Ceritasilat Novel Online

Kekayaan Yang Menyesatkan 9


Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 9



Harga tanah pertanian pun jatuh, dan nilainya tidak cukup untuk melunasi utangnya pada bank.

   "Tapi tanah itu masih bisa memberikan hasil lumayan jika Nick dapat membereskan dulu utang-piutangnya dengan bank, lalu mengelola sisa tanahnya secara profesional, seperti layaknya usaha-usaha yang lain."

   Nick menambahkan.

   "Aku bermaksud menjual tanah-tanah dan rumah-rumah yang tidak bisa kutangani, mengelola sebaik mungkin apa yang tersisa. Aku juga akan membangun rumah-rumah di tanah kami di sebelah selatan London, Sydenham."

   Hugh berkata.

   "Sudah kami hitung bahwa untuk membereskan semuanya dibutuhkan uang seratus ribu pound. Dan sejumlah itulah yang akan kuberikan pada kalian sebagai maskawin dari ku."

   Dotty terpana kaget, dan Mama menangis haru. Nick, yang sudah tahu jumlah itu sebelumnya, berkata.

   "Anda benar-benar murah hati pada kami berdua."

   Dotty merangkul dan mencium tunangannya, lalu memeluk dan mencium kakaknya.

   Hugh agak jengah, tapi ia sangat senang bisa membuat mereka berdua bahagia.

   Selain itu, ia yakin Nick akan mengelola keuangannya dengan bijak dan memberikan kebahagiaan pada Dotty.

   Nora datang berbusana hitam-ungu.

   Ia sudah makan pagi di kamar tidur, seperti kebiasaannya.

   "Di mana anak-anak?"

   Tanyanya tak sabar, sambil melihat jam.

   "Sudah kuberitahu pengasuh sembrono itu untuk menyiapkan mereka..."

   Ucapannya terputus oleh kemunculan anak-anak bersama pengasuh mereka. Tobby, sebelas tahun; Sam, enam tahun; dan Sol, empat tahun. Mereka semua memakai jas hitam dan topi tinggi. Hugh bangga memandang mereka.

   "Pasukan cilikku! Toby, berapa tingkat bunga tadi malam dari Bank of England?"

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Tidak berubah, dua setengah persen, Sir,"

   Jawab Tobias yang setiap pagi selalu memeriksa koran The. Times. Sam, adiknya, mendekati ibunya dengan bersemangat.

   "Mama, aku punya binatang piaraan baru."

   Si pengasuh tampak kaget.

   "Kau tidak memberitahuku...."

   Sam mengambil kotak korek api dari saku dan membukanya di depan ibunya,"

   Bill si labah-labah!"

   Teriaknya bangga. Nora menjerti takut, menepis kotak korek dari tangan putranya, dan menghindar dengan cepat.

   "Anak bandel!"

   Teriaknya jengkel. Sam merangkak di lantai, mencari Iabah-labahnya yang menghilang.

   "Bill hilang!"

   Tangisnya memelas. Nora malah menghardik pengasuhnya.

   "Kenapa kau membiarkan anak-anak bermain dengan binatang menjijikkan begitu?"

   "Maaf, Nyonya, saya tidak tahu."

   Hugh menyela.

   "Sudahlah, tidak apa-apa."

   Ia merangkul bahu istrinya dan berkata.

   "Kau cuma kaget, Sayang."

   Ia menuntun Nora ke luar ruangan.

   "Ayo, kita semua berangkat sekarang."

   Di luar rumah, ia memegang bahu Sam dan berkata.

   "Nah, Sam, jangan membuat takut wanita dengan cara seperti tadi, ya?"

   "Binatang piaraanku hilang,"

   Jawab Sam sedih.

   "Labah-labah tidak akan senang hidup di dalam kotak kecil seperti itu. Seharusnya kau memelihara binatang lain. Bagaimana kalau burung kenari?"

   Wajah Sam menjadi cerah.

   "Boleh?"

   "Asal kau janji akan memberinya makan dan minum secara teratur setiap hari."

   "Ya, pasti... pasti!"

   "Kalau begitu, besok kita beli."

   "Hore!"

   Mereka berkereta menuju Kensington Methodist Hall. Hujan turun deras. Anak-anak belum pernah pergi ke upacara kematian. Toby, yang pendiam, bertanya serius.

   "Papa, apa kita semua nanti harus menangis?"

   Nora menyela.

   "Jangan bodoh begitu!"

   Hugh sebenarnya berharap istrinya bisa lebih lembut kepada anak-anak.

   Mereka butuh kasih sayang ibunya.

   Tapi Nora selalu tak sabar.

   Hugh mencoba memaklumi.

   Nora sudah ditinggal mati ibunya sejak masih bayi, jadi ia tidak tahu bagaimana bersikap sebagai ibu bagi anak-anaknya sendiri.

   Hugh menjawab Tobby.

   "Kau boleh saja menangis di upacara pemakaman nanti, asalkan memang ingin."

   "Kukira tidak perlu. Aku tidak begitu sayang pada Paman Joseph."

   "Kalau aku sayang pada Bill si labah-labah."

   Sol, si bungsu berkata.

   "Aku sudah terlalu besar untuk menangis."

   Kensington Methodist Hall sudah dipenuhi tamu.

   Dekorasi di dalamnya dibuat sesederhana mungkin, tanpa patung dan lukisan.

   Hanya ada organ mahabesar.

   Ornamen bangunannya mirip gereja Anglikan dan Katolik.

   Pagi ini hampir tidak ada tempat tersisa di dalam gereja.

   Yang tidak mendapat tempat duduk, berdiri di belakang dan di sisi kanan-kiri.

   Tamu-tamu berasal dari kalangan perbankan dan dunia keuangan.

   Semua karyawan Pilasters Bank diliburkan hari itu.

   Hugh mengangguk kepada Gubernur Bank of England, Menteri Keuangan Inggris, dan Ben Greenbourne yang kelihatan tetap tegar dan kuat, walau usianya sudah melewati tujuh puluh tahun.

   Para anggota keluarga disediakan tempat di kursi paling depan.

   Hugh duduk di dekat Paman Samuel yang tetap pesolek di balik busana berkabungnya.

   Seperti Ben Greenbourne, Paman Samuel kelihatan masih sehat dalam usia tujuh puluhan.

   Sebagai mitra paling tua dan paling berpengalaman, Samuel jelas akan menjadi mitra senior, menggantikan Joseph Pilaster.

   Tapi pasti akan ada halangan dari Augusta.

   Mereka berdua tidak pernah rukun.

   Augusta mungkin akan mendukung Young William yang saat ini sudah berusia empat puluh dua tahun.

   Mitra lainnya, Mayor Hartshorn dan Sir Harry Tonks, suami Clementine, putri Joseph, jelas tidak akan dijadikan mitra senior, karena mereka orang luar.

   Tinggal Hugh dan Edward.

   Hugh ingin sekali menjadi mitra senior.

   Kendati paling muda dari semua mitra, Hugh yakin akan mampu mengembangkan bank dalam waktu singkat.

   Ia akan membersihkan semua investasi yang meragukan, termasuk investasi di negara-negara Amerika Selatan.

   Tapi ia yakin Augusta akan menentangnya lebih hebat daripada menentang Samuel.

   Namun Hugh tidak mau menyerah, menunggu sampai bibinya meninggal atau tua.

   Pasti masih lama sekali karena sekarang, di usia lima puluh delapan, Augusta masih sehat dan bersemangat.

   Mitra yang lain adalah Edward Pilaster.

   Tubuhnya makin gemuk dan wajahnya merah.

   Akhir-akhir ini ia makin kentara mengidap penyakit kulit yang sangat tidak enak dilihat.

   Ia tidak cerdas dan sangat pemalas.

   Selama tujuh belas tahun menjadi mitra, ia sama sekali tidak meraup pengetahuan dan pengalaman sebagai bankir.

   Kerjanya hanya minum, judi, makan enak, dan melacur.

   Datang ke kantor setelah jam sepuluh pagi, pulang saat makan siang dan terus berfoya-foya.

   Minum sherry untuk sarapan dan terus-menerus mereguk brendi sesudahnya.

   Pekerjaannya dilakukan oleh asistennya, Simon Oliver.

   Jika ia sampai menjadi mitra senior, bisa membawa bencana.

   Emily, istri Edward, duduk di sebelah suaminya.

   Sebuah kejadian langka.

   Mereka hidup terpisah.

   Edward tetap tinggal dengan ibunya di Whitehaven House, se -dangkan Emily tinggal sendiri di rumah pedesaan di luar kota London.

   Ia datang ke London pada saat acara formal saja, misalnya saat kematian anggota keluarga atau pernikahan.

   Hugh merasa Emily dan Edward saling membenci.

   Dulu Emily berwajah cantik kekanakan dengan mata polos biru besar.

   Sekarang ia tampak layu, dan beberapa kerut mulai terlihat di bawah matanya.

   Wajahnya memancarkan kesepian dan kekecewaan.

   Di sebelah Emily duduk Micky Miranda dengan setelan abu-abu berkerah bulu warna hitam.

   Sejak mengetahui Micky yang membunuh Peter Middleton, Hugh merasa takut bergaul dengannya.

   Edward dan Micky masih saja akrab, bagai sepasang perompak.

   Keduanya menjadi motor dalam beberapa investasi di negara-negara Amerika Selatan selama sepuluh tahun terakhir ini.

   Upacara di gereja cukup panjang, lalu disusul dengan prosesi ke pemakaman di bawah guyuran hujan bulan September.

   Semuanya menyita waktu hampir satu jam karena begitu banyak pelayat yang datang.

   Hugh mencoba memperhatikan wajah Augusta saat peti jenazah suaminya diturunkan ke dasar makam.

   Wanita itu berdiri di bawah payung besar yang dipegang Edward.

   Rambutnya telah putih seluruhnya dan sosoknya tampak megah.

   Tak ada tanda-tanda kesedihan dalam dirinya.

   Wajahnya yang angkuh tampak keras bagai wajah senator Romawi.

   Setelah upacara pemakaman selesai, semua anggota keluarga besar Pilaster diundang makan siang di rumah Augusta.

   Beberapa karib, seperti Micky Miranda, juga diundang.

   Dua meja makan panjang telah disiapkan di ruang tengah, cukup untuk semua yang datang.

   Hugh sudah lama tidak datang ke rumah ini, mungkin sekitar setahun atau dua tahun.

   Sekarang dekorasi rumah itu bergaya Arab.

   Mulai dari perabot, tirai, sampai daun pintu dan jendela.

   Semuanya berukir kaligrafi Timur Tengah.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Augusta menempatkan Edward di kursi kebesaran almarhum ayahnya.

   Ia tampak canggung, karena ia jelas tidak pantas menggantikan Joseph.

   Ayahnya bukan pemimpin yang bodoh, kendati ia terlalu menuruti keinginan istrinya.

   Augusta, seperti biasa, mempunyai rencana besar bagi dirinya dan Edward.

   Selesai makan, ia langsung membuat pengumuman.

   "Harus ada mitra senior pengganti almarhum suamiku, dan jelas yang pantas menggantikan adalah Edward."

   Hugh merasa kelancangan bibinya sudah keterlaluan.

   Augusta selalu buta akan kelemahan putranya, tapi ini benar-benar di luar dugaan.

   Semuanya terdiam, dan Hugh sadar bahwa mereka menunggunya bicara.

   Hugh adalah juru bicara para mitra jika sudah menyangkut Augusta.

   Mulanya ia ragu, sambil memikirkan bagaimana mesti menangani hal ini.

   Akhirnya ia memutuskan untuk menghindar sementara.

   "Saya rasa para mitra bisa membahas besok di kantor,"

   Katanya. Augusta tidak mau dikalahkan oleh keponakannya. Dengan nada gusar ia menukas.

   "Kau tidak berhak melarangku bicara apa saja di dalam rumahku sendiri."

   "Baiklah,"

   Jawab Hugh.

   "Jika itu yang Bibi inginkan."

   Ia berpikir cepat, lalu mengeluarkannya secara gamblang tapi pedas.

   "Sayangnya Bibi tidak tahu betapa pekanya urusan yang Bibi omongkan tadi, mungkin karena Bibi sama sekali tidak tahu apa-apa tentang masalah di bank."

   "Apa, kurang ajar sekali...."

   Hugh menyela dengan keras.

   "Mitra paling senior di dalam Pilasters Bank adalah Paman Samuel."

   Hugh sadar suaranya terlalu keras. Ia mencoba menenangkan diri dan berkata dengan lebih lunak.

   "Saya yakin semua mitra akan setuju menunjuk beliau, bankir yang andal dan disegani di dunia keuangan."

   Paman Samuel kelihatan senang dengan pujian itu, tapi tidak mengatakan apa-apa.

   Tak seorang pun menentang Hugh, atau menyetujui ucapannya.

   Hugh mengira karena mereka segan kepada Augusta, sehingga tidak bersedia terang-terangan menentangnya.

   Pengecut semua, hanya mengandalkan aku, pikir Hugh kesal.

   Biarlah, apa yang terjadi, terjadilah.

   Ia melanjutkan.

   "Jika Paman Samuel menolak, seperti pernah beliau lakukan dulu, masih ada Paman William, juga seorang bankir andal yang disegani dalam dunia keuangan."

   Augusta tampak makin tak sabar.

   "Bukan dunia keuangan yang memutuskan, tetapi keluarga Pilaster."

   "Mitra Pilaster, tepatnya,"

   Koreksi Hugh seketika.

   "Seperti halnya para mitra butuh kepercayaan dari semua anggota keluarga, begitu pula Pilasters Bank butuh kepercayaan dari masyarakat keuangan. Jika sampai kehilangan kepercayaan itu, habislah kita."

   Augusta jadi sangat marah.

   "Kita berhak memilih siapa saja yang kita inginkan."

   Hugh menggelengkan kepala kuat-kuat. Omongan yang tidak bertanggung jawab seperti itu membuatnya sangat jengkel.

   "Kita tidak memiliki hak, tapi kewajiban,"

   Tegasnya.

   "Kita dipercaya masyarakat untuk mengelola uang mereka yang jumlahnya jutaan pound. Kita tidak bisa bertindak semaunya. Kita harus melakukan apa yang menjadi kewajiban kita."

   Augusta mencoba taktik lain.

   "Edward adajah putra tunggal dan ahli waris almarhum."

   "Jabatan di bank bukan jabatan warisan,"

   Jawab Hugh jengkel.

   "Jabatan ini hanya diperuntukkan bagi orang yang paling mampu."

   Giliran Augusta yang jengkel.

   "Edward adalah bankir yang andal, sama seperti lain-lainnya!"

   Hugh melihat ke sekeliling meja makan, secara dramatis menatap mata masing-masing mitra agak lama sebelum melanjutkan.

   "Adakah di antara yang hadir di sini yang dengan sejujurnya mengakui Edward sebagai bankir paling andal dari kita semua?"

   Tidak ada yang menjawab. Sunyi senyap. Akhirnya Augusta yang berkata.

