Paket Bergambar Tengkorak 2
Detektif Stop Paket Bergambar Tengkorak Bagian 2
Berarti aku harus menemukan cara lain.
Bu Carsten telah agak tenang kembali.
"Ibu terpaksa menghubungi polisi,"
Katanya. Sambil mengeluh ia mengangkat gagang telepon.
"Jangan... jangan dulu, Bu. Tunggu sebentar"
Terheran-heran Bu Carsten memandang anaknya.
"Kenapa, Peter?" .
"Tolong jangan hubungi polisi dulu, Bu."
"Tapi Ibu kan harus melaporkan kejadian ini. Bagaimana kalau..."
Wanita itu tidak menerskan kalimatnya. Dengan pandangan bertanya-tanya ia menatap Sporty.
"Bu, tunggu dulu. Kalau Ibu menghubungi polisi, maka persoalan ini akan segera diketahui oleh atasan Ibu. Serahkan semuanya padaku. Aku belum bisa menjelaskan rencanaku, tetapi Ibu jangan khawatir. Aku akan berusaha mengembalikan dokumen-dokumen itu pada Ibu, Aku sudah bisa menduga siapa yang mengatur pencurian ini. Ini.., ini adalah suatu masalah antara aku dengan seorang murid di sekolahku. Aku tidak bisa menceritakan lebih banyak. Karena aku tidak ingin Ibu terlalu banyak pikiran. Aku bisa menangani persoalan ini. Bajingan-bajingan itu hanya melibatkan Ibu untuk memberi pelajaran padaku. Sebenarnya masalahnya hanya sepele. Tidak perlu melapor pada polisi."
Sporty tersenyum, tetapi kelihatan sekali bahwa senyuman itu dipaksakannya. Untuk beberapa saat setelah ia berkata demikian, suasana di dalam kamar itu menjadi hening. Bu Carsten kembali memandang anaknya. Kemudian ia mengangguk.
"Kau semakin lama semakin mirip ayahmu. Bukan hanya wajahmu saja, tetapi juga pembawaanu. Kalian sama-sama keras kepala. Umurmu baru tiga belas tahun, tetapi Ibu mempercayaimu. Hanya satu permintaan Ibu, jangan melibatkan diri dalam hal-hal yang membahayakan keselamatanmu." 6. Pertemuan Empat Mata DI SEBERANG Hotel Kaiserhof terdapat sebuah kotak telepon umum. Seorang gadis remaja sedang berbicara dengan seorang temannya. Sporty menunggu Gadis itu tetap saja bercerita sambil tertawa cekikikan, seakan-akan tidak menyadari ada orang lain yang juga membutuhkan jasa telepon umum itu. Malahan ia kembali memasukkan dua keping uang logam. Kesabaran Sporty mulai habis. Beberapa kali ia mengetuk kaca kotak telepon umum itu. Akhirnya gadis itu meletakkan gagang telepon. Tanpa berkata apa-apa ia melewati Sporty yang melotot ke arahnya. Sporty langsung membuka buku telepon. Ia hendak mencari alamat Detlef Egge. Tetapi ternyata ada beberapa orang bemama Egge. Akhirnya Sporty memutuskan untuk menelepon Petra. Bu Glockner yang menerima, Setelah tahu siapa yang menelepon, wanita itu lalu memanggil anaknya.
"Halo, Sporty?"
Tanya Petra. Suaranya terdengar riang.
"Datang ke rumah, dong. Kami sedang ngobrol-ngobrol. Evi ingin sekali berkenalan denganmu. Kau bisa kemari?"
"Tidak. Ibuku sedang mengalami kesulitan. Tapi tolong jangan beri tahu siapa-siapa mengenai persoalan ini."
Ia lalu melaporkan apa yang telah terjadi.
"Ya, ampun!"
Seru Petra.
"Licik sekali mereka. Kasihan Ibumu! Padahal ia begitu gembira ketika berjumpa denganmu di stasiun tadi. Tapi aku rasa dugaanmu benar. Kau benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini seorang diri?"
"Ya, dan aku sudah mulai melangkah, Tapi aku belum berhasil menemukan alamat si Egge itu."
Petra ternyata tahu. Gadis itu mengambil buku catatannya, kemudian membacakan alamat yang dicari Sporty .
"Tapi jangan pergi dulu,"
Tambahnya cepat-cepat.
"Kami akan ikut."
"Jangan! Aku akan telepon lagi kalau butuh bantuan. Perkara ini sekarang sudah jadi urusan pribadiku. Terima kasih atas bantuanmu. Sampai ketemu."
Sporty meletakkan gagang telepon.
Jarak rumah orang tua Detlef Egge ternyata cukup jauh dari Hotel Kaiserhof.
Keluarga itu tinggal agak di luar kota, di suatu daerah perumahan orang-orang kaya Bangunan-bangunan di daerah itu serba baru dan mewah.
Walaupun deikian, Sporty merasa bahwa ia tidak akan betah tinggal di lingkungan seperti itu.
Suasananya tidak menyenangkan, kata Sporty dalam hati ketika ia berjalan menyusuri jalanan yang sepi itu.
Aku lebih menyukai lingkungan di sekitar rumah Petra, walaupun daerah itu hanya berisi bangunan-bangunan kuno.
Lingkungannya terasa lebih akrab.
Di sini semuanya serba kaku Sepertinya orang-orang yang tinggal di sini hanya ingin memamerkan kekayaan masing-masing.
Keluarga Egge tinggal di rumah nomor dua puluh dua.
Berseberangan dengan rumah mereka, sebuah bangunan yang mirip istana sedang dibangun.
Tetapi rumah nomor dua puluh dua tidak kalah mentereng.
Rumah itu merupakan bangunan yang paling besar di jalan itu, sekaligus yang paling aneh bentuknya, Arsitek yang merancang rumah itu rupanya hendak menampilkan kesan modern.
Dan ia memang berhasil, atau lebih tepat jika dikatakan terlalu berhasil, soalnya bangunan itu kelihatannya seperti berasal dari sebuah film mengenai masa yang akan datang.
Terheran-heran Sporty memandang bangunan bertingkat dua itu.
Berbagai bentuk dipaksakan menjadi satu.
Bagian depannya berbentuk kotak, bagian samping bulat, dan bagian belakangnya membentuk sebuah segitiga.
Atapnya ada yang datar, ada yang miring, dan ada yang berbentuk kubah.
Tanpa batas yang jelas, sebuah garasi yang dapat menampung empat buah mobil menyatu dengan rumah itu.
Di balik garasi terdapat sebuah bangunan tambahan yang menyerupai bentuk kerang.
Seluruh dindingnya terbuat dari kaca.
Bangunan itu berisi kolam renang pribadi keluarga Egge.
Bangunan kolam renang itu terang-benderang.
Tirai-tirai yang menggantung di balik dinding kaca tidak ditutup.
Maksudnya tentu agar orang-orang yang lewat dapat melihat apa yang sedang terjadi di dalamnya.
Kolam renangnya dilapisi tegel keramik berwarna hijau.
Cahaya berwarna hijau menerangi airnya.
Lantai di sekeliling kolam tertutup pasir putih.
Pohon-pohon palem ditempatkan dalam pot-pot besar.
Suasananya dipaksakan mirip dengan hutan rimba, Hanya kera saja yang belum ada, Sekitar dua puluh orang sedang berpesta ria di ruangan itu.
Sebagian berada di dalam air, sisanya berdiri di sekeliling kolam renang.
Semuanya orang dewasa.
Tawa berderai terdengar sampai di jalan.
Mungkin ada yang ulang tahun, pikir Sporty.
Ia merasa heran melihat tingkah orang-orang itu.
Sporty berjalan menuju pintu pagar dan menekan bel.
Tidak lama kemudian gerbang itu membuka secara otomatis.
Sporty melangkah maju menuju pintu rumah.
Seorang pria berseragam menyambutnya.
Orang itu mengenakan sebuah celana hitam yang disetrika dengan rapi, baju putih bersih, dan sebuah dasi kupu-kupu yang agak kebesaran.
Dengan sikap angkuh ia memandang Sporty.
Sporty menduga pria itu adalah kepala pelayan di rumah keluarga Egge "Apakah saya bisa bertemu dengan Detlef?"
Anak itu bertanya dengan sopan.
"Saya lihat dulu apakah Tuan Muda ada di rumah. Siapa namamu?"
"Peter Carsten. Tetapi katakan saja pada Detlef bahwa Sporty ingin menemuinya. Ada urusan penting yang perlu segera diselesaikan."
Kepala pelayan itu nampak ragu-ragu. Hampir saja ia menutup pintu dan membiarkan anak itu menunggu di luar. Tetapi akhirnya Sporty dipersilakannya masuk.
"Tunggu saja di sini,"
Katanya.
"Saya akan memanggil Tuan Muda."
Hampir lima menit berlalu.
Kepala pelayan itu tidak kembali, tetapi selang beberapa menit Detlef sendiri yang muncul Mungkin pemuda itu terkejut begitu mengetahui siapa yang datang, namun ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya di hadapan Sporty.
Wajah Detlef agak pucat.
Ia mengenakan celana jeans putih dan sebuah baju dingin berwarna hitam.
Kakinya terbungkus sepatu lars yang terbuat dari kulit yang paling empuk.
Sambil tersenyum mengejek Ia mengamati Sporty.
"Rasanya aku pernah melihatmu,"
Ujar DetIef.
"Ya, kita memang sudah pernah bertemu,"
Balas Sporty.
"Tadi siang, sewaktu aku menghajarmu dan temanmu itu. Kau tentu belum lupa, bukan?! Dan setelah itu di stasiun kereta api."
"He, kau lagi mabuk, ya?"
Tanya Detlef.
"Mana mungkin kita bertemu di taman itu? Aku sudah berbulan-bulan tidak ke sana."
"Tapi aku mengenali wajahmu!"
"Tidak mungkin! Aku kan..."
Detlef berhenti bicara Hampir saja ia keceplosan. Sporty tersenyum dingin.
"Mengapa kau tiba-tiba terdiam? Mungkin kau hendak mengatakan bahwa kau mengenakan topeng tadi?!"
"Brengsek! Jangan mengada-ada! Apa sih maumu?"
"Aku ingin bicara denganmu "
"Mengenai apa? Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan! Ah, sudah! Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan ocehanmu."
Sporty menatap pemuda itu tajam-tajam. Dengan tenang ia mengeluarkan kantung kulit berisi alat suntik yang ia temukan di Taman Bismarck.
"Kita berdamai saja,"
Katanya sambil memperlihatkan barng itu pada Detlef "Kantung ini milikmu, bukan? Aku akan mengembalikannya jika kau menyerahkan map ibuku padaku. Bagaimana, kau setuju?"
Detlef membelalakkan mata.
"Kau mau cari perkara, ya?"
"Kalau aku jadi kau, aku akan berpikir dua kali sebelum menolak tawaran ini,"
Jawab Sporty dengan tenang.
"Aku yakin polisi bisa menemukan sidik jarimu pada kantung kulit ini. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kuserahkan kantung ini ke kantor polisi. Aku tinggal menyebutkan nama dan alamatmu, dan mereka akan datang kemari untuk menjemputmu. Orang tuamu takkan gembira apabila mereka mendengar bahwa kau seorang pecandu heroin."
Detlef Egge tersenyum lebar.
"Sayang sekali aku tidak mengerti apa yang kaukatakan."
"Oh, begitu."
Kata Sporty sambil mengangguk-angguk.
"Jadi kantung ini bukan milikmu?! Berarti barang ini kepunyaan temanmu, si Toni. Jangan kausangka bahwa dengan demikian kau sudah aman. Aku akan menemukan temanmu itu. Dan percaya1ah, ia tidak akan bisa berbohong padaku. Kita lihat saja apakah kau masih bisa cengar-cengir nanti."
Detlef Egge tidak terkesan oleh ancaman Sporty.
"Ah, rupanya kau memang lagi mabuk,"
Katanya sambil tertawa.
