresif, dan itu memungkinkannya menjawab.

   "Bibimu Augusta."

   "Aku memang sudah curiga, dia terlibat secara tak langsung."

   "Tapi dia benar."

   "Aku tak percaya itu,"

   Kata Hugh, dan dengan cepat menjadi marah.

   "Kau tidak menghancurkan karier Solly."

   "Tenang. Solly belum pernah menjadi kambing hitam di lingkungan keluarga, tapi situasinya tetap pelik. Keluarganya masih membenciku."

   "Walaupun kau seorang Yahudi?"

   "Ya, Yahudi juga bisa menjadi snob seperti yang lainnya."

   Hugh belum mengerti alasan sebenarnya... bahwa Bertie bukan anak Solly.

   "Mengapa tidak kaukatakan saja padaku apa yang kaulakukan dan mengapa?"

   "Aku tak bisa."

   Kalau mengingat hari-hari menakutkan itu, ia serasa tercekat dan harus menarik napas dalam untuk menenangkan diri.

   "Sangat sulit mengucilkan diri seperti itu, dan itu melukai hatiku. Aku takkan bisa melakukannya seandainya aku harus mempertanggungjawabkannya."

   Hugh tidak berhenti mencecarnya.

   "Kau kan bisa menyuratiku."

   Suara Maisie menjadi perlahan, nyaris seperti bisikan.

   "Aku tidak bisa memaksakan diri menulis surat"

   Akhirnya Hugh tampak mengalah. Ia meneguk anggurnya dan memalingkan mata dari Maisie.

   "Menyedih-* kan sekali, tidak mengerti, tidak tahu apakah kau waktu itu masih hidup."

   Ia berbicara dengan keras, namun terlihat kenangan pahit di matanya.

   "Maaf,"

   Ujar Maisie lemah.

   "aku menyesal sekali telah melukai perasaanmu. Aku tidak bermaksud demikian. Aku ingin menyelamatkanmu dari penderitaan. Kulakukan ini demi cinta."

   Begitu mendengar dirinya sendiri mengucapkan kata cinta, ia menyesalinya.

   "Apakah kau mencintai Solly sekarang?"

   Sergap Hugh tiba-tiba.

   "Ya."

   "Kalian berdua tampaknya sangat rukun."

   "Cara hidup kami... tidak sulit bagi kami untuk merasa puas."

   Hugh masih marah.

   "Kau mendapatkan apa yang selalu kauinginkan."

   Ucapan itu agak keterlaluan, tapi Maisie merasa ia layak dicaci demikian, jadi ia hanya mengangguk.

   "Apa yang terjadi atas diri April?"

   Maisie bimbang. Pertanyaan ini agak terlalu dicari-cari.

   "Berarti kausamakan aku dengan April?"

   Tanyanya, tersinggung. Kemarahan Hugh reda. Ia tersenyum dan katanya, 'Tidak, kau sama sekali tidak seperti April, aku tahu pasti. Tapi aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Kau masih sering menemuinya?"

   "Ya... dengan sembunyi-sembunyi."

   April adalah bahan pembicaraan yang netral. membicarakannya akan menghindarkan mereka dari suasana emosional yang membahayakan ini. Maisie memutuskan untuk memuaskan rasa ingin tahu pemuda itu.

   "Kau kenal tempat bernama Nellie's?"' Hugh merendahkan suaranya.

   "Itu rumah bordil."

   Maisie tak mampu menahan diri untuk tidak bertanya.

   "Kau pernah ke sana?"

   Hugh tampak kikuk.

   "Ya, dulu sekali. Tapi berantakan."

   Maisie tidak heran; ia ingat betapa naif dan tidak berpengalaman Hugh yang berusia dua puluh tahun pada waktu itu.

   "Ya, April kini menjadi pemilik tempat itu."

   "Astaga! Bagaimana ceritanya?"

   "Mula-mula dia menjadi wanita simpanan seorang novelis terkenal dan tinggal di rumah kecil paling cantik di Clapham. Pengarang itu bosan padanya kurang-lebih ketika Nell sedang pikir-pikir untuk berhenti dari profesinya. Jadi, April menjual rumahnya dan membeli rumah bordil Nell."

   "Coba bayangkan,"

   Ujar Hugh.

   "Aku tak akan melupakan Nell. Dia wanita paling gemuk yang pernah kulihat."

   Tempat itu mendadak hening, dan kalimat Hugh terdengar oleh beberapa orang didekatnya. Terdengar tawa, dan seseorang berkata;

   "Siapa wanita gemuk ini?"

   Hugh hanya tersenyum dan tidak menyahut.

   Setelah itu mereka tidak lagi menyinggung bahan pembicaraan yang berbahaya, namun Maisie merasa lemah dan agak kehilangan pegangan, seolah-olah ia baru saja jatuh dan lecet.

   Setelah makan malam selesai dan para pria selesai mengisap cerutu, Kingo mengumumkan bahwa ia ingin berdansa.

   Karpet ruang duduk digulung dan seorang pelayan yang bisa memainkan musik polka pada piano dipanggil untuk memainkan musik.

   Maisie berdansa dengan setiap orang, kecuali Hugh.

   Tapi kemudian, agar tidak terlalu mencolok bahwa ia sengaja menghindar dari Hugh, dengan terpaksa ia berdansa juga dengan pemuda itu.

   Suasana hatinya kembali ke masa enam tahun yang lalu, di Cremorne Gardens.

   Hugh ternyata pedansa hebat.

   ia selalu bisa mengimbangi irama musik dan langkah kaki Maisie.

   Diam-diam Maisie mengakui bahwa dibanding Hugh, suaminya ternyata pedansa yang buruk.

   Setelah Hugh, Maisie berdansa dengan orang lain, namun kemudian para pria tidak lagi memintanya.

   Pada jam sebelas, ketika brendi dihidangkan, orang-orang sudah lebih santai.

   dasi putih dikendurkan, sebagian wanita mencopot sepatu, dan Maisie terus berdansa dengan Hugh, la tahu seharusnya ia merasa bersalah, namun perasaan itu tidak bertahan lama.

   Malam ini ia merasa bahagia, dan memutuskan akan menikmatinya.

   Ketika pelayan yang memainkan piano kelelahan, sang duchess meminta waktu'untuk menarik napas, dan para pelayan wanita disuruh bergegas mengambil mantel, sehingga mereka semua bisa berjalan-jalan di taman.

   Dalam kegelapan, Maisie menggamit lengan Hugh.

   "Seisi dunia tahu apa yang kulakukan selama enam tahun ini, tapi bagaimana denganmu?" * "Aku suka Amerika,"

   Kata pemuda itu.

   "Di sana tidak dikenal sistem kelas. Yang ada hanya yang kaya dan yang miskin, tapi tidak ada aristokrasi, tidak ada omong kosong tentang derajat dan protokol. Apa yang telah kaulakukan, kawin dengan Solly dan menjadi teman orang paling terhormat di negeri ini, agak tidak biasa di sini, dan bahkan aku yakin kau belum pernah menceritakan hal yang sesungguhnya mengenai asal-usulmu."

   "Kurasa mereka curiga... tapi kau benar, aku tak pernah mengakuinya."

   "Di Amerika, orang bisa menyombongkan asal-usulnya yang sederhana seperti halnya di negeri ini Kingo bisa menyombongkan nenek moyangnya yang berjuang dalam pertempuran Agincourt."

   Maisie lebih tertarik pada Hugh, bukan pada Amerika.

   "Kau belum menikah?"

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Belum."

   "Di Boston... adakah gadis yang kausukai?"

   "Sudah kucoba, Maisie,"

   Ucap pemuda itu. Tiba-tiba Maisie menyesal telah menanyakan hal itu, karena ia merasa jawabannya akan menghancurkan kebahagiaannya. Namun sudah terlambat, pertanyaan sudah telanjur .diajukan dan pemuda itu telah angkat bicara.

   "Banyak gadis cantik di Boston, menyenangkan dan cerdas, bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Aku tertarik pada beberapa orang dan mereka kelihatannya juga menyukaiku. Tapi jika sampai pada soal melamar atau tidak sama sekali, aku menyadari bahwa perasaanku tidak cukup dalam. Tidak seperti yang kurasakan terhadapmu. Yang kurasakan di sana bukan cinta."

   Kini ia telah mengungkapkannya.

   "Jangan teruskan,", bisik Maisie.

   "Dua atau tiga orang ibu marah padaku, lalu reputasiku disebarkan, dan gadis-gadis itu menjadi bosan. Mereka cukup baik terhadapku, tapi mereka tahu ada yang tidak beres denganku, aku tidak serius, aku bukanlah orang yang berniat menikah. Hugh Pilaster, bankir Inggris dan lelaki yang suka membuat gadis-gadis patah hati. Kalaupun ada gadis yang jatuh cinta padaku, meski dia tahu latar belakangku, aku tak akan memberinya harapan. Aku tak mau mematahkan hati orang. Aku tahu betul bagaimana rasanya patah hati."

   Wajah Maisie basah oleh air mata, dan ia bersyukur tangisnya terlindung oleh kegelapan.

   "Maaf,"

   Ucapnya, namun bisikannya begitu lembut, sehingga ia nyaris tidak mendengar suaranya sendiri.

   "Meskipun demikian, aku tahu masalahku sekarang. Kukira aku sudah lama tahu, tapi dua hari terakhir ini telah menghapuskan semua keraguanku."

   Mereka berdua tertinggal jauh di belakang, dan pemuda itu menghentikan langkah, menatap Maisie dalam-dalam. Maisie berkata.

   "Jangan ucapkan itu, Hugh, kumohon."

   "Aku masih mencintaimu. Itu saja yang ingin kusampaikan."

   Berakhirlah sudah, dan segalanya berantakan.

   "Kurasa kau juga masih mencintaiku,"

   Sambung Hugh tanpa ampun.

   "Bukankah begitu?"

   Maisie menatapnya. Terpantul di mata Hugh, ia bisa melihat lampu-lampu rumah di seberang lapangan rumput, namun wajah Hugh terlindung dalam bayangan. Pemuda itu memiringkan kepala dan mencium bibirnya, dan Maisie tidak memalingkan muka.

   "Air matamu asin,"

   Kata Hugh setelah sesaat berlalu.

   "Kau mencintaiku. Aku tahu itu."

   Ia mengambil saputangan terlipat dari sakunya dan menyentuh wajah Maisie dengan lembut, menyeka tetesan air mata dari pipinya. 1 Maisie merasa harus mengakhiri semua ini.

   "Kita harus menyusul yang lain,"

   Katanya.

   "Nanti orang membicarakan kita."

   Ia berpaling dan mulai melangkah, sehingga Hugh harus .memilih melepaskan lengannya atau pergi bersamanya. Ia pergi mengikuti Maisie.

   "Aku heran kenapa kau cemas kalau orang membicarakan kita,"

   Ujarnya.

   "Kelompokmu terkenal karerm tidak memedulikan hal-hal semacam itu."

   Maisie sebenarnya tidak memikirkan orang lain.

   Dirinya sendirilah yang dikhawatirkannya.

   Ia membuat Hugh berjalan lebih cepat hingga mereka bergabung kembali dengan para undangan lainnya, lalu ia melepaskan lengan pemuda itu dan bercakap-cakap dengan sang duchess.

   Diam-diam Maisie merasa terganggu oleh ucapan Hugh bahwa Kelompok Marlborough terkenal karena toleransinya.

   Itu memang benar, namun ia ingin Hugh tidak menggunakan ungkapan hal-hal semacam itu; ia tak yakin mengapa.

   Ketika mereka masuk kembali ke rumah, jam besar di dalam ruangan berdentang menunjukkan waktu tengah malam.

   Maisie tiba-tiba merasa terlepas dari kungkungan ketegangan hari itu.

   "Aku mau tidur,"

   Ia memberitahu.

   Maisie melihat sang duchess secara refleks melemparkan pandang pada Hugh, kemudian kepadanya, sambil mencoba menahan senyum.

   Ia jadi sadar, semua orang mengira Hugh akan tidur dengannya.

   Para wanita terhormat itu menaiki tangga bersama-sama, meninggalkan suami mereka yang akan bermain biliar dan menenggak sedikit minuman keras.

   Ketika mereka memberikan ciuman perpisahan padanya, Maisie melihat tatapan yang sama dalam mata setiap orang sorot kagum bercampur iri.—Maisie memasuki kamar tidurnya dan menutup pintu.

