Ceritasilat Novel Online

Lapangan Golf Maut 5


Agatha Christie Lapangan Golf Maut Bagian 5



"Yah -begitulah."

   "Kau pun akan berbuat demikian pula bila kau berada di tempatku. Aku mengerti itu. Tapi aku bukan orang yang suka pergi hilir-mudik di seluruh negeri hanya untuk mencari sebatang jarum dalam tumpukan rumput, kata pepatah Inggris. Tidak -biarkanlah Nona Bella Duveen pergi. Aku pasti akan bisa menemukannya kembali bila waktunya sudah tiba. Sampai waktu itu tiba, biarlah aku menunggu saja."

   Aku menatapnya dengan penuh kesangsian.

   Apakah dia sedang menyesatkan aku.

   Pada saat ini, aku punya perasaan jengkel, bahwa dia berada di tempat yang kuat.

   Perasaan mengenai kelebihan diriku makin lama makin susut.

   Aku telah mengusahakan pembebasan diri gadis itu, dan telah mengatur suatu rencana yang cemerlang untuk, menyelamatkannya dari akibat-akibat perbuatannya yang gegabah -namun pikiranku tak bisa tenang.

   Ketenangan Poirot itu menimbulkan kekuatiranku.

   "Kurasa, Poirot,"

   Kataku agak malu-malu.

   "aku tak boleh menanyakan rencanamu, bukan? Aku tentu telah kehilangan hakku untuk itu."

   "Sama sekali tidak. Tak ada rahasianya sama sekali. Kita harus segera kembali ke Prancis."

   "Kita?"

   "Benar -kita! Kau sendiri tahu betul bahwa kau sama sekali tak bisa melepaskan Papa Poirot dari pandanganmu. Begitu, bukan, Sahabatku? Tapi kalau kau memang ingin, tinggallah di Inggris ini."

   Aku menggeleng.

   Dia telah mengatakan yang sebenarnya.

   Aku memang tak bisa dan tak mau dia lepas dari pandanganku.

   Meskipun setelah apa yang terjadi, aku tak bisa lagi mengharapkan keterbukaannya terhadap diriku, aku masih tetap bisa membatasi geraknya.

   Satu-satunya bahaya yang mengancam Bella adalah Poirot.

   Baik Giraud maupun polisi Prancis tak peduli akan kehadirannya.

   Apa pun yang terjadi, aku harus tetap berada di dekat Poirot.

   Poirot mengamati diriku sedang pikiran-pikiran itu memenuhi otakku, dan dia lalu mengangguk tanda puas.

   "Aku benar, bukan? Dan karena besar kemungkinannya kau akan mengikuti diriku, mungkin dengan menyamar dengan memakai macam-macam yang tak masuk akal, seperti janggut palsu umpamanya -sebagaimana yang banyak dilakukan orang, bien entendu -aku lebih suka kalau kita bepergian bersama-sama. Aku akan jengkel bila ada orang mengejekmu.

   "Baiklah, kalau begitu. Tapi harus kuperingatkan padamu -"

   "Aku tahu. Aku sudah tahu semua. Kau adalah musuhku! Baiklah, jadilah musuhku. Aku sama sekali tak takut."

   "Selama semuanya jujur dan bisa dipercaya, aku tak keberatan."

   "Kau memang punya hasrat besar khas bangsa Inggris mengenai 'permainan yang jujur'! Sekarang, setelah semua keberatan-keberatanmu diatasi, mari kita segera berangkat. Kita tak boleh membuang-buang waktu. Kehadiran kita di Inggris ini memang tak lama tapi memuaskan. Aku sudah tahu, apa yang ingin kuketahui."

   Nada bicaranya memang ringan, tapi aku bisa mendengar suatu ancaman terselubung dalam kata-kata itu.

   "Meskipun demikian -"

   Aku mulai, lalu aku berhenti.

   "Meskipun demikian -katamu! Kau pasti merasa puas dengan peran yang sudah kaumainkan. Sedang aku, aku akan memusatkan pikiran dan perhatianku pada Jack Renauld."

   Jack Renauld! Nama itu membuatku terkejut.

   Aku sudah lupa sama sekali pada segi itu dalam perkara ini.

   Jack Renauld yang berada dalam penjara, dengan dibayangi oleh kapak pemenggal kepala! Kini aku melihat peran yang kumainkan dari segi yang lebih suram.

   Aku memang bisa menyelamatkan Bella, tapi dengan demikian aku mungkin menyeret seseorang yang tak bersalah ke kematiannya.

   Pikiran itu kusingkirkan dengan rasa ngeri.

   Tak mungkin.

   Dia akan dibebaskan.

   Dia pasti akan dibebaskan! Namun rasa takut yang hebat itu melandaku lagi.

   Kalau dia tidak dibebaskan? Bagaimana? Apakah akan demikian akhirnya? Harus ada suatu pilihan.

   Bella atau Jack Renauld? Dengan setiap detak jantungku, aku memilih untuk menyelamatkan gadis itu.

   Aku mencintainya apa pun yang terjadi atas diriku.

   Tetapi bila yang akan menjadi korban itu orang lain, masalahnya akan berubah.

   Apa yang akan dikatakan gadis itu sendiri? Aku ingat bahwa aku sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang penahanan atas diri Jack Renauld.

   Jadi dia sama sekali tak tahu bahwa bekas kekasihnya berada dalam penjara atas tuduhan melakukan pembunuhan yang kejam, yang sebenarnya tidak dilakukannya.

   Bila dia sampai tahu, apa yang akan dilakukannya? Akan dibiarkannyalah nyawanya sendiri diselamatkan dengan mengorbankan pria itu? Jelas dia tak boleh melakukan sesuatu dengan gegabah.

   Jack Renauld mungkin bisa dan barangkali akan dibebaskan tanpa campur tangan gadis itu.

   Bila begitu keadaannya, baik sekali.

   Tapi bila Jack Renauld tidak dibebaskan, itulah masalah yang mengerikan, yang tak ada jawabnya.

   Kurasa Bella tidak terancam hukuman terlalu berat.

   Sifat kejahatan Bella lain sekali.

   Dia bisa membela diri dengan mengajukan alasan rasa cemburu dan serangan amarah yang hebat, sedang usia mudanya dan kecantikannya akan lebih banyak lagi menolong.

   Bahwa gara-gara kekeliruan yang menyedihkan, Tuan Renauld tua yang harus mendapat ganjarannya dan bukan putranya, tidak akan mengubah alasan kejahatan itu.

   Tapi bagaimanapun juga, betapapun lunaknya putusan pengadilan, masih tetap akan berarti hukuman penjara yang lama.

   Tidak, Bella harus dilindungi.

   Dan, Jack Renauld pun harus diselamatkan pula.

   Bagaimana keduanya itu harus dilaksanakan, aku masih belum melihat titik terangnya.

   Tapi aku mendambakan kepercayaan pada Poirot.

   Dia pasti tahu.

   Apapun yang mungkin terjadi, dia akan berhasil menyelamatkan seorang yang tak bersalah.

   Dia pasti bisa menemukan suatu dalih yang lain dari keadaan sebenarnya.

   Itu mungkin sulit, tapi dia pasti akan berhasil.

   Dan bila Bella bebas dari tuduhan, sedang Jack Renauld dibebaskan, maka segalanya akan berakhir dengan menyenangkan.

   Demikianlah aku berulang kali menenangkan diriku, tapi jauh di lubuk hatiku masih tetap ada rasa takut yang mengerikan itu.

   Bab 24 'SELAMATKAN DIA' KAMI menyeberang dari Inggris naik kapal malam, dan esok paginya kami tiba di Saint-Omer, ke mana Jack Renauld telah dibawa.

   Tanpa membuang waktu Poirot langsung mengunjungi Tuan Hautet.

   Karena dia kelihatannya tidak menunjukkan keberatan bila aku ikut dengan dia, maka aku pun ikut.

   Setelah melalui bermacam-macam formalitas dan pendahuluan, kami dibawa masuk ke ruang Hakim Pemeriksa.

   Pria itu menyambut kami dengan ramah.

   "Kata orang Anda kembali ke Inggris, Tuan Poirot. Saya senang bahwa hal itu tak benar."

   "Memang benar saya pergi ke sana, Pak Hakim, tapi hanya merupakan kunjungan singkat. Suatu usaha sampingan, tapi yang menurut saya mungkin bisa membantu penyelidikan."

   "Lalu apakah ternyata memang membantu?"

   Poirot mengangkat bahunya. Tuan Hautet mengangguk sambil mendesah.

   "Saya rasa kita harus menarik diri. Giraud yang seperti binatang itu, tingkah-lakunya tidak menyenangkan, tapi dia memang benar-benar pandai! Rasanya tak banyak kemungkinannya dia akan membuat kesalahan."

   "Menurut Anda tak mungkin, Pak Hakim?"

   Kini Hakim Pemeriksalah yang mengangkat bahunya.

   "Eh bien, secara jujur -antara kita saja -apakah Anda bisa membantahnya?"

   "Terus terang, Pak Hakim, menurut saya masih banyak hal yang kabur."

   "Seperti -?"

   Tapi Poirot tak mau berbicara.

   "Saya belum menyusunnya,"

   Katanya.

   "Yang ada pada saya baru merupakan suatu pemikiran secara umum. Saya suka pada anak muda itu, dan saya juga merasa sayang bila harus percaya bahwa dia telah bersalah melakukan kejahatan yang mengerikan itu. Omong-omong, apa yang dikatakannya untuk membela dirinya?"

   Hakim itu mengerutkan dahinya.

   "Saya tak mengerti anak muda itu. Dia kelihatannya tak mampu membela dirinya. Sulit sekali menyuruhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan. Dia hanya bisa menyangkal saja, dan selanjutnya menyatakan perlawanannya dengan cara menutup mulut dengan keras kepala. Besok saya akan menanyainya lagi, apakah Anda ingin ikut hadir?"

   Kami menerima ajakan itu dengan senang sekali.

   "Suatu perkara yang membuat pusing,"

   Kata Hakim dengan mendesah.

   "Saya benar-benar kasihan pada Nyonya Renauld."

   "Bagaimana Nyonya Renauld?"

   "Beliau belum lagi siuman. Tapi syukurlah, wanita malang itu tidak mengalami penderitaan yang lebih berat. Menurut kata dokter tak ada bahayanya. Tapi katanya, bila dia siuman nanti dia akan harus benar-benar tenang. Saya dengar keadaannya yang sekarang ini disebabkan oleh shock itu, ditambah lagi dengan jatuhnya. Akan mengerikan sekali kalau otaknya jadi terganggu, tapi saya tidak heran, sama sekali tak heran."

   Tuan Hautet bersandar sambil menggeleng dengan murung, karena dia melihat masa depan yang suram. Akhirnya dia bangkit, dan tiba-tiba berkata.

   "Saya jadi ingat. Saya ada menyimpan surat untuk Anda, Tuan Poirot. Coba saya lihat, di mana saya menyimpannya ya?"

   Dia lalu membongkar surat-suratnya. Akhirnya ditemukannya surat itu, lalu disampaikannya pada Poirot.

   "Surat ini disampaikan melalui saya dengan permintaan supaya saya teruskan pada Anda,"

   Katanya menjelaskan.

   "Tapi karena Anda tidak meninggalkan alamat, saya tak bisa menyampaikannya."

   Poirot memperhatikan surat itu dengan rasa ingin tahu. Alamat surat itu ditulis tangan, tulisannya panjang dan miring dan jelas merupakan tulisan tangan wanita. Poirot tidak membukanya. Dia memasukkannya ke dalam sakunya lalu bangkit.

   "Sampai besok kalau begitu, Pak Hakim. Terima kasih banyak atas kebaikan hati dan keramahan Anda."