   "Proyek obligasi Edward di Amerika Selatan memberikan keuntungan banyak sekali pada bank."

   Hugh mengangguk.

   "Memang benar Edward yang membawa proyek obligasi pemerintahan di Amerika Selatan. Jutaan pound nilainya. Tapi perlu diingat bahwa obligasi ini sangat rapuh. Begitu salah satu pemerintah di sana tidak bisa membayar bunga yang jatuh tempo, hancurlah bank kita. Bank adalah bisnis yang dilandasi oleh pilar kepercayaan masyarakat. Sekarang, karena Edward, reputasi kita berada di ujung tanduk."

   Hugh semakin emosional. Ia tidak rela kalau bank yang telah ia kembangkan dengan keringat dan pikirannya dihancurkan oleh ambisi gila Augusta.

   "Kau juga menjual obligasi pemerintah Amerika Utara,"

   Sela Augusta tak mau kalah.

   "Bisnis begini selalu ada risikonya. Itulah dasar dari sebuah bank."

   Gaya bicaranya penuh kemenangan.

   "Benar. Tetapi pemerintah Amerika Serikat merupakan pemerintahan yang demokratis, punya kekayaan sumber daya alam yang luar biasa banyaknya dan tidak punya musuh. Apalagi sekarang mereka sudah menghapuskan perbudakan, jadi tidak ada alasan untuk mencemaskan kestabilan negara itu dalam seratus tahun yang akan datang sekalipun. Sedangkan pemerintahan di Amerika Selatan bisa jatuh dalam waktu sepuluh hari yang akan datang. Jadi, memang benar ada risiko di kedua tipe bisnis tadi, tapi risiko di Amerika Serikat jauh lebih kecil daripada di negara belahan selatan. Jelas? Bisnis perbankan adalah bisnis memperhitungkan risiko."

   Augusta tak mampu memahami penjelasan Hugh, karena pada dasarnya ia tidak paham apa itu bisnis. Ia menjawab.

   "Kau hanya iri pada Edward kau memang selalu iri pada dia."—Hugh heran kenapa para mitra lainnya diam saja. Tiba-tiba ia sadar, mereka pasti sudah didekati dan diintimidasi oleh Augusta. Tapi apa yang bisa memaksa mereka menerima bujukan Augusta soal pengangkatan Edward sebagai mitra senior? Ia berpikir keras.

   "Apa sebenarnya yang dia katakan pada kalian?"

   Tiba-tiba Hugh bertanya pada setiap mitra yang hadir.

   "William? George? Harry? Ayo... terus terang saja. Kalian pasti telah bicara dan kena bujuk dia, atau dijanjikan sesuatu."

   Ketiga mitra jadi saling pandang. Akhirnya William yang menjawab.

   "Tidak ada satu pun yang kena suap, Hugh. Hanya saja dia dan Edward mengancam jika keinginan mereka tidak dipenuhi, mereka akan me..."

   William berhenti, ragu dan malu.

   "Ayo, mereka akan melakukan apa?"

   Desak Hugh tak sabar.

   "Mereka akan menarik saham mereka dari Pilasters Bank."

   "Apa?"

   Tanya Hugh kaget.

   Menarik saham dari bank merupakan pengkhianatan tak termaafkan, persis seperti yang telah dilakukan almarhum ayahnya.

   Jika sampai Augusta mempunyai pemikiran seperti itu, berarti ia sudah sangat serius atau sudah gila tertutup oleh ambisinya.

   Kedua orang ini memiliki saham sekitar empat puluh persen, atau bernilai sekitar lebih dari dua juta pound.

   Dengan menarik semuanya di akhir tahun fiskal, yang memang diperbolehkan oleh perundang-undangan, bank akan langsung lumpuh.

   Sangat mengejutkan sampai Augusta bisa melakukan ancaman seperti itu dan lebih —parah lagi karena para mitra yang sudah makan asam garam bisnis bisa mengalah dan menyerah begitu saja.

   "Kalau begitu, kalian sudah menyerahkan kekuasaan mutlak kepadanya!"

   Kata Hugh geram.

   "Jika sekarang kalian begitu mudah mengalah, lain kali dia akan melakukannya lagi... bahkan akan lebih sering! Kenapa tidak angkat saja dia jadi mitra senior sekalian!"

   Edward marah.

   "Jangan berani-berani bicara begitu tentang ibuku. Jaga tata kramamu!"

   "Persetan dengan tata krama!"

   Bentak Hugh kasar. Ia tahu tidak ada gunanya menuruti emosi, tapi ia sudah terlalu marah untuk bersikap sebagai seorang gentleman.

   "Kalian akan membuat bank keluarga ini ambruk. Augusta terlalu serakah, Edward terlalu tolol, dan kalian terlalu pengecut untuk menghentikan mereka."

   Dengan geram ia berdiri dan melempar serbet makan ke meja dengan sikap menantang.

   "Paling tidak masih ada satu orang yang tidak takut pada mereka berdua."

   Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, sadar bahwa ia akan membuat keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya. Tidak ada pilihan lain.

   "Aku mengundurkan diri,"

   Katanya.

   Saat membalikkan badan hendak keluar, ia masih sempat menangkap senyum kemenangan di bibir Augusta.

   Paman Samuel datang menemui Hugh sore harinya.

   Samuel sudah tua, tapi gayanya masih seperti dua puluh tahun yang lalu.

   Ia masih hidup bersama "sekretaris"

   Prianya, Stephen Caine.

   Selama ini hanya Hugh yang pernah datang mengunjunginya di rumahnya di kawasan Chelsea, yang berdekorasi indah dan dipenuhi kucing peliharaan.

   Pernah, pada suatu malam ketika sudah setengah mabuk, Stephen bergurau mengatakan bahwa mungkin dialah satu-satunya "istri"

   Anggota Pilaster yang lain dari yang lain.

   Samuel datang langsung ke ruang perpustakaan, menemui Hugh yang sedang istirahat setelah makan malam.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Sebuah buku terbuka di lututnya, namun tidak dibaca.

   Hugh sedang menatap perapian, memikirkan masa depannya.

   Ia memang punya banyak uang untuk hidup tenang tanpa perlu bekerja lagi seumur hidupnya, tapi ia tidak akan pernah menjadi mitra senior di bank keluarganya.

   Paman Samuel tampak lelah dan sedih.

   "Aku tidak pernah bisa rukun dengan sepupuku Joseph,"

   Katanya membuka percakapan.

   "Kalau saja aku bisa mengenal dia lebih dalam lagi."

   Hugh menawarkan minum dan ia minta anggur. Pelayan diminta mengambil sebotol anggur dengan dua gelas.

   "Bagaimana perasaanmu soal tadi siang?"

   Tanya Samuel. Hanya dia yang menanyakan perasaan Hugh.

   "Tadi siang saya sangat marah, tapi sekarang sudah reda. Edward sama sekali tidak pantas menjadi mitra senior, tapi mau apa lagi. Tak ada yang bisa mengubah niat mereka berdua."

   "Aku mengerti perasaanmu. Aku juga akan mundur pada akhir tahun. Sudah kukatakan pada mereka. Tapi aku tidak akan langsung menarik sahamku. Mungkin mestinya aku ikut bicara tadi. Tapi entahlah. Kurasa tidak akan banyak bedanya."

   "Lalu apa lagi reaksi mereka?"

   "Itulah, aku datang ke sini diminta menjadi perantara mereka. Mereka minta aku membujukmu untuk mengurungkan niat mundurmu."

   "Kalau itu yang mereka minta, berarti mereka memang orang-orang tolol."

   "Benar, aku setuju, tapi ada beberapa pertimbangan yang perlu kaupikirkan masak-masak. Kalau kau mundur sekarang juga, masyarakat akan segera tahu alasanmu... bahwa kau tidak yakin Edward mampu mengelola Pilasters Bank. Akibatnya? Semua orang akan menarik tabungan, deposito, dan rekening mereka. Masyarakat tidak akan mempercayai Pilasters Bank lagi."

   "Ya, itulah akibatnya kalau sebuah bank memilih pemimpin yang lemah. Kalau tetap menggunakan bank ini, masyarakat akan kehilangan uang mereka."

   "Ya, tapi bagaimana kalau pengunduran dirimu menimbulkan krisis keuangan hebat?"

   "Mungkinkah bisa berakibat begitu parah?"

   Hugh tidak pernah memikirkan sejauh ini.

   "Ya, kupikir demikian." * "Saya tidak ingin itu terjadi."

   Krisis keuangan akan menyeret begitu banyak kepentingan. Hugh ingat akibat kejatuhan Overend and Gurney di tahun 1866. Ayahnya ikut bangkrut dan keluarganya jadi ikut menderita.

   "Mungkin sebaiknya kau tetap tinggal sampai akhir tahun ini. Hanya beberapa bulan lagi. Nanti, jika semua orang sudah terbiasa dengan Edward, kepergianmu tidak akan memberi pengaruh negatif bagi bank."

   Kepala pelayan datang membawa anggur.

   Hugh menikmatinya pelan sambil berpikir keras.

   Ia baru saja memberi kuliah dan nasihat kepada para mitra tentang perlunya melaksanakan kewajiban mereka sebagai pengelola uang masyarakat.

   Kalau ia sendiri mundur sekarang hanya karena alasan pribadi, apa bedanya dia dengan Augusta? Selain itu bertahan untuk beberapa bulan di Pilasters Bank akan memberinya waktu untuk memikirkan rencana selanjutnya.

   Ia menarik napas panjang.

   "Baiklah, saya akan tinggal sampai akhir tahun ini."

   Samuel mengangguk senang.

   "Sudah kuduga kau akan melakukan itu. Keputusan yang tepat. Kau selalu mengambil keputusan yang tepat pada akhirnya." [II] SEBELUM Maisie Greenbourne meninggalkan kehidupan kelas atasnya sebelas tahun yang lalu, ia berhasil membujuk teman-temannya yang kaya untuk memberi sumbangan dana kepada Southwark Female Hospital yang dirintis oleh Rachel Bodwin. Dengan uang yang ditanam dalam investasi, biaya operasional rumah sakit tidak menjadi masalah lagi. Ayah Rachel, satu-satunya pria dalam manajemen rumah sakit itu, menjadi bendahara andaL Semula Maise bemiat mengolah dananya, tapi para bankir dan pialang saham tampak kurang serius jika berhadapan dengan dirinya sebagai wanita. Mereka sering mengabaikan instruksinya, kadang juga menyimpan informasi yang ia butuhkan. Ia bisa saja melawan dominasi pria dalam manajemen dana, tetapi banyak urusan lain yang lebih penting untuk diperjuangkan. Akhirnya ia menyerahkan pengelolaan dana kepada ayah Rachel. Selama ini Maisie tetap setia menjanda. Sedangkan Rachel masih menikah dengan Micky Miranda, meski hanya di atas kertas. Diam-diam ia menjalin hubungan dengan kakak Maisie, Dan Robinson, yang menjadi anggota parlemen. Mereka bertiga tinggal bersama di rumah Maisie di daerah pinggiran Walworth. Rumah sakit mereka terletak di daerah pekerja Southwark, di tengah kota London. Mereka menyewa dalam jangka panjang sederetan rumah di dekat Katedral Southwark. Tembok antara keempat rumah tersebut dibobol agar bisa bersambung satu dengan yang lainnya. Tempat tidur pasien tidak diatur dalam satu ruang besar, tapi lebih bersifat pribadi. Di dalam setiap kamar tidur diatur dua atau tiga ranjang pasien, sehingga suasana rumah sakit terasa lebih nyaman. Kantor Maisie kecil tapi asri, terletak di dekat pintu utama rumah sakit. Di dalam kamar ada dua kursi, vas berisi bunga segar, karpet yang sudah lusuh, dan tirai-tirai bercorak terang. Di dinding hanya ada poster Maisie sewaktu bermain di sirkus, dan di bawahnya sebuah lemari arsip. Pagi itu ia sedang menerima seorang gadis muda, tanpa alas kaki, kusut masai, dan mengandung sekitar sembilan bulan. Sinar matanya memelas seperti mata seekor kucing kelaparan dan kelelahan. Tanya Maisie.

   "Siapa namamu, Manis?"

   "Rose Porter, Mum..."

   Mereka selalu memanggilnya dengan sebutan "Mum", seolah-olah ia seorang nyonya besar. Sia-sia ia meminta mereka memanggilnya Maisie saja.

   "Kau mau minum teh?"

   Tanyanya kepada calon pasiennya.

   "Ya, Mum."

   Sambil menuangkan teh hangat di cangkir dan mencampurnya dengan susu serta gula, ia berkomentar.

   "Kau tampak lelah."

   "Ya, aku berjalan kaki dari Bath, Mum."

   Jauhnya sekitar seratus mil.

   "Bisa makan waktu seminggu!"

   Komentar Maisie.

   "Kasihan sekali."

   Rose menangis terisak-isak. Maisie sudah biasa menghadapi situasi ini. Ia selalu membiarkan mereka menangis sampai tuntas. Ia duduk di lengan kursi Rose, menepuk bahunya dengan hangat.

   "Aku sadar aku jahat sekali,"

   Isak Rose.

   "Tidak, kau tidak jahat,"

   Sahut Maisie.

   "Kita semua wanita, bisa saling memahami. Kita di sini tidak mem-bicarkan kejahatan. Kejahatan hanya kata yang tepat bagi kaum politikus dan pendeta."

   Setelah tenang kembali, Rose mulai mencerucup tehnya.

   Maisie mengambil arsip pasien dan mulai menulis di belakang meja tulisnya.

   Ia selalu mencatat data setiap SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pasien yang masuk ke rumah sakit ini.

   Kadang arsipnya sering bermanfaat, terutama kalau ada anggota Partai Konservatif di Parlemen yang mengritik bahwa para wanita hamil yang datang ke rumah sakit Maisie kebanyakan para pelacur.

   Atau mereka hanya mau membuang bayinya.

   Atau mereka tidak mau malu karena hamil sebelum nikah.

   Jika terjadi hal semacam itu, ada data untuk menjawab kritikan itu di surat kabar, atau bisa ia kutip sewaktu berpidato di beberapa kesempatan.

   "Coba ceritakan apa yang telah terjadi,"

   Katanya pada Rose.

   "Bagaimana kau sampai hamil, dan di mana kau tinggal."

   "Aku bekerja sebagai koki Mrs. Freeman di Bath."

   "Dan di mana kau bertemu si pemuda?"

   "Di jalan, tak sengaja. Waktu aku jalan-jalan dengan memakai payung kuningku yang baru."

   Maisie terus mendengarkan cerita Rose.

   Khas percintaan muda mudi yang lupa diri.

   Terjadi beberapa kali, di rumah majikan Rose sewaktu ia sendirian atau ketika nyonya rumah sedang mabuk berat.

   Pada suatu hari si pemuda kehilangan pekerjaannya dan terpaksa pindah ke luar kota.

   Menulis surat satu-dua kali kepada Rose, lalu hilang begitu saja.

   Lalu semuanya sudah terlambat.

   Rose mengandung.