   Api batu bara meliuk-liuk di perapian dan beberapa lilin menyala di atas rak perapian dan meja rias.

   Di meja kecil di sisi tempat tidur diletakkan sepiring kue lapis dan sebotol sherry, kalau-kalau ia merasa lapar di waktu malam.

   Ia tak pernah menyentuh makanan ringan itu, tapi staf yang terlatih baik di Kingsbridge Manor selalu meletakkan sebuah baki di samping tempat tidur.

   Ia mulai melepaskan pakaiannya.

   Mereka semua mungkin salah; barangkali Hugh tidak akan mendatanginya malam ini.

   Pikiran itu menusuknya, terasa pedih, dan ia menyadari bahwa ia mendambakan pemuda itu datang, sehingga ia dapat memeluk dan menciumnya, benar-benar menciumnya, tanpa rasa bersalah seperti dialaminya di taman, tapi dengan bernafsu dan tanpa malu-malu.

   Perasaan itu membawa kembali kenangan pada suatu malam di pacuan Goodwood enam tahun silam, tempat tidur sempit di rumah bibi Hugh, dan ekspresi di wajahnya ketika Maisie menanggalkan pakaiannya.

   Maisie memandang tubuhnya di cermin panjang itu.

   Hugh akan memperhatikan bagaimana tubuh itu telah berubah.

   Semasa gadis, ia belum perlu menggunakan korset; tubuhnya memang ramping.

   Tapi pinggangnya tak pernah kembali seperti semula setelah melahirkan.

   Ia mendengar para pria menaiki tangga dengan lang -kah mengentak berat sambil menertawakan sebuah lelucon.

   Hugh benar.

   tak seorang pun akan geger oleh sedikit perbuatan serong pada pesta di rumah di pedalaman.

   Apakah mereka tidak merasa berkhianat pada teman mereka Solly, pikirnya mencemooh.

   Kemudian ia tersentak, bagai terkena tamparan di muka.

   Mestinya dirinyalah yang merasa telah berkhianat.

   Ia telah melupakan Solly sepanjang malam ini, namun kini bayangan suaminya datang kembali padanya.

   Solly yang ramah dan tak pernah marah, Solly yang baik dan dermawan, laki-laki yang mencintainya dan menyayangi Bertie, walau ia tahu Bertie anak orang lain.

   Baru beberapa jam ia meninggalkan rumah, istrinya sudah akan mempersilakan seorang lelaki lain naik ke ranjangnya.

   Wanita macam apa aku ini? pikir Maisie.

   Mendadak ia pergi ke pintu dan menguncinya.

   Ia kini sadar, mengapa ia tidak menyukai ucapan Hugh.

   Kalanganmu terkenal karena tidak memedulikan hal-hal semacam itu.

   Ini membuat perasaannya terhadap Hugh jadi terasa dangkal, seolah ia hanya salah satu pria yang bisa diajak bermain api, atau berselingkuh di ranjang sehingga bisa menjadi objek gosip.

   Solly tidak layak dikhianati oleh suatu affair sesaat.

   Tapi aku benar-benar mendambakan Hugh, pikirnya.

   Pikiran untuk membatalkan bercinta dengan Hugh malam ini hampir membuatnya menangis.

   Dalam bayangannya muncul kembali wajah pemuda itu dengan seringai polosnya, dadanya yang kurus, matanya yang biru, dan kulitnya yang putih halus; ia juga teringat ekspresi pemuda itu ketika melihat tubuhnya, ekspresi bahagia campur heran, gairah campur senang; sulit rasanya menolak pemuda itu malam ini.

   Terdengar ketukan lembut di pintu.

   Maisie berdiri telanjang di tengah kamar, kaku dan bisu.

   Gagang pintu berputar dan pintu didorong, namun tentu saja pintu tidak mau membuka.

   Maisie mendengar namanya dipanggil dengan suara rendah.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia beranjak ke pintu dan meletakkan tangannya pada kunci pintu.

   "Maisie!"

   Pemuda itu memanggilnya lembut.

   "Ini aku, Hugh."

   Maisie begitu mendambakannya, sehingga desah suaranya saja sudah mampu merangsang birahinya. Ia meletakkan jarinya di mulut dan menggigitnya keras-keras, namun rasa perih itu tak mampu membunuh birahinya. Pemuda itu mengetuk pintu lagi.

   "Maisie! Bolehkah aku masuk?"

   Maisie menyandarkan punggung ke dinding dan air mata mengalir deras membasahi pipinya, menetes jatuh dari dagu ke payudaranya.

   "Paling tidak, mari kita berbincang-bincang!"

   Namun ia tahu, seandainya ia membuka pintu, mereka tidak akan berbincang-bincang. Ia akan memeluk Hugh dan mereka akan terempas ke lantai dengan gairah menggebu.

   "Katakanlah sesuatu. Kau ada di situ, aku yakin."

   Maisie berdiri tak bergerak, menangis tanpa suara.

   "Boleh aku masuk?"

   Pinta pemuda itu.

   "Boleh aku masuk?"

   Setelah beberapa saat, ia pergi.

   Maisie tidur tak menentu dan terbangun pagi-pagi sekali, namun ketika hari mulai terang, perlahan-lahan semangatnya mulai bangkit.

   Sebelum para tamu lain bangun, ia berjalan menyusuri sayap rumah tempat kamar anak-anak berada.

   Di luar pintu kamar makan, ia berhenti.

   Ia bukan tamu yang pertama bangun rupanya.

   Ia bisa mendengar suara laki-laki di dalam.

   Ia menghentikan langkah dan mendengarkan.

   Suara Hugh.

   Pemuda itu berkata.

   "Dan tepat pada saat itu, sang raksasa bangun."

   Terdengar jerit Bertie yang kekanak-kanakan, karena ketakutan bercampur senang. Hugh melanjutkan.

   "Jack menuruni batang kacang secepat kakinya bisa membawanya, tapi raksasa itu masih mengejarnya."

   Putri Kingo, Anne, berkata dengan suara anak tujuh tahun yang telah mengerti.

   "Bertie bersembunyi di belakang kursinya karena takut. Aku tidak takut."

   Maisie ingin bersembunyi seperti Bertie.

   Ia berbalik dan mulai melangkah kembali ke kamarnya, namun ia berhenti.

   Ia harus menghadapi Hugh suatu waktu hari ini, dan kamar anak-anak mungkin tempat yang paling gampang.

   Ia menenangkan diri dan melangkah masuk.

   -Hugh memukau ketiga anak itu.

   Bertie nyaris tidak melihat ibunya masuk.

   Hugh menengadah memandang Maisie dengan perasaan terluka di matanya.

   "Teruskan, jangan berhenti,"

   Ujar Maisie. Ia duduk dekat Bertie dan memeluknya. Hugh mencurahkan perhatiannya kembali pada anak-anak.

   "Dan menurut kalian, apa yang akan dilakukan Jack?"

   "Aku tahu,"

   Ujar Anne.

   "Dia menemukan sebilah kampak."

   "Benar." . Maisie masih duduk di tempatnya sambil memeluk Bertie yang sedang membelalakkan kedua matanya ke arah pria yang tak lain adalah ayah kandungnya. Jika aku bisa bertahan seperti saat ini, berarti aku bisa melakukan apa saja, pikir Maisie. Hugh berkata.

   "Dan sementara sang raksasa masih setengah jalan menuruni batang kacang, Jack menebang batang kacang itu! Sang raksasa jatuh langsung ke bumi... dan tewas. Jack dan ibunya hidup bahagia selama-lamanya."

   Bertie berkata.

   "Ulangi lagi." [IV] KEDUTAAN Kordoba sedang sibuk. Besok hari kemerdekaan Kordoba dan akan diadakan resepsi besar di siang hari bagi anggota parlemen, pejabat departemen luar negeri, diplomat, dan wartawan. Pagi ini Micky Miranda menerima sebuah nota bernada keras dari menteri luar negeri Inggris mengenai dua turis Inggris yang dibunuh sewaktu menjelajahi Pegunungan Andes. Tapi ketika Edward Pilaster menghubunginya, Micky Miranda menyingkirkan segalanya, karena apa yang harus disampaikannya pada Edward jauh lebih penting daripada resepsi ataupun surat itu. Ia memerlukan setengah juta pound, dan ia berharap akan memperoleh dana itu dari Edward. Micky sudah setahun menjadi duta besar Kordoba. Mendapatkan pekerjaan itu membutuhkan semua kelicik* annya, tapi keluarganya juga mengeluarkan sejumlah besar uang untuk menyogok di tanah airnya. Ia telah berjanji pada Papa bahwa semua uang itu. akan "kembali pada keluarga dan ia harus menepatinya. Lebih baik ia mati daripada mengecewakan ayahnya. Ia membawa Edward memasuki ruang kerjanya yang megah di lantai pertama, yang didominasi oleh bendera Kordoba. Ia melangkah ke meja besar dan menggelar selembar peta Kordoba, memberi pemberat, pada sudut-sudut peta itu dengan tempat cerutunya, botol sherry, sebuah gelas, dan topi abu-abu milik Edward. Ia bimbang. Baru kali ini ia meminta seseorang meminjaminya uang setengah juta pound.

   "Ini Provinsi Santamaria, di utara Kordoba,"

   Ia mulai menjelaskan.

   "Aku tahu geografi Kordoba,"

   Kata Edward kesal.

   "Tentu saja kau tahu,"

   Ujar Micky dengan suara menenangkan.

   Hal itu benar.

   Pilasters Bank melakukan transaksi dalam jumlah besar dengan Kordoba, mendanai ekspor nitratnya, daging asin dan perak, dan mengimpor peralatan tambang, senjata api, serta barang mewah.

   Edward menangani semua bisnis itu, berkat bantuan Micky yang sejak menjadi atase dan kemudian duta besar, menekan siapa pun yang tidak menggunakan jasa Pilasters Bank untuk mendanai perdagangan mereka dengan negeri ini.

   Akibatnya Edward kini dipandang sebagai pakar London yang menonjol tentang Kordoba.

   "Tentu saja kau tahu,"

   Ujar Micky.

   "Dan kau tahu semua nitrat yang ditambang oleh ayahku diangkut dengan kereta keledai dari Santamaria ke Palma. Tapi mungkin kau tidak menyadari bahwa sebenarnya bisa dibangun jalan kereta api sepanjang rute itu."

   "Bagaimana kau bisa yakin? Membangun jalan kereta api bukanlah pekerjaan mudah."

   Micky mengambil sebuah buku ber

   Jilid dari mejanya.

   "Ayahku sudah menugaskan seorang insinyur Skotlandia, Gordon Halfpenny, untuk melakukan survei. Semua perinciannya ada di sini, termasuk biayanya. Cobalah lihat."

   "Berapa?"

   Tanya Edward.

   "Lima ratus ribu pound."

   Edward membalik-balik halaman laporan tersebut.

   "Bagaimana situasi politik di sana."

   Micky melihat sekilas foto besar Presiden Garcia dengan seragam Panglima Tertinggi. Setiap kali memandang foto itu, ia berkhayal pada suatu hari potretnya sendiri akan mengisi tempat di dinding itu.

   "Presiden menyukai gagasan ini. Dia yakin hal ini akan memperkuat cengkeraman militernya pada daerah pinggiran negeri itu."

   Garcia percaya pada Papa semenjak Papa menjadi gubernur Provinsi Santamaria.

   dengan bantuan dua ribu pucuk senapan berlaras pendek merek Westley-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Richards buatan Birmingham.

   Keluarga besar Miranda telah menjadi pendukung gigih dan sekutu dekat Presiden.

   Garcia tidak mencurigai motif Papa yang menginginkan jalan kereta api ke ibukota.

   Jalan ini akan memungkinkan keluarga Miranda menyerang ibukota dalam waktu dua hari, bukannya dua minggu.

   '"Bagaimana pembayarannya?"

   Tanya Edward.

   "Kita akan menghimpun dana di bursa London,"

   Kata Micky dengan santai.

   "Malah kupikir Pilasters Bank mungkin ingin memiliki bisnis itu."

   Ia mencoba bernapas dengan perlahan-lahan dan normal.

   Ini merupakan klimaks dari upayanya memperalat keluarga Pilaster dengan susah payah dan dalam waktu lama.

   ini merupakan imbalan bagi persiapan yang dilakukannya selama bertahun-tahun.

   Namun Edward menggelengkan kepala dan berkata.

   "Kukira tidak demikian."

