Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 10


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 10



"Pukul berapa sekarang?" tanya Vittoria. Langdon memeriksa jam tangannya. "Jam tujuh lewat lima puluh. Sepuluh menit lagi pertunjukan akan dimulai."

   "Kuharap anak buah Olivetti dapat diandalkan," kata Vittoria sambil melihat para wisatawan yang sedang memasuki Pantheon. "Kalau ada sesuatu terjadi di dalam kubah itu, kita akan berada di tengah-tengah baku tembak."

   Langdon hanya menghela napas. Senjata itu juga terasa berat di dalam sakunya. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau para polisi menggeledahnya dan menemukan senjata itu. Tetapi ternyata polisi itu sama sekali tidak mencurigainya. Tampaknya penyamaran mereka cukup meyakinkan.

   Langdon berbisik pada Vittoria, "Pernah menembakkan sesuatu selain senjata obat bius?"

   "Kamu tidak memercayaiku?"

   "Memercayaimu? Aku baru saja mengenalmu."

   Vittoria mengerutkan keningnya. "Kukir a di sini kita adalah sepasang pengantin baru." UDARA DI DALAM PANTHEON terasa dingin dan pengap karena terbebani oleh sejarah. Langit-langit yang melintang tinggi di atas seolah tidak berbobot. Kubah berdiameter 141 kaki ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada kubah Basilika Santo Petrus. Langdon merinding ketika memasuki ruangan besar itu.

   Bangunan ini adalah percampuran yang mengagumkan antara seni dan teknik. Di atas mereka, lubang bundar yang terkenal itu memancarkan seberkas sinar matahari sore. Oculus, pikir Langdon. Lubang Iblis.

   Mereka sampai ke sana.

   Mata Langdon menelusuri lengkungan langit-langit, lalu memandang ke pilar-pilar dan akhirnya turun ke lantai dari pualam yang mengkilat di bawah kaki mereka. Gema samar dari langkah kaki dan gumam wisatawan bergaung di sekitar kubah. Langdon melihat belasan wisatawan berjalan-jalan tanpa tujuan dalam keremangan. Kamu benar-benar berada di sini? "Sepi sekali," kata Vittoria, tangannya masih menggandeng tangan Langdon.

   Langdon mengangguk.

   "Di mana makam Raphael?'"

   Langdon berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. Dia memeriksa sekeliling ruangan itu. Makam-makam. Altar-altar. Pilar-pilar. Ceruk-ceruk. Dia lalu menunjuk sebuah makam berhias di seberang kubah yang terletak di sebelah kiri. "Sepertinya di sanalah makam Raphael."

   Vittoria mengamati seluruh ruangan. "Aku tidak melihat seorang pun yang mirip dengan seorang pembunuh yang akan membunuh seorang kardinal. Ayo kita melihat ke sekeliling."

   Langdon mengangguk. "Hanya ada satu titik di sini yang dapat dijadikan tempat bersembunyi. Kita sebaiknya memeriksa rientranza."

   "Ceruk-ceruk?"

   "Ya," kata Langdon. "Ceruk di dinding."

   Di sekitar pinggir ruangan, diselingi makam-makam yang terdapat di sana, terdapat serangkaian ceruk-ceruk berbentuk setengah lingkaran yang menempel di dinding. Ceruk-ceruk itu, walau tidak besar sekali, cukup besar untuk bersembunyi di dalam keremangan. Langdon merasa sedih karena dia tahu ceruk-ceruk itu pernah menjadi tempat berdiri patung dewa-dewa Pagan yang dihancurkan ketika Vatican mengubah Pantheon itu menjadi gereja Kristen. Dia merasa kecewa ketika tahu dirinya sedang berdiri di altar pertama tapi petunjuk yang akan membawa ke tempat selanjutnya telah hilang. Dia bertanya-tanya patung yang mana yang pernah menjadi penunjuk yang akan membawa mereka ke gereja selanjutnya. Langdon bisa membayangkan dirinya pasti akan sangat tergetar kalau dapat menemukan petunjuk Illuminati-sebuah patung yang secara tersamar menunjuk ke arah Jalan Pencerahan. Kemudian dia bertanya-tanya, siapakah pematung Illuminati yang tidak pernah dikenal namanya itu.

   "Aku akan melihat ke lengkungan sebelah kiri," kata Vittoria sambil menunjuk bagian kiri ruangan itu. "Kamu ke sebelah kanan. Kita bertemu lagi setelah berjalan setengah lingkaran."

   Langdon tersenyum muram.

   Ketika Vittoria berjalan, Langdon meresa ngeri karena situasi ini mulai merasuki benaknya. Saat dia membelok dan berjalan ke sebelah kanan, suara pembunuh itu seperti berbisik di ruangan sepi di sekitarnya. Pukul delapan tepat. Pengorbanan di atas altar ilmu pengetahuan. Deret matematika tentang kematian. Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas ... dan tepat pada tengah malam. Langdon melihat jam tangannya, jam menunjukkan pukul 7 lewat 52 menit. Delapan menit lagi.

   Ketika Langdon bergerak ke ceruk pertama, dia melewati makam salah satu dari raja Katolik. Sarkofagusnya, seperti yang biasa ditemukan di Roma, diletakkan miring dari dinding, sebuah posisi yang aneh. Sekelompok wisatawan tampak bingung karenanya. Langdon tidak berhenti untuk menjelaskan kepada mereka. Makam-makam Kristen yang resmi memang sering tidak sejajar dengan arsitektur gedung karena makam-makam itu ingin menghadap ke timur. Itu merupakan takhayul kuno yang pernah didiskusikan Langdon di dalam kuliah Simbologi 212 sebulan yang lalu.

   "Itu betul-betul tidak pantas!" seorang mahasiswi yang duduk di deretan depan berseru ketika Langdon menjelaskan alasan mengapa makam-makam itu menghadap ke timur. "Mengapa orang Kristen ingin makam mereka menghadap ke ar ah matahari terbit? Kita sedang berbicara tentang Kristen ... bukan pemuja matahari!"

   Langdon tersenyum. Dia berjalan hilir-mudik di depan papan tulis sambil mengunyah apel. "Pak Hitzrot!" dia berseru.

   Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang, segera menegakkan duduknya karena terkejut. "Apa! Aku?"

   Langdon menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding. "Siapa lelaki yang berlutut di depan Tuhan?"

   "Mmm ... seorang santo?"

   "Pandai. Dan bagaimana kamu tahu dia adalah santo?"

   "Dia mempunyai lingkaran keemasan di atas kepalanya?"

   "Bagus sekali, dan apakah lingkaran keemasan itu mengingatkanmu pada sesuatu?"

   Hitzrot tersenyum. "Ya! Benda Mesir yang kita pelajari semester lalu itu. Itu ... mm ... cakram matahari!"

   "Terima kasih, Hitzrot. Tidurlah kembali." Langdon kemudian memerhatikan mahasiswa lainnya. "Lingkaran keemasan, seperti juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir kuno yang menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi dengan contoh pemujaan matahari."

   "Maaf?" gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. Aku selalu pergi ke gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari!"

   "Betulkah? Apa yang kamu rayakan pada 25 Desember?" "Natal. Hari lahir Yesus Kristus."

   "Tapi, menurut Alkitab, Kristus lahir pada bulan Maret. Jadi kenapa kita merayakannya pada akhir Desember?" Diam. Langdon tersenyum. "Tanggal 25 Desember adalah hari libur kaum Pagan kuno, hari sol invictus-hari Matahari yang tak terkalahkan dan bertepatan dengan titik balik matahari pada musim salju. Itu merupakan saat yang luar biasa ketika matahari kembali bersinar, dan hari mulai bertambah panjang."

