Ceritasilat Novel Online

Dark Love 3


Ken Terate Dark Love Bagian 3



Tapi mungkin mereka punya suami atau orangtua yang suportif, atau setidaknya orangtua yang nggak kalap. Dan setidaknya mereka kuliah. Sudah lulus SMA. Tidak sepertiku yang bahkan tidak bisa menggoreng telur tanpa gosong dan keasinan.

   "Mama Papa marah sekali,"

   Ujarku sambil memejamkan mata, ngeri.

   "Iya. Mereka dulu juga marah sama gue. Tapi lama-lama mereka bisa menerima kan? Habis mau gimana lagi? Udah terlanjur."

   Aku tak yakin.

   Sabtu, 21 Maret 2009 Teman-teman terutama anggota Hi 4 terus-menerus menelepon dan mengirimiku SMS.

   Mereka ingin menjengukku.

   Lewat Maria aku sampaikan aku tidak ingin bertemu siapa pun.

   Telepon mereka selalu aku abaikan.

   My Prince juga mengirimiku SMS.

   Tapi begitu SMSnya masuk, aku segera menghapusnya.

   Aku cepat-cepat mengiriminya pesan.

   "Jangan hubungi aku."

   Aku hapus semua nomor teman-temanku, termasuk nomor HP My Prince.

   Juga semua data telepon masuk dan keluar.

   Sekaligus semua SMS.

   Terakhir, dengan bantuan Maria, aku hancurkan SIM Cardku.

   Firasatku tepat.

   Papa menyita dan mengecek HPku, dia langsung kalap begitu tahu aku sudah menghapus semua informasi.

   "Bilang padanya, jangan sembunyi kayak pengecut! Katakan, Kirana, katakan siapa bajingan itu! Jangan kamu lindungi keparat semacam itu!"

   Papa membentak-bentak.

   Aku hanya membisu.

   Minggu, 22 Maret 2009 Horeee! Papa pergi.

   Ada neeting penting atau apa.

   Baguslah.

   Aku tak peduli dia harus meeting di hari Minggu.

   Kalau perlu, lebih baik Papa meeting sepanjang minggu saja.

   Buruknya, besok aku diperbolehkan pulang.

   Pasien lain senang ketika dokter mengizinkan mereka pulang.

   Aku justru sedih.

   Karena itu artinya aku harus pulang ke Bekasi.

   Serumah bersama orang-orang yang kini membenciku.

   Mama tengah mengepak barang-barangku.

   Ia bergerak seperti robot.

   Tanpa rasa, tanpa jiwa.

   Aku juga diam.

   Akhir-akhir ini kami memang tidak banyak berkomunikasi.

   Yah, kami tidak saling bicara.

   Aku tahu ada banyak hal yang ingin Mama tanyakan.

   Siapa pelakunya? (mereka benar-benar lebih suka percaya aku perawan suci yang diperkosa seorang penjahat), bagaimana kami melakukannya? Kapan aku tahu aku hamil? Apakah aku pernah berusaha mengaborsinya? Sampai kapan aku berencana merahasiakan ini semua? Tapi aku juga tahu Mama tidak ingin mendengar jawabanku.

   Bagaimana bila akulah yang merayu lelaki itu? Bagaimana kalau aku "melakukannya"

   Dengan banyak lelaki hingga aku tak tahu siapa ayah bayiku? Bagaimana bila ia tahu aku sempat mendatangi tempat aborsi ilegal? Yup, ia menolak untuk mendengar kenyataan. Ia lebih suka berkhayal aku disini karena demam berdarah atau usus buntu.

   "Pagi, Kirana. Pagi, Bu Tuti."

   Serajut wajah milik Bu Welas muncul diambang pintu.

   Syukurlah.

   Kebisuan ini mulai mencekik.

   Setelah berbasa-basi, Bu Welas duduk dikursi dengan punggung tegak.

   Ia akan membicarakan sesuatu yang serius.

   Oh, aku dikeluarkan dari sekolah.

   Pasti.

   Hebat sekali Bu Welas masih bisa memasang senyum di wajahnya saat ia harus mengabarkan berita duka.

   "Ibu dengar kamu akan pulang besok,"

   Kata Bu Welas. Aku mengangguk.

   "Senangnya... Kamu pasti sudah bosan kan dirumah sakit?"

   Dia tidak tahu apa yang dia bicarakan. Tiga hari dirumah sakit ini adalah hari-hari yang mengerikan. Tapi hari-hariku dirumah akan lebih mengerikan.

   "Dokter bilang kamu masih butuh istirahat beberapa hari. Jadi istirahatlah beberapa hari. Ibu sudah bilang pada wali kelasmu. Ibu harap kamu lekas sembuh hingga bisa cepat masuk sekolah. UN tinggal sebulan lagi."

   Bu Welas masih tersenyum.

   Hah? Aku masih boleh sekolah? Mereka tidak mengeluarkan aku? Wow...

   Tapi tunggu, apakah aku mau sekolah lagi? Kuatkah aku menahan pandangan teman-teman yang mencemooh? Sanggupkah aku melawan semua gunjingan? Mampukah aku datang ke sekolah dengan perut seperti ini? Aku memandang Mama, mencari jawaban.

   Tapi kulihat Mama sama bingungnya.

   "Bu,"

   Akhirnya Mama berkata.

   "bisakah Kirana tidak masuk sampai UN nanti?"

   Bu Welas tidak terlihat terkejut. Masih dengan senyumnya ia menjawab.

   "Boleh. Tentu saja. Itu gampang diatur. Tapi Ibu harap kamu tetap ikut UN. Ibu mohon, jangan pernah berfikir untuk berhenti sekolah. Kamu mau kan, Kirana?"

   Aku tercenung.

   Tak menyangka Bu Welas justru mendorongku untuk menyelesaikan sekolah.

   Bukankah ada peraturan siswa SMA dilarang menikah dan hamil? Setahuku begitu.

   Aku tidak begitu yakin.

   Bahkan sekalipun tidak ada peraturan sekolah tertulis yang menyatakan demikian, aku sudah melanggar peraturan agama dan tatanan moral yang paling besar bukan? "Kamu bersedia kan?"

   Tiba-tibu nada Bu Welas berubah cemas ketika aku tidak juga menjawab.

   "Ibu berusaha keras untuk meyakinkan Kepala Sekolah dan semua guru supaya kamu tetap boleh sekolah."

   Ha? "Kamu siswa yang cerdas, Kirana. Yang Ibu banggakan. Ibu tidak ingin siswa sebaik kamu tidak lulus. Tinggal selangkah lagi..."

   Kata-kata Bu Welas membuatku melambung sejenak.

   Tiba-tiba ada harapan.

   Aku mengangguk, meski aku tak yakin apakah aku ingin sekolah.

   Tapi aku tahu aku ingin lulus.

   Senin, 23 Maret 2009, 13.24 Sepanjang perjalanan ke Bekasi, kami berempat terdiam.

   Kapan terakhir kali kami bersama-sama seperti ini? Satu keluarga dalam satu mobil.

   Rasanya berabad-abad.

   Mungkin waktu kami masih SD.

   Ketika Kak Rani masih SMP, ia sudah mulai "membenci"

   Keluarganya. Papa dan Mama terdiam dijok depan. Kak Rani yang duduk disampingku berusaha memancingmancing obrolan. Sia-sia. Aku sampai kasihan padanya.

   "Hei, bagaimana kalau kita mampir belu martabak? Itu lho yang di depan Alfamart!"

   Kak Rani lagi-lagi berusaha memecahkan keheningan. Mama dan Papa tidak menyahut, aku bergumam nggak jelas. Lalu beberapa saat kemudian.

   "Eh liat tuh, ada yang jual manisan. Ada yang mau manisan?"

   Ya ampun, seolah-olah inilah pertama kali Kak Rani melihat penjual manisan! Begitu kami sampai rumah, aku langsung masuk kamar. Kak Rani tergopoh-gopoh membawakan barang bawaanku. Ia melarangku untuk menenteng apapun, bahkan boneka dari Maria.

   "Elo nggak boleh ngangkat barang berat Na."

   Ya ampun, aku kan hamil bukannya sakit rematik.

   Kamarku rapi seperti biasa.

   Ekstrabersih kali ini.

   Mungkin Bi Yuyun kerja keras mengepal lantai dan menyikat semua jendela.

   Ada rangkaian bunga segar dimeja.

   Selimut yang baru saja keluar dari dry clean ditempat tidur ketahuan dari aromanya dan boneka teddy kesayanganku waktu kecil diatas bantal.

   "Itu bunga dari gue, elo suka?"

   Tanya Kak Rani sambil meletakkan barang-barangku. Aku mengangguk.

   "Thanks."

   Kak Rani mengangguk.

   "Bi Yuyun yang beli sih."

   Aku duduk ditepi ranjang, memeluk bantal.

   "Hei, makan dulu yuk. Setelah itu elo harus minum susu, obat, dan vitamin."

   Yuck! Sekarang aku benar-benar jadi "ibu hamil".

   Rumah sakit memberiku segrpok obat, vitamin dan susu khusus ibu hamil plus brosur-brosur kelas senam, yoga, hypnobirthing, dan entah apa lagi! Ugh, melihatnya pun sudah membuatku menderita.

   Rasanya aku berubah jadi orang asing yang tidak kukenali.

   Makan malam menjadi begitu menyiksa.

   Heran deh, disaat seperti ini Mama ngotot agar kami makan bersama dimeja makan.

   Padahal tradisi itu sudah lenyap dari keluarga kami entah sejak kapan.

   Aku lebih suka berdiam dikamar dan aku yakin Papa lebih suka tidak melihatku.

   "Memang ini saatnya kita berkumpul sebagai keluarga."

   Kak Rani justru mendukung Mama.

   Padahal dulu sarapan bersama lima belas menit pun tidak pernah ia ikuti.

   Semua memang sudah berubah.

   Dia, si anak begal menjadi anak peduli.

   Aku si anak alim, jadi pendosa.

   Dimeja makan aku terus menunduk, Papa berulang kali mendesah, Mama membisu.

   Denting peralatan makan menjadi satu-satunya bunyi.

   "Mau sampai kapan kita diam begini?"

   Kak Rani mulai lagi.

   "Ya ampun, ini kan bukan kematian. Harusnya kita happy dong, akan ada anggota baru dikeluarga kita. Bayi, iihh, pasti lucu banget."

   Aku nyaris tersedak mendengarnya. Kulihat Papa melotot. BAHAGIA? Dia bercanda kan? Ya memang tidak ada orang meninggal, tapi ini musibah yang lebih besar daripada kematian.

   "Mama dan Papa akan punya cucu. Baguskan? Kalian akan punya penerus karena jujur aja, gue nggak yakin ada lelaki yang mau ngawinin gue nanti."

   What? "Apa-apaan sih?"

   Desisku.

   "Gue bicara fakta. Setiap keluarga butuh penerus kan? Gue nggak yakin bisa memberi penerus. Pacar aja gue nggak punya."

   Ya ampun, blakblakan banget sih. Dikeluarga kami yang "berbudaya", sikap Kak Rani benar-benar nggak sopan, nyaris biadab.

   "Percaya deh, nanti Papa Mama akan menyukai anak Kirana. Gue juga. Hehehe, gue jadi tante. Pasti asyik."

   Aku tak percaya. Kak Rani sama sekali nggak mengerti.

   "Itu nggak penting! Yang penting Kirana harus menikah!"

   Kalimat Papa menyahutku bagai petir.

   "Apa kata orang kalau anakmu lahir tanpa bapak?!"

   Sebelum aku sempat menjawab, Papa menyerangku lagi. Semua berhenti makan. Mungkin waktu juga ikut berhenti. Aku tak mampu menjawab, bibirku gemetar.

   "Bapaknya ada kok,"

   Kata Kak Rani.

   "Siapa?"

   Papa menyalak.

   "Hak Nana dong kalau dia nggak mau bilang,"

   Jawab Kak Rani lebih galak. Ya ampun, akankah kami bertengkar selamanya? "Tolong,"

   Kata Mama lelah.

   "jangan berdebat dimeja makan."

   "Kalau laki-laki itu memang nggak mau tanggung jawab, kamu nggak harus menikah dengan dia,"

   Suara Papa meninggi.

   "Memang sebaiknya kamu nggak menikah dengan dia. Dia pasti remaja ingusan kan? Pengangguran atau berandalan. Papa punya calon yang lebih baik."

   APA? Ini sudah melampaui batas. Pertama, Papa menghina kekasihku. Kedua, menikahkanku dengan orang lain? Yang sama sekali nggak kukenal? GILA! "Papa nggak bisa gitu!"

   Kak Rani protes.

   "Memangnya kita punya pilihan? Ada laki-laki yang mau mengawininya saja sudah untung. Yang penting bayi itu punya bapak!"

   "Menikahkan Kirana? Bukankah itu menambah masalah baru?"

   Kak Rani berdiri.

   "Sekarang coba deh tanya Kirana, dia mau kawin apa nggak?"

   "Kirana itu nggak bisa mikir! Kalau bisa mikir, dia nggak bakal kayak gini!"

   Papa masih berteriak.

   "Sudah! Papa, Rani, sudah!"

   Mama memejamkan mata, memijit-mijit pelipisnya.

   "Nana nggak mau menikah,"

   Aku berkata sejelas mungkin.

   "Nggak saat ini, nggak dengan siapapun. Maaf."

   Aku menunduk kembali. Sunyi sejenak.

   "Baguslah,"

   Kata Kak Rani.