   Micky merasa heran dan kesal. Ia menduga sedikitnya Edward akan setuju untuk mempertimbangkannya.

   "Tapi kau menghimpun dana untuk kereta api selama ini. Kukira kau akan senang meraih kesempatan ini!"

   "Kordoba tidak sama dengan Kanada dan Rusia, kata Edward.

   "Para investor tidak menyukai rancangan politikmu, di mana setiap Caudillo provinsi memiliki pasukan pribadi sendiri. Itu kuno."

   Micky belum berpikir ke arah itu.

   "Kau menjual saham tambang perak milik Papa."

   Itu terjadi tiga tahun yang lalu dan telah menghasilkan harta tambahan sebesar seratus ribu pound yang sangat bermanfaat bagi Papa.

   "Tepat! Ternyata itu satu-satunya tambang perak di Amerika Latin yang berjuang untuk memperoleh keuntungan."

   Sesungguhnya tambang itu sangat kaya, namun Papa menggerogoti keuntungannya dan tidak menyisakan apa-apa bagi pemegang saham.

   Seandainya saja ia me -nyisakan sedikit demi kehormatan! Tapi Papa tidak pernah mau mendengarkan nasihat seperti itu.

   Micky melawan perasaan paniknya, tapi emosinya pasti terlihat jelas di wajahnya, karena Edward berkata dengan cemas.

   "Ah, sobat, apakah itu betul-betul penting? Kau tampak berang."

   "Kukatakan sejujurnya, hal ini sangat berarti bagi keluargaku,"

   Kata Micky. Ia merasa Edward pasti mampu menghimpun dana itu kalau ia benar-benar mau; hal ini tidak mustahil.

   "Jika bank dengan prestise keluarga Pilaster mendukung proyek ini, orang akan berkesimpulan bahwa Kordoba merupakan tempat yang baik untuk melakukan investasi."

   "Benar,"

   Ujar Edward.

   "Jika salah satu mitra mengajukan gagasan tersebut dan benar-benar menggolkannya. Tapi aku bukan seorang mitra."

   Micky menyadari bahwa ia telah meremehkan betapa sulitnya menghimpun jsetengah juta pound. Namun ia tidak patah semangat. Ia akan menemukan suatu caŤa.

   "Aku harus memikirkannya,"

   Katanya dengan kegembiraan dipaksakan. Edward menghabiskan sherry-nyn dan berdiri.

   "Bagaimana kalau kita makan siang?"

   Malam itu Micky dan keluarga Pilaster pergi menonton pertunjukan HMS Pinafore di Opera Comique.

   Micky tiba di sana beberapa menit lebih awal.

   Sementara menunggu di ruang masuk, ia bertemu dengan keluarga Bodwin yang selalu mengekor keluarga Pilaster.

   Albert Bodwin adalah pengacara yang banyak melakukan pekerjaan untuk bank milik keluarga itu, dan Augusta pernah mencoba dengan gigih untuk meminta putrinya, Rachel Bodwin.

   kawin dengan Hugh.

   Pikiran Micky terpusat pada masalah menghimpun dana untuk membangun jalan kereta api, namun ia bermain api dengan Rachel Bodwin secara otomatis, sebagaimana biasa dilakukannya dengan banyak gadis dan wanita bersuami.

   "Dan bagaimana perkembangan gerakan emansipasi wanita, Miss Bodwin?"

   Pipi ibu Rachel memerah dan katanya.

   "Saya ingin Anda tidak membicarakan masalah ini Senor Miranda."

   "Kalau begitu, aku tidak akan melakukannya, Mrs. Bodwin, karena keinginan Anda adalah undang-undang bagiku."

   Ia berpaling kembali pada Rachel.

   Gadis itu tidak cantik; kedua matanya terlalu dekat, namun ia memiliki tubuh indah, betis panjang, pinggang ramping, dan payudara bagus.

   Tiba-tiba Micky membayangkan Rachel terbaring telanjang di tempat tidur, kedua tangannya terikat pada bagian kepala tempat tidur.

   Ia menikmati gambaran itu.

   Ketika mengalihkan pandang dari payudara gadis itu, mata mereka bertemu pandang.

   Kebanyakan gadis akan tersipu dan berpaling, namun gadis ini memandangnya tanpa malu-malu dan menyunggingkan senyum.

   Akhirnya Mickylah yang merasa kikuk.

   Sambil mencari-cari bahan pembicaraan, ia berkata.

   "Tahukah Anda, teman lama kita Hugh Pilaster telah kembali dari Amerika?"

   "Ya, aku melihatnya di Whitehaven House. Anda berada di sana."

   "O ya, aku lupa."

   "Aku selalu menyukai Hugh."

   Tapi kau tidak ingin mengawininya, pikir Micky.

   Rachel sudah bertahun-tahun "tidak laku", dan dia mulai tampak seperti barang basi, menurut pikiran jahat Micky.

   Namun instingnya mengatakan bahwa gadis itu bisa sangat panas di tempat tidur.

   Masalahnya, dia terlalu kuat.

   Dia membuat para lelaki takut.

   Sekarang dia pasti mulai putus asa, karena usianya sudah mendekati tiga puluh dan masih lajang.

   Dia pasti bertanya-tanya, apakah dia sudah ditakdirkan menjadi seorang gadis tua.

   Sebagian wanita mungkin akan menerima hal itu dengan pasrah, tapi Rachel tidak, menurut Micky Gadis itu tertarik padanya, tapi hampir setiap laki -laki dan perempuan, tua-muda, menyukai Micky.

   Ia senang bila orang-orang kaya dan berpengaruh tertarik padanya, karena hal itu memberinya kekuasaan; namun Rachel bukan orang penting dan minatnya terhadap Micky tidak ada artinya.

   Keluarga Pilaster tiba dan Micky mencurahkan perhatian pada Augusta.

   Wanita itu mengenakan gaun merah muda manyala.

   "Anda tampak... luar biasa Mrs. Pilaster,"

   Katanya dengan suara rendah. Augusta"

   Tersenyum senang.

   K*edua keluarga itu berbincang-bincang selama beberapa menit, kemudian tiba waktunya untuk mengambil tempat duduk masing-masing.

   Keluarga Bodwin duduk di deretan kursi biasa, keluarga Pilaster di sebuah boks.

   Ketika berpisah, Rachel memberi Micky sebuah senyum hangat dan berkata perlahan.

   "Mungkin kita akan bertemu nanti, Senor Miranda."

   Ayahnya kebetulan mendengar dan tampak tidak setuju ketika ia~ menggamit lengan putrinya dan bergegas mengajak pergi, tapi Mrs.

   Bodwin tersenyum pada Micky ketika mereka berangkat..

   Mr.

   Bodwin tidak ingin anaknya jatuh hati pada orang asing, pikir-Micky, namun Mrs.

   Bodwin tidak begitu pemilih lagi.

   Micky mencemaskan pinjaman untuk membangun jalan kereta api selama babak pertama opera.

   Tidak terlintas di benaknya bahwa tatanan politik yang primitif di Kordoba, yang telah memungkinkan keluarga Miranda merambah jalan ke arah kekayaan dan kekuasaan mungkin dianggap penuh risiko oleh investor.

   Itu mungkin berarti ia tidak dapat mengupayakan proyek jalan kereta apinya dibiayai oleh salah satu bank lain; Satu-satunya jalan untuk menghimpun dana adalah dengan menggunakan pengaruhnya pada keluarga Pilaster.

   Dan satu-satunya orang yang dapat dipengaruhi adalah Edward dan Augusta.

   Pada jeda pertama, ia hanya berdua dengan Augusta di dalam boks, dan ia mulai beraksi karena tahu wanita SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY itu menghargai pendekatan langsung.

   '"Kapan Edward dijadikan mitra di bank?"

   "Itu masalah yang menyakitkan,"

   Kata Augusta lesu.

   "Mengapa kau bertanya?"

   Micky menceritakan secara singkat tentang jalan kereta api itu, tanpa mengungkapkan tujuan jangka panjang yang disusun Papa untuk menyerang ibukota.

   "Aku tak bisa memperoleh uang dari bank lain. Tak satu pun bank tahu tentang Kordoba, karena aku menjauhkan mereka demi kepentingan Edward."

   Sebenarnya itu bukanlah alasan sesungguhnya, namun Augusta tidak mengerti bisnis.

   "Tapi proyek ini akan sukses besar jika Edward dapat menggolkannya."

   Augusta mengangguk.

   "Suamiku berjanji akan menjadikan Edward mitra kalau dia mau menikah,"

   Katanya. Micky terkejut. Edward menikah! Gagasan mencengangkan... tapi mengapa tidak?"

   Augusta melanjutkan.

   "Kami bahkan telah menyetujui seorang calon mempelai. Emily Maple, putri Deacon Maple."

   "Seperti apa dia?"

   "Manis, masih muda, baru sembilan belas, dan bijak. Kedua orangtuanya menyetujui perjodohan itu."

   Kedengarannya cocok untuk Edward, pikir Micky. Edward menyukai gadis-gadis cantik, namun ia membutuhkan orang yang dapat didominasinya.

   "Jadi, apa hambatannya?"

   Augusta merengut.

   "Aku tidak tahu. Tapi Edward tidak pernah mau melakukan pendekatan."

   Micky tidak heran mendengarnya.

   Ia tak bisa membayangkan Edward menikah, tak peduli bagaimanapun serasinya gadis itu.

   Apa yang akan diperolehnya dari perkawinan? la tidak ingin memiliki anak, namun kini ada insentif.

   kemitraan.

   Walaupun Edward tidak peduli hal itu, Micky peduli.

   "Apa yang bisa kita lakukan untuk mendorongnya?"

   Katanya. Augusta melemparkan pandangan tajam ke arah Micky dan berkata.

   "Aku punya perasaan dia mau kawin kalau kau juga kawin."

   Micky berpaling. Augusta sangat perseptif. Ia tidak tahu apa yang terjadi di kamar-kamar pribadi rumah bordil Nellie, namun ia memiliki intuisi seorang ibu. Micky memang merasa kalau ia kawin lebih dulu, Edward mungkin lebih bersedia kawin.

   "Aku, kawin?"

   Ujarnya dengan sedikit tawa.

   Tentu saja ia akan kawin, cepat atau lambat setiap orang melakukannya namun ia belum melihat alasan — —untuk berbuat demikian.

   Tapi jika ini merupakan harga untuk mendanai proyek jalan kereta api...

   Tidak sekadar jalan kereta api, pikirnya.

   Satu pinjaman yang berhasil akan berlanjut dengan pinjaman lain.

   Negeri-negeri seperti Rusia dan Kanada setiap tahun menghimpun pinjaman-pinjaman baru di Bursa London...

   untuk jalan kereta api, pelabuhan, perusahaan pemasok air, dan dana pemerintah umum.

   Mengapa Kordoba tidak melakukan hal serupa? Micky akan menerima komisi, baik resmi dan tidak resmi atas setiap penny yang dihimpun; namun yang lebih penting, uang tersebut akan disalurkan demi kepentingan keluarganya di tanah air, untuk membuat mereka semakin kaya dan semakin berkuasa.

   Dan alternatifnya tak terpikirkan.

   Seandainya ia mengecewakan ayahnya dalam hal ini, ia tak akan dimaafkan.

   Untuk menghindari amarah ayahnya, ia kawin lebih dari tiga kali.

   Ia kembali menatap Augusta.

   Mereka tak pernah membicarakan apa yang terjadi di kamar tidur Old Seth pada bulan September 1873, namun Augusta tak mungkin melupakannya.

   Yang terjadi waktu itu adalah seks secara tak langsung, pengkhianatan tanpa berbuat serong, ada namun juga tidak ada.

   Mereka berpakaian lengkap, dan hal itu hanya berlangsung beberapa detik, namun lebih menggairahkan, menyentuh, dan tak terlupakan daripada apa pun yang pernah dilakukan Micky dengan para pelacur di rumah bordil Nellie, dan ia yakin Augusta pun amat terkesan.

   Bagaimana reaksinya membayangkan Micky menikah? Setengah wanita di London akan cemburu, namun begitu sulit mengetahui apa yang dirasakan Augusta di hatinya.

   Ia memutuskan untuk bertanya langsung padanya.

   Ia menatap mata wanita itu dan berkata.

   "Kau ingin aku kawin?"

   Augusta bimbang. Sesaat wajahnya menampakkan penyesalan. Kemudian air mukanya mengeras dan ia berkata tegas.

   "Ya."