   Langdon menggigit apelnya lagi.

   "Penyebaran agama Kristen," dia melanjutkan, "sering mengadopsi hari-hari suci yang ada supaya penyebaran itu tidak terlalu mengejutkan. Hal itu disebut transmutasi. Itu membantu orang untuk menyesuaikan diri dengan agama baru mereka. Para mualaf itu masih terus mempertahankan tanggal-tanggal suci mereka berdoa di tempat-tempat suci yang sama, menggunakan simbologi yang sama ... dan mereka dengan mudah mengganti Tuhan yang lain."

   Sekarang gadis di depan itu tampak marah. "Kamu menyindir kalau agama Kristen hanyalah ... pemujaan matahari dengan selubung yang lain?"

   "Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari para pemuja matahari. Ritual dalam agama Kristen untuk menyucikan seseorang diambil dari ritual 'pengangkatan dewa' milik Euhemerus. Sementara ritual "Tuhan makan" atau Perjamuan Suci adalah ritual yang diadopsi dari dari Aztec. Bahkan konsep Kristus mati untuk menebus dosa diperdebatkan sebagai sesuatu yang bukan hanya milik Kristen; pengorbanan diri seorang pemuda untuk menebus dosa-dosa rakyatnya tampaknya merupakan tradisi Quetzalcoatl."

   Gadis itu melotot. "Jadi, apa yang asli dari agama Kristen?"

   "Dalam setiap agama yang terorganisir hanya sedikit ritual yang asli. Agama-agama tidak terlahir begitu saja. Agama itu berkembang dari agama lainnya. Agama modern merupakan sebuah susunan ... sebuah percampuran catatan sejarah mengenai pencanan manusia untuk mengerti Tuhan."

   "Mmm ... tunggu dulu," Hitzrot mencoba-coba, tampaknya dia sudah terbangun sekarang. "Aku tahu sesuatu yang asli dari Kristen. Bagaimana dengan gambaran kita akan Tuhan? Kristen tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai dewa matahari, elang, atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran itu selalu merupakan seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi gambaran kita tentang Tuhan adalah hal yang asli, bukan demikian?"

   Langdon tersenyum. "Ketika orang-orang Kristen pertama beralih meninggalkan tuhan mereka yang terdahulu-dewa-dewa Pagan, dewa-dewa Romawi, Yunani, matahari, Mithraic, apa pun itu mereka bertanya kepada gereja, bagaimana rupa Tuhan Kristen mereka yang baru. Dengan bijaksana, gereja memilih wajah yang paling kuat, paling ditakuti ... dan paling terkenal dari seluruh catatan sejarah yang ada."

   Hitzrot tampak ragu, "Seorang lelaki tua dengan janggut putih yang melambai-lambai?"

   Langdon menunjuk poster yang berisi hirarki dewa-dewa kuno yang tergantung di dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua dengan janggut putih yang melambai-lambai. "Apakah Zeus terlihat sebagai tokoh yang cukup kalian kenal?"

   Kuliah itu berakhir tepat pada petunjuk itu.

   "Selamat malam," kata seorang lelaki. Langdon terlompat. Dia menemukan dirinya kembali berada di dalam Pantheon dan tergugah dari lamunannya. Dia berpaling dan melihat seorang lelaki tua mengenakan topi biru dengan sebuah palang merah di dadanya. Lelaki itu tersenyum dan memperlihatkan giginya yang berwarna kelabu.

   "Anda orang Inggris, bukan?" Aksen lelaki itu terdengar kental dari Tuscan. Langdon berkedip bingung. "Sebenarnya, bukan. Saya orang Amerika."

   Lelaki itu tampak malu, "Ya ampun, maafkan saya. Anda berpakaian sangat rapi, saya mengira ... maafkan saya."

   "Bisa saya bantu?" tanya Langdon. Sementara itu jantungnya terasa berdebar-debar. Sebenarnya, saya kira saya dapat menolong Anda. Saya adalah Cicerone di sini." Lelaki itu menunjuk dengan bangga ke arah emblem yang dikenakannya. "Pekerjaan saya adalah membuat kunjungan Anda ke Roma menjadi lebih menarik."

   Lebih menarik? Langdon yakin kunjungannya ke Roma kali ini sangat menarik.

   "Anda tampak seperti seseorang yang terpelajar," puji si pemandu wisata. "Pasti Anda lebih tertarik dengan kebudayaan dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Mungkin saya dapat memberi informasi sejarah dari gedung mengagumkan ini kepada Anda."

   Langdon tersenyum sopan. "Anda baik sekali, tetapi saya sebenarnya adalah seorang ahi sejarah seni, dan-"

   "Hebat!" mata lelaki itu langsung berbinar-binar seperti dia baru saja memenangkan jackpot. "Kalau begitu Anda pasti sangat senang di sini!"

   "Saya kira, saya lebih senang untuk-"

   "Pantheon," seru orang itu, lalu segera mengatakan semua yang sudah dihapalnya, "didirikan oleh Marcus Agrippa pada tahun 27 SM."

   "Ya," Langdon menyela, "dan dibangun kembali oleh Hadrian pada tahun 119 masehi."

   "Gedung in memiliki kubah terbesar di dunia sampai tahun 1960 dan hanya bisa disaingi oleh Superdome di New Orleans!"

   Langdon menggerutu. Lelaki itu tidak dapat dihentikan.

   "Dan pada abad kelima para ahli teologi pernah menyebut Pantheon sebagai Rumah Setan dan mengatakan bahwa lubang di langit-langit itu merupakan jalan masuk iblis!"

   Langdon memunggungi lelaki itu. Matanya mengarah ke atas, ke arah lubang besar di langit-langit gedung. Kisah yang diceritakan Vittoria melintas dalam benaknya sehingga dia merasa kaku ... seorang kardinal dengan cap di tubuhnya, jatuh dari lubang itu dan menghempas lantai pualam. Sekarang hal itu akan menjadi kejadian yang menarik perhatian media. Langdon melihat ke sekitarnya untuk mencari wartawan. Tidak ada. Dia menarik napas dalam. Itu sebuah gagasan yang aneh. Aksi ala pemeran pengganti itu sekarang mulai terlihat konyol.

   Ketika Langdon berjalan lagi dan melanjutkan pemeriksaannya, pemandu cerewet itu terus mengikutinya seperti seekor anak anjing yang minta disayang. Ingatkan aku, pikir Langdon pada dirinya sendiri, tidak ada yang lebih buruk dari seorang ahli sejarah seni yang terlalu fanatik.

   Di seberangnya, Vittoria merasa asyik sendiri. Ketika berdiri sendirian untuk pertama kalinya sejak dia mendengar berita tentang kematian ayahnya, dia mulai menerima kenyataan kejam yang menyelimutinya selama delapan jam terakhir ini. Ayahnya telah dibunuh dengan brutal dan tiba-tiba. Yang paling menyakitkan adalah penemuan terhebat ayahnya dicuri dan digunakan sebagai senjata kelompok teroris. Vittoria merasa sangat bersalah karena idenyalah antimateri itu dapat dipindahkan ... tabung hasil ciptaannya itulah yang kini berdetak mundur di dalam Vatican. Karena ingin membantu keinginan ayahnya untuk memahami kesederhanaan dari kebenaran ... dia sekarang menjadi penyebab kekacauan ini.