   "Pernikahan remaja berisiko tinggi dan kebanyakan berakhir pada perceraian."

   "Ran, pikiranmu itu memang sudah rusak!"

   Papa menggeram.

   "Kamu nggak tahu apa-apa tentang anak, keluarga, perkawinan."

   Kak Rani cuma mengangkat bahu.

   "Mungkin. Tapi Rani tahu, apapun yang dipaksakan nggak bakal baik."

   "Kamu pasti juga nggak mikirkan apa kata orang, kata kakek nenekmu. Oh, semoga mereka tidak kena serangan jantung. Apa kata kerabat kita nanti..."

   "Memang nggak,"

   Sahurnya singkat.

   "Buat apa? Memangnya mereka mau apa? Ikut merawat anak Kirana?"

   Kak Rani mulai makan kembali, seolah tadi kami cuma ngobrol biasa tentang cuaca.

   "Terus apa maumu Na?"

   Mama meremas tanganku. Aku bisa merasakan simpati sekaligus kegetirannya.

   "Boleh kan Nana berpikir dulu?"

   Mama mengangguk.

   "Asal nggak lama-lama, keburu bayimu brojol,"

   Kata Papa. Untung aku sudah mati rasa. Pilihan-Pilihan yang Tak Ingin Kupilih . Mama mendatangiku ketika aku bersiap tidur. Kututup majalah yang kubaca dan duduk tegak diatas ranjang.

   "Na, sebenarnya ada beberapa solusi yang belum kita bicarakan,"

   Kata Mama sambil duduk ditepi ranjang.

   Kerut-merut diujung matanya tercetak jelas.

   Juga garis-garis didahinya.

   Apakah Mama lupa memakai pelembap anti again nya? Atau dia memang menua dengan cepat dalam semalam? Aku meletakkan majalahku dan mulai resah lagi.

   "Apa Ma?"

   Mama menghela napas panjang.

   "Mama sudah bicara dengan Papa. Papa belum sepenuhnya setuju. Tapi yang penting kamu dulu."

   Lagi-lagi ia menghembuskan napas seolah mengucapkan kalimat-kalimat itu menguras habis energinya. Aku yakin apapun solusinya itu tidak akan menyenangkan. Yeah..., hamil diusia tujuh belas memang tidak menyenangkan.

   "Yang pertama... Aborsi."

   Hah! Seperti tersambar petir aku mendengarnya. Tidak mungkin! Tidak mungkin Mamaku yang bermoral tinggi itu mengusulkannya. Mama pasti melihat ekspresi terkejutku yang luar biasa karena ia buru-buru menambahkan.

   "Mama tahu itu dosa. Tapi asal setelah itu kamu bisa bertobat dan..."

   "Nggak mau! Nana nggak mau melakukannya, Ma."

   Tidak perlu kuceritakan traumaku pada klinik aborsi.

   "Dengar dulu , Na. Mama punya banyak kenalan dokter ahli yang bisa melakukannya. Legal dan aman."

   Aku menggeleng kuat-kuat.

   "Kamu yakin?"

   Aku mengangguk.

   "Nana nggak mau nambah dosa lagi, Ma."

   Mama menghembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya.

   Mungkin susah baginya untuk percaya pendosa seperti aku masih bisa bicara seperti itu.

   Bukankah beberapa orang berpendapat, ya sudahlah, bila sudah basah, nyebur aja sekalian! Aku masih sulit percaya ada makhluk dalam diriku.

   Aku jadi penasaran.

   Aku pengin tahu bagaimana wajahnya, rambutnya, bentuk hidungnya, suaranya.

   Kurasa...

   aku...

   eh...

   menginginkan bayi ini.

   Paling tidak, ingin melihatnya.

   Apakah itu naluri seorang ibu? Aku tak tahu.

   "Bagaimana kalau adopsi?"

   Pertanyaan Mama membuyarkan pikiranku.

   "Eh?"

   "Kamu bisa melahirkannya dan menyerahkannya pada orang lain."

   Aku tercenung. Aku ingat Juno. Di Amerika sana adopsi sepertinya lumrah-lumrah saja. Tapi disini? Ng... mungkin lumrah juga. Aku nggak yakin. Tapi pasti sudah ada beberapa cewek yang melakukannya.

   "Itu akan berat, Kirana. Apalagi setelah kamu melihat bayimu. Bagaimana jika kamu mencintainya? Apa kamu sanggup mengurus bayi itu nanti? Sementara banyak orang yang ingin dan mampu mengurus bayi. Namun tidak bisa memilikinya. Mama Papa juga tidak sanggup mengurus bayi. Kami semakin tua, kami punya pekerjaan dan... yah, kamu pasti mengerti."

   Aku menelan ludah.

   Tak percaya ini.

   Apakah Mama dan Papa tidak akan sayang pada cucu mereka? Apakah mereka tidak bersedia membantuku? Apakah mereka tidak lagi peduli pada "apa kata orang"? Bukankah adopsi akan menjadi skandal yang lebih besar daripada kehamilan yang tidak diinginkan? "Kamu tak setuju?"

   Tanya Mama.

   "Nana nggak tahu."

   "Yah nggak apa-apa. Sebenarnya Mama juga tak ingin cucu Mama dirawat orang lain kok."

   Eh? Gimana sih? Saat itu aku tahu, tidak hanya aku yang bingung disini.

   Setelah itu Apakah aku akan mencintai bayiku setelah lahir nanti? Bukankah semua ibu begitu? Katanya begitu.

   Tapi bagaimana bila aku TIDAK mencintainya? Jahat betul aku ini.

   Sabtu, 28 Maret 2009 Tugasku selama dirumah adalah belajar dan belajar.

   Sampai jemu dan capek.

   Hm, tidak mudah belajar ketika sebentar-sebentar kamu merasakan perutmu ditendang dan ditonjok dari dalam.

   Kadang rasanya ada sesuatu uang bergelung.

   Seperti ada ikan arwana besar yang berenangrenang diperutku.

   Sungguh.

   Terkadang aku buka Facebook dan Chatting.

   Tapi itu nggak membuatku terhibur.

   Aku tetap kesepian.

   Jadi aku senang sekali ketika hari ini semua anggota Hi 4 datang berkunjung.

   Mulanya aku takut dan nervous bertemu mereka.

   Selain Maria dirumah sakit minggu lalu, aku belum ketemu mereka.

   Kini setelah mereka tahu, apakah mereka akan mencemoohku? Atau mereka jatuh iba? Duaduanya tidak kumaui.

   Tapi mereka adalah teman-teman terbaik! Mereka terlihat sangat bahagia bertemu denganku.

   Kalaupun mereka menganggapku aneh, mereka tidak menampakkannya atau mungkin mereka sudah puas membicarakanku dibelakangku.

   Kami ngobrolin apapun, kecuali kehamilanku.

   Seperti sudah ada kode rahasia bahwa itu adalah hal yang terlarang dibicarakan.

   Aku yang awalnya rikuh, perlahan-lahan mulai bisa melebur dan terhibur oleh celoteh mereka.

   Aku bahkan tidak mau repot-repot menyembunyikan perutku.

   "Buku tahunan udah hampir jadi lho. Lagi diedit. Bentar lagi naik cetak,"

   Kata Maria.

   "Pasti halaman kelas kita bakal jadi halaman yang paling keren."

   "Mana mungkin? Halaman anak IPS dong yang paling keren,"

   Bantah Chacha.

   "Udah, nggak penting kali, siapa yang lebih keren,"

   Tukas Alvin.

   "Memangnya bakal dapat hadiah apa sih?"

   "Dapat tiket Jakarta-Bagdad. Tapi pergi doang, kembalinya nggak janji,"

   Kata Andra.

   Kami tertawa.

   Duh, alangkah leganya.

   Bisa tertawa seperti ini.

   Banyu yang pendiam pun bisa terbahak-bahak.

   Tapi tawaku langsung surut begitu aku memandang dirinya.

   My Prince.

   Ya, dia juga tertawa bersama kami.

   Dia juga ikut mengobrol dan sesekali mencomot camilan.

   Tapi aku tahu ia bahkan tidak mendengar apa yang kami obrolkan.

   Aku melihat kesenduan dimatanya.

   Dan kegundahan dalam dirinya.

   Aku sangat mengenalnya.

   Ia tidak bisa bersandiwara denganku.

   Aku bisa melihat kakinya yang bergoyang-goyang nervous dan duduknya yang tidak tenang seolah ia duduk diatas papan berpaku.

   Juga bagaimana berkali-kali ia meneguk minuman.

   Menjelang sore mereka berpamitan.

   Maria dan Chacha memelukku.

   Juga Andra, ia memelukku erat dan agak lama.

   Alvin dan Banyu menyalamiku.

   Yang kudengar hanya.

   "Bye, Kirana. Sampai ketemu."

   Tapi aku tahu mereka mengucapkan lebih banyak dari itu.

   "Kirana, aku sungguh... sungguh,"

   Kata My Prince sambil menggenggam tanganku, lalu berhenti. Yang lain memandang kami. Kami berdua jadi salah tingkah. Tapi aku penasaran apa lanjutan kalimat itu.

   "Ingin membantu. Katakan saja, apapun. Aku pasti bantu,"

   Lanjutnya. Aku tersenyum, mempererat genggaman kami.

   "Nggak, aku nggak perlu apa-apa kok. Tapi terima kasih."

   "Iya, kami juga bakal membantu, jangan segan,"

   Chacha menimpali.

   "Thanks,"

   Sahutku pendek.

   Mereka tidak mengerti.

   Ini adalah bahasa kode rahasia kami.

   Bahwa dia mau melakukan apapun, menikah dan mengasuh anak kami, bahkan mencucikan bajuku kalau perlu.

   Tapi ia tak perlu melakukan semua itu.

   Ia tak perlu melakukan apapun untukku.

   Malamnya Kami sekeluarga menonton TV bersama.

   Bila ada satu hal yang berubah dalam keluarga ini adalah kami lebih banyak mengisi waktu bersama.

   Meski kebersamaan itu terasa janggal dan aneh.

   Kak Rani bolak-balik Jakarta-Bekasi.

   Bahkan larut malam sekalipun ia bela-belain pulang ke Bekasi.

   Mama melepas giliran jaga dan meminta dokter lain menggantikannya.

   Hanya Papa yang justru lebih sering lembur alias melarikan diri.

   Papa sudah tidak lagi meledak-ledak.

   Tapi ia masih sering memaksaku untuk menjawab "siapa orang itu".

   Satu hal yang kuperhatikan, bahkan ketika dirumah Papa tidak pernah benar-benar bersama kami.

   Ia lebih sering mengurung diri dikamar.

   Atau duduk diluar untuk merokok.

   Ya, Papa mulai merokok lagi.

   Setelah bertahun-tahun berhenti.

   Telepon berdering dan Kak Rani beranjak untuk mengangkatnya.

   "Na, telepon dari Andra,"

   "Oke,"

   Aku bangkit.

   Aku bisa melihat Mama dan Papa bertukar pandang penuh pertanyaan.

   Apakah Andra ini adalah "sang Pelaku"? Yeah, terserah deh.

   Mereka boleh menduga-duga sesuka hati.

   Ada sekitar empat ratus cowok disekolahanku.

   Silahkan aja periksa satu per satu.

   Andra memang yang paling rajin menelponku.

   Sejak aku tinggal di Bekasi dan SIM cardku kuhancurkan, hampir tiap malam Andra menelepon, sekedar untuk bilang.

   "Woah, tadi Pak Kumis ngamuk lagi gara-gara si Fredi bego itu nggak men silent HPnya dikelas. Dan tau nggak ringtonenya apa? Mbah Surip!"

   Kadang kami ngobrol panjang.

   Jadi, wajar saja kalau Mama Papa curiga dialah laki-laki brengsek yang telah menodaiku.

   MENODAI? Heh, kata itu kini terdengar aneh ditelingaku.

   Kenapa sih kita harus pakai bahasa eufimisme kayak gitu? Kenapa nggak bilang saja memerkosa, menggauli, menyetubuhi, menghamili.

   Toh kata-kata yang manis takkan mengubah kenyataan bukan? Aku sama sekali tidak merasa ternoda.

   Lagipula Andra jelas BUKAN laki-laki itu.

   Aku dan Andra memang akrab.

   Aku lebih akrab dengan Andra dibandingkan dengan Alvin dan Banyu.

   Andra lebih akrab denganku dibanding dengan Maria bahkan pada saat mereka berdua pacaran.

   Tapi please deh, Andra? Terpesona padaku pun tak pernah.

   Bahkan jika aku pakai rok mini bukannya aku pernah mengenakannya.

   Aku tak pernah memakai apapun yang memperlihatkan pahaku.

   Dulu pernah kami disangka pacaran karena saking akrabnya.

   "Eh, jauh-jauh gih,"

   Kataku ketika suatu pagi Andra duduk disebelahku.

   "Kemarin Frida bertanya apa aku dan kamu pacaran."

   Andra tertawa-tawa.

   "Gue, pacaran sama elo? Mending pacaran sama monyet deh."

   Aku melotot pura-pura kesal.

   "Masa sih? Meski aku pakai tank top?"

   "Nggak minat kaleee,,,"

   "Dan hot pants?"

   "Malah bikin mual. Kasihan deh lo."

   Kami tertawa berderai-derai. Itu lelucon yang hanya kami yang tahu dimana lucunya. Aku mengambil gagang telepon ditangan Kak Rani.

   "Hai, Kirana, manisku, sayangku,"

   Suara Andra terdengar ceria.

   "Happy banget, kamu lagi high ya?"