   "Akan kucoba melacak dia untukmu,"

   Hibur Maisie.

   "Kukira dia sudah tidak mencintaiku lagi."

   "Kita lihat saja nanti."

   Sering kali upaya Maisie berhasil baik.

   Pria yang mencoba lari dari tanggung jawab akan bersikap lain jika bertemu gadisnya yang sudah melahirkan dan melihat bayi mereka.

   Bayi mungil tanpa daya.

   Sering kali sang ayah akan luluh hatinya.

   Apalagi pacar Rose pergi karena pindah kerja, bukan karena tidak mencintai Rose.

   Tiba-tiba Rose menyeringai kesakitan.

   Maisie bertanya khawatir.

   "Kenapa?"

   "Pinggangku tiba-tiba sakit. Mungkin karena kecapaian jalan kaki begitu jauh."

   Maisie tersenyum.

   "Itu tanda sudah waktunya kau melahirkan. Ayo, masuk ke kamar bersalin."

   Rose diajak naik ke lantai atas dan diserahkan pada seorang suster.

   "Semuanya akan beres, jangan khawatir. Kau akan melahirkan seorang bayi mungil."

   Maisie berkeliling kamar pasien dan berhenti di tepi ranjang seorang pasien yang tidak bersedia memberikan data dirinya.

   Usianya sekitar tujuh belas tahun, cantik, berambut hitam kelam.

   Aksen bicaranya kelas atas, pakaian dalamnya mahal, dan Maisie yakin ia orang Yahudi.

   "Bagaimana kabarmu hari ini, Sayang?"

   Tanya Maisie.

   "Sehat dan sangat berterima kasih pada Anda, Mrs. Greenbourne."

   Ia begitu bertolak belakang dengan Rose.

   Hanya nasib mereka yang sama.

   mengandung tanpa suami, dan akan melahirkan bayi hasil hubungan cinta mereka secara alamiah dan menyakitkan.

   Kembali ke kamar kerjanya, Maisie mulai menulis surat pembaca yang ditujukan ke editor The Times.

   Rumah Sakit Khusus Wanita Southwark, London, S.

   E.

   10 September, 1890 Kepada Editor The Times Dengan hormat, Saya membaca penuh minat surat Dr.

   Charles Wickam tentang kaum wanita yang secara fisik lebih lemah daripada pria.

   Ia agak ragu meneruskan suratnya, tapi dengan datangnya Rose Porter, ia mendapat inspirasi baru.

   Kami baru saja menerima sebagai pasien seorang gadis muda belia dalam kondisi khusus yang telah berjalan kaki ke tempat kami dari Bath.

   Editor mungkin akan menghapus kata dalam kondisi khusus yang dianggap terlalu vulgar, tapi Maisie akan tetap membiarkan apa adanya.

   Kalau mau disensor, biar si editor sendiri yang melakukannya.

   Kami mencatat bahwa Dr.

   Wickam menulis dari Cowes Club dan kami bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak pria di sana yang bisa melakukan jalan kaki sejauh pasien wanita kami dari Bath ke London? Sudah tentu sebagai wanita Jcami tidak pernah masuk ke dalam klub itu, tapi, sering kali jika kami lewat di depannya, kami lihat banyak pria yang kadang masih muda-muda memesan kereta kuda hanya untuk jarak satu mil.

   Dari penampilan mereka, kami ragukan mereka sanggup berjalan kaki dari kawasan Piccadilly Circus ke kawasan Parliament Square.

   Mereka jelas takkan sanggup bekerja setiap hari selama dua belas jam di kawasan East End, seperti yang dilakukan oleh ribuan kaum wanita di Inggris saat ini...

   Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar.

   "Masuk,"

   Panggil Maisie.

   Wanita yang masuk tidak mengandung atau miskin.

   Dari busananya yang mahal, jelas ia berasal dari kelas atas.

   Ia adalah Emily Pilaster, istri Edward Pilaster.

   Maisie menyambut dengan memeluknya erat Emily merupakan pendukung dan sponsor gigih rumah sakit Maisie dan Rachel.

   Selain itu masih banyak pendukung lain, termasuk April Tilsey, sobat lama Maisie yang sekarang sudah memiliki tiga rumah bordil di London.

   Mereka selalu siap menyumbang pakaian bekas, makanan, kadang bahkan ikut mencarikan pekerjaan bagi wanita yang telah melahirkan.

   Tapi terutama sering memberikan dukungan moral pada saat kaum pria menyerang keberadaan rumah sakit itu atau hal-hal kecil seperti kenapa tidak pernah ada kebaktian hari Minggu, kenapa mereka tidak diharuskan berdoa sebelum makan, kenapa mereka tidak diberi khotbah tentang dosa mereka mengandung tanpa suami, dan lain sebagainya.

   Melihat Emily kadang membuat Maisie ikut merasa bersalah.

   Kejadian malam itu di rumah bordil April.

   Sejak itu, Edward dan Emily diam-diam hidup terpisah.

   Si suami tinggal di kota bersama ibunya, si istri tinggal di rumah pedesaan.

   Mereka saling membenci.

   Pagi ini Emily tampak riang gembira.

   Wajahnya cerah dan merona merah.

   Setelah menutup pintu, ia berkata penuh semangat.

   "Maisie, aku sedang jatuh cinta."

   Meski agak ragu Maisie menjawab.

   "Bagus, bagus sekali! Dengan siapa?"

   "Robert Charlesworth. Penyair dan penulis artikel tentang seni Itali. Dia tinggal di Florence, tapi menyewa rumah di dekat rumahku. Dia tinggal di Inggris hanya dalam bulan September, bulan favoritnya."

   Tampaknya penyair ini .cukup kaya untuk tidak bekerja secara tetap, pikir Maisie.

   "Kedengarannya romantis sekali."

   "Oh, ya. Sangat romantis. Kau pasti menyukainya."

   "Ya, pasti,"

   Kata Maisie, kendati ia tidak senang pada penyair yang tidak bekerja tetap. Tapi ia senang Emily bisa bahagia; ia sudah terlalu banyak mengalami kepahitan.

   "Kalau begitu, kau berhubungan gelap dengan dia?"

   Pipi Emily merona merah.

   "Oh, Maisie, kau selalu bertanya langsung. Aku jadi malu. Sudah tentu tidak!"

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Setelah peristiwa malam itu di kamar rumah bordil April, Maisie heran Emily masih tetap pemalu jika menyinggung soal seks.

   Tapi Maisie sadar ia memang kadang-kadang terlalu langsung jika berbicara dengan orang lain.

   Seharusnya ia tidak begitu, tapi untuk mengubahnya jelas tak mungkin.

   Maisie bukan tipe wanita yang mampu bersikap munafik atau berpura-pura.

   Jika memikirkan sesuatu, ia akan langsung mengatakannya terus terang.

   "Baiklah, Emily. Tapi kau tak mungkin menjadi istri laki-laki itu."

   Jawaban Emily membuat Maisie kaget.

   "Justru karena itulah aku datang ke sini, minta nasihatmu. Bisakah perkawinanku dengan Edward dibatalkan oleh hukum?"

   "Oh, Tuhan!"

   Maisie berpikir sejenak.

   "Atas dasar tidak adanya nafkah batin dari pihak suami, begitu kira-kira?"

   "Ya."

   Maisie mengangguk.

   "Ya, berdasarkan hukum memang bisa dijadikan alasan.

   "Ia memang sering menjadi penasihat para wanita, karena pada masa itu tidak ada pengacara wanita. Pengacara pria barangkali akan langsung memberitahu Edward tentang rencana Emily. Sebagai pembela hak-hak kaum wanita, Maisie telah mempelajari hukum dan peraturan perkawinan, khususnya seluk-beluk perceraian.

   "Kau harus pergi ke Pengadilan Tinggi dan langsung mendaftar ke Divisi Perceraian. Dasar pengajuan ceraimu adalah suami yang impoten dengan wanita siapa pun, tidak hanya denganmu."

   Wajah Emily seketika jadi muram.

   "Kita tahu dia bisa main dengan pelacur."

   "Ya, juga fakta bahwa sekarang kau sudah tidak perawan lagi juga bisa dijadikan sanggahan Edward."

   "Kalau begitu, percuma saja aku menuntut cerai,"

   Komentar Emily sedih.

   "Ada juga jalan lain. Bujuk Edward agar mau bekerja sama denganmu. Menurutmu dia bersedia?"

   Emily kembali cerah.

   "Ya, mungkin dia mau."

   "Jika dia bersedia menandatangani pernyataan bahwa dia memang impoten dan setuju untuk tidak menolak permohonan cerai dari pihak wanita, bukti-bukti yang kauajukan tidak akan dibantah lagi oleh pihak pengadilan."

   "Kalau begitu, aku tinggal mencari jalan bagaimana membujuk Edward agar bersedia tanda tangan."

   Wajah Emily tampak keras, mengingatkan Maisie akan tekad seorang wanita yang sudah terpojok; ia bisa nekat dan melakukan apa saja untuk mencapai niatnya.

   "Tapi kau harus hati-hati. Semuanya harus dirahasiakan, karena ada semacam polisi perceraian yang disebut Proctor Sang Ratu. Tugasnya adalah mengawasi proses perceraian mulai dari permohonan sampai keputusan cerai."—"Jika sudah selesai, aku bisa menikah dengan Robert?"

   "Ya. Tapi butuh waktu. Absennya nafkah batin bisa dijadikan alasan perceraian penuh di bawah Hukum Perkawinan Gereja. Prosesnya bisa memakan waktu setahun. Setelah diputuskan, dibutuhkan lagi waktu percobaan enam bulan. Setelah itu kau baru bisa menikah dengan pria lain."

   "Oh, kuharap Edward mau tanda tangan."

   "Omong-omong, bagaimana perasaannya padamu?"

   "Dia benci padaku."

   "Kaupikir dia mau berpisah darimu?"

   "Dia tidak akan peduli, asalkan aku tidak menghalangi cara hidupnya."

   "Bagaimana kalau kau membuatnya jengkel?"

   Maksudmu, kalau aku ribut-ribut tentang hubungan suami-istri kami?"

   "Ya."

   "Kurasa bisa."

   Maisie yakin kalau Emily sudah bertekad, ia pasti akan melakukannya.

   "Aku harus pergi ke pengacara untuk mempersiapkan surat pernyataan Edward."

   "Akan kuminta tolong ayah Rachel, dia pengacara."

   "Oh, kau baik sekali."

   "Tapi tidak hari ini. Aku harus hadir pada hari pertama semesteran Bertie di Windfield. Besok pagi saja aku bicara dengannya."

   Emily berdiri dan pamit sambil berkata.

   "Maisie, kau memang teman terbaik yang pernah kumiliki."

   "Tapi ingat, tuntutanmu akan menggegerkan keluarga Pilaster, khususnya Augusta."

   "Oh, aku tidak pernah takut padanya."

   Maisie Greenbourne selalu menarik perhatian di Windfield. Ada beberapa alasan. Ia dikenal sebagai janda milyuner Solly Greenbourne, kendati ia tidak mewarisi apa-apa dari keluarga mendiang suaminya. Kedua, ia dikenal sebagai wanita "maju"

   Pembela hak asasi kaum wanita, dan menurut isu-isu miring, membuat para gadis jadi berani bergaul bebas sebelum menikah.

   Ketiga, setiap mengunjungi Bertie di sekolah, ia selalu ditemani oleh Hugh Pilaster, bankir tampan yang menanggung biaya sekolah Bertie.

   Beberapa orangtua yang berpikiran negatif curiga bahwa ayah Bertie yang sejati adalah Hugh sendiri.

   Alasan terakhir, yang paling utama, Maisie di usia tiga puluh empat tahun masih cantik, sehingga mampu membuat para pria memalingkan kepala jika berpapasan dengannya.

   •Hari ini ia memakai busana warna merah tomat dengan topi dihiasi bulu burung.

   Ia tahu setiap orang akan mengagumi dirinya, kendati dalam hati ia merasa sedih sekali.

   Tujuh belas tahun yang lalu ia melewatkan malam pertamanya dengan Hugh, dan sampai hari ini ia masih mencintai Hugh.

   Karena itu, ia selalu merasa sedih jika harus bertemu Hugh seperti saat ini.

   Tapi pada hari -— hari biasa, ia bisa menyibukkan diri menolong para gadis yang menderita.

   Sudah sebelas tahun Hugh tahu bahwa Bertie adalah anak kandungnya.

   Ben Greenbourne yang membangkitkan rasa penasarannya, lalu Maisie sendiri mengaku ketika didesak.

   Sejak itu pula ia melakukan apa saja demi Bertie, kecuali memberi pengakuan sebagai ayah kandungnya.

   Bertie sendiri masih menganggap Solly sebagai ayah kandung yang begitu menyayanginya.

   Memberitahukan tentang Hugh Pilaster malah akan membuatnya bingung dan akhirnya gundah.

   Nama anak itu sebenarnya Hubert, dan panggilan kecilnya Bertie sama dengan —panggilan kecil Pangeran Wales.

   Maisie tidak pernah bertemu Pangeran Wales lagi karena sekarang ia bukan lagi istri seorang jutawan.

   Ia hanya seorang janda yang hidup di rumah biasa di selatan London, jadi jelas ia tidak masuk hitungan sebagai teman pewaris mahkota Inggris.

   Maisie memilih nama Hubert untuk anaknya bukan tanpa alasan.

   Nama itu mengingatkannya akan nama Hugh, tapi ia selalu merasa agak malu kalau memanggil nama anaknya, karena itu ia memilih nama panggilan Bertie.

   Ia memberitahu anaknya bahwa Hugh adalah sobat terbaik almarhum ayahnya.

   Untungnya tidak ada persamaan rupa antara Bertie dengan Hugh.

   Bertie malah mirip ayah Maisie, berambut hitam dan bermata cokelat sendu.

   Tubuhnya tinggi dan kuat; ia pandai dalam pelajaran, rajin, dan atlet yang hebat.

   Maisie amat bangga jika memandang putranya.

   Dalam acara publik seperti hari ini, Hugh selalu bersikap resmi dan sopan terhadap Maisie.

   Tapi Maisie bisa merasakan kepedihan di dalam hati pria yang dicintainya itu.

   Dari ayah Rachel, Maisie tahu bahwa Hugh adalah bankir terkenal di London.

   Jika sudah bicara soal keuangan, matanya bersinar dan nada bicaranya berapi-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY api.

   Tapi jika sudah menyangkut soal keluarganya, ia berubah menjadi pendiam.

   Ia hanya bersedia membicarakan ketiga putranya yang sangat ia cintai.

   Hanya sebatas itu.

   Ia tidak mau membicarakan rumahnya, kehidupan sosialnya, apalagi istrinya.

   Maisie tahu bahwa Nora bukan ibu yang baik, juga sebagai istri.

   Hugh tampaknya sudah pasrah dengan kehidupan perkawinannya yang dingin.

   Pagi ini Hugh memakai jas abu-abu, cocok dengan rambutnya yang sudah beruban di sana-sini.