   Anehnya, satu-satunya yang terasa benar bagi Vittoria saat ini adalah kehadiran seseorang yang benar-benar asing baginya, Robert Langdon. Dia dapat merasakan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa aman yang ditemukannya di dalam mata lelaki itu ... seperti harmoni lautan yang ditinggalkannya pagi hari ini. Dia senang Langdon bersamanya. Tidak s aja Langdon menjadi sumber kekuatan dan harapan baginya, tapi Langdon juga membantunya dengan menggunakan kecerdasannya untuk membantunya menangkap pembunuh ayahnya.

   Vittoria menarik napas dalam ketika dia melanjutkan pencanannya. Dia terus menyusuri pinggiran ruangan itu. Pikirannya dihputi oleh berbagai gambaran tentang keinginan untuk balas dendam yang sudah menguasainya sepanjang hari ini. Dengan perasaan sayang seorang anak kepada orang tuanya ... dia ingin agar pembunuh ayahnya itu mati. Tidak ada karma baik yang bisa mengubah pendiriannya saat ini. Dengan perasaan geram Vittoria merasakan sesuatu yang mengalir di dalam darah Italianya ... sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya ... suara-suara yang dibisikkan oleh nenek moyang Sisilia-nya yang mempertahankan kehormatan keluarga dengan keadilan yang brutal. Vendetta, pikir Vittoria dan untuk pertama kalinya dia memahami maknanya.

   Bayangan akan pembalasan itu terus melingkupinya. Vittoria kemudian mendekati makam Raphael Santi. Walau dari kejauhan, dia dapat merasakan kalau lelaki ini adalah orang yang istimewa. Peti matinya, tidak seperti peti mati lainnya, dilindungi dengan kaca plexi. Dari sisi pembatas, dia dapat melihat bagian depan dari peti mati batu itu.

   RAPHAEL SANTI, 1483-1520 Vittoria mengamati makam itu dan membaca satu kalimat yang tertempel di samping makam Raphael. Kemudian dia membacanya lagi. Kemudian ... dia membacanya lagi.

   Sesaat kemudian, dia berlari ketakutan menuju Langdon.

   "Robert! Robert!" USAHA LANGDON UNTUK menyusuri pinggiran Pantheon terhalang oleh seorang pemandu wisata yang terus mengikutinya. Sekarang lelaki itu melanjutkan ceritanya tanpa lelah ketika Langdon bersiap untuk memeriksa ceruk terakhir.

   "Anda tampak sangat menyukai ceruk-ceruk itu!" kata si pemandu wisata dengan wajah senang. "Tahukah Anda, ketebalan dinding yang berbentuk lonjong itulah yang membuat kubah itu terlihat ringan."

   Langdon mengangguk, dia sesungguhnya tidak mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh si pemandu karena dia sudah bersiap untuk memeriksa ceruk lainnya. Tiba-tiba seseorang mencengkeramnya dari belakang. Vittoria. Dia terengah-engah dan mengeuncang-guncang lengannya. Dari kesan ketakutan pada wajahnya, Langdon hanya dapat membayangkan satu hal. Vittoria telah menemukan mayat. Langdon merasa ketakutan juga.

   "Ah, istri Anda!" seru si pemandu wisata. Jelas dia sangat senang karena mendapatkan satu tamu lagi. Dia menunjuk celana pendek Vittoria dan sepatu mendaki yang dipakainya. "Sekarang, dengan melihat Anda berdua, saya tahu kalau Anda orang Amerika."

   Mata Vittoria menyipit. "Saya orang Italia."

   Senyum pemandu wisata itu meredup. "Ya ampun."

   "Robert," bisik Vittoria sambil mencoba membelakangi pemandu wisata itu. "Diagramma Galileo itu. Aku ingin melihatnya."

   "Diagramma?" tanya si pemandu wisata sambil ikut-ikutan bergabung dengan mereka. "Ya ampun! Kalian berdua benar-benar mengerti sejarah yang kalian pelajari! Sayangnya, dokumen itu tidak dapat diperlihatkan. Dokumen itu disimpan di Arsip Vatican-"

   "Tolong, biarkan kami sendirian dulu," kata Langdon. Dia bingung karena kepanikan Vittoria. Dia lalu mengajaknya menepi dan merogoh sakunya, kemudian dengan berhati-hati dikeluarkannya folio Diagramma itu. "Ada apa?"

   "Tanggal berapa yang tertulis pada dokumen itu?" tanya Vittoria sambil mengamati lembaran di tangan Langdon. Si pemandu wisata mendekati mereka lagi, dan ketika melihat lembaran folio di hadapannya, mulutnya ternganga. "Itu bukan yang sesungguhnya .... "

   "Reproduksi untuk wisatawan," sahut Langdon sambil memotong kalimat si pemandu wisata. "Terima kasih atas pertolongan Anda. Tetapi tolong, istri saya dan saya ingin sendirian."

   Si pemandu wisata mundur, namun matanya tidak lepas dari lembaran itu.

   "Tanggal," Vittoria mengulanginya lagi. "Kapan Galileo menerbitkan .... "

   Langdon menunjuk angka-angka Romawi terdapat di bagian bawah folio itu. "Itu tanggal terbitnya. Ada apa?"

   Vittoria membaca angka-angka itu. "1639?"

   "Ya. Ada yang salah?"

   Mata Vittoria penuh dengan kecemasan. "Kita dalam masalah, Robert. Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai"

   "Apanya yang tidak sesuai?"

   "Makam Raphael. Dia baru dimakamkan di sini pada tahun 1759. Satu abad setelah Diagramma diterbitkan."

   Langdon menatapnya sambil mencoba mencerna kata-katanya itu. "Tidak," sahut Langdon. "Raphael meninggal pada tahun 1520, lama sebelum Diagramma."

   "Ya, tetapi dia tidak segera dimakamkan di sini, tetapi lama setelah dia meninggal."

   Langdon bingung. "Apa maksudmu?"

   "Aku baru saja membacanya. Jenazah Raphael dipindahkan ke Pantheon pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa penghormatan bersejarah bagi seorang besar Italia."

   Ketika akhirnya Langdon memahami perkataan Vittoria, dia merasa seperti berdiri di atas sebuah permadani yang tiba-tiba ditarik sehingga dia jatuh terjengkang.

   "Ketika puisi itu ditulis," jelas Vittoria, "makam Raphael berada di suatu tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada hubungannya dengan Raphael!"

   Langdon tidak dapat bernapas. "Tetapi itu ... artinya "Ya! Itu artinya kita berada di tempat yang salah!"

   Langdon merasa terhuyung-huyung. Tidak mungkin ... Aku tadi begitu yakin....

   Vittoria berlari dan menangkap lengan si pemandu wisata, lalu menariknya kembali. "Signore, maafkan kami. Di mana jenazah Raphael pada tahun 1600-an?"

   "Urb ... Urbino," dia tergagap. Sekarang dia tampak bingung. "Tempat kelahirannya."

   "Tidak mungkin!" seru Langdon. "Altar ilmu pengetahuan Illuminati semua ada di sini, di Roma. Aku yakin itu!"

   "Illuminati?" Si pemandu wisata terkesiap. Dia melihat lagi ke arah dokumen di tangan Langdon. "Siapa kalian sebenarnya?"

   Vittoria mengambil alih. "Kami sedang mencari sesuatu yang disebut makam duniawi Santi di Roma. Kira-kira apa itu?"

   Pemandu wisata itu tampak ragu. "Ini adalah satu-satunya makam Raphael di Roma."

   Langdon berusaha berpikir, tetapi pikirannya sulit untuk terfokus. Kalau makam Raphael tidak ada di Roma pada tahun 1655, lalu puisi itu menunjuk pada apa? Makan duniawi Santi yang memiliki lubang iblis? Apa itu maksudnya? Berpikirlah Robert!.