   Bisikku. Takut Mama Papa menguping. Meski mereka lagi nonton TV, bukan tak mungkin sebenarnya telinga mereka memanjang sampai kesini.

   "Ya ampun, gue kan nyimeng cuma sekali itu. Jangan diinget-inget dong."

   "Yang bener?"

   "Bener. Kenapa sih elo rese banget hari ini nek?"

   Andra protes.

   "Habis kamu kedengaran gembira banget."

   "Sebenarnya nggak sih! Gue justru sedih nih."

   "Eh, ada apa?"

   "Gue... nggak lolos ujian masuk UGM."

   "Oh. Aku ikut sedih,"

   Kataku sungguh-sungguh.

   "Nggak papa. Sebenarnya ini berkah juga kok."

   "Kok gitu?"

   "Setelah gue pikir-pikir, gue nggak gitu pengin kuliah di komunikasi. Gue mau kuliah fotografi aja."

   "Wow! Keren!"

   "Yes! Gue tahy elo pasti mendukung gue! Cuma elo yang ngerti, Na!"

   Kata Andra.

   "Masa sih?"

   "Iyalah. Nyokap gue kecewa dan uring-uringan. Tapi gue kekeuh. Habis mau gimana lagi kalau gue sukanya itu?"

   "Kamu bener. Kan kamu yang akan menjalani."

   Aku inget Kak Rani. Aku tak ingin Andra mengalami penderitaan yang sama.

   "Asyik juga,"

   Sambungku.

   "kamu nggak jadi ke Jogja. Paling nggak, ada teman disini."

   "Oh, itu! Sori, Na, gue tetep ke Jogja,"

   Kata Andra.

   "Eh?"

   "Gue pengin kuliah fotografi di ISI."

   "ISI?"

   "Institut Seni Indonesia. Di Jogja."

   "Oh. Kenapa nggak di Jakarta aja? Kan ada IKJ?"

   "Gue pengin tempat baru, Na. Pengin suasana yang beda. Yah, siapa tahu, ntar gue bisa berubah,"

   "Hm, memangnya itu ngaruh ya? Bisa gitu?"

   Tanyaku.

   "Nggak tahu juga. Tapi paling nggak, lingkungan yang baru baik buat gue."

   Bisa jadi.

   "Bagaimana dengan Banyu?"

   Aku mengalihkan pembicaraan.

   "Dia keterima nggak di ITB?"

   "Pengumumannya baru besok. Tapi dia pasti keterima lah. Gila aja kalau nggak, ITB bakal rugi bandar."

   Kamis, 2 April 2009 Benar, Banyu diterima di ITB.

   Aku tahu dari Maria.

   Rasanya ada lubang menganga didadaku.

   Ada perasaan iri yang kental.

   Salah seorang temanku berhasil mencapai impiannya.

   Sementara aku? Ada perasaan sedih juga.

   Banyu akan pergi ke Bandung setelah kemarin Andra mengumumkan akan pergi ke Jogja.

   Satu per satu mereka meninggalkanku.

   "Gue tahu gue harus seneng, teman kita berhasil. Tapi kok gue sedih ya Na?"

   Maria curhat lewat telepon.

   "Iya, aku juga sedih. Kita betul-betul akan berpisah. Banyu, Andra, mungkin Alvin."

   "Gue nggak nyangka Andra serius mau ke Jogja. Kenapa sih dia keras kepala? Tau nggak, ke Jogja aja dia belum pernah! Dia nggak punya sodara disana. Dia pasti juga nggak tahu kalau Jogja itu kecil dan sepi,"

   Kata Maria. Kok Maria jadi emosional gitu? Kecil iya, tapi sepi? Nggak lah.

   "Menurut elo, apa dia pergi buat menghindari gue?"

   "Ha?"

   "Jujur aja deh, Na. Kalian kan dekat. Elo pasti tahu alasannya pergi ke Jogja kan?"

   "Karena dia pengin kuluah di ISI."

   "Alesan. Di Jakarta kan ada IKJ!"

   "Kok kamu nggak percaya sih?"

   "Habism daridulu bukannya dia pengin kuliah di Jakarta? Biar bisa terus dekat ibunya setelah ayahnya meninggal?"

   Tanya Maria.

   Ayah Andra meninggal ketika Andra kelas 10.

   Semenjak itu ia dekat sekali dengan ibu dan dua adik perempuannya.

   Ia banyak curhat padaku waktu itu.

   Ayahnya memang bukan Ayah teladan sih.

   Penyakit sirosis yang membunuhnya adalah dampak kebiasaannya minum alkohol.

   Alkohol juga yang menyebabkan Andra nggak pernah akur dengan ayahnya.

   Tapi ketika ayahnya tiada, Andra toh limbung juga.

   Apalagi ia menyadari, ia menjadi satu-satunya lelaki dirumah, yang harus menjaga ibu dan adik-adiknya.

   "Kok tiba-tiba dia berubah, pengin kuliah diluar kota?"

   Tanya Maria. Aku termangu. Semua yang dikatakan Maria masuk akal. Tapi ada satu alasan yang disembunyikan yang Maria tidak tahu dan aku tidak bisa memberitahunya.

   "Apa pendapat lo tentang LDR Na?"

   Tiba-tiba Maria mengubah topik pembicaraan.

   "Maksudmu, Long Distance Relationship? Pacaran jarak jauh?"

   "Heeh."

   "Kamu mau pacaran sama siapa?"

   Aku kaget. Aku tidak mendengar Maria dekat dengan cowok setelah ia putus dari Andra.

   "Ya Andra lah. Dia kan akan ke Jogja."

   "Andra? Bukannya kalian udah putus?"

   Aku benar-benar bingung.

   "Ya, tapi waktu itu kan gue lagi emosi. Sebenarnya gue masih suka sama dia. Hm, atau sebaiknya gue kuliah di Jogja juga?"

   Sinting! Aku tahu cinta memang bisa membuat orang melakukan hal irasional. Tapi kuliah di luar kota demi mengejar cowok? Aduh! "Mar, kamu suka banget ya sama Andra?"

   Tanyaku.

   "Selama ini sih dia cowok yang paling oke. Nggak tahu deh, nggak pernah gue secinta ini sama cowok."

   CINTA? Maria nggak pernah bilang cinta.

   Biasanya sih dia bilang naksir, ngebet, suka, have a crush.

   Kok sekarang jadi serius begini? Ironisnya, dari sekian cowok yang pernah dekat dengannya, justru dia CINTA pada Andra yang NGGAK MENYUKAINYA! Hidup memang rumit.

   "Tapi kalian udah putus,"

   Aku mengingatkan lagi.

   "Bukan berarti kami nggak bisa jadian lagi kan? Akhir-akhir ini kami deket lagi lho. Udah bercanda-canda kayak dulu."

   "Hmmm... menurutku sih. Menurutku lhooo, sebaiknya kamu nggak usah mikirin Andra lagi,"

   Kataku.

   "Kenapa? Dia udah punya pacar?"

   "Nggak juga sih. Pacaran jarak jauh itu susah Mar,"

   Kataku buru-buru mengelak.

   "Tapi kalau kami berdua punya komitmen, apa salahnya?"

   Komitmen? Please deh, makin menye-menye aja.

   "Mar, percaya deh, lebih baik kamu lupakan Andra."

   Aku lebih tegas kali ini.

   "Ya ampun? Apa sih urusan lo Na? Andra kan bukan... Ya ampun, jangan-jangan dia... yang... membuatmu..."

   "Astaga. BUKAN!"

   Teriakku. Pertama orangtuaku, sekarang Maria.

   "Habis elo segitunya menghalangi gue. Kalian kan akrab dan... dia lebih memedulikan elo daripada gue. Dan anak-anak bilang..."

   "Anak-anak bilang apa?"

   Tanyaku.

   "Nggak sih. Mereka memang banyak mulut."

   "APA? Kamu bisa jujur padaku Mar."

   Aku benat-benat penasaran sekarang.

   "Tapi janji elo nggak marah?"

   "Janji."

   Maria menghela napas sejenak. Aku tahu Maria nggak akan tahan menyimpan bahan gosip.

   "Hm... anak-anak bergosip. Andra lah yang melakukan itu padamu."

   Bwahahahaha! Aku pengin ngakak.

   "Gue nggak percaya sih."

   Maria buru-buru menambahkan. Bohong! Pasti awalnya ia juga bertanya-tanya apakah itu benar.

   "Tapi anak-anak itu... ya mereka liatnya kalian dekat. Kalian sering jalan bareng. Andra sering nganterin elo pulang,"

   Katanya lagi. Iya sih. Tapi ngantar pulang aja nggak bisa bikin cewek hamil kan? "Itu nggak benar. Percaya deh padaku. Kami cuma berteman."

   Oh, tidak. Maria nggak cemburu padaku lagi kan? Apa ini cuma taktiknya untuk mengulik hubungan kami? Atau lebih jauh, siapa ayah bayiku? "Ya, gue percaya kok,"

   Katanya.

   Sabtu, 4 April 2009 Aku diterima! Yes! Aku mahasiswa! Kedokteran! UI! Begini.

   Hari ini hasil ujian masuk UI diumumkan! Begitu bangun, yang aku buka adalah.

   INTERNET diruang kerja Papa.

   Dengan tangan gemetar kumasukkan nomor pesertaku.

   Tuhan, izinkan aku diterima.

   Ini akan jadi hadiah yang paling sempurna diantara hari-hari burukku.

   Bukankah aku berhak mendapat sedikit kebahagiaan, Tuhan? Menyebalkan.

   Internetnya mendadak lambat sekali.

   Kupandangi proses loading yang kayaknya nggak maju-maju itu.

   Oh, oh, sudah hampir muncul.

   Aku menutup mata.

   Takut bila namaku tidak ada disana.

   Begitu aku membuka mata...

   YES! Aku diterima! Aku baca sekali lagi.

   Ya, namaku ada disitu.

   Wow! Kirana Ayushita.

   Mahasiswa Kedokteran UI.

   "Mama... Mama...!"

   Aku berteriak. Mama datang tergopoh-gopoh.

   "Ada apa?"

   Aku tak bisa menghentikan senyumanku yang terkembang lebar sekali. Mama menatap layar komputer dimeja.

   "Kamu diterima? Oh, terima kasih, Tuhan."

   Mama memelukku, matanya berkaca-kaca. Lima menit kemudian Setelah agak tenang, aku menelpon Kak Rani.

   "Uf, gue pikir ponakan gue lahir mendadak,"

   Sahutnya dengan suara mengantuk. Ugh, dia kenapa sih? "Selamat ya. Itu aja kan? Gue mau tidur lagi."

   Cep, telepon diputus.

   Uf, kalau aku nggak lagi senang, pasti aku sudah ngomel.

   Tapi aku sedang senang dan tidak ada yang bisa merusak moodku.

   Berikutnya aku menelpon Alvin.

   Pengin tahu dia diterima atau nggak.

   Aku juga pengin tahu siapa saja teman kami yang lolos ujian ini.

   "Aku diterima,"

   Kata Alvin. Suaranya tenang, tapi aku tahu ia mengatakannya dengan tersenyum.

   "Waaaahhh, selamat ya."

   Nggak mengagetkan sebenarnya. Aku tahu ia pasti diterima.

   "Selamat juga buat elo, Na."

   "Thanks. Senang sekali ya. Banyu juga diterima, tapi... ya dia kan udah diterima di ITB."

   "Iya, beasiswa lagi. Panteslah, dia kan memang jenius. Eh,"

   Alvin tiba-tiba berbisik.

   "Chacha nggak diterima."

   Oh.

   "Apakah dia baik-baik aja?"

   "Dia down. Dia masih dikamar. Tapi gue rasa nggak lama. Dia udah keterima di Binus kok."

   "Baguslah. Terus rencanamu kuliah di Australia gimana?"

   Tanyaku. Alvin terdiam sejenah.

   "Tetap jadi."

   "Jadi kamu cuma ikut ujian UI aja, terus setelah keterima kamu nggak ambil?"

   Ya ampun, orang sepandai dan sekaya Alvin mudah saja membuang kesempatan kayak gini. Yah, Alvin memang cerdas, tapi itu kan nggak adil. Dia mengambil jatah orang lain.

   "Ya habis dulu gue masih ragu-ragu dan nggak pengin menutup peluang. Tapi senang juga gue diterima. Ini seperti pembuktian buat gue."

   Gila! Bagi Alvin ini sekedar pembuktian. Kami masih ngobrol setelah itu. Ngobrolin Denis yang keterima di jurusan arsitek, Jerry yang nggak lolos, Devi yang lolos dipilihan kedua.

   "Tapi kayaknya cukup disini aja deh senangnya,"

   Kata Alvin setelah kami ngobrol cukup lama.

   "Kitakan belum lulus."

   "Uf,"

   Aku mendesah sebal.

   "Kenapa sih kamu mesti ngingetin aku?"

   "Hehehe, sori. Tapi kan konyol banget kalau kita keterima di UI tapi nggak lulus SMA."

   Aku terdiam. Tiba-tiba jadi terempas lagi.

   "Jangan khawatir lagi, UN kan gampang. Kita pasti bisa,"

   Alvin menyemangatiku. Aku jadi termotivasi. Setelah sarapan, aku membuka buku dan mulai mengerjakan soal. Enam belas hari lagi! Rabu, 8 April 2009, 07.15

   "Maksud Bapak? Ini nggak adil!"

   Jantungku berdebar mendengarnya. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan mereka lewat telepon. Tapi firasatku mengatakan ada sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Telepon yang terlalu pagi. Dari sekolah. Pasti sangat buruk.

