Kasus Jembatan Thor 2
Sherlock Holmes Kasus Jembatan Thor Bagian 2
"Bagaimanapun, saya lebih suka bertemu Anda daripada Scotland Yard, Mr. Holmes," katanya.
"Bila diminta menyelidiki suatu kasus, mereka tak pernah menghargai polisi lokal sedikit pun kalau sukses. Tapi kalau gagal, polisi lokallah yang disalahkan. Nah, kalau Anda biasanya kerjanya lurus, begitulah yang saya dengar."
"Nama saya bahkan tak perlu muncul sama sekali," kata Holmes. Teman baru kami yang melankolis itu merasa lega. "Kalaupun saya berhasil, saya tak minta nama saya disebut-sebut."
"Wah, Anda sangat murah hati. Dan teman Anda Dr. Watson pasti bisa dipercaya. Mari, Mr. Holmes, kita berjalan ke lokasi kejadian, dan ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan. Hanya kepada Anda saya berani menanyakannya." Dia menengok ke sekeliling seolah-olah ketakutan.
"Apakah Anda tak menduga adanya tuntutan terhadap Mr. Neil Gibson sendiri?"
"Saya sudah mempertimbangkan hal itu."
"Anda belum pernah berjumpa dengan Miss Dunbar, ya? Gadis itu perangainya manis sekali. Mr. Gibson mungkin memang ingin menyingkirkan istrinya. Dan orang-orang Amerika kan lebih gampang mencabut pistol daripada kita. Pistol itu kepunyaannya." .
"Apakah fakta itu sudah dicek kebenarannya?"
"Ya, Sir. Pistol itu salah satu dari sepasang pistol kembar yang dimilikin ya."
"Salah satu pistol kembar? Di mana yang satunya?"
"Well, pria itu memiliki banyak senjata yang modelnya macam-macam. Kami belum menemukan pasangannya... yang jelas kotaknya disediakan untuk dua pistol."
"Kalau pasangannya ada, pastilah tak sulit mencocokkannya."
"Semua pistol itu ada di rumahnya. Anda bisa mengeceknya sendiri jika Anda mau."
"Mungkin nanti saja. Sebaiknya kita melihat lokasi kejadian dulu." Pembicaraan ini berlangsung di depan rumah kecil Sersan Coventry yang sekaligus menjadi kantor polisi setempat. Kami berjalan kira-kira setengah mil melewati tanah lapang yang anginnya menderu-deru dan kami dipenuhi warna keemasan dan keperakan daun-daun pakis yang hampir layu. Akhirnya kami sampai di gerbang terbuka yang menuju Thor. Lewat jalan setapak kami menembus hutan lindung, hingga kami tiba di tempat terbuka. Dari sana kami dapat melihat rumah besar yang separonya terbuat dari kayu, modelnya campuran gaya Tudor dan Georgian, di puncak bukit. Di samping kami terdapat kolam panjang penuh dengan alang-alang, yang bagian tengahnya agak menyempit dan di atasnya ada jembatan batu untuk jalan kereta. Kedua ujung kolam semakin lama semakin membesar masing-masing menuju danau. Penunjuk jajan kami berhenti di mulut jembatan itu, lalu menunjuk ke tanah.
"Di situlah mayat Mrs. Gibson ditemukan. Saya menandainya dengan batu itu."
"Saya yakin Anda sudah berada di lokasi sebelum mayatnya diangkat?"
"Ya, mereka langsung memanggil saya."
"Siapa yang memanggil Anda?"
"Mr. Gibson sendiri. Begitu tanda bahaya berbunyi dia langsung berlari keluar rumah bersama penghuni-penghuni lainnya, dan dia memerintahkan agar jangan ada yang disentuh sampai polisi datang."
"Tindakan yang bijaksana. Saya baca di surat kabar bahwa tembakannya berasal dari jarak dekat."
"Ya, Sir, sangat dekat."
"Dekat pelipis kanan?"
"Tepat di belakang pelipis kanan, Sir."
"Bagaimana posisi mayat?"
