Ceritasilat Novel Online

Monster Telur Dari Mars 1


Goosebumps Monster Telur Dari Mars Bagian 1


Chapter 1 ADIKKU, Brandy, minta acara berburu telur untuk merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh.

   Dan setiap permintaan Brandy pasti dipenuhi.

   Dia tinggal mengembangkan senyumnya, senyum yang membuat lesung pipinya kelihatan.

   Habis itu dia pasang tampang tak berdosa dan membuka matanya yang hijau lebar-lebar, sambil memilin-milin rambutnya yang merah dan keriting.

   "Aku minta acara berburu telur untuk pesta ulang tahunku, ya? Boleh, ya? Boleh, ya?"

   Kalau sudah begitu, ayah dan ibuku tak pernah bisa menolak.

   Seandainya Brandy minta burung unta berwarna merah-putihbiru untuk kado ulang tahunnya pun, Daddy pasti langsung membeli cat untuk membuat burung unta jadi berwarna-warni.

   Brandy memang jago mengambil hati.

   Benar-benar jago.

   Dan aku kakaknya, Dana Johnson, terus terang sulit juga bilang tidak kalau Brandy minta sesuatu.

   Aku tidak mungil dan lucu seperti adikku.

   Rambutku hitam lurus, dan selalu menutupi keningku.

   Dan aku pakai kacamata.

   Dan aku agak gendut.

   Mom selalu bilang bahwa tampangku terlalu serius.

   "Dana lebih dewasa dari umurnya,"

   Begitu Grandma Evelyn sering berkomentar.

   Aku sih tidak merasa dewasa.

   Tapi mungkin maksud nenekku, aku lebih serius dari anak-anak umur dua belas lainnya.

   Bisa jadi itu benar.

   Tapi sebenarnya aku tidak selalu serius lho.

   Hanya saja memang rasa ingin tahuku besar sekali.

   Aku sangat tertarik pada ilmu pengetahuan.

   Aku suka meneliti serangga, tanaman, dan binatang.

   Aku punya sarang semut dalam akuarium di kamarku.

   Aku juga punya dua labah-labah tarantula.

   Selain itu aku punya mikroskop sendiri.

   Semalam aku baru mengamati kuku kaki.

   Mengamati kuku kaki jauh lebih asyik daripada yang kausangka.

   Kalau sudah besar nanti, aku mau jadi ilmuwan yang melakukan bermacam-macam penelitian.

   Aku bakal punya lab sendiri, dan aku akan mempelajari segala sesuatu yang ingin kuketahui.

   Daddy seorang ahli kimia.

   Dia bekerja di perusahaan parfum, mencampurkan macam-macam cairan untuk menciptakan wangiwangian baru.

   Dia menyebutnya fragrances.

   Sedangkan Mommy, sebelum ketemu Daddy, bekerja di sebuah lab.

   Dia sering berurusan dengan tikus putih.

   Jadi, kedua orangtuaku senang melihatku berminat pada ilmu pengetahuan.

   Mereka selalu mendukungku.

   Tapi itu tidak berarti aku mendapatkan apa saja yang kuminta.

   Coba tebak, apa yang bakal dikatakan Daddy seandainya aku minta burung unta berwarna merah-putih-biru untuk ulang tahunku.

   Dia pasti bilang.

   "Kenapa kau tidak pinjam burung unta adikmu saja?"

   Tapi oke, Brandy minta acara berburu telur untuk pesta ulang tahunnya.

   Dia berulang tahun seminggu sebelum Paskah, jadi permintaannya tidak terlalu aneh.

   Halaman belakang rumah kami luas sekali, membentang sampai ke sebuah sungai kecil.

   Halaman itu penuh semak dan pohon dan rumpun-rumpun bunga.

   Lalu masih ada rumah-rumahan untuk anjing, padahal kami tidak punya anjing.

   Pokoknya, ada banyak tempat yang cocok untuk menyembunyikan telur.

   Seperti biasa, orangtuaku tidak bisa menolak permintaan Brandy.

   Dan dia lalu mengundang semua teman sekelasnya.

   Barangkali kaupikir berburu telur tidak seru.

   Tapi percayalah, acara berburu telur di ulang tahun Brandy lain dari yang lain.

   *********************************** Ulang tahun Brandy jatuh pada hari yang hangat dan cerah.

   Hanya ada beberapa awan berarak di langit.

   (Aku juga suka mengamati awan.) Sehabis sarapan, Mom langsung ke halaman belakang sambil menggotong sekeranjang telur.

   "Aku akan membantu Mom menyembunyikan semuanya,"

   Ujarku.

   "Kalau begitu tidak adil, Dana,"

   Sahut ibuku.

   "Kau nanti juga akan ikut berburu telur, ya, kan?"

   Aku hampir lupa.

   Biasanya Brandy tidak suka aku ikut-ikutan kalau teman-temannya main di rumah kami.

   Tapi kali ini dia mengizinkan aku ikut berburu telur.

   Sahabatku, Anne Gravel, juga boleh ikut.

   Anne tinggal di sebelah rumahku.

   Mom bersahabat dengan ibunya.

   Mrs.

   Gravel bilang pekarangan belakang mereka juga boleh dipakai untuk menyembunyikan telur.

   Jadi sudah sepantasnya kalau Anne juga boleh ikut berburu.

   Anne bertubuh kurus jangkung.

   Rambutnya panjang, berwarna cokelat kemerahan.

   Dia hampir satu kepala lebih tinggi dari aku.

   Semua orang menyangka dia sudah lebih besar.

   Tapi sebenarnya dia baru dua belas, seperti aku.

   Anne lucu sekali.

   Dia selalu menceritakan lelucon.

   Dia suka mengolok-olokku, karena aku begitu serius.

   Tapi aku tidak tersinggung.

   Aku tahu dia cuma main-main.

   Sore itu, Anne dan aku berdiri di depan garasi, memperhatikan teman-teman Brandy berdatangan.

   Brandy menyerahkan keranjang kecil kepada setiap tamunya.

   Mereka senang sekali waktu Brandy bilang bahwa bakal ada acara berburu telur.

   Dan anak-anak cewek semakin bersemangat waktu mereka dengar bahwa hadiah utamanya adalah boneka American Girl yang mahal.

   Anak-anak cowok tentu saja langsung mulai menggerutu.

   Seharusnya Brandy menyediakan hadiah yang juga cocok untuk anak cowok.

   Beberapa anak cowok mulai memakai keranjang masingmasing untuk bermain Frisbee.

   Malah ada yang bergulat di rumput.

   "Mereka masih kekanak-kanakan sekali,"

   Aku bergumam kepada Anne.

   "Kau pasti juga begitu waktu kau sepuluh tahun,"

   Balas Anne.

   "Waktu itu kau tergila-gila pada kura-kura Ninja."

   "Enak saja!"

   Aku memprotes.

   "Ya kok,"

   Anne berkeras.

   "Setiap hari kaupakai T-shirt Kurakura Ninja ke sekolah."