   "Terima kasih kembali. Saya selalu siap membantu Anda. Detektif-detektif muda golongan Giraud itu, sama saja semuanya -mereka itu kasar dan pengejek. Mereka tidak menyadari bahwa seorang hakim pemeriksa yang -eh -sudah berpengalaman seperti saya tentu punya kebijaksanaan tersendiri, suatu -kelebihan. Pokoknya, sopan-santun golongan tua jauh lebih saya sukai. Jadi, Sahabatku, perintah saja saya sesuka hati Anda. Kita tahu lebih banyak, bukan?"

   Dan sambil tertawa riang, karena merasa puas akan dirinya sendiri dan dengan kami, Tuan Hautet melepas kami. Aku merasa tak senang mendengar kata-kata yang pertama-tama diucapkan Poirot waktu kami melewati lorong gedung itu.

   "Si tua itu terkenal gobloknya! Kasihan kita akan ketololannya!"

   Baru saja kami akan meninggalkan gedung itu, kami bertemu dengan Giraud, yang kelihatannya lebih bergaya, dan tampak merasa puas akan dirinya.

   "Oh, Tuan Poirot,"

   Serunya seenaknya.

   "Sudah kembali dari Inggris Anda rupanya?"

   "Sebagaimana Anda lihat,"

   Kata Poirot.

   "Saya rasa perkara ini sudah mendekati penyelesaiannya."

   "Saya rasa juga begitu, Tuan Giraud."

   Poirot berbicara dengan halus. Sikapnya yang seolah-olah kurang percaya diri agaknya menyenangkan lawan bicaranya.

   "Dia benar-benar penjahat yang masih ingusan! Membela dirinya pun dia tak kuasa. Luar biasa!"

   "Demikian luar biasanya, hingga membuat kita jadi berpikir, bukan?"

   Kata Poirot dengan halus. Tetapi Giraud mendengarkan pun tidak. Dia hanya memutar-mutarkan tongkatnya.

   "Nah, selamat siang, Tuan Poirot. Saya senang bahwa Anda akhirnya puas dengan dinyatakannya Jack Renauld bersalah."

   "Maaf, saya sama sekali tidak puas! Jack Renauld tidak bersalah!"

   Giraud terbelalak sebentar -lalu tertawa terbahak, sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan penuh arti, dia hanya berkata.

   "Tak beres!"

   Sikap Poirot jadi penuh tantangan. Matanya berkilat berbahaya.

   "Tuan Giraud, selama perkara ini sikap Anda terhadap saya selalu penuh penghinaan! Anda perlu diberi pelajaran. Saya bersedia bertaruh lima ratus franc dengan Anda, bahwa sayalah yang akan lebih dulu menemukan pembunuh yang sebenarnya daripada Anda. Setuju?"

   Giraud menatapnya tanpa berbuat apa-apa, lalu menggumam lagi.

   "Tak beres!"

   "Ayolah,"

   Desak Poirot.

   "setuju atau tidak?"

   "Saya tak ingin menerima uang Anda."

   "Percayalah -Anda memang tidak akan mendapatkannya!"

   "Oh, kalau begitu, saya setuju! Anda mengatakan bahwa sikap saya pada Anda penuh penghinaan. Eh bien, sikap Anda pun kadang-kadang menjengkelkan saya."

   "Saya senang mendengar itu,"

   Kata Poirot.

   "Selamat pagi, Tuan Giraud. Mari, Hastings."

   Aku tak berkata apa-apa di sepanjang perjalanan.

   Hatiku gundah.

   Poirot telah memperlihatkan niatnya dengan jelas.

   Aku makin meragukan kemampuanku untuk menyelamatkan Bella dari akibat perbuatannya.

   Pertemuan yang tak menyenangkan dengan Giraud tadi itu telah membuat hati Poirot panas dan menimbulkan keberaniannya.

   Tiba-tiba aku merasa ada tangan diletakkan di pundakku, dan waktu berbalik aku berhadapan dengan Gabriel Stonor.

   Kami berhenti lalu menyalaminya, dan dia menyatakan keinginannya untuk berjalan bersama-sama kami kembali ke hotel kami.

   "Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Stonor?"

   Tanya Poirot.

   "Bukankah kita harus mendampingi sahabat-sahabat kita?"

   Sahut yang ditanya dengan suara datar.

   "Terutama bila dia dituduh secara tak adil."

   "Jadi, apakah Anda tak percaya bahwa Jack Renauld telah melakukan kejahatan itu?"

   Tanyaku dengan bernafsu.

   "Tentu tidak. Saya kenal anak muda itu. Saya akui bahwa memang ada satu atau dua hal yang benar-benar mengagetkan saya dalam urusan ini, namun demikian, meskipun dia sudah pasrah dengan begitu bodoh, saya tidak akan pernah percaya bahwa Jack Renauld adalah seorang pembunuh."

   Aku sependapat dengan sekretaris itu. Kata-katanya rasanya telah mengangkat beban yang tersimpan dalam hatiku.

   "Saya yakin banyak orang yang beranggapan seperti Anda pula,"

   Aku berseru.

   "Sedikit sekali kesaksian yang memberatkannya, itu pun tak masuk akal. Saya rasa dia pasti akan dibebaskan -itu tidak diragukan lagi."

   Tetapi reaksi Stonor tak sesuai dengan yang kuharapkan.

   "Saya ingin berpendirian seperti Anda itu,"

   Katanya dengan serius. Dia berpaling pada Poirot.

   "Bagaimana pendapat Anda, Tuan Poirot?"

   "Kurasa dia tak banyak harapan,"

   Kata Poirot dengan tenang.

   "Apakah Anda percaya bahwa dia bersalah?"

   Tanya Stonor dengan tajam.

   "Tidak. Tapi akan menemui kesulitan untuk membuktikan dirinya tak bersalah."

   "Kelakuannya pun bukan main anehnya,"

   Gumam Stonor.

   "Saya tentu maklum bahwa perkara ini lebih rumit daripada yang tampak. Giraud tak tahu itu, karena dia orang luar, tapi semuanya ini memang benar-benar aneh. Mengenai hal itu, makin sedikit kita berbicara makin baik. Bila Nyonya Renauld ingin menyembunyikan sesuatu, saya tak dapat mendukungnya. Itu adalah urusan beliau, dan saya terlalu menaruh hormat padanya untuk ikut mencampurinya, tapi saya tak bisa membenarkan tindakan Jack itu. Orang akan beranggapan bahwa dia memang ingin disangka bersalah."

   "Ah, itu tak masuk akal,"

   Seruku menyela.

   "Pertama-tama, pisau belati itu -"

   Aku berhenti, aku tak yakin berapa banyak Poirot akan membiarkan aku membuka mulut. Kemudian aku melanjutkan dengan memilih kata-kataku dengan berhati-hati.

   "Kita tahu bahwa malam itu pisau belati itu tak mungkin ada pada Jack Renauld. Nyonya Renauld tahu itu."

   "Benar,"

   Kata Stonor.

   "Bila beliau sudah sembuh, beliau pasti mau mengatakan semuanya itu, bahkan juga yang lain-lain. Nah, saya harus pergi sekarang."

   "Sebentar."

   Poirot menahan kepergiannya dengan menahan lengannya.

   "Bisakah Anda mengatur untuk segera memberi tahu saya bila Nyonya Renauld sudah sadar kembali?"

   "Tentu! Itu mudah diatur."

   "Soal mengenai pisau belati itu tepat sekali, Poirot,"

   Kataku sambil naik ke lantai atas.

   "Aku tadi tak bisa berbicara terang-terangan di hadapan Stonor."

   "Kau memang benar. Sebaiknya pengetahuan itu kita simpan sendiri saja selama mungkin. Mengenai pisau belati itu, pendapatmu tadi itu, boleh dikatakan tak dapat membantu Jack Renauld. Ingatkah kau bahwa aku tidak berada di tempat satu jam lamanya tadi pagi, sebelum kita berangkat dari London?"

   "Ya?"

   "Aku tadi berusaha menemukan perusahaan tempat Jack Renauld minta dibuatkan pisau tanda matanya itu. Itu tidak terlalu sulit. Eh bien, Hastings, mereka tidak hanya mendapat pesanan untuk membuatkan dua buah pisau pembuka amplop, melainkan tiga."

   "Jadi -?"

   "Jadi setelah memberikan sebuah pada ibunya, dan sebuah pada Bella Duveen, ada pula yang ketiga yang pasti disimpannya sendiri. Tidak, Hastings, kurasa persoalan mengenai pisau belati itu tidak akan bisa membantu kita menyelamatkan Jack dari kapak pemenggal kepalanya."

   "Pasti tidak akan begitu jadinya!"

   Seruku bagai tersengat. Poirot menggeleng tak yakin.

   "Kau pasti bisa menyelamatkannya,"

   Teriakku dengan yakin. Poirot memandangiku dengan pandangan hampa.

   "Ah! Sialan! Kau mengharapkan suatu mukjizat dari diriku. Jangan -jangan berkata apa-apa lagi. Lebih baik kita melihat apa yang ada dalam surat ini."

   Lalu dikeluarkannya sampul surat tadi dari saku atasnya. Wajahnya berkerut waktu dia membacanya, lalu diberikannya kertas yang tipis itu padaku.

   "Masih ada wanita lain di dunia ini yang juga menderita, Hastings."

   Tulisannya kurang jelas, dan surat pendek itu pasti telah ditulis dengan hati berdebar.

   Tuan Poirot yang terhormat, Seterima surat ini, saya mohon agar Anda datang membantu saya.

   Tak ada seorang pun tempat saya meminta bantuan, dan apa pun yang terjadi, Jack harus diselamatkan.

   Saya mohon dengan segala kerendahan hati agar Anda membantu kami.

   Marthe Daubreuil Aku mengembalikan surat itu dengan rasa haru.

   "Apakah kau mau pergi?"

   "Segera. Kita menyewa mobil."

   Setengah jam kemudian kami sudah tiba di Villa Marguerite. Marthe sendiri yang berada di pintu menyambut kami, dan mempersilakan Poirot masuk, sambil menggenggam tangan Poirot dengan kedua belah tangannya.

   "Oh, Anda datang -baik benar Anda. Saya hampir putus asa, tak tahu harus berbuat apa. Mereka bahkan tak mau memberi saya izin untuk menjenguk Jack. Saya menderita sekali, akan gila saya rasanya. Benarkah seperti kata mereka, bahwa Jack tidak membantah telah melakukan kejahatan itu? Itu gila! Tak mungkin dia yang melakukannya! Saya sama sekali tak mau percaya."

   "Saya juga tak percaya, Nona,"

   Kata Poirot dengan halus.

   "Tapi lalu mengapa Jack tak mau berbicara? Saya tak mengerti."

   "Mungkin karena dia melindungi seseorang,"

   Kata Poirot sambil mengamatinya. Marthe mengerutkan alisnya.

   "Melindungi seseorang? Maksud Anda ibunya? Ya, sejak semula saya sudah mencurigai wanita itu. Siapa yang akan mewarisi semua harta yang begitu banyak? Dia. Memang mudah memerankan janda yang berduka, dan berbuat munafik. Dan kata orang, waktu Jack ditangkap dia jatuh -begini."

   Dengan gerakan tangannya dia menjelaskan kata-katanya itu.

   "Dan tentulah, Tuan Stonor, sekretarisnya itu, membantunya. Mereka bekerja sama dengan baik, mereka berkomplot. Wanita itu memang lebih tua daripada sekretaris itu -tapi apa peduli seorang laki-laki -asal wanita itu kaya!"

   Nada bicaranya terdengar pahit.

   "Waktu itu Stonor berada di Inggris,"

   Aku menyela.

   "Katanya memang begitu -tapi siapa tahu yang sebenarnya?"

   "Nona,"

   Kata Poirot dengan tenang.

   "bila kita berdua memang akan bekerja sama dengan baik, kita harus menjelaskan semua hal. Pertama, saya ingin menanyakan satu hal."

   "Ya, Tuan?"

   "Tahukah Anda siapa nama ibu Anda yang sebenarnya?"

   Gadis itu memandanginya sejenak, kemudian direbahkannya kepalanya ke depan beralaskan lengannya, lalu dia menangis sedih.