"Pantas saja kau mengoceh tak keruan. Sayang sekali, sampai sekarang aku belum juga mengerti apa maumu, Map ibumu hilang, katamu tadi? Memang, orang-orang semakin jahat saja. Kasihan benar, ibumu. Padahal maksudnya agar kau jangan sok mencampuri urusan orang. Tetapi jangan khawatir, semuanya bisa diatur. Kau suka baca cerita detektif? Dalam cerita-cerita itu biasanya semuanya akan beres, asal saja kau tidak macam-macam. Menghubungi polisi misalnya. Itu suatu kesalahan besar. Para penjahat mungkin saja merasa tidak senang. Akibatnya bisa buruk untukmu. Tapi yang paling penting adalah tutup mulut. Lupakanlah semua yang kauketahui. Ini juga berlaku untuk teman-temanmu. Nah, kalau kau bisa bersikap seperti itu, maka tidak ada persoaan, bukan? Tetapi kau jangan menyangka bahwa aku blcara begini karena terlibat dalam suatu kejahatan, Aku hanyalah seorang penggemar cerita detektif yang ingin membantu memecahkan kesulitanmu."
Kurang ajar, pikir Sporty, Detlef pura-pura tidak tahu-menahu soal map itu.
Tetapi sekaligus ia mengajukan beberapa persyaratan yang harus kupenuhi.
Dan cara ngomongnya itu seakan-akan ia tidak bersalah.
Brengsek! Setelah diam beberapa saat, Sporty akhirnya berkata.
"Oke, aku mengerti. Sekarang kau menang. Tetapi kalau sampai Senin pagi map itu belum kembali, maka ibuku akan menanggung akibatnya, Berarti map itu tidak bisa lagi kaupergunakan untuk memaksakan keinginanmu. Jika itu sampai terjadi, aku akan segera melaporkanmu pada polisi. Aku akan mengatakan bahwa kau seorang pecandu heroin. Dan juga bahwa kau pernah mencoba untuk merampas dompet milik seorang kakek di taman Bismarck. Pikirkanlah hal itu,"
"Kau berani mengancamku?"
DetIef mendesis. Ia mengangkat kaki untuk melangkah maju, tetapi kemudian membatalkan niatnya.
"Aku hanya ingin memperingatkanmu, Dan aku juga masih menunggu kau mengembalikan map itu padaku,"
Balas Sporty.
"He, jangan sok jago, kau! Jangan sembarangan menuduh orang. Kalau kau memfitnahku di depan polisi, maka aku tidak dapat menjamin keselamatanmu atau teman-temanmu. Kau mungkin saja mempertahankan diri, tetapi bagaimana dengan cewekmu itu? Yang ke mana-mana selalu bawa anjing, maksudku. Jangan sampai ia tertabrak oleh sebuah mobil sewaktu lagi bersepeda, Dengar-dengar sekarang lagi banyak tukang ngebut berkeliaran di jalanan."
Sporty tidak dapat berkata apa-apa.
Dengan berang ia menatap Detlef.
Rasanya ia ingin menghajar pemuda itu habis-habisan.
Namun Sporty masih dapat menahan diri.
Ia menyadari bahwa tindakan itu tidak ada gunanya, setidak-tidaknya untuk sementara waktu.
"Dengar, Egge,"
Kata Sporty dengan suara brgetar karena marah.
"kalau terjadi sesuatu pada Ibuku, Petra dan teman-temanku yang lain, atau anjing spanil milik Petra, maka aku akan menghabisimu, Mukamu akan kupermak sampai ayahmu sendiri takkan mengenalimu saat ia menengokmu di rumah sakit, mengerti?!"
Detlef Egge mundur satu langkah dan bersuit keras-keras. Si kepala pelayan langsung muncul.
"Bah, untuk apa aku mendengarka ocehnmu? Buang-buang waktu saja. Cepat, pergi! Pergi. Dan jangan balik lagi!"
Sporty berbalik badan dan menuju pintu rumah yang telah dibuka oleh kepala pelayan tadi. Orang itu memandangnya dengan sikap bermusuhan. KetIka melangkah keluar, Sporty mendengar suara seorang wan ita memanggil Detlef.
"Deeetleeef, di mana kau? Kenapa kau tidak ikut meramaikan pesta kita. Ayo, cepat, ayahmu sudah menunggu!"
"Malas, Bu,"
Pemuda itu menyahut.
"Aku lagi nunggu teman!" 7. Mengintai Musuh SPORTY melangkah menuju pintu pagar. Tiupan angin menerpa wajahnya. Udara dingin di luar rumah membantu menjernihkan pikirannya yang sedang kusut. Ia tidak mengerti bagaimana Detlef, yang hampir seumur dengannya, bisa bersikap begitu kejam dan tak berperasaan. Kelihatannya, pemuda itu menghalalkan segala cara, asal saja tujuannya tercapai. Kenyataan itu membuat Sporty tak habis pikir. Bukankah Detlef telah memiliki segalanya yang menjadi dambaan anak muda? Sesampainya di pintu gerbang, Sporty menengok ke belakang. Rumah yang mewah itu, suasana pesta yang ramai, semuanya kini terasa hambar dan dingin. Benarkah Detlef telah mempunyai segala-galanya? Memang benar, orang tuanya kaya-raya. Hidupnya bergelimang harta dan kemewahan, Semua fasilitas tersedia lengkap. Tetapi mungkin ia membutuhkan lebih dari itu, yaitu perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Barangkali ia kurang diperhatikan oleh ayah dan ibunya, pikir Sporty, Tapi itu bukan alasan untuk bersikap seperti tadi. Dasar bajingan! Berani-beraninya ia mengancam keselamatan Petra! Hati-hati kau, Detlef. Urusan kita belum selesai. Setelah beberapa saat, kemarahan Sporty baru reda. Ia dapat berpikir dengan tenang kembali. Apa katanya tadi? Sedang menunggu teman? Anak itu bertanya dalam hati. Hm, ada baiknya kalau aku menunggu kedatangan temannya itu. Siapa tahu aku akan memperoleh petunjuk baru. Hari telah gelap. Beberapa lampu taman menerangi perkarangan rumah keluarga Egge. Tetapi cahaya lampu-Iampu itu tidak mencapai jalanan. Jangan sampai Detlef melihatku, pikir Sporty. Mungkin bajingan itu sedang mengintip melalui salah satu jendela rumahnya. Ia mencari tempat untuk bersembunyl. Dl sekltar rumah Detlef hanya ada satu tempat yang cocok, yaitu rumah mirip istana yang sedang dibangun itu. Cepat-cepat Sporty menyeberang. Dengan hati-hati ia mengendap-endap memasuki halaman rumah itu. Ia memandang sekelilingnya. Ternyata tidak ada siapa-siapa.
"Nah, aman,"
Bisiknya pelan.
"Aku akan menunggu di sini."
Ia berjongkok di balik sebuah timbunan tanah galian.
Dari tempat itu ia dapat melihat rumah keluarga Egge dengan jelas.
Suasana pesta di seberang semakm meriah.
Seorang tamu yang rupanya sudah agak mabuk tiba-tiba melemparkan gelasnya ke dinding kaca yang mengelilingi kolam renang.
Gelas itu pecah berantakan.
Suaranya terdengar dengan jelas sampal di jalanan, Untuk sesaat, semua tamu terdiam.
Namun kemudian lelucon konyol itu disambut dengan tawa berderai yang memecahkan keheningan malam.
Menit demi menit berlalu.
Salju mulai turun lagi.
Tapi orang yang ditunggu Detlef belum juga datang.
Gawat, pikir Sporty setelah menunggu selama hampir setengah jam.
Aku bisa beku di sini kalau temannya itu tidak muncul-muncul juga.
Sambil berjongkok, anak itu berusaha menggerak-gerakkan badan agar tidak kedinginan.
Punggungnya, yang tadi secara tidak sengaja terkena hajaran tongkat Kolonel Grewe, kini terasa sakit lagi.
Sporty hampir saja putus asa, ketika ia melihat sesosok tubuh muncul di ujung jalan.
Sosok itu berjalan dari arah pusat kota.
Itu dia! pikir Sporty gembira.
Ternyata ia tidak sia-sia menunggu.
Rasanya aku ingat cara jalannya.
Ya tidak salah lagi, itu si Toni.
Dugaanku tepat sekali.
Ia sudah ganti baju, tetapi aku masih mengenali gerak-geriknya.
Aku berani bertaruh bahwa ia sedang menuju rumah Detlef, Nah, benar kan! Toni berhenti di depan pintu gerbang rumah nomor dua puluh dua.
Langsung ia menekan bel.
Sporty tidak dapat mengamati Toni.
Pemuda itu berpakaian seperti orang eskimo.
Seluruh tubuhnya terbungkus pakaian tebal.
Ketika Toni membuka topi yang menutupi kepalanya, Sporty melihat bahwa rambutnya keriting.
Kepala pelayan tadi membuka pintu, dan Toni melangkah masuk.
Para pengedar narkotika sedang berkumpul, pikir Sporty.
Coba kulihat bagaimana kelanjutannya, Kali ini ia tidak perlu menunggu lama-lama.
Seperempat jam kemudian pintu rumah itu terbuka kembali.
Detlef Egge mengantarkan tamunya sampai di pintu pagar.
"Kau memang teman sejati, Toni,"
Sporty mendengar Detlef berkata.
"Oke, nanti saja kautelepon aku lagi. Dan tolong katakan pada Lembke, aku berpendapat bahwa sebaiknya kita mengalah dulu. Setidak-tidaknya sampai kita tahu siapa yang ingin mengacaukan usaha kita. Lalu..."
Detlef Egge tertawa.
Dengan kepalan tangannya, ia memperagakan sebuah gerakan tinju.
Tetapi kelihatan sekali bahwa ia tidak biasa berkelahi.
Walaupun demikian.
Toni menyambut gurauan itu dengan tawa yang meledak-ledak.
Ia berkomentar sedikit, tetapi Sporty tidak dapat mendengarnya.
Setelah mengancingkan jaketnya, Toni kembali berjalan ke arah pusat kota.
Pintu rumah Detlef menutup.
Sambil menundukkan kepala, Toni melangkah membelah malam yang dingin.
Ia tidak menyadari dinnya sedang dibuntuti oleh sebuah bayangan hitam.
Kau takkan lolos, ujar Sporty dalam hati.
Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya.
Perjalanan yang ditempuh kedua orang itu ternyata cukup jauh, dan berakhir di suatu daerah yang merupakan pusat kehidupan malam.
Segala macam usaha hiburan terdapat di daerah itu.
Tempat bilyar, arena permainan ketangkasan, bar, bioskop butut, diskotek murahan, semuanya dapat ditemui di daerah itu.
Beberapa tempat telah menjadi langganan razia polisi.
Toni mempercepat langkahnya.
Rupanya ia sudah hampir sampai di tempat tujuannya.
Sporty mulai memperkecil jarak.
Ia berani berbuat demikian karena selama ini Toni tak sekali pun menengok ke belakang.
Siapa si Lembke itu? pikir Sporty.
Dan apa yang dimaksud oleh Detlef tadi? Apakah lagi ada antar pengedar narkotika? Mereka melewati sebuah jalan yang sempit dan gelap.
Lampu-Iampu neon berkedip-kedip Musik yang memekakan telinga terdengar setiap kali seorang pengunjung meninggalkan sebuah tempat hiburan.
Di sepanjang jalan itu, anak-anak muda bergerombol di depan pintu-pintu masuk ke tempat-tempat keramaian itu.
Entah mengapa mereka hanya berdiri di luar.
Gerombolan terbesar terdapat di depan pintu masuk sebuah Diskotek barnama Super-Sound Disco.
Tempat itu mempunyai reputasi buruk.
Tetapi untuk segolongan remaja, diskotek itu mempunyai daya tarik tersendri.
Setiap malam mereka berkumpul di sana.
Toni melangkah masuk.
Tanpa ragu-ragu Sporty mengikutinya.
Ia takkan tahu aku mengawasi gerak-geriknya, kata anak itu dalam hati.
Diskotek itu pasti menghemat lampu, lagi pula tempatnya tentu penuh sesak.
Dengan gesit ia menyelinap di antara anak-anak muda yang berdiri di depan pintu masuk.
Dua gadis orang berpapasan dengannya.
Umur mereka tentu tidak jauh berbeda dari Sporty.
Wajah keduannya pucat-pasi.
Mata mereka sayu, seakan-akan tanpa semangat hidup.
Di pintu masuk Sporty dicegat oleh seorang laki-laki bertampang seram.
Kelihatannya ia adalah penjaga pintu, sekaligus tukang pukul yang bertugas menjga keamanan.
"He, mau ke mana kau?"
Laki-laki itu menegur.
"Bayar dulu kalau mau masuk ".
"Berapa?"
Tanya Sporty.
"Tiga Mark."