   "Apakah ada seniman lainnya yang bernama Santi?" tanya Vittoria. Si pemandu wisata itu mengangkat bahunya. "Setahuku hanya ini.

   "Bagaimana dengan seniman terkenal lainnya? Mungkin seorang ilmuwan atau pujangga atau ahli astronomi yang bernama Santi?"

   Si pemandu wisata itu sekarang tampak ingin beranjak pergi. Tidak ada, Bu. Satu-satunya Santi yang pernah kudengar adalah Raphael, sang arsitek."

   "Arsitek?" tanya Vittoria. "Saya kira dia pelukis!"

   "Tentu saja dua-duanya. Mereka semuanya begitu. Michelangelo, da Vinci, Raphael."

   Langdon tidak tahu apakah kata-kata si pemandu wisata atau makam-makam berhias yang mengingatkan dirinya, tetapi itu tidak penting. Sebuah pemikiran muncul. Santi memang seorang arsitek Dari situlah pengembangan pikirannya bergerak seperti kartu domino yang berjatuhan. Para arsitek pada zaman Renaisans hidup hanya karena dua alasan-memuliakan Tuhan dengan membangun gereja-gereja besar, dan mengagungkan harga dirinya dengan makam-makam yang mewah. Makam Santi. Mungkinkah itu? Gambaran itu muncul dengan cepat sekarang ....

   Mona Lisa karya da Vinci.

   Bunga-bunga Lili Air karya Monet.

   David, karya Michelangelo Makan duniawi, karya Santi ...

   "Santi merancang makam," kata Langdon. Vittoria berpaling. "Apa?"

   "Puisi itu tidak mengacu pada tempat di mana Raphael dimakamkan, tetapi makam yang dirancangnya." "Apa maksudmu?"

   "Aku salah memahami petunjuk itu. Seharusnya kita tidak mencari makamnya, tetapi makam yang dirancang Raphael untuk orang lain. Aku tidak percaya, aku bisa salah seperti itu. Separuh dari patung yang dibuat pada zaman Renaisans dan Barok di Roma adalah untuk makam." Langdon tersenyum lega. "Raphael pasti pernah merancang ratusan makam!"

   Vittoria tampak tidak senang. "Ratusan?"

   Senyuman Langdon memudar. "Oh."

   "Apakah di antaranya ada yang berkaitan dengan keduniawian, profesor?"

   Tiba-tiba Langdon merasa tidak cukup mengerti. Dengan rasa malu dia mengakui kalau pengetahuannya tentang karya-karya Raphael sangat terbatas. Kalau tentang karya Michelangelo, dia tahu cukup banyak, tet api karya Raphael tidak pernah menarik perhatiannya. Langdon hanya dapat menyebutkan beberapa makam karya Raphael yang terkenal saja, tetapi dia tidak yakin seperti apa bentuknya.

   Vittoria tampaknya dapat merasakan masalah Langdon, dia lalu berpaling pada si pemandu wisata yang sekarang sudah beraniak pergi. Vittoria meraih lengannya dan menariknya lagi. "Saya ingin tahu sebuah makam. Dirancang oleh Raphael. Sebuah makam yang dapat digolongkan bersifat duniawi"

   Si pemandu wisata itu sekarang tampak kesal. "Sebuah makam karya Raphael? Saya tidak tahu. Dia merancang banyak sekali. Dan mungkin yang Anda maksudkan adalah sebuah kapel karya Raphael, bukan sebuah makam. Arsitek selalu merancang kapel yang berhubungan dengan makam."

   Langdon sadar, lelaki itu benar.

   "Apakah ada makam atau kapel karya Raphael yang bersifat duniawi?"

   Lelaki itu menggerakkan bahunya. "Maafkan saya. Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya sungguh-sungguh tidak tahu makam duniawi. Saya harus pergi."

   Vittoria memegangi tangannya dan membaca tulisan di bagian atas folio itu. "Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Apa itu berarti sesuatu bagi Anda?"

   "Sama sekali tidak."

   Tiba-tiba Langdon mendongak. Sesaat yang lalu dia lupa pada bagian kedua dari baris itu. Lalu dia ingat, lubang iblis? "Ya!" Dia berkata kepada si pemandu wisata. "Itu dia! Apakah setiap kapel karya Raphael memiliki lubang di langit-langitnya?"

   Si pemandu wisata itu menggelengkan kepalanya. "Setahuku, hanya Pantheon." Dia berhenti sesaat. "Tetapi ..."

   "Tetapi apa!" Vittoria dan Langdon berseru bersama-sama. Sekarang pemandu wisata itu menegakkan kepalanya dan melangkah ke dekat mereka lagi. "Sebuah lubang iblis?" Dia bergumam pada dirinya sendiri dan berdecak. "Lubang iblis ... itu adalah ... buco diavolo?"

   Vittoria mengangguk. "Secara harfiah, ya."

   Pemandu wisata itu tersenyum samar. "Ada istilah yang sudah lama tidak aku dengar. Kalau saya tidak salah, sebuah buco dihvolo mengacu ke sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja."

   "Sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja?" tanya Langdon "Seperti pemakaman di bawah tanah?"

   "Ya. Tetapi ini yang istimewa. Aku yakin lubang iblis adalah istilah kuno untuk tempat pemakaman besar yang terletak di sebuah kapel ... di bawah makam lainnya."

   "Sebuah ossuary annex, ruang tambahan untuk penyimpanan tulang belulang jenazah?"

   Pemandu wisata itu tampak terkesan. "Ya! Itu istilah yang saya maksudkan tadi!"

   Langdon memikirkannya sekali lagi. Ossuary annex adalah penyelesaian sederhana untuk masalah pelik yang dihadapi gereja pada zaman itu. Ketika gereja menghormati anggota mereka yang paling terpandang dengan membuat makam mewah di dalam gereja, para anggota keluarga lainnya yang masih hidup sering meminta untuk dimakamkan bersama dengan mereka kelak ... mereka juga ingin mendapatkan makam seperti salah satu anggota keluarga yang terhormat itu. Tapi, kalau gereja tidak mempunyai tempat lagi atau tidak memiliki dana untuk membuat makam lagi untuk seluruh keluarga, mereka kadang-kadang membuat ossuary annex-sebuah lubang di lantai di dekat makam di mana mereka memakamkan anggota keluarga yang tidak terlalu penting kedudukannya. Lubang itu kemudian ditutup dengan tutup got di zaman Renaisans. Tetapi, ossuary annex dengan cepat tidak populer lagi karena bau busuk dari jenazah yang dimakamkan di situ sering tercium hingga ke katedral. Lubang iblis, pikir Langdon. Dia tidak pernah mendengar istilah itu, tapi terdengar mengerikan.

   Sekarang jantung Langdon berdebar dengan cepat. Dan makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Tampaknya hanya ada satu pertanyaan lagi untuk ditanyakan. "Apakah Raphael merancang makam yang mempunyai lubang iblis?"

   Pemandu wisata itu menggaruk kepalanya. "Sebenarnya. Maafkan saya ... Saya hanya dapat ingat satu saja."

   Hanya satu? Langdon berharap jawaban sang pemandu wisata bisa lebih baik dari itu.

   "Di mana itu?" tanya Vittoria hampir berteriak. Pemandu wisata itu menatap mereka dengan aneh. "Disebut Kapel Chigi. Makam Agostino Chigi dan saudara lelakinya, mereka adalah pemuka seni dan ilmu pengetahuan yang kaya."

   "Ilmu pengetahuan?" tanya Langdon sambil bertukar pandang dengan Vittoria.

