Ceritasilat Novel Online

Pendekar Banci 6


Cepat ia condongkan bahu terus balikkan tangan terus menampar ke belakang, plak, hantaman itu dapat mengenai tubuh orang dengan tepat. Tetapi dirasakannya seperti tertumbuk dengan gumpalan kapas. Tenaga tamparan seperti terhisap hilang. Demikian juga tenaga-dalamnya terasa macet dan tahu-tahu bahu sebelah kiri telah dicengkeram orang, sakitnya bukan kepalang.



Berpaling ke belakang ia melihat seorang wanita pertengahan umur dalam pakaian pertapa, memandangnya dengan mata menyala. Dalam saat itu baru Cong Tik menyadari bahaya. Dengan gopoh ia berseru: "Nona Cin, dulu aku benar-benar tak bermaksud hendak mencelakai dirimu. Apalagi pelana itu sekarang sudah hilang. Rahasia asal usul dirimu, hanya aku yang tahu. Jika engkau hendak membunuh aku, seumur hidup engkau tentu tak tahu asal usulmu."



Muak Cin Hong Ing melihat sikap Cong Tik. Beberapa saat tadi begitu congkak dan jumawa, sekarang mengembik-embik seperti anak kambing. Ia tertawa dingin.



"Lekas ceritakan asal usulku, tentu kuampuni jiwamu!" serunya.



Cong Tik tiada berdaya merangkai siasat lagi. Bahunya seperti dijepit cakar baja sehingga keringat sampai bercucuran keluar. Semua ilmu kepandaiannya serasa lenyap. Akhirnya terpaksa ia berkata: "Nona Cin, engkau adalah puteri dari Ular-emas Hoa Ceng!"



Cin Hong Ing kerutkan alis, balas bertanya: "Siapakah Ular-emas Hoa Ceng itu? Suhu, apakah engkau kenal orang itu ?"



Hian-li Lim Sam Kho menjawab: "Dulu orang itu mempunyai nama juga di daerah Holam dan Hopak. Tetapi kabarnya dia sudah mati. Omongan budak ini tak boleh dipercaya, jangan kena diakali!”



Cong Tik berseru gopoh: "Apa yang kukatakan memang benar. Kalau tak percaya silahkan bertanya kepada paman kakek-guruku Toho lhama, Poan Hong-poh dan kedua orang kate itu !"



Lim Sam Kho terkesiap mendengar nama beberapa tokoh itu, serunya: "Bagus, dalam mengejar jejakmu, kami telah tersesat jalan hingga sampai disini dan sekarang dapat bertemu dengan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan."



Ternyata Lim Sam Kho dan Cin Hong Ing itu tak sengaja datang ke gunung situ. Setelah bertemu dengan gurunya di tepi sungai Hok-jun-kiang, mereka tinggal beberapa waktu dikota itu untuk merawat luka Hong Ing. Hong Ing marah sekali dengan peristiwa di gunung Hong san, ia segera mengajak gurunya untuk mencari jejak Cong Tik.



Apabila tak mendengar gemerincing orang bertempur dengan senjata, ialah nenek Cenderawasih lawan Toho, tentulah kedua guru dan murid itu tak sampai terpikat datang ke tempat itu.



Lim Sam Kho termasuk seorang cianpwe di kalangan pendekar wanita. Sudah tentu ia tahu tentang kedua saudara kate dari gunung Tu-lian-san itu. Demikian dengan nama Toho dan nenek Cenderawasih-Tutul.



"Dari mana engkau mengetahui hal itu? Lekas bilang”, bentaknya kepada Cong Tik.



Diam-diam Cong Tik kerahkan tenaga-dalam untuk melawan tenaga cengkeraman Lim Sam Kho, seraya menjawab: "Ular-emas Hoa Ceng dan Pat-pi-kim-kong telah bertempur disini dan sama-sama binasa. Sebelum mati, Hoa Ceng telah meninggalkan tulisan untuk isterinya Cenderawasib-perak Tang-Pui Leng. Dalam surat itu dia mengatakan kalau mempunyai sepasang anak kembar yang sudah lama hilang. Nona Cin ini adalah salah seorang dari kedua anak kembar itu.”



Karena pernah melihat seorang nona lain yang mukanya seperti pinang di belah dua dengan dirinya, diam-diam Cin Hong menganggap keterangan Cong Tik itu memang mungkin terjadi.



"Menurut keterangan dari nenek Cenderawasih Tutul tadi, rasanya Cenderawasih-perak Tang Pui Leng itu masih hidup di dunia. Asal dapat mencarinya, semua rahasia tentu akan jelas”.



Cin Hong Ing juga mewarisi sifat angkuh seperti gurunya. Apalagi dia seorang nona yang baru saja keluar ke dunia persilatan, ibarat anak kambing yang tak takut binatang buas.



Nyalipun memang besar. Tak tahu siapa nenek Cenderawasih-Tutul itu, begitu mendengar keterangan Cong Tik, kontan ia berseru: "Siapa diantara kalian yang bernama Poan-hong-poh”.



Mendengar nada kata-kata Hong Ing, giranglah Cong Tik. Ia tahu bahwa nenek Cenderawasih-Tutul itu tentu marah. Kalau mereka jadi bertempur, ia tentu mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.



Sambil menunjuk ke arah seorang nenek, dia memberi keterangan: "Itulah nenek tua yang menggunakan tongkat besi, dia bernama Poan-hong-poh.”



Hong Ing terus ayunkan tubuh menuju ke tempat si nenek. Melihat itu Lim Sam Kho berteriak mencegah: "Hong-ji, hati-hati, jangan bertindak gegabah."



Tetapi saat itu Cin Hong Ing sudah tiba di tempat pertempuran. Seketika ia rasakan tubuhnya dilanda oleh segelombang angin dahsyat. Segera ia menyadari bahwa keempat orang yang tengah bertempur itu tentu golongan ko-jiu. Tetapi karena ingin mendapat keterangan, ia segera berseru.



"Suhu, lekas kemari membantu aku untuk minta keterangan pada nenek Poan-hong-poh itu. Kalau kita berdua maju, tak mungkin dia berani bicara bohong!"



Nenek Cenderawasih Tutul sedang menumpahkan seluruh perhatian untuk menghadapi Toho. Ketika tiba-tiba mendengar orang menyebut namanya dengan nada yang sombong, ia mencuri kesempatan untuk memandang ke samping. Dilihatnya seorang gadis remaja yang dulu pernah dikejarnya ketika digunung Tay-pat-san. Seketika marahlah ia. Wut, wut, serentak ia menangkis pukulan yang dilancarkan Toho.



Dalam pada itu kedua saudara kate telah melancarkan serangan dengan golok. Toho sibuk melayani mereka dan kesempatan itu digunakan nenek Cenderawasih Tutul menutukkan ujung tongkatnya kepada Cin Hong Ing.



Cin Hong Ing terkejut. Ketika ia hendak menangkis dengan golok, ujung tongkat sudah tiba kedadanya. Belum tongkat mengenai, anginnya sudah menghamburkan tenaga kuat yang menelungkupi kedua lengan Hong Ing segera tak dapat digerakkan.



Cin Hong Ing benar-benar kaget. Golokpun terlepas jatuh ke tanah. Saat itu terdengar si nenek Cenderawasih-Tutul tertawa mengekeh. Cin Hong Ing sudah tak berdaya untuk melawan lagi.



Tiba-tiba terdengar Lim Sam Kho melengking ”Poan-hong-poh, jangan melukai orang !”



Suatu gelombang angin bertenaga kuat telah menarik tubuh Cin Hong Ing kebelakang. Ketika nenek Cenderawasih tutul hendak mengejar maju, Lim Sam Khopun segera kebutkan lengan jubahnya tiga kali sehingga menghentikan gerakan nenek Cenderawasih-Tutul.



"Heh, heh, Hian-Li Lim Sam Kho, tenaga-dalam Hian-li-kong-gi yang engkau miliki, benar-benar hebat sekali!" seru nenek Cenderawasih-Tutul tertawa dingin.



Mendengar nada suara nenek itu mengandung dendam permusuhan, Lim Sam Kho balas tertawa dingin: "Ah, jangan memuji, masakan mampu menandingi ilmu tongkat Keng-long-ciang-hwat dari Poan-hong-poh!"



Walaupun saling merendah kata tetapi jelas nada mereka tak mau saling mengalah. Dan Poan hong-pohpun tahu hal itu. Ia hendak gerakkan tongkatnya lagi tetapi cepat Lim Sam Kho menindas dengan gerak lengan jubahnya. Seketika nenek Cenderawasih-Tutul rasakan tongkatnya seperti ditindih oleh tenaga sebuah gunung rubuh. Diam-diam ia terkejut juga dan menyurut mundur selangkah.



Sebenarnya tenaga Hian-li-kong-gi yang dipancarkan Lim Sam Kho diperuntukkan menindas tongkat si nenek. Tetapi ternyata nenek itu mampu juga untuk menarik tongkatnya ke belakang. Diam-diam Lim Sam Khopun terkejut melihat kesaktian orang. Kini keduanya saling tegak berhadapan.



Kepergian nenek Cenderawasih-Tutul, hanya menyebabkan kedua saudara kate harus menderita.



Mengerubuti bersama nenek Cenderawasih-Tutul, mereka bertiga hanya dapat bertempur secara berimbang lawan Toho. Maka begitu nenek itu pergi, sudah tentu kedua orang kate itupun kewalahan.



Sepasang tangan Toho yang panjang menari-nari dengan cepat dan tak berapa saat kemudian golok pendek dari Lo Thian telah ditutuknya jatuh dan kini kedua orang kate itu harus kelabakan mundur.



Toho makin meluap hawa pembunuhannya. Dengan menggembor keras ia melambung ke udara, berjumpalitan lalu dengan gaya seperti seekor burung elang ia meluncur ke bawah menyerang Lo Thian.



Lo Thian terkejut. Ia hendak taburkan goloknya tetapi Toho lebih cepat dapat menutuk punggung golok sehingga golok itu terlempar jatuh. Toho masih teruskan tangannya untuk menerkam. Melihat itu Lo Thian ayunkan tubuh loncat dari bahu Lo Te. Memang di kala bertempur, kedua saudara kate itu saling bertumpuk jadi satu.



Dengan tindakan itu Lo Thian memang selamat tetapi Lo Te yang berada dibawahnya, tak dapat terhindar dari ancaman Toho.



Melibat itu Lo Thian berteriak: "Lo-ji, jangan takut"



Tanpa menghiraukan suatu apa lagi, Lo Thian terus menyerbu Tobo.. Rupanya ia kalap, hendak mengadu jiwa untuk menolong adiknya.



Serbuan nekad dari Lo Thian itu mau tak mau mengganggu juga gerakan Toho. Dan kesempatan sekejab mata itu sudah cukup memberi peluang bagi Lo Te untuk menyingkir ke samping. Namun ia tak mau melarikan diri melainkan terus menikam perut Toho.



Serangan nekad dari kedua saudara kate itu memaksa Toho yang masih mengapung di udara terpaksa harus bergeliatan. Dengan demikian kedua saudara kate itu dapat menyurut mundur.



Setelah meluncur ditanah, secepat kilat Tohopun hendak menyerang lagi tetapi mendadak Cong Tik berseru: "Tahan, thay-susiok, aku hendak bicara."



"Bicara apa ?" tegur Toho dingin.



Cong tik mendekati dan berkata dengan bisik-bisik: "Thay-susiok, aku sudah tahu akan rahasia dari pelana mutiara itu. Tak lain merupakan petunjuk tentang tujuh batang pedang mustika…… "uh…..” baru berkata sampai disitu Cong Tik menjerit kesakitan karena lengannya telah disambar dan dicengkeram Toho, ”thay susiok", ia menjerit.



Cong Tik tak mengerti kesalahannya. Ketika memandang ke wajah kakek paman gurunya dilihatnya wajah Toho berseri girang. Ah, sial. Rupanya karena girang Toho telah mencengkeram lengan Cong Tik keras-keras.



"Engkau maksudkan pedang Ki-bun-kiam? Dimana?, lekas bilang!" bentak Toho dengan bengis.



Cong Tik menghela napas longgar. Diam-diam ia menimang, ketujuh pedang dan kitab pelajaran ilmu pedang itu tentu hebat sekali. Kalau tidak, mengapa seorang tokoh macam kakek paman gurunya (Toho) sampai begitu tergetar hatinya.



"Harap jangan bicara keras-keras, thay-susiok," bisik Cong Tik,"ketujuh pedang itu, kecuali yang paling panjang ialah Thian-liong-kiam yang jatuh ditangan paderi Tay To, yang enam batang telah disimpan Ular-emas Hoa Ceng dipulau Kyoto."



"Kyoto? Apakah bukan pulau tempat tinggal Poan hong-poh ?" Toho menegas.



"Benar" kata Cong Tik, "Tetapi dimana letak tempat penyimpanan itu, masih belum jelas. Pokok, asal sudah menduduki pulau Kyoto, tentu dapat mencarinya. Kemungkinan nenek Poan-hong-poh sendiri belum tahu tempat penyimpanan itu."



Toho seorang yang ganas tetapi tidak cerdas. Tanpa menyelidiki lebih lanjut dari mana Cong Tik mendapat keterangan itu, pikirannya serentak tertumpah pada ketujuh pedang Ki-bun-kiam. Serentak ia melirik kearah Poan-hong-poh terus hendak bertindak.



"Thay-susiok", buru-buru Cong Tik berseru, "Sekarang tak leluasa berbicara. Setelah kita tiba di Kyoto, kita baru kirim orang untuk berunding dengan dia, minta pinjam pulaunya selama satu bulan. Waktu satu bulan cukup untuk menyelidiki tempat penyimpanan pedang itu. Baru setelah dia menolak, kita gunakan kekerasan."



"Mengapa tidak sekarang saja?" tanya Toho. "Tadi kulihat thay-susiok berimbang dengan kepandaian nenek itu. Kalau sekarang bertempur lagi, kemungkinan takkan ada hasilnya apa-apa. Lebih baik tunggu setelah berada di pulau Kyoto, dia tentu hanya seorang diri. Nah, kita tentu lebih leluasa untuk meringkusnya."



Rupanya Toho mau mendengar kata-kata Cong Tik, katanya: "Baiklah, mari kita pulang dulu."



Sekali menarik lengan Cong Tik, mereka sudah melayang sampai tiga tombak jauhnya. Lo Thian dan Lo Tepun tak mau mengejar. Kedua orang kate itu sudah bertemu muka beberapa kali dengan Hian-li Lim Sam Kho. Melihat Lim Sam Kho akan menyambut serangan tongkat dari nenek Cenderawasih-Tutul, cepat-cepat kedua saudara kate itu berteriak: "Harap kalian berdua jangan bertempur dulu. Kitakan orang sendiri."



Baik nenek Poan-hong-poh maupun Lim Sam Kho tinggi hati. Tetapi mereka masih memiliki kesadaran. Sambil tertawa, keduanya segera loncat mundur empat lima langkah.



"Tu-lian-song-ay, engkau benar. Muridku sebenarnya hendak bertanya tetapi telah menyentuh kemarahan Poan-hong-poh. Orang mengatakan seorang yang berjiwa besar harus memiliki hati besar. Mengapa harus melayani seorang anak muda ? seru Lim Sam Kho.



Sebenarnya Poan-hong-poh hendak bergerak tetapi mendengar kata-kata Lim Sam Kho itu terpaksa ia tertawa juga: "Eh, mau tanya apa?"



