Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 17


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 17



Langdon menyumpah keras. "Kamu melihat ada seseorang masuk ke dalam sana?" tanya Langdon sambil menunjuk ke arah jalan masuk dengan pintu seperti jembatan itu.

   "Sebenarnya, iya. Sebuah van hitam keluar masuk sepanjang malam ini."

   Langdon merasa seperti sebuah batu bata menghantam dasar perutnya.

   "Bangsat itu beruntung," kata lelaki Australia itu sambil menatap ke arah menara, kemudian mengerutkan keningnya ketika melihat pemandangan ke Vatican yang terhalang oleh gedung-gedung. "Aku bertaruh pemandangan dari atas sana pasti sempurna Aku tidak dapat masuk ke Santo Petrus jadi aku harus mengambil gambar dar i sini."

   Langdon tidak mendengarkannya. Dia sedang mencari kesempatan.

   "Bagaimana pendapatmu?" tanya lelaki Australia itu. "Apakah 11th Hour Samaritan itu nyata?" Langdon berpaling. "Apa?"

   "Kamu tidak mendengar? Kapten Garda Swiss itu menerima telepon dari seseorang yang mengaku mempunyai info sangat penting. Orang itu sekarang sedang terbang ke sini. Yang kutahu dia akan menyelamatkan Vatican ... itu baru berita yang akan menaikkan rating." Lalu lelaki itu tertawa. Tiba-tiba Langdon merasa bingung. Seorang Samaritan yang baik sedang terbang ke sini untuk menolong? Apakah orang itu tahu di mana antimateri itu? Lalu mengapa dia tidak langsung saja mengatakan kepada para Garda Swiss? Mengapa dia harus datang sendiri ke sini? Ada yang aneh, tetapi Langdon tidak punya waktu untuk memikirkannya.

   "Hei," seru lelaki Australia itu sambil mengamati Langdon dengan lebih seksama. "Bukankah kamu lelaki yang kulihat di TV? Yang berusaha menolong kardinal di Lapangan Santo Petrus?"

   Langdon tidak menjawab. Matanya tiba-tiba terpaku pada sebuah alat yang terpasang di atap truk itu-satelit yang dipasang di sebuah perlengkapan tambahan yang dapat direbahkan. Langdon lalu melihat ke arah kastil sekali lagi. Benteng di bagian luar setinggi lima puluh kaki, sementara benteng bagian dalamnya masih menanjak lebih tinggi lagi. Sebuah sistem pertahanan tertutup. Puncaknya sangat tinggi dari sini, tetapi kalau dia dapat melalui tembok pertama ....

   Langdon berpaling pada lelaki itu dan menunjuk pada penyangga satelit itu. "Berapa tingginya alat itu?"

   "Hah?" Lelaki itu tampak bingung. "Lima belas meter. Mengapa?"

   "Pindahkan truk itu ke dekat dinding. Aku membutuhkan bantuan."

   "Apa maksudmu?" Langdon menjelaskan. Mata lelaki Australia itu terbelalak. "Apa kamu sudah gila? Ini ekstensi teleskop seharga 200 ribu dolar. Bukan tangga!"

   "Kamu mau rating? Aku punya informasi yang akan membuatmu senang," kata Langdon putus asa. "Informasi seharga 200 ribu dolar?"

   Langdon mengatakan padanya apa yang ingin diungkapkannya untuk mengganti kebaikan lelaki itu.

   Sembilan puluh detik kemudian, Robert Langdon sudah mencengkeram bagian atas alat pemancang satelit itu dan melambai tertiup angin malam di atas ketinggian lima belas kaki dari tanah. Sambil mencondongkan tubuhnya, dia meraih puncak dinding pagar pertama, menarik tubuhnya ke dinding, lalu meloncat ke bagian yang lebih rendah dari benteng itu.

   "Sekarang, ingat janjimu tadi!" seru lelaki Australia itu. "Di mana dia?"

   Langdon merasa berdosa karena mengungkapkan informasi itu. Tetapi janji adalah janji. Lagipula, si Hassassin juga mungkin akan menghubungi pers. "Piazza Navona," teriak Langdon. "Dia ada di air mancurnya."

   Lelaki Australia itu memendekkan pemancang cakram satelitnya dan mengejar berita yang akan mengangkat karirnya.

   Di dalam ruangan batu yang terletak tinggi di atas kota, si Hassassin membuka sepatu botnya yang basah dan membalut jari kakinya yang terluka. Ada rasa sakit, tetapi tidak terlalu sakit karena dia masih dapat bersenang-senang.

   Dia berpaling untuk memandang hadiahnya.

   Perempuan itu berada di sudut ruangan, terlentang di atas sofa besar yang sederhana dengan kedua tangannya terikat di belakang dan mulut tersumbat. Si Hassassin mendekatinya. Perempuan itu sudah terjaga sekarang. Hal itu membuatnya senang. Anehnya, di dalam mata perempuan itu dia melihat api, bukan sinar ketakutan.

   Rasa takut itu akan datang.

   ROBERT LANGDON BERLARI di atas tembok benteng, dan merasa senang karena ada lampu sorot di dekatnya. Ketika dia memutari tembok itu, halaman di bawahnya tampak seperti museum peralatan perang kuno. Di sana terlihat ketapel besar, tumpukan peluru meriam dari pualam, dan sebuah gudang peluru yang berisi peralatan yang mengerikan. Sebagian dari kastil itu terbuka bagi wisatawan pada siang hari dan sebagian halamannya dipertahankan seperti aslinya.

   Mata Langdon menyeberangi halaman menuju ke tengah-tengah bangunan kastil di hadapannya. Menara benteng berbentuk bundar itu menjulang setinggi 107 kaki hingga ke patung malaikat dari perunggu di atasnya.

   Dari dalam balkon di atas menara itu terlihat sinar memancar keluar. Langdon ingin memanggil dari tempatnya berdiri saat ini tetapi dia tahu cara yang lebih baik. Dia harus menemukan jalan masuk ke sana.

   Dia melihat jam tangannya.

   11.12 malam.

   Sambil berlari di jalan melandai dari batu yang mengelilingi bagian dalam tembok itu, Langdon turun untuk menuju ke halaman. Ketika dia sudah berada di tanah datar lagi, Langdon kembali berlari dalam kegelapan, dan bergerak searah dengan jarum jam untuk mengelilingi benteng itu. Dia melewati tiga serambi, tetapi ketiganya dikunci secara permanen. Bagaimana si Hassassin itu bisa masuk? Langdon terus berlari. Setelah itu dia melewati dua pintu masuk bergaya modern, tetapi kedua pintu itu juga terkunci dari luar. Tidak di sini. Dia terus berlari.

   Langdon hampir mengelilingi seluruh gedung itu, hingga akhirnya dia melihat sebuah jalanan berkerikil melintasi halaman di depannya. Di ujung satunya, di sisi luar kastil itu, dia melihat bagian belakang dari jembatan tarik yang menuju ke luar. Di ujung lainnya, jalan itu masuk ke dalam benteng. Jalan itu tampaknya memasuki semacam terowongan-sebuah celah masuk ke pusat kastil. Il traforo! Langdon pernah membaca tentang traforo yang terdapat di kastil itu, sebuah jalan landai berputar di bagian dalam benteng yang digunakan oleh komandan pasukan pada masa lalu untuk turun dari atas benteng dengan cepat sambil menunggang kudanya. Si Hassassin itu mendaki ke atas! Pintu gerbang yang menutup jalan itu terangkat, seperti membiarkan Langdon masuk dengan mudah. Langdon merasa begitu gembira ketika dia berlari ke arah terowongan itu. Tetapi ketika dia tiba di pintu masuknya, kegembiraannya menghilang.