   "Di mana itu?" tanya Vittoria lagi. Si pemandu wisata mengabaikan pertanyaan itu, tapi tampaknya dia menjadi bersemangat lagi karena dapat berguna. "Tapi apakah makam itu bersifat keduniawian atau tidak, itu saya tidak tahu, tetapi ... yang pasti adalah ... kita sebut saja differente."

   "Berbeda?" kata Langdon. "Berbeda seperti apa?"

   "Tidak selaras dengan arsitekturnya. Raphael adalah arsitek satu-satunya. Sementara itu, pematung lainnya yang membuat hiasan di bagian dalamnya. Saya tidak ingat siapa namanya."

   Langdon sekarang mendengarkan dengan lebih seksama. Master seni Illuminati tanpa nama, mungkin? "Siapa pun yang mengerjakan bagian dalamnya memiliki selera yang tidak bagus," lanjut pemandu wisata itu. "Dio mio! Atrocitas! Siapa yang mau dimakamkan di bawah piramida?"

   Langdon hampir tidak dapat memercayai telinganya. "Piramida? Kapel itu ada piramidanya?"

   "Begitulah," si pemandu wisata itu terlihat mengejek. "Mengerikan, bukan?"

   Vittoria mencengkeram lengan pemandu wisata itu. "Signore, di mana kapel Chigi itu?"

   "Kira-kira satu mil ke utara. Di dalam gereja Santa Maria del Popolo."

   Vittoria menghembuskan napas. "Terima kasih. Ayo-" "Hey," seru pemandu wisata itu lagi. "Saya baru saja ingat sesuatu. Betapa bodohnya saya!"

   Vittoria segera berhenti. "Tolong jangan bilang kalau Anda salah."

   Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tetapi seharusnya saya ingat tadi. Kapel itu tidak saja dikenal sebagai Kapel Chigi. Kapel itu juga pernah disebut Capella della Terra."

   "Kapel Dunia?" tanya Langdon.

   "Bukan," kata Vittoria sambil berjalan menuju pintu. "Kapel Tanah""

   Vittoria Vetra mengeluarkan ponselnya ketika dia berlari keluar ke arah Piazza della Rotunda. "Komandan Olivetti," katanya. "Ini kapel yang salah."

   Suara Olivetti terdengar bingung. "Salah? Apa maksudmu?"

   "Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel Chigi!"

   "Di mana?" Sekarang Olivetti terdengar marah. "Tetapi Pak Langdon bilang-"

   "Santa Maria del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan orang-orangmu ke sana sekarang! Kita hanya punya empat menit!"

   "Tetapi mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku tidak mungkin-"

   "Cepatlah!" seru Vittoria sambil menutup ponselnya. Di belakangnya, Langdon berlari keluar dari Pantheon. Vittoria meraih tangan Langdon dan menyeretnya ke arah deretan taksi yang terparkir di pinggir jalan. Dia menggedor atap taksi paling depan. Pengemudi yang sedang tidur itu terlonjak dari mimpinya. Vittoria segera membuka pintu dan mendorong Langdon masuk. Kemudian dia melompat masuk juga.

   "Santa Maria del Popolo," perintahnya. "Presto!"

   Terlihat masih setengah terbangun dan setengah ketakutan, supir taksi itu menekan pedal gas dalam-dalam dan melesat di jalan.

   GUNTHER GLICK MENGAMBIL komputer dari tangan Chinita Macri yang sekarang berdiri membungkuk di bagian belakang van BBC yang sempit sambil menatap dengan bingung melalui bahu Glick.

   "Kan aku sudah bilang," kata Glick sambil mengetik beberapa huruf. "British Tattler bukanlah satu-satunya media yang meliput tentang orang-orang ini."

   Macri mendekat. Glick benar. Database BBC memperlihatkan hasil yang istimewa kepada mereka. Jaringan itu masih menyimpan enam berita tentang persaudaraan yang disebut Illuminati, walau sudah berusia sepuluh tahun. Oke, aku mungkin salah, pikir Macri. "Siapa wartawan yang menulis berita itu?" tanya Macri, "wartawan gosip?"

   "BBC tidak pernah mempekerjakan wartawan gosip."

   "Mereka mempekerjakanmu."

   Glick menggerutu. "Aku heran kenapa kamu begitu tidak percaya. Kisah tentang kelompok Illuminati terdokumentasi dengan baik sepanjang sejarah."

   "Seperti juga UFO dan Monster Loch Ness." Glick membaca daftar berita itu. "Kamu pernah mendengar seorang lelaki yang bernama Winston Churchill?"

   "Ingat sedikit."

   "Beberapa waktu yang lalu, BBC pernah menulis tulisan tentang kehidupan Churchill. Dia penganut Katolik yang taat. Tahukah kamu bahwa Churchill pada tahun 1920, pernah memberikan pernyataan yang mengutuk Illuminat i dan memperingatkan orang-orang Inggris tentang adanya konspirasi global untuk menentang moralitas?"

   Macri ragu-ragu. "Di mana diterbitkannya? Di British Tattler!"

   Glick tersenyum. "London Herald, tanggal 8 Februari 1920."

   "Tidak mungkin." "Lihat saja sendiri."

   Macri melihat lebih dekat pada potongan berita yang terlihat di layar komputer. London Herald, 8 Februari 1920. Aneh sekali. "Yah, mungkin saja Chuchill ketakutan tanpa alasan."

   "Dia tidak sendirian," kata Glick sambil terus membaca. "Sepertinya Woodrow Wilson juga memberikan pidato sebanyak tiga kali yang disiarkan melalui radio pada tahun 1921 untuk memperingatkan tentang perkembangan pengaruh Illuminati pada sistem perbankan di Amerika Serikat. Kamu mau mendengar kutipan tertulis dari radio itu?"

   "Tidak."

   Walau begitu, Glick tetap membacakannya juga. "Dia berkata, ada suatu kekuatan yang sangat terorganisir, begitu samar-samar, tapi begitu lengkap, dan begitu merasuk, sehingga tidak seorang pun yang berani mengutuk kelompok itu secara terang-terangan."

   "Aku tidak pernah mendengar tentang itu."

   "Mungkin pada tahun 1921 kamu masih kecil."

   "Hebat sekali." Macri tidak menghiraukan sindiran itu. Dia tahu usianya sudah terlihat. Pada usia 43 tahun, rambut keriting hitam lebatnya sudah mulai beruban. Tapi dia terlalu sombong untuk mengecatnya. Ibunya, seorang penganut Southern Baptist, mengajari Chinita untuk menerima dirinya apa adanya. Kamu adalah seorang perempuan kulit hitam, kata ibunya, jangan sembunyikan siapa dirimu. Begitu kamu mencobanya, hari itu juga kamu sudah tidak berarti. Berdirilah dengan tegap, tersenyumlah dengan lebar, dan biarkan mereka bertanya-tanya rahasia apa yang membuatmu tertawa.

   "Pernah mendengar tentang Cecil Rhodes?" tanya Gick. Macri mendongak. "Ahli keuangan asal Inggris?"

   "Ya. Dia mendirikan Rhodes Scholarship."

   "Jangan katakan padaku-"

   "Dia anggota Illuminati."

   "Omong kosong."

   "Sebenarnya BBC yang menyiarkannya, pada tanggal 16 November 1984."

   "Kita pernah menulis kalau Cecil Rhodes adalah seorang Illuminati?"

   "Betul sekali. Dan menurut jaringan kita, Rhodes Scholarships adalah dana yang dibentuk beberapa abad lalu untuk merekrut orang-orang muda paling berbakat agar bergabung dengan Illuminati.

   "Itu keterlaluan! Pamanku lulusan Rhodes!"

   Glick mengedipkan matanya. "Bill Clinton juga."

