Ceritasilat Novel Online

Child Called It 2


Dave Pelzer A Child Called It Bagian 2



Masuk kembali ke kelas satu sungguh menyenangkan. Aku menguasai semua pelajarannya, sehingga dengan cepat aku dikenal sebagai murid yang pandai. Karena kelasku diturunkan, Stan dan aku setingkat. Saat istirahat, aku menghampiri Stan di kelasnya, lalu mengajaknya bermain.

   Di sekolah, kami berdua adalah sahabat; tetapi di rumah, kami berdua tahu bahwa aku harus dianggap tidak ada.

   Suatu hari aku bergegas masuk rumah untuk memamerkan hasil ulanganku. Ibu malah menyeretku masuk kamarnya, sambil membentak-bentak tentang sebuah surat yang ia terima dari Kutub Utara. Katanya, surat itu menyebutkan bahwa aku adalah "anak nakal" dan Santa tidak akan memberiku hadiah pada hari Natal.

   Terus-menerus Ibu mengomel, katanya aku lagi-lagi membuat malu keluarga. Aku berdiri dalam kebingungan, sementara Ibu tak henti-hentinya menuding-nudingku.

   Rasanya aku hidup dalam mimpi buruk yang diciptakan Ibu, dan aku berdoa agar Ibu terbangun. Sehari sebelum Natal tahun itu hanya ada dua bungkus hadiah untukku di bawah pohon Natal, dari saudara jauh. Pagi hari Natal Stan memberanikan diri bertanya pada Ibu mengapa Santa hanya membawa dua bungkus hadiah mainan menggambar untukku. Dengan gaya seorang guru, Ibu menjelaskan kepada Stan bahwa "Santa hanya membawa hadiah bagi anak-anak lelaki dan perempuan yang baik".

   Aku mencuri pandang ke arah Stan. Matanya menunjukkan rasa sedih, dan aku yakin bahwa ia tahu akal-akalan Ibu yang ganjil. Karena masih harus menjalani hukuman, pada hari Natal aku tetap diharuskan mengerjakan bermacam-macam pekerjaan rumah dengan pakaian yang biasa kupakai kerja. Sewaktu membersihkan kamar mandi, aku mendengar Ibu dan Ayah bertengkar. Ibu marah kepada Ayah karena Ayah "diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu"

   Membelikan mainan untukku. Ibu berkata kepada Ayah bahwa dialah yang berwenang mendisiplinkan "anak itu", dan bahwa Ayah telah menggerogoti kekuasaan Ibu dengan membelikan hadiah untukku. Semakin panjang Ayah menjelaskan maksudnya, semakin marah Ibu. Aku yakin Ayah kalah, maka aku pun semakin sendirian.

   Beberapa bulan kemudian Ibu ditunjuk menjadi pembimbing Pramuka Siaga. Setiap kali anak-anak Pramuka Siaga datang ke rumah kami, Ibu memperlakukan mereka seperti raja. Beberapa dari anak-anak itu berkata padaku betapa inginnya mereka punya Ibu seperti Ibuku. Aku tak pernah menanggapinya. Aku hanya bertanya-tanya dalam hati apa kira-kira pendapat mereka bila mengetahui yang sebenarnya tentang Ibu.

   Hanya beberapa bulan saja Ibu menjabat sebagai pembimbing. Betapa lega aku ketika Ibu menyerahkan jabatan itu, sebab itu berarti aku bisa datang ke rumah anak-anak lain dalam rapat setiap hari Rabu.

   Pada suatu hari Rabu sepulang sekolah, aku mengganti pakaianku dengan seragam Pramuka. Pada saat itu hanya Anak Nakal " 39 Ibu dan aku yang ada di rumah, dan dari raut wajahnya aku tahu Ibu sedang "kumat". Setelah membenturkan wajahku ke cermin di kamar, Ibu mencengkeram lenganku dan menyeretku ke mobil. Dalam perjalanan ke rumah ibu pembimbing pramuka, Ibu memberitahuku apa yang akan ia lakukan terhadapku sesampai kami di rumah. Saking takutnya, aku menjauhkan diriku dari Ibu ke pojok kursi depan mobil, tapi sia-sia. Ibu menggapaikan tangannya lalu menyentakkan daguku, mengangkat kepalaku sampai wajahku menghadap wajahnya. Matanya merah dan suaranya mirip suara orang kerasukan. Ketika kami sampai di rumah ibu pembimbing pramuka, aku berlari ke pintu rumahnya sambil menangis. Sambil tersedu aku berkata kepada ibu itu bahwa aku telah berlaku nakal sehingga tidak diizinkan mengikuti pertemuan Pramuka har i itu. Ibu pembimbing itu tersenyum ramah, sambil berkata bahwa ia berharap aku bisa datang ke pertemuan Rabu berikutnya.

   Dan itulah terakhir kali aku bertemu dengannya.

   Begitu sampai di rumah Ibu langsung menyuruhku membuka baju dan berdiri di dekat kompor di dapur. Aku menggeleng karena rasa takut bercampur malu. Kemudian Ibu membuka "kejahatan" yang telah kulakukan. Ibu berkata bahwa sering kali ia merasa terdorong pergi ke sekolah untuk menyaksikan aku dan saudara-saudaraku bermain pada jam istirahat makan siang. Ibu mengaku melihat aku pada hari itu bermain di rumput, dan itu dilarang keras oleh peraturan yang ia buat. Cepat-cepat aku menjawab bahwa aku tidak pemah bermain di rumput.

   Bagaimanapun aku tahu bahwa Ibu keliru. Sebagai imbalan atas pelanggaran yang kulakukan terhadap peraturannya dan mengatakan yang sesungguhnya adalah sebuah pukulan keras di wajahku.

   Kemudian Ibu menyalakan api kompor, sambil berkata bahwa ia pernah membaca sebuah artikel tentang seorang ibu yang menaruh anak lelakinya di atas kompor yang menyala. Aku langsung merasa ngeri. Otakku tak bekerja, aku merasa limbung. Ingin rasanya aku menghilang.

   Kupejamkan mataku, sambil berharap Ibu pergi. Otakku sama sekali mampet ketika aku merasakan tangan Ibu memiting lenganku, sebuah cengkeraman yang amat kuat.

   "Kau membuat hidupku seperti di neraka!" katanya mencemooh. "Kini saatnya kutunjukkan padamu apa itu neraka!"

   Dengan mencengkeram kuat lenganku, Ibu meletakkannya di atas api yang berwarna biru-jingga. Akibat panasnya api, aku merasa kulitku merekah. Tercium olehku bulu-bulu lenganku yang terbakar. Sehebat apa pun perlawanan yang kuberikan, aku tak mampu melepaskan lenganku dari cengkeraman Ibu. Akhirnya aku jatuh ke lantai, di atas tangan dan lututku, sambil mencoba meniupkan udara dingin ke lenganku yang terbakar.