"Tertelentang, Sir. Tak ada tanda-tanda perlawanan. Tak ada bekas pukulan. Tak ada senjata. Surat pendek yang berasal dari Miss Dunbar tergenggam erat di tangan kirinya."
"Tergenggam erat, kata Anda?"
"Ya, Sir, kami hampir tak bisa membuka jari-jarinya." "Itu penting sekali. Itu menunjukkan bahwa tak ada orang lain yang telah menempatkan surat itu setelah kematiannya dengan tujuan memberikan petunjuk palsu. Wah! Surat itu, seingat saya, pendek saja. Saya akan berada di Jembatan Thor pada pukul sembilan. G. Dunbar. Betul?"
"Ya, Sir."
"Apakah Miss Dunbar mengaku memang dia yang menulis surat itu?"
"Ya, Sir."
"Bagaimana penjelasannya?"
"Dia tak mau mengatakan apa-apa. Dia bilang dia akan membela diri di depan pengadilan."
"Masalah ini benar-benar menarik. Hal surat ini masih sangat kabur, kan?"
"Well, Sir," kata penunjuk jalan kami, "menurut saya justru surat itulah yang paling jelas faktanya dalam seluruh kasus ini."
Holmes menggeleng.
"Andaikan surat itu asli dan benar-benar ditulis Miss Dunbar, berarti pasti sudah diterima beberapa saat sebelumnya mungkin satu atau dua jam sebelumnya. Lalu mengapa wanita ini masih menggenggamnya di tangan kirinya? Mengapa dia menggenggamnya dengan demikian erat? Dia toh tak perlu surat itu lagi dalam pertemuan itu. Bukankah ini hal yang luar biasa?"
"Kalau dipikir-pikir, Sir, Anda benar juga."
"Saya rasa sebaiknya saya duduk diam sejenak dan memikirkan hal ini."
Dia duduk di jembatan, mata abu-abunya yang tajam menatap ke setiap jurusan. Tiba-tiba dia bangkit dan berlari menyeberangi jembatan, lalu dicabutnya lensa pembesar dari sakunya, dan mulailah dia mengamati dinding batu jembatan di sebelah situ.
"Ini aneh," katanya.
"Ya, Sir, kami sudah melihat gompalan itu. Pasti hasil kerja orang iseng yang kebetulan lewat."
Dinding batu itu warnanya abu-abu, tapi di bagian yang gompal putih. Kalau diamati secara teliti, akan terlihat gompalan itu diakibatkan oleh pukulan yang keras.
"Perlu tenaga besar untuk menghasilkan gompalan ini," kata Holmes serius. Dengan tongkatnya dia memukul dinding itu beberapa kali tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. "Ya, pukulannya keras sekali. Tempat gompalan itu juga unik. Bukannya dari ata s tapi dari bawah, karena gompalan itu berada di bagian bawah dinding."
"Tapi, jaraknya paling tidak empat setengah meter dari tempat mayat itu ditemukan."
"Ya, jaraknya empat setengah meter. Bisa saja gompalan ini tak ada hubungannya sama sekali dengan kasus ini, tapi perlu juga diperhatikan. Saya kira tak ada lagi yang bisa kita lakukan di sini. Tak ada jejak kaki, begitu Anda bilang?"
"Tanahnya sekeras besi, Sir. Tak terlihat jejak kaki sama sekali."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita akan ke rumah Mr. Gibson dulu untuk melihat koleksi senjatanya, lalu menuju Winchester. Saya ingin menemui Miss Dunbar sebelum melanjutkan penyelidikan."
Mr. Neil Gibson belum kembali dari kota, tapi kami disambut oleh Mr. Bates yang paginya datang ke tempat kami. Dengan sikap ia sinis menunjukkan koleksi senjata yang terdiri atas bermacam-macam bentuk dan ukuran.
"Mr. Gibson punya banyak musuh. Orang yang mengenal watak dan cara hidupnya pasti tak heran akan hal itu," katanya. "Dia tidur ditemani pistol yang siap diledakkan. Dia sangat kejam, Sir, dan kadang-kadang kami semua takut kepadanya. Saya yakin almarhum nyonya kami yang malang pun sering takut pada suaminya."