   Macri menjadi marah sekarang. Dia tidak pernah memaafkan tulisan berita yang kasar dan menggelisahkan. Tapi dia tahu kalau BBC selalu melakukan penelitian dan memastikan setiap berita yang mereka tulis dengan hati-hati sekali.

   "Yang ini kamu pasti ingat," kata Glick. "BBC, tanggal 5 Maret 1998. Ketua Komisi Parlemen, Chris Mullin, meminta semua anggota Parlemen Inggris yang menjadi anggota kelompok Mason, agar melaporkan keanggotaan mereka."

   Macri ingat itu. Perintah itu akhirnya melibatkan anggota kepolisian dan juga para hakim. "Kenapa begitu?"

   Glick membaca, "... memerhatikan bahwa faksi-faksi rahasia di dalam kelompok Mason memiliki kontrol yang luar biasa terhadap sistem politik dan keuangan."

   "Itu betul,"

   "Hasilnya adalah kehebohan. Kaum Mason yang duduk di parlemen menjadi marah. Mereka punya hak untuk marah. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah yang bergabung dengan kelompok Mason karena terkait dengan jaringan dan kegiatan amal yang dilakukannya. Mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang keanggotaan persaudaraan itu di masa lalu."

   "Keanggotaan yang diduga ada."

   "Terserah kamu saja." Glick mengamati artikel-artikel lainnya. Lihat yang ini. Illuminati ternyata terkait dengan Galileo, Guerenets dari Perancis, Alumbrado dari Spanyol. Bahkan Karl Marx dan Revolusi Rusia."

   "Sejarah memiliki kemampuan untuk menuliskan dirinya sendiri."

   "Baiklah, kamu mau sesuatu yang baru? Lihat ini. Ini referensi tentang Illuminati dari Wall Street Journal yang baru."

   Yang ini menarik perhatian Macri. "Wall Street Journal?."

   "Coba tebak, apa permainan komputer online terbaru yang paling digemari di Amerika sekarang?"

   "Memasang ekor di bokong Pamela Anderson."

   "Hampir benar. Tetapi yang kumaksud adalah, Illuminati. Tata Dunia Baru."

   Macri melihat uraian singkat itu melalui bahu Glick. "Permainan karya Steve Jackson mencetak sukses besar ... sebuah petualangan semi historis yang menceritakan tentang persaudaraan setan kuno dari Bavaria yang sedang bersiap-siap untuk menguasai dunia. Anda dapat menemukannya di internet di alamat ... "

   Macri mendongak dan merasa mual. "Apa yang dimiliki orang-orang Illuminati itu untuk melawan Kristen?"

   "Bukan hanya Kristen," kata Glick. "Agama pada umumnya." Glick memiringkan kepalanya dan tersenyum. "Dari telepon yang baru saja kita terima, tampaknya mereka punya sentimen tertentu pada Vatican."

   "Oh, ayolah. Kamu tidak benar-benar percaya kalau orang itu memang kaki tangan Illuminati, bukan?"

   "Seorang utusan dari Illuminati? Bersiap-siap untuk membunuh empat orang kardinal?" Glick tersenyum. "Kuharap begitu." TAKSI YANG DITUMPANGI Langdon dan Vittoria melesat sejauh satu mil dengan kecepatan tinggi dan tiba di Via della Scrofa dalam waktu satu menit saja. Taksi tersebut mengeluarkan suara berdecit ketika direm dan berhenti di sebelah selatan Piazza del Popolo sebelum pukul delapan. Karena tidak memiliki uang lira, Langdon membayarnya dengan dolar Amerika yang tentu saja terlalu banyak. Kemudian mereka berdua meloncat keluar. Piazza itu sunyi walau masih terdengar suara tawa dari sejumlah penduduk setempat yang duduk-duduk di luar sebuah kafe terkenal bernama Rosati Cafe yang merupakan tempat favorit bagi orang-orang terpelajar di Italia untuk berkumpul. Udara di sana beraroma espreso dan kue-kue. Langdon masih merasa terguncang karena kesalahan tafsir yang dilakukannya di Pantheon. Tapi ketika dia memandang sekilas lapangan yang berada di hadapannya, firasatnya seperti tergelitik. Piazza itu samar-samar dihiasi dengan simbol-simbol Illuminati. Tidak saja piazza itu berbentuk elips, tetapi tepat di tengah-tengahnya berdiri sebuah obelisk Mesir-sebuah pilar persegi dari batu dengan ujung yang berbentuk sangat mirip dengan piramida. Berbagai sisa peninggalan kekaisaran Romawi seperti beberapa obelisk, tersebar di Roma dan para ahli simbologi menyebutnya "Piramida yang agung"-perpanjangan bentuk piramida suci yang menjulang ke angkasa. Ketika mata Langdon bergerak ke atas menara batu itu, tiba-tiba matanya tertarik pada sesuatu yang berada di belakang menara itu. Sesuatu yang lebih menarik.

   "Kita berada di tempat yang benar," katanya perlahan, tapi tiba-tiba kewaspadaannya muncul. "Lihat itu," kata Langdon sambil menunjuk Porta del Popolo yang mencolok-sebuah pintu tinggi dari batu berbentuk melengkung yang terletak di ujung piazza. Bangunan kubah itu menjulang tinggi di depan piazza selama berabad-abad. Di tengah-tengah bagian tertinggi dari pintu masuk yang melengkung itu ada ukiran simbol. "Ingat gambar itu?"

   Vittoria melihat ke atas, ke arah ukiran besar itu. "Bintang yang bersinar di atas tumpukan batu berbentuk segitiga?"

   Langdon menggelengkan kepalanya. "Sebuah sumber pencerahan di atas sebuah piramida."

   Vittoria berpaling, tiba-tiba matanya membelalak. "Seperti Great Seal yang terdapat di uang dolar Amerika?"

   "Tepat. Simbol dari kelompok Mason di atas uang kertas satu dolar."

   Vittoria menarik napas dan mengamati piazza itu. "Jadi, di mana gereja itu?"

   Gereja Santa Maria del Popolo berdiri di sana seperti sebuah kapal perang yang diparkir tidak pada tempatnya. Gedung itu menyerong di kaki bukit dan terletak di sisi tenggara piazza. Bangunan dari batu berusia sebelas abad itu semakin terlihat eksentrik karena menara perancah yang menutupi bagian depannya.

   Pikiran Langdon menjadi kabur ketika mereka berlari ke arah bangunan besar itu. Langdon memandang gereja itu sambil bertanya-tanya. Apakah si pembunuh akan membunuh seorang kardinal di tempat ini? Dia berharap Olivetti segera sampai ke sini. Senjata itu terasa aneh di dalam sakunya.

   Tangga yang terletak di depan gereja itu berbentuk ventaglio atau seperti kipas yang terbuka. Keramah-tamahan seperti ini menjadi ironis karena mereka terhalang oleh menara perancah, peralatan konstruksi dan papan p eringatan yang berbunyi. CONSTRUZIONE, NON ENTRARE-sedang dalam perbaikan, dilarang masuk.

   Langdon baru menyadari kalau gereja itu ditutup karena sedang direnovasi. Jadi itu artinya si pembunuh dapat menikmati waktunya tanpa ada gangguan. Tidak seperti di Pantheon, dia tidak membutuhkan taktik canggih di sini. Dia hanya membutuhkan cara untuk masuk ke dalam gereja.

   Vittoria menyelinap tanpa ragu di antara kuda-kuda dari kayu lalu berjalan menuju ke tangga.