Cin Hong Ing segera maju selangkah, serunya: "Orang mengatakan bahwa dalam dunia persilatan terdapat seorang wanita yang bernama Tang Pui Leng. Apakah dia masih hidup?"



Mendengar pertanyaan itu seketika wajah Poan-hong poh berubah, serunya: "Perlu apa engkau tanyakan dia?"



"Asal usulku tidak jelas, ada orang mengatakan aku ini anak perempuannya. Sudah tentu aku perlu bertanya sendiri kepadanya," kata Cin Hong Ing.



Poan-hong-poh terkesiap lalu berseru dingin, "Dua tahun yang lalu dia memang pernah mengunjungi pulau Kyoto tetapi sekarang dia sudah meninggal di pulau itu."



Cin Hong Ing tercengang. Tetapi karena dia belum dapat memastikan kalau Tang Pui Leng itu mamahnya, maka iapun tak bersedih.



Kedua saudara kate, Lo Tbian dan Lo Te terlongong. Karena baru semalam mereka mendengar nenek Poan hong-poh itu telah memekik keras memanggil nama Tang Pui Leng, mengapa sekarang tiba-tiba mengatakan wanita itu sudah mati?



Lo Thian dan Lo Te saling bertukar pandang. Mereka curiga tetapi karena merasa pernah ditolong oleh nenek Poan-hong-poh, kedua orang kate itupun tak mau mengurus hal itu lebih panjang lagi.



"Hong-ji, budak laki itu mengatakan kalau engkau masih mempunyai seorang saudara kembar tentulah nona yang pernah kita lihat sewaktu di sungai Hok-jun-kiang itu. Lebih baik kita cari dia, mungkin dia tahu siapakah ayah bunda kalian ini." kata Lim Sam Kho menghibur kekecewaan muridnya.



Cin Hong Ing merasa memang cara itulah yang paling baik. Mereka segera memberi selamat tinggal kepada Poan-hong-poh.



Begitu Lim Sam Kho dan Cin Hong Ing sudah pergi, barulah kedua saudara kate maju kehadapan Poan-hong-poh dan bertanya,



"Poan hong-poh, ketika engkau merintangi kami berdua di bawah gunung Tay-pat-san, kami tempo hari berjanji dalam hati hendak meratakan pulau kediamanmu.''



"Lalu sekarang bagaimana?", tanya Poan hong-poh atau si nenek Cenderawasih Tutul.



Karena tadi engkau telah melepas kebaikan menolong kami, maka dendam yang dulu sudah tentu kami hapus. Tetapi mengapa ketika nona tadi menanyakan tentang Tang Pui Leng, engkau mengatakan dia sudah mati? Apabila nona itu memang benar puteri dari Tang Pui Leng, bukankah suatu tindakan yang mulia apabila kedua ibu dan anak itu dapat berkumpul lagi ?"



Seketika wajah Poan-hong-poh berubah gelap, serunya: "Apakah kalian berdua hendak mencampuri urusan itu?"



Kedua orang kate itu menengadah dan tertawa keras : Poan-hong-poh, ketahuilah, dalam soal ilmu kepandaian kami berdua tak kalah kepadamu. Tatapi maksud kami hanya ingin membantu, barangkali ada sesuatu yang kurang leluasa padamu, percayalah kepada kami, kami tentu akan membantumu!"



Diam-diam Poan hong-poh merenung. Kabarnya kedua orang kate itu memang konsekuen. Apa yang dikatakan tentu dilaksanakan, menarik garis tajam antara budi dan dendam. Mereka juga berilmu tinggi dan kenal dengan sejumlah tokoh-tokoh persilatan yang termashur. Tentu dapat memberi bantuan yang berarti.



Setelah mengambil keputusan, dipandangnya kedua orang kate itu dan berseru :



"Telah kukatakan tadi bahwa aku tak mengharap kalian membalas budi kepadaku. Hanya karena ada sedikit hal yang perlu bantuan kalian, maka kutanya apakah kalian mau membantu?"



"Menerjang lautan apipun kita takkan mundur," Seru kedua orang kate itu.



"Baik" seru Poan-hong-poh, "apa tujuan kalian dan Malaekat-tolol Sim Yong menghadang Ui Hong Ing?"



"Untuk merebut pelana bertabur mutiara" sahut kedua orang kate itu dengan terus terang.



"Tahukah kalian apa gunanya pelana bertabur mutiara itu ?"



Kedua orang kate saling bertukar pandang, menjawab : "Soal itu kami tak tahu. Hanya karena dunia persilatan mengatakan pelana mutiara itu berharga sekali maka rampas dulu baru nanti kita selidiki rahasia kegunaannya."



"Tetapi aku tahu tentang pelana itu" seru Poan-hong-poh.



Lo Thian dan Lo Te tak menjawab.



"Cenderawasih-perak Tang Pui Leng yang memberitahu kepadaku," kata Poan-hong-poh pula.



"Bagaimana rahasia benda itu sesungguhnya?” tanya Lo Thian.



"Pedang Ki-bun-kiam," kata Poan-hong-poh.



Lo Thian dan Lo Te terkejut, serunya: ”Ki-bun kiam? Tigaratus tahun yang lalu, datuk persilatan To Leng Sui menggunakan pedang itu. Setelah dia mati, entah bagaimana dengan pedangnya itu. Apakah ketujuh pedang Ki-bun-kiam itu yang engkau maksudkan ?”



Poan-hong-poh mengangguk: "Bukan saja begitu, pun masih terdapat sebuah kitab ilmu menggunakan ketujuh pedang itu yang diciptakan bersama oleh To Leng Sui, Swat-san Su hiap (empat pendekar gunung Swat-san) dan Jit-sing-cu pendekar besar dari gunung Thian-san."



Kedua saudara kate itu makin terperanjat, "Jika begitu barang siapa yang berhasil mendapatkah pedang dan kitab itu tentu akan dapat mempelajari ilmu pedang sesakti seperti To Leng Sui dahulu ?"



Poan-hong-poh mengiakan. "Tetapi dari mana engkau mengetahui hal itu?” masih kedua orang kate itu bertanya.



"Ceritanya panjang" kata Poan-hong-poh, sebenarnya setelah bertahun-tahun tinggal di pulau Kyoto, aku tak mau muncul di dunia persilatan lagi. Mengapa aku sekarang giat lagi, adalah dikarenakan keterangan dari Tang Pui Leng itu."



Kedua orang kate itu hanya mendengarkan dengan perhatian dan tak mau memutus omongan orang. Poan - hong - poh melanjutkan ceritanya.



"Empat tahun yang lalu," Poan-hong-poh melanjutkan pula, "Pada waktu aku tengah berjalan-jalan di tepi pantai, tiba-tiba kulihat sebuah perahu muncul. Sejak aku tinggal di Kyoto, anak buahku sering menyelidiki harta karun yang tersimpan di pulau itu. Kemudian mereka datang memberikan kepadaku. Yang tak kusukai, kuberikan kepada mereka supaya dijual. Harganya bisa mencapai puluhan ribu tael perak. Uang itu kusuruh bagi-bagikan kepada penduduk kepulauan disekitar situ. Kepada mereka kuberi penjelasan, kecuali mendapat ijinku, janganlah mereka datang ke pulauku. Demikian juga supaya dilarang setiap pendatang yang hendak menginjak di pulau Kyoto. Dengan perintah itu, aku dapat hidup tenang di pulau Kyoto. Tetapi perahu kecil itu menimbulkan kecurigaan sekali.



Bercerita sampai disitu, Poan-hong-poh berhenti sejenak, merenungkan peristiwa empat tahun yang lalu.



Sejak muda ia sudah berkecimpung dalam dunia persilatan. Pendiriannya sukar diraba orang, entah termasuk golongan putih entah hitam. Pernah ia menjadi pemimpin dari 64 buah perkumpulan didaerah Kanglam. Setelah berumur limapuluh tahun, karena senang dengan alam pulau Kyoto yang indah dan karena sudah jemu, iapun segera tinggal di pulau itu. Dibangunnya sebuah istana indah dan dipeliharanya berpuluh dayang-dayang cantik. Dia hidup tak kalah nikmatnya dengan ratu. Tokoh-tokoh aliran hitam masih tetap mengunjunginya untuk menghaturkan hormat. '



Ketika ia berjalan-jalan ditepi pantai, hawa udara cerah dan tenang, perahu kecil itupun perlahan sekali jalannya. Bermula Poan-hong-poh mengira siapa yang datang, ternyata ketika dekat, perahu itu berisi seekor burung cenderawasih yang memancarkan cahaya berkilau-kilauan. Ternyata burung itu bukan burung hidup melainkan burung yang terbuat dari perak tetapi karena pembuatannya sedemikian bagus sehingga menyerupai seperti burung hidup.



Poan-hong-poh luas sekali pengalamannya, dia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh dari berbagai aliran. Cenderawasih perak itu ternyata merupakan sebuah senjata dari seorang tokoh persilatan tetapi ia heran mengapa sampai merenung lama belum juga teringat siapakah tokoh Cenderawasih-perak itu.



Ketika dekat, tiba-tiba dari perahu kecil itu muncul seorang wanita yang berpakaian sutera putih seperti perak. Dengan gesit wanita itu mengangkat burung cenderawasih-perak dan loncat ke tepi pantai.



Setelah berjalan beberapa langkah barulah wanita itu melihat Poan-hong-poh yang tegak berdiri dengan memegang tongkat. Wanita itu meletakkan cenderawasih-perak didepannya dan mengarahkan tengger atau mahkota dari cenderawasih itu ke arah Poan-hong-poh.



"Nenek tua, apakah disini yang disebut pulaulau Kyoto ?" seru wanita itu.



Dengan tajam Poan-hong-poh memandang wanita itu. Walaupun termasuk sudah pertengahan umur tetapi wajahnya masih cantik.



"Benar" sahut Poan-hong-poh.



Wanita cantik itu girang sekali: "Tolong tanya, apakah Ular-emas Hoa Ceng dari Holam berada dipulau ini ?"



Mendengar nama Ular-emas, segera Poan-hong-poh dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah isterinya, Cenderawasih-perak Tang Pui Leng. Memang ia pernah juga mendengar nama kedua suami isteri itu.



Karena marah atas sikap Tang Pui Leng yang dianggap tak tahu aturan, Poan-hong-poh tertawa dingin: "Heh, lucu, sembarangan mendarat di pulau sini, hendak mencari orang. Apa engkau kira pulau ini boleh didatangi sembarang orang ?"



Tang Pui Leng gugup: "Ada orang melihatnya belum lama menuju ke pantai laut hendak ke pulau Kyoto. Apabila tidak di pulau ini, ke manakah dia? Lekas panggil pemilik pulau ini Poan-hong-poh keluar. Aku hendak tanya kepadanya, mengapa dia menyimpan suamiku di pulau ini!”



Apabila tidak mendengar kata-kata sekurang ajar itu, mungkin Poan-hong-poh tak marah. Seketika wajah nenek itupun berobah gelap, serunya: ” Kentut! Engkau kehilangan suami mengapa mencari dipulau sini!"



Tang Pui Leng terbeliak dan mundur beberapa langkah, "Apakah engkau Poan-hong-poh sendiri?"



Poan-hong-poh tertawa dingin, "Sudah bertahun-tahun aku berpantang membunuh. Lekas enyah dari sini atau jangan harap engkau mampu terhindar dari tiga jurus serangan tongkatku!"



Sambil berkata nenek itu terus memutar tongkatnya dan karena merasa tak mampu menghadapi, Tang Pui Lengpun terus mundur tetapi mulutnya tetap melengking : "Apakah Hoa Ceng benar-benar tak berada di pulau ini ?”



Tring, karena Poan-hong-poh mendesak terpaksa Tang Pui Leng menangkis dengan senjata burung Cenderawasih. Tangan Poan-hong-poh tergetar keras tetapi burung Cenderawasih-perak itupun terlempar ke dalam laut. Tang Pui Leng terkejut dan cepat menghindar ke samping lalu melarikan diri. Poan-hong-pohpun tak mau mengejar.



Tiga tahun kemudian ketika Poan-hong-poh sedang berlatih ilmu tongkat Keng-hong ciang atau Tongkat-ombak mengamuk, demi rencana persiapannya untuk membentuk sebuah partai persilatan baru, tiba-tiba terdengar suara gemerincingnya senjata beradu. Sudah tentu ia terkejut dan terus keluar menjenguk. Dilihatnya seorang wanita pertengahan umur telah menerobos masuk ke dalam ruang besar. Kawanan dayang-dayang kewalahan dan tak mampu mencegahnya.



Poan-hong-poh cepat dapat mengenali wanita itu sebagai Cenderawasih-perak Tang Pui Leng. Tetapi kini wanita itu tidak membekal senjata burung Cenderawasih-perak lagi. Rambutnya kusut masai, jauh bedanya ketika dia pertama kali datang.



Sambil mengamuk, Tang Pui Leng berteriak-teriak tak henti-hentinya : "Ceng-ko, kutahu engkau telah dicelakai bangsat Tan itu, lekaslah engkau keluar menemui aku! Mati atau hidup, lekaslah engkau keluar, jangan setelah mendapatkan pedang Ki-bun kiam engkau tak mau kenal lagi kepadaku!"



Rangkaian kata-katanya tak keruan, entah apa yang diucapkan itu. Tetapi demi mendengar disebutnya Ki-bun-kiam, segera ia teringat akan To Leng Sui tokoh besar dari dunia persilatan yang lalu. Tokoh yang memiliki tujuh pedang pusaka. Sejak dia meninggal, ketujuh pedang itupun tiada ketahuan jejaknya.



Pada masa itu juga, To leng Sui bersama pendekar Thian- san Jit-sing cu, empat tokoh sakti dari gunung Swat-san telah berkumpul di puncak Thian san guna merundingkan tentang ilmu pedang. Mereka merasa bahwa setiap ilmu pedang masing-masing masih terdapat kelemahannya. Empatpuluh sembilan hari lamanya mereka berunding dan membicarakan secara luas dan akhirnya bersama-sama menciptakan pelajaran ilmu pedang yang disebut Ki bun-kiam-hwat yang luar biasa. Ilmupedang itu ditulis dalam sebuah kitab pusaka.



Tiga ratus tahun telah berlalu, tetapi rahasia ilmu pedang itu makin lama makin menimbulkan kabar cerita yang hebat dan menjadi perburuan dari setiap kaum persilatan. Bahkan ada orang yang menggunakan seluruh hidupnya untuk berkelana di dunia persilatan untuk mencari ketujuh pedang pusaka itu. Tetapi sampai saat itu belum ada yang berhasil.



Lama kelamaan dinginlah nafsu orang hendak mencarinya. Bahkan timbul kecurigaan yang menyangsikan akan kebenaran dari kabar-kabar itu. Mereka tak percaya bahwa seorang akan mampu memainkan sekaligus tujuh batang pedang.



Sejak berkelana dalam dunia persilatan, Poan hong-pohpun mendengar juga tentang cerita itu. Maka ketika mulut Tang Pui Leng mengoceh tentang Ki - bun - kiam, serentak tertariklah perhatiannya. Sekali loncat, ia sudah tiba di samping wanita itu. Melibat Poan-hong-poh datang, kawanan dayang itupun segera menyingkir. Poan-hong-poh segera ayunkan tangan kemuka tetapi diluar dugaan Tang Pui Leng malah nekad menyongsongkan dirinya.



Poan-hong-poh terkejut, cepat-cepat ia menarik pulang tangannya seraya berkisar ke samping. Selekas Tang Pui Leng melayang di sisinya, cepat ia menyambar lengan wanita itu.