"Apakah Anda pernah melihat sendiri kekerasan fisik yang dilakukannya terhadap sang istri?"
"Tidak, saya tak berani mengatakan demikian. Tapi, saya sering mendengar dia mengucapkan kata-kata yang kasar, dingin, dan menyakitkan, bahkan di depan para pelayan."
"Kehidupan pribadi miliarder ini tampaknya tak begitu bahagia," komentar Holmes ketika kami menuju stasiun kereta api. "Well, Watson, kita telah mendapatkan banyak fakta, beberapa di antaranya baru, namun aku tetap merasa masih jauh dari kesimpulan akhirnya. Walaupun Mr. Bates tidak menyukai tuannya, dengan jujur dia harus mengatakan bahwa ketika tanda bahaya berbunyi, tuannya berada di ruang baca. Makan malam, selesai jam 20.30, dan semuanya normal saja sampai saat itu. Benar bahwa tanda bahaya berbunyi mendekati tengah malam, tapi tragedi itu sendiri pasti terjadi kira-kira jam sembilan. Tak ada bukti sama sekali bahwa Mr. Gibson ke luar rumah sekembalinya dari kota jam lima sore itu. Sebaliknya, Miss Dunbar, setahuku, mengakui telah membuat janji pertemuan dengan Mrs. Gibson di jembatan. Hanya itu yang dikatakannya. Pembelanya telah menasihatinya agar menyimpan dulu semua pembelaannya. Ada beberapa pertanyaan penting yang perlu kuajukan kepada gadis itu, dan pikiranku takkan tenang sebelum kita menemuinya. Aku harus mengakui kasus ini sangat memberatkan dirinya, kecuali satu hal."
"Apa itu, Holmes?"
"Ditemukannya pistol di lemari pakaiannya."
"Wah, Holmes!" teriakku. "Bagiku itu malah yang paling memberatkan."
"Tidak, Watson. Hal ini telah mengganggu pikiranku sejak pertama kali aku membaca beritanya. Dan sekarang, setelah aku mengamati kasus ini dari dekat, aku semakin yakin ada harapan baginya. Kita harus mencari hal-hal yang konsisten. Jika tak ada konsistensi, kita harus mencurigai tipu muslihat."
"Aku tak paham."
"Begini, Watson. Misalkan kau menjadi gadis itu, yang dengan kepala dan darah dingin mengatur rencana untuk menyingkirkan sainganmu. Kau menulis surat; korbannya sudah datang. Kau membawa senjata; penembakan dilaksanakan. Selesai. Coba katakan padaku, apakah setelah melakukan pembunuhan seperti itu, kau akan membawa pulang senjatanya dan menaruhnya di lemari pakaianmu? Mengapa tak kaubuang saja senjata itu ke kolam yang penuh alang-alang? Lemari pakaianmu adalah tempat pertama yang akan digeledah polisi. Kau memang bukan orang yang pandai mengatur siasat, Watson, tapi aku yakin kau pun takkan bertindak sebodoh itu."
"Bagaimana kalau waktu itu dia dalam keadaan bingung sekali?"
"Tidak, tidak, Watson. Kujamin hal itu takkan terjadi. Kalau pembunuhan sudah direncanakan dengan matang, cara menghilangkan jejaknya juga telah diatur. Itulah sebabnya aku berharap kita sedang menghadapi tipu muslihat yang sangat serius."
"Berarti banyak yang perlu dijelaskan."
"Yah, kita akan mulai melakukannya. Begitu pandanganmu berubah, hal yang paling memberatkanmu bisa menjadi petunjuk untuk menyingkap kebenaran. Mis alnya, pistol itu. Miss Dunbar menyatakan tak tahu-menahu soal itu. Menurut teori kita, apa yang dikatakan Miss Dunbar kita anggap semuanya benar. Karena itu, ada orang lain yang menaruhnya di situ. Siapa yang menaruhnya? Orang yang ingin mencelakakannya. Dengan kata lain, si pembunuh sendiri. Kaulihat bagaimana penyelidikan kita akhirnya membuahkan hasil."