   Terowongan berputar itu menuju ke bawah.

   Salah jalan. Bagian dari traforo ini tampaknya turun ke ruang bawah tanah, bukan ke atas.

   Dia berdiri di mulut lubang gelap itu yang tampaknya berputar sangat dalam ke bawah tanah. Langdon ragu-ragu, lalu dia melihat ke atas lagi, ke arah balkon dengan sinar samar itu. Dia sangat yakin melihat sesuatu di sana. Putuskan! Tanpa adanya pilihan lainnya, Langdon berlari menuruni tangga itu.

   Tinggi di atas Langdon, si Hassassin berdiri di depan mangsanya. Dia membelai lengan perempuan itu. Kulit perempuan itu halus seperti satin. Harapan untuk menjelajahi tubuh indahnya sudah tak tertahankan lagi. Berapa banyak cara yang bisa dia lakukan untuk menganiaya perempuan ini? Si Hassassin tahu dia berhak atas perempuan ini. Dia telah melayani Janus dengan baik. Perempuan ini adalah rampasan perang, dan ketika dia sudah selesai dengan perempuan ini, dia akan mendorongnya jatuh dari sofa dan memaksanya untuk berlutut. Perempuan ini akan melayaninya lagi. Kepatuhan yang penghabisan. Lalu, ketika dia sendiri sudah mencapai klimaksnya, dia akan menyembelih leher perempuan itu.

   Ghayat assa'adah, mereka menyebutnya demikian. Kenikmatan yang penghabisan.

   Setelah itu, dia akan larut di dalam kemenangannya dengan berdiri di atas balkon dan menikmati puncak kemenangan Illuminati ... sebuah pembalasan dendam yang telah diinginkan begitu banyak orang sejak begitu lama.

   Terowongan itu menjadi semakin gelap. Tapi Langdon terus menuruninya.

   Setelah dia betul-betul berada di dalam tanah, cahaya menghilang sama sekali. Sekarang terowongan itu menjadi datar, dan Langdon memperlambat langkahnya. Menurut gema langkah kakinya dia tahu dia mulai memasuki ruangan yang lebih besar. Di depannya, di dalam keremangan, dia merasa melihat secercah sinar ... pantulannya kabur dalam keremangan di sekitarnya. Dia bergerak maju sambil mengulurkan tangannya. Tangannya menemukan permukaan yang halus di dalam gelap. Khrom dan kaca. Itu sebuah kendaraan. Dia meraba permukaannya, lalu menemukan sebuah pintu, dan membukanya.

   Lampu di langit-langit mobil itu langsung menyala. Dia mundur ketika mengenali mobil van hitam itu. Langdon langsung merasakan kebencian yang memuncak ketika dia melihat ke dalam. Kemudian dia masuk ke dalam mobil. Langdon mencari-cari sepucuk senjata untuk menggantikan senjatanya yang hilang di air mancur tadi. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Tapi dia menemukan ponsel milik Vittoria. Ponsel itu rusak dan tidak dapat dipakai lagi. Keadaan itu membuatnya takut. Dia berdoa supaya dia tidak terlambat.

   Dia meraih ke depan dan menyalakan lampu depan mobil itu. Ruangan di sekitarnya menjadi terang dan menunjukkan wujudnya. Ruangan itu sederhana dan kasar. Langdon menduga kalau ruangan ini dulu pernah menjadi kandang kuda dan tempat penyimpanan amunisi. Ruangan itu juga tidak memiliki pintu.

   Tidak ada jalan keluar. Aku telah memilih jalan yang salah.

   Akhirnya dia meloncat keluar dan mengamati dinding di sekitarnya. Tidak ada pintu keluar. Tidak ada gerbang. Dia ingat pada malaikat yang menunjuk pintu masuk ke terowongan ini dan bertanya-tanya apakah itu hanya sebuah kebetulan saja. Tidak! Dia ingat kata-kata si pembunuh ketika mereka berada di air mancur tadi. Perempuan itu ada di Gereja Pencerahan ... menunggu aku kembali. Langdon sudah datang terlalu jauh untuk mengalami kegagalan sekarang. Jantungnya berdebar keras. Keputusasaan dan kebencian mulai melumpuhkan akal sehatnya.

   Ketika dia melihat darah di lantai, ingatan Langdon segera beralih ke Vittoria. Tetapi ketika matanya mengikuti noda darah itu, dia melihat ada jejak kaki. Langkahnya panjang dan noda darahnya hanya terdapat pada kaki kiri. Si Hassassin! Langdon mengikuti jejak kaki itu ke arah sudut ruangan dan dia melihat bayangannya menjadi semakin samar. Dia menjadi semakin bingung setiap kali dia melangkah. Jejak darah itu tampak seolah langsung menuju ke arah sudut ruangan itu lalu menghilang.

   Ketika Langdon tiba di sudut, dia tidak dapat memercayai matanya. Balok batu granit di lantai di sini tidak persegi seperti yang lainnya. Dia ternyata menemukan petunjuk lainnya. Balok itu diukir menjadi bentuk segi lima yang sempurna, dan diatur sehingga ujungnya menunjuk ke arah sudut. Dengan cerdik balok itu disamarkan oleh dinding yang berlapis, celah sempit di batu yang berfungsi sebagai pintu keluar. Langdon menyelinap ke dalam. Dia sekarang berada di sebuah gang. Di depannya terlihat sisa penghalang dari kayu yang dulu pasti menjadi penutup terowongan itu.

   Ada cahaya dari kejauhan.

   Langdon sekarang berlari. Dia melintasi kayu itu dan menuju ke arah datangnya sinar. Gang itu dengan cepat membuka ke arah ruangan lain yang lebih besar. Di sini hanya ada sebuah obor yang menyala di dinding. Ternyata Langdon berada di bagian kastil yang tidak dialiri listrik ... bagian yang tidak pernah dimasuki wisatawan. Ruangan itu pasti tampak mengerikan di siang hari. Nyala obor itu semakin menambah kesuraman di sekitarnya.

   Il prigione.

   Ada belasan sel penjara kecil dengan terali besi yang sudah keropos dimakan erosi. Tapi kemudian Langdon menemukan sebuah sel yang lebih besar dengan terali yang masih tetap utuh. Di lantai Langdon melihat sesuatu yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak-beberapa jubah hitam dan setagen merah tergeletak di atas lantai. Di sinilah dia menahan para kardinal itu! Di dekat sel terdapat sebuah pintu besi di dinding. Pintu itu terbuka sedikit dan dari situ Langdon dapat melihat sejenis gang. Dia berlari ke arah pintu itu. Tetapi Langdon berhenti sebelum dia tiba di sana. Jejak darah itu tidak memasuki gang itu. Ketika Langdon membaca tulisan di atas gang itu, dia tahu mengapa.

   Il Passetto.

   Langdon terpaku. Dia pernah mendengar tentang terowongan itu berkali-kali tanpa pernah mengetahui dengan pasti di mana tempat itu berada. Il Passetto atau Gang Kecil adalah terowongan sempit sepanjang tiga perempat mil yang dibangun antara Kastil Santo Angelo dan Vatican. Terowongan itu digunakan oleh beberapa paus untuk melarikan diri ke tempat aman selama Vatican dikepung ... juga ketika beberapa paus yang tidak terlalu saleh menggunakannya untuk mengunjungi para kekasihnya atau menyaksikan penyiksaan musuh-musuh mereka. Kini, kedua ujung terowongan itu pasti sudah ditutup dan kuncinya disimpan di ruang penyimpanan di Vatican. Tiba-tiba Langdon khawatir dia tahu bagaimana Illuminati bisa bergerak keluar masuk dari Vatican. Dia bertanya-tanya siapa yang mengkhi anati gereja dan mengeluarkan kunci itu. Olivetti? Salah satu dari Garda Swiss? Sekarang itu sudah tidak penting lagi.