   Micky menatapnya. Augusta membalas dengan tajam. Tahulah Micky bahwa wanita itu sungguh-sungguh dengan ucapannya, dan ia merasa kecewa. Augusta berkata.

   "Hal ini harus segera diselesaikan. Emily Maple dan orangtuanya tidak mau dibuat terkatung-katung tanpa kepastian."

   Dengan kata lain, aku sebaiknya cepat-cepat kawin, pikir Micky.

   Kalau begitu, baiklah.

   Joseph dan Edward kembali ke boks dan percakapan beralih ke masalah-masalah lain.

   Selama babak selanjutnya, Micky memikirkan Edward.

   Mereka telah lima belas tahun bersahabat.

   Edward lemah dan selalu merasa tidak aman, ingin menyenangkan orang lain, namun tanpa inisiatif atau semangat.

   Sepanjang hidupnya ia mengharapkan orang lain mendorong dan mendukungnya, dan Micky telah memasok kebutuhan tersebut semenjak ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah bahasa Latin Edward di sekolah.

   Kini Edward perlu didorong agar mau kawin, demi kariernya...

   dan demi Micky.

   Pada jeda kedua.

   Micky berkata pada Augusta.

   "Ed-, ward membutuhkan seseorang untuk membantunya di bank... seorang karyawan administrasi yang akan setia padanya dan menjaga kepentingan-kepentingannya."

   Augusta berpikir sebentar.

   "Benar sekali,"

   Katanya.

   "Seseorang yang kita kenal dan bisa kita percaya."

   "Tepat."

   Augusta berkata.

   "Siapakah yang kauusulkan?"

   "Aku punya seorang sepupu yang bekerja di Kedutaan. Namanya Simon Oliver. Sebenarnya namanya Olivera, namun dia menginggriskannya. Dia anak yang pintar dan betul-betul bisa dipercaya."

   "Ajak dia datang minum teh,"

   Ujar Augusta.

   "Kalau aku menyukai penampilannya, aku akan bicara dengan Joseph."

   "Baiklah."

   Babak terakhir mulai.

   Ia dan Augusta sering sependapat, pikir Micky.

   Augusta-lah yang seharunya dikawininya.

   Mereka berdua dapat menaklukkan dunia.

   Tapi ia membuang jauh-jauh pikiran fantastis itu dari benaknya.

   Siapa yang akan dikawininya? Calon mempelai tidak boleh merupakan ahli waris, karena ia tidak punya apa-apa untuk ditawarkan pada gadis seperti itu.

   Ada beberapa ahli waris yang dengan mudah dapat dijeratnya, tapi memenangkan hati mereka baru permulaannya.

   akan ada pertempuran berkepanjangan dengan mertua, dan tidak ada jaminan hasil yang tepat.

   Tidak, ia memerlukan seorang gadis dengan latar belakang sederhana, seseorang yang menyukainya dengan tulus.

   Matanya menerawang malas ke sekitar deretan kursi teater dan berhenti pada sosok Rachel Bodwin.—Gadis itu pas sekali untuknya.

   Rachel sudah setengah jatuh hati padanya dan sudah putus asa mencari suami.

   Ayahnya tidak menyukai Micky, tapi ibunya sebaliknya.

   Ibu dan anak bisa mengatasi tentangan sang ayah.

   Tapi yang paling penting.

   gadis itu membangkitkan gairahnya.

   Gadis itu pasti masih lugu dan takut-takut.

   Micky akan melakukan hal-hal yang membuatnya bingung dan jijik.

   Gadis itu akan melawan; itu bahkan lebih baik.

   Pada akhirnya, seorang istri harus mengalah pada tuntutan seksual suami, betapapun aneh dan menjijikkannya, karena gadis itu tak punya siapa-siapa untuk mengadu.

   Sekali lagi ia mengkhayalkan gadis itu terikat di ranjang, menggeliat, entah karena sakit atau nafsu atau keduanya....

   Pertunjukan berakhir.

   Ketika meninggalkan teater, Micky mencari keluarga Bodwin.

   Mereka bertemu di trotoar, ketika keluarga Pilaster sedang menunggu kereta kuda mereka dan Albert Bodwin tengah memanggil sebuah kereta.

   Micky melemparkan senyum memikat pada Mrs.

   Bodwin dan berkata.

   "Bolehkah saya menerima kehormatan untuk mengunjungi Anda besok siang?"

   Wanita itu jelas terkejut.

   "Itu merupakan kehormatan bagi saya, Senor Miranda."

   "Anda baik sekali."

   Ia berjabat tangan dengan Rachel, menatap matanya, dan berkata.

   "Sampai besok."

   "Kutunggu,"

   Kata gadis itu. Kereta kuda Augusta tiba dan Micky membuka pintunya.

   "Bagaimana pendapatmu tentang dia?"

   Gumamnya.

   "Matanya terlalu berdekatan,"

   Kata Augusta sambil memasuki kereta. Ia duduk dan berkata pada pemuda itu melalui pintu yang terbuka.

   "Selain itu, dia mirip aku."

   Wanita itu menutup pintu dan kereta kuda bergerak menjauh.

   Sejam kemudian, Micky dan Edward tengah menikmati makan malam di kamar pribadi rumah bordil Nellie's.

   Selain meja, di kamar itu terdapat sebuah sofa, lemari pakaian, tempat cuci muka, dan tempat tidur besar.

   April Tilsley telah mendekorasi ulang seluruh tempat tersebut dan kamar ini dilengkapi bahan kain yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sedang mode dari toko William Morris, dan seperangkat gambar berbingkai yang melukiskan orang-orang sedang bercinta dengan berbagai buah dan sayur.

   Namun karena sifat usaha ini pengunjung menjadi mabuk dan berperilaku buruk; akibatnya kertas dinding sudah robek-robek, tirainya bernoda, dan karpetnya koyak.

   Meskipun demikian, cahaya lilin yang temaram menyembunyikan kekumuhan kamar itu serta membuat para wanita di situ kelihatan lebih muda.

   Micky dan Edward sedang dilayani oleh dua gadis favorit mereka, Muriel dan Lily, yang mengenakan sepatu sutra merah dan topi besar penuh hiasan, namun tanpa busana.

   Dari luar kamar terdengar bunyi nyanyian serak dan pertengkaran sengit, tapi di ruangan ini suasana tenang, diselingi bunyi gemeretak api batu bara dan gumam kata-kata kedua gadis itu ketika mereka menghidangkan makanan.

   Suasana kamar mengendurkan ketegangan Micky dan mengurangi kecemasannya tentang pinjaman untuk proyek jalan kereta api.

   Setidaknya ia mempunyai rencana.

   Ia cuma bisa mencoba-coba.

   Pandangannya jatuh ke seberang meja, pada Edward.

   Persahabatan mereka telah membuahkan hasil selama ini, pikirnya.

   Ada saat-saat ia merasa hampir menyukai Edward.

   Ketergantungan Edward menjemukan, namun itulah yang membuat Micky dapat menguasainya.

   Ia telah menolong Edward, Edward telah menolongnya, dan bersama-sama mereka menikmati semua kemaksiatan kota paling canggih di dunia.

   Ketika mereka selesai makan, Micky menuangkan segelas anggur lagi dan berkata.

   "Aku bermaksud mengawini Rachel Bodwin."

   Muriel dan Lily tertawa cekikikan. Edward menatapnya beberapa lama, lalu berkata.

   "Aku tak percaya."

   Micky angkat bahu.

   "Terserah. Aku tidak main-main."

   "Kau sungguh-sungguh?"

   "Ya."

   "Babi kau."

   Micky memandang temannya dengan heran.

   "Apa kauhilang? Salahkah kalau aku kawin?"

   Edward bangkit dan mencondongkan tubuhnya dengan agresif.

   "Kau babi sialan, Miranda, itu saja yang bisa kuucapkan."

   Micky sama sekali tidak menduga reaksi seperti itu.

   "Kau kerasukan, ya?"

   Katanya.

   "Apa kau tidak bermaksud kawin dengan Emily Maple?"

   "Siapa bilang begitu?"

   "Ibumu."

   "Aku tidak akan kawin dengan siapapun."

   "Mengapa tidak? Umurmu sudah dua puluh sembilan tahun. Juga umurku. Sudah waktunya membangun rumah tangga terhormat."

   "Persetan dengan rumah tangga terhormat!"

   Edward berkoar dan menjungkirbalikkan meja. Micky meloncat mundur ketika piring dan cangkir terempas dan anggur tumpah. Kedua wanita bugil itu merunduk ketakutan. 'Tenang!"

   Teriak Micky.

   "Walaupun kita bersahabat sudah puluhan tahun!"

   Edward menggelegak.

   "Dan selama ini aku selalu berbuat baik padamu!"

   Micky tak habis pikir melihat kemurkaan Edward. Ia sadar bahwa ia harus menenangkan temannya. Adegan seperti ini bisa berdampak buruk atas rencana perkawinannya, dan itu berlawanan dengan keinginan Micky.

   "Perkawinan bukanlah bencana,"

   Katanya dengan nada meyakinkan.

   "Kawin atau tidak, tak ada bedanya bagi kita."

   "Pasti ada bedanya!"

   "Tidak ada bedanya. Kita tetap datang ke sini."

   Edward kelihatan curiga. Dengan suara lebih perlahan ia bertanya.

   "Benar?"

   "Ya. Kita tetap pergi ke klub. Justru itulah gunanya klub. Laki-laki pergi ke klub untuk menjauhi istri."

   "Kurasa begitu."

   Pintu terbuka dan April bergegas masuk.

   "Ada apa ribut-ribut?"

   Tanyanya.

   "Edward, kau memecahkan piring-cangkir keramikku?"

   "Maaf, April. Akan kuganti."

   Micky berkata kepada April.

   "Kami baru saja menerangkan kepada Edward bahwa dia bisa datang ke sini sesudah kawin."

   "Syukurlah. Kuharap demikian,"

   Kata April.

   "Kalau laki-laki yang sudah berkeluarga tidak datang ke sini, bangkrut aku."

   Ia berpaling ke arah pintu dan berteriak.

   "Sidney! Ambil sapu."

   Kemarahan Edward cepat reda, dan hal itu melegakan Micky. Micky berkata.

   "Pada hari-hari pertama kawin, mungkin kita harus tinggal di rumah, dan sekali-sekali -mengadakan acara makan malam, tapi setelah beberapa waktu kita bisa kembali ke kebiasaan lama."

   Edward merengut.

   "Apakah istri kita tidak keberatan?"

   Micky angkat bahu.

   "Siapa peduli apakah mereka keberatan? Istri bisa apa?"

   "Kalau istri tidak puas, kukira dia bisa menyulitkan suaminya."

   Micky menyadari bahwa Edward menyamakan semua wanita seperti ibunya. Sayangnya hanya segelintir wanita yang berkemauan keras atau pintar seperti Augusta.

   "Siasatnya begini, jangan terlalu baik pada mereka,"

   Ujar Micky, yang berbicara berdasarkan pengamatannya terhadap sobat-sobatnya yang sudah berkeluarga di Cowes Club.

   "Kalau kau baik pada istri, bisa-bisa dia ingin kau terus berada di dekatnya. Coba kasari dia dan dia akan senang kalau kau pergi ke klubmu malam-malam dan membiarkannya hidup tenang."

   Muriel melingkarkan lengannya ke leher Edward.

   "Tidak akan ada yang berubah setelah kau kawin, aku janji,"

   Katanya.

   "Benar?"

   Kata Edward dengan senyum agak tolol.

   "Tentu saja."

   "Jadi, sebenarnya tidak ada yang berubah,"

   Katanya sambil memandang Micky.

   "Ada,"

   Ucap Micky.

   "Ada satu hal yang akan berubah. Kau akan jadi mitra di bank keluargamu."

   BAB DUA April SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY RUANG MUSIK itu sepanas tempat mandi Turki.

   Udara berbau bir, kerang, dan orang-orang yang tidak mandi.

   Di panggung, seorang wanita muda berpakaian compang-camping berdiri di depan latar belakang yang menggambarkan sebuah pub.

   la menggendong boneka untuk menggambarkan bayi yang baru lahir, dan bernyanyi tentang bagaimana ia termakan rayuan gombal lelaki dan ditelantarkan.

   Penonton yang duduk di bangku di hadapan meja-meja panjang, saling bergandengan tangan dan bersama-sama menyanyikan koor.

   Dan kita cuma perlu setetes gin! Hugh bernyanyi keras-keras.