Sporty mengeluarkan dompetnya dan membayar. Punggung tangannya kemudian diberi cap oleh laki-laki tadi.
"Bisa hilang lagi?"
Sporty bertanya.
"Jelas. Besok pagi juga sudah nggak ada bekasnya. Keenakan dong kau, kalau capnya nggak hilang-hilang. Berarti besok kau bisa masuk tanpa bayar."
"Ngomong-ngomong, Lembke sudah datang?"
"Bos kita?"
"Siapa lagi?! Kaukira aku menanyakan tukang sapu?!"
Laki-laki bertampang seram itu nyengir.
"Bos kita selalu ada. Tetapi kayaknya orang-orang belum pada tahu. Barusan si Toni juga mencarinya. Ada urusan bisnis, katanya."
Sporty mengangguk dan melangkah masuk.
Si tolol itu sama sekali tidak curiga, katanya dalam hati.
Kalau sekali lagi aku ketemu orang bego seperti itu, maka aku bisa mengetahui seluruh rencana para pengedar heroin itu, tanpa perlu repot-repot bertanya ke sana kemari.
Suasana hingar-bingar menyambut Sporty.
Musik disko menghentak-hentak.
Penerangan di dalam ruangan itu hanya berupa tiga buah lampu sorot yang berwarna biru, merah, dan kuning.
Ketiga lampu itu secara bergantian menerangi lantai dansa yang terdapat di tengah-tengah ruangan.
Puluhan anak muda memadati lantai dansa itu.
Sporty tidak dapat membedakan siapa yang berpasangan dan siapa yang sendirian, sebab semuanya berjingkrak-jingkrak tanpa aturan..Mata Sporty terasa perih terkena asap rokok yang menggantung di udara.
Dengan susah-payah ia menerobos kerumunan orang yang berdiri di pinggir lantai dansa.
Ia berjalan menuju bar yang terdapat di bagian belakang ruangan itu.
Beberapa gadis dengan danan yang mencolok mata melayani tamu-tamu.
Mereka tidak terlalu sibuk, karena sebagian besar pengunjung hanya membawa uang pas-pasan saja.
Di samping itu, ban yak di antara tamu yang membawa minuman sendiri, walaupun hal itu dilarang.
Secara sembunyi-sembunyi mereka mereguk minuman keras yang mereka selundupkan ke dalam.
Sporty berhenti di dekat bar.
Ia telah melihat Toni.
Pemuda itu belum menemukan orang yang dicarinya.
Sambll mempermainkan kancing jaketnya, ia memandang sekitarnya, Toni ternyata berwajah bulat.
Matanya kecil dan menimbulkan kesan licik.
Sporty berdiri di belakang seorang gadis berambut keriting.
Sekali-sekali ia mengintip untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan Toni.
"Turun, yuk,"
Gadis itu tiba-tiba menegur. Ia terpaksa berteriak untuk mengalahkan musik yang memekakkan telinga. Sporty menggeleng.
"Nanti saja, aku lagi malas."
Gadis itu hanya mengangkat bahu, lalu kembali memperhatikan orang-orang yang sedang berdansa. Tepat pada saat itu Toni mendekati seorang pria yang sedang berdiri di ujung bar. Mereka bersalaman lalu segera terlibat dalam percakapan seru.
"Itu pasti si Lembke,"
Sporty menduga.
Dari kejauhan Sporty mengamati pria itu, Umurnya sekitar tiga puluh tahun, Ia berperawakan tinggi besar.
Garis-garis wajahnya keras, Sebuah kumis tebal melintang di atas bibirnya.
Rambutnya agak keriting dan berwarna pirang kecoklat-coklatan.
Lembke berpenampilan perlente, Ia mengenakan stelan jas berwarna putih dan sebuah kemeja berwarna hitam.
Sebuah kalung emas melingkar di lehernya.
"Bagaimana mereka bisa berbincang-bincang dalam keadaan bising seperti ini?"
Ujar Sporty terheran-heran.
"He, kau benar-benar nggak mau turun?"
Gadis tadi kembali bertanya.
"Nanti saja,.. kalau suasananya sudah lebih ramai. Sekarang masih terlalu sepi!"
Gadis itu menatapnya sambil membelalakkan mata.
Mungkin ia merasa heran, soalnya sekarang saja para pengunjung sudah sulit untuk bergerak.
Mana mungkin bertambah ramai lagi! Toni dan Lembke beranjak dari tempat mereka berdiri.
Sebelum mereka menghilang di balik kerumunan pengunjung yang memadati lantai dansa, Sporty telah bergerak mendekat.
Sebuah pintu membuka.
Di belakangnya terdapat sebuah selasar yang diterangi lampu neon.
Sebuah papan kecil bertulisan DlLARANG MASUK menempel pada pintu.
tadi.
Kedua orang itu menghilang ke dalam dan pintu itu menutup kembali.
Sporty menunggu selama sepuluh detik.
Lalu ia membuka pintu itu.
Sebelum masuk, ia menengok ke belakang.
Tidak ada yang memperhatikannya.
Semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Lagi pula, siapa yang dapat melihatnya dalam cahaya remang-remang begitu? Cepat-cepat ia menyelinap masuk ke selasar itu.
lalu menutup pintu.
Di situ tak begitu bising.
Tidak ada pintu di kedua sisi selasar.
Tetapi selasar itu membelok ke kanan.
Perlahan-lahan Sporty melangkah ke arah belokan itu, kemudian berhenti Sayup-sayup ia mendengar suara dua orang pria sdang bercakap-cakap.
Dengan hati-hati ia mengintip.
Ia melihat sebuah pintu yang tertutup.
Suara-suara tadi berasal dari balik pintu itu.
Sejumlah huruf berwarna emas yang membentuk tulisan KANTOR terpasang di daun pintu.
Dengan hati-hati Sporty melangkah mendekat agar dapat mendengar percakapan yang sedang terjadi dengan lebih jelas.
"Mau wiski?"
Sese orang bertanya dengan suara serak. Mungkin Lembke.
"Tentu. Lumayan, untuk menghangatkan badan."
Itu suara Toni.
"Memang brengsek,"
Lembke kembali berkata. Ucapan itu bukan tertuju pada wiski yang sedang dituang ke dalam gelas, tetapi pada sesuatu yang tidak sempat didengar oleh Sporty. Toni keselak. Ia terbatuk-batuk. Dengan tersengal-sengal ia akhirnya berkata.
"Semuanya sudah jelas. Jahanam itu tahu siapa kita. Ia tahu bahwa kau terlibat dalam perdagangan narkotika. Juga Detlef dan aku. Detlef bilang kita sebaiknya mengalah saja. Apa sih artinya uang 50.000 Mark dibandingkan dengan penghasilanmu? Sayangnya aku sekarang lagi bokek. Tetapi nanti aku akan melunasi bagianku, jangan khawatir, Detlef punya 10.000 Mark. Nih, aku bawa uangnya. Sisanya terpaksa kaubayar sendiri."
"40.000 Mark? Apa kalian sudah gila?"
Untuk beberapa detik kedua orang itu terdiam. Sporty menahan napas. Seluruh indrianya dikerahkan. Ia siap-siap untuk kabur dari tempat itu.
"Oke, deh,"
Kata Lembke.
"Sekarang kita terpaksa mengalah. Aku tidak mau ambil risiko. Tidak ada gunanya mengundang bahaya bagi bisnis kita. Padahal semuanya sedang berjalan lancar. Uang itu pasti dapat dikumpulkan, jangan khawatir. Tetapi aku masih penasaran. Siapa sih si pemeras sialan itu?! Dan kenapa hanya Detlef yang ia telepon? Aneh, kan? Kau dan aku sama sekali tidak pernah dihubunginya. Lagi pula tidak ada yang tahu bisnis kita kecuali kita bertiga. Aku sendiri tidak pernah memberi tahu siapa-siapa. Detlef juga tidak. Dan kau..."
"Sungguh mati, Dieter, aku tidak pernah bercerita macam-macam. Tetapi barangkali pemeras itu sudah lama mengamati gerak-gerik kita."
"Sudahlah. Percuma saja kita berdebat. Kali ini aku akan mengalah. Aku akan bayar. Tetapi hanya kali ini. Kalau sampai kejadian semacam ini terulang lagi, aku terpaksa bertindak keras."
"Memang, Dieter. Jangan sampai kita jadi bulan-bulanan si pemeras. Tapi untuk kali ini... Maksudku... jangan sampai bisnis kita berantakan hanya karena kita bertindak ceroboh."
"Brengsek, apa kaupikir aku belum mempertimbangkan hal itu?"
Balas Lembke ketus.
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Waktu si pemeras menelepon Detlef tadi, ia menetapkan batas waktu. Kalau sampai..."
"Apa? Batas waktu? Berani betul bangsat itu!"
"Pokoknya, ia bilang uang itu harus kita serahkan tepat tengah malam nanti."
"Caranya?"
"Aku disuruh mengantarkan uang itu."
"Ke mana?"
"Ke Wisma Gelandangan, di belakang Kuburan Lama. Uang itu harus kubawa dalam suatu tas berwarna terang Di dalam salah satu ruang di Wisma Gelandangan ada sebuah meja bilyar bekas. Tas itu harus kutaruh di sana. Setelah itu aku disuruh segera kembali.
"
"He, aku ada akal. Kita bisa menyergapnya di sana. Pemeras itu pasti menunggu di sana."
"Aku rasa ia tidak sebodoh itu. Ia telah memperingatkan Detlef agar kita jangan macam-macam. Demi keselamatan kita sendiri, katanya. Menurut pengakuannya, ia punya pistol. Kecuali itu, pemeras itu juga telah menitipkan sebuah surat pada salah seorang temannya. Ia bilang surat itu akan segera dikirimkan ke polisi, kalau kita berani bertindak curang. Kau tentu bisa menebak isi surat itu, bukan?"
"Bajingan!"
Seru Lembke.
"Kelihatannya orang itu tidak main-main."
"Zaulich sudah tahu persoalan ini?"
"Belum. Mana kami berani memberitahunya? Kau kan tahu sifatnya! Zaulich selalu kepingin agar semuanya berjalan dengan tenang. Begitu ada ribut-ribut, biar sedikit saja, ia pasti akan langsung menarik diri. Terus dari mana lagi kita bisa dapat barang?! Tidak ada cara lain, Dieter. Urusan ini harus kita selesaikan sendiri. Lagi pula, Zaulich sudah cukup banyak membantu kita, dengan mencuri map berisi dokumen dari Hotel Kaiserhof. Kata Detlef, itu satu-satunya cara supaya anak ingusan itu tidak ikut campur lagi."
Anak ingusan yang dimaksud itu, kini sedang tersenyum simpul mendengar ucapan Toni. Walaupun dengan berdebar-debar.
"Eh, siapa tahu justru anak itu biang keladinya?"
Lembke menduga.
"Ah, tidak mungkin."
"Lho kenapa?"
"Soalnya ia hanya secara kebetulan saja terlibat dalam urusan ini. Kau sudah tahu kan, persoalan di Taman Bismarck tadi siang? Padahal si pemeras sudah beberapa hari yang lalu menghubungi Detlef."
"Ya, aku sudah tahu persoalan kalian itu,"
Ujar Lembke dengan nada mengejek.
"Payah, lawan anak kecil saja tidak mampu!"
"Coba kalau kau melihatnya, Umurnya memang baru tiga belas tahun, tapi kau sendiri pun belum tentu sanggup membereskannya. Detlef kenal anak ingusan itu. Namanya Sporty. Ia satu sekolah dengan Detlef. Detlef bilang anak itu juara judo di sekolahnya, Aku yakin kau juga bakalan kelabakan kalau menghadapinya.
"
"Aku takkan kelabakan, soalnya aku tidak akan melawan dia, Itu tugas kalian, Lagi pula, kenapa sih kalian merampas dompet si tua bangka itu?"
"Itu.., itu urusan pribadi,"
Jawab Toni agak ragu-ragu.
"Urusan pribadi bagaimana?"
"Kakek itu melaporkanku pada polisi."
"Apa lagi yang kauperbuat, heh?"