Kami terpaksa menginap di Winchester karena surat-surat izin yang diperlukan belum keluar, tetapi keesokan harinya, kami diperbolehkan menemui gadis itu. Ia didampingi pembelanya Mr. Joyce Cummings, pengacara yang sedang naik daun. Dari apa yang selama ini kami dengar, aku memang telah menduga akan menemui gadis cantik, tapi aku takkan pernah melupakan kesan pertamaku ketika melihatnya. Tak heran jika miliarder yang berkuasa itu sampai terpikat padanya. Siapa pun yang menatap gadis itu akan terkesan pada wajahnya yang keras dan cantik, sekaligus sensitif, sehingga kalaupun dia sampai melakukan tindak kekerasan orang harus mengakui bahwa dia memiliki karakter yang terpuji. Gadis itu berambut cokelat, jangkung, figurnya anggun dan penuh pesona, namun mata indahnya yang berwarna gelap memancarkan ekspresi putus asa, seperti binatang yang terperangkap.
Ketika dia menyadari kehadiran dan pertolongan yang diupayakan sahabatku yang tersohor, pipinya yang pucat mulai sedikit memerah dan pancaran harapan mulai bersinar dari tatapan matanya yang mengarah kepada kami.
"Mungkin Mr. Neil Gibson telah mengisahkan hubungan kami kepada Anda?" dia bertanya dengan suara lemah dan bernada gelisah.
"Ya," jawab Holmes, "Anda tak perlu menyakiti diri Anda dengan menyampaikan hal itu lagi. Setelah berjumpa dengan Anda, saya percaya Mr. Gibson telah mengatakan yang sebenarnya, baik tentang pengaruh Anda atas dirinya maupun tentang bersihnya hubungan kalian. Tapi mengapa tidak Anda beberkan semuanya di pengadilan?"
"Saya merasa tuduhan yang tak masuk akal seperti itu tak mungkin dibenarkan hakim. Saya pikir kalau kami menunggu, semuanya akan beres dengan sendirinya tanpa kami perlu membeberkan hal-hal menyakitkan yang terjadi dalam keluarga. Tapi kini saya sadar masalah ini bukannya menjadi semakin jelas, tapi malah lebih parah."
"Saudariku yang baik!" teriak Holmes dengan sungguh-sungguh, "saya mohon Anda jangan mempunyai pandangan yang salah tentang kasus ini. Mr. Cummings bisa meyakinkan Anda bahwa saat ini semua bukti sangat memberatkan kita, dan kita harus bekerja keras kalau ingin menang. Merupakan kebohongan yang kejam sekali apabila berpura-pura Anda tidak sedang dalam bahaya besar. Maka dari itu, bantulah kami semaksimal mungkin dalam upaya kami untuk mendapatkan kebenaran."
"Tak ada yang akan saya sembunyikan."
"Kalau begitu, katakanlah kepada kami, tentang hubungan Anda yang sebenarnya dengan istri Mr. Gibson."
"Dia membenci saya, Mr. Holmes. Dia wanita yang tak pernah setengah-setengah melakukan sesuatu, dan sebesar cintanya kepada suaminya, sebesar itulah pula kebenciannya kepada saya. Mungkin dia telah salah mengartikan hubungan kami. Saya tak pernah berniat mengkhianatinya, tapi cintanya yang hanya secara lahiriah itu tak bisa memahami hubungan mental dan spiritual antara suaminya dan saya. Bahkan dia tak bisa membayangkan bahwa maksud saya hanyalah menjadikan suaminya lebih berbudi. Itulah semata-mata yang membuat saya bertahan tinggal di rumah itu. Sekarang saya sadar betapa salahnya tindakan saya. Tak seharusnya saya menyebabkan ketidakbahagiaan dalam keluarga itu, meski tak dapat disangkal bahwa kalaupun saya meninggalkan rumah itu, keadaan mereka takkan berbeda."