   Ia merasa nyaman.

   Ia telah makan sedikit kerang dan menenggak beberapa gelas bir hangat.

   Sekarang ia berimpitan dengan Nora Dempster, gadis yang menyenangkan untuk diimpit.

   Tubuhnya montok dan empuk, senyumnya menggoda, dan barangkali wanita ini telah menyelamatkan hidupnya.

   Sepulangnya dari Kingsbridge Manor, ia mengalami depresi berat.

   Melihat Maisie telah membangkitkan kenangan lama dan semenjak wanita itu menolaknya lagi, hantu-hantu masa silam itu kembali mendatanginya tanpa putus.

   Ia telah mampu menghabiskan siangnya, karena pada waktu bekerja ada tantangan dan problem yang "mengalihkan perhatiannya dari kesedihannya.

   Ia sibuk menyusun usaha patungan dengan Madler and Bell, yang akhirnya disetujui oleh para mitra Pilaster, la sendiri akan menjadi mitra, sesuai impiannya.

   Tapi pada malam-malamnya ia tidak antusias untuk melakukan apa pun.

   Ia diundang ke berbagai • pesta besar, pesta dansa, dan acara makan malam, karena ia salah satu anggota kelompok Marlborough berkat persahabatannya dengan Solly.

   Ia sering pergi memenuhi undangan, tapi kalau Maisie tidak hadir, ia merasa bosan, dan kalau wanita itu ada, ia merasa tersiksa.

   Karenanya sebagian besar malamnya ia duduk di kamar memikirkan Maisie atau menjelajahi jalan-jalan, berharap akan berpapasan dengannya.

   Di jalanlah ia bertemu dengan Nora.

   Ia pergi ke toko Peter Robinson's di Oxford Street toko yang dulu menjual tirai, tapi sekarang disebut toko serba —ada untuk membeli hadiah ulang tahun bagi adiknya, Dotty.

   Ia punya rencana naik —kereta api ke Folkestone segera sesudahnya, namun ia begitu kalut, sehingga tak tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya dan tidak mampu memilih kado.

   Ia keluar dari toko dengan tangan kosong setelah hari gelap, dan bertumbukan dengan Nora.

   Gadis itu terjerembab dan Hugh menyambar tubuhnya.

   Ia tak akan melupakan bagaimana rasanya memegang gadis itu.

   Walaupun terbungkus pakaian, tubuhnya empuk dan lentur, dan mengeluarkan bau hangat dan wangi.

   Sejenak jalan kota London yang dingin dan gelap sirna dan Hugh serasa berada dalam dunia tertutup yang penuh dengan kegembiraan.

   Kemudian barang belanjaan gadis itu, sebuah pot kembang, jatah dan hancur berantakan di trotoar.

   Gadis itu berteriak kesal dan seperti hendak menangis.

   Hugh tentu saja bersikeras ingin membelikan gantinya.

   Gadis itu satu atau dua tahun lebih muda dari Hugh, usianya mungkin dua puluh empat atau dua puluh lima.

   Wajahnya bulat dan cantik, dengan rambut pirang ikal menyembul dari topi kerudungnya; pakaiannya murah namun menyenangkan.

   pakaian wol merah muda bersulam bunga-bunga, gaunnya mengembang di belakang, dan mantelnya dari beledu model angkatan laut Prancis yang ketat, yang tepinya dihiasi bulu kelinci.

   Ia berbicara dengan aksen Cockney yang kental.

   Sementara mereka membeli pot bunga pengganti, Hugh sambil lalu mengatakan pada gadis itu bahwa ia* tak dapat memutuskan apa yang akan diberikannya pada adiknya untuk hadiah ulang tahun.

   Nora menyarankan membeli payung warna-warni, dan ia bersikeras hendak membantu Hugh memilihkan payung itu.

   Akhirnya ia mengantar gadis itu pulang dengan kereta kuda.

   Gadis itu bercerita bahwa ia tinggal dengan ayahnya, seorang penjual keliling yang menawarkan obat paten.

   Ibunya sudah meninggal.

   Lingkungan tempat tinggalnya lebih sederhana daripada yang diduga Hugh lebih tepat dikatakan lingkungan kaum pekerja miskin —daripada kelas menengah.

   Ia mengira tidak akan bertemu lagi dengan gadis itu, dan pada hari Minggu itu di Folkestone ia merenungkan Maisie seperti biasa.

   Pada hari Senin di bank ia menerima sepucuk surat pendek dari Nora, yang isinya berupa ucapan terima kasih atas kebaikannya; tulisan tangannya kecil rapi dan kekanak-kanakan.

   Hugh membacanya, lalu meremas-remas kertas itu dan melemparkannya ke dalam keranjang sampah.

   Hari berikutnya, ia keluar dari bank pada tengah hari untuk makan siang dan melihat gadis itu melangkah menyusuri jalan, menuju ke arahnya.

   Mula-mula ia tidak mengenali gadis itu, hanya merenung betapa menarik wajahnya; kemudian gadis itu tersenyum padanya dan barulah ia ingat.

   Ia melepaskan topinya, gadis itu menghentikan langkah dan menyapanya.

   Dengan malu-malu gadis itu berkata pada Hugh bahwa ia bekerja sebagai asisten pembuat korset, dan ia dalam perjalanan kembali ke toko tempatnya bekerja setelah mengunjungi seorang pelanggan.

   Entah kenapa, tiba-tiba Hugh terdorong untuk mengajaknya berdansa malam itu.

   Gadis itu berkata ia ingin pergi, namun tidak memiliki topi yang layak, karenanya Hugh membawanya ke sebuah toko tas dan membelikannya topi, dan selesailah masalah itu.

   Sebagian besar kencan mereka dilakukan sambil berbelanja.

   Gadis itu tidak banyak memiliki harta benda dan tanpa malu-malu ia sangat senang dengan kekayaan Hugh.

   Hugh sendiri senang membelikannya sarung tangan, sepatu, baju, gelang, dan barang lain yang disenangi gadis itu.

   Adiknya, Dotty, dengan segenap kebijaksanaan gadis berusia dua belas tahun, berkata bahwa Nora menyukai kakaknya karena uangnya.

   Hugh hanya tertawa dan berkata.

   "Tapi siapa yang mau mencintaiku karena wajahku?"

   Maisie tak bisa hilang dari pikirannya.

   Ia memikirkannya setiap hari, namun kenangan itu tidak lagi menjerumuskannya ke dalam keputusasaan.

   Ada yang diharapkannya sekarang, pertemuan berikutnya dengan Nora.

   Dalam beberapa minggu gadis itu telah membangkitkan semangat hidupnya.

   Pada salah satu acara berbelanja, mereka bertemu dengan Maisie di sebuah toko penjual pakaian bulu di Bondstreet.

   Dengan agak tersipu, Hugh memperkenalkan keduanya.

   Nora sangat senang dikenalkan pada Mrs.

   Solomon Greenbourne.

   Maisie mengundang mereka ke acara minum teh di Piccadilly House.

   Malam itu Hugh melihat Maisie kembali di suatu pesta dansa, dan ia heran karena Maisie tidak begitu menaruh simpati pada Nora.

   "Maaf, tapi aku tidak menyukainya,"

   Kata Maisie.

   "Gadis itu tampaknya keras hati dan mata duitan, dan aku tak percaya dia mencintaimu sedikit pun. Demi Tuhan jangan kawin dengannya."

   Hugh merasa terluka dan terhina.

   Maisie cuma cemburu, pikirnya.

   Walau bagaimanapun, ia tidak berpikir akan mengawini Nora.

   Ketika pertunjukan di gedung musik berakhir, mereka keluar menembus kabut tebal yang berpusing dan terasa seperti lengas.

   Mereka melilitkan syal ke leher dan mulut dan pergi ke rumah Nora di Camden Town.

   Rasanya seperti berada dalam air.

   Semua bunyi menjadi kedap, manusia dan benda-benda muncul dari kabut dengan tiba-tiba, seorang pelacur yang menjajakan diri di bawah cahaya lampu gas, seorang pemabuk yang berjalan sempoyongan dari sebuah pub, seorang polisi yang tengah berpatroli, seorang tukang sapu yang tengah menyeberang, sebuah kereta kuda berlampu yang merayap menyusuri jalan, seekor anjing yang basah kuyup di got, dan seekor kucing yang menyusuri sebuah lorong dengan mata berkilat.

   Hugh dan Nora berpegangan tangan dan sekali-sekali menghentikan langkah dalam kegelapan malam yang pekat untuk menurunkan syal mereka dan berciuman.

   Bibir Nora lembut dan responsif, dan ia membiarkan Hugh menyelipkan tangan ke dalam bajunya, meremas payudaranya.

   Kabut membuat segala-galanya senyap, penuh rahasia dan romantis.

   Biasanya Hugh meninggalkan Nora di sudut jalan tempat tinggalnya, namun malam ini karena adanya kabut, ia mengantar gadis itu hingga ke pintu.

   Ia ingin menciumnya kembali di sana, namun takut kalau-kalau ayahnya membuka pintu dan memergoki mereka.

   Ternyata Nora memberinya kejutan dengan berkata.

   "Maukah kau mampir?"

   Hugh belum pernah masuk ke rumahnya.

   "Apa nanti kata ayahmu?"

   Katanya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ayah pergi ke Huddersfield,"

   Kata gadis itu dan membuka pintu.

   Jantung Hugh berdetak lebih cepat ketika ia melangkah ke dalam.

   Ia tak tahu apa yang akan terjadi, tapi pasti menggairahkan.

   Ia membantu Nora melepaskan jubahnya, matanya dengan bergairah tertuju pada lekuk-lekuk di balik gaun biru langit gadis itu.

   Rumah itu kecil, bahkan lebih kecil daripada rumah di Folkestone yang ditempati ibu Hugh setelah kematian ayahnya.

   Tangga rumahnya memakan sebagian ruang sempit itu.

   Ada dua pintu dekat ruang utama, yang mungkin menuju ruang duduk depan dan dapur belakang.

   Di atas pasti ada dua kamar tidur.

   Ada sebuah bak timah di dapur dan sebuah kakus di halaman belakang.

   Hugh menggantungkan topi dan mantel pada sebuah sangkutan.

   Seekor anjing menggonggong di dapur.

   Nora membuka pintu untuk melepaskan anjing terrier Skotlandia hitam kecil yang mengenakan pita biru di lehernya.

   Anjing itu menyambut Nora dengan antusias, kemudian mengelilingi Hugh dengan rasa waswas.

   Blackie melindungiku kalau Pa pergi,"

   Ujar Nora, dan Hugh merenungkan makna ganda ucapannya.

   Ia mengikuti Nora ke ruang duduk.

   Perabot rumahnya tua dan aus, namun Nora membuat kamar itu cemerlang dengan barang-barang yang telah dibeli bersama.

   bantal-bantal dengan motif meriah, selembar permadani warna-warni, dan sebuah lukjsan Puri Balmoral.

   Gadis itu menyalakan sebatang lilin dan menarik tirai.

   Hugh berdiri termangu di tengah kamar, tidak tahu apa yang harus dilakukan, sampai gadis itu berkata.

   "Tolong, mungkin kau bisa menyalakan api,"

   Ada sedikit bara di tungku; Hugh menambahkan kayu bakar dan meniup api itu hingga menyala kembali dengan menggunakan peniup kecil.

   Setelah selesai dengan pekerjaannya, ia membalikkan badan dan melihat gadis itu duduk di sofa tanpa topi, dan dengan rambut terurai.

   Nora menepuk bantal di sebelahnya dan Hugh duduk dengan patuh.

   Blackie melotot cemburu padanya dan Hugh bertanya dalam hati, bisakah ia segera mengeluarkan anjing itu dari kamar.

   Mereka berpegangan tangan dan memandangi api.

   Hugh merasa tenteram.

   Rasanya ia tak ingin melakukan apa pun yang lain seumur hidupnya.

   Setelah beberapa lama, ia mencium Nora kembali.

   Dengan coba-coba ia menyentuh payudaranya.

   Gadis itu menarik napas berat.

   Hugh belum pernah merasa senikmat ini.

   namun ia mendambakan lebih -dari itu.

   Ia mencium Nora lebih keras, sambil tetap menyentuh payudaranya.

   Perlahan-lahan gadis itu bersandar ke belakang, hingga Hugh setengah berbaring di atas tubuhnya.

   Mereka berdua mulai terengah-engah.