Diluar dugaan Tang Pui Leng tetap tak mau menghindar. Dengan kalap ia menyurutkan lengan lalu membenturkan siku lengannya pada lambung Poan-hong-poh. Memang jurus itu keliwat berbahaya bagi penjagaan dirinya tetapi karena serangan itu, Poan hong-pohpun gagal mencekeram.



Dua jurus bertempur, Poan-hong-poh segera dapat mengetahui bahwa Tang Pui Leng seperti orang kalap. Gerak serangannya tak menurut jurus yang betul. Ia mendapat akal. Begitu mendapat kesempatan ia terus mengait kaki Tang Pui Leng, lalu loncat mundur. Bluk, Tang Pui Leng terjerembab jatuh. Napasnya terengah-engah, sesaat kemudian ia menangis keras.



Poan hong-poh heran. Ia menghampiri dan mengangkat kepala wanita itu. Sepasang matanya jelalatan, air mata bercucuran dan wajahnya seperti orang gila.



Karena hendak menyelidiki tentang pedang Ki-bun-kiam maka Poan hong pohpun tak mau mencelakai Tang Pui Leng. Dibawanya wanita itu ke dalam kamar, disuruhnya cuci muka, diberi makan. Tetapi rupanya Tang Pui Leng seperti orang yang menderita goncangan batin. Ia duduk diam dan tak henti-hentinya menjerit-jerit.



Dua hari kemudian, Poan-hong-poh coba-coba mengajukan pertanyaan : "Tang Pui lihiap, engkau pernah mengatakan tentang pedang Ki-bun-kiam. Siapakah yang mendapatkan pedang itu?"



Tang Pui Leng menangis : "Hoa Ceng mendapat Ki-bun-kiam, setelah mendapat pedang, dia tak mau lagi kepadaku. Anak-anak, walaupun aku dapat menemukan engkau tetapi engkau menjadi anak yang tak berayah, ah, anak yang bernasib malang!"



Rangkaian kata-katanya tak teratur, jelas hatinya masih kacau. Poan-hong-poh kerutkan alis, berkata: "Sekarang dimanakah Hoa Ceng ? Bagaimana cara pedang Ki-bun-kiam itu didapatkannya?"



Tiba-tiba Tang Pui Leng loncat bangun dan menjerit: "Hoa Ceng menuju ke pulau Kyoto ini. Dia bersembunyi disini tak berani menjumpai aku. Pelana pat- poh-beng-cu-ho. Pat-pi-kim-kong betapa kejam engkau mencelakai diriku!"



Hingga beberapa hari, dia selalu ngoceh tak keruan. Dalam mendengarkan ocehannya itu, Poan-hong-poh dapat merangkai suatu kesimpulan bahwa pada pelana bertabur delapan mutiara itu terdapat tempat penyimpan pedang Ki-bun-kiam yang sudah menghilang selama tiga ratus tahun.



Walaupun sudah hidup senang di pulau Kyoto, tetapi tak lepas sebagai orang persilatan, Poan- hong-poh itu tergerak hatinya untuk mendapatkan pedang pusaka yang menjadi idam-idaman setiap orang persilatan. Jika berhasil mendapat pedang dan kitab Ki-bun-kiam-hwat, bukan saja ia dapat mendirikan partai baru yang perkasa, pun kepandaiannya sendiri tentu tiada yang dapat menandingi.



Setelah menentukan rencana, ia perintahkan supaya Tang Pui Leng dimasukkan dalam sebuah ruang batu yang ditutup dengan rantai besi, tanpa menunggu latihannya ilmu tongkat Keng-long-ciang selesai, ia segera menuju ke Tionggoan untuk mencari pelana mutiara itu. Demikian Poan-hong-poh mengakhiri ceritanya kepada kedua saudara kate.



"Poan-hong-poh, tadi engkau salah hitung!" sesaat kemudian tiba-tiba kedua orang kate itu berseru.



”Bagaimana?" Poan-hong-poh penasaran. Lo Thian menjawab : ”Engkau mengatakan kalau Tang Pui Leng sudah mati kepada nona itu tadi, tak lain karena engkau kuatir rahasia tentang Ki-bun-kiam itu akan bocor. Tetapi penyakitnya Tang Pui Leng, pertama karena tak berjumpa dengan suaminya, kedua karena tak dapat menemukan puterinya. Maka jika bertemu dengan anaknya itu, mungkin pikirannya akan sembuh dan sadar lagi."



Diam-diam Poan-hong-poh mengakui memang benar tetapi mulutnya berat untuk mengatakan. Ia tertawa dingin: "Bagaimana engkau tahu kalau anak perempuan itu anaknya?"



Sepasang saudara kate tahu kalau diam-diam Poan-hong-poh mengakui kesalahannya, hanya nenek itu memang angkuh mulutnya.



"Poan-hong-poh, karena di sini sudah tiada urusan apa-apa lagi, maka kami berduapun hendak mohon diri. Kelak jika memerlukan bantuan kami, biar mati kami tentu akan melakukan."



Berkata nenek Poan-hong-poh : "Ingat, yang penting jangan kalian menceritakan penuturanku tadi kepada siapapun juga !"



"Sudah tentu" seru kedua orang kate, kami juga tak pulang ke gunung Tu-liang-san tetapi akan mondar mandir di daerah Kanglam untuk' mendengarkan berita-berita. Begitu mendapat kabar, tentu akan kukirim orang untuk memberitahu kepadamu di Kyoto!"



Poan-hong-poh girang. Merekapun berpisah.



Setelah beberapa hari kembali di pulau Kyoto, Toho mengirim seorang lhama, memberikan suratnya kepada Poan-hong-poh untuk meminjam pulau Kyoto selama sebulan.



Poan-hong-poh marah sekali. Lhama yang membawa surat itu hampir saja dibunuhnya. Tetapi kemudian dia hanya menantang pada Toho untuk bertempur di Kyoto. Dengan demikian berbondong-bondonglah kaum persilatan ke Kyoto untuk menyaksikan pertempuran yang menggemparkan itu.



Poan-hong-poh menyadari bahwa sebelum selesai meyakinkan ilmu tongkat Keng long-ciang, tentu ia tak dapat menandingi Toho. Oleh karena itu tiap hari ia berlatih dengan giat sekali.



Sudah tentu berita yang menggemparkan dunia persilatan itu terdengar juga oleh Hian-li Lim Sam Kho dan muridnya Cin Hong Ing. Sebenarnya suhu dan murid itu hendak mencari Ui Hong Ing, letapi karena saat itu Ui Hong Ing sedang digembleng oleh tokoh sakti Siang Bong maka tak dapat diketemukan.



Akhirnya mereka menarik kesimpulan. Karena banyak orang persilatan yang akan ke Kyoto untuk menyaksikan pertandingan antara Poan-hong-poh lawan Toho, kemungkinan Ui Hong Ing tentu akan datang ke pulau itu juga. Akhirnya kedua suhu dan murid itu kembali ke Hok jun-kiang lagi. Di Kota penyeberangan itu, Lim Sam Kho memberi pelajaran ilmu tenaga-dalam Hian-thian-kong-gi kepada Cin Hong Ing, agar nanti dapat digunakan di pulau Kyoto apabila perlu.



Kemudian setelah Tan Su Ciau bertemu pula dengan Ui Hong Ing, merekapun mendengar juga berita tentang pertandingan adu kepandaian di pulau Kyoto itu. Ui Hong Ing takut kalau Su Ciau mengajaknya pulang ke Holam karena ia tahu pemuda itu sangat ngotot sekali hendak melangsungkan pernikahan dengan dia. Dan itulah yang membuatnya gelisah. Ia merasa pemuda itu baik, tetapi entah bagaimana ada suatu perasaan dalam hatinya bahwa ia sama sekali tak tertarik kepadanya, Dan iapun menyadari bahwa sesungguhnya Su Ciau itu hanya mencintai Cin Hong Ing bukan Ui Hong Ing.



Untuk menghindari hal itu maka ia mendesak Su Ciau pergi ke Kyoto. Alasannya, tentu ada sebabnya mengapa Toho begitu ngotot hendak meminjam pulau Kyoto.



Tiba ditepi pantai, saat itu sudah pertengahan bulan delapan. Waktu pertandingan sudah dekat. Banyak perahu hilir mudik untuk menyeberangkan orang persilatan yang akan menuju ke Kyoto. Hong lng dan Su Ciaupun menyewa sebuah kapal.



Dari jauh tampak pulau Kyoto dengan bangunannya yang indah. Pulau itu telah dirubah Poan-hong-poh menjadi semacam kerajaan kecil yang mewah dan indah.



Saat itu latihan ilmu Keng-long-ciang telah mencapai babak terakhir, setelah dapat melewati babak terakhir itu, Poan-hong-poh akan memiliki ilmu permainan tongkat yang luar biasa mengejutkan orang. Sesuai dengan namanya Keng-long-ciang, maka setiap gerakan tongkat itu akan menimbulkan gelombang ombak yang mengejutkan.



Untunglah pemandangan di pulau itu cukup menarik perhatian, sehingga para penonton yang tiba, telah terhibur untuk jalan-jalan menikmati alam keindahan pulau itu.



Banyaknya orang-orang persilatan yang mengunjungi itu telah menimbulkan suasana yang bermacam ragam. Ada yang begitu berjumpa lalu saling mengikat persahabatan tetapi tak kurang mereka yang sebelumnya sudah mempunyai dendam permusuhan, pun akan menyelesaikan dendam mereka di pulau itu. Ialah sebelum pemilik pulau bertanding dengan Toho lhama, mereka akan mengadu kepandaian dulu untuk menghimpaskan segala perhitungan dendam.



Ui Hong Ing dan Tan Su Ciaupun dipersilahkan tinggal di ruang penginapan yang khusus disediakan untuk para tamu.



Ui Hong Ing menceritakan kecurigaan hatinya tentang pelana bertabur mutiara itu. Tetapi karena menganggap hal itu terjadi pada diri Ui Hong Ing, Su Ciau tak menaruh perhatian. Sampai jauh malam baru mereka masuk tidur.



Ui Hong Ing tak dapat tidur, ia segera keluar berjalan-jalan di tepi pantai. Makin memikir makin gelisahlah hatinya tentang hubungannya dengan Su Ciau. Dia tak menyukai Su Ciau tetapi pemuda itu berkeras menganggapnya sebagai Cih Hong Ing dan terus mendesak untuk melangsungkan perkawinan. Saat itu karena merasa racun dalam tubuhnya sudah menyerang hebat dan ia merasa tak dapat hidup lebih lama maka untuk menghibur Su Ciau terpaksa ia mengaku kalau dirinya Cin Hong Ing. Begitu juga mau diajak bersembahyang mengangkat sumpah menjadi isteri Su Ciau.



Diam-diam ia tersenyum getir. Ia merasa tak suka kepada pemuda itu dan tak mungkin ia menjadi isterinya. Tiba-tiba pikirannya teringat pada Cin Hong Ing. Ya, apabila dapat berjumpa dengan nona, barulah kesulitannya itu selesai.



Tak terasa ia sudah berjalan selama dua jam di tepi pantai itu. Saat itu malam makin larut semua orang tentu sudah tidur nyenyak. Sedang ia masih gelandangan di pantai, mendengarkan riuh gemuruh angin laut berhembus.



Bagi orang yang berada dipantai pada malam hari sudah biasa kalau mendengar angin laut menderu-deru. Tetapi entah bagaimana Hong Ing mempunyai perasaan aneh. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa aneh. Gelombang yang menderu-deru itu seperti berasal dari tengah pulau, ialah istana kediaman Poan-hong-poh.



Serentak iapun segera mencari tempat berasalnya suara itu. Tiba di muka istana, deru gelombang itu makin terdengar jelas. Sedang di muka pintu istana berpuluh dara mondar mandir menjaga dengan membawa senjata lengkap.



Tetapi Hong Ing menganggap kepandaian kawanan dayang itu hanya biasa saja maka ia terus menyelinap bersembunyi dikaki tembok. Begitu dua orang dayang lewat, dengan gerak yang lincah dan tak bersuara, Hong Ing terus menyelinap masuk ke dalam istana.



Begitu masuk ke dalam istana, suara gelombang itu tiba-tiba berhenti. Ia tak tahu bahwa suara gelombang itu sesungguhnya berasal dari tongkat Poan hong poh yang sedang berlatih ilmu tongkat Keng-long-ciang. Ia tahu bahwa nenek itu berwatak aneh, jika sampai kepergok tentu menimbulkan kemarahan nenek itu.



Ia hendak keluar lagi tetapi tiba-tiba ia mendengar teriakan orang yang melantang suara kata-kata 'anakku sayang' yang nyaring. Hong kenal Poan-hong-poh cukup lama. Ia yakin suara itu bukan suara Poan-hong-poh. Serentak timbullah kecurigaannya. Mendengarkan dengan lebih seksama lagi, ia makin yakin bahwa suara itu berasal dari bawah tanah. Segera ia menghampiri ke arah suara itu. Setelah melalui sebuah lorong serambi yang panjang, tibalah ia di kebun bunga belakang. Kebun bunga itu dibangun pada lamping gunung, dua buah saluran air yang memancar ke bawah menyerupai air terjun yang indah. Dan di tepi kebun itu didirikan sebuah gunungan palsu. Suara jeritan itu sebentar terdengar, sebentar lenyap tetapi jelas berasal dari bawah gunung buatan itu.



Hong Ing sendiri tak tahu mengapa dikala mendengar suara rintihan itu, hatinya serasa tersayat. Pikirnya, siapakah orang yang telah dijebloskan dalam ruang rahasia di bawah tanah oleh Poan-hong poh.



Setelah berjalan melingkari gunung buatan itu, ia segera menemukan sebuah guha, lalu ia menerobos masuk. Setelah menyulut korek, dilihatnya dalam ruang guha itu hanya terdapat sebuah meja batu. Selain itu tak ada apa-apa lagi.



Begitu tiba di meja batu itu, Hong Ing segera memastikan bahwa suara rintihan 'anakku sayang' tadi jelas berasal dari bawah meja batu itu. Tentulah bawah meja batu itu terdapat sebuah ruang rahasia dibawah tanah.



Ia mulai menggerakkan, mendorong dan mengisar meja batu itu dari kanan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Ah, ketika mendorong ke kanan, terdengar bunyi berderak-derak dan meja batu itupun mengisar, terbuka sebuah mulut lubang terowongan di bawah tanah. Angin meniup dan padamlah korek apinya. Serentak terdengar jeritan aneh, tahu-tahu sesosok tubuh telah menyerang dadanya. Hong Ing cepat menyurut mundur beberapa langkah.



Celaka, pikirnya. Ternyata dalam guha di bawah tanah itu berisi seorang gila dan sekarang ia telah membebaskannya. Buru-buru ia menarik ular Thiat - bi- coa lalu dijulurkan ke muka. Ular itu memang mempunyai naluri tajam. Ia dapat mengetahui maksud majikannya. Cepat ular itu menjulai ke tanah lalu menyusur ke muka dan melilit kaki orang itu kencang-kencang. Melihat ular sudah berhasil, Hong Ing pun segera menarik dan bluk .... terdengar tubuh orang terpelanting jatuh ke tanah tetapi cepat-cepat loncat bangun.



Saat itu Hong Ing merasa bahwa yang dihadapinya itu bukan sembarang orang tetapi seorang persilatan yang berilmu tinggi. Kuatir akan terjadi salah faham, maka ia mundur dan menempelkan punggung pada dinding, ular thiat-bi-coapun ditariknya pulang.