   Kini jejak darah di lantai membawanya ke ujung yang berlawanan dengan penjara itu. Langdon lalu mengikutinya. Di sini, terdapat gerbang berkarat dengan rantai yang tergantung. Kuncinya tidak digembok lagi dan gerbang itu terbuka. Di dalam gerbang itu terdapat tangga spiral yang curam. Lantai di sini juga ditandai oleh balok bergambar pentagram. Langdon menatap balok itu dengan gemetar, dan bertanya-tanya apakah Bernini sendiri yang memegang pahat dan membentuk bongkahan batu itu. Di atasnya, terlihat sebuah pintu masuk berbentuk melengkung yang dihiasi dengan kerubi kecil. Ini dia.

   Jejak darah menikung dan naik ke tangga itu.

   Sebelum naik, Langdon tahu dia membutuhkan senjata, senjata apa saja. Dia kemudian menemukan sepotong terali besi di dekat salah satu sel. Ujungnya miring dan tajam. Walau berat sekali, itu adalah senjata terbaik yang dapat ditemukannya. Dia berharap faktor kejutan, digabung dengan luka si Hassassin, akan cukup menguntungkan dirinya. Harapan terbesarnya adalah dia tidak datang terlambat.

   Anak tangga berputar itu rusak dan memutar curam ke atas. Langdon mulai mendaki sambil mendengarkan kalau-kalau ada suara. Tidak ada. Ketika dia mendaki, cahaya dari ruangan penjara di bawahnya memudar. Dia naik ke tempat yang gelap gulita dengan satu tangannya tetap menyentuh dinding. Lebih tinggi lagi. Dalam kegelapan, Langdon merasakan hantu Galileo sedang mendaki anak tangga yang sama dan begitu bersemangat untuk berbagi pandangannya tentang surga kepada ilmuwan lainnya.

   Langdon masih terheran-heran dengan keberadaan markas Illuminati itu. Ruang pertemuan Illuminati berada di dalam sebuah gedung milik Vatican. Tidak diragukan lagi, sementara para penjaga Vatican sedang keluar mencari-cari di ruang bawah tanah dan rumah para ilmuwan ternama, kelompok Illuminati malah sedang mengadakan pertemuan di sini ... tepat di bawah hidung Vatican. Tiba-tiba itu tampak begitu sempurna. Bernini, sebagai kepala arsitek renovasi pasti memiliki akses tidak terbatas di dalam gedung ini ... dia dapat mengubah bentuk sesuai dengan keinginannya tanpa mendapat banyak pertanyaan. Berapa banyak jalan masuk rahasia yang ditambahkan Bernini? Berapa banyak hiasan tersamar yang menunjuk ke arah ini? Gereja Pencerahan. Langdon tahu dia sudah dekat. Ketika tangga itu mulai menyempit, Langdon merasa gang itu mengurungnya. Bayangan sejarah mulai berbisik-bisik di dalam gelap, tetapi dia terus bergerak. Ketika dia melihat secercah cahaya berbentuk horizontal di depannya, dia tahu dia sedang berdiri beberapa anak tangga di bawah bordes, tempat sinar obor menyebar dari ambang pintu di depannya. Tanpa menimbulkan suara, dia naik lagi.

   Langdon tidak tahu di bagian kastil yang mana dia sekarang berada, tetapi dia tahu dia telah mendaki cukup jauh untuk berada di dekat puncak. Dia membayangkan patung malaikat berukuran besar yang berdiri di puncak kastil dan dia menduga patung tersebut berada tepat di atasnya.

   Lindungi aku malaikat, katanya dalam hati sambil mencengkeram terali besinya. Kemudian, tanpa menimbulkan suara, dia meraih pintu.

   Di atas sofa, Vittoria merasa kedua lengannya sakit. Ketika pertama kali terjaga dan mengetahui bahwa kedua lengannya terikat di belakang punggungnya, Vittoria mengira dia dapat bersantai dan berusaha membebaskan tangannya. Tetapi waktu telah habis. Monster itu telah kembali. Sekarang lelaki itu berdiri di di dekatnya. Dadanya telanjang dan bidang, tergores-gores karena perkelahian yang pernah dilaluinya. Matanya tampak seperti dua buah celah hitam ketika menatap tubuhnya. Vittoria merasa lelaki itu sedang membayangkan apa yang dapat dilakukannya dengan tubuhnya. Perlahan, seolah mengejeknya, si Hassassin melepas ikat pinggangnya yang basah dan menjatuhkannya di lantai.

   Vittoria merasa sangat ketakutan. Dia memejamkan matanya. Ketika dia membukanya lagi, si Hassassin telah mengeluarkan sebilah pisau lipat. Dia mengayunkannya sehingga terbuka di depan wajah Vittoria.

   Vittoria meliha t ketakutannya terpantul di baja pisau itu.

   Si Hassassin membalik pisaunya dan menggoreskan bagian punggung pisaunya di perut Vittoria. Rasa dingin dari pisau itu membuat Vittoria menggigil. Dengan tatapan merendahkan, si Hassassin menyelipkan pisau itu ke pinggang celana pendek Vittoria. Vittoria menahan napasnya. Si Hassassin menggerakkan pisaunya ke depan dan ke belakang dengan perlahan ... lebih rendah lagi. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya dan napasnya yang panas berhembus di telinga Vittoria.

   "Pisau ini yang mencungkil mata ayahmu."

   Kemarahan segera meledak dan membuat Vittoria merasa mampu untuk membunuh lelaki itu saat itu juga.

   Si Hassassin memutar pisaunya lagi dan mulai memotong ke atas melalui bahan khaki celana pendek Vittoria. Tiba-tiba dia berhenti. Ada seseorang di dalam ruangan ini.

   "Lepaskan dia!" suara laki-laki menggeram dari ambang pintu. Vittoria tidak dapat melihat siapa yang berbicara di sana, tetapi dia mengenali suara itu. Robert! Dia hidup! Si Hassassin melihat ke arah Langdon seolah dia melihat hantu. "Ah Langdon, kamu pasti punya malaikat penjaga." KETIKA LANGDON SUDAH berada di dekat si pembunuh, dia tahu dirinya sedang berada di tempat suci. Hiasan di dalam ruang sederhana itu, walau tua dan sudah pudar, penuh dengan simbologi yang sudah tidak asing lagi. Lantai berbentuk segi lima. Lukisan dinding yang menggambarkan planet-planet. Merpati. Piramida. Gereja Pencerahan. Sederhana dan murni. Dia akhirnya bisa sampai di sini. Langsung di depannya, dengan latar belakang pintu balkon yang terbuka, berdiri si Hassassin. Dia bertelanjang dada, berdiri di dekat Vittoria yang terbaring terikat tetapi jelas masih hidup. Langdon merasa sangat lega melihatnya. Saat itu juga, mata Langdon bertemu dengan mata Vittoria, dan berbagai perasaan yang campur aduk muncul-rasa syukur, putus asa, dan sesal.

   "Jadi, kita bertemu lagi," kata si Hassassin. Dia melihat ke arah terali besi di tangan Langdon dan tertawa keras. "Dan kali ini kamu datang padaku dengan membawa itu?"

   "Bebaskan dia."

   Si Hassassin meletakkan pisaunya di leher Vittoria. "Aku akan membunuhnya."