   "Tapi Bapak tidak bisa melakukannya. Ini melawan hukum,"

   Suara Mama bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ia tampak menahan tangis. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku sudah siap menangis.

   "Tidak mungkin, Pak. Ujian susulan? Tidak bisa juga? Saya mohon, Pak. Saya mohon sekali ini saja. Dia sudah sampai sejauh ini. Bapak kan tahu bagaimana Kirana sudah berusaha keras."

   Aku tercengang. Napasku berhenti.

   "Pak, kami mohon toleransi. Gunakan naluri Bapak. Tinggal dua minggu lagi. Demi Tuhan, Kirana diterima di kedokteran UI!"

   Kali ini Mama menjerit.

   Air mataku akhirnya jatuh.

   Aku sudah bisa menduga apa berita buruk itu.

   Aku tidak bisa ikut UN.

   Aku dikeluarkan dari sekolah.

   Dua minggu sebelum ujian.

   Tiba-tiba dunia terasa amat sangat gelap.

   Sorenya Setelah menerima pesan kematian itu, Mama menghabiskan waktunya ditelepon.

   Diantara panik dan frustasinya ia menelpon Papa, Kepala Sekolah, Bu Welas, beberapa kerabat yang mungkin bisa membantu Om Jody yang bekerja di Departemen Pendidikan, Tante Husna yang bekerja di Kejaksaan, sepupuku Ditya yang wartawan Kompas.

   Ia masih menelpon sana sini ketika Bu Welas datang.

   Aku tidak mau menemuinya.

   Aku benci padanya, pada semua guru di sekolah.

   Akhirnya aku beranjak, setelah dipaksa oleh Mama.

   Saat aku melihat Bu W elas duduk di sofa, kemarahanku menggelegak.

   Dia bohong! Katanya aku boleh ikut UN.

   Katanya aku nggak akan dikeluarkan! Kenapa dia mesti memberiku harapan palsu seperti itu? Namun tatapan Bu Welas yang tegang tapi teguh membuatku luluh seketika.

   Begitu aku duduk, yang aku dengar adalah kalimatnya yang begitu mantap.

   "Kirana, Ibu nggak pengin kamu menyerah. Kita akan berjuang."

   Berjuang? Apa maksudnya berjuang? Apa yang harus kuperjuangkan? Bukankah semua sudah diputuskan? Aku memandangnya bingung. Aku tidak mengeryi apa yang di ocehkan.

   "Kirana, kamu tidak akan menyerah begitu saja kan?"

   Bu Welas menatapku khawatir saat aku tidak juga merespons.

   "Maksud ibu?"

   "Kamu tidak menerima keputusan sekolah begitu saja kan?"

   Tanyanya. Apa aku punya pilihan lain? "Kamu dan orangtuamu bisa menghadap ke Kepala Sekolah. Mendiskusikan kemungkinan yang ada,"

   Katanya.

   "Tapi tadi saya sudah bicara dengan Kepala Sekolah,"

   Mama menukas.

   "Tidak ada gunanya. Katanya keputusan itu sudah tidak bisa diubah lagi!"

   "Tidak ada keputusan yang tidak bisa diubah,"

   Bu Welas berkata tegas.

   "Kenapa tidak dicoba? Tidak ada ruginya. Bukan begitu, Kirana?"

   Bu Welas memandangku lagi.

   Sungguh aku tidak mengerti.

   Aku sudah muak dan capek dengan semua ini.

   Aku sudah nggak peduli.

   Kenapa justru Bu Welas begitu ngotot? "Semua terserah kamu, Kirana.

   Kalau kamu memang masih ingin ikut UN, dan itu yang Ibu inginkan, Ibu janji akan membantu sekuat tenaga.

   Tapi pertama-tama, kamu sendiri harus mau melakukannya.

   Ini masa depanmu."

   Kami semua terdiam. Semua menunggu jawabanku.

   "Jadi bagaimana?"

   Bu Welas bertanya lagi.

   "Saya... Ingin ikut UN."

   Kataku akhirnya. Kesadaran itu datang. Kesadaran sebagai korban. Sebagai manusia yang terenggut haknya. Aku memang hamil. Aku mungkin gagal sebagai remaja. Tapi aku nggak mau menambah panjang daftar kegagalanku! Bu Welas tampak lega.

   "Apapun akan kami lakukan,"

   Mama berkata..Hi4 menelpon.

   "Hai,"

   Suara Andra yang pertama aku dengar.

   "Kami sedang berkumpul dirumah Alvin."

   Aku nyaris tercekik karena iri.

   "Kirana,"

   Kali ini Alvin yang bicara. Mereka pasti menghidupkan speaker phone.

   "Kami udah dengar berita itu."

   "Dasar sekolah brengsek!"

   Tiba-tiba Maria memaki.

   "Kalau elo mau bakar sekolah itu, gue bantuin."

   "Shhh... Maria."

   Aku mendengar suara Banyu. Aku bisa mambayangkan bagaimana ia menenangkan Maria.

   "Kami turut sedih Na,"

   Suara Chacha terdengar penuh simpati. Yeah, setelah ia tahu bahwa aku bahkan tidak akan lulus SMA, ia pasti mengerti bahwa tidak diterima di UI sama sekali nggak buruk.

   "Dengar Na, kami akan membantumu."

   Kalimat Banyu terasa sangat menenangkan.

   "apapun. Tapi kami mohon jangan menyerah."

   "Iya Na. Kalau elo mau demo, kami akan dukung lo!"

   Maria berteriak lagi.

   "Kalau elo pengin mengumumkan nama kepala sekolah brengsek itu ke koran, gue bersedia ngundang wartawan. Kalau elo mau bikin e-mail berantai. Gue juga bisa bantu nyebarin. Perlu gue post di Facebook?"

   "Makasih,"

   Kataku sambil menahan haru. Tak ada yang lebih kusyukuri saat ini selain temanteman yang setia seperti mereka.

   "Elo bisa mengadukan sekolah ke pengadilan, tau kan?"

   Andra berkata lagi. Pengadilan? Jujur aku nggak pengib masalah ini tambah rumit. Aku cuma ingin lulus SMA. Itu saja.

   "Na,"

   Alvin berkata setelah aku terdiam cukup lama.

   "kami nggak ingin memaksa lo. Kami cuma ingin elo lulus bersama kami. Kalau elo nggak lulus, kami nggak akan bahagia, Na."

   Aku tercekik haru.

   "Jadi, please, please, demi persahabatan kita, elo mau berjuang kan?"

   Tanya Alvin lagi.

   "Ya,"

   Kataku akhirnya memutuskan. Bila mereka segigih itu, masa aku menyerah? "Aku akan datang kesekolah besok."

   "Yeessss! That's my kind of girl!"

   Alvin berseru.

   Kamis, 9 April 2009 Sekolah, tempat yang kupuja dulu, kini terasa mengerikan.

   Meski semua orang kini tahu, aku tetap mengenakan kardigan untuk menyembunyikan perutku.

   Aku tidak ingin terlihat bangga dan seolah pengen pamer kehamilanku.

   Aku sengaja datang ketika pelajaran sudah dimulai.

   Ditemani Mama, aku langsung menuju kantor kepala sekolah.

   "Hei,"

   Maria menghadangku di depan kantor kepala sekolah. Lalu aku menyadari ia tidak sendiri. Anggota Hi4 yang lain juga ada disitu.

   "Kalian tidak ikut pelajaran?"

   Bisikku.

   "Elo jauh lebih penting,"

   Alvin balas berbisik.

   "Masuklah, Pak Rudiyan sudah menunggu. Kami disini berdoa untukmu,"

   Kata Banyu.

   "Kalau butuh bantuan, teriak aja."

   Maria meremas tanganku.

   "Gue bisa mendatangkan pasukan dalam sekejap."

   Aku cuma mengedipkan mata dan mengangguk.

   Mama menarikku ke ruang kepala sekolah.

   Ternyata Bu Welas juga sudah menungguku didalam.

   Ada juga beberapa guru lain.

   Wakil Kepala Sekolah dan Guru BK.

   Pak Rudiyan, kepala sekolah kami yang selalu kuanggap ramah dan bijaksana, kini duduk tegang dikursinya.

   Bu Welas lah yang mempersilahkan kami duduk.

   Mama tidak membuang waktu.

   Dia langsung mengeluarkan semua alasan agar aku bisa ikut UN.

   "Kandungan Kirana sudah tujuh bulan. Selama ini Bapak tidak pernah tahu kan? Anggap saja kali ini Bapak juga tidak tahu."

   Aku tidak suka Mama membicarakan kondisiku dengan blakblakan seperti itu, tapi aku tidak punya pilihan.

   "Bu, sekolah ini punya peraturan. Kami juga punya tanggung jawab moral, kalau kami membiarkan Kirana begitu saja, ini bisa jadi contoh yang buruk bagi siswa lain."

   Kata-kata Pak Rudiyan begitu klasik. Aku tahu itu bahkan sebelum ia mengatakannya. Dan yeah, aku yakin sekali pasti banyak sekali siswi yang ingin ikut-ikutan hamil sepertiku.

   "Sekolah ini punya nama baik yang harus dijaga. Ini sekolah favorit!"

   Kata-katanya benar-benar membuatku muak.

   "Kasus ini bisa menjatuhkan reputasi kami. Kalau kami tidak menanganinya dengan baik, bisa-bisa orangtua siswa tidak mempercayai kami lagi."

   Astaga! Tubuhku gemetar mendengarnya. Meski sudah tahu, aku tetap syok mendengarnya. Yang penting bagi mereka tentu saja REPUTASI.

   "Pak,"

   Bu Welas berdiri.

   "

   Memang benar kita punya tanggung jawab moral, termasuk tanggung jawab terhadap masa depan anak didik kita. Bila kita tidak meluluskan Kirana, itu artinya kita tidak bertanggung jawab."

   "Bu Welas,"

   Pak Rudiyan menukas.

   "kenapa Ibu membela tindakan asusila semacam ini?"

   ASUSILA? Kulihat wajah Bu Welas jadi merah padam.

   "Pak, Bapak tahu guru-guru tak mungkin bisa menfawasi siswa selama dua puluh empat jam. Lagipula, bukankah Bapak yang menolak sex education? Menurut Bapak itu malah bikin siswa pengen mencoba! Padahal itu penting supaya,,,"

   "Memangnya ada jaminan mereka takkan melanggar norma bila ada sex education?"

   Kata seorang guru. Aku dan Mama hanya bisa duduk terpaku mendengar perdebatan mereka.

   "Sudahlah."

   Bu Welas mengibaskan tangan.

   "Intinya, Kirana sudah cukup belajar dari semua ini. Apa masih perlu kita tambah babannya?"

   Bu Welas melunak.

   "Bapak dengarkan, dia diterima di Fakultas Kedokteran UI. Seharusnya kita bangga padanya."

   Seketika Pak Rudiyan melotot. Haha, bagaimana ia bisa bangga pada siswi bejat sepertiku? "Maaf,"

   Pak Rudiyan kembali menghadap kami.

   "saya atas permintaan guru-guru dan orangtua murid yang lain, terpaksa melakukan ini. Saya tidak bisa mengizinkan Kirana ikut UN."

   Bu Welas terbelalak, mulutnya ternganga.

   "Pak, saya mohon,"

   Aku seketika berdiri. Aku tidak keberatan, bahkan bila harus berlutut menyembahnya.

   "Saya sudah mengecewakan banyak orang. Saya mengecewakan Bapak, guruguru, teman-teman,"

   Aku terisak-isak.

   "Dan yang paling berat, saya mengecewakan orangtua saya."

   Kulihat sepintas, Mama tersentak.

   "Bila saya tidak lulus UN, tentu mereka akan semakin kecewa lagi. Saya tidak ingin itu terjadi."

   Aku ingin menunduk dan menangis. Tapi tak bisa. Aku harus menatap Kepala Sekolah dan menunjukkan aku bersungguh-sungguh. Sekilas kulihat pandangannya melunak. Mungkin ia tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu.

   "Kirana,"

   Pak Rudiyan berdeham sebentar, menatapku tajam.

   "maafkan Bapak, tapi Bapak tidak bisa mengabaikan peraturan sekolah, pendapat guru-guru lain, dan..."

   "Ini tidak adil, Pak,"

   Bu Welas menukas.

   "Pendidikan adalah untuk semua orang. Siapapun dia. Laki-laki dan perempuan. Miskin dan kaya. Hamil atau tidak. Bila Bapak tidak memberikan hak itu untuk Kirana, Bapak melanggar hukum. Melanggar amanat undang-undang."

   Aku ternganga. Pak Rudiyan juga. Ia tidak menyangka Bu Welas begitu ngotot.

   "Kirana cuma hamil, Pak,"

   Bu Welas meneruskan emosinya.

   "sesuatu yang alamiah. Dia bukannya menjual ganja atau membunuh orang."

   "Bu Welas, dia tidak CUMA hamil. Dia sudah berzina! Melanggar agama! Dan itu TIDAK alamiah!"

   Guru lain berseru.

   "Agama itu urusannya dengan Tuhan. Bukan dengan Bapak,"

   Bu Welas meradang.

   "Yang kita tangani adalah masalah dunia. Bila memang Kirana melanggar hukum, dia harus dihukum. Tapi dia tidak melanggar hukum. Justru kita yang melanggar hukum. Kirana bisa menyeret kita ke pengadilan kalau dia mau."

   Pak Rudiyan menatap Bu Welas gusar.