   "Sayang sekali ayahmu yang pemabuk itu tidak di rumah sehingga tidak bisa menyelamatkanmu", desisnya. Kemudian Ibu menyuruhku naik ke atas kompor dan berbaring di atas api sehingga ia bisa menyaksikan tubuhku terbakar. Aku menolak, sambil menangis dan mengiba-iba. Aku begitu ketakutan sampai-sampai kuentak-entakkan kakiku sebagai tanda protes. Tetapi Ibu tetap memaksaku untuk naik ke atas kompor. Kutatap api kompor, sambil berdoa agar api itu mati karena kehabisan gas. Tiba-tiba aku sadar bahwa semakin lama aku bisa mengelakkan paksaan untuk berbaring di atas api kompor, semakin besar peluangku untuk tetap hidup. Aku tahu sebentar lagi kakakku, Ron, pulang dari pertemuan Pramuka, dan aku tahu Ibu tidak akan pemah berlaku ganjil seperti ini kalau ada orang lain di rumah. Aku harus memperpanjang waktu agar bisa bertahan hidup. Kulirik jam pada dinding dapur di belakangku. Jarum panjangnya terasa bergerak lamban sekali. Agar perhatian Ibu terpecah, aku mulai bertanya secara lembut. Kelakuanku itu membuat Ibu bertambah murka, dan ia mulai menghujani pukulan ke kepala serta dadaku. Semakin membabi-buta Ibu memukuliku, semakin aku sadar bahwa aku menang! Apa pun boleh, asal jangan dibakar di atas kompor. Akhimya kudengar pintu depan dibuka orang. Ron pulang. Betapa lega aku. Darah yang menjalari urat-urat wajah Ibu menyurut. Ia tahu ia kalah. Untuk sejenak, Ibu berdiri kaku. Kumanfaatkan saat yang sempit itu untuk menyambar bajuku lalu berlari cepat ke basement di situ aku cepat-cepat mengenakan kembali bajuku. Aku berdiri bersandar ke dinding. Aku terisak, namun segera kusadari bahwa aku telah mengalahkan Ibu. Aku telah berhasil mengulur waktu yang sangat berharga. Aku telah menggunakan otakku untuk bertahan hidup. Untuk pertama kalinya aku menang! Saat berdiri sendirian di basement yang gelap dan lembab itu, untuk pertama kalinya kusadari bahwa aku mampu bertahan hidup. Sejak saat itu kuputuskan untuk menggunakan taktik apa pun yang sempat terlintas dalam pikiran untuk mengalahkan Ibu atau menunda obsesinya yang liar. Aku sadar bila aku ingin tetap hidup, aku harus berpikir ke de-pan. Tak mungkin lagi aku menangis seperti bayi yang tak berdaya. Agar tetap hidup, aku tak pernah boleh menyerah. Hari itu aku bersumpah pada diriku sendir i bahwa aku tak akan pemah lagi satu kali pun memberi perempuan jahat itu kepuasan menikmati suaraku yang memohonnya untuk berhenti memukuliku. Dalam suasana dingin di basement itu, seluruh tubuhku menggigil karena rasa marah sekaligus karena rasa takut yang amat sangat. Kujilati luka bakarku agar rasa sakit di lenganku berkurang. Ingin rasanya aku berteriak, tapi aku berkeras hati untuk tidak memberi Ibu kenikmatan mendengarkan tangisku. Aku berdiri tegar. Bisa kudengar Ibu berkata kepada Ron bahwa betapa bangganya ia terhadap Ron, dan betapa ia tidak perlu khawatir sama sekali bahwa Ron akan menjadi seperti David, si anak nakal. PERJUANGAN UNTUK BISA MAKAN Pada musim panas, setelah peristiwa "dibakar di kompor", sekolah menjadi satu-satunya harapanku untuk melarikan diri. Kecuali pada suatu saat ketika kami pergi memancing, kejadian antara aku dan Ibu tidak menentu, atau smash and dash-Ibu menyerangku, lalu aku terbirit-birit ke tempat terkucilku di basement. Bulan September kegiatan sekolah mulai lagi dan itu menggembirakan. Aku mendapat baju baru, juga wadah bekal makan siang baru yang masih mengkilat. Tetapi karena Ibu menyuruhku mengenakan pakaian yang sama setiap hari sekolah, pada awal Oktober pakaianku sudah jadi kumal, sobek di beberapa bagian, dan berbau tak sedap. Ibu pun seakan tak peduli dengan memar-memar dan luka-luka pada wajah serta lenganku. Kalau ada orang bertanya tentang memar dan luka itu, aku harus memberi orang itu jawaban-jawaban yang sudah ditentukan oleh Ibu. Sejak saat itu Ibu sudah "lupa" memberiku makan malam. Sarapan pun nyaris aku tak dapat. Kalau sedang bernasib baik, aku diizinkan menghabiskan sereal yang tersisa dari sarapan kedua saudara laki-lakiku-itu pun dengan syarat semua tugas rumah tangga sudah kuselesaikan sebelum berangkat ke sekolah. Pada malam hari aku begitu lapar sampai-sampai aku bisa mendengar perutku berkeriuk-keriuk. Aku tidak bisa tidur dengan perut yang amat lapar di malam hari. Aku bergolek saja, mataku nyalang, satu-satunya yang kupikirkan cuma makanan. "Mungkin besok aku dapat jatah makan malam", aku berkata pada diriku sendiri. Berjam-jam kemudian baru aku merasa setengah tertidur, khayalanku melulu pada makanan. Paling sering aku memimpikan hamburger yang besar dengan aneka isinya. Anganku sering kali begini. dengan bangga kuraih hamburger yang besar itu, lalu melahapnya. Dalam anganku, hamburger itu sedemikian nyata-dagingnya yang tebal berminyak, juga irisan kejunya yang tebal, semuanya begitu padat. Saus bumbunya melimpah, meleleh keluar karena tergencet daun selada dan tomat. Hamburger itu serasa sudah dekat sekali, maka kubuka mulutku, siap melahapnya. Tak terjadi apa-apa. Berkali-kali kucoba lagi dan lagi bahkan dengan segenap perasaan, tetap tak kurasakan secuil pun hamburger khayalanku yang lezat itu. Aku selalu menyerah dan terbangun. Perutku terasa semakin kosong dan bolong. Bahkan dalam mimpi pun, tak bisa kupuaskan rasa laparku. Sejak bermimpi makan enak, aku mulai mencuri makanan di sekolah. Mencuri makanan berarti aku harus secepat mungkin menelan makanan yang kucuri agar tidak ketahuan-campuran perasaan itulah yang membuat perut kosongku seperti dipilin-pilin. Biasanya, aku mencuri makanan sebelum pelajaran dimulai, saat teman-teman sekelasku sedang ber-main di halaman sekolah. Biasanya aku berjalan mepet tembok luar ruang absensi murid, lalu sengaja kujatuhkan wadah bekal makanku di sebelah wadah bekal makan temanku, lalu aku berlutut sedemikian rupa sehingga tak seorang pun Perjuangan untuk bisa tahu bahwa aku sedang menguras isi dari wadah bekal makan siang itu. Pada awalnya beberapa kali usahaku mencuri berhasil mulus. Namun beberapa hari kemudian beberapa murid sadar bahwa isi wadah bekal makanan mereka hilang. Lalu dalam waktu singkat semua teman sekelasku membenci aku. Guruku melaporkan ulahku kepada kepala sekolah, yang kemudian meneruskan laporan itu kepada Ibu. Begitu seterusnya. Kepala sekolah melaporkan ulahku kepada Ibu, lalu Ibu menambah jumlah pukulannya untukku sekaligus mengurangi jatah makanku di rumah. Setiap akhir minggu, sebagai hukuman atas perbuatanku mencuri makanan, Ibu tidak memberiku makan. Pada hari Minggu malam mulutku selalu berair setiap kali merencanakan usaha pencurian yang tidak mungkin ketahuan. Salah satu rencana itu adalah mencuri dari wadah bekal makan murid-murid kelas lain, karena mereka tidak begitu kenal aku. Setiap Senin pagi aku menghambur keluar dari mobil Ibu, langsung menuju salah satu ruang kelas satu yang bukan ruang kelasku untuk mencuri makanan dari wadah makanan murid-murid kelas itu. Sama seperti sebelumnya, usaha-usaha awal berhasil mulus. Dan sama seperti sebelumnya, dalam waktu singkat pun kepala sekolah tahu siapa pelaku pencurian-pencurian itu. Di rumah, hukuman ganda-kelaparan karena tidak diberi makan dan pukulan bertubi-tubi karena mencuri makanan terus berlanjut. Sejak saat itu, aku bukan lagi anggota keluarga, aku tidak diizinkan menggunakan semua fasilitas yang digunakan keluarga. Aku tinggal di rumah itu, tetapi aku dianggap bukan apa-apa. Ibu bahkan tidak lagi menggunakan namaku; ia menggunakan sebutan "anak itu". Aku tidak diizinkan makan bersama keluarga, tidak diizinkan bermain dengan saudara-saudaraku, tidak diizinkan nonton televisi. Aku dilarang masuk rumah kecuali disuruh. Aku tidak boleh memandang atau berbicara dengan siapa pun. Sepulang dari sekolah aku harus selalu mengerjakan segala ma-cam pekerjaan rumah tangga atas perintah Ibu. Ketika segala macam pekerjaan rumah tangga itu selesai, aku langsung turun ke basement-di situ aku berdiri, siap sedia setiap saat dipanggil untuk membereskan meja makan setelah keluargaku selesai makan malam serta mencuci semua piring dan gelas kotor. Aku sudah diperingatkan dengan tegas bahwa kalau aku ketahuan duduk atau berbaring di basement, maka aku akan dihukum berat. Aku menjadi budak Ibu. Tinggal Ayah satu-satunya harapanku, dan ia berusaha sedapat mungkin menyelundupkan sisa-sisa makanan untukku. Ayah mencoba membuat Ibu mabuk, dengan harapan minuman beralkohol itu membuat suasana hati Ibu senang. Ayah meminta Ibu untuk tetap memberiku makan. Ayah bahkan berusaha membuat kesepakatan dengan Ibu, bahwa ia akan memberi Ibu apa pun asalkan Ibu mau bersepakat. Segala bentuk usaha Ayah sia-sia. Ibu tetap bergeming. Kalaupun ada perubahan, itulah keadaan mabuk, yang membuat Ibu semakin ganas. Ibu jadi mirip monster. Aku tahu segala usaha Ayah untuk menolongku itu mengakibatkan ketegangan antara dirinya dan Ibu. Cekcok tengah malam mulai terjadi di antara mereka. Dari tempat tidur, aku bisa mendengar mereka bicara semakin cepat dengan nada semakin tinggi. Pasti mereka berdua sama-sama mabuk, dan aku bisa mendengar dari mulut Ibu teriakan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan. Apa pun masalah yang memicu pertengkaran di antara Ayah dan Ibu, pada akhimya akulah yang mereka pertengkarkan. Aku tahu Ayah mencoba menolong, namun tetap saja aku ketakutan. Aku tahu Ayah pasti kalah, dan itu selalu membuatku lebih menderita keesokan harinya. Saat pertama kali orangtuaku cekcok, Ibu akan masuk mobil dan mengemudinya dengan gila-gilaan. Lalu, tidak sampai satu jam, ia sudah kembali ke rumah. Esok harinya mereka berdua bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku selalu merasa amat berterima kasih setiap kali Ayah bisa menemukan alasan untuk pergi ke basement dan menyelundupkan sepotong roti untukku. Ia selalu berjanji padaku untuk selalu berusaha. Sikap Ayah berubah ketika cekcok antara dirinya dan Ibu semakin sering. Setiap kali habis cekcok di tengah malam, Ayah mengemas pakaiannya, lalu pergi ke tempat kerja, dan tidak pulang selama beberapa hari. Setelah Ayah pergi, Ibu dengan kasar menarikku dari tempat tidur, menyeretku ke dapur. Sementara aku berdiri dengan ketakutan dan masih mengenakan piyama, Ibu memukuliku bertubi-tubi. Salah satu caraku untuk bertahan adalah menjatuhkan diri ke lantai seolah-olah aku tidak lagi kuat berdiri. Cara itu berhasil, tapi tidak lama. Ibu selalu menarik kedua kupingku agar aku berdiri, lalu berteriak di wajahku selama beberapa menit. Selalu begitu, dan setiap kali napasnya berbau bourbon. Pada malam-malam terse but, masalahnya selalu sama. Aku merupakan alasan yang menyebabkan Ibu dan Ayah bertengkar. Kadang aku merasa begitu letih, sehingga kaki-kakiku terasa gemetaran. Pelarianku hanya menatap lantai dan berharap Ibu akan segera mengakhiri penyiksaannya. Ketika aku naik ke kelas dua, Ibu mengandung anaknya yang keempat. Guruku, Miss Moss, semakin hari semakin menaruh perhatian khusus atas diriku. Awalnya Miss Moss bertanya mengapa aku kurang memperhatikan pelajaran di kelas. Aku berbohong. Aku mengatakan kalau aku nonton televisi sampai larut malam. Kebohonganku kurang meyakinkan. Guruku terus bertanya mengapa aku sering mengantuk di kelas, bahkan menanyakan juga soal kondisi bajuku dan luka-luka serta memar-memar di sekujur tubuhku. Ibu sudah mengajari aku bagaimana harus menjawab pertanyaan seperti itu, maka aku tinggal mengatakan apa yang diajarkan Ibu itu kepada guruku. Beberapa bulan kemudian perhatian Miss Moss terhadap diriku justru semakin besar. Akhirnya pada suatu hari ia memutuskan untuk melaporkan keprihatinannya atas diriku kepada kepala sekolah. Pak kepala sekolah tahu bahwa akulah si pencuri makanan, maka ia memanggil Ibu. Sesampainya aku di rumah hari itu, situasinya bagiku bagai ada orang yang baru saja menjatuhkan bom atom di situ. Ibu jadi lebih kejam lagi. Dalam kemarahannya yang meledak, Ibu berkata bahwa ada seorang guru "Hippie"