   Aku menendang batu-batu kerikil di depan garasi.

   "Oke, aku memang pakai T-shirt itu, tapi tidak berarti aku tergila-gila pada Kurakura Ninja."

   Anne menyibakkan rambutnya yang panjang sambil mencibir. Aku paling sebal kalau dia begitu.

   "Dana, waktu pesta ulang tahunmu yang kesepuluh, semua cangkir dan piring bergambar Kura-kura Ninja. Taplaknya juga. Dan acaranya adalah permainan lemparlemparan Piza Kura-kura Ninja."

   "Tapi itu tidak berarti aku tergila-gila!"

   Ujarku dengan ketus.

   Tiga anak cewek teman sekelas Brandy berlari melintasi rumput pekarangan depan.

   Aku langsung mengenali anak-anak itu.

   Mereka kujuluki Tiga Anak Salon.

   Sebenarnya mereka tidak ada hubungan dengan salon.

   Tapi setiap hari sehabis sekolah mereka berkumpul di kamar Brandy untuk saling mendandani rambut.

   Daddy berjalan perlahan menghampiri mereka, dengan kamera video menempel di mukanya.

   Tiga Anak Salon melambaikan tangan ke arah kamera dan berseru.

   "Happy Birthday, Brandy!"

   Ayahku selalu merekam acara ulang tahun, liburan, dan harihari penting lainnya.

   Semua kaset videonya disimpannya di rak khusus di ruang santai.

   Tapi rekaman-rekamannya tak pernah diputar lagi.

   Matahari bersinar cerah.

   Rumput di pekarangan menyebarkan bau yang harum dan segar.

   Kuncup-kuncup daun musim semi di pohon-pohon baru mulai mengembang.

   "Oke -semuanya ikut aku ke belakang!"

   Brandy memberi abaaba.

   Anak-anak langsung mengelompok dua-dua dan tiga-tiga, masing-masing membawa keranjang.

   Anne dan aku mengikuti mereka ke pekarangan belakang.

   Daddy berjalan mundur, tanpa berhenti merekam.

   Brandy mengajak semua tamunya ke pekarangan belakang.

   Mom sudah menunggu di situ.

   "Telurnya disembunyikan di manamana,"

   Ia mengumumkan sambil melambaikan tangan.

   "Di semua tempat yang mungkin terbayang oleh kalian."

   "Oke, semuanya!"

   Seru Brandy.

   "Pada hitungan ketiga, kita mulai berburu! Satu...."

   Anne membungkuk dan berbisik ke telingaku.

   "Aku berani taruhan lima dolar bahwa aku bakal dapat lebih banyak telur daripada kau."

   Aku tersenyum. Anne selalu tahu bagaimana caranya membuat sesuatu lebih menarik.

   "Dua...."

   "Oke, boleh!"

   Sahutku.

   "Tiga!"

   Seru Brandy.

   Semua anak bersorak-sorai dengan gembira.

   Acara berburu telur telah dimulai.

   Mereka mulai bergegas melintasi pekarangan belakang, kian kemari.

   Sebentar-sebentar mereka membungkuk untuk memungut telur.

   Ada yang merangkak di rumput.

   Ada yang mencari telur sambil bergerombol.

   Ada juga yang berusaha seorang diri.

   Aku membalikkan tubuh dan melihat Anne sedang membungkuk.

   Dengan gesit dia menyusuri dinding garasi.

   Di keranjangnya sudah ada tiga butir telur.

   Dia tidak boleh menang! pikirku.

   Aku langsung mulai beraksi.

   Aku berlari ke sekelompok anak cewek yang bergerombol di sekitar rumah-rumahan anjing.

   Aku terus berlari.

   Aku ingin mendapatkan tempat yang belum didatangi anakanak lain.

   Tempat aku bisa memungut setumpuk telur tanpa perlu berebutan.

   Aku menerobos alang-alang, menuju ke ujung pekarangan belakang.

   Setelah sampai di dekat sungai, aku mulai mencari.

   Tak ada siapa-siapa di sekitarku.

   Aku melihat sebutir telur yang disembunyikan di balik batu kecil.

   Aku harus bergerak cepat.

   Soalnya aku mau memenangkan taruhanku dengan Anne.

   Aku membungkuk, memungut telur itu, dan langsung memasukkannya ke dalam keranjang.

   Kemudian aku berlutut, menaruh keranjangku di tanah, dan mulai mencari telur-telur lain.

   Tapi aku tersentak kaget ketika aku mendengar seseorang menjerit.

   Chapter 2 IIIIIHHHHH!"

   Teriakan nyaring itu mengalahkan semua suara lainnya. Aku berbalik ke arah rumah. Salah satu dari si Tiga Anak Salon sedang mengayun-ayunkan tangan sambil memanggil temantemannya. Aku langsung meraih keranjangku dan bergegas menghampirinya.

   "Ih, telurnya masih mentah!"

   Aku mendengarnya berseru ketika aku mendekat. Dan kemudian aku melihat kuning telur yang menetesnetes dari T-shirt-nya yang putih.

   "Telur-telurnya tidak sempat direbus,"

   Brandy mengumumkan.

   "Juga tidak sempat dicat. Seharusnya memang tidak begitu, tapi aku benar-benar tidak sempat."

   Aku menoleh ke arah rumah. Mom dan Dad sudah masuk.

   "Hati-hati!"

   Brandy memperingatkan para tamunya.

   "Kalau telurnya sampai retak...."

   Dia belum selesai bicara ketika aku mendengar bunyi ceprot. Bunyi itu disusul tawa berderai-derai. Rupanya ada anak cowok yang menimpuk rumah-rumahan anjing dengan telur.

   "Asyik!"

   Seru salah satu tamu cewek.

   Stubby, anjing herder Anne, keluar dari rumah-rumahan itu.

   Aku tak pernah mengerti kenapa dia suka tidur di situ.

   Dia hampir sebesar rumah-rumahan itu.

   Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan Stubby.

   Ceprot.

   Satu telur lagi pecah, kali ini di dinding garasi.

   Lagi-lagi para tamu Brandy terpingkal-pingkal.

   Mereka menganggapnya benar-benar lucu.

   "Perang telur! Perang telur!"

   Dua anak cowok mulai berseruseru.

   Aku menunduk ketika sebutir telur melayang di atas kepalaku.

   Telur itu jatuh di depan garasi, langsung pecah.

   Semakin banyak telur beterbangan.

   Aku cuma bisa terbengongbengong.

   Tiba-tiba terdengar jeritan melengking.

   Aku menoleh dan melihat rambut dua anak dari Tiga Anak Salon berlepotan kuning telur.

   Mereka memekik-mekik sambil berusaha membersihkan rambut masing-masing.

   Ceprot! Sebutir telur menghantam garasi.

   Krak! Telur-telur melesat ke segala arab.

   Aku membungkuk, sambil mencari Anne.

   Dia pasti sudah pulang, pikirku.

   Anne memang senang bercanda, tapi dia sudah dua belas.