   Suara hati Hugh berkata bahwa tak pantas ia mengambil keuntungan dari seorang gadis ketika ayahnya tak ada di rumah, namun suara itu lemah sekali dan tidak dapat bertahan melawan nafsu yang meluap dalam dirinya, bagaikan gunung api.

   Ia ingin sekali menyentuh bagian-bagian paling intim pada tubuh gadis itu.

   Ia meletakkan tangannya di antara betis Nora, namun tubuh Nora mengejang seketika dan anjingnya menggonggong karena mengendus ketegangan yang mereka hadapi.

   Hugh menjauh sedikit dan berkata.

   "Mari kita keluarkan anjing ini."

   Nora tampak terganggu.

   "Mungkin sebaiknya kita berhenti."

   Hugh tidak mau berhenti namun demikian kata mungkin itu menambah semangatnya.

   "Aku tak bisa berhenti sekarang,"

   Katanya.

   "Keluarkan anjing itu."

   "Tapi... kita bertunangan pun belum, atau ikatan apa misalnya."

   "Kita bisa bertunangan,"

   Kata Hugh tanpa pikir panjang. Gadis itu menjadi agak pucat.

   "Kau sungguh-sungguh?"

   Hugh menanyai dirinya sendiri dengan pertanyaan serupa.

   Sejak awal ia menganggap ini hanya iseng-iseng, bukan hubungan serius; namun baru beberapa saat yang lalu ia berpikir betapa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan menggenggam tangan Nora di depan perapian.

   Apakah ia benar-benar ingin mengawininya? Ia sadar bahwa memang demikian halnya; sesungguhnya tak ada lagi yang lebih diinginkannya.

   Tentu saja akan terjadi keributan.

   Keluarganya akan berkata ia kawin dengan orang yang lebih rendah derajatnya.

   Tapi persetan.

   Ia sudah berusia dua puluh enam tahun, gajinya seribu pound setahun, dan ia akan diangkat menjadi mitra salah satu bank paling bergengsi di dunia; ia bisa mengawini siapa pun yang diinginkannya.

   Ibunya akan cemas, namun memberikan dukungan; ia akan merasa khawatir, namun senang melihat anaknya hidup bahagia; yang lainnya bisa mengoceh semaunya.

   Mereka belum pemah melakukan sesuatu untuknya.

   Hugh memandang Nora yang segar, cantik, dan menyenangkan, tergolek di sofa tua dengan rambut terurai di bahunya yang terbuka.

   Ia sangat mendambakan gadis itu sekarang, secepatnya.

   Ia sudah terlalu lama hidup sendiri.

   Maisie sudah tenteram dengan Solly dan takkan pernah menjadi miliknya.

   Sudah waktunya ia memiliki seseorang yang hangat dan lembut untuk mengisi hidupnya.

   Dan mengapa tidak Nora saja? Ia menjentikkan jemarinya pada anjing itu.

   "Ayo, ke sini, Blackie."

   Ia mengelus kepala binatang itu, kemudian menggenggam pita di lehernya.

   "Ayo, jaga ruang depan,"

   Katanya sambil menempatkan anjing itu di luar, lalu menutup pintu. Anjing itu menggonggong dua kali, lalu diam. Hugh duduk di samping Nora dan memegang tangannya. Gadis itu kelihatan waswas. Hugh berkata.

   "Nora, maukah kau kawin denganku?"

   Pipi Nora menjadi merah.

   "Ya, aku mau."

   Hugh menciumnya. Gadis itu membalas dengan penuh nafsu. Hugh menyentuh lututnya. Gadis itu memegang tangannya dan menuntunnya. Bibir Nora menelusuri pipinya, menuju telinganya, dan gadis itu berbisik.

   "Hugh sayang, jadikan aku milikmu malam ini, sekarang juga."

   "Aku bersedia,"

   Kata Hugh dengan suara serak.

   "Aku bersedia." [II] PESTA KOSTUM yang diadakan oleh Duchess Tenbigh adalah peristiwa besar pertama dalam musim London tahun 1879. Setiap orang membicarakannya berminggu-minggu sebelumnya. Banyak uang dihabiskan untuk keperluan pakaian pesta, dan orang berusaha keras mendapatkan undangan. Augusta dan Joseph Pilaster tidak diundang. Itu tidak mengherankan. mereka tidak termasuk dalam eselon tertinggi masyarakat London. Namun Augusta ingin pergi juga, dan ia membulatkan pikirannya bahwa ia harus menghadiri pesta itu. Begitu mendengar tentang pesta itu, ia menyinggungnya pada Harriet Morte, yang menanggapi dengan sikap kikuk tanpa berkata sepatah pun. Sebagai dayang Ratu, Lady Morte memiliki pengaruh sosial yang besar; selain itu, ia sepupu jauh Duchess Tenbigh. Namun wanita itu tidak berusaha agar Augusta diundang. Augusta memeriksa rekening Lord Morte pada Pilasters Bank dan mendapati kelebihan tarikan sebesar seribu pound. Pada hari berikutnya, bangsawan itu menerima sepucuk surat yang menanyakan kapan ia dapat menutup kekurangan pada rekeningnya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Augusta mengunjungi Lady Morte pada hari itu juga. Ia memohon maaf. Katanya surat itu merupakan kekeliruan dan karyawan administrasi yang mengirimkannya telah dipecat. Lalu ia menyinggung soal pesta itu lagi. Wajah Lady Morte yang biasanya tanpa emosi, sesaat menunjukkan kebencian ketika ia memahami maksud Augusta. Augusta tidak bergeming. Ia tak punya keinginan agar disukai oleh Lady Morte, ia hanya ingin memperalatnya. Dan Lady Morte dihadapkan pada pilihan sederhana; menggunakan pengaruhnya agar Augusta diundang ke pesta, atau mencari seribu pound untuk menutupi kelebihan dana yang ditariknya. Wanita bangsawan itu mengambil pilihan yang lebih mudah, dan beberapa lembar kartu undangan tiba pada hari berikutnya. Augusta merasa berang karena Lady Morte tidak menolongnya dengan tulus. Sangatlah menyakitkan bahwa Lady Morte harus dipaksa. Karena dendam, Augusta memaksa agar Edward diundang juga. Augusta datang sebagai Ratu Elizabeth dan Joseph sebagai Earl Leicester. Pada malam pesta itu mereka makan malam di rumah, kemudian berganti busana. Selesai berpakaian, Augusta masuk ke kamar Joseph untuk menolongnya mengenakan kostumnya dan berbicara padanya tentang keponakannya, Hugh. Ia merasa berang karena Hugh akan dijadikan mitra di bank keluarga bersamaan dengan Edward. Lebih buruk lagi, setiap orang lebih tahu bahwa Edward diangkat sebagai mitra hanya karena ia telah kawin dan diberi investasi sebesar 250.000 pound, sementara Hugh diangkat karena telah menggolkan suatu transaksi yang sangat menguntungkan dengan Madler and Bell dari New York. Orang sudah ramai membicarakan Hugh sebagai Mitra Senior yang potensial. Pikiran itu membuat Augusta mengenakkan gigi. Pengangkatan mereka dijadwalkan berlangsung pada akhir April, saat perjanjian kemitraan tahunan secara ( resmi diperbarui. Namun di awal bulan, yang membuat Augusta melonjak kegirangan, Hugh melakukan ketololan yang sulit dipercaya, karena mengawini seorang gadis mungil yang montok dari kelas pekerja Camden Town. Episode Maisie enam tahun yang lalu telah menunjukkan bahwa pemuda itu mudah tertarik pada gadis-gadis dari golongan bawah, namun Augusta tidak berani berharap ia akan mengawini salah seorang dari mereka. Hugh menikah diam-diam di Folkestone, hanya dihadiri oleh ibu dan adiknya serta ayah mempelai wanita. Keluarganya terpaksa menerima. Sambil membetulkan kerah baju model Elizabeth milik Joseph, Augusta berkata.

   "Kuharap kau akan memikirkan kembali rencana pengangkatan Hugh sebagai mitra, karena dia telah mengawini pembantu rumah tangga."

   "Wanita itu bukan pembantu rumah tangga, dia seorang pembuat korset. Dulu. Sekarang dia Mrs. Pilaster."

   "Tapi seorang mitra dalam keluarga Pilaster tidak bisa beristri seorang pelayan toko."

   "Kurasa dia bisa mengawini siapa pun yang dia suka."

   Augusta sebelumnya takut Joseph akan berkata demi-kan.

   "Kau tidak akan bilang begitu kalau dia jelek, kerempeng, dan tidak ramah,"

   Katanya kecut.

   "Hanya karena wanita itu cantik dan suka bermain api maka kau begitu toleran."

   "Aku tak mengerti masalahnya."

   "Seorang mitra harus bertemu dengan menteri kabinet, diplomat, para pemuka bisnis besar. Wanita itu tidak akan tahu cara membawa diri. Dia bisa membuat suaminya malu setiap saat."

   "Dia bisa belajar."

   Joseph bimbang, kemudian menambahkan.

   "Kadang-kadang kupikir kau lupa pada latar belakangmu sendiri, Sayang."

   Augusta berdiri tegak."

   Ayahku punya tiga toko!"

   Katanya dengan murka.

   "Beraninya kau membandingkan aku dengan anak jalanan itu!"

   Joseph mengurungkan perlawanannya.

   "Baiklah, aku minta maaf."

   Augusta menggelegak.

   "Lagi pula, aku tidak pernah bekerja di toko ayahku,"

   Katanya.

   "Aku dibesarkan untuk menjadi seorang lady."

   "Aku sudah minta maaf, sudahlah jangan kita ungkit lagi soal itu. Sekarang waktunya berangkat."

   Augusta mengatupkan mulutnya, namun hatinya masih membara.

   Edward dan Emily menunggu mereka di ruang utama, berpakaian sebagai Henry II dan Eleanor dari Aquitaine.

   Edward tengah menghadapi kesulitan dengan tali penyangga kaus kakinya yang terbuat dari jalinan benang emas, dan ia berkata.

   "Ibu pergi saja dulu, dan suruh kereta kembali ke sini untuk menjemput kami."

   Tapi Emily dengan cepat memotong.

   "Oh, jangan, aku ingin pergi sekarang. Betulkan tali kaus kakimu di dalam kereta nanti."

   Emily memiliki sepasang mata biru bulat dan wajah jelita seorang anak kecil.

   Dengan busana model abad dua belas berleher tinggi dan topi kecil di kepala, penampilannya sangat memikat.

   Hanya saja Augusta mendapati wataknya ternyata tidak selembut penampilannya.

   Pada waktu mempersiapkan pernikahan, tampak sekali Emily memiliki pendirian sendiri.

   Ia dengan senang hati membiarkan Augusta mengatur makan pagi pesta, tapi dengan keras kepala ia tidak mau didikte soal model busana dan siapa-siapa yang menjadi pengiringnya.

   Setelah mereka masuk ke dalam kereta, Augusta samar-samar teringat betapa pernikahan Henry II dan Eleanor merupakan pernikahan petaka.

   Ia berharap Emily tidak akan menyulitkan Edward.

   Ia agak curiga bahwa ada yang tidak beres dalam kehidupan pernikahan mereka, karena selama ini tampak jelas Edward uring-uringan.

   Beberapa kali ia mencoba menanyakan secara halus, tapi hasilnya nihil.

   Yang melegakan, Edward sekarang sudah menikah dan sudah menjadi mitra di bank.

   Ia mulai mapan.

   Pasti semuanya akan beres dengan sendirinya.

   Pesta topeng dimulai pada jam setengah sebelas dan keluarga Pilaster datang tepat waktu.

   Rumah Tenbigh gemerlapan oleh lampu.

   Di luar halaman berjejal para penonton, dan kedua sisi Park Lane dipenuhi kereta kuda para tamu.

   Para penonton di luar bertepuk tangan menyambut para tamu yang turun dari kereta dengan aneka busana pesta topeng yang aneh-aneh.

   Sambil menunggu, melihat pasangan Anthony dan Cleopatra, rombongan bangsawan Roundhead dan Cavalier, dua dewi Yunani, serta tiga Napoleon masuk ke dalam rumah.

   Akhirnya kereta mereka tiba di depan rumah.

   Begitu turun, ternyata mereka sudah harus antre di pintu masuk untuk memberi salam pada tuan rumah, pasangan Duke dan Duchess Tenbigh yang malam itu berbusana seperti Solomon dan Sheba.

   Ruang pesta semerbak oleh aroma .bunga segar dan alunan musik dari band yang mencoba menghibur para tamu.