Terdengar orang itu menangis lalu tertawa dan pada lain saat menerobos keluar dari guha. Hong Ing mengikutinya. Sekeluarnya dari gunung buatan, dari sinar rembulan yang redup ia dapat mengenali orang itu. Rambutnya terurai memanjang menutupi mukanya, pakaiannya compang camping dan matanya berkeliaran memandang kemana – mana. Saat itu kebetulan tengah beradu pandang mata dengan dia.



Hong Ing tertegun. Adakah ini yang disebut nona Cin Hong Ing itu? Tetapi setelah memandang dengan teliti, ia merasa bukan. Wanita itu sudah setengah tua. Sedang Cin Hong Ing itu seharusnya seorang nona yang sebaya umurnya dengan dia.



"Siapa engkau?" tegurnya.



Wanita itu bukan lain memang Cenderawasib-perak Tang Pui Leng yang dijebloskan dalam ruang di bawah tanah oleh Poan-hong-poh. Sejak tak dapat menemukan suaminya, ia nekad mencarinya kemana-mana tetapi tak pernah menemukan surat maupun tulisan pada batu di gunung Cek-bi-san. Mengapa ia menuju ke pulau Kyoto, karena masih teringat bahwa dulu Hoa Ceng pernah datang ke pulau itu dan dikurung selama lebih dari setahun oleh Poan-hong poh.



Mendengar pertanyaan Hong Ing, ia tertawa tetapi wajahnya mengerut kesedihan.



Melihat itu Hong Ing merasa seram dan menyurut mundur selangkah. Tetapi pada saat ia hendak bertanya lagi tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berkata dengan nada dingin : "Nona, dia adalah mamahmu sendiri!"



Ketika Hong Ing berpaling ternyata yang di belakangnya itu adalah Poan-hong-poh. Ia terkejut mengapa tak mendengar gerakan nenek itu. Diam-diam ia mendapat kesan bahwa kepandaian nenek itu memang sakti.



"Ah, harap Poan locianpwe jangan berolok-olok" ia tersenyum getir.



Sebenarnya Poan-hong-poh tak berolok-olok. Ia memang menyesal ketika di gunung Cek-bi-san memberi keterangan kepada Cin Hong Ing bahwa Tang Pui Leng sudah meninggal. Sudah tentu karena wajah amat mirip, Poan - hong. - poh tak dapat membedakan mana Ui Hong Ing, mana Cin Hong Ing.



Pada saat ia tengah berlatih ilmu tongkat Keng-Long-ciang, ia terkejut mendengar jeritan Tang Pui Leng. Ia segera menghampiri tetapi saat itu iapun memergoki Ui Hong Ing. Ia tak mau langsung menegur melainkan diam-diam mengikutinya. Pada saat itu barulah ia membuka suara memberi keterangan.



Mendengar ucapan Hong Ing mendengus, Poan Hong Poh berseru : "Hm, siapakah yang ada waktu senggang untuk bergurau dengan engkau? Wanita itu memang ibu kandungmu sendiri!"



Ui Hong Ing memang tahu kalau sejak kecil mula ia sudah dipelihara oleh Siau Yau cinjin. Setiap ia bertanya tentang orang tuanya, selalu pertapa itu gelengkan kepala dan menganggapnya sebagai anak yatim piatu. Oleh kerena ia seorang yang lapang dada dan periang maka iapun tak mau menyelidiki soal itu lebih lanjut. Tidak seperti Cin Hong Ing yang begitu ngotot hendak mencari tabu asal usul dirinya.



Mendengar kata-kata Poan-hong-poh, Ui Hong Ing terlongong, serunya: "Dia ibu kandungku ?"



Ia melangkah maju menghampiri dan merasa wajah wanita itu memang mirip dengan dirinya sehingga tadi ia keliru menganggapnya sebagai Cin Hong Ing.



Tang Pui Leng diam saja, hanya merentang mata memandang Hong Ing. Poan-hong-poh yang menyaksikan pertemuan aneh dari ibu dan puterinya itu, diam-diam mengakui apa yang dikatakan kedua orang kate Lo Thian dan Lo Te itu memang benar.



"Tang Pui Leng" serunya dengan nada bersungguh-sungguh, "Puterimu yang engkau cintai telah datang, mengapa engkau tak menyambutnya ?"



Sederhana kata-kata itu tetapi bagi Tang Pui Leng menyerupai sambaran halilintar yang mengejutkan hatinya. Dahulu ia pernah melahirkan sepasang anak kembar, satu laki satu perempuan. Tetapi tiga bulan kemudian, anaknya itu hilang. Sudah tentu dia hampir gila karena sedihnya.



Dikala mendengar bahwa puterinya datang, seketika kesadaran pikirannyapun memancar, sinar matanya sejuk dan diamat-amatinya Ui Hong Ing dari kaki samgai keatas kepala. Tiba-tiba ia tertawa seperti orang gila.



"Bohong, bohong! Kedua anakku itu baru tiga bulan umurnya masakan sekarang sudah begini besar? Bukan, bukan!”



Mendengar kata-kata Tang Pui Leng sudah mulai menunjukkan pikiran orang sadar, buru-buru Poan-hong-poh berseru lagi:"Eh, mengapa pikiranmu masih begitu linglung ? Peristiwa sudah berselang belasan tahun, apakah anakmu tak dapat berangkat dewasa ?"



Tang Pui Leng terkesiap, lalu berkata seorang diri: "Bisa besar ? Ah, benar, memang bisa tumbuh besar..."



Ia terus merentang kedua tangan hendak memeluk Hong Ing tetapi tiba-tiba ia diam lagi dan gelengkan kepala, "Salah, anakku kembar dua, bukan hanya satu !"



Mendengar wanita itu menyebut 'anak kembar’, tergeraklah hatinya. Dan serentak ia teringat akan Cin Hong Ing.



Cin Hong Ing walaupun pernah bertemu dengan dia, tetapi dia tak pernah melihat bagaimana sesungguhnya wajah Cin Hong Ing itu. Hanya didengarnya dari mulut orang yang mengatakan bahwa ia, Ui Hong Ing, serupa benar dengan Cin Hong Ing.



Memang nama Hong Ing itu sebenarnya ia sendiri yang mencari. Mungkin nama Cin Hong Ing juga nama buatan nona itu sendiri. Dan secara kebetulan saja terdapat persamaan pula. Jika bukan sepasang anak kembar masakan terjadi peristiwa yang sedemikian anehnya. Adakah wanita yang dihadapannya itu memang benar ibu kandungnya dan Cin Hong Ing itu saudaranya ?



Setelah merenung hal itu ia melangkah maju dua tindak, hendak membuka mulut tetapi tak tahu harus bilang apa. Maka ia hanya tegak berdiam saja.



Melihat kedua ibu dan anak itu mirip satu sama lain, Poan-hong-poh segera berseru: "Tang Pui Leng, engkau memang mempunyai sepasang anak kembar tetapi semuanya hilang. Masakan dua-duanya dapat engkau ketemukan dalam waktu serempak ? Mengapa engkau masih tak mau mengakuinya?”



Tang Pui Leng bersenyum. Rupanya ia terkenang akan peristiwa hidupnya yang lampau.



"Anak yang besar suka menangis dan yang kecil tak suka menangis," kata Tang Pui Leng sesaat kemudian, "Anak yang besar pada lehernya terdapat tiga deret tahi lalat..."



Mendengar itu Ui Hong Ing tegang hatinya. Terdengar Wanita itu berkata lagi: "Walaupun leher si kecil itu juga terdapat tahi lalat merah tetapi hanya dua biji ..."



Pada saat mendengar kata-kata itu, Hong Ing serentak meraba lehernya. Dari samping Poan-hong-poh dapat melihat jelas, pada leher Hong Ing memang terdapat dua biji tahi lalat merah.



Saat itu Hong Ing tak dapat menahan diri lagi. Serentak ia lari memeluk Tang Pui Leng dan berteriak : "Mah, lihatlah, lihatlah !"



Ia membuka leher bajunya dan memperlihatkan lehernya kepada Tang Pui Leng.



Melihat itu Tang Pui Lengpun menjerit terus memeluk Hong Ing erat-erat dan lalu pingsan.



Sudah tentu Hong Ing bingung tetapi Poan-hong-poh tertawa: "Jangan takut, kebanyakan orang yang hilang kesadaran pikirannya, begitu pingsan tentu akan mendapat kembali kesadaran pikirannya. Lekas bawa dia ke ruang dalam."



Mengira kalau Poan-hong-poh bermaksud baik, tanpa curiga Hong Ing terus membawa ibunya ke dalam ruang tinggal Poan-hong-poh. Sebuah ruang yang indah mewah. Hong Ing merebahkan ibunya di atas ranjang dan tak berapa lama Tang Pui Lengpun sadarkan diri.



Bermula masih seperti orang bingung tetapi beberapa saat kemudian ia sudah dapat mengingat apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. Setelah kesadaran pikirannya makin terang ia segera mengamat-amati tahi lalat pada leher Hong Ing, lalu bertanya : "Kecil, mana tacimu ?”



Dengan bercuruan air mata, Hong Ing menjawab : "Memang aku pernah mendengar orang mengatakan bahwa ada seorang gadis yang mirip sekali dengan diriku, tetapi belum berjumpa muka sendiri!"



Perasaan hati Hong Ing saat itu sukar dibayangkan. Kini ia sudah memastikan bahwa Tang Pui Leng adalah mamahnya. Tetapi ia tak tahu bagaimana harus mengatakan nama tacinya dan menceritakan bahwa saat itu ia bersama-sama dengan tunangan tacinya ?



Kali ini Tang Pui Leng bahkan yang menghibur: "Kecil, tak usah bersedih. Kalau sudah mendengar beritanya, tentu kita dapat mencarinya. Ai, sembilan belas tahun lamanya, akhirnya kita berjumpa juga !"



Airmata wanita itu berderai-derai membasahi kedua pipinya. Sudah tentu air mata yang meluapkan kegirangan dan kebahagiaan.



Tiba-tiba Tang Pui Leng kerutkan dahi dan memandang heran kepada Hong Ing. Sudah tentu Hong Ing terkejut dan bertanya "Mah, mengapa engkau ?”



Tang Pui Leng merentang mata lebar-lebar dan berkata : "Kecil, apakah aku tak salah lihat ?”



"Salah lihat apa, mah ?" .



“Engkau ini seorang anak perempuan?” Tanya Tang Pui Leng.



Merah wajah Hong Ing seketika. Ia mengangguk dan menundukkan kepala.



"Salah !" teriak Tang Pui Leng tiba-tiba, "sepasang anakku kembar itu yang besar perempuan dan yang kecil anak lelaki. Aku ingat jelas. Kalau engkau si Kecil mengapa engkau seorang anak perempuan ? Tetapi kalau si Besar mengapa engkau hanya mempunyai dua buah tahi lalat ?"



"Poan locianpwe" tiba-tiba Hong Ing berpaling ke arah Poan-hong poh, "maaf, bolehkah kuminta engkau keluar sebentar ?"



Poan-hong-poh kerutkan dahi : "Mengapa ?"



"Aku hendak bertanya urusan pribadiku kepada mamah. Tetapi aku malu didengar orang lain maka kuminta locianpwe suka keluar sebentar"



Poan-hong-poh mengerut alis. Apakah Hong Ing hendak menceritakan tentang pelana bertabur mutiara itu kepada mamahnya ? Ah, sekalipun benar begitu, tak mungkin mereka dapat lolos dari tangannya. Pikirnya, untuk lebih membuat supaya pikiran Tang Pui Leng terang maka tak apalah kalau ia menuruti permintaan gadis itu. Maka tanpa menjawab, ia segera melangkah keluar dari ruang.



"Mah," kata Hong Ing setelah yang empunya rumah keluar, "aku memang hendak bertanya kepadamu tentang suatu rahasia yang menyangkut pada diriku dan taci"



"O, tanyalah, anakku" kata Tang Pui Leng.



"Benarkah engkau beranak sepasang bayi kembar ?"



"Sudah tentu !" sabut Tang Pui Leng.



"Apakah yang satu perempuan dan yang satu lelaki ?"



"Aku tak mungkin salah"



"Apakah yang perempuan mempunyai tanda tiga buah tahi lalat pada lehernya dan yang laki hanya dua buah tahi lalat pada lehernya ?



"Jelas, tak mungkin seorang mamah akan lupa pada ciri anak-anaknya" sahut Tang Pui Leng tanpa ragu-ragu seperti seorang yang sudah pulih kesadaran pikirannya.



"Berapa buah tahi lalat pada leherku ?"



"Dua".



"Jika begitu aku ini anakmu yang kecil"



"Ya, tetapi mengapa engkau seorang perempuan ?" Tang Pui Leng kerutkan dahi lagi.



"Itulah mah yang hendak kutanyakan padamu. Aku diambil murid oleh seorang rahib bernama Ceng Sian suthay. Sejak kecil aku dipeliharanya. Suthay mengatakan bahwa ini seorang anak perempuan maka pakaian dan tingkah lakuku harus disesuaikan dengan seorang anak perempuan"



"O, lalu ?" tanya Tang Pui Leng.



"Entah bagaimana kuingat ketika aku masih berumur lima tahun, suthay telah meninggal dunia dan akupun dipelihara oleh sukonya yang bernama Siau Yau cinjin. Aku diberi pelajaran ilmu silat sampai cukup. Suhuku itupun mengatakan aku seorang anak perempuan, tak boleh keluar ke mana-mana, harus tekun belajar silat di guha saja."



"Ah," Tang Pui Leng mendesah.



"Karena sejak kecil aku diberitahu kalau diriku ini seorang anak perempuan, berpakaian dan dididik seperti anak perempuan maka timbullah kepercayaanku bahwa aku ini memang seorang anak perempuan. Dan seorang anak perempuan itu tentulah seperti diriku ini".



“Ah, ah" Tang Pui Leng mendecak-decak.



"Akupun memelihara rambut panjang seperti anak perempuan. Aku tak pernah bergaul dengan anak laki maka makin teballah anggapanku bahwa aku ini memang benar-benar seorang anak perempuan.



"Lalu ?"



"Pada suatu hari aku minggat dari guha karena entah bagaimana aku ingin sekali melihat-lihat dunia luar. Aku merasa tak betah tinggal di guha yang sepi, tiap hari hanya belajar silat dan masak.



''Oh, engkau pandai masak ?”



"Ya, karena setiap hari harus memasakkan hidangan untuk suhu dan aku sendiri" kata Hong Ing “selama dalam pengembaraan itu aku berjumpah dengan berjenis orang laki, tua, muda, tinggi bahkan ada yang kate. Mereka semua menganggap aku seorang anak perempuan. Aku makin yakin kalau diriku ini memang seorang anak pererripuan. Tetapi diam-diam aku memperhatikan suatu hal yang mengherankan. Kulihat setiap lelaki itu tentu tumbuh kumis dan jenggotnya. Dan pada suatu hari tak sengaja kulihat seorang lelaki yang tengah mengenakan celana dalam ternyata kakinya berbulu. Saat itu timbullah pertanyaan yang aneh dalam hatiku. Mengapa aku juga tumbuh kumis walaupun masih lembut. Dan mengapa pula kakiku juga tumbuh rambutnya ?"



"Karena engkau seorang anak laki" seru mamahnya dengan gembira.