   Dia sudah terlalu besar untuk perang telur yang kekanakkanakan seperti ini.

   Hmm, ternyata aku keliru.

   "Hei, Dana! Tangkap!"

   Anne berseru dari belakangku. Aku langsung tiarap. Dan untung saja. Rupanya dia melemparkan dua telur sekaligus padaku. Kedua-duanya melintas di atas kepalaku, lalu jatuh ke rumput.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Aku mendengar Brandy memekik-mekik.

   "Kalian merusak pestaku! Berhenti!"

   Ceprot! Sebutir telur menghantam dada Brandy.

   Semua anak terbahak-bahak.

   Di mana-mana terlihat genangan berwarna kuning yang lengket.

   Aku menoleh kepada Anne.

   Dia menatapku sambil nyengir.

   Dia sudah mau menimpukku lagi.

   Sudah waktunya aku beraksi.

   Aku meraih ke dalam keranjangku dan mengambil satu-satunya telur yang ada di situ.

   Aku mengangkat tangan, mengambil ancang-ancang -lalu berhenti.

   Telur itu.

   Aku menurunkan tangan dan menatap telur yang ada dalam genggamanku.

   Aku sampai mengerutkan kening.

   Rasanya ada yang tidak beres dengan telur itu.

   Ya, aku yakin ada yang tidak beres.

   Chapter 3 TELUR itu terlalu besar.

   Lebih besar dari telur biasa.

   Kira-kira seukuran bola sofbol.

   Aku memutar-mutarnya dan mengamatinya dengan saksama.

   Warnanya juga aneh.

   Tidak seperti telur, putih krem.

   Atau kecokelatan.

   Warnanya hijau pucat.

   Aku sampai mengangkatnya ke matahari untuk memastikan aku tidak salah lihat.

   Ya.

   Hijau.

   Dan kulitnya retak-retak.

   Aku menelusuri garis-garis gelap itu dengan jari telunjuk.

   Bukan, ternyata bukan retakan.

   Semacam pembuluh darah.

   Pembuluh-pembuluh darah berwarna ungu kebiruan yang malangmelintang pada kulit telur yang berwarna hijau.

   "Aneh!"

   Aku bergumam.

   Teman-teman Brandy berseru-seru dan memekik-mekik.

   Telurtelur beterbangan ke segala arah.

   Sepatuku juga kena, dan langsung berlepotan kuning telur.

   Tapi aku tidak peduli.

   Aku terus memutar-mutar telur aneh di tanganku itu.

   Aku mendekatkannya ke wajahku, mengamati pembuluh-pembuluhnya yang ungu kebiruan.

   "Ooh!"

   Aku memekik kaget ketika telur itu berdenyut. Ya, pembuluh-pembuluh itu benar-benar berdenyut. Dan berirama! Deg. Deg. Deg.

   "Oh wow! Telur ini hidup!"

   Seruku. Aku terheran-heran. Telur apa ini? Hmm, aneh sekali. Aku sudah tak sabar ingin membawanya ke meja kerjaku dan memeriksanya. Tapi sebelumnya aku mau memperlihatkannya kepada Anne dulu.

   "Anne! Hei -Anne!"

   Seruku. Aku berlari menghampirinya, sambil mengangkat telur itu tinggi-tinggi dengan kedua tangan. Pandanganku melekat pada telur ajaib itu. Aku tidak melihat Stubby, si anjing herder raksasa, berlari di depanku.

   "Aduh!"

   Aku memekik ketika menabraknya. Dan aku terjatuh, menimpa telur itu. Chapter 4 AKU langsung bangkit lagi. Stubby menjilat-jilat mukaku. Huh, napasnya minta ampun baunya! Aku mendorongnya ke samping, lalu membungkuk untuk memeriksa telurku.

   "Hei!"

   Seruku.

   Aku terheran-heran.

   Ternyata telur itu tidak pecah.

   Aku memungutnya dengan hati-hati dan mengamatinya dari segala arah.

   Wah, ternyata retak pun tidak.

   Kulitnya keras sekali! pikirku.

   Tadi aku jatuh menimpa telur itu.

   Telurnya sampai setengah masuk ke tanah.

   Tapi kulitnya tidak pecah.

   Kupegang telur itu erat-erat.

   Kurasakan denyutnya yang berirama.

   Jangan-jangan di dalamnya ada anak burung yang siap menetas? aku bertanya-tanya.

   Burung apa kira-kira? Pasti bukan ayam.

   Telur itu jelas-jelas bukan telur ayam.

   Ceprot! Satu telur lagi menghantam dinding garasi.

   Aku menoleh dan melihat beberapa anak bergulat di tengah genangan kuning telur di rumput.

   Lalu ada satu anak cowok yang memecahkan telur dengan membenturkannya ke kepala anak lain.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Brandy berteriak-teriak sekencang mungkin. Dia berusaha keras untuk menghentikan perang telur sebelum semua telur hancur berantakan. Aku menoleh dan melihat ayah-ibuku berlari melintasi pekarangan.

   "Hei, Anne -!"

   Aku berseru. Aku berdiri sambil memegang telur ajaibku dengan hati-hati. Anne sedang melempar-lemparkan telur ke arah tiga anak cewek. Anak-anak itu membalas serangannya. Tiga lawan satu -tapi Anne tidak mundur sejengkal pun.

   "Anne -lihat!"

   Seruku sambil bergegas menghampirinya.

   "Aku menemukan telur ajaib!"

   Aku melangkah ke samping Anne, lalu menyodorkan telurku ke depan mukanya.

   "Hei, jangan -!"

   Aku memekik. Terlambat. Anne menyambar telurku, dan melemparnya ke arah tiga anak cewek itu. Chapter 5

   "JANGAN -stop!"

   Aku memekik.

   Dengan mata terbelalak aku melihat salah satu dari ketiga anak cewek itu menangkap telurku -lalu melemparnya kembali ke arah Anne.

   Aku langsung menerjang maju, dengan kepala lebih dulu, dan berhasil menangkap telur itu sebelum membentur tanah.

   Pasti pecah, aku berkata dalam hati.

   Tapi ternyata tidak.

   Kulitnya seperti terbuat dari baja! pikirku.

   Aku berdiri sambil menggenggam telur itu dengan hati-hati.

   Di luar dugaanku, telurnya terasa panas.

   Panas membara.

   "Hei!"

   Hampir saja aku menjatuhkannya.

   Dug.

   Dug.

   Dug.

   Telur itu berdenyut-denyut di tanganku.

   Sebenarnya aku ingin menunjukkannya kepada ayah dan ibuku, tapi mereka sedang sibuk menghentikan perang telur.

   Wajah Daddy tampak merah padam.

   Dia sedang memarahi Brandy sambil menunjuk bercak-bercak kuning yang mengotori dinding garasi.

   Mommy berusaha menenangkan dua anak cewek yang sedang menangis.

   Keduanya berlepotan kuning telur, mulai dari rambut sampai ke sepatu.