   Keluarga Pilaster diikuti oleh Micky Miranda diundang karena status —diplomatnya bersama istrinya, Rachel.

   Micky tampak sangat memukau, dengan —busana Kardinal Wosley berwarna merah.

   Melihatnya sekejap saja sudah membuat hati Augusta berdebar.

   Tapi saat melihat Rachel, istri Micky, pandangannya seketika berubah sinis.

   Wanita itu berpakaian sebagai seorang budak.

   Agak mengejutkan.

   Dulu Augusta mendukung Micky untuk menikah, tapi ia tetap saja cemburu pada Rachel yang tidak cantik.

   Merasa ditatap Augusta, Rachel balas menatap dengan dingin.

   Dengan posesif ia meraih lengan suaminya ketika Micky selesai mencium tangan Augusta.

   Saat mereka menaiki tangga, Micky berkata pada Rachel.

   "Duta Spanyol juga hadir. Bersikaplah manis padanya."

   "Kau saja yang bermanis padanya,"

   Potong Rachel cepat.

   "Bagiku dia kampungan."

   Micky agak jengkel, tapi diam saja.

   Dengan sikapnya yang ekstrem dan agresif, Rachel lebih cocok menjadi istri anggota Partai Radikal di Parlemen atau wartawan.

   Augusta merasa Micky berhak memiliki istri yang tidak eksentrik dan lebih cantik.

   Di depan mereka, Augusta melihat sepasang pengantin baru lainnya, Hugh dan Nora.

   Hugh adalah anggota kelompok Marlborough karena ia sahabat keluarga Greenbourne, karenanya ia selalu diundang ke semua pesta.

   Hal ini membuat Augusta kecewa.

   Malam ini ia berdandan seperti raja India dan Nora berbusana sebagai seorang penari ular.

   Gaunnya terbelah tinggi sekali, sehingga celana panjang gaya harem-nya tampak setiap kali ia melangkah.

   Ular-ularan bergelantungan di tubuh dan lengannya.

   Augusta berkomentar sinis ke arah Joseph.

   "Istri Hugh benar-benar vulgar."

   Joseph malah bereaksi sebaliknya.

   "Ah, ini kan pesta topeng."

   "Tapi lihat saja... mana ada wanita di pesta ini yang sampai mempertontonkan kakinya."

   "Bagiku tidak ada bedanya antara celana panjang longgar dan rok panjang."

   Mungkin saja dia senang melihat kaki Nora, pikir Augusta sengit. Perempuan seperti itu memang bisa mengaburkan penilaian para pria.

   "Kupikir dia tidak cocok menjadi istri seorang mitra Pilasters Bank."

   "Nora tak perlu membuat keputusan keuangan di bank kita."

   Augusta serasa ingin menjerit jengkel.

   Jelas tidak cukup hanya menjelek-jelekkan Nora sebagai gadis dari kelas pekerja.

   Ia harus merencanakan sesuatu agar Joseph dan para mitra lainnya memusuhi Hugh.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tiba-tiba timbul idenya.

   Kemarahannya surut.

   Mungkin ada jalan untuk membuat Nora mengalami masalah.

   Ia melihat ke lantai atas dan mempelajari setiap gerak mangsa barunya.

   Nora dan Hugh sedang berbincang-bincang dengan atase Hungaria, Count de Tokoly, pria yang terkenal mata keranjang dan malam ini berbusana sebagai raja Henry VIII.

   Nora tampaknya cocok menjadi mangsa baru si atase.

   Para wanita terhormat sengaja menghindari atase mata keranjang ini.

   Hanya saja ia selalu harus diundang ke setiap pesta, karena statusnya sebagai diplomat senior.

   Hugh tampaknya sama sekali tidak keberatan melihat istrinya bercakap-cakap genit dengan atase itu.

   Yang tampak di wajahnya hanyalah ekspresi sayang.

   Mungkin dia masih mabuk cinta, sehingga di matanya sang istri tak ada celanya sedikit pun.

   Lihat saja, ini tidak akan berlangsung lama, pikir Augusta.

   "Nora sedang berbincang-bincang dengan Tokoly,"

   Bisiknya pada Joseph.

   "Dia harus hati-hati dengan reputasinya."

   "Hmmm, jangan sekali-kali bersikap kasar pada atase itu,"

   Jawab Joseph cepat."

   Bank kita sedang menggarap pinjaman dua juta pound ke pemerintahnya."

   Augusta sama sekali tak peduli pada de Tokoly. Yang penting soal Nora. Tampaknya dia bisa dijadikan korban malam ini, karena dia belum biasa bergaul serta belum sempat mempelajari tata cara kaum kelas atas. Kalau saja dia bisa"

   Mempermalukan dirinya sendiri malam ini, mungkin di depan Pangeran Wales....

   Bertepatan dengan itu tepuk tangan meriah terdengar di luar rumah, menandakan datangnya Pangeran Wales beserta rombongannya.

   Beberapa saat kemudian, rombongan kerajaan masuk ke dalam rumah.

   Pangeran Wales dan Putri Alexandra, berbusana bagai Raja Arthur dan Ratu Guinevere, diikuti ť oleh rombongannya yang berpakaian seperti ksatria abad pertengahan dan para istri mereka.

   Iringan musik waltz Strauss berhenti mendadak, lalu terdengar lagu kebangsa-an kerajaan.

   Semua tamu membungkuk memberi hormat, dan kerumunan orang di tangga menepi ke kanan dan ke kiri bagai ombak, menyongsong datangnya tamu kerajaan.

   Sang pangeran tampak makin tambun saja, pikir Augusta sewaktu memperoleh giliran memberi hormat.

   Jenggotnya belum berubah, hanya saja rambutnya makin botak saja.

   Kasihan istrinya yang cantik, yang harus banyak bersabar pada suaminya yang boros dan gila wanita.

   Di tangga atas, tuan rumah menyambut tamu kerajaan dan langsung membawa mereka ke ruang dansa.

   Para undangan lain bergegas mengikuti.

   Di dalam ruang dansa, bau semerbak bunga-bunga segar yang dipetik langsung dari rumah pedesaan keluarga Tenbigh memenuhi ruangan; lilin-lilin gemerlapan memantulkan sinarnya di sekitar cermin-cermin tinggi yang dipasang di antara celah jendela kaca ruangan.

   Para pelayan pria yang berdandan sebagai pelayan kerajaan zaman Ratu Elizabeth berkeliling tanpa henti menyuguhkan sampanye.

   Pangeran dan istrinya diajak ke panggung kehormatan di ujung ruangan.

   Sebelumnya telah diatur agar begitu Pangeran mulai duduk, beberapa pemakai kostum yang paling spektakuler berjalan di depan Pangeran.

   Segera prosesi berlangsung, dan secara tak sengaja Augusta berdampingan dengan Count de Tokoly.

   "Sungguh menyenangkan istri keponakan Anda, Mrs. Pilaster,"

   Sapa de Tokoly. Augusta memberikan senyum hambar."

   Betapa murah hati Anda mengatakannya."

   De Tokoly mengangkat alisnya.

   "Sepertinya Anda kurang senang. Benarkah? Tentunya Anda mengharapkan Hugh menikah dengan wanita yang sekelas dengannya."

   "Anda tahu sendiri jawabannya tanpa perlu kukatakan."

   "Tapi... kuakui daya tariknya memang hebat sekali."

   "Tidak salah."

   "Aku akan memintanya melantai nanti. Apakah menurut Anda dia mau menerima ajakanku?"

   Augusta tak bisa menahan rasa jengkelnya.

   "Ya, saya yakin dia akan bersedia."

   Ia berjalan menjauh.

   Rasanya terlalu berlebihan mengharapkan adanya skandal dalam dansa mereka nanti....

   Tiba-tiba saja ia memperoleh inspirasi.

   Yang menjadi faktor penentu adalah count itu sendiri.

   Kalau saja ia bisa memanfaatkan pertemuannya dengan Nora, rencana busuknya pasti berhasil.

   Pikiran liciknya segera berputar cepat.

   Malam ini benar-benar suatu peluang sempurna.

   Ia harus memanfaatkannya.

   Dengan bersemangat Augusta melihat ke sekeliling, melihat Micky, lalu bergegas ke arahnya.

   "Aku perlu bantuanmu. Sekarang, dan cepat,"

   Bisiknya. Micky menatap Augusta penuh arti.

   "Apa saja,"

   Jawabnya. Augusta telah mengacuhkan rayuan Micky.

   "Kau kenal Count de Tokoly?"

   "Pasti. Kami para diplomat saling kenal."

   "Katakan padanya bahwa Nora memang murahan."

   "Hanya itu?"

   Tanya Micky dengan senyum dikulum.

   "Kau boleh menambah-nambahkan kalau mau."

   "Bisakah kubisikkan bahwa aku tahu dari pengalaman pribadiku sendiri dengan Nora?"

   Pembicaraan ini sudah melantur jauh, tapi ide Micky memang bagus. Augusta mengangguk setuju.

   "Lebih baik malah."

   "Kau tahu kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si tua?"

   Tanya Micky.

   "Aku yakin dia akan merayu Nora."

   "Kalau memang itu yang kauinginkan..."

   "Ya."

   Micky mengangguk.

   "Aku adalah budakmu, dalam hal ini dan dalam segala hal."

   Augusta mengibaskan tangan dengan tak sabar; ia terlalu tegang' untuk mendengarkan gombal-menggombal saat ini.

   Pandangannya tertuju pada Nora yang tampak sedang terkagum-kagum melihat interior rumah dan aneka kostum dalam pesta; jelas ia tak pernah melihat suasana seperti ini dalam hidupnya.

   Tampak sekali ia sangat terkesima.

   Tanpa ragu lagi Augusta berjalan mendekati Nora.

   Ia berbisik.

   "Sedikit nasihat, Nora."

   "Terima kasih banyak,"

   Jawab Nora.

   Hugh mungkin saja pernah memperingatkan soal kelicikan Augusta pada istrinya, tapi Nora tidak menunjukkan sikap bermusuhan.

   Mungkin ia belum yakin benar, seperti apa Augusta, jadi sikapnya terhadap wanita itu biasa-biasa saja.

   Augusta berkata.

   "Kulihat kau tadi bicara dengan Count de Tokoly."

   "Si tua cabul itu,"

   Sahut Nora cepat. Augusta agak terpana dengan kekasaran Nora, tapi racunnya terus berlanjut.

   "Hati-hati dengan dia, jika kau mau menjaga reputasimu."

   "Hati-hati?"

   Tanya Nora.

   "Apa maksudmu?"

   "Kau harus sopan, tentunya, tapi apa pun yang terjadi, dia jangan terlalu diberi hati. Kalau dia merasa mendapat lampu hijau sedikit saja, dia akan maju terus... dan kalau tidak dihentikan, dia bisa sangat memalukan."

   Nora mengangguk, paham.

   "Jangan khawatir, aku tahu cara menghadapi laki-laki macam dia "

   Hugh sedang berdiri di dekat mereka, berbincang dengan Duke of Norwich ketika dilihatnya Augusta sedang berbincang pelan dengan istrinya.

   Dengan curiga ia mendekati Nora.

   Terlambat, Augusta telah menanam-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kan benih bencana.

   Dengan ringan ia melangkah menjauhi Nora.

   Ia tinggal menanti dengan penuh harap agar yang terjadi nanti adalah yang terbaik bagi dirinya.

   Di depan Pangeran Wales beriringan beberapa orang dari kelompok Malborough, termasuk Duke dan Duchess of Kingsbridge dan Solly dengan Maisie Greenbourne.

   Pasangan ini berbusana sebagai bangsawan dari Timur.

   Bukannya sedikit menekuk lutut dan mengangguk, di depan pangeran dan istrinya mereka berlutut penuh serta memberi salam hormat.

   Tingkah mereka membuat keluarga kerajaan tertawa geli dan senang, disusul dengan tepukan tangan para tamu lainnya.

   Augusta sangat membenci Maisie Greenbourne, hanya saja kali ini ia tak sempat memikirkannya.

   Benaknya sedang dipenuhi pelbagai kemungkinan.

   Kendati sudah dipersiapkan, masih banyak kemungkinan gagal.

   de Tokoly bisa saja terpikat wanita cantik lainnya, Nora bisa menghadapinya dengan anggun dan sopan, Hugh mungkin selalu berdiri dekat istrinya, sehingga de Tokoly tidak bisa berbuat apa-apa.