"Sekarang, Miss Dunbar," kata Holmes, "saya mohon Anda bersedia menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi pada malam itu."
"Saya bisa menceritakannya hanya sebatas apa yang saya tahu, Mr. Holmes, tapi saya tidak dalam posisi untuk membuktikan sesuatu. Ada beberapa hal yang sangat penting yang justru tak bisa saya jelaskan."
"Jika Anda katakan fakta-faktanya, orang lain mungkin bisa memberikan penjelasannya."
"Baik, sehubungan dengan kehadiran saya di Jembatan Thor malam itu, saya menerima surat dari M rs. Gibson pada pagi harinya. Surat itu tergeletak di meja tempat saya mengajar, dan mungkin diletakkan di situ oleh Mrs. Gibson sendiri. Dalam surat itu dia meminta dengan sangat agar saya menemuinya di Jembatan Thor setelah makan malam, juga dikatakannya ada sesuatu yang penting yang ingin dikatakannya kepada saya. Dia meminta saya menaruh jawaban saya di jam taman, karena dia tak ingin seorang pun tahu tentang rencana pertemuan ini. Saya tak mengerti mengapa dia harus merahasiakannya, tapi saya lakukan juga sebagaimana dimintanya. Jawaban saya adalah menerima undangannya itu. Dia menyuruh saya melenyapkan surat yang dikirimnya, maka saya pun membakarnya di perapian kamar belajar. Wanita itu sangat takut kepada suaminya, yang memperlakukannya dengan kasar. Saya sering menegur Mr. Gibson atas sikapnya itu. Saya hanya bisa membayangkan wanita itu bertindak demikian karena tidak ingin suaminya tahu tentang pertemuan itu."
"Tapi dia menyimpan surat jawaban Anda dengan hati-hati?"
"Ya. Saya terkejut ketika mendengar dia memegang surat itu ketika menemui ajalnya."
"Well, apa yang terjadi kemudian?"
"Saya pergi ke tempat pertemuan itu. Ketika saya sampai di jembatan, dia sudah menunggu. Baru saat itulah saya menyadari betapa luar biasanya kebenciannya kepada saya. Dia bagaikan orang gila, saya rasa dia benar-benar gila, hanya saja dia bisa mengelabui orang lain selama ini. Bagaimana mungkin dia bisa bersikap biasa pada saya sehari-hari, padahal di dalam hati dia begitu membenci saya? Saya tak akan mengatakan apa yang dikatakannya kepada saya. Dia menumpahkan segenap kemarahannya dengan kata-kata yang sangat mengerikan. Saya tak menjawab sepatah kata pun saya tak mampu bersuara. Saya benar-benar merasakan kepahitan hatinya. Saya menutup telinga dengan kedua tangan, lalu berlari pulang. Ketika saya meninggalkannya, dia masih berdiri di ujung jembatan sambil menyumpah-nyumpah."
"Di mana dia kemudian ditemukan?"
"Beberapa meter dari tempat itu."
"Anda tak mendengar suara letusan pistol?" "Tidak, saya tak mendengar apa-apa. Tapi, Mr. Holmes, saat itu saya begitu bingung dan ketakutan karena ledakan amarahnya yang mengerikan, sehingga saya terus lari ke kamar saya, tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi di luar."
"Anda mengatakan Anda langsung kembali ke kamar Anda. Apakah Anda meninggalkan kamar Anda lagi sebelum keesokan harinya?"
"Ya, ketika tanda bahaya berbunyi dan berita tentang kematiannya tersebar, saya ikut lari keluar rumah bersama penghuni lain."
"Apakah Anda melihat Mr. Gibson waktu itu?"
"Ya, dia baru saja kembali dari jembatan ketika saya melihatnya. Dia langsung memanggil dokter dan polisi."
"Apakah dia kelihatan sangat terkejut?"
"Mr. Gibson orang yang sangat kuat dan tegar, yang tak pernah menunjukkan emosinya. Tapi, karena saya kenal betul dirinya, saya bisa melihat betapa prihatinnya dia."