"Begini, aku punya ketapel di rumah. Bukan ketapel biasa dari kayu, tetapi model baru. Nembaknya pakai bola baja. Percaya tidak, papan setebal lima senti pun tembus. Dan tembakannya selalu tepat. Pertama-tama aku latihan dengan botol-botol bekas. Tapi lama-lama bosan, Terus aku mulai menembak burung. Sudah belasan burung kusikat, semuanya sedang terbang! Nah, beberapa hari yang lalu aku lewat di depan rumah kakek itu. Eh, tiba-tiba aku lihat beberapa ekor burung gereja hinggap di pagar rumahnya. Rapat sekali, Sasaran empuk, pikirku, Siapa tahu bisa kena tiga ekor sekaligus. Ternyata si tua bangka memperhatikan tingkah lakuku. Aku lagi membidik, ketika ia keluar rumah sambil marah-marah. Burungnya terbang semua. Aku langsung kabur. Tahu-tahu kakek itu menelepon polisi. Tidak lama kemudian sebuah mobil patroli berhenti di sampingku. Aku dibawa ke kantor polisi, dan memperoleh penngatan keras. Ketapelku disita. Kemudian aku susun rencana untuk balas dendam. Tetapi aku tidak bisa menghajarnya begitu saja. Polisi pasti akan mencurigaiku. Karena itu, aku memutuskan untuk sekalian merampas dompetnya. Biar kelihatannya seperti penjambretan. Detlef langsung setuju waktu aku mengajaknya. Soal begituan, Detlef selalu berminat. Untuk mengelabui polisi, aku meletakkan sebuah kantung berisi alat suntik bekas di dekat tempat kejadian, Supaya disangka bahwa kejahatan itu dilakukan oleh seorang morfinis. Kejadian selanjutnya, kau sudah tahu, bukan?"
Sporty mengepalkan tangan.
Ia benar-benar marah.
Hampir saja ia menyerbu ke dalam untuk menghajar Toni.
Pernuda itu ternyata bukan pecandu obat bius.
Dan Detlef Egge kemungkinan besar juga bukan, Mereka hanya menjual heroin, Tetapi dengan demikian mereka mencelakakan orang-orang lain.
Ajaib, pikir Sporty.
Alat suntik itu berhasil mengelabuiku, tetapi sekaligus menunjukkan jejak para pengedar ini.
"Anak ingusan itu ternyata cukup lihai,"
Suara Toni terdengar kembali.
"Ia tahu, atau menduga, map ibunya ada di tangan Detlef, Entah setan mana yang memberitahunya. Tadi ia sempat datang ke rumah Detlef, dan..,"
Sporty tidak menunggu lebih lama.
Apa yang didengarnya sudah cukup.
Nalunnya mengatakan ia harus segera meninggalkan tempat itu.
Tanpa mengeluarkan suara ia kembali ke ruang disko.
8.
Korban Narkotika DI RUANG disko suasana belum berubah.
Kebisingan yang hampir tak tertahankan -menyiksa telinga.
Udara pengap bercampur asap rokok dan bau keringat.
Puluhan remaja melompat -lompat mengikuti irama musik.
Gadis yang tadi menegur Sporty masih berdiri di tempat semula.
Entah mengapa ia belum menemukan pasangan untuk menggetarkan lantai dansa.
Baru sekarang Sporty menyadari betapa tegangnya ia sewaktu memasang telinga di depan pintu kantor tadi.
Kedua belah tangannya sampai terasa lengket oleh keringat.
Karena itu ia ingin mencuci tangan dulu sebelum meninggalkan Super-Sound-Disco.
Sebuah gang sempit menuju ke ruang toilet.
Tetapi gang itu tidaklah sesepi selasar tadi.
Sporty harus melewati tiga atau empat anak-muda yang menatap nya dengan pandangan kosong.
Pupil mata mereka mengecil.
Narkotik! terlintas di kepala Sporty.
Ia pernah membaca bahwa pupil mata yang mengecil merupakan bukti yang tidak dapat disangkal bahwa seseorang berada di bawah pengaruh narkotika.
Ia berjalan melewati pintu toilet wanita.
WC pria terletak di ujung gang itu.
Sporty membuka pintu dan melangkah masuk.
Bau tidak sedap menyambutnya.
Di dalam ruangan terdapat empat buah tempat cuci tangan.
Semuanya kelihatan kotor dan tak terawat.
Satu-satunya penerangan adalah sebuah lampu suram yang tergantung di langit-langit.
Empat buah cermin pernah terpasang pada dinding yang penuh dengan coret-coretan spidol.
Tetapi satu sudah copot.
Tiga cermin lainnya buram.
atau retak.
Pada masing-masing wastafel terdapat wadah berisi sabun cair.
Sebuah handuk yang nampaknya sudah bertahun-tahun tidak diganti, menggantung pada sebuah paku yang tertancap di tembok.
Untung Sporty selalu mengantungi sapu tangan sehingga tidak terpaksa menggunakan handuk itu.
Sporty sendirian di dalam ruangan itu.
Ia membuka keran, lalu membasuh kedua belah tangannya.
Tiba-tiba pintu WC membuka Sporty memandang ke dalam cermin yang terpasang di hadapannya.
Seorang anak laki-laki masuk.
Sporty tidak mengenalnya.
Ia baru saja hendak mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, ketika remaja yang baru masuk itu menyergapnya dari belakang.
"Sporty? Wah, kebetulan! Akhirnya ketemu teman yang bisa meminjamkan duit padaku. He, Sporty, tolong dong. Aku perlu duit, sepuluh Mark saja! Nanti kukembalikan. Ayo, dong. Aku lagi nagih, nih."
Sporty menatapnya dengan terheran-heran.
Anak itu hampir sama tingginya dengan Sporty, Rambutnya pirang.
Warna kulitnya kekuning-kuningan.
Garis-garis hitam melingkari sepasang mata yang berwarna biru dan agak berair.
Tulang pipi terlihat menonjol dari wajahnya yang kurus.
Butir-butir keringat dingin membasahi dahi anak itu.
"Frank?"
Tanya Sporty ragu-ragu.
"Ayo dong, Sporty. Tolong dong, sepuluh Mark saja! Aku benar-benar lagi nagih."
"Frank Weyler?"
Sporty bertanya sambil mengerutkan dahi.
"Masa lupa sama aku? Bagaimana, duitnya ada? Kita kan sama-sama... maksudku..."
Ia terdiam.
Frank Weyler, kata Sporty dalam hati.
Tidak mungkin! Aku hampir tidak mengenalinya.
Padahal tahun lalu kita masih satu kelas.
Waktu ia itu tidak naik, dan terpaksa mengulang kelas delapan.
Bukan anak bodoh.
Hanya-malas.
Ia tidak melanjutkan sekolah sesudah itu.
Katanya, ayah tirinya menyuruhnya bekerja.
Ia lalu ikut kursus montir.
Gila, tampangnya hancur-hancuran begitu! Hampir tidak ada mirip-miripnya dengan dulu.
Katanya lagi nagih? Apa maksudnya? "Frank! Kau berubah sekali.
Knapa kau jadi begini? Kau lagi sakit?"
"Sakit? Tidak, aku hanya lagi nagih dan..."
"Nagih? Apa sih maksudnya?"
Anak itu mengangkat alis.
"Ah, kacau,"
Desahnya kemudian.
"Aku kira kau juga... Tetapi bagaimana dengan duit itu?"
"Apa artinya nagih?"
"Ah, itu tidak penting. Pokoknya aku butuh..."
"Frank! Apa kau jadi begini gara-gara heroin? Kau kecanduan?"
Sporty menggenggam kedua lengan anak itu, lalu mengguncang-guncangnya.
"Kenapa kau melakukannya? Kau mencicil kematianmu!"
"He, lepaskan aku."
Frank mencoba melepaskan diri dari genggaman Sporty. Tetapi ia tidak berdaya. Badannya nyaris tak bertenaga sama sekali. Akhirnya ia menyerah "Frank, aku tanya sekali lagi! Kau kecanduan ya?"
"Aku... aku hanya nyuntik sekali-sekali. Itu saja. Dan sekarang aku lagi nagih. Aku butuh barang."
"Berarti kau kecanduan!"
"Sudah, jangan banyak omong. Kau mau kasih duitnya atau tidak?"
"Apa yang biasa kaupakai?"
"H. Apa lagi, coba? Yang lainnya kan cuma mainan anak-anak!"
"Heroin, maksudmu?"
"Memangnya kau sendiri belum pernah nyuntik? Oh ya, aku lupa. Kau kan seorang olahragawan yang tidak penah menyentuh rokok dan tidak pernah minum bir. Kau takkan bermimpi untuk memakai H bukan?"
Sporty tidak mengatakan apa-apa.
Tidak ada gunanya berdebat dengan bekas teman sekelasnya itu.
Sporty menatapnya.
Ia kasihan melihat keadaan Frank yang telah menjadi korban narkotika.
Sesaat ia merasa seakan-akan berhadapan dengan seseorang yang sedang menunggu ajalnya tiba -pada usia empat belas tahun! "Aku tidak bawa uang,"
Sporty berbohon .
"Tapi aku bisa pinjam asal kau mau ikut. Kebetulan aku ada janji dengan Thomas dan Oskar"
"Mereka punya duit?" .
"Lebih dari sepuluh Mark yang kaubutuhkan itu. Tapi kau harus ikut."
Frank mengangguk.
Ia masih membutuhkan sepuluh Mark untuk membeli satu cekak heroin.
Dalam keadaan seperti sekarang, ia akan melakukan apa saja asal bisa memperoleh uang sepuluh Mark.
Kami harus keluar dari tempat ini, pikir Sporty.
Tanpa menarik perhatian.
Kalau Frank tiba-tiba memberontak, maka Toni dan Lembke pasti tidak akan tinggal diam.
Semuanya akan kacau.
Mereka melangkah keluar, menyusuri gang sempit, lalu melewati ruang disko.
Sporty memegang tangan Frank dan menuntunnya.
Agar tidak terlalu mencurigakan, ia pura-pura ngobrol dengan temannya itu.
Frank hanya mengangguk-angguk.
Keringat membasahi wajahnya, tetapi tubuhnya menggigil kedinginan.
Melihat cara jalannya, Sporty menduga bahwa anak itu sebentar lagi akan ambruk.
Ketika mereka sampai di jalan, Sporty berkata.
"Aku harus menelepon Thomas dan Oskar. Di mana sebaiknya mereka menemui kita?"
"Di tempatku saja, Jalan Burghof nomor sebelas, lantai tiga. Tetapi jangan lama-lama. Aku biasa beli barang di pengedar langgananku. Kalau aku tidak muncul sampai jam sepuluh, maka jatahku akan dijual pada orang lain."
"Oke. Ada telepon di tempatmu?"
"Tidak ada."
Di dekat Super-Sound-Disco terdapat sebuah kotak telepon umum. Sporty menelepon Petra. Thomas dan Oskar ternyata sedang bersiap-siap pulang. Sementara Frank menunggu dengan tubuh gemetaran, Sporty cepat-cepat melaporkan apa yang telah terjadi.
"Tolong katakan pada Thomas dan Oskar bahwa aku membutuhkan bantuan mereka.
"
Ujar Sporty.
"Frank akan mengamuk kalau tahu aku tidak akan membantunya untuk memperoleh heroin. Ya ampun, seandainya aku tahu apa yang harus kita lakukan dengan anak itu."
"Aku akan ikut,"
Kata Petra lalu meletakkan gagang telepon. Sporty menghampiri Frank, yang menatapnya dengan mata terbelalak.
"Mereka langsung ke tempatku?"
"Jelas. Ayo, kita berangkat. DI mana rumahmu?"
"Tidak jauh dari sini."
"Kau tidak tinggal bersama orang tuamu?"
"Orang tua?"
Frank hendak meludah ke salju. Tetapi mulutnya kering.
"Aku hanya punya seorang ibu. Dulu ia memang baik, tetapi setelah kawin lagl... Pokoknya ia jadi lain. Paul Lorenz, yang katanya jadi ayah tiriku, ternyata benar-benar brengsek. Malas kerja, selalu mabuk, jahat dan kasar. Ia benci padaku. Ibuku tergila-gila padanya. Karena itu ia selalu menurut pada kemauan ayah tiriku. Sejak itu aku tidak pernah diperhatikannya lagi. Jadi, untuk apa aku tinggal bersama mereka. Sudah lama aku kabur dari rumah. Mereka sama sekali tidak berusaha untuk mencariku, Barangkali aku sudah dianggap mati."