   Langdon tidak meragukan kemampuan si Hassassin untuk melakukan tindakan semacam itu. Tapi dia berusaha berkata dengan tenang. "Kukira dia akan lebih senang menerimanya ... daripada menghadapi hal lain yang kamu ingin lakukan terhadapnya."

   Si Hassassin tersenyum pada penghinaan itu. "Kamu benar. Dia punya banyak hal untuk ditawarkan. Sayang sekali untuk dilewatkan."

   Langdon melangkah ke depan, tangannya mencengkeram terali berkarat itu, dan mengarahkan ujung potongan terali pada si Hassassin. Luka di tangannya terasa sangat sakit. "Lepaskan dia."

   Untuk sesaat, si Hassassin tampak mempertimbangkannya. Sambil menarik napas, dia melemaskan bahunya. Itu jelas merupakan gerakan menyerah, tapi pada saat itu juga lengan si Hassassin tampak terayun dengan cepat dan tidak terduga. Seperti bayangan, tiba-tiba sebuah pisau datang merobek udara dan melesat ke arah dada Langdon.

   Entah itu karena insting atau keletihan yang dirasakannya yang membuat Langdon menekuk lututnya pada saat itu. Dia tidak tahu. Tapi yang pasti pisau tersebut melayang dan nyaris mengenai telinga kirinya dan jatuh ke lantai di belakang Langdon. Si Hassassin tampak tidak peduli. Dia tersenyum pada Langdon yang sekarang berlutut sambil masih menggenggam terali besi itu. Pembunuh itu melangkah menjauh dari Vittoria, dan bergerak ke arah Langdon seperti seekor singa yang mengancam.

   Ketika Langdon berusaha bangkit dan mengangkat terali itu lagi, kaus turtleneck dan celananya yang basah tiba-tiba terasa lebih membatasi dirinya. Sementara itu, si Hassassin yang setengah berpakaian, tampak bergerak jauh lebih cepat dan luka di kakinya tampak sama sekali tidak memperlambat gerakannya. Langdon mengira, lelaki ini pasti sudah terbiasa dengan rasa sakit. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Langdon berharap dia membawa sepucuk senjata yang besar sekali.

   Si Hassassin bergerak berkeliling dengan perlahan seolah sedang menikmati waktunya. Dia selalu berusaha untuk menjaga jara k lalu bergerak ke arah pisau yang tergeletak di lantai. Langdon menghalanginya. Kemudian si pembunuh bergerak kembali ke arah Vittoria. Sekali lagi Langdon mencegahnya.

   "Masih ada sedikit waktu," kata Langdon. "Katakan di mana tabung itu. Vatican akan membayarmu lebih banyak daripada yang dapat dibayarkan Illuminati."

   "Kamu naif sekali."

   Langdon mengayunkan potongan besi itu. Si Hassassin mengelak. Langdon bergerak ke sekitar bangku sambil memegang senjata di depannya, dan berusaha menyudutkan si Hassassin di ruangan oval ini. Ruangan keparat ini tidak memiliki sudut! Anehnya, si Hassassin tidak menunjukkan niat untuk menyerang Langdon ataupun melarikan diri. Dia hanya mengikuti permainan Langdon. Menunggu dengan tenang.

   Tapi menunggu apa? Si pembunuh itu terus bergerak berkeliling. Tak diragukan lagi, dia ahli dalam menempatkan diri. Ini seperti permainan catur yang tidak ada akhirnya. Senjata di tangan Langdon mulai terasa berat, dan tiba-tiba dia tahu apa yang ditunggu oleh si Hassassin itu. Dia menungguku sampai aku kecapekan. Dia berhasil. Langdon mulai merasa letih, dan adrenalin saja tidak cukup untuk membuatnya waspada. Langdon tahu, dia harus bertindak.

   Si Hassassin tampaknya dapat membaca pikiran Langdon, lalu dia bergeser lagi seolah menggiring Langdon ke arah meja di tengah ruangan itu. Langdon dapat melihat ada sesuatu di atas meja itu. Sesuatu yang berkilauan ditimpa cahaya obor. Sebuah senjata? Langdon tetap memusatkan tatapannya pada si Hassassin dan juga bergerak ke arah meja itu. Ketika si Hassassin kembali bergeser, dengan sengaja dia melirik ke arah meja. Langdon berusaha untuk mengabaikan umpan itu, tetapi nalurinya melawannya. Dia ikut juga mencuri pandang. Hasilnya cukup membuat Langdon jera.

   Benda yang terletak di atas meja itu sama sekali bukan senjata. Pandangannya membuatnya terpaku sejenak.

   Di atas meja itu tergeletak sebuah peti perunggu sederhana, berkilap karena usianya yang sudah sangat kuno. Peti itu berbentuk segilima dengan tutup yang terbuka. Di dalamnya terdapat lima bagian yang berisi lima cap. Cap itu terbuat dari besi tempa dan memiliki alat cap yang besar dengan tangkai pegangan dari kayu. Langdon tahu dengan pasti apa yang tertulis di kelima cap itu.

   ILLUMINATI, EARTH (tanah), AIR (udara), FIRE (api), WATER (air).

   Langdon menatap si Hassassin kembali, khawatir dia akan menyergapnya. Tetapi si Hassassin ternyata tidak melakukan apa-apa. Si pembunuh itu sedang menunggu, seolah merasa segar kembali karena permainan itu. Langdon berusaha untuk mengembalikan konsentrasinya dan kembali menatap tajam ke arah buruannya sambil mengancamnya dengan terali besi runcing itu. Tetapi bayangan kotak perunggu itu tetap membayang dalam benaknya. Walau cap itu sendiri membuatnya terpesona karena selama ini menjadi artifak yang diragukan keberadaannya oleh beberapa akademisi pengamat Illuminati, tapi Langdon tiba-tiba menyadari kalau di dalam peti itu pasti ada benda lainnya. Ketika si Hassassin bergerak lagi, Langdon kembali mencuri pandang ke bawah sana.

   Ya Tuhan! Di dalam peti, kelima cap itu terletak di dalam wadah yang berada di pinggirannya. Tapi di tengah-tengahnya masih ada wadah lainnya. Dan wadah itu kosong sehingga pasti ada sebuah cap lainnya yang disimpan di situ ... sebuah cap yang jauh lebih besar dari yang lainnya, dan betul-betul persegi.

   Serangan yang datang ke arahnya sungguh tidak terduga.

   Si Hassassin menyambar ke arah Langdon seperti seekor burung pemangsa. Konsentrasi Langdon terpecah setelah si Hassassin membiarkannya melihat ke isi peti itu sehingga ketika dia berusaha melawannya, dia merasa tongkat besi yang dibawanya terasa seberat batang pohon. Dia menangkis terlalu lambat. Si Hassassin mengelak. Ketika Langdon mencoba untuk menarik kembali senjatanya, tangan si Hassassin terulur cepat dan menangkapnya. Cengkeraman si Hassassin kuat, dan lengannya yang terluka sama sekali tidak memengaruhinya. Kedua lelaki itu berkelahi dengan sengit. Langdon merasa besi itu dirampas dengan kasar dari tangannya sehingga membuat telapak tangannya terasa sakit. Sesaat ke mudian, Langdon menatap ujung tajam dari tongkat besi yang tadi dipegangnya. Sang pemburu sekarang menjadi buruan.

   Langdon merasa seperti baru saja diterjang badai. Si Hassassin mengelilinginya sambil tersenyum dan mendesak Langdon ke dinding. "Apa pepatah Amerikamu itu?" tanyanya dengan nada menghina. "Sesuatu tentang rasa penasaran dan kucing?"