   "Sudahlah, sudahlah,"

   Kata Poirot, sambil menepuk-nepuk pundaknya.

   "Tenangkanlah diri Anda, Anak manis, saya lihat Anda tahu. Sekarang pertanyaan kedua. Apakah Anda tahu siapa Tuan Renauld itu sebenarnya?"

   "Tuan Renauld?"

   Diangkatnya kepalanya, lalu dipandanginya Poirot dengan keheranan.

   "Oh, saya lihat bahwa Anda tak tahu. Sekarang dengarkan baik-baik."

   Selangkah demi selangkah diungkapkannya perkara itu, seperti yang telah dilakukannya pada saya pada hari keberangkatan kami ke Inggris. Marthe mendengarkan dengan terpesona. Setelah Poirot selesai, gadis itu menarik napas panjang.

   "Bukan main hebatnya. Anda -luar biasa! Andalah detektif yang terbesar di dunia ini."

   Dengan gerakan cepat gadis itu turun meluncur dari kursinya dan berlutut di hadapan Poirot dengan cara khusyuk, khas Prancis.

   "Selamatkanlah, Jack, Tuan,"

   Ratapnya.

   "Saya cinta sekali padanya. Oh, selamatkanlah dia, selamatkan dia -selamatkan dia!"

   Bab 25 PENYELESAIAN YANG TAK TERDUGA ESOK PAGINYA kami hadir pada pemeriksaan Jack Renauld.

   Aku sangat terkejut melihat perubahan pada diri tahanan muda itu, dalam waktu sesingkat itu.

   Pipinya jadi cekung, sekeliling matanya berwarna hitam, dan dia pucat serta kelihatan loyo, seperti seorang yang sudah beberapa malam tak berhasil dalam usahanya untuk tidur.

   Dia tidak memperlihatkan emosi apa pun waktu melihat kami.

   Orang tahanan itu dan pembelanya, Maltre Grosier, diberi kursi.

   Seorang pengawal yang bertubuh besar lengkap dengan pedangnya berdiri di depan pintu.

   Juru tulis duduk di mejanya dengan sabar.

   Pemeriksaan pun dimulai.

   "Renauld,"

   Hakim mulai.

   "apakah Anda menyangkal bahwa Anda berada di Merlinville pada malam kejadian kejahatan itu?"

   Jack tidak langsung menjawab, kemudian baru dia menjawab dengan ragu sekali.

   "Su -sudah saya katakan bahwa -saya berada di Cherbourg."

   Maitre Grosier mengerutkan alisnya dan mendesah.

   Aku segera menyadari bahwa Jack Renauld akan mempertahankan niatnya untuk menjalani perkaranya menurut kehendaknya sendiri.

   Hal itu membuat pembelanya merasa putus asa.

   Hakim melihat padanya dengan tajam.

   "Bawa kemari saksi dari stasiun."

   Sebentar kemudian pintu terbuka dan masuklah seorang laki-laki yang sudah kukenal sebagai kepala pekerja di stasiun Merlinville.

   "Anda bertugas pada malam tanggal tujuh Juni?"

   "Ya, Pak."

   "Lihatlah orang tahanan itu. Apakah Anda mengenalinya sebagai salah seorang penumpang yang turun dari kereta api?"

   "Ya, Pak Hakim."

   "Apakah tak mungkin Anda keliru?"

   "Tidak, Pak, saya kenal betul pada Tuan Jack Renauld."

   "Juga tidak mungkin keliru mengenai tanggalnya?"

   "Tidak, Pak. Karena esok paginya, tanggal delapan Juni, kami mendengar tentang pembunuhan itu."

   Seorang pegawai kereta api lain dibawa masuk dan membenarkan kesaksian orang yang pertama. Hautet melihat pada Jack Renauld.

   "Kedua orang ini sudah mengenali Anda dengan positif. Bagaimana keterangan Anda?"

   "Tak ada."

   Tuan Hautet berpandangan dengan juru tulis, sementara tangan juru tulis itu terus menuliskan jawaban-jawaban.

   "Renauld,"

   Sambung Hakim.

   "apakah Anda kenal benda ini?"

   Dia mengambil sesuatu dari meja di sampingnya dan menunjukkannya pada tahanan itu. Aku bergidik waktu mengenali pisau belati yang terbuat dari kawat pesawat terbang itu.

   "Maaf,"

   Seru Maitre Grosier.

   "Saya minta waktu untuk berbicara dengan klien saya sebelum dia menjawab pertanyaan itu."

   Tetapi Jack Renauld tidak menimbang perasaan Grosier yang kebingungan itu. Jack menepiskan pengacaranya itu, lalu menjawab dengan tenang.

   "Tentu saya kenal. Itu hadiah yang saya berikan pada ibu saya, sebagai tanda mata."

   "Apakah sepanjang pengetahuan Anda, ada duplikat pisau belati ini?"

   Maitre Grosier sekali lagi terpekik, dan sekali lagi Jack mendahuluinya.

   "Saya tak tahu. Bentuk pisau itu rancangan saya sendiri."

   Hakim sendiri pun kelihatan terperanjat oleh keterusterangan jawaban itu.

   Memang benar, bila dikatakan, bahwa Jack seolah-olah ingin mempercepat penentuan nasibnya.

   Aku tentu mengerti, bahwa, demi Bella, dia merasa perlu sekali menyembunyikan kenyataan adanya duplikat pisau belati itu.

   Selama orang masih beranggapan bahwa hanya ada satu senjata itu, tidak akan ada kecurigaan yang bisa ditujukan pada gadis yang memiliki pisau pembuka surat yang kedua.

   Dengan penuh keberanian dia melindungi wanita yang pernah dicintainya itu -tapi betapa hebatnya hal itu mengancam dirinya sendiri! Aku mulai menyadari betapa pentingnya tugas Poirot, yang semula kuanggap remeh itu.

   Tidaklah akan mudah untuk menjamin pembebasan Jack Renauld tanpa berdasarkan kebenaran.

   Dengan nada suara yang tajam, Tuan Hautet berbicara lagi.

   "Nyonya Renauld mengatakan pada kami bahwa pisau belati ini terletak di meja hiasnya pada malam terjadinya kejahatan itu. Tapi Nyonya Renauld memang seorang ibu sejati! Anda pasti akan terkejut sekali, Renauld, tapi saya rasa mungkin sekali Nyonya Renauld keliru, dan mungkin pula karena kelalaian Anda, pisau itu lalu terbawa oleh Anda ke Paris. Anda pasti akan menyangkal saya -"

   Kulihat anak muda itu mengepalkan kedua belah tangannya yang terborgol kuat-kuat. Keringat di dahinya besar-besar, dan dengan usaha yang luar biasa dia memotong bicara Tuan Hautet dengan suara parau.

   "Saya tidak akan menyangkal Anda. Itu mungkin saja terjadi."

   Hal itu mencengangkan sekali. Maitre Grosier terlonjak bangkit, dia memprotes.

   "Klien saya sedang mengalami ketegangan saraf yang cukup besar. Saya minta supaya dicantumkan pada catatan Anda, bahwa menurut saya dia tak bisa bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya."

   Hakim menatapnya dengan marah. Sesaat suatu keraguan muncul di benaknya sendiri. Jack Renauld memang boleh dikatakan telah melampaui batas. Dia membungkuk dan memandang orang tahanannya dengan penuh selidik.

   "Apakah Anda mengerti betul, Renauld, bahwa berdasarkan jawaban yang Anda berikan saya tak punya alasan lain kecuali menyeret Anda ke sidang pengadilan?"

   Wajah Jack yang pucat menjadi merah padam. Dia membalas pandangan Hakim tanpa berkedip.

   "Tuan Hautet, saya bersumpah bahwa saya tidak membunuh ayah saya."

   Tapi keraguan Hakim yang sesaat tadi telah berlalu. Dia tertawa sebentar, tawa yang tak enak didengar.

   "Tentu, tentu, -orang-orang tahanan kami selamanya tak bersalah. Gara-gara mulut Anda sendiri, Anda dipersalahkan. Anda tak bisa lagi membela diri, Anda tak ada alibi -sekadar suatu bantahan yang oleh seorang bayi sekalipun tak dapat diyakini! -bahwa Anda tak bersalah. Anda telah membunuh ayah Anda, Renauld -suatu pembunuhan kejam oleh seorang pengecut -demi uang yang menurut sangka Anda akan menjadi milik Anda bila beliau meninggal. Ibu Anda ikut bersalah dalam hal ini. Tapi menimbang, bahwa beliau telah bertindak sebagai seorang ibu, maka pengadilan pasti akan bersikap lunak terhadapnya, dan tidak akan mengaitkannya dengan Anda. Dan tindakan itu tepat sekali! Perbuatan Anda itu kejam sekali -dan menjijikkan baik bagi dewa-dewa maupun bagi manusia!"

   Tuan Hautet memanfaatkan waktunya dengan baik, didukung oleh suasana waktu itu, dan perannya sendiri sebagai wakil dari keadilan.

   "Anda telah membunuh -dan Anda harus mendapatkan ganjaran sebagai akibat perbuatan itu. Saya berbicara dengan Anda, bukan sebagai laki-laki biasa, melainkan sebagai Badan keadilan, keadilan abadi, yang -"

   Kata-kata Tuan Hautet itu mendapat gangguan karena pintu terbuka -alangkah jengkelnya dia.

   "Bapak Hakim, Bapak Hakim,"

   Kata seorang petugas dengan gugup.

   "di luar ada seorang wanita yang berkata -yang berkata -"

   "Yang berkata apa?"

   Bentak Hakim dengan marah.

   "Ini benar-benar menyalahi aturan. Saya tidak akan membiarkannya -"

   Sesosok tubuh yang mungil mendesak agen polisi itu ke samping.

   Dengan berpakaian hitam seluruhnya, dengan sehelai cadar panjang yang menyembunyikan wajahnya, dia masuk ke dalam kamar.

   Jantungku berdebar demikian hebatnya hingga terasa nyeri.

   Rupanya dia datang juga! Semua usaha sia-sia.

   Namun, mau tak mau aku mengagumi keberaniannya yang menyebabkannya telah mengambil langkah ini tanpa ragu.

   Diangkatnya cadarnya -dan napasku tersengal.

   Karena meskipun dia bagai pinang dibelah dua, gadis ini bukanlah Cinderella! Kini, tanpa rambut palsunya yang berwarna pirang yang dipakainya di pentas, aku mengenalinya sebagai gadis di foto yang terdapat di kamar Jack Renauld.

   "Apakah Anda hakim pemeriksanya, Tuan Hautet?"

   Tanyanya.

   "Benar, tapi saya melarang -"

   "Nama saya Bella Duveen. Saya menyerahkan diri atas pembunuhan Tuan Renauld."

   Bab 26 AKU MENERIMA SEPUCUK SURAT SAHABATKU, Kau akan tahu semua setelah kaubaca surat ini.

   Tak satu pun yang kukatakan pada Bella bisa mengubah niatnya.

   Dia telah pergi untuk menyerahkan dirinya.

   Aku sudah letih berjuang.

   Kini kau akan tahu bahwa aku telah menipumu, bahwa kau yang telah memberikan kepercayaanmu kubalas dengan kebohongan.

   Aku yakin bahwa kau akan berpikir, bahwa tindakanku terhadapmu itu tak pantas.

   Tapi, sebelum aku lenyap dari hidupmu untuk selama-lamanya, aku ingin menjelaskan mengapa sampai terjadi demikian.

   Aku akan merasa hidup ini lebih nyaman, bila aku tahu bahwa kau mau memaafkan diriku.

   Aku melakukan semuanya itu bukan untuk diriku sendiri -hanya itu yang dapat kukemukakan untuk menjelaskan perbuatanku.

   Akan kumulai sejak hari aku bertemu denganmu dalam kereta api dari Paris.

   Waktu itu aku sudah merasa kuatir.

   Bella sedang merasa putus asa mengenai Jack Renauld.