   Yang menuduhnya menyiksa anak sendiri. Ibu berkata bahwa esok harinya ia bermaksud bertemu Pak kepala sekolah untuk menjelaskan tuduhan-tuduhan yang keliru atas dirinya itu. Pada hari itu, ketika Ibu selesai dengan luapan kemarahannya, hidungku dua kali berdarah dan satu gigiku tanggal.

   Siang keesokan harinya, sepulang sekolah, aku lihat Ibu tersenyum-senyum, seolah-olah ia menang undian. Ibu bercerita padaku bagaimana ia berdandan rapi untuk bertemu Pak kepala sekolah, dan ia menggendong bayi Russell pada saat pertemuan itu. Ibu menceritakan penjelasannya kepada Pak kepala sekolah bahwa David adalah anak yang daya khayalnya sangat besar, bagaimana David sering kali melukai dirinya sendiri untuk menarik perhatian orang sejak adiknya yang bemama Russell lahir.

   Bisa kubayangkan bagaimana Ibu memperlihatkan sikap lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap Russell untuk merebut hati Pak kepala sekolah. Di akhir pertemuan tersebut, Ibu berkata kepada Pak kepala sekolah bahwa ia sangat senang bisa bekerja sama dengan pihak sekolah.

   Ibu juga menambahkan bahwa pihak sekolah bisa meneleponnya kapan saja setiap kali David berulah. Ibu berkata bahwa staf sekolah pun sudah diberitahu untuk tidak menggubris ceritaku yang ngawur tentang anak yang sering dipukuli oleh ibunya dan tidak diberi makan. Berdiri di pojok dapur pada hari itu, mendengarkan bualan Ibu kepada Pak kepala sekolah membuat diriku merasa hancur dan merana.

   Dari sikapnya saat menceritakan pertemuannya dengan Pak kepala sekolah, aku bisa merasakan betapa rasa percaya diri Ibu semakin besar, dan itu kurasakan sebagai ancaman bagi hidupku. Ingin rasanya aku bisa menghilang, dan pergi untuk selamanya. Ingin rasanya aku tidak lagi pernah berhadapan dengan manusia.

   Pada musim panas tahun itu, keluarga kami berlibur ke Russian River. Sekalipun hubunganku dengan Ibu baik-baik saja pada saat liburan itu, perasaan takjub sekaligus hormat kepada Ibu yang dulu selalu muncul dalam diriku setiap kali berlibur, hilang sudah. Bermobil keliling tempat liburan dengan riang gembira bersama keluarga, menikmati sosis frankfurter panggang, dan mendongeng, semua itu tinggal kenangan. Kami lebih sering tinggal dalam cabin. Bahkan kami jadi jarang sekali menikmati Johnson's Beach, padahal dulu itu kami lakukan setiap hari pada saat berlibur.

   Ayah mencoba membuat suasana liburan itu lebih menyenangkan dengan mengajak kami bertiga ke tempat bermain prosotan yang baru di situ. Russell, yang ketika itu baru belajar berjalan, tinggal di cabin bersama Ibu.

   Pada suatu hari, ketika Ron, Stan, dan aku sedang bermain di cabin tetangga, Ibu datang ke halaman depan cabin tetangga itu, lalu berteriak memanggil kami untuk segera kembali ke cabin kami. Begitu s ampai di cabin kami, aku dimarahi Ibu karena, katanya, suaraku berisik sekali ketika bermain. Sebagai hukuman, aku tidak diizinkan ikut bersama Ayah dan kedua saudara laki-lakiku bermain di tempat prosotan. Aku duduk di sebuah kursi di pojok dalam cabin. Aku gemetar karena takut, dan dalam hati aku berharap terjadi sesuatu yang membuat Ayah dan kedua saudara laki-lakiku tidak jadi pergi ke mana-mana.

   Aku tahu Ibu diam-diam punya suatu rencana. Begitu Ayah dan kedua saudaraku berangkat bermain, Ibu mengeluarkan sebuah popok yang sudah kotor oleh kotoran serta air kencing Russell. Ibu mengusapkan popok kotor itu ke wajahku. Aku ber-usaha tetap duduk diam, sebab aku tahu kalau aku bergerak, aku akan mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi. Wajahku tetap kutundukkan. Aku tidak bisa melihat Ibu yang berdiri di depanku, tetapi aku bisa mendengar desah napasnya yang berat.

   Setelah memperlakukan aku seperti itu-yang bagiku rasanya lama sekali-Ibu berlutut di sebelah kursi tempatku duduk, lalu dengan suara pelan ia berkata.

   "Makan ini". Aku terkejut. Kutegakkan kepalaku, tapi tak kupandang mata Ibuku. "Tidak mau!" kataku dalam hati. Seperti semua kejadian sebelumnya, menolak perintah Ibu berarti kesalahan besar. Ibu menempelengi aku. Dengan erat kupegang kursi tempatku duduk, berusaha untuk tidak jatuh, sebab bila aku jatuh aku takut Ibu akan menginjakku.