   "Silahkan kalau dia mau. Saya jamin, pengadilan akan berpihak pada sekolah."

   Tentu saja! Aku tak meragukannya. Tapi aku bahkan tak memikirkannya. Yang kupikirkan saat ini adalah. Aku GAGAL. GAGAL. Tak tahan lagi, tangisku pecah. Aku bangkit dan kuterabas pintu keluar.

   "Kirana!"

   Anak-anak Hi4 bangkit begitu melihatku. Maria langsung memelukku.

   "Tua bangka itu bilang apa?"

   Aku hanya bisa menggeleng, menghapus air mata yang berleleran.

   "Dasar kapala sekolah keparat!"

   Maria mendesis.

   Tiba-tiba, ia dan yang lainnya menerobos masuk ke ruang kepala sekolah.

   Semua terjadi begitu cepat.

   Buru-buru aku menyusul mereka.

   Aku memang benci pada kepala sekolah saat ini.

   Tapi aku tidak mau ribut.

   Aku capek.

   Maria tampaknya justru ingin ribut.

   Dia marah-marah sampai Alvin harus membekap mulutnya.

   "Pak, kami mohon, biarkan Kirana ikut ujian,"

   Andra langsung maju.

   "Iya, Pak, dia lebih pandai daripada saya,"

   Chacha ikut maju. Lalu Alvin. Lalu Banyu. Pak Rudiyan menggebrak meja. Guru-guru yang lain menghalangi kami.

   "Kalian tidak perlu ikut campur. Semua sudah diputuskan. Ini urusan guru!"

   "Tapi kami berhak membela teman kami,"

   Maria maju dengan dagu terangkat.

   "Apapun pembelaan kalian, keputusan tidak bisa diubah. Kirana tidak boleh ikut UN!"

   Ia berteriak.

   "Kalau begitu, saya juga tidak akan ikut UN,"

   Tiba-tiba Banyu, yang sejak tadi diam, mengeluarkan kalimat yang mengejutkan kami semua. Aku terlolong tak percaya. Aku tahu teman-temanku akan membelaku dengan cara apapun, tapi sampai sejauh ini? Wow.

   "Banyu, kamu nggak perlu melakukannya,"

   Kataku gemetar. Penuh keharuan, tapi juga penuh ketakutan. Banyu adalah siswa paling cerdas disekolah. Aku bahkan yakin dia akan meraih nilai UN tertinggi di DKI Jakarta. Pak Rudiyan tak percaya pada pendengarannya.

   "Kamu tak perlu menanggung kesalahan orang lain."

   "Kesalahan orang lain? Ini kesalahan saya Pak,"

   Kata Banyu.

   "Apa?"

   Teman-temanku berpandangan tak mengerti.

   "Tidak! Tidak!"

   Aku berteriak.

   "Banyu, kamu tidak salah. Ini salahku, salahku sendiri."

   "Maksudmu?"

   Bu Welas berjalan mendekati Banyu.

   "Saya yang... membuat... Kirana jadi begini..."

   Bibir Banyu gemetar. Tapi suaranya sangat jelas. Ditelingaku, kalimat itu menyambar bagai petir.

   "Kalian berdua... yang melakukannya?"

   Bu Welas memastikan lagi.

   "Ya,"

   Banyu mengangguk. Tangisku pecah. Mama terkulai pingsan. Teman-tamanku bertatapan seolah mereka baru saja mendengar hal yan paling mustahil didunia.

   "Bukan Banyu! Bukan dia! Dia tidak bersalah!"

   Aku histeris. Sorenya Banyu juga dikeluarkan dari sekolah. Gila! "Sebenarnya Pah Rudiyan enggan mengeluarkannya,"

   Kata Maria lewat telepon.

   "tapi Banyu sendiri yang memaksa. Katanya, kalau dia nggak keluar, itu nggak adil buat elo. Pak Rudiyan nggak bisa maksa juga. Dia kan nggak mungkin menjemput dan menyeret Banyu ke sekolah."

   Apa setelah Banyu keluar semuanya jadi adil buat kami berdua? Aku tak tahu.

   "Pak Rudiyan nggak mau kehilangan Banyu. Banyu kan aset buat sekolah. Sinting memang."

   Maria mendumel. Apa sih yang nggak sinting hari-hari ini? Orangtuaku jelas sinting banget. Antara lega dan kecewa. Mereka lega karena paling nggak mereka tahu "pelaku kejahatan"

   Itu bukan mantan napi atau pengedar narkoba. Dia justru bintang sekolah. Tapi mereka kecewa karena ternyata si pelaku adalah seorang anak bawang, yang miskin, dan berasal dari keluarga yang "bukan siapa-siapa".

   "Tapi Na,"

   Maria melanjutkan, lebih tenang kali ini.

   "Beneran Banyu ya? Bagaimana kalian bisa...? Hm, sori, nggak papa sih kalau elo nggak mau cerita. Gue cuma masih sulit buat percaya."

   Aku sendiri masih sulit percaya.

   Ketika Aku Jatuh Cinta, Lalu Jatuh Betulan Awal Juli tahun lalu BANYU! Cowok pendiam itu berhasil membuatku jatuh cinta.

   Luluh lantak.

   Senyumannya yang misterius, kulitnya yang gelap, dan matanya yang teduh selalu berhasil menyihirku.

   Dulu ia sama seperti Alvin dan Andra.

   Hanya sekedar anggota Hi4 yang punya mimpi jadi pemain band besar.

   Kalau aku kagum padanya, itu semata karena ia jenius dan pintar bermain drum.

   Ia sebenarnya punya banyak penggemar.

   Yah, kepopulerannya terus naik tanpa ia upayakan.

   Dengan posisinya sebagai juara umum, pemenang lomba fisika, dan drummer Hi4, ia tidak bisa menolak kepopulerannya.

   Tapi seperti pernah aku ceritakan, ia justru lebih sering menghindar, bersembunyi dari orang-orang.

   Lalu suatu sore dia jadi istimewa.

   Setelah aku jatuh cinta.

   Langit gelap sore itu.

   Aneh.

   Waktu itu bulan Juli.

   Aku keluar tergesa dari Citos sambil mengutuki global warming sialan.

   Hari ini aku dan beberapa teman ditraktir Diane.

   Ia sahabatku waktu SMP dan hari ini ia ulang tahun, sweet seventeen.

   Kalau bukan karena undangannya, aku malas datang dimal yang jauh dari kosku ini.

   Uh, nana sore ini macet pula.

   Kalau naik taksi, bakal makan hati.

   Tapi kalau naik angkot, bakal capek dan lama banget, aku mempercepat jalanku.

   Yang penting keluar dari mal dulu.

   "Ojek! Ojek Kak!"

   Tukang-tukang ojek yang berada dipangkalan berebut penumpang. Oh, kenapa tidak naik ojek saja? Paling tidak sampai terminal bus. Aku berbalik dan mendekati satu tukang ojek.

   "Ojek Kak? Mari."

   "BANYU!"

   Tukang ojek itu terpaku.

   "Ki..rana?"

   "Aku antar kamu pulang,"

   Ujarnya setelah kami bersitatap sebentar dengan kikuk. Aku masih terlalu shock! Banyu. Aku tahu ia bukan anak orang kaya. Tapi aku tidak menyangka ia sampai harus jadi TUKANG OJEK.

   "Gratis untuk kamu,"

   Katanya lagi. Ya ampun! Untuk dia, aku bersedia membayar tiga kali lipat! Tapi bukan itu masalahnya. Bukankah akan terasa aneh sekali? "Yuk. Sebelum turun hujan."

   Aku segera naik keboncengan. Motor melaju. Aku merasa rikuh. Kurasa Banyu lebih rikuh lagi. Kami tidak banyak bercakap-cakap. Tak ada gunanya juga. Jalanan bising sekali. Sesekali Banyu menggumamkan sesuatu dan aku menyahut pendek-pendek.

   "ya".

   "oh, begitu".

   "memang". Aku juga bingung, haruskah aku memeluknya, atau paling tidak memegang pinggangnya? Aku putuskan tidak.

   "Yah, udah mulai gerimis. Aku tidak bawa jas hujan. Kamu mau terus? Berteduh? Atau naik taksi?"

   Tanyanya.

   "Terus aja deh."

   Bila berteduh, tentu kekikukan ini akan menjadi-jadi. Bila aku naik taksi, kesannya nggak sopan, mau enak sendiri.

   "Yakin? Basah nggak papa?"

   Tanyanya.

   "Nggak papa,"

   Sahutku. Aku hanya ingin cepat sampai. Bressss!!! Hujan mengguyur beberapa detik kemudian.

   "Fiuh,"

   Aku bergegas turun begitu kami sampai didepan kosku. Bajuku basah. Baju Banyu apalagi.

   "Mampir dulu, Nyu. Sampai hujan berhenti."

   "Nggak, nggak usah."

   JLEGRAAARRR! Seketika petir menyambar. Otomatis aku merunduk ketakutan. Banyu serta merta menepi.

   "Petirnya menakutkan. Dan hujannya deres banget. Berteduh aja dulu disini, aku buatkan teh,"

   Kataku lagi. Banyu sudah bersusah payah mengantarku, jadi aku berusaha membalasnya. Apalagi aku lihat bibirnya mulai gemetar membiru. Aku mengambil handuk kering dan kaus longgar yang jarang aku pakai.

   "Nih, keringkan dulu badanmu dikamar mandi."

   Banyu tampak enggan.

   Tapi akhirnya menurut.

   Kurasa ia hanya enggan berdebat.

   Setelah itu kami minum teh berdua.

   Dari situlah semua bermula.

   Aku terpesona pada rambut Banyu yang basah.

   Otot-ototnya yang bersembulan dari balik kausnya yang ketat karena basah.

   Aku terhanyut pada cara bicaranya yang tenang dan dalam.

   Meski aku sudah mengenal Banyu selama dua tahun, aku tidak pernah dekat padanya.

   Apalagi sedekat ini.

   Hari ini aku merasa kami punya ikatan.

   Aku memperhatikan Banyu punya suara tawa yang enak didengar.

   Ia juga sangat sopan.

   Sebetulnya ia tidak begitu pendiam bila bicara berdua saja.

   "Kirana, aku akan sangat berterima kasih kalau kamu tidak mengatakan pada siapapun bahwa aku bekerja seperti ini,"

   Katanya.

   "Tentu saja, aku janji."

   "Aku tidak ingin hidupku lebih rumit."

   Aku mengerti.

   Hujan berhenti.

   Banyu bangkit dan berpamitan.

   Lucunya, aku tidak ingin hujan berhenti.

   Akhir Juli tahun lalu Aku makin sulit menolak pesona Banyu.

   Aku melihat Banyu pun merasakan getaran aneh yang sama.

   Satu-satunya penghalang adalah perjanjian Hi4, yang sebenarnya nyaris tidak bisa dikatakan penghalang.

   Banyu bahkan rela keluar dari Hi4 katanya.

   Tapi kami tak perlu keluar.

   Mereka toh tidak tahu.

   Mereka tidak tahu, aku dan Banyu saling memandang ketika kami latuhan.

   Mereka tak tahu jari tangan kami bertautan ketika kami nonton konser.

   Awalnya begini.

   Suatu malam sehabis latihan, Andra tidak bisa mengantarku pulang.

   Banyu yang mengantarkanku.

   Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya.

   Dan itu memberiku sensasi aneh.

   Aneh, tapi menyenangkan.

   Ketika dadaku menempel ke punggungnya, rasa aneh itu makin hebat, nyaris membuatku melayang, membuat seluruh tubuhku seperti kesetrum.

   Jantungku bergemuruh.

   Seperti ada sesuatu yang bergolak didalam, yang ingin aku lepaskan.

   Banyu sepertinya merasakan hal yang sama.

   Dia tiba-tiba berhenti dibelakang sebuah gedung yang sepi dan agak gelap.

   Kukira motornya rusak.

   Tapi dia hanya berdiri bingung.

   Aku bertanya kenapa.

   Lalu dia memegang tanganku dan berkata.

   "Hm, boleh aku menciummu? Sekali saja,"

   Oh.

   "Maaf. Kalau nggak boleh nggak papa. Aku hanya... ingin... hm, yuk, pulang saja,"

   Dia salah tingkah. Tapi yang kulakukan adalah menarik tangannya dan menyodorkan pipiku. Kami pacaran sejak malam itu. Aku lupa bagaimana ia menembakku. Mungkin biasa saja. Mungkin kayak.

   "Terus, apa status kita sekarang?"

   Susah mengingat suatu kalimat kalau yang kamu rasakan adalah bagaimana pipimu panas dan dadamu berdebar setelah dua kali dicium cowok supercakep.

   September-Oktober 2008 Segalanya berjalan dengan cepat.

   Terlalu cepat.

   Andai aku tahu waktu itu.

   semua yang terlalu cepat itu tidak baik.

   Berbahaya.

   Seperti motor yang melaju di atas kecepatan rata-rata.

   Tapi aku tidak sempat memperhatikan.

   Aku terlalu sibuk melesat dan merasakan sensasi terbang dengan kecepatan tinggi.

   Tiba-tiba kami berpelukan, dia sudah meraba pahaku.

   Tiba-tiba kami sudah ciuman bibir.

   Penasaran saja.

   Maksudku, di film-film kelihatannya seru.

   Kalau dipipi saja membuatku gemetar, ciuman dibibir membuatku kesetrum ribuan mega watt! Membuat seluruh tubuhku gemetar dan panas.

   Nggak semuanya seindah itu sebenarnya.

   Ciuman bibir juga menjijikkan juga.