   Bella, boleh dikatakan, sampai-sampai mau membaringkan dirinya di tanah untuk diinjak-injak Jack, dan waktu laki-laki itu mulai berubah, dan mulai berhenti menulis surat, Bella seperti akan gila.

   Dia membayangkan bahwa Jack sudah tertarik pada gadis lain -dan kemudian ternyata bahwa itu memang benar.

   Dia memutuskan untuk pergi ke villa mereka di Merlinville untuk mencoba menemui Jack.

   Dia tahu bahwa aku menentang gagasan itu, lalu mencoba menyelinap.

   Kudapati dia tak ada di kereta api di Calais, dan aku bertekad untuk tidak meneruskan perjalananku ke Inggris tanpa dia.

   Aku sudah punya firasat tak enak, bahwa sesuatu yang amat mengerikan akan terjadi bila aku tak bisa mencegahnya.

   Aku menunggu kereta api berikutnya dari Paris.

   Dia ada di kereta api itu, dan berniat untuk dari situ langsung pergi ke Merlinville.

   Aku menentangnya dengan segala tenagaku, tapi tak ada gunanya.

   Dia sudah memutuskan dan bertekad untuk melaksanakan niatnya.

   Ya, aku lalu lepas tangan dari semuanya itu.

   Aku sudah berusaha sebisanya! Hari sudah mulai malam.

   Aku pergi ke hotel, dan Bella menuju ke Merlinville.

   Aku masih belum dapat melepaskan diriku dari firasat burukku mengenai bencana yang akan terjadi.

   Sampai esok harinya pun Bella tak muncul.

   Dia telah berjanji untuk menemuiku di hotel, tapi dia tidak menepatinya.

   Sepanjang hari itu tak tampak batang hidungnya.

   Aku makin kuatir.

   Kemudian datang surat kabar dengan berita itu.

   Sungguh mengerikan! Aku tentu tak yakin -tapi aku takut sekali.

   Kubayangkan bahwa Bella telah menemui Papa Renauld, dan menceritakan pada orang tua itu mengenai hubungannya dengan Jack dan bahwa laki-laki tua itu telah menghinanya.

   Kami berdua memang sangat penaik darah.

   Kemudian muncul kisah-kisah tentang orang-orang asing yang berkedok, dan aku merasa agak tenang.

   Tapi aku masih kuatir, sebab Bella, tidak memenuhi janjinya dengan aku.

   Esok paginya aku demikian tegangnya hingga aku pergi saja untuk melihat apa yang bisa kulakukan.

   Maka yang pertama-tama kutemui adalah kau.

   Kau sudah tahu semuanya itu.

   Waktu aku melihat pria yang meninggal itu serupa benar dengan Jack, dan mengenakan mantel Jack pula, tahulah aku! Lalu ada pula di situ pisau pembuka amplop, yang serupa benar dengan yang telah diberikan Jack pada Bella -benda kecil yang jahat itu.

   Aku yakin benar bahwa pada gagang pisau itu ada bekas sidik jari Bella.

   Tak sanggup aku melukiskan betapa hebat rasa ketakutanku pada saat itu.

   Hanya satu hal yang jelas harus kulakukan -aku harus mendapatkan pisau belati itu, dan segera lari sebelum orang tahu bahwa benda itu hilang.

   Aku berpura-pura pingsan, dan sementara kau pergi untuk mengambilkan aku air, aku mengambilnya lalu kusembunyikan di balik bajuku.

   Kukatakan padamu bahwa aku menginap di hotel du Phare, padahal sebenarnya aku kembali ke Calais dengan kereta api yang sama, dan terus ke Inggris naik kapal yang pertama.

   Waktu tiba di tengah-tengah Selat Kanal, kubuang pisau belati sial itu ke laut.

   Kemudian barulah aku bisa bernapas lega.

   Bella sudah ada di rumah kos kami di London.

   Dia kelihatan aneh sekali.

   Kuceritakan padanya apa yang telah kulakukan, dan bahwa untuk sementara dia aman.

   Dia menatapku, lalu tertawa-tawa -dan tertawa -ngeri sekali kedengarannya! Kupikir sebaiknya kami menyibukkan diri.

   Dia bisa gila kalau dibiarkan termenung memikirkan apa yang telah dilakukannya.

   Untunglah kami segera mendapatkan kontrak pekerjaan.

   Lalu kulihat kau dan sahabatmu menonton kami malam itu.

   Aku jadi panik.

   Kau tentu curiga, kalau tidak kalian tentu tidak akan membuntuti kami.

   Aku harus mengetahui kemungkinan yang terburuk, maka aku menyusulmu.

   Aku putus asa.

   Kemudian, sebelum aku sempat menceritakan apa-apa padamu, aku mendapatkan kesan bahwa akulah yang kaucurigai, bukan Bella! Atau sekurang-kurangnya kau menyangka bahwa aku adalah Bella, karena aku telah mencuri pisau belati itu.

   Sebenarnya akan baik, bila kau bisa melihat ke dalam benakku waktu itu -maka mungkin kau akan mau memaafkan aku -aku begitu ketakutan, aku kebingungan dan aku putus asa.

   Aku hanya tahu bahwa kau akan mencoba menyelamatkan diriku.

   Aku tak tahu apakah kau akan mau menyelamatkan Bella.

   Kurasa pasti tidak -itu tak sama halnya! Dan aku tidak akan bisa menanggung akibatnya! Bella adalah saudara kembarku -aku harus berbuat yang sebaik-baiknya untuknya.

   Maka aku pun terus berbohong.

   Aku merasa diriku jahat -sekarang pun aku masih merasa jahat.

   Hanya itu saja -dan mungkin kau pun akan mengatakan bahwa itu sudah cukup.

   Sebenarnya aku bisa menaruh kepercayaan padamu.

   Bila saja aku bisa -Segera setelah berita penahanan atas diri Jack Renauld muncul di surat-surat kabar, habislah semuanya.

   Bella bahkan tak mau lagi menunggu untuk melihat bagaimana kelanjutannya.

   Aku letih sekali.

   Aku tak bisa menulis lagi.

   Tampak bahwa dia semula akan menandatangani surat itu dengan Cinderella, tapi kemudian dicoretnya, dan digantinya dengan Dulcie Duveen.

   Surat itu buruk tulisannya dan kabur, tapi masih kusimpan sampai sekarang.

   Poirot ada bersamaku waktu aku membaca surat itu.

   Kertas-kertas itu terlepas dari tanganku, dan aku melihat padanya yang duduk di seberangku.

   "Apakah kau selama ini tahu bahwa yang terlibat adalah -yang seorang lagi?"

   "Tahu, Sahabat."

   "Mengapa tak kaukatakan padaku?"

   "Pertama-tama, aku merasa sukar percaya bahwa kau bisa membuat kekeliruan itu. Kau sudah melihat fotonya. Kedua bersaudara itu banyak kesamaannya, tapi bukannya sama sekali tak bisa dibedakan."

   "Tapi rambut pirang itu?"

   "Adalah rambut palsu, yang dipakai untuk memberikan kesan kontras di pentas. Apakah biasa bahwa bila sepasang anak kembar yang serupa benar yang seorang harus berambut pirang dan yang seorang lagi berambut hitam?"

   "Mengapa tak kaukatakan malam itu di hotel di Coventry?"

   "Kau sedang berbuat sangat sewenang-wenang waktu itu, mon ami,"

   Kata Poirot datar.

   "Kau tidak memberi aku kesempatan."

   "Tapi setelah itu?"

   "Oh, setelah itu? Yah, pertama-tama, aku tersinggung karena kau tidak menaruh kepercayaan padaku. Dan aku ingin melihat apakah perasaan sentimentalmu akan tahan uji terhadap waktu. Pokoknya aku ingin tahu, apakah itu cinta murni, atau apakah kau sekadar tergila-gila saja. Aku memang tak boleh lama-lama membiarkan kau dalam kekeliruanmu!"

   Aku mengangguk. Nada suaranya terlalu banyak mengandung kebaikan hati, hingga aku tak bisa merasa benci. Aku menunduk melihat ke kertas-kertas surat itu lagi. Tiba-tiba kupungut kertas-kertas itu dari lantai dan kuberikan padanya.

   "Bacalah,"

   Kataku.

   "Aku ingin kau membacanya."

   Poirot membacanya tanpa berkata apa-apa, lalu dia mengangkat mukanya melihat padaku.

   "Apa yang kaukuatirkan, Hastings?"

   Caranya bertanya tak bisa begitu. Caranya yang mengejek seperti biasanya kali ini tak kelihatan, hingga aku bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan tanpa kesulitan.

   "Dia tidak mengatakan -dia tidak mengatakan -pokoknya, tak ada bayangan apakah dia suka atau tidak padaku!"

   Poirot membalik-balik kertas-kertas itu.

   "Kurasa kau keliru, Hastings."

   "Mana?"

   Aku berseru, sambil membungkuk dengan penuh keinginan. Poirot tersenyum.

   "Setiap baris dari surat ini menyatakan hal itu, mon ami."

   "Tapi di mana aku bisa menemukan dia? Surat itu tak ada alamat pengirimnya. Hanya ada perangko Prancis."

   "Jangan kuatir! Serahkan itu pada Papa Poirot. Aku akan menemukannya untukmu hanya dalam waktu lima menit!"

   Bab 27 KISAH JACK RENAULD "SELAMAT, Tuan Jack,"

   Kata Poirot sambil meremas tangan anak muda itu dengan hangat.

   Renauld muda langsung mendatangi kami begitu dia dibebaskan -sebelum berangkat ke Merlinville untuk menggabungkan diri dengan Marthe Daubreuil dan ibunya sendiri.

   Stonor menyertainya.

   Keramahannya berlawanan sekali dengan air mukanya yang pucat.

   Tampak jelas bahwa anak muda itu hampir saja mengalami gangguan saraf.

   Meskipun dia sudah terlepas dari musibah yang mengancamnya, usaha pembebasannya demikian menyakitkannya hingga dia tak bisa merasa lega sepenuhnya.

   Dia tersenyum sedih pada Poirot, dan berkata dengan suara rendah.

   "Saya menjalani semua ini demi dia, dan sekarang semuanya sia-sia saja."

   "Anda tak bisa berharap gadis itu akan rela bila Anda sampai mengorbankan hidup Anda,"

   Kata Stonor datar.

   "Begitu dilihatnya Anda terancam kapak pemenggal, dia langsung tampil."

   "Eh ma foi! Anda memang benar-benar terancam!"

   Poirot menambahkan dengan berkilat.

   "Anda bisa saja menjadi penyebab kematian MaItre Grosier karena marahnya pada Anda, kalau Anda terus-menerus begitu."

   "Saya rasa dia bermaksud baik,"

   Kata Jack.

   "Tapi dia sangat membuat saya pusing. Saya tidak terlalu bisa mempercayakan hati saya padanya. Tapi, ya Tuhan! Apa yang akan terjadi atas diri Bella?"

   "Kalau saya berada di tempat Anda,"

   Kata Poirot berterus terang.

   "saya tidak akan mau merasa sedih percuma. Pengadilan di Prancis ini sangat lunak pada anak-anak muda, apalagi yang cantik, yang melakukan kejahatan karena cinta. Seorang pengacara yang pandai akan bisa mengubah perkara itu hingga meringankan tuduhan atas dirinya. Bagi Anda memang tidak akan menyenangkan -"

   "Saya tak peduli mengenai hal itu. Bagaimanapun juga, Tuan Poirot, saya tetap merasa bersalah atas kematian ayah saya. Kalau tidak gara-gara saya dan hubungan saya dengan Marthe, beliau pasti masih hidup dan sehat sekarang. Tambahan lagi keteledoran saya dalam mengambil mantel yang salah. Bagaimanapun, saya tetap merasa bertanggung jawab atas kematian itu. Hal itu akan menghantui saya selamanya!"

   "Jangan, jangan,"

   Kataku membujuknya.

   "Tentu saya ngeri membayangkan Bella membunuh ayah saya,"

   Lanjut Jack.