   "Kubilang makan ini!"' bentaknya dengan suara tertahan. Taktik kuubah. aku mulai menangis. "Bikin dia mengendur", pikirku. Aku mulai menghitung dalam hati, mencoba berkonsentrasi. Waktu adalah satu-satunya kawanku. Tangisanku ditanggapi Ibu dengan pukulan-pukulannya ke wajahku, dan ia baru berhenti memukulku saat ia mendengar Russell menangis. Aku merasa senang meskipun wajahku berlepotan kotoran. Kupikir, aku bisa menang. Kubersihkan kotoran di wajahku dengan tangan, lalu mengibaskannya sehingga berceceran di lantai kayu. Kudengar Ibu bernyanyi lembut untuk menenangkan Russell, dan aku membayangkan adikku itu ditimang-timang dalam pelukan Ibu. Aku berdoa supaya adikku itu tidak tertidur lagi. Sebentar kemudian nasib baikku lenyap. Masih dengan wajah tersenyum, Ibu kembali menghampiri lawannya yang sudah kalah. Ia mencekal kerah belakang bajuku, lalu menyeretku ke dapur. Di atas meja dapur kulihat satu lagi popok yang penuh kotoran. Baunya membuat perutku mual. "Nah, sekarang kau harus memakannya!" kata Ibu. Pada saat itu sorot mata Ibu sama dengan sorot matanya dulu ketika ia mau membakarku di atas kompor gas di rumah. Tanpa menggerakkan kepala, mataku mencari-cari jam dinding sebab setahuku ada jam di dinding dapur itu. Tak berapa lama, aku tahu letak jam dinding itu. Tanpa jam itu, aku merasa tak berdaya. Aku tahu bahwa aku harus memusatkan perhatianku pada sesuatu agar bagaimanapun juga aku bisa menguasai situasi. Sebelum mataku menemukan jam dinding itu, tangan Ibu mencengkeram tengkukku. Sekali lagi ia berkata, "Makan ini!" Kutahan napasku. Bau sekali kotoran itu. Aku mencoba memusatkan perhatianku ke bagian atas popok yang ada di hadapanku. Rasanya lama sekali waktu berlalu. Ibu pasti bisa menebak rencanaku. Ibu menekan tengkukku sehingga wajahku jatuh di atas popok kotor itu. Ibu menggesek-gesekkan kepalaku ke kiri ke kanan di atas popok kotor itu. Aku sudah bersiap diri. Ketika kepalaku ditekan ke bawah, kututup mataku erat-erat, dan kututup mulutku erat-erat. Hidungku yang terlebih dulu menyentuh popok kotor itu. Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku. Kucoba menahan darah yang mengalir dari hidungku dengan menarik napas. Ketika itu kulakukan, ada kotoran yang ikut masuk ke hidung bersama darah dan napas yang kutarik. Kucoba menahan dorongan Ibu dengan menekankan tanganku ke pinggiran meja dan meronta ke kiri ke kanan. Tapi Ibu terlalu kuat bagiku. Tiba-tiba saja Ibu melepaskan aku.

   "Mereka pulang! Mereka pulang!" katanya terkesiap. Ibu menyambar kain lap, dan melemparkannya kepadaku.