   Kamu menelan ludah orang lain.

   Belum lagi kalau napas kita atau napasnya bau.

   Yuck! Oya, tentu saja, mungkin saja kami bertukar kuman TBC, hepatitis, dan lain-lain.

   Tapi yah, tentu saja aku tak sempat memikirkan hal seperti itu.

   Satu yang aku ingat, begitu kami mulai, susah untuk berhenti.

   Lama-lama pegangan tangan nggak asyik lagi.

   Lama-lama pelukan juga nggak menyebabkan aku bergetar.

   Kami butuh lebih.

   Pelukan yang lebih rapat.

   Ciuman yang lebih hot.

   Kedekatan yang lebih tipis batasnya.

   And, yeah...

   itu akhirnya.

   Pertama kami melakukannya dikosku.

   Yang kuingat.

   rasanya menyakitkan.

   Nggak sesetu yang aku liat difilm deh.

   Dan nggak gampang.

   Dan setelah itu rasanya...

   berdosa, bersalah, kotor.

   Benar-benar menyesal.

   Kami berdua.

   Aku menangis dan kami berjanji tidak mengulanginya.

   Sayangnya, beberapa minggu kemudian, saat kami mampir kerumah omnya Banyu dan rumahnya kosong, itu terjadi lagi.

   Padahal mulanya aku tidak ingin.

   Mungkin karena ada kesempatan.

   Yang kedua lebih mudah, meski aku lebih tegang dan benar-benar resah setelahnya.

   Banyu minta maaf.

   Dia juga menyesal.

   Tapi dia bilang dia mencintaiku, sangat mencintaiku.

   Dan memuji tubuhku.

   Dia berkali-kali mengatakan betapa cantiknya aku.

   Dia berjanji akan setia, menyayangiku selamanya.

   Rasanya romantis banget.

   Rasanya bahagia banget.

   Aku yakin, sangat yakin, dia adalah cinta sejatiku.

   Cinta pertama dan terakhirku.

   Kami akan saling setia, saling cinta.

   Selamanya! Yang terakhir (yah, kami cuma melakukannya tiga kali), aku melakukannya sebagai hadiah ulang tahun untuk Banyu.

   Konyol kan? Bego kan? Tapi saat itu aku berpikir, itulah kado yang paling pantas dan indah.

   Yeah, yeah, andai aku memberinya CD atau flashdisk saja.

   Semuanya tentu masih indah kini.

   Kontrasepsi? Kayak kami mau mempermalukan diri saja sewaktu membelinya.

   Aku Ingin Jadi Remaja, Bukan Pengantin Jumat, 10 April 2009 Sekarang semua orang punya isu lain.

   apakah aku dan Banyu harus menikah? Menurut Mama dan Papa.

   Tentu saja! Paling nggak anakku bakal punya ayah yang sah meski kemudian nanti kami diharapkan bercerai.

   Menurut Kak Rani.

   menikah? Nambahin masalah aja.

   Menurutku.

   aku tidak tahu.

   Meski Banyu juara sekolah, meski dia baik, meski dia sopan, Banyu bukanlah menantu impian Mama dan Papa.

   Mereka tidak bermimpi untuk punya menantu sampai beberapa tahun lagi.

   Tapi kini, mereka membentur dinding besi.

   Orangtua Banyu pasti sama terpojoknya dengan orangtuaku.

   Meski mereka tidak punya gengsi setinggi orangtuaku dalam hal moral, mereka pasti sangat kecewa Banyu berhenti sekolah dan MENIKAH.

   Aku nggak yakin orangtuanya akan mengizinkan Banyu menikah.

   Ya ampun, Banyu adalah harapan mereka! Orangtuaku geger.

   Seharian.

   Ngomongin Banyu, UN, bayi.

   Mama lupa menyiapkan sarapan.

   Papa tidak berangkat kerja.

   Mereka terlalu sibuk berdebat.

   Jam sebelas siang Bu Welas menelpon.

   Dia bicara lama dengan Mama.

   Aku bersembunyi dikamar, tak mau mendengar.

   Tapi Mama lalu memanggilku.

   Memintaku bicara dengan Bu Welas.

   Yang aku dengar dari Bu Welas cuma.

   "Kamu akan tetap lulus SMA, Kirana. Kami akan menempuh segala cara."

   Pertengahan April 2009 Segala cara yang dibicarakan oleh Bu Welas ternyata.

   aku dan Banyu dipindahkan ke sekolah lain.

   Sekolah swasta yayasan nggak terkenal.

   Bu welas dan Mama mengurus semuanya.

   Aku tidak tahu bagaimana bisa.

   Tapi seminggu kemudian, aku sudah dapat nomor peserta UN.

   Yah, kata Maria, mana mungkin sekolah ecek-ecek seperti itu menolak siswa siswi cerdas seperti Banyu dan aku yang memungkinkan sekolah mereka meraih nilai UN tertinggi.

   Atau, mana mungkin sekolah miskin kayak gitu menolak uang pangkal yang begitu besar dari keluargaku.

   20-24 April 2009 Aku dan Banyu duduk dikelas mengerjakan soal-soal UN.

   Bukan dikelas, tapi diruang guru yang kusam.

   Sekolah ini mengatur agar kami tidak ujian bercampur dengan anak-anak "berandal", yang pasti akan memalak kami.

   Kami datang lebih pagi, dan pulang lebih siang.

   "Agar kalian selamat,"

   Kata kepala sekolah SMA yayasan antah berantah ini.

   Sungguh, aku tidak tahu masih ada SMA seperti ini di Jakarta, yang berbagi kelas dengan anak-anak SMP.

   Anak-anak SMP masuk sore, yang papan tulisnya masih dari kayu dan ditulisi dengan kapur.

   Untuk menemukannya kami harus keluar masuk gang-gang becek.

   Kamar mandinya...

   lebih baik tidak aku ceritakan.

   Lima hari berlalu dengan cepat.

   Aku menjalani UN tanpa kesulitan.

   Banyu juga.

   Di hari terakhir aku baru sempat mengamati, anak-anak itu nongkrong setelah ujian, merokok, dan mendengarkan musik lewat HP.

   Sepertinya mereka nongkrong sejak pagi.

   Mungkin mereka sama sekali tidak mengerjakan ujian mereka.

   Ah, mengapa aku harus menganalisis mereka? Aku sama berandalnya dengan mereka.

   Sabtu, 25 April 2009 Hari ini teman-temanku bersenang-senang, nongkrong dikafe, jalan-jalan dimal, main PS, merayakan berakhirnya UN.

   Sementara aku mengepas gaun pengantin yang meski direkayasa begitu rupa tidak bisa menyembunyikan perutku.

   Munggu depan mungkin teman-temanku akan sibuk shopping baju untuk kuliah atau mulai mencari gebetan lagi.

   Tapi aku akan menjadi pengantin.

   Ya, sudah diputuskan.

   Oleh orangtua kami tentu saja.

   Kami tidak dimintai pendapat apakah kami ingin mengundang teman-teman kami atau tidak.

   Dimana kami ingin merayakannya? Apakah aku suka model gaunku? Apa aku bahagia? Apa aku mencintainya? Apakah kami ingin menikah atau tidak? Tidak! Pendapat kami tidak penting.

   Karena kami bodoh.

   Dan orangtua kami tahu yang terbaik.

   Apa aku bahagia? Apakah aku masih mencintai kekasihku? Dua pertanyaan itu lebih nggak penting lagi.

   Aku juga tidak tahu jawabannya.

   Cinta itu sejati atau tidak...

   mulai kabur dan samar.

   Tersisih, Terasing, dan Tetap Bertahan Rabu, 29 April 2009 PERNIKAHAN kami tnp pesta.

   Tanpa tamu.

   Bahkan tnp teman temanku.

   Ya ampun, ini hri Rabu siang! Setelah kami resmi menjd suami istri, ada pesta kecil dirumahku.

   Saking kecilnya tdk layak disebut pesta, lbh sprt mkan siang bersama.

   Yg hadir adl kerabat trdkt kami berdua.

   Satu satunya tamu yg bukan kerabat adalah Bu Welas.

   Total tdk sampai dua puluh orang.

   Meski semua orang berusaha terlihat ramah, aku yakin dalam hati mereka ingin saling menusuk.

   Sebagian lg berbisik-bisik menikmati skandal kami.

   Taruhan, meski makeup ku sempurna, mereka lbh tertarik memperhatikan perutku.

   Aku merasa amat canggung.

   Seperti ikan yg kesasar kedarat, aku merasa ini bukan tempatku.

   Semuanya terlihat asing dan salah.

   Tentu saja, tdk seharusnya remaja delapan belas tahun menikah.

   Aku terkesiap menyadarinya aku sudah menikah.

   Statusku istri.

   Apa aku hrs mengubah statusku di Facebook? Ugh.

   Itu nggak penting sekarang krn aku sedang sesak napas krn menyadari aku bahkan tdk pernah bertemu mertuaku sebelumnya.

   Tak lama kemudian makan siang serba rikuh dan penuh basabasi itu usai.

   Tamu yg sedikit td cepat cepat pulang seolah tempat ini berkuman.

   Setelah pesta usai, Banyu pulang kerumahnya.

   Aku berdiam di kamarku.

   Pernikahan yg aneh kan? Jangankan bulan madu, kamar pengantin pun tak ada.

   Memang sudah diputuskan begitu.

   Kami menikah hanya untuk formalitas.

   Kami tetap hidup terpisah dan menjalani hidup kami seperti remaja biasa.

   Mereka lupa remaja biasa tdk punya buku nikah.

   Remaja biasa tdk membawa perut besar kemana-mana.

   Hari-hari setelah itu Aku kembali lg kekehidupan normalku, nonton TV, minum susu, belajar, periksa kedokter, merasakan bayiku menendang nendang.

   Banyu menelponku setiap malam sekarang aku punya HP lg.

   Diakhir pekan, kami keluar bersama (aneh sekali, kenapa harus akhir pekan? Toh kami tdk sekolah lg.

   Tp begitulah, kami lebih nyaman keluar diakhir pekan).

   Semua terasa lebih melegakan.

   Mungkin karena tragedi terbesar telah kami lalui.

   Setelah segala drama yg menguras emosi itu, aku merasa apapun yg terjadi tdk ada artinya dibanding apa yg telah kualami.

   Sabtu, 2 Mei 2009 Pagi Maria menelpon dan langsung nyerocos.

   "Kirana, sumpah ini bkn salah gue. Sekolah elo itu emang brengsek!"

   Sekolah ELO? Hahaha, aku bahkan sudah tdk bersekolah disitu. Ijasah SMA ku tdk akan diterbitkan oleh sekolah itu.

   "Ada apa?"

   "Mereka kejam banget sama elo."

   Ayolah, aku bahkan sudah keluar dr situ, hal buruk apa lg yg bs dilakukan sekolah itu padaku? "Mereka... meminta kami mengeluarkan elo dan Banyu dr buku tahunan."

   Astaga! Aku tak bisa berkata apapun.

   Tdk cukupkah semua hukuman yg kami terima? "Gila nggak! Padahal itu buku udah masuk percetakan! Gue dan Andra ngotot buku itu nggak bisa diubah lg atau nggak bakal bs terbit pas hari kelulusan.

   Lagipula kalian kan tetap TEMAN KAMI! Sekolah najis!"

   Suara Maria gemetar. Aku masih terdiam.

   "Gimana dengan foto bersama kelas kita? Apa kami harus mengcut wajah lo? Posisi lo kan ditengah! Terus kami ganti apa? Pot? Idiot!"

   Maria terus marah-marah.

   "Mereka jahat banget, licik banget."

   "Iya memang,"

   Sahutku lemah.

   "Elo nggak tau Na! Mereka ngancam nggak akan mendanai buku itu kalau profil lo dan Banyu nggak dicabut. Itu kan pemerasan."

   Ya ampun. Kasihan Maria. Kasihan panitia buku tahunan. Kupikir setelah aku keluar, aku tak akan menimbulkan masalah lg.

   "Maaf. Terus kalian gimana?"

   "Hei, lo nggak perlu minta maaf. Nggak tau deh, kami rapat siang ini."

   Kali ini Maria mendesah panjang.

   Apakah krn sedih atau frustasi, aku tdk tahu.

   Sorenya Maria menelpon lg.

   Meminta maaf mereka tak bisa berbuat apa pun.

   Mereka terjepit dan sekolah menekan mereka.

   Aku maklum.

   Lagipula, aku yakin yg memperjuangkan kehadiran aku dan Banyu dalam buku itu cuma Maria dan Andra.

   Anak lain mana peduli.

   "Kami terpaksa mencabut profil lo dan Banyu Na. Tp foto lo yg bareng teman sekelas nggak dicabutkok. Kalau elo nggak ada fotonya bakal aneh bgt."

   "Nggak papa Mar. Faktanya aku kan memang bukan siswa sekolah itu lg."

   Mau apa lg? Lgpula seperti aku bilang dibanding sgala tragedi yg kualami, tdk terpampang dibuku tahunan cuma ibarat ujung rambut yg terpotong.

   "Gue nggak ngerti deh. Memangnya kenapa kalau elo dan Banyu tetap ada dlm buku?"

   Tanya Maria tdk kpd siapasiapa. Aku mengerti. Kami adl noda. Noda setitik akan merusak susu sebelangakan? "Oya elo tau apa yg lbh gila?"

   Tanya Maria. Ada yg lbh gila? "Bu Welas dipecat!"

   HAH! "Karena membela kami?"

   Tanyaku terbata.