"Jangan ngaco. Kemungkinan besar ibumu menangis terus karena kau pergi dari rumah,"
"Sayang kenyataannya tidak begitu, Sporty. Tempat tinggalku di Jalan Burghof dipakai beramai-ramai. Tetapi sejak beberapa waktu tinggal aku yang mash di sana. Yang lain sudah pada pindah. Tempatnya tidak istimewa, tetapi lumayanlah. Yang penting ada atap di atas kepala,"
Sporty merasa sangat terpukul.
"Dan bagaimana dengan kursus montirmu itu?"
Tanyanya.
"Sudah lama berhenti."
"Lalu, apa pekerjaanmu sekarang?"
"Nggak ada."
"Tapi dari mana kau dapat uang untuk makan?"
"Aku minta-minta pada orang-orang yang kukenal, seperti tadi di WC waktu aku mau pinjam duitmu. Tapi sebagian besar habis untuk beli barang."
Mereka telah berjalan agak jauh dan kini membelok ke sebuah jalan kecil.
"Kau tidak bisa terus-terusan begini, Frank. Kau menghancurkan dirimu sendiri."
"Ah, masa bodoh amat! Aku tak peduli."
"He, mikir dong! Kau masih muda. Kau masih punya waktu banyak. Kau harus melepaskan ketergantunganmu pada heroin. Mulai hari ini! Thomas, Oskar, dan aku akan membantumu."
Frank berhenti. Dengan pandangan curiga ia menatap Sporty.
"Kau bilang mau kasih sepuluh Mark padaku!"
"Aku mau membantumu. Di mana Jalan Burghof?"
"Jalan berikut belok ke kiri."
Sebelum mereka mencapai belokan itu, Frank sudah tidak kuat lagi.
Ia ambruk begitu saja.
Untung Sporty sempat menangkapnya.
Dengan demikian kepala anak itu tidak sampai membentur aspal jalanan.
Dengan susah payah Frank mencoba menarik napas.
Sekujur tubuhnya menggigil.
Ia mengatakan sesuatu, tetapi Sporty tidak dapat memahaminya, Sporty segera mengangkat anak itu dan menggendongnya.
Ia terkejut ketika menyadari betapa entengnya tubuh Frank, seakan-akan hanya terdiri dari tulang yang dibungkus kulit.
Sporty mengangkat temannya dan berlari kecil menuju alamat yang diberikan anak itu.
Rumah nomor sebelas ternyata merupakan sebuah bangunan dengan kondisi sangat menyedihkan, Orang-orang yang semula tinggal di sana sudah lama meninggalkan rumah itu.
Sejak itu gedungnya tidak diurus.
Kaca jendelanya pecah semua.
Dan pintu rumah hampir copot dari engselnya.
Lampu di selasar tidak menyala.
Sambil meraba-raba mencari jalan, Sporty menaiki tangga.
"Tuh, pintu di sebelah sana,"
Kata Frank dengan tersendat-sendat, ketika mereka sampai di tingkat tiga.
Pintunya terkunci.
Frank bersandar ke dinding dan menyerahkan sebuah anak kunci pada Sporty.
Tenaganya sudah agak pulih kembali, sehingga ia dapat berjalan tanpa perlu dibantu.
Mereka memasuki tempat tinggal Frank yang hanya terdiri dari dua kamar.
Sporty menghidupkan lampu dan memandang sekelilingnya.
Tidak ada perabot kecuali sebuah kasur yang tergeletak di lantai yang kotor sekali.
Sebuah selimut tipis menutupi sebagian kasur.
Dinding kamar itu penuh dengan poster-poster.
Pada kusen jendela Sporty melihat beberapa buah botol yang pernah berisi anggur murahan.
Frank langsung berbaring di atas kasur tadl.
Napasnya masih tersengal-sengal.
Tetapi kondisinya sudah agak membaik.
"Perlu panggil dokter?"
Tanya Sporty.
"Jangan, aku nggak apa-apa, kok. Aku memang biasa begini kalau sudah lama tidak dapat barang."
Dengan pandangan iba Sporty menatap temannya.
Aku tak bisa membiarkannya begitu saja, ujarnya dalam hati.
Itu sama saja dengan menjatuhkan hukuman mati padanya.
Aku harus membantunya.
Tapi tak seorang pun di antara anggota STOP yang punya pengalaman dalam mengurus pecandu narkotika.
Hanya ada satu jalan, aku harus menghubungi pusat rehabilitasi korban narkotika.
Tiba-tiba Frank hendak berdiri.
"Sporty, aku..."
"Jangan banyak bergerak,"
Sporty memotong sambil mendorongnya kembali ke kasur.
"Kau tiduran saja dulu.
"
"Aku perlu barang untuk nyuntik,"
Frank berkata.
"Kau harus menolongku, aku tidak tahan lagi!"
"Aku akan menolongmu. Tetapi bukan dengan cara membelikan heroin untukmu. Sadar dong, kau tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini."
"Tapi aku tidak kecanduan!"
Frank ngotot "Lalu. kenapa keadaanmu bisa seperti itu, hah?". Frank tidak menjawab. Ia membalikkan badan dan menghadap ke tembok. Tiba-tiba ia menangis sambil menutupi kepalanya dengan selimut.
"Kau menipuku,"
Ujarnya terisak-isak.
"Kau tidak mau menolongku. Dan sekarang sudah terlambat. Jatahku sudah dijual ke orang lain. Aku... aku tak tahan lagi. Aku pasti mampus"
"Mumgkin saja keadaanmu memang tak keruan, Frank. Aku tidak dapat memastikannya. Tapi kita bisa mengatasinya. Kau takkan mampus, kecuali kalau kau masih mau diperbudak oleh heroin. Kau harus menghentikan kebiasaanmu. Sekarang! Malam ini juga! Aku yakin kau dapat melakukannya. Aku tidak percaya kau sudah bosan hidup. Umurmu baru empat belas tahun! Bukan begini caranya membalas dendam pada ayah tirimu. Kau harus menunjukkan bahwa kau lebih mampu daripada dia! Kau harus mau belajar dan bekerja keras. Hanya dengan cara itu kau bisa maju."
Sporty mengangkat kepala. Di luar terdengar suara langkah. Ia membuka pintu dan teman-temannya masuk. Petra benar-benar ikut, walaupun tanpa Bello.
"Eh, kau tahu ke mana kita bisa membawanya?"
Gadis itu berbisik pada Sporty.
"Ke rumah Doktor Bienert! Soalnya ia sering membimbing remaja-remaja yang kecanduan narkotika. Ia pasti bisa membantu Frank.
"
"Oh, ya! Aku benar-benar tidak ingat!"
Seru Sporty, Doktor Bienert adalah salah seorang guru di sekolah mereka.
Bersama istrinya, ia membina anak-anak muda yang kehilangan pegangan, terutama para remaja yang ketagihan narkotika.
Mereka siap membantu siapa saja, asal orang itu memang berkemauan untuk memperbaiki diri.
Sampai sekarang usaha mereka telah membuahkan hasH yang menggembirakan.
Keempat anggota STOP duduk mengelilingi Frank.
Anak itu masih saja menggigil.
Tetapi Petra membawa dua pil obat tidur yang cukup ampuh.
Ia tahu obat itu dapat meringankan penderitaan seorang pecandu yang sedang nagih.
Obat itu ternyata memang membantu, dan Frank mulai agak tenang.
Kemudian ia menceritakan pengalamannya sejak berhenti sekolah sampai sekarang.
Masalah yang dihadapinya serupa dengan persoalan ribuan remaja lain.
Ia kurang diperhatikan oleh orang tuanya.
Kegagalannya dalam menempuh pendidikan membuatnya merasa rendah diri dan tidak berguna.
Suatu ketika, seorang temannya menawarkan ganja, sejenis narkotika yang diisap seperti rokok.
Iseng-iseng ia menerimanya.
Tidak lama kemudian, ia mulai menyuntikkan heroin.
Sejak itu kesehatannya memburuk dengan cepat.
"Kami akan membawamu ke rumah Doktor Bienert,"
Kata Petra.
"Apakah kau sudah pernah mendengar kabar tentang kelompok yang dibinanya?"
Frank mengangguk dengan lemah.
"Kau pasti akan berhasil,"
Sporty mencoba memberi semangat pada temannya itu.
"Dan dalam berapa minggu kau akan merasa heran sendiri bagaimana kau bisa terjerumus dalam lingkaran setan ini."
"Ya, mudah-mudahan."
"Dari mana sih kau memperoleh heroin itu?"
"Dari seorang pengedar. Aku salah seorang langganannya.
"
"Siapa namanya?"
"Ia nggak pernah menyebutkan namanya. Di dalam lingkungan kami, nama tidak penting, Aku hanya tahu di mana orang itu biasa mangkal."
"Di mana?"
"Di depan Super-Sound-Disco. Dan di dekat sebuah kios majalah."
"Kau kenal Detlef Egge?"
Tanya Sporty.
"Aku hanya pernah melihatnya."
"Apakah ia salah seorang pengedar?"
Frank kelihatan ragu-ragu sebelum menjawab.
"Aku dengar ia punya hubungan dengan seorang pedagang heroin kelas kakap, Tapi aku nggak tahu pasti. Si Egge itu selalu bergerak di balik layar Ia nggak pernah langsung terlibat."
"Apakah ia juga kecanduan?"
"Siapa? Si Egge? Mana mungkin! Dia tidak pernah nyuntik. Paling-paling ia cari untung dengan menjual heroin. Anak itu benar-benar mata duitan. Padahal, orang-orang bilang dia anak orang kaya."
"Dan Toni?"
"Toni Wiedemann, maksudmu?"
"Mungkin,"
Sporty menjelaskan ciri-cirinya.
"Benar, itu Toni Wiedemann,"
Frank berkomentar.
"Dia salah seorang pengedar. Nggak punya orang tua. Sejak kecil ia tinggal di sebuah asrama. Dulu sempat bekerja, tetapi sekarang hidup dari hasil penjualan heroin. Aku tidak kenal dia, tetapi menurut anak-anak, si Toni itu amat licik."
Frank berusaha bangkit.
"Ada satu hal lagi. Aku akan ke rumah si Bienert, tapi dengan satu syarat. tidak ada yang bertanya mengenai teman-temanku. Atau tentang para pengedar. Aku takkan mengeluarkan sepatah kata pun mengenai mereka. Kalau sampai mereka tahu bahwa aku ngomong, maka tamatlah riwayatku! Kalian mengerti?"
Sporty menenangkannya.
Kemudian mereka berangkat menuju rumah Doktor Bienert.
9.
Evi Naksir Detlef Egge MEREKA naik taksi.
Soalnya Frank tidak akan sanggup berjalan kaki sejauh itu.
Salju kembali turun, Jalanan sepi.
Si pengemudi taksi bertanya mengapa wajah Frank begitu pucat Sporty terpaksa berbohong sedikit.
Ia mengatakan bahwa temannya itu salah makan.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di tempat tujuan, Petra mendahului teman-temannya.
Ia mengenal Dr.
Bienert.
Ayahnya dan Dr.
Bienert sering bekerja sama dalam menangani kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang kecanduan narkotika.
Sporty membayar taksi.
Thomas dan Oskar memapah Frank masuk ke rumah Dr.
Bienert.
"Semuanya sudah beres,"
Ujar Petra sambil mendesah.
"Frank bisa tinggal di sini. Doktor Bienert akan menghubungi Bu Weyler."
"Berarti, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan,"
Kata Sporty.
"Sekarang semuanya tergantung pada Frank."
Oskar mengeluarkan persediaan coklatnya.
"Nih, siapa yang mau?"
Ia menawarkan.
"Aku jadi lapar setelah segala kesibukan tadi. Ternyata aku juga sudah kecanduan. Bukan kecanduan narkotika, tetapi coklat! "
"
Ah, kau bukannya kecanduan,"
Thomas berkomentar.
"Kau hanya rakus."
"Pokoknya aku senang,"
Oskar memprotes.
"Dan kondisiku juga tidak pernah separah Frank."
"Tetapi kakimu semakin lama semakin pendek."
"Ah, yang benar?"
"Benar! Soalnya mereka tidak sanggup menahan bobot tubuhmu yang gembrot itu."
"Daripada kurus kering seperti kau,"
Balas Oskar.
"Kau hanya iri karena badanmu mirip tiang bendera."
Sporty dan Petra memperhatikan pertengkaran itu sambil tersenyum. Setelah mengalami kejadian menyedihkan, mereka kini membutuhkan sedikit hiburan. Tetapi bayangan wajah Frank tidak mau hilang dari kepala Sporty.