   Aku bahkan melihat kuning telur menetes-netes dari alis mereka.

   Mungkin itu sebabnya mereka menangis.

   Di belakang mereka, Stubby sedang kegirangan.

   Dia berlari mondar-mandir, menjilat-jilat telur dari rumput, dan mengibasngibaskan ekor dengan gembira.

   Pestanya kacau-balau! Aku memutuskan untuk membawa telur ajaibku ke dalam.

   Aku ingin menelitinya, kalau suasana sudah lebih tenang nanti.

   Barangkali aku bisa mencungkil sebagian kulit telur dan mengamatinya di bawah mikroskop.

   Dan habis itu aku akan membuat lubang kecil dan mengintip ke dalamnya.

   Dug.

   Dug.

   Dug.

   Telur itu masih berdenyut-denyut dan tetap terasa panas.

   Mungkin telur kura-kura, aku menduga-duga.

   Aku berjalan dengan hati-hati sambil menggenggam telur itu dengan kedua tangan.

   Suatu pagi di musim gugur tahun lalu, Anne menemukan kurakura besar di trotoar di depan rumahnya.

   Dia membawanya ke pekarangan belakang, lalu segera memanggil aku.

   Dia tahu aku pasti berminat meneliti kura-kura itu.

   Kura-kuranya cukup besar.

   Kira-kira sebesar kotak sepatu.

   Anne dan aku terheran-heran bagaimana kura-kura itu bisa ada di trotoar di depan rumah Anne.

   Aku punya buku tentang kura-kura di kamarku.

   Dan aku yakin buku itu akan membantuku menentukan jenis kura-kura tersebut.

   Aku langsung pulang untuk mengambilnya.

   Tapi setelah itu, ibuku melarangku keluar lagi.

   Aku terpaksa tetap di dalam rumah sampai sehabis makan siang.

   Ketika aku kembali ke pekarangan belakang rumah Anne, kurakura itu sudah hilang.

   Jadi, siapa bilang kura-kura tidak bisa bergerak cepat? Dan sekarang aku menemukan sesuatu yang mungkin saja telur kura-kura.

   Tapi kenapa permukaannya begitu panas? Penuh pembuluh aneh lagi? Seharusnya telur tidak punya pembuluh -ya, kan? Kusembunyikan telur itu di laci lemari pakaianku, lalu kukelilingi dengan beberapa pasang kaus kaki yang digulung-gulung untuk melindunginya.

   Kemudian kututup laci itu pelan-pelan, dan kembali ke pekarangan belakang.

   Semua tamu Brandy sudah mau pulang ketika aku keluar.

   Semuanya berlepotan telur.

   Mereka sama sekali tidak kelihatan gembira.

   Brandy juga begitu.

   Dia sedang dimarahi ayahku, yang menghardiknya sambil mengayun-ayunkan tangan dan menunjuknunjuk bercak-bercak telur yang terlihat di mana-mana.

   "Kenapa kau membiarkan ini terjadi?"

   Seru Daddy.

   "Kenapa kau tidak menghentikannya?"

   "Aku sudah berusaha!"

   Brandy meratap.

   "Aku sudah berusaha menghentikan mereka!"

   "Garasi harus dicat ulang,"

   Mommy bergumam sambil gelenggeleng.

   "Dan siapa yang akan membersihkan rumput?"

   "Ini pesta paling kacau yang pernah kuadakan!"

   Brandy berseru. Dia membungkuk dan mencomot serpihan-serpihan kulit telur dari tali sepatunya. Kemudian dia menatap ibuku dengan sengit.

   "Ini semua salah Mommy!"

   "Hah?"

   Ibuku sampai melongo.

   "Salahku?"

   "Ya, soalnya Mommy lupa merebus telur-telur itu,"

   Brandy menuduh.

   "Jadi ini salah Mommy."

   Mom sudah mau memprotes -tapi akhirnya diam saja. Brandy berdiri. Serpihan-serpihan kulit telur di tangannya dijatuhkannya ke bawah. Kemudian dia menampilkan senyumnya yang khas.

   "Untuk pesta ulang tahunku tahun depan, kita bikin acara makan es krim yang meriah, ya?" ***************************************** Sebenarnya, malam itu aku ingin meneliti telur hijauku yang aneh. Tapi kami harus berkunjung ke rumah kakek dan nenekku, mengajak mereka makan malam di luar. Mereka selalu sibuk kalau Brandy ulang tahun. Pertama-tama, Brandy diminta membuka kado-kadonya. Grandma membelikan sepasang sandal bulu berwarna pink yang takkan pernah dipakai oleh Brandy. Paling-paling sandal itu akan diberikannya kepada Stubby untuk digigit-gigit. Setelah itu Brandy membuka kotak yang paling besar. Isinya ternyata piama berwarna pink dan putih. Brandy berlagak girang, mengatakan bahwa dia benar-benar membutuhkan piama. Dia memang pandai bersandiwara. Kadonya yang terakhir adalah kupon belanja senilai 25 dolar dari toko CD di mal. Nah, ini baru lumayan.

   "Nanti aku ikut ke sana deh,"

   Aku menawarkan.

   "supaya kau tidak memilih CD yang kampungan."

   Brandy berlagak tidak mendengarku.

   Dia merangkul Kakek dan Nenek.

   Setelah itu kami semua berangkat ke restoran Itali yang baru di pojok jalan.

   Apa yang kami bicarakan waktu makan? Pesta ulang tahun Brandy yang kacau-balau, tentu saja.

   Grandma dan Grandpa tertawa terpingkal-pingkal, ketika mendengar cerita tentang perang telur di rumah kami.

   Tadi sore tak ada yang bisa ketawa.

   Tapi beberapa jam kemudian, mau tidak mau kami mengakui bahwa kejadian itu sebenarnya lucu juga.

   Daddy pun tidak sanggup menahan senyum.

   Aku terus memikirkan telur di laci lemari pakaianku.

   Pada waktu kami pulang nanti, jangan-jangan aku akan menemukan bayi kura-kura di situ.

   Acara makan malam tak kunjung selesai.

   Grandpa Harry menceritakan semua kisah golfnya yang lucu-lucu.

   Kisah-kisah itu diulang-ulang setiap kali kami berkunjung.

   Tapi kami tetap tertawa.

   Malam sudah larut ketika kami akhirnya sampai kembali di rumah.

   Brandy tertidur di mobil.

   Aku sendiri nyaris tak kuat melek.

   Aku tahu aku bakal terlelap begitu kepalaku menempel di bantal.

   Kutepuk-tepuk bantalku supaya empuk.

   Kemudian aku naik ke tempat tidur dan menarik selimut sampai ke dagu.

   Aku baru berbaring sebentar ketika mendengar suara itu.

   Dug.

   Dug.

   Dug.

   Berirama, seperti detak jantung.

   Cuma lebih keras.

   Jauh lebih keras.

   DUG.

   DUG.

   DUG.

   Saking kerasnya, laci-laci lemari pakaianku ikut bergetar.

   Aku duduk tegak.