   Badannya lebih gemuk, seringainya masih tetap seperti dulu, ramah memikat.

   Sewaktu berjalan ke aula Windfield, Maisie merasa sedih.

   Mereka seperti suami-istri, tapi sebenarnya bukan.

   Rasanya ia mau memberikan segala miliknya asalkan bisa berduaan terus dengan Hugh sepanjang waktu.

   Mereka membantu Bertie menata barang pribadinya di kamar asrama, dan sekarang Bertie membuatkan teh hangat.

   Hugh membawa kue banyak, cukup untuk enam orang lebih.

   "Putra tertuaku, Tobby, akan masuk ke sini tahun depan. Tolong amat-amati dia, mau kan?"

   Kata Hugh sambil minum teh.

   "Ya, senang sekali,"

   Jawab Bertie.

   "Akan kujaga dia agar tidak berenang di Bishop's wood."

   Maisie melotot kepada anaknya.

   "Maaf. Aku hanya bercanda."

   "Mereka masih membicarakan tragedi itu?"

   Tanya Hugh ingin tahu."

   "Ya, mereka selalu bercerita tentang Peter Middleton yang mati tenggelam, tapi tetap saja kami mencuri-curi kesempatan untuk berenang di sana."

   Selesai minum teh, mereka berpamitan pada Bertie.

   Maisie menahan tangisnya karena harus berpisah dengan anaknya.

   Mereka berjalan kaki ke stasiun kereta, lalu naik gerbong kelas satu menuju London.

   Di sepanjang jalan, sambil melihat pemandangan di luar, Hugh berkata.

   "Edward akan diangkat menjadi mitra senior."

   Maisie terkejut.

   "Dia tidak punya kemampuan serta otak untuk menjadi mitra senior di bank."

   "Memang. Karena itu aku akan mundur dari bank pada akhir tahun."

   "Hugh!"

   Maisie tahu sifat Hugh. Mati-hidupnya untuk bank keluarganya, jadi kalau ia memutuskan mundur, pasti karena situasi di dalam sudah tak tertahankan lagi.

   "Lalu apa rencanamu selanjutnya?"

   "Tidak tahu. Nanti akan kupikirkan, karena aku masih bekerja di bank sampai akhir tahun ini."

   "Apakah bank tidak akan bangkrut jika dipimpin Edward?"

   "Aku khawatir itu akan terjadi."

   Maisie sedih atas kejadian yang dialami Hugh. Ia selalu tertimpa nasib jelek, sementara Edward selalu bernasib mujur.

   "Edward sekarang mewarisi gelar ayahnya. Dia menjadi Lord Whitehaven. Kau tahu, kalau gelar itu jatuh ke Ben Greenbourne, Bertie sudah mewarisinya saat ini?"

   "Ya."

   "Tapi semuanya berantakan karena ulah Augusta."

   "Augusta?"

   "Ya. Dialah yang mendalangi semua artikel waktu itu, kau ingat, artikel-artikel yang mempertanyakan apakah seorang Yahudi pantas menjadi bangsawan?"

   "Ya, aku ingat, tapi bagaimana kau begitu yakin Augusta yang menjadi dalangnya?"

   "Pangeran Wales sendiri yang bercerita pada kami."

   "Hmmm... hmmm."

   Hugh menggelengkan kepala.

   "Augusta memang selalu bertingkah."

   "Ya, dan Emily sekarang juga bergelar Lady Whitehaven."

   "Paling tidak, dia mendapatkan sesuatu dari perkawinannya yang hancur."

   "Hugh, akan kuceritakan sesuatu yang rahasia sekali."

   Maisie merendahkan suaranya, hampir berbisik.

   "Emily akan minta cerai pada Edward."

   "Bagus bagi Emily! Atas dasar perkawinan tanpa nafkah batin, kukira?"

   "Ya, benar. Kau tampaknya tidak terkejut mendengar ini?"

   "Bagaimana mau terkejut? Sejak awal pernikahan, mereka tidak pernah bersentuhan. Tidak pantas untuk disebut sebagai suami-istri."

   "Ya, dan Emily sudah jenuh dengan kepalsuan perkawinan mereka, karena itu dia memutuskan ingin segera mengakhiri semuanya."

   "Dia akan mendapat tentangan dari keluarga Pilaster,"

   Kata Hugh.

   "Tentangan dari Augusta. Emily sudah siap untuk itu. Dia punya tekad kuat dan pasti berhasil."

   "Apa dia sudah punya kekasih lain?"

   "Ya, tapi baru sebatas kekasih saja, belum sampai tingkat bercinta. Emily tidak mau melakukan skandal dengan pria lain."

   Hugh tersenyum dan sambil memandang mesra Maisie, ia berkata.

   "Kau juga pernah menolak membuat skandal. Ingat kan?"

   Maisie tahu yang dimaksud Hugh adalah peristiwa malam itu di Kingsbridge Manor, ketika ia menolak membuka pintu kamarnya terhadap ketukan Hugh.

   "Aku menikah dengan seorang pria budiman dan kita tidak mau menyakiti hatinya. Situasi Emily sangat berbeda dengan kita."

   Hugh mengangguk setuju.

   "Aku mengerti perasaannya. Dia tidak mau main belakang atau berbohong, karena berbohong itulah yang membuat para pelaku perselingkuhan jadi malu dan dihinggapi rasa bersalah."

   Maisie tidak setuju.

   "Tidak juga, Hugh. Kita hidup hanya sekali. Kalau hendak memperoleh kebahagiaan, kita harus meraihnya."

   "Tapi dengan begitu kau akan kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu. Integritas dirimu."

   "Ah, integritas... Terlalu abstrak bagiku."

   "Bagiku juga demikian, dulu di rumah Kingo, pada malam kau menolakku. Betapa rendahnya diriku jika malam itu sampai terjadi pengkhianatan terhadap orang berbudi seperti Solly. Tapi sejak itu aku makin menghargai integritas, apalagi sekarang."

   "Apa sebenarnya integritas itu?"

   "Sikap selalu berterus terang, menepati janji, dan bertanggung jawab atas kesalahan yang kauperbuat. Berlaku sama dalam bisnis maupun dalam kehidupan "sehari-hari. Mempraktekkan apa yang kauyakini, menjalankan apa yang telah kaujanjikan. Sebagai bankir, integritas menjadi suatu kemutlakan. Bagaimana mau jadi bankir yang dipercaya jika kau hidup atas dasar kebohongan? Jika istrimu sendiri tidak mempercayaimu?"

   Maisie tiba-tiba merasa marah pada Hugh.

   Entah kenapa.

   Sebentar lagi Hugh akan meninggalkan bank keluarga.

   Istrinya tidak mencintai dia dan ketiga anaknya.

   Kenapa ia tidak kembali saja pada Maisie, wanita yang benar-benar mencintainya? Di stasiun Paddington, Hugh menemani Maisie mencari kereta sewaan.

   Ketika akan berpisah, Maisie menggenggam kedua tangan Hugh dan berkata.

   "Pulanglah bersamaku."

   Hugh menggelengkan kepala dengan sedih.

   "Kita saling mencintai sejak dulu. Kenapa mesti peduli dengan akibat?"

   "Bukankah kehidupan memang merupakan mata rantai sebab-akibat?"

   "Oh, Hugh, ayolah."

   Hugh melepaskan tangannya dan berpamitan pelan.

   "Sampai jumpa, Maisie."

   Maisie menatapnya putus asa. Kerinduan yang bertahun-tahun dipendam itu rasanya tak tertahankan lagi. Ingin rasanya ia menarik Hugh masuk ke kereta bersamanya. Sementara ia masih terpaku, Hugh mengangguk pada kusir kereta.

   "Berangkatlah."

   Si kusir menyentuh kudanya dengan cambuk kecilnya.

   Roda-roda pun mulai bergerak.

   Sesaat kemudian, Hugh sudah hilang dari pandangan.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY HUGH tidak bisa tidur nyenyak malam itu.

   Ia menyesal menolak ajakan Maisie pulang ke rumahnya.

   Tapi ada hal lain yang mengganggunya.

   Ia merasa Maisie telah mengatakan sesuatu yang mengandung makna tersembunyi dan amat penting, sesuatu yang sinis dan mengejutkan, yang luput dari perhatiannya.

   Sesuatu yang samar-samar tetapi menggelitik dirinya.

   Ia ingat mereka bicara tentang pengangkatan Edward sebagai mitra senior; gelar yang diwarisi Edward; rencana Emily meminta pembatalan perkawinannya dengan Edward; malam hari di Kingsbridge Manor ketika mereka nyaris melakukan perselingkuhan; konflik nilai-nilai antara integritas dengan kebahagiaan...

   di mana sesuatu yang teramat penting itu? Ia mencoba mengingat-ingat kembali percakapan mereka berdua.

   Pulanglah bersamaku...

   Kalau hendak memperoleh kebahagiaan, kita harus meraihnya...

   Emily akan minta cerai pada Edward...

   Emily sekarang juga bergelar Lady Whitehaven...

   Kalau gelar itu jatuh ke Ben Greenbourne, Bertie sudah mewarisinya saat ini.

   Tidak, ada sesuatu yang mengganjal.

   Edward mewarisi gelar bangsawan almarhum ayahnya, yang seharusnya jatuh pada Ben Greenbourne tetapi gagal karena kampanye anti Yahudi di koran, —yang didalangi Augusta.

   Dan Maisie tahu kebusukan Augusta langsung dari penuturan Pangeran Wales sendiri.

   Hugh membalikkan tubuh dengan gelisah.

   Pembicaraan tadi pagi hanya memberi bukti lain soal kekejaman Augusta.

   Tapi Solly sudah tahu...

   Tiba-tiba Hugh bangkit dan duduk menatap kegelapan dalam kamarnya.

   Ya, Solly sudah tahu.

   Jika Solly tahu keluarga Pilaster berada di belakang kampanye anti Yahudi yang menyebabkan kesedihan ayahnya, ia pasti tidak sudi melakukan bisnis dengan keluarga Pilaster.

   Ini berarti tidak akan ada proyek jalan kereta api Santamaria.

   Solly pasti sudah mengatakan ini pada Edward dan Edward tentunya memberitahu Micky.

   "Ohj Tuhan,"

   Keluh Hugh keras-keras.

   Ia memang sudah lama curiga bahwa Micky berada di belakang kematian Solly, tapi waktu itu ia belum tahu pasti motif yang tepat bagi Micky untuk membunuh Solly.

   Bukankah ia lebih membutuhkan Solly dalam keadaan hidup, karena Solly salah satu sponsor utama proyek jalan kereta apinya? Tapi jika ternyata Solly berubah menjadi orang yang bisa membatalkan proyek besarnya, kemungkinan Micky tidak segan-segan menyingkirkan Solly.

   Bukankah kusir kereta bersaksi bahwa ada seorang pria mendorong tubuh Solly ke arah kereta kudanya yang sedang berlari cepat? Dan bukankah malam itu Hugh berpapasan dengan Micky yang sedang masuk ke dalam klub? Waktunya bersamaan dengan waktu terbunuhnya Solly.

   Mungkinkah Micky membunuh orang sebaik Solly? Pikiran-pikiran seperti.ini membuat bulu kuduk Hugh merinding.

   Ngeri dan marah menjadi satu.

   Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mondar -mandir di seputar kamarnya.

   Apakah Micky telah melenyapkan nyawa dua kawannya.

   Peter dan Solly? Kalau memang, lalu ia mau apa?"

   Ya, ia mau bertindak apa? Keesokan harinya ia masuk kantor dengan hati masih gundah.

   Pagi itu ia habiskan di mejanya di ruang mitra.

   Dulu ia sangat ingin duduk di ruangan mewah yang tenang ini, membuat berbagai keputusan yang menyangkut jutaan pound di bawah potret-potret para leluhurnya.

   Sekarang ia sudah terbiasa, dan sebentar lagi ia akan melepaskan semuanya.

   Ia sedang menyelesaikan beberapa proyek yang belum tuntas, tapi pikirannya tak mampu lagi berkonsentrasi.

   Di benaknya melayang-layang sosok Micky dan Solly yang malang.

   Ia sangat marah membayangkan orang sebaik Solly dibunuh oleh bajingan parasit seperti Micky.

   Ingin rasanya ia mencekik Micky dengan tangannya sendiri.

   Tapi itu tak mungkin.

   Melaporkan kejahatan Micky pun mustahil, karena ia tak punya bukti.

   Kepala Administrasi, Jonas Mulberry, tampak cemas sepanjang pagi ini.

   Berkali-kali ia bolak-balik masuk ke ruang mitra, dengan berbagai alasan.

   Akhirnya Hugh menyimpulkan Mulberry ingin bicara empat mata dengannya.

   Beberapa menit sebelum waktu makan siang, Hugh keluar kamar kerja, meninggalkan para mitra lainnya.

   Ia berjalan di koridor, menuju ruang telepon.

   Dua tahun yang lalu mereka memasang telepon, dan sekarang baru menyesal kenapa dulu tidak dipasang di ruang mitra saja, sehingga setiap ada telepon mereka tidak perlu keluar ruangan.

   Di koridor ia berpapasan dengan Jonas.

   "Ya, ada yang ingin Anda bicarakan sendirian denganku?"

   "Ya, Mr. Hugh,"

   Jawab Mulberry lega. Dengan nada rendah ia berbisik.

   "Saya kebetulan membaca surat usulan proyek yang sedang dirancang oleh Simon Oliver, klerk Mr. Edward."

   Hugh menggamit lengan Mulberry, mengajaknya masuk ke dalam ruang telepon dan menutup pintunya.

   "Ya, apa isinya?"

   "Usulan pendanaan pinjaman untuk Kordoba sejumlah dua juta pound}"

   "Oh, tidak. Pilasters Bank tidak sanggup lagi mendanai proyek sebesar itu di Amerika Selatan."

   "Saya tahu Anda akan mengatakan demikian."

   "Proyek apa itu?"

   "Proyek membangun pelabuhan baru di Provinsi Santamaria."

   "Akal-akalan baru lagi dari Micky Miranda."

   "Ya, saya kira demikian. Dia dan sepupunya Simon Oliver memang punya pengaruh besar pada diri Mr. Edward."

   "Baiklah, Mulberry. Terima kasih Anda telah memberitahuku. Akan kucoba menangani hal ini."

   Ia segera kembali ke ruang mitra.

   Apakah para mitra lain akan menerima proyek ini? Kemungkinan besar.

   Hugh dan Samuel sudah tidak punya pengaruh lagi karena pada akhir tahun mereka akan keluar.

   Young William tidak merasa khawatir atas proyek-proyek di Amerika Selatan.

   Mayor Hartshorn dan Sir Harry akan melakukan apa yang diminta.

   Dan Edward telah menjadi mitra senior sekarang.

   Apa yang bisa dilakukan Hugh? Ia masih bekerja di bank, berarti tanggung jawabnya belum selesai.

   Masalah utamanya, Edward selalu tidak memakai akal sehat jika sudah menyangkut kepentingan Micky Miranda.

   Persis seperti yang dikatakan Jonas.