"Lalu kutanya kepada seorang perempuan apakah hanya orang lelaki dan orang perempuan itu tidak tumbuh kumis dan jenggot serta bulu kaki ? Orang perempuan itu mengiakan. Ah, maluku bukan main. Diam-diam tiap pagi kucukur kumis, pun kubedaki mukaku dengan pupur dan gincu agar aku mirip dengan seorang gadis. Tetapi sejak saat itu timbulah kegelisahan hatiku. Kecurigaanpun mulai merayapi perasaanku. Adakah aku benar-benar seorang anak perempuan atau anak laki?”



Tang Pui- Leng tertawa kemukan membisiki ke telinga Hong Ing. Apa yang dikatakan tak kedengaran tetapi jelas setelah mendengar bisikan itu wajah Hong Ing serentak mengerut kejut.



"Tidak pernah, mah. Semua itu tak pernah terjadi pada dirku" serunya sambil menggeleng-gelengkan kepala.



Kini Tang Pui Leng tertawa dan memeluk Hong Ing: "Jika demikian jelas engkau ini anak laki, putera si Kecil"



Hong Ing terkejut dan berkata: "Kalau begitu aku harus berganti dandanan.. "



Belum habis ia berkata, tiba-tiba Poan-hong-poh melangkah masuk, serunya : "Tang Pui Leng, tentunya sekarang hatimu sudah gembira dan pikiranmu tentu sudah sadar. Nah, sekarang tentunya engkau dapat memberi tahu dimanakah ketujuh pedang Ki-bun-kiam itu ?



Tang Pui Leng terbeliak. Rahasia dari pedang Ki-Bun-kiam itu hanya ia dan suaminya yang tahu serta Pat- pi- kim-kong. Mereka bertiga pernah berjanji, takkan membocorkan rahasia itu kepada lain orang.



Adakah pada waktu pikirannya tak sadar, ia melupakan apa saja yang menjadi rahasia hatinya, ia sendiri tak tahu. Tetapi karena sekarang ia sudah sadar, ia tetap tak mau mengatakan lebih lanjut.



Serentak ia duduk dan berkata: "Ki-bun-kiam apa? Aku tak tahu."



Poan-hong-poh sudah menduga Tang Pui Leng tentu akan mengatakan begitu. Ia tertawa dingin: "Tang Pui Leng, engkau harus tahu. Adanya engkau dapat berjumpa dengan anakmu, adalah karena bantuanku. Kalau aku dapat mempertemukan kalian, akupun dapat memisahkan kalian!"



Seketika berubahlah wajah Tang Pui Leng, ia melonjak bangun dan terus menghantam Poan-hong-poh.



Karena bertekad untuk menyelesaikan latihan ilmu Keng-long, maka Poan-hong-pohpun berlatih dengan giat sekali. Kini tenaga-dalamnya jauh lebih maju dari setahun yang lalu. Sambil tertawa dingin, ia balikkan tangan dan serentak terdengar gemuruh angin yang menderu-deru seperti gelombang mendampar.



Tang Pui Leng tak dapat menahan sehingga mencelat dan berjumpalitan menghantam sebuah meja sampai hancur lebur. Sesaat dia tak dapat bangun. Sudah tentu Hong Ing marah sekali. Serentak ia loncat melindungi di depan mamahnya.



"Poan locianpwe, kami haturkan terima kasih atas budi bantuanmu mempertemukan kami ibu dan anak. Tetapi mamahku baru saja sembuh dari sakitnya, mengapa engkau hendak menghinanya?"



Poan hong-poh mendengus: "Hm, dia memang tak tahu diri maka harus kuberinya sedikit hajaran. Tang Pui Leng, engkau menghendaki anakmu atau pedang Ki-bun-kiam? Lekas bilang !"



Sebenarnya Tang Pui Leng memang tak tahu pedang Ki-bun-kiam itu berada di mana. Yang tahu hanya Cong Tik. Karena pada waktu Tang Pui Leng menuju ke gunung Cek-bi-san, pedang itu sudah diangkut Hoa Ceng. Sekalipun begitu Tang Pui Leng tetap tak mau membocorkan rahasia pedang itu. Ia mengira rahasia itu hanya diketahui oleh tiga orang saja. Maka ia gelengkan kepala: "Aku tak tahu apa yang engkau katakan itu!"



Hong Ing juga tak mengerti, serunya "Poan locianpwe, apa yang engkau maksudkan dengan Ki-bun-kiam itu, bagaimana mamah tahu?"



"Bukan hanya tahu tetapi mungkin engkaupun juga tahu, ialah rahasia yang terdapat pada pelana bertabur mutiara itu !"



Hong Ing terbeliak pula: "Soal rahasia pelana mutiara itu bukankah aku sudah pernah bilang kepadamu berada di gunung Cek-bi-san ? Tentang pedang Ki-bun-kiam, aku benar-benar tak tahu"



Poan-hong-poh mengekeh : "Heh, heh, masih mengoceh Cek-bi san yang sudah kosong melompong itu. Jelas pedang itu tentu berada di lain tempat. Tang Pui Leng, engkau mau bilang atau tidak ?"



Saat itu Tang Pui Leng baru tahu bahwa gunung Cek-bi-san sudah bukan rahasia lagi. "Aku juga tak tahu dimana" serunya.



Sudah tentu Poan-hong-poh tak mau percaya, serunya : "Baik, aku akan memaksa engkau harus mengatakan!"



Habis berkata ia terus mencengkeram bahu Hong Ing.



Serentak Hong Ing merasa dirinya dilanda angin kuat sekali. Sejak makan pil Toan-beng-wan dari Toho tetapi tak jadi mati, tenaga Hong Ing bertambah semakin kuat. Dan sejak itu belum pernah bertemu dengan lawan. Kini karena melihat Poan-hong-poh tak tahu aturan, timbullah keinginannya untuk menguji kekuatannya. Maka dia tak mau menyurut mundur atau menghindar tetapi diam-diam ia siapkan ular Thiat bi-coa. Rencananya begitu Poan-hong-poh mencengkeram segera akan disambut dengan lilitan ular.



Kepandaian Hong Ing saat itu memang sudah mencapai tingkat seorang jago kelas satu.



Setahun yang lalu dimana ilmu tongkat Keng-Long-ciang dari Poan-hong-poh baru mencapai tujuh bagian, tentu tak mungkin dia dapat mencengkeram Hong Ing.



Tetapi saat itu Poan-hong-poh sudah hampir menyelesaikan latihannya. Asal beberapa hari lagi, tentulah ia sudah sempurna. Dan akan mampu menghadapi Toho. Sudah tentu Hong Ing sukar melawannya.



Pada saat kelima jari Poan-hong-poh menyentuh bahunya, Hong Ing segera merasa bahwa tenaga-dalam yang dikerahkan ke arah bahu untuk melawan ternyata terhapus. Menyadari kalau tak mungkin dapat melawan, ia segera condongkan bahu dan terus ayunkan ular thiat-bi-coa ke muka Poan-hong-poh.



Cengkeramannya luput. Poan-hong-poh sudah terkejut. Diam-diam ia tahu kalau sekarang kepandaian Hong Ing sudah maju pesat. Kemudian ketika Hong Ing meluncurkan seutas tali, ia kira kalau sebatang jwan-pian atau ruyung lemas. Cepat ia hendak menyambar dengan kelima jarinya. Tetapi pada saat hampir mencengkeram, tiba-tiba ia terkejut karena jelas benda itu bukan ruyung tetapi seekor benda hidup, ialah ular. Ular yang lidahnya merah, badannya bersisik seperti besi. Ia belum pernah tahu ular sejenis itu. Karena kejut ia tak melanjutkan cengkeramannya.



Melihat Poan-hong-poh terkesima, Hong Ing tak mau kehilangan kesempatan. Sekali getarkan lengan, ular thiat-bi-coa itupun segera menerobos dari sela kelima jari Poan-hong-poh terus meluncur ke tenggorokan.



Betapa luas pengalaman Poan-hong-poh tetapi belum pernah ia bertemu dengan orang yang menggunakan senjata ular hidup. Dan diperhatikannya pula bahwa ular itu dapat bergerak, seperti yang dikehendaki tuannya. Jelas tentu ular yang sudah dijinakkan. Dan jelas kalau ular itu tentu beracun.



Maka segera ia mundur tiga langkah, melintangkan tongkat dan tertawa dingin : "Budak perempuan, engkau harus tahu bahwa engkau bukan tandinganku. Jika engkau ingin menyelamatkan jiwamu dengan mamahmu, lekas anjurkan mamahmu supaya memberitahukan tempat penyimpanan pedang itu. Aku berjanji takkan mempersulit kalian !"



Hong Ing tertawa, "Poan locianpwe, memang kutahu kalau kepandaianmu sakti sekali. Tetapi apabila engkau berkeras hendak memaksa mamahku, terpaksa akupun akan mengadu jiwa kepadamu. Kalau aku mati ditanganmu itu sih tak mengapa tetapi pemilik dari ular Thiat-bi-coa ini, apabila tahu, tentu akan datang ke pulau Kyoto sini. Pada saat itu jangan harap engkau dapat terhindar dari kematian."



Memang Poan-hong-poh jerih terhadap ular itu. Ia makin terkejut mendengar kata-kata Hong Ing. Tetapi ia tak mau mengunjukkan rasa jerihnya itu dan tertawa dingin: ”Biarkan dia datang, masakan dia lebih sakti dari si Toho ?"



Pelahan-lahan Hong Ing menjawab : “Apa itu sih Toho ?"



Ia tahu bahwa dalam beberapa hari lagi Poan hong-poh akan mengadu kepandaian dengan Toho. Sudah tentu Poan-hong-poh menganggap Toho itu seorang lawan yang berat. Maka sengaja ia menghina Toho. Dan ternyata siasatnya berhasil.



Poan-hong-poh makin terkejut lalu berpaling, memandang ke sekeliling.



Melihat itu diam-diam Hong Ing geli, serunya : "Jangan takut, sekarang dia tak berada disini."



Karena isi hatinya ditebak, marahlah Poan-hong-poh, serunya: "Siapakah pemilik ular itu? Lekas bilang”.



"Sayang, locianpwe itu melarang aku jangan memberitahukan namanya kepada orang. Tetapi engkau pasti tahu apa yang berada dalam rumah gubuk digunung Tay-pat-san dulu. Rasanya engkau sudah satu kali melihat wajahnya!”



Seketika berubahlah wajah Poan-hong-poh: "Diakah?"



Hong Ing mengangguk : "Poan locianpwe, sesungguhnya soal pedang Ki-bun-kiam atau tidak itu hanya benda luar. Kami berdua ibu dan anak dapat berjumpa lagi sudah merupakan suatu anugerah besar bagi kami. Segala benda macam pedang Ki-bun-kiam, tak berarti bagi kami. Apa yang diketahui mamah tentang pedang Ki-bun-kiam itu hanya berada di gunung Cek-bi-san. Apa bila pedang itu tak dapat diketemukan di gunung itu, sudah tentu dia tak tahu. Walaupun engkau paksa, juga sia-sia saja."



Mendengar itu Tang Pui Leng yang sudah bingung menghadapi tekanan Poan-hong-poh berseru, ”Dia benar. Jika kutahu tentang tempat pedang itu, tentu akan kuserahkan kepadamu selaku rasa terima kasih kami atas budi bantuanmu !"



Poan-hong-poh merenung.



-o0^DW^Agus Ekanto^0o-





Jilid 10




Walaupun merasa ucapan Tang Pui Leng itu beralasan, tetapi setelah merenung sejenak, tetap Poan-hong-poh masih penasaran.



"Tang Pui Leng, beberapa hari yang lalu engkau pernah mengatakan pedang itu berada ditangan Hoa Ceng, benarkah itu ?" tanyanya.



"Semula aku memang mengira demikian" sahut Tang Pui Leng karena suami bersama Pat-pi-kim-kong menuju ke gunung Cek-bi-san untuk mengambil pusaka itu. Tetapi sejak pergi, mereka tak ada beritanya lagi. Kalau mereka telah mendapatkan pusaka itu, tentu mereka akan mencari aku. Tetapi sudah bertahun-tahun lamanya tiada sepercik beritapun yang terdengar. Tentulah telah terjadi sesuatu. Mungkin Pat-pi-kim-kong telah timbul nafsu serakah dan membunuh Hoa Ceng. Kedua anakku kembarpun dia yang menjualnya. Dia memang manusia beracun !"



Akhirnya berkatalah Hong Ing : "Mah, ayah disebut orang persilatan dengan gelar Kim-coa (ular emas)? Tetapi Pat-pi-kim-kong itu apa bukan seorang tokoh persilatan di Holam ?”



Tang Pui Leng mengangguk : "Benar, anakku, engkau sebenarnya she Hoa, karena masih terlalu kecil aku tak sempat memberi nama kepada kalian berdua”.



Poan-hong-poh kecewa karena tak mendapat keterangan yang diinginkan dari Tang Pui Leng. Merasa berhutang budi kepada Poan-hong-poh sehingga ibu dan anak dapat berkumpul maka Hong Ing segera menghibur : "Poan locianpwe, tak berapa lama lagi Toho tentu akan datang ke pulau ini. Dikuatirkan masih membawa beberapa jago lihay lagi. Lebih baik locianpwe bersiap-siap untuk menghadapi mereka. Kelak kita bicara lagi".



Menganggap hal itu memang beralasan, Poan hong-poh menghela napas : "Baiklah, kalian boleh pergi."



Hong Ing gembira sekali dan menghaturkan terima kasih kemudian mengajak mamahnya keluar.



Saat itu hari sudah terang, tetamu-tetamu yang datangpun makin banyak. Dari jauh Hong Ing melihat Tan Su Ciau sedang memandang kian kemari. Rupanya dia hendak mencari orang.



Hong Ing hendak menegurnya tetapi tiba-tiba diantara kerumunan orang banyak, ia melihat seorang wanita pertengahan umur bersama seorang gadis. Walaupun gadis itu sedang berpaling ke samping tetapi Hong Ing serentak dapat mengetahui bahwa wajah gadis itu mirip dengan wajahnya. Hati Hong Ing berdebar keras. Ia tertegun dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam pada itu tampak Tan Su Ciau berseri girang dan buru-buru lari menghampiri gadis itu seraya berteriak-: "Hong Ing..”



Saat itu Hong Ing segera menyadari bahwa gadis yang disebut namanya sebagai Hong Ing itu adalah saudara kembarnya, sendiri.



"Ih, mengapa engkau berhenti ?" tiba-tiba Tang Pui Leng menegur.



Hong Ing menunjuk ke muka, pada gadis yang mirip dirinya. Sudah tentu Tang Pui Leng girang bukan main. Cepat ia menarik tangan Hong Ing dan berlari-lari menghampiri.



Saat itu Su Ciau sedang memegang tangan Cin Hong Ing, si nona yang datang bersama wanita pertengahan umur, dan menghujani pertanyaan: "Hong Ing, kemanakah engkau pergi semalam? Masakan pagi tadi aku tak melihatmu?"



Cin Hong Ing kerutkan alis, serunya: "Su Ciau, perlu apa engkau bicara dengan aku lagi ? Mamahmu telah menyerang aku dengan senjata sehingga aku terluka. Diantara kita, apa masih ada ikatan lagi?"



Su Ciau terbelalak, "Ih, soal ini sudah lama engkau lupakan mengapa sekarang engkau ungkit lagi?"



Cin Hong Ing gemas dan berpaling ke belakang, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat seorang wanita bergandengan tangan dengan seorang nona tengah berlari-lari menghampiri ke tempatnya. Hai, nona itulah yang hendak dicarinya. Girang Cin Hong Ing bukan kepalang.