   Rasa kantukku mendadak hilang.

   Tanpa berkedip aku menatap lemari pakaianku.

   DUG.

   DUG.

   DUG.

   Aku menurunkan kaki dari tempat tidur.

   Haruskah aku membuka laci? Aku duduk dalam kegelapan.

   Aku sampai gemetaran karena penasaran, dan juga karena ngeri.

   Aku terus mendengarkan bunyi itu.

   Haruskah aku membuka laci dan mencari sumber suara itu? Atau justru kabur sejauh mungkin? Chapter 6 DUG, dug, dug.

   Semakin lama aku semakin penasaran.

   Aku harus tahu apa yang ada di dalam laciku.

   Apakah telur itu telah menetas? Apakah kura-kuranya membentur-bentur sisi laci karena mau keluar? Tapi bagaimana kalau ternyata bukan kura-kura? Bagaimana kalau yang ada di situ malah makhluk aneh yang mengerikan? Tiba-tiba saja aku jadi ngeri sendiri.

   Aku menarik napas dalam-dalam lalu berdiri pelan-pelan.

   Lututku gemetaran saat berjalan melintasi kamar.

   Mulutku mendadak kering kerontang.

   Dug, DUG, dug.

   Aku menyalakan lampu.

   Mataku berkedip beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya yang terang.

   Perlahan-lahan aku menghampiri lemari pakaian.

   Bunyi di dalam laci bertambah keras ketika aku mendekat.

   Detak jantung, aku berkata dalam hati.

   Detak jantung makhluk di dalam telur.

   Kupegang gagang laci dengan kedua tangan.

   Lalu aku kembali menghela napas dalam-dalam.

   Dana, ini kesempatan terakhir untuk angkat kaki, kuperingatkan diriku sendiri.

   Ini kesempatan terakhir untuk membiarkan laci ini tetap tertutup.

   Dug, dug, dug, dug, dug.

   Aku menarik laci dan mengintip dengan waswas.

   Ternyata belum ada yang berubah.

   Telur itu masih utuh, dan masih berada di tempat aku menaruhnya.

   Pembuluh-pembuluh berwarna ungu kebiruan pada kulitnya masih berdenyut-denyut seperti sebelumnya.

   Perasaanku langsung lebih tenang.

   Aku memberanikan diri untuk meraih telur ajaibku.

   "Aduh!"

   Hampir saja telur itu terlepas dari tanganku. Kulitnya panas membara. Aku memegangnya dengan dua tangan dan meniup-niupnya.

   "Ini benar-benar aneh,"

   Gumamku.

   Mom dan Dad harus diberitahu, pikirku.

   Sekarang juga.

   Barangkali mereka tahu telur apa ini.

   Mereka belum tidur.

   Suara mereka masih terdengar, dari kamar di ujung lorong.

   Telur itu kubawa dengan hati-hati, dengan kedua tangan.

   Pintu kamar orangtuaku kuketuk dengan siku.

   "Mom? Dad?"

   Kataku.

   "Ini aku."

   "Ada apa, Dana?"

   Daddy menggerutu.

   "Kami mau istirahat. Kita semua capek sekali hari ini."

   Aku membuka pintu kamar mereka, sedikit saja.

   "Aku punya telur yang mau kuperlihatkan kepada Mommy, juga Daddy."

   "Aduh, jangan sebut-sebut soal telur!"

   Mereka berseru berbarengan.

   "Kita sudah cukup repot karena telur,"

   Ibuku menambahkan.

   "Tapi telur ini aneh sekali,"

   Aku berkeras.

   "Aku tidak tahu telur apa ini. Barangkali..."

   "Selamat tidur, Dana,"

   Dad menyela.

   "Dan jangan bicara soal telur lagi, oke?"

   Mom menimpali.

   "Ehm, aku..."

   Aku memperhatikan telur ajaib yang berdenyutdenyut di tanganku.

   "Sebentar saja kok. Kalau Dad dan Mom bisa...."

   "Dana!"

   Hardik ayahku.

   "Kenapa tidak kauerami saja telur itu sampai menetas!"

   "Hus, Clark -jangan marah-marah begitu dong,"

   Tegur ibuku.

   "Dia sudah dua belas. Dia tahu aku cuma main-main,"

   Daddy membela diri.

   Mereka mulai berdebat tentang apa yang pantas dan apa yang tidak pantas diucapkan kepada anak-anak.

   Aku bilang selamat malam, lalu kembali ke kamarku.

   Aku bisa membaca gelagat.

   Dug.

   Dug.

   Telur itu terus berdenyut di tanganku.

   Rasanya ingin kupecahkan saja telur ajaibku untuk melihat apa yang ada di dalamnya.

   Tapi tentu saja aku tidak mungkin berbuat begitu.

   Aku berhenti di depan kamar Brandy.

   Aku sudah tak sabar untuk memperlihatkan telur itu kepada seseorang.

   Aku mengetuk pintu kamarnya.

   Tak ada jawaban.

   Aku mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras.

   Brandy memang sulit dibangunkan kalau sudah tertidur lelap.

   Tetap tidak ada jawaban.

   Aku mulai mengetuk untuk ketiga kalinya -dan kali ini pintunya membuka.

   Brandy menyambutku sambil menguap lebar.

   "Ada apa? Kenapa kaubangunkan aku?"

   "Aku mau memperlihatkan telur ini padamu,"

   Aku berkata. Dia menatapku sambil memicingkan mata.

   "Hah, telur? Setelah kejadian di pestaku tadi? Setelah pesta ulang tahun paling kacau dalam sejarah Amerika Serikat, kau mau memperlihatkan telur padaku?"

   Aku mengangkat telur itu.

   "Yeah. Ini dia."

   Dia langsung membanting pintu.

   "Jadi, kau tidak mau melihatnya?"

   Aku memanggil.

   Tak ada jawaban.

   Oke, sepertinya dia juga tidak mau diganggu.

   Kubawa telur itu kembali kamarku, dan kutaruh di laci lemari pakaian dengan hati-hati sekali.

   Kemudian aku menutup laci dan kembali ke tempat tidur.

   Dug.

   Dug.

   Dug.

   Bunyi berirama itu menjadi pengantar tidurku.

   Keesokan paginya, telur ajaibku menetas.

   Chapter 7 AKU terbangun karena mendengar bunyi berderak yang keras.

   Sambil mengerdip-ngerdipkan mata, aku menumpu badanku dengan siku.

   Aku masih terkantuk-kantuk, tapi sepertinya aku mendengar Brandy mengertakkan buku-buku jarinya.

   Itu salah satu bakat terpendam yang dimiliki Brandy.

   Jarang ada yang tahu bahwa dia bisa begitu.

   Dia tak pernah melakukannya di depan orang dewasa.

   Tapi kalau lagi sendirian, dia bisa membuat suara yang ramai sekali.

   Sekali lagi terdengar bunyi "krak".

   Aku langsung terjaga sepenuhnya.

   Lemari pakaian.