   Langdon hampir tidak dapat memusatkan pikirannya. Dia mengutuk kecerobohannya sendiri ketika si Hassassin bergerak mendekat. Ini tidak masuk akal. Enam cap Illuminati? Dalam keputusasaannya Langdon asal bicara. "Aku tidak pernah mendengar tentang cap Illuminati yang keenam!"

   "Kupikir seharusnya kamu sudah pernah mendengarnya." Pembunuh itu tertawa ketika dia menggiring Langdon ke arah dinding oval. Langdon bingung. Dia yakin dia tidak pernah mendengarnya. Ada lima cap Illuminati. Dia mundur sambil mencari senjata apa saja yang ada di dalam ruangan itu.

   "Sebuah kesatuan sempurna dari elemen-elemen kuno," kata si Hassassin. "Cap yang terakhir adalah cap yang paling cemerlang. Aku khawatir kamu tidak akan pernah melihatnya."

   Langdon merasa dia tidak akan melihat apa-apa lagi saat ini. Dia terus mundur sambil mengamati ruangan untuk mencari sesuatu untuk mempertahankan diri. "Dan kamu sudah pernah melihat cap terakhir itu?" tanya Langdon sambil mencoba mengulur waktu.

   "Mungkin suatu hari kelak mereka akan menghormatiku. Ketika aku membuktikan kalau aku memang pantas." Dia meninju Langdon seolah dia menikmati sebuah permainan. Langdon bergeser ke belakang Iagi. Dia merasa bahwa si Hassassin mengarahkannya ke sekitar dinding menuju ke suatu tujuan yang tidak terlihat. Ke mana? Langdon tidak mampu melihat ke belakangnya. "Cap itu? " tanyanya. "Di mana itu?"

   "Bukan disimpan di sini. Sepertinya Janus adalah satu-satunya orang yang memegang cap itu."

   "Janus?" Langdon tidak mengenal nama itu.

   "Pemimpin Illuminati. Dia akan segera datang."

   "Pemimpin Illuminati akan datang ke sini?"

   "Untuk memberikan cap terakhir."

   Langdon menatap Vittoria dengan perasaan takut. Anehnya, Vittoria tampak tenang. Matanya terpejam dari dunia di sekitarnya sementara paru-parunya naik-turun dengan perlahan ... seperti mengambil napas dengan dalam. Apakah Vittoria akan menjadi korban terakhir? Atau dia sendiri? "Sombong sekali," desis si Hassassin sambil menatap mata Langdon. "Kalian berdua tidak ada artinya. Tentu saja kalian memang akan mati. Itu dapat kupastikan. Tetapi korban terakhir yang tadi kubicarakan adalah seorang musuh yang betul-betul berbahaya."

   Langdon mencoba mencerna kata-kata si Hassassin. Seorang musuh yang berbahaya? Semua kardinal teratas sudah tewas, Paus juga sudah mereka bunuh. Kelompok Illuminati sudah menyapu mereka semua habis-habisan. Akhirnya Langdon menemukan jawabannya di dalam kekosongan mata si Hassassin.

   Sang camerlegno.

   Camerlegno Ventresca menjadi satu-satunya harapan dunia dalam menghadapi cobaan ini. Malam ini sang camerlegno sudah menyalahkan Illuminati lebih banyak daripada yang dilakukan oleh para pembuat teori konspirasi selama puluhan tahun.

   "Kau tidak akan pernah bisa mendekatinya," kata Langdon menantang.

   "Bukan aku," jawab si Hassassin sambil memaksa Langdon kembali tersudut ke dinding "Kehormatan itu diberikan kepada Janus sendiri."

   "Ketua Illuminati sendiri yang berniat untuk mencap sang camerlegno?"

   "Kekuasaan mempunyai haknya tersendiri."

   "Tetapi tidak seorang pun dapat memasuki Vatican City saat ini!"

   Si Hassassin tampak berpuas diri. "Bisa saja kalau dia mempunyai perjanjian."

   Langdon merasa bingung. Satu-satunya orang yang diharapkan datang ke Vatican sekarang adalah seorang yang disebut pers sebagai 11th Hour Samaritan, seseorang yang menurut Rocher mempunyai informasi yang dapat menyelamatkan-Langdon tiba-tiba berhenti. Astaga! Si Hassassin menyeringai, jelas dia menikmati kesadaran Langdon yang menyakitkan itu. "Aku juga bertanya-tanya bagaimana Janus bisa memperoleh izin masuk. Lalu, di van ketika aku mendengarkan radio, mereka melaporkan tentang 11th Hour Samaritan." Dia tersenyum. "Vatican akan menerima Janus dengan tan gan terbuka."

   Langdon hampir tersungkur ke belakang. Janus adalah Samaritan itu! Itu adalah penipuan yang tak terduga. Ketua Illuminati itu akan mendapatkan pengawalan kehormatan langsung ke ruang kerja sang camerlegno. Tetapi bagaimana Janus dapat menipu Rocher? Atau Rocher juga terlibat? Langdon merasa sangat ngeri. Sejak dia hampir mati kehabisan udara di ruang arsip rahasia, Langdon tidak lagi memercayai Rocher sepenuhnya.

   Si Hassassin tiba-tiba mengayunkan tinjunya, menyerang Langdon ke samping.

   Langdon meloncat ke belakang, kemarahannya membara. "Janus tidak akan keluar dari Vatican dalam keadaan hidup!"

   Si Hassassin mengangkat bahunya. "Kadang kala cita-cita sepadan dengan kematian."

   Langdon merasa pembunuh itu bersungguh-sungguh. Janus datang ke Vatican City dalam misi bunuh diri? Pencarian kehormatan? Saat itu juga Langdon mengerti keseluruhan persekongkolan ini. Persekongkolan Illuminati yang sempurna. Tanpa sengaja Illuminati telah menciptakan pemimpin baru ketika mereka membunuh Paus yang selama ini menjadi musuh bebuyutan mereka. Dan tantangan terbesar yang ada sekarang adalah pemimpin Illuminati harus membunuh pemimpin baru tersebut.

   Tiba-tiba, Langdon merasa dinding di belakangnya menghilang. Lalu ada udara dingin menyerbu sehingga dia menjadi terhuyung-huyung ke dalam kegelapan malam. Balkon itu! Sekarang dia baru tahu apa yang ada di dalam benak si Hassassin.

   Langdon segera merasakan keberadaan jurang di belakangnya, jurang sedalam ratusan kaki dengan halaman yang terhampar di bawahnya. Dia tadi sudah melihatnya sebelum masuk ke sini. Si Hassassin sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dengan sebuah dorongan yang kejam, dia menyergap. Tombak di tangannya memotong ke arah pinggang Langdon. Langdon tergelincir ke belakang, dan ujung tombak itu hanya mengenai pakaiannya. Ujung tombak itu mengarah kepadanya lagi. Langdon semakin terdesak ke belakang, dan sudah merasakan pagar balkon di belakangnya. Tidak diragukan lagi, ayunan yang berikutnya akan membunuhnya. Tapi Langdon mencoba sesuatu yang nekad. Dia berputar ke samping dan mengulurkan tangannya untuk meraih tongkat besi itu sehingga dia merasakan sakit di telapak tangannya. Dia menahannya.

   Si Hassassin tampak tidak terganggu. Mereka saling tarik sesaat, saling bertatapan. Langdon dapat mencium napas si Hassassin. Terali besi runcing itu mulai terlepas dari genggaman Langdon. Si Hassassin terlalu kuat. Dengan putus asa, Langdon mengulurkan kakinya, walau membahayakan keseimbangannya, dan berusaha menginjakkan kakinya ke kaki si Hassassin yang terluka. Tetapi si pembunuh itu sangat berpengalaman dan segera bergerak melindungi kelemahannya.