   "Vittoria," seru Langdon dengan khawatir. "Kalau dia masih di dalam sana .... "

   Tampaknya Vittoria tidak mendengarnya. Dia sudah menaiki serambi utama dan menuju ke satu-satunya pintu depan gereja yang terbuat dari kayu. Langdon bergegas menyusulnya. Sebelum dia dapat mengatakan apa pun, Vittoria sudah meraih pegangan pintu dan membukanya. Langdon menahan napasnya. Pintu itu tidak bisa dibuka.

   "Pasti ada pintu masuk yang lainnya," kata Vittoria.

   "Mungkin," sahut Langdon sambil menghembuskan napasnya, "tetapi Olivetti akan segera tiba di sini. Terlalu berbahaya untuk masuk. Kita harus mengamati gereja ini dari luar sini sampai-"

   Vittoria berpaling, matanya berkilat-kilat. "Kalau memang ada jalan masuk yang lain, pasti ada jalan keluar yang lain juga.

   Kalau orang ini berhasil kabur ... fungito. Kita berada dalam masalah besar."

   Langdon cukup mengerti beberapa kata dalam Bahasa Italia dan dia tahu kalau Vittoria benar.

   Gang di sebelah kanan gereja itu sangat gelap dan sempit, dan memiliki dinding yang tinggi di kedua sisinya. Tercium aroma air seni-aroma yang biasa tercium di kota yang jumlah barnya jauh lebih banyak daripada jumlah toilet umum dengan perbandingan dua puluh banding satu.

   Langdon dan Vittoria bergegas memasuki gang remang-remang dengan bau menyengat tersebut. Mereka telah berjalan kira-kira lima belas yard ketika Vittoria menarik lengan Langdon dan menunjuk ke suatu arah.

   Langdon juga melihatnya. Mereka melihat sebuah pintu kayu sederhana dengan engsel yang berat. Langdon tahu kalau itu adalah porta sacre biasa-pintu masuk pribadi bagi para pastor. Sebagian besar pintu jenis ini sudah tidak digunakan lagi sejak lama ketika dianggap menganggu bangunan di sekitarnya dan terbatasnya lahan membuat pintu masuk di samping gang menjadi hal yang tidak nyaman.

   Vittoria bergegas menuju ke pintu itu. Ketika sampai, dia memandang ke arah kenop pintu dan tampak terpaku. Langdon tiba di belakangnya dan menatap lingkaran berbentuk donat yang berada di tempat di mana kenop pintu terpasang.

   "Sebuah cincin pembuka," Langdon berbisik. Dia lalu meraihnya dan dengan perlahan diangkatnya cincin pembuka itu lalu dia menariknya. Alat itu berbunyi klik. Vittoria bergeser tiba-tiba merasa tidak tenang. Langdon memutarnya searah jarum jam. Cincin itu berputar 360 derajat dengan mudah, tapi pintu tidak bisa dibuka. Langdon mengerutkan keningnya dan mencoba ke arah sebaliknya dan menemukan hasil yang sama. Vittoria melihat ke gang di depannya. "Kamu pikir ada jalan masuk lainnya?"

   Langdon meragukannya. Umumnya katedral-katedral di zaman Renaisans dirancang sebagai pengganti benteng ketika kota itu diserbu. Kalau bisa jumlah pintu dikurangi sesedikit mungkin. "Kalaupun ada jalan masuk lain," kata Langdon, "pintu itu mungkin terletak di belakang gedung-lebih merupakan jalan untuk melarikan diri daripada sebuah pintu masuk."

   Vittoria sudah bergerak.

   Langdon mengikutinya dan berjalan lebih dalam memasuki gang itu. Kedua dindingnya menjulang tinggi di sampingnya. Dari suatu tempat terdengar suara lonceng berdentang delapan kali ....

   Robert Langdon tidak mendengar ketika Vittoria memanggilnya pertama kali. Langdon bergerak lambat di sekitar jendela kaca berwarna yang tertutup oleh jeruji. Dia mencoba mengintip ke dalam gereja.

   "Robert!" Suara Vittoria terdengar seperti bisikan yang keras. Langdon mendongak. Vittoria sudah berada di ujung gang. Dia menunjuk ke bagian belakang gereja dan melambai padanya. Dengan enggan Langdon berlari kecil ke arahnya. Di lantai di dekat dinding belakang, terlihat sebuah batu yang menjorok ke luar untuk menyembunyikan sebuah gua sempi t- semacam jalan sempit yang langsung mengarah ke pondasi gereja.

   "Sebuah jalan masuk?" tanya Vittoria. Langdon mengangguk. Sebenarnya sebuah jalan keluar, tetapi kita tidak usah terlalu teknis sekarang. Vittoria berlutut dan mengintai ke dalam terowongan itu. "Ayo kita periksa pintu itu dan lihat kalau pintunya tidak dikunci."

   Langdon baru ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya, tetapi Vittoria menggandeng tangannya dan menariknya ke arah pintu gua.

   "Tunggu," kata Langdon. Dengan tidak sabar Vittoria berpaling ke arahnya. Langdon mendesah. "Aku akan berjalan di depanmu." Vittoria tertawa kecil. "Lagi-lagi kesopanan ala lelaki Amerika."

   "Yang tua mendahului yang cantik." "Apakah itu sebuah pujian?"

   Langdon hanya tersenyum. Dia kemudian bergerak melewatinya dan masuk ke kegelapan. "Hati-hati ada tangga."

   Dia bergerak perlahan-lahan di dalam kegelapan sambil meraba dinding di sebelahnya. Dinding batu itu terasa tajam di ujung jarinya. Tiba-tiba Langdon ingat tentang kisah Daedalus dan bagaimana anak lelaki itu terus meletakkan tangannya di dinding ketika berjalan menelusuri labirin Minotaur dengan keyakinan dia akan menemukan ujung labirin kalau dia tidak pernah melepaskan tangannya dari dinding. Langdon terus maju tanpa sepenuhnya yakin ingin menemukan ujung gua di hadapannya itu.

   Terowongan itu semakin menyempit sedikit demi sedikit, dan Langdon memperlambat langkahnya. Dia merasa Vittoria berada dekat di belakangnya. Ketika dinding itu membelok ke kiri, terowongan itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil berbentuk setengah lingkaran. Anehnya, ada sedikit cahaya di sini. Dalam keremangan Langdon melihat pintu kayu yang berat.

   "Uh oh," katanya.

   "Terkunci?"

   "Tadinya."

   "Tadinya?" Vittoria kemudian berdiri di sampingnya. Langdon menunjuk. Diterangi oleh cahaya yang menyorot dari dalam, mereka melihat pintu tersebut sedikit terbuka engselnya dirusak oleh sebuah jeruji yang masih menyangkut di papan pintu. Mereka berdiri diam tanpa bicara. Kemudian, berdiri dalam kegelapan seperti itu, Langdon merasa tangan Vittoria berada di dadanya, meraba-raba, dan bergerak ke balik jasnya.

   "Santai saja, Profesor," kata Vittoria. "Aku hanya ingin mengambil pistol."

   Pada saat itu, di dalam Museum Vatican, satu gugus tugas Garda Swiss menyebar ke segala penjuru. Museum itu gelap dan para serdadu itu mengenakan kacamata infra merah yang biasa digunakan oleh Marinir Amerika Serikat. Kacamata itu membuat sekelilingnya terlihat berwarna kehijauan. Semua serdadu mengenakan headphone yang terhubung dengan detektor seperti antena yang melambai-lambai berirama di depan mereka-alat yang sama yang mereka gunakan setiap dua kali seminggu untuk menyapu alat penyadap elektronik di dalam Vatican. Mereka bergerak teratur, memeriksa di belakang patung-patung, di dalam ceruk-ceruk, tempat penyimpanan, dan perabotan. Antena itu akan berbunyi kalau mereka mendeteksi apa saja yang memiliki medan magnet sekecil apa pun.