   Bunyi itu berasal dari dalam lemari pakaian.

   Aku mendengar bunyi sreeeek yang panjang, seperti kalau orang membuka ikat sepatu dari Velcro.

   Lalu bunyi berderak lagi.

   Seperti bunyi tulang.

   Pasti telur itu, aku berkata dalam hati.

   Jantungku mulai berdegup kencang.

   Aku melompat turun dari tempat tidur.

   Menyambar kacamata dan menaruhnya di hidung.

   Kakiku terbelit selimut, menyebabkan aku nyaris terempas ke lantai.

   Terburu-buru aku menghampiri lemari pakaian.

   Telur itu sedang menetas -dan aku harus menyaksikannya.

   Aku meraih gagang laci, membukanya.

   Saking semangatnya, aku menarik terlalu keras, sehingga laci itu nyaris copot dari lemari! Aku mundur selangkah, menahan laci dengan kedua tangan, dan menatap telur yang ada di dalam.

   Kraaak.

   Pembuluh-pembuluh yang berwarna ungu-kebiruan tampak berdenyut-denyut.

   Aku melihat retakan panjang pada kulit telur yang hijau.

   Uhh, uhh.

   Dari dalam telur terdengar bunyi mendenglets-dengus.

   Dengus makhluk kecil yang sedang berjuang untuk keluar.

   Uhh.

   Sepertinya dia sedang mengerahkan seluruh tenaganya.

   Kedengarannya bukan seperti kura-kura, aku berkata dalam hati.

   Barangkali ini sejenis burung? Burung nuri, mungkin? Atau burung flamingo? Tapi bagaimana telur flamingo bisa ada di pekarangan belakangku? Bagaimana mungkin ada telur ajaib di pekarangan belakangku? Uhh.

   Uhh.

   Kraaak.

   Bunyi-bunyi itu membuatku merinding.

   Aku menggosok-gosok mata dan menatap telur itu.

   Telurnya tampak berayun-ayun dan berkedut-kedut.

   Semua pembuluhnya berdenyut-denyut.

   Retakan lain muncul di bagian depan.

   Dan lendir kuning yang kental tumpah ke laci, membasahi semua kaus kakiku.

   "Idih!"

   Aku memekik.

   Telur itu bergoyang-goyang.

   Kulitnya retak lagi.

   Semakin banyak lendir kuning mengalir ke luar.

   Telurnya berkedut-kedut.

   Aku kembali mendengar suara mendengus-dengus.

   Uhh.

   Uhh.

   Setiap kali ada suara, telur itu ikut bergetar.

   Lendir kuning terus mengalir ketika retakan-retakan pada kulit telur bertambah lebar.

   Kemudian sebagian kulit telur terlepas dan jatuh ke dasar laci.

   Bentuknya segi tiga.

   Aku membungkuk untuk mengintip lewat lubang pada telur ajaibku.

   Tapi isinya tidak kelihatan jelas.

   Aku cuma melihat gumpalan berwarna kuning.

   Uhh uhhhhh.

   Sekali lagi terdengar suara mendengus -dan kemudian seluruh kulit telur pecah.

   Cairan kuning kental bercipratan ke segala arah.

   Aku menahan napas ketika makhluk aneh itu muncul dari telurnya.

   Bentuknya tidak jelas, seperti gumpalan, dan warnanya serba kuning.

   Anak ayam? Bukan.

   Aku tidak melihat kepala.

   Atau sayap.

   Atau kaki.

   Aku membelalakkan mata sambil memegang laci.

   Makhluk aneh itu menyingkirkan sisa kulit telur yang masih melekat.

   Ini benarbenar mencengangkan! Makhluk itu menggelinding di antara gulungan kaus kaki.

   Sebuah gumpalan.

   Sebuah gumpalan kuning yang lengket dan mengilap.

   Kelihatannya seperti gumpalan telur dadar setengah matang.

   Hanya saja seluruh tubuhnya penuh pembuluh darah kecil berwarna hijau.

   Dadaku serasa mau meledak.

   Lalu aku teringat bahwa aku harus bernapas.

   Langsung saja aku menarik napas panjang.

   Jantungku berdegup-degup.

   Gumpalan kuning itu berdenyut-denyut sambil mengeluarkan bunyi seruput yang menjijikkan.

   Makhluk itu berputar pelan-pelan.

   Aku melihat sepasang mata berwarna hitam di bagian atas tubuhnya.

   Tak ada kepala.

   Tak ada wajah.

   Hanya dua mata hitam mengilap di bagian atas tubuh yang kuning.

   "Kau bukan ayam,"

   Aku bergumam. Suaraku terdengar parau.

   "Jelas-jelas bukan ayam."

   Tapi kalau begitu, apa dong? "Hei -Mom! Dad!"

   Aku berseru. Mereka harus melihat makhluk itu. Ini temuan ilmiah terbesar dalam seratus tahun terakhir! "Mom! Dad! Cepat!"

   Tak ada jawaban. Makhluk itu menatapku. Tubuhnya berkedut-kedut. Pembuluhpembuluhnya berdenyut-denyut. Seluruh tubuhnya ikut bergetar.

   "Mom? Dad?"

   Hening.

   Aku menatap ke dalam laci.

   Apa yang harus kulakukan? Chapter 8 AKU sudah tak sabar untuk memperlihatkan makhluk itu kepada orangtuaku.

   Laci lemari pakaian kututup rapat-rapat supaya makhluk itu tidak bisa kabur.

   Kemudian aku bergegas menuruni tangga sambil berseru-seru.

   Kaki celana piamaku terpilin, sehingga aku nyaris terjatuh.

   "Mom! Dad! Di mana kalian?"

   Tak ada jawaban. Pengisap debu telah dikeluarkan dari lemari, tapi tak ada yang menjalankannya. Aku berlari ke dapur. Barangkali mereka masih sarapan? "Mom? Dad? Brandy?"

   Tak ada siapa-siapa.

   Sinar matahari masuk lewat jendela-jendela dapur.

   Peralatan makan bekas sarapan -tiga mangkuk sereal dan dua cangkir kopi -telah ditumpuk di tempat cuci piring.

   Ke mana mereka? aku bertanya-tanya.

   Jantungku berdegupdegup.

   Bagaimana mungkin mereka pergi, padahal aku ingin memperlihatkan temuan paling penting dalam sejarah jagat raya? Aku sudah hendak pergi ketika aku melihat pesan yang ditempelkan ke lemari es.

   Pesan itu ditulis ibuku dengan tinta biru.

   Aku segera membacanya.

   "Kami mengantar Brandy ke tempat les piano. Masih ada sereal untuk sarapan. Salam sayang, Mom."

   Sereal? Sereal? Mana mungkin aku memikirkan sereal pada waktu seperti ini? Hmm, apa yang mesti kulakukan sekarang? Aku menempelkan keningku ke lemari es yang dingin, berusaha mencari akal.

   Makhluk telur itu tak mungkin kudiamkan di dalam laci sepanjang pagi.

   Barangkali dia butuh udara segar.