   "Bersihkan wajahmu", Ibu memerintah dengan suara pelan, sambil mengelap kotoran berwama cokelat dari meja. Kubersihkan wajahku sebersih mungkin tapi tidak bisa segera mengeluarkan kotoran yang masuk ke hidungku. Tak lama kemudian Ibu menutup hidungku yang berdarah dengan serbet dan menyuruhku duduk di pojok ruangan. Aku duduk terus di situ sepanjang sore dan malam itu. Masih tercium olehku bau kotoran yang masuk ke hidungku. Keluarga ini tak pernah lagi ke Russian River. Pada bulan September aku masuk sekolah lagi dengan pakaian yang kukenakan sepanjang tahun lalu dan wadah bekal makan siang berwama hijau yang sudah rombeng. Aku adalah anak yang sungguh memalukan. Setiap hari Ibu membekali aku menu makan siang yang itu-itu juga. dua tangkup roti isi selai kacang dan beberapa potong wortel. Karena bukan lagi anggota keluarga ini, aku tidak diizinkan ikut station wagon keluarga ke sekolah. Ibu menyuruhku berlari ke sekolah. Ia tahu bahwa aku jadi tidak punya waktu untuk mencuri makanan milik teman-teman sekelasku. Di sekolah tak seorang murid pun mau berteman atau berurusan denganku. Di saat istirahat makan siang, ketika aku memakan roti isi selai kacang bekalku, kudengar teman-temanku menyanyikan lagu-lagu ejekan. Yang paling sering aku dengar begini. "David the Food Thier David si Pencuri Makanan, dan "Pelzer-Smellzer"-Pelzer si Bau. Tak seorang murid pun mau ngobrol atau bermain bersamaku. Aku merasa sendirian. Di rumah, sambil berdiri berjam-jam di basement, waktuku habis untuk mencari-cari cara mendapat makanan. Kadang kala Ayah mencoba menyelundupkan sisa-sisa makanan untukku, tapi itu jarang berhasil. Aku jadi yakin bahwa kalau mau bisa hidup terus aku harus mengandalkan diriku sendiri. Habis-habisan sudah aku mencoba segala cara untuk mendapat makanan di sekolah. Semua murid menyembunyikan wadah bekal makan siang mereka, atau menguncinya di dalam lemari kelas. Semua guru dan Pak kepala sekolah tahu siapa aku, dan mereka mengawasi aku dengan ketat. Boleh dibilang tak ada lagi kesempatan bagiku untuk mencuri makanan di sekolah. Akhimya aku merancang suatu cara yang mungkin akan berhasil. Semua murid tidak diizinkan meninggalkan tempat bermain pada saat istirahat makan siang. Itu berarti tidak seorang murid pun akan mengira bahwa aku akan pergi dari situ. Rencanaku begini. aku pergi diam-diam dari tempat bermain, lalu lari ke toko penjual makanan dekat sekolah, lalu di toko itu aku akan mencuri kue, roti, chips, atau apa saja yang bisa kucuri. Dalam angan-anganku, rencana itu sudah aku pertimbangkan masak-masak. Esok paginya, kuhitung jumlah langkahku ketika berlari dari rumah ke sekolah supaya nanti bisa kujadikan hitungan pada saat berlari ke toko yang kutuju. Beberapa minggu kemudian, aku sudah mendapat semua hal yang perlu kuperhitungkan. Satu-satunya hal yang rasanya belum aku miliki adalah keberanian untuk mencoba melakukan rencana itu. Aku tahu aku butuh waktu lebih banyak untuk menempuh jarak dari sekolah ke toko yang kutuju karena jalannya menanjak, jadi aku menyediakan waktu 15 menit. Perjalanan sebaliknya-dari toko ke sekolah-lebih gampang, jadi aku menyediakan waktu 10 menit. Semua itu berarti aku cuma punya waktu 10 menit di toko itu. Setiap hari, saat berlari ke sekolah dan pulang dari sekolah, aku selalu berusaha berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi, memompakan tenaga ke setiap langkahku seolah-olah aku ini pelari maraton. Hari-hari berlalu dan rencanaku semakin bulat, rasa laparku pun berubah menjadi mimpi di siang bolong. Khayalanku muncul setiap kali aku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sambil menggosok lantai kamar mandi, aku mengkhayalkan diriku sebagai pangeran dalam kisah The Prince and the Pauper. Sebagai pangeran, aku tahu aku bisa menghentikan peranku yang mirip pembantu rumah tangga kapan pun aku mau. Di basement aku berdiri tegak dengan mata tertutup, membayangkan diriku adalah pahlawan dalam cerita komik. Tetapi khayalanku selalu terputus oleh rasa amat lapar yang tiba-tiba menyerang, dan pikiranku kembali lagi kepada rencana mencuri makanan. Sekalipun yakin bahwa rencanaku tak akan ketahuan, aku takut sekali melakukannya. Selama beberapa kali istirahat makan siang kucoba mengumpulkan keberanian untuk melaksanakan rencanaku, tetapi selalu gaga l. Selalu saja ada yang berkata dalam diriku bahwa aku pasti tertangkap atau perhitungan waktuku tidak tepat. Setiap kali terjadi kebimbangan seperti itu dalam diriku, perutku berkeriuk-keriuk terus, seakan-akan mengatai aku "pengecut". Akhimya, setelah beberapa hari lagi aku tidak juga diberi makan malam dan perutku hanya terisi oleh sedikit saja sisa sarapan, aku memutuskan untuk melaksanakan rencanaku. Beberapa saat setelah bel istirahat makan siang berbunyi, aku lari secepat kilat sepanjang jalan menuju toko-jantungku berdebar cepat, paru-paruku serasa pecah karena kekurangan udara. Temyata waktu yang kuperlukan untuk sampai ke toko itu hanya setengah dari waktu yang kuperhitungkan. Waktu aku berjalan di antara rak-rak di toko itu, rasanya semua orang memandangi aku. Dalam pikiranku, orang-orang itu sedang membicarakan seorang anak yang bau dan penampilannya kumuh. Saat itulah aku langsung sadar bahwa niatku mencuri di toko itu pasti gagal sebab aku tidak memperhitungkan penampilanku. Semakin aku mencemaskan penampilanku, semakin perutku serasa terpilin oleh rasa takut. Sikapku malah jadi kaku, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak lagi bisa memusatkan perhatian pada waktu. Yang aku pikirkan cuma saat-saat ketika aku kelaparan. Mendadak, tanpa berpikir apa pun, kusambar barang pertama yang kulihat di rak di dekatku, dan langsung berlari keluar toko, berlari sekencang mungkin ke sekolah. Di tanganku ada sekotak graham crackers, yang kugenggam erat-erat. Sambil berjalan melalui halaman sekolah, kusembunyikan sebungkus kue itu di balik bajuku, di bagian yang tidak ada lubangnya. Kemudian kue itu kupindahkan ke keranjang sampah di dekat kamar kecil, kusembunyikan di situ, di bawah tumpukan sampah. Setelah agak sore aku minta izin kepada guruku untuk pergi ke kamar kecil. Niatku adalah menikmati kue yang tadi aku curi. Hampir tak tahan aku untuk langsung menikmatinya. Temyata keranjang sampah itu sudah kosong penjaga kebersihan sekolah sudah mengosongkan tempat sampah