   Tapi entah bagaimana, malam itu mereka tidak akan mendeteksi apa-apa.

   BAGIAN DALAM GEREJA Santa Maria Popolo tampak seperti sebuah gua suram di balik sinar remang-remang. Ruangan itu lebih mirip sebuah stasiun kereta api bawah tanah yang belum jadi daripada sebuah katedral. Ruang suci utama tampak seperti lapangan rusak karena dipenuhi oleh pecahan lantai yang berserakan, batu bata, setumpukan tanah, beberapa gerobak sorong, dan bahkan cangkul yang berkarat. Pilar-pilar berukuran raksasa menjulang ke langit-langit untuk menyangga kubah. Di udara, terlihat debu bertebaran di antara kaca berwarna yang berkilauan. Langdon berdiri bersama Vittoria di bawah lukisan dinding Pinturicchio dan mengamati tempat suci yang berantakan itu.

   Tidak ada yang bergerak. Benar-benar sunyi.

   Vittoria memegang senjata itu dengan kedua tangannya dan diarahkan ke depan. Langdon melihat jam tangannya. jam 8.04 malam. Kita gila berada di sini, pikirnya. Ini terlalu berbahaya. Kalau pembunuh itu masih berada di dalam, orang itu dapat pergi melalui pintu mana saja yang diinginkannya. Jadi, satu orang dengan senjata teracung seperti ini tidak a kan ada gunanya. Menangkapnya di dalam adalah satu-satunya jalan ... itu juga kalau pembunuh itu masih berada di dalam. Langdon masih merasa bersalah. Karena keliru menafsirkan baris puisi itu, dia sudah membuat repot anak buah Olivetti dan melepaskan kesempatan untuk menangkap sang pembunuh tepat pada waktunya. Sekarang dia tidak bisa memaksa mereka untuk mengikuti kemauannya.

   Vittoria tampak ngeri ketika dia mengamati gereja itu. "Jadi," dia berbisik. "Di mana Kapel Chigi itu?"

   Langdon menatap ke arah bagian bekakang katedral yang diliputi keremangan yang mengerikan dan mengamati dinding di sekelilingnya. Tidak seperti persepsi umum, katedral-katedral zaman Renaisans memiliki banyak kapel. Bahkan katedral besar seperti Notre Dame pun memiliki belasan kapel. Kapel-kapel itu tidak seperti ruangan, mereka hanyalah berbentuk lubang- ceruk berbentuk setengah lingkaran yang digunakan sebagai makam di sekitar dinding pinggir gereja.

   Kabar buruk, pikir Langdon sambil melihat empat ruangan kecil yang terdapat di setiap dinding samping. Jadi semuanya ada delapan kapel. Walau delapan bukanlah jumlah yang terlalu banyak, tapi semua kapel itu terhalang oleh lembaran plastik tembus pandang karena gedung itu masih dalam petnbangunan. Tirai tembus pandang itu tampaknya dimaksudkan untuk menjaga makam-makam di dalam ceruk itu dari debu.

   "Dia bisa saja berada di dalam salah satu ceruk bertirai itu " kata Langdon. "Kita tidak mungkin mengetahui di mana makam Chigi tanpa melongok ke dalam setiap ceruk. Sebaiknya kita menunggu Oli-"

   "Yang mana apse kedua di sisi kiri itu?"

   Langdon menatap Vittoria, terkejut karena dia baru saja menyebutkan istilah arsitektur. "Apse kedua di sisi kiri?"

   Vittoria menunjuk dinding di belakang Langdon. Sebuah hiasan keramik terpasang di dinding batu. Hiasan itu terukir dengan simbol yang sama dengan yang mereka lihat di luar- sebuah piramida di bawah bintang bersinar. Plakat suram itu bertuliskan.

   LAMBANG DARI ALEXANDER CHIGI YANG MAKAMNYA TERLETAK DI APSE KEDUA DI SISI KIRI KATEDRAL INI Langdon mengangguk. Lambang Chigi adalah sebuah piramida dan bintang? Tiba-tiba dia bertanya-tanya apakah Chigi, seorang tuan tanah yang kaya itu, juga anggota Illuminati. Dia mengangguk ke arah Vittoria. "Kerja bagus, Nancy Drew."

   "Apa?"

   "Lupakan, aku-"

   Terdengar seperti ada logam yang jatuh beberapa yard dari tempat mereka berdiri. Suaranya bergema ke seluruh gereja. Langdon menarik Vittoria ke belakang sebuah pilar dan perempuan itu mengarahkan senjatanya ke arah suara berisik tersebut. Sunyi. Mereka menunggu. Lalu ada suara lagi, kali ini bergemerisik. Langdon menahan napasnya. Seharusnya aku tidak boleh membiarkan Vittoria masuk ke sini! Suara itu bergerak mendekat.

   Sebentar-sebentar terdengar suara seretan, seperti suara orang lumpuh yang sedang menyeret kakinya. Tiba-tiba di sekitar dasar pilar, sebuah benda muncul.

   "Figlio di puttana!" Vittoria menyumpah perlahan sambil terloncat ke belakang. Langdon juga terdorong ke belakang bersamanya. Di samping pilar itu, terlihat seekor tikus besar sedang menyeret roti lapis yang telah dimakan separuh. Makhluk itu berhenti ketika melihat mereka, menatap lama ke arah laras senjata yang dipegang Vittoria. Ketika tikus itu merasa aman, hewan itu melanjutkan usahanya dengan menyeret makanannya ke ceruk gereja.

   "Sialan .... " Langdon terkesiap, jantungnya masih berdebar dengan kencang. Vittoria menurunkan senjatanya dan dengan cepat dia memperoleh ketenangan kembali. Langdon mengintai dari sisi pilar dan melihat sebuah kotak makan siang seorang pekerja yang terbuka di atas lantai. Tampaknya kotak itu dijatuhkan dari atas kuda-kuda kayu oleh tikus besar yang cerdik itu. Langdon mengamati ruangan gereja itu untuk mencari adanya gerakan lainnya dan berbisik, "Kalau orang itu masih ada di sini, dia pasti juga mendengar kegaduhan itu. Kamu yakin tidak mau menunggu Olivetti?"

   "Apse kedua di sisi kiri," Vittoria mengulangi. "Di mana itu?"

   Dengan enggan Langdon berpaling dan berusaha untuk mengingat-ingat. Istilah dalam katedral seperti papan petunjuk di panggung-sa ngat mudah untuk ditebak. Langdon menghadap ke altar utama. Anggap itu sebagai panggung utama. Lalu dia menunjuk dengan ibu jarinya ke belakang melalui bahunya.

   Mereka berdua berputar dan melihat ke arah yang ditunjuk Langdon tadi.

   Tampaknya Kapel Chigi terletak di ceruk ketiga dari empat ceruk di sebelah kanan mereka. Kabar baiknya adalah Langdon dan Vittoria berada di sisi yang tepat dari gereja itu. Kabar buruknya, mereka berada di ujung yang salah. Mereka harus menyeberangi gereja itu dan melewati tiga kapel lainnya. Setiap kapel, seperti juga Kapel Chigi, tertutup dengan plastik tembus pandang.

   "Tunggu," kata Langdon. "Aku jalan di depan." "Lupakan."

   "Akulah yang mengacaukan keadaan dengan menyuruh orang untuk mengepung Pantheon."

   Vittoria berpaling, "Tetapi akulah yang membawa pistol."


Pendekar Rajawali Sakti Siluman Muka Kodok Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring Pendekar Rajawali Sakti Kabut Hitam Di Karang Setra

Cari Blog Ini