   Namun, dengan sedikit keberuntungan, ia yakin rencananya akan berhasil.

   Prosesi di depan keluarga kerajaan hampir selesai.

   Tiba-tiba dari kejauhan Augusta melihat David Middleton sedang menuju ke arahnya.

   Ia merasa cemas.

   Enam tahun yang lalu ia pernah bertemu David yang ketika itu menanyakan tentang kematian adiknya di Wienfield.

   Waktu itu Augusta mengatakan bahwa dua saksi, Hugh Pilaster dan Antonio Silva, sudah berada di luar negeri.

   Tapi sekarang Hugh sudah kembali ke London.

   Soal Middleton pasti akan terungkit kembali.

   Bagaimana David yang hanya pengacara biasa bisa sampai diundang ke pesta para bangsawan ini? Lalu samar-samar ia ingat bahwa David masih kerabat jauh keluarga Tenbigh.

   Ia tidak memperhitungkan hal ini.

   Benar-benar malapetaka.

   Bingung! Ia tak bisa memikirkan jalan keluarnya! Dengan panik ia melihat Middleton berjalan ke arah Hugh.

   Dengan diam-diam Augusta mencoba mendekati Hugh.

   Samar-samar ia mendengar sapaan Middleton.

   "Halo, Pilaster. Kudengar kau baru saja pulang ke Inggris. Masih ingat aku? Kakak Peter Middleton?"

   Augusta perlahan membalikkan tubuh agar mereka berdua tidak menyadari kehadirannya. Di tengah dengung celoteh tamu, ia berusaha keras menangkap apa yang mereka bicarakan.

   "Ya, aku ingat... kau hadir waktu diadakan penyelidikan,"

   Jawab Hugh.

   "Perkenankan kuperkenalkan istriku."

   "Apa kabar, Mrs. Pilaster?"

   Sapa Middleton sopan, lalu kembali memusatkan perhatian pada Hugh.

   "Aku tidak pernah puas dengan hasil penyelidikan sebab-musabab kematian adikku."

   Augusta merasa tercekik.

   Middleton benar-benar terobsesi dengan soal kematian adiknya, sehingga tanpa ragu lagi berani mengutarakan perasaannya dalam pesta kostum semeriah ini.

   Benar-benar mencemaskan.

   Apakah Teddy tersayang tidak akan pernah terlepas dari kecurigaan masa lalunya? Ia tak mendengar jawaban Hugh, tapi nadanya terdengar netral.

   Suara Middleton agak meninggi, sehinggav ia bisa mendengar dengan jelas ucapan selanjutnya.

   "Kau perlu tahu, seisi sekolah waktu itu sama sekali tak percaya tentang cerita Edward yang katanya mencoba menyelamatkan nyawa Peter."

   Augusta menjadi takut mendengar jawaban Hugh.

   Untung Hugh hanya menjawab bahwa ia sudah tidak ingat kejadian saat itu yang sudah lama sekali berlalu.

   Tiba-tiba Micky sudah berdiri di samping Augusta.

   Wajahnya tampak tenang, tapi gerakan tubuhnya terasa tegang.

   Dengan berbisik ia bertanya.

   "Apakah dia si Middleton?"

   Augusta mengangguk pelan.

   "Sudah kuduga. Wajahnya masih bisa kukenali."

   "Hush... dengarkan,"

   Sergap Augusta ketus. Middleton terdengar makin agresif.

   "Kukira kau tahu kejadian sebenarnya."

   Nadanya terasa menantang.

   "O ya?"

   Nada Hugh sudah tidak bersahabat lagi.

   "Maafkan jika aku terlalu mendesak, Pilaster. Peter adalah adikku. Selama bertahun-tahun aku penasaran tentang kejadian sebenarnya. Aku berhak untuk tahu, bukan?"

   Hening sebentar.

   Augusta tahu bahwa mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus almarhun Peter bisa menggerakkan nurani Hugh yang moralis.

   Ia sangat ingin bergabung untuk membentak kedua pria itu agar diam atau mengubah topik pembicaraan, tapi segera sadar bahwa tindakan seperti itu akan membangkitkan kecurigaan bahwa ia menyembuyi-kan sesuatu tentang kasus ini; jadi, ia hanya bisa berdiri terpaku, memasang telinga untuk terus mendengarkan.

   Akhirnya Hugh menjawab.

   "Aku sendiri tidak menyaksikan Peter meninggal, Middleton. Jadi aku tidak bisa menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Bahaya untuk berspekulasi, karena bisa salah."

   "Jadi, kau juga punya sedikit kecurigaan? Kau bisa mengira-ngira bagaimana kejadian sebenarnya?"

   "Kurasa untuk kasus seperti ini tidak pantas jika kita menduga-duga. Akan sangat tidak bertanggung jawab. Kau mengatakan ingin mengetahui kejadian sebenarnya... begitu juga aku. Seandainya aku tahu, kuanggap sudah kewajibanku untuk menceritakan semuanya. Hanya sayang, aku tidak tahu apa-apa."

   "Kurasa kau memang ingin membela sepupumu."

   Hugh tersinggung.

   "Sialan, Middleton, itu sudah keterlaluan. Kau memang berhak kecewa, tapi sama sekali tidak berhak meragukan kejujuranku."

   "Kalau begitu, pasti ada yang berbohong,"

   Tukas Middleton ketus sambil pergi menjauh.

   Augusta bernapas lega.

   Kakinya jadi terasa lemas, dan dengan agak gontai ia menyandarkan diri ke tubuh Micky.

   Kali ini prinsip Hugh berpihak pada dirinya.

   Hugh mungkin juga curiga akan peran Edward dalam kasus kematian Peter, tapi karena selama ini tidak ada bukti, ia tidak bersedia mengutarakannya.

   Dan sekarang Middleton telah membuat Hugh marah.

   Seorang gentlemen tak pernah berbohong, dan bagi anak muda seperti Hugh, kecurigaan akan kejujuran dirinya sudah merupakan hinaan.

   Syukurlah, mulai sekarang rasanya Middleton tidak akan mengusik-usik Hugh lagi.

   Krisis tadi datang secara tiba-tiba, seperti badai musim panas, juga pergi begitu cepat, sehingga perasaan Augusta yang semula ngeri tiba-tiba berubah menjadi kelegaan luar biasa.

   Hatinya serasa kosong tapi aman.

   Prosesi sudah berakhir.

   Band mulai memainkan musik dansa.

   Sang pangeran menuntun istri tuan rumah ke lantai dansa, dan sang putri dituntun si tuan rumah.

   Mereka berempat mengawali di depan.

   Yang lain segera menyusul.

   Dansanya sendiri terlihat agak lamban, mungkin karena para tamu memakai kostum berat dan aneka hiasan kepala.

   Augusta berkata pada Micky.

   "Mungkin Middleton tidak akan menjadi duri lagi bagi kita."

   "Ya, jika Hugh tetap menutup mulutnya."

   "Dan sepanjang temanmu si Silva tetap di Kordoba."

   "Keluarganya makin lama makin kehilangan pengaruh di negaraku, jadi aku yakin dia tidak akan muncul kembali di Eropa."

   "Bagus."

   Augusta kembali ke rencananya semula.

   "Apa kau sudah bicara dengan de Tokoly?"

   "Ya, sudah."

   "Bagus."

   "Kuharap kau tahu apa yang akan kaulakukan."

   Augusta menatap tak senang pada Micky.

   "Oh, betapa bodohnya aku,"

   Kata Micky.

   "Tentu saja kau selalu tahu apa yang akan kaulakukan."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dansa kedua diringi musik waltz, dan Micky meminta Augusta untuk turun melantai.

   Semasa Augusta remaja, dansa waltz dianggap tidak sopan karena tubuh kedua pasangan sangat erat berdekapan, tangan si lelaki mendekap pinggang si wanita.

   Tapi sekarang lain, bahkan keluarga kerajaan juga berdansa.

   Begitu tangan Micky melekat di pinggangnya, Augusta serasa kembali menjadi tujuh belas tahun, melantai dengan Strang.

   Saat melantai, Strang selalu memikirkan pasangannya, bukan bagaimana seharusnya melangkah.

   Micky juga punya bakat yang sama.

   Ia membuat Augusta merasa muda, cantik, dan bebas melayang.

   Augusta menikmati kehalusan tangan Micky, aroma maskulin tembakau dan parfumnya, serta kehangatan tubuhnya.

   Tiba-tiba ia merasa cemburu dan iri terhadap istri Micky, Rachel, yang bisa tiap malam tidur bersama pemuda ini.

   Sejenak ia mencoba mengingat kembali kejadian di kamar Seth enam tahun silam, tapi bayangan itu begitu kabur, seperti mimpi yang tidak nyata, dan ia tak percaya semua itu pernah terjadi.

   Beberapa wanita yang mengalami hal seperti dirinya akan segera menjalin hubungan gelap dengan si pemuda.

   Augusta pun kadang-kadang membayangkan untuk berkencan diam-diam dengan Micky, tapi tidak tahan harus sembunyi-sembunyi seperti itu.

   Apalagi perselingkuhan rahasia semacam itu biasanya ketahuan.

   Ia lebih suka meninggalkan Joseph dan menikah dengan Micky.

   Kemungkinan besar Micky akan bersedia melakukannya.

   Dengan segala cara, ia bisa membuat Micky bersedia melakukannya.

   Tapi jika dipikirkan lebih jauh, ia akan kehilangan segala kemewahan seperti tiga rumahnya, kereta kuda, tunjangan untuk busana, posisi sosial, dan undangan ke pesta mewah seperti malam ini.

   Strang bisa memberikan semua itu padanya, tapi Micky hanya bisa menawarkan tubuhnya, dan itu tidak cukup bagi Augusta.

   "Lihat itu,"

   Kata Micky tiba-tiba. Augusta mengikuti arah yang ditunjuk Micky. Nora sedang melantai dengan Count de Tokoly. Augusta jadi tegang.

   "Mari kita mendekati mereka,"

   Katanya pada Micky.

   Tidak begitu mudah, karena di dekat Nora juga sedang berdansa pasangan kerajaan.

   Semuanya mencoba melantai dekat-dekat mereka; tapi Micky dengan lihainya menggiring Augusta mendekati Nora.

   Sejauh ini, Nora dan de Tokoly melantai dengan wajar, seperti pasangan lainnya.

   Irama waltz masih menggema dengan indahnya.

   Tampak de Tokoly membisikkan sesuatu ke telinga Nora, yang disambut dengan senyum wajar.

   Dekapannya sedikit terlalu erat, tapi tidak cukup untuk membuat Nora marah.

   Seiring dengan alunan musik, Augusta bertanya-tanya apakah ia telah salah menilai kedua korbannya.

   Perasaan tak menentu itu membuatnya tegang dan ia tidak bisa berdansa dengan baik.

   Musik makin meninggi, mendekati akhir.

   Augusta masih terus memperhatikan Nora dan de Tokoly.

   Tiba-tiba terjadi sesuatu.

   Wajah Nora mendadak tegang dan kaku.

   De Tokoly pasti telah mengatakan sesuatu yang tidak disukainya.

   Harapan Augusta bangkit kembali.

   Tapi mungkin ucapan laki-laki itu tidak begitu serius.

   Mereka masih terus melantai.

   Augusta sudah siap menyerah dengan rencana busuknya, dan iringan .musik sudah mendekati akhirnya, ketika peristiwa mengejutkan itu terjadi.

   Augusta satu-satunya yang melihat awal dari ledakan itu.

   De Tokoly mendekatkan bibirnya ke telinga Nora dan membisikkan sesuatu.

   Wajah Nora berubah merah, lalu memucat.

   Ia menghentikan langkah dansanya de -ngan tiba-tiba dan mendorong tubuh pasangannya dengan kasar; tidak ada orang lain yang memperhatikan peristiwa ini, karena bertepatan dengan akhir dari musik pengiring dansa.

   Tapi de Tokoly masih mencoba peruntungannya, ia berbicara dengan ekspresi kurang ajar.

   Pada saat itu musik usai, dan dalam keheningan sesaat itu, Nora menampar de Tokoly.

   Suara tamparan itu meledak begitu keras, di segenap penjuru ruang dansa.

   Benar-benar bukan suara tamparan main-main, tapi tamparan kemarahan yang amat sangat.


Rajawali Emas Raja Lihai Langit Bumi Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Wiro Sableng Empat Berewok Dari Goa Sanggreng

Cari Blog Ini