   Langdon telah memainkan kartu terakhirnya. Dan dia tahu, dia akan kalah.

   Kedua tangan si Hassassin terjulur ke depan, mendorong Langdon ke belakang sehingga menghantam pagar balkon. Langdon tidak merasakan apa-apa selain kekosongan di belakangnya ketika merasakan pagar yang ternyata hanya setinggi bokongnya. Si Hassassin memegangi terali besi tersebut secara menyilang dan mendorongkannya ke dada Langdon. Punggung Langdon melengkung di atas jurang.

   "Ma'assalamah," si Hassassin mendesis. "Selamat tinggal."

   Dengan tatapan tanpa belas kasihan, si Hassassin memberikan dorongan terakhir. Langdon kehilangan keseimbangan dan kakinya terangkat dari lantai. Tak lama kemudian, tubuhnya melayang melewati pagar. Hanya dengan insting bertahan diri yang masih tersisa, Langdon berhasil meraih pinggiran pagar agar tidak jatuh ke bawah. Tangan kirinya tergelincir, tapi tangan kanannya masih sempat berpegangan di pagar. Sementara itu, kakinya berusaha menemukan pijakan di bawahnya. Dia akhirnya tergantung-gantung dan menahan berat tubuhnya dengan kaki dan satu tangan ... berusaha untuk tetap bertahan.

   Si Hassassin mencondongkan tubuhnya dan mengangkat terali besi itu ke atas, bersiap memukulkannya ke tangan Langdon. Ketika tongkat besi itu mulai terayun cepat, Langdon melihat sebuah bayangan. Mungkin itu adalah gambaran kematiannya sendiri atau hanya ketakutan yang luar biasa. Tetapi pada saat itu juga, dia melihat aura di sekitar si Hassassin. Sebuah cahaya tampak membesar dari sesuatu yang tidak terlihat di belakang si pembunuh ... seperti bola api yang mendekat.

   Ayunan tongkat besi itu tiba-tiba terhenti di udara. Si Hassassin tiba-tiba menjatuhkan tongkatnya dan berteriak kesakitan.

   Terali besi itu jatuh melewati tubuh Langdon dan ditelan kegelapan malam. Si Hassassin berputar ke dalam, dan Langdon melihat api menyala di punggung si pembunuh. Langdon mengangkat wajahnya ke atas dan melihat Vittoria. Mata Vittoria menyala ketika menghadapi si Hassassin.

   Vittoria mengayunkan obor itu di depannya. Perasaan dendam di wajahnya terlihat jelas di balik nyala api. Bagaimana dia bisa terbebas, Langdon tidak peduli. Langdon mulai berusaha untuk naik melintasi pagar balkon itu.

   Pertempuran itu akan berlangsung singkat saja. Si Hassassin adalah lawan yang sangat tangguh. Sambil berteriak kesakitan, pembunuh itu menyerang Vittoria. Dia mencoba mengelak, tetapi lelaki itu sudah di atasnya dan mencoba merebut obor itu darinya. Langdon tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia segera meloncati pagar, dan memukulkan tinjunya di punggung si Hassassin yang terbakar.

   Teriakannya seperti menggema ke seluruh Vatican.

   Sesaat si Hassassin seperti membeku, punggungnya melengkung kesakitan. Dia melepaskan obor yang tadi direbutnya dari musuhnya dan Vittoria menekankan obor itu ke wajah si Hassassin. Ada suara berdesis dari daging yang terbakar ketika mata kiri si Hassassin terpanggang. Dia berteriak lagi, dan mengangkat tangannya ke wajahnya.

   "Satu mata untuk satu mata," desis Vittoria. Kali ini Vittoria mengibas-ngibaskan obor itu seperti sebuah tongkat pemukul. Ketika obor itu mengenai tubuh si Hassassin lagi, lelaki besar itu terhuyung-huyung ke arah pagar balkon. Langdon dan Vittoria bersama-sama mengejarnya dan kemudian mendorongnya. Tubuh si Hassassin terdorong ke belakang, melewati pagar itu dan melayang ke kegelapan. Tidak ada jeritan. Satu-satunya suara hanyalah derak tulang punggung yang patah ketika si Hassassin mendarat di atas tumpukan bola peluru meriam di bawah dengan lengan dan kaki terentang seperti sayap elang. Langdon berpaling pada Vittoria dengan bingung. Tali dengan ikatannya yang longgar masih bergantung di pinggang dan bahunya. Mata Vittoria masih menyala-nyala.

   "Ternyata Houdini belajar yoga juga." SEMENTARA ITU, di Lapangan Santo Petrus, sebarisan Garda Swiss meneriakkan perintah dan menyebar ke luar. Mereka berusaha untuk mendorong kerumunan massa agar kembali ke jarak yang aman. Tapi tidak ada gunanya. Kerumunan itu terlalu rapat dan tampak terlalu tertarik pada Vatican yang sedang menunggu kehancurannya daripada memerhatikan keselamatan mereka sendiri. Atas kebaikan sang camerlegno, layar dari berbagai media yang menjulang di lapangan itu sekarang menayangkan laporan langsung yang memperlihatkan tabung antimateri yang sedang menghitung mundur. Gambar itu diambil langsung dari monitor keamanan Garda Swiss. Celakanya, gambar tabung itu tidak membuat takut kerumunan itu. Orang-orang di lapangan tampaknya ingin melihat tetes kecil dari cairan yang tertopang di dalam tabung itu dan merasa yakin kalau benda itu tidak terlalu mengancam seperti yang para petugas katakan. Mereka juga dapat melihat jam yang berdetik mundur sekarang. Mereka masih memiliki waktu 45 menit sebelum meledak. Masih banyak waktu untuk tinggal dan menonton. Meskipun begitu, Garda Swiss secara bulat telah setuju bahwa keputusan sang camerlegno untuk memberikan pernyataan kepada dunia tentang kebenaran dan menunjukkan tayangan visual yang sebenarnya dari ancaman Illuminati yang berupa antimateri itu kepada pers, adalah tindakan yang cerdas. Illuminati pasti mengharapkan Vatican untuk terus menjadi lembaga yang diam seperti biasanya ketika menghadapi kemalangan. Tetapi tidak malam ini. Camerlegno Carlo Ventresca telah membuktikan dirinya mampu mengatasi musuh. Di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati menjadi cemas. Saat itu pukul 11.15 malam. Sebagian besar dari para kardinal itu terus berdoa, tetapi yang lainnya telah berkumpul di depan pintu keluar, jelas merasa tidak tenang karena berjalannya waktu. Beberapa orang kardinal mulai menggedor pintu dengan kepalan tangan mereka. Di luar pintu, Letnan Chartrand mendengar gedoran itu dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia melihat jam tangannya. Ini sudah waktunya. Kapten Rocher telah memberikan perintah keras agar tidak membiarkan para kardinal itu keluar hingga dia memberikan perintah selanjutnya. Gedoran di pintu menjadi lebih sering dan Chartrand merasa tidak tenang. Dia bertanya-tanya apakah sang kapten sudah lupa. Sang kapten telah bertindak sangat tidak menentu sejak dia menerima telepon misterius itu. Chartrand mengeluarkan walkie-talkie-nya. "Kapten? Chartrand di sini. Ini sudah lewat dari waktunya. Haruskah saya membuka pintu Kapel Sistina?"

   "Pintu itu harus tertutup. Aku 'kan sudah memberimu perintah."