"Sekarang, kita sampai ke hal yang paling penting. Pistol yang ditemukan di kamar Anda itu, apakah Anda pernah melihatnya sebelumnya?"
"Tidak pernah, saya bersumpah!"
"Kapan pistol itu ditemukan?"
"Besok paginya, ketika polisi mengadakan penggeledahan."
"Di antara pakaian Anda?"
"Ya, di dasar lemari pakaian saya, di bawah gaun-gaun saya."
"Anda tak bisa memperkirakan sudah berapa lama pistol itu berada di situ?"
"Sehari sebelumnya di pagi hari tepatnya pistol itu belum ada."
"Bagaimana Anda tahu?"
"Karena waktu itu saya mengatur isi lemari pakaian saya."
"Kalau begitu ada orang yang masuk ke kamar Anda dan menaruh pistol itu di sana agar Andalah yang akan dituduh."
"Mestinya begitu."
"Kapan kemungkinan orang itu melakukannya?"
"Bisa pada saat makan, atau ketika saya mengajar anak-anak."
"Sama seperti ketika Anda menerima surat?" "Ya, mulai saat itu sampai waktu makan siang."
"Terima kasih, Miss Dunbar. Apakah ada hal lain yang bisa menolong saya dalam penyelidikan ini?"
"Saya rasa tak ada."
"Kami temukan bekas pukulan di dinding batu jembatan gompalan itu masih baru dan tepat di seberang mayat ditemukan. Apa pendapat Anda tentang hal itu?"
"Pastilah kebetulan saja."
"Aneh, Miss Dunbar, sangat aneh. Kenapa terlihat nya persis pada saat pembunuhan, dan kenapa di tempat itu?"
"Tapi, apa yang mungkin menyebabkan gompalan itu? Hanya pukulan yang keras sekali yang bisa mengakibatkannya."
Holmes tak menjawab. Wajah pucatnya yang penasaran menjadi serius dan menerawang ke kejauhan. Kalau dia bersikap begitu, biasanya dia sedang mengerahkan segenap kecerdikannya. Begitu kerasnya dia berpikir, sehingga tak satu pun dari kami berani bersuara. Maka kami bertiga aku, pengacara, dan tersangka cuma duduk sambil menatapnya dengan penuh ingin tahu. Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduknya.
"Ayo, Watson, ayo!" teriaknya bersemangat.
"Ada apa, Mr. Holmes?"
"Tak apa-apa, Nona! Nanti Anda akan mendapat kabar dari saya, Mr. Cummings. Dengan pertolongan dewa keadilan, saya akan mengungkapkan bagi Anda kasus yang akan mengguncang seluruh Inggris. Anda akan mendapat kabar besok pagi, Miss Dunbar, dan sementara itu yakinlah bahwa kabut mulai terangkat dan saya punya harapan besar cahaya kebenaran akan bersinar menggantikannya."
Jarak antara Winchester dan Thor tak begitu jauh, tapi bagiku perjalanan kami rasanya lama sekali.
Rupanya Holmes pun merasakan hal yang sama. Dia begitu gelisah sampai tak bisa duduk tenang. Dia terus mondar-mandir di gerbong kereta api yang kami tumpangi, atau mengetuk-ngetukkan jemarinya ke bantalan kursi di sampingnya. Tapi tiba-tiba, ketika kami sudah mendekati tempat tujuan, dia pindah duduk di hadapanku karena kami naik gerbong kelas satu lalu menaruh kedua tangannya di lututku sambil menatap mataku dengan pandangan aneh.
"Watson," katanya, "seingatku kau selalu membawa senjata kalau menemaniku bertualang."
Beruntunglah dia mempunyai sahabat sepertiku, karena dia tak pernah mengacuhkan keselamatan dirinya sendiri kalau pikirannya sedang disibukkan suatu masalah. Berkali-kali pistolku membuktikan jasanya pada saat kritis. Aku mengingatkannya tentang hal itu.
"Ya, ya, aku agak pelupa dalam hal-hal seperti itu. Pokoknya kau siap dengan pistolmu?"