itu. Sia-sia sudah kerja kerasku selama ini. Hari itu aku gagal, tetapi beberapa kali usahaku di kemudian hari berhasil. Sampai pada suatu hari, kusembunyikan hasil kerja kerasku di sebuah meja di ruang absensi, dan keesokan harinya aku dipindahkan ke sekolah lain. Dipindahkan ke sekolah lain tidak membuatku kecewa, tetapi kehilangan makanan yang berhasil kucuri membuatku merana. Pindah sekolah berarti kesempatan baru untuk bisa mencuri makanan dari bekal teman-teman sekelasku yang baru. Bukan cuma itu, kegiatan mencuri makanan di toko tetap bisa kulakukan seminggu sekali. Ketika berada dalam toko, kalau suasananya membuat perasaanku tidak enak, aku tidak mencuri apa pun. Bagaimanapun, seperti biasanya, pada akhirnya aku toh tertangkap basah juga. Pemilik toko memanggil Ibu. Di rumah, aku dipukuli habis-habisan. Ibu, juga Ayah, tahu mengapa aku mencuri makanan, tetapi Ibu tetap tidak memberiku makan. Semakin besar doronganku untuk makan, semakin keras usahaku untuk mencuri makanan dengan rencana yang lebih matang lagi. Sehabis makan malam, Ibu biasa membuang sisa-sisa makanan ke dalam sebuah tempat sampah kecil. Kemudian ia memanggilku ke atas-selama keluarga ini makan malam, aku berdiri di basement, menunggu dipanggil untuk mencuci piring gelas dan membersihkan ruang makan. Sambil mencuci piring gelas, aku bisa mencium bau sisa-sisa makan malam di tempat sampah kecil itu. Ketika ide itu muncul untuk pertama kalinya, aku merasa mual. Tetapi semakin lama kupikirkan, sepertinya tidak apa-apa juga kalau kulakukan. Cuma itulah satu-satunya harapanku untuk mendapat makanan. Kuselesaikan tugas mencuci piring gelas itu secepat mungkin, lalu membuang sampah ke tong sampah di depan garasi. Saat melihat sisa makanan di tempat sampah kecil itu, mulutku berliur. Sambil membuang sobekan kertas atau puntung dan abu rokok, dengan hati-hati kupungut sisa makanan yang kelihatannya masih bagus, lalu kulahap dengan cepat. Seperti biasanya, rencana baruku untuk mencuri makanan kandas karena Ibu selalu bisa mengetahuinya. Selama beberapa minggu, aku tidak memakan sisa-sis a makanan yang sudah dibuang di tempat sampah. Tetapi ketika perutku terasa amat sakit karena kelaparan, aku pun mulai lagi mengais-ngais sisa makanan di tempat sampah itu. Pemah aku melahap sisa daging dari tempat sampah itu. Beberapa jam kemudian aku terbungkuk-bungkuk karena perutku sakit sekali. Selama seminggu aku terserang diare. Waktu aku sakit itu, Ibu memberitahu aku bahwa ia sengaja menyimpan daging itu selama dua minggu di lemari es, bukan di freezer, sehingga daging itu membusuk. Ibu lalu membuangnya ke tempat sampah, karena ia tahu persis aku pasti akan memungutnya. Untuk selanjutnya, Ibu selalu menyuruhku membawa tempat sampah itu kepadanya. Sambil tiduran di sofa, Ibu memeriksa tempat sampah itu sebelum aku membuang isinya. Ibu tidak pemah tahu bahwa sisa-sisa makanan sudah aku bungkus dengan kertas sedemikan rupa dan aku benamkan ke bawah tumpukan sampah. Aku yakin Ibu tak akan sudi jari-jari tangannya jadi kotor karena harus mengaisngais sampah sampai ke tumpukan bawah. Maka, untuk beberapa waktu lamanya usahaku itu berhasil. Tampaknya Ibu tahu bahwa dengan cara tertentu aku bisa memperoleh makanan, maka ia menyiramkan amonia ke dalam keranjang sampah. Setelah itu aku tidak lagi mengais sisa makanan dari keranjang sampah rumah, dan mulai memikirkan cara baru untuk memperoleh makanan di sekolah. Setelah ketahuan mencuri makanan dari wadah bekal makan siang murid-murid lain, ideku selanjutnya adalah mencuri makan siang beku di kantin. Aku mengatur waktu sedemikian rupa, sehingga sesaat setelah mobil pengantar persediaan makan siang yang dibekukan selesai menurunkan antarannya di kantin, pada saat itulah aku minta izin guruku untuk buang air kecil. Aku mengendap-endap menuju kantin, menyambar beberapa bungkus makanan beku, lalu secepat kilat masuk ke kamar kecil. Aku sendirian di situ. Kulahap makanan dingin yang kudapat dengan begitu tergesa-gesa, sehingga nyaris aku tersedak. Setelah perutku terisi, aku kembali ke kelas dengan perasaan bangga. aku bisa memberi makan diriku sendiri. Saat berlari pulang, satu-satunya yang kupikirkan adalah mencuri makanan dari kantin esok harinya. Beberapa menit kemudian, Ibu mengubah niatku itu. Ia menarikku ke kamar mandi lalu meninju perutku begitu kerasnya sampai-sampai aku terbungkuk. Sambil menyeretku dan menghadapkan wajahku ke toilet, Ibu menyuruhku menyodokkan jariku ke tenggorokanku. Aku meronta. Kucoba siasatku, yakni mulai menghitung, ketika wajahku mengarah ke lubang toilet, "Satu... dua..." Tidak sampai tiga. Ibu memasukkan jari-jari tangannya ke mulutku, seolah-olah ia mau menarik perutku keluar dari tenggorokanku. Aku meronta-ronta tak karuan. Akhimya Ibu melepaskan aku, tetapi dengan satu-satunya syarat. aku mau memuntahkan isi perutku di hadapannya. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kupejamkan mata ketika gumpalan-gumpalan daging berwama merah meluncur dari tenggorokanku ke toilet. Ibu cuma berdiri di belakangku, berkacak pinggang, dan berkata, "Sudah kuduga. Ayahmu harus tahu ini!" Badanku menegang, bersiap-siap menerima pukulan-pukulan Ibu yang pasti datang, tetapi temyata tidak terjadi apa-apa. Beberapa detik kemudian, aku berpaling. Ibu sudah tidak ada di situ. Tapi aku tahu, semua ini belum selesai. Tak berapa lama kemudian Ibu masuk lagi ke kamar mandi, membawa sebuah mangkuk kecil, lalu menyuruhku memungut makanan yang baru sempat tercerna sebagian, yang tadi kumuntahkan ke dalam toilet, untuk ditaruh di mangkuk yang ia bawa. Karena ketika peristiwa itu terjadi Ayah sedang pergi keluar rumah untuk suatu keperluan, Ibu merasa perlu mengumpulkan bukti untuk diperlihatkan kepada Ayah ketika ia sampai di rumah nanti. Pada malam itu juga, setelah aku selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, Ibu menyuruhku berdiri dekat meja dapur sementara ia dan Ayah berbicara di kamar tidur. Mangkuk berisi sisa-sisa hot dog yang tadi kumuntahkan ke toilet ditaruh di depanku. Aku tak tahan melihatnya, jadi kupejamkan mataku dan berusaha membayangkan diriku tidak di rumah ini. Tidak lama kemudian Ibu dan Ayah bergegas ke dapur. "Lihat ini, Steve", ka ta Ibu dengan nada tinggi, sambil menunjuk ke mangkuk di depanku. "Kau mengira anak ini sudah berhenti mencuri, bukan?"