   "tapi itu karena saya telah memperlakukan gadis itu dengan cara yang memalukan, setelah saya bertemu dengan Marthe, dan menyadari bahwa saya telah membuat kekeliruan. Seharusnya saya menulis surat dan menyatakan hal itu padanya dengan berterus terang. Tapi saya takut sekali dia mengamuk, dan takut pula hal itu sampai didengar Marthe, dan Marthe akan menyangka bahwa hubungan kami lebih daripada yang sebenarnya. Yah, pokoknya saya memang pengecut, dan terus berharap hal itu akan mereda sendiri. Saya mengambang saja, tanpa menyadari bahwa dengan demikian saya telah membuat gadis malang itu putus asa. Bila dia benar-benar menikam saya, sebagaimana niatnya, itu memang sepantasnya. Dan betapa beraninya dia tampil menyerahkan dirinya. Kalau saya berada di tempatnya, saya akan berdiam diri saja -selamanya."

   Dia diam sebentar, lalu melanjutkan celotehnya lagi.

   "Yang mengherankan saya adalah, mengapa Ayah berkeliaran dengan hanya berpakaian dalam dan mantel saya saja malam hari begitu. Mungkin beliau telah berhasil melarikan diri dari orang-orang asing itu, dan ibu saya pasti keliru mengenai jam itu waktu mereka datang. Atau -atau, itu semua kan bukan sekadar isapan jempol saja, ya? Maksud saya, ibu saya kan tidak menyangka -tak mungkin menyangka -bahwa -bahwa orang itu adalah saya?"

   Poirot cepat-cepat meyakinkannya.

   "Tidak, tidak Tuan Jack. Jangan kuatir mengenai hal itu. Mengenai selebihnya, pada suatu hari kelak akan saya jelaskan pada Anda. Memang agak aneh. Tapi coba Anda ceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi pada malam yang mengerikan itu?"

   "Sedikit sekali yang dapat saya ceritakan. Saya kembali dari Cherbourg, sebagaimana yang sudah saya ceritakan pada Anda, untuk menjumpai Marthe sebelum saya berangkat ke bagian lain dari dunia ini. Kereta api terlambat, dan saya memutuskan untuk mengambil jalan pintas melalui lapangan golf. Dari sana saya akan bisa dengan mudah masuk ke pekarangan Villa Marguerite. Saya hampir tiba di tempat itu, waktu -"

   Dia berhenti lalu menelan ludahnya.

   "Ya?"

   "Saya mendengar suatu teriakan yang mengerikan. Suara itu tak nyaring -seperti suara orang tercekik, seperti tersekat -tapi membuat saya ketakutan. Saya berdiri terpaku sebentar. Kemudian saya melewati serumpun semak-semak di sudut. Waktu itu bulan sedang bersinar. Saya melihat kuburan, dan sesosok tubuh yang terbaring tertelungkup dengan sebilah pisau belati tertancap di punggungnya. Dan kemudian -saya melihat dia. Dia melihat saya seolah-olah melihat hantu -pasti mula-mula dia menyangka saya demikian -air mukanya membeku karena ketakutan. Lalu dia memekik, dan berbalik lalu lari."

   Dia berhenti dan mencoba mengatasi emosinya.

   "Lalu setelah itu?"

   Tanya Poirot lembut.

   "Saya benar-benar tak tahu apa-apa lagi. Saya berdiri saja di sana sebentar lagi, terpana. Kemudian saya sadar sebaiknya saya pergi dari situ secepat mungkin. Saya tak menyangka orang akan mencurigai saya, tapi saya takut saya akan dipanggil untuk memberikan kesaksian yang memberatkannya. Sebagaimana sudah saya ceritakan, saya berjalan ke St. Beauvais, dan menyewa mobil di sana untuk kembali ke Cherbourg."

   Pintu diketuk orang, seorang pesuruh masuk membawa sepucuk telegram yang diserahkannya pada Stonor. Sekretaris itu merobeknya.

   "Nyonya Renauld sudah siuman,"

   Katanya.

   "Bagus!"

   Poirot bangkit dengan melompat.

   "Mari kita semua segera pergi ke Merlinville!"

   Kami semua cepat-cepat berangkat.

   Atas permintaan Jack, Stonor bersedia tinggal untuk mengusahakan apa saja yang bisa membantu Bella.

   Poirot, Jack Renauld, dan aku berangkat naik mobil keluarga Renauld.

   Perjalanan ke sana memerlukan waktu empat puluh menit lebih sedikit.

   Waktu kami tiba di jalan masuk ke Villa Marguerite, Jack Renauld menoleh pada Poirot dengan pandangan bertanya.

   "Bagaimana kalau kita pergi terus dulu -untuk memberi tahu ibu saya bahwa saya sudah bebas -"

   "Anda tentu ingin memberitahukan hal itu dulu pada Nona Marthe, bukan?"

   Lanjut Poirot. Jack Renauld tidak menunggu lebih lama lagi. Setelah menghentikan mobil, dia melompat ke luar, lalu berlari di sepanjang lorong ke pintu depan. Kami melanjutkan perjalanan kami dengan mobil terus ke Villa GeneviEve.

   "Poirot,"

   Kataku.

   "ingatkah kau bagaimana kita tiba di tempat ini pada hari pertama itu? Waktu itu kita disambut dengan berita tentang kematian Renauld, bukan?"

   "Ya, benar. Belum begitu lama sebenarnya. Tapi alangkah banyaknya yang telah terjadi sejak itu -terutama bagimu, mon ami!"

   "Poirot, apa yang telah kaulakukan dalam usahamu untuk menemukan Bella -maksudku Dulcie?"

   "Tenanglah, Hastings. Semuanya akan kuatur."

   "Lama sekali kau bertindak,"

   Gerutuku. Poirot mengubah bahan pembicaraan.

   "Waktu kita datang itu, merupakan, awal, kini kita menjelang akhirnya,"

   Katanya, sambil membunyikan lonceng.

   "Dan sebagai suatu perkara, akhir perkara itu tidaklah memuaskan."

   "Memang tidak,"

   Desahku.

   "Kau mempertimbangkannya dari segi perasaan yang mendalam, Hastings. Bukan begitu maksudku. Kita harap saja Nona Bella akan diperlakukan dengan lunak, dan bagaimanapun juga, Jack Renauld tak bisa mengawini kedua gadis itu sekaligus. Aku berbicara dari sudut pekerjaan. Kejahatan ini bukan kejahatan yang tersusun rapi dan biasa, sebagaimana yang disukai oleh seorang detektif. Peristiwa penuh sandiwara yang dirancang oleh Georges Conneau, memang sempurna, tapi kesudahannya -ah! Seorang laki-laki yang terbunuh tanpa disengaja dalam kemarahan seorang gadis -ah, susunan dan cara kerja apa itu?"

   Sedang aku menertawakan keanehan kata-kata Poirot itu, pintu dibuka oleh FranCoise.

   Poirot mengatakan padanya bahwa dia harus segera bertemu dengan Nyonya Renauld, dan pelayan itu mengantarnya naik ke lantai atas.

   Aku tinggal di dalam ruang tamu utama.

   Agak lama Poirot baru muncul kembali.

   "Lihat saja, Hastings! Bakal ada kekacauan hebat!"

   "Apa maksudmu?"

   Aku berseru.

   "Aku sendiri tidak menyukainya,"

   Kata Poirot merenung.

   "tapi kaum wanita memang sulit diramalkan."

   "Ini Jack dan Marthe Daubreuil datang,"

   Kataku sambil melihat ke luar jendela. Poirot berjalan ke luar kamar dengan langkah-langkah panjang, lalu menyambut pasangan muda itu di tangga luar.

   "Jangan masuk. Sebaiknya jangan. Ibu Anda sedang risau."

   "Saya tahu, saya tahu,"

   Kata Jack Renauld.

   "Saya harus segera naik menjumpainya."

   "Jangan. Dengarlah kata-kata saya. Sebaiknya jangan."

   "Tapi Marthe dan saya -"

   "Bagaimanapun juga, jangan bawa nona ini serta. Naiklah kalau Anda mau, tapi sebaiknya saya yang menyertai Anda."

   Suatu suara di tangga membuat kami semua terkejut.

   "Terima kasih atas jasa baik Anda, Tuan Poirot, tapi saya ingin menyatakan sendiri isi hati saya."

   Kami terbelalak keheranan. Dengan dituntun oleh Leonie, Nyonya Renauld menuruni tangga, dengan kepala masih terbalut. Gadis Prancis itu meratap dan memohon padanya untuk kembali ke tempat tidur.

   "Nyonya akan membunuh dirinya sendiri. Ini semua melawan perintah dokter!"

   Tetapi Nyonya Renauld berjalan terus.

   "Ibu,"

   Seru Jack, sambil bergerak maju. Tapi ibunya mencegahnya mendekat dengan gerak tangannya.

   "Aku bukan ibumu! Kau bukan anakku! Mulai hari dan jam ini aku tidak lagi mengakuimu."

   "Ibu,"

   Pekik anak muda itu terperanjat. Sesaat kelihatan bahwa wanita itu agak goyah, akan berubah sikap mendengar nada ketakutan dalam suara anaknya. Poirot menunjukkan sikap akan melerai, tapi wanita itu segera bisa menguasai dirinya.

   "Kau menginginkan darah ayahmu. Secara moral kau bersalah dalam kematiannya. Kau membangkang terhadapnya dan melawannya demi gadis ini, dan karena perlakuanmu yang tanpa tenggang rasa terhadap gadis lain, kau lalu menjadi penyebab kematian ayahmu. Keluar dari rumahku. Besok aku akan mengambil langkah-langkah yang tidak akan pernah memungkinkan kau mendapatkan satu penny pun dari uangnya. Jalanilah hidup di dunia ini sendiri dengan bantuan gadis yang tiada lain adalah anak musuh bebuyutan ayahmu!"

   Kemudian, perlahan-lahan dan dengan bersusah payah, dia kembali ke lantai atas.

   Kami semua terpaku -benar-benar tak siap untuk melihat pemandangan seperti itu.

   Jack Renauld yang sudah cukup letih karena semua yang sudah dialaminya, terhuyung dan hampir jatuh.

   Poirot dan aku cepat-cepat membantunya.

   "Dia terlalu letih,"

   Gumam Poirot pada Marthe.

   "Ke mana kita bisa membawanya?"

   "Pulang tentu. Ke Villa Marguerite. Saya akan merawatnya bersama ibu saya. Kasihan Jack!"

   Kami bawa anak muda itu ke villa itu, di mana dia menjatuhkan diri tanpa tenaga ke sebuah kursi dalam keadaan setengah sadar. Poirot meraba kepala dan tangannya.

   "Dia demam. Ketegangan-ketegangan yang terlalu banyak mulai memperlihatkan akibatnya. Kini ditambah lagi dengan shock ini. Bawa dia ke tempat tidur, Hastings dan saya akan memanggil dokter."

   Kami segera pergi mencari bantuan dokter.

   Setelah memeriksa pasiennya, dokter mengatakan bahwa itu tak lain adalah ketegangan saraf.

   Dengan istirahat dan ketenangan sempurna, anak muda itu akan bisa sehat kembali esok harinya, tapi, bila mengalami kekacauan lagi, maka dia mungkin mengalami demam otak.

   Perlu sekali ada seseorang yang menjaganya sepanjang malam.

   Akhirnya, setelah membantu sebisanya, kami tinggalkan dia di bawah pengawasan Marthe dan ibunya, dan kami berangkat ke kota.

   Malam itu sudah lewat waktu makan kami, dan kami berdua sudah kelaparan.

   Restoran yang pertama yang kami datangi menghilangkan rasa lapar kami dengan omelette yang enak, dan disusul daging rusuk yang enak sekali.

   "Sekarang mencari tempat untuk menginap,"

   Kata Poirot, setelah minum kopi tanpa susu sebagai penutup makan malam itu.

   "Mari kita coba teman lama kita, Hotel des Baines."