   Edward berada di bawah pengaruh Senor Miranda.

   Adakah hal-hal yang bisa menggoyahkan pengaruh Micky atas diri Edward? Ada, soal pembunuhan yang dilakukan Micky atas Peter Middleton.

   Edward tidak akan percaya, tapi tak ada salahnya dicoba.

   Paling tidak, ia bisa saling bagi informasi yang selama ini sudah memberatkan nuraninya.

   Secara naluriah ia segera keluar, mencari Edward yang sudah pergi makan siang.

   Setelah menduga-duga di mana Edward makan siang, ia naik kereta kuda ke Cowes Club.

   Di jalan ia memikirkan apa yang akan dikatakannya pada Edward.

   Tidak perlu kalimat yang berbunga, tetapi langsung ke sasaran, mengatakan apa yang ia ketahui.

   Ruang makan klub masih sepi, hanya ada Edward.

   Ia sedang minum segelas besar Madeira.

   Kulitnya tampak makin parah, memerah dan berbercak-bercak.

   Hugh duduk di dekatnya, memesan segelas teh.

   Ketika masih kanak-kanak, mereka saling bermusuhan.

   Ia benci pada sifat Edward yang licik serta mau menang sendiri.

   Tapi setelah dewasa, Hugh bisa memahami mengapa Edward bisa begitu.

   karena ia berada di bawah pengaruh dua orang yang jahat.

   Augusta yang terlalu protektif dan Micky yang memanfaatkannya.

   Edward sendiri tetap tidak menyukai Hugh dan tidak menutupi perasaan ini.

   "Kau kemari pasti tidak hanya mau minum teh,"

   Katanya.

   "Apa maumu?"

   Permulaan yang jelek, tapi tak ada salahnya tetap mencoba. Dengan agak pesimis Hugh memulai.

   "Aku akan memberitahumu sesuatu yang penting dan mengejutkan."

   "O ya? Apa itu?"

   "Kau mungkin sukar menerima ini, tapi harus kukatakan karena ini fakta sebenarnya. Kukira Micky Miranda adalah pembunuh."

   "Oh, Tuhan, jangan mulai lagi omong kosong itu,"

   Kata Edward marah.

   "Dengarkan dulu, jangan emosional,"

   Sela Hugh.

   "Aku akan segera keluar dari Pilasters Bank. Kau adalah mitra senior, jadi aku tidak punya kepentingan apa-apa SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY lagi dengan dirimu dan kariermu. Tapi kemarin aku mendengar sesuatu yang saling berkaitan. Ibumu berada di belakang rangkaian artikel yang menyudutkan Ben Greenbourne."

   Edward tersentak, seolah-olah ucapan Hugh mengarah pada sesuatu yang sudah diketahuinya. Hugh makin bersemangat.

   "Aku berada di jalur yang tepat, bukan?"

   Katanya. Ia mulai lagi.

   "Solly tahu hal ini. Dia langsung datang kepadamu, mengancam akan membatalkan pendanaan proyek jalan kereta api Santamaria. Benar kan?"

   Edward hanya mengangguk. Hugh menggeser kursinya, mendekat. Edward berkata.

   "Ya, Solly datang ke meja ini. Waktu itu aku duduk bersama Micky. Dia marah sekali, kesetanan. Tapi..."

   "Dan malam itu Solly meninggal."

   "Ya, tapi Micky terus berada di sini bersamaku, main kartu, lalu pergi ke tempat Nellie."

   "Dia pasti pergi meninggalkanmu sebentar, mungkin beberapa menit."

   "Tidak."

   "Aku lihat sendiri dia masuk ke klub sekitar saat kematian Solly."

   "Mungkin sebelumnya."

   "Dia bisa saja pamitan pergi ke toilet atau..."

   "Tidak mungkin cukup waktunya,"

   Sanggah Edward tak mau kalah. Wajahnya menjadi skeptis. Harapan Hugh luntur lagi. Tadi, untuk sesaat ia bisa meyakinkan Edward. Sekarang ia mulai ragu apakah mampu mengembalikannya lagi.

   "Akal sehatmu sudah mulai kabur,"

   Sindir Edward.

   "Micky tak mungkin sekejam itu."

   Hugh memutuskan untuk menceritakan tentang Peter Middleton.

   Usahanya yang terakhir, sebab jika Edward tidak percaya tentang kemungkinan Micky membunuh Solly sebelas tahun yang lalu, bagaimana ia mau percaya mengenai pembunuhan dua puluh empat tahun yang lalu? Dengan putus asa ia mencoba upaya terakhirnya.

   "Kau tahu, Micky juga membunuh Peter Middleton,"

   Katanya, menjaga suaranya setenang mungkin.

   "Hah, menggelikan sekali."

   "Selama ini kau mengira kaulah pembunuh Peter. Aku tahu itu. Kau membenamkan Peter berkali-kali, lalu mengejar Tonio. Kauanggap Peter tenggelam karena terlalu lelah untuk berenang ke tepi kolam, tapi ada sesuatu yang tidak kauketahui."

   Meski masih skeptis, Edward tergelitik.

   "Apa itu?"

   "Tidak mungkin Peter mati tenggelam, karena dia perenang hebat.'-' "Dia anak kurus dan penakut."

   "Ya, justru untuk menutupi itu dia berlatih renang sepanjang musim panas, setiap hari. Dia mampu berenang jauh. Dan ada saksi yang melihat dia berhasil berenang ke tepi. Tonio Silva."

   "Apa! Dia melihat apa lagi?"

   "Sementara kau memanjat tebing, Micky memegang kepala Peter di bawah air sampai Peter tewas."

   "Mengapa kau menunggu sampai sekian lama untuk memberitahu aku?"

   Tanya Edward. Hugh agak kaget dengan sambutannya yang tidak skeptis lagi.

   "Kuanggap kau tidak akan percaya. Aku menceritakan ini sebagai usaha terakhir agar kau tidak terjerumus lagi ke dalam proyek lain di Kordoba."

   Ia mengamati wajah Edward sejenak, lalu melanjutkan.

   "Kau percaya apa yang kukatakan ini, kan?"

   Edward mengangguk.

   "Kenapa?"

   "Karena aku tahu motif Micky membunuh Peter."

   "Apa?"

   Hugh terbakar oleh rasa ingin tahu. Sudah bertahun-tahun ia bertanya-tanya tentang hal ini. Edward meneguk minuman kerasnya, lalu terdiam. Semula Hugh khawatir ia tidak mau bicara apa-apa lagi. tapi akhirnya Edward berkata.

   "Di Kordoba, keluarga Miranda kaya sekali, tapi untuk hidup di Inggris uang mereka tidak berharga. Uang yang dikirim oleh ayahnya untuk jatah satu tahun, habis dalam beberapa minggu saja, tapi dia tidak mau berterus terang. Dia selalu menyombongkan diri sebagai anak orang kaya, jadi ketika terdesak kekurangan uang, dia mencuri."

   Hugh ingat skandal hilangnya uang kepala sekolah di bulan Juni 1866.

   "Enam keping uang emas Dr. Offerton... jadi, dia yang mencurinya?"

   "Ya."

   "Ya Tuhan."

   "Dan Peter tahu."

   "Bagaimana?"

   "Dia melihat Micky keluar dari kantor Offerton. Ketika soal hilangnya uang dilaporkan, dia menduga-duga Micky pelakunya. Dia mengancam akan melaporkan, kecuali Micky mengaku. Dan kebetulan sebelum ancamannya dilaksanakan, kami bertemu dia di kolam siang itu. Aku berusaha menakut-nakutinya dengan menenggelamkan kepalanya. Tapi tidak kuduga..."

   "Micky akan membunuhnya."

   "Dan selama ini dia merekayasa bahwa akulah pembunuh Peter. Jahanam licik!"

   Hugh sadar bahwa ia berhasil menggoyahkan kepercayaan Edward pada Micky.

   Ia tergoda untuk berkata.

   Setelah kau tahu kebusukan Micky, hentikan saja proyek pelabuhan Santamaria.

   Tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memaksa.

   Cukup untuk sementara ini.

   Biar Edward sendiri yang memutuskan.

   Hugh berdiri.

   "Maaf, aku sudah membuatmu sedih,"

   Katanya. Edward tidak langsung menjawab. Ia merenung lama sekali, lalu menggaruk lehernya yang berbercak-bercak merah.

   "Ya."

   Hanya itu jawabnya.

   "Aku pergi dulu."

   Edward tidak memberi komentar.

   Pandangannya kosong ke depan, menatap gelas di tangannya.

   Sekilas Hugh melihat air mata menitik di pipinya.

   Hugh pergi keluar dan menutup pintu perlahan.

   [IV] AUGUSTA senang dengan status jandanya.

   Apalagi busana serba hitam sangat sesuai dengannya.

   Serasi dengan warna matanya yang hitam, rambutnya yang keperakan, dan alisnya yang hitam.

   Joseph sudah empat minggu meninggal, tapi Augusta tidak merasa terlalu kehilangan.

   Sungguh suatu kenikmatan tersendiri karena tidak ada lagi orang yang mengeluh soal daging bistik yang belum matang, buku-buku di perpusatakaan yang berdebu, dan soal-soal kecil lainnya.

   Ia sendirian sekarang, bebas melakukan apa saja.

   Ia bukan istri mitra senior lagi, tetapi ibu mitra senior.

   Apalagi ia sekarang adalah Dowager Countess of Whitehaven.

   Ia menikmati segala yang pernah diberikan Joseph, tanpa perlu terganggu oleh kerewelan Joseph yang telah almarhum.

   Dan lebih hebatnya, ia bisa menikah lagi sekarang.

   Ia sudah lima puluh delapan tahun dan tidak bisa mengandung lagi, tapi gairahnya masih menggelora, malah makin menjadi-jadi sejak kematian Joseph.

   Apalagi jika Micky Miranda ada di sampingnya, menyentuh tangannya, menatap kedua matanya, atau mengelus pinggulnya, Augusta merasa lemas dan pusing memikirkan gairahnya yang tak tersalurkan.

   Sambil mematut diri di depan kaca, ia berpikir.

   Micky dan aku cocok sekali.

   Kami begitu mirip.

   Kalau menjadi SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY suami-istri, kami akan punya anak-anak yang cantik dan bermata hitam.

   Di kaca ia melihat anak kesayangannya datang.

   Edward sekarang sudah gendut total, kulitnya berbercak-bercak, dan perangainya mudah tersinggung, apalagi kalau efek anggur yang diminumnya saat makan siang mulai hilang.

   Augusta ingin menanyakan suatu hal penting dan sedang tak ingin bersikap lunak pada Edward.

   "Apa betul yang kudengar bahwa Emily minta cerai darimu?"

   "Ya. Dia ingin menikah dengan pria lain,"

   Jawab Edward tak acuh.

   "Tidak bisa. Dia sudah terikat padamu."

   "Tidak juga,"

   Sanggah Edward. Apa maksudnya? Walau sangat menyayangi putranya, kadang Augusta jengkel setengah mati padanya. Seperti saat ini.

   "Jangan bodoh begitu!"

   Bentaknya.

   "Sudah tentu dia istrimu!"

   "Aku kawin dengan dia hanya untuk menuruti kemauan Ibu. Dan dia juga mau kawin denganku karena orangtuanya memaksa. Kami tidak pernah saling mencintai dan..."

   Edward agak ragu sejenak, tapi kemudian melanjutkan.

   "Kami tidak pernah bercinta sekali pun."

   Heran dan mengejutkan Edward berani membicarakan soal seks di depan wanita, bahkan ibunya sendiri. Augusta memang sudah menduga ketidakharmonisan perkawinan mereka sejak awal. Tapi ia tidak akan membiarkan Emily bebas begitu saja.

   "Kalian tidak bisa bercerai. Bisa membuat skandal yang memalukan keluarga."

   "Tidak akan terjadi skandal."

   "Sudah tentu bisa,"

   Hardiknya emosional.

   "Semua orang di London akan senang menjadikan ini gosip murahan"

   Belum lagi koran kuning yang dibeli para pembantu. Huh, akan sangat memalukan, bisa berlangsung setahun lebih. Apalagi putranya sudah bergelar Lord Whitehaven! Edward masih mencoba membantah.

   "Ya, tapi bukankah Emily berhak memperoleh kebebasan?"

   Augusta tidak peduli.

   "Dia tidak bisa memaksamu, kan?"

   "Dia hanya minta aku menandatangani surat pernyataan bahwa kami tidak pernah berhubungan selama usia perkawinan kami. Singkat, tapi langsung mengena ke inti masalah kami berdua."

   "Dan jika kau tidak sudi menandatangani surat itu?"

   "Bagi dia akan sukar menuntut cerai dariku, karena tidak ada pembuktian."

   "Kalau begitu, masalahnya selesai. Kita tidak perlu khawatir lagi. Sekarang tidak perlu lagi bicara soal itu."

   "Tapi..."

   "Katakan padanya dia tidak akan memperoleh perceraian darimu. Aku sama sekali tidak mau mendengar topik ini dibicarakan di rumah ini."

   "Baiklah, Ibu."

   Augusta kaget, kenapa anaknya begitu cepat menyerah. Pasti ada masalah lain yang lebih penting yang sedang dipikirkan Edward.

   "Ada apa lagi, Teddy?"

   Tanyanya dengan lebih lembut. Edward mendesah berat.

   "Hugh menceritakan sesuatu yang mengerikan."

   "Apa?"

   "Katanya Micky membunuh Solly Greenbourne."

   Bulu kuduk Augusta bergidik.

   "Bagaimana mungkin? Solly kan mati tertubruk kereta kuda?"

   "Hugh menduga Micky yang mendorong Solly."

   "Kau percaya dia?"

   "Micky memang bersamaku malam itu, tapi dia bisa saja menyelinap keluar sebentar. Dan memang itu yang dia lakukan. Malam itu dia pamit selama beberapa menit ke kamar kecil. Jadi, tuduhan Hugh bisa saja terjadi. Ibu percaya?"

   Augusta mengangguk. Micky memang berbahaya dan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kejam; justru itulah yang membuatnya menjadi pria jantan yang menggetarkan hati. Micky sanggup melakukan apa pun, dan sanggup mengelak.

   "Aku belum bisa menerima kenyataan bahwa Micky membunuh orang,"

   Kata Edward.

   "Dia memang licik, tapi sampai membunuh? Hampir tak masuk akal."

   "Dia sanggup membunuh,"

   Kata Augusta.

   "Bagaimana Ibu bisa begitu yakin?"

   Edward tampak begitu menyedihkan.

   Bijakkah memberitahukan sesuatu tentang Micky, pikir Augusta.

   Jika dia tahu, apakah akan berpengaruh positif bagi perkembangan dirinya? Ah, apa salahnya dia tahu kenyataan.

   Mungkin dia bisa lebih berhati-hati dan serius untuk selanjutnya.

   "Micky membunuh Paman Seth-mu,"

   Kata Augusta.

   "Ya Tuhan!"

   "Ya, dia membekap wajahnya dengan bantal. Aku memergokinya di kamar itu."