   Dari raut wajah Ayah, aku bisa bilang bahwa ia sudah tidak tahan lagi dengan laporan "Lihat apa yang dilakukan anak ini sekarang" yang tak habis-habisnya. Sambil memandang ke arahku, Ayah menggeleng tak setuju dan seperti kehabisan akal ia berkata, "Roerva, kalau begitu kau tinggal memberi anak ini sesuatu yang bisa dimakan, bukan?"

   Cekcok kata-kata yang semakin meninggi berlangsung di depanku dan, seperti biasa, Ibu menang. "MAKAN? Kau ingin anak ini makan, Stephen? Boleh, anak ini akan MAKAN! Dia bisa makan ini!" Ibu mengatakan itu dengan berteriak sambil menunjuk ke mangkuk di depanku, lalu bergegas ke kamar tidur.

   Lalu dapur menjadi sepi sekali, sampai-sampai aku bisa mendengar napas Ayah yang tertahan. Dengan lembut dipegangnya bahuku dan berkata, "Tunggu di sini, Tiger.

   Aku akan coba membantumu". Beberapa menit kemudian ia kembali ke dapur, setelah mencoba membujuk Ibu untuk membatalkan tuntutannya. Wajah Ayah tampak semakin muram, dan aku langsung tahu siapa yang menang.

   Aku duduk di kursi. Lalu, dengan tangan, kuambil muntahan "hot dog" dari mangkuk itu. Tetesan kental ludah jatuh dari antara jari-jari tanganku ketika aku menyuapkan muntahan hot dog itu ke mulutku. Sewaktu mencoba menelan muntahan itu, aku menangis lirih. Aku berpaling pada Ayah, yang berdiri sambil memandangiku dan memegang segelas minuman. Ia menganggukkan kepalanya, menyuruhku menghabiskan isi mangkuk itu.

   Aku tidak percaya Ayah berdiri saja di situ sementara aku memakan isi mangkuk yang menjijikkan itu. Saat itulah aku menyadari hubungan aku dan Ayah yang semakin lama semakin jauh.

   Aku mencoba menelan muntahan itu tanpa merasakannya.

   Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram tengkukku.