"Suhu, nona itu sudah datang!" serunya kepada Hian-li Lim Sam Kho, seraya menyongsong wanita yang datang itu.



Begitu dekat, Tang Pui Leng terus merentang kedua tangannya hendak memeluk tetapi Cin Hong Ing menghindar ke samping kerutkan alis dan hendak mendamprat.



"Anakku, biarlah mamah memeriksa lehermu, apakah benar terdapat tiga buah tahi lalat ?" teriak Tang Pui Leng.



Cin Hong Ing tertegun, serunya: "Benar, memang leherku terdapat tiga buah tahi lalat merah, engkau ... engkau mamahku ?"



"Taci, memang benar!" tiba-tiba Ui Hong Ing berteriak.



Walaupun adat Cin Hong Ing itu agak angkuh tetapi dalam menghadapi saat-saat seperti itu, ia tak dapat menahan luapan air matanya. Menyurut mundur selangkah ia berseru: ”Mah... ”



Tang Pui Lengpun tak kurang terharunya. Ia mencekal tangan Cin Hong Ing, menangis dan tertawa.



Su Ciau terlongong-longong seperti orang melihat hantu disiang hari. Hampir ia tak dapat membedakan mana Hong Ing yang menjadi calon mempelainya...



"Su Ciau" akhirnya Ui Hong Ing yang menegurnya, "sudah kuberitahu kepadamu bahwa engkau keliru mengenali orang. Tetapi engkau tetap tak percaya. Sekarang engkau percaya atau tidak?"



Su Ciau menganga mulutnya. Beberapa saat kemudian baru ia jelas bahwa Ui Hong Ing yang selama setahun bergaul dengan dia ternyata bukan calon isterinya. Tetapi ia masih heran mengapa Ui Hong Ing mau diajak bersembahyang mengangkat sumpah menjadi suami isteri.



Dia memang seorang pemuda polos maka saat itupun dia tak tahu apa yang harus dikatakan.



"Mah”, akhirnya setelah mendengar Tang Pui Leng tak henti-hentinya bicara, Cin Hong Ing berkata, "Mengapa kami berdua saudara kembar sejak kecil harus berpisah? Siapakah ayah kami? Apakah dibunuh orang?"



Mendengar itu Ui Hong Ing terkesiap. Ia merasa jauh sekali sikap dan hati tacinya itu dengan dia. Jika ia pada saat bertemu dengan mamahnya begitu mesra dan kasihan, tacinya baru ketemu saja terus mendamprat halus seolah-olah menyesali mamahnya.



Saat itu Hong Ing baru menyadari bahwa walaupun kembar tetapi perangainya beda dengan tacinya. Kalau dia merasa beradat polos, ramah walaupun suatu waktu gemar berolok-olok kepada orang, tetapi ia merasa tak mempunyai niat jahat. Tetapi tacinya Cin Hong Ing, seorang yang berhati tinggi dan angkuh.



Tang Pui Leng juga terkesiap menerima dua buah pertanyaaa itu: "Besar, disini bukan tempat kita bicara. Biarlah kuciumi engkau dulusampai puas, baru nanti kita bicara lagi."



Kalau Ui Hong Ing tentu dengan serta merta akan menyenangkan hati mamahnya. Tetapi Cin Hong Ing tampak kerutkan alis, ujarnya: "Mah engkau ini bagaimana, aku toh bukan anak kecil lagi?"



Tang Pui Leng mengusap air matanya dan tertawa: "Tak peduli engkau sudah besar tetapi bagi mamahmu, engkau tetap masih kecil."



Rupanya Cin Hong Ing tak sabar, ia berpaling dan berseru kepada Ui Hong Ing: "Adik, lihatlah mamah ini! Kita berdua dengan susah payah berangkat dewasa. Apabila tempo dulu kita menderita dicelakai orang, sekaranglah saatnya kita melakukan pembalasan”.



Tetapi mamahnya tak mau mengatakan apapun.



Ui Hong Ing berpendapat lain. Kalau Cin Hong Ing jelas saudara kembarnya, seharusnya membereskan dulu persoalannya dengan Su Ciau dan seharusnya pertemuan itu harus berlangsung dalam suasana mesra. Tetapi ia heran mengapa sikap tacinya itu begitu kaku seperti terhadap orang asing.



Cepat ia membantu menjelaskan untuk mamahnya : "Mamah mengatakan, pada waktu kita berumur tiga bulan, lalu kita dijual oleh Pat-pi-kim-kong!"



Mendengar itu Cin Hong Ing melonjak seperti dipagut ular berbisa, serunya: "Pat-pi-kim-kong ?" Ia terus berpaling ke arah Su Ciau dan meneriakinya : "Su Ciau! Su Ciau!"



Tetapi aneh, saat itu ternyata Su Ciau sudah tak ada disitu, entah kemana. Hian-li Lim Sam Kho karena sedang menumpahkan perhatian kepada ketiga mamah dan anak itu, tak sempat lagi memperhatikan Su Ciau.



"Hm" dengus Cin Hong Ing, "Binatang itu tentu bersama ayahnya telah melakukan hal yang terkutuk sehingga dia ketakutan lalu buru-buru ngacir pergi!"



Mendengar itu tak tahan lagi Ui Hong Ing segera menyabut: "Tadi, pada waktu kita berumur tiga bulan, Su Ciau tentu masih kecil juga. Tentang perbuatan ayahnya, dia tentu tak tahu menahu maka tak mungkin dia lari ketakutan."



Cin Hong Ing berputar tubuh memandang Ui Hong Ing dengan tajam, "Bagus adik, kiranya engkau juga kenal pada Su Ciau !"



Ui Hong Ing tak mau meladeni sikap tacinya itu, ia hanya tersenyum.



Tang Pui Leng tak tahu bahwa kedua anaknya itu mempunyai hubungan dengan Su Ciau. Ia diluap oleh rasa kebahagiaan karena telah bertemu dengan kedua anaknya. Maka iapun segera mengajak mereka menuju ke tempat penginapannya.



Tiba-tiba Ui Hong berhenti dan berseru: "Mah, silahkan pulang dulu, aku masih mempunyai sedikit urusan."



"Ai, hendak kemana engkau ?" Tang Pui Leng terkejut.



Cin Hong Ing tertawa dingin : "Mah, tak usah kuatir, adik tentu dapat menjaga diri, dia mungkin akan mencari kekasihnya."



Ui Hong Ing merah mukanya. Tetapi ia tak mau menyahut melainkan terus lanjutkan langkah. Ia masih mendengar nada tertawa dingin dan tacinya tetapi ia tak peduli. Setelah membiluk sebuah tempat yang sepi lalu beristirahat. Ia hendak merenung seorang diri.



"Ah, tak seharusnya aku menyakiti hati taci. Dia tentu menyangka aku telah merebut Su Ciau. Padahal ...." tiba-tiba ia teringat akan pembicaraan dengan mamahnya, bahwa sesungguhnya dia itu bukan seorang anak perempuan melainkan seorang lelaki. "Ah, harus segera berganti pakaian lelaki, agar peristiwa ini jangan berlarut-larut." Ia memutuskan tetapi pada lain saat ia terkesiap, "kemanakah aku bisa mendapatkan seperangkat pakaian lelaki?"



Ia hendak berbangkit, tiba-tiba ia mendengar suara orang menghela napas. Dan rasanya ia kenal dengan nada suara orang itu. Diam-diam ia segera menghampiri ke tempat orang itu. Ah, Su Ciau lagi. Pemuda itu tengah duduk menunduk kepala seperti orang yang berduka. Buru-buru ia hendak menyingkir tetapi Su Ciau sudah mengetahui kedatangannya dan berseru : "Hong Ing."



Hong Ing tertegun. Su Ciaupun berbangkit menghampirinya.



"Hong Ing, dulu aku memang benar-benar tak dapat membedakan kalian berdua saudara. Tetapi tadi ketika kalian berdua berkumpul, barulah aku dapat membedakan."



"Bagaimana?" tanya Hong Ing.



"Ya, memang bentuk wajahnya sukar dibedakan tetapi hatinya tak sama," kata Su Ciau.



"Engkau sekarang tahu aku ini siapa ?" tanya Hong Ing.



"Ya, kutahu." kata Su Ciau, "Engkau adalah Hong Ing yang bersama aku telah mengangkat sumpah menjadi suami-isteri."



"Kalau engkau sudah kenal, itulah bagus," Hong Ing tertawa, "Dengan begitu seharusnya engkau menyadari bahwa aku bukan kekasihmu. Lekas engkau menemani taciku sana, setelah peristiwa di pulau Kyoto selesai, kalian boleh merayakan pernikahan lagi. Karena dia amat mencintaimu, maka diapun marah kepadamu”.



"Hong Ing, apa maksud kata-katamu ? Bukankah kita sudah mengangkat sumpah menjadi suami isteri ?" seru Su Ciau.



Hong Ing diam-diam geli. Ia akan menjadi isteri Su Ciau ? Ah ..



"Su Ciau, engkau memang tolol sekali. Apa yang kita lakukan dalam sembahyang pada langit dan bumi itu tak lain hanya bermain-main saja. Mengapa engkau anggap sungguh-sungguh. Pada saat itu aku hanya kasihan karena melihat engkau putus asa maka akupun rela menyaru sebagai taciku, agar engkau terhibur, ha, ha ...."



Su Ciau tertegun.



"Su Ciau" Hong Ing cepat menambah, ”Seorang lelaki harus menyatakan hatinya. Karena engkau sudah lebih dahulu mencintai taciku, jangan engkau beralih pikiran.”



"Hong Ing, masakan aku tidak setia pada cintaku ? Tetapi entah bagaimana, ketika tadi aku melihatnya, kurasa dia bukanlah gadis yang kucintai. Yang kucinta sebenarnya adalah ..."



"Jangan bicara lanjut!” cepat Hong Ing menukas, "Setiap persoalan harus diselasaikan. Kalau engkau mempunyai persoalan dengan taciku, engkau harus menyelesaikannya dengan hati terbuka. Harap lekas temuilah dia !"



"Engkau suruh aku memberi penjelasan kepadanya?" Su Ciau tertegun.



"Ya," sahut Hong Ing. ”Misalnya karena salah faham tetapikan hanya sehari dua hari. Masakan kalian yang akan menjadi teman hidup berpuluh tahun akan mengambil sikap tak saling mengacuhkan ? Sudahlah, jangan banyak ini itu lagi, pergilah menemuinya."



Su Ciau tak dapat berbuat apa-apa kecuali ayunkan langkah mengikuti Hong Ing. Diam-diam Su Ciau menganggap kata-kata Hong Ing yang ini, memang beralasan. Karena Hong Ing yang ini jelas bukan calon isterinya, mengapa ia harus mendesak begitu rupa. Cepat ia melesat keluar dari tempat persembunyian, mendahului Hong Ing dan berseru: "Hong Ing, baik-baiklah engkau menjaga dirimu!"



Hong Ing menghela napas longgar. Urusan telah selesai dan kelak ia takkan menghadapi kesulitan lagi.



Iapun segera keluar dari tempat persembunyian itu. Ia berjalan tanpa tujuan dan entah berselang berapa lama tiba-tiba ia merasa dirinya telah diikuti dari belakang oleh orang. Cepat ia berpaling ke belakang tetapi tak melihat apa-apa. Ketika ia mengayunkan langkah lagi, dari balik gerumbul di belakangnya terdengar suatu suara berdesir, jelas tentu ada orang yang mengikuti di belakangnya. Adakah Su Ciau masih penasaran dan belum memberi penjelasan kepada tacinya ? Tetapi menilik gerak gerik orang yang mengikutinya itu sedemikian cepat ia menyangsikan kalau dia Su Ciau.



Berulang kali ia berpaling ke belakang tetapi tetap tak melihat apa-apa. Akhirnya ia pura-pura berpaling ke samping seperti tak mengacuhkannya, setelah itu baru dilanjutkan melirik ke belakang. Dengan cara itu ia berhasil melihat sesosok tubuh dengan gerak yang luar biasa cepat menyusup ke dalam semak. Sedemikian cepatnya sehingga ia tak dapat melihat roman muka orang itu. Bahkan potongan tubuhnyapun tak kelihatan.



Diam-diam Hong Ing heran mengapa di pulau Kyoto terdapat orang yang mengikuti jejaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil orang itu, serunya:



"Hai, sahabat dari manakah itu ? Apakah perlu hendak bertemu dengan aku ? Silahkan keluar.”



Dua kali ia mengulang teriakannya namun tetap tak dijawab. Hong Ing makin heran. Menilik ilmu kepandaian meringankan tubuh, jelas orang itu lebih sakti dari dirinya. Tetapi mengapa orang itu bergerak seperti takut ketahuan orang ?



Setelah mempersiapkan ular thiat-bi-coa, ia terus melangkah ke semak gerumbul yang setinggi pinggang. Tetapi ia tetap tak menemukan apa-apa. Hanya disebelah muka gerumbul itu ,ia melihat suatu pemandangan yang aneh. Ialah sebuah puncak bukit, ditengahnya dibelah sebuah jalan kecil. Orang hanya dapat berjalan dengan tubuh miring dan celah itu ternyata merupakan sebuah saluran air.



Karena tak dapat menemukan orang tadi maka Hong Ingpun tertarik hatinya pada celah batu di puncak bukit itu. Disitu tentu merupakan tempat yang sunyi tak diganggu orang. Ia memang ingin menyendiri untuk menenangkan hatinya. Mengapa ia tak kesitu saja ?



Akhirnya ia segera menghampiri ke arah celah batu itu. Tetapi setelah masuk, ternyata ia masih harus berjalan mendatar lagi sampai tujuh delapan langkah haru dapat mencapai tempat yang longgar.



Ternyata pada atap tempat itu merupakan sebuah lubang. Angin masuk dari atas. Baru ia tiba ketempat itu, tiba-tiba seorang yang tak dikenalnya telah meluncur menyerangnya.



Celah batu itu bagian bawah sempit dan bagian atas lebar. Untuk masuk ke situ, Hong Ing harus miringkan tubuh. Punggungnya melekat pada dinding celah. Sungguh hanya terbatas saja untuk tubuhnya. Ketika melihat dari atas lubang angin meniup, ia menengadah kepala dan melihat sesosok tubuh tinggi besar, menghantamnya dengan sebuah pukul besi.



Ia terkejut menyaksikan kedahsyatan pukulan itu. Karena tak dapat menghindar lagi terpaksa ia gunakan kekerasan. Setelah agak mengendapkan tubuh, ia segera mengangkat tangan menangkis dengan jurus Khi-tiong-gu-tou ialah jurus yang paling indah dari ilmu pukulan Thian - jiu - ciang-hwat.



Saat itu pukulan besipun meluncur ke bawah. Walaupun Hong Ing sudah mengeluarkan tenaga-dalam tapi tak urung tenaganya tertekan ke bawah juga. Tetapi karena terlalu kuat menggunakan tenaga, orang itupun ikut meluncur ke bawah lubang. Kini dia harus menghadapi kesulitan karena setengah badannya terjepit pada lubang. Ia meronta-ronta untuk melepaskan diri tetapi ke atas tidak dapat, meluncur ke bawahpun sukar. Ia mengamuk dengan pukul besinya. Dinding celah batu dihantam sekenanya saja sehingga hancur lebur. Ternyata orang itu bukan lain si Malaekat-tolol atau Sim-Yong Kan.