   Barangkali dia butuh tempat yang luas untuk bergerak.

   Barangkali dia butuh makanan.

   Makanan? Aku menelan ludah.

   Apa makanannya? Dan apakah dia bisa makan? Dia cuma segumpal telur dadar bermata.

   Aku harus membawanya ke luar, pikirku.

   Aku harus memperlihatkannya kepada orang lain.

   Seketika aku teringat Anne.

   "Yes!"

   Aku berseru dengan gembira.

   Makhluk itu akan kubawa ke sebelah, ke rumah Anne.

   Dia punya anjing.

   Dia sudah biasa mengurus binatang piaraan.

   Barangkali dia tahu apa yang harus kulakukan.

   Aku bergegas ke atas, lalu mengenakan jins dan T-shirt yang semalam kulempar ke lantai.

   Kemudian aku menghampiri lemari pakaian dan membuka lacinya.

   "Idih!"

   Gumpalan telur itu duduk di tengah genangan lendir berwarna kuning. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Matanya yang kecil dan bulat menatapku tanpa berkedip.

   "Kau akan kubawa ke rumah Anne,"

   Aku memberitahunya.

   "Barangkali kami berdua bisa tahu makhluk apa kau sebenarnya."

   Hanya ada satu masalah.

   Bagaimana caranya membawa makhluk itu ke sebelah? Aku mengusap-usap dagu dan memeras otak.

   Barangkali bisa kubawa pakai piring.

   Tapi jangan deh.

   Nanti malah jatuh.

   Pakai mangkuk? Jangan.

   Stoples? Jangan.

   Nanti dia tidak bisa bernapas.

   Kotak.

   Ya.

   Aku akan memasukkannya ke dalam kotak, aku berkata dalam hati.

   Aku membuka lemari, berlutut di lantai, lalu mengobrakabrik barang-barang yang menumpuk di dasar lemari.

   Begitulah caraku membereskan kamar.

   Semua barang kumasukkan ke dalam lemari, dan setelah itu aku tinggal menutup pintu.

   Kamarku paling bersih di antara semua kamar di rumah kami.

   Masalahnya cuma kalau aku perlu mencari sesuatu di dalam lemari.

   Kadang-kadang aku menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencari baju yang ingin kupakai.

   Tapi hari ini aku beruntung.

   Aku langsung menemukan barang yang kucari.

   Sebuah kotak sepatu.

   Kotak bekas sepatu ketsku yang baru.

   Kuraih kotak itu, lalu kembali berdiri tegak.

   Kemudian kudorong barang-barang yang lain, agar lemarinya bisa ditutup lagi.

   "Oke!"

   Seruku dengan gembira. Aku kembali menghampiri makhluk telur itu.

   "Kau akan kumasukkan ke dalam kotak ini, dan setelah itu kau akan kubawa ke rumah Anne. Siap?"

   Aku tidak mengharapkan jawaban. Dan makhluk itu juga diam saja. Aku melepas tutup kotak itu, menaruhnya di atas meja. Kemudian kotaknya kurapatkan ke laci.

   "Sekarang bagaimana?"

   Aku bertanya pada diriku sendiri.

   Bagaimana caranya untuk memindahkan makhluk itu ke dalam kotak? Apakah aku harus mengangkatnya? Mengangkatnya dengan tangan? Kupegang kotak itu dengan tangan kiri, sementara tangan kananku masuk ke laci.

   Tapi akhirnya tanganku kutarik keluar lagi.

   Jangan-jangan aku digigitnya nanti? aku bertanya-tanya.

   Mana mungkin? Dia kan tidak punya mulut.

   Leherku serasa tercekik.

   Tanganku mulai gemetaran.

   Makhluk itu begitu menjijikkan -begitu lembap dan menggumpal.

   Angkat saja, Dana, aku berkata dalam hati.

   Jangan terlalu pengecut.

   Ingat -kau seorang ilmuwan.

   Kau harus berani.

   Kau harus nekat.

   Aku tahu itu benar.

   Ilmuwan tidak boleh mundur kalau menghadapi sesuatu yang menjijikkan.

   Aku menarik napas dalam-dalam.

   Dan menghitung sampai tiga.

   Kemudian tanganku kujulurkan lagi ke dalam laci.

   Chapter 9 KETIKA tanganku mendekat, makhluk itu mulai gemetaran.

   Seluruh tubuhnya gemetar seperti agar-agar.

   Kutarik keluar lagi tanganku.

   Jangan, aku memutuskan.

   Jangan dengan tangan.

   Mungkin terlalu berbahaya.

   Makhluk itu gemetaran dan berdenyut-denyut.

   Gelembunggelembung udara bermunculan di kulitnya.

   Apakah dia takut padaku? aku bertanya-tanya.

   Atau dia justru memberi peringatan agar aku tidak mendekat? Aku harus mendapatkan sesuatu untuk mengangkat makhluk itu.

   Aku berpaling memandang berkeliling.

   Akhirnya aku melihat sarung tangan baseball yang kutaruh di atas rak buku.

   Barangkali aku bisa memakai sarung tangan baseball untuk mengangkat makhluk tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak sepatu.

   Tapi kemudian aku berubah pikiran.

   Aku tidak mau sarung tanganku jadi basah dan lengket.

   Lebih baik pakai serokan saja, aku berkata dalam hati.

   Kuhampiri lagi lemari pakaian.

   Makhluk telur itu masih gemetaran tak terkendali.

   Aku menutup laci.

   Siapa tahu dia akan kembali tenang kalau gelap, pikirku.

   Aku turun ke ruang bawah tanah.

   Semua peralatan kebun disimpan di situ.

   Aku menemukan sekop kecil dari logam, membawanya naik ke kamarku.

   Ketika laci lemari kubuka, makhluk telur itu ternyata masih gemetaran juga.

   "Jangan takut,"

   Ujarku.

   "Aku ilmuwan. Aku takkan menyakitimu."

   Sepertinya makhluk itu tidak mengerti bahasa Inggris.

   Ketika aku berusaha mengangkatnya dengan sekop, pembuluh-pembuluh di tubuhnya yang gemetaran malah mulai berdenyut-denyut.

   Makhluk mungil itu sampai terguncang-guncang.

   Matanya yang hitam terbelalak lebar.

   Aku sampai kuatir dia akan meledak.

   "Tenang saja, tenang saja,"

   Aku berbisik. Dengan hati-hati kutaruh sekop di sampingnya. Lalu aku mulai menciduknya, pelan-pelan sekali.

   "Nah, berhasil,"

   Kataku.

   Makhluk itu bergoyang-goyang ketika kuangkat dari laci.

   Kotak sepatunya ada di atas meja.

   Sekop itu kupegang dengan tangan kanan.

   Terpaksa kuraih kotak sepatuku dengan tangan kiri.

   Naik.

   Naik.

   Pelan-pelan.

   Dengan hati-hati kudekatkan makhluk itu ke kotak sepatu.

   Sedikit lagi.

   Sedikit lagi.