   "Kunyah!" Ibu memerintah sambil menggeram. "Makan! Habiskan semua!" katanya sambil menunjuk ke ludah kental di mangkuk dan tanganku. Badanku semakin mengerut di kursi yang kududuki. Air mata mengalir deras ke pipiku. Setelah semua isi mangkuk itu masuk ke mulutku, aku berusaha keras untuk menelannya. Lalu aku masih harus berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan agar apa yang sudah kutelan tidak lagi keluar dari tenggorokanku. Tak sekejap pun kubuka mataku sampai aku benar-benar yakin bahwa perutku tidak menolak "makanan kantin" itu. Ketika aku benar-benar membuka mataku, kupandangi lagi Ayah. Orang yang dulu membantuku, kini cuma berdiri mematung sambil melihat anaknya makan sesuatu yang anjingpun tak sudi memakannya. Setelah kujalani hukuman menghabiskan muntahan hot dog itu, Ibu, yang mengenakan jubah tidur, masuk lagi ke dapur dan melemparkan setumpuk koran bekas kepadaku. Ia memberitahu aku bahwa koran-koran bekas itu adalah selimut tidurku, dan lantai di bawah meja dapur adalah tempat tidurku mulai malam itu. Lagi, kupandang Ayah sepintas-ia bersikap seolah-olah aku tidak ada di situ. Aku merangkak ke bawah meja dapur, tidur meringkuk dengan pakaian yang kupakai sekolah, menyelimuti badanku dengan koran bekas rasanya aku ini tikus dalam kurungan. Kupaksakan diriku untuk tidak menangis di hadapan Ibu dan Ayah. Berbulan-bulan aku tidur di bawah meja, di sebelah tempat tidur kucing peliharaan keluarga ini. Temyata koran-koran bekas itu berguna juga sebagai selimut sebab kertasnya menahan panas tubuhku, sehingga aku merasa tetap hangat. Sampai akhimya Ibu berkata padaku bahwa aku tidak lagi pantas tidur di dalam rumah, maka aku disuruh pergi ke basement. Tempat tidurku ganti lagi-sebuah dipan lipat berkain tua yang biasa dipakai tentara. Supaya tetap hangat, aku mencoba mendekatkan kepalaku ke gas heater. Namun setelah kedinginan beberapa malam, temyata menjaga tubuh agar tetap hangat adalah berbaring meringkuk, dengan telapak tangan diselipkan di bawah ketiak dan melipat kaki sehingga telapak kaki menempel ke pantat. Kadang kala aku terbangun di tengah malam, lalu mencoba membayangkan bahwa aku ini benar-benar manusia yang sedang tidur dengan selimut elektrik yang hangat dan yakin bahwa aku baik-baik saja karena ada orang yang mencintai aku. Angan -anganku itu berhasil, tapi hanya untuk waktu sebentar saja, sebab malam yang begitu dingin selalu membawaku kembali kepada kenyataan. Aku tahu tak seorang pun bisa membantuku guru-guruku tidak, saudara-saudara kandungku tidak, bahkan Ayah pun tidak. Aku sendirian, dan setiap malam aku berdoa memohon Tuhan menganugerahi aku kekuatan lahir batin. Di basement yang gelap pekat, aku berbaring di dipan lipat berkain tua, menggigil kedinginan sampai akhimya jatuh ke dalam tidur yang melelahkan. Suatu ketika, dalam angan-anganku di tengah malam itu, muncul gagasan untuk mengemis makanan dalam perjalanan ke sekolah. Sekalipun Ibu terus memintaku "untuk muntah" setiap sore sepulangku dari sekolah, aku pikir makanan yang kutelan pada pagi hari tentunya sudah tercema dengan baik. Maka, begitu mulai berlari ke sekolah, aku berlari lebih cepat lagi daripada biasanya supaya aku punya waktu lebih untuk "mengemis makanan". Rute perjalananku ke sekolah berubah, karena aku harus memilih rumah atau tempat yang menurutku bisa kumintai sedekah makanan. Biasanya aku akan bertanya kepada setiap wanita yang membuka pintu rumahnya apakah mereka kebetulan melihat atau menemukan wadah bekal makan siang di dekat situ. Kebanyakan usahaku itu berhasil. Dari cara para wanita itu memperhatikanku, aku bisa bilang bahwa mereka merasa kasihan padaku. Demi menjaga agar orang-orang yang kumintai sedekah tidak tahu siapa diriku sebenamya, aku memakai nama palsu. Selama beberapa minggu usahaku berhasil, sampai pada suatu hari aku mendatangi sebuah rumah yang pemiliknya temyata kenalan Ibu. Bualanku, "Aku kehilangan bekal makan siangku. Maukah ibu memberiku penggantinya?", yang selama ini selalu terbukti ampuh, hancur berantakan. Bahkan sebelum meninggalkan pekarangan rumahnya, aku tahu ia akan menelepon Ibu. Pada hari itu di sekolah aku berdoa agar dunia ini hancur. Di kelas, dalam kegelisahan karena rasa takut, aku tahu Ibu sedang berbaring di sofa, nonton televisi, dan semakin mabuk, sambil memikirkan sebuah tindakan yang akan dijatuhkannya atas diriku begitu aku sampai di rumah-nya dari sekolah. Saat berlari pulang dari sekolah sore itu, kedua kakiku terasa berat, seperti diikat pada bongkahan semen beton. Dalam setiap langkah, aku berdoa agar kenalan Ibu tadi pagi tidak menelepon Ibu, atau ragu-ragu bahwa yang ia lihat tadi pagi bisa jadi anak lain yang mirip aku. Langit di atas kepalaku biru, dan aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari di punggungku. Begitu sampai di rumah Ibu, aku menengadah lagi untuk melihat matahari, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah aku masih bisa melihatnya lagi kapan-kapan. Perlahan-lahan kubuka pintu depan, melongok ke dalam, baru masuk, dan langsung menuruni tangga ke basement. Aku sudah membayangkan Ibu bergegas ke basement, lalu memukuliku di situ. Tapi Ibu tidak muncul. Setelah mengganti pakaian sekolah dengan pakaian kerja, pelan-pelan aku naik ke dapur, lalu mencuci semua peralatan makan yang kotor. Karena tidak tahu di mana kira-kira Ibu berada, telingaku dengan sendirinya berfungsi sebagai antene radar yang mencoba menemukan keberadaan Ibu. Selama mencuci peralatan yang kotor itu, bulu kudukku berdiri. Tanganku gemetar. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Akhimya kudengar juga Ibu keluar dari kamamya, berjalan melalui ruang tengah, menuju dapur. Kualihkan pandanganku ke luar jendela, sepintas saja. Bisa kudengar tawa dan jeritan senang anak-anak yang sedang bermain. Kupejamkan mata sekejap sambil berkhayal aku sedang bermain bersama anakanak itu. Muncul rasa hangat dalam diriku. Aku tersenyum. Jantungku serasa berhenti mendadak ketika kurasakan napas Ibu di tengkukku. Piring yang sedang kupegang terlepas, tapi aku sempat menangkapnya sebelum menyentuh lantai. "Gesit juga kau ya?" desisnya. "Kau bisa berlari cepat sehingga sempat mengemis makanan. Jadi... kita akan lihat nanti segesit apa kau sebenarnya."

   Dengan sendirinya aku menegangkan badanku, bersiap menerima pukulan Ibu. Ternyata Ibu tidak memukul. Jadi kupikir ia akan pergi dan nonton televisi lagi, tetapi ternyata tidak juga. Ibu tetap berdi ri amat dekat di belakangku, memperhatikan setiap tindakanku. Bisa kulihat sosok Ibu dari pantulan kaca jendela. Ternyata Ibu juga melihat ke arah arah yang sama, dan pantulannya memperlihatkan ia tersenyum padaku. Hampir saja aku kencing di celana.


Wiro Sableng Sepasang Manusia Bonsai Shugyosa Samurai Pengembara II Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul

Cari Blog Ini