"Padahal mula-mula ia hanya iseng,"
Ujar anak itu sambil merenung.
"Dan sekarang ia telah diperbudak oleh heroin Untuk apa sebenarnya narkotika itu di-ciptakan?"
"Kau jangan memandang masalah ini hanya dari satu segi saja,"
Kata Thomas, si Komputer. Dengan gaya menggurui ia menambahan.
"Narkotika tidak selamanya merusak. Kadang-kadang malah dapat membantu. Dalam dunia kedokteran, misalnya. Bayangkan kesulitan yang akan dihadapi oleh para ahli bedah, seandainya mereka tidak dapat membius pasien-pasien yang akan menjalani operasi. Narkotika hanya membahayakan jika disalahgunakan. Dan ini memang semakin sering terjadi.
"Apakah kalian tahu bahwa narkotika dibagi dalam tiga kelompok besar? Yang pertama adalah kelompok obat penenang, yang meliputi obat tidur dan semua obat yang dihasilkan dengan bahan dasar opium. Yang Kedua adalah kelompok obat yang dapat mempercepat metabolisme, Hampir semua obat yang termasuk kelompok ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Tetapi dalam arti luas, alkohol dan tembakau juga dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Dan yang terakhir meliputi semua bahan yang dapat mengubah tingkat kesadaran seseorang, seperti LSD, meskalin, marijuana, dan hashis. Semua jenis narkotika mengakibatkan ketergantungan. Tetapi di tangan seorang dokter, dan dengan dosis yang tepat, narkotika dapat mengurangi rasa sakit serta menyembuhkan penyakit tertentu."
"Apa sih hashis itu?"
Tanya Oskar.
"Getah yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar daun tanaman hashis. Nama Latinnya canabis sativa.-Tanaman itu terutama terdapat di India, Amerika Selatan, dan di Afrika."
"Kalau heroin?"
Oskar kembali bertanya.
"Sejenis narkotika yang dihasilkan dari tanaman opium. Oleh para ilmuwan disebut diacethyl-morphium. Pembuatannya harus melalui proses kimia. Heroin paling berbahaya di antara semua jenis obat bius, karena cepat sekali mengakibatkan kecanduan."
"Jadi, persoalan itu sudah jelas,"
Ujar Petra cepat-cepat.
"Tapi ada hal lain yang juga perlu diketahui. Mengenai Detlef Egge.
"
Gadis itu menambahkan sambil menoleh ke arah Sporty.
"Percaya atau tidak, Evi ternyata mengenal Detlef."
"Evi?"
Tanya Sporty.
"Ya, saudara sepupuku yang aku jemput di stasiun kereta api tadi sore. Aku benar-benar sebal. Mana aku tahu ia kenal si Egge itu. Waktu kami berbincang-bincang di rumah, aku-dan Thomas serta Oskar juga -memperoleh kesan bahwa Evi hanya datang karena Detlef. Bukan karena ingin mengunjungiku atau orang tuaku. Ternyata, ia sudah berkenalan dengan si Egge ketika terakhir kali berkunjung ke rumahku. Mereka bertemu di salah satu diskotek. Tetapi ia tidak pernah menceritakan hal itu padaku. Mungkin waktu itu Evi beranggapan bahwa aku masih terlalu kecil. Nah, sejak itu mereka berhubungan melalui surat. Kata Evi, tampang Detlef lumayan keren, walaupun memang agak sok."
"Apakah kalian memberi tahu Evi tentang kelakuan DetIef?"
Sporty bertanya.
"Tentu saja tidak. Apalagi yang menyangkut persoalan kita dengan Detlef,"
Jawab Petra.
"Sepupuku benar-benar tergila-gila pada Detlef,"
Gadis itu menambahkan kemudian.
"Detlef besok akan mengadakan pesta karnaval di rumahnya. Evi diundang. Ia juga boleh membawa beberapa orang lagi. Aku diajaknya. Ia menyuruhku mencari teman-teman lain yang mau ikut. Tapi semua orang harus datang dengan menyamar. Supaya lebih meriah, katanya."
"Boleh pakai topeng?"
Tanya Sporty.
"Tentu saja."
"Kalau begitu mungkin ada baiknya kita ikut meramaikan pesta itu,"
Ujar Sporty.
"Barangkali kita bisa memperoleh keterangan mengenai Detlef."
"Asyik!"
Seru Oskar.
"Siapa tahu Detlef membagi-bagikan heroin pada semua tamu. Asal penyamaran kita tepat, maka tidak akan ada orang yang tahu siapa kita sebenarnya."
Sporty melirik jam tangannya.
"Sudah waktunya aku dan Oskar kembali ke asrama,"
Katanya.
"Sayang, padahal sekarang baru mulai ramai,"
Oskar mengeluh.
"Nanti malam keadaannya lebih ramai lagi,"
Sporty berkomentar.
"Kenapa? Ada pesta lagi?"
Tanya Oskar.
"He, tunggu dulu! Kau kan tadi pergi ke rumah Detlef? Bagaimana hasilnya?"
"Ya, kita sampai lupa map ibumu itu hilang,"
Ujar Petra.
"Habis, kita terlalu sibuk mengurus Frank, sih. Ayo, cerita dulu, dong!"
Sambil berjalan pulang, Sporty melaporkan hasil kunjungannya ke rumah DetIef Egge, dan juga isi percakapan antara Toni Wiedemann dan Dieter Lembke yang sempat didengarnya di Super-Sound-Disco.
"Busyet!"
Bisik Oskar.
"Jadi tengah malam nanti mereka harus ke tempat penampungan gelandangan di dekat Kuburan Lama, dan menyerahkan uang sejumlah 50.000 Mark? Gila, aku tak sangka kalau penjahat ternyata bisa diperas juga! Dan kau, Sporty, tidak akan melewatkan kesempatan ini, bukan? Pokoknya, aku harus ikut kalau kau ke sana."
"Aku juga!"
Kata Petra.
"Tapi pasti tidak boleh."
Dengan kesal ia menghentakkan kaki.
"Kaum wanita memang selalu dirugikan. Semuanya terlalu berbahaya untuk kami."
"Ada untungnya juga,"
Ujar Sporty sambil nyengir.
"Kau tidak perlu repot-repot bercukur setiap pagi."
Thomas dan Oskar tertawa terbahak-bahak. Sporty kembali serius.
"Kalian kan belum tahu apa rencanaku,"
Katanya.
"Aku..."
Ia tidak melanjutkan kalimatnya karena Petra sama sekali tidak memperhatikannya. Gadis itu rupanya melihat seekor anjing yang berdiri di pojok jalanan. Secara bergantian, anjing itu mengangkat kedua kaki depannya dan menjilatnya.
"Garam!"
Seru Petra dan bergegas ke arah anjing itu. Langsung saja gadis itu berjongkok di depannya, lalu membelai kepalanya.
"Aku perlu sapu tangan,"
Ia berseru pada teman-temannya.
"Sapu tanganku terlalu kotor,"
Balas Oskar.
"Kasihan anjingnya, nanti."
"Aku lupa bawa,"
Ujar Thomas cepat-cepat.
"Terpaksa, deh."
Sporty merogoh kantung celananya.
"Nih, pakai saja sapu tanganku."
"Tuh, lihat. Susi berterima kasih,"
Kata Petra.
"Ayo, Susi, salaman dulu, dong!"
"Ia benar-benar hafal setiap anjing di kota ini,"
Bisik Oskar sambil menggeleng-geleng, Petra membersihkan keempat kaki anjing itu. Kemu-dian ia mengangkat dan menggendong Susi-atau apa pun nama anjing itu. Seratus meter dari tempat tadi, Petra melepaskannya.
"Di sini kau bisa berjalan dengan tenang. Petugas-petugas jalan raya belum menyebarkan garam di sini."
Dengan gembira Susi mengibas-ngibaskan ekor. Kemudian anjing itu berlari menjauh.
"Sebenarnya aku tadi hendak menerangkan rencanaku,"
Kata Sporty ketika Petra telah kembali.
"Kalau Saudara-saudara sekalian bisa diam sebentar, aku akan mencobanya sekali lagi. Jadi begini, nanti malam, aku akan mendatangi tempat penampungan gelandangan itu. Ini benar-benar suatu kesempatan emas untuk memperoleh kembali map berisi dokumen-dokumen milik ibuku itu."
"Lho, bagaimana caranya?"
Tanya Oskar terheran-heran.
"Aku menduga Detlef Egge terlibat dalam pemerasan itu. Kalau dugaanku benar, maka aku akan dapat memaksanya untuk mengembalikan map itu.
"Maksudmu?"
Tanya Petra.
"Aku menduga bahwa pemeras itu tak lain adalah Detlef sendiri."
"Apa? Detlef memeras rekan-rekannya sendiri? Tapi itu..."
"Masuk akal, bukan?"
Ujar Sporty.
"Si Egge benar-benar mata duitan. Baginya, yang terpenting adalah uang. Hanya uang. Karena itulah ia terlibat dalam penjualan narkotika, Si Zaulich yang membawa obat bius itu. Detlef bertindak sebagai semacam perantara. Ia membagi-bagikan barang itu kepada para pengedar. Antara lain kepada Toni Wiedemann, dan terutama kepada Dieter Lembke, pemilik Super-Sound DIsco. Kita tahu bahwa ketiga orang itu berkomplot. Tetapi aku ragu apakah mereka juga berteman. Berteman seperti kita, maksudku. Satu-satunya ikatan di antara mereka adalah kerakusan memperoleh uang.
"Aku takkan heran kalau si Egge memeras rekan-rekannya. Ia mengenal mereka dan tahu persis sejauh mana ia bisa melangkah. Ia juga mengetahui rencana-rencana mereka dalam menghadapi pemeras tak dikenal itu. Agar tidak dicurigai, ia turut menyumbangkan 10.000 Mark. Tetapi ia akan memperoleh keuntungan sebesar 40.000 Mark kalau usaha pemerasannya berhasil. Lembke sebenarnya merasa agak heran dari mana si pemeras itu memperoleh informasi mengenai mereka. Soalnya kecuali mereka sendiri tidak ada orang yang tahu bahwa mereka bertiga terlibat dalam penjualan narkotika. Tetapi ia sama sekali tidak menduga bahwa Detlef-lah biang keladinya. Memang, kita juga belum punya bukti-bukti. Tetapi aku merasa yakin bahwa dugaanku itu benar. Kita lihat saja nanti."
"Aku ikut,"
Ujar Thomas.
"Aku juga!"
Seru Oskar bersemangat.
"Di mana kita akan berkumpul lagi? Dan jam berapa?"
Petra memasang wajah sebal.
"Sebenarnya aku juga ingin ikut. Mana bisa aku tidur dengan tenang kalau kalian sedang berkeliaran malam-malam. Tapi apa boleh buat. Mudah-mudahan saja Evi tidak membuat aku jengkel dengan ocehannya mengenai pesta di rumah Detlef itu." 10. Tengah Malam di Kuburan Lama PUKUL sembilan lewat sepuluh Sporty dan Oskar tiba di asrama. Dengan hldung merah dan kaki basah. Mereka langsung melapor pada petugas piket. Orang itu melirik ke arah jam dinding, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Anak-anak yang tinggal di asrama memang diperbolehkan pulang agak malam kalau orang tua mereka sedang berkunjung. Oskar langsung menuju SARANG RAJAWALI, kamar mereka. Tadi siang secara tidak sengaja ia mematikan alat pemanas. Sekarang ia menyesal. Suhu di kamar itu sama dinginnya dengan suhu di luar. Sementara itu, Sporty menelepon Hotel Kaiserhof dan minta disambungkan dengan ibunya. Bu Carsten senang ketika mendengar suara anaknya. Ia berusaha kedengaran gembira, tetapi Sporty tetap merasakan kesedihan ibunya. Ia mencoba menghiburnya dan berkata bahwa ia segera akan menemukan pencuri map berisi dokumen-dokumen itu.
"Tetapi jangan sampai kau terancam bahaya,"
Bu Carsten menanggapinya.
"Kau harus berjanji bahwa kau akan berhati-hati!"
Ketika Sporty kembali ke SARANG RAJAWALl Oskar sedang berbaring di tempat tidurnya sambil mengunyah coklat.
"Aku menabung tenaga dulu."
Katanya.
"Jam berapa kita mau berangkat?"
Sporty nyengir.