   "Ya, Pak. Saya hanya-"

   "Tamu kita akan segera datang. Bawa beberapa orang ke atas dan jaga pintu Kantor Paus. Sang camerlegno tidak boleh pergi ke mana-mana."

   "Maaf, Pak?"

   "Apa yang tidak kamu mengerti, Letnan?" "Tidak ada, Pak. Segera saya laksanakan."

   Di atas, di Kantor Paus, sang camerlegno masih bermeditasi dengan tenang di depan api perapian. Beri aku kekuatan, Tuhan. Bawakan kami keajaiban. Dia menepuk tumpukan arang di hadapannya sambil bertanya-tanya apakah dia akan selamat malam ini.

   PUKUL 11 LEWAT 23 malam.

   Vittoria berdiri gemetar di atas balkon Kastil Santo Angelo sambil menatap ke arah Roma. Matanya basah karena air mata. Dia sangat ingin memeluk Langdon, tetapi dia tidak bisa. Tubuhnya terasa seperti mati rasa. Dia sedang berusaha memahami semua yang terjadi hari ini. Lelaki yang telah membunuh ayahnya telah tergeletak di bawah, mati, dan dia hampir menjadi korbannya juga.

   Ketika tangan Langdon menyentuh bahunya, kehangatan yang tidak tampak secara ajaib mencairkan es dalam diri Vittoria. Tubuhnya bergetar. Kabut di kepalanya seperti terangkat. Kemudian dia berpaling. Robert tampak kacau sekali. Tubuhnya basah dan pakaiannya kusut. Lelaki itu pasti telah melalui pencucian dosa yang berat sebelum sampai ke sini untuk menolongnya.

   "Terima kasih bisik Vittoria. Langdon tersenyum letih dan mengingatkan bahwa Vittorialah yang berhak menerima ucapan terima kasih. Kemampuannya untuk menggeser tulang bahunyalah yang telah menyelamatkan mereka berdua. Vittoria mengusap matanya. Dia bisa saja berdiri di situ berdua saja dengan Langdon selamanya, tetapi itu tidak mungkin.

   "Kita harus keluar dari sini," kata Langdon. Pikiran Vittoria sedang berada di tempat lain. Dia sedang menatap ke Vatican. Negara terkecil di dunia itu tampak dekat sekali, bersinar karena serangan lampu media. Dia sangat terkejut karena banyak bagian dari Lapangan Santo Petrus masih terisi oleh orang-orang. Garda Swiss tampaknya hanya dapat mengusir mereka hingga 150 kaki ke belakang-area yang berada tepat di depan gereja dan kurang dari sepertiga dari lapangan itu. Lapisan kerumunan orang yang memenuhi lapangan semakin memadat. Mereka yang tadi berada di tempat yang lebih aman, sekarang berkumpul lebih dekat, mengurung orang-orang yang sudah berada di lapisan dalam. Mereka terlalu dekat! Pikir Vittoria. Sangat terlalu dekat! "Aku akan kembali ke sana lagi," kata Langdon datar. Vittoria berpaling dan menatap dengan ragu. "Ke Vatican?"

   Langdon menceritakan tentang Samaritan kepada Vittoria, dan menjelaskan kenapa hal itu menjadi penting. Ketua Illuminati, seorang bernama Janus, benar-benar akan datang untuk mencap sang camerlegno. Sebuah tindakan dominasi Illuminati yang terakhir.

   "Tidak seorang pun di Vatican tahu akan hal itu," kata Langdon. "Aku tidak tahu bagaimana menghubungi mereka, dan orang ini akan datang sebentar lagi. Aku harus memperingatkan para penjaga sebelum mereka membiarkannya masuk."

   "Tetapi kamu tidak akan dapat menembus kerumunan itu!"

   Suara Langdon terdengar sangat meyakinkan. "Ada jalan lain. Percayalah padaku."

   Sekali lagi Vittoria merasa ahli sejarah di hadapannya ini tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. "Aku ikut."

   "Tidak. Mengapa membahayakan kita berdua-"

   "

   Aku harus mencari jalan untuk mengusir orang-orang itu dari lapangan! Mereka dalam bahaya besar-"

   Ketika itu, balkon tempat mereka berdiri mulai bergetar. Suara yang memekakkan telinga mulai mengguncangkan kastil itu. Lalu sebuah cahaya putih dari arah Basilika Santo Petrus menyilaukan mata mereka. Vittoria hanya ingat pada satu hal. Oh, Tuhan! Antimateri itu meledak lebih awal! Tetapi suara gemuruh itu bukan karena sebuah ledakan, melainkan sorak sorai riuh yang berasal dari kerumunan tersebut. Vittoria menyipitkan matanya ke arah sinar itu. Ada serbuan sinar lampu-lampu pers dari lapangan. Ketika mata Vittoria sudah dapat menyesuaikan diri, dia tahu sepertinya sinar itu diarahkan kepada mereka! Semua orang berpaling ke arah mereka, berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk. Suara riuh itu semakin keras. Udara di lapangan tiba-tiba tampak menjadi riang gembira.

   Langdon tampak keheranan. "Apa-apan itu?"

   Langit di atas mereka menderu.

   Tiba-tiba, dari belakang menara muncul sebuah helikopter kepausan. Helikopter itu bergemuruh lima puluh kaki di atas mereka, langsung menuju ke Vatican City. Ketika helikopter itu melintas di atas mereka, disinari lampu sorot media, kastil Santo Angelo seperti bergetar. Sinar itu mengikuti helikopter tersebut ketika melintas di atas kastil. Setelah itu Langdon dan Vittoria kembali berdiri di dalam kegelapan.

   Vittoria merasa tidak tenang karena mereka tahu mereka terlambat ketika melihat helikopter besar itu melambat dan berhenti di atas Lapangan Santo Petrus. Helikopter itu membuat debu berterbangan di sekitarnya, lalu mendarat di bagian yang terbuka di lapangan itu, di antara kerumunan orang dan gereja, dan menyentuh dasar tangga gereja.

   "Itu juga jalan masuk," kata Vittoria. Di lantai pualam putih, Vittoria dapat melihat seseorang keluar dari Vatikan dan bergerak ke arah helikopter itu. Dia tidak akan dapat mengenali sosok itu kalau tidak karena baret merah yang dikenakan di kepala orang itu. "Sambutan penuh penghormatan. Itu Rocher."

   Langdon meninju pagar balkon dengan gemas. "Seseorang harus memperingatkan mereka!" Dia beranjak pergi.

   Vittoria menangkap lengannya. "Tunggu!" Dia baru saja melihat yang lainnya, sesuatu yang tidak ingin dipercayainya. Dengan jari gemetar, dia menunjuk ke arah helikopter itu. Walau dari jarak sejauh ini, Vittoria tetap tidak mungkin salah. Sesosok yang lainnya mulai menuruni anak tangga helikopter ... sesosok yang bergerak begitu aneh sehingga dapat dipastikan hanya satu orang yang dapat bergerak seperti itu. Walau sosok itu duduk, dia bergerak dengan cepat ke lapangan terbuka tanpa kesulitan dan dengan kecepatan yang mengagumkan.

   Seorang raja di atas singgasana listrik.

   Orang itu Maximilian Kohler.

   KOHLER MERASA MUAK oleh kemewahan yang terlihat dari Hallway of the Belvedere. Sehelai daun emas di langit-langit sendiri dapat membiayai penelitian kanker selama setahun. Rocher mengantar Kohler melalui jalan naik yang landai menuju Istana Apostolik.

   "Tidak ada lift?" tanya Kohler.

   "Tidak ada listrik," jawab Rocher sambil menunjuk pada lilin-lilin yang menyala di sekitar mereka di dalam gedung gelap itu. "Bagian dari taktik pencarian kami."