   Tanpa berlama-lama kami menuju ke tempat itu. Ya, Tuan-tuan bisa ditampung di dua buah kamar yang menghadap ke laut. Kemudian Poirot menanyakan suatu pertanyaan yang membuatku terkejut.

   "Apakah seorang wanita Inggris yang bernama Nona Robinson sudah tiba?"

   "Sudah, Tuan. Dia ada di ruang tamu kecil."

   "Oh!"

   "Poirot,"

   Kataku sambil menyesuaikan langkahku dengan dia ketika dia menjalani lorong rumah itu.

   "siapa lagi Nona Robinson itu?"

   Poirot memandangku dengan ramah dan berseri.

   "Aku kan sudah mengatakan akan mengatur perkawinan untukmu, Hastings."

   "Tapi -"

   "Bah!"

   Kata Poirot, sambil mendorongku dengan lembut melewati ambang pintu.

   "Apakah kau mau aku mendengung-dengungkan nama Duveen di Merlinville ini?!"

   Memang benar, Cinderella-lah yang bangkit menyambut kedatangan kami. Aku menggenggam kedua belah tangannya. Aku berbicara dengan mataku. Poirot meneguk ludahnya.

   "Anak-anakku,"

   Katanya.

   "saat ini kita tak sempat bermesra-mesraan dulu. Kita harus bekerja! Nona, apakah Anda bisa melaksanakan apa yang saya instruksikan?"

   Sebagai jawaban, Cinderella mengeluarkan sesuatu yang terbungkus dalam kertas dari tasnya, dan memberikannya tanpa berkata apa-apa pada Poirot, yang langsung membuka bungkusan itu.

   Aku terkejut sekali -karena benda itu adalah pisau belati dari kawat pesawat terbang yang kusangka sudah dilemparkannya ke dalam laut.

   Aneh, betapa enggannya kaum wanita memusnahkan benda-benda dan surat-surat yang kelihatannya tak berarti! "Tres bien, Gadisku,"

   Kata Poirot.

   "Saya senang sekali padamu. Sekarang pergilah beristirahat. Hastings dan saya harus bekerja. Besok Anda baru akan bisa bertemu dengannya."

   "Anda akan ke mana?"

   Tanya gadis itu.

   "Besok Anda akan mendengar semuanya."

   "Ke mana pun Anda akan pergi, saya ikut."

   Poirot menyadari bahwa akan percuma saja membantahnya.

   "Kalau begitu marilah, Nona. Tapi ini tidak akan menyenangkan. Mungkin sekali tidak akan terjadi apa-apa."

   Gadis itu tak menyahut. Dua puluh menit kemudian kami berangkat. Sekarang hari sudah gelap sekali, malam itu panas dan pengap. Poirot berjalan di depan menuju Villa GeneviEve. Tapi waktu kami tiba di Villa Marguerite, dia berhenti sebentar.

   "Saya ingin melihat keadaan Jack Renauld. Mari ikut, Hastings. Nona sebaiknya tinggal di luar. Mungkin Nyonya Daubreuil akan mengatakan sesuatu yang akan menusuk perasaan."

   Kami membuka pintu pagar dan berjalan di sepanjang lorong masuk ke rumah. Waktu kami membelok ke samping rumah, aku menunjukkan pada Poirot suatu jendela di lantai atas. Pada kerai tampak jelas bayangan tubuh Marthe Daubreuil.

   "Oh!"

   Kata Poirot.

   "Saya sudah menduga bahwa di situlah kita akan menemui Jack Renauld."

   Nyonya Daubreuil yang membukakan kami pintu.

   Dijelaskannya bahwa keadaan Jack masih sama saja, tapi mungkin kami ingin melihatnya sendiri.

   Dia berjalan mendahului kami naik ke lantai atas dan masuk ke kamar tidur.

   Marthe Daubreuil sedang menyulam di dekat sebuah meja yang ada lampunya.

   Dia meletakkan telunjuknya ke bibirnya waktu kami masuk.

   Jack Renauld sedang tidur nyenyak tapi gelisah, kepalanya sebentar ke kiri, sebentar ke kanan, dan mukanya masih merah.

   "Apakah dokter akan datang lagi?"

   Tanya Poirot berbisik.

   "Tidak, kecuali kalau diminta. Dia sedang tidur -itu yang penting. Maman telah membuatkannya tisane."

   Gadis itu duduk lagi dengan sulamannya waktu kami meninggalkan kamar itu.

   Nyonya Daubreuil mengantar kami turun.

   Sejak aku tahu sejarah masa lalu wanita itu, aku memperhatikannya dengan perhatian yang lebih besar.

   Dia berdiri dengan mata merunduk, dengan senyum kecil yang penuh teka-teki yang masih kuingat.

   Dan tiba-tiba aku merasa takut padanya, sebagaimana seseorang merasa takut akan seekor ular cantik yang berbisa.

   "Saya harap kami tadi tidak menyusahkan Anda, Nyonya,"

   Kata Poirot, waktu wanita itu membukakan kami pintu untuk keluar.

   "Sama sekali tidak, Tuan."

   "Omong-omong,"

   Kata Poirot seolah-olah baru teringat.

   "Tuan Stonor belum tiba di Merlinville hari ini ya?"

   Aku sama sekali tak mengerti arah pertanyaan itu. Aku yakin pertanyaan itu sama sekali tak ada artinya. Dengan tenang Nyonya Daubreuil menyahut.

   "Setahu saya, belum."

   "Apakah dia belum berbicara dengan Nyonya Renauld?"

   "Bagaimana mungkin saya tahu, Tuan?"

   "Benar juga,"

   Kata Poirot.

   "Saya hanya menduga mungkin Anda ada melihatnya datang dan pergi lagi. Selamat malam, Nyonya."

   "Mengapa -"

   Aku mulai bertanya.

   "Jangan bertanya, Hastings. Nanti semuanya boleh."

   Kami menggabungkan diri kembali dengan Cinderella dan berjalan ke arah Villa GeneviEve. Sekali lagi Poirot menoleh ke belakang ke jendela kamar yang berlampu, dan tampak sosok tubuh Marthe yang duduk membungkuk menekuni pekerjaannya.

   "Jack dijaga dengan baik,"

   Gumamnya.

   Setiba di Villa GeneviEve, Poirot mengambil tempat di balik semak-semak di sebelah kiri jalan masuk ke rumah.

   Dari sana kami bisa melihat dengan mudah, sementara kami sendiri benar-benar tersembunyi.

   Villa itu sendiri gelap seluruhnya; pasti semua orang sudah tidur.

   Kami berada hampir tepat di bawah jendela kamar tidur Nyonya Renauld, dan kulihat jendelanya terbuka.

   Kulihat mata Poirot tertuju ke arah itu terus.

   "Apa yang akan kita perbuat?"

   Bisikku.

   "Melihat."

   "Tapi -"

   "Selama sekurang-kurangnya satu jam, atau bahkan dua jam ini, kurasa tidak akan terjadi apa-apa, tapi -"

   Tapi kata-katanya itu terhenti oleh suatu teriakan panjang.

   "Tolooong!"

   Lampu tiba-tiba menyala di kamar tingkat atas di sebelah kanan di sisi rumah. Pekik itu berasal dari situ. Dan kami lalu melihat bayangan pada kerai, bayang-bayang dua orang yang sedang bergumul.

   "Terkutuk benar!"

   Teriak Poirot.

   "Wanita itu pasti sudah pindah kamar."

   Sambil berlari dia menggedor pintu depan kuat-kuat.

   Kemudian dia berlari ke pohon yang tumbuh di bedeng bunga.

   Dipanjatnya pohon itu selincah kucing.

   Aku menyusulnya.

   Dia melompat melewati jendela yang terbuka.

   Waktu aku menoleh, kulihat Dulcie sudah mencapai sebuah cabang di belakangku.

   "Hati-hati,"

   Teriakku.

   "Hati-hati nenekmu!"

   Balas gadis itu.

   "Ini seperti permainan saja bagiku."

   Poirot sudah berlari melewati kamar yang kosong itu dan menggedor pintu yang menuju ke lorong rumah.

   "Terkunci dan dipalang dari luar,"

   Geramnya.

   "Ini akan makan waktu yang mendobraknya."

   Suara teriakan minta tolong makin melemah kedengarannya. Aku melihat bayangan putus asa dalam mata Poirot. Kami berdua menghantamkan bahu kami ke pintu itu. Kemudian dari dekat jendela terdengar suara Cinderella yang tenang-tenang dan halus.

   "Kalian akan terlambat. Saya rasa, sayalah satu-satunya yang bisa berbuat sesuatu."

   Sebelum aku sempat berbuat apa-apa untuk mencegahnya, dia kelihatan seolah-olah melompat lalu melayang ke angkasa.

   Aku berlari mengejarnya dan melihat ke luar.

   Aku ngeri melihat dia bergantung pada atap, bergerak dengan cara berputar-putar dan sentakan-sentakan ke arah jendela yang terbuka.

   "Oh, Tuhan! Dia bisa jatuh dan mati,"

   Aku berseru.

   "Kau lupa. Dia seorang akrobat kawakan, Hastings. Adalah rahmat Tuhan dia tadi berkeras untuk ikut kita malam ini. Aku hanya berdoa semoga dia tak terlambat!"

   Suatu teriakan penuh ketakutan memenuhi suasana malam waktu gadis itu menghilang melalui jendela di sebelah kanan; kemudian terdengar suara Cinderella berkata dengan lantang.

   "Tidak, tidak akan bisa! Kau sudah berada dalam cengkeramanku -dan genggamanku sekuat baja."

   Pada saat yang sama pintu kamar tempat kami terkurung dibuka dengan berhati-hati oleh FranCoise.

   Poirot menyingkirkan wanita itu dengan kasar dan berlari di sepanjang lorong rumah ke tempat di mana pelayan-pelayan yang lain sedang berdiri berkelompok di dekat pintu di sebelah ujung.

   "Terkunci dari dalam, Tuan."

   Dari dalam terdengar sesuatu yang berat terbanting. Setelah beberapa lamanya anak kunci berputar dan pintu dibuka perlahan-lahan. Cinderella yang tampak pucat, mengisyaratkan supaya kami masuk.

   "Selamatkah dia?"

   Tanya Poirot.

   "Ya, saya datang tepat pada waktunya. Beliau keletihan."

   Nyonya Renauld setengah duduk dan setengah terbaring di tempat tidurnya. Dia bernapas tersengal-sengal.

   "Hampir saja saya mati dicekiknya,"

   Gumamnya menahan sakit. Cinderella memungut sesuatu dari lantai dan memberikannya pada Poirot. Benda itu adalah gulungan tali sutera yang sangat halus, tapi kuat sekali.

   "Alat untuk melarikan diri,"

   Kata Poirot.

   "melalui jendela, sementara kita menggedor pintu. Mana -yang lain?"

   Gadis itu menyingkir sedikit lalu menunjuk. Di lantai tergeletak sesosok tubuh yang terbungkus dalam bahan berwarna gelap yang wajahnya tertutup oleh lipatan kain itu.

   "Meninggal?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Saya rasa begitu."

   Kepalanya pasti telah terbentur pada tepi pelindung perapian yang terbuat dari batu pualam.

   "Siapa dia?"

   Tanyaku berseru.

   "Pembunuh Tuan Renauld, Hastings. Dan hampir saja menjadi pembunuh Nyonya Renauld."

   Dengan rasa heran dan tak mengerti, aku berlutut, dan setelah mengangkat lipatan kain itu, tampak olehku wajah cantik Marthe Daubreuil yang sudah meninggal.

   Bab 28 AKHIR PERJALANAN KENANGANKU tentang kejadian-kejadian selanjutnya malam itu membingungkan.

   Poirot seolah-olah tuli bila kutanya.

   Dia sedang asyik menghujani FranCoise dengan teguran-teguran karena tidak memberitahukan padanya tentang pergantian kamar tidur Nyonya Renauld.

   Bahunya kucengkeram, untuk menarik perhatiannya, dan supaya dia mendengarkan aku.

   "Tapi kau tentu tahu,"

   Seruku.

   "Kau menemuinya tadi sore."