Hong Ing gemas juga terhadap orang tolol itu. Masa tak bilang apa-apa, tahu-tahu Sim Yong terus menghantam kepalanya dengan pukul besi. Gila memang orang itu. Ia harus membalasnya. Selagi si tolol masih berkutetan dalam lubang, Hong Ing segera mengambil Ular thiat-bi-coa terus dihentakkan untuk menutuk tiga buah jalan darah di bahu, dada dan pinggang si tolol.



Sim Yong memiliki ilmu gwakang atau tenaga-luar yang hebat sehingga tubuh keras seperti besi. Tutukan dari pagutan ular thiat-bi-coa itu mengenai tepat tetapi Sim Yong tak menderita apa-apa. Dia masih tetap berkutetan di dalam jepitan lubang.



Hong Ing terkejut. Melihat untuk beberapa waktu si tolol itu tentu tak mungkin dapat keluar dari jepitan, tiba-tiba timbulah kenakalan Hong Ing. Ia meloncat ke atas dan hinggap pada sebuah tonjolan batu seraya mengambil segenggam lumpur lalu ditaburkan ke muka si tolol.



Saat itu si tolok kebetulan membuka mulut hendak meraung, plok..... segumpal lumpur tepat menampar mukanya dan sebagai masuk ke dalam mulut. Huk, huk, huk ..... tetapi karena kedua tangannya berada di bawah semua, ia tak dapat berbuat apa-apa untuk menghapus lumpur dimukanya.



Saat itu si Malaekat-tolol benar-benar seperti seekor katak yang dibakar. Keroncalan tetapi tak dapat melepaskan diri dari jepitan lubang batu.



"Hm, besar sekali nyalimu berani menyerang secara menggelap kepada bibi gurumu. Kalau engkau mau diam beberapa jenak, aku mau menolongmu. Tetapi kalau engkau tetap meronta-ronta dan menjerit-jerit seperti orang gila, akan kusuruh ular thiat-bi-coa ini menggigitmu. Dalam waktu sejam saja, engkau tentu akan menjadi air cairan hitam!"



Habis berkata ia jalurkan ular itu ke muka si tolol. Huk, huk ... mulut Sim Yong menguak ngeri. Karena mengira Sim Yong takut, Hong Ing tertawa gembira.



Sebenarnya ia masih memikirkan tentang orang yang mengikutinya tadi. Ternyata yang muncul si tolol. Tetapi kalau menitik kepandaian orang tadi, jelas tak mungkin kalau Sim Yong. Ia tahu walaupun Sim Yong itu tolol dan limbung tetapi masih mempunyai perasaan ksatria, tak mungkin mau menyerang orang secara menggelap.



"Adakah dalam celah batu ini terdapat suatu jalan rahasia ?” akhirnya ia tiba pada dugaan begitu.



Tetamu-tetamu yang datang ke pulau Kyoto memang amat banyak dan terdiri dari golongan hitam maupun putih. Kemungkinan peristiwa yang akan berlangsung di pulau Kyoto nanti, tidak hanya terbatas pada pertempuran nenek Poan-hong poh atau Cenderawasih-Tutul melawan Tobo Lhama saja. Tentu ada alasan mengapa Sim Yong juga muncul disitu.



Hong Ing mengira Sim Yong itu seorang tolol dan limbung, dia tak mau melukainya, cukup asal menggertaknya supaya takut. lapun lalu melingkarkan ular itu dan diletakkan di samping Sim Yong. Ular itu tak henti-hentinya mendesis dan memandang Sim Yong. Setelah itu baru Hong Ing keluar dari celah batu.



Ternyata di sebelah muka dari celah batu itu merupakan sebuah air terjun. Airnya yang menumpah ke bawah ditampung sebuah kolam yang tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon bunga warna kuning dan putih. Sungguh sebuah tempat yang tenang dan indah alamnya. Jalanan untuk masuk dan keluar lembah itu, hanya harus mengitari gunung atau melalui celah batu tadi.



Begitu keluar dari celah batu. Hong Ing lalu menyembunyikan diri. Diantara gemuruh air terjun yang menumpah itu samar-samar ia seperti mendengar suara orang.



Air terjun itu lebarnya tak kurang dari satu tembak dan tumpahnyapun tak begitu deras. Tentulah sebuah air terjun alam. Ketika memandang dengan seksama, Hong Ing seperti melibat di belakang air terjun itu terdapat sebuah guha. Makin tertarik perhatian Hong Ing. Ia segera menerjang masuk ke dalam guha itu. Dengan gerak yang cepat, Hong Ing dapat menerjang masuk tanpa basah pakaiannya. Ah, memang benar. Belakang air terjun itu merupakan sebuah guha. Dan saat itu ia dapat mendengar jelas pembicaraan orang.



"Gok Co thauto, kalau menurut pendapatmu apakah saat ini kita akan bergerak untuk membasmi kawanan manusia yang menganggap dirinya kaum pendekar itu? Tetapi engkau belum menyelidiki jelas, berapakah jumlah sebenarnya mereka yang datang itu ? Dan berapakah diantaranya yang tergolong jago-jago sakti?"



Suara itu bernada tinggi, ditambah pantulan kumandang suara dari guha, makin terdengar jelas sekali. Hong Ing lekatkan punggung pada dinding guha dan hati-hati sekali melongok ke dalam guha. Karena guha itu gelap untuk sementara ia tak dapat melihat apa-apa. Terpaksa ia harus bersabar untuk menunggu.



Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak: "Kali ini usaha kita pasti berhasil. Hanya seorang Hian-li Lim Sam-kho saja yang menjadi duri mata kita. Tetapi wanita itu berhati tinggi dan angkuh. Kalau kita menyanjungnya tinggi-tinggi atau gunakan siasat kata-kata supaya dia marah dan pergi, semua urusan tentu beres!"



Kata yang seorang : "Mungkin tidak semudah itu. Apabila Tay-To hweshio, Siau Yau cinjin dan lain-lain datang, sebelum makan kita sudah merasakan getirnya dulu !”



Tiba-tiba Gok Co thauto meraung marah: "Orang she Kho, kalau engkau tak punya nyali, lebih baik engkau tinggal bersembunyi di sini saja sampai beberapa hari. Tunggu setelah peristiwa di pulau ini selesai baru nanti kubebaskan engkau !"



Rupanya diluar persangkaan, paderi Gok Co itu sudah menguasai orang yang disebut she Kho itu.



"Eh, aku bukannya takut" kata orang she Kho setengah merintih, "hanya merencanakan siasat yang lebih luas agar kelak dapat melaksanakan apa yang engkau akan lakukan dalam dunia persilatan."



Gok Co thauto tertawa dingin: "Sudah tentu harus begitu kalian bertindak, apakah hanya menggantungkan tenagaku seorang saja ? Cianpwe dari partai Naga, Thiat-koan-im Li Wan, dalam beberapa hari lagi tentu akan datang kemari. Poan-hong-poh benci sekali kepada Lu Kong Cu. Sebelumnya kitapun sudah berjanji, siasat yang paling baik untuk kali ini ialah mengadu domba kedua belah fihak, agar kita dapat bertindak leluasa. Toho telah melemparkan Siau Yau cinjin ke dalam jurang. Mereka tak usah diperhitungkan. Nenek Poan-hong-poh seorang tokoh yang tak menentukan warnanya, entah Putih entah Hitam. Jago-jago sakti golongan Putih, tentu takkan datang. Hal itu justeru melonggarkan kita.



Hong Ing yang mendengarkan diluar guha, terkejut. Gok Co thauto sudah sakti, masih bersekutu lagi dengan Thiat-koan-im Li Wan. Jika mereka berkomplot lagi dengan beberapa tokoh golongan Hitam, sudah tentu akan membahayakan para tetamu jago-jago silat yang berkunjung di pulau Kyoto.



Untung secara tak sengaja ia dapat mendengar perundingan mereka. Apabila ia sudah tahu jelas apa rencana mereka, ia akan menyiarkan kepada orang yang berada di pulau Kyoto agar mereka dapat bersiap-siap.



Cepat ia menyurut mundur.Tetapi sebelum ia sempat keluar, tiba-tiba percikan air berhamburan keempat penjuru dan sesosok tubuh menerjang masuk ke dalam guha saraya berseru : "Suhu, budak itu menyelonong masuk kemari, apakah engkau tak tahu?"



Ternyata yang muncul itu adalah Malaekat-tolol Sim Yong. Tetapi Hong Ing heran mengapa orang limbung itu tak kurang suatu apa. Adakah ular thiat-bi-coa tak mampu menguasainya?



Dan belum sempat ia menyembunyikan diri, sekonyong-konyong si limbung sudah melihat dirinya dan terus meraung keras ; "Hai, budak, ularmu itu tak bergigi, mana engkau dapat mengelabuhi aku ? Tempo hari suhuku memang terkena tipu muslihatmu, tetapi jangan harap engkau dapat menipu aku?"



Diam-diam Hong Ing membenarkan. Waktu Gok Co thauto tergigit ular thiat-bi-coa, ternyata paderi itu tak kurang suatu apa. Jelas ular itu sudah hilang racunnya. Ia tak mengetahui hal itu.



Setelah Hong Ing pergi, dengan sekuat tenaga Sim Yong berusaha untuk melepaskan diri dari jepitan celah batu. Dan karena ternyata ular thiat-bi-coa itu tak berdaya maka si limbungpun dapat menemui suhunya di guha situ.



"Hm, kalau orang limbung itu tak kubunuh dulu, tentulah suhunya dan beberapa orang di dalam guha itu akan menyerbu keluar” pikir Hong Ing.



Cepat ia loncat ke muka dan Sim Yongpun segera menyambut dengan tinjunya yang besar.



Sim Yong seorang kasar dan bertubuh besar, sedang Hong Ing bertubuh langsing. Keduanya seperti kerbau dan kambing. Tetapi dalam ilmu tenaga-dalam, Hong Ing lebih unggul. Apalagi dia sudah makan pil Toan-beng-wan sehingga tenaganya makin bertambah besar, lalu minum rendaman katak es. Tenaganya tak kalah dengan Sim Yong.



Melihat Sim Yong menyongsongkan tinju, Hong Ing mengendap lalu menggerakkan kedua tangannya dari atas dan bawah untuk menggunting tangan lawan. Plak .... terus dilanjutkan dengan sebuah jurus untuk menekan ke bawah. Sebelum Sim Yong sempat mengganti jurus, tangan kanannya sudah terjepit kedua tangan Hong Ing. Hong Ing menyeretnya ke samping sampai tiga langkah lalu didorong ke muka. Karena dijepit, ditarik, didorong lalu dilepaskan, tubuh Sim Yongpun terlempar beberapa langkah jauhnya, bum .... ia terbanting pada dinding guha. Walaupun dia memiliki kulit tebal tetapi karena bantingan itu amat keras maka matanyapun berkunang-kunang dan jatuhlah ia terduduk di tanah.



Setelah dapat merubuhkan si limbung, Hong Ing bergegas hendak melarikan diri. Tetapi ia terkejut ketika dari belakang terdengar suara orang tertawa. Ketika berpaling ia lebih kaget. Segulung sinar bianglala telah meluncur kearahnya. Selain cepat, benda itu pun mendesis tajam. Cepat Hong Ing mengendapkan kepalanya lalu menghantam dinding guha.



Saat itu baru Hong Ing mengetahui bahwa benda yang menyerangnya itu tak lain dari sebuah Gwat-ya atau gigi-bulan, semacam senjata gergaji yang panjangnya lebih kurang tiga puluh senti.



Tetapi bukan senjata itu yang membuat Hong Ing gugup. Melainkan karena tahu bahwa orang-orang yang berada dalam guha itu sudah tabu dan menyerbu keluar. Cepat ia menyelinap ke samping tetapi saat itu berpuluh-puluh sosok bayangan berhamburan menghadang jalan.



Hong Ing masih berusaha untuk lolos. Ia loncat ke udara tetapi tiba-tiba orang-orang itu menjerit kaget dan menyingkir ke samping. Ketika memandang, girang Hong Ing bukan kepalang. Ternyata yang membuat orang-orang itu hiruk pikuk adalah ular thiat-bi-coa. Ini sungguh kebetulan sekali. Saat itu ia tak membawa senjata, sukar untuk menghadapi sekian banyak musuh. Maka cepat ia bersuit nyaring dan ular itupun menerjang, plak, plak... ular itu menyabetkan ekornya pada dua orang yang menyingkir di samping sehingga kedua orang itupun rubuh. Hong Ing pun cepat menyambut ular thiat-bi-coa. Tepat pada saat itu, Gok Co thautopun sedang menolong Sim Yong.



"Suhu, budak itu telah menjepit tubuhku di Celah batu, sehingga aku sampai tertahan lama" seru Sim Yong.



Rambut yang kusut masai dari paderi itu meregang-rebah. Rupanya dia menahan kemarahan yang hebat. Kemudian ia tertawa iblis: "Hai, kiranya engkau!”



Hong Ing mengobarkan pandang. Ternyata saat itu ia sudah dikepung oleh berpuluh orang. Tua, muda, laki dan perempuan. Mereka memandang dirinya dengan mata berkilat-kilat. Rupanya mereka orang-orang dari golongan hitam.



Jelas mereka itu kawanan manusia yang berhati serigala. Apalagi setelah tahu bahwa rahasia mereka telah terdengar Hong Ing, tentulah mereka tak mau mengampuninya lagi.



Cepat Hong Ing ayunkan thiat-bi-coa untuk menyiak beberapa orang yang hendak maju mendekatinya. Kemudian ia loncat menerjang bagian yang terbuka.



Salah seorang dari yang menjaga pintu guha adalah Hwat Tiong-hi serta dua orang lelaki bertubuh kurus, masing-masing mencekal senjata Tok-kak-tong jin atau Manusia-tembaga-berkaki-satu. Beratnya tak kurang dari tujuh delapan puluh kali. Sungguh tak susuai dengan orangnya yang begitu kerempeng.



"Hai, budak, jangan lari!" teriak Hwat Tiong Hi seraya lari mengejar.



Dengan gesit Hong Ing loncat ke samping. Pada saat Hwat Tiong Hi ulurkan tangan hendak mencengkeram, Hong Ing sudah berputar tubuh dan mengirim sebuah tendangan. Plak.... Hwat Tiong Hi seperti sebuah layang-layang yang putus tali, melayang-layang sampai beberapa langkah dan membentur beberapa orang.



Hong Ing gembira tetapi ketika berpaling ke belakang, ia terkejut sekali. Ternyata kedua lelaki kurus tadi, tanpa kedengaran suaranya sama sekali, sudah meyerangnya. Tok-kak-tong-jin yang agak begitu berat, berayun-ayun laksana hujan mencurah. Aneh dan luar biasa sekali. Walaupun dimainkan sedemikian gencar tetapi senjata Tok-kak-tong-jin itu sama sekali tak menimbulkan suara deru angin.



Hong Ing menghindar ke samping. Pada saat tok-kak-tong jin menyambar lewat di sisinya, ia segera hentakkan ular thiat-bi-coa. Ular itu tahu akan kemauan Hong Ing. Dengan gerakan yang cepat sekali, ular itu sudah melilit senjata tok-kak-tong-jin. Melihat itu Hong Ingpun segera menariknya.



Setitikpun orang itu tak menduga bahwa Hong Ing yang bertubuh kecil ternyata memiliki tenaga yang sedemikian besar. Ia tertarik kemuka dan Hong Ingpun segera mengangkat tinju hendak menghantamnya.



"Jangan melukai saudaraku !" tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berseru keras.