   Tiba-tiba ia teringat peristiwa selanjutnya sore hari itu; darahnya menggelegak dan mendesir cepat.

   "Tapi apa motifnya membunuh Paman Seth?"

   "Dia ingin senjata api yang dipesan ayahnya dikirim secepatnya ke Kordoba. Kau ingat?"

   "Ya, aku ingat."

   Edward terdiam sesaat. Augusta memejamkan mata, membayangkan adegan pelukan liar bersama Micky di samping ranjang Seth yang sudah mati. Edward menyadarkannya dari lamunan.

   "Ada hal lain yang lebih mengerikan dan perlu kuberitahukan pada Ibu. Ingat soal Peter Middleton?"

   "Sudah tentu,"

   Jawab Augusta pendek. Bagaimana ia bisa melupakan anak itu? Kematian anak itu menghantui mereka sekeluarga sampai sekarang.

   "Kenapa dia?"

   "Kata Hugh, Micky yang membunuh Peter."

   Sekarang Augusta benar-benar kaget.

   "Apa? Tak mungkin... aku tidak percaya."

   Edward mengangguk.

   "Dia sengaja membenamkan kepala Peter di dalam air sampai mati lemas."

   Bukan pembunuhan itu yang membuat Augusta ngeri, tetapi pengkhianatan Micky selama dua puluh empat tahun ini yang membuatnya bergidik.

   "Hugh pasti berbohong."

   "Katanya Tonio melihat peristiwa itu."

   "Jadi, selama ini Micky telah membohongi kita berdua?"

   "Ya, kukira itu benar."

   Augusta tahu Edward tidak akan percaya semua itu tanpa alasan tertentu.

   "Kenapa kau percaya pada cerita Hugh?"

   "Karena aku tahu sesuatu yang tidak diketahui Hugh. Micky mencuri uang dari salah satu guru dan Peter tahu. Dia mengancam akan mengadu ke kepala sekolah. Micky lalu mencari segala cara untuk mencegah Peter mengadu."

   "Micky memang selalu kekurangan uang,"

   Kata Augusta. Ia menggeleng tak percaya.

   "Dan selama dua puluh empat tahun ini kita mengira..."

   "Akulah pembunuh Peter."

   Augusta mengangguk.

   "Dan Micky diam saja. Aku tidak bisa menerima ini, Ibu. Dia membiarkan aku merasa menjadi pembunuh. Bukankah itu pengkhianatan terhadap persahabatan?"

   Dengan simpatik Augusta bertanya.

   "Kau mau meninggalkan dia?"

   "Jelas,"

   Jawab Edward sedih.

   "Tapi hanya dia satu-satunya temanku."

   Augusta nyaris terisak-isak. Mereka saling pandang, merenungkan apa yang telah mereka lakukan selama ini, dan mengapa bisa begitu.

   "Selama dua Duluh lima tahun kita perlakukan dia sebagai anggota keluarga sendiri,"

   Kata Edward penuh kekecewaan.

   "Ternyata dia tak lebih dari monster."

   Monster, pikir Augusta.

   Benar, Micky Miranda tak lain dari monster.

   Tapi ia mencintai Micky, kendati monster itu telah membunuh tiga orang.

   Seandainya saja Micky sekarang datang ke ruangan ini, ia tidak akan ragu memeluk dan meraihnya.

   Ia mencoba mempelajari ekspresi wajah anaknya, dan menyadari bahwa anaknya juga punya perasaan yang sama terhadap monster itu.

   Dulu ia hanya menduga-duga, tapi sekarang ia tahu pasti.

   Edward mencintai Micky Miranda.

   di-scan dan di-djvu kan unluk dimhader (dImhad.co.cc) oleh OBI Dilarang meng-komersU-kan atau kesialan menimpa anda selamanya BAB DUA Oktober MICKY MIRANDA gundah sekali selama beberapa hari ini.

   Ia sedang duduk sendiri di Cowes Club mencoba memikirkan kenapa Edward selalu menghindari dirinya.

   Apa yang telah ia lakukan hingga menyakiti hati sobatnya? Edward tidak ada di Nellie's, tidak muncul di klub, bahkan tidak hadir di ruang tamu Augusta pada saat minum teh.

   Selama seminggu Micky tidak pernah melihatnya.

   la pernah menanyakan hal ini pada Augusta, tapi jawabannya sama saja.

   tidak tahu.

   Dalam hati, Micky merasa ada sesuatu yang dirahasiakan Augusta.

   Sikapnya sedikit kaku dan menghindar.

   Selama dua puluh tahun berteman karib dengan Edward, mereka tidak pernah begini.

   Kalaupun bertengkar, hanya sehari dua hari.

   Sekarang kelihatannya sangat serius.

   Ia bisa kehilangan proyek pelabuhan Santamaria.

   Selama sepuluh tahun terakhir ini.

   Pilasters Bank telah mengeluarkan obligasi Pemerintah Kordoba setiap tahun.

   Hasilnya dipakai untuk membangun jalan kereta api, pipa air minum, dan pertambangan.

   Sebagian kecil dipinjam pemerintah.

   Secara langsung maupun tak langsung, keluarga Miranda ikut diperkaya oleh obligasi ini.

   Dan Papa Miranda menjadi orang paling kuat dan berkuasa di Kordoba, setelah Presiden Garcia.

   Micky tentu saja ikut menjadi kaya.

   Ia mengambil komisi untuk setiap transaksi ke Kordoba tentunya tanpa setahu pihak bank.

   Selain itu, ia menjadi orang — paling populer setelah ayahnya di seluruh Kordoba.

   Ia disebut-sebut sebagai pengganti ayahnya.

   Dan rencana akhir serta terbesar Papa akan segera dimulai.

   Revolusi menggulingkan Presiden Garcia.

   Rencana ini telah disusun selama bertahun-tahun dan sangat rahasia.

   Pasukan keluarga Miranda akan naik kereta api ke ibu kota.

   Bersamaan dengan itu, juga akan diserang kota Milpita, pelabuhan di Pantai Pasifik yang selama ini menjadi pusat logistik ibukota.

   Hanya saja revolusi selalu membutuhkan biaya besar.

   Papa telah memberi instruksi pada Micky agar mengusahakan pinjaman uang dalam jumlah terbesar yang bisa ia peroleh.

   dua juta pound.

   Dana ini akan dipakai untuk membeli senjata dan suplai logistik perang saudara yang akan menggulingkan Presiden Garcia.

   Papa sudah menjanjikan hadiah tak terhingga bagi Micky.

   Papa sebagai presiden, Micky sebagai perdana menteri dengan kekuasaan kedua di seluruh negeri.

   Otomatis ia adalah calon pengganti Papa sebagai presiden kelak jika' Papa meninggal.

   Inilah jabatan dan posisi yang ia impikan sejak dulu.

   Ia akan pulang ke negerinya sendiri sebagai pahlawan negara, tangan kanan Papa, putra mahkota, dan penguasa bagi seluruh kerabatnya termasuk kakaknya sendiri.—Dan semua ini bisa terlaksana hanya dengan bantuan Edward.

   Tanpa Edward, tak ada dana.

   Selama ini Micky memang telah memberi monopoli bagi Pilasters Bank atas perdagangan antara Inggris dengan Kordoba.

   Monopoli ini berhasil menaikkan prestasi dan prestise Edward di bank.

   Sekarang Edward telah menjadi mitra senior.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sesuatu yang takkan pernah ia raih sendiri tanpa bantuan Micky.

   Tapi karena dimonopoli Pilasters Bank, tidak ada lembaga keuangan lain di London yang punya pengalaman berbisnis dengan Kordoba.

   Mereka buta dengan seluk beluk dan lika-liku melakukan bisnis di sana.

   Jadi, jika Micky menawarkan proyek Pelabuhan Santamaria ini kepada mereka, mereka pasti menolak, dengan asumsi Micky datang karena Pilasters Bank telah menolak proyeknya.

   Sudah beberapa kali Micky mengalami ditolak bank selama beberapa tahun ini.

   Karena itu, sikap menghindar Edward selama beberapa hari membuat Micky resah, tak bisa tidur, tak enak makan.

   Apalagi Augusta bersikap dingin setiap kali ditanya tentang Edward.

   Micky tak bisa bertanya pada siapa-siapa, karena ia satu-satunya teman karib Edward Pilaster.

   Sementara ia duduk merokok, dilihatnya Hugh masuk ke ruang makan Cowes Club.

   Saat itu jam tujuh malam.

   Hugh sedang duduk sendirian, mungkin sedang menunggu seseorang untuk makan malam.

   Micky tidak senang pada Hugh; begitu pula Hugh kepadanya.

   Tapi tak ada ruginya ia menanyakan soal Edward pada Hugh.

   "Selamat malam, Pilaster,"

   Sapanya.

   "Malam, Miranda."

   "Apa kau pernah bertemu sepupumu, Edward, selama beberapa hari ini? Dia menghilang terus."

   "Dia tidak ke mana-mana. Dia selalu datang ke bank setiap hari."

   "Ah,"

   Micky kaget campur ragu. Dengan menebalkan muka ia minta izin duduk.

   "Boleh aku duduk sebentar?"

   Ia langsung duduk tanpa menunggu jawaban Hugh. Dengan suara rendah ia bertanya.

   "Apa kau tahu, kira-kira perbuatan apa yang kulakukan sehingga Edward tersinggung?"

   Hugh berpikir sebentar, lalu berkata.

   "Kurasa tak ada salahnya memberitahumu. Edward baru mengetahui soal siapa yang membunuh Peter Middleton, dan selama dua puluh empat tahun kau telah membohonginya soal ini."

   Micky hampir terlompat dari kursinya. Bagaimana Edward sampai tahu soal ini? Hampir saja ia bertanya pada Hugh, lalu menahan diri. Dengan bertanya sama saja ia mengakui perbuatannya. Maka dengan pura-pura marah, ia bangkit berdiri dan berkata.

   "Akan kuanggap omonganmu tadi tidak pernah ada."

   Lalu ia meninggalkan ruangan klub.

   Setelah beberapa saat, ia baru yakin bahwa apa pun yang akan dituduhkan padanya soal kematian Peter Middleton, tidak pernah ada bukti langsung.

   Dari segi hukum ia aman, tapi dari segi kemarahan Edward, ia tetap berada di ujung tanduk.

   Tanpa dukungan Edward, tak mungkin ia akan memperoleh dana dua juta pound yang dituntut terus-menerus oleh Papa.

   Mau tak mau ia harus memohon pengampunan dari Edward.

   Sesegera mungkin.

   Dan ia harus menemui Edward dulu.

   Malam ini ia tidak bisa karena harus hadir di resepsi Kedutaan Prancis, lalu jamuan makan bersama beberapa anggota Partai Konservatif.

   Keesokan harinya ia mulai menyusun strategi.

   Waktu makan siang, ia pergi ke Nellie's, membangunkan April, dan membujuknya untuk mengirimkan pesan pada Edward dengan janji "suatu malam khusus yang tak ada duanya".

   Edward harus datang sendiri untuk membuktikannya.

   Micky memesan kamar terbaik April dan mencarter gadis favorit Edward, Henrietta, yang bertubuh langsing dengan rambut hitam kelam berpotongan pendek.

   Micky memberi instruksi khusus tentang pakaian yang harus ia kenakan malam ini.

   setelan pria lengkap dengan topi tinggi.

   Pakaian yang di mata Edward sangat seksi.

   Tepat setengah sepuluh malam.

   Micky sudah siap di kamar, menunggu kedatangan Edward.

   Di dinding digantung beberapa seri lukisan erotis, tepat di atas ranjang lebar bertiang empat, dua kursi sofa, perapian, dan wastafel.

   Micky duduk di sofa beludru, hanya memakai mantel sutra, mencerucup brendi, dan di sampingnya duduk manja Henrietta.

   Dengan nada bosan Henrietta bertanya pada Micky.

   "Kau suka lukisan-lukisan itu?"

   Micky tidak menjawab, hanya angkat bahu sedikit.

   Ia sama sekali tidak berminat bercakap-cakap dengan perempuan ini.

   Baginya perempuan tak lain hanya objek.

   Hubungan seks baginya bukan manifestasi cinta, tapi sebuah proses penguasaan mutlak.

   Dengan begitu, ia menjadi lebih percaya diri.

   Begitu juga atas sesama pria.

   Makin besar kontrol dirinya atas mereka, makin besar kepuasan egonya.

   Bahkan gairahnya atas Augusta, yang ia dambakan sejak masa remajanya, tak lain sekadar keinginan un tuk menjinakkan dan menaklukkan wanita itu.

   Dari sudut pandang seperti ini, tak heran jika ia tak berminat pada diri Henrietta.

   Tak ada kepuasan ego hanya dengan menggauli wanita semacam Henrietta.

   Cukup dengan imbalan materi, ia akan melayani apa pun permintaan Micky.

   Jadi, dengan gelisah ia menunggu kedatangan Edward.

   Dalam hatinya masih timbul pertanyaan.

   datang atau tidak, datang atau tidak.

   Satu jam telah lewat.

   Lalu satu jam lagi.

   Micky mulai putus asa.

   Bisakah ia menjumpai Edward malam ini? Jika tidak, kesempatannya memohon maaf pada Edward akan sirna.

   Bisa saja ia menunggu Edward di depan kantor waktu makan siang, tapi itu bukan cara yang elegan.

   Apalagi Edward bisa saja tidak mengacuhkan dirinya.

   Lalu bagaimana lagi? Menunggu sampai bertemu Edward dalam pesta atau kesempatan sosial lainnya? Terlalu lama.

   Ia tak mungkin menunggu begitu lama.

   Lalu, beberapa menit sebelum tengah malam, April muncul di depan pintu.

   Katanya.

   "Dia baru saja datang."

   "Akhirnya,"

   Seru Micky lega.

   "Dia sedang minum sebentar. Katanya tidak akan main kartu, tapi akan langsung ke sini."

   Micky jadi tegang.

   Ia merasa bersalah karena telah mengkhianati sobatnya selama dua puluh tahun lebih.

   Edward menderita karena selama ini ia menyangka dirinyalah yang membunuh Peter, padahal Mickylah yang berbuat dosa.

   Ia harus memohon maaf sebesar-besarnya pada Edward, kalau perlu menyembah pun akan ia lakukan.

   Untuk inilah ia menyiapkan sebuah rencana khusus.

   Ia mengatur posisi duduk Henrietta.

   Kaki menyilang, topi sedikit menutup alis mata, dan pipa rokok di tangan.

   Lampu ruangan ia kecilkan, lalu ia menyiapkan diri dengan duduk di ranjang.

   Beberapa menit kemudian, Edward muncul di depan pintu.

   Dalam keremangan lampu kamar ia tidak melihat kehadiran Micky.

   Ia berhenti di pintu, menatap ke arah Henrietta, dan berkata.

   "Halo, siapa kau?"

   Yang disapa mengangkat kepala dan berkata dengan nada merayu.

   "Halo, Edward." * "Oh, kau rupanya,"

   Jawab Edward. Ia masuk ke dalam kamar sambil menutup pintu.