   Poirot mengalah, mau memberikan perhatiannya sebentar padaku.

   "Dia tadi didorong dengan sofa, ke kamar yang di tengah -kamar tamunya,"

   Dia menjelaskan.

   "Tapi, Tuan,"

   Seru FranCoise.

   "Nyonya pindah dari kamarnya hampir segera setelah kejadian itu! Kekalutan-kekalutan itu semua -telah menegangkannya!"

   "Lalu mengapa saya tidak diberi tahu,"

   Bentak Poirot, sambil menghantam meja. Dia makin lama makin mengamuk.

   "Saya bertanya -mengapa -saya -tidak -diberi tahu? Kau perempuan tua tolol! Leonie dan Denise itu sama saja! Kalian bertiga ini goblok semua! Kebodohan kalian hampir saja menyebabkan kematian majikan kalian. Kalau bukan karena gadis pemberani ini -"

   Poirot berhenti berbicara, lalu dia berjalan cepat ke seberang kamar di mana gadis itu sedang membungkuk mengurus Nyonya Renauld.

   Poirot merangkul gadis itu dengan penuh kasih sayang -hal mana agak menjengkelkan aku.

   Aku merasa agak terbangun dari keadaanku yang seolah-olah diselubungi awan mendengar Poirot memerintahku dengan tegas supaya segera memanggil seorang dokter untuk kepentingan Nyonya Renauld.

   Setelah itu aku harus memanggil polisi.

   Dan untuk menambah kemarahanku ditambahkannya.

   "Kau tak perlu kembali ke sini. Aku akan terlalu sibuk hingga aku tidak akan bisa memberi perhatianku padamu, dan Nona ini akan kujadikan perawat bagi si sakit."

   Aku pergi dengan rasa harga diri yang tersisa.

   Setelah melakukan tugas-tugasku tadi, aku kembali ke hotel.

   Aku tak mengerti apa yang telah terjadi.

   Peristiwa malam itu luar biasa dan rasanya tak masuk akal.

   Tak seorang pun mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

   Seolah-olah tak seorang pun mendengarnya.

   Dengan marah kuhempaskan diriku ke tempat tidur, lalu tertidur dengan rasa bingung dan letih.

   Aku terbangun mendapatkan sinar matahari memancar melalui jendela-jendela yang terbuka, sedang Poirot yang sudah rapi dan tersenyum, duduk di sampingku.

   "Nah, kau sudah bangun! Memang benar-benar penidur kau, Hastings! Tahukah kau bahwa hari sudah hampir pukul sebelas?"

   Aku menggeram lalu memegang kepalaku.

   "Aku pasti bermimpi,"

   Kataku.

   "Aku bermimpi bahwa kita menemukan mayat Marthe Daubreuil di kamar Nyonya Renauld, dan bahwa kau menudingnya sebagai pembunuh Tuan Renauld."

   "Kau tidak bermimpi. Semuanya itu benar."

   "Tapi bukankah Bella Duveen yang telah membunuh Tuan Renauld?"

   "Bukan, Hastings! Gadis itu memang berkata begitu -memang -tapi itu semata-mata untuk membebaskan laki-laki yang dicintainya dari kapak pemenggal."

   "Apa?"

   "Ingatlah kisah Jack Renauld. Mereka berdua tiba di tempat kejadian itu pada saat yang bersamaan, dan keduanya masing-masing menyangka bahwa yang dilihatnya itulah pembunuhnya. Bella menatap Jack dengan ketakutan, lalu lari sambil berteriak. Tapi waktu didengarnya bahwa orang menuduh Jack yang telah menuduhnya dia tak tahan, lalu tampil ke depan, menuduh dirinya sendiri untuk menyelamatkan Jack dari kematian."

   Poirot bersandar di kursinya dan mempertemukan ujung-ujung jarinya seperti biasa.

   "Perkara itu tidak memuaskan diriku,"

   Katanya seperti seorang hakim.

   "Aku terus-menerus mendapatkan kesan, bahwa kita sedang menghadapi suatu pembunuhan berdarah dingin yang telah direncanakan lebih dulu oleh seseorang yang (dengan cerdiknya) telah menggunakan cara kerja Tuan Renauld sendiri untuk menyesatkan polisi. Aku pernah mengatakan padamu bahwa penjahat yang ulung selalu amat sederhana."

   Aku mengangguk.

   "Nah, untuk menunjang teori itu, penjahat itu harus benar-benar mengenal rencana Tuan Renauld. Hal itu membawa kita untuk mencurigai Nyonya Renauld. Tapi bukti-bukti tidak mendukung teori yang menyalahkan wanita itu. Adakah lagi orang lain yang tahu rencana itu? Ada. Marthe Daubreuil sendiri mengatakan bahwa dia mendengar pertengkaran Tuan Renauld dengan gelandangan itu. Bila dia mendengar pertengkaran itu, maka dia pasti mendengar pula semua yang lain, terutama bila Tuan dan Nyonya Renauld begitu ceroboh dan membahas rencana itu sambil duduk di bangku di kebun itu. Ingat betapa mudahnya kau bisa mendengarkan percakapan Marthe dengan Jack Renauld di tempat yang sama."

   "Tapi apakah alasan pembunuhan Marthe atas diri Tuan Renauld?"

   Bantahku.

   "Alasan apa, tanyamu? Uang tentu! Tuan Renauld itu seorang jutawan, dan bila dia meninggal separuh dari kekayaannya yang banyak itu akan jatuh ke tangan putranya (begitulah persangkaan Marthe dan Jack). Mari kita rekonstruksikan kejadian itu dari segi pandangan Marthe Daubreuil.

   "Marthe Daubreuil mendengar apa yang dibicarakan Renauld dengan istrinya. Selama ini dia merupakan sumber penghasilan kecil yang menyenangkan bagi dua beranak Daubreuil itu, tapi kini Tuan Renauld akan melepaskan dirinya dari hal itu. Mungkin, mula-mula adalah untuk mencegahnya melarikan diri. Tapi kemudian dia mendapatkan gagasan yang lebih berani, dan gagasannya yang baru itu tidak menimbulkan kengerian dalam hati putri Jeanne Beroldy itu! Selama ini Tuan Renauld merupakan penghalang paling utama dalam pernikahannya dengan Jack. Bila Jack melawan ayahnya, dia akan menjadi pengemis -hal yang sama sekali tidak diingini Marthe. Aku bahkan ragu apakah gadis itu benar-benar cinta pada Jack Renauld. Dia memang bisa saja berpura-pura sedih, tapi dia sebenarnya berdarah sama dinginnya dan penuh perhitungannya seperti ibunya. Aku juga ragu apakah dia meyakini cinta Jack pada dirinya. Dia telah memabukkan dan menjerat anak muda itu, tapi bila anak muda itu dipisahkan dari dirinya, suatu hal yang dengan mudah dapat dilakukan oleh ayahnya, maka dia akan kehilangan anak muda itu. Tapi dengan meninggalnya Tuan Renauld, dan Jack menjadi pewaris separuh harta kekayaannya, maka pernikahan mereka akan dapat dilaksanakan segera, dan dia akan menjadi kaya mendadak. Mereka tak perlu lagi memeras yang jumlahnya hanya beberapa ribu dari orang tua itu. Dan otaknya yang cerdas menangkap betapa sederhananya semuanya itu. Semuanya mudah sekali. Tuan Renauld-lah yang telah merencanakan kematiannya sendiri -dia hanya perlu melangkah masuk pada saat yang tepat dan apa yang semula hanya pura-pura saja dijadikan kenyataan. Sekarang tibalah titik kedua, yang tak dapat tidak, membawaku pada Marthe Daubreuil -pisau belati itu! Jack Renauld telah menyuruh membuat tiga buah tanda mata. Sebuah diberikannya pada ibunya, sebuah pada Bella Duveen, jadi apakah tak mungkin dia memberikan pisau yang ketiga pada Marthe Daubreuil? "Jadi kalau disimpulkan, terdapat empat hal yang memberatkan Marthe Daubreuil.

   "(1) Mungkin Marthe Daubreuil telah mendengar apa yang direncanakan Tuan Renauld.

   "(2) Marthe Daubreuil punya kepentingan langsung dalam menyebabkan kematian Tuan Renauld.

   "(3) Marthe Daubreuil adalah putri Nyonya Beroldy yang terkenal jahat, yang menurut pikiranku, baik secara moral maupun sebenarnya, adalah pembunuh suaminya, meskipun mungkin tangan Georges Conneau yang melakukannya.

   "(4) Marthe Daubreuil adalah satu-satunya orang yang mungkin memiliki pisau belati yang ketiga, kecuali Jack Renauld sendiri."

   Poirot berhenti dan menelan ludahnya.

   "Ketika aku tahu tentang adanya seorang gadis lain, yaitu Bella Duveen, kupikir mungkin gadis yang kedua inilah yang membunuh Tuan Renauld. Aku tak puas dengan penyelesaiannya, karena seperti yang kukatakan padamu, Hastings, seorang ahli seperti aku lebih suka bertemu dengan lawan yang tangguh. Tapi kita harus menghadapi kejahatan sebagaimana adanya. Rasanya tak masuk akal Bella Duveen berkeliaran membawa-bawa tanda mata yang berupa pisau pembuka amplop itu, meskipun dia memang sudah punya rasa dendam terhadap Jack Renauld. Waktu dia benar-benar tampil dan mengakui telah melakukan pembunuhan itu, kelihatannya semuanya sudah selesai. Namun -aku tak puas, mon ami. Aku tak puas.

   "Kuteliti lagi perkara itu, dan tibalah aku pada kesimpulan semula. Bila bukan Bella Duveen, maka satu-satunya orang yang mungkin melakukan kejahatan itu adalah Marthe Daubreuil. Tapi aku tak punya satu pun bukti yang memberatkan dia.

   "Kemudian kau menunjukkan surat dari Nona Dulcie, dan aku lalu melihat suatu kesempatan untuk menyelesaikan persoalan itu sampai tuntas. Pisau belati yang asli telah dicuri oleh Dulcie Duveen dan dibuang ke laut -karena pada sangkanya itu adalah milik saudara kembarnya. Tapi, kalau itu kebetulan bukan milik saudara kembarnya, melainkan yang diberikan oleh Jack pada Marthe Daubreuil -maka pisau belati milik Bella Duveen tentu masih ada! Aku tak berkata sepatah pun padamu, Hastings (waktunya untuk roman belum tepat), tapi aku pergi menemui Nona Dulcie. Kuceritakan padanya apa yang kuanggap perlu, dan kuminta supaya dia menggeledah barang-barang saudara kembarnya. Dan bayangkan betapa senangnya aku waktu dia mencari aku dengan nama Nona Robinson (sesuai dengan instruksiku) dengan membawa tanda mata yang besar artinya itu! "Sementara itu aku telah mengambil langkah-langkah untuk memaksa Marthe Daubreuil berterus terang. Kuatur Nyonya Renauld untuk tidak mengakui putranya, dan menyatakan niatnya untuk membuat surat wasiat esok harinya, yang tidak akan memungkinkannya menikmati barang sedikit pun saja dari kekayaan ayahnya. Itu merupakan langkah terakhir yang perlu sekali, dan Nyonya Renauld telah benar-benar siap untuk menghadapi akibat terburuk dari langkah itu -meskipun malangnya dia pun lupa memberitahukan tentang pergantian kamarnya. Kurasa aku dianggapnya sudah tahu sendiri. Semua terjadi menurut rencanaku. Marthe Daubreuil mengambil langkah terakhir untuk mendapatkan uang Renauld -tapi dia gagal!"

   "Yang benar-benar membingungkan aku,"

   Kataku.

   "bagaimana dia bisa masuk ke rumah itu tanpa kita lihat. Kelihatannya seperti suatu keajaiban saja. Kita meninggalkannya di Villa Marguerite, kita langsung pergi ke Villa GeneviEve -tapi dia sudah lebih dulu berada di sana!"