Rupanya Hong Ing seperti disadarkan. Benar, mencelakai orang itupun tak ada manfaatnya, kebalikannya malah mendatangkan permusuhan. Maka ia tak melangsungkan tamparannya melainkan melekatkan telapak tangan di ubun-ubun kepala orang itu seraya berseru :



"Siapa berani bergerak, orang ini segera akan menghadap Raja Akhirat!”



Sekalian orang terkesiap. Bahkan orang kurus yang seorang tadi segera berseru: "Harap nona jangan mencelakainya! Hai, kalian dengar tidak, jangan ada yang bergerak. Siapa yang bergerak berarti musuh kami berdua saudara".



Diam-diam Hong Ing girang karena siasatnya berhasil. Sambil hentakkan ular thiat-bi-coa, ia berseru pula: "Lemparkan senjatamu !"



Karena sudah dikuasai Hong Ing, terpaksa orang itu menurut perintah. Senjata Tok-kak-tong-jin segera dilemparkan ke tanah. Tetapi sekonyong-konyong memancar sinar menyilaukan dari senjata Gwat-ya (gigi rembulan), melayang dan menghantam senjata Tok-kak tong-jin yang hampir menyentuh tanah. Senjata Tok-kak-tong-jin mencelat ke arah Hong Ing.



Gerakan itu memang luar biasa. Tepat pada saat Hong Ing mengucap kata-kata yang terakhir, senjata Gwat-ya sudah melayang tiba dan menyusul senjata Tok-kak-tong-jinpun melanda. Hong Ing tak sempat berpikir lagi. Tanpa memperhitungkan tentang orang kurus yang dikuasainya itu, cepat ia loncat ke belakang seraya ulurkan tangan menyambut senjata Tok-kak-tong-jin.



Selekas terhindar dari bahaya, orang kurus itupun segera meluncur ke samping. Sebenarnya yang menjaga guha itu adalah Hwat-tiong-hi dan si kurus itu, tetapi dalam sekali gebrak saja Hwat-tiong-hi telah dilemparkan Hong Ing sedang kedua orang kurus itupun rnasing-masing terpaksa harus loncat menyingkir. Dengan begitu guhapun tiada lagi yang menjaga. Kesempatan itu tak disia-siakan Hong Ing yang sekali enjot tubuh terus melesat ke pintu guha, kemudian dengan sekuat tenaga ia lemparkan senjata Tok-kak-tong Jin yang beratnya tak kurang dari 70-an kati ke dalam guha untuk menghantam orang yang hendak mengejarnya.



Penyerang yang dua kali menggunakan senjata Gwat-ya atau gigi rembnlan, tak lain adalah Gok Co thauto. Senjata paderi itu sebenarnya sebuah bok-hi dan sebatang palu kayu pemukul bok-hi. Tetapi disamping itu ia masih mempunyai sebuah senjata rahasia berbentuk bulat dan bergigi. Disebut gwat-ya dan berjumlah tigabelas biji. Senjata itu terbuat dari baja dan tajamnya bukan kepalang.



Ketika masih berada di daerah Biau, pernah dengan sebuah gwat-ya itu dia membunuh tiga ekor harimau besar dan dua ekor rusa. Karena kehebatannya itu maka orang Biau lalu memujanya sebagai Thian-sin atau malaekat.



Begitu melihat Hong Ing dapat meloloskan diri, dengan menggembor keras ia segera ayunkan tangannya melepaskan dua batang gwat-ya. Bagaikan bianglala kedua gwat-ya itu segera melayang, yang satu menyongsong senjata Tok-kak-tong-jin yang dilemparkan Hong Ing, sedang yang satu melayang di atas lalu terbang mengejar Hong Ing.



Saat itu Hong Ing sedang melayang di udara, sukar baginya untuk menghindar. Ia nekad mengempos semangatnya dan melesat keluar di samping air terjun. Tetapi senjata gwat-ya itu tetap mengejarnya, terpaksa ia mengendapkan tubuh dan byurrr ... akhirnya ia terjebur ke dalam telaga.



Selekas Hong Ing kecemplung dalam air, beberapa sosok tubuh berhamburan menerobos keluar dari dalam guha. Tetapi mereka tak melihat bayangan Hong Ing lagi, senjata gwat-yapun jatuh pada semak rumput diseberang telaga. Sudah tentu mereka heran. Memandang ke sekeliling, tetap mereka tak melihat suatu apa.



"Lekas berpencar mencari !" seru salah seorang. Berpuluh orang segera memencar diri tetapi tak berhasil.



Gok Co thauto seperti orang kebakaran jenggot tetapi tak dapat berbuat apa-apa.



Sekarang kita tinggalkan dulu Ui Hong Ing yang kecebur dalam telaga dan kembali untuk meninjau Tan Su Ciau. Setelah mendapat nasehat dari Ui Hong Ing, pemuda itupun segera mencari Cin Hong Ing untuk memberi penjelasan. Sambil berjalan ia masih menimang, andaikata salah faham itu dapat dijelaskan, lalu bagaimanakah ia nanti dengan Cin Hong Ing? Bukankah ia lebih cocok dengan Ui Hong Ing? Pikir-pikir akhirnya ia batalkan maksudnya menemui Cih Hong Ing, lebih baik ia mencari Ui Hong Ing saja.



Ia putar langkah menuju ke rumah penginapannya. Tetapi tiba di depan rumah penginapan itu tiba-tiba seseorang telah memanggil namanya. Dan ketika ia memandang ke arah suara itu, sesosok tubuh telah loncat keluar dari jendela.



"Oh, Cin Hong Ing" serunya terkejut. Cin Hong Ing tertawa dingin "Hm, kemanakah tadi engkau pergi ?”



"Karena pikiranku ruwet, aku keluar berjalan-jalan" jawab Su Ciau.



"Pikiran ruwet ? Mengapa ? Engkau mencintai adikku, bukan ? Aku takkan mengganggumu, jangan kuatir" seru Cin Hong Ing.



Tanpa banyak pikir lagi Su Ciau terus menegas : "Sungguh ?"



Sebenarnya karena melihat Su Ciau menaruh perhatian kepada Ui Hong Ing, Cin Hong Ingpun tawar terhadapnya. Tetapi karena sifatnya yang angkuh, ia marah mendengar kata-kata Su Ciau itu.



"Aku hendak mewakilinya bertanya kepadamu" kata Cin Hong Ing dengan tertawa dingin, "melihat yang lain engkau terus mencintainya. Dengan demikian apabila engkau melihat lain nona lagi, bukankah engkau tentu akan meninggalkannya?"



Su Ciau terkesiap, serunya : "Tak mungkin, aku tak akan berbuat begitu "



"Mengapa tidak?" seru Cin Hong Ing, "bukankah sekarang engkau sudah tak menghendaki aku lagi ?”



Su Ciau tak dapat menjawab dan memang ia tak ingin terlibat pembicaraan dengan Cin Hong Ing, ia tertawa hambar : "Hong Ing, cobalah engkau sendiri renungkan, sebenarnya aku hendak menjelaskan tentang perbuatan mamahku pada hari itu, mengapa dia sampai menyerang engkau. Sebenarnya hal itu terjadi karena salah faham..."



Cin Hong Ing cepat menukas : "Eh, kau berbaik lagi dengan aku ?"



Su Ciau menghela napas : "Kalau engkau tak mau mendengarkan, akupun tak perlu membicarakan soal itu lagi."



Cin Hong Ing kerutkan alis, serunya : ”Su Ciau, terus terang aku hendak bertanya kepadamu. Engkau mencintai yang mana, terserah kepadamu. Tetapi diantara kita kedua keluarga ini, masih mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan dan memang harus diselesaikan.



Su Ciau terkejut : "Perhitungan apa ?”



Cin Hong Ing tertawa mencemooh : "Tahukah engkau siapa ayahku ?”



Su Ciau diam dan sesaat kemudian Cin Hong Ing melanjutkan : ”Ular-emas Hoa Ceng"



"Oh," seru Su Ciau, "Jika demikian kita ini sahabat lama. Sering kudengar mamah mengatakan bahwa ayah dan paman Hoa itu sudah seperti saudara....”



"Seperti saudara ?" ejek Cin Hong Ing, "ketika aku dan adikku berumur tiga bulan, kami berdua telah dijual oleh ayahmu. Manusia semacam binatang itu, layakkah menjadi sahabat lama ?"



Su Ciau terbeliak : “Tak mungkin ! Masakan ayahku manusia semacam itu ?"



"Siapa sudi melayani engkau omong-omong tak keruan begitu?" seru Cin Hong Ing dengan nada serius, "Sekarang akan kuberimu sebuah tanda mata dan kalau pulang katakan kepada mamahmu, bahwa segera aku akan datang mencarinya untuk membuat perhitungan !"



Habis berkata nona itu maju merapat dan mengangkat tangannya. Segulung gelombang tenaga yang dahsyat segera melanda Su Ciau. Kemudaan disusul dengan membalikkan siku lengan, tahu-tahu Cin Hong Ing sudah mencekal sebatang badik yang berkilat-kilat, sring .. ia terus menabas telinga Su Ciau.



Sudah tentu Su Ciau kaget setengah mati. Cepat ia menampar tetapi karena takut melukainya maka ia hanya menggunakan tiga bagian tenaga. Sudah tentu ia tak kuat menahan tenaga-dalam Thian-kong-gi dari Cin Hong Ing. Seketika pemuda itu terhuyung-huyung selangkah. Ia rasakan telinganya silir. Ketika dirabanya, ah, ternyata separoh daun telinga kirinya telah terpapas hilang. Ketika tangannya berlumuran darah, Su Ciau terlongong-longong.



Cin Hong Ing tertawa dingin, "Lekas pulang dan beritahukan mamahmu, jangan engkau unjuk diri di sini lagi !"



Walaupun marah tetapi Su Ciau tetap diam saja karena ia masih memikirkan betapa beda perangai kedua saudara kembar itu.



Cin Hong Ing tak mempedulikannya. Ia terus melangkah pergi. Tetapi sebelum masuk ke tempat penginapannya tiba-tiba ia mendengar orang berteriak hiruk pikuk di jalan. "Toho Lhama dari kuil Ko-liong-si sudah datang, Poan-hong-poh menyambut sendiri ke pantai, hayo kita lihat!"



Berpuluh-puluh orang segera berhamburan melintas jalan. Su Ciau di luar kesadarannyapun ikut melangkah maju. Walaupun tahu kalau telinganya berlumuran darah, tetapi orang-orang itu tak mempedulikannya. Mereka lebih tertarik hendak melihat pertemuan Toho dengan Poan-hong-poh.



Su Ciau terbawa sampai ke pantai laut. Ketika angin berhembus, menampar telinganya, ia rasakan sakit sekali. Ia baru menyadari kalau tiba di tepi laut, hendak berhenti orang-orang itu pun hiruk pikuk lagi. Ketika Su Ciau berpaling dilihatnya nenek Poan-hong-poh berjalan dengan tongkat besinya. Di sampingnya mengiring dua belas dayang-dayang cantik yang masing-masing mencekal kipas bulu.



Setiap berjalan selangkah, selalu Poan-hong-poh menghentakkan tongkat seperti tingkah seorang nenek yang tua renta. Tiada orang yang menyangka bahwa nenek setua itu memiliki kepandaian yang sakti.



Su Ciau mengusap darah di telinganya, melumuri obat. Tampak Poan-hong-poh menghampiri sebuah perahu besar yang berlabuh di tepi pantai. Di buritan perahu tegak seorang lelaki bertubuh pendek, rambut kusut dan berwajah aneh. Manusia tidak, kerapun bukan. Orang itu tak lain adalah Toho Lhama.



Di belakang Lhama itu tegak seorang anak muda. Su Ciau seperti pernah melihat pemuda itu.



Pada saat perahu masih kurang tiga empat tombak dari pantai, tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Toho Lhamapun segera berkemas-kemas.



Di daratan telah menunggu berates-ratus orang persilatan tetapi mereka tak dapat melihat dengan cara bagaimana tiba-tiba Toho Lhama telah melambung ke udara lalu meluncur ke tepi pantai. Selekas tegak di daratan, walaupun bertubuh pendek tetapi lhama itu memiliki perbawa juga.



Perhatian orang tertarik akan burung kakak tua putih yang tak henti-hentinya berbunyi keras. Adalah saat itu, Toho Lhama meluncur ke daratan. Karena gerakannya memang luar biasa cepatnya, maka orang tak tahu darimana dan cara bagaimana ia melayang dari perahunya itu. Kepandaian yang diunjuk Toho telah menimbulkan kesan yang mengejutkan pada sekalian orang.



Melihat Toho belum-belum sudah unjuk kepandaian dan menerima tepuk pujian dari sekalian orang, Poan-hong-pohpun marah. Serentak ia maju selangkah dan melengking : "Toho Lhama benar-benar memegang janji datang ke pulau ini !”



Sambil berkata nenek itu pindahkan tongkat ke tangan kiri. Gerakan itu telah menimbulkah kumandang suara yang panjang bagai deru gelombang laut. Kemudian ia ulurkan tangan kanan untuk berjabatan tangan dengan Toho.



Toho Lhama tertawa gelak-gelak.



"Pulau Kyoto memang indah sekali alam pemandangannya" serunya, "jika engkau tak mau meminjamkan selama satu bulan saja, dikuatirkan engkau tak dapat menikmati lagi selama-lamanya.”



Tiba-tiba lengannya yang panjang diangkat dan terus dijulurkan ke muka. Kuku-kuku jarinya yang panjang dan melengkung, tiba-tiba menjulur lurus terus menusuk telapak tangan nenek Poan-hong-poh.



Sebenarnya dalam berjabatan tangan itu Poan hong-poh hendak menguji sampai dimana tataran ilmu tenaga-dalam lawan, agar besok pagi dalam pertandingan ia dapat memperhitungkan langkah. Bahwa Toho tiba-tiba hendak menusukkan kuku-kuku jarinya, Poan-hong-poh merasa dipandang rendah dan marah sekali. Tetapi ia tak mau memperlihatkan suatu perobahan air mukanya. Tenang-tenang saja ia kerahkan tenaga-dalam ke lengan, sekali mengepalkan tangan segera terdengar deru gelombang. Dan dengan sikap pura-pura tak tahu ia segera menyambar kelima kuku jari orang.



Memperhatikan bagaimana gerak tangan nenek itu telah mengeluarkan deru seperti gelombang laut sehingga pakaian jubahnya ikut terdampar, diam-diam Toho terkejut. la segera menyadari bahwa nenek itu memang memiliki tenaga-dalam yang tinggi sekali, jauh bedanya dengan beberapa waktu yang lalu. Tak beranilah Toho memandang rendah lagi. Ia jentikkan jari tengah kukunya melingkar dan menjulur menutuk jalan darah pada telapak tangan nenek itu.



Diam-diam Poan-hong-poh mengutuk keganasan dalam jurus yang dilakukan Toho. Cepat ia kepalkan tangan, jari tengahnya menjentik kuku jari Toho. Toho rasakan kuku jari tengahnya kesemutan. Ia tertawa gelak-gelak lalu menarik pulang serangannya.



Dalam sekejab mata kedua tokoh itu telah terlibat dalam sejurus serang menyerang. Bagi yang berkepandaian rendah tentu tak dapat melihat jelas. Jentikan jari Poan-hong-poh itu menggunakan tujuh bagian tenaga-dalamnya. Karena melihat Toho tak menderita apa-apa, nenek Poan-hong-pohpun tak ingin melanjutkan serangan lagi.


Cari Blog Ini