   "Apa maksud April menjanjikan "malam sangat khusus"? Kalau kau, aku sudah kenal."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Aku."

   Tiba-tiba Micky berkata sambil bangkit dari ranjang. Edward mengernyit.

   "Aku tidak sudi bertemu denganmu,"

   Tukasnya ketus sambil berbalik menuju pintu kamar. Micky melompat berdiri di depannya.

   "Kumohon beri aku kesempatan untuk mengatakan mengapa aku bertindak begitu. Bukankah kita sudah lama berteman?"

   "Teman? Aku baru tahu soal Peter."

   Micky mengangguk.

   "Kumohon beri aku kesempatan untuk menjelaskan padamu."

   "Penjelasan apa lagi?"

   "Bagaimana aku sampai begitu bodoh, bertindak begitu padamu, dan kenapa aku tidak punya keberanian untuk mengakuinya."

   Edward tampak agak ragu, mulai terbuai dengan kata-kata manis beracun dari Micky.

   "Kumohon kau duduk sebentar saja, di samping Henrietta, dan akan kujelaskan."

   Edward masih ragu. Micky mencoba lagi.

   "Kumohon..."

   Edward menyerah, duduk di sofa.

   Micky melangkah ke meja kecil di samping sofa, menuangkan brendi, dan memberikannya pada Edward.

   Brendi diterima dengan sedikit anggukan kepala.

   Henrietta menggeserkan tubuhnya mendekat dan meraih tangan Edward.

   Edward mencerucup brendinya, melihat ke sekeliling kamar, dan berkata.

   "Aku benci lukisan-lukisan itu."

   "Aku juga,"

   Sela Henrietta ikut-ikutan.

   "Membuatku merinding."

   "Tutup mulutmu, Henrietta!"

   Bentak Micky tiba-tiba.

   "Maaf, aku lancang bicara tadi,"

   Jawab Henrietta agak tersinggung. Micky duduk di sofa di depan Edward, lalu berkata.

   "Aku mengaku salah telah mengkhianati dirimu, tapi waktu itu aku baru lima belas tahun dan kau merupakan sobatku selama ini. Apa kau sampai hati memutuskan persahabatan kita yang begitu lama hanya karena kesalahan masa laluku?"

   "Ya, tapi kau bisa menceritakan yang sebenarnya padaku selama tahun-tahun kita bersama, dua puluh lima tahun ini!"

   Sela Edward ketus. Micky memasang wajah sesedih mungkin.

   "Memang bisa, dan seharusnya memang begitu, tapi aku takut. Sekali berdusta, kau akan tidak mempercayai aku lagi. Aku takut merusak persahabatan kita."

   "Belum tentu."

   "Tapi nyatanya memang begini saat ini kan?"

   "Ya,"

   Jawab Edward.

   Ada nada ragu dalam suaranya.

   Micky tahu saatnya sudah tiba untuk meneruskan rencana terakhirnya.

   Ia berdiri dan melepaskan mantelnya.

   Telanjang bulat.

   Ia sadar tubuhnya masih prima, tanpa timbunan lemak, bersih mengilat.

   Ia begitu bangga pada dirinya.

   Dengan cekatan Henrietta bangkit dari sofa dan berlutut di depan kaki Micky.

   Micky melirik ke arah Edward.

   Kelihatannya Edward mulai terangsang, tapi kemudian membuang muka.

   Dengan nekat Micky memainkan kartu terakhirnya.

   "Tinggalkan kami, Henrietta,"

   Perintahnya. Henrietta tampak bingung, tapi ia beranjak keluar dari kamar. Edward menatap Micky.

   "Kenapa kauusir dia?"

   "Untuk apa ada dia?"

   Jawab Micky. Ia melangkah mendekati sofa Edward tubuh —telanjangnya tinggal beberapa senti dari wajah sobatnya. Ia mulai mengelus-elus kepala Edward, memainkan rambutnya perlahan. Edward tidak bergerak.

   "Kita sebaiknya berdua saja, tanpa dia, mau kan?"

   Edward menelan liurnya dan tidak sanggup berkata-kata lagi.

   "Mau kan?"

   Tanya Micky sekali lagi. Akhirnya Edward menyerah.

   "Ya,"

   Bisiknya.

   "Ya."

   Minggu berikutnya, untuk pertama kali Micky memasuki ruangan para mitra Pilasters Bank.

   Ia telah membawa beberapa proyek selama tujuh belas tahun untuk dikelola pendanaannya oleh Pilasters Bank, dan selama itu ia hanya diminta menunggu Edward di ruang tamu.

   Ia menduga, seandainya saja dirinya orang Inggris, mungkin sudah sejak lama ia diperbolehkan masuk ke ruang mitra.

   Ia mencintai London, tapi ia sadar dirinya tetap akan dianggap orang luar.

   Dengan agak gugup ia membeberkan rencana proyek besarnya di meja bundar di tengah ruangan.

   Proyek pelabuhan Santamaria di Pantai Atlantik negara Kordoba yang dilengkapi semua fasilitas pelabuhan internasional.

   Sudah tentu tidak ada satu pun yang akan dibangun.

   Dua juta pound akan masuk kantong Papa untuk membiayai revolusi menjatuhkan Presiden Garcia.

   Surveinya sendiri memang dikerjakan secara profesional dan asli, dan seandainya diwujudkan memang akan merupakan proyek yang menguntungkan.

   Sebagai proyek fiktif, rencana ini akan menjadi usaha penipuan paling ambisius dalam sejarah perbankan Inggris.

   Micky berusaha meyakinkan para mitra dengan menjelaskan satu per satu.

   material konstruksi, biaya tenaga kerja, bea masuk dan pabean, dan proyeksi pemasukan secara total.

   Walau hatinya waswas, ia berhasil tampil setenang dan seyakin mungkin.

   Seluruh kariernya, masa depan keluarganya, dan nasib negaranya sangat tergantung pada keputusan yang akan dibuat di ruang para mitra Pilasters Bank hari ini.

   Para mitra juga ikut tegang.

   Semua mitra ada di ruangan itu.

   Dua mitra berstatus menantu, Mayor Hartshorn dan Sir Harry Tonks; empat lainnya merupakan anggota keluarga Pilaster.

   Samuel, Young William, Edward, dan Hugh Pilaster.

   Akan ada pertentangan, itu pasti.

   Edward akan didukung oleh dua mitra berstatus menantu.

   Mereka selalu menuruti apa yang diperintahkan istri-istri mereka, dan Augusta sudah memberitahu para istri ini kepada siapa suami mereka harus memihak.

   Samuel pasti akan mendukung Hugh, yang jelas akan menentang.

   Tinggal Young William.

   Suaranya akan sangat menentukan.

   Edward tampak sangat antusias pagi ini.

   Ia mengharapkan proyek ini dicatat sebagai .proyek besar pertamanya sebagai mitra senior.

   Sir Harry yang pertama bicara.

   "Rencana yang sangat bagus dan teliti, dan kupikir selama ini kita sudah berhasil melakukan bisnis dengan Kordoba. Tidak ada salahnya kita mengambil proyek ini."

   Seperti telah diduga Micky, tentangan pasti datang dari Hugh. Dialah yang memberitahu Edward tentang pembunuhan Peter. Tujuannya tentu untuk menggagalkan proyek ini. Dengan berdeham, Hugh berkata.

   "Sudah kuperiksa beberapa penerbitan obligasi negara-negara Amerika Selatan selama beberapa tahun terakhir ini."

   Ia membeberkan gulungan kertas di meja di tengah ruangan. Micky mengintip kertas data yang dibeberkan Hugh.

   "Suku bunga obligasi yang kita terbitkan tiga tahun yang lalu adalah enam persen, dan tahun lalu mencapai tujuh setengah persen. Tapi selama beberapa tahun ini, jumlah obligasi negara Amerika Selatan yang berhasil kita jual menurun terus."

   Micky tidak buta soal keuangan, sehingga ia tahu apa arti penjelasan Hugh yang tenang tapi masuk akal. para investor makin tidak yakin akan keamanan obligasi negara Amerika Selatan. Hugh melanjutkan.

   "Dan celakanya, selama tiga paket obligasi terakhir yang kita terbitkan, Pilasters Bank terpaksa membelinya di pasar uang, demi mempertahankan harga obligasi tidak anjlok."

   Ini berarti kenaikan suku bunga tadi juga tidak realistik, tidak sesuai kaidah pasar obligasi yang sebenarnya, pikir Micky.

   "Karena kita bersikeras bertahan dalam pasar obligasi negara Amerika Selatan yang sudah jenuh ini, bank kitalah yang harus menerima akibatnya... menanggung beban sebesar satu juta pound lebih. Kita terlalu dibebani oleh satu sektor saja."

   Argumentasi ini kuat sekali.

   Dengan mencoba tetap tenang, Micky membayangkan dirinya sebagai mitra bank.

   menerima atau menolak proyek besar ini? Ia SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pasti akan menolaknya.

   Tapi ini bukan soal uang saja.

   Ini adalah soal masa depan keluarga Miranda, dan sudah tentu dirinya sendiri.

   Selama beberapa detik ruangan jadi sepi; tak ada satu pun yang berbicara.

   Edward tampak berang, tapi ia berusaha tampil sedingin mungkin, membiarkan mitra lain yang berbicara untuk mendukung proyek Micky.

   Akhirnya Sir Harry yang bicara.

   "Argumenmu bisa diterima, Hugh, tapi aku khawatir kau terlalu berlebihan."

   George Hartshorn ikut mendukung.

   "Kita semua tentu setuju bahwa rencana bisnis ini sangat bagus. Risikonya sangat kecil, untungnya sangat besar. Kukira kita harus menerimanya."

   Micky sudah menduga sejak awal bahwa kedua mitra menantu itu akan mendukung Edward. Sekarang tinggal A giliran Young William. Tetapi Samuel-lah yang bicara berikutnya.

   "Aku pribadi bisa mengerti bahwa kalian akan merasa kikuk untuk menolak proyek mitra senior baru kita, apalagi ini proyek pertamanya."

   Nadanya netral sekali, seolah tidak sadar bahwa di ruangan ini sekarang ada dua kubu yang saling bertentangan.

   "Mungkin kalian tidak terlalu berminat mendengar pendapat dua mitra yang sebentar lagi akan mengundurkan diri."

   Yang ia maksud pasti Hugh dan dirinya sendiri.

   "Tapi aku ini orang tua yang sudah makan asam garam dunia bisnis sejak kalian belum lahir, dan Hugh adalah bankir muda paling berhasil di dunia. Kami berdua merasa proyek ini sangat berbahaya. Jangan sekali-kali memutuskan suatu bisnis atas dasar hubungan keluarga atau hubungan emosional. Samuel memang pintar bicara, pikir Micky, kendati semua orang sudah tahu ia pasti akan menentang proyek ini. Sekarang tinggal Young William. Akhirnya William mengutarakan pendapatnya.

   "Obligasi negara-negara Amerika Selatan selalu penuh risiko. Jika kita khawatir atas risikonya, selama beberapa tahun ini kita takkan pernah memperoleh keuntungan dari obligasi mereka."

   Bagus, pikir Micky senang.

   "Dan kukira,"

   Lanjut William,"

   Kordoba di bawah pemerintahan Presiden Garcia akan makin stabil dan kuat di masa yang akan datang. Karena itu kita tak perlu terlalu khawatir; malah kita perlu mencari proyek-proyek lainnya yang seperti ini."

   Micky menghela napas panjang. Berhasil. Akhirnya Edward bicara.

   "Empat mitra setuju, dua menentang."

   "Tunggu sebentar,"

   Sela Hugh cepat. Oh, Tuhan, jangan sampai ada argumentasi lain! Micky hampir saja berteriak memprotes. Edward menatap benci pada Hugh.

   "Apa lagi? Kau sudah kalah suara!"

   "Pengambilan suara selalu menjadi cara terakhir dalam memutuskan masalah di ruang mitra ini,"

   Sahut Hugh tak mau kalah.

   "Jika ada perbedaan pendapat, kita selalu berusaha mencapai kata sepakat dulu sebelum pemungutan suara dilakukan."

   Micky melihat Edward sudah siap mengeluarkan serangannya, tapi William yang lebih dulu bicara.

   "Apa maksudmu, Hugh?"

   "Aku ingin menanyakan sesuatu pada Edward,"

   Kata Hugh.

   "Apa kau yakin kita mampu menjual semua obligasi atau sebagian besar obligasi ini?"

   "Tentu saja bisa, •jika harganya sesuai,"

   Jawab Edward ragu, karena tidak tahu arah pembicaraan ini. Micky menyumpah dalam hati. Ia merasa dirinya akan dikalahkan. Hugh melanjutkan.

   "Kalau begitu, kenapa kita tidak menjual obligasi atas dasar komisi saja, bukan sebagai penjamin sepenuhnya?"

   Sumpah serapah meledak dalam batin Micky.

   Jelas bukan ini tujuannya menjual proyek ini.

   Jika bank men -jadi penjamin penuh, setiap obligasi yang tak laku dijual akan mereka serap sendiri.

   Emiten seperti dirinya akan tetap menerima uang sepenuhnya, setelah dipotong komisi yang cukup besar bagi bank sendiri.

   Tapi, jika atas dasar komisi, bank hanya akan membayar senilai obligasi yang laku dijual di pasar setelah dipotong komisi ala kadarnya.

   Jadi, jika obligasinya laku hanya sepuluh ribu pound, sejumlah itulah yang akan diperhitungkan oleh bank.

   Risiko tetap ada pada emiten dan bentuk inilah yang tidak diinginkan Micky.

   —William mendukung.

   "Hmmm... ya, boleh juga usulmu."

   Hugh sangat licik mengusulkan pola komisi, pikir Micky.

   Jika ia mencoba menentang skema Micky secara terang-terangan, semua mitra tidak akan mendukungnya.

   Tapi saran Hugh sangat sesuai dengan sifat pada bankir.

   konservatif dan ingin menekan risiko sekecil mungkin.

   Sir Harry balik mendukung saran Hugh.

   "Benar. Jika kita menjual atas dasar komisi, dan berhasil menjual seluruh obligasi, kita akan menerima enam puluh ribu pound. Sebaliknya jika gagal, kita hanya akan menanggung risiko kecil."

   Katakan sesuatu, tolol! bentak Micky dalam hati ke arah Edward. Edward malah kehilangan kendali, tampak bingung. Samuel bicara lagi.

   "Nah, kesepakatan pendapat begini yang kita utamakan dalam Pilasters Bank."

   Tetap tak mau menyerah begitu saja, Micky mencoba lagi.

   "Saya tidak yakin para pejabat Kordoba mau menerima sistem komisi begini. Pilasters Bank selalu menjadi penanggung utama obligasi Kordoba. Kalau kebijaksanaan ini diubah..."

   Ia berhenti sebentar, agak ragu, tapi lalu melanjutkan.

   "saya bisa menawarkan proyek ini ke bank lain."

   Ancaman kosong belaka, tapi apakah mereka akan tahu? Young William jadi tersinggung.