Kukeluarkan pistolku dari saku celanaku. Pistol kecil dan pendek, tapi sangat berguna. Dia membuka moncongnya, mengguncang-guncang pelurunya, dan mengamatinya.
"Berat, ya? Berat sekali," katanya.
"Ya, bagus buatannya."
Dia menimang-nimang pistol itu.
"Tahukah kau, Watson," katanya, "pistolmu ini akan berperan dalam misteri yang sedang kita selidiki."
"Sobatku Holmes, kau bergurau, ya?"
"Tidak, Watson, aku sangat serius. Ada percobaan yang akan kita lakukan. Kalau percobaan ini berhasil, semuanya akan jelas. Dan percobaannya tergantung pada perilaku senjata api kecil ini. Keluarkan sebuah peluru; yang lima kita masukkan lagi dan kita pasang pengamannya. Nah! Pistol ini jadi tambah berat, tapi itu malah lebih baik."
Aku sama sekali tak bisa membayangkan apa yang ada di benaknya, dan dia juga tak mau repot-repot menjelaskannya padaku. Dia duduk tepekur sampai kami turun di stasiun Hampshire. Kami ganti naik kereta kuda dan seperempat jam kemudian kami sudah berada di rumah teman kami, Sersan Coventry.
"Ada petunjuk, Mr. Holmes? Apa?"
"Semuanya tergantung pada perilaku pistol Dr. Watson," kata sahabatku. "Ini. Sekarang, Sersan, bisa minta benang sepanjang sepuluh meter?"
Di toko desa ternyata ada benang pintal yang cukup kuat.
"Saya rasa kita sudah memiliki semua yang kita butuhkan," kata Holmes. "Mari kita berangkat. Semoga ini menjadi perjalanan tahap akhir kita."
Matahari mulai tenggelam dan daerah Hampshire yang berbukit-bukit tampak sangat indah.
Sepanjang perjalanan, Sersan berkali-kali menoleh ke arah sahabatku dengan pandangan kritis dan meremehkan, seolah dia meragukan kewarasan sahabatku. Ketika kami mendekati lokasi pembunuhan, aku bisa melihat betapa gelisahnya temanku, meski dia menyembunyikannya di balik sikap dinginnya.
"Ya," katanya menjawab komentarku, "kau pernah melihat aku gagal, Watson. Naluriku memang kuat, tapi kadang-kadang keliru. Ketika ide ini pertama kali melintas di benakku di rumah tahanan di Winchester, aku yakin sekali. Namun karena otakku terlalu aktif, aku terus saja memikirkan alternatif lain. Yah, Watson, tak ada salahnya mencoba, kan?"
Sambil b erjalan, dia mengikatkan salah satu ujung benang pada pegangan pistol. Kini kami telah tiba di tempat kejadian. Dengan hati-hati dan dengan pertolongan Sersan dia memberi tanda tepat pada lokasi mayat terbaring. Dia menyibak-nyibak semak dan pepohonan sampai menemukan batu yang cukup besar. Diikatnya batu itu dengan ujung benang yang lain, lalu digantungnya di dinding jembatan sehingga bisa terayun di atas air. Dia pindah ke tempat mayat, tak jauh dari mulut jembatan, masih sambil memegang pistol.
Benangnya menegang di antara pistolku dan batu berat di ujung lainnya.
"Sekarang lihat!" teriaknya. Sambil mengucapkan kata-kata itu dia menarik pistol ke kepalanya dan melepaskannya. Dalam sekejap pistol itu mencuat ke atas karena daya berat batu, lalu menghantam dinding jembatan dengan sangat keras, dan akhirnya tercebur ke kolam. Sebelum pistol itu menghilang, Holmes telah berjongkok di muka dinding jembatan, dan teriakan gembiranya menunjukkan bahwa harapannya telah menjadi kenyataan.
"Pernah lihat demonstrasi yang lebih hebat dan tepat?" teriaknya. "Lihat, Watson, pistolmu telah memecahkan masalah ini!" Dia menunjuk gompalan lain di bagian bawah dinding jembatan.