   "Nggak tau. Mereka bilang sih nggak dipecat tp dimutasi, dipindahkan. Yeah, nggak ngaruhkan? Bu Welas dimutasi kesekolah kecil diJawa Barat Na. Garut atau Ci apa gitu. Bayangkan!"

   "Itu nggak adil. Kalau krn membela kami ia dikirim kepelosok."

   "Dia suka kok. Bu Welas keliatan tenang aja. Malah katanya dia bersyukur bs mengajar disekolah yg masih tertinggal. Kesempatannya utk membantu mereka yg kurang mampu sekalian bertualang."

   Mengenal Bu Welas, aku tau mungkin itu bnr adanya.

   Aurel Senin, 4 Mei 2009 BAYIKU perempuan! Sore ini aku kembali cek kandungan dan dokter memastikan bayiku perempuan.

   Ia akan lahir enam minggu lagi.

   Aku nggak tau aku senang atau sedih.

   Tapi kurasa aku agak sedih.

   Perempuan.

   Itu artinya ia sama seperti aku.

   Mungkin ia akan mengalami penderitaan seperti aku nanti.

   Tapi mungkin juga tidak.

   Dia tidak akan seceroboh aku karena aku akan mengajarinya.

   Mungkin dia akan sangat cantik.

   Cantik dan cerdas.

   Selain itu, semuanya baik.

   Leganya.

   Aku dapat melihat bayiku lewat USG, mendengarkan detak jantungnya.

   Ajaib banget, meski agak menakutkan.

   Dia tumbuh dan akan terlahir kedunia.

   Akan seperti apa wajahnya? Apakah dia akan sempurna? Bagaimana kalau ada yang salah? Bagaimana kalau...

   "Kamu sudah memikirkan nama untuk bayimu?"

   Pertanyaan Mama menghentikan lamunanku. Kami dalam perjalanan pulang. Mama menyetir dan pandangannya lurus kedepan. Nama? "Kan sudah ketahuan sekarang bayimu perempuan,"

   Kata Mama.

   "Emmm, Nana belum memikirkannya Ma."

   "Nanti biar Mama dan Papa pikirkan."

   Selalu begitu bukan? "Ma..."

   "Ya?"

   Mama tetap memandang kedepan.

   "Papa pasti ingin cucu laki-laki kan?"

   Mama menoleh.

   "Iya. Daridulu Papa ingin anak laki-laki, tapi Mama tidak bisa memberinya. Sudahlah. Laki-laki atau perempuan, yang penting sehat, selamat."

   Aku menunduk.

   Kenapa aku selalu mengecewakan mereka? Bahkan untuk perkara sepele seperti ini.

   Rabu, 17 Juni 2009 Aku menangis ketika melihatnya pertama kali.

   Begitu mungil dan rapuh.

   Kepalanya kecil, jarijarinya mungil.

   Tapi ia bayi yang sangat cantik.

   Beratnya 2,3 kilo.

   Kecil.

   Mama menangis.

   Kak Rani juga.

   Banyu berdiri terpaku tak percaya.

   Papa...

   Papa tidak ada, tapi aku tidak peduli.

   Seluruh penderitaan dan kesakitanku hilang.

   Berganti dengan perasaan senang dan bingung.

   Semua begitu aneh.

   Aku masih merasakan nyeri, tapi aku lega.

   Sakitnya melahirkan, ehm, lebih baik tak usah dibahas.

   "Siapa namanya?"

   Tanya Kak Rani. Kami sudah membahasnya berhari-hari. Tapi tak pernah mencapai kata sepakat. Banyak nama diusulkan, tapi semuanya "kurang"

   Atau "terlalu", kurang bermakna, kurang enak diucapkan, terlalu kuno, terlalu pasaran.

   "Aurel,"

   Kataku begitu saja.

   Itu nama yang paling aku suka.

   Selamat datang, Aurel.

   Senin, 22 Juni 2009 Aku sudah boleh pulang dari rumah sakit.

   Teman-temanku datang dan membanjiri kami (aku dan Aurel) dengan hadiah.

   Sekecil itu sudah disayang banyak orang.

   Sangat melegakan melihat Maria dan Andra tampak akrab.

   Malah menurutku lebih akrab daripada sebelumnya.

   Maria tampak rileks.

   Bu Welas datang menjenguk sore harinya.

   "Aurel cantik Na. Selamat ya,"

   Ia berkata. Kami hanya berdua dikamarku. Aku menggendong bayiku dengan kikuk.

   "Terima kasih Bu. Untuk bantuan Ibu selama ini,"

   Tiba-tiba aku merasa sangat berutang budi padanya. Dulu campur tangannya terasa mengganggu, namun kini aku menyadarinya, tanpa dia entah apa jadinya.

   "Ibu bersusah payah untuk kami, sampai Ibu dikeluarkan. Maaf..."

   "Shhh, tak perlu dibahas. Sudah Ibu katakan ini justru sebuah kesempatan bagi Ibu untuk pergi ketempat baru. Bosan juga mengajar disekolah yang sudah mapan seperti itu. Nggak ada tantangan."

   "Tapi, Ibu repot-repot membela kami. Sampai mengorbankan karier Ibu segala. Padahal saya kan bukan... maksud saya, saya cuma siswa Ibu. Guru lain tak ada yang melakukannya."

   Bu Welas menarik kursi dan duduk disamping tempat tidurku.

   "Waktu Ibu berusia enam belas tahun, Ibu juga hamil sama sepertimu."

   APA? Bu Welas? "Perkosaan. Waktu itu Ibu terlalu takut. Orangtua ibu juga terlalu takut. Takut dikeluarkan dari sekolah, takut jadi pembicaraan tetangga. Macam-macam. Jadi pelakunya bisa melenggang."

   "Terus?"

   Tanyaku masih terkesima.

   "Ibu... mengarbosinya. Dipaksa oleh orangtua. Mungkin bukan dipaksa, ibu hanya tidak mengerti apapun waktu itu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan."

   Bu Welas tersendat. Matanya berkacakaca.

   "Sudah lima belas tahun berlalu. Ibu masih tidak bisa memaafkan diri sendiri."

   Aku tak mempercayai apa yang aku dengar.

   "Yang lebih parah dari itu... Karena aborsi itu bukan aborsi yang aman... Rahim ibu rusak. Ibu tak bisa punya anak."

   Ya Tuhan. Betapa malang. Aku memegang tangan Bu Welas tak bisa berkata apa-apa.

   "Ibu tidak menikah sampai kini. Ibu masih trauma. Lagipula siapa laki-laki yang mau menikah dengan seorang wanita cacat seperti ibu? Sudah tak perawan pula haha. Lucu ya diabad dua puluh satu keperawanan tetap penting. Dan mereka tak mau tahu penyebab kehilangannya."

   Ada kemurnian yang mengibakan saat Bu Welas menertawakan diri sendiri.

   "Ibu dulu begitu bodoh Na. Mungkin bukan bodoh tapi tak memiliki informasi yang cukup. Maka ibu ingin memberi edukasi seks untuk semua remaja. Tapi... bahkan sampai saat ini, itu masih dianggap tabu."

   Aku menatap Bu Welas.

   Hidup ini terlalu aneh untuk dipahami.

   Sabtu, 27 Juni 2009 Malam ini teman-temanku menikmati prom night, sementara aku capek banget.

   Penampilanku awut-awutan belum sempat mandi karena sibuk mengurus Aurel.

   Dia sepertinya pipis terus, pup terus, haus terus.

   Untung malam ini Banyu datang untuk membantu.

   Ini gilirannya menggendong Aurel.

   Diluar dugaan, ia belajar cepat sekali.

   Ia sudah luwes menggendong dan memandikannya.

   "Aku punya empat adik, Na,"

   Katanya suatu kali.

   "Sori, seharusnya malam ini kamu berdandan manis dan aku pakai jas. Lalu mungkin kita... berdansa."

   "Aku tidak bisa berdansa."

   "Aku juga tidak."

   Sudahlah.

   Toh pada kenyataannya kami disini, mencoba menidurkan Aurel secepat mungkin.

   Beberapa hari yang lalu hasil UN diumumkan dan mereka semua lulus.

   Aku dan Banyu juga lulus.

   Dengan gilang gemilang malah.

   Tapi aku tak sempat menikmatinya.

   Yah saat kamu sibuk menyusui dan mengganti popok, percaya deh berapa nilai UN matematikamu jadi nggak penting.

   Kemarin Maria mengirimiku foto gaun yang akan dikenakannya lewat Facebook.

   Gaun yang seksi pastinya.

   Rancangan sendiri.

   "Siapa tahu Andra terpesona,"

   Komentar Maria. Aku cuma bisa mengirimkan pesan balasan prihatin.

   "Kamu pasti akan cantik banget, tapi jangan lupa ngelirik cowok lain juga ya."

   Bila tanggap, ia akan tahu bahwa kalimatku itu adalah petunjuk. Tapi kurasa dia bukan tipe cewek tanggap. Minggu, 28 Juni 2009 Pagi-pagi aku terbangun karena HPku yang berbunyi nyaring. Maria.

   "Halo, tumben kamu udah bangun,"

   Aku menyahut terkantuk-kantuk. Semalam aku nyaris tidak tidur. Aurel rewel dan membuatku uring-uringan. Aku mengecek boks Aurel. Dia masih tidur. Fiuh. Please, tidurlah paling tidak dua jam lagi.

   "Gue nggak tidur..."

   Suara Maria terdengar parau.

   "Eh kamu kenapa? Kamu baik baik aja kan?"

   "Gue nggak bisa tidur."

   "Prom night semalam kelar jam berapa?"

   Tanyaku.

   "Dua belas. Garing banget. Anak anak itu nggak tahu cara bersenang senang. Andra bahkan udah pulang jam sepuluh."

   "Andra?"

   Rasanya aku mengerti kemana arah pembicaraan ini.

   "Elo betul Na, dia sama sekali nggak peduli. Seharusnya gue cari cowok lain. Tapi gue suka banget sama dia. Gue nggak bisa flirting sama cowok lain. Parah banget. Gue harus gimana dong?"

   "Tunggulah."

   "Tunggu? Dia akan segera kuliah di Jogja Na. Kayaknya gue harus menyatakan perasaan gue deh."

   "JANGAN!"

   Aku berteriak.

   "Kenapa sih Na? Daridulu elo nggak pernah mendukung gue. Elo kayaknya nggak pengen gue jadian sama Andra. Kenapa sih justru waktu gue cinta banget sama seorang cowok elo kayak gini?"

   "Karena Andra gay!"

   Aku tak tahan lagi.

   Sudah sekian lama aku berusaha menyembunyikan ini dari Maria, dari semua orang.

   Aku sudah berjanji pada Andra.

   Tapi aku tak tahu lagi bagaimana menghentikan Maria.

   Aku bahkan nggak tahan ingin protes pada Andra, kenapa ia mesti pacaran dengan Maria dulu.

   Hening melanda.

   "Gay..."

   Suara Maria terdengar lemah sekali.

   "Dia sendiri nggak yakin. Dia nggak ingin jadi gay. Dia berusaha. Bahkan denganmu. Tapi kurasa... dia belum berhasil."

   "Elo bohong kan Na?"

   Maria terdengar sangat rapuh. Andai saja aku berbohong.

   "Nggak Mar. Jangan kasih tahu siapapun please. Semua ini udah cukup berat buat dia. Itu sebabnya dia pengen ke Jogja, menyendiri. Dia benar benar pengen tahu apa orientasi... hm... seksualnya. Dan kalau benar gay, dia pengen ikut terapi supaya menjadi... straight. Dia, kamu tahu kan nggak pengen mengecewakan ibunya."

   Kami semua adalah anak anak baik pada dasarnya.

   "Bagaimana elo tahu kalau Andra...?"

   "Janji dulu,"

   Tukasku.

   "Ya janji."

   "Dia curhat padaku. Hanya aku yang tau."

   "Elo jahat Na. Kenapa sih elo nggak ngomong daridulu? Gue kan nggak perlu sesakit ini,"

   Maria terisak.

   "Maaf Mar. Tapi kamu mengerti kan kenapa aku tidak memberitahumu?"

   "Elo jahat!"

   Maria berteriak lalu menutup telepon.

   Aku tahu dia marah, tapi aku tahu dia tidak marah padaku.

   Happy Ending? Kuharap Demikian Senin, 10 Agustus 2009 BAGUS! Bagus sekali! Aku harus berangkat pagi dan menjadi mahasiswi baru, tapi Aurel mendadak rewel setengah mati.

   Ia memaksaku melek sampai subuh, menyusuinya berkali-kali dan sepertinya ia belum puas.

   Ia pengen membuat tanganku mati rasa karena menggendongnya dan telingaku pekak mendengar tangisannya.

   Diluar masih gelap.

   Belum lagi jam empat.

   Aku tergopoh mengumpulkan semua peralatan yang harus dibawa untuk masa orientasi.

   Mama mengambil alih Aurel.

   Lagi-lagi ia harus terjaga dipagi buta.

   Mungkin ia juga harus bolos kerja lagi.

   Mama sepertinya sudah pasrah, tahu hal ini akan makin sering terjadi.

   Sedih rasanya meninggalkan Aurel setelah kami terbiasa bersama.

   Tapi jujur aku juga lega.

   Akhirnya aku punya sedikit kebebasan.

   Mama Papa memang banyak membantu tapi mereka senewen bila aku keluar buat potong rambut contohnya dan nggak cepat pulang.

   Berkali-kali mereka mengingatkan Aurel adalah bayiku, bukan bayi mereka.