   Hampir sampai.

   Tiba-tiba makhluk itu menggeram padaku! Dia menggeram bagaikan anjing yang sedang marah.

   "Ohhh!"

   Aku memekik kaget. Sekopnya terlepas dari tanganku.

   "Aduh!"

   Aku memekik lagi saat sekopnya jatuh ke lantai -dan makhluk telur itu menimpa sepatuku.

   Tanpa pikir panjang aku membungkuk dan meraihnya.

   Aku memegangnya! aku menyadari.

   Jantungku berdegup kencang.

   Aku memegangnya! Aduh, bagaimana sekarang? Chapter 10 TERNYATA tidak terjadi apa-apa.

   Aku tidak tersengat listrik.

   Kulitku tidak gatal-gatal secara mendadak.

   Tanganku pun tidak copot.

   Makhluk itu terasa hangat dan lembek, persis seperti telur dadar setengah matang.

   Baru kemudian aku sadar bahwa aku menggenggamnya eraterat.

   Jangan-jangan terlalu erat? Langsung saja kukendurkan genggamanku.

   Aku memasukkannya ke dalam kotak sepatu, lalu segera kututup.

   Kotaknya kutaruh di atas meja, dan setelah itu kuperiksa tanganku dengan saksama.

   Telapak tanganku terasa lembap dan lengket.

   Tapi kulitnya tidak mendadak kuning atau melepuh atau sebagainya.

   Aku mendengar makhluk itu berdenyut-denyut di dalam kotak sepatu.

   "Jangan menggeram lagi,"

   Aku berkata padanya.

   "Kau membuatku kaget."

   Aku mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka tanganku.

   Mataku terus tertuju ke kotak sepatu.

   Makhluk di dalamnya masih terus bergerak-gerak.

   Binatang apa itu sebenarnya? aku bertanya-tanya.

   Seandainya saja Mommy dan Daddy ada di rumah.

   Aku benarbenar sudah tak sabar ingin memperlihatkan makhluk itu pada mereka.

   Aku melirik jam radio di samping tempat tidurku.

   Oh, rupanya baru jam sembilan.

   Kemungkinan besar Anne masih tidur.

   Dia selalu bangun siang pada hari Sabtu.

   Aku tidak tahu kenapa.

   Dengan cara itu, katanya, waktu berjalan lebih cepat.

   Anne memang ajaib.

   Kotak sepatu itu kuangkat dengan kedua tangan.

   Makhluk telur itu ternyata lebih berat dari yang kuduga.

   Aku meyakinkan diri bahwa tutupnya sudah terpasang rapat-rapat.

   Kemudian kotak itu kubawa turun, aku keluar lewat pintu belakang.

   Udara terasa hangat, matahari pun bersinar cerah.

   Angin yang berembus pelan membuat daun-daun bergoyang.

   Mr.

   Simpson, yang tinggal dua rumah di sebelah kanan kami, sudah mulai memotong rumput di pekarangan belakangnya.

   Di dekat garasi, sepasang burung gereja sedang memperebutkan seekor cacing tanah yang gemuk.

   Kugotong kotak sepatuku ke pintu belakang rumah Anne.

   Pintunya terbuka.

   Aku mengintip melalui pintu kawat nyamuk.

   "Hai, Dana. Silakan masuk,"

   Ibu Anne menyapa dari tempat cuci piring.

   Sambil menahan kotak sepatu itu dengan dada, aku mendorong pintu lalu melangkah ke dapur.

   Anne duduk di meja.

   Dia memakai T-shirt biru gombrong dan celana pendek hitam untuk bersepeda.

   Rambutnya yang merah kecokelatan diikat.

   Coba tebak apa yang dimakannya untuk sarapan.

   Betul sekali.

   Telur dadar.

   "Ya, Dana!"

   Sapanya.

   "Ada apa?"

   "Ehm..."

   Mrs. Gravel pindah ke kompor.

   "Sudah sarapan, Dana? Mau dibuatkan telur dadar?"

   Perutku langsung serasa diaduk-aduk. Aku menelan ludah.

   "Ehm, tidak usah deh."

   "Telurnya masih segar lho,"

   Mrs. Gravel berusaha membujukku.

   "Dibuat mata sapi juga boleh, kalau kau mau."

   "Tidak usah, terima kasih,"

   Sahutku. Makhluk telur di dalam kotak sepatuku kembali berkedut-kedut.

   "Aku mau tambah, Mom,"

   Anne berkata pada ibunya.

   "Telurnya enak sekali."

   Mrs. Gravel memecahkan sebutir telur pada tepi penggorengan.

   "Saya sendiri juga mau."

   Aduh, telur lagi, telur lagi. Aku jadi mual. Anne menghabiskan air jeruknya.

   "Hei -apa tuh yang kaubawa? Sepatu kets baru?"

   "Ehm... bukan,"

   Jawabku.

   "Coba lihat ini, Anne. Kau pasti takkan percaya melihat apa yang kutemukan."

   Aku sudah tak sabar ingin memamerkan temuanku! Penuh semangat aku melintasi dapur. Dan lagi-lagi kakiku tersandung Stubby! Anjing konyol itu selalu menghalangi jalanku.

   "Hei!"

   Teriakku saat terjatuh.

   Kotak sepatuku langsung melayang, terlepas dari tanganku.

   Aku jatuh menimpa Stubby.

   Dengan kalang kabut aku berusaha bangkit.

   Aku menoleh dan melihat makhluk telur itu terlempar dari kotaknya, jatuh ke piring Anne.

   Anne terbengong-bengong.

   Kemudian dia mengerutkan wajahnya karena jijik.

   "Oh, idih!"

   Dia memekik.

   "Telur busuk! Ihhh! Telur busuk!"

   "Bu-bukan!"

   Seruku.

   "Dia hidup!"

   Tapi sepertinya tak ada yang mendengarkan aku. Stubby menerjangku ketika aku mulai menjelaskan duduk perkaranya, sehingga aku nyaris terjatuh lagi.

   "Turun, Stubby! Turun!"

   Mrs. Gravel memarahinya.

   "Jangan nakal, Stubby!"

   "Singkirkan ini!"

   Anne berseru sambil mendorong piringnya menjauh. Ibunya memeriksa piring itu, kemudian menatapku sambil mengerutkan kening.

   "Ada apa ini, Dana? Ini tidak lucu. Karena ulahmu, telur ini tidak. bisa dimakan lagi."

   "Ya, aku jadi tidak bisa sarapan dengan tenang!"

   Anne menambahkan dengan gusar.

   "Ta-tapi...,"

   Aku tergagap-gagap.

   Aku kurang cepat.

   Mrs.

   Gravel mengangkat piring itu, dan membawanya ke tempat cuci piring.

   Kemudian dia menyalakan alat penghancur sampah dan sisa makanan -hendak membuang makhluk telur itu ke dalam lubang pembuangan yang berderu-deru.


Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman Roro Centil Tragedi Pulau Berhala Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah

Cari Blog Ini