   "Ah, kita tidak meninggalkannya di Villa Marguerite. Dia keluar lewat jalan belakang ketika kita bercakap-cakap dengan ibunya di lorong rumah. Di situlah dia mengelabui Hercule Poirot!"

   "Tapi bayangan yang kita lihat di kerai itu? Bukankah kita melihatnya dari jalan?"

   "Eh bien, waktu kita melihat ke atas, Nyonya Daubreuil masih sempat berlari ke lantai atas dan menggantikannya."

   "Nyonya Daubreuil?"

   "Ya. Memang yang seorang tua, dan yang seorang lagi muda, yang seorang berambut hitam, yang seorang lagi pirang, tapi kalau sekadar untuk bayangan di kerai, bayangan mereka sama benar. Bahkan aku sendiri pun tak curiga -goblok benar aku, kusangka aku masih banyak waktu -kusangka masih akan lama lagi dia bara akan berusaha masuk ke villa itu. Marthe yang cantik itu benar-benar pandai."

   "Dan tujuannya adalah membunuh Nyonya Renauld?"

   "Ya. Supaya dengan demikian semua harta itu akan jatuh ke tangan putranya. Tapi itu bisa juga merupakan bunuh diri, mon ami! Di lantai dekat mayat Marthe Daubreuil, aku menemukan segumpal kapas dengan sebotol kecil obat bius dan sebuah alat suntik yang berisi morfin dalam jumlah yang mematikan. Mengertikah kau? Obat bius dulu yang dipakai -kemudian setelah korban tak sadar ditusukkanlah jarum. Pagi hari esoknya bau obat bius sudah akan hilang sama sekali, sedang alat suntiknya diletakkan sedemikian, hingga seolah-olah jatuh dari tangan Nyonya Renauld. Apa yang akan dikatakan Tuan Hautet yang hebat itu? 'Kasihan wanita ini! Sekarang dia shock karena terlalu gembira, hingga tak tertanggung olehnya! Sudah saya katakan bahwa saya tidak akan heran kalau dia sampai berubah akal. Perkara Renauld ini merupakan perkara yang paling tragis!' "Tapi, Hastings, kejadiannya jadi lain sekali dari rencana Marthe. Pertama-tama, Nyonya Renauld ternyata masih bangun dan menyambut kedatangannya. Mereka bergumul. Tapi Nyonya Renauld masih lemah sekali. Marthe Daubreuil masih punya kesempatan terakhir. Rencananya untuk memberikan kesan seolah-olah itu adalah bunuh diri sudah buyar. Tapi bila dia bisa mencekiknya dengan tangannya yang kuat, melarikan diri dengan tali suteranya sementara kita sedang mencoba mendobrak pintu kamar ujung dari sebelah dalam, dan kembali ke Villa Marguerite sebelum kita pun kembali ke sana, akan sulit sekali bagi kita untuk memberikan bukti yang memberatkan dia. Tapi dia kalah cepat -bukan oleh Hercule Poirot -melainkan oleh akrobat cilik yang punya cengkeraman baja itu."

   Aku termangu mendengarkan kisah itu.

   "Kapan kau pertama kali mencurigai Marthe Daubreuil, Poirot? Apakah waktu dia mengatakan pada kita, bahwa dia mendengar pertengkaran di kebun itu?"

   Poirot tersenyum.

   "Sahabatku, ingatkah kau waktu kita pertama kali tiba di Merlinville? Dan gadis cantik yang berdiri di pintu pagar itu? Kau bertanya apakah aku tidak melihat seorang dewi muda, dan kujawab bahwa aku hanya melihat seorang gadis yang bermata ketakutan. Demikianlah aku selalu mengingat Marthe Daubreuil sejak semula. Gadis yang bermata ketakutan! Mengapa dia ketakutan? Bukan menguatirkan Jack Renauld, karena waktu itu dia belum tahu bahwa Jack ada di Merlinville malam sebelumnya."

   "Omong-omong,"

   Seruku.

   "bagaimana keadaan Jack Renauld?"

   "Jauh lebih baik. Dia masih di Villa Marguerite. Tapi Nyonya Daubreuil sudah menghilang. Polisi sedang mencarinya."

   "Apakah menurut kau dia terlibat dalam perbuatan putrinya?"

   "Kita tidak akan pernah tahu. Wanita itu adalah seorang wanita yang kuat, dia pandai menyimpan rahasia. Dan aku sangat meragukan apakah polisi akan pernah menemukannya."

   "Apakah Jack Renauld sudah -diberi tahu?"

   "Belum."

   "Dia tentu akan terkejut sekali."

   "Pasti. Tapi, tahukah kau, Hastings, aku ragu apakah hatinya benar-benar terpikat. Selama ini kita menganggap Bella Duveen sebagai si penggoda, dan Marthe Daubreuil sebagai gadis yang benar-benar dicintainya. Tapi pikirku bila kita balikkan penamaan itu, kita akan lebih mendekati kebenarannya. Marthe Daubreuil memang cantik sekali. Dia telah bertekad untuk memikat Jack, dan dia telah berhasil. Tapi ingat betapa enggannya Jack memutuskan hubungannya dengan gadis yang seorang lagi. Dan lihat pula betapa dia. lebih suka menyerahkan dirinya ke kapak pemenggal daripada membiarkan gadis itu dituduh. Kurasa bila dia mendengar tentang kejadian sebenarnya, dia akan merasa ngeri -jiwanya akan memberontak, dan cinta palsunya akan sirna."

   "Bagaimana dengan Giraud?"

   "Dia mengalami guncangan saraf! Dia terpaksa kembali ke Paris."

   Kami tersenyum.

   Poirot ternyata memang cukup pandai meramal.

   Ketika akhirnya dokter menyatakan Jack sudah cukup kuat untuk mendengar kejadian yang sebenarnya, Poirot-lah yang menceritakannya padanya.

   Dia memang sangat terkejut.

   Tapi dia lebih cepat pulih daripada yang kuduga.

   Kasih sayang ibunya telah membantunya mengatasi masa-masa sulit itu.

   Kini ibu dan anak tak terpisahkan lagi.

   Kemudian terjadi lagi sesuatu yang tak terduga.

   Poirot mengatakan pada Nyonya Renauld bahwa dia sudah mengetahui rahasianya, dan menganjurkan pada wanita itu supaya rahasia masa lalu Tuan Renauld itu tidak dirahasiakan terus terhadap Jack.

   "Menyembunyikan kebenaran itu tak pernah ada baiknya, Nyonya! Kuatkan hati Anda, dan ceritakan semuanya pada anak itu."

   Nyonya Renauld menyanggupinya dengan hati berat. Kemudian tahulah putranya bahwa ayahnya yang dicintainya sebenarnya adalah seorang pelarian hukum. Atas pertanyaannya, Poirot menjawab.

   "Yakinlah, Tuan Jack. Dunia tak tahu apa-apa. Sepanjang pengetahuan saya, tak ada keharusan pada saya untuk menceritakannya pada polisi. Dalam perkara ini, saya bukannya bekerja untuk mereka, melainkan untuk ayah Anda. Akhirnya ayah Anda dikalahkan oleh keadilan, tapi tak seorang pun perlu tahu bahwa dia sebenarnya adalah Georges Conneau."

   Tentu ada beberapa hal yang masih merupakan pertanyaan bagi polisi, tapi Poirot menjelaskan semuanya itu demikian pandainya, hingga semua yang mengherankan lama kelamaan menjadi jelas.

   Tak lama setelah kami kembali ke London, kulihat suatu tiruan anjing pemburu yang besar menghiasi perapian Poirot.

   Menjawab pandanganku yang mengandung pertanyaan, Poirot mengangguk.

   "Mais, oui! Aku sudah menerima taruhanku sebanyak lima ratus franc itu! Dia hebat, bukan? Dia kunamakan Giraud!"

   Beberapa hari kemudian Jack Renauld datang mengunjungi kami dengan air muka penuh keyakinan.

   "Tuan Poirot, saya datang untuk minta diri. Saya akan segera berlayar ke Amerika Selatan. Ayah saya punya banyak usaha di benua itu, lagi pula saya ingin memulai hidup baru di sana."

   "Apakah Anda akan pergi seorang diri, Tuan Jack?"

   "Ibu saya ikut -dan saya akan tetap mempertahankan Stonor sebagai sekretaris kami. Dia suka bepergian ke ujung dunia."

   "Tak ada lagikah yang lain?"

   Muka Jack memerah.

   "Maksud Anda -?"

   "Seorang gadis yang sangat mencintai Anda -yang sudah mau mengorbankan nyawanya untuk Anda."

   "Bagaimana mungkin saya mengajaknya serta?"

   Gumam anak muda itu.

   "Setelah semua kejadian ini, apakah mungkin saya pergi mendatanginya, dan -ah, kisah isapan jempol apakah yang akan dapat saya ceritakan padanya?"

   "Kaum wanita -punya kemampuan besar untuk menerima baik cerita-cerita semacam itu."

   "Ya, tapi -saya sudah berbuat begitu goblok!"

   "Kita semua, suatu saat tentu mengalami seperti itu,"

   Kata Poirot berfalsafah. Tapi wajah Jack menjadi keras.

   "Ada lagi sesuatu. Saya ini anak ayah saya. Apakah ada yang mau kawin dengan saya, kalau dia tahu?"

   "Anda memang putra ayah Anda. Hastings akan membenarkan bahwa saya percaya akan sifat keturunan -"

   "Ya, lalu -"

   "Saya tahu seorang wanita yang pemberani dan tabah, yang cintanya besar sekali, yang mau mengorbankan diri -"

   Anak muda itu mendongak. Pandangan matanya menjadi lembut.

   "Wanita itu adalah ibuku!"

   "Benar. Anda bukan hanya putra ayah Anda, tapi juga putra ibu Anda. Jadi pergilah jumpai Nona Bella. Ceritakan semuanya padanya. Jangan rahasiakan apa-apa -kemudian lihat apa yang akan dikatakannya!"

   Jack tampak bimbang.

   "Temui dia, jangan sebagai kanak-kanak, melainkan sebagai seorang pria dewasa -seorang pria yang telah menjadi korban nasib masa lalu dan nasib masa kini. Tapi yang mendambakan hidup baru yang indah. Mintalah dia untuk menyertai Anda. Mungkin Anda tidak menyadarinya, tapi cinta Anda berdua telah diuji dalam kesulitan besar, dan ternyata tidak goyah. Anda berdua telah bersedia mengorbankan nyawa Anda masing-masing."

   Lalu bagaimana halnya dengan Kapten Arthur Hastings yang menjadi pencatat kejadian-kejadian ini? Ada yang mengatakan bahwa dia menyertai keluarga Renauld ke tanah peternakan mereka di seberang laut.

   Tapi sebagai penutup dari cerita ini, aku lebih suka kembali ke suatu peristiwa pada suatu pagi di halaman Villa GeneviEve.

   "Aku tak bisa menyebutmu Bella,"

   Kataku.

   "karena itu bukan namamu. Dan Dulcie rasanya kurang akrab. Jadi biarlah kupanggil kau Cinderella saja. Menurut dongengnya, Cinderella menikah dengan pangerannya. Aku bukan pangeran, tapi -"

   Dia memotong bicaraku.

   "Aku yakin Cinderella tentu telah memberinya peringatan! Soalnya, dia tak bisa berjanji untuk menjadi seorang tuan putri. Dia hanya seorang gadis nakal -"

   "Sekarang giliran pangeran untuk menyela,"

   Potongku.

   "Tahukah kau apa kata pangeran itu?"

   "Tidak?"

   "Pangeran itu berkata, 'Sialan!' -lalu dia mencium gadis itu."

   Dan aku pun melakukan apa yang merupakan penutup cerita itu. Scan & DJVU. BBSC Konversi, Edit, Spell & Grammar Check. clickers
http.//epublover.blogspot.com
http.//facebook.com/epub.lover (Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)

   

   

   

Wiro Sableng Tiga Makam Setan Pendekar Rajawali Sakti Istana Ratu Sihir Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar

Cari Blog Ini