   Kayak aku bisa lupa.

   Mataku bengkak karena kurang tidur, kepalaku berat, tubuhku lemah.

   Aku tak sempat memperhatikan wajahku lagi.

   Sudahlah yang penting cepat berangkat.

   Yang penting aku jadi mahasiswa, tidak sekedar jadi ibu.

   Aku berlari mengejar kereta distasiun.

   Sesuatu yang kini akan rutin kulakukan setiap hari.

   Jadi commuter Bekasi Jakarta.

   Aku mulai berpikir untuk kos, tapi bagaimana dengan Aurel? Mungkin bila ia sudah agak besar dan bisa aku tinggal, aku akan kos di Jakarta.

   Mungkin Aurel akan kubawa ke Jakarta bersama Bi Yuyun.

   Kalau Bi Yuyun nggak mau atau Mama nggak membolehkan, aku akan menyewa baby sitter atau menitipkannya di baby day care.

   Tapi aku belum memikirkan uang dari mana untuk melakukan itu semua.

   Banyu akan cari kerja sembari kuliah di Bandung.

   Dia berjanji akan pulang setiap Sabtu Minggu.

   Kami berdua harus pandai berakrobat.

   Kami tidak mengharapkan masa kuliah yang berbunga bunga.

   Kami sudah siap bila harus kehilangan acara kumpul kumpul klub mahasiswa.

   Asal Aurel sehat dan kami bisa belajar dengan baik, cukuplah.

   Diatas kereta yang berdesakan aku merasakan HP ku bergetar.

   SMS dari Banyu .

   Aku tahu, ini semua berat untukmu.

   Tapi yakinlah kamu bisa.

   Aku selalu mendukungmu.

   Miss you.

   Selamat kuliah, sweetheart.

   Trims untuk menjaga Aurel kita.

   Minggu, 6 Desember 2009 Bu Welas menyalami kami dimeja resersionis ruang seminar.

   "Makasih Na, sudah bersedia jadi narasumber."

   Aku tersenyum sambil membetulkan gendongan Aurel.

   "Hei, ini Aurel? Sudah sebesar ini?"

   Bu Welas menyentuh tangannya. Bibir Aurel bergerak gerak lucu itu menurutku sih. Tangannya menyambar nyambar kesana kemari.

   "Dia manis sekali,"

   Kata Bu Welas lagi.

   Aku sudah sering mendengar itu, betapa manisnya Aurel.

   Yah mereka tidak menggendong saat Aurel pipis dan popoknya belum sempat dipasang.

   Mereka tidak ada didekatnya ketika ia meraup buburnya lalu menebarkannya ke seluruh lantai.

   Mungkin mereka juga cuma berbasa basi.

   Tak ada orangtua yang pengen mendengar bayinya aneh.

   Semua orang mengerti peraturan basa basi ini.

   Orangtua.

   Ya aku sudah menjadi orangtua.

   "Berapa pesertanya Bu?"

   Tanyaku.

   "Tujuh puluhan. Santai saja. Kamu akan baik baik saja. Nanti ada moderator yang akan memberikan pertanyaan. Kamu tinggal menjawab."

   Aku mengangguk.

   Bu Welas sudah menjelaskan sebelumnya.

   Dialah yang mengundangku sebagai narasumber dalam seminar ini.

   Ini adalah seminar edukasi seksual bagi remaja untuk memperingati Hari AIDS yang jatuh tanggal 1 Desember.

   Yang menyelenggarakan adalah dinas kesuhatan, disponsoro oleh produk pembalut dan LSM anti AIDS.

   Temanya.

   "Cinta Tidak Sama dengan Seks."

   Begitulah. Bila ada kata "Seks", mudah sekali buat menarik peserta. Bu Welas ternyata menjadi sukarelawan di LSM itu. Dia mengatur acara ini, mengumpulkan peserta, hingga mencari pembicara. Dia juga yang punya ide untuk menampilkan "korban"

   Seperti aku.

   Dia bilang aku boleh menolak bila merasa malu atau tidak nyaman.

   Tapi aku bersedia.

   Aku tak mau bersembunyi lagi.

   Dan kalau apa yang kukatakan bisa mencegah beberapa remaja melakukan kekonyolan seperti aku, kenapa enggak? Aku akan bicara disesi kedua setelah sebelumnya seorang dokter membeberkan informasi tentang AIDS, sifilis dan PMS (Penyakit Menular Seksual) lainnya.

   "Oke giliranmu,"

   Banyu mendorongku.

   "Sukses ya."

   Aku tersenyum padanya.

   Dengan penuh tekad, aku menggendong Aurel ke meja pembicara.

   Seperti kata Bu Welas, seorang moderator mewawancaraiku.

   Dia seorang cewek yang usianya beberapa tahun lebih tua dariku.

   Seorang relawan juga kurasa.

   Setelah berbasa basi pada peserta seminar, ia menyilakan aku memperkenalkan diri.

   "Hai, nama saya Kirana. Umur saya delapan belas tahun. Mahasiswi tingkat pertama. Dan ini Aurel. Bayi saya."

   Seperti dugaanku, para peserta terkesiap dan memandangku kaget. Membawa Aurel ke seminar adalah ideku. Dia juga contoh nyata.

   "Usianya enam bulan,"

   Aku meneruskan.

   "dan dia lahir karena yah.. kalian tahu karena apa kalau kalian belajar biologi dengan baik."

   "Saya mencintai Aurel. Dia manis kan? Tapi kalau saya bisa memutar waktu, saya ingin memilih untuk menunda memiliki Aurel. Sampai saya siap. Sampai saya punya pekerjaan. Sampai saya mandiri."

   "Bisa ceritakan sejak awal Kirana? Kalau tidak keberatan,"

   Kata moderator. Aku mengangguk.

   "Bentar ya, Aurel biar istirahat dulu."

   Aku memberi kode dan Banyu maju untuk mengambil Aurel.

   "Awalnya tentu saja kami saling memandang,"

   Kataku sambil membetulkan posisi duduk.

   "lalu pegangan tangan. Hal hal kecil yang saya anggap... Yah... Romantis. Seharusnya saat itu saya dan pacar saya mulai menerapkan batas."

   "Maksudnya?"

   Tanya moderator.

   "Kadang sulit bagi kita untuk menahan. Yah dengan semua film dan majalah itu... Pegangan tangan, pelukan atau ciuman sudah wajar. Nah disinilah kalian harus tau kapan berhenti. Sampai ciuman misalnya."

   "Sebaiknya kita berhenti dimana menurutmu?"

   Tanya sang moderator lagi.

   "Hmmm... Apa ya? Dipegangan tangan saja, ciuman sudah terlalu bahaya menurut saya. Tapi itu keputusan kalian. Ingat saja, semua keputusan ada resikonya, dan sekali kalian melakukan hal hal tadi, biasanya kalian ingin lebih, masuk kertahap berikutnya."

   "Nah bagaimana kalau kita atau pacar kita menuntut lebih?"

   "Tolak saja. Itu kata kuncinya. Kalau pacar kita adalah cowok atau cewek yang baik, dia pasti mengerti."

   "Kalau dia memaksa?"

   "Tinggalkan saja. Pacar seperti itu tidak layak untuk dipertahankan. Baru pacaran saja sudah main paksa."

   "Tapi kan kadang kita takut, takut diputus, takut patah hati,"

   Moderator sengaja memancing diskusi.

   "Hahaha benar. Memang nggak mudah. Tapi karena ketakutan konyol kayak gitu, banyak yang akhirnya justru lebih menderita. Percaya deh, patah hati bisa sembuh dengan mudah. Ada banyak cowok atau cewek lain yang lebih oke dan bisa menghormatimu."

   "Oke deh, sekarang giliran peserta untuk bertanya. Siapa yang ingin bertanya?"

   Moderator itu berdiri dan mengedarkan pandangan. Beberapa tangan teracung. Yang dapat giliran pertama seorang cewek berkucir, badannya kecil, seperti anak SMP, meski ia mengaku kelas 10.

   "Gimana kalau cowok kita menuntut 'itu' sebagai bukti cinta?"

   "Seperti tema seminar ini. Love is not sex. Itu betul kok. Memang seks juga bisa merupakan ungkapan cinta. Tapi bila benar cinta, tentu harus dibarengi dengan komitmen, kesetiaan, tidak menyakiti pasangan, tidak memaksa, serta tanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan. Masalahnya, seks sering kali tidak mengandung cinta sama sekali. Hanya nafsu. Jadi kalau cowokmu memintamu melakukan 'itu' untuk membuktikan cinta, bilang saja, ia juga harus membuktikan cintanya dengan tidak merusak masa depanmu. Oya, jangan lupa, masih ada cokelat atau bunga untuk menunjukkan cinta. Asyik juga lho, dan tidak membuatmu hamil."

   Beberapa anak cekikikan. Selanjutnya seorang cowok jangkung berdiri.

   "Faktanya, godaan makin besar saat ini. Banya DVD dan majalah porno. Juga adegan hot diinternet. Mana bisa tahan?"

   Tawa terdengar disana sini. Aku tersenyum lebar.

   "Ya, saya tahu. Apalahi kalau kita sudah punya pacar. Rasanya nggak terbayangkan deh. Sesaat kita berpikir, seks pasti hebat banget. Nggak munafik lah, memang asyik. Tapi nggak sedahsyat itu. Nggak sedahsyat yang digambarkan dalam film. Bahkan ng... ada sakitnya juga bila tidak dilakukan dengan benar.

   "Yang jelas sih nggak sepadan dengan resikonya. penyakit seksual menular, perasaan berdosa, resah, dan tentu saja resiko kehamilan. Ini masih ditambah tekanan sosial, mungkin putus sekolah, kehilangan masa remaja. Yah, kayak saya yang harus lebih banyak mengganti popok daripada chatting di Facebook."

   Beberapa anak tertawa dan makin tertarik mendengarkan ceritaku.

   "Pokoknya ingat saja, apa iya sih, kamu mau enak lima menit dan menderita lima belas tahun? Bagi cewek, ini lebih berat lagi karena kalian akan kehilangan virginitas, keperawanan yang masih dijunjung tinggi di Indonesia. Ya kalau cowokmu setia? Kalau nggak? Gigit jari deh."

   "Bagaimana caranya supaya kita nggak mikirin seks terus?"

   Pertanyaan selanjutnya dari seorang cowok kerempeng dan memancing ledekan dari teman temannya.

   "Saya menonton talkshow Oprah. Disitu dikatakan ada beberapa hal yang memacu hormon endorfin kita. Hormon inilah yang membuat kita merasa nyaman dan bahagia. Yang pertama, gula alias makan. Yang kedua seks. Yang ketiga meditasi. Terus yang terakhir olahraga. Makan tentu saja bikin kamu gembul. Meditasi juga susah. Jadi yang paling gampang adalah orahraga. Kalau nggak suka olahraga ya cari saja kegiatan lain. Jalan jalan kek, belajar, ikut klub. Pokoknya sibukkan diri kamu! Oh ya satu lagi jangan ciptakan kesempatan. Mungkin awalnya kamu nggak ingin macam macam tapi begitu berduaan ditempat yang sepi, kamu bakal berpikir untuk macam macam. Mumpung sepi. Ya kan?"

   Aku melihat senyum malu dan wajah wajah memerah diantara mereka.

   "So cari tempat pacaran yang rame, kayak dimal. Kalau perlu double atau triple date. Ajak teman teman lain biar seru. Kalau kencan dirumah, pastikan keluarga yang lain juga ada dirumah. Mungkin kalian memang pengin privaso tapi pacaran ditempat ramai asyik juga kok. Asal kalian punya obrolan atau kegiatan seru, pasti kencan kalian menyenangkan. Daripada kalian sibuk meraba raba kan lebih asyik kalau kalian nonton kartun bareng teman teman, sepedaan rame rame, atau nonton konser. Kalau mau murah, kerjain aja sodoku!"

   Pertanyaan lain sambung menyambung hingga moderatornya kewalahan.

   Waktu habis sebelum semua pertanyaan terjawab.

   Setelahnya Kejutan! Begitu aku turun dari panggung aku melihat mereka dipintu masuk.

   Banyu, Andra, Maria dan Chacha.

   Oh manisnya.

   Aku menghambur.

   Kami berpelukan.

   "Salam dari Alvin,"

   Kata Chacha.

   "Dia belum bisa pulang."

   "Thanks. Dia kirim message di FB ku kok. Hai, seniman gimana Jogja?"

   Aku tersenyum pada Andra.

   "Keren! Murah dikantong dah."

   "Nah itu definisi keren buat elo. Keren sama dengan murah. Yuk cabut yuk,"

   Kata Maria.

   "Ke Gran Indo."

   "Mal lagee. Itu definisi elo buat olahraga ya? Jalan ke mal? Kasihan tuh Aurel, ntar kena virus konsumtivisme,"

   Andra berseloroh. Hubungannya dengan Maria ternyata masih sama.

   "Biarin. Kalo elo ngeledek terus ntar nggak gue ajak ke fashion shownya Gunawan Sebastian."

   "Gunawan jadi desainer? Bukannya dia pemain sinetron?"

   "Itu Syahrul Gunawan kalee,"

   Maria meleletkan lidah pada Andra. Kami tertawa. Aurel dalam gendongan Banyu juga tertawa. Aku tersenyum bahagia. Untuk sementara, semua terasa baik baik saja. Bahkan untuk seorang ibu remaja. -END-Sumber.
https.//www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615?fref=photo

   

   

   

Dan Brown The Da Vinci Code Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur

Cari Blog Ini