Oskar selalu saja mencoba membuat lelucon.
Sayangnya, ia tidak terlalu berbakat.
SARANG RAJAWAll terletak di lantai dua bangunan utama asrama itu.
Hanya ada satu pintu untuk meninggalkan asrama itu, dan pintu itu setiap malam dikunci oleh petugas piket.
Berarti, kalau salah seorang penghuni asrama mau keluar malam-malam, ia harus turun melalui jendela.
Tetapi itu bukan halangan bagi Sporty.
Setiap kali hendak kabur, ia memasang seutas tali pada kusen jendela dan melemparkannya ke bawah.
Tali itu ia pergunakan untuk turun, kemudian untuk naik lagi kalau sudah kembali dari petualangannya.
Tidak ada masalah baginya.
Lain halnya dengan Oskar.
Anak itu terpaksa tinggal di kamar sementara Sporty berkeliaran di luar.
Soalnya ia tidak sanggup menuruni tali itu.
Apalagi naik! Badannya yang gendut tidak memungkinkannya.
Karena itu, Sporty menduga bahwa Oskar tadi hanya bergurau.
"Jadi, jam berapa kita berangkat?"
Oskar mengulangi pertanyaannya.
"Memangnya kau punya kunci pintu depan?"
"Tidak. Untuk apa?"
"Bagaimana caranya kau bisa keluar asrama kalau begitu? Aku tak sanggup menggendongmu kalau harus memanjat tali. Lagi pula, mana ada tali yang kuat menahan berat badanmu?"
"Jangan sok,"
Ujar Oskar sambil nyengir.
"Aku tak butuh bantuanmu. Aku juga bisa naik-turun tali "
"Sejak kapan? Setiap kali pelajaran olahraga, kau hanya terbengong-bengong kalau disuruh manjat tali."
"Siapa yang mau manjat tali? Gengsi, dong! Aku punya tangga khusus."
"Apa?"
Tanya Sporty, Kali ini ia sendiri yang terbengong-bengong.
"Kaukira aku senang tinggal di kamar sementara kau bertualang di luar? Nah, sekarang aku bisa ikut. denganmu. Tangganya kubawa dari rumah. Diam-diam tentunya. Aku menyimpannya di lemari pakaianku. Di bawah tumpukan celana panjang."
"Kenapa baru sekarang kau memberitahuku?"
"Aku ingin bikin kejutan."
Sporty tertawa.
"Tapi ingat,"
Katanya kemudian.
"kekuatan tangga itu juga ada batasnya. Maka dari itu, kau harus berhenti makan coklat. Kalau tidak, badanmu semakin gembrot saja."
"Ah, aku kan hanya makan sedikit saja."
"Yang kausebut sedikit itu sebenarnya cukup untuk empat orang!"
Sporty berganti baju dan naik ke tempat tidurnya. Oskar mulai membaca buku. Petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, buku yang paling ia senangi. Ia telah delapan kali membaca buku itu. Beberapa bab sudah ia hafal luar kepala.
"Paling lambat jam sebelas kurang seperempat kita kabur dari sini."
Kata Sporty.
"Kita ketemu Thomas di depan Bioskop Top."
"Thomas pasti kaget kalau lihat aku ikut.
"
Ujar Oskar sambil tersenyum senang.
"Ngomong-ngomong, apa kau pernah datang ke Kuburan Lama? Tengah malam begini, maksudku."
"Sudah. Aku malah berkawan baik dengan hantu-hantu di sana. Tapi hati-hati kalau kau berjabatan tangan dengan mereka. Kasihan, tangan mereka tidak ada dagingnya."
"Kau mau menakut-nakuti aku, ya?"
Oskar mengomel.
"Bukan, malah sebaliknya. Nanti aku akan memperkenalkan kau pada mereka,"
Balas Sporty sambil tertawa "Lebih baik kita sikat gigi sekarang saja. Nanti malam mungkin tidak sempat. Aku lebih senang sikat gigi daripada harus berkunjung ke dokter gigi untuk dibor.
"
"Oh ya, aku juga harus ke dokter gigi,"
Oskar mendesah.
"Soalnya gigiku banyak lubangnya Katanya, aku harus..."
"Kau harus berhenti ngemil coklat, bukan?"
Sporty meneruskan kalimatnya "Busyet, dari mana kau tahu?"
"Anak kecil pun tahu bahwa terlalu banyak makan makanan yang manis-manis akan merusak gigi. Aku sendiri hanya sekali setahun ke dokter gigi. Tetapi setiap kali datang, gigiku hanya diperiksa sebentar, terus sudah, aku bisa pulang lagi. Seumur hidup gigiku belum pernah ada yang terpaksa dibor. Kenapa bisa begitu? Karena aku jarang makan permen dan coklat. Coba bandingkan dengan keadaanmu. Badanmu semakin bengkak. Gigimu bolong-bolong. Dan nilaimu dalam pelajaran olahraga tidak pernah beranjak dari lima. Sudah waktunya kau menghentikan kebiasaanmu itu."
Untuk beberapa saat Oskar terdiam.
"Mungkin aku harus bergabung dengan kelompok yang diasuh Pak Bienert. Aku. bukan kecanduan narkotika, tetapi kecanduan coklat. Mereka pasti belum pernah mengobati kecanduan seperti itu."
"Nggak lucu,"
Ujar Sporty.
Ia bangun lagi dan menuju kamar mandi untuk menyikat gigi dan cuci muka.
Suasana di asrama semakin hening.
Hanya dari beberapa kamar saja masih terdengar suara para penghuni saling berbisik-bisik.
Sporty menghadap ke jendela.
Di luar, langit terlihat kelabu.
Bulan tersembunyi di balik awan tebal.
Salju turun tak henti-hentinya.
Oskar telah tertidur lelap.
Sebentar-sebentar Sporty melirik jam tangannya.
Pukul setengah sebelas ia membangunkan teman-temannya itu.
Cepat-cepat mereka berpakaian.
Tentu saja mereka memilih pakaian yang tebal-tebal.
Sporty tidak lupa membawa sebuah senter.
Oskar mengeluarkan tangganya.
Masih terbungkus plastik.
Harganya juga masih tertempel "Kuat tidak, ya?"
Tanya Oskar agak ragu-ragu.
"Kita lihat saja."
Tangga itu ternyata dapat menahan berat badan Oskar.
Dengan napas tersengal-sengal, anak itu sampai di bawah.
Udara pada malam hari dingin sekali.
Hujan salju telah berubah menjadi hujan es.
Oskar menggigil kedinginan.
Untuk menghangatkan badannya.
ia melompat-lompat di tempat.
Sporty memperhatikan bangunan asrama itu.
Di semua kamar lampu sudah dipadamkan.
Dengan cuaca dingin seperti itu, memang paling enak berbaring di tempat tidur sambil berlindung di bawah selimut tebal.
Kedua anak itu berlari menuju pintu gerbang, Sebenarnya mereka bisa saja menggunakan sepeda, walaupun lapisan salju dan es membuat jalanan menjadi licin.
Tetapi sayangnya, gudang penyimpanan sepeda setiap malam digembok oleh petugas piket.
Karena itu mereka terpaksa berjalan kaki.
Sambil berjalan, mereka menundukkan kepala untuk melindungi wajah dari hujan es.
Kaki mereka meninggalkan jejak yang terlihat jelas di salju.
Sebenarnya Sporty bisa berjalan lebih cepat, tetapi ia merasa kasihan melihat Oskar yang mengikutinya dengan napas tersengal-sengal.
Ladang-ladang di kedua sisi jalan yang menghubungkan asrama dengan kota diselimuti lapisan salju.
Pada siang hari, tempatitu biasa diramaikan oleh suara puluhan burung gagak.
Tetapi suasana pada malam hari berbeda sekali.
Semuanya hening.
"Aku rasa kau benar,"
Ujar Oskar dengan napas memburu.
"Badanku memang sudah terlalu gemuk. Ah, kenapa aku tadi ngotot ingin ikut denganmu?!"
"Tahu rasa kau sekarang,"
Ujar Sporty.
Namun ia segera memperlambat langkahnya.
Seperempat jam kemudian, kedua anak itu sampai di pusat kota.
Thomas sudah menunggu di depan Bioskop Top.
Lampu-lampu di gedung pertunjukan itu masih menyala, karena pemutaran film yang terakhir belum selesai.
"Lama betul sih kalian. Aku sudah hampir beku menunggu kalian,"
Ujar Thomas.
"Mudah-mudahan saja masih ada bis ke jurusan Kessenich. Dari sana sudah tidak terlalu jauh ke Kuburan Lama. Aku kasihan sama si Gendut kalau kita harus jalan kaki dari sini."
"Lebih baik aku menunggu di sini daripada harus jalan kaki ke Kuburan Lama,"
Ujar Oskar cepat-cepat.
"Nih, coba kalian lihat apa yang kubawa,"
Thomas kembali berkata, ketika mereka berjalan menuju halte bis.
"Sebuah teropong baru. Hadiah dari pamanku. Dengan alat ini kita bisa melihat dalam keadaan gelap. Walaupun tidak sejelas siang hari. Tetapi mungkin saja ada gunanya nanti."
Mereka beruntung.
Tidak lama setelah mereka sampai di halte, bis ke jurusan Kessenich datang.
Langsung saja ketiga anak itu naik.
Bis itu kosong.
Genangan air yang berasal dari salju yang mencair membasahi lantainya.
Sambil merokok sopir bis mengemudikan kendaraannya melalui jalanan yang sepi.
Ia nampak lelah.
Ketika sampai di Kessenich, ketiga anak itu segera turun, Jam tangan Sporty menunjukkan pukul setengah dua belas.
Sopir tadi memutar bisnya, lalu menjalankan kendaraan itu menuju pangkalan bis Ketiga anak itu berjalan menyusuri suatu jalan kecil.
Sepanjang jalan itu, rumah tinggal berderet-deret.
Kessenich adalah suatu bagian kota tanpa gedung-gedung besar dan kantor-kantor pemerintah.
Kuburan Lama merupakan batas kota di sebelah barat.
Di belakang kuburan itu hanya terdapat ladang-ladang pertanian.
Makin lama, suasananya semakin sepi.
Anak-anak itu telah berjalan cukup jauh.
Deretan rumah-rumah kini diganti deretan kebun-kebun.
Sebagian ditanami pohon buah-buahan, tetapi beberapa dibiarkan terlantar.
Anak-anak itu berjalan menembus kegelapan malam.
"Untung kau sudah akrab dengan hantu-hantu di sini,"
Bisik Oskar. Ucapannya tertuju pada Sporty.
"Apa maksudnya?"
Tanya Thomas.
"Sporty sudah berkawan baik dengan makhluk halus yang tinggal di sekitar tempat ini,"
Jawab Oskar.
Kemudian ia tertawa.
Tapi kedengarannya tidak terlalu meyakinkan.
Di hadapan mereka terlihat sekelompok pohon.
Mereka telah sampai di Kuburan Lama.
Tempat pemakaman itu cukup luas dan dalam beberapa tahun terakhir diperluas lagi ke arah ladang-ladang tadi.
Sebuah pagar yang terbuat dari besi mengelilingi kuburan.
Tetapi anak-anak tidak menemui kesulitan untuk memanjat pagar itu.
Bahkan Oskar pun dengan mudah dapat melewatinya.
Mereka kini berdiri di atas sebuah jalan setapak beraspal.
Awan kelabu masih saja menggantung rendah di langit.
Baik bulan maupun bintang-bintang tidak terlihat.
Walaupun demikian, keadaannya tidak gelap gulita.
Mereka masih dapat melihat barisan batu nisan di kiri-kanan jalan setapak.
Suasana kuburan di malam hari memang menyeramkan.
Angin berhembus kencang sambil mengguncang-guncangkan dahan-dahan pohon.
Beberapa kali anak-anak itu terkecoh oleh bayangan tanaman perdu yang menyerupai sosok manusia.
Bulu kuduk mereka berdiri.
Suatu kali Sporty merasa seperti diikuti, tetapi ketika ia menengok ke belakang, ternyata tidak ada apa-apa.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ketiga anak itu menyusuri jalan setapak tadi, melewati deretan kuburan, batu nisan dan pohon-pohon gelap.
Angin yang bertiup kencang kadang-kadang terdengar seperti suara manusia yang memanggil-manggil dengan memelas.
Kini Oskar menyesal karena ia senang membaca cerita hantu.