"Kita tinggal di penginapan malam ini," lanjutnya sambil berdiri di hadapan Sersan yang terheran-heran. "Tolong Anda pancingkan pistol sahabat saya itu, ya? Anda nanti pasti juga menemukan pistol, benang, dan alat pemberat yang telah dipakai korban untuk menyembunyikan tindak kejahatannya sendiri. Tolong kabari Mr. Gibson dan minta dia menemui saya besok pagi, kalau langkah-langkah untuk mengembalikan nama baik Miss Dunbar sudah dilakukannya."
Malam itu, sambil duduk-duduk mengisap pipa di penginapan, Holmes memberikan penjelasan.
"Aku khawatir, Watson," katanya, "reputasiku takkan membaik walaupun kautambahkan kasus Jembatan Thor ini dalam tulisanmu. Otakku lamban sekali, kurang cekatan mengolah data. Gompalan di permukaan batu itu merupakan petunjuk yang cukup kuat untuk mendapatkan jalan keluar, dan aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak sejak awal menarik kesimpulan.
"Harus kuakui pikiran wanita yang putus asa ini begitu ruwet, sehingga tak mudah untuk mene-lusurinya. Kurasa dari semua petualangan kita, belum pernah kita menjumpai perilaku yang lebih aneh dibandingkan cinta buta yang terlalu menggebu-gebu seperti ini. Apakah Miss Dunbar menjadi saingannya dari segi fisik atau hanya dari segi mental, di matanya sama saja. Jelas dia menyalahkan gadis itu untuk semua tindakan dan kata-kata kasar suaminya. Dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dan dengan sedemikian rupa sehingga Miss Dunbar yang menjadi tertuduh. Itu merupakan pembalasannya terhadap gadis itu, yang nasibnya akan jauh lebih buruk dari sekadar bunuh diri.
"Kita bisa mengikuti langkah-langkahnya dengan cukup jelas, yang semuanya menunjukkan kehebatan pikirannya. Surat-menyurat itu dibuat sedemikian rupa sehingga tampaknya Miss Dunbar-lah yang telah mengundangnya ke lokasi. Agar surat itu tak sampai lolos dari pengamatan polisi, dia sengaja menggenggamnya sampai ajalnya. Ini saja mestinya sudah menimbulkan kecurigaanku.
"Lalu dia mengambil sepasang pistol kembar milik suaminya. Yang satu dipakainya untuk bunuh diri, yang lainnya disembunyikannya di lemari pakaian Miss Dunbar, setelah sebutir peluru ditembakkan. Dia bisa melakukannya di hutan tanpa ada yang menaruh curiga. Kemudian dia pergi ke jembatan tempat dia telah merencanakan cara bunuh diri yang cerdik ini, dan mengatur agar pistolnya terlempar ke kolam setelah ditembakkan. Ketika Miss Dunbar muncul, dia menggunakan kesempatan terakhirnya untuk melampiaskan kebenciannya, lalu ketika Miss Dunbar sudah tak mungkin mendengar apa-apa, dia melaksanakan niatnya. Setiap jalinannya sekarang sudah berada pada tempat yang seharusnya dan rangkaiannya lengkap sudah. Surat-surat kabar mungkin akan menanyakan mengapa kolam itu tak diperiksa sejak awal, tapi bicara memang mudah kalau kasusnya sudah terpecahkan. Mencari-cari sesuatu dalam danau yang dipenuhi alang-alang bukan pekerjaan gampang, kecuali kita tahu persis apa yang kita cari dan di mana mencarinya. Well, Watson, kita telah menolong seorang gadis yang sangat menawan hati, dan seorang pria yang kaya raya. Kalau kelak mereka bersatu, yang rasanya bisa saja terjadi, dunia bisnis akan melihat Mr. Neil Gibson telah banyak menarik hikmah dan tragedi ini."
Tamat
Fear Street Terror Di Akhir Pekan Rajawali Emas Raja Lihai Langit Bumi Seymour Simon Mengejutkan Kawan Kawannya Einstein Anderson