   "Taktik yang pasti tidak berhasil."

   Rocher mengangguk.

   Kohler terbatuk lagi dengan keras dan dia tahu ini mungkin yang terakhir baginya. Pikiran itu sama sekali tidak mengganggunya.

   Ketika mereka tiba di lantai atas dan memandang ke koridor yang menuju ke Kantor Paus. Empat orang Garda Swiss berlari ke arah mereka dengan wajah kebingungan. "Kapten, apa yang Anda lakukan disini? Saya pikir, tamu kita ini mempunyai informasi yang-"

   "Beliau hanya mau berbicara dengan sang camerlegno."

   Penjaga itu mundur dengan wajah curiga.

   "Katakan kepada sang camerlegno," kata Rocher dengan tegas, "Direktur CERN, Maximilian Kohler, ada di sini untuk bertemu dengan beliau. Segera."

   "Ya, Pak!" Salah satu dari penjaga itu berlari ke arah kantor sang camerlegno sementara yang lainnya tetap di tempat. Mereka mengamati Rocher dan tampak tidak tenang. "Tunggu sebentar, kapten. Kami akan memberi tahu kedatangan tamu An da."

   Kohler terus berjalan. Dia berpaling dengan tajam dan menggerakkan kursi rodanya di sekitar penjaga-penjaga itu.

   Penjaga itu berpaling dan berlarian di samping lelaki tua itu. "Fermati! Pak, berhenti!"

   Kohler merasa jijik pada mereka. Bahkan penjaga keamaan yang paling hebat di dunia juga merasa iba kepada orang cacat. Kalau Kohler seseorang yang sehat, penjaga itu pasti tidak ragu untuk merobohkannya. Orang cacat itu tidak berdaya, pikir Kohler. Begitulah apa yang dipercaya oleh seluruh dunia.

   Kohler tahu dia hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk menyelesaikan apa yang membuatnya datang ke sini. Dia juga tahu dia mungkin akan mati di sini malam ini. Dia heran betapa dia tidak peduli. Kematian adalah risiko yang siap ditanggungnya. Dia bekerja keras dalam hidupnya dan tidak akan membiarkan pekerjaannya itu dihancurkan begitu saja oleh seseorang seperti Camerlegno Ventresca.

   "Signore!" penjaga itu berteriak dan berlari ke depan untuk membuat barisan yang menghalangi langkah Kohler. "Kamu harus berhenti!" Salah satu dari mereka mengeluarkan pistol dan membidikkan ke Kohler. Kohler berhenti. Rocher melangkah maju dan tampak menyesal. "Pak Kohler, saya mohon. Ini hanya sebentar saja. Tidak ada yang boleh memasuki Kantor Paus tanpa pemberitahuan."

   Kohler dapat melihat di dalam mata Rocher bahwa dia tidak punya pilihan kecuali menunggu. Baik, pikir Kohler. Kita akan menunggu.

   Tampaknya penjaga-penjaga itu menghentikan Kohler di sebelah cermin setinggi tubuh yang berkilauan. Pantulan dirinya di cermin itu tidak membuat Kohler senang. Kemarahan lama itu muncul lagi. Itu yang membuatnya kuat. Dia sekarang berada di antara musuhnya. Orang-orang inilah yang telah merampok harga dirinya. Inilah orang-orang itu. Karena merekalah dia tidak pernah merasakan sentuhan perempuan ... dia tidak pernah dapat berdiri tegak untuk menerima penghargaan. Kebenaran apa yang orang-orang ini miliki? Apa buktinya, keparat! Sebuah buku yang berisi kisah-kisah kuno? Janji-janji keajaiban yang akan muncul? Ilmu pengetahuanlah yang menciptakan keajaiban setiap haril Kohler menatap sesaat dengan matanya yang sekeras batu. Malam ini aku mungkin mati di tangan agama, pikirnya. Tetapi itu tidak akan menjadi yang pertama kalinya.

   Untuk sesaat, dia berusia sebelas tahun lagi dan berbaring di atas tempat tidurnya di rumah besar orang tuanya di Frankfurt. Sprei di bawahnya adalah kain linen terhalus di Eropa, tetapi basah oleh keringatnya. Max muda merasa dirinya terbakar. Rasa sakit itu sangat luar biasa sehingga melumpuhkan tubuhnya. Ayah dan ibunya berlutut di samping tempat tidurnya selama dua hari. Mereka berdoa.

   Di dalam kegelapan berdiri tiga dokter terbaik di Frankfurt.

   "Aku mendesakmu untuk mempertimbangkannya!" salah satu dari dokter-dokter itu berkata. "Lihatlah anak lelaki itu! Demamnya meninggi. Dia sangat kesakitan. Dan berada dalam bahaya!"

   Tetapi Max tahu jawaban ibunya sebelum ibunya mengatakannya kepada ketiga dokter itu. "Gott wird ihn bescbuetzen."

   Ya, pikir Max. Tuhan akan melindungiku. Pengakuan dalam suara ibunya memberinya kekuatan. Tuhan akan melindungiku.

   Satu jam kemudian, Max merasa seluruh tubuhnya seperti diremukkan di bawah mobil. Dia bahkan tidak dapat bernapas untuk menangis.

   "Anak lelakimu sangat menderita," dokter yang lain berkata. "Biarkan aku setidaknya mengurangi rasa sakitnya. Aku membawa dalam tasku sebuah suntikan sederhana-"

   "Ruhe, bitte!" ayah Max membungkam dokter itu tanpa membuka matanya. Dia hanya terus berdoa.

   "Ayah, kumohon!" Max sangat ingin berteriak. "Biarkan mereka menghentikan rasa sakit ini!" Tetapi kata-kata itu menghilang di dalam batuk yang membuatnya kejang. Satu jam kemudian, rasa sakit itu semakin memburuk. "Anak lelakimu bisa lumpuh," salah satu dari dokter-dokter itu berkata. "Atau bahkan mati. Kami punya obat yang akan membantu menghilangkan penderitaannya!"

   Bapak dan Ibu Kohler tidak akan mengizinkannya. Mereka tidak percaya pada obat-obatan. Siapa mereka yang dapat mencampuri rencana besar Tuhan? Mereka berdoa dengan lebih kuat. Lagipula, Tuhan telah memberkati me reka dengan memberikan anak lelaki ini, mengapa Tuhan akan mengambilnya? Ibunya berbisik pada Max untuk menjadi lebih kuat. Dia menjelaskan bahwa Tuhan sedang mengujinya ... seperti cerita Ibrahim dalam Alkitab ... sebuah ujian terhadap keyakinannya.

   Max mencoba untuk yakin, tetapi rasa sakit itu luar biasa. "Aku tidak dapat menyaksikan ini!" kata salah satu dari dokter-dokter itu lalu berlari meninggalkan ruangan.

   Ketika fajar, Max hampir tidak sadarkan diri. Setiap otot di tubuhnya terasa sakit sekali. Di mana Yesus? dia bertanya-tanya. Apakah dia tidak mencintaiku? Max merasa hidupnya mulai meninggalkan tubuhnya.

   Ibunya telah jatuh tertidur di samping tempat tidur sementara tangannya masih menggenggam tangan Max. Ayah Max berdiri di seberang ruangan di dekat jendela, menatap ke langit fajar. Tampaknya dia sedang kerasukan. Max dapat mendengar ayahnya bergumam lembut, mengucap doa permohonan belas kasihan yang tidak pernah berhenti.


Pendekar Rajawali Sakti Perawan Dalam Pasungan Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat

Cari Blog Ini