Semua kisah seram itu tiba-tiba teringat kembali dengan jelas.
Jantungnya berdebar-debar Sporty berjalan paling belakang.
Langkah kakinya meninggalkan bekas yang dalam pada lapisan salju.
Ia kedinginan.
Tetapi ia tidak menyesal telah datang ke tempat itu.
Baginya tidak ada pengorbanan yang terlalu besar, asal saja ia dapat memperoleh kembali map berisi dokumen-dokumen milik ibunya.
Sejumlah jalan yang lebih kecil bercabang dari jalan setapak yang sedang mereka lalui Tapi anak-anak itu tetap saja berjalan lurus ke depan, sampai ke pintu gerbang yang menuju ke ladang-ladang pertanian Salah satu ladang di belakang Kuburan Lama pernah dibeli oleh suatu perusahaan ekspedisi.
Ladang itu kemudian digunakan untuk membangun kantor dan gudang.
Namun beberapa tahun yang lalu, perusahaan itu terpaksa gulung tikar.
Hanya gudang tadi yang tetap dibiarkan berdiri, Bangunan itu kemudian digunakan sebagai tempat penginapan oleh para gelandangan di kota itu.
Tetapi hanya pada musim panas.
Pada musim dingin, tak seorang pun mau menempati gudang tanpa alat pemanas itu.
Ketiga anak itu berhenti di pintu gerbang kuburan.
Gudang kosong berdiri di hadapan mereka.
Gelap, dan tanpa tanda-tanda kehidupan.
Sebuah pintu reot bergoyang-goyang tertiup angin.
Suara yang ditimbulkan oleh engsel-engsel yang telah karatan itu mirip erangan yang mengerikan.
Sporty melihat jam.
Ia terpaksa menyalakan senternya agar dapat melihat dengan jelas.
"Pukul dua belas kurang sepuluh,"
Katanya dengan suara tertahan.
"Sebentar lagi Toni akan datang. Masalahnya adalah, apakah si pemeras sudah ada di sini, atau ia baru datang setelah Toni pulang. Tapi bagaimanapun juga, aku harus memergokinya. Begini saja, kita kelilingi gudang itu. Oskar, kau mengawasi bagian depan dari sini Kau bisa bersembunyi di balik pagar. Aku akan ke sebelah kiri. Dan kau, Thomas, berjaga di sebelah kanan. Di sana ada tumpukan kayu bekas yang bisa kaugunakan sebagai tempat berlindung."
"A... Apa?"
Tanya Oskar terkejut.
"Kita akan berpencar?"
"Memangnya kenapa?"
"Tapi... eh... maksudku... oke deh!"
"He, Oskar, hantu hanya ada di dalam buku-buku yang suka kaubaca itu."
"Tentu saja! Apa kaukira aku takut hantu?"
"Aku tidak dapat melihat melalui teropongku,"
Bisik Thomas tiba-tiba.
"Kaca mataku mengganggu. Nih, kaubawa saja."
Ia menyerahkan alat itu pada Sporty.
"Ayo, ke pos masing-masing. Tapi hati-hati. Kita harus waspada. Si pemeras mungkin saja sudah datang. Jangan sampai ketahuan kalau kita ada di sini."
Oskar tidak perlu mengendap-endap seperti orang Indian yang sedang mengintai musuh.
Soalnya dengan tiga langkah saja ia telah mencapai tempat persembunyiannya.
Sambil menunduk, Thomas menyusuri pagar sampai berada di dekat tumpukan kayu bekas tadi.
Kemudian ia menyeberang, lalu menghilang dalam kegelapan.
Sporty memperhatikannya melalui teropong.
Dengan mata telanjang gerak-genk Thomas tidak akan terlihat.
"Sip!"
Ujar Sporty dalam hati "Pemeras itu pasti tidak membawa perlengkapan seperti ini."
Dengan hati-hati anak itu bergegas ke arah kiri.
Ia menyusuri pagar tadi sampai gudang kosong itu tidak terlihat lagi.
Kemudian ia mengambil jalan memutar dan mendekati bangunan itu dan arah ladang-ladang pertanian.
Di tempat itu angin berhembus tanpa halangan.
Sporty hampir saja terdorong jatuh oleh tiupan angin yang amat kencang.
Rasa dingin menusuk-nusuk sampai ke sumsum tulang, tetapi ia tidak ambil pusing.
Ia berhenti kira-kira seratus langkah dari gudang itu.
Dengan sarung tangannya yang tebal, ia hampir tidak dapat menggenggam teropong itu.
Dengan terkejut ia memandang melalui alat itu.
Malam yang gelap tiba-tiba terlihat seperti diterangi cahaya remang-remang.
Dengan jelas ia dapat melihat bangunan di depannya.
Untuk beerapa detik angin berhenti bertiup.
Dalam keheningan yang tiba-tiba meliputi daerah itu, ia dapat mendengar bunyi mobil yang makin mendekat.
Sesaat kemudian, suara tadi tertelan oleh angin yang kembali menderu-deru.
Toni Wiedemann datang, pikir Sporty.
Ia harus melewati kuburan untuk menuju ke sini.
Berarti ia akan lewat di dekat tempat persembunyian Oskar.
Hebat, ia datang tepat pada waktunya.
Sekarang sudah hampir pukul dua belas.
Dan Detlef Egge, si pemeras pasti juga telah berada di sekitar sini.
Kemungkinan besar si Lembke ikut di mobil, tapi tidak turun.
Ia tentu ingin memastikan bahwa Toni tidak kabur dengan uang sebanyak itu.
Dua-tiga menit berlalu.
Kemudian sebuah bayangan gelap muncul di pintu gerbang kuburan.
11.
Penghuni Wisma Gelandangan SETENGAH jam berlalu kemudian tiga perempat jam.
Belum terjadi apa-apa.
Aku harus bertindak, pikir Sporty Jangan-jangan si pemeras sudah datang sebelum kita.
Aku akan ke dalam untuk melihat apakah tas itu masih ada di sana.
Pelan-pelan ia menuju tempat persembunyian Oskar.
Ketika sudah hampir sampai, Oskar baru menyadari kedatangannya.
"Ih, kaget aku,"
Ujar Oskar.
"Kau sengaja, ya? Hampir saja aku kira kau mayat yang bangkit dari kubur."
"Maka dari itu, jangan bengong saja. Waspada sedikit dong! Seperti tadi, waktu kau membuntuti Toni. Bagaimana hasilnya?"
"Toni ternyata tidak datang sendirian. Seorang temannya menunggu di mobil, mungkin Lembke. Ketika Toni kembali dari gudang kosong itu, ia sempat menghilang di balik sebuah kuburan keluarga. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di sana. Tetapi sekitar dua menit kemudian ia muncul lagi. Kali ini ia segera menuju mobil. Setelah masuk. temannya itu langsung tancap gas. Mereka menuju pusat kota."
"Aku akan mencari tas yang dibawanya, .. ujar Sporty.
"Kita sudah terlalu lama menunggu di sini. Tolong kasih tahu Thomas. Kalau ada orang datang, kautiru suara burung hantu saja. Tapi yang keras, biar aku bisa mendengar tandamu itu."
Sporty menyerahkan teropong pada Oskar.
Temannya itu segera berjalan ke arah persembunyian Thomas.
Kemudian Sporty melangkah ke arah gudang.
Ia mencoba mencari bekas kaki Toni, tetapi ternyata jejaknya sudah terhapus salju yang jatuh.
Sporty sampai di pintu masuk.
Ia mengeluarkan senter.
Sejenak ia ragu-ragu.
Tetapi kemudian wajah ibunya terbayang.
Segera segala kebimbangannya sirna.
Sewaktu ia memasuki Wisma Gelandangan.
suasana tiba-tiba berubah menjadi hening.
Suara angin yang menderu-deru tertinggal di luar.
Ia berada di dalam suatu ruang tanpa jendela.
Dalam kesunyian yang meliputinya, detak jantungnya seakan-akan terdengar dengan jelas.
Lantai bangunan itu terbuat dari kayu.
Setiap kali melangkah, Sporty mendengar suara berderit yang berasal dan papan-papan kayu yang sudah lapuk.
Sporty berhenti, dan memasang telinga.
Ia menyalakan senter dan mengarahkan cahayanya ke sekeliling.
Di depannya terdapat dua buah pintu.
Yang pertama menuju suatu bangsal besar.
Ruangan itu kosong, tanpa perabot sama sekali.
Angin bertiup melalui lubang-lubang jendela yang tak berkaca.
Potongan-potongan kayu berserakan di lantai.
Bukan ruang ini yang dimaksud oleh si pemeras, ujar Sporty dalam hatL Ia lalu menuju pintu kedua, Sebuah selasar.
Beberapa ruangan kosong.
Sebuah tangga menuju ruangan bawah tanah.
Sampah tertimbun di mana-mana.
Aku tidak sendirian di sini, pikir Sporty.
Aku dapat merasakan kehadiran orang lain.
Dengan setiap langkah, keyakinannya bertambah tebal.
Seseorang bersembunyi di sekitarnya! Ia mematikan senter.
Dengan hati-hati ia melangkah.
Apakah si pemeras telah menunggu di sini, terlintas di benaknya.
Mungkin saja bajingan itu baru sekarang berani keluar dari persembunyiannya.
Tetapi jangan-jangan aku hanya membayangkan yang tidak-tidak.
Sambil meraba-raba dinding selasar, Sporty bergerak maju.
Ruangan berisi meja bilyar itu seharusnya terletak di ujung selasar.
Sial, gelap sekali di sini, ujar anak itu dalam hati.
Tetapi terlalu berbahaya untuk menyalakan senter.
Mana sih, meja bilyar itu? Tiba-tiba sesosok tubuh terlihat bergerak-gerak di depannya.
Sporty berhenti.
Sebuah papan lantai berderit.
Dan kini terdengar bunyi benturan pelan.
Itu si pemeras, pikir Sporty.
Apa benar ia bersenjata? Mudah-mudahan ia hanya menggertak.
Tapi masa bodoh! Aku memang harus mengambil risiko.
Aku akan menyergapnya begitu ia muncul di depanku.
Ia pasti belum mengetahui kehadiranku.
Sporty mengangkat senter, Telinganya menangkap suara napas tertahan.
Segera ia berpaling ke arah itu, dan menghidupkan senter, Orang yang tersorot cahaya itu diam terpaku di tempatnya.
Seorang pria! Ia membelakangi Sporty, tetapi lalu berbalik badan.
Pria itu berpakaian kumal.
Bajunya berlapis-lapis dan mungkin sudah berbulan-bulan tidak pernah dicuci.
Baunya sama sekali tidak sedap.
Di sana-sini terdapat tambalan yang dijahit secara asal-asalan.
Sebuah topi rajutan berwarna mencolok menutupi kepala pria itu.
Sebuah syal bergaris-garis merah putih meliliti lehernya.
Tetapi perhatian Sporty langsung terarah pada hidung orang itu.
Hidungnya sebesar ubi dan berwarna merah.
Sporty pernah melihat laki-laki itu.
Orang itu kadang-kadang berkumpul dengan para gelandangan dan peminum lainnya di depan stasiun kereta api.
Biasanya dalam keadaan mabuk.
"Hei,"
Ia berseru pada Sporty. Anak itu melihat ke arah meja bilyar, Benar saja! Tas itu ada di sana.
"Apa ini?"
Gelandangan itu bertanya dengan suara serak.
"Matikan sentermu, Bung!"
Matanya memang langsung terkena sorotan cahaya senter Sporty, Oleh karena itu si gelandangan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan.
"Sebentar jangan terburu-buru,"
Balas Sporty sambil mendekati meja itu.
"Lho, anak kecil tahunya"
Kata gelandangan itu ketika mendengar suara Sporty. Ketika Sporty hendak meraih tas itu orang tadi langsung melompat maju.
"He, tas ini milikku!"
Serunya. Tangannya segera menggenggam pegangan tas.
"Tas ini bukan milik Bapak,"
Ujar Sporty.
"Lepaskan!"
Tetapi gelandangan itu ternyata berbeda pendapat. Karena tahu bahwa lawan bicaranya hanya seorang remaja, keberaniannya timbul. Ia yakin benar bahwa anak itu dapat digertaknya dengan mudah.
Pendekar Rajawali Sakti Dendam Anak Pengemis Pendekar Rajawali Sakti Kabut Hitam Di Karang Setra Rajawali Emas Raja Lihai Langit Bumi