   "Silakan coba bank lain. Mungkin mereka mau menanggung risiko proyek Anda."

   Micky kaget dengan reaksi William. Untuk menetralisir ancamannya, ia berkata.

   "Oh, para pemimpin negara saya tak mungkin melakukan itu. Mereka menghargai hubungan dengan Pilasters Bank dan tak ingin merusaknya."

   Edward menjawab.

   "Ya, kami pun demikian."

   "Terima kasih,"

   Jawab Micky patah semangat.

   Ia sadar, tak ada gunanya meneruskan argumennya.

   Ia mulai menggulung berkas proyeknya.

   Hari ini ia kalah, tapi ia tetap tidak mau menyerah.

   Ia harus memperoleh dua juta pound itu dengan cara apa pun.

   Nasib keluarga Miranda dan dirinya sendiri dipertaruhkan dalam obligasi ini.

   Ia akan mencari cara lain.

   Edward dan Micky sudah merencanakan makan siang bersama di Cowes Club untuk merayakan keberhasilan proyek pelabuhan Santamaria.

   Tapi, dengan kegagalan presentasi Micky di bank pagi tadi, tidak ada yang bisa dirayakan lagi.

   Ketika Edward masuk ke ruang makan klub, Micky sudah tahu apa yang akan dilakukannya.

   Membujuk Edward untuk secara rahasia menjadi pendukung penuh proyeknya.

   Sebuah rencana yang nekat dan kriminal, tapi dalam keadaan putus asa begini, apa lagi yang tidak bisa ia perbuat? Micky sudah lama menunggu.

   Menyongsong Edward, ia berkomentar pendek.

   "Aku kecewa dengan hasil rapat para mitra tadi pagi."

   "Itu salah sepupuku Hugh,"

   Jawab Edward. Dengan lambaian tangan ia memanggil pelayan.

   "Bawakan aku segelas besar anggur madeira."

   "Masalah utamanya, jika obligasi ini tidak ditanggung penuh oleh bank, tidak akan ada jaminan proyek pelabuhan Santamaria akan dibangun,"

   Kata Micky. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, tapi aku sudah mencoba sebisanya,"

   Jawab Edward memelas.

   "Kau tahu itu. Kau juga hadir tadi."

   Micky mengangguk.

   Memang benar.

   Seandainya Edward cerdas dan cerdik dalam memanipulasi orang lain, bisa saja ia mengalahkan argumentasi Hugh.

   Tapi jika ia cerdas dan cerdik, tak mungkin Micky bisa memanfaatkan diri Edward.

   Kendati jinak, Edward tetap saja punya kemampuan untuk menolak bujukan Micky.

   Micky memutar otak, mencari jalan bagaimana sebaiknya memulai strateginya.

   Mereka telah memesan makan siang.

   Setelah pelayan pergi, Edward berkata.

   "Aku punya rencana membeli rumah untuk tempat tinggalku. Aku sudah terlalu lama tinggal bersama ibuku."

   Micky pura-pura tertarik dengan gagasan Edward.

   "Kau akan membeli rumah?"

   "Ya, rumah kecil saja. Tidak perlu sebuah istana dengan puluhan pelayan yang hilir-mudik menganggu kenyamanan diri. Cukup seorang kepala pelayan yang andal dan beberapa pelayan."

   "Tapi kau sudah punya segalanya di rumah ibumu."

   "Ya, semuanya kecuali privasi."

   Micky mulai bisa menangkap maksud Edward.

   "Oh, kau tidak mau ibumu mengetahui segalanya tentang cara hidupmu dan apa yang kaulakukan?"

   "Ya, misalnya dia tidak perlu tahu kalau kau menginap beberapa malam di rumahku."

   Edward mengatakan ini sambil menatap Micky lekat-lekat. Micky tiba-tiba tahu, bagaimana memanfaatkan gagasan ini. Ia pasang muka sedih dan menggelengkan kepala.

   "Pada saat kau punya rumah sendiri, aku sudah tidak berada di London lagi."

   Edward kaget setengah mati.

   "Apa? Kau akan pergi dari sini?"

   "Ya, terpaksa. Jika gagal memperoleh dana untuk proyek pelabuhan Santamaria, aku yakin akan dipanggil pulang oleh Presiden Garcia sendiri."

   "Tidak... tidak boleh! Kau harus tetap tinggal di London,"

   Tukas Edward mantap.

   "Aku sendiri menginginkan itu, tapi aku tidak punya pilihan."

   "Jangan khawatir, obligasimu pasti terjual habis."

   "Kuharap demikian. Jika tidak..."

   Edward memukul jengkel meja di depannya sampai gelas-gelas ikut berderak.

   "Sialan si Hugh. Seharusnya dia tidak menentangku tadi pagi."

   Micky mencoba taktik kuncinya.

   "Kurasa kau harus menuruti keputusan para mitramu di bank."

   "Sudah tentu apa lagi?"—"Hmm..."

   Pura-pura ragu. Lalu dengan nada setenang mungkin ia melanjutkan.

   "Tapi bisakah kau mengabaikan mereka, lalu menyuruh stafmu melakukan penanggungan penuh atas obligasi proyek ini, tentu saja secara diam-diam. Bisakah?"

   "Bisa, bisa saja,"

   Jawab Edward ragu.

   "Bukankah kau mitra senior bank keluargamu sendiri? Jabatan itu tentunya paling kuat di bank."

   "Ya."

   "Simon Oliver akan mempersiapkan semuanya secara diam-diam. Kau bisa mempercayai dia."

   "Ya."

   Micky hampir tidak mempercayai pendengarannya. Edward begitu mudah menyerah. Untuk menguatkan rencananya, ia masih mengatakan.

   "Sudah tentu akan sangat berbeda apakah aku akan tetap tinggal di London atau dipanggil pulang."

   Bagai dihipnotis, Edward menjawab cepat.

   "Jangan khawatir, akan kulakukan itu semua."

   "Dan saat ulahmu ketahuan, sudah terlambat untuk mencegahnya. Kau bisa saja berdalih kesalahan administrasi dan mengkambinghitamkan para bawahanmu."

   Micky tahu gagasan ini sangat keterlaluan, dan Edward belum tentu mau menelannya bulat-bulat. Tapi Edward tidak mendengarkan uraian Micky.

   "Jika kau tinggal di London..."

   Ia berhenti sebentar dan menunduk.

   "Ya, ada apa?"

   "Jika kau tinggal di London, maukah kau sekali-sekali menginap di rumah baruku nanti?"

   Jadi, itulah yang dipikirkan Edward, pikir Micky dengan penuh kemenangan. Ia tersenyum memikat.

   "Sudah tentu."

   Edward mengangguk senang.

   "Hanya itu yang ingin kudengar. Aku akan bicara dengan Simon nanti sore."

   Micky mengangkat gelas anggurnya.

   "Untuk persahabatan kita."

   Edward membalas dengan hangat dan tersenyum malu-malu.

   "Untuk persahabatan kita." [H] ANPA pemberitahuan lebih dahulu, Emily pindah ke rumah besar Whitehaven. Kendati setiap orang masih menganggap rumah Whitehaven sebagai milik Augusta, secara hukum rumah ini milik Edward karena Joseph mencantumkannya dalam warisannya. Karena itu, Emily sebagai istri sah Edward berhak diperlakukan sebagai nyonya rumah. Baik Augusta maupun Edward tidak bisa mengusir Emily dari rumah besar mereka, sebab hal itu bisa dijadikan dasar untuk menuntut cerai. Secara teknis, Emily adalah nyonya rumah, dan Augusta sekadar ibu mertua yang ikut tinggal bersamanya. Seandainya Emily mau bersikap keras, bisa terjadi kon -frontasi antara dia dan ibu mertuanya. Tapi Emily punya strategi lain. Dengan manis ia mengatakan kepada Augusta.

   "Ini rumah Ibu. Lakukan apa saja yang Ibu kehendaki."

   Sikap manis yang mengalah ini membuat Augusta tersindir.

   Emily juga mewarisi gelar yang dulu disandang Augusta.

   Ia adalah Countess of Whitehaven sekarang.

   Augusta cukup bergelar Ibu Countess.

   Augusta terus bersikap sebagai ratu dalam rumah-tangga.

   Para pelayan harus mengikuti perintah dan kemauannya.

   Setiap ada kesempatan, ia selalu membatalkan perintah Emily.

   Emily tidak pernah protes atau mengeluh.

   Ia tetap baik dan para pelayan lebih menyukainya.

   Menurut Augusta, ia terlalu lembek pada mereka.

   Senjata utama para majikan kelas atas adalah referensi kerja.

   Jika seorang pelayan tidak disenangi majikannya, ia akan dikeluarkan dan tanpa referensi kerja ia tidak mungkin bekerja di tempat lain.

   Senjata ini yang sering dipakai oleh Augusta, tapi sekarang sudah tidak mempan lagi karena pernah ia memecat salah satu juru masaknya yang lebih mengikuti instruksi Emily untuk masak ikan —sole, bukannya ikan salmon seperti yang diminta Augusta tapi dengan segera —Emily memberinya referensi kerja yang sangat bagus.

   Si juru masak memperoleh pekerjaan dengan upah jauh lebih baik di tempat Duke of Kingsbridge.

   Sejak saat itu, para pelayan tidak takut lagi pada Augusta.

   Teman-teman Emily suka berkunjung di sore hari.

   Seharusnya nyonya rumah yang menjamu mereka.

   Untuk peran ini, Emily meminta Augusta berperan sebagai nyonya rumah.

   Tapi untuk itu Augusta harus bersikap ramah pada teman-teman Emily.

   Ini sangat tidak menyenangkan, sama halnya seperti kalau ia menyerahkan status nyonya rumah kepada menantunya.

   Jamuan makan malam lebih menyesakkan napas Augusta.

   Pernah dalam sebuah jamuan makan malam.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY salah seorang tamu yang melihat Augusta duduk di kursi utama sebagai tanda —dialah sang nyonya rumah memberi pujian kepada Emily yang begitu besar hati —memberi tempat terhormat bagi ibu mertua yang menumpang di rumahnya.

   Lama-kelamaan Augusta merasa disudutkan secara halus oleh menantunya.

   Biasanya ia mempunyai kekuasaan untuk mengusir orang dari lingkungan dekatnya, tapi sekarang tak mungkin.

   Emily justru menanti diusir seperti itu, agar ia punya alasan untuk menuntut cerai dari Edward.

   Augusta merasa makin panas dan bersumpah tidak akan menyerah.

   Dalam pergaulan sosial, Emily juga makin dikenal.

   Jika diundang pesta atau makan malam, Emily tidak akan ragu pergi sendiri jika Edward menolak pergi.

   Kalangan atas mulai memperhatikan ada yang tidak beres dengan pernikahan Edward-Emily.

   Sewaktu masih tinggal di pedesaan, Emily hampir tidak pernah diperhatikan atau dipertanyakan oleh kalangan atas London.

   Tapi sekarang, setelah ia dan Edward tinggal seatap, orang jadi bertanya-tanya.

   Dulu Augusta tidak memedulikan pendapat para kalangan atas.

   Bagi kaum pengusaha, kalangan bangsawan tidak lebih dari parasit masyarakat.

   Tapi setelah menjadi bangsawan, ia sangat peka terhadap pendapat dan gunjingan dari kalangan atas.

   Karena itu, ia tak senang jika Edward mencari segala alasan untuk tidak pergi ke undangan jamuan makan dari salah seorang bangsawan.

   Malam ini misalnya.

   Marquis of Hocastle berada di London untuk debat di House of Lords.

   Istrinya mengatur jamuan makan untuk kalangan terbatas.

   Emily adalah temannya, jadi otomatis ia dan Edward serta Augusta diundang.

   Selesai berdandan, Augusta turun ke ruang tamu, mengenakan gaun sutra hitam.

   Ia melihat Micky Miranda sedang duduk dengan gelas di tangan.

   Hatinya berdebar.

   Micky dengan sigap berdiri dan mencium tangan Augusta.

   "Untung aku pakai gaun dengan belahan rendah di dada,"

   Pikir Augusta genit.

   Edward memang pernah menghindar dari Micky ketika tahu tentang Peter Middleton, tapi itu hanya berlangsung beberapa hari.

   Mereka sekarang malah makin erat dan tak terpisahkan.

   Augusta merasa senang, karena ia sendiri tak mungkin terpisahkan dari Micky.

   Ia tahu Micky sudah membunuh tiga orang, tapi ini justru membuatnya makin bergairah dan berdebar.

   Malah ia sering mengharapkan Micky tiba-tiba datang menyerang dan melahapnya, langsung di lantai rumahnya.

   Micky masih terikat dengan perkawinannya.

   Ia bisa saja menceraikan istrinya, Rachel, jika mau, berdasarkan desas-desus perselingkuhan Rachel dengan kakak Maisie, Dan Robinson, anggota Parlemen dari Partai Radikal.

   Tapi sebagai duta besar ia tentu tak mau menghancurkan reputasi dan kariernya dengan bercerai.

   Augusta duduk di sofa model Mesir, berharap Micky ikut duduk di sisinya.

   Tapi Micky malah duduk di depannya.

   Dengan jengkel ia bertanya.

   "Ada apa kau datang malam ini?"

   "Oh, Edward dan aku akan pergi ke pertandingan tinju."

   "Tidak, kalian tidak bisa pergi bersama. Edward akan makan malam di tempat Marquis of Hocastle."

   "Ah,"

   Desah Micky ragu.

   "Apa kami salah jadwal... atau mungkin Edward yang lupa soal makan malam ini?"

   Augusta yakin ini tentu ulah anaknya yang penggemar berat tinju bayaran, sehingga mengabaikan undangan makan malam ini. Ia memutuskan dengan berkata pada Micky.

   "Sebaiknya kau pergi sendirian."

   Sesaat Micky berang karena diatur oleh Augusta. Terbersit rasa khawatir dalam hati Augusta. Tapi Micky segera memutuskan untuk mengalah. Dengan sigap ia berdiri dan berpamitan.

   "Baiklah kalau begitu. Tolong katakan pada Edward aku pergi dulu."

   "Ya,"

   Sahut Augusta senang.

   Terlambat.

   Sebelum Micky keluar, Edward muncul.

   Augusta memperhatikan bercak merah di leher anaknya makin banyak.

   Sudah sampai di sisi satu telinganya.

   Ia khawatir kondisinya akan makin parah, kendati dokter mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

   Dengan antusias Edward berkata.

   "Ayo, kita pergi. Aku sudah menanti-nanti tinju ini."

   Augusta berkata dengan suara memerintah.

   "Edward, kau tidak boleh pergi ke tinju malam ini!"

   "Kenapa tidak?"

   Tanyanya, seperti anak kecil yang diberitahu bahwa hari Natal tidak jadi datang. Sesaat Augusta merasa kasihan dan hampir saja menyerah, tapi dengan mengeraskan hati ia berkata.


Pendekar Rajawali Sakti Kemelut Pusaka Leluhur Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur

Cari Blog Ini